19
 MAKALAH BIOFARMASETIKA NATRIUM FENITOIN INJEKSI SEBAGAI BI OPH ARM ACEUTI CAL CLASSIF I CATION SYSTEM  (BCS) KELAS 2 Disusun Oleh : MUHAMMAD HAFIZH PURYANTO SUNTORO PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2014

sistem BCS obat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kelarutan obat

Citation preview

MAKALAHBIOFARMASETIKA

NATRIUM FENITOIN INJEKSI SEBAGAI BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION SYSTEM (BCS) KELAS 2

Disusun Oleh :MUHAMMAD HAFIZHPURYANTOSUNTORO

PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TANJUNGPURA 2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas terstruktur mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar berupa makalah yang berjudul Modernisasi Masyarakat dalam rangka memenuhi aspek penilaian.Dalam pengerjaan makalah ini tentunya beberapa kendala penulis hadapi. Namun akhirnya makalah dapat diselesaikan. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:1. Andhie Fahrurroji M.Sc ., Apt selaku dosen pengajar,2. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dalam upaya meningkatkan nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif /membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 21 Maret 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

JUDULHalamanKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB I PENDAHULUAN11.1 Latar Belakang11.2 Rumusan Masalah11.3 Tujuan Penulisan1BAB II DASAR TEORI32.1Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)32.2 Tujuan dan Koncep BCS32.3 Klasifikasi BCS42.4 Faktor-faktopr yang Memengaruhi BCS 5BAB III PEMBAHASAN 7BAB IV PENUTUP153.1 Kesimpulan15DAFTAR PUSTAKAviiiii

13

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Sifat kelarutan dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi. Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification System, BCS) mengelompokkan obat dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan, permeabilitas dan kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat digunakan untuk menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat larut dan sangat permeable. Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa senyawa menjadi empat kelas berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem klasifikasi ini berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan serapan pada penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption sistemik setelah pemberian dosis oral dan intravena.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:1. Apakah BCS itu?2. Faktor apa saja yang mempengaruhi BCS?3. Bagaimana cara mengatasi masalah kelarutan pada obat BCS 2 dalam hal ini phenytoin ?1.3 Tujuan PenulisanTujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui klasifikasi obat dalam BCS2. Untuk mengatasi permasalahan obat golongan BCS 2 yaitu phenytoin

BAB IIDASAR TEORI2.1 Definisi BCSBCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi.Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna.

2.2 Tujuan dan Konsep BCSTujuan dari BCS adalah :1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.

2.3 Klasifikasi BCSBCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah : 1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati.3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I dapat diterapkan.4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan.

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi BCSFaktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :1. Laju disolusiDalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim.2. KelarutanTujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer.3. PermeabilitasPermeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Fenitoin3.1.1 FARMAKOKINETIKAbsorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3 12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600 800 mg, dalam dosis terbagi 8 12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 12,6 %. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotramsformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanaya ialah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvulsinya. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi.

3.1.2 INDIKASIFenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur, tetapi barangkali sebaiknya dihindarkan sebagai obat pilihan pertama pada wanita muda karena alasan efek samping kosmetik dan teratogenisitas. Ada sejumlah bukti yang menarik bahwa obat ini terutama bermanfaat untuk epilepsi simthomatik. Fenitoin merupakan obat yang sulit digunakan karena kadar dosis serum yang non linier dan indeks terapinya yang sempit; pengukuran kadar serum obat perlu dilakukan pada banyak pasien.Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks.Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT), untuk menringankan konvulsinya, dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik.

3.2 Penyiapan Sampel Natrium Fenitoin InjeksiLarutan sampel disusun menggunakan silikon bebas suntik di bangku bersih, dan disimpan pada 25 C. contoh larutan untuk pengukuran mikropartikel larut dibuat dengan menempatkan 0,5 ml natrium fenitoin injeksi (50 mg / ml) dalam botol sampel kaca dan menambahkan 1.5, 4.5, atau 9,5 ml larutan natrium klorida isotonik, untuk membuat 4 -, 10 -, dan pengenceran 20 kali lipat. sampel lainnya dibuat dengan menyuntikkan 5 atau 10 ml natrium fenitoininjeksi (50 mg / ml) ke dalam kantong infus yang mengandung 100 ml natrium klorida isotonik

3.3 Pengukuran mikropartikel larut menggunakan cahaya mengaburkan counter partikel Metode yang digunakan pada dasarnya sama dengan Test 'partikel larut materi untuk injeksi dengan metode 1. Cahaya mengaburkan jumlah partikel test 'dijelaskan dalam Edisi ke-15 dari Jepang Pharmacopoeia (2006) [8]. Semua prosedur dilakukan di bangku bersih. Jumlah dan ukuran mikropartikel ditentukan menggunakan counter mengaburkan partikel cahaya KL-04 (Rion Co, Ltd). Ambang batas ukuran mikropartikel 1.3, 2.0, 5.0, 10.0, 20.0, 25.0, 40.0, 50.0, dan 100,0 m. itu volume masing-masing sampel adalah 2 ml untuk pengenceran 4 kali lipat, 5 ml untuk pengenceran 10 kali lipat, dan 10 ml untuk 20 kali lipat dilusi. Sampel pertama dibuang dan mean nilai tiga sampel dihitung. semua instrumen dicuci dengan air untuk injeksi untuk menghilangkan mikropartikel larut berasal dari perangkat. gas gelembung dalam larutan sampel dihilangkan dengan berdiri selama 2 menit.Jumlah mikropartikel larut dalam diencerkan solusi diukur segera setelah pengenceran dan 3, 6, atau 24 jam kemudian, untuk evaluasi infus cairan set dengan filter yang berbeda, jumlah mikropartikel larut diukur segera setelah pengenceran. Hasil untuk evaluasi infus cairan set dengan filter yang berbeda dievaluasi sesuai dengan kriteria untuk jumlah maksimum dari larut mikropartikel dalam edisi ke-15 dari Jepang Farmakope. Untuk persiapan injeksi diberikan pada volume lebih dari 100 ml, jumlah ditoleransi larut mikropartikel dengan diameter 10 m atau lebih besar adalah 25 atau kurang, sedangkan mikropartikel dengan diameter 25 m atau lebih besar adalah 3 atau kurang, per ml.

2.4 Evaluasi set infus cairan dengan filter yang berbedaLima ml fenitoin natrium injeksi (50 mg / ml)disuntikkan ke 100 ml natrium klorida isotoniksolusi dalam kantong infus menggunakan jarum suntik silikon bebasdi bangku bersih. Cairan infus dibiarkan menetesoleh gravitasi pada laju alir 15 ml / menit melalui tigaberbeda infus set (satu dengan tidak ada filter sejalan, satudengan filter in-line dari 5 m ukuran pori, dan satu denganfilter in-line dari 0,2 m ukuran pori). Cairan infus dikumpulkan melalui outlet di kaca partikel bebasgelas (10 ml) segera setelah persiapan, dan jumlah mikropartikel tidak larut dalam setiap cairan diukur sesuai dengan metode yang dijelaskan pada bagian 2.3. di atas. Laju aliran diasumsikan 15 ml / menit ketika 0.2-m penyaring set benar-benar terbuka; fenitoin akan kemungkinan besar akan segera diendapkan jika pH adalah dikurangi oleh karbon dioksida di udara pada sampling. Yang pertama 20 ml dibuang untuk menghilangkan pengaruh mikropartikel larut yang berasal dari infus set

2.6 Perubahan tergantung waktu mikropartikel larut dalam larutan diencerkan Solusi fenitoin natrium injeksi (50 mg / ml), diencerkan 4 -, 10 -, dan 20-kali lipat oleh isotonik natrium klorida solusi, disimpan pada 25 C. Jumlah larut mikropartikel dalam setiap solusi diukur segera setelah pencampuran dan 3, 6 dan 24 jam kemudian. tabel 1 menunjukkan jumlah mikropartikel tidak larut dengan diameter 10 um dan 25 m per 2 ml dalam 4 kali lipat pengenceran, per 5 ml dalam pengenceran 10 kali lipat, dan per 10 ml dalam pengenceran 20 kali lipat. Jumlah larut mikropartikel dengan diameter 10 m dalam 20 kali lipat pengenceran secara signifikan lebih besar dari jumlah di pengenceran lainnya. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikropartikel tidak larut dalam 4 - pengenceran dan 10 kali lipat. Jumlah larut mikropartikel dalam pengenceran 4 kali lipat mengalami penurunan sebesar6 jam, tetapi meningkat lagi setelah 24 jam, sedangkan jumlah dalam 10 - dan pengenceran 20 kali lipat mengalami penurunan sebesar 3 jam, tetapi meningkat lagi dengan 6 jam. Jumlah larut mikropartikel dengan diameter 25 m tidak signifikan dipengaruhi oleh tingkat pengenceran. The pH dari 4 -, 10 - dan 20-kali lipat pengenceran adalah 10.72, 10.24, dan 9,97, masing-masing. PH hampir tidak berubah selama Periode 24-jam. Perlu dicatat bahwa pH dari 10 -,dan pengenceran 20 kali lipat berdua di bawah 10,71, pH di mana pengendapan fenitoin terjadi ketika 0,65 ml asam klorida 0,1 M ditambahkan ke 5 ml fenitoin natrium injeksi,sementara tidak ada endapan bisa dilihat dengan mata telanjang. Mikropartikel yang paling larut yang ditemukan di 20 kali lipat pengenceran karena pengendapan fenitoin terjadi terutama pada pH rendah. Hal ini sesuai dengan prediksi teoritis kelarutan berdasarkan pH pengukuran yang menunjukkan bahwa pengendapan fenitoin terjadi ketika pengenceran adalah 10,6 kali lipat. Hasil ini menunjukkan bahwa ketidakcocokan dalam injeksi obat-obatan, yang sulit untuk menentukan dengan telanjang mata, dapat dievaluasi dengan menggunakan mengaburkan partikel cahaya counter. Jumlah mikropartikel larut segera setelah pengenceran lebih besar dari jumlah 3 jam setelah persiapan sampel. Alasan utama untuk ini tampaknya menjadi gas gelembung yang tersisa dalam sampel larutan. Sementara upaya yang dilakukan untuk menghilangkan gas gelembung dalam larutan sampel dengan mendiamkannya selama 2 menit, ini tidak akan menghilangkan semua gelembung gas, yang akan membutuhkan waktu pendiaman selama 30-60 menit etanol dan propilen glikol mengganggu pergerakan film diantarmuka antara gas dan cairan karena peningkatan viskositas pada permukaan gelembung yang disebabkan oleh gugus hidrofob (-CH3), sehingga meningkatkan stabilitas gelembung gas. Oleh karena itu, jumlah yang lebih besar mikropartikel larut segera setelah pengenceran mungkin karena adanya gelembung gas.Pengukuran ini mikropartikel larut disarankan bahwa penggunaan 4 - atau pengenceran 10 kali lipat, yang memiliki lebih rendah jumlah mikropartikel larut dari 20 kali lipat pengenceran, lebih aman, dan bahwa adalah lebih baikuntuk mengelola solusi dalam 3 jam pertama setelah pengenceran.Hasil untuk mengukur mikropartikel larut menunjukkan bahwa begitu banyak mikropartikel ada di diencerkan larutan. Dan dari hasil penentuan fenitoin menggunakan HPLC, penurunan konsentrasi fenitoin kurang, karena tingkat endapan masih di bawah 5% lebih lama. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih encer solusi masih dapat digunakan jika mikropartikel diendapkan dihapus menggunakan filter di muka. Namun infus diatur dengan filter 0,2 m sangat mahal, oleh karena itu jumlah mikropartikel larut dengan diameter dari 10 m dan / atau 25 m setelah melewati masing-masing Filter diukur untuk mengevaluasi set infus dengan 5 m filter yang dikembangkan untuk intravena perifer menetes.Lima ml fenitoin natrium injeksi (50 mg / ml) disuntikkan ke 100 ml natrium klorida isotonik larutan dalam kantong infus menggunakan jarum suntik silikon bebas di bangku bersih. Cairan infus diizinkan untuk menetes melalui tiga berbeda infus set: satu dengan tidak ada sejalan filter, satu dengan filter sejalan dari ukuran pori 5- m, dan satu dengan filter sejalan ukuran pori 0.2 m itu cairan infus dikumpulkan menjadi partikel-bebas 10-ml tabung kaca segera setelah persiapan, dan jumlah mikropartikel larut diukur menurut metode yang dijelaskan dalam bahan dan metode, bagian 2.3. Gambar. 4 menunjukkan hasil pengukuran mikropartikel dari larut dengan diameter 10 m dalam setiap solusi. Jumlah mikropartikel larut dengan diameter 10 m dalam pengenceran 20 kali lipat itu menurun secara signifikan dengan melewati 5 - atau 0,2 m menyaring. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua ukuran pori. Mikropartikel larut dengan diameter dari 25 m tidak terdeteksi dalam penelitian ini. Biaya infus set dengan filter 5 m Jepang relatif rendah, menjadi 1,7 kali harga no-filter infus set dan 0,2 kali dari infus diatur dengan filter 0,2 m. 5 m Filter menghilangkan mikropartikel larut sambil menjaga diinginkan laju alir. Oleh karena itu, penggunaan sepotong medis peralatan aman dan praktis.

BAB IVPENUTUP3.1 KesimpulanKesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikropartikel larut dalam pengenceran 4 kali lipat (ditulis dalam Lembar Informasi Obat) dan pengenceran 10 kali lipat. Administrasi pengenceran 10 kali lipat selama 5 menit atau lebih adalah cara praktis terbaik untuk menghindari peredaran darah dan gangguan pernapasan yang disebabkan oleh intravena cepat infus. Sebagai pengendapan fenitoin dapat terjadi ketika pH injeksi fenitoin natrium lebih rendah, penggunaan dari infus set dengan filter 5 m direkomendasikan untuk administrasi larutan encer fenitoin natrium injeksi.DAFTAR PUSTAKA

Bethlehem, 2011,Biopharmaceutical Classification System and Formulation Development, Technical Brief.

Dash, Vikash., & Kesari, Asha, 2011, Role of Biopharmaceutical Classification System In Drug Development Program, Journal of Current Pharmaceutical.

Reddy, Kumar., & Karunakar, 2011. Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach, Dissolution Technologies.

Sutriyo., Rachmat, Hasan, & Rosalina, Mita, 2007,Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem Mukoadhesif, Majalah Ilmu Kefarmasian.

Wagh P., Millind., & Patel, Jatis, 2010,Biopharmaceutical Classification System: Scientific Basis for Biowaiver Extensions, International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences.