Upload
humaspolda
View
228
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT(Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif)
sebagai salah satu persyaratan untuk memperolehgelar Sarjana Ekonomi
disusun dan diajukan oleh
CHAERUL AKBARA31108852
kepada
JURUSAN AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
SKRIPSI
PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT(Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif)
disusun dan diajukan oleh
CHAERUL AKBARA31108852
telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Makassar, 13 Oktober 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Abdul Hamid Habbe, SE. M.SiNIP. 19630515 199203 1 003
Drs. Muh ammad Ashari, M.SA.,Ak . NIP. 19650219 199403 1 002
Ketua Jurusan AkuntansiFakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin
Dr. H. Abdul Hamid Habbe, SE. M.SiNIP. 19630515 199203 1 003
i
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : CHAERUL AKBAR
NIM : A31108852
Jurusan/program studi : AKUNTANSI
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang
berjudul
PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT(Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif)
Adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Makassar, 13 Oktober 2012
Yang membuat pernyataan,
CHAERUL AKBAR
ii
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan
tugas akhir untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi (S.E.) pada Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya skripsi ini. Pertama-tama, ucapan terima kasih
peneliti berikan kepada ayah dan ibu beserta saudara-saudara peneliti atas
bantuan, nasehat, dan motivasi yang diberikan selama penelitian skripsi ini.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih banyak kepada almarhuma nenek yang
tak henti-hentinya memberi semangat hingga akhir hayatnya.
Ucapan terima kasih juga peneliti tujukan kepada Bapak Drs. Muhammad
Ashari, M.SA.,Ak. Dan Bapak Dr. H. Abdul Hamid Habbe, SE. M.Si sebagai
dosen pembimbing atas waktu yang telah diluangkan untuk membimbing,
memberi motivasi, dan diskusi-diskusi yang dilakukan dengan peneliti.
Terakhir, ucapan terima kasih kepada kekasih saya Iin Wahyu Priani atas
bantuan, nasehat, dan waktu luang yang diberikan selama penelitian skripsi ini
dan tak lupa peneliti juga sampaikan terima kasih kepada teman-teman
perkuliahan angkatan 2008 serta sahabat peneliti Asrul, Ikbal, Niswar, Ruslan,
dan Setyadi yang selalu memberi motivasi kepada peneliti. Semoga semua pihak
mendapat kebaikan dari-Nya atas bantuan yang diberikan hingga skripsi ini
terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna walaupun telah menerima bantuan
dari berbagai pihak. Apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam skripsi ini
sepenuhnya menjadi tanggungjawab peneliti dan bukan para pemberi bantuan.
Kritik dan saran yang membangun akan lebih menyempurnakan skripsi ini.
Makassar, 13 Oktober 2012
Peneliti
iii
ABSTRAK
PENERAPAN KONSEP PAJAK PADA ZAKAT(Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif)
APPLICATION OF TAX CONCEPT AT ZAKAT(As Alternative Of Effective Zakat Management)
Chaerul AkbarAbdul Hamid HabbeMuhammad Ashari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep zakat dan konsep pajak, pendapat ulama tentang zakat dan pajak, dan yang terakhir adalah untuk mengetahui mengenai pengelolaan zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa persamaan antara konsep zakat dan konsep pajak, yaitu keduanya memiliki unsur paksaan dan unsur pengelola dan perbedaannya dari segi nama, dasar hukum dan sifat kewajibannya, serta dari sisi objek, persentase, dan pemanfaatannya. Konsep pajak yang dapat diterapkan agar diperoleh pengelolaan zakat yang efektif yaitu, pemberian sanksi kepada pengelola zakat dan muzakki yang lalai, perbaikan sistem administrasi zakat yang terdiri dari fungsi, system dan lembaga, adanya sistem informasi zakat, pembentukan direktorat zakat seperti halnya pembentukan direktorat pajak, dan yang terakhir pembentukan lembaga independen yang berperan sebagai auditor.
Kata Kunci: zakat, pajak
This research purpose to determine the similarities and differences concept of zakat and tax, ulama’s opinion about zakat and taxes, and the last to know about the effective management of zakat to the application up the concept taxes. In this research, researcher used data collection techniques such as library research. The findings showed the equation between zakat and the tax concept, which both have an element of obligated and management, and the difference in terms, legal basic and the duties, and also viewpoint in object, percentages, and utilization. The tax of concept that can be applied so that reached effective management of zakat like punishments for mistake doing of zakat organizer and muzakki, improvements administration system of zakat at consist of functions, system and institutions, zakat informations system, to establishment directorate of zakat like tax directorate and the last establishment of independent instituition to role as the auditor.
Keyword: zakat, tax
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................... iii
PRAKATA........................................................................................................ iv
ABSTRAK........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Konteks Penelitian....................................................................... 11.2 Fokus Penelitian.......................................................................... 51.3 Tujuan Penelitian......................................................................... 51.4 Kegunaan Penelitian................................................................... 61.5 Sistematika Penulisan................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
2.1 Konsep Zakat............................................................................. 82.1.1 Sejarah dan Landasan Filosofis Zakat.............................. 8 2.1.2 Pengertian dan Prinsip Zakat............................................ 112.1.3 Yang Wajib Berzakat dan Kelompok Penerima Zakat...... 122.1.4 Jenis Zakat........................................................................ 152.1.5 Pengelolaan Zakat............................................................ 202.1.6 Hikmah Zakat.................................................................... 20
2.2 Penerapan Zakat........................................................................ 212.2.1 Zakat Pada Masa Rasulullah SAW................................... 212.2.2 Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin................................. 24
2.2.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq............................. 242.2.2.2 Khalifah Umar bin Khattab.................................... 252.2.2.3 Khalifah Utsman Bin Affan.................................... 272.2.2.4 Khalifah Ali Bin Abi Thalib..................................... 28
2.2.3 Zakat di Indonesia............................................................. 292.3 Konsep Pajak............................................................................. 31
2.3.1 Sejarah dan Landasan Filosofis Pemungutan Pajak........ 312.3.2 Pengertian dan Unsur Pajak............................................. 352.3.3 Fungsi Pajak...................................................................... 372.3.4 Jenis-Jenis Pajak.............................................................. 372.3.5 Syarat Pemungutan Pajak................................................. 392.3.6 Pengelompokan Pajak...................................................... 39
2.4 Penerapan Pajak........................................................................ 402.4.1 Pajak Pada Masa Rasulullah SAW................................... 402.4.2 Pajak Pada Masa Khulafaurrasyidin................................. 42
2.4.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq............................. 422.4.2.2 Khalifah Umar bin Khattab.................................... 422.4.2.3 Khalifah Utsman Bin Affan.................................... 432.4.2.4 Khalifah Ali Bin Abi Thalib..................................... 44
v
2.4.3 Pajak di Indonesia............................................................. 442.5 Mekanisme Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak............ 482.6 Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat danPajak........... 512.7 Kerangka Pikir ........................................................................... 53
BAB III METODEPENELITIAN........................................................................ 54
3.1 Rancangan Penelitian................................................................ 543.2 Jenis dan Sumber Data.............................................................. 54
3.2.1 Jenis Data......................................................................... 543.2.2 Sumber Data..................................................................... 54
3.3 Teknik Pengumpulan Data......................................................... 553.4 Teknik Analisis Data................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................................... 56
4.1 Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan Pajak................. 564.1.1 Persamaan Antara Zakat dan Pajak ................................ 564.1.2 Perbedaan Antara Zakat dan Pajak.................................. 60
4.2 Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan Pajak.......... 664.2.1 Pendapat Ulama Tentang Zakat dan Pajak...................... 664.2.2 Ulama Yang Berpendapat Bahwa ada Kewajiban Lain
atas Harta Selain Zakat.................................................. 684.2.3 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh........... 704.2.4 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Haram.......... 734.2.5 Alasan Ulama Membolehkan Pajak.................................. 73
4.3 Pengelolaan Zakat Secara Efektif Dengan Menerapkan Konsep Pajak ............................................................................ 74
BAB V PENUTUP........................................................................................... 86
5.1 Kesimpulan................................................................................. 865.2 Saran.......................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 89
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Penelitian
Indonesia adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga
kata zakat dan pajak adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana
negara kita ini mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna
dan perlakuan yang berbeda. Di satu sisi zakat hanya dikenakan kepada orang-
orang Muslim yang memiliki harta dengan persyaratan tertentu. Dan bagi yang
tidak mempunyai maka dia akan menjadi orang yang berhak menerimanya. Dan
dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang sudah dewasa dan
mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil dan besar
tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau tidak.
Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil, karena
pengemis pun bisa terkena pajak.
Beberapa ahli ekonomi Islam menganggap zakat merupakan sejenis
pajak karena zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman,
1996: 242), diantaranya:
a. Pembayaran yang diwajibkan;
b. Tidak ada balasan atau imbalan;
c. Diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara.
Zakat memenuhi persyaratan pertama dan kedua sedangkan persyaratan
ketiga tidak. Zakat adalah pembayaran yang diwajibkan dan tidak ada balasan
atau imbalan atas pembayaran tersebut, akan tetapi hanya dikenakan kepada
orang Muslim di negara itu sedangkan orang-orang nonmuslim terbebas dari
kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, zakat bukanlah suatu pajak dalam
1
2
arti yang sebenarnya. Sebenarnya zakat, seperti halnya menunaikan shalat atau
mengerjakan haji, merupakan suatu bentuk ibadah atau tugas agama yang
mempunyai perbedaan psikologis sangat berbeda dengan pajak biasa.
Zakat dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan
sudah barang tentu, posisi yang penting semacam ini tidak dapat diberikan
kepada suatu jenis pajak betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya,
pendapatan yang diperoleh dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya
masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal zakat, pemerintah dalam negara
Islam diberikan petunjuk khusus dalam kitab suci Al-Qur’an tentang bagaimana
dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh melalui pengumpulan zakat.
Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus membelanjakan hasil
pengumpulan zakat itu sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab suci Al-
Qur’an.
Persoalan di atas salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi
Islam yaitu persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga
negara yang Muslim. Ironisnya, pajak sebagai sumber penerimaan negara
mengalami penguatan, sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap
menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing individu Muslim.
Di Indonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak
(taxs payers). Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua
undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan
bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum
Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007: 7).
3
Hal ini pula telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir
sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang
bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin
dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim
terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Dari segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang
berbeda. Akan tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya
pengelolaan zakat ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan
pajak di Indonesia terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan
tersebut, yakni administrasi pajak yang tentunya harus efisien dan efektif.
Menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) administrasi pajak
yang baik harus meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Fungsi, administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2. Sistem, administrasi pajak sebagai suatu sistem adalah merupakan seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu proses tertentu.
3. Lembaga, sebagai suatu lembaga administrasi pajak meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan.
Berbeda halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang
masih rendah kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010:
2-3), yaitu:
1. Rendahnya penghimpunan dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2. Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala usaha yang kecil.
3. Lemahnya zakat karena ketiadaan lembaga regulator pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat.
4. Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia bidang zakat.
Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan
zakat disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara serius dan
4
profesional oleh pemerintah dengan perangkat aturan sesuai kecenderungan
dan tuntutan daerah.
Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya merupakan sesuatu
yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan jelas,
dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam
penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya
mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil
Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci
mengenai jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana
digunakan dan semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar
zakat ingin tahu data rinci mengenai zakatnya, BAZ bisa memberi jawaban
dengan memuaskan.
Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis idealnya
dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah
untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq (orang yang
berhak menerima zakat) yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai
usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan
konsumtif dapat dilakukan. Dana zakat akan lebih cepat digunakan untuk
mengentaskan umat dari kemiskinan jika dikelola untuk menjadi sumber dana
yang penggunannya sejak dari awal, seperti pelatihan, sampai dengan modal
usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan pengembangan
serta dana administrasi (Azizy, 2004: 148-149).
Pada survey di atas menunjukkan salah satu faktor yang menyebabkan
pengelolaan dana zakat yang kurang efektif adalah tidak terprogram dan
terencana dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana
zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak
5
karena pengelolaan pajak telah mempunyai fungsi, sistem dan lembaga yang
benar-benar telah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai
Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”
1.2 Fokus Penelitian
1. Apa persamaan dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep
pajak ?
2. Bagaimana pendapat/pemikiran ulama tentang penerapan zakat dan
pajak ?
3. Bagaimana pengelolaan dana zakat yang efektif dengan penerapan
konsep pajak ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai persamaan dan
perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak.
2. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang penerapan zakat dan
pajak.
3. Untuk mengetahui mengenai pengelolaan dana zakat yang efektif
dengan penerapan konsep pajak.
6
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat diadakannya penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi sebuah media untuk menerapkan ilmu yang
diperoleh di bangku perkuliahan dalam rangka memecahkan masalah
secara ilmiah.
2. Bagi Fakultas
Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk
mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan
masukan untuk membantu memberikan gambaran yang lebih jelas
bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian khususnya
mengenai akuntansi syariah.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan konteks penelitian, fokus penelititan,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mengemukakan teori-teori yang mendukung penelitian,
yaitu teori-teori yang berkaitan dengan konsep zakat dan
konsep pajak serta menjelaskan penerapan zakat dan pajak
pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan Di
7
Indonesia, serta pendapat para ulama tentang penerapan zakat
dan pajak. Di samping itu, bab ini juga memuat kerangka pikir
dari peneliti.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan rancangan penelitian, jenis dan sumber
data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan atas rumusan masalah dalam
skripsi ini, yaitu mengenai persamaan dan perbedaan antara
konsep zakat dan konsep pajak, pendapat/pemikiran Ulama
tentang penerapan zakat dan pajak dan pengelolaan dana
zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak.
BAB V PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas penelitian yang
telah dilakukan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Zakat
2.1.1 Sejarah dan Landasan Filosofis Zakat
Menurut Basyir, zakat sudah pernah dilaksanakan sebelum kedatangan
agama Islam. Kegiatan yang dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah
dikenal di kalangan bangsa-bangsa Timur kuno di Asia, khususnya di kalangan
umat beragama. Hal ini terjadi atas adanya pandangan hidup di kalangan
bangsa-bangsa Timur bahwa meninggalkan kesenangan duniawi merupakan
perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan. Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi
akan menghalangi orang untuk memperoleh kebahagiaan hidup di surga. Dalam
syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal, tetapi hanya dikenakan terhadap
kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti sapi, kambing, dan unta. Zakat
yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen dari nisab yang ditentukan
(http://jakarta45.wordpress.com).
Menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun
ke-2 Hijriah. Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan,
sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula
diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan. Mengenai kewajiban
zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat
ditetapkan di Madinah pada abad kedua Hijriah”. Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di
Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata. Sayid Sabiq menerangkan
bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat
8
9
ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar
zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum
Muslimin. Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan
mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa
yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak
saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban
sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap
Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang
wajib dizakati (http://www.republika.co.id).
Menurut Shihab dalam ada 3 landasan kewajiban filosofis zakat
(http://nasional.inilah.com), yaitu:
1. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi). Allah SWT adalah
pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta
benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya, pada hakikatnya
hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan
dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik-Nya (Allah SWT).
Manusia yang dititipi itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan
yang digariskan oleh Sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta
maupun dalam penggunaannya. Zakat merupakan salah satu
ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun
demikian. Sebab, Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana
kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Karena itu, harta benda
harus diarahkan guna kepentingan bersama.
2. Solidaritas sosial. Manusia adalah mahluk sosial. Kebersamaan
antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk
masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu
10
tersebut, namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya. Manusia tidak
dapat hidup tanpa masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan
diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat,
sopan santun dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material yang
diperolehnya berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung
dan disadari maupun tidak. Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang
menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian, wajar jika Allah SWT
memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zakat) dari harta
yang diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang
lain.
3. Persaudaraan. Manusia berasal dari satu keturunan, antara
seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh.
Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya
persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domisili
dan sebagainya. Disadari oleh kita semua, bahwa hubungan
persaudaraan menuntut bukan sekadar hubungan take and give
(mengambil dan menerima), atau pertukaran manfaat, tetapi melebihi
itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu
tanpa dimintai bantuan. Apalagi, jika mereka hidup bersama dalam
satu lokasi. Nah, kebersamaan dan persaudaraan inilah yang
mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta
kekayaan khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk
kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.
11
2.1.2 Pengertian dan Prinsip Zakat
Hafidhuddin (2002: 7) mengartikan zakat yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Menurut bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘kebersihan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalabu ‘keberesan’.
b. Menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam exprosure draft PSAK
Syariah No.109 “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai
dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
(mustahiq)”.
Sedangkan menurut Chapra (1999: 292) “Zakat adalah suatu tanda yang
jelas dan tegas dari kehendak Tuhan untuk menjamin bahwa tidak seorang pun
menderita kekurangan sarana untuk memenuhi kebutuhan pokoknya akan
barang dan jasa”.
Menurut Muhammad (2009: 55):
“Zakat merupakan harta yang diambil dari amanah harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer kepada kelompok fakir dan miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an, yang lazim disebut kelompok mustahik. Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan transfer of income (pemindahan kekayaan) dari golongan kaya (agniya/the have) kepada golongan yang tidak berpunya (the have not).”
Bila seseorang memperhatikan ketentuan dan paraturan mengenai zakat
dengan teliti, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan enam prinsip
syariat yang mengatur zakat (Mannan, 1997: 257-259), yaitu:
a. Prinsip keyakinan, karena membayar zakat adalah suatu ibadat dan dengan demikian hanya seorang yang benar-benar berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya.
b. Prinsip keadilan, makin berkurang jumlah pekerjaan dan modal maka makin berkurang pula tingkat pungutan.
c. Prinsip produktivitas, nisab berlaku pada zakat hanya bila telah sampai waktunya dan produktif.
d. Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan membayar zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab.
12
e. Prinsip kemudahan, kemudahan zakat diperoleh sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam tentang erika ekonomi.
f. Prinsip kemerdekaan, yaitu seseorang harus menjadi manusia bebas sebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Karena itu, seorang budak atau tawanan tidak diharuskan membayar zakat bila ia dianggap tidak memiliki sesuatu harta.
2.1.3 Yang Wajib Berzakat dan Kelompok Penerima Zakat
Di dalam pelaksanaan zakat, yang diwajibkan berzakat adalah orang
Islam yang memiliki kekayaan yang cukup nisab dalam hal ini mereka disebut
muzakki. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS Al Baqarah:
277).
Dan orang yang berhak menerima zakat dalam istilah fiqih disebut
mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 305), terdiri atas delapan golongan yang tercakup
dalam firman Allah SWT :
Artinya:
”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf) untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiaban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS At-Taubah: 60).
13
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Fakir, yaitu mereka yang tidak berhasil memperoleh keperluan pokok
hidupnya, untuk dirinya sendiri dan keluarga yang wajib dinafkahinya.
Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa orang disebut fakir, apabila
tidak berhasil memperoleh lebih dari 50% kebutuhan pokoknya (Al-
Habsyi, 1999: 305-306).
2. Miskin. Pengertian miskin yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam
Djazuli (2003: 347-348) adalah “orang yang untuk memenuhi
keperluan hidupnya tidak segan-segan meminta bantuan orang lain”.
3. Amil (Petugas pengumpul dan penyalur zakat), yaitu mereka yang
ditunjuk oleh pemerintah Muslim setempat sebagai petugas-petugas
pengumpul dan penyalur zakat dari para muzakki (pembayar zakat),
termasuk pula para pencatat, penjaga keamanan dan petugas
penyalur kepada para mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 306). Akan tetapi
perlu diingat ongkos administrasi tersebut harus lebih rendah
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari zakat
(Metwally, 1995: 8).
4. Muallaf, yang dimaksud dengan muallaf adalah orang-orang yang
perlu dijinakkan (dilunakkan) hatinya, dengan memberi mereka
sebagian dari harta zakat, agar tertarik kepada agama Islam, atau
demi memantapkan keimanannya, atau ‘membeli’ kesetiaannya agar
menjaga keamanan kaum Muslim atau mencegah kejahatannya
terhadap masyarakat Muslim (Al-Habsyi, 1999: 307).
5. Untuk keperluan pembebasan kaum tertindas. Di masa lalu, ketika
perbudakan masih berlaku di seluruh dunia bagian ini disediakan
dalam upaya pembebasan para budak. Di masa sekarang, bagian ini
dapat disalurkan kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih
14
menderita di bawah tekanan perbudakan bangsa-bangsa asing
hampir di seluruh aspek kehidupan (Al-Habsyi, 1999: 308).
6. Al-Gharimin (Orang-orang yang terhimpit hutang). Mereka yang
terhimpit hutang, dibagi menjadi dua bagian:
a. Pertama, mereka yang pernah berhutang dari orang lain untuk
menutup kebutuhan hidup dan kini disebabkan kemiskinan yang
sangat, tidak mampu membayar kembali hutangnya.
b. Kedua, mereka yang biasanya berasal dari tokoh-tokoh pemuka
masyarakat, yang berupaya menjadi penengah antara dua
kelompok masyarakat yang bertengkar akibat harta atau tuntutan
yang dipertikaikan di antara mereka. Lalu, para pemuka ini,
membebani dirinya dengan memberikan sejumlah tertentu
jaminan keuangan, demi memadamkan api permusuhan seperti
itu.
7. Fi Sabilillah, adalah para sukarelawan yang berjuang dalam
peperangan membela agama dan negara dari serbuan tentara asing.
8. Ibnu Sabil, secara harfiah arti ibnu sabil adalah ‘anak jalanan’ yang
tidak mempunyai rumah untuk ditinggali. Atau orang yang terpaksa
lebih sering dalam perjalanan jauh dari kota tempat tinggalnya demi
memenuhi nafkah hidupnya. Termasuk dalam kategori ini, musafir
yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga
memerlukan bantuan keuangan (Al-Habsyi, 1999: 312).
Menurut Al-Ba’ly (2006: 68), delapan golongan yang berhak atas hasil
zakat terbagi lagi menjadi dua bagian di antaranya:
1. Golongan yang mengambil hak zakat untuk menutup kebutuhan
mereka, seperti fakir, miskin, hamba sahaya dan ibnu sabil.
15
2. Golongan yang mengambil hak zakat untuk memanfaatkan harta
tersebut, seperti pegawai zakat, muallaf, orang yang mempunyai
banyak utang untuk kepentingan yang berpiutang, perang di jalan
Allah SWT.
2.1.4 Jenis Zakat
Menurut Ash Shiddieqy (2006: 9-10) secara garis besar zakat terbagi dua,
yaitu:
1. Zakat Mal (harta): emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan (buah-
buahan dan biji-bijian) dan barang perniagaan.
2. Zakat Nafs, zakat jiwa yang disebut juga “Zakatul Fitrah” (zakat yang
diberikan berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam (puasa)
yang difardhukan). Di negeri kita ini, lazim disebut fitrah. Para ulama
telah membagi zakat fitrah, kepada dua bagian pula :
a. Zakat harta yang nyata (harta yang lahir) yang terang dilihat
umum, seperti: binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan
barang logam.
b. Zakat harta-harta yang tidak nyata, yang dapat disembunyikan.
Harta-harta yang tidak nyata itu, ialah: emas, perak, rikaz, dan
barang perniagaan.
Menurut Nurhayati dan Wasilah (2009: 274-275) ada dua jenis zakat,
yaitu:
1. Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap Muslim
setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan.
16
2. Zakat Harta
Zakat harta adalah zakat yang boleh dibayarkan pada waktu yang
tidak tertentu, mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan,
hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja
(profesi) yang masing-masing memiliki perhitungan sendiri-sendiri.
Sementara itu, menurut Arizta (2011) dan Bamz (2011) zakat dapat dibagi
dalam dua jenis, yaitu:
1. Zakat fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan
setiap bulan Ramadhan. Zakat ini wajib dikeluarkan orang Muslim
menjelang Idul Fitri. Besarnya zakat fitrah yang harus dikeluarkan per
individu adalah satu sha’ yang setara dengan 2,5 kilogram atau
dengan 3,5 liter beras makanan pokok yang ada di daerah pemberi
zakat atau yang bersangkutan. Zakat ini diberikan kepada delapan
golongan yang berhak menerima zakat. Menurut beberapa ulama
khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan,
yakni fakir dan miskin.
2. Zakat maal merupakan zakat atas harta kekayaan. Meliputi hasil
perniagaan atau perdagangan, pertambangan, pertanian, hasil laut
dan hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja
(profesi). Masing-masing jenis mempunyai perhitungan yang berbeda-
beda. Adapun jenis-jenis zakat maal, yaitu:
a. Zakat emas dan perak. Nishab emas adalah 20 dinar (setara
dengan 85 gram emas murni). Sedangkan nishab perak adalah
200 dirham (setara dengan 672 gram perak). Ini berarti, jika Anda
memiliki emas sebesar 20 dinar selama satu tahun, maka emas
tersebut harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Aturan serupa
17
berlaku pula untuk perak, jika telah mencapai nishab 200 dirham
dan waktu kepemilikannya telah satu tahun, maka wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.
b. Zakat harta berharga lainnya. Misalnya uang tunai, tabungan,
saham, obligasi dan lain-lain). Besarnya zakat yang harus
dikeluarkan dan syarat-syaratnya sama seperti zakat emas dan
perak.
c. Zakat profesi/penghasilan yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil
profesi seseorang sebesar 2,5 %.
d. Zakat tabungan adalah uang yang telah disimpan selama 1 tahun
dan mencapai nilai minimum (nisbah) setara 85 gram emas, zakat
yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.
e. Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang
diperoleh dari hasil investasi (seperti: bangunan atau kendaraan
yang disewakan) besarnya 5% untuk penghasilan kotor dan 10%
untuk penghasilan bersih.
f. Zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil
perniagaan. Ketentuanya, berjalan 1 tahun nisbah senilai 85 gram
emas besar zakatnya 2,5% dapat dibayar dengan uang atau
barang perdagangan maupun perseroan.
Lebih lanjut menurut Arian (2011) ada dua jenis zakat, yaitu:
1. Zakat fitrah/fidyah, zakat nafs (jiwa), disebut juga zakat fitrah. Zakat
fitrah adalah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada bulan
Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Besarnya zakat fitrah menurut
ukuran sekarang adalah 2,176 kilogram. Sedangkan makanan yang
wajib dikeluarkan yang disebut nash hadits yaitu tepung, terigu,
18
kurma, gandum, zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk
daerah/negara yang makanan pokoknya selain 5 makanan di atas,
mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan membayar zakat dengan
makanan pokok yang lain. Pembayaran zakat fitrah menurut jumhur
ulama, yaitu:
a. Waktu wajib membayar zakat fitrah yaitu ditandai dengan
tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan.
b. Membolehkan mendahulukan pembayaran zakat fitrah di awal.
Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu yang
dibolehkan oleh syaria't dan mempunyai kewajiban membayar
fidyah, maka pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya
seseorang tidak berpuasa.
2. Zakat maal (harta) adalah sejumlah harta benda tertentu yang wajib
dikeluarkan guna membersihkan kekayaan dan menyucikan
pemiliknya. Syarat-syarat kekayaan yang wajib di zakati:
a. Milik penuh. Artinya, harta tersebut berada dalam kontrol dan
kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara
penuh.
b. Berkembang. Artinya, harta tersebut dapat bertambah atau
berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk
berkembang.
c. Cukup nishab. Artinya, harta tersebut telah mencapai jumlah
tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. Sedangkan harta yang
tidak sampai nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan
mengeluarkan Infaq serta Shadaqah.
19
d. Lebih dari kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan
minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi
tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya, apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat
hidup layak.
e. Bebas dari hutang. Orang yang mempunyai hutang sebesar atau
mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama
(dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut
terbebas dari zakat.
f. Berlalu satu tahun (Al-Haul). Maksudnya adalah bahwa pemilikan
harta tersebut sudah berlalu (mencapai) satu tahun. Persyaratan
ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan.
Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang
temuan) tidak ada syarat haul.
Adapun pengertian zakat fitrah menurut Kurnia dan A. Hidayat (2008:
342):
Zakat fitrah adalah zakat pribadi yang diwajibkan atas diri setiap Muslim yang memiliki syarat-syarat yang ditetapkan yang ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai menjelang shalat sunah Idul Fitri. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkan puasa Ramadhan. Zakat fitrah mulai diwajibkan bertujuan menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan orang-orang miskin dan mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.
Menurut Ja’far (1997: 63) zakat fitrah berfungsi mengembalikan manusia
Muslim kepada fitrahnya, dengan mensucikan jiwa mereka dari dosa-dosa yang
disebabkan oleh pengaruh pergaulan dan sebagainya, sehingga manusia itu
menyimpan dari fitrahnya.
Di sisi lain, menurut Qardhawi (1995: 89) zakat fitrah mengandung dua
hikmah, yaitu:
20
a. Untuk memulihkan puasa seseorang yang barang kali dirusak oleh
perbuatan sia-sia dan omongan kotor.
b. Untuk memuliakan kaum papa dan menunjukkan perhatian
masyarakat Muslim terhadap mereka di hari lebaran.
Menurut Muhammad (2008: 433) sesuatu dapat disebut dengan harta
apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai.
b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya,
rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dan lain
sebagainya.
2.1.5 Pengelolaan Zakat
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 pengelolaan zakat
adalah kegiatan perencanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Adapun tujuan pengelolaan zakat
meliputi hal-hal berikut:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam
pelayanan ibadah zakat sesuai dengan tuntutan agama.
b. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
c. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
2.1.6 Hikmah Zakat
Menurut Rifa’i (1999: 370) zakat mengandung beberapa hikmah, baik
bagi perseorangan maupun masyarakat. Di antara hikmah dan faedah zakat itu
adalah :
a. Mendidik jiwa manusia suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir dan bakhil.
21
b. Zakat mengandung arti rasa persamaan yang memikirkan nasib manusia dalam suasana persaudaraan.
c. Zakat memberi arti bahwa manusia itu bukan hidup untuk dirinya sendiri, sifat mementingkan diri sendiri harus disingkirkan dari masyarakat Islam.
d. Seorang Muslim harus mempunyai sifat-sifat baik dalam hidup perseorangan, yaitu murah hati dan penyayang.
e. Zakat dapat menjaga timbulnya rasa dengki, iri hati, dan menghilangkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.
f. Zakat bersifat sosialitas, karena meringankan beban fakir miskin dan meratakan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada manusia.
2.2 Penerapan Zakat
2.2.1 Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Kehidupan Rasulullah SAW dan masyarakat Muslim di masa beliau
adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang
ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad adalah seorang
pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di masa Rasulullah SAW di sini
adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum
sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan
untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah pada
periode Madinah, Rasulullah SAW memimpin sendiri membangun masyarakat
Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera beradab. Meskipun
perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah
menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter
umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi
terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan
pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam
bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk
pada segilintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat.
Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi
pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan
22
kesejahteraan dan menegakkan keadilan (Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Ekonomi Islam, 2008: 98)
Kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, di mana untuk
menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas
Islam, Rasulullah SAW mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang
bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah SAW juga
membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola
keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi
perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian,
Rasulullah SAW mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat
(misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim,
maka penerimaan negara juga meningkat. Sumber pemasukan negara berasal
dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr (Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008: 98-99).
Zakat dan Ushr (sedekah) walaupun sudah diwajibkan sejak tahun ke-2
Hijriyah, namun baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah yang ditunaikan setiap
bulan Ramadhan, kewajiban atas zakat mal (harta) masih bersifat sukarela.
Efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun ke-9 Hijriyah. Ketika
Islam telah kokoh, wilayah negara meluas dengan cepat dan orang berbondong-
bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan
zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang
berbeda-beda serta sistem penentuan pengggajian (hak-hak) amil zakat
(Gusfahmi, 2007: 60).
Menurut Gusfahmi (2007: 60) pada masa Pemerintahan Rasulullah SAW,
zakat dikenakan pada hal-hal (objek zakat) berikut:
23
1. Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
2. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3. Binatang ternak onta, sapi, domba dan kambing.4. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.5. Hasil pertanian termasu buah-buahan (ushr).6. Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh.7. Barang temuan.
Zakat emas dan perak ditentukan berdasarkan beratnya. Binatang ternak
yang digembalakan secara bebas ditentukan berdasarkan jumlahnya. Barang
dagangan, barang tambang, dan luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya
serta hasil pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW telah menetapkan nisab, yakni batas
terendah dari kuantitas atau nilai dari suatu barang dan jumlah dari tiap jenis
binatang ternak (Karim, 2008: 47).
Pemerintahan Islam yang dibangun Rasulullah SAW setelah beliau
berhijrah bersama sahabatnya di Madinah mengundang-undangkan zakat secara
formal kepada rakyat. Harta-harta diberi kategori tertentu hingga dikenakan
kewajiban zakat (Mujahidin, 2007: 63). Artinya, tidak semua harta mutlak
dikenakan zakat. Di antara syarat dan kategori itu adalah:
1. Al-Milk al-Tamn; harta tersebut haruslah sempurna milik seseorang.2. Al-Nama’; harta produktif yang dapat ditumbuh kembangkan, bukan harta
mati.3. Bulugh al-Nishab; telah memenuhi limit dan kadar tertentu.4. Al-Fadhl ‘an al Hawa’ij al-Ashliyyah; surplus dari kebutuhan pokok.5. Al-Salamah min al-Duyun; tidak terkait pada utang.6. Hulul al-Haulan; telah mencapai batas waktu tertentu (1 tahun).
Selain objek zakat dan syarat/kategori yang diatur Rasulullah SAW
mengenai zakat, sistem manajemen zakat pun telah diatur pada masa beliau.
Menurut Nasution et al. (2006: 214) pada zaman Rasulullah SAW, sistem
manajemen zakat yang dilakukan oleh amil dibagi menjadi bebebrapa bagian,
yaitu:
1. Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat.2. Hasabah, petugas untuk menaksir, menghitung zakat.
24
3. Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para muzakki.4. Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.5. Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahiq.
2.2.2 Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.2.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pengangkatan Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW menjadi
masalah bagi kaum Muhajirin dan Ansor (konflik internal) serta munculnya
pemberontakan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Madinah. Para
pemberontak berasal dari dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari mereka
yang kembali balik menyembah berhala di bawah pimpinan Musailamah,
Tulaihah, Sajah, dan lain-lain. Kelompok kedua tidak menyatakan permusuhan
terhadap Islam tetapi hanya memberontak kepada negara. Mereka menolak
membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi,
satu-satunya orang yang mereka siap membayarnya. Berdasarkan pada kondisi
di atas maka langkah pertama yang dilakukan selama pemerintahan Abu Bakar
adalah menumpas pembangkang suku-suku Arab di dalam negeri melalui
peperangan yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan) baru
melakukan perluasan wilayah (Nasution et al., 2006: 233).
Dalam kekhalifahannya Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan
penghitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekeurangan
pembayaran. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan
negara dan disimpan dalam Baitul Maal untuk langsung didistribusikan
seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang tersisa. Dalam
mendistibusikan harta ini, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan, yakni
memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW dengan
tidak membedakan antara sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dengan
sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria
25
dengan wanita. Menurutnya dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT akan
memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip
kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan (Kara et al., 2009: 26).
2.2.2.2 Khalifah Umar bin Khattab
Umar memerintah hanya selama sepuluh tahun, akan tetapi dalam
periode yang singkat itu banyak kemajuan yang dialami umat Islam, kalau boleh
dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam sejarah Islam.
Dalam aspek ekonomi, sistem ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada
keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem
tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang
kaya untuk dibagikan kepada orang miskin (Nasution et al., 2006: 234).
Beberapa kontribusi yang diberikan Umar pada masa pemerintahannya
antara lain:
1. Reorganisasi Baitul Maal
Khalifah Umar bin Khattab mengambil keputusan untuk tidak
menghabiskan harta Baitul Maal sekaligus, tetapi dikeluarkan secara
bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya
disediakan dana cadangan. Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta
kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan
sebagai pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung
jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak
yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang
miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang
diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat prajurit
Shebani yang membunuh seorang Kristiani untuk menyelamatkan
26
nyawanya; serta memberikan pinjaman tanpa bunga untuk tujuan
komersial, seperti kasus Hind binti Ataba (Karim, 2008: 59-61).
Sehingga perwujudan zakat mampu memenuhi kebutuhan dan
membuat seorang fakir menjadi kaya untuk selamanya. Sehingga
dapat meninggalkan keterkaitan finansial kepada orang lain. Hal ini
pun sebagaimana yang diinginkan Umar Bin Khattab dalam
penjelasan teoritis terhadap penerapan zakat yang kemudian
dijadikansebagai arahan yang bermanfaat dan dimasukkan ke dalam
hukum tasyri’ (Qardhawi, 2005: 54).
Khalifah Umar bin Khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam
mendistribusikan harta Baitul Maal. Ia berpendapat bahwa kesulitan
yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam menetapkan
bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan
menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan
dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas
dengan sebaik- baiknya (Karim, 2008: 64).
2. Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat terhadap karet di
Semenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya mengenakan dasar
advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
Kegiatan beternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara
besar-besaran di Syria dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam
lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi, bahkan
pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan
bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam
perdagangan ini. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada zakat
27
atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada khalifah agar
ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi permintaan tersebut
tidak dikabulkan. Akhirnya, gubernur menulis surat kepada khalifah
dan Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah instruksi agar
gubernur menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada
para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu, zakat kuda ditetapkan
sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu dirham
untuk setiap empat puluh dirham (Karim, 2008: 69).
Umar mengenakan zakat atas karet yang ditemukan di
Semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil laut karena
barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah SWT.
Thaif dikenal sebagai tempat peternakan lebah, Kahlifah Umar juga
mengenakan zakat pada peternakan lebah ini. Menurut riwayat Abu
Ubaid, Umar membedakan madu yang diperoleh dari pegunungandan
madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah
seperduapuluh untuk madu yang diperoleh dari pegunungan dan
sepersepuluh untuk madu yang diperoleh dari ladang (Karim, 2008:
69-70).
2.2.2.3 Khalifah Utsman Bin Affan
Pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan berlangsung selama 12 tahun.
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Utsman Bin Affan tetap mempertahankan
sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang
kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan
dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, Utsman memberikan bantuan
yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam
28
pendistribusian harta Baitul Maal, Khalifah Utsman Bin Affan menerapkan prinsip
keutamaan seperti halnya Umar Bin Khattab (Kara et al., 2009: 28).
Dalam pengelolaan zakat, Khalifah Utsman Bin Affan melantik Zaid Bin
Sabit untuk mengelola dana zakat. Ia juga mendelegasikan kewenangan
menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah
dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul
zakat. Disamping itu, Khalifah Utsman Bin Affan berpendapat bahwa zakat hanya
dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang
bersangkutan. Ia juga mengurangi zakat dari dana pensiun. Selama menjadi
Khalifah, beliau menaikkan dana pensiun sebesar 100 dirham disamping
memberikan rangsum tambahan berupa pakaian. Utsman juga memperkenalkan
tradisi mendistribusikan makanan di mesjid untuk para fakir miskin dan musafir
(Karim, 2008: 80).
2.2.2.4 Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib berlangsung selama enam
tahun, selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun
demikian, Khalifah Ali Bin Abi Thalib tetap berusaha melaksanakan berbagai
kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerimaan
dana bantuan Baitul Maal. Bahkan menurut riwayat yang lain, Ali memberikan
sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Apa pun faktanya, kehidupan Ali
sangat sederhana dan sangat ketat dalam membelanjakan keuangan negara.
Dalam sebuah riwayat, saudaranya yang bernama Aqil pernah mendatangi
Khalifah Ali Bin Abi Thalib untuk meminta bantuan keuangan dari dana Baitul
Maal. Namun Ali menolak permintaan tersebut (Karim, 2008: 82-83).
29
2.2.3 Zakat di Indonesia
Sebagai sebuah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia,
persoalan zakat pun menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial
masyarakat Indonesia. Sejarah perkembangan zakat di Indonesia mengalami
jalan panjang hingga saat ini. Sejak Islam masuk di Indonesia, secara otomatis
ajaran zakat pun berakumulasi dengan kehidupan masyarakat.
Menurut Aliboron (2010) sebelum tahun 1990-an, dunia perzakatan di
Indonesia memiliki beberapa ciri khas, antara lain :
1. Pada umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq
tanpa melalui amil zakat. Keadaan seperti ini disebabkan antara lain
karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali di
beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ umumnya
muzakki langsung memberikannya kepada mustahiq. Pemahaman
tentang zakat pun masih sederhana, yakni sebatas kewajiban ibadah
murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu menghubung-hubungkan
dengan pemecahan berbagai problematika seperti kemiskinan.
2. Jika pun melalui amil zakat, hanya terbatas pada zakat fitrah.
Keadaan seperti ini tampak misalnya ketika memasuki bulan
Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum lebaran di mesjid-
mesjid, mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk
menerimakan zakat fitrah yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar
mesjid atau mushalla. Bahkan itupun masih terdapat anggota
masyarakat yang berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan
langsung zakat fitrahnya ke muzakki tanpa melalui amil zakat.
30
3. Zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk
keperluan sesaat. Pada saat itu amil bertugas menerima dan
membagi zakat belum bersifat mengelola, sehingga tidak terlalu
dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanyalah menjadi
profesi sambilan. Keadaan seperti ini didukung oleh cara pandang
masyarakat ketika itu yang umumnya bersifat konsumtif dan dapat
pula menjadi indikator lemahnya kepercayaan masyarakat kepada
amil zakat.
4. Harta obyek zakat hanya terbatas. Obyek zakat ketika itu terbatas
pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara rinci dalam Al-
Qur’an maupun Hadits Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas
pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan
(terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan (terbatas pada
komoditas-komoditas yang berbentuk barang), dan rikaz (harta
temuan). Ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi tentang zakat,
baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata
cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat
dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan
kesejahteraan masyarakat masih sangat jarang dilakukan.
Sejak tahun 1990-an zakat yang merupakan salah satu instrumental
Islam yang strategis dalam pembangunan ekonomi semakin populer di
Indonesia. Indikasi positif ini selain disebabkan oleh kesadaran menjalankan
perintah agama di kalangan umat Islam semakin meningkat dan menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Bahkan setelah itu dorongan untuk
membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan disahkannya perangkat
perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
31
Undang-undang ini telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang
antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat
yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan (Aliboron, 2010).
Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat
(BAZ) harus segera menyesuaikan diri dengan amanat undang-undang yakni
pembentukannya berdasarkan kewilayahan pemerintah negara mulai dari tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/
kelurahan, mesjid, lembaga pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul
zakat. Sementara sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ), sesuai amanat undang-
undang tersebut, diharuskan mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai
wujud pembinaan, perlindungan dan pengawasan yang harus diberikan
pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat yang telah terbentuk di
sejumlah Ormas Islam, yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah setelah
memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan (Aliboron, 2010).
2.3 Konsep Pajak
2.3.1 Sejarah dan Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Pajak sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pada saat itu,
pajak biasanya ditarik untuk kebutuhan bersama, terutama untuk dana sebuah
peperangan, karena pada saat itu masyarakat masih melakukan perang guna
memperebutkan wilayah kekuasaan. Seperti di Mesir contohnya, penarikan pajak
sudah dilakukan sejak zaman fir’aun. Pada saat itu, nama penarik pajak disebut
dengan scribe. Di Yunani, pemungutan pajak disebut dengan eisphora, yaitu
pajak yang dikenakan guna membiayai suatu peperangan. Di Romawi, ada yang
32
namanya portoria, yaitu pemungutan pajak yang berhubungan dengan bea
masuk barang ekspor impor. Di Inggris, pada saat abad pertengahan Inggris
terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100 tahun dengan Perancis
yang berakhir sekitar tahun 1453 M. Pada saat itu, mulai dikenal sistem pajak
yang dikenakan atas penghasilan, pajak kekayaan, kantor dan pajak seorang
pendeta. Pada saat itu pajak tanah juga mulai muncul, pajak atas kepemilikan
tanah dan bangunan. Di Amerika, sejarah pajak nampaknya sudah menjadi
pelopor pajak di era modern saat ini. Sejarah pajak di Amerika berlangsung
sangat panjang. Saat itu, rakyat Amerika dikenakan pajak atas penghasilan
mereka, yakni sekitar tahun 1812M. Pajak ini menggunakan tarif progressif, yaitu
0,08% untuk penghasilan di atas 60 pound dan 10% untuk penghasilan di atas
200 pound (Wahyu, 2010).
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen di Indonesia
telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga
telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada
raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat
di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat
dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12
Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam
tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara
sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal
ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh
Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut
“landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian
diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan
33
ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial. Memang dibeberapa
negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan suatu conditiesine qua non
bagi penambahan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa
dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara
yang sedang membangun seperti Indonesia, atau negara yang baru bebas dari
belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara. Atas dasar ini,
dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas
pendekatan “benefit apoprouch” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini
merupakan dasar fundamental atas dasar filolosofis yang membenarkan negara
melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti
mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan manfaat (benefit
approuch) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena negara menciptakan
manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara,
maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat
dipaksakan (Ekhardi, 2010).
Di dalam literatur ilmu keuangan negara, kita temukan teori-teori yang
memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang
negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori
tersebut adalah (Ekhardi, 2010):
1. Teori asuransi
Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugasnya/fungsinya,
mencakup pula tugas perlindungan terhadap jiwa dan harta benda
perseorangan. Oleh sebab itu, negara bekerja atau bertindak sebagai
34
perusahaan asuransi. Untuk perlindungan itu, warga negara
membayar premi dan pembayaran pajaklah yang dapat dipandang
sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan sekarang
praktis tidak ada lagi pembelanya, sebab negara tidak mengganti
kerugian bila timbul kerugian atas orang-orang yang bersangkutan,
misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.
2. Teori kepentingan
Menurut teori ini, pajak itu mempunyai hubungan dengan kepentingan
individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak
menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga
pajaknya.
3. Teori kewajiban pajak mutlak (teori pengorbanan)
Teori ini berpangkal tolak dari ajaran organik kenegaraan (Organische
Staatsleer) dan berpendirian bahwa tanpa negara maka individu tidak
mungkin bisa hidup bebas berusaha dalam negara. Oleh karena itu,
negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Tanpa
negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh
individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda
pengorbanan atau tanda baktinya kepada negara. Teori ini terlalu
menitikberatkan kepada negara yaitu seolah-olah individu itu tidak
dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat hidup tanpa individu.
Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak mungkin
hidup/ada tanpa individu.
4. Teori gaya beli
Teori ini mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak, jika
dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan
35
pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam
masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkan
kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk memelihara hidup
masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Teori ini banyak penganutnya, karena kepraktisannya.
Teori ini berlaku sepanjang masa baik dalam ekonomi liberal, bahkan
juga dalam masyarakat sosialistis, meskipun tidak luput dari variasi-
variasi dalam coraknya. Teori ini tidak mempersoalkan asal mula
negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada “efek”
yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak dan bukan
kepentingan individu, maupun bukan kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
5. Teori gaya pikul
Teori ini mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan
kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu). Tekanan semua
pajak-pajak harus sesuai dengan gaya pikul si wajib pajak dengan
memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga
pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.
2.3.2 Pengertian Pajak dan Unsur Pajak
Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
dharibah. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya
memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan
dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak
jelas dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni
secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah
(Gusfahmi, 2007: 27).
36
Menurut Qardhawi dalam Gusfahmi (2007: 31):
“Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara”.
Menurut Gaji Inayah dalam Gusfahmi (2007: 32):
“Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah”.
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Gusfahmi (2007: 32), “Pajak adalah
harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas
mereka, pada kondisi baitul maal tidak ada uang/ harta”.
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2009: 1), “Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur:
a. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut
berupa uang dan bukan barang.
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
37
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.3.3 Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 1-2) ada dua fungsi pajak, yaitu:
a. Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi Mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.3.4 Jenis-Jenis Pajak
a. Pajak Penghasilan (PPh), adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek
Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun
pajak. Subjek Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah segala sesuatu
yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi
sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan (Resmi, 2003:74).
Lebih lanjut, menurut Diana dan Lilis Setiawati (2009: 163), Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek
Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut disebut
sebagai Wajib Pajak (WP). Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula
38
dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila
kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Adapun tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (Diana dan Lilis Setiawati,
2009: 295), yaitu:
LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK TARIF PAJAKSampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%Di atas Rp. 50.000.000,00 s.d. Rp. 250.000.000,00 15%Di atas Rp. 250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00 25%Di atas Rp. 500.000.000,00 30%
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM).
Menurut Yolina (2009: 15) “Pajak Pertmbahan Nilai (PPN) merupakan
salah satu jenis pajak yang akan selalu terjadi dalam perusahaan kecil
dan menengah baik yang bergerak di bidang perdagangan maupun jasa”.
Lebih lanjut, menurut Sukardji (2004: 3) “PPN adalah pajak objektif
yang mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang
PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak”.
Menurut Diana dan Lilis Setiawati (2009: 630), PPnBM dikenakan
atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
c. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (Diana dan
Lilis setiawati, 2009: 677).
39
d. Bea Materai. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 menetapkan pajak atas
dokumen yang disebut Bea Materai. Pelaksanaanya diatur dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga
Nominal yang Dikenakan Bea Materai (Diana dan Lilis Setiawati, 2009:
739).
e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bumi adalah permukaan bumi dan
tubuh bumi yang ada di bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12
Tahun 1994 (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 711).
2.3.5 Syarat Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan
hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)c. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis)d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
2.3.6 Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 5-6) pengelompokan pajak terdiri atas:
a. Menurut Golongannya
1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain.
40
2. Pajak tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Menurut Sifatnya
1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
c. Menurut Lembaga Pemungutnya
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
2.4 Penerapan Pajak
2.4.1 Pajak Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang
dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan
perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer.
Besarnya jizyah yakni satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu
membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan dalam menanggung
beban negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan dan tempat
tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk
Islam. Jizyah merupakan hak Allah SWT yang diberikan kepada kaum Muslimin
dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah
masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin. Pihak yang wajib
membayar Jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan
41
yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis
yang telah menjadi warga negara Islam (Nasution et al., 2006: 228).
Meskipun jizyah merupakan hal yang wajib, namun dalam ajaran Islam
ada ketentuannya, yaitu bahwa jizyah wajib dikenakan kepada seluruh
nonmuslim dewasa, laik-laki, yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi
perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok
yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur.
Orang-orang miskin, penganggur, pengemis, tidak dikenakan pajak. Hasil
pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum
(Suprayitno, 2005: 179-180). Sebagaimana kewajiban tentang pembayaran
jizyah dalam firman Allah :
Artinya:
”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah: 29).
Di samping itu Rasulullah SAW juga memberlakukan kharaj, yaitu sejenis
pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan
senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang
dewasa, seorang bebas, budak, Muslim ataupun tidak beriman. Cara memungut
kharaj terbagi dua jenis: kharaj menurut perbandingan (Muqasimah) dan kharaj
tetap (Wazifah). Kharaj menurut perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti
42
setengah atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya, kharaj tetap adalah beban khusus
pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan. Kharaj menurut
perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan
kharaj tetap menjadi wajib setelah lampau satu tahun (Mannan, 1997: 250).
2.4.2 Pajak Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.4.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar tidak merubah kebijakan
Rasulullah SAW dalam masalah jizyah. Sebagaimana Rasulullah SAW, Abu
Bakar tidak membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah, maka
pada masanya, jizyah dapat berupa emas, perhiasan, pakaian, kambing, onta,
atau benda-benda lainnya (Mofidrabbani, 2011). Abu Bakar juga melaksanakan
kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian diberikan kepada kaum
Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan negara. Di samping
itu, Abu Bakar juga mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang yang murtad
untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan
(Karim, 2008: 57).
2.4.2.2 Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa kekhalifahannya, Umar telah merubah taksiran jizyah dari
ketetapan Nabi. Umar tidak lagi menggunakan ukuran dinar atau yang senilai
dengannya, tapi beliau menggunakan dirham. Selain itu beliau juga membeda-
bedakan standar jizyah berdasarkan kondisi perekonomian orangnya. Beliau
tidak ingin jizyah yang harus dibayarkan oleh kaum dzimmi (orang nonmuslim
yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam) membebani mereka diluar
kemampuannya. Jizyah diambil sekali dalam setahun, dimulai dari awal bulan
Muharram dan ditutup akhir bulan Dzulhijjah. Untuk pengambilannya, diangkat
43
petugas khusus untuk menarik jizyah serta untuk pendistribusiannya yaitu amil
(pegawai pajak). Dalam pengangkatan pegawai pajak Umar melakukan seleksi
terlebih dulu terhadap orang yang bersifat jujur dan cocok untuk menduduki
posisi sebagai pegawai pajak. Kedudukan serta upah mereka merupakan bagian
dari Baitul Mal, bukan kewajiban dari kaum dzimmi. Petugas ini dilarang
mengambil sesuatu yang lebih dari besarnya jizyah yang telah ditetapkan atas
seorang dzimmi. Selain itu, petugas ini dilarang memukul atau menganiaya kaum
dzimmi waktu mengambil jizyah (Cahaya, 2008).
Adapun penentuan kharaj pada masa Umar Bin Khatab yaitu, kharaj
dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama,
meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah
seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr. Di Sawad, kharaj
dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan
barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga
yang lebih tinggi yang dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan
perkebunan (Karim, 2008: 67-68).
2.4.2.3 Khalifah Utsman Bin Affan
Khalifah Utsman bin Affan membuat beberapa perubahan administrasi
tingkat atas pergantian beberapa gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan
kharaj dan jizyah yang berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat yakni dari 2
juta dinar menjadi 4 juta dinar setelah dilakukan penggantian gubernur dari Amar
kepada Abdullah bin Saad. Namun hal ini mendapat kecaman dari Amar.
Menurutnya pemasukan besar yang diperoleh Gubernur Abdullah bin Saad
merupakan hasil pemerasan penguasa terhadap rakyatnya. Dengan harapan
dapat memberikan tambahan pemasukan bagi Baitul Mal, Khalifah Utsman
44
menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu
untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya ini, negara memperoleh
pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika dibandingkan
pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagikan tanah-tanah tersebut
(Kara et al., 2009: 29).
2.4.2.4 Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Selama masa pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan
pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu
Abbas, Gubernur Kufah, memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan
digunakan sebagai bumbu masakan (Karim, 2008: 83). Jizyah disesuaikan
dengan keuangan mereka. Orang-orang kaya harus membayar lebih besar,
kelas menengah harus membayar jumlah dibawah orang kaya, dan orang yang
miskin membayar paling murah. Mereka yang miskin sekali atau tidak memiliki
sumber penghasilan yang tetap atau menggantungkan hidupnya dari orang lain
tidak perlu membayar jizyah. Begitu negara menerima jizyah dari mereka, kaum
Muslimin dilarang memperlakukan mereka secara keras dan zalim. Tanah, harta
kekayaan serta nyawa mereka dan sekaligus kehormatannya wajib dilindungi
karena sama sucinya dengan semua yang dimiliki oleh kaum Muslimin sendiri.
Hak-hak mereka tidak dapat ditindas dan dirampas atau pun dibebani beban
yang tidak dapat mereka tanggung. (marhabanyamarhaban.wordpress.com)
2.4.3 Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak di Indonesia secara umum menganut sistem self
assessment. Sistem self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
45
pajak yang harus dibayar. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. (Diana dan Liis Setiawati, 2009: 1-2)
Selain sistem self assessment ada dua sistem lagi yang dipakai di
Indonesia (Ozha, 2011), yakni:
1. Official assessment, yaitu Pajak Terhutang Ditetapkan Oleh Pejabat
Pajak. Pajak dihitung negara, dalam hal ini oleh Petugas Pajak, dan
setelah ditetapkan kemudian Wajib Pajak diwajibkan membayar
berdasarkan perhitungan Petugas Pajak. Di Indonesia, sistem Official
Assesment dianut dalam hal pengenaan pajak, dilakukan berdasarkan
Hasil Pemeriksaan Pajak atau berdasarkan keterangan lainnya.
2. Witholding System, yaitu Pajak Terhutang Dihitung dan Dilaporkan
Melalui Pemotongan dan/atau Pemungutan oleh Pihak Lawan
Transaksi. Pajak yang diperoleh negara melalui sistem pemotongan
dan/atau pemungutan. Misalnya, suatu perusahaan membayar
imbalan jasa kepada perusahaan lain, maka atas imbalan jasa
tersebut wajib dipotong pajak dengan persentase tertentu oleh Pihak
Lawan Transaksi.
Konsekuensi sistem self assessment, setiap Wajib Pajak yang memiliki
penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Lebih lanjut, setiap Wajib Pajak wajib menghitung sendiri dan membayar pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat
dikenai pajak. Jadi, hutang pajak tidak timbul pada saat dibuatkan Surat
Ketetapan Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan di
46
Indonesia saat terutangnya pajak tersebut ditetapkan sebagai berikut (Diana dan
Lilis Setiawati, 2009: 2):
1. Pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga.2. Pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi
kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Pada akhir tahun Pajak, untuk Pajak Penghsilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan
pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke Kas Negara melalui tempat
pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Jadi, jika Wajib Pajak telah menghitung dan
membayar besarnya pajak yang terutang secara benar, serta melaporkan dalam
Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun Surat
Tagihan Pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,
pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 2-3).
Dengan melihat pelaksanaan pajak yang telah diuraikan di atas,
pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses. Ini semua tidak lepas dengan
adanya administrasi pajak yang tentunya efisien dan efektif. Menurut Parwito
(2009: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Fungsi. Administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
47
Dalam fungsi perencanaan, administrasi pajak merencanakan apa
yang akan dicapai oleh fiskus, baik dalam jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang. Sebagai fungsi
pengorganisasian, administrasi pajak melakukan pengelompokan
tugas, tanggungjawab, wewenang sedemikian rupa sehingga tujuan
yang telah ditetapakan dapat tercapai secara efisien. Fungsi
palaksanaan meliputi pemberian motivasi kerja kepada para pegawai
sehingga mereka bekerja dengan semangat yang tinggi. Sedangkan
fungsi pengawasan, administrasi diperlukan untuk proses
pengamatan dan mengupayakan agar apa yang dilakukan sesuai
dengan yang direncanakan sebelumnya, sehingga jika terjadi
kesalahan dapat dilakukan tindakan koreksi atau pembetulan.
2. Sistem. Administrasi pajak sebagai suatu sistem merupakan
subsistem dari keuangan negara. Sedangkan keuangan negara
merupakan suatu sistem dari administrasi negara dan administrasi
negara pun merupakan subsistem dari kehidupan kenegaraan pada
umumnya. Dengan demikian, setiap sistem merupakan suatu
subsistem dari sistem yang lebih luas sehingga satu dengan lainnya
saling terkait dalam suatu lingkungan yang kompleks.
3. Lembaga. Administrasi pajak sebagai lembaga meliputi badan-badan
yang secara khusus menangani masalah perpajakan. Di Indonesia
lembaga tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak yang dalam
operasionalnya dibentuk instansi vertikal berupa Kantor Wilayah
dengan membawahi beberapa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Pemeriksaan Pajak, yang pada perkembangan selanjutnya Kantor
Wilayah membawahi Kantor Pelayanan Pajak yang mempunyai 4
48
fungsi (fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan) seperti yang telah dijelaskan di atas.
2.5 Mekanisme Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.163/PJ./2003
tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, dijelaskan dengan tegas bahwa zakat dapat mengurangi pajak
setelah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Husain, 2010):
1. Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam.
2. Zakat dibayarkan kepada BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ
(Lembaga Amil Zakat) yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah sesuai ketentuan Undang- undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat.
3. Zakat yang dibayarkan adalah penghasilan yang merupakan objek
pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final.
4. Zakat penghasilan yang dibayarkan diakui sebagai pengurangan
PPh pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
5. Melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran zakat atau fotocopinya yang
telah dilegalisir oleh BAZ atau LAZ penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT tahuna pajak penghasilan tahun pajak
dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
Selanjutnya Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagi bukti,
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama lengkap wajib pajak
b. Alamat jelas wajib pajak
49
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d. Jenis penghasilan yang dibayar zakatnya
e. Sumber atau jenis penghasilan dan bulan atau tahun
perolehannya
f. Besarnya penghasilan
g. Besarnya zakat atas penghasilan
Contoh kasus zakat sebagai pengurang Pajak Penghasilan (PPh):
Penerapan pajak dan zakat
Gaji satu bulan Rp. 1.500.000
Tunjangan istri/anak Rp. 50.000
Tunjangan perumahan Rp. 50.000
Tunjangan pendidikan anak Rp. 50.000
Tunjangan jabatan Rp. 50.000
Tunjangan transport Rp. 50.000
Jaminan Kecelakaan Kerja/JKK (0,24%) Rp. 3.600
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (6%) Rp. 90.000 +
Penghasilan bruto Rp. 1.843.600
Pengurangan
Zakat 2,5% x Rp. 1.843.600 Rp. 46.090
Biaya jabatan 5% x Rp. 1.843.600 Rp. 92.180
Iuran pensiun Rp. 25.000
Iuran JHT (2%) Rp. 30.000 +
Rp. 55.000 Rp. 55.000 +
Rp. 193.270
Penghasilan netto sebulan Rp. 1.843.600
Rp. 193.270 -
Rp. 1.650.330
Penghasilan netto setahun Rp. 1.650.330 x 12 Rp. 19.803.960
PTKP (K/3)
a. Wajib sendiri Rp. 2.880.000
50
b. Tambahan status kawin Rp. 1.440.000
c. Tambahan untuk 3 anak
1.440.000 x 3 Rp. 4.320.000 +
Rp. 8.640.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 19.803.960
Rp. 8.640.000 -RP. 11.163.960
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan Rp. 11.163.000
PPh Pasal 21 setahun = 5% x Rp. 11.163.000 Rp. 558.150
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 558.150 : 12 Rp. 46.512
Penerapan pajak tanpa zakat
Gaji satu bulan Rp. 1.500.000
Tunjangan istri/anak Rp. 50.000
Tunjangan perumahan Rp. 50.000
Tunjangan pendidikan anak Rp. 50.000
Tunjangan jabatan Rp. 50.000
Tunjangan transport Rp. 50.000
Jaminan Kecelakaan Kerja/JKK (0,24%) Rp. 3.600
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (6%) Rp. 90.000 +
Penghasilan bruto Rp. 1.843.600
Pengurangan
Biaya jabatan 5% x Rp. 1.843.600 Rp. 92.180
a. Iuran pensiun Rp. 25.000
b. Iuran JHT (2%) Rp. 30.000+
Rp. 55.000 Rp. 55.000+
Rp. 147.180
Penghasilan netto sebulan Rp. 1.843.600
Rp. 147.180 +
Rp. 1.990.780
Penghasilan netto setahun Rp. 1.990.780 x 12 Rp. 23.889.360
PTKP (K/3)
51
a. Wajib sendiri Rp. 2.880.000
b. Tambahan status kawin Rp. 1.440.000
c. Tambahan untuk 3 anak
1.440.000 x 3 Rp. 4.320.000 +
Rp. 8.640.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 23.889.360
Rp. 8.640.000 -
Rp. 15.249.360
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan Rp. 15.249.000
PPh Pasal 21 setahun = 5% x Rp. 15.249.000 Rp. 762.450
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 762.450 : 12 Rp. 63.537
2.6 Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan Pajak
Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37) tentang zakat dan pajak
sebagai berikut:
1. Pendapat Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau
pernah memberi fatwa mengenai orang yang memiliki ternak yang
sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang setiap
tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh
berniat atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur
karena itu? Beliau dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat
zakat. Jika dia berniat zakat, maka kewajibannya tidak menjadi gugur,
sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir al-Haqani dan al-Hatab”.
2. Fatwa Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat
bukanlah pajak. Zakat pada dasarnya adalah ibadah harta. Memang
antara zakat dan pajak ada persamaannya, tetapi ada perbedaanya
dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu sama dengan
52
ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas
dan sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak
kewajiban kepada pemerintah.
3. Pendapat Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang mengenai pajak dan zakat beliau menjawab,
bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus,
yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal tujuan pokok pajak
adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat dapat
memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat
memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi
kebutuhan fakir miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah
merupakan kewajiban dari Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan
oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut sepanjang zaman, walaupun
fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan untuk fi sabilillah.
53
2.7 Kerangka Berpikir
Konsep Zakat dan Konsep Pajak
Penerapan zakat pada
masa Rasulullah SAW,
masa
khulafaurrasyidin, dan
zakat di Indonesia
Penerapan pajak pada
masa Rasulullah SAW,
masa
khulafaurrasyidin, dan
pajak di Indonesia
Pendapat Ulama Tentang zakat dan pajak
Pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak
54
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong dalam penelitian pustaka atau literatur
(Library Research) berupa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.
Menurut Sangadji dan Sopiah (2010: 28), “Pengertian penelitian kepustakaan
adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur
(kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari
penelitian terdahulu”.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
1. Data Kualitatif adalah data yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan
angka-angka secara langsung.
2. Data Kuantitatif adalah data yang dapat diukur atau dinilai dengan
angka-angka secara langsung.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku-buku yang
menunjang dengan obyek penelitian dan berkaitan dengan yang akan diteliti
dalam hal ini mengenai zakat dan pajak, jurnal dan website yang membahas
tentang kaitan zakat dan pajak, dan lain-lain yang berhubungan dengan
penelitian.
54
55
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
berupa Penelitian Kepustakaan (Library Research). Teknik ini merupakan bentuk
penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengumpulkan sejumlah data dengan
jalan membaca dan menulusuri literatur-literatur baik berupa buku-buku, majalah,
dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas.
3.4 Teknik Analisis Data
Untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai
persamaan dan perbandingan antara konsep zakat dan konsep pajak, peneliti
menggunakan metode deskripsi komparatif. Zakat dan pajak dianalisis mengenai
persamaan dan perbedaannya secara lebih rinci.
Untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu mengenai
pendapat/pemikiran ulama mengenai penerapan konsep pajak pada zakat,
peneliti menggunakan metode deskripsi analisis. Dengan mengumpulkan
beberapa pendapat para ulama, dimulai dari pendapat umum para ulama
mengenai zakat dan pajak, ulama yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain
atas harta selain zakat, ulama yang berpandapat bahwa pajak itu boleh, ulama
yang berpendapat bahwa pajak itu haram, dan yang terakhir alasan ulama
membolehkan pajak.
Sedangkan untuk membahas rumusan masalah ketiga mengenai
pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak digunakan
metode deskripsi analisis. Dengan memaparkan kelebihan yang dimiliki konsep
pajak terhadap konsep zakat kemudian dilakukan analisis apakah konsep
tersebut dapat diterapkan pada zakat, sehingga diperoleh pengelolaan zakat
secara efektif dengan penerapan konsep pajak.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
4.1.1 Persamaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak
(Hafidhuddin, 2002: 52-55), antara lain:
a. Unsur Paksaan
Seorang Muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan
zakat, jika melalaikan atau tidak menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh
para petugas zakat wajib memaksanya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam
surat at-Taubah: 103.
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahalanya. Dan barang siapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), dan setengah untanya, sebagai salah satu ‘uzmah (kewajiban yang dibebankan kepada para hamba) oleh Allah SWT. Tidak sedikitpun dari harta itu yang halal bagi keluarga Muhammad SAW.”
Demikian pula halnya seseorang yang sudah termasuk kategori wajib
pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, jika wajib pajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa
56
57
tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa,
sampai dengan penyitaan.
b. Unsur Pengelola
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT
yang terdapat dalam surat at-Taubah: 60.
Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwa pengelolaan zakat
bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan
langsung kepada mustahiq, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang
khusus yang menangani zakat, yang memenuhi persyaratan tertentu yang
disebut dengan amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan
sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta
mendistribusikannya secara tepat dan benar.
Dalam bab III Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat di
Indonesia ada dua macam, yaitu: Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ).
Di samping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh
amil zakat ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain:
1. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
2. Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila
berhadapan langsung menerima haknya dari dari para wajib zakat
(muzakki).
3. Untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu
tempat.
58
4. Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan
negara dan pemerintahan yang Islami.
Sementara itu dalam Bab II pasal 5 Undang-Undang nomor 38 tahun
1999, dikemukakan bahwa pengelolaan zakat melalui amil zakat bertujuan:
1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat
sesuai dengan tuntunan agama.
2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Adapun pengelolaan zakat, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan
dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat
ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c. Dari Sisi Tujuan
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki
tujuan yang sangat mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah,
yaitu:
1. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas
sosial di kalangan masyarakat Islam.
2. Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi
dalam masyarakat.
3. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai
bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
59
4. Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik,
persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masyarakat.
5. Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan
biaya hidup para gelandangan, pengangguran dan tuna sosial
lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak
menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu. Pada akhirnya, zakat
bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan
ketentraman.
Demikian pula pajak, dalam tujuan relatif sama dengan tujuan di atas,
terutama dalam hal pembiayaan pembangunan negara untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Permono dalam Hafidhuddin
(2002: 55) mengemukakan bahwa terdapat persamaan dalam tujuan zakat dan
pajak, yaitu sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhunan material dan
spiritual.
Lebih lanjut, menurut Nurhayati dan Wasilah (2009: 270-271) zakat dan
pajak mempunyai beberapa persamaan, yaitu:
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta yang ditentukan, dan ada
sanksi jika mengabaikannya.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai
optimalisasi penggalangan dana maupun penyalurannya.
3. Zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membantu
penyelesaian masalah ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
4. Tidak ada janji akan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia.
5. Zakat dan pajak dikelolah oleh negara pada pemerintahan Islam.
60
4.1.2 Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
Terdapat beberapa perbedaan pokok yang menyebabkan keduanya tidak
mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat
beberapa persamaan di antara keduanya. Beberapa perbedaan mendasar
tersebut antara lain (Hafidhuddin, 2002: 55-59):
a. Dari Segi Nama
Secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat,
dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan bersih,
tumbuh, berkah dan berkembang. Demikian pula bagi muzakki. Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT. Dalam surat ar-Ruum: 39 dan Surat at-Taubah: 103.
Sedangkan pajak, berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis berarti
beban, seperti dalam kalimat: “Ia telah membebankan kepadanya upeti untuk
dibayarkan”.
Kadangkala diartikan pula dengan al-Jizyah yang berarti pajak tanah
(upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang yang tetap dalam kekafiran,
tetapi tunduk dalam aturan Islam) kepada pemerintah Islam. Allah SWT
berfirman dalam surat at-Taubah: 29
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
61
Tafsir departemen agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638,
memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai
perimbangan bagi jaminan keamanan diri mereka sendiri.
b. Dari Segi Dasar Hukum dan Sifat Kewajiban
Zakat ditetapkan berdasarkan dengan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits
Nabi yang bersifat qathi, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut
sepanjang masa. Qardhawi menyatakan bahwa zakat adalah kewajiban yang
bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama Islam dan kaum
Muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan dapat dihapuskan
oleh siapa pun. Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan
merupakan pokok ajaran Islam. Ia merupakan ibadah dalam rangka taqarrub
kepada Allah SWT, karenanya memerlukan keikhlasan ketika menunaikannya, di
samping sebagai ibadah yang mengandung berbagai hikmah yang sangat
penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Allah SWT berfirman
dalam surat al-Bayyinah: 5
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Karena itu, dalam pembahasan fiqhiyyah, kajian zakat dimasukkan dalam
bagian ibadah, bersama dengan kajian thaharah (bersuci), shalat, shaum, dan
ibadah haji. Sedangkan pajak, keberadaannya sangat bergantung kepada
kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di
Indonesia, misalnya, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23
62
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.
c. Dari Sisi Objek, persentase dan Pemanfaatan
Zakat, memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku,
berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Nisab zakat
emas perak adalah senilai 85 gram dan persentase zakatnya adalah 2,5%.
Demikian pula zakat harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan,
dan komoditas-komoditas lainnya. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan
zakat, tidak boleh keluar dari asnaf yang delapan golongan, sebagaimana
tergambar dalam firman Allah surat at-Taubah: 60, meskipun terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang kriteria dari masing-masing mustahiq.
Sedangkan aturan besar dan pemungutan pajak sangat bergantung
kepada peraturan yang ada serta tergantung pula pada obyek pajaknya. Dalam
berbagai literatur dikemukakan bahwa besarnya pajak sangat bergantung
kepada jenis, sifat dan cirinya. Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam
pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak Pribadi. Dalam hal ini pengenaan pajak lebih memperhatikan
keadaan pribadi seseorang, seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban
finansial lainnya (PPh pribadi).
2. Pajak Kebendaan. Yang diperhatikan adalah obyeknya, pribadi wajib
pajak dikesampingkan (PPh Badan Hukum).
3. Pajak atas Kekayaan. Yang menjadi obyek pajak adalah kekayaan
seseorang atau Badan (PKK).
4. Pajak atas Bertambahnya Kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas
seseorang yang mengalami kenaikan/pertambahan kekayaan,
biasanya dikenakan hanya satu kali.
63
5. Pajak atas Pemakaian (konsumsi). Pajak atas kenikmatan seseorang
(PRT/PPI).
6. Pajak yang Menambah Biaya Produksi. Yaitu pajak yang dipungut
karena jasa negara dengan secara langsung dapan dinikmati oleh
para produsen.
Jika zakat harus digunakan untuk kepentingan mustahiq yang berjumlah
delapan asnaf, maka pajak dapat dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan,
sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama.
Menurut Al-Habsyi dalam Hafidhuddin (2002: 59) perbedaan esensial
antara zakat dan pajak, antara lain:
1. Ketentuan kadar zakat yang diwajibkan oleh syari’at atas masing-
masing jenis harta, seperti 2,5%, 5 %, 10%, dan 20% yang tidak sama
dengan kadar atau persentase pajak yang ditentukan oleh setiap
pemerintahan atas setiap jenis penghasilan.
2. Niat khusus yang menyertai pengeluaran zakat sebagai ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah SWT yang tidak dapat dipersamakan
dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.
3. Ketentuan khusus tentang orang-orang atau lembaga-lembaga
tertentu yang diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan menerima
zakat, sebagaimana telah dirinci oleh Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Lebih lanjut menurut Syarwat dalam Nurhayati dan Wasilah (2009: 270)
terdapat beberapa perbedaan antara pajak dan zakat, yaitu:
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan umat terhadap perintah Allah
SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan
seorang warga negara kepada ulil amrinya (pemimpinnya).
2. Zakat telah ditentukan kadarnya dalam Al-Qur’an dan hadits,
sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
64
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum Muslimin sedangkan pajak
dikeluarkan oleh setiap warga negara tanpa memandang apa agama
dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab tanpa
memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya
berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib didahului oleh niat sedangkan
pajak tidak memakai niat.
6. Zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahiq yang
berjumlah delapan asnaf (sasarannya), sedangkan pajak dapat
dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan.
Menurut Qardhawi dalam Husain (2010), terdapat beberapa perbedaan
pokok antara pajak dan zakat. Beberapa perbedaan tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Dari segi nama dan etiketnya/maknanya
Perbedaan dari segi nama dan maknanya, kata zakat menurut
bahasa berarti suci, tumbuh dan berkah. Syariat Islam memilih
kata zakat untuk mengungkapkan arti dan bagian harta yang
wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan mustahiq lainnya.
Adapun dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang berarti
utang, pajak tanah, atau upeti, dan sebagainya, yaitu sesuatu
yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya
Perbedaan antara pajak dan zakat adalah bahwa zakat itu ibadah
yang diwajibkan kepada orang Islam sebagai tanda syukur kepada
Allah SWT. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semata-
mata.
65
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya
Zakat adalah hak yang ditentukan Allah SWT, yang menentukan
batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban
itu terhadap harta yang kurang dari nisab. Tidak ada yang boleh
mengubah dan mengganti apa yang telah ditentukan syariat.
Berbeda dengan pajak yang bergantung kepada kebijaksanaan
pemerintah dan kekuatan penguasa, baik mengenai objek,
persentase, harga dan ketentuannya.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia
akan berjalan selagi Islam dan kaum Muslim ada di muka bumi ini.
Sedangkan pajak, tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus,
baik mengenai jenis, persentase, maupun kadarnya. Tiap pemerintah
dapat mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan dan
rasionalitas ekonomi. Bahkan adanya pajak itu sendiri tidak kekal, ia
akan tetap ada selagi diperlukan dan lenyap bila sudah tidak
dibutuhkan lagi.
5. Mengenai pengeluarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap Muslim dapat
membagikan zakatnya sendiri bila diperlukan. Sasaran itu adalah
kemanusiaan dan Islam. Sedangkan pajak dikeluarkan untuk
membiayai pengeluaran umum negara, sebagaimana ditetapkan oleh
peraturan penguasa.
66
6. Hubungannya dengan penguasa
Dalam kasus pajak, ada hubungan antara wajib pajak dengan
pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan,
maka pemerintah pula yang memungutnya dan membuat ketentuan
wajib pajak. Adapun zakat adalah hubungan antara wajib zakat
dengan Tuhan-Nya. Allah-lah yang memberinya harta dan
mewajibkan membayar zakat, semata-mata karena mengikuti
perintah dan mengharap ridha-Nya.
7. Maksud dan tujuan
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang
bermakna suci, tumbuh, dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan
luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya
menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan
pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara.
8. Dari sisi objek dan persentase serta pemanfaatannya
Zakat memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya
baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits
Nabi. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak
boleh keluar dari asnaf yang delapan, sebagaimana tergambar
dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at-Taubah [9]: 60.
4.2 Pendapat Ulama Mengenai Penerapan Zakat dan Pajak
4.2.1 Pendapat Ulama Tentang Zakat dan Pajak
Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37) tentang zakat dan pajak
sebagai berikut:
67
1. Pendapat Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau
pernah memberi fatwa mengenai orang yang memiliki ternak yang
sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang setiap
tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh
berniat atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur
karena itu? Beliau dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat
zakat. Jika dia berniat zakat, maka kewajibannya tidak menjadi gugur,
sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir al-Haqani dan al-Hatab”.
2. Fatwa Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat
bukanlah pajak. Zakat pada dasarnya adalah ibadah harta. Memang
antara zakat dan pajak ada persamaannya, tetapi ada perbedaannya
dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu sama dengan
ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas
dan sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak
kewajiban kepada pemerintah.
3. Pendapat Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang mengenai pajak dan zakat beliau menjawab,
bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus,
yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal tujuan pokok pajak
adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat dapat
memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat
memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi
kebutuhan fakir miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah
merupakan kewajiban dari Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan
68
oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut sepanjang zaman, walaupun
fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan untuk fi sabilillah.
4.2.2 Ulama Yang Berpendapat Bahwa ada Kewajiban Lain atas Harta
Selain Zakat
Menurut Gusfahmi (2007: 179-181), beberapa ulama berpendapat bahwa
ada kewajiban lain atas harta selain zakat, yaitu:
1. Qadhi Abu Bakr al-Arabi seorang ahli fikih bermazhab Maliki, berkata
dalam Ahkam Al-Qur’an, bahwa:
Pada harta tak ada kewajiban selain zakat. Apabila telah diselesaikan,
kemudian sesudah itu datang kebutuhan mendesak, maka wajib bagi
orang kaya mengeluarkan hartanya untuk keperluan tersebut.
2. Imam Malik dalam Ahkam Al-Qur’an berkata:
Wajib kepada seluruh kaum Muslim menebus tawaran mereka,
meskipun harta mereka akan habis karenanya. Demikian pula apabila
pemerintah menolak membagikan zakat kepada para mustahik
setelah dilakukan pemungutan, apakah orang kaya wajib membantu
orang miskin. Sudah barang tentu masalah demikian perlu dipikirkan.
Menurut pendapat saya, yang paling tepat ialah, wajib menolong
mereka.
3. Imam Qurtubi dalam Tafsir al-Qurtubi, memperkuat pendapat Imam
Malik. Ia berkata:
Para ulama sependapat bila datang satu kebutuhan mendesak
kepada kaum Muslimin setelah membayar zakat, maka wajib kepada
mereka yang kaya mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi
keperluan tersebut.
69
4. Imam al-Syatibi dalam al-I’tisham berkata:
Apabila harta Baitul Maal kosong, kemudian keperluan biaya militer
meningkat, maka Imam bila ia adil hendaklah membebankan biaya itu
kepada mereka yang kaya sekiranya dapat mencukupi keperluan
tersebut, sehingga Baitul Maal berisi kembali.
5. Ibnu Taimiyah dalam al-kabir, waktu menafsirkan kalimat “Tidak ada
hak dalam harta selain zakat,” berkata:
Bagi seseorang tidak ada yang wajib ditunaikan karena adanya harta
selain zakat. Oleh karena itu, ia punya kewajiban yang bukan
disebabkan oleh adanya harta, seperti kewajiban memberi nafkah
kepada kerabat dekat, istri, hamba sahaya dan hewan ternak. Juga
wajib menanggung orang yang kena denda (diah), ikut membantu
orang berutang dan orang yang ditimpa musibah. Dan wajib juga
memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian mereka
yang tak punya pakaian dan kewajiban lain yang bersifat materi yang
disebabkan adanya suatu sebab. Bagi orang yang wajib naik haji,
harta merupakan syarat utama, sedangkan badan sebab utama dan
kesanggupan menjadi syarat. Harta dalam zakat merupakan sebab,
maka wajib zakat bila ada harta, sehingga bila di negerinya tidak ada
mustahiknya, hendaklah dipindahkan ke lain, karena zakat adalah hak
yang diwajibkan Allah SWT.
6. Mahmud Syaltut dalam Al-Fatawa berkata:
Apabila pemerintah atau pemimpin rakyat tidak mendapat dana untuk
menunjang kemaslahatan umum, seperti pembangunan sarana
pendidikan, balai pengobatan, perbaikan jalan dan saluran air, serta
mendirikan industri alat pertahanan negara di mana kaum hartawan
70
masih diam membelenggu tangannya, maka dibolehkan bagi
pemerintah, untuk memungut pajak dari kaum hartawan, untuk
meringankan pelaksanaan rencana pembangunan itu.
4.2.3 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh
Menurut Gusfahmi (2007: 183-186), sejumlah Fuqaha dan ekonom Islam
menyatakan bahwa pemungutan pajak itu diperbolehkan, antara lain:
1. Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa:
Semua khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar Ibnu Abdul
Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan
dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi
kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-
hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau
menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.
2. Ibnu Kaldun dalam kitabnya Muqaddimah, dengan cara yang sangat
bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana Muslim yang hidup
pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang
merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir Ibnu Husain
kepada anaknya yang menjadi seorang gubernur di salah satu
provinsi:
Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan
keadilan dan pemerataan, perlakuan semua orang sama dan jangan
memberi perkecualian kepada siapa pun karena kedudukannya di
masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapa
pun sekalipun petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau
71
pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi
kemampuan membayar.
3. Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah, berpendapat bahwa:
Jika sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus
menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum.
Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka
membayar ongkosnya.
4. M. Umer Chapra, menyatakan:
Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat
pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha
yang pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini
disebabkan karena dana zakat dipergunakan pada prinsipnya untuk
kesejahteraan kaum miskin, padahal negara memerlukan sumber-
sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi,
distribusi, dan stabilisasi secara efektif.
5. Hasan al-Banna, dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il, mengatakan:
Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata,
maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama dengan
sasaran-sasaran Islam.
6. Ibnu Taimiyah, dalam Majmuatul fatawa, mengatakan:
Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan
argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang
berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi
kelompok lain.
7. Abdul Qadim Zallum, dalam Al-Anwal fi Daulah al-Khilafah,
mengatakan:
72
Berbagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Maal
adalah menjadi kewajiban kaum Muslimin. Jika berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul
kemudharatan atas kaum Muslimin, padahal Allah SWT juga telah
mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan
yang menimpa kaum Muslimin. Jika terjadi kondisi tersebut, negara
mewajibkan kaum Muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk
menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-
pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebihan.
8. Sayyid Rasyid Ridha, yang pernah ditanya mengenai pungutan orang
Nasrani (Inggris) di India terhadap tanah, ada yang separuh dan ada
yang seperempat dari tanah tersebut. Bolehkah hal itu dianggap
sebagai kewajiban zakat, seperti 1/10 atau 1/20? Beliau menjawab:
Sesungguhnya yang wajib dari 1/10 atau 1/20 itu dari hasil bumi
adalah harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran
(delapan asnaf) menurut nash. Apabila dipungut oleh amil dari Imam
dalam negara Islam, maka bebaslah pemilik tanah itu dari
kewajibannya dan Imam atau amilnya wajib membagikan zakat itu
kepada mustahiknya. Apabila tidak dipungut oleh amil, maka wajib
kepada pemilik harta untuk mengeluarkannya, sesuai dengan perintah
Allah SWT. Harta yang dipungut oleh Nasrani tadi, dianggap sebagai
pajak dan tidak menggugurkan kewajiban zakat. Orang itu tetap
mengeluarkan zakat. Hal ini berarti bahwa pajak tidak dapat dianggap
sebagai zakat.
73
4.2.4 Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Haram
Menurut Hasan Turobi dalam Gusfahmi (2007: 186), “Pemerintahan yang
ada di dunia Muslim dalam sejarah yang begitu lama pada umumnya tidak sah.
Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik pajak akan
disalahgunakan dan menjadi suatu alat penindasan”.
4.2.5 Alasan Ulama Membolehkan Pajak
Menurut Gusfahmi (2007: 186-188), ada beberapa ulama yang memberi
alasan untuk membolehkan pajak, yaitu:
1. Zallum berpendapat:
“Anggaran belanja negara pada saat ini sangat berat dan besar, setelah
meluaskan tanggung jawab ulil amri dan bertambahnya perkara-
perkara yang harus disubsidi, kadangkala pendapatan umum yang
merupakan hak baitul mal seperti fa’i, jiziyah, kharaj, ‘usyur dan khumus
tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah
terjadi di masa lalu, yaitu masa Rasulullah SAW, masa
Khulafaurrasyidin, masa Mu’awiyah, masa Abbasiyah, sampai masa
Ustmaniyah, di mana sarana kehidupan semakin berkembang. Oleh
karena itu, negara harus mengupayakan cari lain yang mampu
menutupi kebutuhan pembelanjaan baitul mal, baik dalam kondisi ada
harta maupun tidak”.
2. Maliki berpendapat:
“Karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana
seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan adalah wajib, sedangkan
kas negara tidak mencukupi, maka pajak itu menjadi wajib. Walaupun
demikian, syara’ mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat
dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan
74
menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti itu merampas, sedang
merampas hukumnya haram.”
3. Umer Chapra berpendapat:
“Sungguh tidak realistis bila sumber perpajakan (pendapatan) negara-
negara Muslim saat ini harus terbatas hanya pada lahan pajak (pos-pos
penerimaan) yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah
berubah dan mereka perlu melengkapi sistem pajak (baru) dengan
menyertakan realitas perubahan, terutama kebutuhan massal terhadap
infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan
perekonomian modern yang efisien serta komitmen untuk
merealisasikan maqashid dalam konteks hari ini. Sambil melengkapi
sistem pajak, kita perlu memikirkan bahwa sistem tersebut tidak saja
harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk
pada dorongan untuk bekerja, tabungan dan investasi, serta
penerimaan yang memadai sehingga memungkinkan negara Islam
melaksanakan tanggung jawabnya secara kolektif.”
4.3 Pengelolaan Zakat Secara Efektif Dengan Menerapkan Konsep Pajak
Menurut peneliti kelebihan dari konsep pajak sehingga pengelolaan pajak
lebih sukses dari pada pengelolaan zakat, yaitu:
1. Adanya sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang lalai dalam
membayar pajak sedangkan pada zakat tidak ada sanksi bagi
muzakki (wajib zakat) karena pembayaran hanya didasarkan pada
kesukarelaan.
2. Penerimaan karyawan pada lembaga pajak adalah sumber daya
manusia berkualitas yang mempunyai pengetahuan perpajakan yang
75
matang tidak demikian pada lembaga zakat, pekerjaan menjadi
seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau
profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah
sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah
lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan
atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk
berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil
belumlah menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak
ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil membutuhkan
banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan
zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan.
3. Sudah terprogram dan terencananya dengan baik administrasi
perpajakan yang terdiri dari: fungsi, sistem dan lembaga sedangkan
pada zakat masih belum jelas. Misalnya, saja pada fungsi terkait
masalah fungsi yang berkaitan dengan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan belum ada
pemisahan tugas diantaranya dan belum dijalankan secara serius.
Dari sistem, kebanyakan lembaga pengelola zakat belum memiliki
atau tidak memahami pentingnya sebuah sistem dalam kinerja
organisasinya serta belum terjalin komunikasi yang baik antara amil
zakat yang satu dengan amil zakat yang lain karena keterbatasan
SDM yang paham akan teknologi. Dari sisi lembaga, banyaknya
lembaga zakat yang masih belum jelas keberadaannya, sehingga ini
semua dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
zakat yang ada.
76
Menurut Arrsa (2008) adapun bentuk-bentuk kelemahan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu:
1. Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Yuridis
Berdasarkan aspek yuridis terdapat kelemahan di dalam pelaksanaan
UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yaitu: pertama,
UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dinilai berpotensi
menghambat perkembangan zakat. Salah satunya adalah tidak
adanya pemisahan yang jelas antara fungsi regulasi, pengawasan,
dan pelaksanaan dalam mengelola zakat. Kondisi tersebut
dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi pengembangan
zakat. Oleh sebab itu di dalam praktik terdapat kondisi yang tidak
sehat. Misalnya, tidak ada pemisahan antara fungsi regulator,
pengawas, dan operator. Kedua, berdasarkan ketentuan pasal 11
ayat 3 UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang
berbunyi, “Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena
pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut zakat hanya berlaku sebagai pengurang penghasilan kena
pajak (PKP) sehingga tidak berdampak signifikan dalam mendorong
perkembangan zakat di Indonesia. Ketiga, berkaitan dengan aturan
organik mengenai teknis pelaksanaan dari UU No. 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Zakat hanya dalam bentuk keputusan dan
instruksi menteri. Keputusan tersebut adalah Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan
77
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah diikuti dengan Instruksi
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan
Shadaqah. Oleh sebab itu pengaturan organik mengenai teknis
pengelolaan zakat di dalam undang-undang perlu disesuaikan dengan
hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang di
dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
2. Kelemahan Pengelolaan Zakat dari Aspek Sosiologis
Berdasarkan dari aspek sosiologis kelemahan yang terdapat pada
pengelolaan zakat yaitu: pertama, terbatasnya pengetahuan
masyarakat yang berkaitan dengan ibadah zakat. Pengetahuan
masyarakat tentang ibadah hanya shalat, puasa, dan haji. Kedua,
konsepsi zakat yang masih dirasa terlalu sederhana dan tradisional.
Sehingga di dalam pelaksanaanya hanya cukup dibagikan langsung
sendiri lingkungannya atau kepada kyai yang disenangi. Ketiga,
kepercayaan muzakki kepada lembaga amil zakat masih rendah yang
mana terdapat indikasi kekhawatiran dari masyarakat bahwa zakat
yang diserahkan tidak sampai kepada yang berhak menerimanya
(mustahiq). Berdasarkan survey PIRAC menyatakan bahwa
masyarakat masih menyalurkan zakatnya ke panitia penampung
zakat sekitar tempat tinggal 63,6%, masyarakat langsung
menyalurkan dana zakat kepada yang berhak menerima sebesar
78
20%, dan yang menyalurkan ke BAZ, LAZ, dan yayasan sosial
sebesar 12,5 %.
3. Kelemahan Pengelolaan Zakat Dari Aspek Institusi Dan Manajemen
Zakat
Terdapat dualisme di dalam institusi pengelola zakat dalam
menjalankan proses pengumpulan dan pendistribusian dana zakat.
Sebagaimana tertuang di dalam UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat dan Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor
373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, menyebutkan bahwa
institusi pengelola zakat yaitu: pertama, Badan Amil Zakat adalah
organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari
unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama contoh BAZNAS, BAZDA. Kedua, Lembaga Amil
Zakat adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat
dan dikukuhkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat sesuai
dengan ketentuan agama. Contoh: Dompet dhuafa, Pos Keadilan
Peduli Ummat, YDSF, Rumah Zakat. Berdasarkan realita kedua
lembaga tersebut sama-sama memiliki fungsi pengumpul dan
penyalur dana zakat. Sehingga fungsi yang demikian di rasa kurang
efektif dalam implementasinya di masyarakat. Berdasarkan aspek
manajemen kelemahan pada pengelolaan zakat yaitu: pertama,
lemahnya penerapan prinsip manajemen organisasi di dalam
pengelolaan dana zakat sehingga menyebabkan tingkat kepercayaan
79
(trust) dari masyarakat masih rendah. Kedua, rendahnya penguasaan
teknologi oleh institusi amil zakat.
Lebih lanjut menurut Mas’udi dalam Arif (2012), ada tiga kelemahan dasar
praktek zakat di kalangan umat Islam, yaitu :
1. Kelemahan Filosofis dan Epistomologis
Kelemahan pada sisi filosofis ini telah berlangsung lama sehingga
menyebabkan zakat, sebagaimana shalat, menjadi sekedar ritual
belaka yang terlepas dari konteks sosial yang melatarbelakangi
diwajibkannya zakat. Zakat dilaksanakan sekedar untuk memenuhi
kewajiban agama dan menggugurkan kewajiban saja. Akibatnya
ajaran zakat tercabut dari konteks sosial ekonomi atau dengan kata
lain zakat yang sarat dimensi sosial tersebut beralih menjadi
persoalan individu yang dampak sosialnya tidak terasa secara
signifikan.
2. Kelemahan Struktur Kelembagaan
Kelemahan dari segi filosofis berakibat pada kelemahan berikutnya,
yaitu kelemahan struktur zakat. Misalnya tentang konsep zakat itu
sendiri, objek atau harta yang harus dizakatkan, tarif zakat, sasaran
zakat, dan hal-hal lain yang selama ini menjadi monopoli pembahasan
ahli fiqih dengan pendekatan yang legal formalistik. Tak heran
kemudian definisi zakat yang dikemukakan oleh para ahli Sayyid
Sabiq bahwa zakat adalah nama bagi harta yang dikeluarkan manusia
dari hak Allah SWT kepada para fakir. Zakat pada satu sisi dipandang
secara kelembagaan yang seharusnya tidak immune (kebal) terhadap
perubahan, pada sisi lain zakat merupakan suatu “paket” aturan dari
Tuhan dan tidak dapat diotak-atik menurut rasionalitas manusia.
80
Dengan kata lain, zakat merupakan suatu konsep aturan yang pasti
ketentuan objek, tarif, dan sasaran pendistribusiannya, tanpa perlu
perekaan ulang sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Dengan pemahaman seperti ini, maka jenis harta yang
wajib dizakatkan bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan dari
jenis harta yang dikenai zakat pada masa Rasulullah SAW meskipun
konteks ruang dan waktunya berbeda dengan keadaan sekarang.
3. Kelemahan Manajemen Operasional
Zakat merupakan sumber pendapatan yang paling utama bagi negara
pada masa Rasulullah SAW. Dengan demikian, zakat dipungut oleh
negara dan didistribusikan oleh negara menurut pos-pos yang telah
ditentukan. Begitu pula pada masa Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin
Khattab, zakat masih tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara. Pada masa Usman bin Affan, pengelolaan zakat
tidak lagi menjadi urusan negara, tetapi diserahkan kepada para
pemilik harta untuk menaksir zakatnya dan mendistribusikan kepada
para mustahiq. Hal ini bertujuan untuk mengamalkan zakat dari
gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak
jelas oleh beberapa pengumpul zakat yang nakal, sehingga Usman
kemudian mendelegasikan pengumpulan zakat kepada pemilik harta.
Dengan demikian, dimulailah era baru, dimana zakat terpisah dari
negara dan menjadi urusan pribadi. Agar kas negara tetap terisi,
pemerintah memusatkan perhatian kepada sumber penerimaan
negara lainnya yang secara ekonomis memadai dan dari sudut politis
lebih murah, yaitu kharaj dan jizyah. Berbeda untuk kasus Indonesia,
khususnya di daerah Jawa, pemegang “kekuasaan” tersebut adalah
81
para kyai atau ajengan yang dipandang sebagai tokoh-tokoh spiritual
yang paling berpengaruh di daerah pedesaan. Posisi mereka pun
disamakan dengan kedudukan penguasa formal dipemerintahan,
hanya saja wilayah kekuasaannya berbeda, yang pertama mengurusi
rohani, sedangkan yang kedua mengurusi hal-hal duniawi. Dari segi
penggunaannya, dana zakat lebih diarahkan kepada pembangunan
sarana fisik peribadatan seperti sarana fisik peribadatan seperti
pembangunan mesjid dan perayaan-perayaan peringatan
keagamaan. Padahal, seharusnya zakat tersebut ditujukan kepada
sasaran-sasaran zakat yang telah ditentukan menurut skala prioritas.
Melihat paparan diatas mengenai kelebihan konsep pajak terhadap zakat
serta kelemahan praktek zakat. Maka konsep pajak yang perlu diterapkan
sehingga diperoleh pengelolaan zakat yang efektif menurut peneliti, yaitu:
1. Setidaknya zakat mengikuti konsep pajak dalam hal pemberian sanksi
pada wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak. Dalam hal ini
pemberian sanksi pada wajib zakat yang lalai dalam membayar
zakatnya, karena menunaikan zakat adalah suatu kewajiban
sebagaimana pada zaman Abu Bakar ash-Shidiq memerangi orang
yang tidak mau membayar zakat. Sehingga diperoleh pengumpulan
zakat yang maksimal.
2. Penerimaan karyawan dalam sebuah lembaga zakat sebaiknya
adalah SDM yang berkualitas yang betul paham akan akuntansi
syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai ataupun
kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa
jurusan akuntasi syariah.
82
3. Administrasi pajak yang efisien dan efektif menurut Ciptoherijanto dan
Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) yang terdiri dari fungsi
(perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan),
sistem dan lembaga juga harus ada pada konsep zakat.
Dari sisi fungsi:
a. Dalam hal perencanaan, berkaitan dengan persiapan lembaga
dalam menghadapi masa depan, menetapkan sasaran,
menetapkan strategi, mengembangkan kebijakan pengumpulan
dan penyaluran zakat. Melalui desain perencanaan yang kuat
akan dapat menentukan kekuatan, kelemahan, tantangan dan
peluang apa saja yang akan dihadapi dalam proses pengambilan
dan penyaluran dana zakat sebagai manifestasi dana umat untuk
dan kembali untuk kepentingan umat.
b. Dalam hal pengorganisasian berkaitan dengan tugas lembaga
untuk menyusun struktur tugas, hubungan wewenang, desain
organisasi, spesialisasi pekerjaan, uraian pekerjaan, desain dan
analisis pekerjaan. Melihat kondisi pengelolan zakat di Indonesia
belum menunjukkan adanya bangunan organisasi yang kuat hal
ini tampak pada kerancuan diantara Badan Amil Zakat Nasional
dan Lembaga Amil Zakat swasta. Akibat yang di timbulkan adalah
akuntabilitas lembaga zakat menjadi paradigma yang
terkesampingkan. Sebagaimana di dalam pasal 6 UU No. 38
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat secara ekspilisit
menunjukkan adanya ketimpangan dalam proses pembentukan
Badan Amil Zakat baik dalam skala nasional maupun skala daerah
dan swasta. Oleh sebab itu sebagai bentuk tanggung jawab
83
negara dalam rangka pengelolaan dana umat diperlukan adanya
sentralisasi pembentukan organisasi dan pengelolaan zakat.
Sehingga hubungan yang tercipta tidak hanya sekedar koordinatif
dan informatif akan tetapi juga bersifat instruktif.
c. Dalam hal pengendalian, pengendalian lembaga berkaitan dengan
pengendalian mutu pelayanan, pengendalian keuangan,
pengendalian mustahiq, pengendalian biaya, analisis
penyimpangan antara rencana dan realisasi.
Dari sisi lembaga:
a. Memberikan tanggung jawab kepada amil zakat atau Badan Amil
Zakat (BAZ) untuk bertindak dan bertanggung jawab memungut
zakat terhadap muzakki.
b. BAZ harus dibebankan tanggung jawab meneliti dan menghitung
harta muzakki.
c. Harus ada mekanisme yang jelas apabila muzakki membagi-bagi
zakatnya kepada mustahiq, perlunya memberikan bukti
pembayaran zakat kepada BAZ, kemudian disahkan oleh BAZ,
dan semestinya bisa digunakan sebagai bukti ketika membayar
pajak, guna mendapatkan pengurangan sesuai dengan besar
zakat yang telah dikeluarkan.
d. Lembaga pengelola zakat perlu mempunyai mekanisme
pengaturan diri, mulai dari penerapan kode etik amil zakat sampai
sertifikasi dan akreditasi lembaga. Sertifikasi dan akreditasi
lembaga pengelola zakat di Indonesia merupakan salah satu
upaya yang perlu dijajaki. Melalui mekanisme ini lembaga
pengelola zakat akan dinilai oleh pihak ketiga, dengan kriteria
84
tertentu, mulai dari akuntabilitas keuangan, keterbukaan atau
transparansi, tata pengelolaan internal, dan sebagainya. Upaya ini
bisa dimulai dengan menerapkan rating terhadap lembaga-
lembaga amil zakat di Indonesia. Rating ini mempunyai beberapa
tujuan. Pertama, untuk melakukan evaluasi kinerja lembaga-
lembaga amil zakat. Kedua, memotivasi lembaga amil zakat untuk
meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, dan
transparansi. Ketiga, memberikan panduan bagi muzakki atau
donatur dalam menyalurkan dananya. Dengan model rating ini
nantinya masyarakat akan mengetahui lembaga mana yang
amanah dan profesional, dan mana yang tidak.
4. Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat harus
mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar
amil. Sehingga para Lembaga Amil Zakat ini saling terintegrasi satu
dengan lainnya. Sebagai contoh, penerapan ini adalah pada database
muzakki dan mustahiq. Dengan adanya sistem informasi ini tidak
akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa
lembaga amil, atau mustahiq yang sama diberi bantuan oleh
beberapa Lembaga Amil Zakat. Namun bukan berarti dengan adanya
sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi rahasia dan strategi
khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi zakat adalah
hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah
digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana yang belum
menerima bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat
lokasi pemberdayaan yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”.
Karena tujuan utama kehadiran Lembaga Amil Zakat selain untuk
85
mengelola dana zakat, namun harus pula mampu mengkoordinasikan
agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat terasa bagi
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen,
dan idealnya dikelola oleh negara.
5. Pembentukan direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas
kinerja dari organisasi pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang
lebih efektif. Lembaga ini diperlukan untuk mengatur segala sesuatu
terkait dengan pengelolaan zakat serta mengintegrasikan kinerja
anatar lembaga pengelola zakat. Direktorat zakat ini diharapkan dapat
bekerja sama dengan lembaga keuangan sehingga dana zakat yang
terkumpul dapat disalurkan sesuai dengan peruntukannya (mustahiq).
6. Pembentukan lembaga independen yang berperan sebagai auditor
yang khusus mengevaluasi kinerja lembaga pengelola zakat berupa
pengauditan laporan alokasi penyaluran dana zakat yang telah
terkumpul. Selanjutnya, hasil audit lembaga pengelola zakat
dipublikasikan kepada masayarakat. Hal ini dianggap penting sebagai
bagian dari akuntabilitas lembaga pengelola zakat tersebut.
Kepercayaan masyarakat memang merupakan faktor utama yang
menentukan besarnya dana zakat yang bisa dikelola.
86
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Mengenai penerapan konsep pajak pada zakat haruslah mengetahui
terlebih dahulu apakah zakat dan pajak itu, kemudian apa persamaan dan
perbedaan antara keduanya sehingga hal yang lebih dari konsep pajak dapat
diterapkan pada zakat sehingga dapat diperoleh pengelolaan zakat yang efektif.
Zakat sendiri adalah suci, tumbuh, berkembang. Berarti zakat itu mengeluarkan
harta agar menjadi suci kembali, tumbuh dan berkembang agar harta tersebut
tidak hanya berada dalam genggaman satu orang saja melainkan mengalir
kepada tangan-tangan lain yang berhak untuk mendapatkan harta tersebut.
Pajak sendiri adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh warga negara kepada
negara untuk kepentingan negara.
Mengenai perbedaan dan persamaan antara zakat dan pajak banyak
pemikir yang berbeda pandangan, salah satunya Hafidhuddin yang mengatakan
bahwa zakat dan pajak mempunyai persamaan yakni mengandung unsur
paksaan dan unsur pengelola. Namun terdapat perbedaan diantara keduanya
dari segi nama, dasar hukumnya yang mana zakat berlandaskan pada Al-Qur’an
dan Hadits Nabi sedangkan pajak berdasarkan ketentuan pemerintah yang
tertuang dalam undang-undang, dan yang terakhir dari segi objek, tarif dan
pemanfaatannya. Zakat, memiliki nisab (kadar minimal) dan persentase yang
sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi.
Nisab zakat emas perak, harta perdagangan, pertanian, peternakan,
pertambangan, dan komoditas-komoditas lainnya adalah senilai 85 gram dan
persentase zakatnya adalah 2,5%. Pemanfaatan dan penggunaan zakat, tidak
86
87
boleh keluar dari asnaf yang delapan golongan. Sedangkan aturan pemungutan
pajak sangat bergantung kepada peraturan yang ada serta tergantung pula pada
obyek pajaknya. Dalam berbagai literatur dikemukakan bahwa besarnya pajak
sangat bergantung kepada jenis, sifat dan cirinya.
Adapun konsep pajak yang dapat diterapkan pada zakat sehingga
diperoleh pengelolaan zakat yang efektif, antara lain:
1. Setidaknya zakat mengikuti konsep pajak dalam hal pemberian sanksi
pada wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak.
2. Penerimaan karyawan dalam sebuah lembaga zakat sebaiknya
adalah SDM yang berkualitas yang betul paham akan akuntansi
syariah dan dilengkapi pengetahuan teknologi yang memadai ataupun
kalau perlu penerimaan karyawan ini harus lulusan mahasiswa
jurusan akuntansi syariah.
3. Harus terbentuk administrasi zakat yang efisien dan efektif yang terdiri
dari fungsi, sistem dan lembaga yang betul-betul telah tersusun dan
terprogram dengan baik.
4. Perlu ada sistem informasi zakat, disini Lembaga Amil Zakat harus
mampu menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar
amil.
5. Pembentukan direktorat zakat sebagai regulator dan pengawas
kinerja dari organisasi pengelola zakat dengan sistem kerja baru yang
lebih efektif.
6. Pembentukan lembaga independen yang berperan sebagai auditor
yang khusus mengevaluasi kinerja lembaga pengelola zakat berupa
pengauditan laporan alokasi penyaluran dana zakat yang telah
terkumpul.
88
5.1 Saran
Berikut peneliti sampaikan beberapa saran sebagai pokok pikiran yang
dapat peneliti sumbangkan dengan harapan saran tersebut dapat bermanfaat
bagi kita semua.
1. Apabila kita selaku umat Muslim yang dibebani kewajiban ganda
yaitu membayar zakat selaku umat Islam dan membayar pajak
selaku warga negara maka kita harus mematuhinya meskipun tujuan
di antara keduanya berbeda, pajak dan zakat tidak dapat dipisahkan
bagai roh dan badan, zakat adalah ruhnya dan pajak adalah
badannya.
2. Pemerintah perlu lebih serius dalam menangani masalah perzakatan
yang ada. Salah satunya dengan pembentukan lembaga pendukung
seperti lembaga audit serta peningkatan kinerja direktorat zakat.
Pemerintah juga diharapkan memberikan sosialisasi melalui berbagai
media mengenai zakat kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan kewajibannya membayar zakat.
3. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi proses
pengelolaan zakat oleh organisasi zakat. Hal ini dapat meningkatkan
kinerja organisasi tersebut sehingga zakat dapat terkelola dengan
baik. Selain itu, kesadaran masyarakat dalam pembayaran zakat
sangat diharapkan sehingga zakat yang terkumpul dapat meningkat.
Sebaik apapun kinerja organisasi pengelola zakat, bila tidak ada
peran aktif dari masyarakat maka zakat tetap tidak akan terkelola
dengan baik.
89
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdalla, Taufiq Umar. 2010. Analisis Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan bangunan Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Skripsi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 1999. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Aliboron. 2010. Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif Peran Negara, (Online), (http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/pengelolaan-zakat-di indonesia-perspektif-peran-negara, diakeses 14 April 2012).
Anida, Ida. 2010. Pengaruh Pengendalian Intern Terhadap Efektivitas Pendayagunaan Dana Zakat. Skripsi. Bandung: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Komputer Indonesia.
Arian. 2011. Zakat, Macam-Macam Zakat dan Pengertian Zakat, (Online), (http://arian-rasta.blogspot.com/2011/12/zakat-macam-macam-zakat-pengertian.html, diakses 30 Mei 2012).
Arif. 2012. Zakat dan Pajak Suatu Upaya Pengintegrasian, (Online), http://arif1501.blogspot.com/2012/06/zakat-dan-pajak-suatu upaya.html diakses 10 September 2012).
Arizta. 2011. Jenis-Jenis Zakat, (Online), ( http://arizta.mywapblog.com/jenis- jenis-zakat.xhtml, diakses 30 Mei 2012).
Arrsa. 2008. Peran Negara Dalam Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya Strategis Menanggulangan Kemiskinan di Indonesia, (Online), http://www.legalitas.org/?q=content/peran-negara-dalam - merevitalisa - si-pengelolaan-zakat-sebagai-upaya-strategis-menanggulangan - kemiskinan-di-indonesia, diakses 10 September 2012).
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2006. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Azizy, A. Qodri. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat: Meneropong Prospek Perkembangannya Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bamz. 2011. Pengertian dan Macam-Macam Zakat, (Online), http://www.bamz.us/2011/12/pengertian-zakat-dan-macam-zakat.html, diakses 30 Mei 2012).
89
90
Cahaya. 2008. Administrasi Masa Umar, (Online), (http://cahayamt.blogspot.com, diakses 15 April 2012).
Chapra, M. Umar. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti.
Diana, Anastasia dan Lilis Setiawati. 2009. Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Djazuli, H. A. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Ekhardhi. 2010. Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak, (Online), (http://ekhardhi.blogspot.com/2010/12/landasan-filosofis-dan-asas-asas.html, diakses 22 Juni 2012).
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
Hasan, M. Ali. 1996. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husain. 2010. Zakat Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, (Online), (http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/2.-Zakat-Penghasilan-Sebagai-Pengurang-Penghasilan-Kena-Pajak-Safarni-Husain.pdf, diakses 10 September 2012).
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Exprosure Draft PSAK Syariah No. 109.
Ja’far, Muhammadiyah. 1997. Tuntunan Praktis Ibadah Zakat Puasa dan Haji. Cetakan ketiga. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.
Kara, Muslimmin et al. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Makassar: Alauddin Pers.
Karim, Adiwarman Azwar. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kurnia, Hikmat dan A. Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultum Media.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
Metwally, M. M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana.
91
Muhammad. 2009. Lembaga Ekonomi Mikro Syari’ah: Pergulatan Melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad, Rifqi. 2008. Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah. Yogyakarta: P3EI Press.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Edisi 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mofidrabbani. 2011. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaurrasyidin, (Online), (http://mofidrabbani.blogspot.com/2011/04/sistem-ekonomi-dan-fiskal-pada-masa_26.html, diakses 15 April 2012).
Nasution, Mustafa Edwin et al. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Erlangga.
Ozha, Aulia Sandra. 2011. Pajak dan Zakat di Indonesia, (Online), http://auliasandra.wordpress.com/2011/05/28/pajak-dan-zakat-diIndonesia , diakses 15 April 2012).
Parwito, Andri. 2009. Analisis Atas Pengaruh Pemanfaatan Sistem E-Filing Terhadap Cost of Compliance. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press.
________. 2005. Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Zikrul Hakim.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Nastangin Soeroyo. 1996. Yoyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Resmi, Siti. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Rifa’i, Moh. 1999. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Sukardji, Untung. 2004. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
92
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang Republika Indonesia No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Wahyu. 2010. Asal Muasal dan Sejarah Pajak, (Online), (http://wahyumedia19.blogspot.com/2010/04/asal-muasal-pajak.html, diakses, 22 Juni 2012).
Yolina, Meilani S. 2009. Dasar-Dasar Akuntansi Perpajakan.Yogyakarta: Tabora Media.
http://ekonomikieta.blogspot.com/2009/05/sejarah-perpajakan-di-indonesia secara.html, diakses 22 Juni 2012.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1769621/menyelami-filosofi-zakat, diakses 22 Juni 2012.
http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam, diakses 22 Juni 2012.
http:www. marhabanyamarhaban.wordpress.com/about/makalah/ali-bin-abi-tahlib , diakses 15 April 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat, diakses 22 Juni 2012.