Upload
erik-pujianto
View
52
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH
Citation preview
MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH
Disusun Oleh : Alvin Ria Subekti
Dosen Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag
MATA KULIAH METODOLOGI STUDI ISLAM
Program Studi III Perbankan Syari’ah/1/C
STAIN Jurai Siwo Metro
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pembukuan As Sunah atau Hadits
Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam berkaitan
dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah Ta‟ala, “Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-„Alaq: 1-5)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan
kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa
yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa
diantara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa
sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin
Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab
dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Kemudian pada masa Nabi shallallahu „alaihi wasallam tulis-menulis sudah
tersebar luas, dimana Al-Qur‟an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca,
dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40
orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan
Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis
wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah,
Asy-Syifa‟ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa‟ad, Karimah binti Al-
Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar.
Nabi shallallahu „alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa‟id bin Ash agar
mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah
bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan
Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian
menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya
penulisan hadits.
a. Riwayat yang melarang penulisan hadits
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau
shallallahu „alaihi wasallam bersabda, „Apa yang sedang kalian tulis?‟ Kami
menjawab, „hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.‟ Beliau berkata, „Apakah
kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian
melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.‟” (Diriwayatkan
dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
- Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali
Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR.
Bukhari)
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu „anhu berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam bersabda, „Ikatlah ilmu dengan buku.‟” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam
Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam
penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam
penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta
menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas‟ud, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa, Abu Sa‟id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan
sahabat dan tabi‟in. Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali,
Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash. Para ulama telah memadukan dua
pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan
hadits sebagai berikut:
1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga
dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-
Qur‟an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur‟an
telah banyak, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis
hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur‟an dalam
satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena
dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan
hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada
masa awal saja, kemudian ijma‟ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan
tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin
sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan,
tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah
shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan
adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu
menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan
pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk
melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur‟an telah dihafal oleh ribuan
orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur‟an dengan hadits.
- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan
orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa
penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
- Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah
terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut
Mu‟awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan
berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur‟an dengan
makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena
Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil
pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin
Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan,
“Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh
Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul
Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak
berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini
kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang
berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan
menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-
Rabi‟ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga
kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi‟in). Imam Malik
menyusun Al-Muwatha‟ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza‟I di
Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
a. Al-Muwatha‟ karya Imam Malik bin Anas
b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan‟ani
c. As-Sunan karya Said bin Mansur
d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi
shallallahu „alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi‟in.
Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian As Sunnah
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup)
[Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul „Arab (17/89)]. Para Ulama bahasa
berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas
jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang
buruk? Yang benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan)
yang baik maupun yang buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini
adalah hadits Nabi Shalallahu‟alaihi wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu‟anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam pernah bersabda:
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741,
Sunan An-Nasa„i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203,
Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang
lainnya.
(Yakni), ketika Nabi shalallahu‟alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua,
yang baik (sunnah hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).
Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits
(muhaddits), sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih.
Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi
shalallahu‟alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat
(budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum
maupun sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].
Sedangkan menurut ahli ushul, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang
dinukil dari Nabi shalallahu‟alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari
Beliau shalallahu‟alaihi wa salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada
dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].
1As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang
bukan wajib. Maka jika dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara
1 Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 81
tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh
[Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].
Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu.
Karena yang mereka maksud dengan As Sunnah adalah ma‟na yang lebih luas
daripada yang dipaparkan para muhaddits, ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah
yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Qur‟an). Sedang sunnah
Rasulullah shallallahu‟alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam
masalah „aqidah maupun ibadah. Lawannya adalah bid‟ah.
Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai
dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu‟alaihi wa salam. Lalu bila
dikatakan si Fulan di atas bid‟ah, jika amalannya menyelisihi Al Kitab dan As
Sunnah atau salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As
Sunnah dalam perkataan salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I‟tiqad,
meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan
pembahasannya dalam bidang I‟tiqad" [Lihat Al Amr bin Ma‟ruf wan Nahyu „Anil
Munkar (hal 77)]
Beliau rahimahullah mengatakan dalam Al Hamawiyah, ”As Sunnah adalah
semua yang Nabi shalallahu‟alaihi wa salam berada diatasnya, baik I‟tiqad, Iqtishad,
ucapan maupun perbuatan" [Al Hamawiyah hal 2]
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Banyak „ulama yang belakangan
mengkhususkan As Sunnah kepada hal-hal yang berkaitan dengan I‟tiqad; karena dia
adalah pokok agama ini. Sedangkan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang
besar" [Lihat Jami‟ul Ulum wal Hikam (hal 249). Sebab itulah banyak tulisan tentang
makna ini dengan istilah As Sunnah, misalnya As Sunnah karya Imam Ahmad, As
Sunnah karya Abu Dawud As Sijistani, As Sunnah karya Ibnu Abi „Ashim „Abdullah
bin Imam Ahmad, dan As Sunnah karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, dan selainnya]
Aku (Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi) katakan: As Sunnah, jika
disebut secara mutlak dalam masalah „aqidah, yang dimaksud adalah dien (ajaran
Islam) yang sempurna, bukan sebagaimana di istilahkan oleh „ulama ahli hadits, ahli
ushul maupun fiqih.
Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan, "As Sunnah adalah jalan yang
dilalui, termasuk di dalamnya adalah berpegang dengan semua yang Nabi
shalallahu‟alaihi wa salam dan para Khulafa‟ur rasyidin berada diatasnya, baik
I‟tiqad, amalan, maupun ucapan.” [Lihat Ibid (hal 262)]
Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-
Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Qur'an.
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur‟an
sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa
dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan
sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya
(terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari‟at
bagi umat ini.
Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal,
bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari‟at Islam di semua sisi
kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan,
maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang
pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi‟i
rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas
tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih)
maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang
(shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan
keluarnya. Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya
akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh
karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan
sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya.
Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad
Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu
„anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)
a. HADITS QUDSI
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah
penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran
kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh
Nabi shallallaahu „alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah
ta‟ala.
Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang
diriwayatkannya dari Allah „azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar
radliyallaahu „anhu dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan
dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku
telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk
kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,“Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu
bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda,“Allah ta‟ala berfirman :
Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila
dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur‟an
Al-Qur‟an itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi
maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam.
Membaca Al-Qur‟an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan
membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur‟an, sedangkan dalam hadits
qudsi tidak disyaratkan mutawatir.
b. HADITS SHAHIH
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya.
Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya
tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak
mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut :
1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
Semoga Allah subhanahu wa ta‟ala menanamkan kepada kita kecintaan
kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa
berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan
mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul
hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.
2. Sejarah Singkat Penulisan dan Pembukuan Hadits
Pada masa permulaan Al-Qur‟an masih diturunkan, Nabi shallallahu „alaihi
wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur
dengan penulisan Al-Qur‟an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-
Qur‟an, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat
Al-Qur‟an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam:
“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis
sesuatu dariku selain Al-Qur‟an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku,
tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat
duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain
yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada „amulfath (tahun. VIII
H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah”.
Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam kepada
sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits
masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur‟an. Keadaan demikian ini berlangsung
sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah
Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di
daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau
menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini
antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang
ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena
setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama
menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian
diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh
ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang
besar seperti kitab Al-Muwaththa‟, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
3. Kedudukan sunah dalam sistem hukum Islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber dari dua macam sumber hukum
utama, yaitu Al-qur‟an dan sunnah (Hadits). Al-qur‟an adalah kalamulloh yang
diturunkan pada nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan
membacanya merupakan suatu amal ibadah. Alloh SWT menurunkan Al-qur‟an
kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Diturunkan
melalui pengemban amanat wahyu (Jibril as) dengan lafadz-lafadz yang asli dan
diwahyukan kepada nabi Muhammad secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada
waktu tidur, bukan ilham (bisikan pada jiwa) kemudian Al-qur‟an disampaikan
kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Adapun isi Al-qur‟an
terdiri dari perintah Alloh, larangan Alloh dan cerita dari Alloh.
Sedangkan sunnah dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan,
perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya.
Yang dimaksud persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau
melakukan perbuatan dihadapan Rosul dan beliau tidak mengingkarinya, atau
perkataan dan perbuatan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya
sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak
memberikan komentar dan tidak ingkarnya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadits terhadap Al-qur‟an itu sendiri sebagai pensyarah, yaitu merinci
hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam Al-qur‟an, memberikan pembatas
ayat-ayat yang masih mutlak, menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum,
menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang
dikemukakan secara ringkas. Nabi dalam memberikan penjelasan mengenai Al-
qur‟an terkadang dengan ucapan, perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah
satu contoh :
Di dalam Al-qur‟an tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, tata cara
sholat, kemudian sunnahlah yang menjelaskannya.
Juga di dalam Al-qur‟an tidak dijelaskan tentan kapan zakat itu diwajibkan, berapa
nishobnya, berapa banyaknya yang harus dikeluarkan zakatnya, maka sunnahlah yang
menerangkan secara rinci tentang hal itu dan masih banyak lagi contoh-contoh lain
yang kita temui.
Mengingat pentingnya hadits (sunnah) dalam syariat Islam dan fungsinya
terhadap Al-qur‟an para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits
Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap
Al-qur‟an. Mereka menghafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan
mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari sunnah tersebut,
termasuk mereka tahu berapa besar pahala dari menyampaikan sunnah dari
Rosululloh. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh
menyampaikan hadits (sunnah) yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa
hadits (sunnah) itu merupakan ajaran agama yang wajib disampaikan kepada segenap
manusia dan syariat universal yang abadi.
4. Penulisan hadits zaman Rosululloh dan sesudahnya
Di masa Rosululloh masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti
umum seperti Al-qur‟an. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
1. Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka,
disamping tidak lengkapnya peralatan tulis menulis yang mereka miliki.
2. Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda: “Janganlah kalian menulis
sesuatu apapun (yang kamu terima dariku) selain Al-qur‟an, barang siapa yang telah
menulis sesuatu selain Al-qur‟an hendaklah dihapus”. (HR Muslim)
Larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits
dengan Al-qu‟an atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Al-qur‟an.
Atau larangan penulisan hadits itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya
kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa
sunnah dengan Al-qur‟an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis
atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu diperbolehkan, dan dalam
pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu
diijinkan.
Tidak berselang lama setelah Rosululloh berpulang kehadirat Alloh, para
penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabi‟in bermunculan. Khalifah Umar bin
Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para
sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Alloh
belum menghendaki ide Khalifah Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar
bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabi‟in yang
diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di
Madinah wafat pada tahun 120 H)
Selain Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri
(ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada 124 H). Khalifah Umar bin Abdul
Aziz mengintruksikan pembukuan karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya
hadits (sunnah) karena banyak sahabat yang telah meninggal atau karena khawatir
tercampurnya antara hadits asli dan hadits bathil. Karena pada masa itu telah meluas
dan dianut berbagai ras suku bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk
agama Islam, disamping itu bermunculan kelompok Atheis yang ingin
menghancurkan agama Islam dengan membuat hadits palsu yang menyesatkan demi
mengukung kepentingan mereka.
Setelah generasi (tabaqah) A-Zuhri dan Abu Bakar ibnu Hazm berlalu,
muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat
sebagai ulama yang menulis hadits, antara lain ialah :
1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di
Mekah
2. Ma‟mar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman
3. Abu Amr Abdur Rahman al Azwa‟i, wafat tahun 156 H di Syam
4. Sa‟id bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H
5. Rabi‟ bin Sabih, wafat tahun 160 H
6. Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah
7. Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H
8. Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah
9. Abu Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah
10. Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan
11. Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit
12. Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H
13. Al Lais bin Sa‟d, wafat tahun 175 H di Mesir
Pada masa ini pembukuan hadits masih campur aduk antara hadits dengan
pendapat sahabat dan fatwa tabi‟in tapi sayang karya-karya zaman itu hanya karya
Imam Malik Muwattho yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang
bertebaran di berbagai perpustakan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan
serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti penyerbuan dan perampasan
pasukan Tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah
dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadits yaitu pada tahun 200-300 H. Pada abad
ini hanya pembukuan hadits rosululloh saja bahkan ada yang menghimpun kitab
musnad dan sebagian penyusun hadits yang dalam susunannya mengklasifikasikan
sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya). Ulama terbaik yang
menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hambal.
Pengarang lainnya yang mengikuti sistem musnad ini mengklasifikasikan
sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf
pertama namanya huruf “alif”, huruf “ba” dan seterusnya.
Pada masa itu ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara demikian ialah
Imam Abul Qosim at Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al Mu‟jamul Kabir.
Ulama lainnya yang juga menyusun hadist dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin
Rawahaih (wafat 238 H), Utsman bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Ya‟qub ibnu Abi
Syaibah (wafat 263 H) dan lain-lain.
Di samping itu pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya
menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya. Ia memulai penysusunannya dengan
kitab sholat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian dan seterusnya. Para ulama penulis
dengan sistem ini pun di antaranya ada yang :
1. Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, seperti
Imam Bukhari dan Muslim
2. Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, tetapi ia
memasukkan pula hadits shohih dan hasan, bahkan hadits da‟if sekalipun. Sewaktu-
waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang dimuatnya itu.
Namun pada saat yang lain, mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka
telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara lengkap dan
menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-
sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shohih, hasan dan da‟if.
Tugas membedakan hadits ini bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar
hadits pada waktu itu terlebih lagi bagi para ulama. Contoh utama bagi kitab hadits
yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para
penghimpun sunan (hadits) yang keempat yaitu Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟i
dan Ibnu Majah.
Abad ketiga Hijriah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah
(tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama
kenamaan bidang hadits dan kritikus hadits. Dan pada masa ini pulalah terbitnya sinar
terang “Kutubus sittah” dan kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali
sebagian hadits nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, nujtahid,
ulama dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu,
ahli pendidikan, ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka
perlukan.
5. PEMBUKUAN SUNNAH
Dimasa rasululloh SAW masih hidup, hadist belum dibukukan seperti AL-
Qur‟an, hal ini disebabkan 2 faktor, yaitu :
1. Kuatnya hapalan para sahabat & kecerdasan akal mereka, disamping tidak
lengkapnya alat² tulis pada zaman itu.
2. Larangan dari rasululloh SAW, “ janganlah kamu menulis sesuatu yang kamu
terima dariku, selain Al-Qur‟an, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Al-
Qur‟an hendaklah dihapus. “ (HR. Muslim)
Adanya Nabi memberikan larnagan seperti itu mengandung 3 pengertian :
· Adanya sebuah kekhawatiran akan tercampurnya antara hadist dengan Al-
Qur‟an, atau
· Kekhawatiran Nabi bahwa dengan penulisan hadist itu akan membuat mereka
lalai terhadap Al-Qur‟an, atau
· Larangan itu ditujukan kepada orang² yang dipercaya kekuatan hafalannya.
Tapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dapat
tercampur
aduk dengan Al-Qur‟an, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka
takut lupa akan penulisan hadist maka penulisan hadist/sunnah itu diperbolehkan.
Tidak berselang lama setelah Rasululloh berpulang kehadirat Allah, para
penulis hadist dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan. Pada masa
kekhalifaan Uman bin Khatab r.a muncul usulan dari Umar untuk membukukan
hadist, beliau mengumpulkanp ara sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk
membukukan hadist. Namun, rupanya Allah belum menghendaki hal tersebut,
khalifah Umar bin Khatab r.a berpulang kehadirat Allah sebelum bisa memenuhi
keinginannya tersebut.
Pembukuan hadist baru bisa terlaksana setelah kekhalifaan Umar bin Abdul
Azis (tahun 99 H). Beliau menginstruksikan pembukuan hadist pada 2 orang yaitu :
- Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, dia adalah seorang ahli fiqih
dari kalangan tabi‟in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Azis sebagai gubernur dan
godi (juru hukum) di Madinah, dan wafat pada 120 H.
- Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri, dia adalah ulama
terkemuka di Hijaz dan Syam, dan wafat pada 124 H.
Setelah generasi Abu Bakar Ibnu Hazm & Az-Zuhri berlalu muncullah generasi
berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadist. Namun pada masa ini,
pembukuan hadist masih campur aduk antara hadist dengan pendapat sahabata dan
fatwa tabi‟in. Sayangnya karya² zaman itu hanya karya Imam Malik “ Muwattho “
yang kita jumpai, sedangkan yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di
berbagai perpustakaan, itu pun di perpustakaan barat akibat adanya perang salib yang
menimpa negeri Islam pada masa itu.
Zaman keemasan pembukuan hadist yaitu pada tahun 200-300 H, pada masa
ini hanya pembukuan hadist rasulullah saja bahakan ada yang menghimpun kitab
musnad & sebagian penyusun hadist yang dalam susunannya mengklasifikasikan
sahabt menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya), ulama terbaik yang
menyususn kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal
Pengarang lainnya yang mengikuti system Musnad ini mengklasifikasikan
sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang inisial
namanya dimulai huruf alif & seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun berdasarkan
cara ini ialah Imam Abdul Qasim at-Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al-
Mujamul Kabir.
Disamping itu ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika
bab fikih, dsb. Ia memulai penyusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa, haji lalu
bab gadaian dst.
Para penulis dengan system fikih ini pun, diantaranya ada yang :
- Membatasi kitab²nya dengan hanya membuat hadist shohih semata, seperti
Imam Bukhori dan Muslim
- Tidak membatasi kitabnya, bukan hanya hadist shohih saja tapi juga Hasan,
bahkan da‟if sekalipun. Terkadang mereka menerangkan pula nilai² hadist yang
dimuatnya, dan terkadang juga tidak. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para
pembaca untuk mengkritik & meneliti sanad² serta matannya, lalu membedakan
hadist shahih, hasan dan da‟if. Contoh : Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟I dan
Ibnu Majjah.
Tahun ke- 300 H ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh)
hadist & pengumpulannya. Pada tahun ini muncul sejumlah besar ulama terkenal
bidang hadist & kritikus hadist.
6. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut
masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam
penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka
yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu
„Abbas, Ibnu Mas‟ud dan Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun
tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-
lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dikumpulkan pada masa „Umar bin „Abdul „Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu
Bakar bin Muhammad bin „Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu
periwayatan hadits. Kata khalifah „Umar bin „Abdul „Aziz kepada Abu Bakar bin
Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu
tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu
dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.” [1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun
memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits,
untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:
.
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula
dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala
perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya
(sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan
didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in
yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan
didengar dan dicatat oleh Tabi‟ut Tabi‟in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan,
didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti
Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi‟i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang
lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang
akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin „Amr bin Hazm
(wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H),
datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara
resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli
Hadits, di antaranya ialah:
1. Ibnu Juraij di Makkah
2. Sa'id bin Arubah
3. Al-Auza‟i di Syam
4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah
5. Imam Malik bin Anas di Madinah
6. „Abdullah Ibnul Mubarak
7. Hammad bin Salamah di Bashrah
8. Husyaim
9. Imam asy-Syafi'i
Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabi‟in yang hidup pada zaman
kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan
Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur
pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa‟ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas.
Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka
ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara
resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang
pertama kali mengumpulkannya ialah:
• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th.
256 H)
• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)
Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja
tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab
mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha‟if, bahkan ada pula yang
maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :
1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)
3. Shahih Muslim (204 - 261 H)
4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)
7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:
1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)
2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh
ath-Thabrani (260-340 H)
3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)
4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai
perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga
tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh
para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya.
Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga
dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada
orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama
telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab
khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan
demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang
benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan
dari Kutubus Sab‟ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha'if, kitab-
kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if S Sunan at-Tirmidzi,
2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,
3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,
4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,
5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha‟if al-Adabul Mufrad,
6. Shahih Mawariduzh Zham‟an dan Dha‟if-nya,
7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha‟if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabi‟ut Tabi'in dalam penulisan hadits dan
pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang
yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-
Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak
hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
7. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari
jalan „Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari
Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin „Abdillah
dari „Abdullah bin „Umar.
Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :
a. Al-Wadhiin bin „Atha‟ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima
kalau ada mutabi‟nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah
2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi
Dzi'bin, dari Sa‟id bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir
bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari
Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu
Hurairah.
Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan
hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya
lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak
pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi
Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits
ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada
Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak
sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini
termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para
penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai
dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan
untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan
bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak
mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama
Allah dan syari‟at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-
an, bukankah ba-nyak hukum syari‟at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah
secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam
Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan
jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala
hukum mu'amalah dan ibadah?
Abu Muhammad „Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang
dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai
pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan
hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat
rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah
penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas,
perak, kambing, unta, dan sapi?
Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah,
cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan
larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi
pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci
tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang
kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual
beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua
ke-tentuan fiqh lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila
rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk
itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan
ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
aSekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di
dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang
tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan
merasa cukup shalat satu raka‟at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak
akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya.
Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma‟
ummat Islam. Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang
disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal
nash-nashnya ada, mereka menurut ijma‟ ulama termasuk orang fasik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup)
[Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul „Arab (17/89)]. As-Sunnah atau Al-
Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur‟an sebagaimana disebutkan dalam
sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa
dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan
sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya
(terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari‟at
bagi umat ini. Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi
awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari‟at Islam di semua sisi
kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan,
maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya.
Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad
maupun qiyas. Imam Syafi‟i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata,
“Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul
menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah
“Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas
jelas bersandar kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA