Upload
gia-noor-pratami
View
103
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK 8 PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI
SKENARIO 1
PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI
MELALUI GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Oleh
Kelompok 12:
Fiqih Faruz Romadhon (G0009084)
David Kurniawan S. (G0009050)
Ichsanul Amy Himawan (G0009104)
Ahmad Afiyyudin (G0009008)
Ariesta Permatasari (G0009028)
Dhiandra Dwi H. (G0009058)
Hanifah Astrid (G0009100)
Fika Khulma S (G0009082)
Qonita S. Janani (G0009176)
Muvida (G0009144)
Gia Noor Pratami (G0009092)
Tutor: Prof. Bambang Suprapto, dr. M.Med.Sci,Nutr,Sp.GK.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang termasuk dalam wilayah tropis mempunyai berbagai
penyakit endemik yang tidak terdapat di negara-negara subtropis atau iklim
sedang lainnya. Penyakit tropis dan infeksi merupakan permasalahan yang
harus dikuasai oleh dokter yang bekerja di tengah-tengah masyarakat
Indonesia.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
Seorang mahasiswi, 23 tahun, datang ke RSUD Dr. Muwardi dengan keluhan
sering mual dan muntah selama 1 minggu. Keluhan ini disertai febris 8 hari
yang sifatnya remitten, tetapi tidak sampai menggigil. Hasil pemeriksaan
dokter didapatkan: febris, bradikardi relatif, lidah kotor dan tremor, serta
hepatosplenomegali. Sebelumnya penderita dicurigai infeksi dan sudah diberi
antibiotik oleh dokter Puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Diantara
teman satu kosnya ada yang menderita keluhan yang sama. Lingkungan
rumah kos penderita banyak tikusnya.
Hasil pemeriksaan darah didapatkan: leukopeni, tes serologi Widal
positif, dan IgM Salmonella Typhii meningkat, sedangkan hasil pemeriksaan
apusan darah tebal/tipis malaria negatif. Direncanakan pemeriksaan MAT
(Micro Agglutination Test).
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa pasien mengalami febris?
2. Bagaimana mekanisme agen infeksius menimbulkan kondisi patologis?
3. Bagaimana Differential Diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang ada?
4. Bagaimana penatalaksanaan untuk pasien dalam kasus?
2
C. Tujuan Penulisan
Menjelaskan berbagai macam agen infeksius: morfologi, sifat, daur hidup,
habitat, dan asalnya.
Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit mulai dari masuknya
agen infeksius hingga muncul gejala klinis.
Menjelaskan komplikasi, prognosis, dan penegakan diagnosis penyakit
infeksi.
Menjelaskan penatalaksanaan penyakit infeksi (cara pencegahan,
pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi).
D. Manfaat Penulisan
Mahasiswa mampu menetapkan diagnosis atau Differential Diagnosis
penyakit infeksi berdasarkan pemeriksaan fisik, dan investigasi tambahan
yang sederhana, seperti pemeriksaan laboratorium.
Mahasiswa mampu menjelaskan secara patofisiologi masing-masing
penyakit tropis secara biomedik.
Mahasiswa mampu melakukan pencegahan primer dan sekunder pada
penyakit infeksi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan
oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut
hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih ringan. Kedua penyakit di
atas disebut tifoid. Terminologi lain yang sering digunakan adalah typhoid fever,
paratyphoid fever, typhus, paratyphus abdominalis atau demam enterik
(Widoyono 2008).
Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan
demam tifoid, namun cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih
rendah. Ratio Distribusi Penyakit yang disebabkan oleh Salomnella enterica
serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan dengan S. enterica serovarian
Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira 10:1 (Chin 2000).
Salmonella
Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen penyebab
bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis sampai dengan demam tifoid
yang berat disertai bakteremia. Oleh Ewing, Salmonella diklasifikasikan dalam 3
spesies, yaitu: Salmonella choleraesuis, Salmonella typhi, Salmonella enteritidis,
dan kuman dengan tipe antigenik yang lain dimasukkan ke dalam serotip dari
Salmonella paratyphi enteritidis bukan sebagai spesies baru lainnya.
a. Morfologi
Kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat
negatif Gram, ukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm,
mempunyai flagel peritrik kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella
gallirum.
b. Fisiologi
Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif aerob, suhu tumbuh 15-41o C
(optimum 37,5o C), dan pH pertumbuhan 6-8. Isolat kuman memiliki sifat-
4
sifat: gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan
memberikanhasil negatif pada reaksi indol, DNAse, Fenilalanin deaminase,
urease, Voges Proskauer, reaksi terhadap sukrosa, laktosa, adonitol, serta
tidak tumbuh dalam larutan KCN. Pada agar SS, Endo, EMB, dan Mc
Conkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil, dan tidak berwarna, pada agar
Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam (Agus, et al 1994).
c. Daya tahan
Kuman mati pada suhu 56o C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa
tahan selama 4 minggu. Hidup subur pada media yang mengandung garam
empedu, tahan terhadap zat warna hijau brillian dan senyawa Natrium
tetraionat, dan Natrium deoksikholat. Senyawa-senyawa ini menghambat
pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapaat
digunakan di dalam media untuk isolasi kuman Salmonella dati tinja (Agus,
et al 1994).
d. Struktur antigen
Antigen Somatik, serupa dengan antigen somatik (O) kumam
Enterobacteriaceae lainnya. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100o C,
alkohol, dan asam. Antibodi yang terbentuk terutama IgM.
Antigen flagel, pada Salmonella antigen ini ditemukan dalam 2 fase,
spesifik dan tidak spesifik. Antigen H ini rusak pada pemanasan di atas 60 o C,
alkohol, dan asam. Antigen yang terbentuk adalah IgG.
Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam, terdapat
pada bagian paling luar dari badan kuman. Dapat dirusak dengan pemanasan
60o C selama 1 jam, pada penambahan fenol dan asam. Kuman yang
mempunyai antigen Vi ternyata lebih virulen baik terhadap binatang maupun
manusia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan kuman terhadap bakteriofag
dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi
yaitu dengan cara tes aglutination slide dengan Vi antiserum (Agus, et al
1994).
5
Patogenesis
Masuknya kuman S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian kelenjar
getah bening mesentrika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meniggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik (Djoko 2006). Secara skematis patogenesis dan patofisiologis
tifoid terangkum pada flowchart berikut. Dikutip dari Djoko, 2006.
6
Standar Diagnosis (Arif 2001; Djoko 2006; Agus, et al 1994)
a. Gejala klinis
Dalam minggu I : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik : peningkatan suhu badan.
Dalam minggu II : demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, dan
roseolae.
b. Deteksi agen infeksius
1. Pemeriksaan darah, kultur darah (+) memastikan demam tifoid, (-)
tidak menyingkirkan demam tifoid.
2. Pemeriksaan tinja, (+) menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
3. Pemeriksaan widal
Peningkatan titer uji Widal 4x lipat selama 2 – 3 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O
7
1:320 atau titer antibodi 1:640 menyokong diagnosis demam tifoid
pada pasien dengan gambaran klinis khas.
4. Tes aglutination slide dengan Vi antiserum sebagai diagnosis cepat
antigen Vi S. typhi.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leukopenia, limfositosis
relatif. Dapat pula anemia ringan dan trombositopenia.
2. SGOT/SGPT meningkat.
3. LED (Laju Endap Darah) dapat meningkat.
Diagnosis banding (Widoyono 2008)
Pes DBD Influenza Malaria
Etiologi
Yersinia pestis. Hewan reservoir: hewan pengerat, vektor penular: pinjal (kutu) Xenopsylla cheopsis, Culex iritans
Virus Dengue: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.Vektor: nyamuk Aedes aegypti dan A. Albopictus
orthomyxovirus : terdiri atas 3 tipe virus influenza tipe A,B,C
Sporozoa Plasmodium: P. vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovaleVektor: nyamuk anopheles
Gejala
klinik
o Demam tanpa sebab yang jelas (FUO) dan demam bisa tinggio Terdapat bubo pada
o Demam tinggi akut tanpa sebab jelas (2-7 hari)o Manifestasi perdarahan: tes RL (+), petekie (+), mimisan, muntah darah, berak darah hitam, ♀ menorrhagiao Hepatomegalio Syok (akral
o Batuk, pileko Nyeri ototo Sakit kepalao Nyeri menelano Nyeri peruto Mual, muntah
o Trias malaria: demam >2 hari, menggigil, berkeringato Konjungtiva palpebra pucato Hepatosplenomegalio P. falciparum: demam tiap hario P. vivax/ovale: demam selng 1 hari
8
inguinal, femoral, dan kertiako Sesak napas dan batuk
dingin, gelisah, tidak sadar)
o Iritasi matao Demam >38,9oCo Anoreksia
o P. malariae: demam selang 2 hari
Pemeriksa
an lab.
-
Trombositopeni
Hemokonsentrasi
Isolasi virus Serologis: Elisa
Apusan darah tebal/tipis: (+) parasit Imunokromatografi: deteksi antigen malaria Pemeriksaan darah rutin: Hb, Hct, AL, AE, AT.
B. Antibiotik
a. Definisi
Zat – zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri ysng memiliki
khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan
toksisitasnya bagi manusia relatif kecil ( Tjay dan Kirana, 2007)
b. Farmakodinamik
Cara kerjanya yang terpenting adalah perintangan sintesa protein
sehiangga kuman musnah atau tidak berkembang lagi. Selain itu beberapa
antibiotika berkerja terhadap dinding sel seperti pada kelompok betalaktam
atau sitoplasma seperti pada kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid, dan
eritromisin, dan asam nukleat seperti pada kuinolon dan rifampisin (Tjay
dan Kirana, 2007; Nelwan, 2007)
c. Farmakokinetik
Dapat diberikan secara oral perlu dipastikan agar absorpsi berlangsung
baik. Pada infeksi serius atau terjadi mual dan muntah perlu diberikan
terapi parenteral. Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi.
Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi yang dihasilkan
senyawa – senyawa inaktif tetapi kadang – kadang dapat terjadi produk
toksik. Eliminasi umumnya melalui ginjal dan beberapa mengalami
9
eliminasi empedu. Konsentrasi intaluminal dapat meningkat dalam saluran
cerna terutama bila ekskresi secara utuh (Nelwan, 2007)
d. Aktivitas
Pada umumnya aktivitasnya dinyatakan denagn satuan berat (mg), kecuali
zat – zat yang belum dapat diperoleh 100% murni dan terdiri dari
campuran beberapa zat (Tjay dan Kirana, 2007)
e. Penggunaan
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit infeksi
akibat kuman atau juga prevensi infeksi (Tjay dan Kirana, 2007).
f. Jenis – jenis antibiotik
1. Kelompok penisilin dan sefalospirin
2. Kelompok tetrasiklin
3. Kelompok aminoglikosida
4. Kelompok makrolida dan linkonsin
5. Keklompok polipeptida
6. Kelompok sisa
(Tjay dan Kirana, 2007)
C. Resistensi Antibiotik
a. Klasifikasi antibiotik
Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: resitensi
alami dan resistensi didapat.
Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika tersebut memang kurang
atau tidak aktif terhadap suatu kuman.
Resistensi didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif
terhadap suatu antibiotika kemudian berubah jadi resisten ( Hadi, 2007)
b. Faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya resistensi antibiotika
1. Faktor penggunaan antibiotika
2. Faktor pengendalian infeksi
(Hadi, 2007)
10
c. Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik
1. Selaput bagian luar kuman gram negatif
Bagian ini sedikit menghambat antibiotik masuk ke dalam sitoplasma.
Mutasi pada bagian tersebut meningkatkan tingkat kesulitan antiotik
untuk masuk ke dalam kuman.
2. Inaktivasi antibiotika melalui jalur enzimatik
3. Modifikasi pada target antibiotika
4. Kuman mengembangkan jalur metabolisme lain yang memintas reaksi
yang dihambat oleh antibiotik.
(Hadi, 2007)
11
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang mahasiswi 23 tahun, febris 8 hari remitten, tetapi tidak sampai
menggigil, bradikardi relatif, lidah kotor, dan tremor, hepatosplenomegali,
leukopenia, dan lingkungan banyak tikus dengan teman sekos mengalami keluhan
serupa. Dengan gejala dan tanda yang terjadi pada penderita, mungkin seorang
dokter sudah mulai mencurigai kalau gejala-gejala dan tanda-tanda tersebut adalah
pertanda demam tifoid. Namun, masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan diferensial diagnosis yang ada.
Mekanisme gejala
Dari gejala yang timbul dapat diketahui penyebabnya. Yang pertama yaitu
mual dan muntah yang merupakan akibat gangguan saluran cerna hingga
gangguan saraf seperti pada motion sickness. Adanya gas serta gerakan peristaltik
usus pun turut berperan dalam timbulnya mual dan muntah. Namun pada pasien,
intinya adalah kerusakan saluran gastrointestinal menimbulkan impuls iritatif
yang merangsang pusat muntah di batang otak yang memerintahkan otot abdomen
dan diafragma untuk berkontraksi sehingga menyebabkan mual dan muntah.
Gejala demam umumnya terjadi akibat adanya rangsangan untuk
meningkatkan suhu tubuh atau adanya gangguan pada pusat pengatur suhu, yaitu
hipotalamus. Pada pasien, demam terjadi akibat adanya rangsangan terhadap
metabolisme asam arachidonat oleh pirogen endogen (IL-1) yang dirangsang oleh
pirogen eksogen yang ada pada toksin bakteri atau agen infeksius lainnya. Sifat
demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius, dalam hal ini bakteri,
dan ritme aktivitas host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore hingga malam
hari karena pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah menurun, sehingga suhu
tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi set point “palsu” yang di
set oleh bakteri dengan mekanisme demam. Sedangkan menggigil adalah salah
satu mekanisme termogenesis dalam usaha meningkatkan suhu. Pada umumnya
menggigil terjadi pada demam yang suhunya jauh dari nilai normal.
12
Dalam hal ini, peranan endotoksin yang dimiliki Salmonella mungkin
merupakan penyebab demam. Endotoksin merangsang pelepasan zat-zat pirogenik
dari sel-sel makrofag dan sel-sel PMN. Ini terjadi saat bakteremia kedua, dimana
sel-sel fagosit telah teraktivasi dan hiperaktif hingga menghasilkan mediator
inflamasi yang selanjutnya timbulah gejala reaksi inflamasi sistemik.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Masuknya kuman di
kantong empedu dan plague Peyeri ini menyebabkan kultur tinja positif, dan
invasi ke dalam kantong empedu sendiri dapat menyebabkan terjadinya carier
kronik.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan psikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,
dan gangguan organ lainnya. Sedangkan adanya hepatosplenomegali bermula dari
bakteremia pertama yang menyebabkan kuman Salmonella ini tersebar di seluruh
organ-organ retikuloendotelial terutama di hati. Di organ-organ retikuloendotelial
ini kuman tumbuh dan berkembang biak di ekstraseluler atau sinusoid yang
ujungnya timbul hepatomegali atau splenomegali.
Bradikardi relatif dan lidah kotor tidak dapat dijelaskan penyebabnya yang
lebih spesifik, namun mekanisme tersebut terbukti sebuah tanda patologis.
Sedangkan tremor digunakan tubuh untuk meningkatkan termoregulasi, melalui
peningkatan metabolisme basal. Hal ini juga terjadi akibat tubuh dipaksa untuk
mengikuti set point “palsu” yang di set oleh agen infeksius.
Leukopeni dapat terjadi pada keadaan infeksi tertentu, yaitu demam tifoid,
influenza, tifus abdominalis dan kadang-kadang tuberkulosis. Leukopeni
merupakan hasil yang sering didapatkan pada penderita demam tifoid, namun
13
tidak selalu. Dalam kasus, pasien mengalami leukopenia akibat supresi sumsum
tulang oleh S. typhi.
Penderita sebelumnya dicurigai infeksi, dan sudah diberi antibiotik oleh
dokter puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Hal ini mungkin terjadi akibat
resistensi penderita terhadap jenis antibiotik tertentu. Apabila terjadi resistensi,
sebaiknya dipilihkan obat lain yang belum resisten, atau digunakan kombinasi
minimal dua jenis antibiotik yang mekanisme kerjanya berbeda. Kombinasi
antibiotik seperti ini sering dilakukan untuk terapi tuberculosis yang resisten.
Adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adalah sebagai
penyingkir diferensial diagnosis yang dirumuskan sementara. Pemeriksaan Widal
yang positif dan kultur darah Salmonella yang positif sudah dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi, adanya hasil kultur darah
yang negatif belum menyingkirkan diagnosis demam tifoid, karenan mungkin
disebabkan beberapa hal: telah mendapat terapi antibiotik, volume darah kurang
(saat pemeriksaan), adanya riwayat vaksinasi, atau saat pengambilan darah setelah
minggu pertama, pada saat aglutinin meningkat.
Transmisi kuman mungkin ditularkan dari/ke teman satu kos pasien.
Makanan dan minuman yang terkontaminasi khususnya S. Typhi, bisa berada
dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme masuk ke dalam vehicle
yang cocok (daging, kerang, dll) akan berkembang biak hingga mencapai dosis
infektif, carier manusia merupakan sumber infeksi.
Banyaknya tikus belum diketahui adakah hubungannya dengan penyakit
pasien, hanya saja menjadikan Pes yang vektornya adalah rodensia mejadi
diagnosis banding terhadap gejala yang timbul pada pasien, yaitu Leptospirosis.
Walaupun pada leptospirosis ikterus yang terjadi sangat menonjol, dan jarang
terjadi splenomegali, namun untuk memastikan diagnosis, direncanakan
dilaksanakan pemeriksaan MAT.
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mahasiswa tersebut kemungkinan menderita demam typhoid berdasarkan
gejala klinis.
2. Hasil pemeriksaan penunjang yang diharapkan; Widal (+), MAT (-).
3. Diagnosis Banding berupa malaria dan leptospirosis dapat disingkirkan
dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
4. Ketidakberhasilan antibiotik mungkin disebabkan karena pasien resisten
atau kesalahan penggunaan narrow-spectrum antibiotik.
B. Saran
1. Adanya diagnosis yang mengarah ke demam typhoid, maka sebaiknya
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah tes Widal.
2. Penggunaan antibiotik spectrum sempit sebaiknya digunakan setelah agen
infeksius diketahui dengan pasti.
3. Pasien dianjurkan untuk lebih menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya
agar tidak terjangkit kuman yang bersarang di tempat-tempat kotor.
15
DAFTAR PUSTAKA
Agus S,[dkk-Staff Pengajar FKUI] 1994, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran,
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, pp: 168-73.
Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu IW, Wiwiek S,… [et. al.] 2007, Kapita
Selekta Kedokteran, jilid 1, edisi III, Penerbit Media Aesculapius, Jakarta,
pp: .
Chin, James (Ed.) 2000, Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17, editor &
penterjemah: I Nyoman Kandun, hh: 556-67.
Djoko Widodo 2006, Demam Tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi 4, Jilid III, Penerbit IPD FK UI, Jakarta, pp: 1752-7.
Hadi, Usman. 2007. Resistensi Antibiotik In : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI.
hal. 1703 – 1706
Nelwan, RHH. 2007. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional di Klinik In : Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam FK UI. hal. 1700 - 1702
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat – Obat Penting Edisi VI.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Widoyono 2008, Penyakit Tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya, editor: Amalia S, Rina A, Penerbit Erlangga, Jakarta,
pp: 34-6.
16