Skandal Blbi Bab 1-4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

The BLBI scandal revolves around the fate of Rp 702 trillion (US$71 billion) of Bank Indonesia bailout funds, during the 1997-1998 Asian financial crisis. Misuse of the funds led to state losses of hundreds of trillions rupiah.

Citation preview

  • Skandal BLBI:

    Ramai-ramai

    Merampok Negara

    Marwan Batubara

    Kwik Kian Gie

    Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH.

    Dr. Ahmad Erani Yustika

    Dr. M. Fadhil Hasan

    Dr. Hendri Saparini

    Aviliani

  • Hak cipta dilindungi Undang-undangDilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini

    tanpa seizin penerbit

  • Skandal BLBI:

    Ramai-ramai

    Merampok Negara

    Marwan Batubara, dkk

    Penerbit

    Haekal Media CenterJanuari 2008

  • Judul Buku:

    Penulis:

    Penyusun Naskah:

    Wahyutama, Shalihan Edwar

    M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi

    Penyunting Naskah:

    Wahyutama, Shalihan Edwar

    Gumanti

    Tata letak isi:

    Shalihan Edwar

    Desain Cover:

    Tim Haekal Media Center

    Penerbit:

    Haekal Media Center

    HP. 0816 23 0065, 0856 9765 3043

    E-mail:

    Cetakan Kedua, Maret 2008

    ISBN: 978-979-15667-5-9

    Skandal BLBI:

    Ramai-ramai Merampok Negara

    Marwan Batubara, dkk

    [email protected]

  • Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)

    Rakyat telah menggugat, rakyat mulai mendesak, pemerintah punbergeming terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tentang adanya upayapihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintah memberantas korupsi.

    Skandal BLBI adalah kasus penjarahan Indonesia, merampok rakyat,meleceh negara, suatu persekongkolan luar biasa sepanjang sejarahperbankan modern antara oknum-oknum pemerintahan yang menjadikoruptor dengan para koruptor yang mendikte pejabat pemerintah. Inimerupakan kejahatan akbar di dunia perbankan yang tidak ada duanya didunia.

    Skandal BLBI dapat kita kategorikan sebagai suatu konspirasi global,dengan sasaran untuk melumpuhkan Indonesia agarselanjutnya mempermudah penaklukkan teritorial dan pengurasan kekayaanIndonesia. Skenario pelumpuhan ini adalah awal dari upaya brutal untukmenciptakan ketergantungan dan ketertundukan.

    (disempowering)

    Kata

    Pengantar

    vii

  • Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Adamacam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidaksemuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnyapatriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasionalkita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme-imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lainsaling berkaitan dan saling menumbuhkan sinergisme kemalapetakaan.

    Pemerintahan negara yang nepotistik, yangmengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme

    merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker punbisa masuk ke dalam pemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaansiap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistikmemperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokandan penjarahan.

    Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkalimenyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini,yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, makajadilah itu. Belahan adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri,lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yang yang masabodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masa disebutsebagai kelompok Belahan adalah mereka yang teguhcita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dankedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dannegaranya, yang kita kenal sebagai kelompok nasionalis

    Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atauilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali jugaketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF),ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri

    adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakanperintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbanganmatang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-matakarena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi danrekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.

    adigang-adigung-adiguna

    the right man in the

    right place

    pertama

    hanging-loose,

    doeloe

    Co (NICA). yang lain

    doeloe Republikein.

    (series of suicidal policy)

    ***

    viii

  • IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiranmasyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bankitu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahandirespon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu,makin dirongrong oleh lalu makin melakukan penarikandan pengalihan dana secara besar-besaran.

    Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalamanmenangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saranIMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneterkita mudah tunduk dan takluk sebagai

    Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malahmerupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antarapenarikan dan penerimaan perbankan. Makin banyak, bahkannyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka diBank Indonesia.

    Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini,diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausalterjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuhkebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (SuratBerharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank.

    Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalamanperbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi danketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluasdan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurangpelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional,yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Parapembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalamkesendirian.

    Dalam situasi krisis itu maka dikucurkanlah mekanisme kliringbaru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkankeputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden

    uncertainties, (rush)

    (bank-run)

    the yes man.

    (mismatch)

    mismatch

    ***

    ix

  • Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untukperbankan yang bersaldo debet.

    Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkansebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536triliun).

    Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessusbersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasiPresiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya takseharusnya semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terterorsedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiridi situ.

    Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajibanperbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yangacapkali disebut sebagai Pemerintah melakukanpenjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kitakenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini,ibarat Lucifer turun ke bumi menyebar serba menggelembungdan fiktif.

    Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikanBPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar KeputusanPresiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPNgagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelarjahat.

    Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenariountuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing,khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut sajaterhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA

    . MSAA di samping tidak masuk akal dantidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukumIndonesia, antara lain yang berkaitan dengan yangmengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat(perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalam berbagai

    ketika MSAA dimintakan dari Kantornya KartiniMulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA

    sedekap

    off-guarded

    blanket guarantee.

    moral hazards,

    disempowerment

    (Master

    Settlement of Acquisition Agreement)

    release and discharge

    fora, draft legal opinion

    x

  • melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukumberkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknyabilang suatu arogansi tiada tara.

    MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasukMenteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UUPerbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara ituDPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi,ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraanIndonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalam bahasaInggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalampemerintahan kita, absurditas bertemu dengan mediokritas.

    Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernyapara otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep-resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resepIMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kitamestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegasmenuding dan memprotes kekonyolan dan kenorakan teori-teori IMF,yang kami sebut sebagai Kami memproteskeras, protes ini disusun oleh (yaitu Oppusunggu,Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, FaridPrawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-EdiSwasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kamikirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board)dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahantahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan,DPR, dan lain-lain.

    Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teorikonvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidakakan cocok untuk Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepadakepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean-pendiktean bukan diarahkan kepada efektivitaspembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran danpengamanan rutinitas pembayaran utang luar negeri Indonesia.

    ...Then you change your law..., in optima forma

    fallacious orthodox macro-economics.

    the Eight Musketeers

    local specifics

    (forceful instructions)

    ***

    ***

    xi

  • Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dannasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang asingisasi, iamelawan melalui berbagai khususnya melalui bukunya

    menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing,menyerahkan peluang emas anak cucu kita kepada EXXON

    Sekarang para kelompok termasuk di sini Sdr. MarwanBatubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasitentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi parapenyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadapgenerasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untukmelumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidakakan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia,oleh orang-orang kelompok baru yang dengan suka cita menjadikomprador atau kaki tangan asing, yang atau lengahmisi, ataupun barangkali memang benar-benar medioker.

    Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu menitikemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain:mengupayakan membekukan dana curian (BLBI) yang disembunyikan diperbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihakIndonesia. Saya bisa pertemukan dengan para profesional kenalansaya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasilmelacak dan menemukan dana haram Presiden Ferdinand Marcos. Bila danacurian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlahyang sama yang dibekukan itu membuka jalan bagi negara untuk dapatmencetak uang baru sejumlah yang sama. bunga obligasi rekap yangharus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segeraditurunkan nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat,sehingga negara bebas dari beban rekaannya sendiri.

    Bila baru-baru ini kita baca besar-besaran di surat-surat kabar seperti antara lain, Interpelasi BLBI: Awas DPR DibeliKonglomerat Hitam, dan Hanya Dari Satu Obligor BLBI NegaraDirugikan Rp 100 Triliun Lebih, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalahlagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang olehtokoh-tokoh DPR yang bangun kesiangan.

    fora, Tragedi dan Ironi

    Blok Cepu,

    .

    Republikein,

    Co

    ideologically disempowered

    pertama,

    tracers

    Kedua,

    rate-

    headlines front pages

    xii

  • Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubaradkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahankepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenariopelumpuhan nasional terhadap Indonesia.

    Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-teranganmenyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentuyang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramaiberpesta BLBI dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkanyang kotor-kotor itu.

    akarta, 30 November 2007

    Sri-Edi Swasono

    J

    xiii

  • Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI Jakarta)

    Pengantar

    Penulis

    Ketika skandal BLBI kembali diangkat ke permukaan, mungkinsebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia dimasa krisis tersebut kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakahbermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untukkepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur danditerima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya,sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikanekonomi di masa depan?

    Jawabannya jelas: karena selain penyelesaiannya sarat dengan rekayasadan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas padaperekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan.Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hinggabebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaranutang dalam APBN setiap tahunnya yang diperkirakan baru berakhir padasekitar tahun 2033. Jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebutmencapai Rp 630 triliun (berupa BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, tambahanBLBI Rp 14,47 triliun, program penjaminan Rp 39,3 triliun, dan obligasi

    xv

  • rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnyajika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utangtersebut), beban yang harus dibayar dapat mencapai Rp 2.000 triliun.

    Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkanoleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang taklain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-banknasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkandalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkanpemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikandalam bentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintahpun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yangharus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitupaling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiaptahunnya).

    Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnyaberujung pada minimnya kemampuan APBN dalam mengongkosi berbagaikebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkasuntuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan.Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat.Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan,subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidakmengganggu kemampuan negara dalam membayar utang.

    Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnyaharus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal,penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntunganmaksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendirimemang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset

    1

    1Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan

    pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesarminimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasirekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawabanPresiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun,program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, danprogram rekapitalisasi Rp 422,6 triliun.

    xvi

  • negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaannegara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihanyang paling mudah untuk diambil pemerintah.

    Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebihburuk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negaramerupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN.Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnyajuga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang .Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengandemikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi,karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu denganterlucutinya sumber-sumber penerimaan negara di sisi yang lain.

    Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa laluyang melakukan KKN dan secara sembrono menyimpangkan ratusan triliunrupiah uang negara dalam skandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-p i h a k y a n g t e r l i b a t d a l a m s k a n d a l B L B I d i m i n t a k a npertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secaraperdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras,maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuaidengan hukum yang berlaku.

    Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secaratuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, GusDur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masingpemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yangmerendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasusBLBI melalui (penyelesaian di luar jalur pengadilan),pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002tentang yang memberi ampunan penuh bagi obligor, danpemerintahan SBY yang menjanjikan pemberian

    Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukanpenuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlahobligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul

    (future earning)

    out of court settlement

    release and discharge

    Surat Keterangan Penyelesaian

    Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan

    mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).

    xvii

  • Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangatbesar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusutterkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPNsebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset inimenyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasusBLBI menjadi sangat rendah.

    Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus keduaobligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kitaberharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkanhukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidakmenginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masasebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terusmenerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggarketentuan hukum yang berlaku sekalipun.

    Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligorlain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan inidisusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikankewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurutperhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakantak akan terbayar/ ). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orangdiantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah bergantikewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintahterhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan inidisusun.

    Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud daridan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini

    yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uangnegara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindakkoruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBIjustru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telahkembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.

    Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaianperistiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalam sebuah

    Terlebih, kita juga tidak ingin

    penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum

    sehingga menjadi sarana permainan para politisi untukmengeruk keuntungan pribadi.

    default

    ketidakpuasan

    xviii

  • kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebihmudah dimaknai, dan dengan demikian juga dapat secara lugas disikapi.

    Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih danpenghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telahmenyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans HendraWinarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr.Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnyajuga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenanmemberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalamkesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masihbersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunanbuku ini.

    Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyiratas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa KeuanganRI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukanuntuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada SaudaraDjoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakanobligasi rekapitalisasi dalam beberapa kesempatan.

    Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepadasejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI,seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch(ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM),Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed HasanPutro (Masyarakat Profesional Madani/ MPM).

    Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalam memberi pemahamankepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI,khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK)tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyakkekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas,disamping kompleksnya permasalahan BLBI itu sendiri.

    Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaranberbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demiketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggungjawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk

    xix

  • meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR punbertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkaitkasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap(OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telahmenjadi beban APBN setiap tahun.

    Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalamberbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaiankasus BLBI.

    Jakarta, 2 Januari 2008

    Marwan Batubara

    Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut

    Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung

    selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan

    berkeadilan.

    xx

  • Daftar Isi

    Kata Pengantar

    Pengantar Penulis

    Daftar Isi

    BAB 1

    Definisi dan Pengertian BLBI

    BAB 2

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI

    BAB 3

    Korupsi dan Penyelewengan BLBI

    ......................................................................................x

    Sri-Edi Swasono...............................................................................................vii

    ...............................................................................................1

    ............................................................................................13

    ............................................................................................25

    v

    .......................................................................................................xxi

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    xxi

  • BAB 4

    Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI

    BAB 5

    Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan

    Mengabaikan Hukum

    BAB 6

    Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan

    BAB 7

    Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap

    Uang Rakyat

    BAB 8

    Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

    BAB 9

    Kejahatan Obligor Menjarah BLBI

    BAB 10

    Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI

    BAB 11

    Peran IMF dalam Kasus BLBI

    BAB 12

    BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    Marwan Batubara

    ............................................................................................49

    ............................................................................................61

    ............................................................................................99

    ..........................................................................................119

    ..........................................................................................157

    ..........................................................................................175

    ..........................................................................................223

    ..........................................................................................243

    ......................................................................................... 261

    xxii

  • BAB 13

    Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara

    BAB 14

    MSAA dan Drama Penerbitan R & D

    BAB 15

    Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan

    Kejanggalan MSAA

    BAB 16

    Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI

    BAB 17

    Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar

    Kerugian

    BAB 18

    Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank

    dengan Pemerintah

    Penutup

    Rakyat Menggugat Skandal BLBI

    Referensi

    Tentang Penulis

    Political Will

    Kwik Kian Gie

    Kwik Kian Gie

    Frans Hendra Winarta ...................................................................................

    Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan

    Hendri Saparini

    Aviliani

    Marwan Batubara

    ....................................................................................................375

    ........................................................................................385

    ................................................................................................299

    ................................................................................................303

    307

    ...................................................313

    ..............................................................................................331

    ...........................................................................................................343

    ..........................................................................................351

    xxiii

  • Bab 1

    DEFINISI DANPENGERTIAN BLBI

    Marwan Batubara

    Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat erapemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikansecara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antarapengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telahmerugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalampenyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagimemperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasirekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun(ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanyamasih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yangdilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagairangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung bebancicilan pembayaran utang dalamAPBN, yang bunganya saja dapat mencapaiRp 50 triliun per tahun.

    Namun, sebelummemasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebihdahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut

    Definisi dan Pengertian BLBI 1/

  • sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini denganlebih baik.

    Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandonopada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistempembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karenaketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana padabank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono,

    , www.pacific.net.id).

    Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagaiberikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikanBI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untukmenanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanyaketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajibanpembayaran yang harus dikeluarkannya.

    Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihakperbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBIbaru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuanlikuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisismoneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dariistilah , yang dipergunakan dalam (LoI) antaraIMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dariprogrampemulihan ekonomi.

    Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BIlainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspektujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisilikuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untukmembantu perbankan dalam menyukseskan program-programpembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sepertipembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorongpertumbuhanUKM, dan sebagainya.

    Definisi BLBI

    (mismatch)

    Permasalahan BLBI

    liquidity supports letter of intent

    2 Definisi dan Pengertian BLBI/

  • Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI,yaitu antara lain:

    1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaranyang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antarapenerimaan dan penarikan dana perbankan.

    2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan programmoneter (Surat Berharga PasarUang/SBPU) lelang dan bilateral

    3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas daruratdan kredit subordinasi

    4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dansistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentukpenarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanyasaldo negatif (saldo debet atau overdraft) bank di BI.

    5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat padaperbankan dalambentuk dana talangan untukmembayar kewajiban luarnegeri bank dan untuk pelaksanaan sistempenjaminan.

    Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan,BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlahbank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saatterjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutamadisalurkanmelaluimekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalanganyang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yangtidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melaluipengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.

    Seperti diketahui, pada saat krisis moneter, terjadi aksi ataupenarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaanlikuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalammembayar dana nasabah-nasabahnya, sehinggamembutuhkan bantuan dariBI. Jadi, pengucuranBLBI terutama ditujukan untukmenjamin pembayarandana nasabah oleh bank yang bersangkutan. Dengan penjaminan tersebut,diharapkanmasyarakat dapat pulih kepercayaannya kepada perbankan.

    PengucuranBLBI jugamerupakan implementasi dari salah satu langkahketahanan ekonomi nasional yang diputuskan dalam Rapat Kabinet pada

    rush

    3

    Definisi dan Pengertian BLBI 3/

  • September 1997 .di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto Langkahketahanan ekonomi nasional yang dimaksud adalah keputusan bahwa:

    Bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitanlikuiditas untuk sementara akan dibantu.

    Bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakanpenggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jikaupaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturanperundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimalmungkin kepentingan para deposan, terutama deposan kecil.

    Seperti telah disinggung sebelumnya, dana BLBI dikucurkan kepadapihak perbankan dalam sebuah mekanisme yang disebut kliring. Kliringadalah proses yang menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimilikisetiap bank kepada bank lainnya. Proses kliring umumnya dilakukan setiaphari di lembaga penyelenggara kliring, yaitu BI atau bank lain yang ditunjukBI. Melalui kliring, bank-bank ditetapkan posisi hak dan kewajibannya(menerima pembayaran dan sebaliknya melakukan pembayaran) padaperiode tersebut.

    Ketika terjadi krisis, karena mengalami penarikan dana besar-besaranoleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proseskliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya, jumlah kewajiban yangharus dibayarkan lebih besar daripada jumlah pembayaran yang diterima.Dinyatakan, bank tersebutmengalami kalah kliring.

    Dalam kegiatan kliring yang dilaksanakan BI, suatu bank tidak dapatmenolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yangada pada rekening giro bank tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jikahasil penghitungan kliring (disebut sebagai ) suatu bank menunjukkanmereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaanuntukmenutupi kekurangan tersebut.

    Pada awalnya, sumber pendanaan diperoleh dari dana simpanan bankitu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain (yang biasanyamemberlakukan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pinjaman ini

    Bentuk-bentuk Fasilitas BLBI

    netting

    4 Definisi dan Pengertian BLBI/

  • tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekeninggiromereka di BI.

    Jika penarikan rekening giro di BI terus berlanjut, maka bank tersebutakan sampai pada tahap penyusutan Giro Wajib Minimum (GWM) merekadi BI, yaitu jumlah dana simpanan wajib mereka di BI. Saat krisis, rekeninggiro sejumlah bank terus ditarik hingga GWM yang mereka miliki pun telahberada pada posisi negatif . Di saat itulah, pemberian fasilitasberupa BLBI diberikan BI. Dengan demikian, bentuk-bentuk fasilitas BLBIdapat diuraikan sebagai berikut:

    Seperti telah dinyatakan di atas, bank yangmengalami kalah kliring padaakhirnya dapat menyebabkan rekening giro mereka di BI berada pada posisinegatif. Hal ini dinamakan sebagai saldo debet atau . Sesuai denganketentuan, jika suatu bank telah mengalami saldo debet, maka bank tersebutsudah tidak bisa lagi mengikuti proses kliring kecuali ia menutupkekurangannya sebelum kliring hari berikutnya dimulai. Jika tidak, banktersebut dinyatakan diskors (dihentikan sementara) keikutsertaannyasebagai peserta kliring.

    Namun, ketika krisis, pada kenyataannya Direksi BI tidak memberisanksi skors terhadap sejumlah bank yang mengalami saldo debet denganberbagai pertimbangan. Sejumlah bank tersebut diizinkan untukmelanjutkan proses kliring hingga beberapa waktu berikutnya, sementarakewajiban-kewajibannya dibayarkan oleh BI dengan menggunakan danatalangan. Fasilitas inilah yang dinamakan sebagai fasilitas saldo debet danmerupakan salah satu bentuk fasilitas BLBI yang diberikanBI.

    Pada intinya, fasilitas diskonto (fasdis) merupakan pembelian suratberharga berupa promes (promes dan aset bank untuk Fasdis II) olehBI daribank-bank yang mengalami saldo debet. Hal ini dilakukan untukmengkonversi (menukar) saldo debet bank di BI ke dalam bentuk yang lebihmemberikan jaminan dan ikatan hukum. Sesuai dengan ketentuan BI,jumlahmaksimum fasdis yang diberikan kepada bank adalah sebesar 3%-5%dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan bank tersebut.Namun, dalam perkembangannya, penetapan jumlah maksimum fasdis

    (overdraft)

    overdraft

    1. SaldoDebet

    2. FasilitasDiskonto I& II (Fasdis I& II)

    Definisi dan Pengertian BLBI 5/

  • akhirnya diserahkan kepada Direksi BI, yang nilainya sebesar saldo debetbank yang bersangkutan di BI, meskipun nilainya jauh di atas standar yangditetapkan.

    Meskipun pemberian fasdis bertujuan untuk menghilangkan saldodebet, pada akhirnya tagihan BI kembali dibebankan ke dalam rekening girobank di BI (bank tetap bersaldo debet), karena hingga jangka waktu yangditentukan bank tidak juga mampu melunasi fasdis yang diperolehnya.Ironisnya, jaminan yang telah diambil BI ternyata juga dikembalikan kepadapemilik bank.

    Tidak jauh berbeda dengan fasdis, fasilitas ini juga bertujuan untukmenghapus saldo debet bank-bank di BI. FSBPUK adalah pembelianpromes nasabah bank-bank yang bersaldo debet oleh BI, dengan perjanjianbank tersebut wajib membeli membeli kembali promes nasabah itu dalamjangka waktu yang ditentukan atau saat jatuh tempo. Pembelian promesnasabah harus disertai dengan jaminan tambahan senilai 50% dari FSBPUKyang diberikan.

    Dalam praktiknya, fasilitas ini juga mengalami banyak penyimpangan.Antara lain, BI ternyata tidak memberi sanksi pembatalan FSBPUK atasbank-bank yang tidak menyerahkan promes nasabah dan jaminantambahan. BI justru menyetujui penggantian promes nasabah cukupdengan atau tanpa didahului denganpenilaian yang layak.

    New fasdis merupakan pengulangan dari pemberian fasdis-fasdissebelumnya, sehingga tidak memiliki banyak perbedaan secara substansi,yaitu pembelian promes bank oleh BI beserta jaminan-jaminannya.Bedanya, new fasdis memiliki jangka waktu pengembalian yang lebihpanjang.

    FSD sebenarnya adalah pengikatan hukum atas pemberian fasilitassaldo debet yang telah dilakukan sebelumnya. FSD mengikat saldo debetbank-bank dengan Akta Pengakuan Hutang (APH) dan Akta PengakuanHutang dengan Jaminan (APHJ). FSD diberikan untuk mengkonversi saldo

    3. Fasilitas SuratBerhargaPasarUangKhusus (FSBPUK)

    4. NewFasilitasDiskonto (NewFasdis)

    5. Fasilitas SaldoDebet (FSD)

    personal guarantee corporate guarantee

    6 Definisi dan Pengertian BLBI/

  • debet bank-bank di BI dalam kurun waktu 31 Desember 1997 s.d. 31 Juli1998.

    Penyimpangan yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini antara lainadalah tidak diberikannya sanksi yang tegas terhadap bank-bank yang tidakmenyerahkan jaminan aset untuk memperoleh fasilitas ini. Selain itu,sebagian besar bank juga ternyata menggunakan aset yang pernahdijaminkan untuk fasilitas BLBI lainnya sebagai jaminan untukmemperolehfasilitas ini.

    Sampai hak tagih BLBI dialihkan ke pemerintah, sebagian besar FSDbelumdilunasi perbankan.

    Fasilitas ini terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Talangan Rupiah (DTR)danDanaTalanganValas (DTV).

    DTR diberikan BI kepada 16 bank yang dilikuidasi pemerintah (BankDalam Likuidasi/BDL) sebagai bentuk penalangan atas dana nasabah yangdisimpan di bank tersebut. Jangka waktu pengembalian DTR ditetapkanselama 1 tahun, bunganya senilai 0%, dan pengembalian kredit diambil daripenjualan aset-aset BDL. Fasilitas ini pun tak lepas dari penyimpangan.Antara lain, jumlah dana talangan yang disalurkan BI ternyata melebihikebutuhan sebenarnya (karena daftar nominatif atau daftar kebutuhan danatalangan yang dibuat tidak akurat), dan hanya sebagian kecil DTR yangdilunasi hinggawaktu pengembalian yang ditetapkan jatuh tempo.

    Sementara itu, DTV diberikan sebagai pelaksanaanpada tanggal 4 Juni 1998, yaitu kesepakatan pemerintah dengan komiteperbankan internasional untuk menalangi utang-utang pihak swasta dalamnegeri (termasuk bank-bank dalam negeri) kepada pihak perbankan luarnegeri.

    Seperti juga DTR, DTV sarat dengan sejumlah penyimpangan, antaralain BI menalangi semua kewajiban luar negeri yang dilaporkan banktermasuk kewajiban yang tidak layak ditalangi, tidak adanya prosedurverifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum pembayaran DTVdilaksanakan, tidak dilakukannya pengikatan hukum atas sebagianpembayaran DTV, dan tidak dipersiapkannya prosedur pengendalian yang

    6. FasilitasDanaTalangan

    Frankfurt Agreement

    Definisi dan Pengertian BLBI 7/

  • layak atas penggunaan DTV oleh bank dalam negeri (debitur) danpengembalianDTV ( ) oleh bank luar negeri (kreditur).

    Meskipun kasus BLBI secara khusus lebih sering dirujuk pada jumlahdana BLBI yang dialihkan hak tagihnya dari BI kepada pemerintah (melaluiBadan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) pada tanggal 29 Januari1999 sejumlahRp 144,5 triliun, kasus BLBI sesungguhnyamelibatkan angkayang lebih besar dan berlangsung dalambeberapa tahap.

    Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yangdilakukan pada kurun waktu krisis (yaitu sekitar bulan September 1997setelah Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untukmemberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN).Meskipun, jika dirunut lebih jauh, pengucuran BLBI tahap pertama inisebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberidispensasi bagi bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikutikliring. Beberapa bank yang menerima dispensasi itu antara lain Bank ArthaPrima, Bank Harapan Sentosa, Bank Pacific, dan Bank Asta (SukowaluyoMintorahardjo, ,Jakarta: RESI, 2001). Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal inisejumlahRp 144,536 triliun.

    Awalnya, jumlah dana BLBI yang dikucurkan pada tahap satu inidiperhitungkan sejumlah Rp 164,54 triliun. Namun, saat terjadi pengalihanhak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah melalui BPPN pada 29 Januari1999, dinyatakan sejumlah Rp 20 triliun diperhitungkanmenjadi penyertaanmodal pemerintah pada PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero),sehingga jumlah yang dialihkanmenjadi sebesar Rp 144,5 triliun. Jumlah Rp144,5 triliun itu terdiri atas surat utang pemerintah kepada BI pada 25September 1998 sebesar Rp 80 triliun dan surat utang pemerintah pada 8Februari 1999 senilai Rp 64,536 triliun.

    Penerima kucuran dana BLBI tahap satu ini antara lain SyamsulNursalim (BDNI) Rp 37,04 triliun, Soedono Salim atau Liem Sioe Liong(BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050

    refund

    BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto

    Beberapa Tahap Pengucuran BLBI dan Jumlahnya

    8 Definisi dan Pengertian BLBI/

  • triliun, BobHasan (BUN)Rp 12,068 triliun, danHendra Rahardja (BHS) Rp3,866 triliun.

    Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari 1999 hinggaMei 1999.Hal ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepadapihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN.Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepadasejumlah bank, baik yang berstatus BDP (BankDalamPenyehatan)maupunberstatus non BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karenaprogram penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan.Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karenaitulah, kebijakan penyaluran tambahan BLBI akhirnya dilakukan oleh BI.Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun (sesuai denganperhitungan penyaluran BLBI pada tanggal 29 Januari 1999 hingga 14 Mei1999).

    Tahap selanjutnya dalam pengucuran BLBI adalah melalui programpenjaminan perbankan yang disebut dengan Programpenjaminan perbankan dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 Tahun1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publikterhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai denganderasnya pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintahmenjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat pada sejumlah bank,berapapun jumlahnya.

    Dalam rangka menyediakan dana untuk program penjaminan tersebut,pada tanggal 28Mei 1999, pemerintahmenerbitkan SuratUtang Pemerintah(SUP) bernomor SU-004/MK/1999 sebesar Rp 53,779 triliun (sepertiterlihat, dana untuk program penjaminan perbankan baru dapat disediakanpemerintah lebih dari setahun setelah kebijakan itu dikeluarkan). Darijumlah itu, kemudian ditetapkan bahwa dana yang digunakan untukprogram penjaminan adalah sebesar Rp 39,322 triliun, sedangkan sisanyasebesar Rp 14,447 triliun digunakan untuk mengambil alih hak tagihtambahan BLBI dari BI (sempat terjadi kontroversi karena pemerintah padaawalnya tidak bersedia menerima pengalihan hak tagih tambahan BLBItersebut dari BI). Sehingga, jumlah BLBI yang dikucurkan untuk tahappenjaminan perbankan ini adalahRp 39,322 triliun.

    blanket guarantee.

    rush

    Definisi dan Pengertian BLBI 9/

  • Setelah tiga tahap penyaluran BLBI tersebut, suntikan dana ke pihakperbankanWalaupun dinyatakan terpisah dengan kasus BLBI, namun pada hakikatnyaprogram ini merupakan kelanjutan dari pengucuran BLBI, sebagai bagiantak terpisahkan dari rangkaian kebijakan penyelamatan perbankan di saatkrisis. Bank-bank yang mengikuti program ini pun, sebagian besarnyamerupakan bank-bank yang sebelumnya telahmenerima danaBLBI.

    Dalam hal jumlah uang negara yang dikeluarkan, program rekapitalisasiperbankan bahkan menghabiskan uang yang jauh lebih besar. Untukprogram ini, pemerintah menyuntikkan dana berupa obligasi atau suratutang (dikenal dengan ) sekitar Rp 431,6 triliunkepada pihak perbankan. Penerbitan obligasi dilakukan karena pemerintahtidak memiliki dana tunai untuk menyetorkan modal dalam bentuk uangkepada bank-bank rekap. Namun akibatnya, pemerintah harus menyisihkandana setiap tahunnya dari APBN untuk membayar pokok dan bungaobligasi rekap kepada perbankan.

    Ditambah dengan bunga yang harus dibayarkan, jumlah total uang yangharus dikeluarkan pemerintah dalam program ini paling sedikit mencapainilai Rp 1.031 triliun. Jumlah ini akan kian membengkak jika pemerintahmelakukan pengunduran jadwal atas pembayaran pokok maupun bungaobligasi tersebut. Dalam skenario yang paling buruk, nilai total obligasirekap yang harus dibayarkan pemerintahmencapai Rp 2.000 triliun.

    Pengucuran obligasi rekap sendiri merupakan implementasi darirekomendasi IMF untuk meningkatkan rasio pemodalan bank-banknasional (dikenal dengan istilah /CAR) hingga di atasangka 8% pada tahun 2001. Peningkatan modal itu dinyatakan diperlukanuntuk menstabilkan kondisi perbankan nasional. Dengan modal yangcukup, bank dapat menjamin kemampuannya dalam membayar kewajiban-kewajibannya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankankembali pulih.

    Pada kenyataannya, pengucuran obligasi rekap memang berdampakpada peningkatan kinerja beberapa bank penerimanya. Hal ini terutamakarena bank-bank tersebut memperoleh pendapatan rutin dari pembayaranbunga obligasi rekap yang diberikan pemerintah.Namun, yang perlu dicatat,laba yang diperoleh pihak perbankan itu harus dibayar mahal oleh seluruh

    dilanjutkan melalui program rekapitalisasi perbankan.

    obligasi rekapitalisasi/OR

    capital adequacy ratio

    10 Definisi dan Pengertian BLBI/

  • rakyat Indonesia melalui beban pembayaran obligasi rekap tiap tahunnyadalamAPBN.

    Ada 3 kategori utama bank-bank peserta Program RekapitalisasiPerbankan untuk menerima obligasi rekap, berdasarkan jenis sertakepemilikan bank tersebut, yaitu:

    BankUmum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank InternasionalIndonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia,PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media,PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon IndonesiaTbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank NiagaTbk.;

    Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.,PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara(Persero) Tbk., andPT.BankMandiri.;

    Bank PembangunanDaerah, di antaranya BPDDaerah Istimewa Aceh,BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD DaerahKhusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPDKalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPDMaluku, BPDNusa TenggaraBarat andBPDNusaTenggaraTimur.

    Persoalan lebih serius muncul ketika bank-bank yang telah menerimakucuran obligasi rekap dari pemerintah tersebut kemudian satu demi satudijual dengan harga yang jauh di bawah nilai asetnya. Hal ini terjadi karenapada saat dilaksanakan divestasi atau penjualan atas bank-bank rekap, bankyang bersangkutan masih memiliki obligasi rekap dalaminvestasinya, yang nilainya berlipat-lipat lebih besar dibanding hargapenjualannya. Contoh paling fenomenal dalam hal ini adalah kasuspenjualan 51% saham BCA yang memiliki tagihan obligasi rekap senilai Rp60,9 triliun dengan harga hanyaRp 5,3 triliun saja.

    portofolio

    Definisi dan Pengertian BLBI 11/

  • Bab 2

    LATAR BELAKANGDAN KRONOLOGISKANDAL BLBI

    Marwan Batubara

    Latar Belakang : Krisis Ekonomi 1997

    Kebijakan pengucuran BLBI oleh pemerintah tak dapat dilepaskan darikondisi krisis ekonomi yang secara cepat menjalar ke berbagai sektorperekonomian di Indonesia saat itu, khususnya sektor perbankan.

    Krisis bermula dari krisis ekonomi yang secara umum terjadi padanegara-negara Asia di tahun 1997. Diawali dengan terpukulnya nilai rupiahterhadap dolar, menyusul jatuhnya nilai Baht di Thailand. Baht yang selama10 tahun terakhir diperdagangkan dengan nilai 25 per dolar, dalam waktusemalam saja mendadak merosot nilainya hingga 25%. Hal ini memicu aksispekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea,Filipina, dan Indonesia.

    Begitu besarnya kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehinggadinyatakan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di sejumlah wilayah

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 13/

  • Asia berakar pada terdepresiasinya nilai mata uang lokal (rupiah untuk kasusIndonesia) terhadap dolar sebagai akibat dari permainan para spekulan.

    Selain aksi spekulan, penyebaran krisis juga terjadi sebagai akibat dari. Yaitu dampak keterkaitan perdagangan antar negara,

    dimana devaluasi di suatu negara (dalam hal ini Thailand) akan berimbaspada dagangnya (negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia).Imbas tersebut akan kian kuat jika kedua negara memiliki fondasi ekonomiyang sama-sama rapuh, seperti halnya Indonesia danThailand.

    Ironisnya, meskipun bermula di Thailand, pada akhirnya Indonesiamerupakan negara yang paling parah mengalami dampak krisis. Tercatat,pasar modal jatuh lebih dari 80% dan nilai tukar rupiah merosot 75%terhadap dolar.

    Mengatasi hal itu, Bank Indonesia lalumelakukan sejumlah upaya untukmeredam gejolak rupiah. Diantara langkah-langkah yang dilakukan BI saatitu adalah meningkatkan intervensi terhadap nilai tukar rupiah, menaikkansuku bunga, dan menghentikan sementara transaksi surat berharga pasaruang (SBPU). Melalui berbagai langkah itu, BI berupaya mengetatkanlikuiditas (membatasi jumlah uang beredar), sehingga nilai rupiah dapatdistabilkan.

    Namun, sejumlah kebijakan moneter pemerintah tersebut justrumengakibatkan krisis semakin menjadi. Pelebaran rentang intervensiterhadap nilai tukar rupiah, misalnya, ternyata sama sekali tidak berhasilmenstabilkan nilai tukar rupiah. Padahal, kebijakan tersebut menguras habiscadangan devisa dalam waktu singkat. Dalam waktu tiga hari saja selamaintervensi dilakukan (11 Juli14 Juli 1997), negara harus menggelontorkandana US$ 500 juta untuk membantu posisi nilai tukar rupiah denganmembanjiri pasar uang dengan dolar.

    Akhirnya, ketika rupiah terus tertekan, BI pun menyerah danmemutuskan untuk mengambil kebijakan kurs mengambang(menghentikan intervensi terhadap nilai tukar rupiah). Hal ini membuatkepercayaan investor jatuh, dan menarik modalnya dari pasar modal danpasarmata uang.

    Sementara itu, kebijakan pemerintahmenaikkan tingkat suku bunga BI,diikuti dengan melonjaknya suku bunga antar bank secara drastis dari

    spillover (trade linkages)

    partner

    14 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/

  • semula berada pada kisaran 16%-17% menjadi 100%. Suku bunga antarbank bahkan sempat mencapai angka 300% pada 22 Agustus 1997. Hal inimembuat bank mengalami kelangkaan likuiditas (persediaan uang) yangkemudian semakinmembuat kondisi perbankan pada kondisi kritis.

    Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untukmenghimpun dana masyarakat melalui peningkatan suku bunga deposito.Tetapi, kenaikan suku bunga deposito ini juga menyebabkan naiknya sukubunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah atau punbertambah karena sejumlah kreditor tidak sanggup membayar utang-utangnya.

    Kesulitan likuiditas juga membuat banyak bank melanggar ketentuanGiro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan danacadangan yang wajib disetorkan setiap bank ke BI agar dapat mengikutikliring, yang jumlah minimumnya ditetapkan sebesar 5% (hal ini meningkatdari sebelumnya 3%).

    Kelangkaan likuiditas mengakibatkan banyak bank mengalami kalahkliring atau saldo rekening gironya di BI berada dalam posisi debet/minus.Berita mengenai kalah kliring sejumlah bank ini, ditambah dengan rumor-rumor lain seperti bank yang rugi dalam transaksi valas dan larinya beberapabankir ke luar negeri, memicu keresahan masyarakat atas kondisi perbankandan akhirnya mengakibatkan terjadinya (penarikan uang dari banksecara serentak). Apalagi, kemudian pemerintah melakukan likuidasi atas 16bank nasional, sehinggamembuat keresahanmasyarakat kianmeluas.

    Dalam situasi kritis itulah, kebijakan untuk mengucurkan BLBI secarabesar-besaran diputuskan pemerintah. Program ini dimaksudkan untukmembantu bank-bank yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas.Melalui hal itu, diharapkan kondisi perbankan nasional yang tengah kritisdapat diselamatkan. Meskipun, pada kenyataannya, BLBI ternyata jugadikucurkan kepada bank-bank yang terbukti tidak sehat. Hal ini akhirnyamenimbulkan pertanyaan tentang maksud sesungguhnya di balikpengucuran BLBI, yang dicurigai hanya sebagai bentuk penyelamatankekayaan keluarga penguasa.

    non performing loan

    rush

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 15/

  • Kronologi Peristiwa Skandal BLBI

    Selanjutnya, secara kronologis, pengucuran BLBI dan praktik korupsiyang terdapat di dalamnya, terjadimelalui tahapan-tahapan peristiwa sebagaiberikut.

    Rangkaian krisis dimulai dengan terjadinya gejolak moneter, yaitumerosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah.Menyikapi hal ini, BImemperluas rentang intervensi kurs dari Rp 192 (8%) menjadi Rp 304(12%). BI juga melakukan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bungaSBI dari 6% menjadi 14%. Pemerintah pun kemudian terus memperketatlikuiditas dengan menghentikan untuk sementara pembelian SBPU daribank-bank.

    Pemerintah melepaskan intervensi terhadap dolar dengan menerapkansistem mengambang ( ), sehingga nilai rupiah mengambangbebas ( ). Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan devisa yangterkuras akibat dikucurkannya dolar dalam tindakan intervensi kurs yangdilakukan sebelumnya. Dolar melonjak drastis, sehingga terjadi kepanikandan gerakan pembelian dolar dalam jumlah besar.

    Pemerintah akhirya mengambil kebijakan moneter sangat ketat. Danayayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI. BI menaikkan sukubungamenjadi sebesar 30% (jangkawaktu 1 bulan) dan 28% (jangkawaktu 3bulan). SBI Repo, fasdis, KLBI, dan fasilitas-fasilitas BI lainnya jugadihentikan sementara.

    Saldo debet bank-bank selanjutnya meningkat drastis, sehingga merekameminta kebijakan pelonggaran likuiditas dari BI. Hal ini pada gilirannyamembuat BI melonggarkan penyaluran BLBI. Direksi BI juga menyetujuibeberapa bank bersaldo debet untuk melakukan penarikan tunai (BankHarapan Sentosa, BankNasional, BankNusa).

    Tingkat bunga di pasar uang melonjak drastis, seperti misalnya tingkatbunga pinjaman antar bank ( )meningkat hingga 100%.

    Investor, terutama luar negeri, melakukan aksi jual saham sehinggamenyebabkan IHSGanjlok. Para jugamenarik danamereka.

    Juli 1997

    Agustus 1997

    managed floating

    free floating

    overnight

    fundmanagers

    16 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/

  • September 1997

    Oktober 1997

    November 1997

    Pada tanggal 3 September, Presiden Soeharto memimpin rapat kabinetyang menyetujui pengucuran BLBI untuk menolong permodalan bank-bank yang sedang kritis.

    Pemerintah mulai melonggarkan likuiditas, ditandai denganditurunkannya suku bunga SBI sebanyak 3 kali.

    Beredar rumor di masyarakat tentang bank-bank kalah kliring, transaksivalas merugi, larinya beberapa bankir ke luar negeri, dan bahkan penculikanpemilik bank. Kondisi-kondisi ini praktis membuat masyarakat panik dankehilangan kepercayaan terhadap bank. Akibatnya, terjadi besar-besaran. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengucuranBLBI untuk memadamkan (setelah rapat kabinet yang dipimpinlangsungPresiden pada 3 September 1997).

    Dalam kondisi perekonomian yang kian terpuruk, pemerintah akhirnyameminta bantuan kepada IMF. Pada tanggal 30 Oktober 1997, LoIpemerintah dengan IMF ditandatangani (pemerintah diwakili MenkeuMar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono). Denganpenandatanganan ini, pemerintah sepakat untuk mengikatkan diri padasyarat-syarat ketat yang diberlakukan IMF.

    Inti dari kesepakatan dengan IMF mencakup agenda-agenda sepertirestrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatanlikuiditas, serta menaikkan tingkat suku bunga. Salah satu kesepakatan yangmenonjol adalah rencana penutupan 16 bank nasional.

    Pada saat itu beredar selebaran gelap tentang bank-bank yang akanditutup.Akibatnya, kembali terjadi .

    Pada tanggal 1 November, 16 bank dilikuidasi berdasarkan SKMenteriKeuangan No. Peng 86/1997. Kepercayaan terhadap bank semakinmerosot, kembali terjadi besar-besaran. Beredar pula rumor tentangbank-bank yang akan dilikuidasi tahap kedua. Bank-bank akhirnya memintabantuan fasilitas BI sebagai .

    rush

    rush

    rush

    rush

    the lender of the last resort

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 17/

  • Kemudian terjadi . BLBImeningkat karena terus terjadi.Akibatnya jumlah bank yang bersaldo negatif bertambah banyak.

    Terjadi perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkatdirektur baru (Miranda Gultom dan Aulia Pohan). Sementara itu, dan

    terusmeningkat.

    Pada pekan awal Desember, BI kemudian mempersiapkan kebijakanuntukmenukar saldo debet bank-bank di BI yang kianmembengkak denganpemberian fasilitas SBPUK. Misalnya Bank Danamon, disetujui untukmemperoleh SBPUKsenilai Rp 6 triliun.

    Kebijakan pemberian SBPUKkepada beberapa bank akhirnya disetujuiPresiden pada 27 Desember 1997. Hal ini dilakukan untuk menjaga agartidak banyak bank-bank yang bersaldo debet semakin kekurangan likuiditaspada akhir tahun 1997.

    Sehingga, pada bulan ini terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalamjumlah yang signifikan, hingga mencapai Rp 66 triliun. Pada waktubersamaan, terjadi pula lonjakan harga dolar yang sudah menembus Rp5.000 per dolar. Angka ini terus melonjak hingga mencapai Rp 15.000 perdolar pada Januari 1998.

    Jadi terlihat ada kaitan antara terjadinya yang menggunakan danaBLBI, dengan kenaikan dolar. Terindikasi, dana BLBI yang di- , justrudigunakan untukmembeli dolar.

    Pada bulan ini pemerintah mengumumkan RAPBN 1998 yang antaralain mengasumsikan kurs rupiah Rp 4.000 per dollar, inflasi 9%, sertapertumbuhan ekonomi sebesar 4%. Namun, RAPBN ini tidak mendapatkepercayan pasar.

    (Lol) antara pemerintah dengan IMF ditandangani pTidak seperti sebelumnya, kali ini untuk pertama

    kalinya Presiden Soeharto sendiri yang menandatangani LoI, disaksikanoleh Michael Camdesus di kediaman Soeharto di Cendana. Hal ini jugamengundang pertanyaan tentang keretakan hubungan Soeharto denganMenteri Keuangan dan Gubernur BI (sebagai buntut dari pencabutan izin

    capital flight rush

    rush

    capital flight

    rush

    rush

    Letter of intent

    Desember 1997

    Januari 1998

    adatanggal 15 Januari.

    18 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/

  • 16 bank). Presiden Soeharto kemudian membentuk Dewan Pemantapandan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), sehingga memegangsendiri kendali perekonomian nasional. Muncul juga gagasan tentangpemberlakuan (CBS).

    Pada 22 Januari, nilai dolar mencapai Rp 17.000 per dolar. Sementaraitu, (L/C) perbankan nasional di luar negeri ditolak. TermasukL/C untuk impor bahan-bahan baku dan barang-barang modal berorientasiekspor. Hal ini membuat sektor riil macet. Kondisi perbankan nasional punmemburuk dan kebutuhan likuiditasmeningkat.

    Selanjutnya, pada tanggal 26 Januari, pemerintah mengeluarkanKeppres No.26/1998 tentang program Penjaminan Pemerintah untukmengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan. Intinya Keppres inimenyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menjamin seluruhkewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dankrediturnya. Keputusan ini juga didorong oleh kenyataan tingginyapenarikan danamasyarakat dari perbankan saat itu.

    BPPN melalui Keppres No. 27 tahun 1998 yang bertugas melakukanpenagihan utang kepada pihak obligor. Dengan demikian, penyelesaiankewajibanBLBI dialihkan dari BI keBPPN.

    Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga membentuk TimPenanggulangan Masalah Utang-Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuaiRadius Prawiro. Tim mengumumkan pilihan bebas dalam pembayaranutang luar negeri. Debitur yang sanggup membayar dipersilakan jalan terus.Sedangkan, bagi debitur yang tidak mampu, pemerintah akan mencarikanjalan keluar melalui negosiasi dengan kreditur. Di kemudian hari,pemerintah akhirnya menanggung pembayaran debitur yang tak mampubayarmelalui fasilitas BLBI yang dinamai dana talangan valas (DTV).Dalamkaitan itu, pada tanggal 15 Januari, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmitamemerintahkan BI untuk membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 jutaberdasarkan .

    Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad memberikan persetujuan ataspembayaran penuh simpanan dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang

    currency board system

    letter of credit

    FrankfurtAgreement

    ,

    Sebagai wujud dari pelaksanaan program penjaminan, dibentuk

    Februari 1998

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 19/

  • dilikuidasi. Sebelumnya, terjadi pemecatan atas Gubernur BI SoedradjadDjiwandono dan Boediono. Posisi Soedradjad kemudian digantikan SjahrilSabirin.

    BImenaikkan suku bunga SBI dan dendaGiroWajibMinimum sebesar150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (

    ) . BI juga menaikkan bunga saldo debet sebesar 500% darisuku bunga JIBOR .Kenaikan besar-besaran tingkat suku bunga inidimaksudkan agar bank-bank tidak menggunakan saldo debet dan bisadengan cepatmengembalikanBLBI yang diterimanya.

    Pada bulan ini, pemerintah juga menetapkan ketentuan permodalanbagi bank-bank umum melalui PP No.38 Tahun 1998, yaitu mewajibkanpenyesuaian modal setor menjadi Rp 1 triliun pada 1 Desember 1998, Rp 2triliun pada 31Desember 2000, danRp 3 triliun pada 31Desember 2003.

    Pemerintah melalui Menkeu Fuad Bawazier membekukan 7 bank danmengambil alih 7 bank lainnya. Diantara bank-bank yang dibekukantersebut (BBO) adalah Bank Kredit Asia, Bank Subentra, Bank Hokindo,dan Bank Surya. Diantara bank-bank yang diambil alih ( ) adalahBank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Danamon, Bank UmumNasional, Bank Modern, dan Bank Exim. Selain itu, pemerintah jugamengumumkan 40 bankmerupakan bank dalampenyehatan.

    Kebijakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan atasjumlah BLBI yang dikucurkan, karena bank-bank tersebut mengalami saldodebet yang kian besar, seiring dengan jatuhnya kepercayaan masyarakatkepada perbankan. Pemerintah juga terus mengetatkan likuiditas, sepertimenaikkan suku bunga SBI menjadi berada pada kisaran 9,52%-16,67%.Hasilnya, rupiah menguat menjadi Rp 7.800 per dolar, namun inflasi jugameningkat.

    Sementara itu, tingginya suku bunga dan kenaikan kurs dolarmengakibatkan sejumlah kredit perbankan mengalami macet. Akibatnya,CAR bank mengalami penurunan drastis. Bank-bank yang menerima BLBIjugamengalami tekanan bunga yang sangat tinggi, sehingga ikut menambah

    Maret 1998

    April 1998

    Jakarta Inter Bank Offer

    Rate Overnight

    Overnight

    take over

    20 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/

  • pembengkakan jumlah BLBI yang dikucurkan (akibat tingginya bunga yangdiberlakukan).

    Dilakukan penggantian lagi atas Direksi BI, sehingga anggota DireksiBI di bawah kepemimpinan Soedradjad telah diganti sepenuhnya.Kepemimpinan BI menjadi di tangan Syahril Sabirin (Gubernur BI), AuliaPohan, Miranda Gultom, Iwan Prawiranata, Soebardjo Djojosumarto,Achwan,Achjar Ilyas, danDono Iskandar.

    Kerusuhan meluas di Medan dan Jakarta. Situasi politik yang memanasmenyebabkan IMF menunda pencairan pinjaman senilai 1 miliar dolar ASyang sedianya diberikan pada 4 Juni 1998. Terjadi peristiwa penembakanyangmenewaskanmahasiswa di Trisakti pada demonstrasi 13-15Mei 1998.

    Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi(pelarian dana ke luar negeri), sehingga terjadi kelangkaan likuiditas di dalamnegeri. Rupiah tertekan pada Rp 12.600 per dolar dan nilainya terusmerosot.

    Sejumlah menteri ekonomi menolak duduk kembali dalam kabinet.Beberapa tokohmasyarakat jugamenolak diangkat dalamDewanReformasiyang dibentuk Presiden Soeharto. Tekanan demi tekanan ini akhirnyamembuat Soehartomengundurkan diri sebagai Presiden pada 20Mei 1998.

    Pada tanggal Pemerintah menandatangani skema PKPS(PenyelesaianKewajiban Pemegang Saham) dalam bentukMSAAdanMRAdengan Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmono(Surya-Subentra), danUsmanAdmadjaja (Danamon).

    Menteri Keuanganmenerbitkan Surat Utang Pemerintah sebesar Rp 20triliun untuk mengkonversikan BLBI menjadi penyertaan modal sementarapemerintah pada Bank Exim. Dengan demikian, utang Bank Exim kepadaBI sebesarRp 20 triliun telah dipindahkanmenjadi kewajiban pemerintah.

    Mei 1998

    Agustus 1998

    Oktober 1998

    capital flight

    21 Agustus,

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 21/

  • September 1998

    November 1998

    Januari 1999

    Februari 1999

    Maret 1999

    Dibuat klausuldari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya

    melalui penyerahan aset.

    Pada 10 November, pemerintah menetapkan pola PKPS denganketentuan pengembalian BLBI dijadwalkan selama 4 tahun, yaitu 27% (daripokok dan bunga) dalam tahun pertama, dan sisanya dibagi rata selama 3tahun berikutnya dengan bunga 30% per tahun. Pembayaran diambil daripenjualan aset bank dan aset pemilik BBOdanBTO.

    Namun, atas keberatan IMF, skema jangka waktu pembayaran inidiubah dari satu tahunmenjadi 4 tahun. IMF beralasan skema tersebut tidakmungkin terlaksana dan akanmengganggu pemulihan ekonomi.

    Hak tagih BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN pada 29Januari 1999. Pengalihan hak tagih ke pemerintah ini merupakanpelaksanaan agenda reformasi struktural yang disepakati dengan IMF.Keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko EkuinGinanjarKartasasmitaNo.1799/MK/4/1998

    Pada 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepadapemerintah secara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gubernur BI)dan Bambang Subianto (Menteri Keuangan RI). Selanjutnya, pada 8Februari 1999 pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliununtukmembayar tambahan danaBLBI kepadaBI.Hal ini karena ternyata BIdiketahui mengucurkan lagi BLBI kepada sejumlah perbankan di luar BLBIsenilai Rp 144,5 triliun yang dilaporkan per 29 Januari 1999.

    Pada 13Maret 1999 pemerintah membekukan 38 bank, mengambil alih29 bank, dan merekapitalisasi 7 bank. 74 bank lainnya tidak mengikutiprogram rekapitalisasi karena pemiliknyamemilihmerekap sendiri banknya.

    Penting dicatat, sebagian besar bank yang dibekukan pemerintahternyata merupakan bank yang sejak April menerima program rekapitalisasi

    release and discharge (R & D) pada 21 September, yang

    membebaskan obligor

    .

    22 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/

  • dari BPPN dalam rangka penyehatan perbankan. Artinya, bank-banktersebut tetap tak terselamatkan meskipun telah menghabiskan uang negaradalam jumlah besar melalui program pengucuran BLBI maupunrekapitalisasi.

    Pada 5 Januari, pemerintah berbeda pendapat dengan BI soal jumlahBLBI. Menurut pemerintah, BLBI adalah sejumlah Rp 164,5 triliun, yaitujumlah awal Rp 144,5 triliun ditambah dengan pengucuran dana ke BankExim sejumlah Rp 20 triliun untuk menutup kerugian bank tersebut.Namun, BI mengklaim terdapat Rp 51 triliun lagi dana BLBI yang harusdibayar pemerintah dari tambahan BLBI yang dikucurkan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama periode November 1997-Januari 1998.

    Tak lama berselang, pada tanggal 29 Januari, BPK menyatakanberdasarkan audit yang dilakukannya, 95,78% dari total BLBI yangdikucurkan (Rp 144,5 triliun) tak bisa dipertanggungjawabkan.

    Beberapa waktu berikutnya, pada 22 Juli, audit BPKP jugamenunjukkan terjadi penyelewengan sejumlah Rp 54,5 triliun dari Rp 106triliun BLBI yang diberikan kepada 10 bank beku operasi dan 32 bank bekukegiatan usaha (posisi audit per 31 Januari 2000).

    Sebulan kemudian, pada 5 Agustus, BPK mengumumkan hasil auditfinal BLBI bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliundari Rp 144,5 triliun yang dikucurkan. BPK juga menyatakan terjadipenyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp 84,8 triliun oleh 48 bankpenerima. Sehingga, hanya Rp 34,7 triliun (25%) dana BLBI yang dapatdipertanggungjawabkan.

    Januari 2000

    Juli 2000

    Agustus 2000

    Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 23/

  • Bab 3

    KORUPSI DANPENYELEWENGANBLBI

    Marwan Batubara

    Telah diuraikan, pengucuran BLBI pada dasarnya bertujuan untukmengatasi kekurangan likuiditas yang dialami dunia perbankan saat terjadikrisis moneter tahun 1997. Pengucuran BLBI diharapkan dapatmenyelamatkan dunia perbankan dari ancaman kematian setelah persediaanuang mereka terkuras akibat macetnya pembayaran sejumlah debiturdibarengi dengan penarikan besar-besaran dana nasabah.

    Dalam konteks itu, pengucuran BLBI, berupa penyuntikkan dana tunaikepada pihak perbankan dapat dipahami sebagai upaya untukmempertahankan kestabilan perbankan. Stabilnya perbankan sendirimerupakan salah satu pilar penopang kestabilan perekonomian negarasecara umum.

    Namun, dalam praktiknya, pengucuran BLBI ternyata tidak berfungsimaksimal menolong kondisi perbankan nasional seperti tujuannya. Setelah

    Korupsi dan Penyelewengan BLBI 25/

  • ratusan triliun rupiah dana dikucurkan kepada pihak perbankan, kondisibank-bank bermasalah penerima BLBI bukannya membaik, namun malahkian sekarat. Bahkan, bank-bank tersebut satu demi satu bangkrut, sehinggadibekukan atau ditutup oleh pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa BLBIsesungguhnya tidak banyak membawa manfaat bagi pemulihanperekonomian nasional.

    Di sisi lain, pengucuran BLBI justru telah menghabiskan uang negaradalam jumlah yang sangat besar, yang bebannya harus ditanggung olehrakyat hingga saat ini dan bahkan sampai beberapa waktu mendatang.Ironisnya lagi, dana BLBI sebagian besar justru diselewengkan danmengalirmasuk ke kantong-kantong pribadi oknum perbankan, pejabat BI, maupunpemerintah.

    Karena itulah, oknum-oknum tersebut mutlak harus bertanggungjawab atas kerugian besar yang dialami negara akibat pengucuran BLBI.Tidak selayaknya terkurasnya uang negara hingga ratusan triliun rupiahakibat BLBI dianggap sebagai ongkos krisis yangwajar ditanggung negara.

    Berikut akan diuraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadidalam skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesiaberdiri tersebut.

    Korupsi BLBI telah secara gamblang ditunjukkan dalam audit BPKdanBPKP atas 48 bank penerima BLBI dari BI. Hasil audit kedua lembaganegara tersebut menemukan terdapat penyimpangan dalam penyaluran danpenggunaan dana BLBI.

    (posisi per 29 Januari 1999). Sedangkan

    dari total BLBI yang dikucurkan (dataselengkapnya terkait bank-bank penerima BLBI, jenis penyimpangan yangterjadi, dan jumlah penyimpangan yang dilakukan masing-masing bankdapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3, dan 4 bab ini).

    Hasil Audit BPK dan BPKP atas Penyaluran dan

    Penggunaan BLBI

    Dalam hal penyaluran BLBI, kerugian negarayang diakibatkan adalah senilai Rp 138,4 triliun atau 95,8% dari totaldana BLBI Rp 144,5 triliun dalamhal penggunaan BLBI, kerugian negara yang diakibatkan adalahsenilai Rp 84,842 triliun atau 58,7%

    26 Korupsi dan Penyelewengan BLBI/

  • 48 bank yang diaudit mencakup 5 Bank Take Over, 15 Bank DalamLikuidasi, 10 Bank Beku Operasi, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Auditdilaksanakan sejak akhir Februari 2000 s.d. 31 Juli 2000, dengan periodeaudit sejak bank-bankmenerimaBLBI s.d. 29 Januari 1999.

    Berikut secara garis besar temuan-temuan hasil audit BPKdanBPKP :

    1. Terdapat kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan terhadapBank;

    2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, sehinggaakhirnya tergantung pada bantuan likuiditas Bl;

    3. Bl tidak tegas dalam menerapkan prinsip (kehati-hatian perbankan);

    (pemeriksaan langsung) yang wajib dilakukan BIterhadap bank minimal setahun sekali, tidak dapat terlaksana karenaketidakseimbangan jumlah bank yang harus diawasi dan jumlahpengawas yang tersedia;

    5. Laporan-laporan berkala yang dijadikan dasar penilaian kinerja dankesehatan bank tidakmenggambarkan kondisi sebenarnya;

    6. Banyak bank melakukan rekayasa laporan, sehingga penilaian tingkatkesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif. Pelanggaran yangpaling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BMPK(Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan berbagai modusoperandi.

    BI tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) padabank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif ( ),bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah asetyang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisisperbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai

    . Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukanpenarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasaruangmereda.

    prudential banking

    4. On site supervision

    overdraft

    overdraft

    Terdapat Kelemahan pada Manajemen Penyaluran BLBI

    Korupsi dan Penyelewengan BLBI 27/

  • Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidakdapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untukmenanggulangi kesulitan likuiditas akibat nasabah, atau justru untukkepentingan grup pemilik bank.

    Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar suratberharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalulintas giral, berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yangmengalami kesulitan likuiditas.

    BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program PenjaminanKewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam KeppresNo.26/1998, dan justru bertahan untukmemberi bantuan likuiditas kepadaperbankanmelaluimekanisme kliring.

    Dalam penyaluran dana BLBI dari BI kepada pihak perbankan,ditemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yangmenimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,442 triliun atau95,78% dari total BLBI sejumlah Rp 144,536 triliun (posisi per 29 Januari1999).

    Penyimpangan dalam penyaluran BLBI meliputi penyimpangan dalampenyaluran Saldo Debet, Fasilitas Diskonto (I, II, dan New Fasdis), FasilitasSurat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK), Fasilitas Saldo Debet, DanaTalanganRupiah, danDanaTalanganValas (selengkapnya lihat lampiran 1).

    Ditemukan pula penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI olehpihak perbankan yaitu sebesarRp 84,842 triliun atau 58,70%dari total BLBI.Penyimpangan dalampenggunaanBLBI tersebutmeliputi antara lain:

    1. Peng gunaan BLBI untuk membayar/me lunas i moda lpinjaman/pinjaman subordinasi (Rp 46,08miliar);

    2. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bankumum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (nilai penyimpanganRp 46,088miliar);

    rush

    Terdapat Potensi Kerugian Negara Akibat Penyaluran BLBI

    Terdapat Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI

    28 Korupsi dan Penyelewengan BLBI/

  • 3. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait /kelompok terafiliasi (Rp 20,36 triliun);

    4. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga diluar ketentuan (Rp 4,47 triliun);

    5. PenggunaanBLBI untuk transaksi surat berharga (Rp 136,90miliar);

    6. Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru ataukerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp 22,46 triliun);

    7. Penggunaan BLBI untuk membiayai /penempatan baru diPasarUangAntar Bank/PUAB (Rp 9,82 triliun);

    8. PenggunaanBLBI untukmembiayai ekspansi kredit ataumerealisasikankelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp 16,81 triliun);

    9. Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (asettak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karyawanbaru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistem baru (Rp 456,35miliar);

    10. Penggunaan BLBI untuk membiayai (biaya operasional) bankumum (Rp 87,14miliar);

    11. Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapatdipertanggungjawabkan (Rp 10,06 triliun);

    12. Penggunaan BLBI untuk berbagai keperluan di atas, merupakan halyang melanggar ketentuan karena pengucuran BLBI ditujukan untukmengatasi krisis likuiditas pada bank akibat terjadinya nasabah.

    Berdasarkan temuan-temuan tersebut, sangat wajar jika BPKmenyimpulkan bahwa terdapat sangkaan tindak pidana dalam penyalurandan penggunaan BLBI yang mengakibatkan kerugian negara. Meskidemikian, pada kenyataannya, temuan BPK itu hingga saat ini belumsepenuhnya digunakan untuk mengusut tuntas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

    placement

    over head

    rush

    Korupsi dan Penyelewengan BLBI 29/

  • Jenis-jenis Penyimpangan dalam Penyaluran BLBI

    BPK dan BPKP juga mengungkapkan bahwa secara umum,penyimpangan BLBI terjadi terutama karena penyalurannya yang dilakukanmelalui mekanisme kliring, padahal pemerintah telah menetapkanmekanisme program penjaminan untuk memberi bantuan kepada pihakperbankan. Program penjaminan merupakan prosedur pemberian bantuankepada pihak perbankan yang ditetapkan pemerintah dalam Keppres No.26/1998 tentang Jaminan terhadapKewajibanPembayaranBankUmum

    Keppres No. 26/1998 ditetapkan pada tanggal 26 Januari 1998 danberisi keputusan bahwa pemerintah menjamin seluruh kewajibanpembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan kreditur.Dengan program penjaminan, diharapkan kepercayaan masyarakatterhadap dunia perbankan dapat dipulihkan.

    Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya program ini merupakan bagiantak terpisahkan dari kebijakan pengucuran BLBI, yaitu dalam rangkapenyelamatan kondisi perbankan nasional. Karena itu, pengucuran BLBIsudah seharusnya mengacu pada prosedur yang ditetapkan dalam programini.

    Berdasarkan program penjaminan, setiap bank umum nasionaldiperbolehkan mengikuti program ini selama mereka bersedia menerimapengawasan yang lebih ketat, menyampaikan laporan yang diminta,memberikan jaminan, membayar premi, danmelaksanakan hal-hal lain yangdianggap perlu. Sehingga, pada intinya, program penjaminan memberikanpersyaratan yang lebih ketat dan selektif bagi pihak perbankan untuk dapatmemperoleh penjaminan dari pemerintah.

    Namun, dalam kenyataannya, BI dan BPPN sebagai institusi pelaksanaprogram penyehatan perbankan, justru tidak segera melaksanakan programpenjaminan. Penyaluran BLBI dibiarkan terjadi melalui mekanisme kliring.Padahal, dengan mekanisme kliring, BI dan BPPN tidak dapat mengetahuiapakah kewajiban-kewajiban bankmerupakan kewajiban yang dapat dijamindengan programpemerintah atau tidak.

    Atas dasar hal ini, maka dapat dinyatakan bahwa tidak dilaksanakannyaprogram penjaminan merupakan salah satu penyebab dari berbagaipenyimpangan yang terjadi dalampenyaluranBLBI.

    30 Korupsi dan Penyelewengan BLBI/

  • Akibatnya, penyimpangan BLBI terjadi pada hampir setiap jenisfasilitas BLBI yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Hal ini sekali lagimenguatkan dugaan bahwa pengucuran BLBI sesungguhnya tidak didasarioleh niat baik untuk menyelamatkan kondisi perbankan, namun lebih padaupaya penyelamatan pribadi dan upaya menangguk keuntungan sebesar-besarnya dari oknum-oknum tertentu.

    Hal ini akhirnya membuat BPK dan BPKPmengaitkan ketidakseriusanBI dalam melaksanakan program penjaminan, dan sebaliknya membiarkanBLBI mengalir melalui mekanisme kliring, dengan keuntungan yangdiperoleh BI dari pembayaran denda maupun bunga oleh pihak perbankan.Padahal, beban ini menjadi tanggungan pemerintah. Menurut BPK, darikebijakan penyaluran BLBI, BI setidaknyamemperoleh pendapatan sebesarRp 34,57 triliun atau sekitar 23,92%dari jumlahBLBI yang dialihkan.

    Penyimpangan BLBI dalam setiap jenis fasilitas BLBI beserta dengannilai penyimpangannya, dapat dilihat pada uraian berikut:

    Penyimpangan dalam fasilitas saldo debet terjadi dalam bentukpemberian dispensasi kepada setiap bank untuk terus mengikuti kliring,meskipun rekening gironya di BI telah berada pada posisi negatif dalamjumlah yang besar dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. BIbahkan memberikan dispensasi ini tanpa menyebutkan batas jumlah danbataswaktu yang tegas.

    Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada Keputusan Rapat DireksiBank Indonesia tertanggal 15 Agustus 2007 yang menyatakan, Untukmengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan penarikan danapihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI,diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet,sampai dengan gejolak pasar uangmereda.

    Dalam keputusan tersebut, dinyatakan pula bahwa bank-bank di kantorpusat maupun cabang diperkenankan untuk menarik dana secara tunai dikantor pusat BI maupun kantor BI dalam rangka melayani yangdilakukan nasabah, meskipun rekening giro mereka telah bersaldo negatif(saldo debet).

    1. Saldo debet

    rush

    Korupsi dan Penyelewengan BLBI 31/

  • Setelah keluarnya keputusan tersebut, maka dispensasi diberikan BIkepada bank-bank untuk terus mengikuti kliring, melakukan pengambilantunai, dan melakukan transfer dana ke cabang-cabang walau telah bersaldodebet. Dispensasi juga diberikan kepada bank yang sebenarnya tidakmengajukan permohonan akan hal tersebut. Hal ini dapat terjadi karenakeputusan direksi tidak menjelaskan secara detil nama-nama bank yangperlu memperoleh dispensasi, melainkan berlaku bagi semua bank secaraumum. Sehingga, potensi ketidaktepatan penyaluran bantuan sangat besarterjadi.

    Apalagi, BI juga tidak melakukan pengecekan atas jenis-jenis transaksiyang dibayar, karena penyaluran dana melalui mekanisme kliring tidakmemungkinkan hal tersebut. Sehingga, BI tidak dapat mengetahui apakahBLBI yang disalurkan melalui mekanisme kliring tersebut benar-benarmengalir ke nasabah.

    Perlu pula dicatat, pemberian dispensasi kepada perbankan untukbersaldo debet sebenarnya sudah melanggar ketentuan hukum yangdikeluarkan oleh BI sendiri. Dalam Pasal 9 Ayat 1 Keputusan Direksi BINo.14/35/KEP/DIR/UPPB tentang penyelenggaraan kliring lokal,disebutkan bahwa peserta dapat dihentikan sementara dari kliring lokalapabila peserta (bank) yang bersangkutan mengalami salah satu kondisiberikut :

    Tidak dapatmenyelesaikan saldo negatif;

    Keadaan administratif, pimpinan, dan keuangannya tidakmemungkinkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalamkliring lokal;

    Melanggar ketentuan Bank Indonesia yang memuat sanksipenghentian sementara dari kliring lokal.

    Hal-hal di atas menunjukkan mekanisme kliring telah berubah fungsidari mekanisme untuk memperlancar sistem pembayaran menjadi saranapenyediaan dana tunai kepada bank-bank. Karena itulah, BPK menyatakankebijakan ini sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktik bisnisperbankan.

    Terbukti, jumlah kerugian yang dialami negara akibat penyimpangandalam fasilitas ini mencapai Rp 18,16 triliun atau 100% dari total dana yang

    32 Korupsi dan Penyelewengan BLBI/

  • dikucurkan. Artinya, BPK menyimpulkan keseluruhan dana yangdikucurkanmelalui fasilitas saldo debet tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    Pemberian Fasdis I maupun II seharusnya mengacu pada ketentuan BIyang berlaku, yaitu Surat Keputusan Direksi BI No. 21/54/KEP/DIRtanggal 17 Oktober 1998 jo. No. 23/64/KEP/DIR tanggal 28 Feburari1991. Menurut ketentuan tersebut, Fasdis I disediakan sebagai fasilitasuntuk memperlancar pengaturan dana sehari-hari dengan jumlahmaksimum sebesar 5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah.Sedangkan, Fasdis II disediakan untuk menanggulangi kesulitan likuiditassementara sebagai akibat ketidaksesuaian ( ) dalam rangkapemberian kredit jangka menengah/panjang dengan jumlah maksimumsebesar 3%dariDPKdalam rupiah.

    Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada kasus BLBI,pemberian Fasdis I dan II dilakukan untuk mengkonversi saldo debetrekening bank di BI. Karena itu, pemberian fasilitas Fasdis I dan II oleh BIkepada perbankan pada kasus BLBI telah melanggar ketentuan yangberlaku.

    Pemberian Fasdis kepada pihak perbankan juga dilakukan sebagiannyatanpa permohonan dari bank yang bersangkutan. Fasdis diberikan secaraumum kepada semua bank yang mengalami saldo debet berdasarkan rapatDireksi BI.

    Selain itu, penyimpangan juga terjadi ketika BI tidakmelakukan sita ataueksekusi jaminan terhadap kebendaan terhadap bank-bank yang hinggaFasdis II jatuh tempo, tetap tidak dapat menutup kekurangan rekeninggironya di BI (tetap bersaldo debet). Akhirnya, BI membebani kemba