19
Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing- masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk

Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah

dipidana;

c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan

berpengaruh pada badan yang lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-

masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan

penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model).

Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan

lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan,

itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan

Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua

adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana

kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini

ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum

pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif.

Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim

peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

Page 2: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan

Masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,

hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian

kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya

yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja

akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang

dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang

nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus

diperhatikan dalam penegakan hukum.

Model Integrated Criminal Justice System

Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan

normatif, administratif dan sosial.

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi

pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur

tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-

mata.

Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai

suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang

bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang

berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem

administrasi.

Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara

keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari

keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang

dipergunakan adalah sistim sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam

peradilan pidana, ialah :

Page 3: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan

pidana.

c. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian

perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of

justice”

Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam

lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatat. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk

suatu “integrated criminal justice system”.

Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau

keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :

1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka

hubungan antar lembaga penegak hukum.

2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat

vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati

pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari

jalannya sistim peradilan pidana.

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya

merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistim,

akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula

reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan

menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim

itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal

sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan

pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen

dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran

pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy)

Page 4: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang

hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.Dalam

cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system)

harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law

and it’s enforcement”.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik

sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja

untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-

gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam

ketergantungan.

Mardjono Reksodiputro dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana

demikian maka kerjasama erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu

keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal

tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:

a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing

instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi

(sebagai sub system); dan

c) karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi

tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidana.

Menteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system

sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen

administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah

dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama.”

Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub-sistim dari Peradilan Pidana,

mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang sama dengan sub-sistim lainnya, yaitu :

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Sebagai suatu lembaga Pembinaan, posisinya

sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistim Pemasyarakatan, yaitu:

rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, reintegrasi, terhadap narapidana, bahkan sampai

pada penanggulangan kejahatan. Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang

Page 5: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

dilakukan oleh Lemabaga Pemasyarakatan akan memungkinkan memberikan penilaian

yang bersifat positif dan negati. Penilaian positif apabila pembinaan narapidana

mencapai hasil maksimal yaitu narapidana itu menjadi baik kembali dalam masyarakat,

sedangkan penilaian itu negatif apabila, bekas narapidana yang pernah dibina itu

melakukan tindak pidana lagi (residivis).

A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP)

menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan

mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.

Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :

Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem

terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan

pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri

mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan

dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal

Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada

penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga: Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.

Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatannya.

Page 6: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan

sebagai berikut :

a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi

pelaku tindak pidana.

b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni

pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal

Policy).

c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan

masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).

Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan

makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi

struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial

syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal

sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme

administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak

hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung

makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang

berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam

menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan

empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu

Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak

dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :

a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing

instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.

b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi

(sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).

c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka

setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem

Peradilan Pidana.

Page 7: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun

hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami

sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di

masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang

dan bagaimana Hakim menerapkannya.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar

sistem.

1. Susbtansi.

Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981.

2. Struktur.

Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Kultur.

Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain

kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.

Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki

dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan

Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di

dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang

saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan

suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan

selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan

lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan

dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri

(subsystem of criminal justice system )

B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana

Page 8: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan

terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat

mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :

a) Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi.

Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam

menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

b) Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam

penanggulangan kejahatan.

c) Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah

dalam kebijakan sosial.

d) Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

C. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana

Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari

masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan,

penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah

diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada

masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan

mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah

dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun

pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah

dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga

Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap

narapidana. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara jelas dengan indikator

banyaknya residivis telah menunjukkan kegaglan dari LP itu sendiri, segagalan i9ni

bukan hanya oleh LP akan tetapi perlu dicermati ada apa dengan Sistem Peradilan

Pidana Itu?

Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-

output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang

terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output

adalah hasil-hasil yang diperoleh.

Page 9: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat

yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu

sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu

sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki

hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.

D. Teori Pemidanaan

Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum

terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman

dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:

a. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)

Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu

sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap

sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan

perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si

korban.

b. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)

Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah

bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini

menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini

mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)

c. Vereningings theorieen (teori gabungan)

Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan

menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini

dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu

pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar

pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum

Modernisasi Sistem Peradilan

Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi yang memunculkan

fenomena baru berupa globalisasi, menuntut perubahan struktur hubungan-hubungan

Page 10: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

hukum (legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance)

dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap

ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak

pasti, tidak tertib serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual

(actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full

anforcement).

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni

konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut

agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa

terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa

konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan

kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement

concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas

sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi

masyarakat.

Dalam era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk

berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism) yang dapat

mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar kepentingan internal bangsa,

(b) Antar kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, (c) Antar sektor

kehidupan nasional.

Hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local

Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi

bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional ini

memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan

hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.

Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat

menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian

masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor

tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut :

Page 11: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-

undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak

yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana

hukum tersebut berlaku.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya

cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Diantara faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati

titik sentral. Hal ini disebsbkan oleh karena undang-undang disusun disusun oleh

penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum

dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.

Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistim peradilan pidana bekerja secara

obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan

secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai

tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal

yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim,

terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan

kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan

oleh aparatur penegak hukum.

Salah satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah

dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer, pendekatan

normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control model dan due prosess

model.

Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang cocok bagi

Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht” yang disebut : model

keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang

memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu

Page 12: Sistem Peradilan Pidana Indonesia Nova

kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku

tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.

Persepsi para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap

proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain merupakan suatu

“decision making”. Crime control model merupakan pengambilan keputusan yang

mengutamakan “excessive leniency” sedangkan due prosess model merupakan

pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan. Pada intinya

perbedan dua model ini berkisar pada bagaimana mengendalikan pengambilan

keputusan agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.

Penutup

Secara umum penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat

terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai

aktual di dalam masyarakat beradab.

Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk

masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk

melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistim peradilan pidana.

Penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik,

sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enforcement) harus dilihat sebsgsi

bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan, sekalipun

pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan balik yang positif.

Sumber :

http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2027069-pengertian-sistem-

peradilan-pidana/

selalu.blogspot.com/2009/06/sistem-peradilan-pidana.html