Upload
rendi
View
219
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
terbaik
Citation preview
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan keturunan langsung dari banteng liar (Bibos banteng)
dan memiliki karakteristik yang sangat baik seperti fertilitas yang sangat baik,
tingkat kelahiran yang cukup tinggi 80-83% dan dapat beradaptasi dengan
lingkungan ekstrim (Gunawan dkk, 1988). Namun, akhir-akhir ini sifat
keunggulan ini mulai menurun mengingat pertumbuhan yang relatif lambat,
ukuran bobot badan sapi semakin kecil, bobot lahirnya rendah dengan mortilitas
yang cukup tinggi (Putra, 1999).
Sapi Bali biasanya dipelihara secara individual dengan cara-cara
tradisional sehingga menyebabkan perkembangannya agak lambat dan cenderung
stagnan, namun disisi lain teknologi pakan untuk ternak (sapi) telah tersedia dan
perlu diterapkan oleh peternak secara kontinyu sehingga ternak yang dihasilkan
oleh peternak meningkat kualitas dan produktivitasnya. Kualitas produksi daging
sapi Bali tergantung pada pertumbuhannya karena produksi yang tinggi dapat
dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Dimana, pertumbuhan merupakan suatu
proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dengan pertambahan berat organ
atau jaringan tubuh seperti otot, tulang dan lemak, urutan pertumbuhan jaringan
tubuh dimulai dari jaringan saraf, kemudian tulang, otot dan terakhir lemak
(Laurence, 1980 dalam Sampurna dkk, 2010). Tillman (1991) menyatakan bahwa
pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat. Tahap cepat terjadi
sebelum dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada fase awal dan saat dewasa
tubuh telah tercapai. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga sangat
berperan dalam menyediakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan seekor
ternak. Oleh karena itu, dalam upaya memperoleh produksi ternak yang baik,
1
usaha yang dilakukan harus dimulai sedini mungkin terutama pada ternak yang
memproduksi daging. Jadi, kecepatan pertumbuhan merupakan kunci sukses pada
peternakan yang bertujuan memproduksi daging (Cole, 1966).
Atas dasar pemikiran ini, maka dilakukan penelitian ini untuk melihat
pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap bobot badan sapi Bali dan melihat
kisaran umur yang optimum pertumbuhan sapi Bali.
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Sapi Bali
Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan
(domestikasi) banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah
dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi
Bali. Bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan
Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata,
Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae,
Genus : Bos, Species : Bos sondaicus.
Ciri –ciri sapi Bali yaitu berukuran sedang, dadanya dalam, tidak
berpunuk, kulitnya berwarna merah bata, cermin hidung, kuku dan bulu ujung
ekornya berwarna hitam, kaki-kakinya ramping pada bagian bawah persendian
karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada
bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut
berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam
membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Sapi
Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina.
Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua
atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin (Anonima , 2012 ).
Sapi Bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat
sapi Bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai
140 cm. Sapi Bali betina juga bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali
bagian kaki dan pantat. Dibandingkan dengan sapi Bali jantan, sapi Bali betina
relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg (Darmaja, 1980).
3
B. Kebutuhan Nutrisi Dalam Pakan Ternak Sapi
Pakan adalah semua bahan makanan yang dapat diberikan kepada ternak
dan tidak mengganggu kesehatan ternak. Kebutuhan ternak terhadap jumlah pakan
tiap harinya tergantung dari jenis atau spesies, umur dan fase pertumbuhan ternak
(dewasa, bunting dan menyusui). Penyediaan pakan harus diupayakan secara
terus-menerus dan sesuai dengan standar gizi ternak tersebut. Pemberian pakan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat menyebabkan defisiensi zat
makanan sehingga mudah terserang penyakit (Manurung, 2008).
Faktor yang mempengaruhi produksi sapi adalah kecukupan nutrisinya,
bila ternak mengalami defisiensi vitamin dan mineral maka akan berpengaruh
pada proses metabolisme yang mengakibatkan terhambatnya produktivitas
maupun pertumbuhannya. Menurut Yudith (2010), kebutuhan nutrisi pakan sapi
untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1
berikut :
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi
Uraian Bahan (%) Tujuan ProduksiPembibitan Penggemukan
Kadar Air 12 12Bahan Kering 88 88Protein Kasar 10.4 12.7Lemak Kasar 26.6 3Serat Kasar 19.6 18.4Kadar Abu 6.8 8.7TDN 64.2 64.4 Sumber : Yudith, 2010.
Kebutuhan Air
Kebutuhan air pada ternak kadang kala diabaikan oleh peternak, sehingga
ternak hanya memperoleh air dari hijauan ataupun dalam bahan pakan lainnya.
Menurut Bambang (2005) hewan terdiri dari ± 70% air dan jika ternak mengalami
kekurangan air sekitar 20% maka hewan tersebut akan mati, sehingga perlu
pemberian air pada ternak guna memenuhi kebutuhannya. Jika dalam waktu cepat
4
(2 hari) ternak dalam keadaan air minum tidak ada maka, akan terjadi dehidrasi
dan berangsur memperlihatkan penurunan bobot badan sebanyak 12% (Parakkasi,
1999).
Hewan membutuhkan air untuk proses metabolisme didalam tubuh antara
lain sebagai pengatur suhu, membantu proses pencernaan serta mengeluarkan zat-
zat yang tidak berguna dari dalam tubuh. Parakkasi (1999) menambahkan dari
hasil penelitian 48 ekor sapi (24 ekor dari setiap jenis kelamin) berumur antara
16-86 minggu dengan pemberian ransum berkadar energi rendah, sedang dan
tinggi menunjukkan bahwa kadar air menurun dengan meningkatnya umur. Pada
sapi betina yang berumur 16 minggu kadar air tersebut mencapai 67,3-78% bobot
badan dan sapi betina berumur 48 minggu kisaran kadar air adalah 70,6-
56,3%.sedangkan pada jantan diperoleh kisaran yang serupa.
Kebutuhan Protein
Protein sangat penting bagi tubuh baik itu pada manusia ataupun hewan.
Apabila dalam bahan pakan protein tidak memenuhi kebutuhan hidup ternak maka
tubuh tidak akan membentuk jaringan-jaringan yang harus digantikan, akibatnya
pertumbuhan akan terganggu. Sapi yang baru lahir membutuhkan protein untuk
pertumbuhan sedangkan sapi dewasa protein berfungsi sebagai pengganti jaringan
yang telah rusak dan untuk produksi (Bambang 2005).
Salah satu penggunaan Non-Protein Nitrogen atau NPN adalah urea. Urea
adalah senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan nitrogen
dengan rumus CON2H4. (Bambang, 2005). Urea memiliki dapak positif antara lain
membantu dalam meningkatkan konsumsi protein kasar dan daya cerna namun,
jika diberikan secara berlebihan makan akan mengakibatkan keracunan pada
5
ternak. Menurut Parulian (2009) tingkat penggunaan urea adalah 1% dari bahan
kering ransum dan tidak lebih dari 3% dari campuran konsentrat atau tidak lebih
dari 1/3 dari kebutuhan protein. Sedangkan, menurut Manurung (2008)
penggunaan urea tidak bisa lebih dari setengah persen dari jumlah bahan kering
dan lebih dari 2 gr untuk setiap bobot badan 100 kg ternak.
Kebutuhan Energi
Energi pada umumnya berasal dari pakan yang mengandung karbohidrat
dan lemak Yudith (2010). Kebutuhan energi akan meningkat seiring dengan
pertambahan bobot badan misalnya, sapi-sapi yang masih muda (cepat tumbuh)
tulang dan mungkin dagingnya relatif sedikit sedangkan sapi yang lebih tua
pertumbuhannya relatif lamban dan akan menimbun lemak (Parakkasi, 1999).
Salah satu bahan pakan sumber energi yang baik adalah konsentrat dan
molases. Konsentrat adalah campuran beberapa bahan pakan dan memiliki nilai
protein dan energi yang tinggi dengan protein kasar ≥ 18%. Pemberian konsentrat
yang terlampau banyak dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat
konsumsi energi sendiri dapat berkurang. Pemberian konsentrat yang banyak pada
ternak yang digemukkan akan semakin baik jika serat kasarnya kurang dari 15%
bahan kering pakan (Parulian, 2009).
Molases atau tetes tebu adalah hasil ikutan dari limbah perkebunan tebu
yang berwarna hitam kecoklatan kandungan gizi yang cukup baik didalamnya
sangat baik digunakan sebagai bahan tambahan pakan ternak, selain itu molases
juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi
ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, mangan dan seng, namun molases
6
memiliki kelemahan yakni kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare
bila dikonsumsi terlalu banyak (Yudith, 2010).
Tabel 2. Kandungan zat gizi molases
Kandungan Zat Nilai giziBahan kering 67.5Protein Kasar 3.4Serat kasar 0.38Lemak kasar 0.08Kalsium 1.5Fosfor 0.02TDN 56.7
Sumber : Parulian 2009.
Menurut Parakkasi (1999) bila sapi mula-mula diberikan molases, pada
umumnya menyukainya namun bila diberikan secara ad-libitum, konsumsinya
akan menurun menjadi sekitar 1-1,5 kg/ekor/hari. Tetes atau molasses juga akan
menyebabkan kehausan pada ternak jika diberikan dalam jumlah banyak sehingga
ternak banyak minum namun, pemberian ½-1 kg/ekor/hari peningkatan konsumsi
air dapat diatasi. Lebih lanjut penelitian Lofgreen dan Otogaki (1960) dalam
parakkasih (1999) menjelaskan bahwa hewan yang mendapat 10% tetes,
pertambahan bobot badannya lebih cepat 10% dari perlakuan kontrol.
C. Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Badan Ternak
Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang meliputi
perubahan bobot hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan
komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta
komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein dan abu (Soeparno,
1998). Purbowati (2009) menyatakan bahwa suatu individu erat kaitannya dengan
perkembangan dimana perkembangan adalah perubahan bentuk suatu
7
komformasi tubuh, termasuk perubahan struktur tubuh, perubahan kemampuan
dan komposisi, Jadi dalam pertumbuhan seekor ternak ada dua hal yang terjadi,
yaitu (1) bobot badannya meningkat sampai mencapai bobot badan dewasa, yang
disebut pertumbuhan dan ( 2) terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh
serta berbagai fungsi dan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu menjadi
wujud penuh yang disebut perkembangan. Perubahan bentuk tubuh atau dalam hal
pertambahan berat badan sangat berguna untuk seleksi pada pemuliaan ternak
sebagai petunjuk dalam performan kondisi pada “grazing” atau feedlot, meskipun
demikian yang penting bahwa makin mendekati dewasa tubuh pertambahan berat
badan semakin rendah (Wello, 2007).
Davies (1982) melaporkan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh zat-zat
makanan, genetik, jenis kelamin dan hormon, selanjutnya Tomaszeweska, 1933
dalam Manurung, (2008) menyatakan laju pertambahan bobot badan dipengaruhi
oleh umur, lingkungan dan genetik dimana bobot badan awal fase penggemukan
berhubungan dengan bobot badan dewasa. Pola pertumbuhan ternak tergantung
pada sitem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan
iklim. Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan,
yaitu dengan penimbangan berulang-ulang dan dibuat dalam pertambahan bobot
badan harian, mingguan atau per satuan waktu lain (Tillman, 1991). Ditambahkan
Siregar (1990) bahwa pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga
usia penyapihan dan puberitas, namun setelah usia puberitas hingga usia dewasa,
laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa.
Pada usia dewasa, pertumbuhan sapi berhenti. Sejak sapi dilahirkan sampai
8
dengan usia puberitas (sekitar umur 12-15 bulan) merupakan fase hidup sapi yang
laju pertumbuhannya sangat cepat.
Sumber : Anonimb, 2012
Gambar 1. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati
Keterangan :
Y = Bobot hidup, pertambahan bobot badan harian atau laju pertumbuhan
(Kg)
X = umur, tahun
M = Dewasa tubuh
C = Pembuahan
B = Kelahiran
P = Pubertas
D = Mati
Pada pertumbuhan terdapat dua fase, yaitu: self accelerating phase,
dimana kecepatan tumbuh meningkat, dan self inhibiting phase dimana
pertambahan bobot badan per unit waktu turun sampai pertambahan bobot badan
tersebut menjadi nol dan dalam keadaan ini bobot badan dewasa telah tercapai.
Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (“inflection point”).
9
Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus
waktu, bentuk kurva ini sigmoid. Gambar 2 kurva pertumbuhan kumulatif
diperoleh dengan cara menimbang bobot hidup ternak sesering mungkin,
selanjutnya dibuat kurva dengan aksisnya adalah umur dan ordinatnya adalah
bobot hidup. Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda
akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai
dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan meningkat terus
dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak
terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan.
Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan
dan puberitas namun, setelah usia puberitas hingga usia dewasa (Tomaszeweska,
1933 dalam Manurung. 2008). Potensi pertumbuhan ternak ditentukan oleh
genetik yang dinyatakan dalam hubungan hormonal didalam tubuh, hal tersebut
mengakibatkan adanya perbedaan dalam tingkat pertumbuhan dan bobot dewasa
yang dicapai (Bamualim dkk, 2002).
Sumber : Manurung 2008
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Sapi
10
Dari Gambar 2 menjelaskan bahwa kurva membentuk huruf “S” dimana
menunjukkan pertumbuhan saat pembuahan berlangsung lambat, kemudian
menjadi agak cepat pada saat menjelang kelahiran. Setelah kelahiran pedet
pertumbuhan semakin cepat hingga usia penyapihan. Dari usia penyapihan hingga
usia puberitas laju pertumbuhan masih bertahan pesat, namun dari usia setelah
puberitas hingga dewasa laju pertumbuhan berangsur menurun dan akan terus
menurun (Bambang, 2005).
Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ternak yang masih muda
membutuhkan lebih sedikit makanan dibandingkan yang lebih tua untuk setiap
unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu faktornya antara lain pertambahan
bobot badan hewan muda sebagian disebabkan oleh pertumbuhan otot-otot,
tulang-tulang dan organ-organ vital, sedangkan hewan yang lebih tua bobot
badannya disebabkan karena perletakan (deposit) lemak. Lemak mengandung
sedikit air dan lebih banyak energi dibandingkan dengan unit jaringan tubuh
lainnya (Parakkasi, 1999). Lebih lanjut Bambang (2005) menjelaskan bahwa jika
telah mencapai kedewasaan dan pertumbuhannya telah terhenti tetapi mereka
mengalami perubahan maka perubahan tersebut karena penimbunan lemak bukan
pertumbuhan murni. Kay dan Housseman (1975) menyatakan bahwa hormon
androgen pada hewan jantan dapat merangsang pertumbuhan sehingga hewan
jantan lebih besar dibandingkan dengan hewan betina. Ditambahkan Parakkasi
(1999) yaitu perbedaan tingkat pertumbuhan dan bobot dewasa antara jantan dan
betina memberi petunjuk bahwa hormon kelamin memegang peranan peting untuk
merangsang pertumbuhan ruminan. Penggunaan estrogen-sintesis pada hewan
11
kastrasi dapat meningkatkan pertumbuhan rata-rata sebanyak 15% dan efisiensi
penggunaan makanan sebanyak 10% selama fase akhir dari program finishing.
Dalam peningkatan tingkat pertumbuhan sapi (ataupun domba), estrogen
meningkatkan konsentrasi 2 hormon protein yaitu insulin dan hormon
pertumbuhan. Estrogen menangkap hipothalamus/pituatary yang selanjutnya
meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan, kelenjar pituatary bagian anterior,
meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan. Selanjutnya hormon pertumbuhan
meningkatkan rata-rata pertambahann bobot badan, efisiensi penggunaan
makanan, pertambahan protein dan kadar insulin dan glukosa dalam plasma tetapi
menurunkan pertumbuhan jaringan lemak (Parakkasi, 1999).
12
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksankan pada bulan April - Mei 2012, bertempat di
Laboratorium Ternak Potong, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan yang
menggunakan percobaan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak
lengkap (RAL), dengan 2 faktor yaitu umur dan jenis kelamin dengan ulangan
tidak sama yang terdiri dari :
Faktor A = Umur
A1 = 8-12 Bulan (Weaner)
A2 = 20-24 Bulan (yearling)
Faktor B = Jenis Kelamin
S1 = Betina
S2 = Jantan
Materi Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah sapi Bali sebanyak 15 ekor yang terdiri
atas 7 ekor betina dan 8 ekor jantan dan terdiri dari umur 1-2 tahun. Bahan –
bahan pendukung antara lain yaitu konsentrat dan hijauan. Konsentrat dibuat dari
bahan pakan lokal dengan komposisi sebagai berikut :
13
Tabel 3. Komposisi Pakan Konsentrat yang diberikan
No. Bahan Komposisi %1 Dedak 932 Bungkil 33 Garam 14 Urea 15 Cattle Mix 16 Molases 0,57 Starbio 0,5
Alat –alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan pakan tipe
Jadever Versi JW700-150, timbangan Weighing indicator Versi LP7150 , skop,
ember, kandang, kereta dorong dan chopper (mesin pencacah rumput).
Parameter yang diukur
Pertambahan Berat Badan ( PBB)
Pertumbuhan direfleksikan dengan pertambahan bobot hidup ternak kurun
waktu tertentu. Penimbangan bobot hidup dilakukan setiap bulan. Pertambahan
bobot hidup (PBH) dihitung dengan rumus:
PBB = Bobot hidup akhir (kg) – bobot hidup awal (kg) Waktu pengamatan (hari)
Prosedur Penelitian
Pemeliharaan dilakukan dalam kandang kelompok dan ternak dibagi
dalam 4 kelompok, 2 kelompok jantan dan 2 kelompok betina dengan umur
masing-masing 8-12 bulan (weaner) dan 20-24 bulan (yearling).
Ternak diberikan perlakuan konsentrat 1% dari berat badan dengan pakan
hijauan diberikan secara ad-libitum. Konsentrat diberikan pada pagi hari jam 07-
08 pagi dan hijauan pada siang dan sore hari, hijauan yang diberikan (rumput
gajah) sebelumnya dicacah dengan menggunakan mesin chopper dengan panjang
14
pemotongan ± 2,5 cm. Ternak diberikan Obat - obatan seperti obat cacing
Wormzol - B, dan vitamin B – kompleks sebagai suplemen tambahan. Air minum
diberikan secara ad libitum.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2 dengan ulangan tidak sama. Apabila
perlakuan berpengaruh nyata maka diuji lebih lanjut dengan menggunakan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) ( Gasperz, 1991). Adapun model matematika yang
digunakan yaitu :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk
i= 1, 2
j = 1, 2,
k = 1, 2, 3 ... r
Keterangan :
Yijk = Hasil pengamatan dari perlakuan ke – k dan ulangan ke – ij
µ = Nilai tengah umum (rata –rata umum pengamatan)
αi = Pengaruh umur taraf ke – i terhadap parameter yang diukur
βj =Pengaruh jenis kelamin taraf – j terhadap parameter yang diukur
(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari umur dan jenis kelamin ke – j
€ijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke –i dan ulangan ke – j
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali
Hasil penelitian terhadap rata-rata pertambahan bobot badan harian
(PBBH) Sapi Bali dengan umur dan jenis kelamin yang berbeda dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Sapi Bali.
Umur Jenis Kelamin (rata-rata ± SD)
Rata-rata ± SD Betina Jantan
1 tahun 0,15 ± 0,03 0,21 ± 0,04 0,17a ± 0,03
2 tahun 0,31 ± 0,13 0,34 ± 0,04 0,33b ± 0,08
Rata-rata 0,23 ± 0,07 0,27 ± 0,03
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan (P< 0.01).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2) dapat diketahui bahwa interaksi
jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian sapi
Bali. Sementara umur berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap pertambahan
bobot badan harian sapi Bali. Pertambahan berat badan sapi umur 2 tahun sangat
nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan umur 1 tahun. Hal ini
disebabkan karena umur ternak pada saat pertumbuhan memiliki laju
pertumbuhan yang sangat baik dan mampu merespon pakan yang tersedia
dibandingkan dengan sapi yang berusia dibawah 1 tahun. Parakkasi (1999)
menerangkan bahwa pertumbuhan hewan muda sebagian besar disebabkan oleh
16
perumbuhan otot, tulang belulang dan organ-organ vital. Sedangkan pengaruh
jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan tidak berpengaruh nyata dapat
disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor genetik dan lingkungan.
Bambang, (2005) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan pada semua jenis
hewan terkadang berlansung cepat, lambat dan bahkan terhenti jauh sebelum
hewan tersebut mencapai dalam ukuran besar tubuh karena dapat dipengaruhi oleh
faktor genetis ataupun lingkungan. Dengan adanya faktor tersebut, pencapaian
garis pertumbuhan tidak selalu sesuai dengan usia kronologis hewan yang
bersangkutan.
1 2 30
20
40
60
80
100
120
140
160
jantanbetina
Waktu Penimbangan (Bulan)
Bera
t Bad
an (k
g)
Gambar 3. Grafik interaksi jenis kelamin terhadap pertambahan bobot badan sapi Bali
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali
jantan lebih tinggi dibandingkan sapi Bali betina. Pertambahan bobot badan jantan
lebih besar dari pada betina karena adanya hormon androgen yang merangsang
pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kay dan Housseman (1975) yang
menyatakan bahwa hormon androgen pada hewan jantan dapat merangsang dan
menstimulan pertumbuhan, pertumbuhan yang cepat pada saat pubertas sebagian
17
disebabkan oleh pengaruh anabolik protein dari androgen sehingga hewan jantan
dapat lebih besar dibandingkan dengan hewan betina (Purbowati, 2009).
1 2 30
20406080
100120140160180
1 tahun2 tahun
Waktu Penimbangan (Bulan)
Bera
t Bad
an (k
g)
Gambar 4. Grafik interaksi umur terhadap pertambahan bobot badan sapi Bali.
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali
pada usia dua tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan bobot
badan sapi Bali pada usia 1 tahun, hal ini dapat disebabkan karena pada usia 2
tahun (24 bulan) adalah usia puncak pertumbuhan dan setelah itu pertumbuhannya
berangsur menurun, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada Gambar 2.
Selain itu salah satu faktor perbedaan pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi
oleh tingkat konsumsi pakan dimana pemberian pakan secara ad-libitum akan
meningkatkan konsumsi pakan dan akan mempengaruhi bobot badan. Parakkasi
(1999) menjelaskan beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ternak yang
masih muda membutuhkan lebih sedikit makanan dibandingkan yang lebih tua
untuk setiap unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu faktornya antara lain
pertambahan bobot badan hewan muda sebagian disebabkan oleh pertumbuhan
otot-otot, tulang-tulang dan organ-organ vital, sedangkan hewan yang lebih tua
18
bobot badannya disebabkan karena perletakan (deposit) lemak. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tilman dkk. (1991) dalam Yudith, (2010) yang menyatakan
bahwa kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan menyangkut dengan tinggi
rendahnya produksi dan kecepatan pertumbuhan sapi yang sedang tumbuh.
Tabel 4. Rata-rata konsumsi Rumput Sapi Bali
Umur dan jenis kelamin
Rata-rata berat badan awal
Rata-rata konsumsi rumput (%)
Persentse rumput dari berat badan
awal1 tahun jantan1 tahun betina2 tahun jantan2 tahun betina
95,589,5
155,1 137,7
6,3 7,6
10,7 11,1
6,68,0
6,8 8,1
Konsumsi pakan adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan pakan
yang tersedia secara ad-libitum. Adapun rata-rata konsumsi pakan sapi Bali dapat
dilihat pada Tabel 4 dengan rata-rata konsumsi pakan sapi Bali betina yang
berumur 2 tahun memiliki rata-rata konsumsi pakan 11,1% dan mencapai
persentase dari berat badan awal yakni 8,1% serta sapi Bali betina yang berumur 1
tahun memiliki rata-rata konsumsi pakan 7,6% dan persentase rumput dari berat
badan awal mencapai 8,0% lebih tinggi dibandingkan dengan umur dan jenis
kelamin sapi Bali jantan sehingga dapat diasumsikan bahwa, sapi Bali betina
memiliki tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan sangat baik. Selain itu
kebutuhan sapi Bali betina lebih tinggi dapat pula disebabkan karena selain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, betina juga mempersiapkan kebutuhan nutrisi
untuk produktivitasnya. Hal ini diperkuat oleh parakkasi, (1999) bahwa tingkat
pemberian makanan yang cukup bagi calon induk muda untuk memenuhi
kebutuhan pertumbuhan dan kebuntingannya sehingga kebutuhan nutrisi dapat
terpenuhi dan tidak bersaing dengan kebutuhan pertumbuhan induk muda. Yudith,
19
(2010) menambahkan bahwa, salah satu faktor tingkat konsumsi pakan antara
lain: 1) Faktor pakan, meliputi daya cerna dan palatabilitas dan 2) faktor ternak
yang meliputi bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak.
Parakkasi, (1999) menjelaskan bahwa palatabilitas pakan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan kemampuan ternak untuk
mengkonsumsi bahan kering yang terkandung dalam pakan berkaitan dengan
kapasitas fisik lambung serta kondisi saluran pencernaan, sehingga tinggi
rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, kondisi ternak serta faktor pakan.
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa sapi Bali umur 2 tahun
lebih baik dalam peningkatan pertumbuhan maupun pertambahan bobot badan
dibandingkan dengan sapi bali umur 1 tahun karena sapi Bali umur 2 tahun berada
pada fase puncak pertumbuhan sehingga umur yang optimum berkisar 2 tahun.
Namun, jika dilihat dari jenis kelamin, sapi Bali jantan lebih efisien dalam
penggunaan pakan dibandingkan dengan sapi Bali betina yang memiliki rata-rata
konsumsi pakan tinggi tetapi memiliki pertambahan bobot badan yang rendah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat tingkat pertumbuhan
sapi Bali jantan dan betina dengan jumlah ternak yang lebih banyak serta umur
yang bervariasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2012. Beternak Sapi Bali. http: // uripsantoso. wordpress. com/2010/01 /17/beternak-sapi-bali-3/ . Diakses tanggal 14 Februari 2012.
Anonimb. 2012. Kurva Pertumbuhan www. damandiri. or.id/file/ harapinipbtinjpustaka .pdf. Diakses 14 Februari 1212.
Bambang S. Y. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bamualim, A. dan R. B. Wirdahayati. 2002. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Proc. of an ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia, Skripsi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Darmaja, S .G .N .D., 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam ekosistim pertanian di Bali. Thesis UNPAD.
Davies HL. 1982. Principle on Growth of Animal. In H. L. Davies, Nutrition on Growth Manual. Canberra. AUIDP.
Cole, H.H. 1966. Introduction to Livestock Production 2nd Edition. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Armico Bandung.
Kay M. and R. Housseman. 1975. The Influence of Sex on Meat Production. In Meat. Edited by Cook DJ, Lawrrie RA. London. Butterworth.
Manurung L. 2008. Analisi ekonomi uji ransum berbasis pelepah daun sawit, lumpur sawit dan jerami padi fermentasi dengan phanerochate Chysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole. Departemen Peternakan fakultas pertanian Universitas Sumatra Utara Medan. – Skripsi.
Parulian S. T. 2009. Efek Pelepah Daun Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai Pakan Terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole Pada Fase Pertumbuhan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.
22 22
Parakkasi, A., 1995. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta.
Purbowati, E. 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Potong dan Kerja. http://id.scribd.com/.86474629/Pertumbuhan-Dan-an. Diakses Tanggal Juli 2012.
Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat. Institut Pertanian Bogor. – Disertasi.
Sampurna, I., Putu I., dan Ketut suatha., 2010. Pertumbuhan alometri dimensi panjang dan lingkar tubuh sapi Bali jantan. Jurnal Veteriner Universitas Undayana. Vol. 11. No.1 :46-51.
Siregar, S. B. 1990. Ransum Ternak Ruminansia. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tillman, D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo dan S.Lebdosukojo.1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press, Yokyakarta.
Yudith Taringan A., 2010. Pemamfaatan Pelepah sawit dan Hasil Ikutan Industri Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Simental Fase Pertumbuhan. Departemen Pendidikan Fakultas Sumatra Utara.
Wello, B. 2007. Bahan Ajar Manajemen Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Williamson, G dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM_Press. Yogyakarta.
23