35
PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan keturunan langsung dari banteng liar (Bibos banteng) dan memiliki karakteristik yang sangat baik seperti fertilitas yang sangat baik, tingkat kelahiran yang cukup tinggi 80-83% dan dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrim (Gunawan dkk, 1988). Namun, akhir-akhir ini sifat keunggulan ini mulai menurun mengingat pertumbuhan yang relatif lambat, ukuran bobot badan sapi semakin kecil, bobot lahirnya rendah dengan mortilitas yang cukup tinggi (Putra, 1999). Sapi Bali biasanya dipelihara secara individual dengan cara-cara tradisional sehingga menyebabkan perkembangannya agak lambat dan cenderung stagnan, namun disisi lain teknologi pakan untuk ternak (sapi) telah tersedia dan perlu diterapkan oleh peternak secara kontinyu sehingga ternak yang dihasilkan oleh peternak meningkat kualitas dan produktivitasnya. Kualitas produksi daging sapi Bali tergantung pada pertumbuhannya karena produksi yang tinggi dapat 1

Skrip Si

  • Upload
    rendi

  • View
    219

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

terbaik

Citation preview

Page 1: Skrip Si

PENDAHULUAN

Sapi Bali merupakan keturunan langsung dari banteng liar (Bibos banteng)

dan memiliki karakteristik yang sangat baik seperti fertilitas yang sangat baik,

tingkat kelahiran yang cukup tinggi 80-83% dan dapat beradaptasi dengan

lingkungan ekstrim (Gunawan dkk, 1988). Namun, akhir-akhir ini sifat

keunggulan ini mulai menurun mengingat pertumbuhan yang relatif lambat,

ukuran bobot badan sapi semakin kecil, bobot lahirnya rendah dengan mortilitas

yang cukup tinggi (Putra, 1999).

Sapi Bali biasanya dipelihara secara individual dengan cara-cara

tradisional sehingga menyebabkan perkembangannya agak lambat dan cenderung

stagnan, namun disisi lain teknologi pakan untuk ternak (sapi) telah tersedia dan

perlu diterapkan oleh peternak secara kontinyu sehingga ternak yang dihasilkan

oleh peternak meningkat kualitas dan produktivitasnya. Kualitas produksi daging

sapi Bali tergantung pada pertumbuhannya karena produksi yang tinggi dapat

dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Dimana, pertumbuhan merupakan suatu

proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dengan pertambahan berat organ

atau jaringan tubuh seperti otot, tulang dan lemak, urutan pertumbuhan jaringan

tubuh dimulai dari jaringan saraf, kemudian tulang, otot dan terakhir lemak

(Laurence, 1980 dalam Sampurna dkk, 2010). Tillman (1991) menyatakan bahwa

pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat. Tahap cepat terjadi

sebelum dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada fase awal dan saat dewasa

tubuh telah tercapai. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga sangat

berperan dalam menyediakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan seekor

ternak. Oleh karena itu, dalam upaya memperoleh produksi ternak yang baik,

1

Page 2: Skrip Si

usaha yang dilakukan harus dimulai sedini mungkin terutama pada ternak yang

memproduksi daging. Jadi, kecepatan pertumbuhan merupakan kunci sukses pada

peternakan yang bertujuan memproduksi daging (Cole, 1966).

Atas dasar pemikiran ini, maka dilakukan penelitian ini untuk melihat

pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap bobot badan sapi Bali dan melihat

kisaran umur yang optimum pertumbuhan sapi Bali.

2

Page 3: Skrip Si

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Sapi Bali

Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan

(domestikasi) banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah

dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi

Bali. Bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan

Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata,

Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae,

Genus : Bos, Species : Bos sondaicus.

Ciri –ciri sapi Bali yaitu berukuran sedang, dadanya dalam, tidak

berpunuk, kulitnya berwarna merah bata, cermin hidung, kuku dan bulu ujung

ekornya berwarna hitam, kaki-kakinya ramping pada bagian bawah persendian

karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada

bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut

berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam

membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Sapi

Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina.

Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua

atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin (Anonima , 2012 ).

Sapi Bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat

sapi Bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai

140 cm. Sapi Bali betina juga bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali

bagian kaki dan pantat. Dibandingkan dengan sapi Bali jantan, sapi Bali betina

relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg (Darmaja, 1980).

3

Page 4: Skrip Si

B. Kebutuhan Nutrisi Dalam Pakan Ternak Sapi

Pakan adalah semua bahan makanan yang dapat diberikan kepada ternak

dan tidak mengganggu kesehatan ternak. Kebutuhan ternak terhadap jumlah pakan

tiap harinya tergantung dari jenis atau spesies, umur dan fase pertumbuhan ternak

(dewasa, bunting dan menyusui). Penyediaan pakan harus diupayakan secara

terus-menerus dan sesuai dengan standar gizi ternak tersebut. Pemberian pakan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat menyebabkan defisiensi zat

makanan sehingga mudah terserang penyakit (Manurung, 2008).

Faktor yang mempengaruhi produksi sapi adalah kecukupan nutrisinya,

bila ternak mengalami defisiensi vitamin dan mineral maka akan berpengaruh

pada proses metabolisme yang mengakibatkan terhambatnya produktivitas

maupun pertumbuhannya. Menurut Yudith (2010), kebutuhan nutrisi pakan sapi

untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1

berikut :

Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi

Uraian Bahan (%) Tujuan ProduksiPembibitan Penggemukan

Kadar Air 12 12Bahan Kering 88 88Protein Kasar 10.4 12.7Lemak Kasar 26.6 3Serat Kasar 19.6 18.4Kadar Abu 6.8 8.7TDN 64.2 64.4 Sumber : Yudith, 2010.

Kebutuhan Air

Kebutuhan air pada ternak kadang kala diabaikan oleh peternak, sehingga

ternak hanya memperoleh air dari hijauan ataupun dalam bahan pakan lainnya.

Menurut Bambang (2005) hewan terdiri dari ± 70% air dan jika ternak mengalami

kekurangan air sekitar 20% maka hewan tersebut akan mati, sehingga perlu

pemberian air pada ternak guna memenuhi kebutuhannya. Jika dalam waktu cepat

4

Page 5: Skrip Si

(2 hari) ternak dalam keadaan air minum tidak ada maka, akan terjadi dehidrasi

dan berangsur memperlihatkan penurunan bobot badan sebanyak 12% (Parakkasi,

1999).

Hewan membutuhkan air untuk proses metabolisme didalam tubuh antara

lain sebagai pengatur suhu, membantu proses pencernaan serta mengeluarkan zat-

zat yang tidak berguna dari dalam tubuh. Parakkasi (1999) menambahkan dari

hasil penelitian 48 ekor sapi (24 ekor dari setiap jenis kelamin) berumur antara

16-86 minggu dengan pemberian ransum berkadar energi rendah, sedang dan

tinggi menunjukkan bahwa kadar air menurun dengan meningkatnya umur. Pada

sapi betina yang berumur 16 minggu kadar air tersebut mencapai 67,3-78% bobot

badan dan sapi betina berumur 48 minggu kisaran kadar air adalah 70,6-

56,3%.sedangkan pada jantan diperoleh kisaran yang serupa.

Kebutuhan Protein

Protein sangat penting bagi tubuh baik itu pada manusia ataupun hewan.

Apabila dalam bahan pakan protein tidak memenuhi kebutuhan hidup ternak maka

tubuh tidak akan membentuk jaringan-jaringan yang harus digantikan, akibatnya

pertumbuhan akan terganggu. Sapi yang baru lahir membutuhkan protein untuk

pertumbuhan sedangkan sapi dewasa protein berfungsi sebagai pengganti jaringan

yang telah rusak dan untuk produksi (Bambang 2005).

Salah satu penggunaan Non-Protein Nitrogen atau NPN adalah urea. Urea

adalah senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan nitrogen

dengan rumus CON2H4. (Bambang, 2005). Urea memiliki dapak positif antara lain

membantu dalam meningkatkan konsumsi protein kasar dan daya cerna namun,

jika diberikan secara berlebihan makan akan mengakibatkan keracunan pada

5

Page 6: Skrip Si

ternak. Menurut Parulian (2009) tingkat penggunaan urea adalah 1% dari bahan

kering ransum dan tidak lebih dari 3% dari campuran konsentrat atau tidak lebih

dari 1/3 dari kebutuhan protein. Sedangkan, menurut Manurung (2008)

penggunaan urea tidak bisa lebih dari setengah persen dari jumlah bahan kering

dan lebih dari 2 gr untuk setiap bobot badan 100 kg ternak.

Kebutuhan Energi

Energi pada umumnya berasal dari pakan yang mengandung karbohidrat

dan lemak Yudith (2010). Kebutuhan energi akan meningkat seiring dengan

pertambahan bobot badan misalnya, sapi-sapi yang masih muda (cepat tumbuh)

tulang dan mungkin dagingnya relatif sedikit sedangkan sapi yang lebih tua

pertumbuhannya relatif lamban dan akan menimbun lemak (Parakkasi, 1999).

Salah satu bahan pakan sumber energi yang baik adalah konsentrat dan

molases. Konsentrat adalah campuran beberapa bahan pakan dan memiliki nilai

protein dan energi yang tinggi dengan protein kasar ≥ 18%. Pemberian konsentrat

yang terlampau banyak dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat

konsumsi energi sendiri dapat berkurang. Pemberian konsentrat yang banyak pada

ternak yang digemukkan akan semakin baik jika serat kasarnya kurang dari 15%

bahan kering pakan (Parulian, 2009).

Molases atau tetes tebu adalah hasil ikutan dari limbah perkebunan tebu

yang berwarna hitam kecoklatan kandungan gizi yang cukup baik didalamnya

sangat baik digunakan sebagai bahan tambahan pakan ternak, selain itu molases

juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi

ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, mangan dan seng, namun molases

6

Page 7: Skrip Si

memiliki kelemahan yakni kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare

bila dikonsumsi terlalu banyak (Yudith, 2010).

Tabel 2. Kandungan zat gizi molases

Kandungan Zat Nilai giziBahan kering 67.5Protein Kasar 3.4Serat kasar 0.38Lemak kasar 0.08Kalsium 1.5Fosfor 0.02TDN 56.7

Sumber : Parulian 2009.

Menurut Parakkasi (1999) bila sapi mula-mula diberikan molases, pada

umumnya menyukainya namun bila diberikan secara ad-libitum, konsumsinya

akan menurun menjadi sekitar 1-1,5 kg/ekor/hari. Tetes atau molasses juga akan

menyebabkan kehausan pada ternak jika diberikan dalam jumlah banyak sehingga

ternak banyak minum namun, pemberian ½-1 kg/ekor/hari peningkatan konsumsi

air dapat diatasi. Lebih lanjut penelitian Lofgreen dan Otogaki (1960) dalam

parakkasih (1999) menjelaskan bahwa hewan yang mendapat 10% tetes,

pertambahan bobot badannya lebih cepat 10% dari perlakuan kontrol.

C. Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Badan Ternak

Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang meliputi

perubahan bobot hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan

komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta

komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein dan abu (Soeparno,

1998). Purbowati (2009) menyatakan bahwa suatu individu erat kaitannya dengan

perkembangan dimana perkembangan adalah perubahan bentuk suatu

7

Page 8: Skrip Si

komformasi tubuh, termasuk perubahan struktur tubuh, perubahan kemampuan

dan komposisi, Jadi dalam pertumbuhan seekor ternak ada dua hal yang terjadi,

yaitu (1) bobot badannya meningkat sampai mencapai bobot badan dewasa, yang

disebut pertumbuhan dan ( 2) terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh

serta berbagai fungsi dan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu menjadi

wujud penuh yang disebut perkembangan. Perubahan bentuk tubuh atau dalam hal

pertambahan berat badan sangat berguna untuk seleksi pada pemuliaan ternak

sebagai petunjuk dalam performan kondisi pada “grazing” atau feedlot, meskipun

demikian yang penting bahwa makin mendekati dewasa tubuh pertambahan berat

badan semakin rendah (Wello, 2007).

Davies (1982) melaporkan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh zat-zat

makanan, genetik, jenis kelamin dan hormon, selanjutnya Tomaszeweska, 1933

dalam Manurung, (2008) menyatakan laju pertambahan bobot badan dipengaruhi

oleh umur, lingkungan dan genetik dimana bobot badan awal fase penggemukan

berhubungan dengan bobot badan dewasa. Pola pertumbuhan ternak tergantung

pada sitem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan

iklim. Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan,

yaitu dengan penimbangan berulang-ulang dan dibuat dalam pertambahan bobot

badan harian, mingguan atau per satuan waktu lain (Tillman, 1991). Ditambahkan

Siregar (1990) bahwa pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga

usia penyapihan dan puberitas, namun setelah usia puberitas hingga usia dewasa,

laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa.

Pada usia dewasa, pertumbuhan sapi berhenti. Sejak sapi dilahirkan sampai

8

Page 9: Skrip Si

dengan usia puberitas (sekitar umur 12-15 bulan) merupakan fase hidup sapi yang

laju pertumbuhannya sangat cepat.

Sumber : Anonimb, 2012

Gambar 1. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati

Keterangan :

Y = Bobot hidup, pertambahan bobot badan harian atau laju pertumbuhan

(Kg)

X = umur, tahun

M = Dewasa tubuh

C = Pembuahan

B = Kelahiran

P = Pubertas

D = Mati

Pada pertumbuhan terdapat dua fase, yaitu: self accelerating phase,

dimana kecepatan tumbuh meningkat, dan self inhibiting phase dimana

pertambahan bobot badan per unit waktu turun sampai pertambahan bobot badan

tersebut menjadi nol dan dalam keadaan ini bobot badan dewasa telah tercapai.

Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (“inflection point”).

9

Page 10: Skrip Si

Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus

waktu, bentuk kurva ini sigmoid. Gambar 2 kurva pertumbuhan kumulatif

diperoleh dengan cara menimbang bobot hidup ternak sesering mungkin,

selanjutnya dibuat kurva dengan aksisnya adalah umur dan ordinatnya adalah

bobot hidup. Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda

akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai

dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan meningkat terus

dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak

terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan.

Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan

dan puberitas namun, setelah usia puberitas hingga usia dewasa (Tomaszeweska,

1933 dalam Manurung. 2008). Potensi pertumbuhan ternak ditentukan oleh

genetik yang dinyatakan dalam hubungan hormonal didalam tubuh, hal tersebut

mengakibatkan adanya perbedaan dalam tingkat pertumbuhan dan bobot dewasa

yang dicapai (Bamualim dkk, 2002).

Sumber : Manurung 2008

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Sapi

10

Page 11: Skrip Si

Dari Gambar 2 menjelaskan bahwa kurva membentuk huruf “S” dimana

menunjukkan pertumbuhan saat pembuahan berlangsung lambat, kemudian

menjadi agak cepat pada saat menjelang kelahiran. Setelah kelahiran pedet

pertumbuhan semakin cepat hingga usia penyapihan. Dari usia penyapihan hingga

usia puberitas laju pertumbuhan masih bertahan pesat, namun dari usia setelah

puberitas hingga dewasa laju pertumbuhan berangsur menurun dan akan terus

menurun (Bambang, 2005).

Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ternak yang masih muda

membutuhkan lebih sedikit makanan dibandingkan yang lebih tua untuk setiap

unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu faktornya antara lain pertambahan

bobot badan hewan muda sebagian disebabkan oleh pertumbuhan otot-otot,

tulang-tulang dan organ-organ vital, sedangkan hewan yang lebih tua bobot

badannya disebabkan karena perletakan (deposit) lemak. Lemak mengandung

sedikit air dan lebih banyak energi dibandingkan dengan unit jaringan tubuh

lainnya (Parakkasi, 1999). Lebih lanjut Bambang (2005) menjelaskan bahwa jika

telah mencapai kedewasaan dan pertumbuhannya telah terhenti tetapi mereka

mengalami perubahan maka perubahan tersebut karena penimbunan lemak bukan

pertumbuhan murni. Kay dan Housseman (1975) menyatakan bahwa hormon

androgen pada hewan jantan dapat merangsang pertumbuhan sehingga hewan

jantan lebih besar dibandingkan dengan hewan betina. Ditambahkan Parakkasi

(1999) yaitu perbedaan tingkat pertumbuhan dan bobot dewasa antara jantan dan

betina memberi petunjuk bahwa hormon kelamin memegang peranan peting untuk

merangsang pertumbuhan ruminan. Penggunaan estrogen-sintesis pada hewan

11

Page 12: Skrip Si

kastrasi dapat meningkatkan pertumbuhan rata-rata sebanyak 15% dan efisiensi

penggunaan makanan sebanyak 10% selama fase akhir dari program finishing.

Dalam peningkatan tingkat pertumbuhan sapi (ataupun domba), estrogen

meningkatkan konsentrasi 2 hormon protein yaitu insulin dan hormon

pertumbuhan. Estrogen menangkap hipothalamus/pituatary yang selanjutnya

meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan, kelenjar pituatary bagian anterior,

meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan. Selanjutnya hormon pertumbuhan

meningkatkan rata-rata pertambahann bobot badan, efisiensi penggunaan

makanan, pertambahan protein dan kadar insulin dan glukosa dalam plasma tetapi

menurunkan pertumbuhan jaringan lemak (Parakkasi, 1999).

12

Page 13: Skrip Si

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksankan pada bulan April - Mei 2012, bertempat di

Laboratorium Ternak Potong, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan yang

menggunakan percobaan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak

lengkap (RAL), dengan 2 faktor yaitu umur dan jenis kelamin dengan ulangan

tidak sama yang terdiri dari :

Faktor A = Umur

A1 = 8-12 Bulan (Weaner)

A2 = 20-24 Bulan (yearling)

Faktor B = Jenis Kelamin

S1 = Betina

S2 = Jantan

Materi Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah sapi Bali sebanyak 15 ekor yang terdiri

atas 7 ekor betina dan 8 ekor jantan dan terdiri dari umur 1-2 tahun. Bahan –

bahan pendukung antara lain yaitu konsentrat dan hijauan. Konsentrat dibuat dari

bahan pakan lokal dengan komposisi sebagai berikut :

13

Page 14: Skrip Si

Tabel 3. Komposisi Pakan Konsentrat yang diberikan

No. Bahan Komposisi %1 Dedak 932 Bungkil 33 Garam 14 Urea 15 Cattle Mix 16 Molases 0,57 Starbio 0,5

Alat –alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan pakan tipe

Jadever Versi JW700-150, timbangan Weighing indicator Versi LP7150 , skop,

ember, kandang, kereta dorong dan chopper (mesin pencacah rumput).

Parameter yang diukur

Pertambahan Berat Badan ( PBB)

Pertumbuhan direfleksikan dengan pertambahan bobot hidup ternak kurun

waktu tertentu. Penimbangan bobot hidup dilakukan setiap bulan. Pertambahan

bobot hidup (PBH) dihitung dengan rumus:

PBB = Bobot hidup akhir (kg) – bobot hidup awal (kg) Waktu pengamatan (hari)

Prosedur Penelitian

Pemeliharaan dilakukan dalam kandang kelompok dan ternak dibagi

dalam 4 kelompok, 2 kelompok jantan dan 2 kelompok betina dengan umur

masing-masing 8-12 bulan (weaner) dan 20-24 bulan (yearling).

Ternak diberikan perlakuan konsentrat 1% dari berat badan dengan pakan

hijauan diberikan secara ad-libitum. Konsentrat diberikan pada pagi hari jam 07-

08 pagi dan hijauan pada siang dan sore hari, hijauan yang diberikan (rumput

gajah) sebelumnya dicacah dengan menggunakan mesin chopper dengan panjang

14

Page 15: Skrip Si

pemotongan ± 2,5 cm. Ternak diberikan Obat - obatan seperti obat cacing

Wormzol - B, dan vitamin B – kompleks sebagai suplemen tambahan. Air minum

diberikan secara ad libitum.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2 dengan ulangan tidak sama. Apabila

perlakuan berpengaruh nyata maka diuji lebih lanjut dengan menggunakan uji

Beda Nyata Terkecil (BNT) ( Gasperz, 1991). Adapun model matematika yang

digunakan yaitu :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk

i= 1, 2

j = 1, 2,

k = 1, 2, 3 ... r

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan dari perlakuan ke – k dan ulangan ke – ij

µ = Nilai tengah umum (rata –rata umum pengamatan)

αi = Pengaruh umur taraf ke – i terhadap parameter yang diukur

βj =Pengaruh jenis kelamin taraf – j terhadap parameter yang diukur

(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari umur dan jenis kelamin ke – j

€ijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke –i dan ulangan ke – j

15

Page 16: Skrip Si

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali

Hasil penelitian terhadap rata-rata pertambahan bobot badan harian

(PBBH) Sapi Bali dengan umur dan jenis kelamin yang berbeda dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Sapi Bali.

Umur Jenis Kelamin (rata-rata ± SD)

Rata-rata ± SD Betina Jantan

1 tahun 0,15 ± 0,03 0,21 ± 0,04 0,17a ± 0,03

2 tahun 0,31 ± 0,13 0,34 ± 0,04 0,33b ± 0,08

Rata-rata 0,23 ± 0,07 0,27 ± 0,03

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan (P< 0.01).

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2) dapat diketahui bahwa interaksi

jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian sapi

Bali. Sementara umur berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap pertambahan

bobot badan harian sapi Bali. Pertambahan berat badan sapi umur 2 tahun sangat

nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan umur 1 tahun. Hal ini

disebabkan karena umur ternak pada saat pertumbuhan memiliki laju

pertumbuhan yang sangat baik dan mampu merespon pakan yang tersedia

dibandingkan dengan sapi yang berusia dibawah 1 tahun. Parakkasi (1999)

menerangkan bahwa pertumbuhan hewan muda sebagian besar disebabkan oleh

16

Page 17: Skrip Si

perumbuhan otot, tulang belulang dan organ-organ vital. Sedangkan pengaruh

jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan tidak berpengaruh nyata dapat

disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor genetik dan lingkungan.

Bambang, (2005) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan pada semua jenis

hewan terkadang berlansung cepat, lambat dan bahkan terhenti jauh sebelum

hewan tersebut mencapai dalam ukuran besar tubuh karena dapat dipengaruhi oleh

faktor genetis ataupun lingkungan. Dengan adanya faktor tersebut, pencapaian

garis pertumbuhan tidak selalu sesuai dengan usia kronologis hewan yang

bersangkutan.

1 2 30

20

40

60

80

100

120

140

160

jantanbetina

Waktu Penimbangan (Bulan)

Bera

t Bad

an (k

g)

Gambar 3. Grafik interaksi jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan sapi Bali

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali

jantan lebih tinggi dibandingkan sapi Bali betina. Pertambahan bobot badan jantan

lebih besar dari pada betina karena adanya hormon androgen yang merangsang

pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kay dan Housseman (1975) yang

menyatakan bahwa hormon androgen pada hewan jantan dapat merangsang dan

menstimulan pertumbuhan, pertumbuhan yang cepat pada saat pubertas sebagian

17

Page 18: Skrip Si

disebabkan oleh pengaruh anabolik protein dari androgen sehingga hewan jantan

dapat lebih besar dibandingkan dengan hewan betina (Purbowati, 2009).

1 2 30

20406080

100120140160180

1 tahun2 tahun

Waktu Penimbangan (Bulan)

Bera

t Bad

an (k

g)

Gambar 4. Grafik interaksi umur terhadap pertambahan bobot badan sapi Bali.

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali

pada usia dua tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan bobot

badan sapi Bali pada usia 1 tahun, hal ini dapat disebabkan karena pada usia 2

tahun (24 bulan) adalah usia puncak pertumbuhan dan setelah itu pertumbuhannya

berangsur menurun, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada Gambar 2.

Selain itu salah satu faktor perbedaan pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi

oleh tingkat konsumsi pakan dimana pemberian pakan secara ad-libitum akan

meningkatkan konsumsi pakan dan akan mempengaruhi bobot badan. Parakkasi

(1999) menjelaskan beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ternak yang

masih muda membutuhkan lebih sedikit makanan dibandingkan yang lebih tua

untuk setiap unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu faktornya antara lain

pertambahan bobot badan hewan muda sebagian disebabkan oleh pertumbuhan

otot-otot, tulang-tulang dan organ-organ vital, sedangkan hewan yang lebih tua

18

Page 19: Skrip Si

bobot badannya disebabkan karena perletakan (deposit) lemak. Hal ini sesuai

dengan pendapat Tilman dkk. (1991) dalam Yudith, (2010) yang menyatakan

bahwa kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan menyangkut dengan tinggi

rendahnya produksi dan kecepatan pertumbuhan sapi yang sedang tumbuh.

Tabel 4. Rata-rata konsumsi Rumput Sapi Bali

Umur dan jenis kelamin

Rata-rata berat badan awal

Rata-rata konsumsi rumput (%)

Persentse rumput dari berat badan

awal1 tahun jantan1 tahun betina2 tahun jantan2 tahun betina

95,589,5

155,1 137,7

6,3 7,6

10,7 11,1

6,68,0

6,8 8,1

Konsumsi pakan adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan pakan

yang tersedia secara ad-libitum. Adapun rata-rata konsumsi pakan sapi Bali dapat

dilihat pada Tabel 4 dengan rata-rata konsumsi pakan sapi Bali betina yang

berumur 2 tahun memiliki rata-rata konsumsi pakan 11,1% dan mencapai

persentase dari berat badan awal yakni 8,1% serta sapi Bali betina yang berumur 1

tahun memiliki rata-rata konsumsi pakan 7,6% dan persentase rumput dari berat

badan awal mencapai 8,0% lebih tinggi dibandingkan dengan umur dan jenis

kelamin sapi Bali jantan sehingga dapat diasumsikan bahwa, sapi Bali betina

memiliki tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan sangat baik. Selain itu

kebutuhan sapi Bali betina lebih tinggi dapat pula disebabkan karena selain untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, betina juga mempersiapkan kebutuhan nutrisi

untuk produktivitasnya. Hal ini diperkuat oleh parakkasi, (1999) bahwa tingkat

pemberian makanan yang cukup bagi calon induk muda untuk memenuhi

kebutuhan pertumbuhan dan kebuntingannya sehingga kebutuhan nutrisi dapat

terpenuhi dan tidak bersaing dengan kebutuhan pertumbuhan induk muda. Yudith,

19

Page 20: Skrip Si

(2010) menambahkan bahwa, salah satu faktor tingkat konsumsi pakan antara

lain: 1) Faktor pakan, meliputi daya cerna dan palatabilitas dan 2) faktor ternak

yang meliputi bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak.

Parakkasi, (1999) menjelaskan bahwa palatabilitas pakan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan kemampuan ternak untuk

mengkonsumsi bahan kering yang terkandung dalam pakan berkaitan dengan

kapasitas fisik lambung serta kondisi saluran pencernaan, sehingga tinggi

rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, kondisi ternak serta faktor pakan.

20

Page 21: Skrip Si

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa sapi Bali umur 2 tahun

lebih baik dalam peningkatan pertumbuhan maupun pertambahan bobot badan

dibandingkan dengan sapi bali umur 1 tahun karena sapi Bali umur 2 tahun berada

pada fase puncak pertumbuhan sehingga umur yang optimum berkisar 2 tahun.

Namun, jika dilihat dari jenis kelamin, sapi Bali jantan lebih efisien dalam

penggunaan pakan dibandingkan dengan sapi Bali betina yang memiliki rata-rata

konsumsi pakan tinggi tetapi memiliki pertambahan bobot badan yang rendah.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat tingkat pertumbuhan

sapi Bali jantan dan betina dengan jumlah ternak yang lebih banyak serta umur

yang bervariasi.

21

Page 22: Skrip Si

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2012. Beternak Sapi Bali. http: // uripsantoso. wordpress. com/2010/01 /17/beternak-sapi-bali-3/ . Diakses tanggal 14 Februari 2012.

Anonimb. 2012. Kurva Pertumbuhan www. damandiri. or.id/file/ harapinipbtinjpustaka .pdf. Diakses 14 Februari 1212.

Bambang S. Y. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bamualim, A. dan R. B. Wirdahayati. 2002. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Proc. of an ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia, Skripsi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Darmaja, S .G .N .D., 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam ekosistim pertanian di Bali. Thesis UNPAD.

Davies HL. 1982. Principle on Growth of Animal. In H. L. Davies, Nutrition on Growth Manual. Canberra. AUIDP.

Cole, H.H. 1966. Introduction to Livestock Production 2nd Edition. W.H. Freeman and Company, San Francisco.

Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Armico Bandung.

Kay M. and R. Housseman. 1975. The Influence of Sex on Meat Production. In Meat. Edited by Cook DJ, Lawrrie RA. London. Butterworth.

Manurung L. 2008. Analisi ekonomi uji ransum berbasis pelepah daun sawit, lumpur sawit dan jerami padi fermentasi dengan phanerochate Chysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole. Departemen Peternakan fakultas pertanian Universitas Sumatra Utara Medan. – Skripsi.

Parulian S. T. 2009. Efek Pelepah Daun Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai Pakan Terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole Pada Fase Pertumbuhan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.

22 22

Page 23: Skrip Si

Parakkasi, A., 1995. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta.

Purbowati, E. 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Potong dan Kerja. http://id.scribd.com/.86474629/Pertumbuhan-Dan-an. Diakses Tanggal Juli 2012.

Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat. Institut Pertanian Bogor. – Disertasi.

Sampurna, I., Putu I., dan Ketut suatha., 2010. Pertumbuhan alometri dimensi panjang dan lingkar tubuh sapi Bali jantan. Jurnal Veteriner Universitas Undayana. Vol. 11. No.1 :46-51.

Siregar, S. B. 1990. Ransum Ternak Ruminansia. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tillman, D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo dan S.Lebdosukojo.1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press, Yokyakarta.

Yudith Taringan A., 2010. Pemamfaatan Pelepah sawit dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Simental Fase Pertumbuhan. Departemen Pendidikan Fakultas Sumatra Utara.

Wello, B. 2007. Bahan Ajar Manajemen Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Williamson, G dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM_Press. Yogyakarta.

23