68
Skenario B Nona A, umur 20 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan utama sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah kelopak mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil berkurang, buang air besar tidak ada keluhan. Satu tahun yang lalu, penderita sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki, nyeri hilang timbul. Penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang tanpa sembab, muka kemerahan terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena matahari. Nona A telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan. Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis. HR 100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur 37,5 o C, TD 170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka, stomatitis, ascites, edema pada ekstremitas. 1

Skenario B

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Skenario B

Skenario B

Nona A, umur 20 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan

keluhan utama sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum

masuk rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah kelopak

mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil berkurang, buang air

besar tidak ada keluhan.

Satu tahun yang lalu, penderita sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari

tangan dan kaki, nyeri hilang timbul. Penderita juga mengeluh demam yang tidak

terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang tanpa

sembab, muka kemerahan terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena

matahari.

Nona A telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada

perubahan.

Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis. HR

100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur 37,5oC, TD

170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka, stomatitis, ascites,

edema pada ekstremitas.

Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm3, LED 105 mm/hour, ureum

138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268 mg/dl, protein urin ++

+.

I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Sembab : Penumpukan cairan abnormal pada ruang

interstisial tubuh manusia

1

Page 2: Skenario B

2. Nyeri : Perasaan tidak enak, disebabkan

rangsangan dari ujung-ujung syaraf sensorik

pada suatu organ

3. Sariawan (stomatitis) : Radang difus pada

mukosa mulut

4. Sensorium : Keadaan individu terhadap

kesadaran seseorang

5. Kompos mentis : Kejernihan pikiran,

waras (kesadaran penuh)

6. Edema anasarka : Penumpukan cairan

abdominal pada ruang interstisial seluruh tubuh

7. Ascites: Pengumpulan cairan serosa di rongga

abdomen

8. Ekstremitas : Alat gerak tubuh manusia

9. Ureum : Produk akhir nitrogen utama dari

metabolismeprotein yang dibentuk di dalam hati

dari asam amino dan dari senyawa amoniak

10. Kreatinin : Bentuk anhidrida dari kreatin

(asam amino pada jaringan intervertebrata,

khususnya pada otot) dipakai sebagai indikator

diagnostik fungsi ginjal

11. Albumin : Protein yang larut dalam air dan

juga dalam konsentrasi larutan garam yang

sedang

2

Page 3: Skenario B

12. Kolesterol : Sterol yang merupakan

prekursor asam empedu dan hormon steroid

serta merupakan unsur penting dalam membran

sel, disintesis di dalam hati dan jaringan lain,

dan sebagian diabsorbsi dari sumber makanan

oleh lipoprotein spesifik dalam plasma

13. Trigliserida : Senyawa terdiri dari tiga

molekul asam lemak

II. IDENTIFIKASI MASALAH

Nona A, umur 20 tahun :

1. Sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum masuk

rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah

kelopak mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil

berkurang, buang air besar tidak ada keluhan.

2. Satu tahun yang lalu, mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan

kaki, nyeri hilang timbul.

3. Demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul

4. Rambut sering rontok, sariawan yang tanpa sembab, muka kemerahan

terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena matahari.

5. Telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan.

6. Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis.

HR 100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur

3

Page 4: Skenario B

37,5oC, TD 170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka,

stomatitis, ascites, edema pada ekstremitas.

7. Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm3, LED 105 mm/hour,

ureum 138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268

mg/dl, protein urin +++.

III. ANALISIS MASALAH

1. a. Bagaimana patogenesis edema yang terjadi pada Nona A?

b. Mengapa muncul pertama kali pada kelopak mata saat bangun tidur lalu

menyebar ke seluruh tubuh?

c. Mengapa produksi BAK berkurang, sedangkan produksi BAB normal?

2. a. Bagaimana patogenesis nyeri sendi?

b. Mengapa pada Nona A, nyeri sendi terjadi pada jari tangan dan kaki?

c. Mengapa nyeri hilang timbul?

3. a. Bagaimana patogenesis demam yang terjadi pada kasus?

b. Mengapa pada Nona A, terjadi demam hilang timbul dan tidak terlalu

tinggi?

4. Bagaimana mekanisme timbulnya gejala pada kasus :

a. Rambut rontok

c. Sariawan

d. Muka kemerahan, terutama di pipi dan bertambah merah jika terpapar

matahari?

4

Page 5: Skenario B

5. a. Apa saja obat penghilang rasa nyeri?

b. Apa efek samping dari obat tersebut?

6. a. Apa diagnosis banding penyakit Nona A?

b. Apa diagnosa sementara penyakit Nona A berdasarkan gejala-gejala,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium?

c. Bagaimana patogenesis penyakit tersebut?

d. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut?

e. Apa saja bentuk komplikasi penyakit tersebut?

f. Bagaimana prognosis dari penyakit tersebut?

IV. HIPOTESIS

Nona A menderita Lupus Erythematosis Systemic (LES) disertai

dengan gangguan ginjal akibat respon autoimun

5

Page 6: Skenario B

V. KERANGKA KONSEP

6

Pemeriksaan lab Pemeriksaan fisik

Factor imunitas, genetic, dan atau lingkungan

Penyakit autoimun

Nona A, 20 th

Hematologi:

Anemia, kadar LED tinggi, uremia, kadar kreatinin tinggi, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, proteinuria

Takikardi, takipnoe, demam, hipertensi, edema anasarca, stomatitis, ascites.

Lupus eritematosus sistemik

Page 7: Skenario B

VI. Merumuskan Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues

Pokok

Bahasan

What I

Know

What I don`t Know What I have to

prove

How I

will

Learn

1. Penyakit

autoimun

Pengertian

Kriteria autoimun

Faktor pada autoimunitas

Faktor lingkungan pada

autoimunitas

Mekanisme kerusakan

jaringan

Macam-macam penyakit

autoimunitas

Nona A

menderita

penyakit

autoimun

Diktat,

literatur,

Internet

2. Hipersensit

ivitas

Pengertian Jenis-jenis

Mekanisme

reaksi pada

hipersensitivitas

Nona A

mengalami

hipersensitivitas

3. Lupus

eritematos

us sistemik

Pengertian Etiologi

faktor risiko

patogenesis

Nona A

menderita

Lupus

7

Gangguan ginjal Nyeri sendi Rambut rontok

sariawan Butterfly rash

demam

edema BAK ↓

Page 8: Skenario B

manifestasi

klinis

mekanisme

tanda dan gejala

diagnosis

penatalaksanaa

n

komplikasi

prognosis

eritematosus

sistemik.

VII. SINTESIS

PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas

Respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan mekanisme yang

gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya.

Penyakit autoimun

Kerusakan jaringan/ gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon

autoimun

Kriteria autoimun

8

Page 9: Skenario B

1. autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifisitas untuk organ yang terkena

ditemukan pada penyakit

2. autoantibodi dan atau sel T ditemukan di jaringan dengan cedera

3. ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktivitas penyakit

4. penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit

5. transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun

pada resipien

6. imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun

menimbulkan penyakit

Faktor imun pada autoimunitas

a. sequestered antigen

o self antigen yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B/

sel T

o inflamasi → perubahan anatomik dalam jaringan → memajankan

sequestered antigen

b. gangguan presentasi

bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr → sel Th dirangsang → autoimunitas

c. ekspresi MHC-II yang tidak benar

o pada kasus IDDM (insulin dependent diabetes mellitus)

9

Page 10: Skenario B

o ekspresi kadar MHC-I dan MHC-II yang terlalu tinggi

o normalnya : MHC-I sedikit, dan MHC-II tidak ada

o ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya → diekspresikan APC →

mensensitasi sel Th terhadap peptida dari sel beta → mengaktifkan sel beta/

Tc/ Th1 terhadap self antigen

d. aktivasi sel B poliklonal

oleh virus (EBV), LPS, dan malaria → merangsang sel B secara langsung →

autoimunitas

e. peran CD4 dan reseptor MHC

o CD4 → efektor utama pada penyakit autoimun

o MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri → rentan

terhadap autoimunitas

f. keseimbangan Th1 dan Th2

sel Th1 → memacu perkembangan autoimunitas

sel Th2 → menghambat terjadinya dan perkembangan penyakit autoimun

g. sitokin pada autoimunitas

10

Page 11: Skenario B

o mekanisme kontrol terhadap sitokin patogenik : sitokin sementara dan

reseptornya, produksi antagonis sitokin dan inhibitornya.

o Gangguan mekanismenya → upregulasi/produksi sitokin tidak benar →

efek patofisiologik

o Sitokin (IL-1, TNF) : - translasi faktor etiologis → kekuatan patogenik

- mempertahankan inflamasi fase kronis

- destruksi jaringan

Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas

a. kemiripan molekular dan infeksi

infeksi → kemiripan molekular non-self antigen dan self-antigen → tubuh

memproduksi antibodi → antibodi menyerang self antigen → autoimunitas

b. hormon

o wanita lebih cenderung menderita penyakit autoimun dibanding pria

o wanita memproduksi lebih banyak antibodi dibanding pria → respon pro-

inflamasi Th1 → autoimun

o estrogen → awitan penyakit

11

Page 12: Skenario B

c. obat

pada penyakit atoimun tertentu, antibodi menghilang bila obat dihentikan

d. radiasi UV

o radiasi UV → Pemicu inflamasi kulit dan kadang LES

o menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen → ↑

imunogenesitas

e. oksigen radikal bebas

radikal bebas oksigen → inflamasi → kerusakan self molekul

Mekanisme kerusakan jaringan

Terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV → mengaktifkan sel CD4/ CD8

Kerusakan organ, disebabkan oleh:

- autoantibodi mengikat tempat fungsional self-antigen

- autoantobodi menyerupai/ menghambat efek ligan endogen untuk

sel protein → gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/

kerusakan jaringan

organ spesifik → respon autoimun terutama terhadap

organ tunggal/ kelenjar

penyakit autoimun sistemik → jaringan dengan spektrum luas

12

Page 13: Skenario B

Contoh penyakit autoimun

i. systemic lupus erythematosus

ii. rheumatoid atrhritis

iii. grave’s disease

iv. type 1 diabetes mellitus (IDDM)

v. dll.

HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap

antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi

b. reaksi cepat

terjadi dalam hitungan detik. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada

permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi

reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.

c. reaksi intermediet

tejadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini

melibatkan pembentukan kompleks IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi

13

Page 14: Skenario B

komplemen dan atau sel NK/ ADCC. Reaksi intermediet diawali oleg IgG dan

kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.

d. reaksi lambat

terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang

terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan

sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.

II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut gell dan coombs

Tipe I (Reaksi IgE)

Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil

melepas mediator vasoaktif

Manifestasi khas: anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, urtikaria, alergi

makanan dan ekzem.

Tipe II (Reaksi sitotoksik IgG atau IgM)

Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan

bantuan komplemen atau ADCC.

Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik

autoimun.

Tipe III (reaksi kompleks imun)

14

Page 15: Skenario B

Kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui

infiltrasi masif neutrofil.

Manifestasi khas: reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,

vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.

Tipe IV (reaksi seluler)

Sel Th yang disensitasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag atau

sel Tc yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th 2 dan Tc menimbulkan

respons sama.

Manifestasi khas: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan tandur.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Kompleks imun di sirkulasi→ diikat dan diangkut eritrosit → menuju hati dan

limpa → kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear

Kompleks besar → mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag

Kompleks kecil dan larut → sulit dimusnahkan

15

Page 16: Skenario B

1. kompleks imun mengendap di pembuluh darah

kompleks imun (antigen + IgM/IgG3/IgA) → diendapkan di membran basal vaskular

dan membran basal ginjal → reaksi inflamasi lokal dan luas → agregasi trombosit,

aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan

pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil →

kerusakan jaringan setempat.

2. kompleks imun mengendap di jaringan

hal ini dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil. Permeabilitas vaskular yang

meningkat disebabkan histamin yang dilepas oleh sel mast.

lokal

Bentuk Reaksi sistemik

16

Page 17: Skenario B

a. reaksi lokal

reaksi terbatas hanya pada tempat tertentu

kompleks imun

trombosit komplemen makrofag

mikro- amin anafilaktosin lisis pelepasan IL-1&O2 reaktif

trombi vasoaktif ↓ → menarik neutrofil

mastosit ↓

↓ melepas granul

Amin vasoaktif

↑ permeabilitas vaskular, vasodilatasi

b. rekasi sistemik

antibodi yang berperan → IgM dan IgG

komplemen → melepas anafilaktosin (C3a dan C5a) → memacu sel mast dan

basofil melepas histamin

kompleks imun mudah diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah

yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya: kapiler glomerulus

kompemen → agregasi trombosit → amin vasoaktif → vasodilatasi, ↑

permeabilitas vaskular, dan inflamasi

17

Page 18: Skenario B

neutrofil → melepas granulnya → merusak jaringan

makrofag → melepas berbagai mediator dan enzim-enzim → merusak

jaringan

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang

melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan

sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena

manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.

Etiologi

18

Page 19: Skenario B

Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik,

infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.

Sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh →

dihasilkan antibodi yang terus menerus → antibodi berperan dalam pembentukan

kompleks imun → mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan

multiorgan.

Faktor Risiko

1. faktor risiko genetik

Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering

daripada pria dewasa), umur ( lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor

keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota

dengan penyakit tersebut)

2. faktor risiko hormon

Estrogen menambah risiko LES, sedangkan andogen mengurangi risiko ini

3. Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang

efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit

mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut

maupun secara sistemik melalui peredaran di pembuluh darah

4. Imunitas

Pada pasien penderita LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi

terhadap sel T.

19

Page 20: Skenario B

5. Obat

Obat tertentu dalam persentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum

dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat. Jenis obat yang dapat

menyebabkan lupus obat adalah :

Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : klorpromazin, metildopa,

hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat : dilantin,

penisilamin, dan kuinidin.

Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik,

griseofulvin.

6. infeksi

pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit

ini kambuh setelah infeksi.

7. stress

stress berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini.

Patogenesis penyakit

Self antigen → kelainan pada APC dan sel B → menstimulasi sel Th 1 → diikat oleh

sel B pada reseptornya → reaksi antibodi terhadap self antigen → terbentuk ikatan

antibodi antigen → mengendap di membran basalis vaskular dan glomerulus →

merusak organ target (glomerulus, sel endotel, trombosit) → symptom

Manifestasi Klinis

20

Page 21: Skenario B

Keluhan utama dan pertama LES adalah atralgia (pegal dan linu di dalam

sendi). Dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Artritis

biasanya ahnya berlangsung selama beberapa hari. Lokasi artritis akut biasanya di

sendi tangan, pergelanagn tangan, dan lutut, biasanya simetris. Artritis dapat

berpindah-pindah atau tetap di satu sendi dan jadi menahun. Pasien mengeluh lesu,

lemas, dan capai sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam, pegal linu seluruh

tubuh, nyeri otot, dan penurunan berat badan.

Terlihat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu di

muka dan eritema umum yang menonjol. Pasien menjadi fotosensitif dan LES

kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari

menunjukkan kelainan subakut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol,

kemerahan, dan menahun. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid

yang bermula sebagai eritema pupul atau plak bersisik. Sisik ini menebal dan melekat

disertai hipopigmentasi sentral. Terutama terjadi di daerah yang terkena sinar

matahari dan dapat menimbulkan kebotakan di kepala.

Dapat pula terjadi kelainan darah berupa anemia hemolitik, kelainan ginjal,

pneumonitis, kelainan jantung, kelainan gastrointestinal misalnya pankreatitis,

gangguan saraf seperti nyeri kepala dan konvulsi, dan kelainan psikiatri misalnya

psikosis atau sindrom organik otak.

GANGGUAN GINJAL

Mekanisme :

Hipersensitivitas sel B

Kegagalan supresi CD 8,T suppressorDan sel NK trhdp aktivitas sel B………. ……penurunan produksi IL-1 dan IL-2

Menghasilkan antibody berlebih

21

Page 22: Skenario B

yang tidak spesifik

↓ ← Penurunan jumlah CR 1

Terbentuk komplek imun berlebihan

Mengalir dalam sistemik dan menempel

pada jaringan atau organ

Mengendap di membran basalis glomerulus

fagositosis IgG2 dan IgG3 terhadap komplek imun

tidak adekuat

komplek imun menumpuk di ginjal

Aktivasi komplemen

Reaksi inflamasi

Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, agregasi trombosit

bahan kemotaktik, serta influks neutrofil

22

Page 23: Skenario B

Merusak endotel dan membran basalis glomerulus amin vasoaktif

↑ permeabilitas vaskular

Protein lolos ke filtrat glomerulus

Masuk ke dalam urine

Proteinuria

Hipoalbuminemia

↓ tekanan osmotik kapiler ↑ lipid serum

↓ ↓

Transudasi ke dalam interstisium hiperlipidemia

↓ volume plasma (hipovolemia)

Mekanisme renin-angiotensin aktif ↓ RPF dan GFR

23

Page 24: Skenario B

↑ sekresi aldosteron

↑ ureum dan kreatinin

dalam darah

hipertensi ← Retensi Na dan air

Penumpukan cairan di interstisial

EDEMA ANASARCA

(bagan 1)

Mekanisme sembab : (lihat bagan 1)

LES → gangguan ginjal → kerusakan glomerulus

Permeabilitas kapiler meningkat terhadap protein

24

Page 25: Skenario B

Proteinuria

Selektif non-selektif

↓ ↓

Albuminuria Imunoglobulinuria

Proteinuria masif

Hipoalbuminemia

Penurunan tekanan onkotik plasma

Cairan pindah dari intravaskuler ke jaringan interstisium

Edema Hipovolemia

Ginjal, meningkatkan retensi Na dan air

Volume intravaskuler membaik meningkat cairan ECF

tetapi mendukung terjadinya

hipoalbuminemia

25

Page 26: Skenario B

edema

(bagan 2)

Adapun sembab muncul pertama kali di kelopak mata karena :

Hipoproteinemia → tekanan hidrostatik yang tinggi dan tekanan osmotik yang rendah

di kelopak mata → edema subkutan → bersifat lebih difus dan berat karena terletak

di jaringan ikat longgar → edema periorbital

Dinamika cairan edema ini juga sangat bergantung pada gravitasi sehingga

disaat nona A melakukan aktivitas sehari-harinya, cairan edema ini cenderung

menumpuk pada ektremitas bawah.

Mekanisme buang air kecil berkurang : (lihat bagan 1 dan 2)

LES

Gangguan ginjal

hipovolemia

Mekanisme renin-angiotensin aktif ↓ RPF dan GFR

↑ sekresi aldosteron

26

Page 27: Skenario B

Retensi Na dan air

Eksresi air menurun

Buang air kecil berkurang

(Bagan 3)

GANGGUAN PERSENDIAN

a. Struktur sendi

Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-

tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, ataupun tidak dapat bergerak satu sama

lain. Secara anatomic, sendi dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Sinartrosis : sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan

dapat bergerak satu sama lain. Contoh : tulang tengkorak.

27

Page 28: Skenario B

2. Diartrosis (Sendi Sinovial) : sambungan antara 2 tulang atau lebih yang

memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain.

Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut

kavum artkulare. Sendi ini tersusun atas bonggol sendi (kapsul artikulare),

bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuknya diartrosis

dibagi dalam beberapa sendi, yaitu :

a. Sendi Engsel / Ginglymus : interfalang, articulation cubiti, articulation

talocrularis, dan sebagainya.

b. Sendi Pasak : gerak rotasi pada radioulnaris

c. Articulatio ellipsoidea : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, kecuali rotasi

pada artculatio radiocarpalis

d. Sendi Pelana : fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi pada

carpometacarpalis.

e. Sendi Peluru : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi medial. Rotasi

lateral, dan sirkumduksi pada artculatio humeri dan articulation coxae.

3. Amfiartrosis : sendi yang memungkinkan tulang-tulang yang saling

berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan

antarcorpus vertebrae.

b. Rawan Sendi

Pada sendi synovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling berhubungan

dilapisi rawan sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan

matrix rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matrix rawan

sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matrix rawan sendi

terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Bersama-sama dengan asam

hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air di sekitarnya

28

Page 29: Skenario B

sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang baik sesuai

dengan fungsi rawan sendi.

Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat, berfungsi sebagai

kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat

proteoglikan.

Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh sebab itu makanan

diperoleh dengan jalan difusi. Beban yang intermiten pada rawan sendi sangat baik

bagi difusi nutrient untuk rawan sendi.

Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis matriks selalu

terjadi. Salah satu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada

degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim metaloprotease, seperti

kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokin juga berperan pada proses degradasi dan

sintesis matriks. Interleukin-1 (IL-1) yang dihasilkan oleh makrofag berperan pada

degradsi kolegen dan proteoglikan. Growth Factors factor-1 (IGF-1) berperan

merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja IL-1.

Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber keratin sulfat, oleh sebab

itu keratin sulfat dalam serum dan cairan sendi dapat digunakan sebagai penanda

kerusakan rawan sendi.

c. Persarafan Sendi

Capsula articularis dan ligamentum mendapat banyak persarafan sensoris.

Sebuah sarah saraf sensoris yang menyarafi sendi, juga menyarafi otot-otot yang

menggerakkan sendi dan kulit di sekitar insersio (perlekatan otot rangka yang

pergerakannya lebih banyak) otot-otot tersebut. Serabut saraf simpatis mengatur

suplai darah ke sendi.

MEKANISME NYERI

4 proses :

1. Transduksi / aktivasi reseptor.

29

Page 30: Skenario B

2. Transmisi

3. Modulasi

Pada kornu dorsalis medulla spinalis.

4. Persepsi

Pesan nyeri direlai ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak

menyenangkan.

NYERI INFLAMASI

Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi pengingkatan

konsumsi Oksigen dan produksi radikal Oksigen bebas seperti Anion superoksida

(O2-) dan hydrogen peroksida (H2O2). Kedua radikal oksigen ini akan membentuk

radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerasi hialuronat sehingga

dapat merusak rawan sendi dan menurunkan viskositas cairan sendi.

Bagan nyeri inflamasi pada sendi

30

Impuls dari neuron aferen primer kornu dorsalis medulla spinalis batang otak dan talamus

APCAntigen sendiri

Aktivasi sel TFagositosis oleh makrofag

Produksi radikal oksigen

Aktivasi sel T

Page 31: Skenario B

(bagan 4)

Secara histologist, sendi yang terserang menunjukkan sinovitis kronis, yang ditandai

dengan :

1. Hyperplasia dan proliferasi sel synovial (sel-sel penyusun membrane

synovial);

2. Infiltrat sel peradangan perivaskular padat (sering kali membentuk folikel

limfoid) dalam sinovium yang tersusun atas sel CD4+, sel plasma, dan

makrofag;

3. Peningkatan vaskularitas akibat angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah);

4. Neutrofil dan agregat fibrin yang mengalami organisasi pada permukaan

synovial dan dalam ruang sendi;

5. Peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya sehingga terjadi

penetrasi synovial dan erosi tulang.

31

Pelepasan sitokin

Aktivasi sel B untuk memproduksi Ab

Kompleks imun (Ab-Ag) pada sendi (jaringan tulang, tulang rawan)

Aktivasi sel-sel inflamasi pada jaringan

Pelepasan mediator inflamasi

Efek-efek inflamasi (dolor/nyeri; function laesa/hilangnya fungsi)

NYERI SENDI PADA INTERFALANG

Page 32: Skenario B

Pada kasus tahap morfologi hanya sampai pada tahap ke empat. Pada

Systemis Lupus Erythematosus serangan pada sendi biasanya tidak disertai dengan

perubahan anatomis atau deformitas yang mencolok seperti yang dialami Nona A

dengan manifestasi klinik nyeri sendi yang hilang timbul. Hal ini bergantung pada

sifat autoantibody, kompleks imun yang mengendap pada sendi, perjalanan dan

lamanya penyakit.

DEMAM

Patogenesis demam:

Infeksi

Reaksi imun (antigen-antibodi)

Pirogen eksogen

Merangsang pirogen endogen (leukosit)

Produksi sitokin (IL 1, IL-6,TNF)

Pelepasan asam arakidonat

↑ sintesis prostaglandin E2

32

Page 33: Skenario B

Mencapai hipotamalus

↑ set point pada termostat hipotalamus

Penyimpanan panas tubuh dan ↑ pembentukan panas

demam

(bagan 5)

RAMBUT SERING RONTOK

Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan dengan kondisi

autoimun seperti Lupus dan alergi adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah

suatu penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang folikel rambut) dimana

folikel menjadi sangat kecil, produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk

berbulan-bulan atau bertahun – tahun.

Patogenesis:

Autoimunitas

Kompleks imun (Ab-Ag)

Mengendap pada membran basalis vaskular folikel rambut

33

Page 34: Skenario B

Reaksi inflamasi

Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil

Gangguan jaringan ikat

Folikel rambut menjadi sangat kecil

Produksi folikel rambut berkurang

Pertumbuhan rambut terganggu

Rambut rontok

(bagan 6)

SARIAWAN (STOMATITIS)

Patogenesis :

Autoimunitas

Kompleks imun (Ab-Ag)

34

Page 35: Skenario B

Mengendap pada mukosa mulut

Reaksi inflamasi

Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil

Kerusakan jaringan pada mukosa mulut

Sariawan (stomatitis)

(bagan 7)

MUKA KEMERAHAN DAN HIPERSENSITIFITAS TERHADAP

CAHAYA MATAHARI

cahaya matahari memiliki sinar ultraviolet (UV), sinar UV merusak sel dari

kulit (keratinosit) dan menyebabkan sel menjadi mati.Pada orang sehat tanpa lupus ,

sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi yang diinduksi oleh

matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana pada

pasien lupus , sel kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan dengan adanya

peningkatan kejadian yang menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak

dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan

menyebabkan inflamasi.Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul

termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan

35

Page 36: Skenario B

reaksi imun.Akibatnya orang yang menderita lupus akan mengalami ruam

photosensitivity.

PEMERIKSAAN FISIK

Interpertasi :

Sensorium kompos mentis → sadar sepenuhnya

HR : 100x/menit → takikardi (normal : 60-80x/menit)

RR : 28x/menit → takipnoe (normal : 16-24x/menit)

Temperatur : 37.5 C → demam (normal : 36.8-37.2 C)

TD : 170/100 mmHg → hipertensi (normal : 120/80 mmHg)

Mekanisme Takikardi:

Hipovolemi → ↓ suplai darah pada organ vital → rangsangan saraf simpatis →

vasodilatasi lokal → ↑ curah jantung → takikardi (mekanisme pertahanan tubuh

untuk mencukupi perfusi jaringan)

Selain itu, kenaikan suhu tubuh juga berperan dalam peningkatan denyut jantung.

Frekuensi jantung meningkat kira-kira 10 denyut per menit untuk setiap kenaikan

suhu sebesar 1 derajat fahrenheit (18 denyut per derajat celcius).

Mekanisme Takipnoe:

36

Page 37: Skenario B

Kenaikan suhu → mekanisme pertahanan dari sistem kadiovaskular

(takikardi, hipertensi) → sistem kardiovaskular tidak mampu mengatasinya →

mekanisme pertahanan dari sistem respiratory → takipnoe

Anemia → ↓ perfusi oksigen ke jaringan → respon tubuh dengan

mempercepat frekuensi pernapasan (takipnoe)

Hiperpnoe → untuk memperbanyak jumlah oksigen yang masuk ke dalam tubuh agar

mencapai batas normal oksigen.

Penumpukan cairan pada ruang di paru – paru (efusi pleura) dapat turut

campur tangan dengan pengembangan paru – paru. Inflamasi dari kantung udara

( pneumonitis) atau disfungsi dan luka pada jaringan penyokong antara kantung udara

( penyakit paru – paru intersial) dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Hipertensi

pulmonary dapat juga menyebabkan nafas pendek yang biasanya terjadi pada saat

pendesakan.

Mekanisme asites:

Edema → cairan terkumpul di rongga potensial abdomen (pengumpulan cairan efusi

di peritoneum) → asites

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Intepretasi :

Hb : 9,5 gr% → anemia (normal pada wanita : 12-14 gr%)

WBC : 8000/mm → normal ( normal : 4000-10000/mm)

LED : 105 mm/hour → tinggi (normal wanita : 0-20 mm/hour)

37

Page 38: Skenario B

Ureum : 138 mg/dl → uremia (normal : 15 mg/dl)

Kreatinin : 3,2 mg/dl → tinggi (normal : 1,5 mg/dl)

Albumin : 2,5 g/dl → hipoalbuminemia (normal : 3,5-5,5 g/dl)

Kolesterol : 268 mg/dl → tinggi (normal : 150 mg/dl)

Trigliserida : 235 mg/dl → tinggi (normal :125 mg/dl)

Protein urin +++ → proteinuria

Mekanisme anemia :

Autoantibodi → berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding eritrosit

→ kerusakan eritrosit

Autoantibodi → bereaksi dengan antigen sitoplasmik eritrosit → aktivasi sel

Ts → apoptosis

Mekanisme peningkatan LED :

Kadar immunoglobulin yang tinggi

Autoimunitas → Tubuh kehilangan self-tolerance → peningkatan immunoglobulin →

menyerang self-antigen

Kadar immunoglobulin yang tinggi dalam darah akan meningkatkan LED (semakin

tinggi immunoglobulin, maka akan semakin tinggi LED)

Kadar plasma darah yang rendah

Kadar plasma darah rendah → hipersensitivitas tipe III

38

Page 39: Skenario B

o Kompleks imun → aktivasi komplemen → melepas anafilaktosin (C3a dan

C5a) → memacu sel mast dan basofil melepas histamin → ↑ permeabilitas

vaskuler, vasodilatasi

o Aktivasi komplemen → agregasi trombosit → amin vasoaktif → ↑

permeabilitas vaskular, vasodilatasi → ↑ plasma yang keluar

Selain itu, kondisi nona A yang mengalami edema juga merupakan sebab utama

rendahnya kadar plasma darah dalam tubuh nona A.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Laju Endap Darah (LED) adalah

faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik. Jumlah eritrosit/ul darah yang kurang

dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan eritrosit yang mudah

beraglutinasi akan menyebabkan Laju Endap Darah (LED) cepat. Walau pun

demikian, tidak semua anemia disertai Laju Endap Darah (LED) yang cepat. Pada

anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap darah

tidak cepat, karena pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi.

Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/µl darah meningkat, Laju Endap Darah

(LED) normal.

Pembentukan rouleaux tergantung dari komposisi protein plasma.

Peningkatan kadar fibrinogen dan globulin mempermudah pembentukan roleaux

sehingga Laju Endap Darah (LED) cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi

menyebabkan Laju Endap Darah (LED) lambat.

Laju Endap Darah (LED) terutama mencerminkan perubahan protein plasma

yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit

limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak

spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit.

39

Page 40: Skenario B

Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai

perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju

Endap Darah (LED) yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan Laju

Endap Darah (LED) dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas,

sedangkan Laju Endap Darah (LED) yang menurun dibandingkan sebelumnya

menunjukkan suatu perbaikan.

Mekanisme uremia dan peningkatan kreatinin : (lihat bagan 1)

Hipovolemia → ↓ RPF dan GFR → ↓ laju ekskresi ureum dan kreatinin → akumulasi

ureum dan kreatinin dalam cairan tubuh

Mekanisme proteinuria : (lihat bagan 1)

Kerusakan pada membran basalis glomerulus → ↑ permeabilitas vaskular → protein

lolos ke filtrat glomerulus → masuk ke dalam urin → proteinuria

Mekanisme hipoalbuminemia : (lihat bagan 1)

Kerusakan pada membran basalis glomerulus → ↑ permeabilitas vaskular → protein

lolos ke filtrat glomerulus → masuk ke dalam urin → proteinuria → tingginya kadar

protein dalam urin, rendahnya kadar protein dalam darah → hipoalbuminemia

Mekanisme hiperlipidemia ( ↑ kolesterol dan trigliserida): (lihat bagan 1)

Hipoalbuminemia → ↑ lipid serum → hiperlipidemia

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien LES meliputi :

40

Page 41: Skenario B

ANA (anti nuclear antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi

namun spesifisitas yang rendah

Anti dcDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya

titernya akan meningat sebelum LES kambuh.

Antibodi anto-S (smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien

Anti-RNP (ribonukleoprotein) anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/

anti-SSB, dan anti antikardiopilin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya

LES.

Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)

Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga posotif pada artritis reumatoid, sindrom

sjogren, skleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain

Anti ssDNA (single stranded)

Pasien dengan angi ssDNA cenderung menderita nefritis

DIAGNOSIS

41

Page 42: Skenario B

DIAGNOSIS BANDING

42

Page 43: Skenario B

Gejala LES skleroder

ma

Rheumatoid

arthritis

polimyocytis Syndrome

sjogren

Sel LE + _ _ _ _

Nyeri sendi + + + + +

Eritema + + _ + +

Proteinuria + + _ _ +

Hipertensi + + _ _ +

Edema + + _ _ +

Fenomena

ryenod

+ + + + _

Rambut

rontok

+ + _ _ _

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pasien LES

1. Konseling

Penyuluhan dan intervensi psikososial terutama pada pasien yang baru

terdiagnosis.

Pada umumnya, pasien SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien

harus selalu diingatkan agar tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari

43

Page 44: Skenario B

dan memakai baju lengan panjang, topi, payung, sunblock bila akan

berjalan di siang hari

Karena infeksi sering terjadi pada pasien SLE, maka pasien harus selalu

diingatkan bila mengalami demam yang tak jelas penyebabnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasein SLE terutama pada

pasien yang mendapat obat-obat antimalaria atau siklofosfamid yang

kontraiindikasi bagi pasien yang mengalami kehamilan.

2. Medikamentosa

a. Terapi Konservatif

Artritis, Atralgia, dan Mialgia. Merupakan keluhan yang paling

sering dijumpai pada pasien SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan

analgetik sederhana atau obat anti-inflamasi non-steroid. Efek sampingnya

terhadap system gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan,

misalnya dengan memeriksa kadar kreatinin serum secara berkala. Bila

analgetik dan obat anti-inflamasi non-steroid tidak memberikan respon yang

baik, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah dengan

dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15

mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada

pasien SLE.

Lupus Kutaneus. Sekitar 70% pasien SLE akan mengalami

fotosensitifitas. Eksaserbasi akut akan timbul bila pasien terkena sinar

ultraviolet, inframerah, panas, dan terkadang sinar fluoresensi. Hendaknya

diberikan sunscreen/sunblock. Sebagian besar sunscreen topical berupa krem ,

minyak lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,

salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.

Sunscreen harus dipakai kembali setelah mandi atau berkeringat. Obat-obatan

antimalaria sadngat baik untuk mengatasi lupus kutaneus. Antimalaria

44

Page 45: Skenario B

mempunyai egek sunblocking, antiinflamasi dan immunosupresan. Efek

imunosupresan berhubungan dengan ikatannya pada membrane lisosomal

sehingga menggangu metabolism rantai α dan β HLA kelas II. Selain itu

antimalaria juga mengurang I pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF (Tumor Necrosis

Factor)-α oleh makrofag dan IL-2 dan IFN-γ oleh sel T. antimalaria juga

mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen.

Fatiq dan Keluhan Sistemik. Fatiq dapat timbul akibat terapi

glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga

timbul akibat pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam

mengatasi keluhan ini.seringkali tidak membutuhkan terapi spesifik, cukup

dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja.

Serositis. Nyeeri dada dan nyeri abdomen pada pasien SLE dapat

merupakan tanda serositis. Pada beberapa pasien keadaan ini dapat diatasi

dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau

glukokortikoid dosis rendah (15mg/hari). Pada keaadaan berat harus diberikan

glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.

b. Terapi Konservatif

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis

tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius dari SLE. Walaupun

demikian pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason

sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone lebih banyak disukai karena lebih

mudah dalam mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebainya

diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE ,

seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison

0,5 mg/KgBB/hari. Sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat

diberikan prednisone 1-1,5 mg/KgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon

45

Page 46: Skenario B

intravena 1 gram atau 15mg/KgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan

sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi kemudian dilanjutkan

dengan prednisone oral 1-1,5 mg/KgBB/hari. Setelah pemberian

glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu maka harus mulai dilakukan

penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila

tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah prednisone mencapai 30mg/hari, maka

penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednisone

mencapai 10-15 mg/ hari penurunan dosis dilakukan 1mg/minggu.

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9%

selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter /24 jam setelah

pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid

diindikasikan pada:

Pasien SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing

agent)

Pasien SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi

Pasien SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama

atau berulang

Glomerulonefritis difus awal

SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

Penuruna laju filtrasi glomerulus atau peningkatan konsentrasi serum

tanpa danya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat

Pada pasien dengan penurunan fugsi ginjal sampai 50%, dosis

siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian

ssiklofosfamid, jumlah leukosit darah harus terus dipantau. Bila jumlah

leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan

46

Page 47: Skenario B

25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan

dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan

10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid selama 6 bulan dengan

interval selama 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan

memperhatikan aktivitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi alopesia,

nausea dan vomitus, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekananan fungsi

ovarium dan azoospermia.

Imunopsupresan lainnya yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE

adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/KgBB/hari) dan mofetil

mikofenolat. Siklosporin-A dapat diberikan pada pasien SLE baik tanpa

manifestasi enal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian

harus diperhatikan tekanan darah pasien dan kadar kreatinin darah. Bila kadar

kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian

Siklosporin-A, maka dosisnya harus diturunkan.

47

Page 48: Skenario B

Diet

Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien

memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang

mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan

berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.

Aktivitas

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk

mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh

48

Page 49: Skenario B

berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien

disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari

harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.

Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.

KOMPLIKASI PENYAKIT

komplikasi pada organ-organ dalam tubuh seperti ginjal (glomerulonefritis

proliferatif, gagal ginjal), gagal paru-paru, radang selaput otak, gagal jantung, nyeri

sendi (atralgia), buta, anemia, dan lain-lain.

PROGNOSIS

Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-90%

pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup yang hampir

normal.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Gana. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai

49

Page 50: Skenario B

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta

Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta

Fakultas Kedokteran UI. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aeculapius

Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC

Kamus Kedokteran Dorland

Katzung, Betram. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Jilid 3. Jakarta : Salemba

Medika

Kumar ,Stanley L.Robbins, dkk. Buku ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC

Price Sylvia dan Lorraine Wilson. 2000. Buku Ajar Patofisiologi Jilid 1. Jakarta:

EGC

http://duniaveteriner.com

http://www.klikdokter.com

www.nlm.nih.com

www.medicastore.com

www.mediapenunjangmedis.dikirismanto.com

http://en.wikipedia.org/wiki/lupus

http://www.diskes.jabarprov.go.id/

50