Sindroma Nefrotik

Embed Size (px)

Citation preview

A. PendahuluanSindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan hilangnya protein urin secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria.Sindom nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.(2) Pada anak-anak onsetnya paling sering dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2 : 1 hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minimal change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki dan untuk membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) 65 % nya adalah perempuan.Di USA, SN merupakan suatu kondisi yang jarang terjadi. Dari seluruh pengalaman praktek, ahli pediatri hanya menemukan 1-3 pasien dengan kondisi seperti ini. Dilaporkan angka kejadian tahunan rata-rata 2-5 per 100.000 anak dibawah usia 16 tahun. Prevalensi kumulatif rata-rata adalah kira-kira 15,5 per 100.000 individu.SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, dimana urine dibentuk.(2). Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya skar atau deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering mengakibatkan kerusakan pada unit filtrasi adalah Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) dan Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang lahir dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.Sindroma Nefrotik dapat berkembang selama perjalanannya menjadi glomerulonephritis tetapi paling lazim adalah glomerulonefritis membranosa, membranoproliferatif pasca-streptokokus, lupus infeksi kronis, dan purpura anafilaktoid. Keadaan-keadan tersebut berkaitan erat dengan kejadian gagal ginjal.B. KasusSeorang anak laki-laki usia 10 tahun 4 bulan, suku bugis, masuk rumah sakit pada tanggal 14 mei 2014 dengan keluhan utama bengkak pada seluruh tubuh. Bengkak di rasakan kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya bengkak pada daerah wajah utamanya di sekitar mata, bengkak pada wajah kemudian meluas pada daerah kaki kemudian perut. Bengkak terutama terlihat pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan sesak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak membaik dengan perubahan posisi. Selain itu keluhan lain pasien adalah mual di sertai muntah sebanyak dua kali, 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Buang air kecil pasien sedikit-sedikit tetapi tidak nyeri warna kuning jernih, buang air besar kesan normal. Riwayat penyakit sebelumnya demam, batuk, beringus di rasakan 2 minggu yang lalu tidak berobat ke dokter dan membaik setelah pemberian paracetamol sirup, pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada bulan 4 tahun 2013 dan di rawat di RS. Bhayangkara lalu di rujuk di RS. Wahidin Makassar dengan diagnosa sakit ginjal.Pada pemeriksaan fisik di dapatkan kesadaran somnolen, tekanan darah 170/110, nadi 120x/menit, pernafasan 26x/menit, Suhu 37,6C, berat badan 47 kg, dan tinggi badan 157 cm, status gizi cukup. Ditemukan edema pada kelopak mata, konjungtiva anemis, tetapi sklera tidak ikterik. Pada THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) tidak di temukan kelainan tonsil T2/T2, faring tidak hiperemi. JVP dalam batas normal 5+0 cm H2O . Suara jantung pertama dan kedua normal tanpa murmur, suara dasar paru vesikuler, tidak di temukan ronkhi dan wheezing. Pada abdomen di temukan ascites sedang (Shifting Dullnes), hati dan limpa tidak teraba, ekstremitas terdapat pitting edema pada ekstremitas inferior dan akral teraba hangat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan, Leukosit 35,21, Hemoglobin 5,4 g/dL, Trombosit 340 103/uL, LED 124, Protein total 3,88 g/dL, albumin 1,25 g/dL, Urea 91,6 mg/dL, Kreatinin 16,23 mg/dL, eLFG 4 ml/mnt/1,73 m2. Urinalisis Albumin +4, Glukosa +2, Keton +2, Darah +4, Eritrosit 2-5. Berdasarkan data klinik di atas pasien di diagnosa Sindrom Nefrotik dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik Stadium Akhir.Pada pasien ini berikan Diet protein 1,5 g/kg/24 jam contohnya telur dan susu yang memiliki nilai protein biologis yang tinggi, Ringer Laktat 8 tpm (mikrodrips) dan di berikan terapi furosemide agresif 3 x 20 mg (1-4 mg/kg/24 jam), transfusi PRC 500 cc (10 mL/kg), serta pengontrol tekanan darah nifedipine oral 1 x 20 mg (0,25-0,5 mg/kg). Terapi simptomatis paracetamol 500 mg dan Persiapan rujukan untuk pertimbangan dialisis.C. PembahasanGagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Gagal ginjal kronik terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2.Gagal ginjal kronis pada masa kanak-kanan berkorelasi erat dengan umur penderita pada saat pertama kalinya gagal ginjal tersebut terdeteksi. Gagal ginjal kronis pada anak di bawah usia 5 tahun biasanya akibat kelainan anatomis (hipoplasia, dysplasia, obstruksi, malformasi), sedangkan setelah usia 5 tahun dominan adalah penyakit glomerulus di dapat (glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik) atau gangguan herediter (sindrom Alport, penyakit kistik). Gagal ginjal kronis dapat di kaitkan dengan keadaan sindrom nefrotik utamanya bila telah terjadi komplikasi infeksi dan menjadi glomerulonephritis.Manifestasi klinis pada gagal ginjal kronis karena penyakit glomerulus atau herediter mungkin tidak spesifik dan tergantung pada penyakit dasarnya, keluhan-keluhan yang muncul sperti nyeri kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, polidipsia, poliuria, dan kegagalan pertumbuhan, pada pemeriksaan fisik tidak khas kebanyakan pasien gagal ginjal kronis tampak pucat dan lemah serta tekanan darah tinggi. Pada pasien ini memenuhi kriteria dari gagal ginjal kronis dimana terdapat penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2, serta dari manifestasi klinis dan pemeriksaa fisik memenuhi kriteria gagal ginjal kronis. Manifestasi klinis pada sindrom nefrotik adalah kelainan lebih sering di jumpai pada laki-laki daripada perempuan (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2-6 tahun. Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema yang merupakan keluhan utama, tidak jarang merupakan satu-satunya keluhan dari pasien dengan SN. Lokasi edema pada daerah kelopak mata (puffy face), dada, perut, tungkai dan genitalia. Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital dan oliguria. Edema kadang-kadang mencapai 40% dari berat badan dan didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan.Pada beberapa pasien SN (anasarka), tidak jarang ada keluhan-keluhan menyerupai akut abdomen seperti mual dan muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Hipertensi terjadi 15% pada minimal change disease dan 33% pada pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental.Pada pemeriksaan urin (urinalisa), jumlah protein pada sampel urine penderita SN biasanya melampaui 100 mg/dl, dan nilainya dapat mencapai 1000 mg/L. Mikroskopik hematuria tampak pada permulaan penyakit 20-30% penderita dengan MCD, dan setelah itu dapat tidak tampak. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid; terdapat pula sel darah putih.. Kimia darah menunjukkan konsentrasi serum albumin kurang dari 2,5 g/dl dan hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl). Laju endap darah dapat meninggi. Pada pasien ini di temukan kriteria yang menggambarkan sindrom nefrotik yakni proteinuria masif Protein total 3,88 g/dL, edema, hipoalbumin 1,25 g/dL, dan LED yang meningkat 124.Komplikasi Gagal ginjal dapat terjadi pada semua tipe sindrom nefrotik, tetapi lebih jarang terjadi pada penderita dengan minimal change disease (MCD). Hipertensi lebih sering terjadi pada tipe glomerulonephritis membranoproliferatif (GNMP) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Patogenesis dari gagal ginjal kronis pada pasien ini di duga di dahului oleh sindrom nefrotik (skema.1). Indikator utama pada SN adalah adanya proteinuria masif yaitu lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan badan perhari atau 25 x nilai normal (pada orang normal protein dalam urine + 150 mg/hari). Proteinuria ini sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerulus) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal, jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus meningkat sehingga serum protein tersebut masuk ke dalam lumen tubulus dan kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein yang telah difiltrasi glomerulus. Mekanisme atau patogenesis proteinuria masif sangat kompleks, dan tergantung dari banyak faktor. Albumin merupakan serum protein yang mempunyai berat molekul kecil dan jumlahnya banyak sehingga mudah keluar bila terdapat kerusakan membran basalis ginjal. Keadaan demikian sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan minimal.Bila kerusukan ini terjadi terus menerus akan terjadi kemunduran fungsi ginjal mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelasEndapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut. Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertrofi struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum dipahami. Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal. PERMEABILITAS GLOMERULUS MENINGKAT

Kebocoran PBH melalui urin kenaikan filtrasi LIPIDURIA(protein-bound hormon) plasma protein

penurunan plasma T-4 HIPERKOLESTEROLEMIA

Kenaikan reabsorbsi ALBUMINURIAkenaikan sintesis proteinPlasma proteindalam sel hepar

Katabolisme albumin HIPOPROTEINEMIAPenurunan volumeDalam sel tubulus intravaskular

MalnutrisiKenaikan volume cairaninterstitialKehilangan protein melaluiUsus (enteropati)Kerusakan sel tubulus

AMINOASIDURIA EDEMASkema 1. Patogenesis SN

Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan konservatif dan pengobatan pengganti. Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit pasien tersebut harus diberikan pengobatan pengganti.

Terapi KonservatifTujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:a. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti misalnya mual, muntah.b. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.c. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.d. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.e. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.f. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal dan bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh. Anak-anak dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumnya menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks. Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.

Osteodistrofi Renal1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam.Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara intra-vena.Terapi Pengganti GinjalTujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari keluarga hidup atau jenazah.Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2 pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialisis peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis.Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah melakukan transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru. Indikasi untuk memulai dialisis adalah:1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang mengganggu aktivitas sehari-harinya.2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat.DialisisKeuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak.Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.TransplantasiMerupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar. Transplantasi dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun 1987-2000. Pada pasien ini berikan Diet protein 1,5 g/kg/24 jam contohnya telur dan susu yang memiliki nilai protein biologis yang tinggi oleh karena pada anak dengan insufisiensi ginjal, kecepatan pertumbuhan berkurang ketika LFG turun di bawah 50% normal. Ringer Laktat 8 tpm (mikrodrips) karna pada anak ini terdapaat edema dan tekanan darah tinggi maka pembatasan natrium perlu sehingga tidak di anjurkan pemberian cairan berupa NaCL, dan di berikan terapi furosemide agresif 3 x 20 mg (1-4 mg/kg/24 jam), transfusi PRC 500 cc (10 mL/kg), serta pengontrol tekanan darah nifedipine oral 1 x 20 mg (0,25-0,5 mg/kg). Terapi simptomatis paracetamol 500 mg dan Persiapan rujukan untuk pertimbangan dialisis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pradana, A., 2009, Gagal Ginjal Kronik pada Anak, http://www.docstoc.com/docs/14785676/Gagal-Ginjal-Kronik-pada-Anak, 3 Juni 2014.2. Vincent lannelli, M.D. Childhood Nephrotic Syndrome 2005; (online) (http://www.eMedicine.com/pediatrics/kidney diakses Juni 2014)3. Y. C. Tsao. Some Recent Advances in The Investigation and Treatment of The Nephrotic Syndrome in Children in The Bulletin of The Hongkong Medical Association . Departement of Pediatrics, University of Hongkong. Vol.23, 1971.4. Mansjoer, A. Suprahaita. Sindrom Nefrotik. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi III. Media Aesculapius FKUI. Jakarta : 20005. Abdoerrachman,M.H dkk. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1997; 832-8356. William Wong ed PK. Nephrotic Syndrome in Childhood 2001; (online) (http://www.eMedicine.com/Paediatrics Clinical diakses Juni 2014)7. Sukandar Enday. Sindrom Nefrotik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI . Jakarta : 1998 ; 282 305

1