Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
DUKUNGAN KELOMPOK MASYARAKAT TERHADAP
TRIKORA DAN PELAKSANAAN MOBILISASI UMUM DI
JAWA TENGAH 1961-1962
Untuk memperoleh gelar sarjana sosial
Disusun oleh :
Saiful Anwar
3111414005
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2018
i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
‘’Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis.
Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari’’ Pramoedya Ananta Toer.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Ibu saya, Siti Aminah yang telah melahirkan dan
membimbing saya.
2. Dwi Cipta, seorang penulis sekaligus guru literasi
saya.
v
vi
vii
ABSTRACT
According Konferensi Meja Bundar’s agreement West Irian, will handed
over to Indonesia one year until that agreement signed in 27 Desember 1949. But
until 1961 West Irian never handed over to Indonesia. All of the way that
Indonesia’s government doing always failed. To appoint West Irian’s restitution
to Indonesia’s government, President Sukarno announced Tri Komando Rakyat at
19 Desember 1961.
Aim this research is to give new perspective to historiography Indonesia
which is considered military-centris. Method research used in this essay is history
method research which cover heuristic, critic source, interpretation, and
historiography. Approach used is political approach. Source research is archive
(archive in Republic Indonesia Nastional Archive (Jakarta)) and interview with
F.Adiman (actor of Trikora’s history from Central Java). Other source take from
daily Suara Merdeka Semarang.
The resoult from research showing that people in Central Java has
important role in West Irian liberation process. People in Central Java receive
Trikora with make event like procession, big meeting, bring money together to
war, nationalitation Netherland’s company, pray together, and culture show. They
support with energy and financial. To support West’s Irian liberation war, people
in Central Java create two important institution, that is Sukarelawan Karya
Batalyon and Struggle West Irian Money in Central Java. A big contribution from
people in Central in West Irian liberation is evidence that civil society has
important contribution to History of Indonesia.
Keyword: West Irian, Trikora, volunteer.
viii
SARI
Berdasarkan keputusan KMB, Irian Barat akan diserahkan kepada
Indonesia satu tahun setelah konferensi itu ditandatangani pada 27 Desember
1949. Namun hingga tahun 1961, Irian Barat tak kunjung diserahkan kepada
Indonesia. Semua cara yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk
mengembalikan wilayah Irian Barat selalu berakhir dengan kegagalan. Untuk
memastikan kembalinya Irian Barat ke negara Indonesia, Presiden Sukarno
mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan perspektif baru terhadap
narasi sejarah Indonesia yang dianggap masih militer-sentris. Metode penelitian
yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian sejarah yang meliputi
Heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan politik. Sumber penelitian adalah
arsip (arsip Front Nasional di Arsip Nasional Republik Indonesia (Jakarta)) dan
wawancara dengan F.Adiman (pelaku sejarah Trikora dari Jawa Tengah). Sumber
lain diambil dari harian Suara Merdeka Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Tengah memiliki
peran penting dalam proses pembebasan Irian Barat. Rakyat Jawa Tengah
menyambut Trikora dengan mengadakan berbagai kegiatan kegiatan seperti
pawai, rapat raksasa, mengumpulkan dana perang, nasionalisasi perusahaan
Belanda, doa bersama dan pertunjukan seni. Mereka mendukung dengan tenaga
maupun finansial. Untuk mendukung perang pembebasan Irian Barat, rakyat Jawa
Tengah membentuk dua lembaga penting yaitu Batalyon Sukarelawan Karya dan
Dana Perjuangan Irian Barat di Jawa Tengah. Kontribusi besar rakyat di Jawa
Tengah dalam pembebasan Irian Barat adalah bukti bahwa masyarakat sipil juga
memiliki kontribusi penting dalam sejarah Indonesia.
Kata kunci: Irian Barat, Trikora, sukarelawan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i
PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................... ii
PERNYATAAN ............................................................................. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................ iv
PRAKATA ...................................................................................... v
SARI ............................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan masalah .................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 5
E. Ruang Lingkup penelitian ....................................................... 5
F. Kajian Pustaka ............................................................................. 6
G. Metode Penelitian ..................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II KONDISI POLITIK DAN EKONOMI JAWA TENGAH 1961-
1962
x
A. Bidang Politik .............................................................................. 16
B. Bidang Ekonomi .............................................................................. 13
BAB III KAMPANYE TRIKORA DI JAWA TENGAH ....................... 28
A. Pernyataan Organisasi Masyarakat .......................................... 28
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ................................................ 28
2. Organisasi Pemuda ...................................................................... 29
3. Organisasi Buruh ......................................................................... 32
4. Organisasi Tani ............................................................................ 35
5. Organisasi Lain ........................................................................... 36
B. Kegiatan Menyambut Trikora ..................................................... 38
1. Rapat Samudra/ Rapat Raksasa ................................................... 28
2. Pekan raya Sriwedari di Surakarta .............................................. 46
3. Do’a Bersama .............................................................................. 47
C. Latihan Militer ............................................................................. 48
BAB IV MOBILISASI UMUM DI JAWA TENGAH............................. 52
A. Sukarelawan .............................................................................. 52
B. Batalyon Sukarelawan Karya Jawa Tengah ................................ 59
C. Mobilisasi di Bidang Ekonomi .................................................... 65
BAB V PENUTUP ................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
LAMPIRAN ........................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag pada
tahun 1949 menghasilkan sebuah keputusan bahwa Belanda mengakui Indonesia
sebagai sebuah negara berdaulat. Keputusan itu juga mengatur batas-batas
wilayah Republik Indonesia yakni dari Sabang sampai Merauke. Konferensi
tersebut tidak berjalan mulus, ada beberapa hal yang menjadi perdebatan panas
antara kedua belah pihak, salahsatunya masalah Irian Barat. Belanda berpendapat
bahwa wilayah Irian Barat tidak termasuk kedalam negara Republik Indonesia.
Pendapat tersebut berdasarkan pertimbangan kultural dan administrasi. Sedangkan
pihak Indonesia tetap menganggap Irian Barat sebagai saudara sebangsa yang juga
harus merdeka. Terjadi perdebatan sengit dan tak menemui titik temu. Akhirnya
kedua belah pihak sepakat masalah Irian Barat akan diselesaikan satu tahun
setelah konferensi itu ditandatangani.1. Namun satu tahun setelah konferensi itu
ditandatangani pembahasan tentang Irian Barat tidak pernah terjadi lagi. Belanda
masih tetap berkuasa di Irian Barat hingga tahun 1960. Tahun 1949 hingg tahun
1960 menjadi periode penuh konflik dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Terjadi
perpecahan dalam tubuh masyarakat yang diakibatkan oleh sistem Demokrasi
Liberal. Akibatnya masalah Irian Barat menjadi terpinggirkan.
1Marwati Djoenoed Poespobegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008) hlm 436-437
2
Untuk mengatasi kekacauan dalam negeri Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi:
1. Membubarkan Konstituante
2. Memberlakukan kembali UUD 1945
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit tersebut menandai berakhirnya masa Demokrasi Liberal dan menandai
dimulauinya sistem Demokrasi Terpimpin yang menjadikan Sukarno menjadi
pusat kekuasaan. Demokrasi Terpimpin berdampak pada penyelesaian masalah
Irian Barat. Sejak tahun 1959 pembebasan Irian Barat selalu menjadi progam
kerja kabinet. Sejak saat itu kebijakan politik terhadap masalah Irian Barat
ditinggatkan menjadi politik konfrontasi.2 Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda yang ada di Indonesia merupakan manifestasi dari konfrontasi di bidang
ekonomi. Walaupun hal tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1950-an namun di
era Demokrasi Terpimpin hal tersebut dilakukan secara lebih masif. Konfrontasi
di bidang politik dilakukan dengan jalan memutusan hubungan diplomatik dengan
Belanda. Pada tahap selanjutnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk
melakukan konfrontasi di semua bidang.3
Usaha pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah Irian Barat selama
tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin belum membuahkan hasil. Hingga akhir
tahun 1961 Belanda masih tetap berkuasa atas Irian Barat. Atas pendirian pihak
2Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro, Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya,
(Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro, 1977) hlm 609 3Ibid
3
Belanda tersebut pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan konfrontasi
secara fisik. Pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di alum-alun utara kota
Yogyakarta Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul Trikora (Tri
Komando Rakyat) yang berisi tiga perintah yakni;
1. Gagalkan pembentukan Negara Papua bikinan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum.
Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat dan mengangkat Mayjend Suharto sebagai pemimpinnya.4 Trikora
menjadi titik awal konfrontasi total Indonesia terhadap kekuasaan Belanda di Irian
Barat.
Dukungan terhadap Trikora datang dari seluruh penjuru negeri, tak terkecuali
Jawa Tengah. Rakyat Jawa Tengah menyambut Trikora dengan penuh antusias.
Jawa Tengah menjadi daerah yang mendukung penuh gerakan Trikora. Hal itu
disebabkan oleh mayoritas penduduknya yang berafiliasi dengan partai politik
pendukung setia Presiden Sukarno (PNI dan PKI)5.
Untuk menfasilitasi antusiasme rakyat dalam mendukung Trikora pemerintah
mengeluarkan peraturan yang memungkinkan warga negara menjadi tenaga
4Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
No.1 Tahun 1962. 5 Pada Pemilu 1955 di wilayah Jawa Tengah PNI memperoleh 3.042.930 suara sementara PKI
memperoleh 2.386.693 suara . Pada Pemilu daerah tahun 1957 situasi tersebut berbalik.
4
sukarelawan pembebasan Irian Barat.6 Hal tersebut juga sebagai tindak lanjut poin
ketiga Trikora (mobilisasi umum). Pasukan sukarelawan pembebasan Irian Barat
dibentuk di seluruh wilayah Indonesia. Di Jawa Tengah pasukan sukarelawan itu
diberi nama Batalyon Karya Sukarelawan yang terbentuk berkat kerjasama antara
Kodam VII/Diponegoro dengan Pengurus Front Nasional Jawa Tengah. Pasukan
Batalyo Karya Sukarelawan berangkat melalui dua gelombang. Gelombang
pertama berangkat pada tanggal 18 Februari 19627 sedangkan gelombang kedua
berangkat pada tanggal 18 Juli 19628.
Keberadaan Batalyon Sukarelawan Karya menjadi bukti bahwa kembalinya
Irian Barat kedalam wilayah Indonesia tidak hanya berkat jasa militer saja.
Setelah Orde Baru berkuasa narasi sejarah mengenai perang Irian Barat hanya
dipandang dari satu perspektif saja. Menuliskan peran sipil dalam sejarah perang
Irian Barat merupakan langkah awal untuk melengkapi kekosongan narasi
tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasar uraian latar belakang yang sudah dituliskan, terdapat
beberapa pertanyaan mengenai industri di Magelang sebagai berikut:
a. Kelompok masyarakat apa saja yang mendukung Trikora?
b. Bagaimana proses mobilisasi umum di Jawa Tengah?
6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1962 tentang Pemanggilan dan
Pengerahan Semua Warga Negara Dalam Rangka Mobilisasi Umum Untuk Kepentingan Kemanan
Dan Pertahanan Negara 7Ibid, 19 Februari 1962, hlm 2
8Ibid, 19 Juli 1962, hlm 2
5
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain:
a. Mengetahui reaksi masyarakat Jawa Tengah terhadap Trikora
b. Mengtahui proses mobilisasi umum yang terjadi di Jawa Tengah
c. Mengetahui bentuk konfrontasi ekonomi terjadi di Jawa Tengah
d. Melengkapi narasi sejarah yang dinilai masih militer-sentris
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
a. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan terhadap ilmu pengtahuan, khususnya sejarah
pelaksanaan Trikora yang terjadi di Jawa Tengah
b. Memberikan wawasan pada penelitian lain tentang pelaksanaan Trikora
b. Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya
mempertahankan kedaulatan negara.
E. Ruang lingkup penelitian
Dalam penelitian sejarah perlu dilakukan pembatasan ruang lingkup agar
penelitian menjadi terarah, fokus dan tidak melebar. Dalam kaidah
6
historiografi pembatasan ruang lingkup penelitian dibagi menjadi dua yakni
lingkup ruang (spatial scope) dan lingkup waktu (temporal scope).
Spatial scope pada penelitian ini meliputi wilayah di Jawa Tengah yang
pada tahun 1961 sampai 1962 yang masuk dalam berita atau arsip. Temporal
scope penelitian ini difokuskan pada tahun 1961 sampai 1962. Pemilihan
waktu itu didasarkan pada pidato Trikora hingga ditandatanganinya
kesepakatan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.
F. Kajian Pustaka
Semenjak berdirinya Orde Baru, penulisan sejarah di Indonesia
didominasi oleh sejarah militer. Asvi Warman Adam dalam tulisannya
berjudul “Militerisasi Sejarah Indonesia: Peran A.H. Nasution” yang dimuat
dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia mengatakan bahwa
Orde Baru telah memulai apa yang disebut militerisasi sejarah. Upaya
membentuk narasi sejarah militer dilatarbelakangi oleh berkembangnya narasi
sejarah kiri. Kedekatan Sukarno dengan tokoh-tokoh PKI membuat sang
presiden semakinn condong ke kiri. Kecenderungan tersebut juga terjadi
dalam penulisan sejarah. Menjelang tahun 1965 banyak diselenggarakan
kursus revolusi yang salahsatu isinya memberi pengetahuan sejarah yang
sesuai dengan cita-cita revolusi yakni mewujudkan Indonesia yang sosialis.
Hasil dari kursus tersebut adalah terbitnya buku Sejarah Pergerakan Nasional
(1908-1964) Berdasarkan kuliah-kuliah Sejarah Pergerakan Nasional, Kursus
Kader Revolusi Angkatan Dwikora yang ditulis oleh Tim Pembantu Sejarah
7
Pergerakan Nasional, Pengurus Besar Front Nasional Jakarta (1964) pimpinan
Ali Sastromidjojo (PNI) dan tim ketua tim pelaksanaanya diketuai oleh Anwar
Sanusi (PKI). Selain itu, PKI juga memiliki lembaga penelitian sejarah yang
berama Akademi Ranggawasita.
Untuk melawan berkembangnya narasi sejarah yang kiri, A.H
Nasution bersama Nugroho Notosusanto menyusun buku Sejarah Singkat
Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Buku tersebut ditulis untuk
menunjukkan bahwa peritiwa Madiun 1948 adalah pemberontakan komunis.
Tanggal 30 September 1965 terjadi sebuah percobaan kudeta. Dalam waktu
singkat militer mampu mengatasi pemberontakan itu. PKI menjadi pihak yang
disalahkan dalam peristiwa yang mengakibatkan matinya 7 jenderal itu.
Dalam waktu singkat pula, narasi resmi tentang peristiwa tersebut tersebar
luas. Melalui buku “40 Hari Kegagalan G30S, 1 November 1965” yang
diterbitkan oleh Staf Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Sejarah, militer
membangun narasi sejarah dan menggiring opini publik untuk semakin
menyudutkan PKI. Saat itulah militerisasi sejarah Indonesia dimulai.
Walaupun singkat tulisan Asvi Warman Adam menjadi titik awal
untuk menjawab sebuah pertanyaan besar: mengapa sejarah bangsa Indonesia
didominasi cerita kepahlawanan militer saja?
Peran sipil dalam Trikora termasuk dalam partispasi politik. Buku yang
digunakan penulis untuk menganalisis partisipasi politik rakyat Jawa Tengah
dalam pelaksanaan Trikora adalah buku Pengantar Sosiologi Politik karya
8
Prof. Dr. Damsar. Buku ini menjelaskan realitas politik berikut gejala dan
fenomena yang terjadi di sebuah negara. Konsep partisipasi politik dibagi
menjadi dua yakni partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi
otonom adalah partisipasi yang dilakukan secara sadar, tanpa tekanan, dan
sukarela. Sedangkan partisipasi mobilisasi adalah partisipasi yang dilakukan
secara tidak sadar, ada tekanan atau ada unsur paksaan, sekecil apapun ia.
Dalam memahami sejarah Trikora dua konsep itu saling terkait antara satu
dengan yang lainnya. Keterlibatan rakyat sipil Trikora bisa dimaknai sebagai
partisipasi otonom, sebab mereka secara sukarela baik individu maupun
kelompok mendaftarkan diri sebagai tenaga sukarelawan tanpa ada paksaan
dari pihak manapun. Tetapi disisi lain keterlibatan rakyat sipil juga bisa
dimaknai sebagai partisipasi mobilisasi, hal itu didukung oleh fakta bahwa
dalam proses mobilisasi umum organisasi masyarakat maupun organisasi
politik juga mewajibkan anggotanya untuk mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan. Konsep partisipasi politik dalam buku ini sangat membantu
penulis dalam mengidentifikasi sejarah Trikora di Jawa Tengah.
Sejarah Trikora sudah ditulis sejak masa Orde Baru. Buku yang membahas
perang Irian Barat yang pertama kali ditulis adalah buku Sejarah Operasi-
Operasi Pembebasan Irian Barat karya Drs.M.Cholil yang dikeluarkan oleh
Pusat Sejarah ABRI pada tahun 1971. Secara garis besar buku itu membahas
akar konflik antara Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat. Pada Bab awal
penulis menuliskan secara kronologis perjalanan konflik Irian Barat mulai dari
awal kemerdekaan hingga era demokrasi terpimpin. Pada bagian ini
9
Drs.M.Cholil menjelaskan tentang persoalan-persoalan disekitar sengketa
Irian Barat, usaha-usaha penyelesaian sengketa Irian Barat yang dilakukan
oleh Indonesia secara langsung, perjuangan membebaskan Irian Barat di
forum internasional, konfrontasi di bidang politik dan ekonomi, hingga pada
persiapan konfrontasi di bidang militer. Pada bab-bab selanjtnya buku ini
membahas mengenai orperasi-operasi militer yang dilkakukan oleh pihak
Indonesia, dimulai dari pembentukan komando mandala, proses infiltrasi
tantara Indonesia ke wilayah Irian Barat, hingga pada operasi Jayawiyaja dan
proses penyerahan Irian Barat oleh PBB kepada Indonesia. Buku ini
membahas Trikora dari perspektif militer karena diterbitkan oleh Pusat
Sejarah ABRI, oleh karena ditulis untuk kepentingan militer maka
pembahasan buku ini belum menyentuh peran sipil. Walau demikian isi dari
buku ini membantu penulis dalam mengidentifikasi masalah bilateral antara
Indonesia dengan Belanda di sekitar sengketa Irian Barat.
Tulisan lain yang membahas Trikora dapat diremukan dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia VI terbitan Balai Pustaka. Buku ini meembahas perjalanan
sejarah bangsa Indonesia dari zaman penjajahan Jepang hingga zaman
republik. Pembahasan mengenai pembebasan Irian Barat dapat dijumpai pada
Bab IV bagian C. Sama halnya dengan buku Operasi-Operasi Pembebasan
Irian Barat, buku ini juga menuliskan sejarah Trikora dari perspektif militer.
Bagian awal membahas usaha diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia
untuk mengembaliikan Irian Barat. Walaupun di bagian awal berfokus pada
peranan sipil, namun pada bagian berikutnya pembahasan berfokus pada
10
pernanan tantara dalam operasi-operasi pembebasan. Hal ini tentu
disayangkan mengingat seri buku Sejarah Nasional Indonesia merupakan
sumber pembelajaran sejarah dari masa Orde Baru bahkan hingga sekarang.
Walau demikian buku Sejarah Nasional Indonesia VI masih relevan untuk
dijadikan sumber, sebab buku ini mampu memberi gambaran umum tentang
sengketa Irian Barat.
Selain buku, informasi mengenai Trikora juga bisa didapat dari koran.
Tulisan di harian Suara Merdeka edisi 2 Januari 1962 berjudul “Gema Siap
Laksanakan Komando Rakyat Bergelora Di Seluruh Tanah Air” adalah
salahsatunya. Secara garis besar tulisan itu berisi tentang dukungan organisasi
masyarakat terhadap Trikora. Organisasi massa yang dimaksud antara lain
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Partai Murba, Angkatan
45, Serikat Buruh Listrik Gas, Serikat Buruh PPK, dan Persatuan Pencak Silat.
Dari berita tersebut kita jadi tahu bahwa rakyat sipil juga berperan penting
dalam Trikora. Walau demikian berita tersebut hanya memberi informasi
peran organisasi massa secara umum, belum spesifik di wilayah Jawa Tengah.
Buku Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs memberi perspektif
lain mengenai konflik Irian Barat. Dalam tulisannya M.C. Ricklefs mengambil
perspektif politik dalam menyikapi masalah Irian Barat. Ia menyatakan bahwa
politik pembebasan Irian Barat menjadi ladang bagi kelompok politik untuk
memperbesar pengaruhnya, dalam hal ini PKI dan militer menjadi dua
kekuatan yang saling mengambil kesempatan.
11
Kampanye pembebasan Irian Barat dimanfaatkan oleh PKI untuk
memperbesar anggotanya. Memasuki tahun 1962 perekonomian Indonesia
semakin terperosok, inflasi merangkak mencapai 100 persen pertahun.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh PKI untuk melakukan kampanye. Hal itu
semakin diperparah dengan bergantungnya militer Indonesia terhadap bantuan
senjata Uni Soviet. Kondisi tersebut semakin meyakinkah Amerika Serikat
bahwa pembebasan Irian Barat hanya akan menggiring Indonesia semakin ke
kiri. Melihat kondisi tersebut Amerika Serikat menjadi khawatir. Melalui
sebuah perundingan Amerika Serikat mendesak Belanda untuk segera
meninggalkan Irian Barat.
Buku ini tidak begitu membantu penulis karena tidak dituliskan secara
kronologis namun secara politis. Selain itu cangkupan spasial yang digunakan
bersifat nasional sehingga tidak bisa menjelaskan bagaiamana Trikora
dilaksanakan di daerah-daerah. Walau demikian M.C. Ricklefs mampu
memberi perspektif baru mengenai konflik Irian Barat. Hal itu membantu
penulis mengingat kajian dari penelitian ini juga berfokus pada aspek politik.
Peran militer Kodam VII/Diponegoro dalam Trikora dapat kita temui
dalam buku Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya keluaran Dinas Sejarah
Militer Kodam VII/Diponegoro. Buku ini secara umum membahas sejarah
Kodam VII/Diponegoro dari awal kemerdekaan hingga 1970-an. Buku ini
juga menuliskan peristiwa sejarah yang terjadi di wilayah hukum Kodam
Diponegoro (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) selama masa
revolusi fisik (1945-1949) diantaranya; peristiwa perebutan senjata Kampetai
12
di Banyumas,Yogyakarta, dan Magelang, serta Pertempuran Lima Hari di
Semarang. Pembahasan mengenai peran Kodam VII/Diponegoro dalam
perang Irian Barat terdapat pada halaman 609 sampai 614. Diporeloh
keterangan bahwa untuk menyukseskan rencana strategi infiltrasi ke wilayah
Irian Barat Kodam VII Diponegoro mengirimkan 2 Ki Para YON 454 pada
tanggal 21 Maret 1962 yang ditempatkan di Ambon. Sambil menunggu untuk
diterjunkan ke Irian Barat pasukan itu diberi tugas untuk bercocok tanam dan
membantu warga sekitar. Untuk menambah kekuatan infiltrasi ke wilayah
Irian Barat juga dibentuk Batalyon Brigade 7/Rimba Raya Kodam
VII/Diponegoro. Hingga akhir Juli 1962 terdapat beberapa pasukan yang
sudah berada di Irian Barat, diantaranya adalah 3 Ki ParaYon 554 Kodam
VII/Diponegoro. Dari buku ini penulis memperolehnya informasi mengenai
pasukan dari Kodam VII/Diponegoro yang dikirim ke Irian Barat. Hal tersebut
membantu penulis dalam menuliskan mobilisasi umum yang terjadi di Jawa
Tengah. Namun buku ini hanya menjelaskan secara ringkas peran Kodam
VII/Diponegoro dalam perang Trikora dan sama sekali tidak menyinggung
peran sipil.
Belum ada buku yang secara spesifik membahas peran sipil dalam Trikora.
Untuk menjawab kekurangan itu tulisan Muljono yang dimuat di Suara
Merdeka edisi 16 Agustus 1962 halaman 6 yang berjudul “Aku Tidak Akan
Kembali Sebelum Bebaskan Irian Barat” layak dijadikan referensi. Dalam
tulisannya Muljono memberi keterangan bahwa Batalyon Sukarelawan Karya
Jawa Tengah berangkat ke Irian Barat melalui dua gelombang. Gelombang
13
pertama fokusk untuk perang, mereka dibekali latihan militer sebelum
diberangkatkan. Gelombang kedua fokus pada pembangunan. Skarelawan
yang berangkat terdiri dari orang-orang yang ahli di bidang tertentu seperti
pertanian, kelautan, dan jalan. Rakyat yang belum mendapat menyumbangkan
logistic yang beratnya mencapai 2 ton, terdiri dari makanan-makanan kering,
lauk pauk, sabun mandi, sabun cuci, tembakau, dan rokok. Tulisan ini sangat
membantu penulis untuk melengkapi kajian pustaka, sebab tulisan ini mampu
menutupi kekurangan dari buku-buku yang sudah ada. Hanya saja tulisan ini
belum mampu memberi keterangan bagaimana keadaan sukarelawan di medan
perang karena berfokus pada persiapan keberangkatan saja.
Sedikit keterangan tentang kondisi medan perang Irian Barat ditemuukan
di jurnal International Center for Transitional Justice (ICTJ) dalam tulisan
berjudul “Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi”. Jurnal tersebut membahas
pelanggaran HAM di Papua sejak wilayah itu diintegrasikan kedalam wilayah
Indonesia pada tahun 1962. Pembahasan mengenai sejarah pengintegrasian
Irian Barat terdapat pada bagian IV, hal itu bisa sedikit memberi gambaran
tentang keadaan sukarelawan di medan perang. Pada awal Mei 1962, tantara
Indonesia diterbangkan ke wilayah kepala burung (barat pulau Papua), diikuti
oleh operasi Angkatan Laut yang terbesar dalam sejarah. Belanda mendirikan
polisi Papua (Papua Vrijwilliger Korps) kemudian dikenal dengan nama
Korps Sukarelawan Papua pada tahun 1960 sebagai upaya mempercepat
kemerdekaan Irian Barat. Keberadaan Korps Sukarelawan Papua memberi
14
keterangan bahwa lawan pasukan Indonesia di Irian Barat tidak hanya tantara
Belanda saja, tetapi juga rakyat sipil Irian Barat. Keterangan yang diperoleh
dari jurnal ini cukup membantu penulis menjelaskan kondisi Sukarelawan
Pembebasan Irian Barat di medan tempur, walaupun hanya sedikit dan
kajiannya berfokus pada pelanggaran HAM.
G. Metode penelitian
Dalam penelitian diperlukan sebuah metode, sebab metode merupakan
syarat mutlak sesuatu bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
sejarah terdapat beberapa langkah dalam metode penelitian antara lain
heuristisk (pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi
penulisan sejarah) (Wasino, 2018).
a. Heuristik
Heuristik adalah tahap pengumpulan sumber penelitian. Sumber penelitian
yang dimaksud adalah arsip, koran, dan sumber-sumber lain yang dinilai
relevan. Pencarian sumber Trikora dilakukan di Arsip Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Museum Mandala Bhakti Semarang, dan Depo Arsip
Suara Merdeka Semarang. Selain itu penulis juga melakukan wawancara
dengan F. Adiman, seorang pelaku sejarah Trikora yang masih hidup.
b. Kritik sumber
Sumber penelitian adalah arsip (arsip Front Nasional di Arsip Nasional
Republik Indonesia (Jakarta)) dan wawancara dengan F.Adiman (pelaku
15
sejarah Trikora dari Jawa Tengah). Keterangan F. Adiman tidak banyak
membantu karena yang bersangkutan adalah tantara sedangkan fokus kajian
skripsi ini adalah sipil. Informasi penting yang diambil penulis dari keterangan
F. Adiman adalah mengenai kondisi sukarelawan di medan perang (walau
sedikit).
Sumber lain diambil dari harian Suara Merdeka Semarang. Sumber Yang
didapat dari ANRI tidak lengkap, hanya beberapa surat Pengurus Pusat Front
Nasional kepada Pengurus Daerah Front Nasional tentang pelaksanaan
progam kerja, salahsatunya kampanye pembebasan Irian barat. Arsip-arsip
tersebut tidak memberi gambaran objek penelitian, walau begitu arsip-arsip
tersebut sedikit membantu. Kekurangan dari masing-masing sumber ditutupi
oleh ketarangan sumber lain.
c. Interpretasi
Interpretasi adalah penafsiran/penilaian terhadap sumber yang sudah
didapatkan. Penilaian didasarkan pada tema penelitian.
d. Historiografi
Historiografi adalah proses menuliskan sejarah berdasarkan sumber-
sumber yang sudah didapatkan. Sumber-sumber yang sudah diinterpretasikan
kemudian ditulis untuk menjawab rumusan masalah penelitiaan. Tahap ini
merupakan tahap akhir dalam metode penelitian sejarah.
H. Sistematika penulisan
16
BAB I
Bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Bab ini menerangkan kondisi Jawa Tengah pada tahun 1961-1962 dilihat dari
aspek politik dan ekonomi.
BAB III
Bab ini menjelaskan respon organisasi masyarakat dan organisasi politik di
Jawa Tengah terhadap Trikora. Selain itu juga membahas kegiatan rakyat Jawa
Tengah dalam menyambut Trikora.
BAB IV
Bab ini membahas tentang proses mobilisasi umum yang terjadi di berbagai
wilayah di Jawa Tengah. Mobilisasi yang dimaksud adalah mobilisasi massa dan
mobilisasi ekonomi.
BAB V
Bab ini berisi penutup.
17
BAB II
KONDISI POLITIK DAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN
1961-1962
A. Bidang politik
Jawa Tengah tahun 1961-962 dipimpin oleh Gubernur Mochtar yang berasal
dari tantara, sedangkan pucuk pimpinan DPR-GR Provinsi dipegang oleh Imam
Sofwan dari partai NU, Sumario dari PNI, dan Musajid dari PKT9.
Demokrasi Terpimpin adalah masa penuh gonjang-ganjing politik. Pemerintah
menyelenggarakan progam indoktrinasi Manipol USDEK sebagai usaha
menggenjot semangat revolusi bangsa Indonesia. Indoktrinasi Manipol USDEK
dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali Jawa Tengah. Indoktrinasi
Manipol USDEK dilaksanakan oleh Panitia Front Nasional mulai dari tingkat
provinsi hingga tingkat kecamatan.10
.
Demokrasi Terpimpin adalah masa yang sangat politis karena rakyat banyak
mendapat pendidikan politik. Kedigdayaan PNI dan PKI di Jawa Tengah
dibarengi dengan luasnya pengaruh underbow dari kedua partai tersebut membuat
era Demokrasi Terpimpin di Jawa Tengah menjadi masa paling politis sepanjang
sejarah. Underbow PKI seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan
Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) mendapat dukungan luas dari masyarakat.
9Suara Merdeka, 3 Februari 1962 hlm 2
10Setelah menerima materi tentang Manipol USDEK selanjutkan peserta indoktrinasi akan diuji
pengetahuannya. Tidak hanya rakyat di desa-desa saja yang mendapat indoktrinasi Manipol
USDEK, pegawai jawatan pun tak ketinggalan mendapat indoktrinasi dan ujian tersebut, seperti
yang dialami pegawai Jawatan Metrologi Semarang dimana mereka harus melaksanakan
indoktrinasi dan ujian Manipol USDEK. Lihat Suara Merdeka, 1 Februari 1962 hlm 2
18
Sedangkan underbow PNI seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga mendapat dukungan luas
walaupun kalah pamor dari underbow PKI. Hingga tahun 1962 PKI dan PNI tetap
mendominasi perpolitikan di Jawa Tengah.
Selain underbow partai politik, juga terdapat kelompok masyarakat lain yang
tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu seperti Hoakiau, Persatuan Pamong
Desa (PPDI), Wanita Katholik, Serikat Buruh Teknik Umum (SBTU), Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Serikat Buruh Muslimin Indonesia
(Serbumusi). Walau bukan underbow partai politik, organisasi-organisasi tersebut
memiliki kesadaran politik tinggi dan berperan penting dalam pelaksanaan
Trikora.
Demokrasi Terpimpin juga masa yang penuh huru-hara. Banyak gerakan
separatis di berbagai wilayah di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu Presiden
Sukarno mengeluarkan SOB11
. Namun SOB yang dimaksudkan untuk menjaga
keamanan negara dimanfaatkan oleh tantara untuk bermain politik12
. Melalui
undang-undang itu tantara memiliki wewenang mengurus masalah sipil dengan
dasar menjaga keamanan dan ketertiban negara. Tentara mengambil peran penting
dalam urusan pemerintahan yang sejatinya menjadi warga sipil.
Trikora yang memberi dampak terhadap kondisi perpolitik di Jawa Tengah.
Setelah Trikora dibacakan tentara semakin memperkuat dominasinya atas sipil
11
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 1957 tentang Pencabutan “Regeling Op
De Staat Oorlog En Beleg” Dan Penetapan “Keadaan bahaya” 12
Pada pemilihan umum 1955 pihak militer juga berpartispasi dalam pemilihan umum melalui
partai politik seperti Persatuan Pegawai Polisi RI maupun melalui perseorangan, namun mereka
tidak memperoleh suara sehingga kalah dalam [emilihan umum tersebut. Lebih lanjut baca Herbert
Feith, Pemilihan Umum 1955.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006)
19
melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan dalam rangka menyambut Trikora.
Latihan militer dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kewaspadaan akan
datangnya serangan musuh sekaligus menyiapkan tenaga cadangan bagi tantara.
Di Jawa Tengah dilaksanakan beberapa pelatihan militer pada periode 1961-
1962. Di Pekalongan, Pangrem 71 Wijayakusuma menginstruksikan agar setiap
desa di wilayah Karisidenan Banyumas dan Pekalongan membentuk sedikitnya
satu pleton barisan pasukan pemuda yang siap untuk dilatih kemiliteran. Selain itu
Sekolah Lanjutan Atas diwajibkan membentuk satu kompi yang terdiri dari tiga
pleton yang masing terdiri dari dua regu yang berisi 13 orang yang juga akan
mendapatkan pelatihan kemiliteran13
. Di Semarang terdapat Batalyon Mahasiswa
Diponegoro yang beranggotakan 284 mahasiswa. Jumlah itu terdiri dari 2 kompi
putera dan satu kompi puteri. Pasukan itu akan mendapat pelatihan militer dua
kali seminggu selama 3 sampai 4 bulan14
. Di Purworejo terdapat 1000 siswa SMA
yang tergabung dalam Batalyon SMA Purworejo yang dilantik pada tanggal 2
Februari 196215
. Di Surakarta terdapat 98 pleton yang terdiri dari 4.410
mahasiswa dan pemuda yang mendapat pelatihan militer dari tanggal 1 Februari
sampai 18 Mei 196216
.
Di Semarang, tepatnya di Kecamatan Gunungpati terdapat 43 siswa
mendapatkan pelatihan pembinaan wilayah dari tantara selama 4 hari17
. 43 siswa
itu dibagi dalam dua pleton, Pleton I dipimpin oleh Suprapto dan pleton II
dipimpin oleh Sutarjono. Dalam latihannya pleton-pleton itu dipecah lagi menjadi
13
Suara Merdeka, 30 Januari 1962 hlm 2 14
Suara Merdeka, 1 Februari 1962 hlm 2 15
Suara Merdeka, 3 Februari 1962 hlm 2 16
Suara Merdeka, 19 Februari 1962 hlm 2 17
Suara Merdeka, 8 Februari 1962 hlm 2
20
kelompok-kelompok yang lebih kecil dan disebar ke seluruh kelurahan di
kecamatan Gunungpati. Kelompk kecil itu terdiri dari 2-3 orang yang menumpang
di rumah warga sekitar. Para siswa ditugaskan untuk melakukan pertahanan dan
keamanan wilayah yang meliputi pelatihan pasukan-pasukan OPR, menyusun
regu-regu Bahaya Udara, PP/PK, dan pemadaman kebakaran. Selain itu para
siswa juga diberi tugas menyusun usaha pembangunan. Banyak dari mereka
bersama warga sekitar melakukan kerja bhakti membangun jalan, selokan,
pancuran air dan belik yang penting peranannya bagi warga sekitar. Tidak hanya
sampai disitu, para siswa juga diberi tugas melakukan ceramah nasionalisme dan
pentingnya pembinaan wilayah. Mereka rutin mengikuti rapat yang diadakan
perangkat desa.
Kondisi sosial masyarakat Jawa Tengah tahun 1961-1962 menggambarkan
suasana penuh kewaspadaan. Masyarakat dilarang melakukan hal-hal yang dapat
mengacaukan keadaan, dalam hal ini dilarang membentuk pasukan sendiri tanpa
seijin penguasa perang setempat. Panglima Daerah Militer VII/Diponegoro dalam
maklumatnya tanggal 16 Januari 1962 mengintruksikan:
1. Sejak Dekrit PJM Presiden Panglima Tertinggi pada tanggal 5 Juli
1959 tentang kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan
berarti pula kita kembali kepada semangat revolusioner 1945 yang
selanjutnya diikuti dengan pidato-pidato belau yang kita kenal Manipol
Usdek, Jarek, dan Resopim adalah merupakan komando dan
penggugah jiwa bangsa Indonesia untuk mengenal pribadinya sendiri
21
serta menyadari bahwa ikrar bersamanya revolusi di segala bidang
secara mkenyeluruh belum selesai.
2. Hiruk pikuk bangsa Indonesia dalam bertekad meneruskan dan
menyelesaikan revolusi telah berjalan beberapa tahun tambah hari
tambah tampak nyata adanya maha tugas yang harus diselesaikan
diantaranya menyelesaikan tugas melenyapkan papa penderitaan
rakyat dengan melengkapi sandang-pangan, memulihkan keamanan
dan ketertiban dalam negeri, dan mengutuhykan wilayah yang masih
ada sebagian masih dicengkram oleh imperialis, ialah wilayah Irian
Barat. Pola pembangunan semesta berencana tahapan pertama harus
kita mulai, harus kita selesaikan retooling di segala bidang, kita
selesaikan landreform, kita selesaikan pemberantasan buta huruf,dan
kita susun ekonomi terpimpin.
3. Untuk melaksanakan itu keseluruhannya kita tidak bebas dari pada
lawan-lawan dan perintang-perintang yang menghalangi, baik yang
berupa kekurangan-kekurangan kita akan alat-alat biaya, kemampuan
lain, maupun yang berupa serangan-serangan gerakan subversiv asing
yang tidak menghendaki kejayaan bangsa Indonesia.
4. Dalam kesibukan bangsa Indonesia tertekun kepada tugas-tugas diatas,
lebih dibangunkan semangatnya dengan mendengungkan komando
rakyat 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Tertegarlah jiwa kita akan
salah satu tugas revolusi kita ialah membebaskan Irian Barat.
22
5. Tidak perlu lagi kita tawar, sebab seluruh warga bangsa Indonesia
pasti menghendaki bebasnya Irian Barat dari cengkraman imperialis.
Meluapnya hasrat berjuang timbul di segala penjuru tanah air.
6. Khusus untuk melaknakan progam ketiga jangka pendek revolusi
Indonesia tentang pembebasan Irian Barat ini, disamping kedua
progam yang tidak bisa ditinggalkan ialah melengkapi sandang pangan
dan pemulihan keamanan dalam negeri, perlu menganjurkan kepada
masyarakat Jawa Tengah: (a) Waspadalah dan taatilah petunjuk-
petunjuk dari yang berwajib didalam melaksanakan Trikomando
Rakyat. (b) jangan bertindak sendiri-sendiri yang hakekatnya
membuang-buang daya juang dengan sia-sia, perjuangan harus teratur
agar mendapat hasil yang maksimal. (c) membentuk kelompok atau
pasukan sendiri-sendiri adalah tidak benar sebelum ada ketentuan dari
pihak berwenang. (c) Perjuangan pembebasan Irian Barat tidak hanya
berupa penyerbuan terhadap kubu-kubu musuh, tetapi kita harus
perkuat pertahanan daerah masing-masing (home front) untuk
menghadapi serangan nyata maupun gerakan-gerakan subversiv yang
berupa serangan urat syaraf terhadap mental dan perekonomian kita.
(d) siap siaga dan waspadalah terhadap gerakan-gerakan yang akan
merugikan kita.
Maklumat itu menjadi rambu-rambu masyarakat Jawa Tengah dalam menyikapi
dukungan terhadap Trikora.
23
Secara garis besar kondisi politik Jawa Tengah tahun 1961-1962
menggambarkan suasana perebutan pengaruh antara PKI dan militer. Undang-
undang SOB membuat tantara masuk dalam urusan sipil atas dasar menjaga
keamanan dan ketertiban negara. Di sisi lain pertarungan politik antar partai juga
masih terjadi, hal itu ditandai dengan adanya variasi dalam kepemimpinan DPR
GR Provinsi Jawa Tengah tahun 1962. PNI, N.U, PKT, dan PKI saling berbagi
kekuasaan.
B. Bidang ekonomi
Provinsi Jawa Tengah adalah provinsi terpadat sejak tahun 1952. Pada waktu
itu kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Tengah ( pada waktu itu meliputi Jawa
Tengah dan Yogyakarta) mencapai 460 jiwa/km2 yang tersebar di 32
kabupaten/kota. Kenaikan jumlah penduduk tidak dibarengi dengan penyediaan
lapangan pekerjaan menyebabkan sebagaian besar penduduk mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya18
.
Kondisi ekonomi Jawa Tengah tahun 1961-1962 tak bisa dipisahkan dari
fenomena campur tangan militer terhadap sipil. Undang-undang SOB yang
dikeluarkan tahun 1957 jugamemberi wewenang kepada tantara untuk mengurus
bidang ekonomi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan
pemerintah Indonesia juga dinikmati oleh tantara dimana mereka diberi hak untuk
mengelola perkebunan-perkebunan yang di nasionalisasi.Walau telah dan masih
melakukan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, keadaan
18
Wicaksono (2006) dalam Tzabit Azinar Ahmad, “Kampanye dan Pertarungan Politik di Jawa
Tengah Menjelang Pemilihan Umum 1955”, Paramita Vol. 26 No. 1 tahun 2016, hlm. 45—61
24
ekonomi selama Demokrasi terpimpin masih mengkhawatirkan. Kemiskinan
masih menjerat Indonesia, uang negara terserap untuk menumpas gerakan sparatis
sedangkan sumber pendapatan negara waktu itu masih bertumpu pada ekspor
bahan mentah.
Jawa Tengah tahun 1961-1962 juga mengalami keadaan ekonomi yang buruk.
Hal itu dapat dilihat dari naiknya harga kebutuhan pokok dan bencana kelaparan
yang melanda beberapa daerah. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok terjadi
pada Februari 1962. Minyak tanah yang semula seharga Rp.210 naik menjadi
Rp.450, gula yang semula seharga Rp.750 naik menjadi Rp.12.5019
, dan tarif bis
kota mengalami kenaikan sampai 100%20
. Kondisi yang demikian memaksa
masyarakat hidup dalam lingkungan yang serba kekurangan. Pemerintah daerah
jawa Tengah berusaha keterpurukan ekonomi tersebut. Sidang DPR-GR Jawa
Tengah yang diselenggarakan tanggal 2 sampai 4 Februari 1962 menghasilkan
keputusan mendesak pemerintah pusat untuk menurunkan harga kebutuhan
pokok21
.
Selain naiknya harga kebutuhan pokok beberapa daerah juga mengalami
kelaparan akibat kurangannya pasokan beras. Untuk mengatasi bencana itu
pemerintah membentuk Komando Anti Lapar di seluruh wilayah Indonesia. Di
Jawa Tengah Komando Anti Lapar diketuai oleh Gubernur Mochtar. Militer juga
berkontribusi dalam menangani bencana kelaparan itu. Kontribusi tantara dalam
penanganan kelaparan di Jawa Tengah dibuktikan dengan memberi sumbangan
19
Suara Merdeka, 1 Februari 1962 hlm 2 20
Suara Merdeka, 9 Februari 1962 hlm 2 21
Suara Merdeka, 5 Februari 1962 hlm 2
25
RP. 2 ½ Juta dan 250 ton beras yang diwakili oleh Kodam VII/Diponegoro22
.
Selain menyumbang beras untuk menangani kelaparan, militer juga ikut andil
dalam kepengurusan Komando Anti Lapar. Tangga;l 8 Februari 1962 diadakan
rapat Komando Anti Lapar Jawa Tengah yang dihadiri oleh Gubenur Mochtar dan
pangdam VII/Diponegoro23
. Rapat tersebut membahas rencana untuk menguasai
produksi pangan agar tidak menimbulkan monopoli. Untuk merealisasikan
rencana tersebut dibentuklah seksi-seksi yakni seksi pertolongan, seksi
identifikasi produksi, dan seksi penguasaan produksi. Sebelum Komando Anti
Lapar terbentuk wilayah Jawa Tengah telah berhasil mengatasi kelaparan di
Wonogiri, Jepara, Blora, dan Grobogan dengan cara menguasai produksi di
daerah-daerah tersebut. Hal itulah yang melatarbelakang disusunnya rencana yang
sama terhadap semua wilayah di Jawa Tengah.
Selain kenaikan harga kebutuhan pokok dan bencana kelaparan, gejolak
ekonomi Jawa Tengah juga diwarnai aksi dukungan untuk menyita modal Belanda
dalam rangka konfrontasi ekonomi. Sebelum Trikora dibacakan sudah pemerintah
Indonesia sudah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di
Indonesia. Pada tanggal 30 September 1960 dilakukanlah nasionalisasi terhadap
perusahaan Semarangsche Stoomboot Eb Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V.
“Semarang Veer”. Tindakan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun 1960. Kedua perusahaan itu digabungkan menjadi satu dibawah
perusahaan N.V Semarang Dook Works (Perusahaan Dok Negara Semarang).24
22
Suara Merdeka, 3 Februari 1962 hlm 2 23
Suara Merdeka, 9Februari 1962 hlm 2 24
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960 tentang Nasionalisasi N.V. “Semarangsche
Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V)” Dan “Semarang Veer”
26
Melalui Peraturan Pemerintah tahun 1959 beberapa perusahaan-perusahaan
maritime milik Belanda telah dikenakan nasionalisasi sebagai pelaksanaan
Undang-undang Nomor 86 tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun
1958. Sebagai tindak lanjut dari aksi nasionalisasi itu, maka dilakukanlah
nasionalisasi terhadap perusahaan N.V Semarangsche Stoomboot En Prauwen
(S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer. Berhubung dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 61 tahun 1954 tentang perusahaan muatan kapal laut, S.S.P.V
dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri
sendiri untuk memudahkan [pengoperannya kepada perusahaan-perusahaan
nasional, sedangkan S.S.P.V sebagai “holding company”memegang saham-saham
dari N.V.2 baru itu. Ketika timbul aksi perjuangan pembebasan Irian Barat
perusahaan-perusahaan itu belum jadi dijual kepada perusahaan-perusahaan
nasional, sehingga dikuasai oleh negara.
Semangat untuk melanjutkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di
Jawa Tengah rupanya belum habis sampai tahun 1962. Hasil musyawarah
Gabungan Serikat Buruh tingkat Jawa Tengah tahun 1962 menghasilkan sebuah
kesepakatan mendesak pemerintah pusat untuk menyita semua modal Belanda
yang ada di Indonesia. Gabungan Serikat Buruh juga mendesak negara-negara
yang masih punya modal di Indonesia untuk tidak membantu Belanda.25
Di Salatiga pada bulan Maret 1962 diadakan rapat serikat-serikat buruh se-kota
Salatiga atas inisiatif dari KBKI dan SOBSI yang dihadiri oleh utusan dari
Jawatan Hubungan Perburuhan Resort Semarang. Pada rapat itu para buruh
25
Suara Merdeka 23 Februari 1962 hlm 2
27
sepakat untuk membentuk skertariat pembebasan Irian Barat di kota Salatiga.
Adapun susunan kepengurusannya antara lain: Ketua: DHP Resort Semarang,
wakil ketua: Abdulsalam (KBKI). Adapaun anggota-anggotanya antara lain:
Wagiman (Sobsi), Moh. Kasmuri (Serbumusi), R.S. Dwidjopranoto (SB
Pancasila), dan Sofian Achmadi (mewakili serikat buruh non vasentra)26
.
Perekonomian Jawa Tengah tahun 1961-1962 menggambarkan sesuatu yang
unik. Di satu sisi gairah melaksanakan Trikora bergelora begitu hebatnya, setiap
organisasi buruh dan organisasi perekonomian mendukung kebijakan tersebut
walaupun koeadaan ekonomi masih lemah yang ditandai dengan naiknya harga
kebutuhan pokok, tarif angkutan, dan bencana kelaparan yang melanda beberapa
wilayah.
26
Suara Merdeka, 3 Maret 1962 hlm 2
71
BAB V
PENUTUP
Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada
tahun 1949 Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. KMB
memang berhasil memberikan kedaulatan untuk Indonesia, namun ada satu hal
yang belum dibahas secara tuntas dalam (KMB) yakni masalah Irian Barat.
Berdasarkan konferensi tersebut Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia satu tahun setelah KMB. Namun janji itu tak pernah dipenuhi. Belanda
berdalih bahwa wilayah Irian Barat tidak memiliki ikatan kultural dengan
masyarakat Indonesia, Irian barat lebih dekat dengan kultur Oceania. Hal itulah
yang membuat Belanda tetap bertahan di Irian Barat. sedangkan pihak Indonesia
bersikukuh menganggap Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia yang harus
segera diserahkan. Argumen ini bukan tidak beralasan. Sidang PKKI tanggl 18
Agustus 1945 mengesahkan bahwa wilayah Republik Indonesia adalah wilayah
bekas Hindia Belanda.
Presiden Sukarno yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap Belanda
mengeluarkan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 yang berisi:
1. Gagalkan pembentukan negara booneka Papua buatan Belanda
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia
3. Bersiaplah untuk melaksanakan mobilisasi umum
Setelah Trikora dibacakan dibentuklah Komando Mandala yang diketuai
oleh Mayor Suharto. Komando Mandala bertugas untuk melakukan serangan
72
militer terhadap kekuasaan Belanda di Irian Barat. Pasukan itu berugas melakukan
infiltrasi ke wilayah musuh. Pertempuran di laut Aru tanggal 15 Januari 1962
adalah bagian dari proses infiltrasi tersebut.
Rakyat Jawa Tengah menyambut Trikora dengan penuh suka cita. Organisasi
yang ada menyatakan dukungan terhadap Trikora. Organisasi-organisasi tersebut
antara lain:
1. DPR-GR Jawa Tengah
2. Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) Jawa Tengah
3. Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Jawa Tengah
4. Serikat Buruh Pertahanan Keamanan (SBKP) Semarang
5. Wanita Katholik Semarang
6. Hoakian Jawa Tengah
7. Pemuda Rakyat Jawa Tengah
8. Barisan Tani Indonesia (BTI) Jawa Tengah
9. Pemuda Demokrat Kebumen
10. Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jawa Tengah
11. Legiun Veteran Republik Indoensia Semarang
12. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang
13. Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK)
14. Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) Jawa Tengah
15. Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) Jawa Tengah
73
Banyak kegiatan yang dilakukan rakyat Jawa Tengah dalam menyambut
Trikora antara lain pawai, rapat, pagelaran seni budaya, dan do’a bersama. Pada
bulan Januari 1962 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-ndang Nomor 1 Tahun 1962 tentang pemanggilan dan pengerahan semua
warga negara dalam rangka mobilisasi umum untuk kepentingan keamanan dan
pertahanan negara. Perpu tersebut menjadi dasar hukum pemerintah untuk
melaksanakan pelatihan milier dan pemanggilan tenaga sukarelawan dalam
rangka pembebasan Irian Barat. Setelah perpu tersebut keluar dilaksanakan
pelatihan militer di berbagai tempat di Jawa Tengah. Pelatihan militer
dilaksanakan untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi segala ancaman baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar. Latihan itu juga dilakukan untuk
mempersiapkan tenaga cadangan operasi pembebasan Irian Barat.
Untuk melaksanakan mobilisasi umum pemerintah menyerukan kepada
seluruh rakyat Indonesia untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan
pembebasan Irian Barat. Panitia pendaftaran sukarelawan terdiri dari Pengurus
Front Nasional dan militer. Front Nasional memainkan peranan penting karena
merekalahpihak yang menyediakan lokasi pendaftaran sukarelawan. Sedangkan
militer berperan sebagai pihak yang memberi pelatihan kepada calon sukarelawan
sebelum diberangkatkan ke Irian Barat.
Pendaftaran sukarelawan di fokuskan di kecamatan-kecamatan. Lokasi
pendaftaran berada di kantor Front nasional masing-masing ranting. Untuk
perusahaan dan universitas diperintahkan untuk membuka posko pendaftaran di
masing-masing universitas dan perusahaan. Antusiasme rakyat dalam
74
mendafatarkan diri sangat besar. Besarnya antusias itu dibuktikan dengan
banyaknya jumlah pendaftar yang tercatat. Hingga tanggal 8 Februari saja di Jawa
Tengah sudah ada 510.736 orang yang mendaftarkan sebagai calon sukarelawan.
Jumlah itu belum mencakup semua wilayah, sebab masih ada beberapa ranting
yang belum mengirimkan data. Walau jumlah yang pendaftar banyak namun
jumlah dipanggil terbatas. Pada tahap pertama calon sukarelawan yang menerima
panggilan ada 1000 yang dibentuk menjadi dua batalyon.
Batalyon Sukarelawan Karya Jawa Tengah I dipimpin oleh Lettu Darusman
dan berangkat pada 19 Februari 1962. Sedangkan Batalyon Sukarelawan Karya
Jawa Tengah gelombang II dipimpin oleh Lttu Soewario dan berangkat pada 19
Juli 1962.
Peranan pasukan sukarelawan dalam perang di Irian Barat tidak jelas.
Ketidakjelasan tersebut dikarenakan tidak ada laporan resmi dari pemerintah
tentang peran sukarelawan di medan perang. F. Adiman seorang pelaku Trikora
menerangkan bahwa selama ia berperang di hutan Irian Barat ia tak pernah
melihat pasukan sipil. Hal ini berarti bahwa pasukan sukarelawan yang berasal
dari spil tidak diterjunkan sebagai tenaga perang sebagaimana yang dilakukan
oleh milier profesional.
Untuk membiayai perang pembebasan Irian Barat pemerintah Indonesia
melakukan dua hal penting. Pertama melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia. Kedua menggalang dana
perang dari rakyat. Penggalngan dana tersebut dilakukan oleh sebuah badan
75
pemerintah yang bernama Dana Perjuangan Irian Barat (Dapib) yang diketuai oleh
Wakil Gubernur Sujono Atmo. Hingga tanggal 24 Agustus 1962 dana yang sudah
terkumpul mencapai Rp. 184.168.40.
Runtuhnya rezim Sukarno dan berdirinya rezim Orde Baru berdampak
terhadap informasi sukarelawan pembebasan Irian Barat. Berdirinya Orde Baru
dibarengi dengan dihilangkannya arsip-arsip yang berhubungan Trikora. Arsip
Front Nasional juga tak luput dari penghilangan tersebut. Hal itu menyebabkan
informasi mengenai peranan sipil dalam perang Irian Barat menjadi sangat minim.
Skripsi ini ditulis untuk memberi perspektif baru tentang sejarah Trikora yang
selama ini dibelokkan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Mariam. 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer
dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Cholil, M. 1971. Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat.
Jakarta: Pusat sejarah ABRI
Compton, Boyd. R. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta:LP3ES
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Perdana
Media Group
Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro. 1977. Rumpun Diponegoro
dan Pengabdiannya. Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro
Feith, Herbert. 2006. Pemilihan Umum 1955. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
International Center for Transitional Justice ICTJ). 2012. Masa Lalu yang
Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan
Sesudah Reformasi. Jakarta: International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Kartodirjo, Sartono. 1983. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
-------------.2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Materay, Bernarda. 2012. Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta:
KOMPAS
Nordholt, Henk Schulte dkk (ed). 2013. Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia. Jakarta: Obor
Onghokham. 2013. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, & G30S. Jakarta:
Komunitas Bambu
77
Poesponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Riclefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
Press.
Sanit, Arbi. 1995. Sistem Politik Indonesia: Kesetabilan, Peta Kekuatan
Politik Dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers
Subagyo. 2013. Membangun Kesadaran Sejarah. Semarang: Widya Karya
Wasino dkk. 2013. Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari
Perusahaan Kolonial Menuju Perusahaan Nasional. Jakarta: Biro Hukum
Kementrian BUMN Republik Indonesia
Wasino. 2018.Metode Penelitian Sejarah:Dari Riset Hingga Penulisan.
Yogyakarta: Magnum
Wertheim. 2009. Elite vs Massa. Sleman: Resist Book
Arsip
Keputusan Penguasa Perang Tertinggi No.3 Tahun 1961
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1962 Tentang
Pemanggilan dan Pengerahan Semua Warga Negara Dalam Rangka Mobilisasi
Umum Untuk Kepentingan Keamanan dan Pertahanan Negara
Surat Pengurus Besar Front Nasional Nomor 45/UD/PBFN/xi/61
Keputusan Front Nasional No.1 Tahun 1961 Tentang Peraturan Tata Usaha
Sekretariat Pengurus Besar Front Nasional
Keputusan Front Nasional Pembebasan Irian Barat No: 007/Kpts/FN/6/1958
Keputusan Penguasa Perang Pusat No. Kpts/Peperpu/012/1058 tentang
Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat
78
Instruksi Penguasa Perang Pusat No. Instr/Peperpu/02/1958 tentang
Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 220 Tahun 1962 tentang Dana
Perjuangan Irian Barat
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 tentang Nasionalisasi N.V.
“Semarangche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. “Semarang Veer”
Koran
Suara Merdeka, 23 Januari 1962
Suara Merdeka, 1 Februari 1962
Suara Merdeka, 10 Februari 1962
Suara Merdeka, 10 Januari 1962
Suara Merdeka, 11 Januari 1962
Suara Merdeka, 12 Maret 1962
Suara Merdeka, 13 Februari 1962
Suara Merdeka, 13 Januari 1962
Suara Merdeka, 13 Juli 1962
Suara Merdeka, 14 Februari 1962
Suara Merdeka, 14 Maret 1962
Suara Merdeka, 15 Agustus 1962
Suara Merdeka, 15 Februari 1962
Suara Merdeka, 15 Januari 1962
79
Suara Merdeka, 15 Maret 1962
Suara Merdeka, 16 Agustus 1962
Suara Merdeka, 16 Februari 1962
Suara Merdeka, 16 Januari 1962
Suara Merdeka, 16 Maret 1962
Suara Merdeka, 17 Februari 1962
Suara Merdeka, 17 Januari 1962
Suara Merdeka, 17 Maret 1962
Suara Merdeka, 18 Agustus 1962
Suara Merdeka, 18 Januari 1962
Suara Merdeka, 19 Februari 1962
Suara Merdeka, 19 Januari 1962
Suara Merdeka, 19 Juli 1962
Suara Merdeka, 2 Februari 1962
Suara Merdeka, 2 Januari 1962
Suara Merdeka, 2 Maret 1962
Suara Merdeka, 20 Februari 1962
Suara Merdeka, 20 Januari 1962
Suara Merdeka, 20 Maret 1962
Suara Merdeka, 21 Februari 1962
Suara Merdeka, 22 Januari 1962
80
Suara Merdeka, 22 Maret 1962
Suara Merdeka, 23 Februari 1962
Suara Merdeka, 23 Januari 1962
Suara Merdeka, 23 Maret 1962
Suara Merdeka, 24 Februari 1962
Suara Merdeka, 24 Februari 1962
Suara Merdeka, 24 Januari 1962
Suara Merdeka, 25 Januari 1962
Suara Merdeka, 25 Januari 1962
Suara Merdeka, 26 Desember 1961
Suara Merdeka, 26 Februari 1962
Suara Merdeka, 26 Januari 1962
Suara Merdeka, 27 Desember1961
Suara Merdeka, 27 Februari 1962
Suara Merdeka, 27 Januari 1962
Suara Merdeka, 27 Maret 1962
Suara Merdeka, 28 Desember1961
Suara Merdeka, 28 Februari 1962
Suara Merdeka, 28 Maret 1962
Suara Merdeka, 29 Desember 1961
Suara Merdeka, 29 Januari 1962
81
Suara Merdeka, 3 Februari 1962
Suara Merdeka, 3 Januari 1962
Suara Merdeka, 3 Maret 1962
Suara Merdeka, 30 Desember 1961
Suara Merdeka, 30 Januari 1962
Suara Merdeka, 30 Maret 1962
Suara Merdeka, 31 Januari 1962
Suara Merdeka, 5 Februari 1962
Suara Merdeka, 5 Maret 1962
Suara Merdeka, 6 Januari 1962
Suara Merdeka, 7 Februari 1962
Suara Merdeka, 8 Agustus 1962
Suara Merdeka, 8 Februari 1962
Suara Merdeka, 8 Januari 1962
Suara Merdeka, 9 Februari 1962