Upload
majidal-fajar
View
42
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
akutansi
Citation preview
ANALISIS PERHITUNGAN NILAI BEDA TEMPORER UNTUK MENENTUKAN
ASET ATAU LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN BERDASARKAN PSAK NO.
46 PADA PT TIRTA MAHAKAM RESOURCES, TBK
SKRIPSI
Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
BONAN SAHIJAH GUMAY
100 103 5031
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014
ii
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Bonan Sahijah Gumay, lahir pada tanggal 3 Maret 1992 di Handil Baru,
Kalimantan Timur, merupakan putri kedua dari lima bersaudara dari Bapak
Isharman dan Ibu Tarkiah. Memulai pendidikan tingkat dasar di Sekolah Dasar
(SD) Negeri 021 di Samarinda dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang
sama melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 22
Samarinda dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan
ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Samarinda. Pada tahun 2009
melakukan magang (PKL) di Dinas Pekerjaan Umum Tingkat II Samarinda
selama 3 (tiga) bulan dan menyelesaikan studi pada tahun 2010.
Melanjutkan Pendidikan Akademis pada tahun 2010 pada Fakultas
Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda dengan memilih Jurusan
Akuntansi. Pada tahun 2013 melakukan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Kompetensi angkatan XXXIX pada Dinas Pekerjaan Umum Tingkat I Provinsi
Kalimantan Timur di Samarinda.
Samarinda, 27 Oktober 2014
Bonan Sahijah Gumay
vi
Karya ini kupersembahkan kepada:
Ayahanda Isharman dan
Ibunda Tarkiah tercinta,
Saudara-saudarku : Aris Akbar Gumay, Jerniah Umayya
Muhammad Majid Al-fajar dan Muhammad Abdul Jabbar.
Semoga pengorbanan yang telah diberikan untukku
bernilai ibadah dan mendapat balasan
pahala yang berlipat dari Allah SWT.
Amin Ya Robbal Alamin
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala karunia
dan limpahan rahmatnya, serta junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai
panutan kita, yang akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul Analisis Perhitungan Nilai Beda Temporer Untuk Menentukan Aset
atau Liabilitas Pajak Tangguhan Berdasarkan PSAK No. 46 Pada PT Tirta
Mahakam Resources, Tbk.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas Mulawarman
2. Ibu Dr. Hj. Anis Rachma Utary, M.Si., Ak., CA selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Mulawarman.
3. Bapak Dr. H. Hamid Bone, SE., M.Si., Ak., CA selaku Ketua Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman
4. Bapak Iskandar, SE., M.Si., Ak., CA selaku Ketua Program Studi S1
Akuntansi Reguler Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman
5. Bapak Drs. Rande Samben, M.Si., Ak., CA selaku Dosen Pembimbing I
yang telah memberi bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam
penulisan skripsi ini.
6. Bapak Agus Iwan Kesuma, SE., MA selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang bermanfaat dalam
rangka penulisan skripsi.
viii
7. Bapak Drs. Lewi Malisan, M.Si, Ak selaku Dosen Wali selama penulis
menempuh perkuliahan.
8. Bapak/Ibu Dosen Pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmu
selama penulis mengikuti perkuliahan.
9. Bapak/Ibu Staff Akademik Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman.
10. Teristimewa untuk Kedua Orang tuaku Bapak Isharman dan Ibu Tarkiah,
kakak dan adik-adikku tersayang yang selalu memberikan doa dan
dukungan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11. Buat teman-teman seperjuangan Angkatan 2010 Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi, Caca, Rini, Ecy, Epen, Anik, Niken, Rosi dan Devi.
Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian selama kita berada di
kampus tercinta untuk menempuh pendidikan hingga jadi Sarjana.
12. Serta terima kasih pada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, maka
dengan hati terbuka penulis menerima masukkan kritik dan saran perbaikan
skripsi ini.
Samarinda, 27 Oktober 2014
Bonan Sahijah Gumay
ix
RINGKASAN
Bonan Sahijah Gumay, Analisis Perhitungan Nilai Beda Temporer Untuk Menentukan Aset atau Liabilitas Pajak Tangguhan Berdasarkan PSAK No. 46 Pada PT Tirta Mahakam Resources, Tbk dibawah bimbingan Bapak Rande Samben sebagai pembimbing 1 dan Bapak Agus Iwan Kesuma sebagai pembimbing 2 Tujuan Penelitian adalah untuk dapat menghitung perbedaan temporer akun penyisihan piutang ragu-ragu dan memahami pengakuan dan penyajian aset (liabilitas) pajak tangguhan pada laporan keuangan perusahaan berdasarkan PSAK No.46 Rumusan masalah yang diajukan yaitu bagaimana perhitungan nilai beda temporer akun penyisihan piutang ragu-ragu dalam laporan keuangan perusahaan dan bagaimana pengakuan dan penyajian aset (liabilitas) pajak tangguhan dalam laporan keuangan perusahaan sesuai dengan PSAK No.46. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah PSAK No. 46 yang mencakup standar pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan pajak tangguhan. Pajak tangguhan di hitung dengan mengkalikan perbedaan temporer dan kompensasi rugi fiskal dengan tarif pajak yang berlaku Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa pada tahun 2011 perusahaan tidak mengakui adanya beda temporer dari akun penghapusan piutang ragu-ragu, pada tahun 2012 terdapat kompensasi rugi fiskal yang menimbulkan aset pajak tangguhan di tahun 2012 tetapi diakui pada tahun 2013 dan perusahaan belum mengakui dengan tepat efek pajak atas perubahan tarif pajak. Hal ini menyebabkan aset pajak tangguhan kurang saji sebesar Rp 398.240.775 pada tahun 2011, kurang saji sebesar Rp 6.986.738.400 pada tahun 2012 dan menyebabkan manfaat pajak tangguhan tahun 2011 lebih saji sebesar Rp 16.783.010, kurang saji sebesar Rp 6.588.497.625 pada tahun 2012 dan lebih saji sebesar Rp 6.986.738.400 pada tahun 2013. Kata Kunci : Perbedaan temporer, Aset (Liabilitas) Pajak tangguhan, Pendekatan Neraca, PSAK No. 46
x
ABSTRACT
Bonan Sahijah Gumay, Analytical of Temporary Difference Value Calculation to Determine Asset or Deferred Tax Liability based on PSAK No. 46 at PT Tirta Mahakam Resources, Tbk. (under guidance of Mr. Rande Samben as Advisor 1 and Mr. Agus Iwan Kusuma as Advisor 2)
The purpose of this research is to calculate temporary difference in uncollectible account receivable and deferred tax asset (liability) besides to understand the recognition and presentation of deffered tax asset (liability) on company financial statement based on PSAK No. 46
The formulation of the research is how calculation of the temporary difference in uncollectible account receivable on company financial statement and how recognation and presentation of deferred tax asset (liability) on financial statement based on PSAK No. 46.
Analysis tool that used in the research is PSAK No. 46 that includes standard of recognition, measurement, presentation, and disclosure of deferred tax. Deferred tax is calculated by multiplying temporary difference and fiscal loss compensation with prevailed tax rate.
Based on the analysis that apply shows in 2011 the company did not recognize existence of temporary difference in uncollectible account receivable ellimination, in 2012 there were fiscal loss compensation that appear deferred tax asset in 2012 but recognized in 2013 and the company has not appropriately recognized tax effect of the tax rate changes. This things cause deferred tax asset undervalued Rp 398.240.775 in 2011, undervalued Rp Rp 6.986.738.400 in 2012 and causes deferred income tax overvalued Rp 16.783.010 in 2011, undervalued Rp 6.588.497.625 in 2012 and overvalued Rp 6.986.738.400 in 2013.
Key words : Temporary difference, Deferred tax asset (liability), Balance sheet approach, PSAK No. 46
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
HALAMAN PENGUJI ................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
RINGKASAN ................................................................................................ ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 7 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 7 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 9
2.1 Dasar Teori ......................................................................... 9 2.1.1 Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal .................... 9
2.1.1.1 Perbedaan Prinsip Antara Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal .............................................. 10
2.1.1.2 Hubungan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal ..................................................................... 15
2.1.2 Rekonsiliasi Fiskal ........................................................ 16 2.1.3 Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK No. 46) ................ 18
2.1.3.1 Tujuan dan Ruang Lingkup PSAK No. 46 .............. 18 2.1.3.2 Istilah-istilah Dalam PSAK No. 46 .......................... 19 2.1.3.3 Dasar Pengenaan Pajak ........................................ 21 2.1.3.4 Perbedaan Temporer ............................................. 23
1. Aset Tetap dan Penyusutannya ...................... 23 2. Cadangan Piutang Tak Tertagih ..................... 26
xii
3. Imbalan Kerja ................................................. 28 4. Beban Yang Masih Harus Dibayar .................. 31 5. Pendapatan Diterima Dimuka ......................... 32
2.1.3.5 Metode Penangguhan Pajak Penghasilan ............. 33 2.1.4 Perlakuan Akuntansi Pajak Tangguhan ........................ 34
2.1.4.1 Pengakuan Pajak Tangguhan ................................ 35 1. Pengakuan Aset Pajak Tangguhan dan
Liabilitas Pajak Tangguhan ............................. 39 2. Pengakuan Saldo Rugi Fiskal Yang Dapat
Dikompensasi ................................................ 41 2.1.4.2 Penilaian Kembali Aset Pajak Tangguhan ............. 42 2.1.4.3 Pengukuran Pajak Tangguhan ............................... 42 2.1.4.4 Penyajian Pajak Tangguhan .................................. 44 2.1.4.5 Pengungkapan Pajak Tangguhan .......................... 45
2.2 Kerangka Pikir .................................................................... 48
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 49
3.1 Definisi Operasional ............................................................ 49 3.2 Jangkauan Penelitian ......................................................... 50 3.3 Jenis Penelitian................................................................... 51 3.4 Jenis Data .......................................................................... 51 3.5 Sumber Data ...................................................................... 52 3.6 Metode Pengumpulan Data ................................................ 52 3.7 Alat Analisis ........................................................................ 52 3.8 Metode Analisis Data .......................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 56
4.1 Gambaran Umum Perusahaan ........................................... 56 4.2 Kebijakan Akuntansi Perusahaan ....................................... 57 4.3 Analisis Data dan Pembahasan .......................................... 60
4.3.1 Analisis Penerapan PSAK No. 46 Pada PT Tirta Mahakam Resources, Tbk ............................................ 60
4.3.1.1 Analisis Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan dan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan ......................... 63 4.3.1.2 Analisis Rekonsiliasi Fiskal .................................... 70 4.3.1.3 Analisis Kompensasi Rugi Fiskal ........................... 72
4.3.2 Analisis Perhitungan Nilai Beda Temporer Akun Penyisihan Piutang Ragu-ragu ...................................... 74
4.3.2.1 Perhitungan Perbedaan Temporer dan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Akun Penyisihan Piutang Ragu-Ragu Menurut Perusahaan ............. 76 4.3.2.2 Perhitungan Perbedaan Temporer dan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Akun Penyisihan Piutang Ragu-Ragu Menurut Teori ........................ 91 4.3.2.3 Perhitungan Aset Pajak Tangguhan Yang Berasal Dari Rugi Fiskal yang Dapat Dikompensasikan...... 103
4.3.3 Penentuan Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan dari Perubahan Saldo Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan.... 106
xiii
4.3.4 Penyajian Pajak Tangguhan ......................................... 110 4.3.4.1 Penyajian di Laba Rugi .......................................... 110 4.3.4.2 Penyajian di Neraca ............................................... 113
4.3.5 Perbandingan Antara Perhitungan Menurut Perusahaan dan Perhitungan Menurut Teori ..................................... 115
BAB V PENUTUP .................................................................................... 118
5.1 Kesimpulan ......................................................................... 118 5.2 Saran .................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 121
xiv
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1. Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Aset Tetap Berwujud ............ 26
2.2. Akun Pajak Tangguhan Dalam Laporan Keuangan ........................ 36
2.3. Identifikasi Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan Pendekatan Neraca ........................................................................................... 38
2.4. Identifikasi Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan dari Sisi Laba Rugi ................................................................................ 39
2.5. Penyajian Pajak Tangguhan Dalam Laporan Keuangan Laba Rugi ....................................................................................... 45
4.1. Metode Penyusutan dan Masa Manfaat Aset Perusahaan ............. 58
4.2. Rekapitulasi Penentuan Pajak Tangguhan Pendekatan Neraca ..... 62
4.3. Perhitungan Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan Tahun 2011 dan Tahun 2012 ......................................................... 63
4.4. Perhitungan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Per 31 Desember 2011 dan 2012................................................... 64
4.5. Perhitungan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Per 31 Desember 2013 .................................................................. 65
4.6. Neraca PT. Tirta Mahakam Resources, Tbk Per 31 Desember 2011, 2012 dan 2013 ..................................................................... 68
4.7. Laporan Laba Rugi Tahun 2011, 2012 dan 2013 ........................... 69
4.8. Laporan Rekonsiliasi Fiskal Tahun 2011, 2012 dan 2013 .............. 70
4.9. Kompensasi Rugi Fiskal ................................................................. 73
4.10. Informasi Mengenai Akun Piutang Usaha dan Penyisihan Piutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 ........................................................ 77
4.11. Perhitungan Nilai Beda Temporer dan Pajak Tangguhan Akun Penyisihan PIutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 Dengan Analisis Akun Neraca Menurut Perusahaan ................................... 79
4.12. Perhitungan Nilai Beda Temporer dan Pajak Tangguhan Akun Penyisihan PIutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 Dengan Analisis Akun Laba Rugi Menurut Perusahaan............................... 83
xv
4.13. Akun Piutang Usaha dan Penyisihan Piutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 ........................................................................... 92 4.14. Perhitungan Nilai Beda Temporer dan Pajak Tangguhan Akun Penyisihan PIutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 Dengan Analisis Akun Laba Rugi Menurut Teori ......................................... 94
4.15. Perhitungan Nilai Beda Temporer dan Pajak Tangguhan Akun Penyisihan PIutang Ragu-Ragu Tahun 2006-2013 Dengan Analisis Akun Laba Rugi Menurut Teori ......................................... 98
4.16. Laporan Rekonsiliasi Fiskal Tahun 2011, 2012 dan 2013 Menurut Teori ................................................................................. 104
4.17. Perhitungan Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan Tahun 2011 dan Tahun 2012 Menurut Teori .................................. 106 4.18. Perhitungan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Per 31 Desember 2011 dan 2012 Menurut Teori ............................ 107 4.19. Perhitungan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Per 31 Desember 2013 Menurut Teori ........................................... 108 4.20. Surplus Revaluasi Aset Tetap ........................................................ 109 4.21. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Laba Rugi Tahun 2011 .... 110
4.22. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Laba Rugi Tahun 2012 .... 111
4.23. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Laba Rugi Tahun 2013 .... 112
4.24. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Tahun 2011 .................................................................................... 113
4.25. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Tahun 2012 .................................................................................... 113
4.26. Penyajian Pajak Tangguhan di Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Tahun 2013 .................................................................................... 114
4.27. Perbandingan Hasil Perhitungan Perbedaan Temporer Antara Menurut Perusahaan dan Menurut Teori ........................................ 115 4.28. Perbandingan Hasil Perhitungan Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan Antara Menurut Perusahaan dan Menurut Teori .......... 115 4.29. Perbandingan Hasil Perhitungan Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Antara Menurut Perusahaan dan Menurut Teori .......... 116
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1. Kerangka Beban Pajak ................................................................... 21
2.2 Kerangka Pikir ................................................................................ 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akuntansi yang diterapkan oleh suatu entitas yang menggunakan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) disebut dengan akuntansi komersial. Akuntansi
komersial akan menghasilkan informasi keuangan berupa laporan keuangan
yang menilai kondisi dan kinerja perusahaan selama periode tertentu yang
berguna bagi pihak internal maupun eksternal yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan. Sedangkan akuntansi pajak merupakan bagian
dari akuntansi komersial yang diterapkan sesuai dengan Peraturan Perpajakan
untuk menghitung besarnya pajak terutang
Standar Akuntansi Keuangan yang diterapkan oleh entitas merupakan
suatu prinsip, prosedur, metode dan teknik akuntansi yang mengatur
penyusunan laporan keuangan. Laporan keuangan yang dihasilkan dari
akuntansi keuangan berupa laporan keuangan untuk tujuan umum (General
Purposes Financial Statement) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
bersama sebagian besar pengguna laporan keuangan seperti Investor,
karyawan, kreditur, pemasok, pelanggan, dan lain-lain (Martani, 2012:8).
Sedangkan laporan keuangan untuk tujuan khusus misalnya laporan
keuangan yang ditujukan untuk perpajakan, dimana laporan keuangan tersebut
harus mengikuti aturan spesifik dari regulator tersebut. Dalam hal ini laporan
keuangan harus disusun berdasarkan peraturan pajak.
Terdapat perbedaan antara laba yang dihasilkan oleh akuntansi
komersial dan akuntansi fiskal. Hal ini dikarenakan penyusunan laporan
keuangan komersial berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), tidak
2
mencerminkan ketentuan perpajakan dalam mempertimbangkan
transaksi-transaksi tertentu sebagaimana tercermin dalam laporan keuangan
fiskal (Supatmi, 2006). Perbedaan antara laporan keuangan komersial dan fiskal
ini timbul karena perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur
akuntansi, perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya.
Perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya menurut akuntansi
komersial dan pajak tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perbedaan permanen
dan perbedaan temporer. Beda permanen terjadi apabila transaksi yang diakui
oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya menurut akuntansi
komersial tetapi bukan merupakan penghasilan atau biaya menurut ketentuan
perpajakan. Sedangkan beda waktu/ temporer terjadi karena perbedaan waktu
penghasilan dan biaya dalam menghitung laba. Suatu penghasilan dan biaya
telah diakui menurut akuntansi komersial tetapi belum diakui menurut fiskal, dan
sebaliknya.
Perbedaan antara akuntansi komersial dan fiskal tersebut menyebabkan
suatu entitas harus melakukan penyesuaian atas laba komersial yang berbeda
dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan laba yang sesuai dengan ketentuan
perpajakan (laba fiskal). Proses penyesuaian ini disebut dengan rekonsiliasi
fiskal atau koreksi fiskal. Laba fiskal yang dihasilkan dari proses rekonsiliasi fiskal
digunakan untuk menghitung pajak terutang (pajak kini) dan pajak tangguhan.
Pajak kini dihitung dengan melakukan penyesuaian laba sebelum pajak dengan
beda tetap sedangkan pajak tangguhan dihitung dengan melakukan penyesuaian
laba kena pajak dengan beda waktu atau beda temporer.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa perbedaan dalam
menghitung laba sebagai obyek pajak menurut akuntansi komersial dengan
3
akuntansi fiskal dikelompokkan menjadi dua yaitu perbedaan waktu/ temporer
(Temporary Differences) dan perbedaan tetap/ permanen (Permanent
Differences). Perbedaan tetap tidak akan menimbulkan pengaruh pajak periode
mendatang, sedangkan perbedaan temporer menyebabkan timbulnya pengaruh
pajak periode mendatang (future tax effect) yang harus diakui dalam laporan
keuangan.
Dengan adanya perbedaan antara standar akuntansi keuangan dan
ketentuan pajak maka diterbitkan PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak
Penghasilan, yang disusun dengan tujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi
akibat perbedaan temporer yang berpengaruh terhadap konsekuensi pajak kini
dan mendatang. Masalah utama dalam perlakuan akuntansi pajak penghasilan
adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak di masa
depan.
Dengan berlakunya PSAK No. 46, timbul kewajiban bagi entitas untuk
menghitung dan mengakui pajak tangguhan (deffered taxes) atas efek pajak di
masa depan dengan menggunakan pendekatan neraca (balance sheet
approach) yang berbeda dengan pendekatan laba rugi (income statement
approach) yang sebelumnya lazim digunakan oleh entitas untuk menghitung
pajak tangguhan.
Pendekatan laba rugi memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan
perpajakan dari sudut pandang laporan laba rugi. Selisih jumlah pajak
penghasilan terutang (berdasarkan SPT) dengan beban pajak penghasilan
(berdasarkan laba akuntansi) dalam suatu periode harus dicatat dan disajikan
dalam laporan laba rugi tahun berjalan sebagai pajak tangguhan. Sedangkan
pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan
4
dari sudut pandang laporan posisi keuangan (neraca) yaitu perbedaan antara
Nilai Buku Akuntansi (NBA) dengan Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP). Metode
ini menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi
keuangan dan memprediksi aliran kas pada masa yang akan datang.
Dalam penerapan PSAK No. 46 entitas menggunakan pendekatan neraca
(balance sheet approach) untuk menghitung dan mengakui pajak tangguhan.
Dengan pendekatan ini entitas harus mengakui adanya aset atau liabilitas pajak
tangguhan pada laporan posisi keuangan perusahaan dan mengakui adanya
penghasilan pajak tangguhan atau beban pajak tangguhan dalam laporan laba
rugi.
Aset pajak tangguhan timbul jika kemungkinan pembayaran pajak di
masa yang akan datang lebih kecil dari pajak kini (tahun berjalan) dan liabilitas
pajak tangguhan timbul jika kemungkinan pembayaran pajak di masa yang akan
datang lebih besar dari pajak kini (Mangarimpun, 2009).
PSAK No. 46 wajib diterapkan dalam laporan keuangan perusahaan yang
telah listing dan dianjurkan untuk digunakan bagi perusahaan yang belum listing.
Standar ini telah berlaku efektif pada tanggal 1 januari 1999 bagi perusahaan go
public, sementara untuk perusahaan yang belum go public berlaku sejak
Januari 2001.
Pada prinsipnya pajak tangguhan merupakan dampak pajak penghasilan
di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer/ waktu
antara perlakuan akuntansi dengan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih
dapat di kompensasikan di masa datang, yang perlu disajikan dalam laporan
keuangan baik dalam laporan posisi keuangan maupun laba rugi.
5
Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi
sebenarnya memiliki potensi hutang pajak di masa yang akan datang atau
sebaliknya suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih besar saat ini, tapi
sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa mendatang.
Bila dampak pajak di masa mendatang tidak disajikan dalam neraca dan laba
rugi, maka laporan keuangan bisa menyesatkan penggunanya (Cheng, 2008)
Penerapan akuntansi pajak tangguhan dalam laporan keuangan
perusahaan sangat berpengaruh terhadap konsekuensi pajak di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, suatu perusahaan harus memperhatikan perhitungan
terhadap nilai perbedaan temporer karena hal ini dapat menyebabkan terjadinya
overvalued atau undervalued terhadap apa yang disajikan dalam laporan
keuangan perusahaan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pengguna laporan
keuangan dalam mengambil keputusan (Cendra, 2012).
PT Tirta Mahakam Resources, Tbk merupakan perusahaan go public
yang bergerak dibidang industri dan penjualan kayu lapis. Penulis memilih PT
Tirta Mahakam Resources, Tbk sebagai objek penelitian karena beberapa
permasalahan yaitu :
a. Perusahaan ini memiliki akun perbedaan temporer berupa akun penyisihan
piutang ragu-ragu, penyusutan aset tetap dan imbalan kerja. Permasalahan
yang timbul berasal dari perhitungan nilai beda temporer akun penyisihan
piutang ragu-ragu tahun 2011. Berdasarkan mutasi penyisihan piutang ragu-
ragu perusahaan tahun 2011 terdapat penghapusan piutang ragu-ragu.
dimana penghapusan piutang ragu-ragu tersebut merupakan perbedaan
temporer. Perusahaan tidak memasukkan penghapusan piutang ragu-ragu
tersebut ke dalam perhitungan beda temporer dalam laporan rekonsiliasi
6
fiskal sehingga pada tahun 2011 jumlah aset pajak tangguhan yang berasal
dari akun penyisihan piutang ragu-ragu tidak disajikan secara tepat.
b. Manfaat (beban) pajak tangguhan yang berasal dari akun penyisihan piutang
ragu-ragu pada tahun 2008 terdapat jumlah sebesar Rp 83.004.757. Jumlah
manfaat (beban) pajak tangguhan umumnya diperoleh melalui beda temporer
dikali dengan tarif pajak. Tetapi pada tahun 2008 tersebut tidak terdapat
perbedaan temporer yang menyebabkan timbulnya akun manfaat (beban)
pajak tangguhan. Ternyata jumlah tersebut berasal dari jumlah efek
perubahan tarif pajak yang akan terjadi di kemudian hari tetapi sudah
diantisipasi atau diestimasikan oleh perusahan. Menurut Waluyo (2010:232)
Efek perubahan peraturan perpajakan yang akan terjadi di kemudian hari
tidak boleh diantisipasi atau diestimasikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penyesuaian agar jumlah aset pajak tangguhan akun penyisihan piutang
ragu-ragu mencerminkan jumlah yang sesuai dengan perubahan tarif
pajaknya.
c. Pada tahun 2012 dan 2013 perusahaan mengalami rugi fiskal sebesar Rp
27.946.953.602 dan Rp 187.717.209.719. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU
No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, kerugian fiskal dapat
dikompensasikan dengan laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut
dimulai sejak tahun pajak berikutnya sesudah didapatnya kerugian tersebut.
Berdasarkan laporan rekonsiliasi fiskal tahun 2013 menunjukkan bahwa
terdapat kompensasi kerugian atas rugi fiskal tahun 2012 sebesar Rp
27.946.953.602. Seharusnya pada tahun 2013 perusahaan tidak dapat
mengkompensasi rugi fiskal tahun 2012, karena pada tahun 2013
perusahaan juga mengalami kerugian sebesar Rp 187.717.209.719.
7
Kompensasi atas rugi fiskal ini tentunya akan mempengaruhi pengakuan aset
pajak tangguhan yang berasal dari kompensasi rugi fiskal.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Analisis Perhitungan Nilai Beda Temporer Untuk Menentukan
Aset atau Liabilitas Pajak Tangguhan Berdasarkan PSAK No. 46 Pada PT
Tirta Mahakam Resources, Tbk
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana perhitungan nilai beda temporer akun penyisihan piutang
ragu-ragu dalam laporan keuangan perusahaan ?
b. Bagaimana pengakuan dan penyajian aset (liabilitas) pajak tangguhan
yang berasal dari perbedaan temporer dan kompensasi rugi fiskal dalam
laporan keuangan perusahaan sesuai dengan PSAK No. 46 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah :
a. Untuk dapat menghitung perbedaan temporer yang berasal dari akun
penyisihan piutang ragu-ragu.
b. Untuk dapat memahami pengakuan dan penyajian aset (liabilitas) pajak
tangguhan pada laporan keuangan perusahaan berdasarkan PSAK No.46
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
a. Bagi perusahaan
8
Hasil penelitian ini dapat dijadikan evaluasi dalam bentuk
masukan kepada perusahaan tentang pentingnya penerapan PSAK No.
46 tentang akuntansi pajak penghasilan.
b. Bagi pembaca
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan untuk menganalisa laporan keuangan komersial khususnya
pada penerapan PSAK No. 46 mengenai akuntansi pajak penghasilan
atas laporan keuangan perusahaan.
c. Bagi perpustakaan
Untuk menambah referensi dan variasi penelitian yang ada di
Perpustakaan Fakultas Ekonomi maupun Universitas Mulawarman.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal
Akuntansi adalah suatu proses kegiatan yang bersistem mengenai
transaksi keuangan suatu organisasi dalam melakukan pencatatan,
penggolongan, pengikhtisaran, pemeriksaan, penafsiran, dan penganggaran,
sehingga berguna bagi pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan
untuk menentukan langkah pada waktu yang akan datang (Nafarin, 2004:7)
Akuntansi akan menghasilkan informasi tentang kondisi keuangan dan
kinerja suatu entitas dalam bentuk laporan keuangan. Informasi tersebut
dibutuhkan oleh para pengguna laporan keuangan yang beragam baik pihak
eksternal maupun pihak internal. Beragamnya pengguna laporan keuangan
tersebut menunjukkan semakin banyaknya kebutuhan akan informasi ekonomi
suatu entitas. Oleh karena itu, entitas dituntut untuk memiliki spesialisasi keahlian
dalam berbagai bidang akuntansi sesuai dengan kebutuhan pengguna laporan
keuangan contohnya akuntansi keuangan (komersial) dan akuntansi fiskal.
Waluyo (2010:20) menyatakan bahwa akuntansi keuangan (komersial)
merupakan akuntansi yang berhubungan dengan unit ekonomi secara
keseluruhan dalam bentuk laporan keuangan yang dimanfaatkan oleh berbagai
pihak dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang berlaku.
Akuntansi komersial disusun dan disajikan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK). Namun, untuk kepentingan perpajakan, akuntansi
10
komersial harus disesuaikan dengan aturan perpajakan yang berlaku di
Indonesia.
Akuntansi fiskal atau pajak menurut Djoko Muljono (2010:2) adalah
akuntansi yang berkaitan dengan perhitungan perpajakan dan mengacu pada
peraturan dan perundang-undangan perpajakan beserta aturan dan
pelaksanaannya.
Waluyo (2010:21) dalam bukunya akuntansi perpajakan menyatakan
bahwa :
Dalam akuntansi pajak, menetapkan besarnya pajak terutang tetap mendasarkan pada laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan, mengingat dalam ketentuan perundang-undangan terdapat aturan-aturan khusus yang berkaitan dengan akuntansi, yaitu masalah konsep transaksi dan peristiwa keuangan, metode pengukurannya, serta pelaporannya yang ditetapkan dengan undang-undang Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi komersial
merupakan bidang akuntansi yang dalam prosesnya menggunakan standar
akuntansi keuangan (SAK) untuk menghasilkan laporan keuangan yang
digunakan oleh pengguna laporan keuangan. Sedangkan akuntansi pajak
merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang disusun berdasarkan peraturan
dan ketentuan perpajakan untuk menentukan besarnya beban pajak perusahaan.
2.1.1.1 Perbedaan Prinsip Antara Akuntansi Komersial dan Akuntansi
Pajak
Ada beberapa prinsip akuntansi yang menjadi fokus perbedaan orientasi
antara pelaporan keuangan fiskal dan pelaporan keuangan komersial yaitu :
1. Stelsel kas dan stelsel akrual
a. Akuntansi Komersial
11
Prabowo (2004:261) menyatakan bahwa Akuntansi menetapkan
penghasilan dan biaya berdasarkan metode perhitungan yang disebut
stelsel akrual. Penghasilan ditetapkan pada waktu diperoleh dan
biaya ditetapkan pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung pada
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
b. Akuntansi Pajak
Menurut ketentuan perpajakan, wajib pajak menggunakan
stelsel campuran yang berarti diperkenankan untuk menggunakan
stelsel kas dan stelsel akrual. Bagi wajib pajak yang
menyelenggarakan pencatatan, penghasilan diakui dengan
menggunakan stelsel kas murni (Pasal 4, Peraturan Dirjen Pajak No.
4/ PJ/ 2009). Maksudnya, penghasilan diakui jika pembayarannya
sudah diterima (Purwanto, 2014)
Hal ini berbeda dengan wajib pajak yang menyelenggarakan
pembukuan, Pengakuan penghasilan boleh menggunakan stelsel kas
maupun stelsel akrual (lihat pasal 28 ayat 5 Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Jika wajib pajak
menggunakan stelsel kas, tidak boleh menggunakan stelsel kas
murni, tapi stelsel kas campuran seperti :
1) Dalam pengakuan penjualan meliputi seluruh penjualan tunai
dan penjualan kredit.
2) Dalam menghitung harga pokok penjualan memperhitungkan
seluruh pembelian tunai dan pembelian kredit.
3) Pengeluaran yang memiliki manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannnya melalui penyusutan atau amortisasi.
12
2. Prinsip Matching Cost Against and Revenue
a. Akuntansi Komersial
Untuk keperluan komersial, prinsip ini mendasarkan pengaitan
(matching) antara beban dan penghasilan, dimana beban diakui pada
periode diakuinya penghasilan.
Supatmi (2006) dalam penelitiannya tentang Penerapan PSAK
No. 46 menyatakan bahwa :
Suatu beban atau pengeluaran supaya dapat dikurangkan dari penghasilan harus mempunyai hubungan langsung dengan jenis penghasilannya. Namun apabila beban tersebut tidak ada kaitannya dengan penghasilan, beban dapat dialokasikan secara sistematis dan rasional dengan penghasilan berdasarkan masa manfaatnya misalnya seperti aset tetap. Sedangkan beban yang tidak ada kaitannya dengan penghasilan dapat dikurangkan langsung terhadap penghasilan.
b. Akuntansi Fiskal
Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pemajakan yang
berbasis neto (Net basis of taxation). Basis tersebut berarti
pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan bruto (gross income)
dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran lainnya yang
diperkenankan oleh undang-undang (Waluyo, 2010:242).
Menurut Waluyo (2010:243) dalam bukunya akuntansi
perpajakan menyatakan bahwa :
Pengeluaran atau biaya tertentu diakui dalam akuntansi komersial sebagai pengurang penghasilan bruto, tetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan bruto dalam akuntansi fiskal. Karena biaya dalam akuntansi fiskal yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah biaya yang berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
3. Prinsip Konsistensi
13
a. Akuntansi Komersial
Dalam akuntansi komersial, untuk mengevaluasi kinerja bisnis
dari tahun ke tahun, diperlukan penerapan suatu metode akuntansi
secara taat asas (dari tahun ke tahun), kecuali terdapat alasan dan
bukti yang cukup kuat untuk melakukan penggantian metode.
Konsistensi ini lebih menekankan pada penyandingan vertikal (dari
tahun ke tahun (Gunadi, 2009:27)
b. Akuntansi Fiskal
Gunadi (2009:27) dalam bukunya Akuntansi Pajak menyatakan
bahwa :
Pelaporan fiskal pada dasarnya menganut pandangan konsistensi. Namun dalam konteks konsepsional, ketentuan perpajakan menentukan lain. Misalnya pengakuan hasil operasi bisnis mancanegara (dengan penolakan terhadap konsolidasi kerugian berdasarkan penjelasaan Pasal 4 UU PPh telah terjadi inkonsistensi antara pengakuan laba bisnis di luar negeri tanpa mengakui kerugiaannya).
4. Prinsip Konservatisme
a. Akuntansi Komersial
Menurut Waluyo (2010:28) dalam bukunya akuntansi perpajakan
menyatakan bahwa :
Prinsip konservatisme merupakan prinsip pengecualian. Prinsip konservatisme pada umumnya digunakan untuk hal yang sifatnya tidak menentu atau di tengah kondisi ketidakpastian. Akuntansi komersial selalu menggunakan konsep dasar konservatisme, yaitu konsep kehati-hatian. Contohnya seperti kemungkinan rugi yang dapat ditaksir sudah diakui sebagai kerugian, dengan membentuk penyisihan (cadangan) pada akhir tahun contohnya seperti penyisihan kerugian piutang.
b. Akuntansi Fiskal
14
Menurut Waluyo (2010:72) dalam bukunya akuntansi perpajakan
menyatakan bahwa :
Akuntansi fiskal tidak menganut prinsip konservatisme. Pajak lebih menekankan pada keadaan yang sebenar-benarnya (nyata-nyata) dan bukan antisipasi melalui pembentukan cadangan/ penyisihan. Hal ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf (c) tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa tidak diperkenankan melakukan pembentukan atau pemupukan dana cadangan untuk dibebankan sebagai biaya. Namun, ada beberapa pengecualian yang memperkenankan pembentukan atau pemupukan dana cadangan.
5. Prinsip material
a. Akuntansi Komersial
Accountants International Study Grup memberikan pengertian materialitas (materiality) sebagai persoalan pertimbangan professional penting. Pos-pos tertentu harus dianggap material jika pengetahuan tertentu dianggap secara wajar menimbulkan pengaruh bagi pengguna laporan keuangan. Menurut APB Statement No. 4, prinsip materialitas mengandung arti bahwa laporan keuangan hanya menyangkut informasi yang dianggap penting (material) dalam mempengaruhi penilaian (Waluyo, 2010:28). Menurut PSAK No. 1 tentang penyajian laporan keuangan,
Materialitas bergantung pada ukuran dan sifat dari kelalaian dalam
mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat dengan
memperhatikan kondisi terkait. Kelalaian untuk mencantumkan
kesalahan dalam mencatat pos-pos laporan keuangan adalah
material jika dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna
laporan keuangan.
b. Akuntansi Fiskal
Prabowo (2004:256) dalam bukunya akuntansi pajak terapan
mengungkapan bahwa :
15
Pada prinsipnya konsep materialitas tidak berlaku dalam perpajakan karena penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan berdasarkan pada data yang benar dan yang sesungguhnya. Dalam perpajakan tidak ada istilah yang dapat mengabaikan data hanya karena jumlahnya relatif kecil. Dari jumlah rupiah yang terbesar hingga terkecil harus dimasukkan dalam penghitungan. Penyimpangan yang menyebabkan kesalahan penghitungan penghasilan kena pajak akan merupakan kesalahan yang dikenakan sanksi perpajakan.
2.1.1.2 Hubungan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal
Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan
perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi, termasuk didalamnya informasi mengenai besarnya pajak
penghasilan dan konsekuensi pajak di masa mendatang. Pemakai laporan
keuangan terdiri dari pihak internal dan pihak eksternal. Pemakai internal adalah
manajemen sedangkan pemakai eksternal salah satunya adalah pihak pajak,
dimana pihak pajak tersebut menggunakan informasi akuntansi untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jumlah pajak yang dibayar oleh entitas.
Untuk memenuhi tujuan pajaknya maka entitas sebagai wajib pajak
badan harus menyesuaikan laporan keuangan komersialnya yang belum
dikenakan pajak dengan aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Akuntansi
perpajakan dapat dirumuskan sebagai bagian dari akuntansi yang menekankan
kepada Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dan pertimbangan konsekuensi
perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Dengan adanya
akuntansi pajak, maka WP dapat dengan lebih mudah menyusun SPT (Agoes
dan Trisnawati, 2010:7)
16
Akuntansi pajak penghasilan sangat penting karena dengan adanya
akuntansi pajak maka WP dapat menyusun laporan keuangan fiskal yang
diperlukan untuk penetapan besarnya pajak yang terutang dan konsekuensi
pajak dimasa yang akan datang. Dimana pajak yang terutang dan konsekuensi
pajak dimasa yang akan datang atau disebut dengan pajak tangguhan tersebut
merupakan komponen dalam laba/ rugi yang berperan untuk menentukan laba
bersih komersial setelah pajak
. 2.1.2 Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba
komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan
penghasilan neto/ laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan (Agoes dan
Trisnawati, 218:2010). Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena
terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal) yang disebabkan oleh
perbedaan dasar penyusunan laporan keuangan antara akuntansi komersial dan
akuntansi fiskal.
Perbedaan standar atau ketentuan dalam penyusunan antara laporan
keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal ini tentunya akan menimbulkan
perbedaan terhadap asumsi dan metode yang digunakan dalam penyusunan
laporan keuangan. Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan
(fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu :
1. Beda Tetap/ Permanen (Permanent Different)
Suandy, Erly (2011:87) mengemukakan bahwa :
17
Perbedaan tetap/ Permanen (Permanent Different) adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal yang berbeda dengan perhitungan laba menurut SAK tanpa ada koreksi di kemudian hari. Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi komersial dengan peraturan pajak, yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan
mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan penghasilan
kena pajak :
a. Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh)
b. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh)
c. Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (Pasal 9 ayat (1) UU PPh).
d. Biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final.
e. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura.
f. Sanksi perpajakan
2. Beda waktu/ Temporer
Agoes dan Trisnawati (2010:219) menyatakan bahwa beda waktu
merupakan perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perpajakan yang
sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban dan pendapatan
akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi
setiap tahunnya.
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai
antara pajak dengan akuntansi dalam hal :
a. Akrual dan realisasi
b. Penyusutan dan amortisasi
18
c. Penilaian persediaan
d. Kompensasi kerugian fiskal
2.1.3 Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK 46)
PSAK 46 merupakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang
Akuntansi Pajak Penghasilan yang diterbitkan oleh IAI (Ikatan Akuntan
Indonesia) Tahun 1998. Akuntansi pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam
PSAK No. 46 menggunakan dasar akrual yang mengatur pajak penghasilan yang
kurang dibayar atau terutang dan pajak yang lebih dibayar dalam masa pajak
dan mengakui liabilitas dan aset pajak tangguhan terhadap konsekuensi pajak
periode mendatang, atas transaksi yang telah diakui sebagai unsur laba
komersial tetapi belum diakuinya sebagai laba fiskal atau sebaliknya. (Waluyo,
2010:231)
2.1.3.1 Tujuan dan Ruang Lingkup PSAK 46
PSAK No. 46 (Revisi 2010) bertujuan untuk mengatur perlakuan
akuntansi untuk pajak penghasilan. Pengaturan perlakuan akuntansi untuk pajak
penghasilan sebagaimana diatur dalam PSAK No. 46 menekankan pada :
1. Pertanggungjawaban konsekuensi pajak pada periode kini dan mendatang untuk hal berikut ini : a. Pemulihan (penyelesaian) jumlah tercatat aset (liabilitas)
masa depan yang diakui dalam laporan posisi keuangan entitas; dan
b. Transaksi dan kejadian lain pada periode kini yang diakui dalam laporan keuangan entitas.
2. Pengakuan aset pajak tangguhan yang timbul dari rugi pajak yang belum dikompensasi atau kredit pajak yang belum dimanfaatkan, penyajian pajak penghasilan dalam laporan keuangan, dan pengungkapan informasi yang terkait dengan pajak penghasilan.
Pernyataan ini mensyaratkan entitas untuk memperlakukan konsekuensi
pajak atas transaksi dan kejadian lain sama dengan cara entitas memperlakukan
19
transaksi dan kejadian lain tersebut. Oleh karena itu, untuk transaksi dan
kejadian lain yang diakui dalam laba rugi, pengaruh pajak dari transaksi dan
kejadian tersebut juga diakui dalam laba rugi.
Ruang lingkup PSAK 46 adalah sebagai berikut :
1. Untuk tujuan pernyataan ini, pajak penghasilan termasuk semua pajak dalam negeri dan luar negeri yang didasarkan pada laba kena pajak. Pajak penghasilan juga termasuk pajak-pajak, seperti pemotongan pajak (atas distribusi kepada entitas pelapor) yang terutang oleh entitas anak, entitas asosiasi, atau ventura bersama.
2. Pernyataan ini tidak mengatur metode akuntansi untuk hibah pemerintah (PSAK 61 : Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah) atau kredit pajak investasi.
3. Pajak penghasilan yang diatur dalam pernyataan ini mencakup juga penghasilan final, yang artinya jika jumlah tercatat aset atau liabilitas dengan pajak penghasilan final berbeda dari dasar pengenaan pajaknya, maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aset atau libilitas pajak tangguhan. Sesuai dengan peraturan perpajakan, penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan final tidak lagi dilaporkan sebagai laba kena pajak dan semua beban terkait dengan penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan final tidak dapat dikurangkan. Di sisi lain, baik pendapatan maupun beban tersebut dipakai dalam penghitungan laba rugi menurut akuntansi. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan temporer sehingga tidak diakui adanya aset atau libilitas pajak tangguhan.
2.1.3.2 Istilah-Istilah dalam PSAK No. 46
Di dalam PSAK No. 46 terdapat beberapa pengertian istilah penting yang
perlu diketahui untuk menghitung konsekuensi mendatang dari pajak
penghasilan, berikut pengertian pokok dari istilah-istilah tersebut :
1. Laba akuntansi adalah laba atau rugi selama suatu periode sebelum dikurangi beban pajak.
2. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal atau rugi fiskal adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
3. Nilai buku akuntansi adalah nilai tercatat aset atau nilai tercatat liabilitas menurut pembukuan atau akuntansi.
4. Beban pajak (penghasilan pajak) adalah jumlah agregat dari pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam menentukan laba rugi pada suatu periode.
20
5. Pajak kini adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang (dipulihkan) atas laba kena pajak (rugi pajak) untuk suatu periode.
6. Liabilitas pajak tangguhan adalah pajak penghasilan yang terutang pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
7. Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya : a. Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan ; b. Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi; dan c. Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan1, dalam hal
peraturan pajak mengizinkan 8. Perbedaan temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat
aset atau liabilitas dalam laporan posisi keuangan dan dasar pengenaan pajaknya. Perbedaan temporer dapat berupa : a. Perbedaan temporer kena pajak yaitu perbedaan temporer
yang menimbulkan jumlah kena pajak dalam penghitungan laba kena pajak (rugi pajak) periode mendatang ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan.
b. Perbedaan temporer dapat dikurangkan yaitu perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penghitungan laba kena pajak (rugi pajak) periode mendatang ketika jumlah tercatat aset atau libilitas dipulihkan atau diselesaikan.
9. Dasar pengenaan pajak aset atau libilitas adalah nilai yang terkait dengan aset atau liabilitas untuk tujuan pajak.
10. Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan, pajak ini dikenakan atas laba kena pajak entitas.
11. Penghasilan final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final.
Berdasarkan istilah-istilah penting diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ada beberapa komponen atau unsur yang terdapat dalam beban pajak suatu
entitas yang berkaitan dengan penghitungan konsekuensi pajak penghasilan di
masa mendatang. Unsur-unsur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1
1 Kredit pajak belum dimanfaatkan merupakan fasilitas perpajakan yang diberikan kepaada
entitas yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk memperoleh pengurangan pajak terutang di masa mendatang.
21
Gambar 2.1 : Kerangka Beban Pajak
Sumber : Departemen Akuntansi FE UI, PSAK No. 46 (revisi 2010) Pajak
Penghasilan
2.1.3.3 Dasar Pengenaan Pajak
Dalam akuntansi pajak tangguhan, dasar pengenaan pajak terbagi
menjadi dua, yaitu :
1. Dasar Pengenaan Pajak Aset (DPP Aset)
Supriyanto (2011:167) menyatakan bahwa :
Dasar pengenaan pajak aset (DPP Aset) adalah jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan pajak terhadap setiap manfaat ekonomi kena pajak yang akan mengalir ke entitas ketika memulihkan jumlah tercatat aset tersebut. Jika manfaat ekonomi (penghasilan) tersebut tidak akan dikenakan pajak, maka dasar pengenaan pajak aset tersebut sama dengan jumlah tercatat aset. Artinya penilaian DPP ini didasarkan atas pengakuan dari penghasilan atau biaya itu sendiri. Ketika biaya/ penghasilan diakui atas dasar kas maka besarnya DPP aset adalah nol karena sudah diakui pada saat itu, namun ketika asas accrual maka besarnya DPP adalah sebesar nilai tercatat dari biaya/ penghasilan."
Pajak Kini
Pajak Tangguhan
Aset Pajak Tangguhan
Liabilitas Pajak Tangguhan
Akibat Perbedaan Temporer Yang
Dapat Dikurangkan
Akibat Perbedaan Temporer Kena
Pajak
Akibat Kompensasi
Kerugian
Beban Pajak
22
Adapun contoh dari penilaian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) aset
sebagai berikut :
a. Biaya perolehan mesin adalah Rp 100. Untuk tujuan fiskal, mesin telah disusutkan sebesar Rp 30 dan sisa nilai buku dapat dikurangkan pada periode mendatang. Penghasilan mendatang dari penggunaan aset merupakan objek pajak. DPP aset tersebut adalah Rp 70.
b. Piutang bunga mempunyai nilai tercatat Rp 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga diakui dengan dasar kas. DPP piutang adalah nihil.
c. Jumlah tercatat piutang usaha adalah Rp 100. Pendapatan usaha terkait telah diakui untuk tujuan fiskal. DPP piutang adalah Rp 100.
d. Jumlah tercatat piutang pinjaman adalah Rp 100. Pembayaran kembali dari pinjaman tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. Dasar pengenaan pajak piutang pinjaman adalah Rp 100.
2. Dasar Pengenaan Pajak Liabilitas (DPP Liabilitas)
Berdasarkan PSAK 46 (Revisi 2010) Paragraf 08 :
Dasar pengenaan pajak liabilitas (DPP liabilitas) adalah jumlah tercatat liabilitas, dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan pajak berkenaan dengan liabilitas tersebut pada periode mendatang. Dalam hal pendapatan diterima dimuka, maka dasar pengenaan pajak yang ditimbulkan liabilitas tersebut merupakan jumlah tercatat liabilitas dikurangi setiap jumlah pendapatan yang tidak dikenakan pajak pada periode mendatang. Adapun contoh penilaian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) liabilitas
yaitu :
a. Liabilitas jangka pendek mencakup beban yang masih harus dibayar (accrued expense) dengan nilai tercatat sebesar Rp 100. Beban terkait akan dikurangkan untuk tujuan fiskal dengan dasar kas. Dasar pengenaan pajak beban yang masih harus dibayar adalah nihil.
b. Liabilitas jangka pendek mencakup pendapatan bunga diterima dimuka dengan nilai tercatat Rp 100. Pendapatan bunga tersebut dikenakan pajak dengan dasar kas. Dasar pengenaan pajak pendapatan diterima dimuka adalah nihil.
c. Liabilitas jangka pendek mencakup beban yang masih harus dibayar (accrued expense) dengan nilai tercatat Rp 100. Beban tersebut telah dikurangkan untuk tujuan pajak.
23
Dasar pengenaan pajak atas beban yang masih harus dibayar adalah Rp 100.
d. Nilai tercatat beban denda yang masih harus dibayar adalah Rp 100. Untuk tujuan fiskal, beban denda tersebut tidak dapat dikurangkan. Dasar pengenaan pajaknya adalah Rp 100.
e. Utang pinjaman memiliki jumlah tercatat sebesar Rp 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. Dasar pengenaan pajak atas utang pinjaman adalah Rp 100.
2.1.3.4 Perbedaan Temporer
Waluyo (2010:233) dalam bukunya akuntansi pajak menyatakan bahwa :
Perbedaan temporer dimaksudkan sebagai perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax base) dari suatu aset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada aset atau kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi atau dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat harus diakuinya aset dan/ atau kewajiban pajak tangguhan. Berikut adalah contoh akun yang menimbulkan perbedaan temporer :
1. Aset Tetap dan Penyusutannya
a. Aspek Akuntansi
Perlakuan akuntansi mengenai aset tetap dan penyusutannya
diatur dalam PSAK No. 16. Waluyo (2010:102) dalam bukunya
akuntansi pajak mengungkapkan bahwa :
Semua aset tetap berwujud, kecuali tanah akan semakin menurun kemampuannya untuk memberikan jasa seiring dengan berjalannya waktu. Kemampuan yang semakin menurun tersebut sebagai akibat adanya pemakaian, keausan, atau adanya ketidakseimbangan kapasitas yang tersedia dengan yang diharapkan. Dengan berkurangnya kemampuan tersebut maka akan membuat nilai aset tersebut berkurang. Oleh karena itu, entitas harus melakukan penyusutan terhadap semua aset tetap berwujud kecuali tanah IAI (2010) dalam PSAK No.16 menyatakan bahwa penyusutan
adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu
24
aset selama umur manfaatnya. Menurut PSAK 16 tersebut, jumlah
yang dapat disusutkan adalah jumlah tercatatnya dikurangi dengan
nilai residu aset yang bersangkutan. Penyusutan dilakukan terhadap
aset tetap berwujud dengan syarat aset tetap berwujud tersebut
ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau
memasok barang dan jasa untuk disewakan, atau untuk tujuan
administrasi. Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap
untuk digunakan. Estimasi umur manfaat suatu aset merupakan hal
yang membutuhkan pertimbangan berdasarkan pengalaman entitas
terhadap aset yang serupa (berdasarkan ketentuan manajemen).
Agoes, Trisnawati (2010:104) menyatakan bahwa menurut
akuntansi, metode-metode penyusutan yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut :
1) Metode garis lurus (straight line method) menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah.
2) Metode saldo menurun (diminishing balance method) menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat.
3) Metode jumlah unit (sum of the unit method) menghasilkan pembebanan berdasarkan pada penggunaan atau output yang diharapkan dari suatu aset. Biaya perbaikan yang dikapitalisir, yang menambah masa
manfaat aset lainnya disusutkan sesuai masa manfaat yang ditinjau
ulang, dalam hal ini nilai buku dan biaya perbaikan akan disusutkan
selama sisa masa manfaat ditambah dengan tambahan masa
manfaat akibat perbaikan. Setiap periode entitas mengakui beban
penyusutan dalam laporan laba rugi..
b. Aspek Perpajakan
25
Berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008, pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan
mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
tersebut melalui penyusutan. Penyusutan dimulai pada saat bulan
pengeluaran aset tetap tersebut, kecuali apabila aset yang masih
dalam proses pengerjaan, yaitu dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan aset tersebut. Biaya perbaikan yang dikapitalisir, yang
menambah masa manfaat aset lama harus disusutkan terpisah dari
harta lainnya, seolah-olah seperti harta dengan masa manfaat baru
sehingga akan menjadi lebih lama pembebanannya
Agoes, Trisnawati (2010:104) menyatakan bahwa :
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal adalah sebagai berikut :
1) Metode penyusutan garis lurus (straight line method) untuk kelompok bangunan dan bukan bangunan.
2) Metode saldo menurun (declining balance method) untuk kelompok bukan bangunan. Pasal 11 ayat (6) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan,
baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Lamanya umur manfaat dan tarif penyusutan aset berwujud
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
26
Tabel 2.1 : Masa manfaat dan tarif penyusutan aset tetap berwujud
Sumber : UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 11 ayat (6)
c. Perbedaan Temporer
Perbedaan temporer akun penyusutan antara akuntansi dan
pajak timbul akibat perbedaan metode penyusutan dan umur manfaat
yang ditetapkan perusahaan dengan pajak.
2. Cadangan Piutang Tak Tertagih
a. Aspek Akuntansi
Agoes dan Trisnawati (2010:24) menyatakan bahwa Piutang
(account receivable) adalah hak perusahaan kepada pihak lain yang
akan diterima dalam bentuk kas. Piutang biasanya digolongkan ke
dalam kelompok piutang usaha dan piutang di luar usaha. Piutang
usaha terjadi karena penjualan barang atau penyerahan jasa secara
kredit. Dalam praktiknya tidak semua piutang dapat tertagih. Jika
jumlah piutang yang tidak dapat tertagih relatif kecil, maka
perusahaan tidak membentuk cadangan/ penyisihan. Sebaliknya
27
apabila piutang ini jumlahnya cukup besar dan berisiko, maka
sebaiknya perusahaan membentuk cadangan.
Dalam praktik akuntansi komersial, pembentukan cadangan
(penyisihan) guna mengantisipsi kemungkinan kerugian dari piutang
tak tertagih merupakan hal yang lazim. Terhadap piutang yang
diragukan kolektibilitasnya, perusahaan dapat menghapuskan dan
membebankannya pada cadangan dimaksud (Agoes dan Trisnawati,
2010:25)
b. Aspek Perpajakan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akuntansi
pajak tidak menganut prinsip konservatisme atau prinsip pengecualian
dengan membentuk cadangan/ penyisihan karena pajak hanya
mengakui realitas dan keadaan yang nyata atau sebenar-benarnya.
Sehingga dalam pajak tidak diperkenankan penyisihan piutang tak
tertagih sebagai beban.
Agoes dan Trisnawati (2010:25) menyatakan bahwa : Berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (a)
huruf (c) dan PMK-81/PMK.03/2009 adanya pembentukan penyisihan (cadangan) piutang tak tertagih tersebut diperkenankan, akan tetapi pembentukan cadangan/ pemupukan dana cadangan hanya berlaku untuk jenis usaha tertentu, seperti :
1) Usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan; dan
28
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industi untuk usaha pengolahan limbah industri.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba/ rugi komersial;
2) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihan kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
c. Perbedaan Temporer :
Perbedaan prinsip yang dianut antara akuntansi dan pajak
menyebabkan timbulnya perbedaan temporer. Dalam hal ini
perbedaan temporer timbul dari cadangan piutang yang tidak tertagih.
Dari sudut akuntansi, pencadangan/ penyisihan piutang tak tertagih
merupakan hal yang lazim dilakukan. Sedangkan sudut pandang
pajak hanya mengakui adanya beban atau kerugian piutang tak
tertagih atas piutang yang nyata-nyata tak tertagih dan dihapuskan
dari pembukuan wajib pajak. Sehingga sepanjang piutang tak tertagih
tersebut dicadangkan maka cadangan tersebut merupakan beda
temporer yang akan mempengaruhi besarnya pajak tahun berjalan
dan pajak tangguhan.
3. Imbalan Kerja
a. Aspek Akuntansi
29
Definisi Imbalan Kerja adalah seluruh bentuk pemberian dari
entitas atas jasa yang diberikan oleh pekerja. Perlakuan akuntansi
mengenai imbalan kerja ini diatur dalam PSAK No. 24 (Revisi 2010).
PSAK No. 24 (Revisi 2010) mengatur akuntansi imbalan kerja untuk
entitas pemberi kerja sehingga mengharuskan entitas untuk mengakui
adanya:
1) Liabilitas : Jika pekerja telah memberikan jasanya dan berhak
memperoleh imbalan kerja yang akan dibayarkan di masa
depan; dan
2) Beban : Jika entitas menikmati manfaat ekonomis yang
dihasilkan dari jasa yang diberikan oleh pekerja yang berhak
memperoleh imbalan kerja.
Berdasarkan PSAK No. 24 (Revisi 2010), imbalan kerja mencakup :
1) Imbalan kerja jangka pendek
Merupakan imbalan kerja yang jatuh tempo 12 bulan
setelah akhir periode pelaporan saat pekerja memberikan jasa
seperti upah, gaji, iuran jaminan sosial, cuti tahunan, cuti sakit,
bagi laba dan bonus, dan imbalan non-moneter (seperti imbalan
kesehatan, rumah, mobil, dan barang atau jasa yang diberikan
secara cuma-cuma atau melebihi subsidi) untuk pekerja.
2) Imbalan pasca kerja
Merupakan imbalan kerja yang terutang setelah pekerja
menyelesaikan masa kerjanya. Contohnya seperti pensiun,
imbalan pensiun lainnya, asuransi jiwa pasca kerja dan imbalan
kesehatan pasca kerja:
30
3) Imbalan kerja jangka panjang lainnya
Termasuk cuti besar, cuti hari raya, penghargaan masa
kerja atau imbalan jasa jangka panjang lainnya, imbalan cacat
permanen, dan jika terutang seluruhnya dalam waktu 12 bulan
setelah akhir periode pelaporan, bagi laba, bonus, dan
kompensasi yang ditangguhkan; dan
4) Pesangon pemutusan kontrak kerja (PKK)
Setiap tahun perusahaan membentuk biaya cadangan
untuk mengakui kewajiban imbalan pasca kerja untuk pekerja
yang telah memberikan jasanya dan berhak memperoleh
imbalan kerja yang akan dibayarkan di masa depan.
Perhitungan nilai imbalan pasca kerja menyangkut judgement
aktuarial yang cukup rumit sehingga dibutuhkan aktuaris agar
lebih praktis. Aktuaris adalah seseorang yang terlatih untuk
memperkirakan kejadian-kejadian di masa yang akan datang
dan pengaruh-pengaruh keuangannya. Perhitungan kewajiban
tersebut menggunakan asumsi-asumsi aktuarial dan metode
penilaian aktuarial. Asumsi aktuarial berhubungan dengan
tingkat diskonto, tingkat mortalitas, tingkat perputaran pekerja,
tingkat gaji, dan lain-lain. Sedangkan metode penilaian aktuarial
menggunakan projected unit credit.
b. Aspek Perpajakan
Berdasarkan UU PPh pasal 9, pembentukan dana cadangan
tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak kecuali untuk usaha bidang tertentu. Biaya dapat diakui
31
sebagai pengurang dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak jika
sudah terealisasi.
c. Perbedaan Temporer
Biaya imbalan pasca kerja yang dibebankan menurut akuntansi
masih berupa estimasi. Sedangkan menurut pajak, biaya yang dapat
dikurangkan hanya sejumlah yang benar-benar telah terealisasi.
Sehingga timbul beda temporer karena pajak juga memperbolehkan
biaya tersebut sebagai pengurang dalam menentukan Penghasilan
Kena Pajak tetapi hanya masalah waktu dalam membebankannya
saja.
4. Beban Yang Masih Harus Dibayar
a. Aspek Akuntansi
Akuntansi menganut basis akrual yaitu transaksi pengakuan
pendapatan atau beban, sebelum uang diterima atau dibayarkan.
Salah satu contohnya adalah beban yang masih harus dibayar
(Suharli, 2006:52).
Berdasarkan pengertian akrual di atas dapat disimpulkan bahwa
Beban yang masih harus dibayar merupakan komponen liabilitas
perusahaan karena perusahaan telah mengakui transaksi beban
tersebut dan menerima manfaatnya, tetapi belum melakukan
pembayaran.
b. Aspek Perpajakan
Menurut Suandy (2011: 131), akuntansi dasar pembukuan yang
diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah basis kas yang
32
dimodifikasi (modified cash basis). Basis kas yang dimodifikasi dalam
rangka menghitung PPh Badan adalah sebagai berikut :
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam rangka suatu periode
harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
nontunai;
2) Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang
telah dibayarkan;
3) Dalam perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang
dapat diamortisasi, biaya yang boleh dibebankan hanya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
c. Perbedaan Temporer
Perbedaan basis yang digunakan antara akuntansi dan fiskal
mengakibatkan munculnya perbedaan temporer pada akun beban
yang masih harus dibayar. Hal ini disebabkan karena akuntansi sudah
mencatat transaksi tersebut sebagai beban, namun pajak belum
mengakuinya karena belum dibayarkan. Nilai biaya yang masih harus
dibayar akan menghasilkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam
tahun-tahun mendatang ketika kewajiban itu diselesaikan.
5. Pendapatan Diterima Dimuka
a. Aspek Akuntansi
Menurut Suharli (2006:52) Pendapatan diterima dimuka
merupakan salah satu transaksi deferral yaitu transaksi penerimaan
uang (deferred revenues) atau transaksi pengeluaran uang (deferred
expense) yang pengakuannya ke dalam laporan laba/ rugi ditunda
(ditangguhkan)
33
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pendapatan diterima dimuka merupakan liabilitas perusahaan, karena
perusahaan sudah menerima pembayaran atas jasa atau barang
yang diberikan oleh pelanggan, tetapi pelanggan belum menerima
barang atau jasa tersebut. Pada saat penyerahan barang atau jasa
kepada pelanggan barulah diakui sebagai pendapatan dalam laporan
laba rugi perusahaan.
b. Aspek Perpajakan
Dari sudut pandang perpajakan, pembayaran di muka
dimasukkan dalam laba kena pajak pada saat diterimanya kas karena
pajak menganut sistem kas dimodifikasi.
c. Perbedaan Temporer
Akun pendapatan diterima dimuka menimbulkan beda temporer
karena menggunakan basis yang tidak sama antara akuntansi dan
fiskal. Akuntansi menganut basis deferral (penangguhan) sedangkan
fiskal menganut basis kas yang dimodifikasi.
2.1.3.5 Metode Penangguhan Pajak Penghasilan
Gunadi (2009:295) mengungkapkan bahwa :
Perbedaan sementara yang meliputi sebagian besar selisih antara laba fiskal dengan laba komersial, terjadi karena penghasilan yang diakui dan dikenakan pajak pada tahun berjalan (current year) tetapi dibukukan sebagai penghasilan pada tahun-tahun berikutnya. Dalam rangka mempertemukan beban pajak (income tax expense) dengan penghasilan yang dikenakan pajak, alokasi pajak penghasilan antar periode (interperiode tax allocation) diperlukan sehubungan dengan perbedaan waktu. Menurut Zain (2008:190), metode alokasi pajak interperiode dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu :
1. Metode Pajak Tangguhan (Deferred Method)
34
Metode ini menggunakan pendekatan laba rugi (Income Statement Approach) yang memandang perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang laporan laba rugi, yaitu kapan suatu transaksi diakui dalam laporan laba rugi baik dari segi komersial maupun fiskal. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan waktu dan perbedaan permanen. Selisih jumlah Pajak Penghasilan Terhutang (berdasar SPT) dengan Biaya Pajak Penghasilan (berdasar laba akuntansi) dalam suatu periode harus dicatat dan disajikan dalam Laporan Keuangan sebagai Pajak yang Ditangguhkan. Jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif pajak yang berlaku pada saat terjadinya transaksi atau item yang menyebabkan terjadinya perbedaan atau selisih antara laba kena pajak dan laba akuntansinya. Metode ini lebih menekankan matching principle pada periode terjadinya perbedaan tersebut.
2. Metode Aset dan Kewajiban (Asset-Liability Method)
Metode ini menggunakan pendekatan neraca (Balance Sheet Approach) yang menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya.
3. Metode Bersih dari Pajak (Net-of-Tax Method)
Dalam metode ini, tidak ada pajak tangguhan yang diakui. Konsekuensi pajak atas perbedaan temporer tidak dilaporkan secara terpisah, sebaliknya diperlakukan sebagai penyesuaian atas nilai aset atau kewajiban tertentu dan penghasilan atau beban yang terkait. Dalam metode ini, beban pajak yang disajikan dalam laporan laba rugi sama dengan jumlah pajak penghasilan yang
terhutang menurut SPT tahunan.
2.1.4 Perlakuan Akuntansi Pajak Tangguhan
Standar Akuntansi Keuangan yang mengatur masalah pajak tangguhan
terdapat dalam PSAK No. 46 tentang akuntansi pajak penghasilan, yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan perhitungan pajak terutang. Akuntansi pajak
tangguhan adalah pencatatan transaksi perusahaan yang berkaitan dengan
kewajiban pajaknya yang dapat ditunda sampai periode atau waktu yang
diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena perbedaan temporer atau beda waktu
35
pengakuan penghasilan atau biaya antara akuntansi komersial dengan peraturan
pajak yang berlaku (Supriyanto, 2011:166).
Perbedaan temporer tersebut akan menyebabkan timbulnya pengakuan
dalam akuntansi yaitu pengakuan aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak
tangguhan yang tercantum dalam laporan posisi keuangan.
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh dimasa yang
akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara
perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat
dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan
dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu. Suatu perusahaan bisa
saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang
pajak yang lebih besar di masa yang akan datang. Bila dampak pajak di masa
datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan
bisa saja menyesatkan penggunanya (Cheng, 2008).
2.1.4.1 Pengakuan Pajak Tangguhan
Berdasarkan PSAK No. 46 tentang akuntansi pajak penghasilan, entitas
diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode
kini dan periode mendatang dengan menghitung dan mengakui adanya pajak
tangguhan (deferred tax) atas Future tax effect dengan menggunakan balance
sheet method atau asset liability method
Pajak tangguhan sebagai jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan
pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh
dikurangkan dari sisa kerugian yang dapat dikompensasikan. Pengakuan pajak
tangguhan berdampak terhadap berkurangnya laba atau rugi bersih sebagai
36
akibat adanya kemungkinan pengakuan beban pajak tangguhan atau manfaat
(penghasilan) pajak tangguhan (Waluyo, 2010:235).
Untuk mengakui pajak tangguhan di dalam laporan keuangan, setiap
perusahaan harus menambahkan akun baru seperti yang terlihat pada Tabel 2.2.
Ada dua akun yang muncul di dalam laporan posisi keuangan (neraca) dan dua
akun di dalam laporan laba rugi.
Tabel 2.2 Akun pajak tangguhan dalam laporan keuangan
Laporan Keuangan Akun
Posisi Keuangan
(Neraca)
Aset pajak tangguhan/ Deferred Tax
Assets (DTA)
Liabilitas pajak tangguhan/ Deferred Tax
Liability (DTL)
Laba Rugi
Penghasilan/ manfaat pajak tangguhan/
Deferred Tax Income (DTI)
Beban pajak tangguhan/ Deferred Tax
Expense (DTE)
Sumber : Training Perpajakan untuk analisis perkreditan disampaikan oleh
Purwanto Budi S (Direktur Pratama Indomitra)
Dalam hal pengakuan pajak tangguhan di dalam laporan keuangan, ada
cara untuk mengidentifikasi aset/ liabilitas pajak tangguhan dan penghasilan/
beban pajak tangguhan yaitu dengan menggunakan pendekatan neraca
(Balance sheet approach) dan pendekatan laba rugi (Income statement
approach). Sebelum adanya PSAK 46, Akuntansi pajak penghasilan lebih
bersifat Income Statement Approach, setelah diberlakukannya PSAK No.46,
akuntansi pajak penghasilan menggunakan pendekatan neraca (balance sheet
approach).
37
Pendekatan Neraca (Balance Sheet Approach)
Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan
perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku
menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya. Untuk mengidentifikasikan
aset dan liabilitas pajak tangguhan dapat dilakukan dengan menandingkan nilai
buku menurut akuntansi (NBA) dan Nilai buku fiskal/ dasar pengenaan pajaknya
(DPP) untuk akun-akun yang dikategorikan sebagai unsur beda waktu
(penyisihan/ provisi, penyusutan atau amortisasi).
Cendra (2012) mengidentifikasikan aset dan liabilitas pajak tangguhan
sebagai berikut :
Jika akun yang memiliki unsur beda temporer kelompok aset, maka :
1. Nilai buku menurut akuntansi lebih besar dari pengenaan pajaknya akan
menghasilkan liabilitas pajak tangguhan.
2. Nilai buku menurut akuntansi lebih kecil dari dasar pengenaan pajak akan
menghasilkan aset pajak tangguhan.
Sedangkan jika akun yang memiliki unsur beda temporer adalah
kelompok liabilitas, maka :
1. Nilai buku akuntansi lebih besar dari dasar pengenaan pajak akan
menghasilkan aset pajak tangguhan.
2. Nilai buku menurut akuntansi lebih kecil dari dasar pengenaan pajak akan
menghasilkan liabilitas pajak tangguhan.
Pendekatan neraca untuk mengidentifikasikan aset dan liabilitas pajak
tangguhan dapat dilihat pada Table 2.3
38
Table 2.3 Identifikasi aset dan liabilitas pajak tangguhan
Identifikasi Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan dengan
Pendekatan Neraca
Kelompok Aset dengan unsur beda temporer
NBA > DPP Liabilitas Pajak Tangguhan
(Deffered Tax Liability)
NBA < DPP Aset Pajak Tangguhan
(Deffered Tax Asset)
Kelompok Liabilitas dengan unsur beda temporer
NBA > DPP Aset Pajak Tangguhan
(Deffered Tax Asset)
NBA < DPP Liabilitas Pajak Tangguhan
(Deffered Tax Liability)
Sumber : Training Perpajakan untuk analisis perkreditan disampaikan
oleh Purwanto Budi S (Direktur Pratama Indomitra)
Jika dilihat dari sisi laba rugi (laporan rekonsiliasi fiskal) aset pajak
tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai
berikut :
1. Apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP komersial) lebih besar dari
Penghasilan Kena Pajak (PKP fiskal), maka beban pajak (BP-Tax
Expense) akan lebih besar dari Pajak Terutang (PT-Tax Payable),
sehingga akan menghasilan Liabilitas Pajak Tangguhan (DTL-Deferred
Tax Liability). Liabilitas Pajak Tangguhan dapat dihitung dengan
perbedaan temporer dengan tarif pajak yang sesuai.
39
2. Apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP komersial) lebih kecil dari
Penghasilan Kena Pajak (PKP fiskal), maka Beban Pajak (BP) akan
menjadi lebih kecil dari Pajak Terutang (PT), sehingga akan
menghasilkan Aset Pajak Tangguhan (DTA-Deferred Tax Assets).
Penentuan aset (liabilitas) pajak tangguhan dari sisi laba rugi tersebut
dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :
Tabel 2.4 Identifikasi Aset (Liabilitas) Pajak Tangguhan Dari Sisi Laba Rugi
Perbedaan Temporer
Perbedaan Temporer x Tarif
Hasilnya
PSP > PKP BP > PT Liabilitas Pajak Tangguhan (DTL)
PSP < PKP BP < PT Aset Pajak Tangguhan (DTA)
Sumber : Mohammad Zain (2008:195)
Pengakuan pajak tangguhan dalam laporan posisi keuangan (neraca)
perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pengakuan Aset Pajak Tangguhan dan Liabilitas Pajak Tangguhan
Pengakuan aset atau liabilitas pajak tangguhan didasarkan pada fakta
bahwa adanya kemungkinan pemulihan aset atau pelunasan liabilitas yang
mengakibatkan pembayaran pajak periode mendatang menjadi lebih kecil
atau lebih besar dari pajak kini (tahun berjalan). Apabila akan terjadi
pembayaran pajak yang lebih besar di masa yang akan datang, maka
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, maka harus diakui sebagai
liabilitas pajak tangguhan. Liabilitas didefinisikan sebagai suatu kemungkinan
adanya pengorbanan ekonomi pada masa yang akan datang (Mangarimpun,
2009)
40
Apabila ada kemungkinan pembayaran pajak yang lebih kecil pada
masa yang akan datang, maka berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan,
harus diakui sebagai aset pajak tangguhan. Aset didefinisikan sebagai suatu
kemungkinan akan adanya manfaat ekonomi pada masa yang akan datang
(Mangarimpun: 2009).
a. Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset/DTA)
Waluyo (2010:236) menyatakan bahwa :
Aset pajak tangguhan adalah jumlah PPh yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu menyebabkan terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan.
PSAK 46 (Revisi 2010) Paragraf 26 mengungkapkan bahwa :
Aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer dapat dikurangkan yang kemungkinan besar laba kena pajak akan tersedia sehingga perbedaan temporer dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba tersebut, kecuali jika aset pajak tangguhan timbul dari pengakuan awal aset atau pengakuan awal liabilitas dalam transaksi yang :
1) Bukan merupakan kombinasi bisnis; dan 2) Pada saat transaksi, dampaknya tidak mempengaruhi laba
akuntansi maupun laba kena pajak (rugi pajak). Menurut Agoes, Trisnawati (2010: 245), jurnal untuk mencatat
Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets/ DTA) adalah sebagai
berikut :
Keterangan Debit Kredit
Aset pajak tangguhan Xxx
Pendapatan pajak tangguhan Xxx
b. Liabilitas Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability/DTL)
41
Liabilitas pajak tangguhan (Deferred tax liability) adalah jumlah
PPh terutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya
perbedaan temporer kena pajak. Liabilitas pajak tangguhan timbul
apabila beda waktu menyebabkan terjadinya koreksi negatif sehingga
beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada beban pajak
menurut peraturan perpajakan (Agoes, Trisnawati, 2010: 245)
PSAK No. 46 Paragraf 15 mengungkapkan bahwa :
Semua perbedaan temporer diakui sebagai liabilitas pajak tangguhan, kecuali untuk perbedaan temporer kena pajak yang berasal dari :
1) Pengakuan awal goodwill; atau 2) Pengakuan awal aset/ liabilitas dari transaksi yang :
(i) Bukan kombinasi bisnis; dan (ii) Pada waktu transaksi tidak mempengaruhi laba
akuntansi dan laba kena pajak (rugi pajak).
Menurut Agoes, Estralita (2010: 245), jurnal untuk mencatat
Liabilitas Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability/ DTL) adalah
sebagai berikut :
Keterangan Debit Kredit
Beban pajak tangguhan Xxx
Kewajiban pajak tangguhan Xxx
2. Pengakuan Saldo Rugi Fiskal Yang Dapat Dikompensasi dan Kredit Pajak Belum Dimanfaatkan
Menurut PSAK 46 (revisi 2010) Par. 36, aset pajak tangguhan diakui
untuk akumulasi rugi pajak belum dikompensasi dan kredit pajak belum
dimanfaatkan sepanjang kemungkinan besar laba kena pajak mendatang