Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIANPENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA ANAK BALITA YANG BERKUNJUNG KEPUSKESMAS CALANG KECAMATAN
KRUENG SABEE KABUPATENACEH JAYA
SKRIPSI
OLEH :
MONA AGUSTANIM: 08C10104054
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH
2013
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIANPENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA ANAK BALITA YANG BERKUNJUNG KEPUSKESMAS CALANG KECAMATAN
KRUENG SABEE KABUPATENACEH JAYA
SKRIPSI
OLEH :
MONA AGUSTANIM: 08C10104054
Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk MemperolehGelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran
pernafasan yang mengikuti infeksi saluran pernafasan bagian atas yaitu
nasofaringitis, otitis media, tonsilofaringitis, serta epiglotitis, dan infeksi saluran
pernafasan bagian bawah yaitu laringitis, trakeobronchitis, bronchitis,
pneumonia. ISPA dikenal sebagai salah satu penyakit yang sering berada pada
daftar 10 penyakit terbanyak di puskesmas. (DepKes RI, 2007).
Penyakit ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh
seseorang. ISPA merupakan suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh balita
karena sistem kekebalan tubuh masih rendah, sehingga balita mudah tertular
ISPA. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa balita dapat pula memberi
kecacatan sampai pada masa dewasa. Gejala awal yang timbul biasanya berupa
batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada
tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang,
kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. (Asrun, 2000)
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya (Ditjen PPM dan PLP, 1995). Sebagian besar masyarakat
menganggap bahwa batuk pilek merupakan penyakit ringan yang akan sembuh
2
dengan sendirinya walaupun tanpa pengobatan, padahal apabila batuk pilek tidak
segera diobati akan menimbulkan komplikasi lain yang sangat berbahaya.
Menurut Depkes RI (2000) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA
pada balita adalah status gizi, status Imunisasi, keadaan lingkungan, kekurangan
vitamin C dan pengetahuan orang tua. Namun yang akan diangkat disini pengaruh
ISPA adalah Pengetahuan orang tua, Status Imunisasi, Status Gizi, dan Pemberian
Vitamin A.
ISPA merupakan penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang jumlah
kejadiannya cukup tinggi di Indonesia terutama pada Balita. Salah satu faktor
yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA adalah defisiensi Vit.A. menurut
berbagai penelitian suplementasi Vit.A merupakan solusi kesembuhan ISPA
karena salah satu khasiat Vit.A dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi seperti ISPA (zyefa, 2009).
Angka kesakitan ISPA yang mendominasi pada urutan teratas juga
terdapat didaerah Kabupaten Aceh jaya, hal ini terlihat dari data di salah satu unit
pelayanan kesehatan yang ada di kabupaten Aceh Jaya yaitu tepatnya di
Puskesmas Calang yang menempati urutan tertinggi atau pertama dari 10 penyakit
terbesar pada tahun ini. (Dinkes Aceh jaya, 2012)
Berdasarkan data awal yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan Aceh
Jaya, Jumlah anak Balita penderita ISPA pada tahun 2012 yaitu sebanyak 2310
penderita. Dimana jumlah anak balita penderita ISPA di Puskesmas Calang pada
tahun 2012 yaitu sebanyak 269 penderita dan terjadi peningkatan pada tahun
2013 dari bulan Januari sampai dengan Agustus sudah tercatat jumlah balita
3
penderita ISPA sebanyak 150. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah balita
penderita ISPA semakin bertambah. (Laporan bulanan Puskesmas Calang 2013).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat
meningkatkan angka kesakitan akibat ISPA. Hal inilah yang mendasari penulis
untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita
di Puskesmas Calang Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita yang berkunjung ke
Puskesmas Calang tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita yang
berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita yang berkunjung ke
puskesmas Calang tahun 2013.
4
1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan status pemberian imunisasi dengan
kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita
yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan Pemberian Vitamin A dengan kejadian
penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita yang
berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013.
1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan Status Gizi dengan kejadian penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita yang berkunjung ke
Puskesmas Calang tahun 2013.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Aplikatif
Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi
instansi kesehatan (Dinas Kesehatan dan Puskesmas) dalam membuat kebijakan
lebih lanjut dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam mengembangkan
program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, khususnya penyakit
ISPA.
1.4.2 Manfaat Teoritis
1. Bagi Dinas kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh jaya dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan
program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
5
2. Bagi Akademisi
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan bacaan
dalam lingkungan perpustakaan kampus dan dapat di jadikan sebagai
masukan informasi yang berguna bagi mahasiswa Fakultas Kesehatan
masyarakat Universitas Teuku Umar khususnya peminatan Ilmu
kesehatan masyarakat.
3. Bagi peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
4. Bagi peneliti
Dapat menjadi suatu pengalaman yang sangat berharga dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan
pengetahuan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ISPA
2.1.1 Pengertian ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut
dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah
infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses
infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho pneumonia (Justin, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan
menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya,
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
7
2.1.2 Tanda dan Gejala
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian
diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Ada beberapa tanda klinis yang dapat
menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai berikut:
a) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi
napas), demam.
b) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
2.1.3 Penyebab ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri,
virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan
oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus
dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya
mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa
masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium.
Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Achmadi
dkk, 2004).
8
2.1.4 Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi
pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA
adalah :
1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan
yang paling baik untuk bayi.
Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.
Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu
mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak,
vitamin dan mineral.
Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein
misalnya dapat diperoleh dari tempe atau tahu, karbohidrat dari nasi
atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan
mineral dari sayuran dan buah-buahan.
Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui
apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah
ada penyakit yang menghambat pertumbuhan. (DINKES DKI, 2005).
Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi
Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu
mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT
salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit pertusis yang
salah satu gejalanya adalah infeksi saluran napas.
9
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
penyakit ISPA, sebaiknya perilaku yang tidak dapat dilakukan melalui upaya
memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Almatsier, 2006)
2.2 Balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan
BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada
umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB
kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir.
(Soetjiningsih, 2001)
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima
tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan
kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh
dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode
tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan
dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan
berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (supartini, 2004)
Salah satu faktor penyebab kesakitan maupun yang berperan dalam proses
tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan
perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan
10
kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan
pendidikan kesehatan pada orang tua. (supartini, 2004).
2.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengeinderaan terjadi melalui panca
indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007) , pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan :
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelum-nya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari/ antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpankan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
11
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain.
4. Analisa (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat mengambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisah-kan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
5. Sintesis ( Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau meng-hubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluation ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
mengunakan kriteria yang dilakukan sendiri, atau mengunakan kriteria-
12
kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat memban-dingkan antara anak yang
kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare disuatu tempat, dapat
menafsirkan sebab-sebab ibu tidak mau KB, dan sebagainya.
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting
karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam
masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua
karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota
keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil
menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
2.4 Status Imunisasi
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan
kekebalan (imunisasi ) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit.
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi
terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada
penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi
lainnya. (Supartini, Y, 2004).
2.4.1 Tujuan Pemberian Imunisasi
Adapun tujuan pemberian imunisasi dasar, adalah :
a. Untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu.
b. Apabila terjadi penyakit, tidak terlalu parah dan dapat mencegah gejala
yangdapat menimbulkan cacat atau kematian.
13
2.4.2 Manfaat Imunisasi
Manfaat utama dari imunisasi adalah menurunkan angka kematian
penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit infeksi yang
dapat dicegah dengan imunisasi. Selain itu, imunisasi dapat menghemat biaya
kesehatan. dengan menurunnya angka kejadian penyakit, biaya kesehatan yang
digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut pun akan berkurang.
2.4.3 Jenis Imunisasi
a. Imunisasi yang diharuskan
1) BCG (Bacillus Celmitte Guerin)
2) Hepatitis B
3) DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus)
4) Polio
5) Campak
b. Yang dianjurkan
1. MMR (Measless/campak, Mumps/parotitis, Rubella/campak Jerman)
2. Hib (Haemophilus influensa b)
3. Demam tifoid
4. Hepatitis A
14
2.4.4 Jadwal Imunisasi
Umur Jenis Imunisasi
0 – 7 hari
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
9 bulan
Hepatitis B
BCG, Polio 1
DPT-HB 1, Polio 2
DPT-HB 2, Polio 3
DPT-HB 3, Polio 4
Campak(KemenKes, 2011)
2.5 Vitamin A
Vitamin A adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk kesehatan
mata dan meningkatkan daya tahan tubuh. Dalam menjaga kesehatan mata,
Vitamin A berfungsi membuat penglihatan mata menjadi lebih baik. Jadi dengan
adanya vitamin tersebut, mata kita menjadi sehat. Sedangkan dalam meningkatkan
daya tahan tubuh, Vitamin A berperan menjaga kesehatan agar tubuh tidak mudah
terserang penyakit. Karena didalam Vitamin A terdapat antioksidan yang dapat
menangkal radikal bebas. Vitamin A selain untuk mata, Vitamin A juga dapat
mencegah terjadinya keratinisasi pada jaringan pelapis (epitel), seperti saluran
pada pernapasan dan saluran pencernaan. Karena keratinisasi pada jaringan epitel
menyebabkan mudah terjadinya infeksi pada saluran pernapasan dan pencernaan.
(WHO, 2002).
Vitamin A dosis tinggi ditujukan untuk mencegah defisiensi Vitamin A
beserta akibatnya selama masa tertentu dengan membangun cadangan Vitamin
tersebut didalam hati. Untuk mencegah terjadinya kekurangan Vitamin A
terutama pada anak usia balita, oleh pemerintah dilaksanakan pemberian Vitamin
15
A melalui puskesmas. Untuk anak usia 1-5 tahun diberikan Vitamin A dengan
dosis 200.000 IU setiap 6 bulan, sedangkan untuk anak usia 6-11 bulan diberikan
dosis 100.000 IU setiap 6 bulan, dengan dosis itu anak akan terhindar dari
kekurangan Vitamin A. (Supartini, Y, 2004).
Sumber vitamin A bisa kita dapatkan dari beragam jenis produk makanan
seperti ikan, susu, sayuran yang berwarna hijau, dan jenis buah-buahan seperti
wortel, pisang, pepaya. Manfaat vitamin A adalah untuk menjaga kesehatan mata
(penglihatan), mencegah terjadinya infeksi, turut membantu dalam menjaga
kesehatan tubuh. Ada beberapa jenis penyakit yang bisa disebabkan karena
kekurangan zat ini yaitu rabun, menurunnya daya tahan tubuh, katarak, kulit
menjadi kurang sehat.
2.6 Status Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absarpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ
serta menghasilkan energi.
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan
lebih (Almatsier, 2001).
16
2.6.1 Manfaat gizi
Menurut Atmatsier 2006, di dalam tubuh makanan mempunyai manfaat,
yaitu :
a. Zat gizi sebagai sumber tenaga atau energi untuk melakukan kegiatan
sehari-hari.
b. Zat gizi berperan dalam mekanisme pertahan tubuh terhadap banyak
penyakit.
c. Zat gizi bermanfaat untuk memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan
dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih dalam massa
pertumbuhan.
2.6.2 Sumber zat gizi
Menurut Almatsier (2001), sumber zat gizi terdiri dari :
a. Karbohidrat
Jenis buah-buahan seperti pisang, nangka, durian, cempedak, sawo
mengandung banyak karbohidrat. Sedangkan yang berasal dari hewani
terutama terdapat pada hati, kepiting, kerang.
b. Protein
Jenis makanan yang banyak mengandung protein nabati adalah kacang
kedelai, kacang tanah, kacang ijo, jagung beras, tepung, daun singkong.
Sedangkan jenis bahan makanan yang berasal dari protein hewani adalah
hati, daging, ikan segar, udang segar, ayam, telur, kerang.
17
c. Lemak
Menurut sumbernya, lemak berasal dari nabati dan hewani. Adapun
sumber bahan makanan yang mengandung lemak antara lain, jenis kacang-
kacangan, buah alpokat, susu, daging sapi, daging ayam, ikan, telur dll.
Fungsi lemak adalah sebagai sumber energy, sebagai sumber asam lemak
yang esensial bagi kesehatan kulit dan rambut sebagai pelarut vitamin A,
D, E, K.
d. Vitamin
Vitamin adalah senyawa organic komplek yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah sedikit. Tetapi fungsi dari vitamin adalah sebagai koenzim untuk
membantu penyerapan zat-zat gizi, berperan dalam tahap reaksi
metabolisme, energi, serta pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.
e. Mineral
Mineral yaitu merupakan zat gizi yang cukup penting bagi tubuh manusia,
sekitar 4 % dari tubuh manusia terdiri atas mineral. Mineral sering juga
disebut cairan elektrolit.
Antara usia 0 dan 6 bulan, berat bayi bertambah 682 gram perbulan. Berat
badan lahir bayi meningkat dua kali lipat ketika usia 5 bulan. Anatara usia 6 dan
12 bulan, berat bayi bertambah 341 g per bulan. Berat badan bayi meningkat tiga
kali lipat saat berusia 12 bulan. Berat badan akan menjadi empat kali berat badan
lahir pada umur 2 tahun. Pada masa prasekolah kenaikan berat badan rata-rata 2
kg/tahun.
18
Kenaikan berat badan anak pada tahun pertama kehidupan jika mendapat
gizi yang baik berkisar sebagai berikut.
1. 700-1.000 g/bulan pada triwulan I
2. 500-600 g/bulan pada triwulan II
3. 350-450 g/bulan pada triwulan III
4. 250-350 g/bulan pada triwulan IV
Dapat pula digunakan rumus yang dikutip dari Behrman (1992) untuk
memperkirakan berat badan anak seperti berikut ini.
a. Berat Badan Ideal (BBI) bayi (umur 0-12 bulan)
BBI=( )
b. BBI anak (1-10 tahun)
BBI=(umur[tahun] x 2 ) + 8
c. Remaja dan dewasa BBI = (TB – 100) – (TB -100) x 10% atau
BBI = (TB – 100) x 90%
Tinggi badan rata-rata pada waktu lahir adalah 50cm. Secara garis besar,
tinggi badan anak dapat diperkirakan, sebagai berikut.
1. 1 tahun: 1,5 x TB lahir
2. 4 tahun: 2 x TB lahir
3. 6 tahun: 1,5 x TB setahun
4. 13 tahun: 3 x TB lahir
5. Dewasa: 3,5 x TB lahir (2 x TB 2 tahun)
19
Penilaian status gizi pada balita menurut DepKes RI 2007 pada umumnya
menggunakan indikator antropometri. Beberapa jenis antropometri yang dapat
digunakan dalam menilai status gizi pada balita untuk mengidentifikasi masalah
KEP, diantaranya yang sudah terkenal yaitu :
1. Berat badan menurut umur (BB/U)
2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
4. Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U).
Diantara beberapa macam indeks tersebut yang paling sering digunakan
adalah BB, TB, dan LLA. Adapun jenis antropometri yang digunakan untuk
pengukuran status gizi digunakan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U).
Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara
gizi buruk dan infeksi paru, sehingga balita yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya
campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita
terhadap infeksi. ( Suntani, 2007 )
Untuk mengatasi kurang gizi pada balita memerlukan peranan dari
keluarga, para ibu khususnya harus memiliki kesabaran bila anaknya mengalami
problema makan, dan lebih memperhatikan asupan makanan sehari-hari bagi
anaknya. Anak-anak harus terhindar dari penyakit infeksi seperti diare ataupun
ISPA.
20
2.7 Kerangka Teori
Gambar 1. Diagram Kerangka Teori Penelitian
Supartini, Y (2004)
Umur Jenis kelamin Status gizi Pemberian ASI Eksklusif Status imunisasi Berat Badan Lahir Rendah
ISPA PADA BALITA
Suntani (2010)
Umur Kepadatan hunian Status gizi Status imunisasi Vitamin A
DepKes RI (2000)
Pengetahuan Status gizi
Status Imunisasi
Vitamin C
21
2.8 Kerangka Konsep
ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun
virus, lebih sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak
balita yang menderita ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami
kematian. Menurut Depkes RI (2000), Supartini Y(2004) dan Suntani (2010)
menyatakan bahwa faktor penyebab meliputi beberapa hal diantaranya
pengetahuan Ibu, Pemberian Imunisasi, Pemberian Vitamin A, dan Status Gizi, di
gambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2. Diagram Kerangka Konsep Penelitian
Pengetahuan Ibu
Status Imunisasi
ISPA pada BALITA
Pemberian Vit. A
Status Gizi
22
2.9 Hipotesis
Ada hubungan antara Faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA dengan
kejadian ISPA pada anak Balita di Puskesmas Calang Kabupaten Aceh Jaya tahun
2013.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat survey analitik dengan desain cross-sectional yaitu
untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA
pada Balita berdasarkan kunjungan pasien di Puskesmas Calang Kecamatan
Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2013.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukankan di Puskesmas Calang
Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya .
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 12 september sampai
dengan 21 september tahun 2013.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak
balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang Kecamatan Krueng Sabee
Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013 yang berjumlah 150.
24
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini di lakukan dengan rumus
penentuan jumlah sampel, dapat di hitung dengan rumus Menurut Sabri
(2008) sebagai berikut :
n = Zc . P(1 − P).Nd (N − 1) + Zc . P(1 − P)n = 150(1,96) . 0,5(1 − 0,5)0.10 (150 − 1) + 1,96 . 0,5(1 − 0,5)n = 150(3,84). 0,251,49 + 0,96n = 1442.45 = 58,7n =59 Responden
keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
Z = Derajat kepercayaan 95% (1,96)
d = presisi 10% (0,10)
P = Proporsi 50% (0,5)
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak balita
penderita ISPA yang berkunjung ke Puskesmas Calang Kecamatan Krueng sabee
25
Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013 yaitu sebanyak 59 orang. Sampel pada
penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik Accidental sampling yaitu
mengambil responden yang kebetulan ada atau datang ke Puskesmas selama dua
minggu masa pengumpulan data.
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
kuesioner, untuk mencari informasi dari responden tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data pendukung yang dibutuhkan peneliti yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Jaya, Puskesmas Calang, dan
dari Instansi lainnya serta dari referensi buku-buku perpustakaan yang
berhubungan dengan penelitian ini.
3.5 Definisi Operasional Penelitian
Tabel 3.1 Definisi Operasional VariabelVariabel Independen
1. Variabel : PengetahuanDefinisi : Semua yang diketahui responden tentang penyakit,
penyebab, gejala, pengobatan dan pencegahanISPA
Cara ukur : WawancaraAlat ukur : KuesionerHasil ukur : 1. Baik
2. KurangSkala ukur : Ordinal
26
2. Variabel : Status Imunisasi
Definisi : Upaya yang dilakukan dengan sengajamemberikan kekebalan pada bayi atau anaksehingga terhindar dari penyakit.
Cara ukur : ObservasiAlat ukur : KMSHasil ukur : 1. Lengkap
2. tidak lengkapSkala ukur : Ordinal
3. Variabel : Pemberian Vit. A
Definisi : Zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untukkesehatan mata dan meningkatkan daya tahantubuh.
Cara ukur : ObservasiAlat ukur : KMSHasil ukur : 1. Lengkap
2. tidak lengkapSkala ukur : Ordinal
4. Variabel : Status Gizi
Definisi : Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanandan penggunaan zat-zat gizi.
Cara ukur : observasiAlat ukur : KMSHasil ukur : 1. Baik
2. kurangSkala ukur : Ordinal
Variabel Dependen5. Variabel : ISPA pada Balita
Definisi : Penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifatakut dengan adanya batuk, pilek, serak, demam,yang disertai napas cepat atau sesak napas, yangberlangsung sampai 14 hari.
Cara ukur : Diagnosa DokterAlat ukur : kartu status penderitaHasil ukur : 1. ISPA
2. bukan ISPASkala ukur : Ordinal
27
3.6 Aspek Pengukuran Variabel
3.6.1 Variabel Pengetahuan
a. Baik : Jika responden menjawab benar dengan nilai score ≥ 4 dari
pertanyaan
b. Kurang : Jika responden menjawab salah dengan nilai score < 4 dari
pertanyaan
3.6.2 Variabel Status Imunisasi
a. Lengkap : Bila sudah mendapatkan imunisasi Hepatitis B (1 kali),
BCG (1 kali), DPT-HB (3 kali), Polio (4 kali), dan Campak (1 kali)
b. Tidak lengkap : Bila tidak di imunisasi Hepatitis B (1 kali), BCG (1
kali), DPT-HB (3 kali), Polio (4 kali), dan Campak (1 kali).
3.6.3 Variabel Pemberian Vit. A
a. Lengkap: bila Vitamin A didapatkan pada bulan Februari dan
Agustus sampai dengan usia 5 tahun.
b. Tidak Lengkap: bila tidak diberikan Vitamin A pada bulan Februari
dan Agustus sampai dengan usia 5 tahun.
3.6.4 Variabel Status Gizi
a. Baik : Bila berat badan anak balita dalam KMS berada diatas atau tepat
digaris merah.
b. Kurang : Bila berat badan anak balita dalam KMS berada dibawah
garis merah.
28
3.6.5 Variabel ISPA pada balita
a. ISPA : Bila anak balita mengalami gejala ISPA
b. Bukan ISPA : Bila balita tidak mengalami gejala ISPA
3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Menurut purwanto (2007), cara pengolahan data terdiri dari :
a. Editing yaitu melakukan pengecekan terhadap hasil pengisian kuesioner
yang meliputi kelengkapan identitas dan jawaban yang diberikan oleh
responden.
b. Trasfering yaitu menyusun total nilai variabel-variabel penulisan yang
diberikan.
c. Tabulating yaitu pengelompokan nilai responden berdasarkan kategori
yang telah dibuat untuk tiap-tiap variabel dan selanjutnya dimasukkan
kedalam tabel distribusi frekuensi.
3.7.2 Analisis Data
3.7.2.1 Analisis Univariat
Analisis yang digunakan untuk melihat hasil distribusi dari setiap variabel
yang diteliti, baik variabel bebas maupun variabel terikat.
3.7.2.2 Analisis Bivariat
untuk menganalisa data yang dikumpulkan menggunakan uji statistik chi-
square dengan bantuan perangkat lunak komputer pada tingkat kepercayaan 95%
(α = 0,05).
29
Syarat yang berlaku pada uji chi-square yaitu :
1. Apabila bentuk tabel 2 x 2, dijumpai nilai harapan (expected value = E)
kurang dari 5, maka uji yang digunakan adalah Fisher Exact Test.
2. Apabila pada tabel 2 x 2 terdapat nilai E > 5 maka uji yang dipakai
sebaiknya Continuity Correction.
3. Apabila tabel lebih dari 2 x 2, misalnya 3 x 2, 3 x 3, dsb, maka digunakan
uji “Pearson Chi-Square”
4. Ho diterima bila P Value < α artinya ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
5. Ho ditolak bila P Value > α artinya tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
Puskesmas Calang adalah salah satu Puskesmas yang berada di wilayah
Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya. Wilayah kerja Puskesmas
Calang memiliki Luas 74,35 km yang meliputi 6 desa dengan jumlah pendudukan
6.371 jiwa dengan 1.500 KK dan kepadatan penduduk rata-rata 21,2 jiwa/km yang
terdiri dari penduduk laki-laki 3.467 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak
2.904 jiwa. (Profil Puskesmas Calang).
4.1.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Calang Kecamatan Krueng Sabee
Kabupeten Aceh Jaya dari tanggal 12 sampai dengan 21 september 2013. Dari
data yang dikumpulkan terdapat 59 sampel dari populasi yang ada.
4.1.2 Analisis Univariat
4.1.2.1 ISPA pada anak Balita
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan ISPA pada Balita di PuskesmasCalang Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013
No. ISPA pada Balita Frekuensi Persentase %1. ISPA 37 62,72. Bukan ISPA 22 37,3
Jumlah 59 100%Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa dari 59 responden yang
menderita ISPA sebanyak 37 orang (62,7%).
31
4.1.2.2 Pengetahuan Ibu
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Pengetahuan Ibu di PuskesmasCalang Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013
No. Pengetahuan Ibu Frekuensi Persentase %1. Baik 21 35,62. Kurang 38 64,4
Jumlah 59 100%Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa dari 59 responden yang
menjadi mayoritas adalah responden yang berpengetahuan rendah yaitu 38 orang
(64,4%).
4.1.2.3 Status Imunisasi
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi berdasarkan Status Imunisasi pada balita diPuskesmas calang Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013
No. Status Imunisasi Frekuensi Persentase %1. Lengkap 49 83,12. Tidak Lengkap 10 16,9
Jumlah 59 100%Sumber : Data primer diolah tahun2013
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa dari 59 responden yang
menjadi mayoritas adalah responden yang mempunyai balita dengan status
imunisasi lengkap yaitu 49 orang (83,1%).
4.1.2.4 Pemberian Vitamin A
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi berdasarkan Pemberian Vit. A pada balita diPuskesmas Calang Kabupeten Aceh Jaya tahun 2013
No. Pemberian Vit. A Frekuensi Persentase %1. Lengkap 24 40,72. Tidak lengkap 35 59,3
Jumlah 59 100%Sumber : Data primer diolah tahun 2013
32
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa dari 59 responden yang
menjadi mayoritas adalah responden yang mempunyai balita dengan pemberian
Vit. A tidak lengkap yaitu 35 orang (59,3%).
4.1.2.5 Status Gizi
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi berdasarkan Status Gizi pada balita diPuskesmas Calang Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013
No. Status Gizi Frekuensi Persentase %1. Baik 9 15,32. Kurang 50 84,7
Jumlah 59 100%Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 59 responden yang
menjadi mayoritas adalah responden yang mempunyai balita dengan Status gizi
kurang yaitu 50 orang (84,7%).
4.1.3 Analisa Bivariat
4.1.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan kejadian penyakit ISPA pada Balita
yang berkunjung ke puskesmas calang tahun 2013
Tabulasi silang hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian
penyakit ISPA pada anak balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang kecamatan
Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, dapat dilihat dari tabel 4.6 :
Tabel 4.6 Tabulasi Silang Antara Pengetahuan dengan kejadian PenyakitISPA pada balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang Tahun2013
PengetahuanISPA pada Balita
Total P-valueISPA Bukan ISPAN % n %
Baik 9 42,9 12 7,8 210,039Kurang 28 23,8 10 14,2 38
Jumlah 37 22 59
33
Dari data tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa dari 59 responden, diketahui
responden yang berpengetahuan baik yaitu 21 responden yang mempunyai balita
9 balita (42,9%) diantaranya menderita ISPA, bila dibandingkan dengan
responden yang berpengetahuan kurang yaitu 38 responden diketahui yang
menderita ISPA 28 balita (23,8%).
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% pada df 1, diperoleh nilai p-value 0,039 yang bearti
lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit ISPA.
4.1.3.2 Hubungan Status Imunisasi dengan kejadian Penyakit ISPA pada
balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013.
Tabulasi silang hubungan antara Status Imunisasi dengan kejadian
penyakit ISPA pada anak balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang kecamatan
Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, dapat dilihat dari tabel 4.7 :
Tabel 4.7 Tabulasi Silang Antara Status Imunisasi dengan kejadianPenyakit ISPA pada balita di Puskesmas Calang Tahun 2013
Status ImunisasISPA pada Balita
Total P-valueISPA Bukan ISPAN % N %
Lengkap 31 30,7 18 18,3 491,000Tidak lengkap 6 6,3 4 3,7 10
Jumlah 37 22 59
Dari data tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 59 responden, diketahui
responden yang mempunyai balita dengan status imunisasi lengkap yaitu 49
responden 31 balita (30,7%) diantaranya menderita ISPA, sedangkan responden
34
yang mempunyai balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu 10 orang dan
yang menderita ISPA 6 balita (6,3%).
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% pada df 1, diperoleh nilai p-value 1,000 yang bearti
lebih besar dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA.
4.1.3.3 Hubungan Pemberian Vit.A dengan kejadian Penyakit ISPA pada
Balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013
Tabulasi silang hubungan antara Pemberian Vit.A dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang kecamatan
Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, dapat dilihat dari tabel 4.8 :
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Antara Pemberian Vit.A dengan kejadianPenyakit pada balita di Puskesmas Calang ISPA Tahun 2013
PemberianVit.A
ISPA pada BalitaTotal P-valueISPA Bukan ISPA
N % n %Lengkap 10 15,1 14 8,9 24
0,013Tidak lengkap 27 21,9 8 13,1 35Jumlah 37 22 59
Dari data tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa dari 59 responden, diketahui
responden yang balitanya mendapatkan Vit.A dengan lengkap yaitu 24 responden
diantaranya 10 balita (15,1%) yang menderita ISPA, sedangkan responden yang
mempunyai balita dengan Vit.A tidak lengkap yaitu 35 orang diketahui yang
menderita ISPA 27 balita (21,9%).
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% pada df 1, diperoleh nilai p-value 0,013 yang bearti
35
lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara pemberian Vit.A dengan kejadian penyakit ISPA.
4.1.3.4 Hubungan Status Gizi dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita
yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013
Tabulasi silang hubungan antara Status Gizi dengan kejadian penyakit
ISPA pada balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang kecamatan Krueng
Sabee Kabupaten Aceh Jaya, dapat dilihat dari tabel 4.9 :
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Antara Status Gizi dengan kejadian PenyakitISPA pada anak di Puskesmas Calang Tahun 2013
Status GiziISPA pada Balita
Total P-valueISPA Bukan ISPAN % n %
Baik 1 5,6 8 3,4 90,001Kurang 36 31,4 14 18,6 50
Jumlah 37 22 59
Dari data tabel 4.9 diatas dapat dilihat bahwa dari 59 responden, diketahui
responden yang mempunyai balita dengan status gizi baik yaitu 9 responden
diantaranya 1 (5,6%) balita menderita ISPA, sedangkan responden yang
mempunyai balita dengan status gizi kurang yaitu 50 responden yang menderita
ISPA 36 balita (31,4%).
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% pada df 1, karena nilai harapan (E) kurang dari 5 maka
nilai p-value diambil dari uji Fisher Exact Test yaitu 0,001 yang bearti lebih kecil
dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara status gizi dengan kejadian penyakit ISPA.
4.2 Pembahasan
36
4.2.1 Hubungan Pengetahuan dengan kejadian Penyakit ISPA pada balita
yang berkunjung ke puskesmas calang tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pengetahuan memberi
pengaruh pada resiko penyakit ISPA. Dengan kata lain ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan penyakit ISPA pada Balita yang berkunjung ke
Puskesmas Calang Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, hal ini
terlihat dengan banyaknya anak balita penderita ISPA yang sebagian besar di
derita oleh balita yang tingkat pengetahuan ibunya berada pada kategori kurang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Satriyanto
(2009), pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita dengan persentasi
yaitu 26,67% untuk kategori baik, 30% untuk kategori kurang dengan jumlah
43,33%. Dengan kesimpulan tingkat pengetahuan yang kurang serta penyakit
ISPA dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan responden.
Dari paparan diatas peneliti beranggapan bahwa, apabila tingkat
pengetahuan seseorang tinggi maka dapat memperbaiki sikap dan perilaku
seseorang dalam menjaga kesehatan, sehingga ia mempunyai kesadaran yang
tinggi terhadap kesehatannya sendiri maupun keluarganya, begitu pula terhadap
anak-anaknya sehingga keluarga terutama anaknya terbebas dari semua penyakit
termasuk penyakit ISPA.
4.2.2 Hubungan Status Imunisasi dengan Penyakit ISPA pada balita yang
berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian diatas didapat bahwa status imunisasi tidak
memberi pengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA. Dengan kata lain tidak ada
37
hubungan antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita yang
berkunjung ke Puskesmas Calang Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh
Jaya, hal ini terlihat bahwa dari 59 responden yang mempunyai status imunisasi
lengkap terdapat sebanyak 31 orang (30,7%) yang menderita ISPA dan yang
mempunyai status imunisasi tidak lengkap hanya 6 orang (6,3%) yang tidak
menderita ISPA.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Taisir (2005) di Aceh selatan
menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna status imunisasi campak
dab DPT dengan kejadian ISPA pada bayi dan balita. Hubungan status imunisasi
dengan ISPA pada balita tidak secara langsung. Kebanyakan kasus ISPA terjadi
disertai dengan komplikasi campak yang merupakan faktor risiko ISPA yang
dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan DPT yang diberikan
bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit ISPA secara
langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang memicu terjadinya ISPA.
Dari paparan diatas peneliti beranggapan bahwa kejadian penyakit ISPA
pada anak balita tidak dipengaruhi oleh Status imunisasi melainkan oleh faktor
lain, dimana kasus ISPA pada anak balita masih tinggi dikarena Daya tahan tubuh
yang rendahlah yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak balita.
4.2.3 Hubungan pemberian Vitamin A dengan kejadian penyakit ISPA
pada Balita yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan bahwa pemberian Vit.A
memberi pengaruh terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita. Dengan kata lain
ada hubungan antara pemberian Vit.A dengan kejadian penyakit ISPA pada anak
38
balita di Puskesmas Calang Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, hal
ini terlihat bahwa dari 59 responden 10 responden (15,1%) yang mempunyai
balita mendapatkan Vit.A lengkap menderita ISPA dan yang tidak lengkap
mendapatkan Vit.A 27 orang (21,9%) yang menderita ISPA.
Penelitian sejalan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Surjono (2006)
tentang faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita di
Purworejo Yogyakarta, bahwa sebanyak 1164 (34.9%)anak balita yang tidak
mendapatkan vitamin A. hasil analisis multivariat kategori pemberian vitamin
Amenunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna terhadap kejadian
ISPApada anak balita (p = 0,036). Artinya anak balita yang tidak mendapatkan
vitamin Amempunyai peluang 4 kali menderita ISPA dari pada anak balita yang
mendapatkan vitamin A.
Dari paparan diatas peneliti beranggapan bahwa kapsul vitamin A sangat
mempengaruhi kesehatan anak balita, dimana kapsul vitamin A dapat memberi
daya tahan yang kuat pada tubuh balita, dimana itu dapat mencegah terjadinya
penyakit ISPA. Jadi, pemberian vitamin A harus diberikan dengan lengkap, tepat
umur dan tepat waktu.
4.2.4 Hubungan status gizi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
yang berkunjung ke Puskesmas Calang tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa status gizi
memberi pengaruh terhadap penyakit ISPA. Dengan kata lain ada hubungan
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita, hal ini terlihat bahwa dari 59
responden 1 orang (5,6%) yang mempunyai balita dengan status gizi baik yang
39
menderita ISPA sedangkan yang memiliki status gizi kurang 36 orang (%) yang
menderita ISPA.
Penelitian sejalan yaitu penelitian yang dilakukan oleh nana Hoeman dkk
1996, di Klaten Jawa tengah menunjukkan bahwa status gizi yang buruk pada
anak balita memiliki resiko 2,5 kali lebih besar untuk terserang ISPA
dibandingkan dengan anak yang bergizi baik.
Dari paparan diatas peneliti beranggapan bahwa status gizi sangat
mempengaruhi kesehatan seseorang dimana dengan mendapatkan status gizi yang
baik maka kita tidak rentan terhadap penyakit yang sering terjadi terutama pada
balita yang sangat rentan dengan penyakit. Dengan mendapat kan status gizi yang
baik anak balita tidak akan terserang penyakit ISPA.
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Calang
Kecamatan Krueng Sabee, terhadap faktor yang berhubungan dengan penyakit
ISPA pada balita, maka penulis mengambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:
5.1 Kesimpulan
1. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian penyakit ISPA,
dimana pengetahuan yang rendah akan berdampak pada balita untuk
terkena penyakit ISPA dengan nilai p-value 0,039 yang bearti lebih kecil
dari α-value 0,05.
2. Tidak adanya hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA
dengan p-value 1,000 yang bearti lebih besar dai α-value 0,05.
3. Adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan kejadian penyakit
ISPA pada balita dengan p-value 0,013 yang bearti p-value lebih kecil dari
α-value 0,05.
4. Adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita dengan p-value 0,001 yang bearti p-value lebih kecil dari α-value
0,05.
5.2 Saran
1. Di harapkan kepada Dinas Kesehatan agar mengadakan program
pendidikan kesehatan tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) bagi masyarakat khususnya untuk Ibu-ibu.
41
2. Diharapkan kepada petugas kesehatan khususnya pihak Puskesmas agar
terus berupaya memberikan penyuluhan-penyuluhan bagi masyarakat
tentang pengertian ISPA, penyebab ISPA, bahayanya, serta cara
pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI, 2002. Faktor-faktor penyebab penyakit ISPA. Ditjen PPM-PLP.Jakarta.
, 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA pada Balita.Riskesdas 2007. Jakarta Depkes RI (online)www.ppid.depkes.go.id. Diakses 4 agustus 2013.
, 2005. Manfaat pemberian vitamin A pada balita. Jakarta
DepKes RI, 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA. Jakarta
KemenKes, 2011. Jadwal Pemberian Imunisasi . Jakarta.
Djuyoto Suntani, 2010. Infeksi saluran pernafasan akut pada bayi dan balita.Jurnal penelitian Universitas Indonesia no 2 seri b, Jakarta.
WHO, 2002. Tata Laksana Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut PadaAnak (Petunjuk Praktis Untuk Penderita Rawat Jalan ). Jenewa.
Kartono, 2006. Perilaku Manusia. ISBN. Jakarta.
Notoatmodjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.
__________ , 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta Jakarta
Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Aceh jaya, 2013.
Laporan Bulanan Puskesmas Calang, 2013.
Almatzier. 2006. Status Gizi pada balita. EGC. Jakarta
Almatzier. 2001. Sumber zat gizi. Jakarta
Justin, 2007. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kejadian PenyakitPneumonia. Unhalu, Kendari.
Achmadi dkk, 2004. Penyebab terjadinya ISPA. Jakarta
Supartini Y, 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGChttp://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-imunisasi-dasar-campak-bcg.html
Soetjiningsih, 2001. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Asrun, 2000. Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita. Jakarta barat.
Zyefa, 2009. ISPA dan Vitamin A . Jakarta
Yayan, 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumoniapada Anak Balita di Kabupaten Pekalongan. Tesis: Universitas diPonegoro, Semarang.
Taisir, 2005. Faktor –faktor yang Berhubungan dengan kejadian ISPA padaBalita di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak TuanAceh Selatan Tahun 2005. Skripsi : FKM USU Medan
Surjono, 2006. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA padabalita di Purworejo Yogyakarta. KTI.
Satriyanto, 2009. Hubungan tingkat Pengetahuan dengan kejadian ISPA padaBalita di Rumah Sakit Umum Makasar. Skripsi : FKM UNHAS.
Andriana, Dian 2011. Tumbuh kembang dan terapi bermain pada anak.Salemba Medika. Jakarta