Upload
lamkhue
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12 Dalam
Basis Momentum-Helicity
Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sains
oleh:
Irga Abdulrahman0301020336
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok2006
Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12 Dalam
Basis Momentum-Helicity
oleh:
Irga Abdulrahman0301020336
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok2006
Halaman Persetujuan
Judul Skripsi : Hamburan Partikel Ber-Spin 0 dan 12
Dalam Basis Momentum-HelicityNama : Irga AbdulrahmanNPM : 0301020336
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, 22 Mei 2006
Mengesahkan
Pembimbing
Dr. I. Fachruddin
Penguji I Penguji II
Dr. Anto Sulaksono Dr. Agus Salam
Tanggal Lulus Ujian Sarjana : 22 Mei 2006
Penguji I : Dr. Anto SulaksonoPenguji II : Dr. Agus Salam
i
Kata Pengantar
Alhammdulillah, penuh rasa syukur, penulis agungkan nama-Mu yang Maha Suci.
Tugas ini adalah representasi dari sebagian pengetahuan yang penulis dap-
atkan selama berguru pada, ”orang-orang luar biasa”, Dosen-dosen Fisika UI.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada :
Dr Imam Fachruddin, sebagai pembimbing, yang telah sangat-sangat penulis
repotkan dengan berbagai kemalasan dan ketidaktahuan penulis. tanpa bimbin-
gannya (yang sangat komperhensif) penulis merasa tidak akan mampu menyele-
saikan tugas ini. Dr Anto Sulaksono dan Dr Agus Salam sebagai penguji. Dosen-
dosen Fisika Nuklir dan Partikel : Dr. Terry Mart, Dr. LT Handoko, dan lainnya.
Drs Djonaedi Soleh sebagi Pembibing Akademis penulis, Dr.rer.nat Rosari Saleh,
serta seluruh dosen fisika UI.
Dr. Djoko Sasmita (Isiteks) semoga Imogiri kembali tetap sama.
Papa, mumku, dan keluarga, yang mau mengerti bahwa salah satu anggotanya
sementara ’hilang’, tenggelam dalam tumpukan kertas-kertas. Tante Merry, atas
dukungan finansial.
Teman-teman di Lab Teori : Handika, Adriana Arum, Zu(zu)hrianda, Freddy,
Anton, Ardy, Nita, Nowo, dan lainnya. Seluruh teman-teman Fisika UI 2001
(Aulia, Yudho, Zicko, Justo, Mba Dita, Ivo)
Mbak Ratna, yang mau mengerti ketidakdisiplinan penulis dalam urusan ad-
ministrasi.
”Pemandu sorak” yang tidak pernah berhenti berteriak(mengomel) memberi
semangat : Anindya(FEUI), R Artistik(Usakti), Rheny, Annisa(Unpad).
Dengan selesainya tugas ini tidak berarti topik ini selesai, pembahasan lebih
lanjut serta berbagai aplikasi, masih sangat terbuka untuk dikerjakan.
ii
Abstrak
Hamburan 2 partikel berspin 0 dan 12
dijabarkan dengan teknik perhitungan
yang menggunakan basis momentum-helicity. Dengan cara yang disebut teknik
tiga dimensi (3D) ini, elemen matriks T dihitung sebagai solusi dari persamaan
Lippmann-Schwinger, demikian pula penampang lintang differensial dan polari-
sasi. Sebagai input digunakan sebuah model potensial spin-orbit sederhana. Efek
kinematika relativistik juga dipelajari.
Kata kunci: hamburan, persamaan Lippmann-Schwinger, teknik 3D, kinematika
relativistik, potensial spin-orbit.
vi+67 hlm.; lamp.
Daftar Acuan: 10 (1957-2003)
Abstract
Scattering of 2 particles of spin 0 and 12
is evaluated by means of a technique,
which uses momentum-helicity basis. Using this so called three dimensional (3D)
technique, the T-matrix elements are calculated as solution of the Lippmann-
Schwinger equation, as well as differential cross section and polarization. As
input a simple spin-orbit potential model is used. Relativistic kinematics effects
are also investigated.
Keywords: scattering, Lippmann-Schwinger equation, 3D technique,relativistic
kinematics, spin-orbit potential.
vi+67 pp.; appendices.
References: 10 (1957-2003)
iii
Daftar Isi
Halaman Persetujuan i
Kata Pengantar ii
Abstrak iii
Daftar Isi iv
Daftar Gambar vi
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.4 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
2 Hamburan Dua Partikel 3
2.1 Kinematika Hamburan Dua Partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.3 Observable . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.4 Persamaan Lippman-Schwinger Dalam Basis Gelombang Parsial . 12
3 Formulasi Tiga Dimensi 15
3.1 Basis Momentum-Helicity . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
3.2 Struktur Umum Potensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.3 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22
3.4 Elemen Matriks M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
iv
3.5 Hubungan Dengan Elemen Matriks-T Dalam Basis Gelombang
Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
3.6 Kinematika Relativistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
4 Aplikasi 40
4.1 Potensial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
4.2 Hasil Dan Diskusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
5 Kesimpulan Dan Saran 53
A Basis Gelombang Parsial 55
B Matriks Rotasi 58
C Transformasi Potensial 60
D Penyelesaian Numerik 63
D.1 Integrasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63
D.2 Eliminisasi Singularitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
D.3 Persamaan Lippmann-Schwinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65
Daftar Acuan 67
v
Daftar Gambar
2.1 Hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka P.M. . . . 4
2.2 Diagram hamburan dua partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.3 Titik pengamatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
4.1 Potensial Malfliet-Tjon . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4.2 Penampang Lintang Differensial Pada Beberapa Nilai Energi . . . 42
4.3 Polarisasi Pada Beberapa Nilai Energi . . . . . . . . . . . . . . . 43
4.4 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 30 MeV . . . . . 45
4.5 Polarisasi pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
4.6 I0 pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46
4.7 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 30 MeV . . . . . . . . . . . 46
4.8 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 100 MeV . . . . 47
4.9 Polarisasi pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . 47
4.10 I0 pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 48
4.11 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 100 MeV . . . . . . . . . . . 48
4.12 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 300 MeV . . . . 49
4.13 Polarisasi pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . 49
4.14 I0 pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
4.15 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 300 MeV . . . . . . . . . . . 50
4.16 Penampang lintang differensial pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . 51
4.17 Polarisasi pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
4.18 I0 pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52
4.19 Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 1 GeV . . . . . . . . . . . . 52
vi
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sebagian besar dari yang kita ketahui tentang berbagai gaya dan interaksi antar
partikel diperoleh melalui eksperimen hamburan. Secara garis besar eksperimen
hamburan dilakukan dengan membombardir target, yang dapat berupa atom, inti
atom atau partikel, dengan partikel lain. Sifat-sifat dan kondisi awal dari partikel
proyektil dan target diketahui. Setelah tumbukan, proyektil akan dihamburkan
oleh target ke suatu arah.
Dalam bidang few-body nuclear physics perhitungan biasa dilakukan dalam
basis eigenstate momentum angular total. Ini bisa dimengerti mengingat gaya
nuklir bersifat short range, sehingga untuk energi rendah sebuah proses hambu-
ran bisa dijelaskan dengan memperhitungkan hanya beberapa momentum angular
total terendah. Namun, pada energi yang lebih tinggi diperlukan jumlah momen-
tum angular yang lebih banyak, sehingga perumusan dan perhitungan numerik
menjadi berat. Karena itu, diperlukan suatu teknik perhitungan yang lain, yang
tidak berbasis pada eigenstate momentum angular. Dalam ruang momentum pi-
lihannya yaitu memakai state vektor momentum sebagai basis. Teknik seperti
ini dikenal dengan nama teknik 3D (3 Dimensi). Untuk sistem 2 partikel identik
tanpa spin, penggunaan teknik ini dapat ditemukan pada [1], sedangkan untuk
sistem nukleon-nukleon pada, contohnya, [2] dan [3].
1
1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini akan dikembangkan teknik perhitungan berbasis state vek-
tor momentum dan helicity, selanjutnya disebut basis state momentum-helicity,
untuk sistem dua partikel berspin 0 dan 12. Mengingat perhitungan dengan teknik
3D lebih bermanfaat untuk energi tinggi, maka efek relativitas juga perlu diper-
timbangkan, karena itu kinematika relativistik juga akan digunakan, mengikuti
formulasi dalam Ref. [4].
1.3 Metode Penelitian
Mula-mula dikerjakan formulasi persamaan Lippmann-Schwinger dalam basis
momentum-helicity. Kemudian untuk dapat menyelesaikan persamaan Lippmann-
Schwinger tersebut, dilakukan perhitungan numerik menggunakan metode-metode
numerik yaitu dekomposisi LU dan kuadratur Gauss-Legendre.
1.4 Tujuan
Menghasilkan suatu formulasi hamburan 2 partikel, yang satu bespin 0 dan yang
lain berspin 12, yang bermanfaat terlebih lagi untuk energi tinggi, dengan memilih
vektor momentum dan helicity sebagai basis.
2
Bab 2
Hamburan Dua Partikel
Hamburan adalah fenomena yang sudah lama dikenal, khususnya dalam fisika
nuklir, sehingga penjelasan tentang fenomena ini telah banyak menjadi topik
dalam berbagai buku teks fisika kuantum dan fisika nuklir. Penjelasan tentang
hamburan dalam bab ini hanya bersifat singkat sebagai dasar untuk formulasi
pada bab-bab selanjutnya.
2.1 Kinematika Hamburan Dua Partikel
Dalam eksperimen hamburan besaran-besaran seperti energi, momentum dan
sudut hambur diamati dalam kerangka pengamat, atau biasa disebut kerangka
laboratorium. Dalam formulasi teoritis akan sangat membantu bila kerangka
yang digunakan adalah kerangka pusat massa kedua partikel (kerangka P.M.).
Sebut ki sebagai momentum awal partikel ke-i dalam kerangka laboratorium
dan k′i adalah momentum akhir. Selanjutnya tanda ” ’ ” melambangkan keadaan
akhir. Besarnya momentum relatif dalam Kerangka P.M. p dihitung sebagai
momentum Jacobi:
p =m2k1 −m1k2
m1 + m2
, (2.1)
dengan mi massa partikel-i. Pada keadaan awal, salah satu partikel dalam
keadaan diam (target), k2 = 0, maka:
p =µ
m1
k1 , (2.2)
dengan µ adalah massa tereduksi:
µ =m1 m2
m1 + m2
. (2.3)
3
Gambar 2.1: Hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka P.M.
Energi total dalam kerangka laboratorium dan kerangkan P.M.:
ELab. = E1 = E ′1 + E ′
2 (2.4)
ELab. =k2
1
2m1
=k′21
2m1
+k′22
2m2
(2.5)
EP.M. =p2
2µ=
p′2
2µ. (2.6)
Besarnya energi awal dan energi akhir sama, karena hamburan bersifat elastik.
Perbandingan antara ELab. dan EP.M.:
EP.M. =p2
2µ=
µ
2m21
k21
=µ
m1
ELab. . (2.7)
Selain itu perlu dicari hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerang-
ka. Sudut hambur adalah besarnya sudut antara vektor momentum awal dan
akhir dari proyektil. Dengan menentukan momentum awal searah sumbu-z serta
hamburan pada bidang x− z, seperti pada gambar 2.1, vektor momentum akhir
dalam kerangka P.M. yaitu:
p′ = p′xx + p′zz
= p sin θP.M. x + p cos θP.M. z , (2.8)
dan dapat juga dinyatakan sebagai:
p′ =m2k
′1 −m1k
′2
m1 + m2
. (2.9)
4
Pada kerangka laboratorium vektor momentum awal hanya memiliki komponen
pada sumbu-z, sehingga vektor momentum akhir total juga hanya pada sumbu-
z, komponen sumbu-x dari vektor momentum akhir akan saling menghilangkan
(lihat gambar 2.1), sehingga:
k′2 x = −k′1 x (2.10)
Maka dengan memasukan persamaan (2.8) kedalam persamaan (2.9) dan dengan
kondisi (2.10), bisa didapatkan hubungan antara sudut hambur dalam kedua
kerangka:
θP.M. = θLab. + arcsin
(m1
m2
sin θLab.
)(2.11)
Menggunakan persamaan (2.2), (2.7) dan (2.11) di atas, bisa dilakukan transfor-
masi dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M., dan juga sebaliknya.
2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger
Interaksi antara proyektil dan target direpresentasikan dengan potensial di dalam
Hamiltonian. Maka Hamiltonian ditulis sebagai gabungan antara hamiltonian
partikel bebas dan komponen potensial,
H = H0 + V (2.12)
Dimana H0 adalah Hamiltonian partikel bebas,
H0 |φ〉 = E |φ〉 , (2.13)
dengan |φ〉 merupakan keadaan bebas (free state). Untuk keadaan hamburan
berlaku:
(H0 + V ) |ψ〉 = E |ψ〉 (2.14)
dengan |ψ〉 merupakan keadaan hamburan. Digunakan ansazt bahwa keadaan
hamburan:
|ψ〉 = |φ〉+ |χ〉 , (2.15)
dimana saat V = 0, maka |ψ〉 = |φ〉, tanpa adanya interaksi maka hamburan tidak
terjadi. Solusi keadaan hamburan didapatkan dengan mengerjakan persamaan
5
Schrodinger (2.14) dengan menggunakan ansazt (2.15):
E |χ〉 = H0 |χ〉+ V |φ〉+ V |χ〉|χ〉 =
1
E −H0
V |ψ〉 , (2.16)
sehingga:
|ψ〉 = |φ〉+1
E −H0
V |ψ〉= |φ〉+ G0(E)V |ψ〉 , (2.17)
dengan G0(E) merupakan Free Propagator:
G0(E) =1
E −H0
. (2.18)
Solusi pada persamaan (2.17) memiliki titik singular, yaitu pada E = H0, se-
hingga untuk menghindari singularitas ini nilai E dibuat sedikit kompleks, yaitu
E → E ± iε, dengan ε ≈ 0 [5]. maka persamaan (2.17) menjadi:
|ψ〉 = |φ〉+ limε→0
1
E ± iε−H0
V |ψ〉= |φ〉+ G±
0 (E)V |ψ〉 , (2.19)
dengan:
G±0 (E) = lim
ε→0
1
E ± iε−H0
(2.20)
Persamaan (2.19) disebut sebagai persamaan Lippmann-Schwinger untuk fungsi
gelombang.
Untuk menunjukan transisi dari keadaan awal ke keadaan akhir pada proses
hamburan, maka didefinisikan operator transisi, yaitu matriks-T:
T |φ〉 ≡ V |ψ〉 . (2.21)
Dengan memasukkan |ψ〉 pada persamaan (2.19) ke persamaan (2.21) diperoleh:
T |φ〉 = V |φ〉+ V G±0 (E)T |φ〉 (2.22)
Maka didapatkan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T:
T = V + V G±0 (E)T (2.23)
6
Gambar 2.2: Diagram hamburan dua partikel
Menurut persamaan (2.23) matriks-T merupakan deret tak hingga dari V ,
T = V + V G±0 V + V G±
0 V G±0 V + V G±
0 V G±0 V G±
0 V + · · · (2.24)
yang menunjukan bahwa hamburan yang terjadi tidak hanya hamburan tunggal,
namun juga hamburan berganda (multiple scattering). Lihat gambar (2.2) untuk
ilustrasi.
Keadaan hamburan |ψ〉 pada persamaan (2.19) bisa dievaluasi pada pilihan
basis tertentu, contohnya basis ruang konfigurasi:
〈r|ψ〉 = 〈r|p〉+⟨r∣∣G±
0 (E)V∣∣ ψ
⟩
= 〈r|p〉+
∫dr′
⟨r∣∣G±
0 (E)∣∣ r′⟩︸ ︷︷ ︸
Green′s Function
〈r′ |V |ψ〉 . (2.25)
Suku pertama persamaan di atas merupakan fungsi gelombang bebas berupa
fungsi gelombang bidang:
〈r|p〉 =1
(2π)3/2eip·r . (2.26)
Representasi free propagator dalam ruang konfigurasi dikenal sebagai Fungsi Green
partikel bebas [5]:⟨r∣∣G±
0 (E)∣∣ r′⟩ = −2µ
4π
e±ip′|r−r′|
|r− r′| (2.27)
Karena pada eksperimen hamburan titik pengamatan (detektor) diletakkan jauh
7
Gambar 2.3: Titik pengamatan
dari target, atau dalam skala partikel jarak titik pengamatan menuju tak hingga,
r → ∞, maka bisa dituliskan |r− r′| ' r − r · r′, (lihat gambar 2.3). Maka
persamaan (2.27) menjadi:
⟨r∣∣G±
0 (E)∣∣ r′⟩ = −2µ
4π
e±ipr
re∓ip′· r′ . (2.28)
Masukan persamaan (2.26) dan (2.28) ke persamaan (2.25) maka diperoleh:
ψ(r) =1
(2π)3/2
[eip· r − µ
√2π
e±ipr
r
∫dr′ e∓ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉
](2.29)
Fungsi gelombang di atas memiliki dua suku. Suku pertama ialah fungsi gelom-
bang datang, yang merupakan fungsi gelombang bidang. Sedangkan suku kedua
merupakan fungsi gelombang radial, yang harus menunjukan fungsi gelombang
terhambur. Karena fungsi gelombang terhambur haruslah mengarah keluar (out-
wards), maka solusi yang digunakan adalah solusi untuk E + iε. Oleh karena itu,
8
propagator yang digunakan dalam formulasi selanjutnya adalah G+0 (E).
ψ(r) =1
(2π)3/2
[eip· r − µ
√2π
eipr
r
∫dr′ e−ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉
]
=1
(2π)3/2
[eip· r − 4µπ2 eipr
r
∫dr′
1
(2π)3/2e−ip′· r′ 〈r′ |T |φ〉
]
=1
(2π)3/2
[eip· r − 4µπ2 eipr
r
∫dr′ 〈p′|r′〉 〈r′ |T |φ〉
]
=1
(2π)3/2
[eip· r − 4µπ2 eipr
r〈p′ |T |p〉
], (2.30)
|φ〉 merupakan keadaan bebas sistem dengan momentum p. Karena itu, pada
baris terakhir persamaan (2.30) |φ〉 diganti |p〉.Pada persamaan (2.30) terdapat suku 〈p′ |T |p〉 yang merupakan elemen matriks-
T dalam basis vektor momentum, ini merupakan matriks yang akan kami hitung.
Bila didefinisikan amplitudo hamburan f(p′,p) sebagai berikut:
f(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′ |T |p〉 , (2.31)
maka fungsi gelombang (2.30) menjadi:
ψ(r) =1
(2π)3/2
[eip·r +
eipr
rf(p′,p)
](2.32)
Formulasi di atas dikerjakan tanpa memasukan spin. Spin turut dimasukan
dalam perhitungan dengan menambahkan keadaan spin, baik pada keadaan bebas
maupun pada keadaan hamburan. Untuk sistem 2 partikel berspin 0 dan 12,
diperoleh spin total s = 12. Maka pada keadaan bebas dan keadaan hamburan
ditambahkan keadaan spin |n〉 sebagai berikut:
keadaan bebas: |φn〉 ≡ |φ〉 |n〉 (2.33)
keadaan hamburan: |ψn〉 ≡ |ψ〉 |n〉 , (2.34)
dengan |n〉 merupakan kombinasi linier dari∣∣12λ⟩, dengan λ = ±1
2merupakan
proyeksi spin pada sumbu kuantisasi (bilangan kuantum magnetik spin):
|n〉 =
12∑
λ=−12
anλ
∣∣12λ⟩
(2.35)
9
Setelah ditambah komponen spin, maka persamaan (2.19) menjadi:
|ψn〉 = |φn〉+ G+0 (E)V |ψn〉 . (2.36)
Bila keadaan hamburan dengan spin pada persamaan (2.36) direpresentasikan ke
ruang spasial:
〈r|ψn〉 = 〈r|φn〉+∑
λ′
∫dr′
⟨r∣∣G+
0 (E)∣∣ r′λ′⟩ 〈r′λ′ |T |φn〉 , (2.37)
karena propagator tidak bergantung pada keadaan spin, maka:
ψ(r) |n〉 =eip·r
(2π)3/2|n〉+
∑
λ′
∣∣12, λ′
⟩ ∫dr′
⟨r∣∣G+
0 (E)∣∣ r′⟩ 〈r′λ′ |T |pn〉
=eip·r
(2π)3/2|n〉 − µ
√2π
eipr
r
∑
λ′
∣∣12, λ′
⟩ 〈p′λ′ |T |pn〉
=1
(2π)3/2
[eip·r |n〉+
eipr
r
∑
λ′
∣∣12, λ′
⟩fλ′(p
′,p)
], (2.38)
dengan:
fλ′(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′λ′ |T |pn〉 . (2.39)
Bergantung pada potensial, dalam proses hamburan proyeksi spin pada sumbu
kuantisasi dapat berubah, sementara besar spin itu sendiri tetap, 12.
2.3 Observable
Matriks-T berhubungan dengan matriks hamburan M sebagai berikut:
Mλ′λ(p′,p) ≡ −4µπ2 〈p′λ′ |T |pλ〉 , (2.40)
sehingga amplitudo hamburan berhubungan dengan matriks hamburan M seba-
gai:
fλ′(p′,p) =
12∑
λ=−12
anλ Mλ′λ(p
′,p) . (2.41)
Observable proses hamburan diperoleh dari amplitudo hamburan. Karena ham-
buran bersifat elastik, maka p′ = p, sehingga:
fλ′(p′,p) = fλ′(pp
′, pz) (2.42)
10
Obervable dihitung menggunakan observable spin umum (gunakan cara dalam
Ref.[6] namun untuk sistem partikel berspin 0 dan 12) yaitu:
I 〈σµ〉f =1
2
∑α
〈σα〉i TrMσαM†σµ
. (2.43)
dengan:
σ0 =
(1 00 1
)σ1 =
(0 11 0
)σ2 =
(0 −ii 0
)σ3 =
(1 00 −1
)(2.44)
Apabila spin proyektil tidak terpolarisasi, dan keadaan spin partikel terham-
bur tidak diukur, maka diperoleh:
I0 =1
2Tr
MM† , (2.45)
yang disebut sebagai penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap
spin (spin averaged differential cross section). Sedangkan untuk mengetahui
apakah proses hamburan menyebabkan proyektil yang semula tidak terpolarisasi
menjadi terpolarisasi, maka spin partikel terhambur diukur. Menurut persamaan
(2.43) didapatkan:
I 〈σµ〉f =1
2Tr
MM†σµ
(µ = 1, 2, 3) , (2.46)
dan polarisasi partikel terhambur didefinisikan sebagai:
Pµ =1
2I0
TrMM†σµ
. (2.47)
Bila arah proyektil mula-mula ditentukan pada arah sumbu-z dan bidang ham-
buran pada bidang x-z, maka sesuai sifat invarian proses hamburan terhadap
paritas, polarisasi hanya ada pada arah normal hamburan [6], yaitu:
n ≡ k′ × k
|k′ × k| = y . (2.48)
Sehingga polarisasi pada arah normal (y) ialah:
Py =1
2I0
TrMM†σy
(σy = σ2) . (2.49)
11
2.4 Persamaan Lippman-Schwinger Dalam Ba-
sis Gelombang Parsial
Dalam fisika nuklir, khususnya bidang few body problem, representasi yang biasa
digunakan untuk menyelesaikan persamaan Lippmann - Schwinger yaitu repre-
sentasi gelombang parsial, dengan basis state∣∣p(l 1
2); jm
⟩. Pada basis ini nilai
momentum angular total J:
J = L + S , (2.50)
dan nilai m adalah proyeksi J pada sumbu-z. Lebih lanjut mengenai basis ini
dapat dilihat pada Lampiran A.
Elemen matriks-T dan potensial pada basis gelombang parsial:
⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |T | p(l 1
2); jm
⟩(2.51)
⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |V | p(l 1
2); jm
⟩(2.52)
Karena konservasi momentum angular total J, maka baik matriks pontensial
maupun matriks-T, bersifat diagonal untuk j dan m:
⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |V | p(l 1
2); jm
⟩= δjj′ δmm′V jm
l′l (p′, p) (2.53)⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |T | p(l 1
2); jm
⟩= δjj′ δmm′T jm
l′l (p′, p) , (2.54)
dengan:
V jml′l (p′, p) ≡ ⟨
p′(l′ 12); jm |V | p(l 1
2); jm
⟩(2.55)
T jml′l (p′, p) ≡ ⟨
p′(l′ 12); jm |T | p(l 1
2); jm
⟩. (2.56)
Dengan begitu persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T, persamaan
(2.23), pada basis gelombang parsial menjadi:
T jml′l (p′, p)
= V jml′l (p′, p) +
⟨p′(l′ 1
2); j′m′ ∣∣V G+
0 (E)T∣∣ p(l 1
2); jm
⟩
= V jml′l (p′, p) +
∑
j′′l′′m′′
∑
j′′′l′′′m′′′
∫ ∞
0
dp′′dp′′′p′′2p′′′2⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |V | p′′(l′′ 1
2); j′′m′′⟩
× ⟨p′′(l′′ 1
2); j′′m′′ ∣∣G+
0 (E)∣∣ p′′′(l′′′ 1
2); j′′′m′′′⟩ ⟨
p′′′(l′′′ 12); j′′′m′′′ |T | p(l 1
2); jm
⟩(2.57)
12
dengan kondisi pada persamaan (2.53) dan (2.54) maka:
T jml′l (p′, p) = V jm
l′l (p′, p) +∑
l′′l′′′
∫ ∞
0
dp′′dp′′′p′′2p′′′2 V j′m′l′l′′ (p′, p′′)
× ⟨p′′(l′′ 1
2); j′m′ ∣∣G+
0 (Ep)∣∣ p′′′(l′′′ 1
2); jm
⟩T jm
l′′′l(p′′′, p) . (2.58)
Selanjutnya perlu dicari elemen matriks dari propagator dalam basis gelombang
parsial∣∣p(l 1
2); jm
⟩. Karena propagator tidak berpengaruh pada spin, maka cukup
dikerjakan:
⟨p′′(l′′ 1
2); j′m′ ∣∣G+
0 (Ep)∣∣ p′′′(l′′′ 1
2); jm
⟩
=
∫dp′′dp′′′
⟨p′′(l′′ 1
2); j′m′|p′′⟩ 〈p′′ |G(Ep)|p′′′〉
⟨p′′′|p′′′(l′′′ 1
2); jm
⟩
= 2µ limε→0
∫dp′′dp′′′
⟨p′′(l′′ 1
2); j′m′|p′′⟩
⟨p′′′
∣∣∣∣1
p2 + iε− Op2
∣∣∣∣p′′⟩ ⟨
p′′′|p′′′(l′′′ 12); jm
⟩
= 2µδ(p′′ − p′′′)
p′′p′′′δj′jδm′mδl′′′l′′ lim
ε→0
1
p2 + iε− p′′2(2.59)
Dengan memasukan elemen matriks propagator dari persamaan (2.59), persamaan
(2.58) menjadi:
T jml′l (p′, p) = V jm
l′l (p′, p) + 2µ limε→0
∑
l′′
∫ ∞
0
dp′′p′′2V jm
l′l′′ (p′, p′′)
p2 + iε− p′′2T jm
l′′l (p′′, p) (2.60)
Persamaan di atas merupakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T
pada basis gelombang parsial.
Hubungan antara elemen matriksMλ′λ(p′,p) dan T jm
l′l (p′, p), didapatkan melalui
persamaan (2.40):
Mλ′λ(p′,p) = −4µπ2
∑
j′m′l′
∑
jml
C(l′ 12j′; m′ − λ′, λ′)C(l 1
2j; m− λ, λ)
⟨p′(l′ 1
2); j′m′ |T | p(l 1
2); jm
⟩Yl′,m′−λ′(p
′)Y ∗l,m−λ(p)
= −4µπ2∑
jmll′C(l′ 1
2j; m− λ′, λ′)C(l 1
2j; m− λ, λ)
T jml′l (p′, p) Yl′,m−λ′(p
′)Y ∗l,m−λ(p) . (2.61)
Untuk memudahkan pengerjaan maka ditentukan p = z, sehingga:
Y ∗l,m−λ(p) = Yl,m−λ(p) =
√2l + 1
4π, (2.62)
13
dengan m = λ. Sehingga persamaan (2.61) menjadi:
Mλ′λ(p′, pz) = −4µπ2
∑
jll′
√2l + 1
4πC(l′ 1
2j; λ− λ′, λ′)C(l 1
2j; 0, λ)
T jλl′l (p′, p) Yl′λ−λ′(p
′) . (2.63)
14
Bab 3
Formulasi Tiga Dimensi
Dalam penggunaan metode gelombang parsial, matriks T diselesaikan untuk se-
tiap nilai angular momentum j, dan perhitungan dilakukan hingga suatu nilai
jmax, dimana perhitungan konvergen. Untuk energi rendah hal ini tidak menjadi
masalah berarti, karena banyaknya nilai j yang diperhitungkan sedikit. Namun
pada energi tinggi metode gelombang parsial tidak lagi efisien, karena banyaknya
perhitungan yang harus dilakukan. Selain itu terdapatnya fungsi Legendre ter-
asosiasi pada formulasi amplitudo hamburan, persamaan (2.63), menyebabkan
penurunan tingkat akurasi perhitungan, karena osilasi yang besar dari fungsi
Legendre terasosiasi pada orde tinggi.
Dalam bab ini akan diformulasikan suatu teknik penyelesaian persamaan Lipp-
mann - Schwinger dengan menggunakan state vektor momentum |p〉 , sebagai ba-
sis untuk menyelesaikan persamaan Lippmann-Scwhinger. Teknik ini untuk se-
lanjutnya disebut teknik tiga dimensi (3D). Karena perhitungan dilakukan tanpa
menggunakan dekomposisi gelombang parsial, maka masalah diatas dapat dihin-
dari. Dimulai dengan mendefinisikan basis state yang akan digunakan, yaitu basis
state momentum-helicity, serta membahas sifat-sifat basis tersebut. Basis state
momentum-helicity dibentuk dari state vektor momentum dan state helicity yang
merepresentasikan keadaan spin. State helicity digunakan untuk mempermudah
pengerjaan [7], karena state ini merupakan eigenstate dari operator helicity σ · p,
yang terdapat pada potensial yang diturunkan dalam ruang momentum.
15
3.1 Basis Momentum-Helicity
Basis state momentum-helicity dibentuk dari state vektor momentum dan state
helicity. Helicity adalah proyeksi spin pada vektor momentum. Eigenstate he-
licity didapatkan dengan memutar eigenstate spin, yang dikuantisasi pada arah
sumbu-z, ke arah momentum
∣∣p12λ⟩
= R(p)∣∣z 1
2λ⟩
, (3.1)
Dengan operator rotasi R adalah:
R(p) = e−iSzφe−iSyθ . (3.2)
Completness relation dan Orthogonalitas state helicity ini:
∑
λ
∣∣p12λ⟩ ⟨
p12λ∣∣ = 1 (3.3)
⟨p1
2λ′|p1
2λ⟩
=⟨z 1
2λ′
∣∣R−1(p)R(p)∣∣ z 1
2λ⟩
=⟨z 1
2λ′|z 1
2λ⟩
= δλ′λ . (3.4)
Dengan menggabungkan state helicity pada persamaan (3.1) di atas dengan state
vektor momentum maka bisa didefinisikan basis momentum-helicity :
∣∣p; p12λ⟩ ≡ |p〉
∣∣p12λ⟩
(3.5)
Tapi basis diatas tidak memiliki paritas yang jelas. Kini perlu didefinisikan basis
yang memiliki paritas yang jelas:
∣∣p; p12λ⟩
π=
1√2(1 + ηπP)
∣∣p; p12λ⟩
. (3.6)
dengan eigenvalue paritas ηπ = ±1. Bila operator paritas dioperasikan ke basis
tersebut diperoleh:
P∣∣p; p1
2λ⟩
π=
1√2(P + ηπ)
∣∣p; p12λ⟩
=1√2
ηπ(ηπP + 1)∣∣p; p1
2λ⟩
= ηπ
∣∣p; p12λ⟩
π. (3.7)
16
Persamaan (3.7) membuktikan bahwa basis momentum-helicity pada persamaan
(3.6) memiliki paritas yang jelas. Orthogonalitas dari basis ini:
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π
= 12
⟨p′; p′ 1
2λ′ |(1 + ηπ′P)(1 + ηπP)|p; p1
2λ⟩
= 12
⟨p′; p′ 1
2λ′
∣∣ (1 + ηπ′P) ∣∣p; p1
2λ⟩
+ ηπ
∣∣−p; p12λ⟩
= 12
⟨p′; p′ 1
2λ′
∣∣ ∣∣p; p1
2λ⟩
+ ηπ
∣∣−p; p12λ⟩
+ ηπ′∣∣−p; p1
2λ⟩
+ ηπηπ′∣∣p; p1
2λ⟩
= 12
[(1 + ηπηπ′) 〈p′|p〉
⟨p′ 1
2λ′|p1
2λ⟩
+ (ηπ′ + ηπ) 〈p′| − p〉 ⟨p′ 12λ′|p1
2λ⟩ ]
(3.8)
Untuk dapat menyelesaikan persamaan (3.8) diperlukan hubungan antara∣∣−p1
2λ⟩
dan∣∣p1
2λ⟩. Dengan menggunakan sifat fungsi-D Wigner[8] berikut:
Djm′m(r) = i Dj
m′−m(−r) , (3.9)
dengan i =√−1. Lebih lanjut tetang fungsi-D Wigner dapat dilihat pada lam-
piran B. Maka bisa didapatkan hubungan:
∣∣−p12λ⟩
= R(−p)∣∣z 1
2λ⟩
=∑
λ′D
12λ′λ(−p)
∣∣z 12λ′
⟩
= i∑
λ′D
12λ′,−λ(p)
∣∣z 12λ′
⟩
= i∣∣p1
2,−λ
⟩(3.10)
Sehingga hubungan Orthogonalitas (3.8) dapat diselesaikan:
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π
= 12
[(1 + ηπηπ′) 〈p′|p〉
⟨p′ 1
2λ′|p1
2λ⟩− i(ηπ′ + ηπ) 〈p′| − p〉 ⟨p′ 1
2λ′| − p1
2− λ
⟩ ]
= 12
[(1 + ηπηπ′)δ(p
′ − p)δλ′λ − i(ηπ′ + ηπ)δ(p′ + p)δλ′,−λ
]
= δηπ′ηπ
[δ(p′ − p)δλ′λ − i ηπ δ(p′ + p)δλ′,−λ
]. (3.11)
Sedangkan untuk Completness relation, digunakan:
∑
πλ
∫dp
∣∣p; p12λ⟩
πρ
π
⟨p; p1
2λ∣∣ = 1 , (3.12)
17
dengan ρ adalah faktor normalisasi, yang nilainya dicari melalui:
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π
=∑
π′′λ′′
∫dp′′
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p′′; p′′ 1
2λ′′
⟩π′′ ρπ′′
⟨p′′; p′′ 1
2λ′′|p; p1
2λ⟩
π
= ρ∑
π′′λ′′
∫dp′′
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p′′; p′′ 1
2λ′′
⟩π′′
× δηπ′′ηπ
[δ(p− p′′)δλλ′′ − i ηπ′ δ(p + p′′)δλ,−λ′′
]
= ρ[
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π− i ηπ π′
⟨p′; p′ 1
2λ′| − p;−p1
2− λ
⟩π
]
= ρ[
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π− i ηπ π′
⟨p′; p′ 1
2λ′ |P|p;−p1
2− λ
⟩π
]
= ρ[
π′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π− i ηπ π′
⟨p′; p′ 1
2λ′ |i ηπ|p; p1
2λ⟩
π
]
= 2ρπ′⟨p′; p′ 1
2λ′|p; p1
2λ⟩
π. (3.13)
Sehingga didapatkan faktor normalisasi ρ = 12,
∑
πλ
∫dp
∣∣p; p12λ⟩
π
1
2 π
⟨p; p1
2λ∣∣ = 1 (3.14)
3.2 Struktur Umum Potensial
Kami asumsikan V invarian terhadap operasi paritas PV P−1 = V . Elemen
matriks potensial pada basis momentum-helicity, yaitu:
V πλ′λ(p
′,p) ≡π
⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2λ⟩
π
=1√2
⟨p′; p′ 1
2λ′ |(1 + ηπP)V |p; p1
2λ⟩
π
=1√2
⟨p′; p′ 1
2λ′ |V (1 + ηπP)|p; p1
2λ⟩
π
=√
2⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2λ⟩
π, (3.15)
Dengan persamaan (3.15) di atas, bisa ditentukan hubungan antara V πλ′−λ(p
′,p)
18
dan V πλ′λ(p
′,−p) sebagai berikut:
V πλ′−λ(p
′,p) =√
2⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2− λ
⟩π
=⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2− λ
⟩+ ηπ
⟨p′; p′ 1
2λ′ |V | − p; p1
2− λ
⟩
= −i⟨p′; p′ 1
2λ′ |V P| − p;−p1
2λ⟩− i ηπ
⟨p′; p′ 1
2λ′ |V | − p;−p1
2λ⟩
= −i ηπ
[ ⟨p′; p′ 1
2λ′ |V ηπP| − p;−p1
2λ⟩
+⟨p′; p′ 1
2λ′ |V | − p;−p1
2λ⟩ ]
= −i ηπ
√2⟨p′; p′ 1
2λ′ |V | − p;−p1
2λ⟩
π
= −i ηπ V πλ′λ(p
′,−p) . (3.16)
Hubungan V π−λ′λ(p
′,p) dengan V πλ′λ(−p′,p) diperoleh sebagai berikut:
V π−λ′λ(p
′,p) =√
2⟨p′; p′ 1
2− λ′ |V |p; p1
2λ⟩
π
=√
2 i⟨p′;−p′ 1
2λ′
∣∣PV P−1∣∣p; p1
2λ⟩
π
=√
2 i ηπ
⟨−p′;−p′ 12λ′ |V |p; p1
2λ⟩
π
= i ηπ V πλ′λ(−p′,p) . (3.17)
Dengan cara yang sama bisa didapatkan:
V π−λ′−λ(p
′,p) = V πλ′λ(−p′,−p) (3.18)
Persamaan (3.16), (3.17) dan (3.18) menunjukan sifat simetri dari matriks poten-
sial dalam basis momentum-helicity. Sifat simetri ini juga berlaku untuk sem-
barang operator yang invarian terhadap operasi paritas, seperti matriks T .
Bentuk potensial yang dipilih di sini adalah salah satu bentuk yang sederhana,
yaitu:
V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p
′,p) s · (p× p′) , (3.19)
yang dalam ruang spasial dapat dituliskan:
V (r) = Vc(r) + Vs(r) l · s , (3.20)
dengan l = r × p. Potensial tersebut jelas invarian terhadap rotasi. Bentuk
potensial seperti di atas juga invarian terhadap operasi pembalikan waktu (time
reversal). Operasi pembalikan waktu akan mengakibatkan: p → −p′, p′ → −p
dan s → −s , sehingga:
−s · (−p′ ×−p) = s · (p× p′) . (3.21)
19
Potensial (3.19) juga invarian terhadap operasi paritas. Operasi paritas akan
mengakibatkan: p → −p, p′ → −p′ dan s → s, sehingga:
s · (−p×−p′) = s · (p× p′) . (3.22)
Untuk memudahkan pengerjaan, potensial (3.19) di atas perlu diubah kedalam
bentuk potensial yang terdiri dari operator helicity σ · p, dimana σ merupakan
matriks Pauli. Sebelumnya perlu dikerjakan hubungan antara s · (p × p′) dan
(σ · p′)(σ · p), yaitu:
s · (p× p′) = 12σ · (p× p′)
=−i
2
p′ · p− (σ · p′)(σ · p)
=−i
2p′p
α′ − (σ · p′)(σ · p)
, (3.23)
dimana α′ = p′ · p. Lebih lengkap mengenai transformasi ini bisa dilihat pa-
da lampiran C. Dengan hubungan (3.23) di atas maka potensial (3.19) dapat
dituliskan sebagai:
V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p
′,p)
[−i
2p′p
α′ − (σ · p′)(σ · p)
]
= fcs(p′,p) + fs(p
′,p)(σ · p′)(σ · p) , (3.24)
dengan
fcs(p′,p) ≡ Vc(p
′,p)− i
2p′p α′Vs(p
′,p) , (3.25)
dan,
fs(p′,p) ≡ i
2p′p Vs(p
′,p) . (3.26)
Untuk mencari matriks potensial pada basis momentum-helicity, dikerjakan
potensial (3.24) menggunakan basis pada persamaan (3.5) sebagai permulaan,
sehingga didapatkan:
Vλ′λ(p′,p) ≡ ⟨
p′; p′ 12λ′ |V |p; p1
2λ⟩
=⟨p′ 1
2λ′ |V (p′,p)| p1
2λ⟩
= fcs(p′, p, α′)
⟨p′ 1
2λ′|p1
2λ⟩
+ fs(p′, p, α′)
⟨p′ 1
2λ′ |(σ · p′)(σ · p)| p1
2λ⟩
=
[fcs(p
′, p, α′) + 4fs(p′, p, α′) λ′λ
] ⟨p′ 1
2λ′|p1
2λ⟩
, (3.27)
20
bila didefinisikan:
F (p′, p, α′, λ′, λ) ≡ fcs(p′, p, α′) + 4λ′λ fs(p
′, p, α′) (3.28)
Persamaan (3.27) dapat ditulis:
Vλ′λ(p′,p) = F (p′, p, α′, λ′, λ)
⟨p′ 1
2λ′|p1
2λ⟩
. (3.29)
Selanjutnya potensial (3.24) dievaluasi menggunakan basis momentum-helicity pa-
da persamaan (3.6), sehingga didapatkan:
V πλ′λ(p
′,p) =√
2⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2λ⟩
π
=⟨p′; p′ 1
2λ′ |V |p; p1
2λ⟩− iηπ
⟨p′; p′ 1
2λ′ |V | − p;−p1
2− λ
⟩
= Vλ′λ(p′,p)− i ηπ Vλ′,−λ(p
′,−p)
= F (p′, p, α′, λ′, λ) 〈p′λ′|pλ〉 − iηπF (p′, p,−α′, λ′,−λ) 〈p′λ′| − p− λ〉=
[F (p′, p, α′, λ′, λ) + ηπF (p′, p,−α′, λ′,−λ)
]〈p′λ′|pλ〉 . (3.30)
Dapat dilihat bahwa matriks potensial ini bergantung terhadap sudut melalui α′
dan 〈p′λ′|pλ〉, seperti ditunjukkan sebagai berikut:
α′ = p′ · p = cos θ′ cos θ + sin θ′ sin θ cos(φ′ − φ) , (3.31)
sedangkan untuk 〈p′λ′|pλ〉 digunakan fungsi-D Wigner, sehingga didapatkan:
〈p′λ′|pλ〉 =∑m
ei m(φ′−φ) d12mλ′(θ
′) d12mλ(θ) , (3.32)
karena fungsi-D Wigner dapat dituliskan sebagai:
Djm′m(θ, φ) = e−im′φ dj
m′m(θ) . (3.33)
Untuk nilai j = 12
maka matriks-d ialah [8] :
d12 (θ) =
cosθ
2− sin
θ
2
sinθ
2cos
θ
2
(3.34)
Oleh karena itu, matriks potensial bergantung pada sudut azhimut φ dan φ′
melalui cos(φ′− φ) dan ei m(φ′−φ). Maka, untuk memperlihatkan kebergantungan
matriks potensial terhadap sudut azimuth, dapat ditulis sebagai:
V πλ′λ(p
′,p) = V πλ′λ
eim(φ′−φ), cos(φ′ − φ)
. (3.35)
21
3.3 Persamaan Lippmann-Schwinger
Pada sub-bab sebelumnya telah didapatkan elemen matriks potensial pada basis
momentum-helicity, sifat simetrinya dan bagaimana matriks potensial tersebut
bergantung pada sudut. Dengan hasil tersebut, pada sub-bab ini kami akan
menghitung elemen matriks-T pada basis momentum-helicity. Elemen matriks-T
pada basis momentum-helicity didefinisikan sebagai:
T πλ′λ(p
′,p) ≡π
⟨p′; p′ 1
2λ′ |T |p; p1
2λ⟩
π. (3.36)
Karena persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T dapat dilihat se-
bagai ekspansi matriks-T dalam potensial V, seperti yang ditunjukan pada per-
samaan (2.24), maka sifat matriks potensial juga akan dimiliki oleh matriks-T,
seperti sifat simetrisitas matriks potensial pada persamaan (3.16), (3.17) dan
(3.18) :
T πλ′−λ(p
′,p) = −i ηπT πλ′λ(p
′,−p) (3.37)
T π−λ′λ(p
′,p) = iηπT πλ′λ(−p′,p) (3.38)
T π−λ′−λ(p
′,p) = T πλ′λ(−p′,−p) , (3.39)
Begitu pula untuk kebergantungan matriks-T terhadap sudut, karena propaga-
tor tidak bergantung sudut, sama seperti yang dimiliki matriks potensial pada
persamaan (3.35). Sehingga kebergantungan matriks-T terhadap sudut azimuth
ialah:
T πλ′λ(p
′,p) = T πλ′λ
eim(φ′−φ), cos(φ′ − φ)
. (3.40)
Menggunakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T persamaan
(2.23) dan completeness relation pada persamaan (3.14), didapatkan persamaan
Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis momentum-helicity, sebagai
berikut:
T πλ′,λ(p
′,p) = V πλ′,λ(p
′,p) +π
⟨p′; p′ 1
2λ′
∣∣V G+0 (p)T
∣∣p; p12λ⟩
π
= V πλ′,λ(p
′,p) +1
2
∑
λ′′
∫dp′′ V π
λ′,λ′′(p′,p′′)G+
0 (p′′)T πλ′′,λ(p
′′,p) (3.41)
Pada persamaan (3.41) di atas nilai λ′′ = ±12
. Menggunakan sifat simetri matriks
potensial, yaitu persamaan (3.16), dan sifat simetri matriks-T, yaitu persamaan
22
(3.38), bagian integral dari persamaan (3.41) untuk nilai λ′′ = −12, dapat diker-
jakan sebagai:∫
dp′′ V π
λ′,−12
(p′,p′′)G+0 (p′′)T π
−12
,λ(p′′,p)
=
∫dp′′ V π
λ′,12
(p′,−p′′)G+0 (p′′)T π
12
,λ(−p′′,p)
=
∫dp′′ V π
λ′,12
(p′,p′′)G+0 (p′′)T π
12
,λ(p′′,p) (3.42)
Persamaan terakhir didapat karena integral di atas dievaluasi pada seluruh nilai
p′′. Dengan hasil dari persamaan (3.42), maka persamaan (3.41) dapat diseder-
hanakan menjadi:
T πλ′,λ(p
′,p) = V πλ′,λ(p
′,p) +
∫dp′′ V π
λ′,12
(p′,p′′)G+0 (p′′)T π
12
,λ(p′′,p) . (3.43)
Persamaan ini adalah persamaan Lippmann-Scwhinger untuk matriks-T pada
basis momentum-helicity.
Pada kondisi awal kami tentukan p = z. Maka:
α′ = cos θ′ , (3.44)
dan
〈p′λ′|zλ〉 =∑m
eim(φ′) d12mλ′(θ
′) d12mλ(0)
= eiλφ′ d12λλ′(θ
′) , (3.45)
sehingga bagian sudut azimuth dari matriks potensial, yang telah didapatkan
pada persamaan (3.35), dapat ditulis sebagai:
V πλ′λ(p
′, pz) = eiλφ′V πλ′λ(p
′, p, α′) . (3.46)
Sedangkan untuk matriks-T, kebergantungannya pada sudut azimuth, yang telah
dinyatakan pada persamaan (3.40), menjadi:
T πλ′λ(p
′, pz) = eiλφ′T πλ′λ(p
′, p, α′) (3.47)
Maka persamaan (3.43) menjadi:
T πλ′,λ(p
′, pz) = V πλ′,λ(p
′, pz) +
∫dp′′ V π
λ′,12
(p′,p′′) G+0 (p′′) T π
12
,λ(p′′, pz) . (3.48)
23
Dengan menggunakan persamaan (3.46), (3.47) dan dengan mendefinisikan:
α′′ = p′′ · p = cos θ′′ (3.49)
β = p′′ · p′ = cos θ′ cos θ′′ + sin θ′ sin θ′′ cos(φ′′ − φ′)
= α′α′′ +√
1− α′2√
1− α′′2 cos(φ′′ − φ′) , (3.50)
persamaan (3.48) menjadi:
T πλ′,λ(p
′, pz) = eiλφ′ V πλ′,λ(p
′, p, α′) +
∫ ∞
0
dp′′p′′2∫ 1
−1
dα′′∫ 2π
0
dφ′′
× V π
λ′,12
p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β
G+
0 (p′′) eiλφ′′ T π12
,λ(p′′, p, α′′)
= eiλφ′[V π
λ′,λ(p′, p, α′) +
∫ ∞
0
dp′′p′′2∫ 1
−1
dα′′∫ 2π
0
dφ′′
× V π
λ′,12
p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β
G+
0 (p′′) eiλ(φ′′−φ′) T π12
,λ(p′′, p, α′′)
]
= eiλφ′ T πλ′λ(p
′, p, α′) (3.51)
dengan T πλ′λ(p
′, p, α′) memenuhi persamaan berikut:
T πλ′,λ(p
′, pz) = V πλ′,λ(p
′, p, α′) +
∫ ∞
0
dp′′p′′2∫ 1
−1
dα′′∫ 2π
0
dφ′′
× V π
λ′,12
p′, p′′, eim(φ′−φ′′), β
G+
0 (p′′) eiλ(φ′′−φ′) T π12
,λ(p′′, p, α′′)
(3.52)
Pada persamaan (3.51) di atas bagian yang bergantung pada sudut azimuth
φ′′ dapat dipisahkan dengan mendefinisikan:
Vπ
λ′ 12
(p′, p′′, α′, α′′) ≡∫ 2π
0
dφ′′ eiλ(φ′′−φ′)V π
λ′ 12
(p′,p′′) . (3.53)
Dan untuk suku V πλ′,λ(p
′, p, α′) digunakan:
Vπλ′λ(p
′, p, α′, 1) =
∫ 2π
0
dφ′′ e−iλφ′V πλ′λ(p
′, pz) = (2π)V πλ′,λ(p
′, p, α′) . (3.54)
Sehingga persamaan untuk T πλ′λ(p
′, p, α′) pada persamaan (3.51) ialah:
T πλ′λ(p
′, p, α′) =1
2πVπ
λ′λ(p′, p, α′, 1)
+
∫ ∞
0
dp′′p′′2∫ 1
−1
dα′′ Vπ
λ′ 12
(p′, p′′, α′, α′′)G+0 (p′′)T π
12
,λ(p′′, p, α′′)
(3.55)
24
Persamaan (3.55) merupakan bentuk akhir dari persamaan Lippmann-Schwinger
untuk matriks-T pada basis momentum-helicity yang akan dipecahkan. Untuk
setiap keadaan paritas ηπ diperlukan 2 persamaan, masing-masing untuk men-
cari T π12
12
(p′, p, α′) dan T π12
,−12
(p′, p, α′). Sehingga untuk semua keadaan paritas
diperlukan 4 persamaan. Namun akan kami tunjukan di bawah, bahwa dengan
memanfaatkan sifat simetri dari matriks-T πλ′λ(p
′, p, α′) diperlukan hanya 2 per-
samaan saja.
Dengan menggunakan sifat simetri pada persamaan (3.38) pada persamaan
(3.47) bisa didapatkan:
T π−λ′λ(p
′, p, α′) = e−iλφ′T π−λ′λ(p
′, pz)
= iηπ e−iλφ′T πλ′λ(−p′, pz)
= iηπ e−iλφ′eiλ(φ′+π)T πλ′λ(p
′, p,−α′)
= (−)λiηπ T πλ′λ(p
′, p,−α′) (3.56)
sedangkan dengan menggunakan sifat simetri pada persamaan (3.37) didapatkan
hubungan berikut:
T πλ′,−λ(p
′, p, α′) = eiλφ′T πλ′,−λ(p
′, pz)
= −iηπ eiλφ′T πλ′λ(p
′,−pz) , (3.57)
untuk menyelesaikan persamaan (3.57) di atas, maka digunakan sifat seperti yang
ditunjukan dalam persamaan (3.30) untuk matriks V, dimana bagian dari matriks
V (matriks-T) yang bergantung terhadap momentum dan spin dapat dipisahkan.
T πλ′λ(p
′,p) ∼ fπ(p′,p) 〈p′λ′|pλ〉 , (3.58)
dengan fπ(p′,p) merupakan bagian yang bergantung terhadap momentum. Deng-
an sifat ini maka:
T πλ′λ(p
′,−pz) ∼ fπ(p′,−pz) 〈p′λ′| − zλ〉 , (3.59)
dan dengan sifat parity invariance dari matriks-T, didapatkan:
T πλ′λ(p
′,−pz) ∼ fπ(−p′, pz) 〈p′λ′| − zλ〉 , (3.60)
25
untuk bagian yang bergantung pada spin digunakan:
〈p′λ′| − zλ〉 =∑m
eim(φ′−π)d12mλ′(θ
′)d12mλ(π)
=∑m
eim(φ′−π)d12mλ′(θ
′)(−)−12−λδ−m,λ
= e−iλ(φ′−π)d12−λ,λ′(θ
′)(−)−12−λ
= e−iλ(φ′+π)e2iλπd12λ,λ′(π − θ′)(−)−
12−λ(−)
12+λ′
= (−)(−)λ′−λe−iλ(φ′+π)d12λ,λ′(π − θ′)
= (−)(−)λ′e−iλφ′d12λ,λ′(π − θ′) , (3.61)
dan dengan memasukan kembali ke persamaan (3.60):
T πλ′λ(p
′,−pz) ∼ (−)(−)λ′e−iλφ′fπ(−p′, pz)d12λ,λ′(π − θ′) (3.62)
menggunakan persamaan (3.47), maka:
T πλ′λ(p
′,−pz) = (−)(−)λ′e−iλφ′T πλ′λ(p
′, p′,−α) . (3.63)
Dengan memasukan T πλ′λ(p
′,−pz) dari persamaan (3.63) kedalam persamaan
(3.57) bisa didapatkan hubungan:
T πλ′,−λ(p
′, p, α′) = (−)λ′iηπ T πλ′λ(p
′, p′,−α) . (3.64)
Dengan menggunakan persamaan (3.56) dan persamaan (3.64), bisa didapatkan
hubungan:
T π−λ′,−λ(p
′, p, α′) = −T πλ′,λ(p
′, p, α′) . (3.65)
3.4 Elemen Matriks MDalam menghitung matriks M pada persamaan (2.40), digunakan sumbu-z seba-
gai sumbu kuantisasi spin. Maka diperlukan hubungan antara elemen matriks-T
dalam basis momentum-helicity dan elemen matriks-T dalam basis berikut:
|pν〉 ≡ |p〉∣∣12
ν⟩
, (3.66)
26
dengan∣∣12
ν⟩
yaitu keadaan spin dengan sumbu kuantisasi pada arah z. Elemen
matriks-T dalam basis ini yaitu:
Tν′ν(p′,p) ≡ 〈p′ν ′ |T |pν〉 . (3.67)
Kemudian, untuk dapat menghubungkannya dengan elemen matriks-T dalam
basis momentum-helicity, perlu dikerjakan overlap berikut:
⟨p1
2λ|z 1
2ν⟩
=⟨z 1
2λ
∣∣R−1(p)∣∣ z 1
2ν⟩
= D12∗
νλ (p)
= eiνφd12νλ(θ) (3.68)
Menggunakan hasil dari persamaan (3.68) di atas, serta dengan completness re-
lation (3.14), didapatkan:
Tν′ν(p′,p)
=1
4
∑
πλ′λ
∫dp′′dp′′′
⟨p′ν ′|p′′; p′′ 1
2λ′
⟩π
T πλ′λ(p
′′,p′′′)π
⟨p′′′; p′′′ 1
2λ|pν
⟩
=1
8
∑
πλ′λ
∫dp′′dp′′′
⟨p′ν ′|p′′; p′′ 1
2λ′
⟩+ ηπ
⟨p′ν ′| − p′′; p′′ 1
2λ′
⟩T π
λ′λ(p′′,p′′′)
× ⟨
p′′′; p′′′ 12λ|pν
⟩+ ηπ
⟨−p′′′; p′′′ 12λ|pν
⟩
=1
8
∑
πλ′λ
∫dp′′dp′′′
[δ(p′ − p′′) + ηπδ(p′ + p′′)
]D
12ν′λ′(p
′′) T πλ′λ(p
′′,p′′′)
×[δ(p− p′′′) + ηπδ(p + p′′′)
]D
12∗
νλ (p′′′)
=1
8
∑
πλ′λ
[D
12ν′λ′(p
′) T πλ′λ(p
′,p) D12∗
νλ (p) + ηπD12ν′λ′(−p′) T π
λ′λ(−p′,p) D12∗
νλ (p)
+ ηπD12ν′λ′(p
′)T πλ′λ(p
′,−p) D12∗
νλ (−p) + D12ν′λ′(−p′) T π
λ′λ(−p′,−p)D12∗
νλ (−p)
]
=1
8
∑
πλ′λ
D12ν′λ′(p
′) D12∗
νλ (p)[
T πλ′λ(p
′,p) + i ηπ T π−λ′λ(−p′,p)
− i ηπ T πλ′−λ(p
′,−p) + T π−λ′−λ(−p′,−p)
]. (3.69)
Dengan sifat simetri matriks-T, yaitu persamaan (3.37), (3.38) dan (3.39), per-
samaan (3.69) menjadi:
Tν′ν(p′,p) =
1
2
∑
πλ′λ
D12ν′λ′(p
′) D12∗
νλ (p) T πλ′λ(p
′,p) (3.70)
27
Selanjutnya, dengan kondisi p = z, persamaan (3.70) menjadi:
Tν′ν(p′, pz) =
1
2e−iν′φ′
∑
πλ′λ
d12ν′λ′(θ
′) δλν eiλφ′ T πλ′λ(p
′, p, α′)
=1
2e−i(ν′−ν)φ′
∑
πλ′d
12ν′λ′(θ
′) T πλ′ν(p
′, p, α′) (3.71)
Dengan memasukan persamaan (3.71) ke persamaan (2.40), didapatkan ele-
men matriks M sebagai berikut:
Mν′ν(p′, pz) = −2µπ2 e−i(ν′−ν)φ′
∑
πλ′d
12ν′λ′(θ
′) T πλ′ν(p
′, p, α′) (3.72)
3.5 Hubungan Dengan Elemen Matriks-T Dalam
Basis Gelombang Parsial
Pada sub-bab ini kami tunjukan hubungan antara elemen matriks-T dalam basis
momentum-helicity T πλ′λ(p
′,p) dan elemen matriks-T dalam basis gelombang
parsial T jml′l (p′,p). Dengan menggunakan completness relation basis gelombang
parsial, dapat dilihat pada lampiran A, didapatkan hubungan berikut:
T πλ′λ(p
′,p) =∑
j′l′m′
∑
jlm
∫ ∞
0
p′′′2dp′′′∫ ∞
0
p′′2dp′′π
⟨p′; p′λ′|p′′′(l′ 1
2); j′m′⟩
⟨p′′′′(l′ 1
2); j′m′ |T | p′′(l 1
2); jm
⟩ ⟨p′′(l 1
2); jm|p; pλ
⟩π
. (3.73)
Untuk mengerjakan persamaan (3.73), perlu diformulasikan overlap antara basis
momentum-helicity dengan basis gelombang parsial:
⟨p(l 1
2); jm|p′; p′λ′⟩ =
∑µ
C(l 12j; m− µ, µ) 〈plm− µ|p′〉 ⟨1
2µ|p′, 1
2λ′
⟩
=∑
µ
C(l 12j; m− µ, µ)
δ(p′ − p)
p′pY ∗
lm−µ(p′) D12µλ′(p
′) (3.74)
28
Dengan overlap pada persamaan (3.74), serta konservasi nilai j dan m, yang
diperlihatkan pada persamaan (2.54), maka didapatkan:
T πλ′λ(p
′,p) =1
2
∑
jmll′
∫ ∞
0
p′′′2dp′′′∫ ∞
0
p′′2dp′′ T jml′l (p′′′, p′′)
δ(p′′′ − p′)p′′′p′
δ(p′′ − p)
p′′p
×∑
µ′C(l′ 1
2j; m− µ′, µ′)D
12∗
µ′λ′(p′)[Yl′,m−µ′(p
′) + ηπYl′,m−µ′(−p′)]
×∑
µ
C(l 12j; m− µ, µ)D
12µλ(p)
[Y ∗
l,m−µ(p) + ηπY ∗l,m−µ(−p)
](3.75)
karena Ylm(−r) = (−)l Ylm(r), maka persamaan (3.75) menjadi:
T πλ′λ(p
′,p) =1
2
∑
jmll′T jm
l′l (p′, p)(1 + ηπ(−)l′
)(1 + ηπ(−)l
)
×∑
µ′C(l′ 1
2j; m− µ′, µ′)D
12∗
µ′,λ′(p′) Yl′m−µ′(p
′)
×∑
µ
C(l 12j; m− µ, µ)D
12µ,λ(p) Y ∗
lm−µ(p) . (3.76)
Pada persamaan di atas terdapat syarat, yaitu:
ηπ(−)l = 1 dan ηπ(−)l′ = 1 , (3.77)
maka untuk keadaan paritas ganjil hanya nilai l dan l’ ganjil yang berkontribusi,
dan sebaliknya untuk paritas genap, hanya nilai l dan l’ genap yang berkontribusi.
faktor(1+ηπ(−)l′
)dan
(1+ηπ(−)l
)bersama-sama memberikan nilai 4, sehinga
persamaan (3.76) menjadi:
T πλ′λ(p
′,p) = 2∑
jmll′T jm
l′l (p′, p)∑
µ′C(l′ 1
2j; m− µ′, µ′)D
12∗
µ′,λ′(p′) Yl′m−µ′(p
′)
×∑
µ
C(l 12j; m− µ, µ)D
12µ,λ(p) Y ∗
lm−µ(p) . (3.78)
Dengan memasukan kondisi p = z, didapatkan:
T πλ′λ(p
′, pz) = 2∑
jll′T jλ
l′l (p′, p)
√2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
×∑
µ′C(l′ 1
2j; λ− µ′, µ′)D
12∗
µ′,λ′(p′) Yl′,λ−µ′(p
′) . (3.79)
29
Sebagai pengujian terhadap hubungan (3.79), yang berarti juga pengujian
untuk formulasi elemen matriks-T dalam basis momentum-helicity, persamaan
(3.79) dimasukan ke persamaan (3.70), sehingga menghasilkan:
Tν′ν(p′, pz) =
∑
jll′
√2l + 1
4π
∑
λ′λ
T jλl′l (p′, p) C(l 1
2j; 0, λ)
×∑
µ′C(l′ 1
2j; λ− µ′, µ′)D
12∗
µ′,λ′(p′) Yl′,λ−µ′(p
′)D12ν′λ′(p
′) δνλ , (3.80)
dengan menggunakan sifat matriks-D Wigner sebagai berikut:
∑m
Dj ∗m′m(r)Dj
m′′m(r) = δm′′m′ , (3.81)
persamaan (3.80) menjadi:
Tν′ν(p′, pz) =
∑
jll′T jν
l′l (p′, p)
√2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, ν)C(l′ 1
2j; ν − ν ′, ν ′)Yl′,ν−ν′(p
′).
(3.82)
Persamaan (3.82) dimasukan ke persamaan (2.40), maka dihasilkan
Mν′ν(p′, pz) = −4µπ2
∑
jll′T jν
l′l (p′, p)
√2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, ν)
× C(l′ 12j; ν − ν ′, ν ′) Yl′,ν−ν′(p
′) . (3.83)
Persamaan (3.83) identik dengan persamaan (2.63). Hal ini menunjukan bahwa
elemen matriks-T yang kami hitung, dengan teknik 3D, menghasilkan besaran
yang dapat diamati yang sama dengan yang dihasilkan pada teknik gelombang
parsial.
3.6 Kinematika Relativistik
Teknik 3D diformulasi karena kebutuhan akan suatu teknik perhitungan alternatif
untuk hamburan pada energi tinggi. Karena pada energi tinggi efek relativitas
berpengaruh cukup signifikan, maka perlu diperhitungkan. Di sini hanya akan
dilihat efek kinematika relativistik. Untuk memasukan efek kinematika relativis-
tik, digunakan hubungan relativistik energi dan momentum:
E2 = p2 + m2 , (3.84)
30
serta transformasi Lorentz dari kerangka laboratorium ke kerangka pusat massa
(P.M.).
Dalam perhitungan yang menggunakan kinematika non-relativistik, elemen
matriks-T dihitung untuk hamburan pada energi ELab. dalam kerangka labora-
torium. Kami dapatkan hubungan antara ELab., EP.M., dan besar momentum
relatif p sebagai berikut:
ELab. =m1
µEP.M. =
m1 p2
2µ2, (3.85)
lebih jelas dapat dilihat sub-bab 2.1. Karena sebelumnya digunakan hubungan
non-relativistik energi dan momentum, ELab merupakan energi kinetik proyektil
EkLab. dalam kerangka laboratorium, dan EP.M. merupakan energi kinetik sistem
EkP.M. dalam kerangka P.M. Sehingga hubungan (3.85) dapat ditulis sebagai:
EkLab. =m1
µEkP.M. =
m1 p2
2µ2, (3.86)
Setelah memasukan efek kinematika relativistik hubungan antara EkLab., EkP.M.
dan p harus dicari lagi.
Transformasi Lorentz dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M. dikerjakan
sebagaimana pada [4]. Dimulai dengan mendefinisikan momentum four vectors
(momentum-4) pada kerangka awal, yaitu kerangka laboratorium, untuk partikel
ke-i, sebagai berikut:
kµi ≡ (Ei,ki) , (3.87)
dengan ki ialah vektor momentum dalam ruang spasial, dan Ei ialah energi total
partikel ke-i dalam kerangka laboratorium. Maka dengan transformasi Lorentz
L(v), dimana v adalah kecepatan relatif kerangka baru terhadap kerangka lama,
didefinisikan:
pµi ≡ L(v) kµ
i , (3.88)
pµ ialah momentum-4 pada kerangka baru, yaitu kerangka P.M.. pµ didapat
melalui:
p1 = p = k1 + (γ − 1)(k1 · v)v − γE1v , (3.89)
p2 = −p (3.90)
31
dan:
Ei P.M. = γ(Ei − ki · v) , (3.91)
dimana
γ ≡ 1√1− v2
. (3.92)
Maka, transformasi sistem dari kerangka laboratorium ke kerangka P.M., di-
lakukan menggunakan persamaan (3.88)-(3.92).
Energi partikel-1 (proyektil) pada keadaan awal, sesuai persamaan (3.84),
ialah:
E1 = (m21 + k2
1)1/2 . (3.93)
Karena pada keadaan awal target diam (k2 = 0), maka energinya:
E2 = m2 . (3.94)
Sehingga momentum-4 pada keadaan awal:
kµ1 = (E1,k1) (3.95)
kµ2 = (m2, 0) , (3.96)
maka momentum-4 total pada keadaan awal:
kµ = kµ1 + kµ
2
= (ELab.,k1) , (3.97)
dimana ELab. ialah energi total dalam kerangka laboratorium, ELab. = E1 + m2.
Kecepatan relatif kerangka P.M. terhadap kerangka laboratorium yaitu:
v =k
k0
=k1
ELab.
. (3.98)
Faktor γ didapat dengan memasukan kecepatan v pada persamaan (3.98) kedalam
persamaan (3.92), maka didapatkan:
γ =k0
√kµkµ
=ELab.
M0
, (3.99)
32
dengan massa invarian sistem M0 didefinisikan sebagai:
M0 ≡√
kµkµ
=√
m21 + m2
2 + 2E1m2 (3.100)
Maka momentum relatif p dalam kerangka P.M. menurut transformasi Lorentz,
yaitu:
p = k1 + (γ − 1)(k1 · v)v − γE1v
= γ(k1 − E1v)
=ELab.
M0
(k1 − k1
ELab.
E1
)
=m2
M0
k1 , (3.101)
dan energi dalam kerangka P.M. :
E1 P.M. = γ(E1 − v · k1)
=ELab.
M0
(E1 − k1
ELab.
k1
)
=m2
1 + m2E1
M0
(3.102)
E2 P.M. = γ m2
=m2
2 + m2E1
M0
, (3.103)
sehingga momentum-4 dalam kerangka P.M. untuk tiap partikel:
pµ1 = (E1 P.M.,p) (3.104)
pµ2 = (E2 P.M.,−p) , (3.105)
jadi momemtum-4 total dalam kerangka P.M., yang merupakan energi total dalam
kerangka P.M., yaitu:
pµ = pµ1 + pµ
2
= E1 P.M. + E2 P.M. ≡ EP.M. . (3.106)
Karena M0 invarian terhadap transformasi Lorentz:
pµpµ = kµkµ , (3.107)
33
maka:
EP.M. = M0 . (3.108)
Kini kami cari relasi antara EkLab., EkP.M. dan p. Kami mulai dengan:
E1 = EkLab. + m1 , (3.109)
maka, hubungan antara EkLab. dan EkP.M. yaitu:
EkP.M. = EP.M. − (m1 + m2)
=√
m21 + m2
2 + 2E1m2 − (m1 + m2)
=√
m21 + m2
2 + 2(EkLab. + m1)m2 − (m1 + m2) . (3.110)
Untuk menentukan p (besar momentum p) digunakan persamaan (3.101), dengan
k1 didapatkan melalui persamaan (3.93) :
k1 =√
E21 −m2
1
=√
EkLab.(EkLab. + 2m1) , (3.111)
sehingga didapatkan:
p =m2
√EkLab.(EkLab. + 2m1)√
m21 + m2
2 + 2(EkLab. + m1)m2
(3.112)
Untuk menentukan hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerang-
ka, maka asumsikan bahwa partikel-1 bergerak pada arah sumbu-z. sehingga
momentum-4 partikel-1, dalam kerangka laboratorium, ialah:
kµ1 = (E1, 0, 0, k1) , (3.113)
sedangkan dalam kerangka P.M., momentum-4 partikel-1 ialah:
pµ1 = (E1 P.M., 0, 0, p1) . (3.114)
Apabila sudut hambur dalam kerangka P.M. θP.M , maka momentum-4, dalam
kerangka P.M., setelah hamburan p′1:
p′µ1 = (E1 P.M , p1 sin θP.M., 0, p1 cos θP.M.) . (3.115)
34
Dengan mentransformasikan kembali momentum-4 p′µ1 ke kerangka laboratorium
melalui transformasi:
k′1 = p′ + (γ − 1)(p′ · u)u− γE1 P.M.u , (3.116)
dan:
E1 = γ(E1 P.M. − p′ · u) , (3.117)
dimana u = −v merupakan kecepatan relatif kerangka laboratorium terhadap
kerangka P.M.. Maka setelah transformasi tersebut didapatkan:
E1 = γ(E1 P.M. + v p1 cos θP.M.) (3.118)
k′1 =(p1 sin θP.M., 0, γ(p1 cos θP.M. + v E1 P.M.)
). (3.119)
Sudut hambur dalam kerangka laboratorium θLab. dapat dihitung dengan (lihat
gambar 2.1) :
tan θLab. =k′1x
k′1z
. (3.120)
Maka hubungan antara θP.M. dan θLab. :
tan θLab =sin θP.M.
γ(
cos θP.M. + v E1 P.M./p1
)
=sin θP.M.
γ(
cos θP.M. +E1 P.M.
E2 P.M.
) . (3.121)
Untuk menghitung penampang lintang dan polarisasi dalam kerangka Lab.
kami menggunakan matriks hamburan S, yang dalam kerangka P.M. ialah:
S(p′,p) = δ(p′ − p)− 2πi δ(E ′P.M. − EP.M.) T (p′,p) , (3.122)
dan dalam kerangka Lab. ialah:
S(k′1,k′2,k1,k2) = 〈k′1,k′2 |S|k1,k2〉 . (3.123)
Dengan hubungan:
|k1,k2〉 = J−1/2(k1,k2) |p,K〉 , (3.124)
dimana K = k1 + k2, dan J ialah Jacobian dari transformasi tersebut:
J(k1,k2) =
∣∣∣∣∣∂(k1,k2)
∂(p,K)
∣∣∣∣∣ , (3.125)
35
dapat dikerjakan hubungan:
S(k′1,k′2,k1,k2) = J−1/2(k′1,k
′2) J−1/2(k1,k2) S(p′,p) 〈K′|K〉
= δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2) S(p′,p)
= δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2)
×
δ(p′ − p)− 2πi δ(E ′P.M. − EP.M.) T (p′,p)
. (3.126)
Dengan menggunakan hubungan:
δ(K′ −K) J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2) δ(p′ − p)
=⟨p′,K′ ∣∣J−1/2(k′1,k
′2) J−1/2(k1,k2)
∣∣p,K⟩
= 〈k′1,k1|k′2,k2〉= δ(k′1 − k1) δ(k′2 − k2) , (3.127)
dan menggunakan identitas berikut:
δ(K′−K) δ(E ′P.M.−EP.M.) = δ(K′−K) δ(E ′
Lab.−ELab.)E ′
P.M. + EP.M.
E ′Lab. + ELab.
, (3.128)
persamaan (3.126) menjadi:
S(k′1,k′2,k1,k2) = δ(k′1−k1) δ(k′2−k2)−2πi δ(K′−K) δ(E ′
Lab.−ELab.) Γ T (p′,p)
(3.129)
dengan:
Γ ≡ J−1/2(k′1,k′2) J−1/2(k1,k2)
E ′P.M. + EP.M.
E ′Lab. + ELab.
=
[E ′
Lab.
E ′1 Lab.E
′2 Lab.
E ′1 P.M.E
′2 P.M.
E ′P.M.
ELab.
E1 Lab.E2 Lab.
E1 P.M.E2 P.M.
EP.M.
]1/2E ′
P.M. + EP.M.
E ′Lab. + ELab.
=
[E ′
1 P.M.E′2 P.M.E1 P.M.E2 P.M.
E ′1 Lab.E
′2 Lab.E1 Lab.E2 Lab.
]1/2
. (3.130)
Karena suku pertama dari matriks-S berasal dari gelombang datang, maka untuk
menghitung penampang lintang diambil hanya suku kedua dari matriks-S, yang
berasal dari gelombang terhambur.
S(2)(k′1,k′2,k1,k2) = −2πi δ(K′ −K) δ(E ′
Lab. − ELab.) Γ T (p′,p) . (3.131)
36
Dari bagian kedua dari matriks-S ini bisa didapatan besarnya probabilitas tran-
sisi, yaitu nilai absolutnya:
∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)
∣∣2 = (2π)2(δ(K′ −K) δ(E ′
Lab. − ELab.))2
Γ2∣∣T (p′,p)
∣∣2 .
(3.132)
Fungsi delta pada persamaan (3.132) di atas dapat dievaluasi sebagai:
δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) =
1
(2π)3
∫
V
dr e−i(K′−K)·r 1
(2π)
∫
T
dt ei(E′Lab.−ELab.)t
=1
(2π)4V T (3.133)
sehingga persamaan (3.132) dapat ditulis menjadi:
∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)
∣∣2 = (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2V T .
(3.134)
Laju transisi W dari keadaan awal (k1,k2) ke keadaan akhir (k′1,k′2) per satuan
volume, ialah:
W =
∣∣S(2)(k′1,k′2,k1,k2)
∣∣2V T
= (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2 . (3.135)
Elemen fluks terhambur dengan keadaan akhir momentum (k′1±dk′1), (k′2±dk′2),
yaitu banyaknya partikel yang terhambur dari keadaan (k1,k2) ke keadaan akhir
momentum tersebut persatuan waktu dan volume, ialah:
dN = W dk′1, dk′2
= (2π)−2δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2 dk′1, dk
′2 , (3.136)
sedangkan fluks datang:
j =1
(2π)3
√(E1 Lab. E2 Lab. − k1 · k2)2 − (m1m2)2
E1 Lab.E2 Lab.
=1
(2π)3
√(E1 Lab. m2)2 − (m1m2)2
E1 Lab. m2
=1
(2π)3
k1
E1 Lab.
, (3.137)
37
dan densitas target j0 = (2π)−3, maka penampang lintang:
dσ =dN
j0j
= (2π)4 E1 Lab.
k1
δ(K′ −K) δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2 dk′1, dk
′2 .
(3.138)
dk′1 = k′21 dk′1 dk′1 = E ′
1 Lab. k′1 dE ′1 Lab. dk′1 (3.139)
Karena keadaan akhir yang diamati hanya keadaan akhir partikel-1, maka pe-
nampang lintang diintegralkan terhadap seluruh keadaan akhir k′2.
dσ
dk′1= (2π)4 E1 Lab.
k1
∫dk′2 dE ′
1 Lab. k′1 E ′1 Lab. δ(K′ −K)
δ(E ′Lab. − ELab.) Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2
= (2π)4 E1 Lab.
k1
k′1 E ′1 Lab. Γ2
∣∣T (p′,p)∣∣2
= (2π)4 k′1k1
E1 Lab. E ′1 Lab.
(E1 P.M.E2 P.M.)2
E ′1 Lab.E
′2 Lab.E1 Lab.E2 Lab.
∣∣T (p′,p)∣∣2
= (2π)4 k′1k1
(E1 P.M. E2 P.M.)2
m2E ′2 Lab.
∣∣T (p′,p)∣∣2 . (3.140)
Maka penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap spin, ialah:
dσ
dk′1= (2π)4 k′1
k1
(E1 P.M. E2 P.M.)2
m2E ′2 Lab.
1
2
∑ij
∣∣Tij(p′,p)
∣∣2 . (3.141)
Sebagai perbandingan, penampang lintang diferensial dalam kerangka Lab. untuk
perhitungan tanpa kinematika non-relativistik bisa didapatkan dengan cara seper-
ti yang telah dikerjakan pada perhitungan relativistik, yaitu persamaan (3.122-
3.141), namun dengan memperhatikan bahwa:
∵ |p| ¿ m ∴ E = m , (3.142)
dan Jacobian transformasi ini:
J(k′1,k′2) = J(k1,k2) = 1 , (3.143)
dan identitas:
δ(K′ −K)δ(E ′P.M. − EP.M.) = δ(K′ −K)δ(E ′
Lab. − ELab.) (3.144)
38
sehingga suku kedua dari matriks-S:
S(2)(k′1,k′2,k1,k2) = −2πiδ(K′ −K)δ(E ′
Lab. − ELab.) T (p′,p) . (3.145)
Laju transisi keadaan per-satuan volume ialah:
W =1
(2π)2δ(K′ −K)δ(E ′
Lab. − ELab.)∣∣T (p′,p)
∣∣2 . (3.146)
Dengan fluks awal j:
j =1
(2π)2
k1
m1
(3.147)
maka penampang lintang differensial:
dσ = (2π)4m1
k1
δ(K′ −K)δ(E ′Lab. − ELab.)
∣∣T (p′,p)∣∣2dk′1dk′2 (3.148)
dimana:
dk′1 = k′1 m1 dE ′1 Lab. dk′1 (3.149)
Penampang lintang differensial untuk kerangka Lab. tanpa menggunakan kine-
matika relativistik:
dσ
dk′1= (2π)4 k′1
k1
m21
1
2
∑ij
∣∣Tij(p′,p)
∣∣2 (3.150)
39
Bab 4
Aplikasi
Dalam Bab sebelumnya telah diformulasikan teknik 3D untuk partikel berspin 0
dan 12, selanjutnya dalam bab ini kami tunjukan suatu contoh perhitungan proses
hamburan dengan menggunakan teknik 3D.
4.1 Potensial
Dalam formulasi teknik 3D pada bab sebelumnya, telah ditentukan bentuk poten-
sial yang akan digunakan. Untuk Vc(r) dan Vs(r) dari persamaan (3.20) kami
memilih bagian radial seperti yang digunakan Malfliet-Tjon [9] sebagai berikut:
V (r) = −Vae−µr
r+ Vb
e−2µr
r. (4.1)
Dengan memasukan potensial di atas dalam persamaan (3.20), didapatkan poten-
sial yang akan digunakan, yaitu:
V (r) = −Vcae−µcr
r+ Vcb
e−2µcr
r+
[− Vsa
e−µsr
r+ Vsb
e−2µsr
r
]l · s . (4.2)
Untuk parameter potensial pada persamaan (4.2) kami gunakan nilai-nilai yang
ada dalam [9], sekedar sebagai contoh, sebagai berikut:
Vca = 3.22 Vcb = 7.39 µc = 1.55 fm−1 (4.3)
Vsa = 2.64 Vsb = 7.39 µs = 0.63 fm−1, (4.4)
Dengan pemilihan parameter seperti di atas, kami juga dapat menguji hasil per-
hitungan kami dengan perhitungan yang telah ada sebelumnya [1], untuk kasus
tanpa spin.
40
Gambar 4.1: Potensial Malfliet-Tjon
Perhitungan dikerjakan dalam ruang momentum, sehingga dibutuhkan poten-
sial (4.2) dalam ruang momentum. Untuk hal itu dilakukan transformasi Fourier
terhadap persamaan (4.2), sehingga didapatkan potensial dalam ruang momen-
tum seperti ditunjukan dalam persamaan (3.19), dengan:
Vc(p′,p) =
1
2π2
[−Vca
(p′ − p)2 + µ2c
+Vcb
(p′ − p)2 + 4µ2c
](4.5)
dan:
Vs(p′,p) =
i
π2
[−Vsa
[(p′ − p)2 + µ2s]
2+
Vsb
[(p′ − p)2 + 4µ2s]
2
]. (4.6)
4.2 Hasil Dan Diskusi
Bentuk persamaan Lippmann-Scwhinger yang akan diselesaikan ialah persamaan
(3.55). Sebagai langkah awal kami melakukan perhitungan tanpa memasukan
spin. Hasil yang didapat dari perhitungan tanpa spin ini kemudian dibandingkan
dengan hasil perhitungan dalam Ref. [1]. Selanjutnya dilakukan perhitungan
dengan memasukan komponen spin. Sebagai pengujian terhadap perhitungan ini,
kami membandingkannya dengan perhitungan sebelumnya (tanpa spin), dengan
terlebih dahulu memberikan nilai nol pada komponen spin dalam potensial (Vs =
0). Terakhir, kami masukan efek kinematika relavitas kedalam perhitungan.
41
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 30 60 90 120 150 180
dσ
/dΩ
[barn
]
θLab. [Degree]
Penampang Lintang Diferensial
50 MeV300 MeV
1 GeV
Gambar 4.2: Penampang Lintang Differensial Pada Beberapa Nilai Energi
Massa partikel yang digunakan dalam perhitungan adalah massa nukloen
(938.919 MeV) untuk massa partikel berspin 12, dan massa kaon (498 MeV) se-
bagai massa partikel berspin 0.
Dalam perhitungan dilakukan variasi nilai energi, dari energi 10 MeV hingga
energi 1 GeV, dengan penambahan 50 MeV untuk energi 10 MeV sampai 500
MeV, dan penambahan 100 MeV untuk energi lebih tinggi.
Hasil yang kami tampilkan adalah penampang lintang differensial dan pola-
risasi dalam kerangka laboratorium. Gambar (4.2) memperlihatkan penampang
lintang differensial, sedangkan Gambar (4.3) memperlihatkan polarisasi, untuk
energi 50 MeV, 300 MeV dan 1 GeV. Dapat dilihat bahwa semakin besar energi,
penampang lintang semakin dominan pada sudut-sudut kecil, hal ini menunjukan
bahwa semakin besar energi, kecenderungan partikel dihamburkan pada sudut
maju (forward angle) semakin tinggi.
42
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 30 60 90 120 150 180
Pol
aris
asi
θLab. [Degree]
Polarisasi
50 MeV300 MeV
1 GeV
Gambar 4.3: Polarisasi Pada Beberapa Nilai Energi
Selanjutnya kami tampilkan hasil yang membandingkan perhitungan non-
relativistik dan perhitungan relativistik. Kami tampilkan penampang lintang
differensial dan polarisasi. Selain itu, kami juga menampilkan komponen:
I0 =1
2
∑ij
∣∣Tij(p′,p)
∣∣2 (4.7)
dan komponen faktor ruang fase (phase space factor) dari penampang lintang
differensial, untuk menunjukan bagaimana efek kinematika relativistik mempe-
ngaruhi hasil perhitungan baik melalui nilai matriks-T maupun faktor ruang fase.
Sesuai persamaan (3.141), faktor ruang fase ialah:
Πrel =k′1k1
(E1 P.M. E2 P.M.)2
m2E ′2 Lab.
, (4.8)
untuk perhitungan relativistik. Sedangkan untuk perhitungan non-relativistik,
sesuai dengan persamaan (3.150), faktor ruang fase ialah:
Πnonrel =k′1k1
m21 . (4.9)
Dengan menampilkan perbandingan I0 dan Π diharapkan dapat dilihat bagaimana
efek kinematika relativistik terhadap masing-masing komponen.
43
Hasil yang ditampilkan mula-mula adalah hasil pada energi rendah (30 MeV),
ditunjukan pada gambar(4.4) untuk penampang lintang dan gambar(4.5) untuk
polarisasi. Untuk polarisasi tidak tampak efek kinematika relativistik, semen-
tara untuk penampang lintang terdapat efek kinematika relativistik, paling besar
∼ 6% pada hamburan sudut kecil. Perbedaan pada kedua penampang lintang
tersebut diakibatkan oleh perbedaan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukkan
dalam gambar(4.7). Pada energi 30 MeV ini tidak ada perbedaan dalam I0 seperti
ditunjukkan dalam gambar(4.6).
Selanjutnya ditampilkan hasil pada energi 100 MeV, gambar(4.8) untuk pe-
nampang lintang dan gambar(4.9) untuk polarisasi. Pada energi ini efek kine-
matika relativistik mulai muncul pada polarisasi meskipun kecil. Untuk penam-
pang lintang, selisih terbesar pada sudut kecil yaitu ∼ 18%, yang diakibatkan
oleh perbedaan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukan pada gambar (4.11).
Gambar (4.10) menunjukan bahwa pada energi 100 MeV mulai ada perbedaan
untuk I0. Perbedaan itu berupa pergeseran ke arah sudut yang lebih kecil.
Berikutnya gambar (4.12) dan gambar (4.13) menunjukan efek kinematika
relativistik untuk penampang lintang dan polarisasi pada energi 300 MeV. Pada
energi ini tampak semakin jelas adanya pergeseran ke arah sudut lebih kecil, baik
untuk penampang lintang maupun polarisasi. Untuk penampang lintang selain
pergeseran terdapat juga perbedaan tinggi kurva yang semakin besar, yaitu mak-
simum ∼ 42% pada sudut hambur kecil. Perbedaan ini ditimbulkan oleh perbe-
daan nilai faktor ruang fase, seperti ditunjukan dalam gambar (4.15), sementara
I0 mengakibatkan pergeseran ke arah sudut lebih kecil, seperti yang ditunjukkan
pada gambar (4.14). Sampai disini dapat dilihat bahwa efek kinematika relativis-
tik pada faktor ruang fase hanya bersifat menambah nilai penampang lintang,
sementara pada I0 mengakibatkan pergeseran ke arah sudut lebih kecil.
Terakhir kami tampilkan hasil pada energi 1 GeV, yaitu penampang lintang
pada gambar (4.16), polarisasi pada gambar (4.17), I0 pada gambar (4.18 dan
faktor ruang fase pada gambar (4.19). Seperti telah diduga sebelumnya, efek
kinematik relativistik makin berarti pada energi yang makin tinggi.
44
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 30 60 90 120 150 180
dσ/d
Ω [b
arn]
θLab. [Degree]
Penampang Lintang Pada Energi Lab. 30 MeV
non-relrel
Gambar 4.4: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 30 MeV
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 30 60 90 120 150 180
Pol
aris
asi
θLab. [Degree]
Polarisasi Pada Energi Lab. 30 MeV
non-relrel
Gambar 4.5: Polarisasi pada energi Lab. 30 MeV
45
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 30 60 90 120 150 180
I0
θLab. [Degree]
I0 Pada Energi Lab. 30 MeV
non-relrel
Gambar 4.6: I0 pada energi Lab. 30 MeV
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
0 30 60 90 120 150 180
Π
θLab. [Degree]
Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 30 MeV
non-relrel
Gambar 4.7: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 30 MeV
46
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 30 60 90 120 150 180
dσ/d
Ω [b
arn]
θLab. [Degree]
Penampang Lintang Pada Energi Lab. 100 MeV
non-relrel
Gambar 4.8: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 100 MeV
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 30 60 90 120 150 180
Pol
aris
asi
θLab. [Degree]
Polarisasi Pada Energi Lab. 100 MeV
non-relrel
Gambar 4.9: Polarisasi pada energi Lab. 100 MeV
47
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 30 60 90 120 150 180
I0
θLab. [Degree]
I0 Pada Energi Lab. 100 MeV
non-relrel
Gambar 4.10: I0 pada energi Lab. 100 MeV
1
2
3
4
5
6
7
8
0 30 60 90 120 150 180
Π
θLab. [Degree]
Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 100 MeV
non-relrel
Gambar 4.11: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 100 MeV
48
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 30 60 90 120 150 180
dσ/d
Ω [b
arn]
θLab. [Degree]
Penampang Lintang Pada Energi Lab. 300 MeV
non-relrel
Gambar 4.12: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 300 MeV
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 30 60 90 120 150 180
Pol
aris
asi
θLab. [Degree]
Polarisasi Pada Energi Lab. 300 MeV
non-relrel
Gambar 4.13: Polarisasi pada energi Lab. 300 MeV
49
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 30 60 90 120 150 180
I0
θLab. [Degree]
I0 Pada Energi Lab. 300 MeV
non-relrel
Gambar 4.14: I0 pada energi Lab. 300 MeV
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 30 60 90 120 150 180
Π
θLab. [Degree]
Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 300 MeV
non-relrel
Gambar 4.15: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 300 MeV
50
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 30 60 90 120 150 180
dσ/d
Ω [b
arn]
θLab. [Degree]
Penampang Lintang Pada Energi Lab. 1 GeV
non-relrel
Gambar 4.16: Penampang lintang differensial pada energi Lab. 1 GeV
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 30 60 90 120 150 180
Pol
aris
asi
θLab. [Degree]
Polarisasi Pada Energi Lab. 1 GeV
non-relrel
Gambar 4.17: Polarisasi pada energi Lab. 1 GeV
51
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0 30 60 90 120 150 180
I0
θLab. [Degree]
I0 Pada Energi Lab. 1 GeV
non-relrel
Gambar 4.18: I0 pada energi Lab. 1 GeV
0
5
10
15
20
25
30
0 30 60 90 120 150 180
Π
θLab. [Degree]
Faktor Ruang Fase Pada Energi Lab. 1 GeV
non-relrel
Gambar 4.19: Faktor Ruang Fase pada energi Lab. 1 GeV
52
Bab 5
Kesimpulan Dan Saran
Telah kami formulasikan teknik 3D untuk hamburan partikel berspin 12
dan 0.
Teknik 3D menggunakan basis state momentum-helicity, oleh karena itu peker-
jaan ini dimulai dengan mendefinisikan basis momentum-helicity yang akan di-
gunakan. Selanjutnya, dengan basis momentum-helicity tersebut, kami sele-
saikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T. Pada mulanya kami
mendapatkan jumlah persamaan Lippmann-Schwinger yang harus diselesaikan
untuk berbagai keadaan spin awal dan spin akhir serta keadaan paritas, ialah 8
persamaan. Namun dengan sifat simetri elemen matriks-T, jumlah persamaan
Lippmann-Schwinger yang harus diselesaikan dapat dikurangi menjadi 2 per-
samaan, yaitu 1 persamaan untuk setiap keadaan paritas.
Dengan teknik 3D ini, maka tidak lagi dibutuhkan dekomposisi gelombang
parsial dalam menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger. Hal ini menjadikan
teknik 3D cocok untuk hamburan dengan energi tinggi, dimana dekomposisi
gelombang parsial tidak lagi efisien karena besarnya jumlah persamaan yang
harus diselesaikan. Namun pada energi tinggi efek relativistik perlu diperhi-
tungkan dalam formulasi. Dalam pekerjaan ini efek relativistik diselidiki sebatas
dengan memasukan efek kinematika relativistik dalam perhitungan.
Dengan formulasi yang telah dikerjakan, kami melakukan perhitungan untuk
berbagai nilai energi. Kami membandingkan hasil perhitungan dengan kinemati-
ka non-relativistik dan hasil perhitungan dengan kinematika relativistik, untuk
menunjukan pengaruh efek kinematika relativistik pada berbagai energi. Per-
bandingan kuantitatif hasil perhitungan dengan data eksperimen tidak dapat
53
kami lakukan, karena potensial yang kami gunakan dalam pekerjaan ini adalah
potensial spin-orbit sederhana. Kami mengharapkan dapat melanjutkan peker-
jaan ini dengan menggunakan potensial realistik, yang sesuai dengan hamburan
yang akan dihitung.
54
Lampiran A
Basis Gelombang Parsial
Basis gelombang parsial didefinisikan sebagai:
|plml〉 ≡∫
dp |p〉Ylml(p) . (A.1)
Apabila basis vektor momentum diekspansi ke dalam basis gelombang parsial,
didapatkan:
|p〉 =∑
lml
|plml〉Y ∗lml
(p) (A.2)
Basis gelombang parsial memiliki sifat orthogonalitas sebagai berikut:
〈p′l′m′l|plml〉 =
∫dp 〈p′|p〉Y ∗
l′m′l(p)Ylml
(p)
=δ(p− p′)
p′pδll′ δmlm
′l
, (A.3)
dan completeness relation:
∑
lml
∫ ∞
0
dp p2 |plml〉 〈plml| = 1 . (A.4)
Proyeksi |p〉 pada |plml〉 ialah:
〈plml|p′〉 = 〈plml|∑
l′m′l
|p′l′m′l〉Y ∗
l′m′l(p′)
=∑
l′m′l
〈plml|p′l′m′l〉Y ∗
l′m′l(p′)
=δ(p− p′)
pp′Y ∗
lml(p′) . (A.5)
55
Dalam ruang konfigurasi ekspansi fungsi gelombang bidang dalam eigenstate
momentum angular, yaitu:
〈r|p〉 =eip·r
(2π)3/2≡
√2
π
∑
lml
iljl(pr)Ylml(r)Y ∗
lml(p) (A.6)
Maka, representasi |plml〉 dalam ruang konfigurasi ialah:
〈r|plml〉 =
∫dq 〈r|q〉 〈q|plml〉
=
∫ ∞
0
dq q2
∫dq 〈r|q〉 δ(p− q)
pqYlml
(q)
=
√2
π
∑
l′m′l
il′jl′(pr) Yl′m′
l(r)
∫dq Y ∗
l′m′l(q)Ylml
(q)︸ ︷︷ ︸
δll′δmlm′l
=
√2
πiljl(pr) Ylml
(r) (A.7)
Komponen spin dimasukan dalam perhitungan dengan menambahkan keadaan
spin total, dalam hal ini 12,∣∣12λ⟩
pada keadaan gelombang parsial.
|plml〉∣∣12, λ
⟩, (A.8)
dengan λ = ±12
merupakan bilangan kuantum magnetik spin. Karena basis (A.8)
hanya merupakan hasil perkalian sederhana dari dua vektor basis yang masing-
masing bersifat orthogonal, maka basis (A.8) bersifat orthogonal.
⟨12
λ′∣∣ 〈p′l′m′
l|plml〉∣∣12
λ⟩
=δ(p′ − p)
pp′δll′ δml,m
′lδλ′,λ . (A.9)
Completeness relation untuk basis (A.8) yaitu:
∑
lmlλ
∫ ∞
0
dp p2 |plml〉∣∣12
λ′⟩ ⟨
12
λ∣∣ 〈plml| = 1 (A.10)
Selain basis pada persamaan (A.8) di atas, dapat pula dibentuk basis yang
merupakan eigenstate dari operator momentum angular total. Mometum angular
total ialah penjumlahan momentum angular l dan spin:
J = l + s , (A.11)
56
yang proyeksinya pada arah sumbu-z:
m = ml + λ . (A.12)
Maka dapat dibentuk basis: ∣∣p(l 12); jm
⟩. (A.13)
Hubungan basis (A.13) ini dengan basis (A.8) di atas ialah sebagai berikut
∣∣p(l 12); jm
⟩=
∑
λ
C(l 12j; m− λ, λ) |plm− λ〉
∣∣12
λ⟩
. (A.14)
Dengan hubungan (A.14) didapatkan ortogonalitas dari basis (A.13) ialah :
⟨p′(l′ 1
2); j′m′|p(l 1
2); jm
⟩
=∑
λ′λ
C(l′ 12j′; m′ − λ′, λ′)C(l 1
2j; m− λ, λ)
⟨12
λ|12
λ′⟩ 〈plm− λ|p′l′m′ − λ′〉
=∑
λ
C(l 12j′; m− λ, λ)C(l 1
2j; m− λ, λ)
δ(p′ − p)
pp′δll′δm′m , (A.15)
dengan menggunakan sifat koefisien Clebsch-Gordan berikut [8] :
∑m1m2
C(j1j2j; m1m2m)C(j1j2j′; m1m2m
′) = δj′j δm′m (A.16)
didapatkan :
⟨p′(l′ 1
2); j′m′|p(l 1
2); jm
⟩=
δ(p′ − p)
pp′δjj′δmm′δll′ . (A.17)
Sedangkan untuk mencari completness relation dari basis (A.13) digunakan com-
pletness realtion (A.10) dan sifat koefisien Clebsch-Gordan berikut [8] :
∑jm
|C(j1j2j; m1m2m)|2 = 1 , (A.18)
sehingga didapatkan :
∑
ljm
∫ ∞
0
dp p2∣∣p(l 1
2); jm
⟩ ⟨p(l 1
2); jm
∣∣
=∑
ljm
∑
λ
∫ ∞
0
dp p2 C(l 12j; m− λ, λ)2 |plm− λ〉
∣∣12
λ⟩ ⟨
12
λ∣∣ 〈plm− λ|
= 1 . (A.19)
57
Lampiran B
Matriks Rotasi
State helicity merupakan hasil rotasi state spin kearah vektor momentum:
|pλ〉 = R(p) |zλ〉=
∑
λ′〈zλ′ |R(p)| zλ′〉 |zλ′〉
=∑
λ′D
12λ′λ(p) |zλ′〉 , (B.1)
dengan matriks rotasi:
R(p) = e−iSzφe−iSyθ (B.2)
dan matriks-D Wigner:
D12λ′λ(p) ≡ 〈zλ′ |R(p)| zλ′〉
=⟨zλ′
∣∣e−iSzφe−iSyθ∣∣ zλ′⟩
= e−iλ′φd12λ′λ(θ) . (B.3)
Pada (B.3) matriks-d12λ′λ(θ), yaitu [8]:
d12λ′λ(θ) =
cosθ
2− sin
θ
2
sinθ
2cos
θ
2
. (B.4)
Dengan operasi paritas maka:
D12λ′λ(p) → D
12λ′λ(−p) (B.5)
58
Operasi paritas mengakibatkan φ → φ + π, dan θ → π − θ, maka:
e−iλ′(φ+π) = (−)−λ′e−iλ′φ (B.6)
dan:
d12λ′λ(π − θ) =
sinθ
2− cos
θ
2
cosθ
2sin
θ
2
= (−)
12+λ′ d
12λ′,−λ(θ) (B.7)
sehingga:
D12λ′λ(−p) = (−)−λ′e−iλ′φ (−)
12+λ′ d
12λ′,−λ(θ)
= (−)12 e−iλ′φ d
12λ′,−λ(θ)
= i D12λ′−λ(p) (B.8)
dengan i =√−1.
59
Lampiran C
Transformasi Potensial
Dalam Bab 3.2 telah ditentukan bentuk potensial yang digunakan. Sesuai dengan
persamaan (3.19), potensial yang akan digunakan ialah:
V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p
′,p) s · (p× p′) , (C.1)
yang kemudian ditransformasi ke bentuk persamaan (3.24) melalui hubungan
(3.23). Lebih jelas mengenai hubungan ini ialah:
s = 12
σ , (C.2)
dengan σ adalah matriks pauli, yang memenuhi hubungan komutasi:
[σi, σj] = 2iεijk σk , (C.3)
dan hubungan anti-komutasi:
σi, σj = 2δij . (C.4)
Dengan sifat komutasi dan anti-komutasi di atas, bisa didapatkan hubungan:
(σ · p′)(σ · p) =∑
j
σj p′j∑
k
σk pk
=∑
jk
(12σj, σk+ 1
2[σj, σk]
)p′j pk
=∑
jk
(δjk + iεjklσl
)p′jpk
= p′ · p + iσ · (p′ × p) . (C.5)
60
Sehingga:
s · (p× p′) = −12
σ · (p′ × p)
=−i
2
p′ · p− (σ · p′)(σ · p)
(C.6)
Potensial yang ditentukan pada Bab 4 adalah potensial dengan fungsi radial
mengambil bentuk Malfliet-Tjon [9]:
V (r) = Vc(r) + Vs(r) l · s
=
[− Vca
e−µcr
r+ Vcb
e−2µcr
r
]+
[− Vsa
e−µsr
r+ Vsb
e−2µsr
r
]l · s . (C.7)
Potensial ini akan ditransformasi ke ruang momentum dengan transformasi Fouri-
er sebagai berikut:
Vc(p′,p) =
1
(2π)3
∫dr Vc(r)e
−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)
∫ 1
−1
d cos θ
∫ 2π
0
dφe−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)
∫ 1
−1
d cos θ e−i|p′−p|r cos θ
∫ 2π
0
dφ
=1
(2π)2
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)ei|p′−p|r − e−i|p′−p|r
i|p′ − p|r=
1
2π2
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)sin(|p′ − p|r)|p′ − p|
=1
2π2
∫ ∞
0
dr r (−Vcae−µcr + Vcbe
−2µcr)sin(|p′ − p|r)|p′ − p|
=1
2π2
[−Vca
(p′ − p)2 + µ2c
+Vcb
(p′ − p)2 + 4µ2c
](C.8)
Sedangkan untuk Vs(p′,p) digunakan hubungan:
l · s = (r× p) · s = (p× s) · r (C.9)
Vs(p′,p) =
1
(2π)3
∫dr Vs(r)(l · s)e−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫dr Vs(r)(p× s) · re−i(p′−p)·r , (C.10)
Karena sebelumnya telah dipilih bahwa arah zs pada arah p′ − p, sehingga:
(p′ − p) · r = |p′ − p|r cos θ (C.11)
61
Dengan mendefinisikan θps dan φps sebagai sudut polar dan sudut azimuth dari
vektor p× s, maka:
Vs(p′,p) =
1
(2π)3|p× s|
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ e−i|p′−p|r cos θ
∫ 2π
0
dφ[cos θps cos θ + sin θps sin θ cos(φps − φ)
]
=1
(2π)2|p× s| cos θps
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ cos θe−i|p′−p|r cos θ
=(p× s)z
(2π)2
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ cos θe−i|p′−p|r cos θ
=i(p× s)z
2π2
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)[cos(|p′ − p|r)
|p′ − p|r − sin(|p′ − p|r)(|p′ − p|r)2
]
=−i
π2(p× s)z|p′ − p|
[−Vsa[
(p′ − p)2 + µ2s
]2 +Vsb[
(p′ − p)2 + 4µ2s
]2
]
=i
π2s · (p× p′)
[−Vsa[
(p′ − p)2 + µ2s
]2 +Vsb[
(p′ − p)2 + 4µ2s
]2
]. (C.12)
Baris terakhir didapatkan dengan menggunakan hubungan:
(p× s)z = (p× s) · (p′ − p)
|p′ − p|=
1
|p′ − p|s ·[(p′ − p)× p
]
=1
|p′ − p|s · (p′ × p)
=−1
|p′ − p|s · (p× p′) (C.13)
Dengan hubungan (C.6) bisa didapatkan:
Vs(p′,p) =
1
2π2
[−Vsa[
(p′ − p)2 + µ2s
]2 +Vsb[
(p′ − p)2 + 4µ2s
]2
]p′ ·p− (σ ·p′)(σ ·p)
(C.14)
62
Lampiran D
Penyelesaian Numerik
D.1 Integrasi
Dalam menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger terdapat integral dalam
tiga variable p′′, θ′′, dan φ′′. Maka untuk menyelesaikan persamaan Lippmann-
Schwinger secara numerik dibutuhkan metode integrasi numerik atau kuadratur.
Metode integrasi numerik yang kami gunakan ialah kuadratur Gauss-Legendre.
Apabila suatu integral I:
I =
∫ b
a
dx f(x) , (D.1)
akan kita kerjakan menggunakan kuadratur Gauss-Legendre, maka integral terse-
but harus dipetakan kedalam batas [−1, 1].
I =
∫ b
a
dx f(x) =
∫ 1
−1
dydx
dyf(y)
=∑
i
wif(xi) =∑
i
vi(dx
dy)i f(yi) (D.2)
dimana xi dan yi adalah titik-titik integrasi sedangkan wi dan vi adalah pemberat.
Pemetaan dari [a, b] → [−1, 1] dapat dilakukan secara linier:
xi =b− a
2yi +
b + a
2wi =
1
2(b− a)vi . (D.3)
63
Pemetaan ini digunakan dalam integrasi φ′′. Lebih lanjut mengenai integral φ′′,
batas integrasi [0:2π] dapat diubah ke [0:π2] melalui:
I =
∫ 2π
0
dφ′′ f(cos φ′′)eimφ′′
=
∫ π
0
dφ′′
f(cos φ′′)eimφ′′ + f(− cos φ′′)eim(φ′′+π)
=
∫ π/2
0
dφ′′
f(cos φ′′)(eimφ′′ + eim(2π−φ′′)
)+ f(− cos φ′′)
(eim(φ′′+π) + eim(π−φ′′)
)
(D.4)
dengan hubungan ini maka jumlah titik integrasi dapat dikurangi. Kami dap-
atkan jumlah titik integrasi 10 titik cukup memadai.
Untuk Integrasi terhadap θ′′, batas integrasi adalah [-1,1], karena varible inte-
grasi adalah cos θ′′, maka tidak dibutuhkan pemetaan terhadap kuadratur. Jum-
lah titik kuadratur untuk θ, kami gunakan 24 titik.
Untuk integrasi terhadap p′′ integrasi akan dibatasi pada suatu nilai pm, yang
nilainya kami tentukan sebesar 8 × p0. Integrasi ini kami bagi menjadi dua do-
main, [0:2p0] dan [2p0:pm], yaitu daerah momentum kecil dan daerah momentum
tinggi. Pembagian ini dilakukan karena diinginkan jumlah titik integrasi lebih
banyak pada daerah momentum kecil dimana matriks T lebih berarti. Batas
2p0 dimaksudkan agar nilai momentum awal berada ditengah domain pertama.
Pada domain pertama digunakan pemetaan hiperbolik agar titik integrasi lebih
terkonsentrasi ditengah (nilai p0).
xi = p0 (1 + yi) wi = p0 vi , (D.5)
sedangkan untuk [0:2p0] digunakan pemetaan linier. Jumlah titik kuadratur un-
tuk p”, kami gunakan 40 titik.
D.2 Eliminisasi Singularitas
Persamaan Lippmann-Schwinger merupakan persamaan kompleks karena terda-
pat bilangan imajiner ε, yang nilainya kecil (ε ≈ 0). Oleh karena hal itu, kami
menggunakan Cauchy Principal Value:
limε→0
1
x + iε=Px− iπδ(x) . (D.6)
64
Integral dari Cauchy Principal Value:
I =
∫ ∞
0
dx P x2f(x)
a2 − x2, (D.7)
dimana integral ini mempunyai titik singular pada a = x. Masalah singularitas
ini dapat diatasi dengan teknik subtraksi sebagai berikut:
I =
∫ ∞
0
dx P x2f(x)
a2 − x2−
∫ ∞
0
dxa2f(a)
a2 − x2(D.8)
Suku kedua dari integral di atas bernilai 0. Integral di atas tidak lagi mempunyai
titik singular, karena pada x = a, numerator integral bernilai nol.
I =
∫ ∞
0
dxx2f(x)− a2f(a)
a2 − x2(D.9)
Untuk integrasi p′′, integral tidak dikerjakan sampai ∞, tapi ditentukan sam-
pai suatu nilai batas M, maka:
I =
∫ M
0
dx P x2f(x)
a2 − x2−
∫ ∞
0
dxa2f(a)
a2 − x2
=
∫ M
0
dx P x2f(x)
a2 − x2−
∫ M
0
dxa2f(a)
a2 − x2−
∫ ∞
M
dxa2f(a)
a2 − x2
=
∫ M
0
dxx2f(x)− a2f(a)
a2 − x2− 1
2a f(a) ln
(M − a
M + a
)(D.10)
D.3 Persamaan Lippmann-Schwinger
Integral dalam persamaan Lippmann-Schwinger persamaan (3.55) yaitu:
I = limε→0
∫ 1
−1
dα′′∫ ∞
0
dp′′p′′2 Vλ
λ′ 12
(p′, p′′, α′, α′′) T π12
λ(p′′, p, α′′)
p2 − p′′2 + iε(D.11)
Setelah titik singular dieliminasi:
I =
∫ 1
−1
dα′′ ∫ pm
0
dp′′p′′2Vλπ
λ′ 12
(p′, p′′, α′, α′′) T π12
,λ(p′′, p, α′′)
p2 − p′′2
−[ ∫ pm
0
dpp
p2 − p′′2+
1
2ln
pm− p
pm + p+
1
2iπ
]pVλπ
λ′ 12
(p′, p, α′, α′′) T π12
,λ(p, p, α′′)
(D.12)
65
Selanjutnya integral di atas dikerjakan secara numerik menggunakan kuadratur
Gauss-Legendre. Digunakan konvensi simbol :
• p′ = pi • p′′ = pj • p = p0 • α′ = αa • α′′ = αb
Integral di atas menjadi :
I =nθ∑
b=1
np∑j=0
wb
[δj0
wj p2j
p20 − p2
j
−δj0 p0 D
]Vλπ
λ′ 12
(pi, pj, αa, αb) T π12
,λ(pj, αb) , (D.13)
dengan:
D ≡[ ∑
k
wkp0
p20 − p2
j
+1
2ln
(pm− p0
pm + p0
)+
1
2iπ
](D.14)
Sehingga persamaan Lippmann-Schwinger menjadi:
T πλ′,λ(pi, αa) =
1
2πVπ
λ′λ(pi, p0, αa, 1)
+ 2µ∑
b,j
wb
[δj0
wj p2j
p20 − p2
j
− δj0 p0 D
]Vλπ
λ′ 12
(pi, pj, αa, αb) T π
λ,12
(pj, αb)
(D.15)
Vπλ′,λ(pi, p0, αa, 1) = 2π
∑
b,j
δji δba − 2µ wb
[δj0
wj p2j
p20 − p2
j
− δj0p0D
]Vλ
λ′ 12
(pi, pj, αa, αb)
× T πλ′,λ(pj, αb) (D.16)
Dengan mendefinisikan matriks Aia,jb, persamaan diatas bisa disusun menjadi
sistem persamaan linier yang memenuhi :
∑
b,j
Aia,jb T πλ′,λ(pj, αb) = Vπ
λ′,λ(pi, p0, αa, 1) (D.17)
Aia,jb ≡ 2π
δji δba − 2µ wb
[δj0
wj p2j
p20 − p2
j
− δj0p0D
]Vλπ
λ′,12
(pi, pj, αa, αb)
(D.18)
dengan matriks Aia,jb adalah matriks yang berukuran (np × nθ)2, dimana np dan
nθ jumlah titik integrasi p′′ dan θ′′. Untuk menyelesaikan sistem persamaan linier
di atas, kami gunakan metode dekomposisi LU [10].
66
Daftar Acuan
[1] Ch. Elster, J. H. Thomas dan W. Glockle, Few-Body Systems, 24 (1998) 55.
[2] R. A. Rice dan Y. E. Kim Few-Body Systems 14 (1993) 127
[3] I. Fachruddin, Ch. Elster dan W. Glockle, Phys. Rev. C63 (2000) 0504003.
[4] R. Fong dan J. Sucher, J. Math. Phys. 5 (1964) 456.
[5] E. Merzbacher, Quantum Mechanics (Addison-Wesley, 1958).
[6] W. Glockle, The Quantum Mechanical Few-Body Problem (Springer Ver-
lag,Berlin, 1983).
[7] I. Fachruddin, PhD thesis, Ruhr University-Bochum, (2003).
[8] M. E. Rose, Elementary Theory of Angular Momentum (Wiley, New York,
1957).
[9] R. A. Malfliet dan J. A. Tjon Nuc. Phys. A127 (1969) 161
[10] W. H. Press, et. al. Numerical Recipes In Fortran (Cambridge University
Press, New York, 1992).
67