24
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktivitas manusia sehari-hari tidak terlepas dari lingkungan udara, makanan, sentuhan yang secara tidak langsung menghadapkan kita pada mikroorganisme yang bisa menyerang tubuh, mikroorganisme ini dicegah agar tidak menyebabkan penyakit dengan adanya 3 jenis pertahanan tubuh yaitu eksternal barriers berupa kulit dan membran mukosa, nonspesifik internal barriers berupa respon inflamasi, fagositosis, dan pertahanan tubuh yang spesifik (sistem imun spesifik) . Perkembangan sistem imunologik sebagai suatu penyesuaian diri respon seluler pada lingkungan yang berubah-ubah dan bermacam-macam untuk setiap tingkatan spesies, individu, bahkan sel. Proses adaptasi diperlukan suatu spesies agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Proses adaptasi ini membentuk dasar-dasar filogeni respon imun, baik respon imun spesifik dan nonspesifik. Dalam kehidupan primitif elemen nonspesifik yang paling penting ialah fagositosis dan respons inflamatoris. Dengan adanya evolusi, mekanisme pertahanan ini tetap dan diperkuat oleh penambahan komponen-komponen baru yaitu sistem imun spesifik dan sistem amplifikasi biologi dengan respon-respon yang baru telah berkembang (Bellanti, 1985). Pada saat sistem imun melemah, pemberian produk imunostimulator bagi penderita penyakit infeksi menjadi sangat penting karena secara klinis imunostimulator dapat dimanfaatkan dalam pengobatan maupun pencegahan

Sistem Imun

  • Upload
    siska

  • View
    20

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

imunologi

Citation preview

Page 1: Sistem Imun

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aktivitas manusia sehari-hari tidak terlepas dari lingkungan udara,

makanan, sentuhan yang secara tidak langsung menghadapkan kita pada

mikroorganisme yang bisa menyerang tubuh, mikroorganisme ini dicegah agar

tidak menyebabkan penyakit dengan adanya 3 jenis pertahanan tubuh yaitu

eksternal barriers berupa kulit dan membran mukosa, nonspesifik internal

barriers berupa respon inflamasi, fagositosis, dan pertahanan tubuh yang spesifik

(sistem imun spesifik) .

Perkembangan sistem imunologik sebagai suatu penyesuaian diri respon

seluler pada lingkungan yang berubah-ubah dan bermacam-macam untuk setiap

tingkatan spesies, individu, bahkan sel. Proses adaptasi diperlukan suatu spesies

agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Proses adaptasi ini membentuk

dasar-dasar filogeni respon imun, baik respon imun spesifik dan nonspesifik.

Dalam kehidupan primitif elemen nonspesifik yang paling penting ialah

fagositosis dan respons inflamatoris. Dengan adanya evolusi, mekanisme

pertahanan ini tetap dan diperkuat oleh penambahan komponen-komponen baru

yaitu sistem imun spesifik dan sistem amplifikasi biologi dengan respon-respon

yang baru telah berkembang (Bellanti, 1985).

Pada saat sistem imun melemah, pemberian produk imunostimulator bagi

penderita penyakit infeksi menjadi sangat penting karena secara klinis

imunostimulator dapat dimanfaatkan dalam pengobatan maupun pencegahan

Page 2: Sistem Imun

2

suatu penyakit (Sherwood, 1996 cit Sriningsih & Wibowo, 2009).

Keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi menyediakan berbagai

jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai agen imunostimulator. Tanaman

yang telah banyak diteliti sebagai imunomodulator adalah herba meniran

(Phyllantus niruri Linn.), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme (Lodd.)

Blume, dan daun sirih merah (Piper crocatum).

Ekstrak etanolik meniran, umbi keladi tikus, dan daun sirih merah

mengandung flavonoid dan alkaloid yang kemungkinan menyebabkan tanaman ini

berkhasiat sebagai imunomodulator. Flavonoid bisa meningkatkan aktivitas IL-2

dan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit mempengaruhi sel CD4+ dan

menyebabkan sel Th1 teraktivasi yang mempengaruhi molekul IFNγ yang dapat

mengaktifkan makrofag sehingga mengalami peningkatan metabolik, motilitas

dan aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih efisien dalam membunuh bakteri

atau mikroorganisme patogen sedangkan alkaloid yang mempunyai aktivitas

antibakteri dengan menghambat perlekatan protein mikroba ke reseptor

polisakarida inang (Ukhrowi, 2011).

Berdasarkan penelitian Daulay (2012) ekstrak etanol keladi tikus

terbukti memiliki efek imunomodulator dengan parameter kadar IL-10 dan TNF-α

yang meningkat pada dosis tertentu yaitu 250 mg/kg dengan harga IC50 sebesar

632 µg/ml memiliki efek sitotoksik terhadap sel T47D. Senyawa fenolik pada

ekstrak tersebut dapat meningkatkan aktivitas sel makrofag karena dapat

menstimulasi pelepasan sitokin IL-12 dan IFN-γ (Shen dan Louie, 1999).

Page 3: Sistem Imun

3

Penelitian Ibnul (2012) ekstrak meniran hijau meningkatkan aktivitas

fagositosis makrofag dan produksi nitrit oksida yang meningkat pada mencit

Balb/c dan hal ini sesuai dengan penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Maat

(1996) efeknya pada mencit dapat meningkatkan fagositosis dan kemotaksis

makrofag, kemotaksis neutrofil, sitotoksisitas sel NK dan aktivitas hemolisis

komplemen. Penelitian dengan ekstrak etanol daun sirih merah tidak mempunyai

efek pada respon imun spesifik, yaitu pada proliferasi limfosit dan titer antibodi

tetapi dapat meningkatkan respon imun non spesifik, yaitu menaikkan indeks

fagositosis makrofag (Wiweko, 2010; Apriyanto, 2011). Penelitian Yuristiyani

(2012) melaporkan fraksi tak larut n-heksana ekstrak etanol daun sirih merah

pada konsentrasi 0,1 mg/ml, 0,5 mg/ml, dan 1 mg/ml tidak mampu meningkatkan

fagositosis makrofag dan menurunkan proliferasi limfosit. Hasil penelitian

Werdyani (2012) pada dosis 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB

fraksi n-heksana ekstrak etanolik daun sirih merah mampu meningkatkan

fagsitosis makrofag tetapi memiliki kecenderungan menekan jumlah sel TCD4+

dan TCD8+

.

Adanya efek imunomodulator masing-masing ekstrak sirih merah, umbi

keladi tikus, dan daun sirih merah telah diteliti apabila dipejankan tunggal dan

selama ini kajian efek imunomodulator kombinasi ekstrak etanolik herba

meniran, umbi keladi tikus, dan daun sirih merah belum pernah dilakukan,

sehingga penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui efek

imunomodulator kombinasi ketiga ekstrak tersebut. Parameter yang akan diamati

adalah kemampuan fagositosis makrofag.

Page 4: Sistem Imun

4

B. Rumusan Masalah

Apakah kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus, dan

daun sirih merah mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag mencit

jantan Balb/c dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data ilmiah yang dapat

digunakan sebagai dasar pengembangan produk obat herbal sebagai

imunomodulator yang terdiri dari kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi

keladi tikus, dan daun sirih merah.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek

immunomodulator kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus,

dan daun sirih merah secara in vitro, dengan mengevaluasi efek kombinasi ekstrak

tersebut terhadap peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dibandingkan

dengan kontrol tanpa perlakuan.

D. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Imun

Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan

(kekebalan) yang kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah

menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi terhadap penyakit

menular. Sel dan molekul yang bertanggungjawab dalam imunitas adalah sistem

imun, dan keseluruhan sistem yang mengatur respon terhadap pengenalan

substansi asing disebut dengan respon imun (Abbas & Lichtman, 2005). Sistem

imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk melindungi dan

Page 5: Sistem Imun

5

mempertahankan keutuhan tubuh dari bahaya yang menyerang tubuh

(Tjandrawinata et al., 2005). Menurut Baratawidjaya (1994) sistem imun itu

terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara

luas dalam merespon antigen endogenus dan eksogenus.

Tugas dasar sistem imunitas tersebut antara lain adalah membedakan

„dirinya sendiri‟ (seluruh sel di dalam tubuh) dengan „agen asing‟ (bakteri, virus,

toksik, jamur, serta jaringan asing). Menghadapi agen asing tadi, sistem imunitas

harus membentuk sel khusus melalui sel darah putih, untuk mengeliminasi

pendatang asing tersebut. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar,

sistem imunitas mampu beradaptasi dengan kondisi sehari-hari. Sistem imun

terdiri dari sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik, keduanya berperan

terutama dalam proses fagositosis.

a. Sistem imun non spesifik.

Sistem ini merupakan pertahanan pertama melawan infeksi. Mekanisme

sistem imun non spesifik tetap ada meskipun tidak ada induksi mikroba ke dalam

tubuh dan secara cepat diaktifkan oleh mikroba sebelum perkembangan lebih

lanjut ke respon imun yang spesifik. Komponen sistem imun nonspesifik (Innate

Immunity) yaitu :

1) Hambatan fisika dan kimia yang terdiri dari kulit, lapisan mukosa, dan

enzim.

2) Protein darah seperti komplemen

3) Sel fagositosis (makrofag, neutrofil) dan natural killer cells (Abbas &

Lichtmann, 2005).

Page 6: Sistem Imun

6

Komponen-komponen sistem imun bawaan selalu berada dalam keadaan

siaga, siap melaksanakan tindakan-tindakan pertahanan yang terbatas dan relatif

“kasar” terhadap semua dan semua penyerang. Dalam sistem imun nonspesifik

dikenal sel fagositosis yaitu neutrofil dan makrofag yang memiliki protein

membran plasma toll-like receptors (TLR) untuk memicu fagositosis. Apabila

karbohidrat yang biasanya terdapat pada dinding sel bakteri dan materi lain yang

dianggap sebagai substansi asing masuk ke dalam tubuh maka akan mengaktifkan

sistem imun nonspesifik. Toll-like receptors tersebut sebagai sensor yang

mengenali dan mengikat penanda-penanda di bakteri sehingga sistem imun

nonspesifik mengetahui substansi asing yang masuk ke dalam tubuh merupakan

musuh yang harus dimusnahkan. Reseptor ini berfungsi sebagai pemicu fagosit

untuk menelan, menghancurkan mikroorganisme dan memicu fagosit

mengeluarkan mediator peradangan ( Takeda & Akira, 2004).

Toll-like receptors menghubungkan sistem imun spesifik dan non

spesifik karena sitokin dan mediator lain yang dikeluarkan oleh fagosit penting

untuk memicu sistem imun spesifik. Antibodi melalui reseptor Fc dan komplemen

melalui reseptornya akan membantu makrofag dalam menelan dan mencerna

benda asing dan bahan yang sudah dirusak.

b. Sistem imun spesifik (adaptif)

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda

asing yang dianggap asing bagi dirinya. Agen asing yang pertama kali muncul

dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi

sel-sel sistem imum tersebut. Agen asing yang sama bila terpapar ulang akan

Page 7: Sistem Imun

7

dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya

dapat menyingkirkan agen asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini

disebut spesifik (Baratawidjaja, 2006).

Sistem imun spesifik (adaptif) ini terdapat dua tipe, yaitu cell mediated

immunity dan humoral mediated immunity. Sistem imun spesifik dapat bekerja

tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama

yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag.

Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem

imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno

2001).

2. Makrofag

Mekanisme pertahanan host terdiri dari imunitas alami dan imunitas

adaptif. Imunitas alami merupakan pertahanan yang paling pertama. Komponen

imunitas alami atau innate imunnity terdiri dari barier epitel, fagosit, sel NK,

sistem komplemen, dan lain-lain. Selain imunitas alami, juga terdapat sistem

imunitas adaptif. Sistem imunitas adaptif ini terdapat dua tipe, yaitu cell mediated

immunity dan humoral mediated immunity. Sistem imunitas alami yang berperan

melawan mikroba yang masuk menembus epitel ialah sistem fagosit. Sistem

fagosit yang bersirkulasi dalam darah terdapat dua tipe, yaitu neutrofil dan

monosit. Kedua sel tersebut bekerja pada tempat yang terinfeksi, dimana mereka

mengenal dan mencerna mikroba. Neutrofil (juga disebut leukosit

polimorfonuklear) yang berjumlah 4000 – 10.000 per mm3 ialah jenis leukosit

yang terbanyak di dalam darah. Dalam respon terhadap infeksi, produksi neutrofil

Page 8: Sistem Imun

8

dari sumsum tulang meningkat cepat sampai melewati angka 20.000 per mm3.

Produksi dari neutrofil dirangsang oleh sitokin, yaitu mediator yang

diproduksi oleh berbagai macam tipe sel sebagai respon terhadap infeksi.

Neutrofil ialah tipe sel pertama yang merespon infeksi, baik infeksi bakteri

maupun fungi. Sel neutrofil mencerna mikroba dalam sirkulasi, dan sel neutrofil

dengan cepat masuk ke dalam jaringan ekstravaskuler pada sisi infeksi, dimana sel

ini juga mencerna mikroba dan mati setelah beberapa jam.

Tipe sel kedua dalam sistem fagosit ialah sel monosit. Sel tersebut

berjumlah 500 – 1000 per mm3 darah, lebih sedikit dibandingkan jumlah sel

neutrofil. Sel monosit mencerna mikroba dalam darah dan jaringan. Tidak seperti

neutrofil, monosit dapat masuk ke dalam jaringan ekstravaskuler dan bertahan di

sana dalam waktu yang relatif lebih lama. Sel monosit akan berdiferensiasi

menjadi sel makrofag di dalam jaringan. Sel monosit darah dan sel makrofag ialah

dua sel yang sejenis, dimana kedua sel tersebut dinamakan sistem fagosit

mononuklear.

Makrofag adalah monosit yang meninggalkan sirkulasi darah dan

berubah agar menetap di jaringan dengan fungsi memfagositosis mikroorganisme

dan komplek molekul asing lainnya. Makrofag yang berpindah mengalami

diferensisasi sesuai dengan bentuk histologi jaringan yang dituju contohnya

kuppfer cells pada hati, alveolar macrophages di paru-paru, splenic macrophages

di white pulp, peritoneal macrophages di cairan peritoneal, microglial cells di

jaringan saraf ( Coico et al., 2003).

Page 9: Sistem Imun

9

Makrofag sebagai sel fagosit mampu membunuh mikroorganisme

melalui dua mekanisme:

a. Proses Oksidatif (oxygen dependent mechanisms)

Proses ini terjadi karena penggunaan oksigen yang meningkat akan

diubah menjadi reactive oxygen intermediates (ROIs) untuk membunuh

mikroorganisme, hal ini diinisisasi oleh ikatan mikroba terhadap reseptor

fagositos dan terjadi fusi phagosomes (phagocytic vacuoles) dengan lisosom yang

membentuk phagolysosomes sebagai tempat pembunuhan mikroorganisme.

Peningkatan produksi hydrogen peroxide (H2O2) dan produksi beberapa senyawa

seperti superoxide anion, hydroxyl radicals, single oxygen, myeloperoxidase yang

dapat saling bereaksi dengan : enzymatic generation of superoxide anion,

spontaneous generation of single oxygen and hydroxyl radicals dan enzymatic

generation of halogening compound; reaksi fusi inilah yang menghasilkan

metabolit oksigen yang toksik sehingga bisa digunakan untuk membunuh

mikroba( Abbas & Lichtmann, 2005).

b. Proses non oksidatif (oxygen independent mechanism)

Sejalan dengan peningkatan reactive oxygen intermediste (ROIs),

makrofag menghasilkan reactive nitrogen intermediates dengan bantuan enzyme

seperti hydrolitic enzyme, defensins (cationic protein), lysozyme, lactoferrin dan

nitric oxide synthase (iNOS). Nitric oxide synthase merupakan enzim sitosolik

yang diaktifkan oleh TLRs yang dikombinasi dengan IFNγ dan hal ini terjadi saat

mikroba menginvasi tubuh. Nitric oxide synthase menjadi aktif dan dikatalisis

oleh arginin untuk memproduksi nitrit oksid bebas. Phagolysosome tempat

Page 10: Sistem Imun

10

memungkinkan untuk terjadinya reaksi fagosit oksidase antara nitrit oksid dengan

hidrogen peroksida atau superoksida yang menghasilkan radikal peroxynitrit

sangat reaktif dan bisa membunuh mikroba (Gambar 1) (Abbas & Lichtmann,

2005)

Gambar 1. Fagositosis mikroba di dalam sel. (A) Mikroba berikatan dengan reseptor

fagositosis. (B) Membran sel fagosit membentuk fagosom. (C) Mikroba di dalam fagosom

dan berfusi dengan lisosom. (D) Mikroba dihancurkan oleh enzim lisosom , ROS, dan NO di

dalam fagolisosom (Abbas et al., 2007)

Oleh karena itu, ketika makrofag teraktivasi oleh masuknya

mikroorganisme ke dalam tubuh terjadi peningkatan produksi ROIs, nitric oxide,

dan enzim lisosom. Selain itu, reaksi inflamasi dengan peningkatan TNF dan IL-1

memicu terjadinya kemotaksis dengan mengundang chemokines IL-12 untuk

menstimulasi makrofag ke lokasi inflamasi, mengaktifkan sitokin IFNγ, tipe I

IFNs sitokin antivirus dan IL-10 sebagai penghambat makrofag (pengontrol reaksi

sistem imun spesifik), sehingga peningkatan aktivitas makrofag sejalan dengan

Page 11: Sistem Imun

11

peningkatan sitokin tersebut. Makrofag yang aktif juga ikut andil memperbaiki

jaringan yang luka dan terinfeksi dengan menghasilkan growth factors untuk sel

endotel dan sel fibroblasts.

3. Fagositosis

Fagositosis merupakan proses penelanan yang dilanjutkan dengan

pencernaan seluler terhadap bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh

dengan maksud mengganggu sistem homeostasis tubuh. Proses fagositosis secara

garis besar dapat dibedakan dalam 3 tahap :

a. Pengenalan dan pengikatan bahan asing.

b. Penelanan ( ingestion)

c. Pencernaan (Bellanti, 1985)

Fagositosis sebagian besar diperankan oleh makrofag sebab kemampuan

fagositosisnya jauh lebih kuat dibandingkan dengan sel fagosit yang lain. Segera

setelah menelan bahan asing tersebut, membran makrofag akan menutup. Partikel

tersebut digerakkan ke dalam sitoplasma sel dan terbentuk vakuol fagosit.

Lisosom adalah kantung-kantung dengan enzim, bersatu dengan fagosom

membentuk fagolisosom. Pada keadaan ini dimulailah proses pencernaan

intraseluler dan pembentukan zat bakterisidal jika lisosom gagal menerima bahan-

bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Makrofag jaringan mempunyai

kemampuan serupa makrofag aktif yang mampu mengembara ke seluruh jaringan,

yaitu memfagosit bahan-bahan asing.

Page 12: Sistem Imun

12

4. Imunomodulator

Imunomodulator adalah bahan atau senyawa yang dapat merangsang

sistem imun atau menekan aspek spesifik dari respon imun. Bahan atau senyawa

yang bersifat imunomodulator dapat bekerja dengan immunorestorasi,

immunostimulasi, dan immunosupresi. Imunostimulasi atau imunopotensiasi

adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan

imunostimulan, yaitu bahan yang dapat merangsang sistem imun. Menurut

(Bellanti, 1993) imunostimulator dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu

imunostimulasi spesifik dengan senyawa yang mempunyai spesifisitas antigenik

dalam respon imun seperti vaksin dan imunostimulasi nonspesifik dengan

senyawa yang tidak bersifat antigenik dan imunogenik, tetapi dapat meningkatkan

respon imun misalnya adjuvan atau senyawa imunostimulator non spesifik.

Imunorestorasi adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang

terganggu dan imunosupresi merupakan tindakan untuk menekan respon imun

(Baratawidjaja, 2000).

5. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

Gambar 2. Herba meniran

Page 13: Sistem Imun

13

a. Sistematika Tumbuhan Meniran

Herba meniran (Phyllanthus niruri L.) memiliki sistematika sebagai

berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Phyllanthus

Spesies : Phyllanthus niruri Linn

(Backer & van Den Brink, 1965)

b. Mofologi

Meniran merupakan terna, semusim, tumbuh tegak, tinggi 30-50 cm,

bercabang–cabang. Batang berwarna hijau pucat. Daun tunggal, letak berseling.

Helaian daun bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan

bawah berbintik kelenjar, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm, lebar sekitar 7 mm,

berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan bunga jantan. Bunga

jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak

daun. Buahnya kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5 mm. Bijinya kecil,

keras, berbentuk ginjal, berwarna coklat (Hutapea dan Syamsyuhidayat, 1991).

c. Daerah Distribusi dan Habitat

Herba meniran tumbuh liar di tempat yang lembab dan berbatu, seperti di

sepanjang saluran air, semak-semak, dan tanah diantara rerumputan. Meniran juga

Page 14: Sistem Imun

14

bisa ditemukan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dari

permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah gembur,

berpasir di ladang, tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar

pekarangan rumah. Tanaman ini menyebar luas hampir ke setiap daerah tropis

ataupun subtropis seperti India, Cina, Malaysia, Filipina, dan Australia

(Dalimarta, 2000).

d. Kandungan Kimia

Herba meniran banyak mengandung beberapa zat kimia yaitu: flavonoid

seperti kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, rutin, serta kaempferol-4-

ramnopiranosid, eridiktol-7-ramnopiranosid, nirurin, nirurisid, filantin,

hipofilantin, triterpen, dan alkaloid sekurinin (ASEAN, 2004); Lignan; Tanin;

Alkaloid; Saponin (Bagalkotkar et al., 2006).

e. Khasiat Tanaman

Meniran adalah salah satu tumbuhan obat Indonesia yang telah lama

digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan berbagai penyakit seperti

diuretik, ekspektoran dan pelancar haid. Selain itu herba meniran juga digunakan

untuk pengobatan sembab (bengkak), infeksi dan batu saluran kencing, kencing

nanah, menambah nafsu makan, diare, radang usus, konjungtivitas, hepatitis, sakit

kuning, rabun senja, sariawan, digigit anjing gila, rabun senja, dan rematik gout

(Hutapea dan Syamsuhidayat, 1991). Herba meniran telah terbukti mempunyai

berbagai efek farmakologis, antara lain sebagai hepatoprotektif (Munjrekar et al.,

2008), antidiabetes (Nwanjo, 2007) dan antioksidan (Ahmeda et al. 2005).

Berdasarkan penelitan Maat (1996) menunjukkan bahwa meniran mempunyai

Page 15: Sistem Imun

15

efek terhadap respon imun nonspesifik maupun spesifik. Efeknya terhadap respon

imun nonspesifik yaitu meningkatkan fagositosis dan kemotaksis makrofag,

kemotaksis neutrofil, sitotoksisitas sel NK dan aktivitas hemolisis komplemen,

sedangkan terhadap respon imun spesifik, pemberian ekstrak meniran

meningkatkan proliferasi sel limfosit T, meningkatkan sekresi TNF-α dan IL-4

serta menurunkan aktivitas sekresi IL-2 dan IL-10. Uji klinis terhadap manusia

juga telah dilakukan dan menunjukkan bahwa ekstrak meniran meningkatkan

kadar IFNγ, kadar CD4 dan rasio CD4/CD8.

6. Sirih merah (Piper crocatum)

Gambar 3. Daun sirih merah

a. Sistematika sirih merah

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Sub Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan Berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Magnoliidae

Ordo : Piperales

Page 16: Sistem Imun

16

Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)

Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum (Backer & van Den Brink, 1963)

Nama daerah :

Sirih; Suruh (Jawa), seureuh (Sunda); base (Bali); leko, kowak, malo,

malu (Nusa Tenggara); dontile, parigi, gamnjeng (Sulawesi); gies, bido (Maluku);

sirih, ranub, sereh, sirieh (Melayu) (Moeljanto, 2003).

b. Morfologi

Perdu, merambat, batang berkayu, berbuku-buku, bersalur, berwarna

hijau keabu-abuan. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian ujung

daun meruncing herbaceous atau berair dan jarang terdapat rambut atau bulu serta

bertangkai, yang tumbuh berselang-seling di batangnya. Permukaan daun

berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya serta tidak merata.

Perbedaan sirih merah dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah

keperakan, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi.

Ranting- ranting cenderung kurus. Perilous 1-5 cm; pedunculus 1-2,5 cm; bractea

memanjang ±3 mm bunga pada bagian pertama ditutupi oleh daun pelindung

tetapi tidak semua bagian ditutupi, bractea biasanya berdiri jauh dari ranting atau

cabang dan tidak terbuka. Bunga bulir jantan panjangnya 5-20 cm; stamen 2-4,

biasanya 3; terdapat benang-benang halus yang pendek dan tebal;bulir dalam

bentuk buah yang panjangnya 15-20 cm; benang sari 3-4 kecil; buah bini/ellipsoid

atau hampir membentuk bola, dengan panjang 4-5 mm (Backer & van Den Brink,

1965)

Page 17: Sistem Imun

17

Pertumbuhannya tergantung pada kesuburan media tanam dan rendahnya

media untuk merambat. Batang berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat,

berkerut, dan beruas yang merupakan tempat keluarnya akar. Daun berbentuk

jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, teksturnya agak

kasar jika diraba, dan mengeluarkan bau yang sedap (aromatis) jika diremas

(Moeljanto, 2003). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun.

c. Kandungan Senyawa

Kandungan utama dari sirih merah adalah flavonoid, alkaloid, tanin dan

minyak atsiri (Sudewo, 2005). Parmar et al. (1997) melaporkan bahwa sirih merah

memiliki kandungan seperti alkaloid, lignin, terpen, dan steroid. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Juliantina et al. (2008) sirih merah diketahui

mengandung flavonoid, alkaloid, tanin dan minyak atsiri. Hasil penapisan

fitokimia ekstrak etanolik daun sirih merah menunjukkan adanya golongan

saponin, monoterpen, seskuiterpen, polifenol, dan kuinon (Subarnas et al., 2008).

Senyawa fenol yang terkandung pada tanaman ini yaitu metabolit

sekunder berupa flavonoid dikatakan oleh Nijveldt et al. (2001) bahwa flavonoid

yang terdapat pada tanaman memiliki aktivitas biologis yang dapat mempengaruhi

aktivitas makrofag melalui pengaruhnya terhadap produksi nitric oxide (NO),

selain itu senyawa ini dapat mempengaruhi mobilisasi leukosit dan produksi asam

arakidonat (pada respon inflamasi). Menurut Comalada et al., 2006 ;cit

Yuristiyani, 2012 flavonoid juga dapat mempengaruhi ekspresi IL-10.

Page 18: Sistem Imun

18

d. Khasiat

Sirih merah dimanfaatkan untuk penyakit infeksi seperti radang pada

gigi, sariawan, radang pada mata, radang prostat, dan lain sebagainya (Sudewo,

2008). Khasiat sirih merah juga untuk beberapa penyakit antara lain diabetes,

hipertensi, kanker payudara, hepatitis, peradangan, ambeien, asam urat, maag,

luka dan lain-lain (Juliantina et al., 2008).

Berdasarkan penelitian, ekstrak etanol sirih merah memiliki aktivitas

antiinflamasi, antihiperglikemik (Subarnas et al., 2008 ; Robianto, 2009).

Senyawa kimia flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan,

antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi, sedangkan senyawa

alkaloid yang terkandung berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan sel-sel

kanker (Ryan dan Enny, 2006; Sudewo, 2005 cit Yuristiyani, 2012).

7. Keladi tikus (Typhonium flagelliforme)

Gambar 4. Keladi tikus

a. Sistematika keladi tikus

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Page 19: Sistem Imun

19

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Arales

Famili : Araceae

Subfamili : Aroideae

Genus : Typhonium

Spesies : Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume

(Backer and van Den Brink, 1968)

b. Morfologi

Tanaman herba perenial dengan tinggi mencapai 35 cm dan panjang

tangkai 7-30 cm (Backer and van Den Brink, 1968). Keladi tikus berdaun tunggal,

berwarna hijau dan tersusun di roset, panjang daun 6-16 cm, berbentuk lonjong

dengan ujung meruncing seperti tombak. Pangkal daun berbentuk jantung dan

bertepi rata serta permukaan daun mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah

memiliki bunga unik yang bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus). Bunga

dengan panjang 4-8 cm dan berkelopak bunga bulat lonjong berwarna kekuning-

kuningan. Bagian atas kelopak memanjang 5-21 cm dan ujungnya meruncing

menyerupai ekor tikus (Sudewo, 2004). Bagian tanaman yng digunakan adalah

umbi.

c. Kandungan senyawa

Kandungan kimia pada keladi tikus di antaranya adalah alkaloid, saponin,

steroid, glikosida flavonoid dan triterpenoid (Syahid, 2007). Dari hasil penelitian

Nobakht et al. (2010), senyawa utama yang terkandung dalam Typhonium

Page 20: Sistem Imun

20

flagelliforme adalah alkaloid dan flavonoid. Studi etnofarmakologi yang

dilakukan pada tikus juga mengindikasikan bahwa ekstrak keladi tikus mampu

mencegah terjadinya hepatokarsinogenesis (Choon, 2008). Keladi tikus telah

digunakan secara empirik untuk mengobati kanker, gangguan jantung, flu, batuk

dan hipertensi (Anonim, 2011).

Penelitian Nurrochmad et al. (2011) menunjukkan bahwa ekstrak

etanolik keladi tikus memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D

dengan harga IC50 sebesar 632 µg/ml. Semua ekstrak air, alkohol, dan ekstrak

ester keladi tikus berefek meredakan batuk, dahak, antiasmatik, analgesik, anti

peradangan, dan sedatif (Zhong et al., 2001).

8. Ekstraksi

Proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh ekstrak zat aktif dari

serbuk daun sirih merah, meniran, dan keladi tikus yang diperoleh dari Gama

Herbal. Bahan yang akan diekstrak haruslah dalam keadaan kering karena

keberadaan air dalam jaringan bahan bisa melindungi komponen penting dalam

bahan dari masuknya penyari untuk mengikat senyawa organik dalam bahan

(Harbourne, 1987), kadar air pada bahan juga dapat menurunkan efisiensi proses

ekstraksi karena titik didihnya yang lebih tinggi dibandingkan pelarut organik

memperlama proses pemekatan (Yudiastuti et al., 2007).

Proses ekstraksi yang digunakan dengan metode maserasi merupakan

teknik perendaman dengan pelarut tertentu untuk bahan yang tidak tahan panas.

Mekanisme pelarutan zat aktif dengan menembusnya penyari melalui dinding sel

Page 21: Sistem Imun

21

tanaman dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat

aktif akan larut. Selama proses maserasi, rendaman disimpan di tempat yang jauh

dari sinar cahaya langsung untuk mencegah perubahan warna dan reaksi yang

tidak diinginkan (Voight 1994; Indraswari, 2008).

Pelarut yang diperbolehkan dalam pembuatan ekstrak adalah air, etanol

atau campuran air dan etanol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

Pelarut yang digunakan dalam maserasi ini adalah etanol. Etanol sebagai pelarut

polar yang dapat melarutkan senyawa yang bersifar polar seperti flavonoid dengan

mekanisme like dissolve like dan didukung oleh pernyataan Badan Pengawas Obat

dan Makanan (2004) dan Faraouq (2003) dalam Nurcholis (2008) bahwa etanol

merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi simplisia tanaman yang akan dijadikan

obat herbal.

9. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi dilakukan untuk memisahkan komponen yang terkandung

dalam ekstrak di mana komponen tersebut terdistribusi di antara dua fase, yaitu

fase diam dan fase gerak. Karakterisasi ekstrak yang dilakukan salah satunya

dengan melihat pola kromatogram yang diperoleh dari penelitian ini. Ekstrak daun

sirih merah, meniran, dan keladi tikus dielusi pada pelarut yang sesuai dengan

metode kromatografi lapis tipis. Metode ini mudah, cepat, tidak mahal, dan

memiliki kelebihan dibanding kromatografi kertas yang terbatas penggunaan fase

geraknya (Striegel & Hill, 1996).

Fase diam yang banyak digunakan adalah silika gel karena dapat

menghasilkan resolusi yang baik dan memiliki kemampuan untuk memisahkan

Page 22: Sistem Imun

22

semua golongan senyawa (Wall, 2005). Fase diam agar dapat memadamkan

flouresensi semua senyawa di bawah sinar UV254 haruslah mengandung indikator

flouresensi (Harbourne, 1987).

Fase gerak sebagai media transport komponen yang akan dipisahkan.

Komponen tersebut akan memisah dengan prinsip kapilaritas dan hasil gaya tarik

dari fase gerak dan gaya hambat dari penyerap (Sherma & Fried, 1999). Pelarut

yang digunakan tidak boleh sangat polar atau nonpolar. Pelarut yang terlalu polar

bisa menyebabkan bercak berekor sedangkan jika terlalu non polar, sampel akan

sulit terelusi.

E. Landasan Teori

Pengobatan penyakit pada saat ini mulai mengeksplorasi obat-obat dari

alam yang bisa digunakan untuk meningkatkan sistem imun. Tubuh membutuhkan

pertahanan yang baik untuk menghadapi serangan penyakit. Pertahanan tubuh

yang baik bisa diperoleh dari alam yang diinisiasi oleh senyawa yang bersifat

imunomodulator. Daun sirih merah, herba meniran, dan umbi keladi tikus

merupakan tanaman asli Indonesia yang dimanfaatkan secara luas untuk

pengobatan berbagai penyakit oleh masyarakat dan telah terbukti memiliki sifat

imunomodulator.

Penelitian Apriyanto (2011) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak

etanol daun sirih merah pada tikus dapat menaikkan indeks fagositosis makrofag,

tetapi tidak mempengaruhi proliferasi limfosit. Penelitian terdahulu juga telah

meneliti umbi keladi tikus yang memberikan efek imunomodulator. Menurut

Page 23: Sistem Imun

23

Nobakht (2010), senyawa utama yang terkandung dalam Typhonium flagelliforme

adalah alkaloid dan flavonoid, sebagaimana dilaporkan Karamina (2011) bahwa

senyawa flavonoid berperan dalam meningkatkan presentase sel T CD8+ pada

tikus yang dipejani doxorubicin. Penelitian Daulay (2012) ekstrak etanol keladi

tikus (Thyphonium flagelliforme) terbukti memiliki efek imunomodulator dengan

parameter kadar IL-10 dan TNF-α yang meningkat pada dosis tertentu yaitu 250

mg/kg dengan harga IC50 sebesar 632 µg/ml memiliki efek sitotoksik terhadap sel

T47D dan senyawa fenolik pada ekstrak tersebut dapat meningkatkan aktivitas sel

makrofag karena dapat menstimulasi pelepasan sitokin IL-12 dan IFN- γ (Shen

dan Louie, 1999).

Meniran dilaporkan mengandung golongan metabolit sekunder flavonoid,

terpenoid, alkaloid, dan steroid (Kardinan & Kusuma, 2004) yang diduga

berperan dalam aktvitas antibakteri. Penelitian Ibnul (2012) ekstrak meniran hijau

(Phyllanthus niruri ) meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag dan produksi

nitrit oksida yang meningkat pada mencit Balb/c. Penelitian mengenai uji

imunomodulator pada tiap ekstrak telah dilakukan, tetapi pengaruh kombinasi

ketiga ekstrak etanolik tersebut terhadap peningkatan sistem pertahanan tubuh

belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini diperlukan untuk

mengetahui pengaruh aktivitas kombinasi ketiga ekstrak tersebut terhadap

peningkatan sistem pertahanan tubuh yang dibandingkan dengan kontrol tanpa

perlakuan.

Page 24: Sistem Imun

24

F. Hipotesis

Pemberian kombinasi ekstrak etanolik herba meniran, umbi keladi tikus,

dan daun sirih merah mempengaruhi efek imunomodulator dengan parameter

peningkatan aktivitas fagositosis makrofag.