18
SINDROM STEVENS-JOHNSON I. Pendahuluan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) atau nama lainnya eritema multiforme mayor, pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Stevens dan Johnson ditandai dengan demam serta stomatitis, konjungtivitis purulen dan lesi pada kulit. SSJ merupakan reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya nekrosis dan pelepasan epidermis. SSJ ini merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula, dapat disertai purpura. (1-3) Umumnya kasus ini disebabkan oleh obat-obatan dan penyakit ini dianggap sebagai kasus emergensi yang dapat berakibat fatal. SSJ berhubungan dengan lebih dari 100 jenis obat yang didapat dari beberapa penelitian, misalnya allopurinol, quinolon, kortikosteroid (termasuk deksametason), rituximab, imatinib dan bortezomib. (4-6) II. Epidemiologi Di seluruh dunia, insiden keseluruhan SSJ diperkirakan 1-6 kasus/juta orang/tahun, dapat mengenai semua ras dan meningkat pada usia dekade ke-4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Asia, yaitu di 1

Sindrom Stevens 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sindrom steven jhoson

Citation preview

Page 1: Sindrom Stevens 4

SINDROM STEVENS-JOHNSON

I. Pendahuluan

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) atau nama lainnya eritema multiforme

mayor, pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Stevens dan Johnson

ditandai dengan demam serta stomatitis, konjungtivitis purulen dan lesi pada kulit.

SSJ merupakan reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa yang ditandai dengan

adanya nekrosis dan pelepasan epidermis. SSJ ini merupakan sindrom yang

mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum

bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel

atau bula, dapat disertai purpura. (1-3) Umumnya kasus ini disebabkan oleh obat-

obatan dan penyakit ini dianggap sebagai kasus emergensi yang dapat berakibat

fatal. SSJ berhubungan dengan lebih dari 100 jenis obat yang didapat dari

beberapa penelitian, misalnya allopurinol, quinolon, kortikosteroid (termasuk

deksametason), rituximab, imatinib dan bortezomib. (4-6)

II. Epidemiologi

Di seluruh dunia, insiden keseluruhan SSJ diperkirakan 1-6 kasus/juta

orang/tahun, dapat mengenai semua ras dan meningkat pada usia dekade ke-4.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Asia, yaitu di Singapura dan Malaysia,

ditemukan 8 juta orang pertahun yang menderita SSJ, dibandingkan ras kaukasia

dengan jumlah 0,4-7,4 juta pertahun. (3, 7)

Untuk wilayah Indonesia, di bagian kulit-kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, terdapat kira-kira 12 pasien/tahun, umumnya pada orang

dewasa. (1) Angka kejadian SSJ di RSUP Mohammad Hoesin Palembang pada

tahun 2006 ialah 18/9.922 (0,2% atau 1.810 kasus/juta/tahun), 18/9.400 (0,2%

atau 1.910 kasus/juta/tahun) pada tahun 2007, dan 7/7.276 (0,1% atau 960

kasus/juta/tahun) pada tahun 2008. Rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu

24:19. Kasus SSJ terdapat hampir semua kelompok usia, terbanyak pada

kelompok usia 26-36 tahun (20,9%), kemudian kelompok usia 4-14 tahun (18,6%)

dan kelompok usia 37-47 tahun (16,3%). (8)

1

Page 2: Sindrom Stevens 4

III. Etiologi

Banyak etiologi yang menyebabkan terjadinya reaksi tetapi obat-obatan

merupakan faktor penyebab utama. Sebagian kecil karena infeksi, neoplasma,

vaksinasi, radiasi. Penelitian mengatakan SSJ diduga disebabkan paling sering

oleh obat analgetik atau antipiretik (45%), disusul karbamazepine (20%) dan jamu

yang dibubuhi obat (13,3%). Kausa yang lain antara lain amoksisilin,

kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif. (1, 3)

III. Patogenesis

Patogenesis dari SSJ sebenarnya tidak terlalu dimengerti tetapi beberapa

penelitian menunjukkan karena adanya reaksi imun setiap individu terhadap

beberapa obat yang dapat mengakibatkan SSJ. Kelainan yang muncul pada SSJ

didasari adanya reaksi imunologik sitotoksik yang mengarah ke destruksi

keratinosit. Lesi di epidermis diakibatkan oleh apoptosis. Aktivasi sel T terlihat

pada sel mononuclear darah perifer pasien dengan erupsi obat. Sifat antigen yang

menyebabkan reaksi imun sitotoksik sel masih belum diketahui. Obat atau

metabolitnya berlaku sebagai hapten dan berikatan dengan antigen keratinosit.

Erupsi alergi obat kutaneus dihubungkan dengan defek pada sistem detoksifikasi

hati dan kulit yang menyebabkan toksisitas langsung atau mengubah sifat antigen

keratinosit. Sitokin yang diproduksi dengan mengaktifkan sel mononuclear dan

keratinosit dapat menyebabkan kematian sel, demam dan lemas. (5, 9)

Studi immunopatologik, menemukan bahwa pada lesi bula ditemukan

adanya CD8+ T killer lymphocytes, natural killer cell dan monosit pada epidermis

dan dermis. Penelitian sudah memastikan bahwa CD8+ berhubungan dengan obat-

obatan dengan sitotoksisitas terhadap keratinosit. (3)

2

Page 3: Sindrom Stevens 4

IV. Diagnosis

Gejala klinis

1. Lesi Kulit

Erupsi kulit pada SSJ terdistribusi secara simetris pada wajah, tubuh

bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal. Lesi kulit awal pada SSJ umumnya

berupa eritema, makula purpura dengan bentuk iregular yang secara progresif

akan bergabung membentuk lesi yang besar. (3)

Lesi kulit pertama muncul sebagai makula eritema yang segera

berkembang menjadi edema dan papul, kemudian membentuk lesi kulit khas SSJ.

Lesi ini kemudian mungkin akan menyebar ke seluruh tubuh dan membentuk bula

atau vesikel dalam 24-96 jam. Nikolsky’s sign (pelepasan epidermis dari dermis

dengan tekanan) biasanya positif. Lesi terkadang terlihat seperti luka bakar

stadium 2. (10)

Gambar 1: Lesi kulit SSJ. (Dikutip dari kepustakaan 3)

2. Lesi Mukosa

Lesi mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%) kemudian

disusul oleh alat genital (50%) sedangkan di lubang hidung atau anus jarang

(masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat

memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Di mukosa

mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir, kelainan tersering yang

tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Membran mukosa yang terlibat

(selalu kedua sisi yang letaknya berdekatan) didapatkan dari 90 % kasus dan ini

biasanya didahului atau diikuti dengan erupsi pada kulit. Ini dimulai dengan

eritema disertai erosi yang nyeri dari mukosa bukal, mukosa okular dan mukosa

3

Page 4: Sindrom Stevens 4

genital. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi, fotofobia, synechiae konjungtiva

dan nyeri berkemih. (1, 3)

Gambar 2: Lesi mukosa pada SSJ. Erosi yang luas dan nekrosis pada bibir bawah dan munkosa mulut.

(Dikutip dari kepustakaan 3)

3. Lesi mata

Pada 70% pasien SSJ dapat ditemukan komplikasi okuler dengan

fotofobia, konjungtivitis purulen dan dapat berkembang menjadi ulserasi kornea

dan uveitis anterior bahkan kebutaan. (11)

Gambar 3 : Konjungtivitis purulen. (Dikutip dari kepustakaan 11)

4. Gejala Ekstra-kutaneus

Dalam SSJ juga dapat ditemukan demam tinggi, rasa sakit, dan rasa

lemah. Organ visceral juga dapat terlibat, biasanya dengan komplikasi paru-paru

atau sistem pencernaan. Komplikasi paru-paru terjadi pada 25% pasien dan

biasanya dalam bentuk dispnea, hipersekresi bronkial, hipoksemia, hemoptisis,

4

Page 5: Sindrom Stevens 4

dan pengeluaran dahak yang berlebihan. Di sistem gastrointestinal dapat

ditemukan nekrosis esofagus, diare, malabsorpsi, melena dan bahkan perforasi

kolon. Selain itu di sistem renal juga dapat ditemukan proteinuria,

microalbuminemia, hematuria, dan azotemia. Kerusakan tubulus proksimal juga

dapat terjadi akibat nekrosis sel tubulus karena proses yang sama dengan proses

penghancuran sel epidermis. Glomerulus juga dapat terlibat. (3)

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositois,

penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat eosinofilia

kemungkinan karena alergi. Pemeriksan dari Respiratory Rate dan kadar oksigen

dalam darah adalah langkah pertama yang dilakukan di ruang emergency. Banyak

hal yang bisa dinilai dari analisis gas darah. Level serum bikarbonat di bawah 20

mM menandakan prognosis yang jelek. Ini dihasilkan dari suasana alkalosis

respiratorik yang berkaitan dengan bronkus dan jarang berasal dari asidosis

metabolik. Kehilangan cairan transdermal yang masif merupakan respon

ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipoproteinemia, dan

insufisiensi renal ringan dan prerenal azotemia dapat terjadi. Meningkatnya level

nitrogen urea darah menandakan prognosis yang buruk. (1, 3)

Kadar glukosa darah diatas 14 mM menandakan prognosis yang berat.

Nilai laboratorium lainnya yang tidak normal merupakan indikasi terlibatnya

organ tubuh yang lain dan dapat menyebabkan komplikasi seperti sepsis. (3)

2. Histopatologi (1)

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi

dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.

Kelainan berupa :

1. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis

superfisial.

2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

3. Degenerasi hidrofik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel

subepidermal.

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

5

Page 6: Sindrom Stevens 4

5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Gambar 4: A. Nekrosis eosinofilik dari epidermis pada kondisi yang parah, dengan sedikit reaksi inflamasi

pada kulit. B. Epidermis yang mengalami nekrotik yang terlepas dari dermis. ( Dikutip dari kepustakaan 3)

V. Diagnosis banding

a. Exanthematous drug eruption

Exanthematous drug eruption (biasa juga disebut morbilliform atau

maculopapular drug eruptions) adalah erupsi yang disebabkan karena obat. Lesi

penyakit ini memberikan gambaran makula yang berwarna merah muda sampai

merah yang distribusinya simetris dan tersebar luas serta papul yang bergabung

membentuk plak. Exanthematous drug eruption terjadi pada 1 dari 5% pengguna

obat baru. Reaksi kulit yang gatal biasa terjadi 4-21 hari setelah seseorang

memulai pengobatan kausatif. (12)

Gambar 5 : Exanthematous drug eruption dengan makula dan papul dengan ukuran yang bervariasi dan

bergabung membentuk plak. (Dikutip dari kepustakaan 12)

6

Page 7: Sindrom Stevens 4

b. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Kelainan ini sangat mirip dengan SSJ, keduanya merupakan akibat reaksi

obat yang melibatkan kulit dan mukosa. Keduanya ditandai dengan perlunakan

lapisan mukosa dan erosi pendarahan, eritem dan pelepasan epidermis, tetapi

memberikan gambaran klinis yang lebih berat. Perbedaan utama adalah luas

kerusakan (epidermal detachment) terjadi lebih dari 30% body surface area

(BSA). (5)

Gambar 6 : Perbandingan SJS dengan TEN. (Dikutip dari kepustakaan 5)

c. Eritroderma

Eritroderma umumnya mengenai 90% permukaan tubuh. Eritroderma pada

penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang biasanya

disertai eritema dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritem

tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.

Manifestasi lainnya antara lain alopesia, keratoderma, distrofi kuku, edema perifer

dan limfadenopati. (13, 14)

7

Page 8: Sindrom Stevens 4

Gambar 7: Eritroderma. (Dikutip dari kepustakaan 9)

VI. Penatalaksanaan

SSJ merupakan penyakit yang mengancam jiwa yang membutuhkan

penatalaksanaan yang optimal, yaitu dengan diagnosis dini dan penghentian obat-

obatan yang dicurigai sebagai penyebab. Pasien dengan SSJ dapat juga ditangani

dengan pengobatan simptomatik dan pengobatan spesifik. (3, 15)

Pengobatan Simptomatik

Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang kecil dan SCORTEN 0 atau 1

yang dapat diobati di bangsal biasa, selain dari itu harus segera dirawat di ruang

pengobatan intensif atau ruang pengobatan luka bakar. Perawatan suportif

bertujuan memperbaiki hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam

nyawa. Manajemen dari pasien SSJ sama dengan masalah luka bakar yang luas.

Pasien ini kekurangan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit, bakteremia dari

hilangnya perlindungan dari skin barrier, hiperkatabolisme dan kadang-kadang

acute respiratory distress syndrome. (3, 15)

Pengobatan Spesifik

1. Kortikosteroid

Yang biasa digunakan adalah deksametason secara intravena dengan dosis

permulaan 4-6 x 5mg / hari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam

beberapa hari. (1)

8

Page 9: Sindrom Stevens 4

2. Imunoglobulin intravena

Penggunaan imunoglobulin dosis tinggi bukanlah standar pengobatan,

namun digunakan untuk menghindari resiko obat-obatan yang bersifat

nefrotoksik. Pemberian imunoglobulin diberikan dalam dosis tinggi yaitu 3

gram/kg dalam 3-4 hari. (3, 5)

3. Siklosporin A

Siklosporin adalah imunosupresan yang kuat. Pemberian immunosupresif

dapat diberikan secepatnya, dilakukan dulu uji coba untuk melihat jika ada proses

yang terjadi dan kemudian kita lihat reaksi imunosupresi pada pasien ini yang

kehilangan jaringan kulitnya. Siklosporin A diberikan secara oral dengan dosis 3

mg/kg/hari selama 10 hari. (3, 5)

4. Plasmaferesis atau hemodialisis

Pengobatan ini digunakan untuk membuang hasil metabolisme atau media

inflamasi seperti sitokin. Plasmaferesis dikombinasikan dengan immunoglobulin

dosis tinggi untuk pasien dengan pengobatan kortikosteroid yang tidak efektif atau

gejalanya memburuk secara cepat. (3, 16)

VII. Prognosis

Terlepasnya epidermis berlangsung selama 5-7 hari. Selanjutnya pasien

akan memasuki fase plateu berupa re-epitelisasi yang progresif, dapat berlangsung

beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung berat ringannya penyakit.

Selama fase ini, dapat terjadi komplikasi berupa sepsis ataupun kegagalan organ

sistemik. (3)

Adapun cara menentukan prognosis untuk kasus SSJ secara spesifik

dengan menggunakan skor derajat keparahan penyakit yang disebut SCORTEN

yang berdasarkan 7 faktor resiko kematian antara lain: (17)

- Umur > 40 tahun

- Adanya keganasan

- Terkelupasnya lapisan epidermis >30%

- Nadi >120/menit

- Kadar bikarbonat <20 mmol/L

9

Page 10: Sindrom Stevens 4

- Urea > 10 mmol/L

- Gula darah >14 mmol/L

Tiap faktor resiko memberikan 1 poin pada SCORTEN dengan

perhitungan total skor sebagai berikut: (17)

SCORTEN PROBABILITAS KEMATIAN (%)

0-1 3

2 12

3 35

4 58

≥5 90

DAFTAR PUSTAKA

10

Page 11: Sindrom Stevens 4

1. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A,

Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 163-5.

2. Smelik M. Stevens-Johnson Syndrome: A Case Study. The Permanente J.

2002;6(1):29-31.

3. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill

Companies; 2008. p. 349-55.

4. Yap FBB, Wahiduzzaman M, Pubalan M. Stevens-Johnson syndrome

(SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) In Sarawak: A Four Years'

Review. Egyptian Dermatol Online J. 2008;4(1):1-13.

5. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson

syndrome. Orphanet J of Rare Diseases. 2010;5(39):1-11.

6. Castaneda CP, Brandenburg NA, Bwire R, Burton GH, Zeldis JB.

Erythema Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome/Toxic Epidermal

Necrolysis in Lenalidomide-Treated Patients. JCO. 2008:156-7.

7. Lim KS, Kwan P, Tan CT. Association of HLA-B*1502 allele and

carbamazepineinduced severe adverse cutaneous drug reaction among

Asians, a review. Neurology Asia. 2008;13:15-21.

8. Thaha MA. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis

di RSUP MH Palembang Periode 2006 - 2008. M Med Indonesia.

2009;43(5):234-9.

9. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical

Dermatology. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 2009. p. 173-7.

10. Stitt VJ. Stevens-Johnson Syndrome: A Review of the literature. J of the

National Med Ass 1988;80(1):104-8.

11. Sudarshan R, Annigeri RG, Vijayabala S. Steven-Johnson syndrome-a

case report. J of oral Health Research. 2011;2(2):47-50.

12. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. NEJM. 2012;366(26):2492-501.

11

Page 12: Sindrom Stevens 4

13. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah

S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 197-200.

14. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma: a dermatologic emergency. CJEM.

2009;11(3):244-6.

15. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews' Disease of the Skin Clinical

Dermatology. 11th ed. USA: Elsevier inc; 2011. p. 114-6.

16. Yamane Y, Aihara M, Ikezawa Z. Analysis of Stevens-Johnson Syndrome

and Toxic Epidermal Necrolysis in Japan from 2000 to 2006. Allergology

International. 2007;56(4):419-25.

17. Breathnach SM. Erithema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and

Toxic Epidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths

C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell;

2010. p. 76.1-.22.

12

Page 13: Sindrom Stevens 4

13