104
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Halfian, 2008). Stuart & Laraia (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera di tandai perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas dan pencapaian diri yang optimis. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang membuat seseorang merasa hidup bahagia, harmonis, dan mampu mengatasi tantangan hidup serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika seseorang tidak berhasil beradaptasi dan koping tidak efektif serta bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain hal ini dapat mengakibatkan ganguan jiwa. 1

Skrip Si

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gambaran konsep diri anak yang tinggal di panti asuhan sbulussalam berupa analisis univariat terhadap komponen konsep diri

Citation preview

Page 1: Skrip Si

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu

mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya,

serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Halfian,

2008). Stuart & Laraia (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa adalah keadaan

sejahtera di tandai perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas dan

pencapaian diri yang optimis. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa

kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang membuat seseorang merasa

hidup bahagia, harmonis, dan mampu mengatasi tantangan hidup serta

mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika seseorang

tidak berhasil beradaptasi dan koping tidak efektif serta bersikap negatif

terhadap diri sendiri dan orang lain hal ini dapat mengakibatkan ganguan

jiwa.

Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir, kemauaan,

tindakan (Yosep, 2008). Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2013) adalah

suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada

fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan

dalam melaksanakan peran sosial. Sedangkan menurut Townsend (2009)

gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari lingkungan

internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang

1

Page 2: Skrip Si

2

tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan

mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik.

Menurut data World Health Organization (WHO), masalah

gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah

yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan paling tidak ada satu dari empat

orang didunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar

450 juta orang di dunia yang menalami gangguan jiwa. Menurut data Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, di Indonesia diperkirakan 264

dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa. Dirjen Bina

Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan angka tersebut

menunjukkan jumlah penderita gangguan jiwa dimasyarakat sangat tinggi,

yaitu satu dari 4 penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas,

depresi, stress, penyalah gunaan obat, kenakalan remaja, sampai skizofrenia

(Yosep, 2008).

Menurut (Varcarolis, 2006) dalam (Sulistyowati, 2009) gejala mayor

skizofrenia digolongkan dua yaitu gejala positif dan negatif. Gejala positif

yang muncul antara lain : halusinasi, delusi, perilaku agitasi dan agresif serta

gangguan berpikir dan pola bicara, sedangkan gejala negatif antara lain : apek

datar, sedikit bicara apatis serta penurunan perhatian dan aktifitas sosial.

Varcarolis Juga menjelaskan bahwa perilaku agitasi dan agresif

merupakan salah satu gejala positif skizofrenia. Klien Skizofrenia sering

disertai dengan gangguan perilaku yaitu perilaku agitasi, agresif dan perilaku

Page 3: Skrip Si

3

kekerasan. Perilaku agitasi adalah bentuk perilaku dimana individu merasa

tidak tenang atau gelisa. Sedangkan perilaku agresif adalah perilaku yang

disertai marah, terdapat dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih

terkontrol.

Berdasarkan data dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Dr. Ernaldi

Bahar Palembang tahun 2014, pada tiga bulan terakhir yaitu bulan Oktober,

November, dan Desember terdapat 1053 pasien dengan gannguan jiwa

diantaranya terdapat 700 pasien yang mengalami perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang

melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri

sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk

dimana seseorang marah berespon terhadap stressor dengan gerakan motorik

yang tidak terkontrol (Yosep, 2008). Perilaku kekerasan atau agresif

merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain

secara fisik maupun psikologis (Berkowitz dalam Fitria 2009). Jadi perilaku

kekerasan merupakan salah satu respon dari stressor ditunjukan dengan

perilaku permusuhan, bertujuan menyakiti dan dapat berbahaya bagi diri,

orang lain, maupun lingkungan.

Perilaku kekerasan ditinjau dari rentang respon marah merupakan

perilaku maladaptif diantaranya adalah perilaku agresif dan amuk atau

perilaku kekerasan. Perilaku agresif adalah perilaku yang menyertai marah,

terdapat dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol.

Page 4: Skrip Si

4

Sedangkan perilaku amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah

dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Penanganan perilaku kekerasan terdiri dari tiga strategi yaitu:,

preventif, antisipasi dan pengekangan atau managemen krisis (Stuart &

Laraia 2005). Berbagai upaya pelayanan kesehatan mental telah dilakukan

oleh pemerintah daerah/dinas kesehatan melalui peningkatan kesehatan

(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),

dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Untuk mengatasi masalah kesehatan

mental ini, salah satu kendala klasik yang sering muncul adalah terbatasnya

sumber tenaga medis spesialis jiwa.

Di sisi lain prinsip dasar komunikasi kesehatan yang sering kali

terabaikan oleh tenaga medis spesialis jiwa adalah pentingnya komunikasi

terapeutik mereka dengan pasien. Sementara itu, ada juga anggapan pada

sebagian tenaga medis bahwa mereka tidak membutuhkan keahlian lain

kecuali mendiagnosis penyakit dan melakukan tindakan medis untuk

menyembuhkan penyakit. Berdasarkan pengamatan, komunikasi tenaga

medis spesialis jiwa dengan pasien umumnya bersifat formal dan terbatas,

sedangkan pasien yang akan berkonsultasi umumnya cukup banyak. Padahal,

komunikasi terapeutik tenaga medis spesialis jiwa yang lebih baik

berkontribusi signifikan terhadap kesehatan pasien (konas PPNI, 2014)

Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi

interpersonal (antarpribadi) yang profesional mengarah pada tujuan

Page 5: Skrip Si

5

kesembuhan pasien dengan titik kualitas hubungan interpersonal. spesialis

jiwa seyogianya menempatkan pasien bukan sekedar obyek, melainkan juga

subyek yang punya latar belakang sosial budaya nilai harapan, perasaan,

keinginan, dan kekhawatiran serta mendambakan kebahagia-an. Sikap ini

melihat orang lain sebagai manusia individu yang patut dihargai. Menerima

tidak berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung

akibat perilakunya. Tenaga medis spesialis jiwa menyampaikan semua

informasi yang diperlukan mengenai manfaat dan risiko pengobatan.

Sementara itu, pasien sendiri yang mempertimbangkan dan memutuskan apa

yang terbaik bagi dirinya (Erlinafsiah, 2010).

Dalam sikap kesetaraan, tenaga medis tidak mempertegas perbedaan.

Status boleh jadi berbedat, tetapi komunikasi tenaga medis dengan pasien

tidak vertikal. Tenaga medis tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat

yang sama. Dengan kesetaraan, tenaga medis mengomunikasikan

penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan

(Kelliat, 2004). Hubungan tenaga medis spesialis jiwa dengan pasien harus

dianggap sebagai hubungan antara mitra medis yang saling membutuhkan

untuk memerangi keadaan sakit pasien.

Komunikasi terapeutik ini akan efektif hanya melalui penggunaan dan

latihan yang sering. Melatih diri menggunakan komunikasi interpersonal yang

terapeutik akan, meningkatkan kepekaan tenaga medis terhadap perasaan

pasien. Saat pasien mengungkapkan keluhanya pada saat itulah pengobatan

Page 6: Skrip Si

6

dalam proses terapeutik sudah dimulai. Keterampilan komunikasi terapeutik

bukan bawaan, melainkan dipelajari. Sayang banyak tenaga medis spesialis

jiwa yang tidak menyadari hal ini. Mengingat banyaknya penduduk yang

mengalami gangguan jiwa dan kemungkinan rendahnya kesadaran akan arti

penting komunikasi terapeutik bidang kajian komunikasi terapeutik ini perlu

dipertimbangkan di perguruan tinggi. Bidang kajian ini justru lebih penting

bagi para calon ahli spesialis jiwa dokter, bidan dan perawat sarjana

kesehatan, apoteker. dan manajer rumah sakit (Konas PPNI, 2014).

Menurut Stuart (2005), tujuan Komunikasi terapeutik diarahkan pada

pertumbuhan klien : Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat pada diri

sendiri, Identitas diri yang jelas dan integritas diri yang tinggi, Kemampuan

membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung dan

mencintai, Peningkatan fungsi dan kemampuan yang memuaskan kebutuhan

serta mencapai tujuan personal yang realistis.

Komunikasi teraupetik juga termasuk komunikasi interpersonal

dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien.

Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan lebih

mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih

efektif dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah diterapkan

yang memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan

akan meningkatkan profesi (Putri, 2013). Komunikasi terapeutik ini dapat

membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan

Page 7: Skrip Si

7

pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu

mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri dalam hal ini

mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan (Erlinafsiah, 2010).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti jumlah

tenaga keperawatan di Rs. Dr. Ernaldi bahar palembang ada 132 Perawat.

Jumlah perawat yang dinas di ruang dengan diagnosa perilaku kekerasan saat

ini ada 20 Perawat dengan sistem Rolling. Jadi setiap perawat di Rs.Dr.

Ernaldi Bahar pernah merawat pasien dengan Perilaku kekerasan. Jadi

peneliti tertarik untuk mengetahui Hubungan antara sikap perawat dalam

komunikasi terapeutik dengan kemapuan mengendalikan marah Pasien

dengan Perilaku Kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah tersebut

sebgai berikut, yaitu bagaimana Hubungan sikap perawat dalam komunikasi

terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien Perilaku

kekerasan di Rumah sakit Dr.Ernaldi bahar Palembang tahun 2015.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan

kemapuan mengendalikan marah Pasien dengan Perilaku Kekerasan di

Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar.

Page 8: Skrip Si

8

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi sikap perawat saat komunikasi

terapeutik.

b. Diketahui distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah

pasien periaku kekerasan.

c. Diketahui Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

dengan kemapuan mengendalikan marah Pasien dengan Perilaku

Kekerasan di Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dalam proses

evaluasi untuk meninangkatkan mutu pelayanan keperawatan,

khususnya pelaksanaan komunikasi terapeutik.

b. Bagi institusi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi positif sebagai

dasar penelitian lanjutan dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa

khususnya mahasiswa STIKes Muhammadiyah Palembang

c. Bagi perawat

Merupakan evaluasi dan masukan dalam rangka peningkatan mutu

pelayanan keperawatan khususnya bagi profesi perawat terhadap

penerapan komunikasi terapeutik

Page 9: Skrip Si

9

2. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk

menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di STIkes

Muhammadiyah Palembang dan menambah wawasan,pemahaman,

dan pengalaman dalam penelitian.

b. Bagi ilmu pengetahuan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan tentang materi pelaksanaan

komunikasi terapeutik.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam Ruang lingkup keperawatan jiwa yang

difokuskan untuk mengetahui hubungan sikap perawat dalam komunikasi

terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien dengan perilaku

kekerasan dirumah sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang tahun 2015.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar palembang,

responden dalam penelitian ini adalah perawat yang memberikan Asuhan

Keperawatan pada pasien Perilaku Kekerasan. Variabel dalam Penelitian ini

meliputi variabel Independen : sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

dan variabel dependen: kemampuan mengendalikan marah Pasien Perilaku

kekerasan. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2015.

Page 10: Skrip Si

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Terapeutik

1 Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena dengan

adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar informasi. Dalam

dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang merupakan landasan

dalam membina hubungan perbantuan agar proses keperawatan dapat

tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal yaitu komunikasi

verbal dan komunikasi nonverbal.

Dalam melakukan interaksi kita juga mengenal komunikasi

terapeutik, komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi

yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan

untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi

interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar

perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini adalah

adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat

dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien,

perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Achmad Fanani, 2013).

Teknik komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina

hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan

10

Page 11: Skrip Si

11

pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi

orang lain (Putri & Fanani 2013).

Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses

tukar menukar perasaan, keinginan, kebutuhan dan pendapat. Komunikasi

juga merupakan bagian integral dari kehidupan manusia tidak terkecuali

seorang perawat, yang dalam kegiatan sehari-harinya selalu berhubungan

dengan orang lain (Damaiyanti, 2008). Komunikasi yang dilaksanakan

secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan

pasien disebut dengan komunikasi terapeutik (Suryani, 2004).

Komunikasi teraupetik juga termasuk komunikasi interpersonal

dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien.

Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan

lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga

akan lebih efektif dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah

diterapkan yang memberikan kepuasan professional dalam pelayanan

keperawatan dan akan meningkatkan profesi (putri, 2013). Komunikasi

terapeutik ini dapat membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi

beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif

untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan

diri sendiri.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan untuk

membantu penyembuhan dan pemulihan pasien, komunikasi ini sangat

Page 12: Skrip Si

12

penting untuk menjalin hubungan saling percaya antara pasien

dengan perawat

2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

      Komunikasi terapeutik dilaksanakan dengan tujuan:

a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan

dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi

yang ada bila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan

b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang

efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam

hal peningkatan derajat kesehatan

d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis

(tenaga kesehatan) secara professional dan proposional dalam rangka

membantu penyelesaian masalah klien. (Mundakir, 2006).

Menurut Stuart, 2005, tujuan terapeutik diarahkan pada

pertumbuhan klien : 1) Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat

pada diri sendiri. 2) Identitas diri yang jelas dan integritas diri yang

tinggi. 3) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang intim,

saling tergantung dan mencintai. 4) Peningkatan fungsi dan

kemampuan yang memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan

personal yang realistis.

Page 13: Skrip Si

13

3 Manfaat Komunikasi Terapeutik

  Manfaat Komunikasi terapeutik. (Christina dalam Damaiyanti, 2008)

adalah :

a. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan

pasien  melalui hubungan perawat-klien.

b. Mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji masalah dan

mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.

4 Teknik Komunikasi terapeutik

Berikut adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dari (Nasir; 2011).

a. Mendengarkan dengan Penuh Perhatian

Menurut Varcarolis dalam Nurjannah I (2001), dengan mendengarkan

akan menciptakan situasi interpersonal dalam keterlibatan maksimal

yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas.

b. Menanyakan Pertanyaan yang Berkaitan dengan Pertanyaan Terbuka.

Tujuan perawat bertanya dengan pertanyaan terbuka (broad opening)

adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai kondisi

riil dari klien dengan menggali penyebab klien mencari pertolongan

atau penyebab klien datang ke tempat pelayanan kesehatan.

c. Mengulang Ucapan Klien dengan Menggunakan Kata-kata Sendiri.

Dengan mengulang kembali ucapan klien, harapan perawat adalah

memberikan perhatian terhadap apa yang telah di ucapkan. Stuart and

Sundeen (2005) mendefenisikan pengulangan adalah pengulangan

Page 14: Skrip Si

14

pikiran utama yang diekspresikan klien, pengulangan ekspresi pertama

yang dimaksud bias dimaknai sebagai pengulangan apa yang diucapkan

dan pengulangan apa yang dimaksudkan.

d. Memfokuskan

Memfokuskan (focussing) dalam rangka mempersempit pembicaraan

yang tertuju pada topik pembicaraan saja tidak melebar dengan prinsip

bekerja sampai tuntas atau membicarakan sesuatu sampai tuntas

mengingat yang dikerjakan perawat di pelayanan cukup menyita waktu

dan perhatian yang serius.

e. Menyampaikan Hasil Observasi

Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan

menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah

pesan diterima dengan benar. Menurut Stuart & Sundeen (1998)

menganjurkan penyampaian hasil observasi kepada klien apabila

terdapat konflik antara verbal dan non verbal klien, serta saat tingkah

laku verbal dan nonverbal nyata dan tidak biasa ada pada klien.

f. Menawarkan Informasi

Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan lebih baik bagi

klien terhadap keadaannya. Memberikan tambahan informasi

merupakan pendidikan kesehatan bagi klien.

Page 15: Skrip Si

15

g. Diam

Diam yang dilakukan perawat terhadap klien adalah bertujuan untuk

menunggu respons klien untuk mengungkapkan perasaannya. Menurut

Boyd & Nihart dalam Nurjannah, I (2001:58), diam digunakan pada

saatklien perlu mengekspresikan ide tatapi tidak tahu bagaimana melak

ukannya/menyampaikan hal tersebut. Diam memungkinkan klien untuk

berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan

memproses informasi.

h. Meringkas

Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan

secara singkat dalam rangka meningkatkan pemahaman.

i. Memberikan penguat

Penguatan (reinforcement) positif atas hal-hal yang mampu dilakukan

klien dengan baik dan benar merupakan bentuk pemberian penghargaan.

j. Menawarkan Diri

Menawarkan diri merupakn kegiatan untuk memberikan respons agar

seseorang menyadari perilakunya yang merugikan baik dirinya sendiri

maupun orang lain tanpa ada rasa bermusuhan.

k.  Memberikan Kesempatan kepada Klien untuk Memulai Pembicaraan

Berikan kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih topic

pembicaraan. Biarkan klien yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti

tentang perannya dalam interaksi ini.

Page 16: Skrip Si

16

Menganjurkan untuk Meneruskan Pembicaraan

Teknik ini mengajurkan klien untuk mengarah hamper seluruh

pembicaraan yang mengindikasikan bahwa klien sedang mengikuti

apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan

dibicarakan selanjutnya.

l. Menempatkan Kejadian secara Teratur akan Menolong Perawat dan Klien

untuk Melihatnya dalam Suatu Perspektif Kelanjutan dari suatu

kejadian secara teratur akan menolong perawat dank lien untuk

melihatnya dalam suatu persfektif.

m. Menganjurkan Klien untuk Mengurai Persepsinya

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala

sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk

menguraikan persepsinya kepada perawat.

n. Refleksi

Menurut Stuart & Sundeen (2005) teknik refleksi digunakan untuk

mengembalikan ide, perasaan, pertanyaan kepada klien. Sedangkan,

menurut Schultz & Videbeck (2001), refleksi merupakan tindakan

mengembalikan pikiran dan perasaan klien.

5 Tahap-tahap hubungan Terapeutik

Dalam membina hubungan terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4

tahap yang pada setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus diselesaikan

oleh perawat (Stuart dan Sundeen dalam Damaiyanti, 2008):

Page 17: Skrip Si

17

a. Fase preinteraksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan

dengan klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :

1) Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya.

2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia

akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai tera[eutik

bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali,

diskusi teman kelompok.

3) Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat

rencana interaksi.

4) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di

implementasikan saat bertemu dengan klien.

b. Fase orientasi

Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat

pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk

berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina

hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah

memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan

penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan

pikirannya. Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :

1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan

dan komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya

Page 18: Skrip Si

18

perawat harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa

danya, menepati janji, dan menghargai klien.

2) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga

kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama

dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan.

3) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien.

Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka

tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka.

4) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah

masalah klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan

menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi (Stuart,G.W

dalam Suryani,2005). Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini

antara lain :

1) Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan

tangan.

2) Memperkenalkan diri perawat.

3) Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien

untuk berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan.

4) Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu

melengkapi penjelasan tentang identitas serta tujuan interaksi agar

klien percaya kepada perawat.

5) Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan

atau kejadian yang membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini

Page 19: Skrip Si

19

juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut,

kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan

utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk

mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.

6) Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat

bersama klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.

Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan

orientasi. Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data,

rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan

mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.

c. Fase kerja.

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi

terapeutik.Tahap ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang

dihadapi klien.Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong

perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan

dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana

asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering

digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan

aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan

(Geldard,D dalam Suryani, 2005).

Dalam keperawatan jiwa fase kominikasi terapeutik pada pasien perilaku

kekerasan dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 20: Skrip Si

20

d. Fase terminasi

Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling

percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan

klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat

perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang.

Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan

yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan

sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep

kehilangan.

Tugas perawat pada fase ini yaitu :

1) Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan,

evaluasi ini disebut evaluasi objektif (Suryani,2004).

2) Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan

perasaan klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan

tertentu.

3) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan.

Hal ini sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut

yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan

atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya.

6 Dimensi Respon

Dimensi respon yang harus dimiliki oleh perawat ada 4 (empat):

Page 21: Skrip Si

21

a. Kesejatian

Kesejatian adalah pengiriman pesan pada orang lain tentang gambaran

diri kita yang sebenarnya. Kesejatian dipengaruhi oleh:

b. Kepercayaan diri

orang yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan mampu

menunjukan kesejatiannya pada saat keadaan yang tidak nyaman

dimana kesejatian yang ditampilkan akan mengakibatkan risiko

tertentu.

c. Persepsi terhadap orang lain

Apabila seseorang melihat orang lain mempunyai kekuatan yang lebih

besar dan menguasai kita akan mempengaruhi bagaiman kita akan

menampilkan seperti apa diri kita yang sebenarnya.

d. Lingkungan

Lingkungan terdiri dari waktu dan tempat. Tempat dimana seseorang

berada dimuka publik.

e. Empati

Empati adalah kemampuan menempatkan diri kita pada diri orang lain,

bahwa kita telah memahami bagaimana perasaan orang lain tersebut

dan apa yang menyebabkan reaksi mereka tanpa emosi kita terlarut

dalam emosi orang lain. Beberapa aspek dari empati antara lain:

1) Aspek Mental

Kemampuan melihat dunia orang lain dengan menggunakan

paradigma  orang lain tersebut.

Page 22: Skrip Si

22

2) Verbal

Kemampuan mengungkapkan secara verbal pemahaman terhadap

perasaan dan alas an reaksi emosi klien.

3) Aspek Nonverbal

Aspek nonverbal yang diperlukan adalah kemampuan menunjukan

empati dengan kehangatan dan kesejatian. (Damaiyanti, 2008).

f. Respek/hormat

Respek mempunyai pengertian perilaku yang menunjukan

kepedulian/perhatian, rasa suka, dan menghargai klien. Perawat

menghargai klien seorang yang bernilai dan menerima klien tanpa

syarat (Stuart dan Sundeen, 1998). Prilaku respek dapat ditujukan

dengan (Smith dalam Damaiyanti, 2008).

1) Melihat kearah klien

2) Memberikan perhatian yang tidak terbagi

3) Memelihara kontak mata

4) Senyum pada saat yang tidak tepat

5) Bergrak kearah klien

6) Menentukan sapaan yang disukai

7) Jabat tangan atau sentuhan yang lembut

g. Konkret

Perawat menggunakan terminologi yang spesifik dan bukan abstrak pada

saat mendiskusikan dengan klien mengenai perasaan, pengalaman, dan

tingkah lakunya.

Page 23: Skrip Si

23

7 Teknik Komunikasi yang kurang tepat

a. Memberi jaminan

b. Memberikan penilaian

c. Memberikan komentar klise

d. Memberi saran

e. Mengubah pokok pembicaraan

8 Hambatan Komunikasi (Nasir, 2011)

Tabel 2.1

Jenis Hambatan Deskripsi

Fisik Hal yang menyangkut ruang fisik, lingkungan

Biologis Hambatan karena ketidaksempurnaan anggota tubuh.

Intelektual Hambatan yang berhubungan dengan kemampuan pengetahuan

Psikis Hambatan yang menyangkut factor kejiwaan, emosional, tidak saling percaya dan penilaian menghakimi.

Kultural Hambatan yang berkaitan dengan nilai budaya dan bahasa.

9 Sikap komunikasi terapeutik

(Mundakir, 2006) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan

diri secara fisik, yaitu:

a. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu

mengatasi masalah anda”.

Page 24: Skrip Si

24

b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama

berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap

berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman

bagi klien.

c. Membungkuk kearah klien. Posisi ini menunjukan kepedulian dan

keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang

dialami.

d. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan

menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat

ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas

kesehatan lainnya.

e. Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara

ketegangan dan relaksasi dalam pemberian respon terhadap klien.

Sikap ini terutama sangat bermanfaat bila klien dalam kondisi stress

atau emosi yang labil dal merespon kondisi sakitnya.

10 Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, (Yuningsih, 2006):

a. Tahap Perkembangan

setiap individu bertumbuh kembang, keterampilan bahasa dan

komunikasi berkembang melalui berbagai tahap. Penting bagi

perawat untuk memahami proses perkembangan yang berhubungan

dengan keterampilan berbicara bahasa, dan komunikasi.

Pengetahuan tentang tahap perkembangan klien memungkinkan

perawat untuk memilih strategi komunikasi yang tepat.

Page 25: Skrip Si

25

b. Jenis Kelamin

Perbedaan selama perkembangan psikososial menggunakan

komunikasi untuk membangun kemandirian dan menegosiasikan

status dalam kelompok. Perawat saat bekerja dengan klien atau

kolega dengan jenis kelamin yang berbeda perlu menyadari bahwa

komunikasi yang sama dapat diinterpetasikan secara berbeda oleh

pria dan wanita.

c. Peran dan Hubungan

Peran dan hubungan antara pengirim dan penerima dapat

mempengaruhi komunikasi.

d. Karakteristik Sosiokultural

Karakteristik Sosiokultural seperti budaya, pendidikan, atau tingkat

ekonomi dapat mempengaruhi komunikasi.

e. Nilai dan Persepsi

Komunikasi dipengaruhi oleh nilai yang dipegang seseorang

mengenai dirinya sendiri, orang lain, dan dunia tempat mereka

tinggal.

f. Lingkungan

Sifat ligkungan dapat juga mempengaruhi komunikasi. Komunikasi

terjadi paling baik dilingkungan yang mendukung pertukaran

informasi, ide, atau perasaan.

Page 26: Skrip Si

26

11 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan komunikasi

terapeutik antara lain:

a. Pendidikan

Merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya

yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat

digunakan untuk mendapatkan informasi untuk meningkatkan kualitas

hidup (Notoadmojo, 2010). Makin tinggi pendidikan seseorang makin

mudah menerima informasi dan makin baik pengetahuan yang dimiliki

sehingga menggunakan komunikasi terapeutik secara efektif akan dapat

dilakukannya.

b. Lama bekerja

Merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja ditempat kerja.

Makin lama seseorang bekera makin banyak pengalaman yang

dimilikinya sehingga akan makin baik cara berkomunikasinya (Alimul,

2007)

c. Pengetahuan

Merupakan proses belajar dengan meggunakan panca indra yang

dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat menghasilkan

pengetahuan dan keterampilan (Notoadmojo, 2003). Menurut Bloom

dan Kartwalk (1998) membagi pengetahuan dalam enam tingkatan

diantaranya tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Page 27: Skrip Si

27

d. Sikap

Sikap dalam komunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi

berjalan efektif atau tidak. Sikap kurang baik akan menyebabkan

pendengar kurang percaya terhadap komunikator. Sikap yang

diharapkan dalam komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati,

menghargai, rendah diri dan menjadi pendengar yang baik.

Kesemuanya dapat mendukung komunikasi yang terapeutik.

e. Kondisi psikologi

Pada komunikator akan mudah mempengaruhi dari isi pembicaraan

melalui komunikasi terapeutik. Namun perlu memperhatikan kondisi

psikologis yang baik untuk menjadikan komunikasi sebagai terapeutik.

Kondisi psikologis seorang pendengar dapat dipengaruhi oleh

rangsangan emosi yang disebabkan oleh pembicaraan itu sendiri.

Indikator dalam melaksanakan komunikasi terapeutik (Nursalam, 2008)

mendorong pasien untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya,

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam setiap komunikasi

serta memanggil pasien sesuai dengan identitasnya.

12 Syarat-syarat Komunikasi Terapeutik

Stuart dan Sundeen dalam Damayanti (2008), mengatakan ada dua

persyaratan untuk komunikasi terapeutik efektif :

a. Semua komunikasi terapeutik tidak harus ditunjukkan untuk menjaga

harga diri pemberi maupun penerima pesan.

Page 28: Skrip Si

28

b. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian yang harus

dilakukan terlebih dahulu sebelum memberikan sarana, informasi atau

masukan. Persyaratan-persyaratan untuk komunikasi terapeutik ini

dibutuhkan untuk membentuk hubungan antara perawat dengan pasien

sehingga pasien memungkinkan untuk mengimplementasikan proses

keperawatan. Komunikasi terapeutik ini akan efektif bila melalui

penggunaan latihan yang sering.

13 Unsur-unsur Komunikasi

Unsur-unsur komunikasi adalah ; komunikator, pesan, komunikan, media,

dan respon atau umpan balik (Dr. Kencana wulan).

a. Komunikator

Komunikator atau orang yang menyampaikan pesan harus berusaha

merumuskan isi pesan yang akan disampaikan. Sikap dari komunikator

harus empati dan jelas. Kejelasan kalimat dan kemudahan bahasa akan

sangat mempengaruhi penerimaan pesan oleh komunikan.

b. Pesan

Pesan adalah pernyataan yang didukung oleh lambang. Lambang

bahasa dinyatakan baik lisan maupun tulisan. Lambang suara berkaitan

dengan intonasi suara. Lambang gerak adalah ekspresi wajah dan

gerakan tubuh, sedangkan lambang warna berkaitan dengan pesan

yang disampaikan melalui warna tertentu yang mempunyai makna,

yang sudah diketahui secara umum, misalnya merah, kuning, dan hijau

pada lampu lalu lintas.

Page 29: Skrip Si

29

c. Komunikan

Komunikan adalah penerima pesan. Seorang penerima pesan harus

tanggap atau peka dengan pesan yang diterimanya dan harus dapat

menafsirkan pesan yang diterimanya. Satu hal penting yang harus

diperhatikan adalah persepsi komunikan terhadap pesan harus sama

dengan persepsi komunikator yang menyampaikan pesan.

d. Media

Media adalah sarana atau saluran dari komunikasi. Bisa berupa media

cetak, audio, visual dan audio-visual. Gangguan atau kerusakan pada

media akan mempengaruhi penerimaan pesan dari komunikan.

e. Respon/umpan balik

Respon atau umpan balik adalah reaksi komunikan sebagai dampak

atau pengaruh dari pesan yang disampaikan, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Umpan balik langsung disampaikan

komunikan secara verbal, yaitu dengan kalimat yang diucapkan

langsung dan nonverbal melalui ekspresi wajah atau gerakan tubuh.

Umpan balik secara tidak langsung dapat berupa perubahan perilaku

setelah proses komunikasi berlangsung, bisa dalam waktu yang

relative singkat atau bahkan memerlukan waktu cukup lama.

Page 30: Skrip Si

30

B. Perilaku Kekerasan

1 Definisi

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat

membahayakan orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau

sexualitas ( Nanda, 2005 ).Perilaku kekerasan atau agresif merupakan

suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara

fisik maupun psikologis (Berkowitz,1993 dalam Depkes, 2013). Marah

merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap

kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai

ancaman ( Stuart dan Sunden, 2005 ).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat

menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan

merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang

dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi

kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan

yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan

melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan

dan menantang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif–

kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai

tujuan.

Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain.

Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk

Page 31: Skrip Si

31

mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu

tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan

merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih

terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan

yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 2005 dalam

Depkes, 2002). Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku

kekerasan (Keliat, 2004) adalah :

a. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan

faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mu ngkin tidak terjadi

perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:

1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan

frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa

kanak –kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan

ditolak, d ihina, dianiaya atau sanksi.

2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan

kekerasan,

sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah,

semua aspek ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku

kerasan.

Page 32: Skrip Si

32

3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam

(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap

perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku

kekerasan diterima ( permisive)

4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim

limbik, lobus frontal,lobus temporal dan ketidakseimbangan

neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya perilaku

kekerasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau

interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik

(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang

kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula

dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang

mengarah pada penghinaan,kehilangan orang yang dicintai atau

pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.

2. Tanda dan Gejala Keliat (2004) dalam Suryani (2004) mengemukakan

bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut :

a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),

jengkel

b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit

fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.

Page 33: Skrip Si

33

c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.

d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak

bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.

e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan

humor.

3. Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1998) adalah:

a. Ancaman verbal atau fisik.

b. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata

(misalnya : garpu, asbak).

c. Agitasi psikomator progresif.

d. Intoksikasi alkohol atau zat lain.

e. Ciri paranoid pada pasien psikotik.

f. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien

berada pada resiko tinggi.

g. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang

pada temuan lobus temporalis (kontroversial).

h. Kegembiraan katatonik.

i. Episode manik tertentu.

j. Episode depresif teragitasi tertentu.

k. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol

implus).

Page 34: Skrip Si

34

4. Patofisiologi Terjadinya Marah

Depkes (2002) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah

merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap

individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan

perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat

menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon

terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal.

Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal

dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.

Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan

menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti

orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan,

sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes,2002).

Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya

dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak

akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang

berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti

tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.

Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena

merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri

dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan

demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu

Page 35: Skrip Si

35

saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri

sendiri (Depkes, 2002)

5. Strategi pelaksanaan perilaku kekerasan

a. Tabel 2.2 Strategi Pelaksanaan perilaku kekerasan

SP1 1. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

2. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan

3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan pasien

4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

5. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan

6. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik I

7. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian

SP2 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP3 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP.4 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP.5 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur

Page 36: Skrip Si

36

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

b. Kegiatan interaksi perawat klien (Intan dalam Damaiyanti, 2008)Tabel 2.3

1. Tahap prainteraksi

1) Mengumpulkan data tentang klien2) Mengeksplorasikan perasaan, fantasi, dan ketakutan diri.3) Membuat rencana pertemuan dengan klien (kegiatan, waktu,

tempat)2. Tahap Orientasi

1) Memberikan salam dan tersenyum pada klien2) Melakukan validasi (kognitif, psikomotori, afektif)

(biasanyan pada pertemuan lanjutan). 3) Memperkenalkan nama perawat4) Menanyakan nama panggilan kesukaan klien 5) Menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien6) Menjelaskan peran perawat dan klien7) Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan8) Menjelaskan tujuan9) Menjelaskan waktu yang telah dibutuhkan untuk melakukan

kegiatan10) Menjelaskan kerahasiaan

3. Tahap Kerja

1) Memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya2) Menanyakan keluhan utama/keluhan yang mungkin berkaitan

dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan3) Memulai kegiatan dengan cara yang baik4) Melakukan kegiatan sesuai dengan rencana

4. Dimensi Respon

1) Berhadapan2) Mempertahankan kontak mata3) Tersenyum pada saat yang tepat4) Membungkukkan kearah klien pada saat yang diperlukan5) Mempertahankan sikap terbuka (bersedekap, memasukan

tangan kekantung atau melipat kaki).

5. Tahap Terminasi

Page 37: Skrip Si

37

1) Menyimpulkan hasil kegiatan: evaluasi proses dan hasil2) Memberikan reinforcement positif 3) Merencanakan tindak lanjut dengan klien 4) Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu,

tempat, topik)5) Mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik

c. Tugas utama perawat dalam tiap tahap dari proses hubungan

terapeutik (Stuart  dan Sundeen dalam Damaiyanti 2008).

Tabel 2.4

Fase Tugas

Prainteraksi a. Mengeksplorasikan perasaan, fantasi, dan ketakutan diri

b. Menganalisa kekuatan professional diri dan keterbatasan

c. Mengumpulkan data tentang klien jika mungkin d. Merencanakan untuk pertemuan pertama dengan klien

Pendahuluan atau orientasi

a. Menentukan mengapa klien mencari pertolonganb. Menyediakan kepercayaan, penerimaan dan

komunikasi terbuka c. Membuat kontrak timbal balik d. Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakane. Mengidentifikasi masalah klienf. Mendefinisikan tujuan dengan klien

Kerja a. Mengeksplorasi stressor yang sesuai/relevan.b. Mendorong perkembangan insight klien dan

penggunaan mekanisme koping konstruktif. c. Menangani tingkah laku yang dipertahankan oleh

klien/resistenceTerminasi a. Menyediakan realitas perpisahan

b. Melihat kembali kemajuan dari terapi dan pencapaian tujuan

c. Saling mengeksplorasikan perasaan adanya penolakan, kehilangan, sedih dan marah juga tingkah laku yang berkaitan.

C. Kerangka Teori

Page 38: Skrip Si

38

Gambar 2.1

Sikap dalam Komunikasi

Terapeutik.

Kemampuan Mengendalikan

Marah Pasien Perilaku

kekerasan.

1. Berhadapan.2. Mempertahan kan kontak

mata.3. Membungkuk ke arah

klien.4. Memperlihatkan sikap

terbuka.5. Tetap rileks.

(Sumber: Kelliat, 2004)

a. Terbina nya hubungan saling percaya

b. Mengontrol marah denngan cara fisik 1

c. Mengontrol marah denngan cara fisik 2

d. Mengontrol marah dengan cara verbal

e. Pasien mengontol marah dengan cara spiritual

f. Pasien patuh obat

(Sumber: Kelliat, 2004.: Suryani,2004)

Page 39: Skrip Si

39

BAB III

KERANGKA KONSEP

g. Kerangka Konsep

Berdasarkan Tinjauan Pustaka dan tujuan penelitian dari penelitian ini

maka yang diteliti dari penelitian ini adalah hubngan antara sikap perawat

dalam komunikasi terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah

pasien dengan perilaku kekerasan.

Demngan demikian kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitia ini

adalah sebagai berikut

Gambar 3.1

Kerangka konsep Penelitian

Varibel Independen Variabel Dependent

Sikap dalam Komunikasi Terapeutik

a. Berhadapanb. Mempertahan kan

kontak matac. Membungkuk ke

arah kliend. Memperlihatkan

sikap terbukae. Tetap rileks

Kemampuan Mengendalikan marah Pasien dengan perilaku kekerasan

Sumber: Keliat, 2004 Kaplan and Sadock, 1998

39

Page 40: Skrip Si

40

A. Definisi Operasional

Untuk menjelaskan Kerangka konsep diatas, Berikut diuraikan definisi

Operasional yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3.1Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Sikap dalam Komunikasi Terapeutik

Sikap perawat selama komunikasi terapeutik dengan pasien perilaku kekerasan.1. Berhadapan2. Mempertahan

kan kontak mata

3. Membungkuk ke arah klien

4. Meperlihatkan sikap terbuka

5. Tetap rileks

Sumber:keliat,2004

Angket Kuesioner 1. Baik, bila

skor ≥10

(median)

2. Tidak baik,

bila skor ¿

10 (median)

Ahmad Husein,

2012

Ordinal

Kemampuan mengendalikan marah pasien dengan perilaku kekerasan

Penerapan tahapan komunikasi terapeutik pada pasien perilaku kekerasan yang bertujuan untuk mengendalikan marah pasien dengan strategi pelaksanaan perilaku kekerasan.

Sumber:Erlinafsiah ,2010

Angket Kuisioner 1. Baik, bila

skor ≥74

(median)

2. Tidak baik,

bila skor ¿74

(median)

Elyani Sembiring, 2011

Ordinal

Page 41: Skrip Si

41

B. Hipotesis Penelitian

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel

yang meliputi : Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik dengan

Kemampuan mengendalikan Marah Pasien Perilaku kekerasan. Bila nilai

Pvalue ≤ α (0,05), maka Ho ditolak artinya ada pengaruh variabel independen

(Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik) dengan variabel dependen

(Kemampuan mengendalikan Marah Pasien Perilaku kekerasan).

a. Bila nilai Pvalue < α (0,05), maka Ho diterima artinya ada Hubungan

variabel independen (Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik)

dengan variabel dependen (Kemampuan mengendalikan Marah Pasien

Perilaku kekerasan). (Notoatmodjo, 2010).

b. Bila nilai Pvalue > α (0,05), maka Ho ditolak artinya tidak ada

hubungan variabel independen (Sikap perawat dalam Komunikasi

terapeutik) dengan variabel dependen (Kemampuan mengendalikan

Marah Pasien Perilaku kekerasan). (Notoatmodjo, 2010).

Page 42: Skrip Si

42

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Analitik Kuantitatif dengan

metode Survey Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika

korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan,

observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo,

2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara sikap

perawat dalam komunikasi terapeutik dengan kemampuan mengendalikan

marah pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap Rs. Ernaldi Bahar

Palembang Tahun 2015

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan juni Tahun 2015 di ruang

merak,bangau,merpati ,nusa indah Rumah Sakit Jiwa dr. Ernaldi Bahar

Palembang mulai dari tanggal 9 – 15 Juni 2015 .

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

perawat di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang tahun 2015

42

Page 43: Skrip Si

43

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).

Yang menjadi sampel penelitian ini adalah perawat yang sesuai dengan

kriteria yang telah ditetapkan. Karena keterbatasan waktu dalam penelitian

maka peneliti menggunakan teknik Accidental Sampling yaitu dengan

mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu

tempat sesuai dengan konteks penelitian, dengan jumlah sampel 40

responden ruang bangau , nusa indah , merak , merpati di Rumah Sakit

Dr. Ernaldi Bahar Palembang.

3. Kriteria Inklusi

a. Perawat yang bertugas di ruang Merpati , Merak , Bangau , Nusa

indah Rumah Sakit DR.Ernaldi bahar tahun 2015.

b. Perarawat lulusan D3 dan S1 keperawatan bersedia menjadi responden

D. Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder, dimana :

a. Data primer

Data primer diambil dengan cara observasi langsung terhadap responden.

Page 44: Skrip Si

44

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari Medical Record di Rumah Sakit

dr.Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2014 dan Tahun 2015.

E. Etika Penelitian

1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

untuk penelitian yang akan dilakukan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent

juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan

dipergunakan pengembangan ilmu (Hamid, 2008).

2. Privancy

Peneliti perlu memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak

menginvasi melebihi batas yang diperlukan dan kerahasian responden

tetap dijaga selama penelitian. Responden mempunyai hak untuk

mengharapkan bahwa setiap data yang dikumpulkan selama masa

penelitian akan disimpan dan dijaga kerahasiaannya (Hamid, 2008).

3. Protection form discomfort

Responden harus diyakinkan bahwa partisipasinya dalam

penelitian dan informasi yang telah diberikan tidak akan dipergunakan

dalam hal-hal yang dapat merugikan responden dalam bentuk apapun

(Nursalam, 2008)

Page 45: Skrip Si

45

F. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar kuesioner

berupa angket. angket merupakan suatu daftar yang berisi nama subjek dan

beberapa gejala serta identitas lainnya dari sasaran pengamatan.

(Notoatmodjo, 2010) Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat

ukur yang telah dilakukan penelitian sebelumnya oleh Ahmad husein

(2012) dengan variabel sikap perawat dalam menangani perilaku

kekerasan. Variabel dependen menggunakan standar asukan keperawatan

jiwa dengan validitas yang dilakukan oleh Elyani Sembiring (2011).

1. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

Sikap dalam komunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi berjalan

efektif atau tidak. Sikap kurang baik akan menyebabkan pendengar

kurang percaya terhadap komunikator. Sikap yang diharapkan dalam

komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai, rendah

diri dan menjadi pendengar yang baik. Kesemuanya dapat mendukung

komunikasi yang terapeutik. Berikut indikator sikap dalam komunikasi

menurut Kelliat, 2004.

Tabel 4.1 kisi kusioner sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

No Dimensi variabel Indikator

1. Berhadapan Arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu mengatasi masalah anda”.

2. Mempertahankan kontak mata

Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman bagi

Page 46: Skrip Si

46

klien.3. Membungkuk kearah

klienPosisi ini menunjukan kepedulian dan keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang dialami.

4. Memperlihatkan sikap terbuka

Tidak melipat kaki atau tangan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan lainnya.

5. Tetap rileks Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam pemberian respon terhadap klien. Sikap ini terutama sangat bermanfaat bila klien dalam kondisi stress atau emosi yang labil dal merespon kondisi sakitnya.

Kuesioner sikap perawat dalam komunikasi terapeutik terdiri dari 5;

pertanyaan dengan 4 opsi jawaban, 3 Pertanyaan Favorable dengan 4

poin untuk jawaban selalu, 3 poin untuk jawaban sering, 2 poin untuk

jawaban kadang- kadang, dan 1 poin untuk jawaban tidak pernah. 2

pertanyaan Unfavorable dengan poin 1 untuk jawaban selalu, 2 poin

untuk jawaban sering, 3 poin untuk jawaban kadang- kadang, dan 4 poin

untuk jawaban tidak pernah, Hasil uji validitas dan realibilitas instrumen

adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Pertanyaan r- Hitung Keterangan

Pertanyaan 1 ,681 ValidPertanyaan 2 ,721 ValidPertanyaan 3 ,619 ValidPertanyaan 4 ,646 ValidPertanyaan 5 ,614 Valid

Page 47: Skrip Si

47

2. Kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan

Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan

untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk atau

kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai

kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain,

dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 2005)

Tabel 4.3kisi kusioner mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan

No Dimensi variabel Indikator

1. Terbinanya hubungan saling percaya

Pasien percaya pada perawat

2. Mengontrol marah denngan cara fisik 1

Pasien melakukan latihan dan mengontrol marah dengan nafas dalam

3. Mengontrol marah denngan cara fisik 2

Pasien melakukan latihan dan mengontrol marah dengan memukul bantal atau kasur

4. Mengontrol marah dengan cara verbal

Pasien melakukan latihan dan mengontrol marah dengan cara verbal, seperti menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik.

5. Pasien mengontol marah dengan cara spiritual

Pasien mampu melakukan cara spiritual seperti : sholat dan berdo’a

6. Patuh Obat Pasien mau meminum obat.

Kuesioner kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan

terdiri dari 22; pertanyaan. 7 item pertanyaan untuk indikator BHSP, 3

pertanyaan untuk indikator cara fisik 1, 2 pertanyaan untuk indikator cara

Page 48: Skrip Si

48

fisik 2, 5 pertanyaan untuk indikator cara verbal, 3 pertanyaan untuk

indikator cara spiritual dan 2 pertanyaan untuk indikator patuh obat

dengan 4 opsi jawaban, 4 poin untuk jawaban selalu, 3 poin untuk

jawaban sering, 2 poin untuk jawaban kadang- kadang dan 1 poin untuk

jawaban tidak pernah. Hasil uji validitas dan realibilitas instrumen adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.4 Validitas Instrumen Kemampuan mengendalikan Marah Pasien Perilaku Kekerasan

Pertanyaan r- Hitung KeteranganPertanyaan 1 .753 ValidPertanyaan 2 .667 ValidPertanyaan 3 .763 ValidPertanyaan 4 .587 ValidPertanyaan 5 .795 ValidPertanyaan 6 .493 ValidPertanyaan 7 .209 ValidPertanyaan 8 .587 ValidPertanyaan 9 .629 ValidPertanyaan 10 .126 ValidPertanyaan 11 .420 ValidPertanyaan 12 .252 ValidPertanyaan 13 .398 ValidPertanyaan14 .535 ValidPertanyaan15 .587 ValidPertanyaan16 .614 ValidPertanyaan17 .493 ValidPertanyaan18 .209 ValidPertanyaan19 .587 ValidPertanyaan20 .629 ValidPertanyaan21 .753 ValidPertanyaan22 .667 Valid

Page 49: Skrip Si

49

G. Tekhnik Pengumpulan Data

Menurut Notoatmodjo, 2002 tekhnik pengumpulan data yang digunakan

adalah:

1. Pengolahan Data (editing)

Meneliti kembali jawaban pada lembar kuesioner sudah baik sehingga

dapat segera diproses lebih lanjut, editing dapat dilakukan ditempat

pengumpulan data sehingga terjadi kesalahan, maka upaya perbaikan dapat

segera dilakukan.

2. Pengkodean (coding)

Upaya mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya

kebentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.

3. Pemasukan Data (entry)

Memasukkan data yang telah diolah dan diberi kode secara nominal

kedalam tabel.

4. Pembersihan Data

(cleaning)

Untuk melihat apakah data sudah bebas dari kekeliruan.

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan langkah-langkah pelaksanaan

sebagai berikut :

1. Peneliti datang ke ruang perawatan pasien jiwa Rumah Sakit dr.

Ernaldi Bahar palembang.

Page 50: Skrip Si

50

2. Mengidentifikasi responden sesuai ktiteria yang dibutuhkan.

3. Peneliti meminta izin kepada Kepala ruangan untuk mewawancarai

perawat yang bertugas.

4. Wawancara dengan memberikan kuesioner dengan pertanyaan

berupa angket

H. Tekhnik Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa metode statistk yang digunakan oleh peneliti untuk

memperoleh gambaran distribusi dan frekuensi dari tiap variabel yang

diteliti. Analisis ini dimulai dengan perhitungan frekuensi dan

mempersentasikan nilai masing-masing variabel. Analisis univariat

bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap

variabel penelitian. Bentuk analisis univariat akan menghasilkan distribusi

frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).

2. Analisa Bivariat

Adalah metode statistik yang digunakan oleh peneliti untuk

mengetahui pengaruh dari intervensi terhadap variabel penelitian yaitu

untuk mengetahui adakah Hubungan sikap perawat dalam komunikasi

terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien Perilaku

kekerasan dengan menggunakan program komputer, analisa data dihitung

dengan memakai uji analisis kataegori-kategori, Chi Square.

Page 51: Skrip Si

51

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang

1. Sejarah Singkat Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang

Pada tahun 1923 dibangun “Verpleechtehuiz” (ruamah

perawatan) pertama diindonesia yaitu diujung pandang dan

Palembang ; untuk di Palembang terletak di Jln Wirangga Wiro

Sentiko yang sekarang ditempati oleh Polisi Meliter Kodam II

Sriwijaya. Pada tahun 1942 dipindahkan ke Baturaja kemuduan

dipindahkan lagi ke Kurungan Nyawa Ogan Komring Ulu (OKU)

yang dipimpin oleh R.R. Stiardjo.

Rumah Sakit Jiwa Palembang muali dibangun tahun 1954-1955

dengan nama Rumah Sakit Suka Bangun. Karna situasi keamanan saat

itu maka sebagian bangunan ditempati oleh Batalion Basis TNI AD.

Setelah keadaan aman pada tahun 1957 mulai dirintis berdirinya Unit

pelayanan Kesehatan jiwa berupa : Poliklinik Penyakit Jiwa dan

Syaraf yang dipimpin oleh Dr. Chasanah Goepito, dan secara resmi

dibuka pada tanggal 13 Juli 1958.

Berdasarkan surat Pimpinan Rumah Perawatan sakit jiwa

Kurungan Nyawa Tanggal 4 Januari 1957 No. 10/20/A/ Rtsd dan

Tanggal 3 Juli 1958 No 365/20/B/Rpsd/V/58 dan tanggal 24 Juli 1958

51

Page 52: Skrip Si

52

No 258/Peg/V/58 pegawai Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun dan

Kurungan Nyawa dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun

berdasarkan SK Menkes No.4287/PAL/ 1958 disertai mutasi 21 orang

pegawai rumah sakit kurungan nyawa. Pada tanggal 18 Agustus 1958

dilakukan peresmian Oleh Kepala Bagian Penyakit Jiwa KEMENKES

RI menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun yang dipimpin oleh Dr.

Chasanah Goepito.

Selanjutnya sesuai perkembangannya Rumah Sakit Jiwa /

Ernaldi Bahar yang merupakan Unit pelaksana Tehknis Daerah

(UPTD) Provinsi Sumatera Selatan dibentuk berdasarkan Peraturan

Daerah No. 9 Tahun 2001 sebagai mana telah diubah dengan

Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2006 mempunyai wewenang

menyelenggarakan Tugas Umum Pemerintahan dibidang kesehatan,

Khususnya pelayanan kesehatan jiwa sebagai unggulan dan kesehatan

dasar lainnya. Pada bulan juli 2012, Rumah Sakit Ernaldi Bahar telah

menempati gedung baru di Jalan Tembus Terminal Km 12 No. 02

Kel/Kec. Alang Alang Lebar Palembang.

2. Luas Wilayah

Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan

berada dalam wilayah kota Palembang, yang mempunyai luas wilayah

14.4 Ha. Sedangkan relokasi tanah Rumah Sakit Ernaldi Bahar yang

baru mempunyai lahan 10 Ha untuk kegiatan pelayan kesehatan jiwa.

Page 53: Skrip Si

53

Luas Tanah 100.300 m2 Tahun mulai dibangun 2010. Tahun

Oprasianal 2012.

3. Batas-batas Lokasi

Berdasarkan Kriteria di atas, maka pilihan lokasi adalah Jalan

Tembusan Sukarno Hatta dan Terminal Alang – alang Lebar,

sedangkan secara Administrasi batas-batas Lokasi Rumah Sakit

Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan yang berbatasan sebagai

berikut :

a. Bagian Belakang Rumah Penduduk ( Perkampungan )

b. Samping Kanan, Jalan Desa ( Lokal Sekunder 10 m )

c. Samping Kiri, Perusahaan jasa dan kebun

d. Depan, Jalan raya

4. Kapasitas Tempat Tidur

a. Kapasitas tempat tidur : 250 unit

b. Kapasitas tempat tidur tersedia : 250 unit

5. Visi dan Misi Rumah Sakit

Sesuai dengan Rencana Strategis Rumah Sakit Ernaldi Bnahar

tahun 2014 – 2018, RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan

mempunyai Visi dan MIsi sebagai berikut :

a. Visi

“Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagai pusat rujukan pelayanan

dan pendidikan kesehatan jiwa yang prima dan berdaya saing

nasional“

Page 54: Skrip Si

54

b. Misi

1) Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Jiwa

2) Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, sarana &

prasarana

3) Mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa dengan unggulan

rehabilitas napza

4) Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor

5) Mengembangkan fasilitas pendidikan dan pelatihan

kesehatan jiwa

Page 55: Skrip Si

55

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada 09 – 15 juni 2015,

data yang dikumpulkan dari 40 responden. Hasil penelitian ini disajikan dalam

bentuk teks dan tabel, yaitu sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan

persentase dari setiap variabel.

a. Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik

Tabel 5.1Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik

Sikap perawat Frekuensi PersentaseBaik 29 72,5

Tidak baik 11 27,5Jumlah 40 100

Berdasarkan tabel 5.1 hasil analisis distribusi frekuensi sikap baik

yaitu sebanyak 29 responden (72,5%), dan sikap tidak baik sebanyak 11

responden (27,5%).

b. Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah

Tabel 5.2Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah

Kemampuan Frekuensi PersentaseBaik 20 50

Tidak baik 20 50Jumlah 40 100

Page 56: Skrip Si

56

Berdasarkan tabel 5.2 hasil analisis distribusi frekuensi

kemampuan mengendalikan marah baik yaitu sebanyak 20 responden

(50%), dan sikap tidak baik sebanyak 20 responden (50%).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan

antara variabel sikap dengan kemampuan mengendalikan marah. Uji

statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan batas nilai

kemaknaan α = 0,05.

c. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan kemapuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

Tabel 5.3Hubungan Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan

kemapuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

Kemampuan P valueBaik Tidak baik Jumlah

Sikap Perawat Baik 20 9 29 0,000Tidak baik 0 11 11

Jumlah 20 20 40

Berdasarkan tabel 5.3 sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekrasan

didapatkan dari hasil uji chi square (continuity correction) nilai p value

= 0,000, nilai ini < α yaitu 0,05. nilai Maka dapat disimpulkan ada

hubungan siqnifikan antara sikap dalam komunikasi terapeutik

dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

Page 57: Skrip Si

57

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Hasil

Penelitian ini menggunakan desain penelitian descriftive Analitc dengan

pendekatan cross sectional. Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan

hubungan sebab-akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.

Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian

diobservasi lagi setelah intervensi (Notoatmodjo, 2010).

1. Analisis univariat

a. Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik

Berdasarkan tabel 5.1 hasil analisis distribusi frekuensi sikap baik

yaitu sebanyak 29 responden (72,5%), dan sikap tidak baik sebanyak 11

responden (27,5%). Komunikasi merupakan hal yang sangat penting,

karena dengan adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar

informasi. Dalam dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang

merupakan landasan dalam membina hubungan perbantuan agar proses

keperawatan dapat tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal

yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.

Page 58: Skrip Si

58

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena dengan

adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar informasi.

Dalam dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang merupakan

landasan dalam membina hubungan perbantuan agar proses keperawatan

dapat tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal yaitu

komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.

Dalam melakukan interaksi kita juga mengenal komunikasi

terapeutik, komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi

yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan

untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi

interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar

perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini adalah

adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat

dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien,

perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Achmad Fanani,

2013).

Menurut Yuningsih (2006), faktor-faktor yang mempengarihi

komunikasi seseorang adalah: tahap perkembangan, jenis kelamin, peran

dan hubungan, karakteristik sosio-kultural, Nilai dan persepsi dan

lingkungan, sedangkan menurut Notoadmodjo (2010), pendidikan dan

pengetahuan mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik, lain

halnya dengan Alimul (2007) masa kerja mempengaruhi pengalaman

seseorang dalam berkomunikasi. Dari beberapa pendapat para ahli

57

Page 59: Skrip Si

59

tersebut peneliti menyimpulkan kemampuan dalam komunikasi

terapeutik tidak terlepas dari faktor individu masing-masing, yang

meliputi: pengetahuan, pendidikan, dan pengalaman akan mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam berkomunikasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gita Arestya Ningrum

(2012) dengan judul Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi

Pasien Terhadap Perilaku Caring Perawat Dalam Praktik Keperawatan Di

Ruang Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Dengan hasil

distribusi persepsi pasien dengan perilaku caring perawat pada pasien di

Ruang Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang dari 40

responden mayoritas penilaian terhadap perilaku caring perawat dengan

kategori baik sebanyak 33 orang responden (82,5%).

Berdasarkan hasil penelitian, teori terkait dan hasil penelitian

sebelumnya peneliti berasumsi perbedaan sikap perawat dalam

komunikasi tidak terlepas dari faktor individu perawat sendiri, yaitu

kemampuan perawat dalam memenuhi sikap yang diharapkan dalam

komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai, rendah

diri dan menjadi pendengar yang baik.

b. Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah

Berdasarkan tabel 5.2 hasil analisis distribusi frekuensi kemampuan

mengendalikan marah baik yaitu sebanyak 20 responden (50,0%), dan

sikap tidak baik sebanyak 20 responden (50,0%).

Page 60: Skrip Si

60

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat

menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan

merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang

dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi

kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan

yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan

melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan

dan menantang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif–

kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai

tujuan.

Mengadopsi teori Keliat, 2004 Faktor presipitasi dapat bersumber

dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien

seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan,

percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan

demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang

mengarah pada penghinaan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Joko Witoyo (2008)

dengan judul pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan

perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di RSJ surakarta. bahwa pada

saat pretest sebagian besar responden mengalami perilaku kekerasan

tingkat sedang 50% pada kelompok perlakuan, dan 50% pada kelompok

kontrol. Dan pada tingkat perilaku kekerasan tingkat berat sebesar 10%,

Page 61: Skrip Si

61

untuk masing-masing kelompok. Di rumah sakit jiwa pasien dengan

perilaku kekerasan ditempatkan pada ruangan khusus Bangsal Amarta

untuk akut pria dan Bangsal Sembadra untuk akut wanita. Dan pada

postest didapat responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat

mengalami penurunan menjadi tingkat sedang sebesar 10%. Jadi tidak

ada lagi responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat pada saat

postest hasil uji independent T-test didapatkan nilai p = 0,032. Sampel

pada responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat biasanya

dilakukan fiksasi (restrains) karena tidak bisa mengontrol perilakunya

dan cenderung merusak diri sendiri dan orang lain. (Stuart and Sundeen,

1985). Ini sesuai dengan yang dipaparkan Warno (2005) dalam

penelitiannya tentang persepsi kekerasan yang dialami perawat dengan

kecenderungan perilaku agresif yang dialami perawat.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan

antara variabel sikap dengan kemampuan mengendalikan marah. Uji

statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan batas nilai

kemaknaan α = 0,05. Uji Chi-Square dilakukan dengan bantuan

program komputerisasi aplikasi SPSS for windows.

a. Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan

kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan

Berdasarkan tabel 5.3 sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekrasan

Page 62: Skrip Si

62

didapatkan dari hasil uji chi square dengan batas kemaknaan 0,05, didapatkan

p value = 0,000. Maka dapat disimpulkan ada hubungan siqnifikan antara

sikap perawat dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku

kekerasan.

Mengadopsi teori Keliat, 2004 faktor presipitasi dari perilaku kekerasan

dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain.

Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,

ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku

kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat,

kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau

pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.

Komunikasi terapeutik juga termasuk komunikasi interpersonal dengan

titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien. Dengan

memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan lebih mudah

menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih efektif

dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah diterapkan yang

memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan akan

meningkatkan profesi (putri, 2013).

Komunikasi terapeutik ini dapat membantu pasien untuk memperjelas

dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan

yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan

fisik dan diri sendiri dalam hal ini keadaan agresif pasien perilaku kekerasan.

Page 63: Skrip Si

63

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan

orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexualitas ( Nanda,

2005 ).Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang

bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis

(Berkowitz,1993 dalam Depkes, 2002). Marah merupakan perasaan jengkel

yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak

terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sunden, 2005).

Menurut Damaiyanti (2008) komunikasi terapeutik merupakan suatu

bentuk komunikasi yang direncanakan secara sadar, dan kegiatannya

dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Tujuan penerapan komunikasi

terapeutik pada pasien pre operasi faktur adalah untuk membantu mengurangi

rasa cemas yang dialami oleh pasien dan bila tidak dilakukan komunikasi

terapeutik maka kecemasan pasien pre operasi fraktur akan semakin

meningkat.

Hasil penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa adanya penurunan

tingkat kecemasan ibu bersalin setelah pelaksanaan komunikasi terapeutik.

Hal senada juga diungkapkan oleh Agustus (2010) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa komunikasi terapeutik perawat dapat mempengaruhi

tingkat kecemasan pada pasien pre operasi seksio caesar.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan

sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan kemampuan

mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan didapatkan dari hasil uji chi

Page 64: Skrip Si

64

square dengan batas kemaknaan 0,05, didapatkan p value = 0,000. Maka

dapat disimpulkan ada hubungan siqnifikan antara sikap perawat dengan

kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

Berdasarkan teori, penelitian terkait dan hasil penelitian, peneliti

berasumsi sikap komunikasi nonverbal perawat pada saat komunikasi

interpersonal seperti saling berhadapan, Mempertahankan kontak mata

dengan klien, Membungkuk kearah klien, Mempertahankan sikap terbuka

seperti Tidak melipat kaki atau tangan dan Tetap relaks dalam artian Tetap

dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam

pemberian respon terhadap klien, mempunyai hubungan dengan respon marah

pasien perilaku kekerasan saat dilakukan komunikasi interpersonal dengan

perawat.

B. Keterbatasan penelitian

Karena keterbatasan waktu metode pengumpulan data dalam penelitian

ini hanya menggunakan angket dan belum dapat mengobservasi pelaksanaan

komunikasi terapeutik secara langsung saat perawat melakukan Strategi

pelaksanaan perilaku kekerasan.

Page 65: Skrip Si

65

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan pada tanggal 9-15 juni 2015 di

Ruang Rawat inap Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang maka dapat

disimpulkan sebagai ber

1. Distribusi frekuensi sikap baik yaitu sebanyak 29 responden (72,5%),

dan sikap tidak baik sebanyak 11 responden (27,5%).

2. Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah baik yaitu

sebanyak 20 responden (50%), dan sikap tidak baik sebanyak 20

responden (20%).

3. Ada Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan

kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekrasan

didapatkan dari hasil uji chi square dengan batas kemaknaan 0,05,

didapatkan p value = 0,000.

Page 66: Skrip Si

66

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti mengajukan saran-saran antara lain:

1. Bagi Rumah Sakit

Hendaknya hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada

rumah sakit terkait sikap perawat saat melakukan interaksi dengan pasien

perilaku kekerasan dan evaluasi dalam meningkatkan mutu pelayanan

antara lain:

a. Mengevaluasi komunikasi terapeutik perawat saat intervensi

b. Melakukan pelatihan kepada perawat untuk meningkatkan kompetensi

dalam komunikasi terapeutik.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian termasuk dalam ruang lingkup keperawatan jiwa, hendaknya

dapat memasilitasi mahasiswa untuk:

a. mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi

dengan memberikan mata kuliah komunikasi terapeutik

b. Mengadakan seminar keperawatan yang bertema komunikasi

terapeutik dan pelatihan tentang komunikasi terapeutik pada

mahasiswanya sebagai calon perawat.

65

Page 67: Skrip Si

67

c. Bagi Perawat hendaklah selalu meningkatkan kemampuan komunikasi

terapeutik untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien secara

komperehensif dan paripurna.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Mahasiswa yang nantinya akan melakukan penelitian terkai komunikasi

hendaknya difokuskan untuk mengetahui, faktor-faktor yang

mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik.