39
MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH Disusun Oleh : Alvin Ria Subekti Dosen Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag MATA KULIAH METODOLOGI STUDI ISLAM Program Studi III Perbankan Syari’ah/1/C STAIN Jurai Siwo Metro 2012/2013

SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Citation preview

Page 1: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

MAKALAH

METODOLOGI STUDI ISLAM

SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Disusun Oleh : Alvin Ria Subekti

Dosen Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag

MATA KULIAH METODOLOGI STUDI ISLAM

Program Studi III Perbankan Syari’ah/1/C

STAIN Jurai Siwo Metro

2012/2013

Page 2: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

BAB I

PENDAHULUAN

Pembukuan As Sunah atau Hadits

Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam berkaitan

dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah Ta‟ala, “Bacalah

dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang

mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa

yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-„Alaq: 1-5)

Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan

kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa

yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa

diantara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini

hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa

sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin

Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis hingga

menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab

dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.

Kemudian pada masa Nabi shallallahu „alaihi wasallam tulis-menulis sudah

tersebar luas, dimana Al-Qur‟an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca,

dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40

orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan

Page 3: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis

wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah,

Asy-Syifa‟ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa‟ad, Karimah binti Al-

Miqdad.

Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar.

Nabi shallallahu „alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa‟id bin Ash agar

mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah

bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan

Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.

Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian

menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya

penulisan hadits.

a. Riwayat yang melarang penulisan hadits

- Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi

wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau

shallallahu „alaihi wasallam bersabda, „Apa yang sedang kalian tulis?‟ Kami

menjawab, „hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.‟ Beliau berkata, „Apakah

kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian

melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.‟” (Diriwayatkan

dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)

Page 4: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits

- Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali

Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR.

Bukhari)

- Dari Anas bin Malik radhiyallahu „anhu berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi

wasallam bersabda, „Ikatlah ilmu dengan buku.‟” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam

Taqyidul Ilmi)

Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam

penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam

penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta

menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”

Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas‟ud, Zaid bin

Tsabit, Abu Musa, Abu Sa‟id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan

sahabat dan tabi‟in. Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali,

Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash. Para ulama telah memadukan dua

pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan

hadits sebagai berikut:

1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga

dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-

Qur‟an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur‟an

Page 5: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

telah banyak, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis

hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).

2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur‟an dalam

satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.

3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena

dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan

hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.

Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada

masa awal saja, kemudian ijma‟ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan

tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin

sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan,

tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”

Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah

shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan

adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu

menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.

Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan

pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk

melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:

Page 6: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur‟an telah dihafal oleh ribuan

orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan.

Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur‟an dengan hadits.

- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan

orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa

penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.

- Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah

terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut

Mu‟awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan

berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur‟an dengan

makna yang bukan sebenarnya.

Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena

Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil

pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin

Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan,

“Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah

Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”

Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh

Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul

Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu

„alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.

Page 7: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak

berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini

kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang

berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan

menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.

Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-

Rabi‟ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga

kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi‟in). Imam Malik

menyusun Al-Muwatha‟ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza‟I di

Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”

Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:

a. Al-Muwatha‟ karya Imam Malik bin Anas

b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan‟ani

c. As-Sunan karya Said bin Mansur

d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah

Page 8: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi

shallallahu „alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi‟in.

Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits

Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam.

Page 9: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian As Sunnah

As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup)

[Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul „Arab (17/89)]. Para Ulama bahasa

berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas

jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang

buruk? Yang benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan)

yang baik maupun yang buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini

adalah hadits Nabi Shalallahu‟alaihi wa salam.

Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu‟anhu,

bahwasanya Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam pernah bersabda:

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan

pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya

tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu

sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang

yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka

sedikitpun.”

Page 10: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741,

Sunan An-Nasa„i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203,

Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang

lainnya.

(Yakni), ketika Nabi shalallahu‟alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua,

yang baik (sunnah hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).

Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits

(muhaddits), sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih.

Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi

shalallahu‟alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat

(budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum

maupun sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].

Sedangkan menurut ahli ushul, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang

dinukil dari Nabi shalallahu‟alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari

Beliau shalallahu‟alaihi wa salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada

dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].

1As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang

bukan wajib. Maka jika dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara

1 Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 81

Page 11: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh

[Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].

Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu.

Karena yang mereka maksud dengan As Sunnah adalah ma‟na yang lebih luas

daripada yang dipaparkan para muhaddits, ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah

yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Qur‟an). Sedang sunnah

Rasulullah shallallahu‟alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam

masalah „aqidah maupun ibadah. Lawannya adalah bid‟ah.

Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai

dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu‟alaihi wa salam. Lalu bila

dikatakan si Fulan di atas bid‟ah, jika amalannya menyelisihi Al Kitab dan As

Sunnah atau salah satunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As

Sunnah dalam perkataan salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I‟tiqad,

meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan

pembahasannya dalam bidang I‟tiqad" [Lihat Al Amr bin Ma‟ruf wan Nahyu „Anil

Munkar (hal 77)]

Beliau rahimahullah mengatakan dalam Al Hamawiyah, ”As Sunnah adalah

semua yang Nabi shalallahu‟alaihi wa salam berada diatasnya, baik I‟tiqad, Iqtishad,

ucapan maupun perbuatan" [Al Hamawiyah hal 2]

Page 12: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Banyak „ulama yang belakangan

mengkhususkan As Sunnah kepada hal-hal yang berkaitan dengan I‟tiqad; karena dia

adalah pokok agama ini. Sedangkan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang

besar" [Lihat Jami‟ul Ulum wal Hikam (hal 249). Sebab itulah banyak tulisan tentang

makna ini dengan istilah As Sunnah, misalnya As Sunnah karya Imam Ahmad, As

Sunnah karya Abu Dawud As Sijistani, As Sunnah karya Ibnu Abi „Ashim „Abdullah

bin Imam Ahmad, dan As Sunnah karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, dan selainnya]

Aku (Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi) katakan: As Sunnah, jika

disebut secara mutlak dalam masalah „aqidah, yang dimaksud adalah dien (ajaran

Islam) yang sempurna, bukan sebagaimana di istilahkan oleh „ulama ahli hadits, ahli

ushul maupun fiqih.

Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan, "As Sunnah adalah jalan yang

dilalui, termasuk di dalamnya adalah berpegang dengan semua yang Nabi

shalallahu‟alaihi wa salam dan para Khulafa‟ur rasyidin berada diatasnya, baik

I‟tiqad, amalan, maupun ucapan.” [Lihat Ibid (hal 262)]

Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan

persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum

dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-

Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber

hukum kedua setelah Al-Qur'an.

Page 13: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur‟an

sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa

dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan

sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)

Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang

bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya

(terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari‟at

bagi umat ini.

Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal,

bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari‟at Islam di semua sisi

kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan,

maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang

pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi‟i

rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas

tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih)

maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang

(shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur‟an dan As-

Sunnah.

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan

keluarnya. Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

Page 14: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya

akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh

karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan

sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya.

Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad

Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu

„anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

a. HADITS QUDSI

Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah

penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran

kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.

Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh

Nabi shallallaahu „alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah

ta‟ala.

Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :

Pertama, Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang

diriwayatkannya dari Allah „azza wa jalla”.

Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar

radliyallaahu „anhu dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan

dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku

Page 15: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk

kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.

Kedua, Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,“Allah berfirman….”.

Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu

bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,“Allah ta‟ala berfirman :

Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila

dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.

Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur‟an

Al-Qur‟an itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi

maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam.

Membaca Al-Qur‟an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan

membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.

Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur‟an, sedangkan dalam hadits

qudsi tidak disyaratkan mutawatir.

b. HADITS SHAHIH

Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya.

Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya

tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak

mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai

berikut :

Page 16: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.

2. Harus bersambung sanadnya

3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.

4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)

5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)

6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.

Semoga Allah subhanahu wa ta‟ala menanamkan kepada kita kecintaan

kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa

berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan

mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul

hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

Page 17: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

2. Sejarah Singkat Penulisan dan Pembukuan Hadits

Pada masa permulaan Al-Qur‟an masih diturunkan, Nabi shallallahu „alaihi

wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur

dengan penulisan Al-Qur‟an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-

Qur‟an, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat

Al-Qur‟an.

Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu „alaihi wa

sallam:

“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis

sesuatu dariku selain Al-Qur‟an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku,

tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa

berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat

duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam

yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain

yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada „amulfath (tahun. VIII

H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah”.

Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam kepada

sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa

sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.

Page 18: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits

masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur‟an. Keadaan demikian ini berlangsung

sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah

Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di

daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.

Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau

menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini

antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang

ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.

Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin

Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena

setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.

Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama

menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian

diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.

Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh

ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang

besar seperti kitab Al-Muwaththa‟, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

Page 19: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

3. Kedudukan sunah dalam sistem hukum Islam

Hukum Islam bertumpu dan bersumber dari dua macam sumber hukum

utama, yaitu Al-qur‟an dan sunnah (Hadits). Al-qur‟an adalah kalamulloh yang

diturunkan pada nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan

membacanya merupakan suatu amal ibadah. Alloh SWT menurunkan Al-qur‟an

kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Diturunkan

melalui pengemban amanat wahyu (Jibril as) dengan lafadz-lafadz yang asli dan

diwahyukan kepada nabi Muhammad secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada

waktu tidur, bukan ilham (bisikan pada jiwa) kemudian Al-qur‟an disampaikan

kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Adapun isi Al-qur‟an

terdiri dari perintah Alloh, larangan Alloh dan cerita dari Alloh.

Sedangkan sunnah dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan,

perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya.

Yang dimaksud persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau

melakukan perbuatan dihadapan Rosul dan beliau tidak mengingkarinya, atau

perkataan dan perbuatan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya

sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak

memberikan komentar dan tidak ingkarnya itu merupakan persetujuan (takrir).

Fungsi hadits terhadap Al-qur‟an itu sendiri sebagai pensyarah, yaitu merinci

hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam Al-qur‟an, memberikan pembatas

ayat-ayat yang masih mutlak, menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum,

Page 20: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang

dikemukakan secara ringkas. Nabi dalam memberikan penjelasan mengenai Al-

qur‟an terkadang dengan ucapan, perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah

satu contoh :

Di dalam Al-qur‟an tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, tata cara

sholat, kemudian sunnahlah yang menjelaskannya.

Juga di dalam Al-qur‟an tidak dijelaskan tentan kapan zakat itu diwajibkan, berapa

nishobnya, berapa banyaknya yang harus dikeluarkan zakatnya, maka sunnahlah yang

menerangkan secara rinci tentang hal itu dan masih banyak lagi contoh-contoh lain

yang kita temui.

Mengingat pentingnya hadits (sunnah) dalam syariat Islam dan fungsinya

terhadap Al-qur‟an para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits

Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap

Al-qur‟an. Mereka menghafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan

mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari sunnah tersebut,

termasuk mereka tahu berapa besar pahala dari menyampaikan sunnah dari

Rosululloh. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh

menyampaikan hadits (sunnah) yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa

hadits (sunnah) itu merupakan ajaran agama yang wajib disampaikan kepada segenap

manusia dan syariat universal yang abadi.

4. Penulisan hadits zaman Rosululloh dan sesudahnya

Page 21: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Di masa Rosululloh masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti

umum seperti Al-qur‟an. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1. Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka,

disamping tidak lengkapnya peralatan tulis menulis yang mereka miliki.

2. Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda: “Janganlah kalian menulis

sesuatu apapun (yang kamu terima dariku) selain Al-qur‟an, barang siapa yang telah

menulis sesuatu selain Al-qur‟an hendaklah dihapus”. (HR Muslim)

Larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits

dengan Al-qu‟an atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Al-qur‟an.

Atau larangan penulisan hadits itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya

kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa

sunnah dengan Al-qur‟an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis

atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu diperbolehkan, dan dalam

pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu

diijinkan.

Tidak berselang lama setelah Rosululloh berpulang kehadirat Alloh, para

penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabi‟in bermunculan. Khalifah Umar bin

Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para

sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Alloh

belum menghendaki ide Khalifah Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar

bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar bin

Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabi‟in yang

diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di

Madinah wafat pada tahun 120 H)

Page 22: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Selain Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri

(ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada 124 H). Khalifah Umar bin Abdul

Aziz mengintruksikan pembukuan karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya

hadits (sunnah) karena banyak sahabat yang telah meninggal atau karena khawatir

tercampurnya antara hadits asli dan hadits bathil. Karena pada masa itu telah meluas

dan dianut berbagai ras suku bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk

agama Islam, disamping itu bermunculan kelompok Atheis yang ingin

menghancurkan agama Islam dengan membuat hadits palsu yang menyesatkan demi

mengukung kepentingan mereka.

Setelah generasi (tabaqah) A-Zuhri dan Abu Bakar ibnu Hazm berlalu,

muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat

sebagai ulama yang menulis hadits, antara lain ialah :

1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di

Mekah

2. Ma‟mar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman

3. Abu Amr Abdur Rahman al Azwa‟i, wafat tahun 156 H di Syam

4. Sa‟id bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H

5. Rabi‟ bin Sabih, wafat tahun 160 H

6. Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah

7. Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H

Page 23: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

8. Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah

9. Abu Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah

10. Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan

11. Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit

12. Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H

13. Al Lais bin Sa‟d, wafat tahun 175 H di Mesir

Pada masa ini pembukuan hadits masih campur aduk antara hadits dengan

pendapat sahabat dan fatwa tabi‟in tapi sayang karya-karya zaman itu hanya karya

Imam Malik Muwattho yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang

bertebaran di berbagai perpustakan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan

serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti penyerbuan dan perampasan

pasukan Tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah

dibukukan itu.

Zaman keemasan pembukuan hadits yaitu pada tahun 200-300 H. Pada abad

ini hanya pembukuan hadits rosululloh saja bahkan ada yang menghimpun kitab

musnad dan sebagian penyusun hadits yang dalam susunannya mengklasifikasikan

sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya). Ulama terbaik yang

menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hambal.

Page 24: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Pengarang lainnya yang mengikuti sistem musnad ini mengklasifikasikan

sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf

pertama namanya huruf “alif”, huruf “ba” dan seterusnya.

Pada masa itu ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara demikian ialah

Imam Abul Qosim at Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al Mu‟jamul Kabir.

Ulama lainnya yang juga menyusun hadist dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin

Rawahaih (wafat 238 H), Utsman bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Ya‟qub ibnu Abi

Syaibah (wafat 263 H) dan lain-lain.

Di samping itu pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya

menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya. Ia memulai penysusunannya dengan

kitab sholat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian dan seterusnya. Para ulama penulis

dengan sistem ini pun di antaranya ada yang :

1. Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, seperti

Imam Bukhari dan Muslim

2. Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, tetapi ia

memasukkan pula hadits shohih dan hasan, bahkan hadits da‟if sekalipun. Sewaktu-

waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang dimuatnya itu.

Namun pada saat yang lain, mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka

telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara lengkap dan

menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-

sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shohih, hasan dan da‟if.

Tugas membedakan hadits ini bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar

hadits pada waktu itu terlebih lagi bagi para ulama. Contoh utama bagi kitab hadits

yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para

Page 25: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

penghimpun sunan (hadits) yang keempat yaitu Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟i

dan Ibnu Majah.

Abad ketiga Hijriah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah

(tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama

kenamaan bidang hadits dan kritikus hadits. Dan pada masa ini pulalah terbitnya sinar

terang “Kutubus sittah” dan kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali

sebagian hadits nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, nujtahid,

ulama dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu,

ahli pendidikan, ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka

perlukan.

5. PEMBUKUAN SUNNAH

Dimasa rasululloh SAW masih hidup, hadist belum dibukukan seperti AL-

Qur‟an, hal ini disebabkan 2 faktor, yaitu :

1. Kuatnya hapalan para sahabat & kecerdasan akal mereka, disamping tidak

lengkapnya alat² tulis pada zaman itu.

2. Larangan dari rasululloh SAW, “ janganlah kamu menulis sesuatu yang kamu

terima dariku, selain Al-Qur‟an, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Al-

Qur‟an hendaklah dihapus. “ (HR. Muslim)

Adanya Nabi memberikan larnagan seperti itu mengandung 3 pengertian :

Page 26: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

· Adanya sebuah kekhawatiran akan tercampurnya antara hadist dengan Al-

Qur‟an, atau

· Kekhawatiran Nabi bahwa dengan penulisan hadist itu akan membuat mereka

lalai terhadap Al-Qur‟an, atau

· Larangan itu ditujukan kepada orang² yang dipercaya kekuatan hafalannya.

Tapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dapat

tercampur

aduk dengan Al-Qur‟an, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka

takut lupa akan penulisan hadist maka penulisan hadist/sunnah itu diperbolehkan.

Tidak berselang lama setelah Rasululloh berpulang kehadirat Allah, para

penulis hadist dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan. Pada masa

kekhalifaan Uman bin Khatab r.a muncul usulan dari Umar untuk membukukan

hadist, beliau mengumpulkanp ara sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk

membukukan hadist. Namun, rupanya Allah belum menghendaki hal tersebut,

khalifah Umar bin Khatab r.a berpulang kehadirat Allah sebelum bisa memenuhi

keinginannya tersebut.

Pembukuan hadist baru bisa terlaksana setelah kekhalifaan Umar bin Abdul

Azis (tahun 99 H). Beliau menginstruksikan pembukuan hadist pada 2 orang yaitu :

- Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, dia adalah seorang ahli fiqih

dari kalangan tabi‟in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Azis sebagai gubernur dan

godi (juru hukum) di Madinah, dan wafat pada 120 H.

- Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri, dia adalah ulama

terkemuka di Hijaz dan Syam, dan wafat pada 124 H.

Page 27: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Setelah generasi Abu Bakar Ibnu Hazm & Az-Zuhri berlalu muncullah generasi

berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadist. Namun pada masa ini,

pembukuan hadist masih campur aduk antara hadist dengan pendapat sahabata dan

fatwa tabi‟in. Sayangnya karya² zaman itu hanya karya Imam Malik “ Muwattho “

yang kita jumpai, sedangkan yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di

berbagai perpustakaan, itu pun di perpustakaan barat akibat adanya perang salib yang

menimpa negeri Islam pada masa itu.

Zaman keemasan pembukuan hadist yaitu pada tahun 200-300 H, pada masa

ini hanya pembukuan hadist rasulullah saja bahakan ada yang menghimpun kitab

musnad & sebagian penyusun hadist yang dalam susunannya mengklasifikasikan

sahabt menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya), ulama terbaik yang

menyususn kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal

Pengarang lainnya yang mengikuti system Musnad ini mengklasifikasikan

sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang inisial

namanya dimulai huruf alif & seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun berdasarkan

cara ini ialah Imam Abdul Qasim at-Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al-

Mujamul Kabir.

Disamping itu ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika

bab fikih, dsb. Ia memulai penyusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa, haji lalu

bab gadaian dst.

Para penulis dengan system fikih ini pun, diantaranya ada yang :

- Membatasi kitab²nya dengan hanya membuat hadist shohih semata, seperti

Imam Bukhori dan Muslim

Page 28: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

- Tidak membatasi kitabnya, bukan hanya hadist shohih saja tapi juga Hasan,

bahkan da‟if sekalipun. Terkadang mereka menerangkan pula nilai² hadist yang

dimuatnya, dan terkadang juga tidak. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para

pembaca untuk mengkritik & meneliti sanad² serta matannya, lalu membedakan

hadist shahih, hasan dan da‟if. Contoh : Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟I dan

Ibnu Majjah.

Tahun ke- 300 H ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh)

hadist & pengumpulannya. Pada tahun ini muncul sejumlah besar ulama terkenal

bidang hadist & kritikus hadist.

6. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah

Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut

masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam

penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka

yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu

„Abbas, Ibnu Mas‟ud dan Abu Hurairah.”

As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun

tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan

zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-

lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

dikumpulkan pada masa „Umar bin „Abdul „Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu

Bakar bin Muhammad bin „Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-

Page 29: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu

periwayatan hadits. Kata khalifah „Umar bin „Abdul „Aziz kepada Abu Bakar bin

Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu

tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu

dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.” [1]

Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun

memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits,

untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi.

Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:

.

“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula

dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]

Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu

'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala

perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya

(sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan

didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in

Page 30: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan

didengar dan dicatat oleh Tabi‟ut Tabi‟in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-

hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan,

didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti

Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi‟i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang

lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang

akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.

Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin „Amr bin Hazm

(wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H),

datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara

resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli

Hadits, di antaranya ialah:

1. Ibnu Juraij di Makkah

2. Sa'id bin Arubah

3. Al-Auza‟i di Syam

4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah

5. Imam Malik bin Anas di Madinah

6. „Abdullah Ibnul Mubarak

7. Hammad bin Salamah di Bashrah

8. Husyaim

9. Imam asy-Syafi'i

Page 31: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabi‟in yang hidup pada zaman

kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan

Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur

pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa‟ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas.

Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka

ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara

resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:

Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang

pertama kali mengumpulkannya ialah:

• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th.

256 H)

• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)

Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja

tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab

mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha‟if, bahkan ada pula yang

maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :

1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)

2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)

3. Shahih Muslim (204 - 261 H)

Page 32: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)

5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)

6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)

7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)

Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:

1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)

2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh

ath-Thabrani (260-340 H)

3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)

4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)

Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai

perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga

tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh

para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya.

Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga

dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada

orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama

telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab

khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan

Page 33: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang

benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.

Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan

dari Kutubus Sab‟ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha'if, kitab-

kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:

1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if S Sunan at-Tirmidzi,

2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,

3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,

4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,

5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha‟if al-Adabul Mufrad,

6. Shahih Mawariduzh Zham‟an dan Dha‟if-nya,

7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha‟if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.

Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi

wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabi‟ut Tabi'in dalam penulisan hadits dan

pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang

yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-

Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak

hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Page 34: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

7. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat

Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :

1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari

jalan „Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari

Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin „Abdillah

dari „Abdullah bin „Umar.

Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :

a. Al-Wadhiin bin „Atha‟ jelek hafalannya

b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima

kalau ada mutabi‟nya.”

c. Abi Hadhir tersebut lemah

2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib

Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi

Dzi'bin, dari Sa‟id bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir

bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari

Page 35: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu

Hurairah.

Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan

hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya

lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak

pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi

Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits

ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada

Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak

sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini

termasuk mursal.

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para

penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai

dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan

untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.

Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan

bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak

mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama

Allah dan syari‟at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-

an, bukankah ba-nyak hukum syari‟at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?

Page 36: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah

secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam

Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan

jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala

hukum mu'amalah dan ibadah?

Abu Muhammad „Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang

dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai

pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan

hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat

rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah

penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas,

perak, kambing, unta, dan sapi?

Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah,

cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan

larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi

pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci

tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang

kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual

beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua

ke-tentuan fiqh lainnya?

Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila

rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk

itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi

Page 37: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan

ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada

hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

aSekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di

dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang

tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan

merasa cukup shalat satu raka‟at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak

akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.

Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya.

Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma‟

ummat Islam. Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang

disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal

nash-nashnya ada, mereka menurut ijma‟ ulama termasuk orang fasik.

Page 38: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup)

[Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul „Arab (17/89)]. As-Sunnah atau Al-

Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur‟an sebagaimana disebutkan dalam

sabda Rasulullah :

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa

dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan

sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)

Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang

bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya

(terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari‟at

bagi umat ini. Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi

awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari‟at Islam di semua sisi

kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan,

maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya.

Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad

maupun qiyas. Imam Syafi‟i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata,

“Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul

menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah

“Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas

jelas bersandar kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

Page 39: SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

DAFTAR PUSTAKA