Upload
nuttidiarafiyandi
View
237
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sindrom APS
Citation preview
Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome, APS)
didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang didapat, dengan
karakteristik adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan /atau morbiditas
kehamilan, disertai dengan bukti laboratoris adanya autoantibodi terhadap protein
yang berikatan dengan fosfolipid plasma. Sindrom ini disebut juga sindrom Hughes,
sesuai nama penemunya, sindrom antikardiolipin atau sindrom antifosfolipid. 10,11
APS diklasifisikan sebagai APS primer dan APS sekunder. APS primer
didefinisikan suatu keadaan autoimun yang ditandai adanya antibodi antifosfolipid
(aPL) yang persisten pada pasien dengan thrombosis idiopatik tanpa disertai penyakit
autoimun atau faktor pencetus lainnya seperti infeksi, malignancy, hemodialysis dan
obat-obat yang menginduksi aPL. APS yang ditemukan pada penderita dengan
penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, dan artritis rematoid
digolongkan sebagai APS sekunder.10
Diagnosis APS didasarkan pada kriteria International Consensus Statement on an
Update of the Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Síndrome tahun
2006 di Sidney. Sindroma antifosfolipid definit adalah bila didapatkan minimal 1
kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium.12
Terdapat 3 jenis antibodi antifosfolipid yaitu: lupus antikoagulan, antibodi
antikardiolipin (ACA) dan antibodi β2 glikoprotein. Kriteria laboratoris APS yaitu
jika tes antikardiolipin antibodi positif dalam 2 kali pemeriksaan dengan jarak 12
minggu dan lupus antikoagulan positif. Pada pasien ini tidak ditemukan kriteria klinis
APS, namun dari nilai D-dimer dan fibrinogen yang meningkat, kemungkinan pasien
sudah mengalami suatu trombosis dan perlu dipertimbangkan sebagai APS sekunder.
Pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan pasien ini benar telah
menderita suatu APS atau belum, dimana penting untuk melakukan pemeriksaan
lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin (ACA) dan antibodi β2 glikoprotein.13,14
Penatalaksanaan kehamilan dengan sindroma antifosfolipid pada dasarnya terdiri atas
penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan, dan masa
nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya trombosis,
gangguan sirkulasi uteroplasenter, dan penentuan saat persalinan yang adekuat.
Penatalaksanaan secara profesional dan adekuat oleh tim multidisipliner yang terdiri
atas spesialis penyakit dalam (khususnya hematologi), spesialis obstetri (khususnya
fetomaternal), dan spesialis pediatri (perinatologi).
Kriteria untuk klasifikasi sindroma antifosfolifid
A.Kriteria klinis
1. Trombosis vaskulera) Satu atau lebih episode klinis thrombosis arteri, vena, atau pembuluh darah kecil pada organ
atau jarimgan manapunb) Trombosis harus dikonfirmasi dengan kriteria objektif yang valid (contoh temuan pada
penggunaan tehnologi pencitraan yang sesuai atau histopatologis). Untuk konfirmasi histopatologis, trombosis harus ada bukti yang signifikan tidak adanya inflamasi dinding pembulu darah.
2. Morbiditas kehamilanan a) Satu atau lebih kematian janin dengan morfologi normal pada atau setelah usia kehamilan 10
minggu dengan morfologi normal yang didokumentasikan dengan ultrasound atau pemeriksaan janin secara langsung.
b) pada umur kehamilan ≤ 34 minggu oleh karena preeklamsia atau eklampsia berat, atau isufisiensi plasenta berat, atau
c) Tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut disertai kelainan anatomi dan hormone maternal, penyebab berupa kelainan kromosom.
B.Kriteria Laboratorium
1. Antikoagulasi lupus (LA)Terdapat LA dalam plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan dalam rentang Minimal 12 minggu, dideteksi berdasarkan panduan komunitas internasional Untuk thrombosis dan hemostasis
2. Antibodi antikardiolipin (aCL)Terdapat aCL IgG dan atau IgM dalam plasma/serum pada titer medium atau Tinggi yang dilakukan 2 kali atau lebih dalam rentang minimal 12 minggu
3. Antibodi anti-beta 2 glikoprotein I (anti-β2GP1) Terdapat antibody anti-beta 2 glikoprotein I IgG dan atau IgM dalam serum/Plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan yang dilakukan dalam rentang 12 mgg ,diukur dengan ELISA.
Dikutip dari Torza12
Setiap wanita dengan sindroma antifosfolipid idealnya mendapat konseling
prakonsepsi terhadap risiko yang akan diperoleh selama kehamilan dan persalinan,
seperti risiko trombosis, stroke, kematian janin, abortus berulang, pertumbuhan janin
terhambat, preeklampsia, dan persalinan preterm. Risiko kelainan kongenital janin
akibat pemberian obat-obatan selama masa kehamilan, seperti pemberian NSAID,
glukokortikoid, dan antikoagulan yang dapat berakibat komplikasi selama kehamilan
bagi ibu dan janin maupun pada bayi masa perinatal perlu disampaikan dalam
konseling. Pemeriksaan kehamilan dalam trimester pertama dan kedua dilakukan
setiap dua minggu, dan setelah itu setiap minggu mulai umur kehamilan 32 minggu
sampai 34 minggu, karena peningkatan risiko terjadinya trombosis pada pengobatan
yang inadekuat.
Tujuan pemeriksaan antenatal yang ketat adalah ditemukannya trombosis
vaskuler atau mikrovaskuler yang berakibat gejala patologik iskemia, infark maupun
nekrosis pada trofoblast, sehingga terjadi gangguan perfusi darah, nutrisi dan gas
dengan manifestasi kerusakan endotel berupa gangguan rasio
tromboksan/prostasiklin, mulai dari respon kompensasi vasokonstriksi vaskuler
hingga kerusakan vaskuler dengan gejala perdarahan dan ancaman kesejahteraan
janin, serta maternal. Manifestasi klinis berupa gangguan sistem hemostasis dan
koagulasi, tanda preeklampsia (hipertensi dan atau proteinuria), dan pertumbuhan
janin terhambat, tanda hipoksia intrauterine, maupun perluasan akibat proses
trombosis pada organ diluar kandungan seperti otak, hati, ginjal. Pemeriksaan kadar
trombosit dan transaminase dilakukan untuk deteksi awal sindroma HELLP pada
preeklampsia. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan setiap empat sampai enam
minggu setelah usia kehamilan 18 minggu sampai 20 minggu. Bila ditemukan
pertumbuhan janin terhambat, dengan keterlambatan pertumbuhan dua sampai tiga
minggu dari harapan usia kehamilan, maka pasien diminta untuk beristirahat. Deteksi
dini kelainan kongenital karena perjalanan penyakit maupun akibat prosedur
pengobatan yang diberikan, dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Baik wanita penderita LES maupun APS, masa pra kehamilan diperlukan konseling
untuk menjelaskan risiko LES dan APS pada kehamilan baik terhadap ibu maupun
janin. Idealnya untuk hamil pasien harus dalam keadaan remisi dan tidak mendapat
terapi obat-obat sitotoksik dan NSAID, dan dilakukan pemeriksaan darah dan urin
untuk menyingkirkan adanya anemia, trombositopenia dan penyakit ginjal yang
mendasari. Pada masa kehamilan penderita LES dan APS harus diperiksa tiap 2
minggu sekali pada trimester I dan II serta tiap minggu pada trimester III. Pada setiap
kunjungan harus ditanyakan tentang aktivitas, tanda serta gejala LES dan APS.
LES dengan kehamilan yaitu harus memperhatikan 2 hal dibawah ini:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat
berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus neonatal.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obstetrikus dan ahli penyakit
dalam dalam merawat penderita LES yang hamil.16,17
Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan
untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk
menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung
bila akan berjalan di bawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka
penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada
penderita yang akan menjalani prosedur invasif diberikan antibiotika profilaksis.
Modalitas utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non
steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan.13,18
Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan
dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil
akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti
prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena
glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11beta-
hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11 keto yang inaktif, sehingga hanya 10%
dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. 15,16,19
Pada LES dengan sindroma antifosfolipid dapat diberikan glukokortikoid.
Manifestasi klinis LES yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis
rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan
prednison dosis 1 mg - 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon
intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3_5 hari dapat dipertimbangkan untuk
mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak
memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6
minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5 - 10%
setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis
harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang
berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi,dan
osteoporosis.14,17
Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap
terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5
g/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
Liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah :
1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
3. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulang
4. Glomerulonefritis difus awal
5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai dengan
faktor ekstra renal lainnya
7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Pemberian siklofosfamid pada wanita hamil tersebut tidak dianjurkan secara rutin
kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan
ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan
bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada
wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin.19
Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion,
penutupan prematur duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.
Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan.
Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan sampai saat ini
pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.18,19
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat persalinan
atau pembedahan maka sebaiknya penderita diberikan metil prednisolon dosis tinggi
sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat
untuk penderita LES diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi
antara 0,1% - 2% dosis obat, kecuali imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk
ibu menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (> 3 gr/hari) berhubungan dengan
peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan.13,18
Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita
LES yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6
bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa
memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel
elektrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti
kardiolipin, antikoagulan lupus, C3, C4 dan anti SSA/R0 dan anti SSB/La.
Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila anti SSA/Ro dan
anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan ekokardiografi janin pada usia
kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok jantung janin kongenital.
Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason
4 mg per-oral/hari selama 6 minggu sampai gejala menghilang kemudian dosis
diturunkan sampai lahir.18,19
Pengobatan rasional pada sindroma antifosfolipid adalah terapi preventif dan
kuratif dengan pemberian antikoagulan dan antiagregasi trombosit. Untuk
pencegahan proses pembentukan tromboemboli vaskuler pada kehamilan. Heparin
terpilih karena tidak melewati plasenta. Dosis heparin yang diberikan disesuaikan
hingga dicapai keadaan tidak terjadi kekambuhan proses trombosis, yaitu ditemukan
nilai INR (International Normalized Ratio) 2,6 (antara 2,0 dan 3,0). Telah dikenal
dua jenis heparin, yaitu unfractional (porcine) heparin (UFH) dan low molecular
weight heparin (LMWH). Penggunaan UFH dapat berakibat terjadinya 5% sampai
10% osteoporosis pada 2% sampai 3% pemakai UFH, dibandingkan 0,2% kasus
osteoporosis selama pemakaian LMWH dalam kehamilan. Sebanyak 73% pemakai
UFH dan 88% pemakai LMWH mengalami peningkatan tercapainya persalinan
pada kehamilan aterm. Penggunaan aspirin pada dosis 60-100 mg perhari efektif
untuk penurunan rasio tromboksan/prostasiklin. Pemberian heparin pada kadar
antibodi antifosfolipid yang rendah (kurang dari 20) dapat terjadi peningkatan
keberhasilan kehamilan dibandingkan kontrol tanpa terapi (70% vs.19%).
Kombinasi UFH dosis 10.000 U sampai 26.600 U perhari dengan aspirin dosis 81
mg perhari, berakibat tercapainya peningkatan keberhasilan kehamilan mencapai
70% sampai 80%,dan pada pemakaian LMWH dengan aspirin keberhasilan yang
dicapai sebanyak 90%.
Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah
terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung kondisi
penderita. Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan keadaan yang
stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi
oral ini sebelumnya adalah kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen yang ada
dalam pil kontrasepsi, namun penelitian mendapatkan bukti ini sangat lemah.
Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada penderita LES dengan APS karena
dapat mengakibatkan trombosis.8,11,19
Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita yang
mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak direkomendasikan, karena
risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan hanya terbatas pada kondom dan
kontrasepsi mantap. Depomedroxyprogesteron acetate (DMPA) dapat merupakan
suatu pilihan, namun akhir-akhir ini dikhawatirkan adanya kemungkinan efek
negatifnya pada masa tulang (menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan
berdasarkan indikasi tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan kelainan
perdarahan dan keterbelakangan mental, DMPA merupakan pilihan yang
terbaik.8,11,19