33
DR. SLAMET, MHP DIREKTUR PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG DITJEN PP DAN PL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN NASIONAL TERAPI ANTIRETROVIRAL

Situasi AIDS Nasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

AIDS

Citation preview

  • DR. SLAMET, MHPDIREKTUR PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNGDITJEN PP DAN PLKEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAKEBIJAKAN NASIONAL TERAPI ANTIRETROVIRAL

    *

  • SITUASI HIV-AIDS DI INDONESIA

  • Gambaran Estimasi Jumlah Populasi Rawan di Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2012

    Peta ini menunjukkan situasi epidemi dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2012. Apabila menilik dari situasi epidemi HIV / AIDS, provinsi banten memiliki estimasi ODHA sebanyak 9047. Peta ini menunjukkan penyebaran odha di seluruh provinsi di Indonesia dengan perkiraan jumlahnya di tiap provinsi*

  • Gambaran Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2012Estimasi Jumlah ODHA 591.823

    Pada slide ini dapat dilihat peta epidemi HIV di Indonesia. Bisa dilihat disini bahwa HIV-AIDS sudah ada di semua provinsi di Indonesia.Berdasarkan estimasi yang dilakukan pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 591.823 odha.Tingkat epidemi HIV di Indonesia adalah epidemi terkonsentrasi dimana prevalensi HIV tinggi di beberapa provinsi dan pada beberapa populasi kunci. Sementara itu di Tanah Papua, epidemi HIV nya adalah epidemi meluas (generalized epidemic), dimana prevalensi HIV sudah tinggi di populasi umum.

    *

  • Jumlah HIV dan AIDS Menurut Tahun di Indonesia sd 2012Laporan dari Dinkes Provinsi

    Jumlah HIV-AIDS pertahun dapat dilihat pada grafik ini. Sejak 1987-2005, jumlah HIV yang dilaporkan lebih kecil daripada AIDS. Hal ini menunjukkan orang yang sudah masuk dalam stadium AIDS lebih banyak dilaporkan daripada yang baru terinfeksi HIV. Mulai tahun 2006 sampai dengan 2012, jumlah infeksi HIV dilaporkan lebih banyak daripada AIDS, yang menunjukkan bahwa sudah lebih banyak orang yang belum masuk stadium AIDS ditemukan. L:P = 2:1*

  • 19952000Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi20052010Proporsi Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Sampai dengan Tahun 1995 & 2010

    Chart1

    0.73

    0.18

    0.08

    0.02

    East

    Sheet1

    HeteroseksualPenasunLSLLain-lain

    East73%18%8%2%

    Chart1

    0.37

    0.53

    0.06

    0.01

    0.03

    East

    Sheet1

    HeteroseksualPenasunLSLLain-lainTidak diketahui

    East37%53%6%1%3%

    Chart1

    0.55

    0.34

    0.04

    0.03

    0.04

    East

    Sheet1

    HeteroseksualPenasunLSLLain-lainTidak diketahui

    East55%34%4%3%4%

    Chart1

    0.54

    0.02

    0.43

    0.01

    East

    Sheet1

    HeteroseksualPenasunLSLLain-lain

    East54%2%43%1%

    *Secara kumulatif s.d. September 2011, proporsi faktor risiko penularan pada kasus AIDS, yaitu: Heteroseksual (hubungan seks berisiko) sebanyak 54,8%; Penasun (penggunaan Napza suntik) (Injecting Drug User) sebanyak 36,2%; Lelaki Seks Lelaki (LSL), sebanyak 2,9%; penularan dari Ibu Positif HIV ke Anak sebanyak 2,8%; penularan melalui Darah Donor sebanyak 0,2%, dan sebab-sebab lain yang tidak diketahui sebanyak 3,1%.Perkembangan per lima tahunan, maka terlihat:S.d. tahun 1995: Heteroseksual sebanyak 54%; Penasun (2%); LSL (43%), dan Lain-lain (1%), S.d. tahun 2000: Heteroseksual (73%); Penasun (18%); LSL (8%), dan Lain-lain (2%) (Terjadi peningkatan proporsi pada heteroseksual dan Penasun, serta penurunan pada LSL bila dibandingkan antara tahun 2000 dan 1995)

    Sedangkan: S.d. tahun 2005: Heteroseksual sebanyak 37%; Penasun (53%); LSL (6%), Lain-lain (1%), dan Tidak diketahui (?) (3%), S.d. tahun 2010: Heteroseksual (55%); Penasun (34%); LSL (4%), Lain-lain (3%), dan Tidak diketahui (4%).

    Proporsi Faktor Risiko pada LSL menurun secara tajam, yaitu pada tahun 1999 sebanyak 43%; 2000 (8%); 2005 (6%); dan 2010 (4%). Namun tidak berarti prevalensi AIDS cenderung menurun pada LSL. Karena proporsi ini belum memperhitungkan jumlah populasi masing-masing kelompok berisiko.

  • Persentase Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko 1987-Desember 2012Laporan dari Dinkes provinsi

    Secara kumulatif, faktor risiko penularan HIV terbanyak adalah pada heteroseksual (58,7%) diikuti pada Injecting Drug Users (IDU) 17,5%. Selanjutnya penularan perinatal 2,7%, homoseksual 2,3%.*

  • Persentase Kumulatif AIDS yang Dilaporkan Menurut Kelompok Umur Tahun1987-2012*

  • KEBIJAKAN PENGENDALIAN HIV-AIDS KEMENTERIAN KESEHATAN

  • Tujuan Pengendalian HIV-AIDS dan IMSGETTING THREE ZEROES

    Menurunkan jumlah kasus baru HIVMenurunkan angka kematianMenurunkan stigma dan diskriminasi

    Meningkatkan kualitas hidup ODHA

    Tujuan pengendalian HIV AIDS, mengacu pada deklarasi UNAIDS, yakni Getting Three Zeroes :Zero New InfectionZero AIDS related deathZero Stigma and Discrimination

    Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA*

  • Sementara itu kebijakan pengendalian HIV-AIDS dan IMS adalah sbb:Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan pengembangan kapasitas. Meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme dalam pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pengendalian HIV-AIDS dan IMS.Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan Mengutamakan program berbasis masyarakat. Meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya. Mengutamakan promotif dan preventif. Memprioritaskan pencapaian sasaran MDGs, komitmen nasional dan internasional

    Terdapat 16 kegiatan dalam upayan pengendalian HIV-AIDS dan IMS, yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu:Aspek legalAdvokasi, sosialisasi dan KIEPengembangan SDMJejaring kerja dan pertisipasi masyarakatLogistikPengamanan darah donor dan produk darah lainnyaPengendalian Infeksi Menular SeksualPengurangan dampak buruk napzaPencegahan penularan HIV dari ibu ke anakKewaspadaan standarKonseling dan tes HIVPerawatan, dukungan dan pengobatanKolaborasi TB-HIVSurveilans epidemiologi dan sistem informasiMonitoring dan evaluasiSistem pembiayaan

    *

  • TERAPI ANTI RETROVIRAL

  • On ART Feb 2013 : 32.671

  • ARV di IndonesiaMulai tersedia sejak tahun 2005Sampai dengan Desember 2012, terdapat 338 layanan ARV (249 RS Pengampu dan 89 layanan satelit), dengan jumlah odha on treatment 31.002Perencanaan, pengadaan dan distribusi ARV dilakukan oleh pusat, langsung ke layananInisiasi terapi ARV dilakukan di RS, pemantauan pasien bisa di PKMLaporan penggunaan dan permintaan ARV langsung ke pusat, ditembuskan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/kotaDesentralisasi Distribusi ARV (Jawa Timur, Bali, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara)Pengadaan ARV 100% dari APBN

  • Stavudin (d4T)Dianjurkan untuk dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan pengurangan secara bertahap (phasing out).Pasien yang baru memulai pengobatan dan belum pernah mendapat pengobatan ARV sebelumnya gunakan AZT atau TDFPasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6 bulanJika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai obat substitusi gunakan TDF.

  • Pemantauan LaboratorisSemua pasien perlu mempunyai akses pemeriksaan CD4 untuk rawatan pra-pengobatan ARV dan manajemen pengobatan ARV yang lebih optimum saat ini terdapat 120 alatPemeriksaan HIV RNA (viral load) dianjurkan untuk memastikan kemungkinan gagal pengobatan saat ini terdapat 17 alatPemantauan toksisitas obat berdasarkan gejala dan hasil laboratorium

  • Kajian Bersama (Joint Assessment) Penggunaan Strategis ARV di Indonesia

  • Analisa SituasiPeningkatan Infeksi Baru Menurut Populasi Kunci

    Model terkini epidemi HIV. Modeling 2012 untuk estimasi beban kasus baru HIV. Model ini menggambarkan infeksi baru pada kelompok lelaki seks dengan lelaki, ibu rumah tangga dan klien WPS meningkat signifikan.*

  • Joint Rapid Assessment (1) Dilakukan dari 14 - 24 Januari 2013 oleh KPAN, Kemkes, Unpad, Spiritia, IAC, PKNI, GWL Ina, WHO, UNAIDS dan UNICEF Tujuan mendapatkan informasi guna mengembangkan sebuah roadmap dalam rangka akselerasi perluasan penggunaan ARV sebagai pengobatan dan pencegahan HIV di Indonesia.

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (1) Tes dan Konseling HIV banyak tersedia tetapi masih ada kesenjangan dengan cakupan ART :Dengan kebijakan ambang batas jumlah CD4 < 350, cakupan terapi ARV tetap masih terbatas Pasien mulai terapi ARV terlambat - rata-rata inisiasi pengobatan dengan jumlah CD4 100 Jika morbiditas dan mortalitas akibat HIV-AIDS diharapkan menurun dan terapi ARV memiliki dampak dalam mengurangi infeksi baru HIV, maka ODHA harus memulai terapi ARV lebih awal lagi.

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (2)Tes dan Konseling HIV tersedia tetapi harus semakin diperluas dengan:TKIP harus lebih aktif dilaksanakan pada Klinik IMS, Layanan PDP, layanan KIA, layanan kesehatan reproduksi dan layanan pengobatan TB.Melakukan pendelegasian tugas (Task Shifting) untuk tes HIV, termasuk pemberian wewenang pada layanan KIA terutama pada daerah yang memiliki hambatan transportasi dan geografis sehingga Bidan dan perawat dapat menawarkan dan melakukan tes HIV.

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (3) Mempertimbangan inisiatif baru untuk memperluas penapisan HIV pada populasi kunci

    Penguatan implementasi kebijakan PPIA untuk dapat langsung memulai terapi ARV pada wanita hamil HIV (+) terlepas dari jumlah CD4

    Normalisasi dan pengurangan stigma terhadap tes HIV terutama pada wilayah geografis dengan permasalahan HIV yang tinggi dan populasi kunci yang terkonsentrasi.

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (4)Diperlukan untuk penguatan lebih lanjut dalam perawatan HIV -AIDSPada tahun 2005-2012 ada 118.343 ODHA didalam PDP, dan 68% (80.039) jumlah orang yang memenuhi syarat untuk terapi ARV, hanya 73 % (58.328) sudah memulai pengobatan dan 53 % (31.002) saja yang masih dalam perawatan hingga akhir tahun; sisanya meninggal (20-25%) atau lost-to-follow-up (17-22%).

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (5) Strategi untuk meningkatkan kualitas tahapan perawatan HIV-AIDS meliputi : Mengurangi keterlambatan antara diagnosis dan memulai terapi ARVMeningkatkan kepatuhan dalam pengobatan ARV jangka panjang dengan memperkenalkan pengobatan ARV yang lebih sederhana, nyaman penggunaannya, dan lebih sedikit efek samping seperti triple FDC (Fixed Dose Combination) ( TDF / FTC / EFV atau Atripla) Memperkuat Kolaborasi dan kerjasama yang baik antara layanan terapi ART dengan komunitas/populasi kunci.

  • Rekomendasi Joint Rapid Assessment (6)Diperlukan kerja sama yang erat dengan komunitas untuk menghilangkan mispersepsi tentang manfaat tes HIV dan inisiasi dini ARVLayanan Komprehensif Berkesinambungan merupakan suatu kerangka ideal dalam peningkatan partisipasi komunitas dan populasi kunci dalam layanan yang perlu diperkuat

  • Rasional Penggunaan ART Dalam keadaan epidemi terkonsentrasi seperti di Indonesia menjadi sangat penting untuk melakukan inisiasi pengobatan dini tanpa melihat CD4 pada populasi kunci (WPS, Penasun, LSL) termasuk pada :Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS)Wanita hamil ODHA yang mempunyai pasangan dgn status HIV (-)Ko-infeksi TB-HIV Penderita Hepatitis B Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)

    Tahun setelah terinfeksi HIVDampak Potensial dari Pengobatan Dini

    Dalam grafik di atas menunjukkan bahwa semakin dini orang yang terinfeksi HIV mengkonsumsi ARV, maka potensi orang tersebut menularkan HIV nya akan semakin berkurang.Dan dalam keadaan epidemi konsentrasi seperti di Inonesia, maka menjadi sangat penting untuk melakukan inisiasi ARV secara dini untuk menurunkan kemungkinan penularan HIV, terutama pada pasien IMS, ibu hamil, ODHA yang punya pasangan dengan status HIV negatif, pasien TB-HIV, pasien hepatitis B serta Warga Binaan Pemasyarakatan*

  • UPAYA TEROBOSAN DALAM PENGENDALIAN HIV-AIDS & IMS

  • Kerangka Kerja Layanan Komprehensif BerkesinambunganKOMISI PENANGGULANGAN AIDS (KPA)

    Pada Layanan Komprehensif Berkesinambungan ketiga unsur utama yaitu layanan kesehatan ( Primer, sekunder dan tersier) termasuk layanan swasta maupun pemerintah, serta unsur koordinasi melauau KPAD dan unsur masyarakat termasuk LSM, Ormas, Organisasi keagamaan dan dukungan sebaya merupakan jejaring yang harus terkait bersama. Sehingga Conitnuum of Care mulai dari preventif, kuratif, rehabilitatif dapat terlaksana yang pada akhirnya diharapkan akan menurunkan prevalensi HIV/AIDS*

  • Upaya Pencegahan Infeksi HIV dan Penurunan Kasus HIV-AIDS di Indonesia

    Dalam upaya memperluas akses layanan, ada beberapa kebijakan terobosan yang dilakukan Kemenkes, yaitu: Pada daerah yang memiliki permasalahan HIV tinggi maka setiap ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya akan ditawarkan untuk melakukan tes HIV. Pada daerah dengan permasalahan HIV yang rendah maka penawaran tes HIV untuk ibu hamil dilakukan berdasarkan penilaian risiko seperti ibu hamil dengan IMS atau menderita TB.Perluasan penerapan konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB), dimana seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dapat memberikan layanan HIV-AIDS dan IMS yang terintegrasi.

    *

  • IndonesiaUpaya Pencegahan Infeksi HIV dan Penurunan Kasus HIV-AIDS di Indonesia

    Belum semua puskesmas mampu memberikan layanan IMS, melakukan revitalisasi layanan IMS di puskesmas dan RS *

  • Upaya Pencegahan Infeksi HIV dan Penurunan Kasus HIV-AIDS di Indonesia

    Kemenkes juga akan menyediakan ARV triple fixed dose combination (FDC) agar rejimen ARV lebih sederhana sehingga dapat meningkatkan kepatuhan ODHA minum obat.*

  • KesimpulanPola transmisi penularan HIV terbanyak berubah dari homoseksual pertukaran jarum suntik heteroseksualPenularan HIV sudah mulai bergeser ke populasi umum, tidak hanya pada kelompok berisiko saja, terlihat pada peningkatan kasus AIDS pada Ibu rumah tangga dan peningkatan kasus HIV pada anak Untuk akselerasi tes HIV, dilakukan penawaran tes kepada pasien IMS, pasien TB dan ibu hamilAkselerasi ART dilakukan dengan memberikan ARV tanpa melihat jumlah CD4 kepada ODHA hamil, ODHA dengan TB dan beberapa ODHA populasi kunci Sediaan Triple FDC ARV diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan berobat odha

  • TERIMAKASIH

    *Peta ini menunjukkan situasi epidemi dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2012. Apabila menilik dari situasi epidemi HIV / AIDS, provinsi banten memiliki estimasi ODHA sebanyak 9047. Peta ini menunjukkan penyebaran odha di seluruh provinsi di Indonesia dengan perkiraan jumlahnya di tiap provinsi*Pada slide ini dapat dilihat peta epidemi HIV di Indonesia. Bisa dilihat disini bahwa HIV-AIDS sudah ada di semua provinsi di Indonesia.Berdasarkan estimasi yang dilakukan pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 591.823 odha.Tingkat epidemi HIV di Indonesia adalah epidemi terkonsentrasi dimana prevalensi HIV tinggi di beberapa provinsi dan pada beberapa populasi kunci. Sementara itu di Tanah Papua, epidemi HIV nya adalah epidemi meluas (generalized epidemic), dimana prevalensi HIV sudah tinggi di populasi umum.

    *

    Jumlah HIV-AIDS pertahun dapat dilihat pada grafik ini. Sejak 1987-2005, jumlah HIV yang dilaporkan lebih kecil daripada AIDS. Hal ini menunjukkan orang yang sudah masuk dalam stadium AIDS lebih banyak dilaporkan daripada yang baru terinfeksi HIV. Mulai tahun 2006 sampai dengan 2012, jumlah infeksi HIV dilaporkan lebih banyak daripada AIDS, yang menunjukkan bahwa sudah lebih banyak orang yang belum masuk stadium AIDS ditemukan. L:P = 2:1**Secara kumulatif s.d. September 2011, proporsi faktor risiko penularan pada kasus AIDS, yaitu: Heteroseksual (hubungan seks berisiko) sebanyak 54,8%; Penasun (penggunaan Napza suntik) (Injecting Drug User) sebanyak 36,2%; Lelaki Seks Lelaki (LSL), sebanyak 2,9%; penularan dari Ibu Positif HIV ke Anak sebanyak 2,8%; penularan melalui Darah Donor sebanyak 0,2%, dan sebab-sebab lain yang tidak diketahui sebanyak 3,1%.Perkembangan per lima tahunan, maka terlihat:S.d. tahun 1995: Heteroseksual sebanyak 54%; Penasun (2%); LSL (43%), dan Lain-lain (1%), S.d. tahun 2000: Heteroseksual (73%); Penasun (18%); LSL (8%), dan Lain-lain (2%) (Terjadi peningkatan proporsi pada heteroseksual dan Penasun, serta penurunan pada LSL bila dibandingkan antara tahun 2000 dan 1995)

    Sedangkan: S.d. tahun 2005: Heteroseksual sebanyak 37%; Penasun (53%); LSL (6%), Lain-lain (1%), dan Tidak diketahui (?) (3%), S.d. tahun 2010: Heteroseksual (55%); Penasun (34%); LSL (4%), Lain-lain (3%), dan Tidak diketahui (4%).

    Proporsi Faktor Risiko pada LSL menurun secara tajam, yaitu pada tahun 1999 sebanyak 43%; 2000 (8%); 2005 (6%); dan 2010 (4%). Namun tidak berarti prevalensi AIDS cenderung menurun pada LSL. Karena proporsi ini belum memperhitungkan jumlah populasi masing-masing kelompok berisiko.Secara kumulatif, faktor risiko penularan HIV terbanyak adalah pada heteroseksual (58,7%) diikuti pada Injecting Drug Users (IDU) 17,5%. Selanjutnya penularan perinatal 2,7%, homoseksual 2,3%.*Tujuan pengendalian HIV AIDS, mengacu pada deklarasi UNAIDS, yakni Getting Three Zeroes :Zero New InfectionZero AIDS related deathZero Stigma and Discrimination

    Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA*Sementara itu kebijakan pengendalian HIV-AIDS dan IMS adalah sbb:Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan pengembangan kapasitas. Meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme dalam pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pengendalian HIV-AIDS dan IMS.Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan Mengutamakan program berbasis masyarakat. Meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya. Mengutamakan promotif dan preventif. Memprioritaskan pencapaian sasaran MDGs, komitmen nasional dan internasional

    Terdapat 16 kegiatan dalam upayan pengendalian HIV-AIDS dan IMS, yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu:Aspek legalAdvokasi, sosialisasi dan KIEPengembangan SDMJejaring kerja dan pertisipasi masyarakatLogistikPengamanan darah donor dan produk darah lainnyaPengendalian Infeksi Menular SeksualPengurangan dampak buruk napzaPencegahan penularan HIV dari ibu ke anakKewaspadaan standarKonseling dan tes HIVPerawatan, dukungan dan pengobatanKolaborasi TB-HIVSurveilans epidemiologi dan sistem informasiMonitoring dan evaluasiSistem pembiayaan

    *Model terkini epidemi HIV. Modeling 2012 untuk estimasi beban kasus baru HIV. Model ini menggambarkan infeksi baru pada kelompok lelaki seks dengan lelaki, ibu rumah tangga dan klien WPS meningkat signifikan.*Dalam grafik di atas menunjukkan bahwa semakin dini orang yang terinfeksi HIV mengkonsumsi ARV, maka potensi orang tersebut menularkan HIV nya akan semakin berkurang.Dan dalam keadaan epidemi konsentrasi seperti di Inonesia, maka menjadi sangat penting untuk melakukan inisiasi ARV secara dini untuk menurunkan kemungkinan penularan HIV, terutama pada pasien IMS, ibu hamil, ODHA yang punya pasangan dengan status HIV negatif, pasien TB-HIV, pasien hepatitis B serta Warga Binaan Pemasyarakatan*Pada Layanan Komprehensif Berkesinambungan ketiga unsur utama yaitu layanan kesehatan ( Primer, sekunder dan tersier) termasuk layanan swasta maupun pemerintah, serta unsur koordinasi melauau KPAD dan unsur masyarakat termasuk LSM, Ormas, Organisasi keagamaan dan dukungan sebaya merupakan jejaring yang harus terkait bersama. Sehingga Conitnuum of Care mulai dari preventif, kuratif, rehabilitatif dapat terlaksana yang pada akhirnya diharapkan akan menurunkan prevalensi HIV/AIDS*Dalam upaya memperluas akses layanan, ada beberapa kebijakan terobosan yang dilakukan Kemenkes, yaitu: Pada daerah yang memiliki permasalahan HIV tinggi maka setiap ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya akan ditawarkan untuk melakukan tes HIV. Pada daerah dengan permasalahan HIV yang rendah maka penawaran tes HIV untuk ibu hamil dilakukan berdasarkan penilaian risiko seperti ibu hamil dengan IMS atau menderita TB.Perluasan penerapan konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB), dimana seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dapat memberikan layanan HIV-AIDS dan IMS yang terintegrasi.

    *Belum semua puskesmas mampu memberikan layanan IMS, melakukan revitalisasi layanan IMS di puskesmas dan RS *Kemenkes juga akan menyediakan ARV triple fixed dose combination (FDC) agar rejimen ARV lebih sederhana sehingga dapat meningkatkan kepatuhan ODHA minum obat.*