132
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI SKRIPSI PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL 1990-2004 Diajukan oleh: MUHAMAD SOWWAM 0603000486 UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA EKONOMI DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Skripsi M Sowwam_0603000486

  • Upload
    sowwam

  • View
    2.983

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

infrastruktur dan kemiskinan, apakah saling terkait?

Citation preview

Page 1: Skripsi M Sowwam_0603000486

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS EKONOMI

SKRIPSI

PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP

KEMISKINAN DI INDONESIA: ANALISIS DATA

PANEL 1990-2004

Diajukan oleh:

MUHAMAD SOWWAM

0603000486

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT

GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA EKONOMI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Page 2: Skripsi M Sowwam_0603000486

2007

Page 3: Skripsi M Sowwam_0603000486

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS INDONESIA

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Muhamad Sowwam

Nomor Mahasiswa : 0603000486

Departemen : Ilmu Ekonomi

Konsentrasi : Publik/Regional

Judul Karya Akhir: Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan di Indonesia:

Analisis Data Panel 1990-2004

Tanggal……………………… Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

( Robert A Simanjuntak, Ph.D)

Tanggal……………………. Pembimbing Karya Akhir

(Jossy Prananta Moeis, Ph.D)

Page 4: Skripsi M Sowwam_0603000486

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:

“Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap proses pengurangan kemiskinan

di Indonesia: Analisis Data Panel 1990-2004”

yang disusun untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bukan merupakan

tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai

untuk mendapatkan gelar kesarjanaan ataupun jenjang pendidikan tinggi lainnya di

lingkungan Universitas Indonesia maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun,

kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan.

Depok, 10 Desember 2007

Muhamad Sowwam

NPM: 0603000486

Page 5: Skripsi M Sowwam_0603000486

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rabb semesta alam,

dimana jiwa dan nasib penulis berada dalam genggaman-NYA. Rabb yang selalu

memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya, walaupun hamba-Nya itu telah banyak

berbuat dosa dan khianat kepada-Nya.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang penghargaan yang setinggi – tingginya

penulis sampaikan kepada:

1. Orang tua tercinta, Bapak, Alm H. Imam Mahdi dan Ibunda Hj. Nadiroh. Terima

kasih atas dukungan yang diberikan kepada ananda. Terima Kasih telah mendoakan

ananda dalam sujud panjang, dalam tiap heningnya malam, maupun dalam tiap detik

ananda membutuhkan, sehingga Allah SWT berkenan menurunkan keajaiban–

keajaiban untuk tiap langkah ananda. Terimakasih atas keridhaan yang diberikan

kepada ananda sehingga mengundang keridhaan Allah SWT.

2. Terimakasih ananda ucapkan kepada kakanda Latifatun, Muhamad Fauzi, Titin

Rohmatin S,Ag, Neneng Hasanah S.Ag, Agus Amin, dan Nunung Nurseha A.Md

yang dengan caranya sendiri memberikan semangat kepada saya, terimakasih atas

doa-doa nya.

3. Bapak Jossy P Moeis, Ph.D, pembimbing skripsi penulis, yang ditengah

kesibukannya berkenan untuk mentransfer keahliannya dalam ilmu ekonomi

kemiskinan, membimbing dan memberikan masukan serta saran yang sangat berarti.

Dengan pemikiran dan hati yang ada pada Bapak, saya berharap agar bapak dapat

ikut berperan besar dalam proses pembuatan kebijakan berkaitan dengan kemiskinan

di negeri ini.

4. Bapak Ari Kuncoro Ph.D, dan Ibu Suyanti MSc selaku penguji penulis yang

berkenan memberikan saran menyeluruh pada penulisan skripsi ini. Selain itu,

memberikan insight yang luar biasa pada penulis mengenai skripsi ini saat sidang.

Sungguh sangat mencerahkan.

5. Mas Dewa, dan Mba Ruri (di LDFEUI) atas pelatihan singkat interpolasi, dan data

management dengan stata. Mas Abdi, terimakasih atas pengalaman kerja yang

diberikan di LD-FEUI.

6. Teman-teman IE 2003, Yudhis (good co-worker), Kindy (calon gubernur Bekasi

yang ekonom), Kiki (teman pertama di IE), Ikhsan (pak ustadz), Robby (pria rajin,

Page 6: Skripsi M Sowwam_0603000486

konkrit), Putri (thx atas hausman test-nya), Iqbal (catatan penuh gambar), Dani,

Ibnu, Husna, Dinar, Yogi, Ira, Arik, Erwin, Andre, Meining, Tuti, Aryo, Ardi,

Angga, Adi, Rika, Urfi, Fitri, Ria, Ira, Icha, Luvy, Oni, Firlana, Sandhi, Alex,

Nanto, dody, Liano, Prita, Ester, Katrin, Agnes, dan yang lainnya (maaf kalo ada

yang terlewat).

7. Temen-temen di Arista, tempat kos di tahun terakhir penulis di FEUI, (kos-kosan

paling ’rimbun’ yang pernah ada), Seno, Domi, Iman, Tigor, owbie, aha, kholid,

basori, susanto, dll.

8. Temen-temen part-timer di perpustakaan: UJ, Minang, Irvan, Sukma, Abdur, Oco,

Eko, Rini, Happy, Triana, dll.

9. Temen-temen di asrama Etos Jakarta, temen-temen KSM ekaprasetya UI mulai dari

zaman Sonny, Supri hingga Zakky, temen-temen BEM (Ai, Habibi, Ojan, Eka,

Rimas, Aji, dkk) khususnya PUSGERAK BEM UI (bung Tyan, Faisal, Shofwan,

Ivan, Giyanto, Iif, Apip), teman-teman pemenang LKTI G-trans, sungguh sarana

diskusi yang menyenangkan, menyegarkan dan menggairahkan, tempat tukar

pikiran, tempat perjuangan, terimakasih telah meningkatkan kapabilitas penulis.

10. Pegawai perpustakaan FEUI, tempat penulis ’bekerja’ dan menimba ilmu

terimakasih atas ”akses tidak terbatas” pada buku yang digunakan sebagai bahan-

bahan belajar selama di FEUI dan untuk pembuatan skripsi ini.

11. Akhirnya pada embun surgaku. Diturunkan oleh Sang Khalik dengan cinta-Nya.

Penawar atas kehausan, dampak kefanaan dunia. Entah di belahan dunia mana,

entah kapan dapat menemukannya. Cawan hati ini akan selalu dibersihkan agar

dapat menampung kesucian dan kemuliaanya. Membawanya kembali ke tempat

asalnya, surga.

Dan seluruh teman – teman lainnya, pihak – pihak yang tidak bisa disebutkan namanya

di sini; keberadaan anda semua membuat segalanya jadi lebih mudah dan lebih indah.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan anda semua dengan pahala yang berlipat dan

mengekalkan persaudaraan kita selamanya.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, 10 Desember 2006,

Penulis,

Muhamad Sowwam

Page 7: Skripsi M Sowwam_0603000486

Karya ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, kakak-kakakku, dan kepada mereka yang selalu dan akan terus berjuang memerangi berbagai bentuk pemiskinan, penjajahan, pendudukan,

pengusiran, penggusuran,…

Page 8: Skripsi M Sowwam_0603000486

ABSTRAKSI

Judul : Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Analisis Data Panel

1990-2004

Nama : Muhamad Sowwam

NPM : 0603000486

Departemen : Ilmu Ekonomi

viii halaman + 120 halaman + 12 Tabel + 6 gambar dan grafik

Kebijakan pemerintah, yang mengadopsi kebijakan New Deal, berfokus pada pembangunan

infrastruktur guna tercapainya tiga tahap strategi (triple-track strategy). Triple-track strategy itu

sendiri terdiri atas pro-growth, pro-job dan pro-poor. Namun sebenarnya pola hubungan antara

infrastruktur dengan kemiskinan masih belum dapat disimpulkan. Studi ini bertujuan untuk

melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan tingkat propinsi di Indonesia. Pembagian

infrastruktur pada studi ini merujuk pada definisi Bank Dunia, yaitu infrastruktur ekonomi (jalan,

listrik, irigasi, telepon), dan infrastruktur sosial (pendidikan dan kesehatan). Dengan

menggunakan data panel pada tingkat propinsi periode 1990-2004, dan metode effect tetap (fixed

effect), serta berbagai lag, studi ini menghasilkan estimasi empiris. Pertama, dengan

menggunakan lag 1 tahun didapat bahwa air, jalan, banyaknya sekolah SMP-SMA dan jumlah

tempat tidur di rumah sakit tidak signifikan pada tingkat 5%. Sementara itu, terdapat tujuh

variabel yang signifikan. Diantaranya adalah listrik dengan koefisien -0,2, kemudian banyaknya

sekolah dasar dengan -0,11 , dan telepon dengan koefisien -0,08, dan irigasi sebesar -0,06.

Penelitian ini juga menemukan bahwa krisis secara empiris meningkatkan penduduk miskin.

Selain itu pada penelitian ini juga didapat bahwa kemiskinan periode sebelumnya berpengaruh

secara positif pada jumlah kemiskinan saat ini.

Kata kunci: infrastruktur, kemiskinan, fixed-effect, pembangunan, pertumbuhan.

iii

Page 9: Skripsi M Sowwam_0603000486

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................i Abstraksi .......................................................................................................................... iii Daftar Isi ..........................................................................................................................iv Daftar Tabel ......................................................................................................................viDaftar Grafik....................................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................................6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................................6 1.4. Hipotesis ...................................................................................................................7 1.5. Metode Penelitian .....................................................................................................7 1.6. Kerangka Penulisan ..................................................................................................8

BAB II LANDASAN TEORI ..............................................................................................92.1. Kemiskinan..............................................................................................................9

2.1.1. Perkembangan Konsep Kemiskinan ................................................................9 2.1.2. Garis Kemiskinan...........................................................................................12

2.1.2.1. Garis Kemiskinan Absolut......................................................................13 2.1.2.2. Garis Kemiskinan Relatif .......................................................................16 2.1.2.3. Garis Kemiskinan Subjektif....................................................................17

2.1.3. Aggregasi kemiskinan....................................................................................19 2.1.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ............................................................23 2.1.5. Kebijakan Kemiskinan...................................................................................29

2.2. Infrastruktur: Sebuah Kerangka Konseptual .........................................................35 2.2.1. Infrastruktur dan Kegagalan Pasar.................................................................39

2.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya.........................................................................41 2.3.1. Infrastruktur Irigasi ........................................................................................41 2.3.2. Infrastruktur Jalan ..........................................................................................46 2.3.3. Pendidikan......................................................................................................48 2.3.4. Infrastruktur Telepon .....................................................................................49 2.3.5. Infrastruktur Listrik........................................................................................50 2.3.6. Kesehatan.......................................................................................................51

2.4. Dasar Pembentukan Model ...................................................................................54 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................59

3.1. Spesifikasi Model......................................................................................................59 3.2. Data ...........................................................................................................................61 3.3. Metode Pengolahan Data ..........................................................................................62

3.3.1. Data Panel ..........................................................................................................62

iv

Page 10: Skripsi M Sowwam_0603000486

3.3.1.1. Pooled (Ordinary Least Square, OLS) ........................................................64 3.3.1.2. Fixed Effects Model (Least-Squared Dummy Variable/ LSDV) ...............65 3.3.1.3. Random Effects Model (Error Component Model) ....................................66

3.3.2. Pemilihan Metode Estimasi ...............................................................................67 3.4. Pengujian Model .......................................................................................................70

3.4.1. Kriteria Ekonomi ...............................................................................................70 3.4.2. Kriteria Statistik .................................................................................................70 3.4.3. Kriteria Ekonometrik .........................................................................................71

BAB IV ANALISIS DAN HASIL ESTIMASI ................................................................764.1. Deskripsi Data .......................................................................................................76 4.2. Pemilihan Model Estimasi ....................................................................................77 4.3. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika........................................................................78

4.3.1. Kriteria Statistik .................................................................................................78 4.3.2. Kriteria Ekonometrika .......................................................................................79

4.4. Analisis Temuan Empiris ......................................................................................83 4.4.1. Variabel Irigasi...................................................................................................84 4.4.2. Air bersih ...........................................................................................................864.4.3. Variabel Jalan.....................................................................................................89 4.4.4. Variabel Kesehatan ............................................................................................904.4.5. Variabel Pendidikan...........................................................................................924.4.6. Variabel Telepon................................................................................................954.4.7. Variabel Krisis ...................................................................................................964.4.8. Variabel Listrik ..................................................................................................974.4.9. Variabel Kemiskinan Periode Sebelumnya .......................................................99

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN STUDI .........................1015.1. Kesimpulan .............................................................................................................1015.2. Saran .......................................................................................................................1025.3. Keterbatasan Studi ..................................................................................................103

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................106LAMPIRAN......................................................................................................................110

v

Page 11: Skripsi M Sowwam_0603000486

DAFTAR TABEL

Tabel 1-1 Kondisi Ketenagakerjaan 2

Tabel 1-2 Tingkat Kemiskinan: Target dan Kondisi Aktual 2

Tabel 1-3 Kinerja Infrastruktur di Indonesia, 2004 4

Tabel 4-1 Deskripsi Data 77

Tabel 4-2 Hasil Estimasi Persamaan 78

Tabel 4-3 Matriks Korelasi 80

Tabel 4-4 Variance Inflation Factors a 81

Tabel 4-5 Variance Inflation Factors b 81

Tabel 4-6 Hasil Estimasi Persamaan Akhir 83

Tabel 4-7 Rumah Tangga yang Memiliki Luas Tanam (Padi) Kurang dari 0.5 Ha

Berdasarkan kuintil, Indonesia, 2004

85

Tabel 4-8 Akses Sumber Air Minum Berdasarkan Kuintil, Indonesia, 2004 89

Tabel 4-10 Banyaknya Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik PLN Sebagai

Sumber Penerangan, Indonesia, 2004

98

vi

Page 12: Skripsi M Sowwam_0603000486

DAFTAR GRAFIK

Gambar 2-1: Peta Konsep dari Teori-Teori Penyebab Kemiskinan 26

Gambar 2-2: Siklus Intergenarasi Pembentukan Modal Manusia 52

Gambar 3-1: Pengujian Pemilihan Metode Data Panel 68

Grafik 4-1: Akses Terhadap Air Bersih Berdasarkan Tingkat Penghasilan 87

Grafik 4-2: Persentase Jalan Kabupaten dengan Kondisi Baik terhadap Total Jalan

Kabupaten Di Setiap Provinsi, Indonesia, 2004

89

Grafik 4-3: Persentase Penduduk Miskin (dalam ribuan), Indonesia, 1976-2004 97

vii

Page 13: Skripsi M Sowwam_0603000486

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada pidato peresmian pembukaan kongres ke 16 ISEI di Manado tahun 2006,

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dua istilah penting. Pertama, istilah

triple-track strategy, yaitu pro-growth, pro-job dan pro-poor. Trek pertama adalah

meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Trek kedua

adalah menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Terakhir, trek yang

ketiga, yaitu merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan untuk

mengurangi kemiskinan. Dengan demikian, pertumbuhan yang akan dihasilkan itu

mendatangkan kebaikan. Pertumbuhan yang (sekaligus) dapat menciptakan lapangan kerja,

dan mengurangi kemiskinan.

Kedua, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melontarkan pemikiran dan

proposal mengenai arah kebijakan pembangunan yang akan dilakukan pemerintahannya

pada beberapa tahun mendatang. Proposal program itu adalah, sebagaimana yang Presiden

SBY katakan dalam pidatonya:

"Program khusus ini, katakanlah new deal, prosperative new deal, mestilah lebih bersifat jangka pendek, tentu merupakan targeted action plan...Dan mengapa new deal ini harus kita pikirkan...kita boleh mengatakan the hungry can not wait. Bentuk program yang saya maksudkan tadi ...lebih fokus pada dua hal. Satu adalah employment creation, penciptaan lapangan kerja….”(Biro Per dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, 2006)

Pemikiran dan proposal itu dilatarbelakangi oleh kondisi akibat krisis ekonomi

yang memiliki magnitudo yang luar biasa dalam dan luasnya. Berdasar data BPS pada

Februari 2006 diketahui bahwa pengangguran terbuka sebesar 11,1 juta orang, setengah

menganggur 29,9 juta orang.

Page 14: Skripsi M Sowwam_0603000486

2

Tabel 1-1

Kondisi Ketenagakerjaan

2004 2005 2006 Rincian Agustus Februari November Februari

Penduduk usia >15 tahun (juta jiwa) 153,9 155,5 158,5 159,3 Angkatan kerja (juta jiwa) 104 105,8 105,9 106,3 • bekerja 93,7 94,9 94 95,2 • tidak bekerja (penganggur terbuka) 10,3 10,9 11,9 11,1 Setengah menganggur (juta jiwa) 27,9 29,6 28,9 29,9 • sukarela 14,5 15,3 15,0 15,7 • terpaksa 13,4 14,3 13,9 14,2 Bukan angkatan kerja (juta jiwa) 50 49,7 52,6 53 Jumlah penganggur (juta jiwa) 38,2 40,5 40,8 41,0 Tingkat pengangguran terbuka (%) 9,9 10,3 11,2 10,4

Sumber: Badan Pusat Statistik

Selanjutnya, karena tidak ada pekerjaan, maka pendapatan (personal income) pada

kelompok marginal tidak tinggi. Akibatnya, 39,05 juta (17,75%) rakyat pada prinsipnya

masih miskin, dan sebanyak 13,02% yang hampir miskin (BPS, 2006).

Tabel 1-2

Tingkat Kemiskinan: Target dan Kondisi Aktual Awal RPJM dan RKP MDG Deskripsi

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2015

Tk Kemiskinan (%)

Target 15,0 13,3 14,4 -- 8,2 7,2

Aktual 16,6 15,8 17,75 16,5

Jumlah Penduduk miskin (Juta)

Target -- -- -- -- -- 18,8 --

Aktual 36,1 35,2 39,30 37,17

Sumber RPJM 2004-2009, RKP 2006, RKP 2007, dan publikasi BPS

Secara teoretis proposal New Deal itu didasarkan dari adanya preseden sejarah

sebelumnya. Sejarah dari adanya great depression yang sangat terkenal dalam sejarah

perekonomian dunia. Di Amerika fenomena tersebut menyebabkan pergantian Presiden,

dari Hoover ke Roosevelt. Akibat depresi, standar hidup menurun pada 1929-1933, di

Amerika Serikat output industri turun sampai 30%. Tingkat pengangguran naik lebih dari

25%. (Skousen, 2005) Roosevelt mengusulkan banyak program untuk keluar dari kondisi

tersebut. Program-program tersebut kemudian dikenal dengan istilah New Deal atau

Page 15: Skripsi M Sowwam_0603000486

3

Alphabet Soup (Schultz, 2006). Inti dari program new deal ini salah satunya adalah

pembangunan infrastruktur.

Program-program tersebut diantaranya adalah: CCC (civilian conservation corps)

yang lebih merupakan proyek pekerjaan umum, didisain untuk konservasi lingkungan.

Kemudian TVA (Tennesse valley authorithy), membangun bendungan; pembangkit tenaga

listrik di sepanjang sungai Tennese. Selanjutnya WPA, dilakukan dengan melakukan

pekerjaan berupa mengaspal jalan, membangun jembatan, lapangan udara, kantor pos. SSA

(social security act) merupakan sistem kerjasama negara bagian yang menyediakan

kompensasi untuk pengangguran dan asuransi untuk lanjut usia dan juga wealth tax act.

Dengan adanya program-program tersebut, Roosevelt berhasil menggerakkan kembali roda

perekonomian dan berhasil menanggulangi depresi tersebut. Dengan demikian,

infrastruktur merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan ekonomi.

Didukung dengan adanya preseden sejarah dan latar belakang pemikiran ekonomi

yang ada, maka pemerintah tampaknya serius untuk mengimplementasikan strategi

pembangunan ala Roosevelt itu ke Indonesia. Hal ini secara kasat mata dapat dilihat dari

adanya kegiatan atau program-program seperti infrastructure summit, infrastructure

exhibition and conference, kemudian pendirian komite kebijakan percepatan penyediaan

infrastruktur (KKPPI), pelaksanaan proyek pembangunan 10.000 tower rumah susun,

proyek pembangunan jalan tol trans-jawa yang sepanjang 913 Km dengan investasi total

sebesar Rp42,46 triliun (NK dan RAPBN 2008), jalan tol Jakarta (JORR II) yang

membutuhkan dana sebesar Rp 9,2 Triliun, proyek-proyek transportasi seperti

pembangunan bandara, pelabuhan. Kemudian program listrik 10.000 MW dengan nilai

investasi sebesar Rp105,4 triliun (NK dan RAPBN 2008), proyek energi bio-diesel, dan

upaya lainnya dalam rangka menggenjot proyek infrastruktur.

Page 16: Skripsi M Sowwam_0603000486

4

Upaya-upaya tersebut dilakukan, juga, karena fakta bahwa kondisi infrastruktur

yang semakin terpuruk semenjak krisis ekonomi. Sejak saat itu terlihat bahwa perhatian

pemerintah pada kondisi infrastruktur di Indonesia sangat kurang, terutama pada penyedian

infrastruktur khususnya di luar Jawa atau di Indonesia kawasan timur. Indonesia termasuk

salah satu negara dengan kualitas atau mutu kinerja infrastruktur yang terburuk dalam satu

kawasan (Tambunan, 2007). Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini bahwa dalam hal

kelistrikan masih banyak penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik (43%). Hanya

empat dari 1000 orang yang memiliki jaringan telepon. Hampir setengah dari penduduk

belum dapat mengakses ke sanitasi yang baik.

Tabel 1-3

Kinerja Infrastruktur di Indonesia, 2004 No klasifikasi Kinerja Urutan/ranking

1 Listrik Tingkat elektrifikasi (%) Kualitas listrik (skala 1-7)

53 3,4

11 dari 12

2 Telekomunikasi Transmisi dan distribusi yang putus Jaringan telepon per 1000 orang Pemilik mobile phone per 1000 orang Pemilik telepon per 1000 orang

11 4 6 9

12 dari 12

3 Air dan sanitasi %pop mengakses ke sanitasi yang baik %pop akses ke air bersih

55 78

7 dari 11

4 Jalan Jaringan jalan raya (km/1000 penduduk) Jalan aspal perjumlah tanah Fatalitas jalan/100.000 orang Fatalitas jalan/100.000 kendaraan

1,7 0,8 4,6 4,5

8 dari 12

Sumber: World Bank, 2004

Di tengah urgensitas untuk memperbaiki kondisi infrastruktur yang semakin buruk,

sebenarnya masih terjadi perdebatan mengenai pola hubungan antara infrastruktur dengan

kemiskinan. Oleh karena itu, perlu kiranya diteliti masalah ini. Hal ini dianggap penting

karena berkaitan dengan pengambilan kebijakan publik.

Ada dua pemikiran (mazhab) dalam melihat hubungan infrastruktur, pertumbuhan

ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Masika dan Baden, 1997). Pada satu sisi

(kelompok pemikiran pertama), memandang pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan

Page 17: Skripsi M Sowwam_0603000486

5

ekonomi, dan upaya pengurangan kemiskinan di negara berkembang. Sementara kelompok

pemikiran kedua melihat bahwa infrastruktur belum tentu berperan pada pengurangan

kemiskinan. Kalaupun infrastruktur berperan dalam pertumbuhan ekonomi namun belum

tentu terhadap kemiskinan. ‘Benang merah’ dari kedua pemikiran tersebut berkaitan

dengan masalah akses, pembiayaan, lokasi, dan jenis infrastruktur. Dengan demikian,

hubungan antara infrastruktur dan kemiskinan masih belum jelas (belum dapat

disimpulkan).

Mengenai perbedaan jenis infrastruktur. Bank Dunia membagi infrastruktur

menjadi tiga komponen, yaitu infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial dan infrastruktur

administrasi. Pertama, infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur yang ditujukan untuk

menunjang aktivitas ekonomi. Infrastruktur ini meliputi: public utilities (listrik,

telekomunikasi, air, sanitasi, dan gas). Public work (jalan, bendungan, kanal, dan irigasi

dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang). Kedua,

infrastruktur sosial yang diantaranya ialah pendidikan, kesehatan, perumahan. Ketiga,

infrastruktur administrasi, misalnya penegakan hukum, kontrol administrasi dan

koordinasi.

Kecenderungan yang terjadi di Indonesia saat ini, secara sekilas, pembangunan

infrastruktur lebih terkonsentrasi pada jenis infrastruktur (jalan tol, komunikasi, serta

energi). Investasi pada infrastruktur ini memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan

jenis infrastruktur lainnya seperti infrastruktur sosial (pendidikan, dan kesehatan). Selama

ini masih belum dapat diketahui infrastruktur jenis apa yang akan lebih

berpengaruh/berperan pada pengurangan kemiskinan, apakah ekonomi atau sosial.

Mengingat masih belum adanya kesimpulan umum, serta terbatasnya, dan pentingnya studi

yang berkaitan dengan topik ini –berkaitan dengan masalah pengambilan kebijakan—

maka penulis akan mencoba menganalisis pola hubungan antara dua variabel tersebut.

Page 18: Skripsi M Sowwam_0603000486

6

1.2. Perumusan Masalah

Berdasar dari latar belakang di atas dapat diketahui bahwa, dari sisi pemikiran,

terdapat dua pemikiran yang saling bertentangan mengenai bagaimana hubungan antara

infrastruktur dengan kemiskinan sebenarnya. Sehingga pola hubungan diantara dua

variabel tersebut masih belum dapat disimpulkan. Studi ini ingin mencari pemikiran mana

yang lebih bekerja jika dihadapkan pada beberapa kondisi yang ada di Indonesia. Berkaitan

dengan jenis infrastruktur yang berbeda-beda tersebut, jenis infrastruktur manakah yang

lebih berperan dalam pengurangan kemiskinan, apakah infrastruktur ekonomi lebih

berperan dalam proses pengurangan kemiskinan jika dibandingkan dengan infrastruktur-

infrastruktur sosial?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari uraian diatas maka tujuan penelitian ini menjawab beberapa hal-hal yang ingin

diketahui seputar infrastruktur dan kemiskinan diantaranya ialah:

1. Mencari tahu apakah infrastruktur mempengaruhi proses pengurangan kemiskinan

di Indonesia kemudian, jika terdapat pengaruh, seberapa besar pengaruh dari

variabel infrastruktur dalam proses pengurangan kemiskinan di Indonesia.

2. Membandingkan perbedaan pengaruh dari dampak jenis infrastruktur (sosial atau

ekonomi) terhadap kemiskinan.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menambah referensi mengenai analisis

infrastruktur serta hubungannya dengan kemiskinan. Selain itu hasil penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi pembuat kebijakan infrastruktur (pemerintah)

dalam upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.

Page 19: Skripsi M Sowwam_0603000486

7

1.4. Hipotesis

Ada beberapa hipotesa yang akan diuji pada studi ini, yaitu:

Hipotesis pertama, berkaitan dengan apakah terdapat pengaruh infrastruktur terhadap

kemiskinan.

H0 : Tidak terdapat hubungan antara infrastruktur dengan kemiskinan

H1 : Terdapat hubungan negatif antara infrastruktur terhadap kemiskinan.

Hipotesis kedua, mengenai perbedaan jenis infrastruktur, apakah jenis infrastruktur

memiliki dampak yang berbeda terhadap kemiskinan dan pengangguran.

H0 : Jenis infrastruktur ekonomi tidak lebih berpengaruh dibandingkan jenis

infrastruktur sosial terhadap kemiskinan.

H1 : Infrastruktur sosial lebih berpengaruh terhadap kemiskinan jika dibandingkan

dengan infrastruktur ekonomi.

1.5. Metode Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel. Data panel merupakan

gabungan antara data time series dengan data cross-sectional. Data ini mencakup 26

propinsi sepanjang periode 1990 hingga 2004. Sebelumnya akan dilakukan beberapa

penyesuaian terlebih dahulu pada data berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, setelah era

reformasi banyak sekali terjadi perubahan dalam jumlah propinsi di Indonesia, baik

dikarenakan oleh propinsi yang memerdekakan (melepaskan) diri dari NKRI maupun

karena pemekaran wilayah. Kedua, mengingat data kemiskinan sebelum tahun 1999 adalah

data per tiga tahun, maka untuk kemiskinan akan dilakukan interpolasi data. Data yang

digunakan didapat dari berbagai institusi mulai dari BPS, Dep PU, PT PLN, Depdiknas,

Depkes, dan dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Terdapat tiga kemungkinan berkaitan dengan model apa yang akan digunakan pada

penelitian ini. Pertama, model dengan metode pooled least square (PLS), kedua metode

Page 20: Skripsi M Sowwam_0603000486

8

efek tetap (Fixed Effect) dan terakhir metode efek acak (Random effect). Melalui beberapa

uji ekonometrika, maka akan ditetapkan model apa yang akan digunakan.

1.6. Kerangka Penulisan

Analisis pengaruh infrastruktur dan institusi pada kemiskinan dan ketenagakerjaan

di Indonesia ini disusun dalam lima bab.

• Bab I Pendahuluan. Memuat gambaran umum yang mendasari dilakukannya

penelitian ini. Bab ini terdiri atas latar belakang, perumusan maslah, tujuan dan

manfaat penelitian serta hipotesis. Kemudian juga mendeskripsikan sekilas

mengenai metodologi penelitian dan kerangka penulisan.

• Bab II Landasan Teoretis. Berisi mengenai tinjauan literatur yang memaparkan

berbagai teori dan bukti-bukti empiris dari studi-studi sebelumnya yang berkaitan

dengan topik penelitian ini.

• Bab III Metodologi Penelitian. Pada bab ini dijelaskan dasar pemilihan model,

data dan sumbernya serta metode yang digunakan dalam mengestimasi model. Bab

ini dibagi dalam beberapa sub-bab yang diantaranya ialah spesifikasi model, jenis,

dan sumber data serta definisi operasional dari masing-masing variabel, dan

prosedur estimasi.

• Bab IV Hasil Penelitian dan Analisis berisi hasil estimasi dan analisis yang

memaparkan berbagai temuan empiris yang diperoleh pada penelitian ini.

• Bab V Kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan serta

keterbatasan studi dan peluang untuk studi lebih lanjut pada topik studi ini. Pada

bab ini dirangkum hasil penelitian dan implikasi kebijakan yang dapat diambil

pemerintah.

Page 21: Skripsi M Sowwam_0603000486

9

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan membahas

perkembangan konsep kemiskinan, kemudian penjelasan mengenai garis kemiskinan,

struktur kemiskinan serta kebijakan-kebijakan yang ada berkaitan dengan upaya

pengurangan kemiskinan. Bagian selanjutnya akan menjelaskan konsep infrastruktur. Pada

bagian terakhir bab ini akan dideskripsikan beberapa temuan pada penelitian-penelitian

sebelumnya yang tentunya berkaitan dengan infrastruktur dan kemiskinan.

2.1. Kemiskinan

2.1.1. Perkembangan Konsep Kemiskinan

Memperoleh definisi atas permasalahan kemiskinan yang lebih baik dan melakukan

komparasi berbagai pendekatan pengukuran kemiskinan yang digunakan adalah elemen

yang terpenting sebelum berbicara mengenai kebijakan mereduksi kemiskinan. Hal ini

tentunya akan berguna dalam membangun suatu kebijakan yang lebih efektif. Oleh karena

itu, pada bagian berikut akan dibahas mengenai konsep-konsep kemiskinan.

Pada awalnya kemiskinan dihubungkan dengan pendapatan. Pendapatan telah

dijadikan sebagai inti dari konsep kemiskinan. Namun ‘pendapatan’ itu sendiri tidak

kurang bermasalahnya dari konsep ‘kemiskinan’, sehingga harus secara hati-hati dan tepat

dalam mengelaborasinya. Jika pendapatan ekuivalen dengan asset, maka jasa-jasa layanan

publik serta subsidi dari pemerintah harus ditambahkan kedalam pendapatan dengan

ukuran yang akurat. Ukuran akurat tersebutlah yang sukar untuk diperoleh atau diukur

secara agregatif.

Page 22: Skripsi M Sowwam_0603000486

10

Ketika seseorang kekurangan pendapatan atau sumberdaya lainnya, termasuk

penggunaan asset serta barang dan jasa yang diterima yang ekuivalen dengan pendapatan

untuk memenuhi kebutuhan –yaitu, makanan, barang-barang material, jasa-jasa,

kenyamanan— sehingga seseorang tersebut mampu memegang peranan dalam masyarakat,

seseorang tersebut dapat dikatakan berada dalam kemiskinan. Kemudian berbagai konsepsi

alternatif berkenaan dengan kemiskinan terus mengalami perkembangan. Konsepsi-

konsepsi alternatif tersebut sangat bergantung pada gagasan-gagasan mengenai subsisten

(subsistence), kebutuhan dasar (basic needs), serta deprivasi relatif (relative deprivation).

Penggunaan konsep subsisten untuk mendefinisikan kemiskinan kemudian banyak

dikritik (M Rein, 1970). Pendekatan tersebut lebih menginterpretasikan kebutuhan manusia

(human needs) secara dominan sebagai kebutuhan fisik dari pada sebagai kebutuhan sosial.

Manusia tidak hanya dilihat sebagai individu organisme yang membutuhkan sumberdaya

energi fisik melainkan juga makhluk sosial yang memiliki peranan di masyarakat sebagai

pekerja, warga, tetangga, orang tua, dan lain sebagainya (R Lister, 1990). Barang-barang

material pada akhirnya bukanlah suatu hal yang tetap melainkan berubah. Bahkan jumlah,

jenis, serta biaya makanan seseorangpun, sekarang, bergantung pada peranannya serta

kebiasaan makan yang terdapat pada masyarakat tertentu. Dengan demikian, kebutuhan

material menjadi sesuatu yang ditentukan, dalam berbagai cara, secara sosial.

Gagasan kedua adalah ‘kebutuhan dasar’ (basic needs). Kebutuhan dasar terdiri

dari dua komponen, yang pertama adalah kebutuhan minimum tertentu dari konsumsi

keluarga seperti makanan yang cukup, tempat berlindung, dan pakaian. Kedua, pelayanan

dasar yang disediakan oleh dan untuk komunitas dalam ukuran yang besar seperti sanitasi,

angkutan umum, layanan kesehatan, pendidikan, fasilitas rekreasi, dan lain sebagainya

(ILO, 1977). Secara khusus di daerah perdesaan, konsep kebutuhan dasar diperluas dengan

memasukkan lahan, peralatan pertanian serta akses pada bertani.

Page 23: Skripsi M Sowwam_0603000486

11

Sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa konsep kebutuhan dasar adalah perluasan

dari konsep subsisten. Selain terdapat kebutuhan material agar seseorang bertahan hidup,

terdapat juga fasilitas serta pelayanan –untuk layanan kesehatan, sanitasi, dan pendidikan –

yang dibutuhkan oleh komunitas lokal atau penduduk secara keseluruhan.

Gagasan ketiga dalam memahami kemiskinan ialah deprivasi relatif (J Scott, 1994).

Konsep relatifitas berlaku baik pada sumber daya maupun pada kondisi material dan sosial.

Seringkali terjadi perubahan (dari waktu ke waktu) dalam menentukan suatu kondisi untuk

menyatakan seseorang atau keluarga tertentu berada dalam keadaan miskin. Hal ini

menyebabkan gambaran kemiskinan sebagai suatu keadaan ketika seseorang memiliki

pendapatan disposibelnya relatif lebih rendah dari yang lain (kesenjangan) menjadi tidak

memuaskan. Dengan demikian, telah terjadi kegagalan secara konseptual dalam

membedakan kesenjangan dengan kemiskinan.

Kemiskinan sebaiknya dipahami tidak hanya sebagai seseorang yang menjadi

korban dari distribusi sumberdaya yang tidak merata (maldistribution), lebih tepatnya,

seseorang yang dengan sumberdaya yang dimilikinya tidak mampu memenuhi permintaan

sosial dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Ini adalah kriteria yang digunakan untuk

observasi mengenai deprivasi.

Motivasi atas penggunaan gagasan deprivasi relatif ini karena beberapa konsep

sebelumnya masih belum dapat menggambarkan secara tepat apa yang dimaksud dengan

kemiskinan. Terutama karena konsep subsisten yang mengecilkan esensi kebutuhan

manusia, sebagaimana konsep kebutuhan dasar yang dibatasi pada fasilitas fisik.

Karena banyak formulasi atau konsep, terdapat masalah dalam mendefinisikan

kemiskinan secara operasional. Saat ini ukuran kemiskinan tidak berjalan bersamaan

dengan perkembangan konsep seperti yang telah dijelaskan di atas. Kritik-kritik terhadap

pendekatan tertentu tidak harus selalu diterjemahkan dalam ukuran operasional. Garis

Page 24: Skripsi M Sowwam_0603000486

12

kemiskinan absolut menjadi metode yang sangat luas untuk mengukur kecukupan sumber

daya, dan penggunaannya telah berubah dari ide ‘subsisten’ menjadi pada kebutuhan yang

ditentukan secara sosial. Pendekatan kebutuhan dasar juga telah lebih dekat pada

kebutuhan sosial (Gordon, 2001).

2.1.2. Garis Kemiskinan

Proses pengukuran kemiskinan secara umum meliputi, paling tidak, dua langkah

yaitu, identifikasi siapa yang dianggap miskin dan tidak miskin, dan agregasi kemiskinan

yang mensintesakan informasi menjadi satu jumlah/bilangan tertentu.

Identifikasi siapa yang miskin atau tidak dapat digunakan dengan garis kemiskinan.

Pendekatan ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk mendapat suatu

perkiraan kuantitatif kemiskinan. Dengan pendekatan ini, sebuah rumah tangga akan

diklasifikasikan sebagai rumah tangga miskin jika pendapatan atau pengeluarannya kurang

dari nilai garis kemiskinan. Garis kemiskinan mewakili nilai aggregat dari seluruh barang

dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Pada pembentukan garis kemiskinan, terdapat tiga pendekatan dasar, yaitu: garis

kemiskinan absolut (the absolute poverty line), garis kemiskinan relatif (the relative

poverty line), dan garis kemiskinan subjektif (the subjective poverty line) (Martin

Ravalion, 1994).

Garis kemiskinan absolut mengidentifikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk

mendapatkan barang dan jasa yang memuaskan standar minimum atas setiap kebutuhan

dasar. Sementara itu, garis kemiskinan relatif mengadopsi pemikiran bahwa garis

kemiskinan harus secara eksplisit merujuk pada kondisi umum masyarakat. Seseorang

dikatakan miskin ketika dia memuaskan kebutuhannya itu pada tingkat yang lebih rendah,

secara relatif, dari yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya. Dengan demikian, garis

kemiskinan relatif merupakan proporsi dari rata-rata atau nilai tengah atas

Page 25: Skripsi M Sowwam_0603000486

13

pendapatan/pengeluaran masyarakat. Perbedaan yang penting antara garis kemiskinan

absolut dan relatif berada pada bagaimana mereka menilai perubahan sebagai akibat

perubahan distribusi pendapatan atau pengeluaran (Foster, 1998).

Garis kemiskinan subjektif, berbeda dari dua pendekatan sebelumnya dalam

memandang kebutuhan minimum anggaran rumah tangga, adalah pembanding terbaik

untuk pendapatan dan pengeluaran. Pada pendekatan ini digunakan survei dari sampel

yang mewakili untuk mengukur pendapat masyarakat. Di sini masyarakat mendefinisikan

garis kemiskinannya sendiri.

2.1.2.1. Garis Kemiskinan Absolut

A. Membuat garis kemiskinan absolut

Garis kemiskinan absolut merepresentasikan biaya untuk membeli sekeranjang

barang yang dihadapkan pada ambang batas absolut dalam memenuhi kebutuhan dasar

tertentu. Untuk membuat garis kemiskinan diperlukan beberapa tahapan, pertama,

menentukan ambang batas untuk setiap kebutuhan dasar; kedua, mendefinisikan jenis dan

kuantitas barang/jasa; ketiga, memberikan harga pada barang dan jasa tersebut.

Nilai dari satuan barang dapat ditentukan baik secara langsung maupun secara tidak

langsung. Secara langsung jika hanya sedikit kebutuhan dasar. Untuk semua kebutuhan

lainnya, nilai agregat dihitung secara tidak langsung. Dalam banyak kasus, perkiraan

langsung terbatas pada makanan saja. Pada kasus ini, kecukupan makanan dijadikan

sebagai ambang batas.

1. Garis kemiskinan makanan (food povety line)

Makanan merupakan kategori yang paling umum digunakan untuk mengukur

kemiskinan. Kecukupan gizi adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu,

ia merupakan pusat dari pembuatan garis kemiskinan. Misalnya berdasarkan pendapat ahli

Page 26: Skripsi M Sowwam_0603000486

14

gizi, seseorang dikatakan miskin ketika pendapatan mereka tidak cukup untuk memperoleh

kebutuhan hidup minimum untuk merawat (kerja) fisiknya/bertahan hidup.

Garis kemiskinan makanan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu garis

kemiskinan makanan normatif yang merepresentasikan biaya sekeranjang makanan yang

menyediakan kecukupan gizi. Namun garis kemiskinan ini bukan diperuntukkan dalam

pengukuran kemiskinan, dan juga tidak merepresentasikan kebiasaan konsumen. kemudian

garis kemiskinan makanan semi-normatif yang merepresentasikan biaya dari sekeranjang

makanan yang dipatok pada pedoman gizi tertentu yang disesuaikan dengan kebiasaan

konsumsi, serta harga pasar.

Ada beberapa tahapan dalam pembuatan garis kemiskinan makanan yang

mengikutsertakan kebiasaan masyarakat dalam penghitungan (semi-normatif), yaitu:

a) Menentukan energi yang dibutuhkan.

Memperkirakan energi (kalori) yang diperlukan untuk menopang hidup

individu (FAO, 2004). Kebutuhan kalori berbeda-beda dari setiap jenis orang,

misalnya berdasarkan umur, jenis kelamin atau aktivitasnya. Setelah hal itu

diketahui, kebutuhan kalori secara keseluruhan untuk suatu rumah tangga dapat

ditentukan. Kemudian, dengan pembobotan rata-rata diketahui rata-rata kebutuhan

kalori per orang.

b) Memilih kelompok yang dijadikan rujukan (reference groups).

Hal ini dilakukan agar ukuran dapat merepresentasikan pola konsumsi

masyarakat. Dengan demikian, tidak seluruh populasi dijadikan sebagai rujukan,

karena jika hal tersebut dilakukan hanya akan menimbulkan variasi yang sangat

besar dalam struktur keranjang makanan. Biasanya kelompok rujukan yang dipilih

adalah kelompok yang memenuhi, secara rata-rata, kebutuhan kalori dengan

pendapatan terendah. Metode alternatifnya adalah dengan menentukan konsumsi

Page 27: Skripsi M Sowwam_0603000486

15

kalori kelompok berdasar pada dua desil pertama pada distribusi pendapatan, atau

dengan menentukan kelompok yang didasarkan pada penghitungan kemiskinan

sebelumnya.

c) Isi dan biaya sekeranjang makanan.

Menentukan biaya dapat dilakukan dengan cara, pertama, membentuk

sekeranjang makanan secara eksplisit kemudian memberikan harga padanya.

Misalnya dengan cara memilih barang yang paling merepresentasikan dan

kemudian menyesuaikan dengan kuantitas yang telah disesuaikan dengan struktur

konsumsi dari kelompok rujukan tersebut. Kelompok makanan biasanya terdiri

dari: biji-bijian, umbi, gula, tumbuhan polong, sayur-sayuran, buah, daging, ikan,

susu dan produk olahannya, telur, minuman, minyak dan lemak. Dalam beberapa

kasus, beberapa tahapan dilakukan dalam menetapkan jenis makanan yang akan

dimasukkan dalam suatu keranjang makanan. Misalnya jika tujuan yang diinginkan

adalah memperoleh kelompok barang yang sedikit, maka barang-barang yang

jarang digunakan atau paling memakan biaya dapat diganti dengan barang yang

lebih umum digunakan atau lebih murah dalam kelompok yang sama.

Kedua, memperkirakan biaya makanan tanpa membuat daftar dari isi

keranjang makanan tersebut yaitu menentukan biaya secara langsung dari

kelompok yang dijadikan rujukan. Garis kemiskinan yang diperoleh adalah hasil

dari perkalian kebutuhan kalori dengan biaya perkalori pada kelompok rujukan

yang dipilih.

2. Garis kemiskinan bukan makanan (Non-Food Poverty Line)

Berbeda dengan jenis garis kemiskinan makanan yang memiliki kriteria objektif

mengenai berapa tingkatan minimum. Garis kemiskinan bukan makanan biasanya tidak

memiliki kriteria tersebut. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang umum untuk menentukan

Page 28: Skripsi M Sowwam_0603000486

16

kuantitas dan harga dari masing-masing barang dalam sekeranjang barang, karena tentunya

akan dibatasi oleh perdebatan yang ada.

Untuk Indonesia, dalam suatu keranjang secara eksplisit dimasukkan pakaian,

tempat tinggal, dan transportasi (Maksum, 2004). Untuk kelompok pakaian,

diformulasikan dengan bentuk persediaan pakaian dasar dengan membagi rata setiap

pakaian yang biasanya lebih dari satu tahun. Sementara itu, pada kasus tempat tinggal,

kelompok barang tersebut terdiri atas sewa akomodasi –termasuk listrik, dan air— serta

fasilitas-fasilitas seperti lemari es, mesin cuci, dan pengering. Satuan sewa biasanya dirata-

ratakan untuk dua hingga tiga kamar tidur. Sewa yang disubsidi dimasukkan dalam

penghitungan, namun mereka yang tidak membayar sewa tidak dimasukkan dalam

penghitungan. Terakhir, kelompok transportasi yang barang-barangnya digunakan untuk

bekerja, kesekolah, belanja atau aktivitas lainnya. Pada wilayah yang dilayani oleh jasa

angkutan umum, kelompok barang ini memasukkan biaya angkut/tarif, jika tidak,

memasukkan biaya membeli mobil bekas untuk lima tahun sekali ditambah pengeluaran

mengoperasikan kendaraan.

2.1.2.2. Garis Kemiskinan Relatif

Penggunaan garis kemiskinan relatif didasarkan pada pemikiran bahwa kemiskinan

yang diperkirakan telah dihadapkan dengan standar hidup masyarakat. Dari perspektif ini,

kemiskinan merepresentasikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan di

suatu masyarakat karena kekurangan sumberdaya.

Jika garis kemiskinan absolut banyak digunakan di negara berkembang, maka garis

kemiskinan relatif ini lebih relevan untuk digunakan di beberapa negara-negara maju

misalnya Uni Eropa (Ravalion, 1994). Ada dua alasan penting mengapa kemiskinan

absolut menjadi kurang relevan di negara maju. Pertama, tantangan utama Uni Eropa

adalah untuk memastikan bahwa keseluruhan populasi mendapat bagian manfaat dari

Page 29: Skripsi M Sowwam_0603000486

17

tingginya rata-rata kemakmuran. Tujuan untuk mengurangi kemiskinan relatif lebih banyak

diminta dari pada kemiskinan absolut, karena pertumbuhan ekonomi tidak akan berguna

jika ia tidak diikuti oleh perbaikan dalam distibusi pendapatan. Kedua, apa yang dipandang

sebagai standar kehidupan minimal yang dapat diterima sangat bergantung pada tingkatan

pembangunan sosial dan ekonomi secara umum, yang cenderung bervariasi di setiap

anggota Uni Eropa.

Contoh ukuran relatif dalam satuan moneter dapat dilihat pada peragaan berikut ini.

Misalnya seseorang diberi kesempatan sekali untuk memilih salah satu dari dua kondisi.

Kondisi A memiliki pendapatan absolut yang lebih besar untuk individu. Sedangkan

kondisi B memiliki pendapatan relatif lebih besar dibandingkan yang lain. Pilihan ekonomi

rasional mungkin akan jatuh pada kondisi A, namun penelitian mengenai perilaku manusia

menyatakan bahwa banyak orang yang akan memilih kondisi B.

Ukuran relatif murni mungkin akan menghasilkan sesuatu yang sifatnya

paradoksal. Bahkan jika, pertama dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan

ketidakmerataan yang konstan, kemiskinan absolut mungkin akan menurun secara drastis

karena standar hidup setiap orang meningkat, namun ukuran relatif akan menunjukkan

tidak ada perubahan atau bahkan lebih buruk jika pertumbuhan tidak didistribusikan secara

merata. kedua, pengertian relatif membuat upaya untuk menghilangkan atau bahkan

mereduksi kemiskinan menjadi sangat sulit. Namun bukan berarti bahwa menggunakan

garis kemiskinan relatif mengimplikasikan bahwa kemiskinan ‘selalu ada bersama kita’

(Foster, 1998).

2.1.2.3. Garis Kemiskinan Subjektif

Ciri utama dari pendekatan ini adalah ambang batas antara yang miskin dan tidak

miskin ditentukan atas dasar persepsi orang mengenai standar kehidupan yang baik

menurut dirinya sendiri. Dalam pengukuran kemiskinan, pendekatan subjektif dapat

Page 30: Skripsi M Sowwam_0603000486

18

digunakan dalam konteks moneter (misal untuk menentukan nilai dari garis kemiskinan)

atau non-moneter.

Terdapat berbagai metode yang telah dibuat untuk menganalisa serta mendapatkan

informasi mengenai persepsi masyarakat. Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai

salah satu metode tersebut.

1. Pertanyaan pendapatan minimum

Metode ini dipelopori oleh Goedhart dan kemudian telah banyak diaplikasikan

dalam konteks yang berbeda (Garner, 2003). Metode ini didasarkan pada pertanyaan

pendapatan minimum, seperti ‘apakah anda menganggap, pada kondisi keuangan sekarang

ini, anda berada pada pendapatan minimum?’. Jawaban dari pertanyaan ini

merepresentasikan nilai dari garis kemiskinan untuk responden.

Nilai dari pendapatan minimum tersebut tergantung dari besaran pendapatannya di

antara faktor-faktor lainnya. Misalnya kondisi rumah tangga seperti kehadiran anggota

baru yang menjadi pencari nafkah baru, suami atau istri. Secara rata-rata, responden pada

suatu kondisi ekonomi yang baik akan cenderung berpikir bahwa pendapatan minimum

akan berada di bawah pendapatannya sekarang.

2. Pertanyaan kecukupan konsumsi.

Terdapat beberapa kekurangan dari metode sebelumnya, diantaranya adalah bahwa

setiap rumah tangga mungkin memiliki konsep yang berbeda mengenai pendapatan.

Beberapa rumah tangga mungkin melihat pendapatan mereka dari sisi moneter saja,

sementara yang lainnya memasukkan sumber pendapatan yang lain. Selanjutnya adalah

kemungkinan perbedaan interpretasi mengenai pendapatan minimum (Pradhan and

Ravalion, 2000).

Untuk menghindari keterbatasan tersebut, Pradhan dan Ravalion (2000)

mengusulkan untuk menggunakan hanya pertanyaan-pertanyaan kualitatif. Rumah tangga

Page 31: Skripsi M Sowwam_0603000486

19

akan ditanya apakah standar hidup dari keluarganya adalah ‘ kurang dari cukup’, ‘cukup’,

atau ‘lebih dari cukup’ untuk kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Pertanyaan yang serupa

juga ditanyakan untuk kategori konsumsi khusus lainnya seperti makanan, pakaian,

perumahan, pelayanan kesehatan dan sekolah. Garis kemiskinan subjektif didefinisikan

sebagai ‘the level of total spending above which respondent say (on average) that their

expenditures are adequate for their needs’ (Pradhan and Ravallion, 2000).

Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyan tersebut dapat memperkirakan garis

kemiskinan yang berbeda. Satu didasarkan dari respon atas pertanyaan yang berhubungan

dengan konsumsi makanan. Hal ini konsisten dengan ide garis kemiskinan makanan.

Tingkat pengeluaran minimum pada satu kategori tertentu yang memiliki kekurangan

infomasi langsung dapat diestimasi oleh kurva Engel (Pradhan and Ravallion, 2000).

Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa individu dapat memperkirakan secara kualitatif

tingkat kepuasan yang disediakan oleh tingkat konsumsi yang berbeda, dan perkiraan yang

dibuat oleh individu yang berbeda dapat dibandingkan satu sama lain.

2.1.3. Aggregasi kemiskinan

Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa dalam proses pengukuran

kemiskinan terdapat dua langkah yang salah satunya adalah agregasi kemiskinan. Ada

banyak indeks yang tersedia dan dapat digunakan untuk mengagregasi informasi dari

pendekatan garis kemiskinan, namun hanya beberapa yang secara umum digunakan yaitu,

indeks jumlah orang miskin (headcount index), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty

gap index), dan indeks keparahan kemiskinan (severity of poverty index). Semuanya itu

dikenal dengan penghitungan FGT (Foster, Greer, and Thorbecke, 1984).

Bagian ini akan, terlebih dahulu, menjelaskan persyaratan teoretis untuk

pengukuran kemiskinan yang ‘baik’ dan beberapa indeks yang sering digunakan.

A. Aksioma-aksioma untuk indeks kemiskinan

Page 32: Skripsi M Sowwam_0603000486

20

Analisis aksioma dari indeks kemiskinan diperkenalkan dan kemudian diperbaiki

lagi oleh Amartya Sen (Sen, 1976). Analisis ini menyatakan bahwa perhitungan

kemiskinan yang ‘baik’ harus memiliki beberapa karakteristik seperti di bawah ini:

a) Aksioma fokus (focal axiom): ukuran kemiskinan harus mengabaikan informasi

yang berhubungan dengan pendapatan individu yang tidak miskin.

b) Aksioma kesamaan (Monotonicity axiom): sebuah ukuran kemiskinan akan

meningkat ketika pendapatan dari individu miskin menurun. Hal ini berarti bahwa

seharusnya ada korelasi antara indeks dengan jarak orang miskin ke garis

kemiskinan.

c) Aksioma transfer (Transfer axiom): transfer pendapatan kepada mereka yang

’kurang miskin’ akan menaikkan indeks kemiskinan. Aksioma ini berarti bahwa

ukuran kemiskinan seharusnya merefleksikan bagaimana pendapatan

didistribusikan diantara orang miskin.

d) Kesamaan bagian (subgroup monotonicity): jika sebuah ukuran kemiskinan dari

bagian populasi meningkat, ceteris paribus, ukuran kemiskinan untuk keseluruhan

populasi akan meningkat.

B. Indeks-indeks kemiskinan.

1) Headcount index

Headcount index (H) mengukur proporsi orang miskin pada suatu populasi. Ditulis

dengan

)1(LLLLLnqH =

Di mana n adalah besaran populasi dan q adalah jumlah individu dengan

pendapatan di bawah garis kemiskinan.

Ukuran ini adalah indeks kemiskinan yang paling dikenal, dan sangat mudah

diinterpretasikan. Indeks ini memenuhi aksioma fokus namun menyediakan pandangan

Page 33: Skripsi M Sowwam_0603000486

21

mengenai kemiskinan yang sangat terbatas karena tidak ada informasi ‘seberapa miskin

orang miskin itu’ (aksioma kesamaan) dan tidak memperhatikan aspek distribusi (aksioma

transfer).

2) Kesenjangan kemiskinan (Poverty Gap/PG)

Kesenjangan kemiskinan mengukur defisit pendapatan relatif dari orang miskin

dengan melihat pada nilai dari garis kemiskinan, dibobotkan oleh jumlah orang miskin.

Dapat ditulis dengan:

)2(. LLLLLIHPG =

Di mana I adalah ‘rasio kesenjangan pendapatan’, didefinisikan sebagai

)3(LLLLz

yzI −=

Di mana z merepresentasikan garis kemiskinan dan adalah rata-rata pendapatan

orang miskin.

Rasio kesenjangan pendapatan ini mengindikasikasn jarak rata-rata antara

pendapatan mereka yang miskin dengan garis kemiskinan. Rasio ini bukan ukuran

kemiskinan yang baik jika, misalnya, orang terkaya dari orang miskin menaikan

pendapatannya di atas garis kemiskinan, indikator ini akan menunjukkan kenaikan dalam

kemiskinan karena rata-rata yang baru dari pendapatan orang miskin akan lebih rendah,

meskipun jumlah orang miskin menurun. Penyakit ini dapat dipecahkan ketika rasio

kesenjangan pendapatan tersebut dikalikan dengan headcount index (H).

Indeks PG juga dapat ditulis sebagai berikut:

∑=

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −

=q

i

i

zyz

nPG

1

1………….(4)

Indeks kesenjangan kemiskinan ini memenuhi aksioma fokus dan kesamaan,

namun ia tidak memenuhi aksioma transfer.

3) Indeks keparahan kemiskinan.

Page 34: Skripsi M Sowwam_0603000486

22

Foster, Greer dan Thorbecke (1984) mengemukakan parameter pengukuran

kemiskinan:

∑=

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −

=q

i

i

zyz

nP

1

1 α

α …………….(5)

Di mana α ≥ 0 dapat diinterpretasikan sebagai parameter ‘penghindaran

kesenjangan’, yang memberikan bermacam pembobotan pada perbedaan antara pendapatan

disetiap individu yang miskin dan garis kemiskinan.

Ketika α = 0, ukuran ini sama dengan headcount index; ketika α = 1, sama dengan

indeks kesenjangan kemiskinan. Jika α naik diluar nilai 2, pembobotan lebih secara

progresif diberikan kepada pendapatan yang jauh dari garis kemiskinan. Pada

kenyataannya, jika α → ∞, ukuran kemiskinan akan bergantung secara keseluruhan pada

jarak pendapatan orang termiskin dari garis kemiskinan.

Sebuah ukuran tentang keparahan kemiskinan yang telah digunakan secara luas

adalah αP dengan α = 2 (FGT2). Indeks ini memenuhi aksioma transfer, fokus dan

kesamaan. Indeks dapat ditulis sebagai berikut:

∑=

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −

=q

i

i

zyz

nFGT

1

2

21

……………..(6)

Indeks ini sangat berguna untuk analisa kemiskinan, namun tidak semudah

mengartikan/menginterpretasikan ukuran headcount index, dan kesenjangan kemiskinan.

4) Indeks Sen.

Sebelum indeks Foster, Greer dan Thorbecke (FGT) dikenal, Amartya Sen

mengemukanan pengukuran kemiskinan yang lain yang memenuhi aksioma transfer.

[ ]PGIIHS )1( −+= ……………..(7)

Page 35: Skripsi M Sowwam_0603000486

23

Di mana Gp adalah keofisien gini untuk distribusi pendapatan orang miskin. Harus

diketahui bahwa ketika pendapatan dari orang miskin adalah sama, Gp = 0, dengan begitu

ukuran Sen menjadi S = H.I.

Ukuran ini memiliki dua kerugian dibandingkan dengan indeks FGT. Pertama,

penjumlahan kontribusi dari setiap bagian populasi pada kemiskinan total mungkin tidak

sampai 100 persen. Kedua, kemiskinan total mungkin akan turun bahkan ketika

kemiskinan di setiap bagian populasi meningkat.

2.1.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Setelah memahami apa itu kemiskinan, ukuran-ukurannya. Pada bagian ini, penulis

akan memaparkan apa saja yang menyebabkan kemiskinan itu ‘selalu ada’. Dengan

menggunakan pendekatan ekonomi kemiskinan, Blank (2003) mengidentifikasi enam

perspektif untuk memahami penyebab-penyebab dari kemiskinan. Blank memasukkan isu-

isu dari ekonomi yang belum berkembang, modal manusia, kontradiksi atas kapitalisme,

dan penyebab-penyebab struktural.

Perspektif pertama adalah ekonomi yang belum berkembang dan ketidakefektifan

fungsi pasar. Dengan mengambil contoh kemiskinan di dunia ketiga, ia berpendapat bahwa

kemiskinan akan dapat dikurangi dengan perluasan pasar ke daerah-daerah miskin.

Misalnya adalah dengan meningkatkan agar akses masyarakat kepada mekanisme pasar.

Soto (2002), dengan tesisnya yang sangat berpengaruh, menjawab mengapa faktor modal

berhasil di barat namun gagal di daerah yang lain. Ia berpendapat bahwa kegagalan di

daerah lain itu karena kurangnya faktor modal yang formal atau legal. Dengan memiliki

sertifikat atau dokumen tertentu atas modal yang dimiliki, individu tersebut dapat

menggunakannya sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman sebagai upaya

meningkatkan usahanya.

Page 36: Skripsi M Sowwam_0603000486

24

Selain itu, Kwon (2001) menyatakan bahwa penduduk miskin itu pada umumnya

berlokasi di perdesaan yang lokasinya terisolasi dari daerah sekitarnya. Hal ini berakibat

pada kurangnya berbagai opportunity baik itu dalam hal kesempatan kerja atau dalam hal

bagaimana mereka menjual hasil produksinya. Karena kurangnya akses ke pasar maka cara

untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan membuka daerah yang terisolasi tersebut

dengan pembangunan jalan.

Perspektif kedua, kekurangan pembangunan modal manusia di mana individu tidak

siap atau tidak mampu untuk ikut serta di dalam angkatan kerja. Seperti yang diungkapkan

dalam endogenous growth theory, bahwa pertumbuhan ekonomi banyak ditentukan oleh

stok human capital bukan oleh jumlah penduduk. Ketika individu dengan modal manusia

yang tinggi ini menjadi salah satu faktor produksi (tenaga kerja), maka akan menimbulkan

situasi increasing return to scale karena bisa berdampingan dengan kemajuan teknologi.

Dengan demikian, pendapatan secara umum juga akan meningkat.

Perspektif ketiga, bahwa pasar tidak berfungsi sehingga menciptakan kemiskinan.

Dalam pandangan Marxist, masyarakat kapitalis membuat biaya buruh lebih rendah

dengan ancaman pengangguran. Proses eksploitasi dalam sistem kapitalis ini diiringi pula

dengan proses korupsi dan ketidakadilan dalam setiap struktur pemerintahan yang

mengabdi kepada kepentingan pemilik modal (Baran, 1970). Struktur yang super-

ekspolitatif ini menyebabkan konsumsi mereka relatif terbatas dan tidak dapat

menimbulkan permintaan efektif yang berarti (Dos Santos, 1976). Dengan begitu,

kemiskinan akan dapat dikurangi dengan membuat regulasi di pasar tenaga kerja.

Perspektif keempat menerangkan adanya kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang

terjadi di luar sistem pasar. Baran (1970) berpendapat mengenai keterbelakangan negara-

negara miskin dikarenakan faktor modal bergerak dari negara maju ke negara miskin.

Pergerakan ini hanya bertujuan untuk menyedot keuntungan dari negara miskin tersebut.

Page 37: Skripsi M Sowwam_0603000486

25

Pergerakan modal ini mampu menggeser kebiasaan yang ada pada masyarakat di negara-

negara miskin. Kontrak transaksi berdasarkan faktor pasar menggeser hubungan

paternalistik. Namun permasalahannya adalah pergeseran ini meningkatkan proses

eksploitasi. Ketika kelas-kelas sosial (khususnya kelas menengah) tidak mampu melakukan

perlawanan terhadap proses eksploitasi, maka kelas sosial tersebut akhirnya melakukan

kerjasama dengan golongan feodal (pemilik modal dan penguasa lokal). Golongan elit

penguasa ini merupakan golongan ’compradore’ yang bertanggung jawab untuk

melindungi kepentingan pemilik modal.

Selanjutnya, perspektif kelima, kemiskinan dikaitkan dengan perilaku individu,

karakteristik, dan pilihan-pilihannya, seperti pernikahan, ukuran keluarga, dan kekerasan.

Nilai dari kerja dan pendidikan yang mendasari perspektif ini menyatakan bahwa masalah

kemiskinan itu berada pada kontrol orang miskin, yaitu pada diri mereka sendiri. Dengan

demikian, kebijakan atau program yang dibutuhkan adalah program yang dapat

mempengaruhi pilihan-pilihan mereka dengan berbagai insentif atau larangan. Perspektif

keenam menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh upaya untuk mengurangi

kemiskinan itu sendiri, merujuk pada apa yang dinamakan dengan ketergantungan pada

program-program kesejahteraan yang ada (welfare dependency) atau poverty traps.

Blank mengelompokkan perspektif-perspektif tersebut ke dalam beberapa

pemikiran ekonomi yang utama. Dua perspektif pertama (ekonomi tidak berkembang dan

kekurangan modal manusia) adalah pendekatan umum yang digunakan dalam ekonomi

liberal. Kemudian dua berikutnya adalah teori Marxist, kapitalisme menyebabkan

kemiskinan atau ekonomi politik, kekuatan sosial dan politik penyebab kemiskinan.

Kemudian, kedua terakhir adalah pandangan dari ekonomi klasik, perilaku individu, dan

kebergantungan penyebab kemiskinan. Ahli ekonomi klasik beranggapan bahwa intervensi

Page 38: Skripsi M Sowwam_0603000486

26

pemerintah untuk mengurangi kemiskinan hanya akan menghasilkan perilaku buruk dari

orang miskin, sehingga harus dihentikan.

Gambar 2-1

Peta Konsep dari Teori-Teori Penyebab Kemiskinan

Sumber: Blank, 2003.

Mengambil perspektif yang lebih luas mengenai dampak lingkungan sosial pada

perilaku manusia, Moreira (2003) melihat globalisasi (penyebaran kapitalisme) sebagai

penyebab utama dari kekayaan dan sekaligus kemiskinan. Ia menjelaskan bahwa

globalisasi bekerja memilih-milih, memasukkan atau mengeluarkan bagian dari

perekonomian dan masyarakat dari jaringan informasi, sehingga menimbulkan kantong-

kantong orang kaya dan orang miskin. Moreira menyalahkan globalisasi karena

menyebarkan kerakusan budaya barat atas barang-barang material, yang mana bertanggung

jawab atas timbulnya salah satu jenis kemiskinan yang dinamakan “konsumerisme

kemiskinan”.

6. mikro: Orang miskin

membuat pilihan-pilihan

5. makro: Program-program

kesejahteraan sosial menyebabkan kemiskinan

4. makro: kekuatan sosial dan politik

penyebab kemiskinan

3. makro: kapitalisme menyebabkan kemiskinan

2. mikro: orang miskin kurang

terampil dan tidak mampu

1. makro: ekonomi tidak berkembang

atau inefisien

Teori Kemiskinan

Ekonomi liberal dan neoliberal Ekonomi

klasik

Ekonomi politik

Page 39: Skripsi M Sowwam_0603000486

27

Mengingat bahwa definisi tradisional dari kemiskinan adalah “pendapatan yang

rendah atau tidak berpendapatan” sebagai satu-satunya kriteria, Sen berpendapat bahwa

kemiskinan bukan hanya sekadar pendapatan yang rendah, kemiskinan merupakan

kekurangan dalam kekuatan politik dan juga karena aspek psikologi. Lebih khusus lagi,

Sen berpendapat bahwa masyarakat modern mengurangi kekuatan dan kontrol warga

masyarakat tertentu, yang kemudian membuat kemiskinan menghinggapi warga tersebut.

Dalam upaya mengurangi kemiskinan, Sen percaya bahwa masyarakat harus menyediakan

tiga hal pada semua warganya, yaitu: 1) kebebasan ekonomi, sosial, dan politik, 2)

keamanan dan perlindungan, dan 3) aktivitas pemerintah yang transparan (Sen, 1999).

Laporan pembangunan Bank Dunia tahun 2000/2001 mengembangkan teori Sen

tersebut untuk membangun tiga pilar teori kemiskinan dikaitkan dengan ketiadaan

keamanan, pemberdayaan, dan kesempatan (World Bank, 2001). Konsep keamanan yang

didefinisikan Bank Dunia memasukkan faktor-faktor seperti air bersih, kecukupan

makanan dan rumah, dan pengurangan kerentanan atas bencana alam. Kemudian, konsep

pemberdayaan, senada dengan definisi Sen, memberikan alat untuk masyarakat miskin

agar mendapat lebih banyak suara (dalam pengambilan keputusan) dalam masyarakatnya.

Berikutnya, konsep ketiga dari Bank Dunia adalah kesempatan. Kemiskinan itu

ada, pada beberapa bagian, karena orang miskin dikurangi kesempatannya untuk

berpartisipasi secara independen dalam ekonomi global. Kesempatan itu berbentuk mulai

dari pencapaian pendidikan hingga kekurangan upah untuk biaya hidup, dan tingkat-masuk

tenaga kerja.

Berdasarkan pada konsep Blank di atas timbul sebuah pertanyaan lebih lanjut.

Pertanyaan yang berkaitan dengan apakah kemiskinan itu lebih disebabkan oleh perilaku

penduduk miskin tersebut atau karena lingkungan sosialnya. Terdapat dua pandangan atas

Page 40: Skripsi M Sowwam_0603000486

28

debat ini. Pertama mereka yang melihat dari sisi perilaku manusia, dan kedua yang

berfokus pada sisi sosiologi.

Pada pendahuluan di poverty and psychology: from global perspective to local

practice, Carr dan Sloan memberikan catatan bahwa ahli psikologi mengidentifikasi

penyebab kemiskinan yang pada umumnya berasal dari sisi individu. Sehingga interfensi

yang dikembangkan sebaiknya yang berfokus pada merubah perilaku manusia daripada

lingkungan sosialnya. Namun kesimpulan yang berbeda digambarkan oleh Rank dalam one

nation, underprivileged (2005) yang berpendapat bahwa akar dari penyebab kemiskinan

bukanlah berasal dari kegagalan individual melainkan kegagalan struktural yang ada di

masyarakat. Penelitiannya ini dilakukan di Amerika. Ia berpendapat bahwa ada asumsi

implisit di dalam etika orang Amerika yang individualis, yaitu, bahwa yang kaya adalah

pekerja keras dan berhak atas usahanya itu sementara yang miskin akan jatuh miskin

karena ketidakcakapan diri mereka sendiri.

Rank berpendapat sebaliknya, ia menyuguhkan bukti-bukti bahwa kemiskinan

disebabkan oleh ketidakcukupan struktur ekonomi dan politik untuk menyediakan

kesempatan yang cukup untuk semua kelompok. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan

oleh Hutchinson (2003) berkenaan dengan kemiskinan. Menurutnya kemiskinan itu

dikarekterisasikan dalam bentuk kesenjangan sosial yang meliputi sistem sosial yang

berbeda.

Dari dua pendapat ini dapat diambil kesimpulan, dikaitkan dengan pengambilan

kebijakan untuk mereduksi kemiskinan, bahwa perilaku manusia berkontribusi untuk

menimbulkan dan mengakhiri kemiskinan. Hal ini memberikan beberapa dukungan teoretis

pada program-program kerja sosial. Namun, upaya dari sisi individu ini akan gagal tanpa

restrukturisasi lingkungan sosial secara menyeluruh.

Page 41: Skripsi M Sowwam_0603000486

29

2.1.5. Kebijakan Kemiskinan

Kejelasan identifikasi (ukuran) kemiskinan, yang telah dijelaskan di atas,

merupakan modal mendasar dalam pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan

(Rao,1995). Kemudian perlunya pemahaman atas alasan-alasan dan penyebab timbulnya

kemiskinan, kejelasan atas suatu desain kebijakan, dan mengimplementasikan serta

mengawasi kebijakan tersebut adalah tiga faktor penting lainnya. Namun, sebelum

membahas kebijakan yang ada berkaitan dengan kemiskinan, terlebih dahulu akan dibahas

mengenai struktur kemiskinan yang ada.

Hingga saat ini, di negara-negara berkembang, kemiskinan lebih merupakan

fenomena perdesaan. Bagian terbesar dari mereka yang miskin berada pada sektor

pertanian. Penduduk yang mendekati atau tidak memiliki lahan adalah golongan termiskin

dari orang miskin perdesaan. Sementara itu, untuk di perkotaan, mayoritas penduduk

miskin adalah para pekerja tidak terampil yang berada di sektor jasa.

Untuk Indonesia sendiri, terdapat paling tidak tiga karakteristik yang menonjol dari

kemiskinan. Pertama, banyaknya rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan

nasional dari segi pendapatan. Hal ini membuat banyak rumah tangga tidak miskin retan

terhadap kemiskinan (high vulnerability). Kedua, perhitungan angka kemiskinan dari segi

pendapatan tidak dapat mencerminkan kemiskinan di Indonesia secara sepenuhnya, banyak

penduduk Indonesia yang ’tidak miskin dari segi pendapatan’ dapat tergolong miskin

berdasarkan kurangnya akses mereka terhadap layanan publik dan buruknya indikator-

indikator pembangunan manusia mereka. Ketiga, dengan kondisi geografis Indonesia yang

sangat luas dan alam yang sangat berbeda, profil kemiskinan antara satu daerah dengan

daerah lainnya sangat berbeda, dan ini menjadi satu karakteristik dari kemiskinan di

Indonesia.

Page 42: Skripsi M Sowwam_0603000486

30

Kemiskinan, selama ini, ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dari total pendapatan,

dan perubahan dari bagian orang miskin pada pendapatan tersebut. Jika bagian orang

miskin atas pendapatan turun lebih cepat dibandingkan kenaikan pendapatan secara umum,

maka orang miskin menerima dampak negatif dari pertumbuhan, sebaliknya, mereka akan

memperoleh keuntungan dari pertumbuhan (Adelman, 1986). Dengan demikian,

permasalahannya adalah bagaimana merubah bagian pendapatan atas orang miskin dengan

pembangunan ekonomi.

Menurut Irma Adelman (1961) terdapat beberapa tahapan dalam pembangunan

ekonomi. Tahap pertama adalah ekonomi agraria yang sedang memulai tahapan

industrialisasi. Pada tahapan ini ditandai dengan tingginya ketidakmerataan distribusi

pendapatan. Tahapan selanjutnya ditandai dengan semakin banyaknya penduduk yang

berada pada sektor modern, kemudian meningkatnya gap antara sektor berpendapatan

rendah dengan sektor berpendapatan tinggi, selain itu gap pada masing-masing sektor juga

meningkat. Perpindahan dari sektor berpendapatan rendah ke berpendapatan tinggi

sebenarnya akan mereduksi kesenjangan pendapatan, namun efek tersebut dinegasikan

dengan meluasnya kesenjangan pendapatan diantara sektor dan di dalam masing-masing

sektor. Dengan demikian, secara keseluruhan ketidakmerataan akan meningkat pula.

Seberapa besar biaya yang ditanggung oleh orang miskin selama pembangunan

ekonomi itu terjadi sangat tergantung pada distribusi asset, institusi untuk akumulasi asset,

serta institusi-institusi untuk akses ke pasar.

Asset yang memiliki dampak (paling) signifikan dalam distribusi pendapatan dan

kemiskinan adalah tanah dan pendidikan (Adelman, 1986). Dampak dari perubahan

ekonomi terhadap kemiskinan akan sangat bergantung pada besaran distribusi kepemilikan

tanah. Tingkat kemiskinan akan tinggi ketika tanah dibagi dalam banyak sekali penduduk

yang memiliki luas lahan yang kecil. Lalu terjadi konsentrasi kepemilikan lahan luas dan

Page 43: Skripsi M Sowwam_0603000486

31

dihadapkan dengan pekerja yang tentunya tidak memiliki lahan atau masyarakat yang

masih berpola subsisten. Peningkatan produktivitas lahan ketika petani subsisten dan tidak

memiliki lahan tidak dapat memanfaatkan hal tersebut karena terbatasnya akses atas kredit

atau faktor produksi akan cenderung menimbulkan marginalisasi atas mereka. Hasil yang

berbeda terjadi jika peningkatan produktivitas tersebut meningkatkan permintaan atas

tenaga kerja yang mampu menutupi tingginya biaya sewa lahan, dan menurunnya

pendapatan bersih dari penurunan harga. Selanjutnya, berkaitan dengan pendidikan,

meningkatnya pendidikan akan memperluas kepemilikan atas modal manusia dan akan

menurunkan ketidakmerataan dalam pendapatan.

Kelembagaan dalam pasar input dan komoditas sangat berpengaruh atas tingkat

kemiskinan. Pembangunan akan mempengaruhi secara simultan atas penyerapan tenaga

kerja dan input produksi, perpindahan tenaga kerja dan input produksi lainnya serta

realokasi tenaga kerja serta input lainnya. Seberapa besar penyerapan, perpindahan dan

realokasi itu memberikan keuntungan kepada orang miskin sangat bergantung dari struktur

atas pasar input dan komoditas. Sebagai contoh, kekakuan, kurangnya keterampilan yang

relevan, atau ketiadaan modal dan informasi dalam jangka pendek, menengah atau panjang

akan mencegah mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan.

Secara sederhana, berdasar penjelasan di atas, kemiskinan adalah salah satu kondisi

dari terlampau kecilnya kuantitas asset yang dimiliki, terlalu rendahnya volume penjualan,

dan atau terlalu rendahnya harga pasar atas komoditas yang diproduksi oleh seseorang.

Oleh karena itu, ada beberapa strategi pembangunan yang dapat diambil. Strategi

pembangunan (menggabungkan antara target kebijakan dengan instrument kebijakan)

adalah titik tolak dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Target dari kebijakan tersebut

misalnya adalah menaikkan kuantitas asset yang dimiliki oleh orang miskin, menaikkan

penjualan, atau menaikkan harga dari barang/jasa yang mereka jual.

Page 44: Skripsi M Sowwam_0603000486

32

1. Pendekatan yang Berorientasi pada Asset (Asset-orriented approaches)

Penyebab nomor satu timpangnya distribusi pendapatan di hampir semua negara

berkembang adalah sangat tidak meratanya kepemilikan asset. (Todaro, 2000); lebih jauh,

kepemilikan itu bukan hanya tidak merata namun didominasi oleh sekelompok kecil

masyarakat saja. Oleh karena itu, strategi kebijakan yang dapat digunakan untuk

memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan adalah pengurangan pada

kepemilikan terpusat tersebut.

Redistribusi asset (semacam land reform) atau menciptakan suatu lembaga yang

memberikan orang miskin lebih mudah dalam mengakses kesempatan untuk akumulasi

asset mereka lebih jauh (kemudahan untuk mengakses pendidikan) merupakan cara yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan asset yang dimiliki oleh orang miskin. Kedua hal ini

dilakukan sebelum adanya implementasi kebijakan berupa peningkatan produktivitas serta

industrialisasi. Meminjam istilah Irma Adelman (1978) ‘redistribution before growth’, ada

beberapa alasan mengapa hal ini diperlukan, diantaranya, adalah distribusi yang lebih baik

atas asset yang akan ditingkatkan produktivitasnya tentunya akan menurunkan efek

samping berupa “back-wash effect” dari ketidakmerataan distribusi aset terhadap

ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Dengan demikian, kebijakan pembangunan yang ada untuk mengurangi

kesenjangan dan kemiskinan haruslah memperbaiki struktur sosial yang ada terlebih

dahulu (Myrdal, 1973). Sebagai contohnya, adanya kesenjangan sosial mengakibatkan

mobilitas sosial rendah. Terdapat situasi free competition yang kejam dan mematikan

golongan penduduk yang lemah.

Chenery (1974) dengan pendekatannya yang dikenal dengan ‘redistribution with

growth’ merekomendasikan sesuatu yang sederhana yaitu memberikan bagian yang lebih

besar dari ‘kue’ pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi kepada akumulasi asset orang

Page 45: Skripsi M Sowwam_0603000486

33

miskin. Misalnya jika pertumbuhan ekonomi sebesar 6%/tahun, sepertiga dari

pertumbuhan tersebut (2% dari GNP) harus dicurahkan kepada investasi dalam berbagai

asset yang dimiliki oleh orang miskin atau dalam berbagai asset yang sifatnya komplemen

terhadap asset yang dimiliki oleh orang miskin (Todaro, 2000). Sebagai contohnya adalah

investasi pada program-program gizi, kesehatan, atau pendidikan yang ditujukan untuk

orang miskin; investasi pada irigasi untuk tanah yang dimiliki oleh orang miskin. Dreeze

(1990) menunjukkan bahwa akses kepada layanan publik yang lebih baik (pendidikan, dan

kesehatan) dengan fokus strategi pada penduduk miskin, akan meningkatkan kualitas hidup

penduduk miskin.

2. Kebijakan menciptakan permintaan (Demand-generating strategies)

Institusi untuk mengakses pasar faktor oleh orang miskin, dan strategi

pembangunan yang dipilih berpengaruh pada seberapa besar asset yang dimiliki oleh orang

miskin itu dapat dimonetisasi (Soto, 2002). Karena salah satu asset yang dimiliki oleh

orang miskin adalah pekerja tidak terampil, maka strategi yang paling dapat

menguntungkan orang miskin adalah yang meningkatkan permintaan atas tenaga kerja

tersebut serta membuat suatu institusi yang dapat mempermudah mobilitas tenaga kerja

serta, tentunya, akses terhadap pekerjaan.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah agricultural-development-led-

industrialization (Arief, 1998). Terdapat beberapa persyaratan yang harus ada dalam

realokasi tenaga kerja miskin kepada produktivitas yang lebih tinggi. Persyaratan itu

adalah pendidikan, upaya penghapusan atas hambatan dalam bermigrasi, serta

pertumbuhan yang lebih merata. Dengan demikian, strategi pengurangan kemiskinan yang

efektif adalah meningkatkan pertumbuhan dari produktivitas-tinggi, sektor yang padat

karya, serta jaminan atas akses orang miskin pada pekerjaan.

Page 46: Skripsi M Sowwam_0603000486

34

Diketahui bersama bahwa sektor yang paling padat karya dalam suatu

perekonomian adalah pertanian, sektor pengolahan ringan, dan beberapa sektor jasa

khususnya konstruksi. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya adalah

meningkatkan permintaan atas output (untuk sektor pengolahan), dan meningkatkan

produktivitas tenaga kerja (sektor pertanian).

3. Kebijakan menaikkan harga (Price-increasing policies)

Kebijakan ini dapat dilakukan baik dalam pasar faktor, barang dan meningkatkan

produktivitas asset yang dimiliki oleh orang miskin. Kebijakan menaikkan harga lewat

pasar faktor akan berdampak pada menaiknya pendapatan. Kemudian kebijakan kenaikan

harga lewat pasar barang (misalnya output pertanian) akan menaikkan harga barang yang

diproduksi oleh pekerja miskin. Hal ini cenderung akan menguntungkan orang miskin

(karena mayoritas berada di desa), walaupun akan menurunkan pendapatan riil kaum

miskin di kota yang secara umum lebih kaya dibandingkan orang miskin di desa. Orang

miskin yang tidak memiliki lahan juga akan cenderung diuntungkan oleh kenaikan

permintaan atas tenaga kerja mereka, walaupun golongan ini adalah net-consumer.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan, terutama pada harga output pertanian

adalah akses petani pada bidang pemasaran. Hal ini menjadi prakondisi atas kebijakan ini.

Karena walaupun harga output pertanian tersebut tinggi, tetapi jika sisi pemasaran

dimonopoli oleh kelompok lain, katakan tengkulak, maka surplus ekonomi itu akan

diambil sepenuhnya oleh para tengkulak. Dengan demikian, kebijakan menaikkan harga ini

akan membuat petani semakin marjinal.

4. Kebijakan menaikkan produktivitas (Productivity-increasing policies).

Kebijakan ini merupakan cara lain untuk menaikkan harga dari asset (umumnya

tenaga kerja) yang dimiliki orang miskin. Biasanya dilakukan dengan meningkatkan

kualitas dari asset tersebut, kemudian meningkatkan asset lain yang komplemen dengan

Page 47: Skripsi M Sowwam_0603000486

35

asset orang miskin. Peningkatan kualitas asset dapat dilakukan dengan investasi pada

modal manusia –seperti nutrisi, pendidikan, dan kesehatan walaupun ada yang bersifat

tidak langsung –akan meningkatkan kapabilitas asset (tenaga kerja).

Untuk asset lain yang komplementatif investasi yang dapat dilakukan diantaranya

adalah menambah jumlah tanah dalam arti kuantitas dan kualitasnya. Penyebab utama

kemiskinan di pedesaan adalah kecilnya jumlah tanah yang dimiliki untuk ditanami,

kemudian rendahnya permintaan atas tenaga kerja oleh petani besar. Contoh investasinya

dapat berupa fasilitas irigasi dan drainase, yang dapat memungkinkan terjadinya

peningkatan panen/hektar. Hal ini tentunya mempunyai efek negatif seperti yang telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya. Namun dampak itu dapat dihindari dengan

menyediakan akses kepada sumberdaya alternatif yang dapat menggeser mereka pada

teknologi yang lebih produktif kepada para petani pekerja (yang tidak memiliki tanah).

2.2. Infrastruktur: Sebuah Kerangka Konseptual

Hingga saat ini masih sedikit kesepakatan atas apa yang dimaksud dengan

infrastruktur sebenarnya, baik dalam konteks negara atau antar negara, atau lintas disiplin

ilmu. Menurut Prude’ Homme (2004) ada beberapa karakteristik dari infrastruktur

ekonomi, diantaranya adalah: barang modal yang memproduksi layanan-layanan dengan

kombinasi input lainnya. Kemudian infrastruktur lebih bersifat jangka panjang, hal ini

berkaitan dengan pembiayaan dan pemeliharaan. Sifatnya yang khusus pada lokasi di mana

jasa itu disediakan, dan khusus pada penggunaan di mana tidak dapat digeser pada fungsi

lainnya. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar struktur biayanya adalah sunk cost.

Infrastruktur yang didefinisikan sebagai pelayanan publik dan fasilitas-fasilitas

produksi, termasuk fasilitas-fasilitas publik yang disyaratkan untuk menyediakan

pelayanan sosial dan mendukung aktivitas ekonomi sektor swasta. Kemudian Fox ( 2004)

mendefinisikan infrastruktur sebagai, “those services derived from the set of public works

Page 48: Skripsi M Sowwam_0603000486

36

traditionally supported by the public sector to enhance private sector production and to

allow for household consumption”. Bahkan di Amerika, (Executive Order 13010, 1996)

infrastruktur tidak hanya terbatas pada sudut pandang ekonomi melainkan juga pertahanan

dan keberlanjutan pemerintah (Moteff, 2003). Berdasarkan pengertian ini, infrastruktur

secara umum meliputi jalan, jembatan, air dan sistem pembuangan, bandara udara,

pelabuhan, bangunan umum, dan mungkin juga termasuk sekolah-sekolah, fasilitas-

fasilitas kesehatan, penjara, fasilitas rekreasi, pembangkit listrik, keamanan kebakaran,

tempat pembuangan sampah, dan telekomunikasi (Vaughn and Pollard, 2003).

Selanjutnya para ahli keuangan cenderung untuk mendefinisikan infrastruktur

dengan melihat kapasitasnya untuk menaikkan penerimaan serta pada tingkat di mana

infrastruktur itu akan menguntungkan (profit-making), merugi (loss-making) sehingga

membutuhkan subsidi atau di antara keduannya. Dengan demikian, ahli keuangan melihat

infrastruktur berdasar ciri potensi komersialisasi.

Berbeda dari dua disiplin di atas, ahli administrasi publik dan politik biasanya

melihat infrastruktur dari segi kepemilikan/pelaku. Hal ini cenderung untuk melihat

infrastruktur sebagai infrastruktur ‘publik’, ‘swasta’ atau kerja sama antara publik dan

swasta (public-private partnership). Selain itu juga mengarah pada tingkatan pemerintah

yang berkaitan erat dengan penyediaan infrastruktur, misalnya infrastruktur nasional

(pemerintah pusat), atau regional (pemerintah daerah).

Berbeda dengan penyedia infrastruktur yang sangat memperhatikan definisi,

pengguna –rumah tangga dan pengusaha– memiliki kepentingan kecil mengenai definisi.

Kepentingan mereka hanya ingin memiliki kemungkinan terbaik atas komoditas yang

tersedia ketika mereka membutuhkannya, pada kuantitas yang diinginkan, serta pada

tingkat harga berapa yang mampu mereka raih.

Page 49: Skripsi M Sowwam_0603000486

37

Definisi-definisi tersebut menjadi beragam ketika dihadapkan dengan lingkup

wilayah, negara. Hal ini karena terdapatnya perbedaan dalam hal tingkat pembangunan

ekonomi, kapasitas fiskal serta sistem tata kelolanya. Apa yang disebut infrastruktur

‘sosial’ pada suatu negara/wilayah dapat menjadi infrastruktur ‘ekonomi’ di

negara/wilayah lainnya. Sebagai contohnya adalah akses pelayanan telekomunikasi dasar.

Apa yang menjadi tanggung jawab publik di satu negara, dapat menjadi fungsi swasta di

negara lainnya, atau ada kerjasama diantara keduanya. Juga, infrastruktur dapat saja

diartikan sebagai ‘profit-making’ pada satu negara, dan ‘loss-making’ pada yang lainnya.

Berdasar konsep infrastruktur di atas, manfaat dari pengadaan infrastruktur sudah

jelas. Namun besar-kecilnya manfaat itu bergantung dari kualitas investasi pada

infrastruktur. Kualitas dari investasi infrastruktur itu sendiri sangat bergantung pada

keputusan yang dibuat mengenai apa yang seharusnya dibangun (atau tidak), siapa yang

seharusnya diuntungkan dari infrastruktur (atau tidak), kapan dan di mana infrastruktur

tersebut harus dibangun, berapa besar biaya untuk membangun dan mengoperasikannya,

siapa yang harus membangun atau mengoperasikannya (atau tidak), siapa yang harus

membayar (atau tidak), dan berapa banyak mereka harus membayarnya.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebuah keputusan yang

sangat rumit dengan potensi dampak yang akan ditimbulkannya pada kebijakan

pembangunan, kapasitas fiskal dan moneter, manajemen dan tata-kelola, dan konsumsi.

Hal yang menjadi perhatian utama dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan investasi

ialah bagaimana menggunakan sumber daya fiskal yang terbatas dihadapkan dengan

pertumbuhan/meningkatnya permintaan atasnya. Investasi berlebih pada infrastruktur akan

melencengkan sumberdaya fiskal dari permintaan tersebut, begitu pula jika kekurangan

investasi pada infrastruktur tertentu yang akan merugikan pengguna. Oleh karena itu,

Page 50: Skripsi M Sowwam_0603000486

38

diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan infrastruktur sehingga dapat menangkap

kompleksitas pelayanan infrasttruktur.

Pada bagian berikut akan dibahas mengenai inti dari definisi-definisi infrastruktur

yang menggambarkan bermacam-macam fungsi, fisik, dan ciri-ciri lainnya yang harus

diketahui dalam merumuskan kebijakan.

a) Infrastruktur pelayanan dan infrastruktur fasilitas.

Pada umumnya hanya sedikit yang membedakan kedua jenis infrastruktur ini.

Walaupun sebenarnya terdapat perbedaan penting antara fasilitas dan pelayanan yang akan

mempengaruhi pendekatan pemerintah dalam melakukan investasi. Tujuan utamanya

adalah memberikan infrastruktur pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen untuk

konsumsi, oleh pengusaha sebagai input antara dalam produksi, dan oleh masyarakat untuk

mengurangi eksternalitas negatif pada lingkungan seperti polusi air, banjir, dan sebagainya.

Infrastruktur pelayanan didefinisikan sebagai penyedia komoditas –seperti listrik,

air bersih, informasi, alat pengangkutan– ke rumah tangga dan pengusaha. Infrastruktur

fasilitas secara umum terdiri dari jaringan dan hubungan dua jenis asset, yaitu asset tetap,

dan perlengkapan.

Proses pengiriman infrastruktur pelayanan secara tidak langsung menyatakan

bahwa ada permintaan atas pelayanan tersebut. Jenis dari permintaan memiliki implikasi

atas siapa yang seharusnya menyediakan permintaan tersebut dan bagaimana

menyediakannya.

b) Ciri lain dari infrastruktur.

Selain karakteristik ekonomi yang telah dijelaskan di atas. Infrastruktur juga dapat

diklasifikasikan berdasarkan dua ciri konsumsi, yaitu mencegah orang lain untuk

mengkonsumsi (excludable), dan persaingan dengan orang lain maksudnya ialah konsumsi

oleh seseorang akan mengurangi konsumsi orang lain (rivalry). Konsep ini telah

Page 51: Skripsi M Sowwam_0603000486

39

dinyatakan oleh Bank Dunia pada tahun 1994 dalam laporan pembangunan dunia (World

Development Report). Hal tersebut digunakan untuk mendefinisikan barang prifat dan

barang publik.

Barang prifat dapat didefinisikan sebagai barang yang memiliki baik rivalry

(konsumsi oleh seorang pengguna mengurangi ketersediaan penawaran pada pengguna

yang lainnya) dan excludable (seorang pengguna dapat dicegah untuk mengkonsumsi

barang tersebut). Sebaliknya barang publik murni tidak ada persaingan dalam konsumsi

dan tidak pula excludable.

Konsep publik dan prifat di sini tidak merujuk pada kepemilikan. Konsep ini

digunakan untuk mendefinisikan ciri konsumsi infrastruktur pelayanan. Dengan demikian,

tidak masalah siapa yang memiliki, pada akhirnya infrastruktur pelayanan akan dikonsumsi

oleh seseorang. Bagaimana masyarakat mengkonsumsi dan tingkatan mereka memberikan

kompensasi kepada penyedia merupakan hal yang harus diperhatikan dalam membuat

keputusan investasi.

Sifat eksludabilitas dari suatu pelayanan mempengaruhi siapa yang bertanggung

jawab dalam penyediaan jasa. Tingkat eksludabilitas yang tinggi berarti bahwa pengenaan

biaya pemakaian menentukan siapa yang memiliki akses terhadap pelayanan tersebut.

Sementara itu jika tingkat rivalitas tinggi berarti terdapat kompetisi yang lebih besar untuk

mendapatkan hak atas suatu pelayanan. Secara teoretis, pemisahan dua jenis barang atau

jasa ini sangat kentara/tegas, namun dalam praktiknya garis pembeda antara barang prifat,

barang publik, barang bebas, dan lainnya cenderung tidak jelas.

2.2.1. Infrastruktur dan Kegagalan Pasar

Berdasarkan dari berbagai penjelasan mengenai karakteristik infrastruktur di atas,

dapat dikatakan bahwa infrastruktur memiliki kemungkinan untuk mengarah pada

kegagalan pasar. Kegagalan pasar merupakan suatu istilah untuk menyatakan kondisi di

Page 52: Skripsi M Sowwam_0603000486

40

mana tidak menghasilkan output yang efisien (pareto). Terdapat dua bentuk dasar dari

kegagalan pasar jika dikaitkan dengan infrastruktur, yaitu underconsumption dan

undersupply. (Stiglitz, 2000) Underconsumption biasanya terjadi pada barang yang

sifatnya non-rivalry. Mengenakan tarif atau harga pada infrastruktur jenis ini akan

mencegah orang lain untuk menikmati infrastruktur tersebut, walaupun konsumsi mereka

itu tidak menambah tambahan biaya, mengingat marginal cost-nya adalah nol. Dengan

demikian, mengenakan tarif pada infrastruktur yang non-rivalry adalah suatu yang tidak

efisien karena hal ini menghasilkan underconsumption. Namun, jika tidak ada pengenaan

tarif atau harga pada infrastruktur maka tidak ada insentif untuk menyediakannya. Pada

bagian ini, inefisiensi (kegagalan pasar) berbentuk undersupply karena tidak adanya

pengecualian (exclusion).

Selain itu, karena sifatnya yang jangka panjang, tidak dapat diubah (irreversible),

infrastruktur dibatasi oleh keputusan politik dan risiko. Sebagai contoh, karena sifatnya

yang tidak dapat diubah (pabrik untuk memproduksi suatu barang dapat direlokasi atau

ditutup ketika peralatan berupa mesin sudah usang, namun hal ini tidak dapat terjadi pada

jalan kereta api atau sistem penyediaan air bersih), maka sekali infrastruktur itu di bangun,

akan dihadapakan pada berbagai macam gangguan baik itu karena adanya tekanan sosial

untuk menjaga agar harga dari pelayanan dasar itu tetap rendah atau dari adanya rent-

seeker.

Kemudian, contoh lainnya adalah karena struktur pasar yang cenderung tidak

kompetitif. Ada kemungkinan besar bahwa akan terjadi natural monopoly pada suatu

wilayah tertentu. Dengan demikian, akan tidak mungkin untuk bersaing, bagi pihak lain,

pada pengadaan pelayanan infrastruktur pada wilayah tersebut.

Page 53: Skripsi M Sowwam_0603000486

41

2.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya

Banyak sekali penelitian-penelitian yang menganalisa hubungan antara infrastruktur

terhadap kemiskinan dan ketenagakerjaan. Dari penelitian-penelitian tersebut ada yang

berupa studi kasus pada suatu wilayah tertentu dan atau jenis infrastruktur tertentu.

Kemudian ada pula yang berbentuk komparasi antar wilayah dan atau dampak perbedaan

jenis infrastruktur. Untuk memudahkan penjelasan, berikut ini akan dibahas perjenis

infrastruktur.

2.3.1. Infrastruktur Irigasi

Hussain, Trikhawala, dan Marikar (2002) melakukan penelitian berupa studi kasus

atas perbandingan dampak irigasi atas kemiskinan di pakisatan dan sri langka. Studi in

dilakukan selama periode 2001-2002 di Sri Lanka’s Uda Wale Left Bank Irrigation System

dan di Pakistan’s Mandi Bahaudin. Keduanya merupakan system irigasi skala besar.

Pendekatan dengan membuat komparasi atas wilayah sampel yang memiliki infrastruktur

irigasi baik, kurang baik, serta tanpa irigasi. Studi ini menggunakan data primer yang

diambil sebanyak tiga kali selama periode tersebut. Sampel yang digunakan sebanyak 858

rumah tangga di Sri lanka dan 720 di Pakistan. Kuesioner yang digunakan bersifat multi

topik, misalnya kemiskinan diukur berdasarkan konsep moneter (pendapatan dan

pengeluaran) dan non-moneter (kematian bayi, dependensi rasio, kualitas perumahan,

indeks berat badan, kinerja pertanian), konsep kemiskinan kronis dan permanen serta

transien (Hussain, Trikhawala, dan Marikar, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Sri Lanka, rumah tangga yang memiliki

akses terhadap irigasi memiliki tingkat pendapatan dan pengeluaran yang lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah tanpa irigasi. Pengeluaran rata-rata bulanan rumah tangga di

daerah dengan irigasi adalah 24% lebih tinggi dibanding daerah tanpa irigasi. Studi ini juga

mengindikasikan bahwa produksi di area dengan irigasi mampu menopang area terdekat

Page 54: Skripsi M Sowwam_0603000486

42

yang tidak memiliki irigasi, degan demikian mengurangi tingkat kemiskinan kronik. Pada

studi ini ditemukan pula bahwa rumah tangga di daerah dengan irigasi dapat menghaluskan

pengeluaran mereka, dari pendapatan yang lebih tinggi.

Demikian juga di Pakistan, studi mengindikasikan bahwa irigasi mengurangi

kemiskinan kronik. Namun, dampak yang ditemukan atas irigasi tersebut hanya bersifat

marginal. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pertama, ketidakmerataan dalam

kepemilikan sumberdaya, khususnya tanah, mereka yang memiliki lahan lebih luas

menerima keuntungan lebih besar dari mereka yang memiliki lahan lebih kecil. Kedua, tata

kelola yang buruk (buruknya kondisi infrastruktur irigasi, kurangnya upaya dalam

pemeliharaan, serta adanya pencurian air).

Penelitian ini berkesimpulan bahwa akses terhadap irigasi secara signifikan

mengurangi kemiskinan kronis. Kemudian dampak dari irigasi akan semakin besar jika

rumah tangga, dalam hal kepemilikan lahan, lebih merata dalam distribusinya. Selanjutnya,

dalam program pengurangan kemiskinan, sebaiknya irigasi lebih ditargetkan untuk rumah

tangga atau daerah yag miskin. Terakhir, dalam kasus daerah yang memiliki distribusi

lahan tidak merata (Pakistan), dampak dari irigasi akan semakin tidak merata untuk

dirasakan kecuali diambil kebijakan untuk meredistribusi kepemilikan lahan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Japan Bank for International Cooperation

Institute (JBICI) yang bekerja sama dengan International Water Management Institute

(IWMI) (JBICI, 2007). Hasilnya memiliki kesimpulan yang sama. Terdapat bukti

kuantitatif yang kuat antara pembangunan infrastruktur irigasi dengan pengurangan

kemiskinan. Tingkat kejadian, kedalaman dan keparahan kemiskinan memiliki angka

tertinggi di daerah yang tidak memiliki irigasi, dan terendah di daerah yang memiliki

irigasi dengan ketersediaan air yang berlimpah. Kemudian mengenai indikator-indikator

sosial dan demografi menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja per rumah tangga semakin

Page 55: Skripsi M Sowwam_0603000486

43

kecil jika berada pada daerah tanpa irigasi sehingga pada daerah ini juga memiliki tingkat

dependensi yang tinggi pula. Kemudian, jumlah tahun sekolah di daerah yang memiliki

irigasi tersebut jauh lebih tinggi di daerah yang memiliki irigasi. Selanjutnya intensifikasi

penanaman (membuat panen mampu dilakukan pada musim hujan dan kering),

diversifikasi tanaman, serta produktifitas tanah menjadi lebih tinggi dengan adanya irigasi.

Mundlak, Larson, dan Butzer (2002) menganalisa efek dari variabel-variabel

infrastruktur, input, dan insentif harga pada pertumbuhan pertanian di Indonesia (1971-

1998), Filipina (1961-1998) dan di Thailand (1971-1995). Infrastruktur fisik terdiri dari

jalan, kemudian pendidikan dan kesehatan yang menggambarkan modal manusia.

Pendidikan di gambarkan dengan persentase dari pekerja pada sektor pertanian yang tidak

sekolah untuk Indonesia dan Thailand. Untuk Filipina yang digunakan adalah persentase

rata-rata pekerja yang sekolah dibandingkan dengan angkatan kerja. Sementara itu, yang

termasuk faktor input adalah lahan irigasi, lahan tadah hujan, pupuk, tenaga kerja serta

modal. Terakhir, variabel insentif adalah harga dan harga bayangan. Semua variabel

tersebut adalah variabel independen, pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen

adalah log dari nilai tambah.

Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa infrastruktur fisik berperan 11-15%

pada pertumbuhan output di Thailand dan di Indonesia. Infrastruktur menyubangkan

proporsi yang besar terhadap meningkatnya pertumbuhan produktivitas faktor total yang

akan memiliki pengaruh negative terhadap kemiskinan. Yang sangat menarik adalah

kontribusi lahan irigasi terhadap pertumbuhan output di Indonesia yang cukup besar, yaitu

10-16 persen. Lahan irigasi di Indonesia memiliki elastisitas 0,46, besaran yang tinggi.

Kemudian produktivitas marginal dari lahan irigasi di Indonesia mengalami peningkatan

yang tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya intensifikasi dalam penanaman

(berkaitan dengan diversifikasi tanaman), serta memobilisasi sumberdaya yang terbatas ke

Page 56: Skripsi M Sowwam_0603000486

44

daerah yang memiliki irigasi, sementara di daerah tadah hujan akan menerima dampak

buruk. Namun berbeda dengan pendapat dari peneliti sebelumnya, Mundak, Larson, dan

Butzer berpendapat bahwa pengurangan kemiskinan tidak berkembang dengan baik karena

teknologi pertanian yang modern mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja, kemudian

tingkat upah tetap rendah. Dengan begitu kesejahteraan mereka yang tidak memiliki lahan

tidak meningkat. Namun pada sisi lainya, para pemilik lahan akan menerima keuntungan,

berupa peningkatan hasil pertanian, tingkat upah yang lebih tinggi, pada tahap selanjutnya

akan meningkatkan modal manusianya. Dengan demikian, pengurangan kemiskinan di

perdesaan sangat bergantung pada peningkatan kesempatan kerja di aktivitas bukan

pertanian (off-farm) (Mundak, Larson dan Butzer, 2002)

Datt dan Ravalion (1998b) menunjukkan bahwa negara yang memiliki stok awal

atas infrastruktur dan irigasi yang bagus akan memiliki tingkat produktivitas yang lebih

tinggi, hal ini tentunya akan mengurangi kemiskinan. Kemudian pada penelitiannya yang

lain, Datt dan Ravalion (1998) juga menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki

investasi awal yang lebih tinggi pada infrastruktur fisik dan bukan fisik telah mendorong

pada kinerja yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan

dibandingkan negara-negara yang ‘miskin’ dalam investasi pada infrastruktur.

Canning (1999) memberikan penekanan pada perbedaan dimensi kuantitas dan

kualitas dari stok infrastruktur dari negara-negara di dunia. Kuantitas infrastruktur terdiri

atas, panjang jalan, jalan beraspal, jalan kereta api, jumlah dari sambungan telepon, dan

kapasitas listrik. Sementara itu kualitas dari infrastruktur diantaranya adalah persentase

jalan dengan kondisi buruk (rusak), persentase dari panggilan telepon yang gagal,

kemudian persentase listrik yang hilang dari sistem distribusi. Ia menunjukkan bahwa

terdapat hubungan jangka panjang yang stabil antara infrastruktur dengan pertumbuhan

ekonomi. Penemuan ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pembangunan

Page 57: Skripsi M Sowwam_0603000486

45

infrastruktur fisik akan menaikkan pendapatan permanen dalam jangka panjang, dan

akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan kronis secara global.

Perbedaan besaran dampak irigasi terhadap pengurangan kemiskinan disebabkan

oleh beberapa kondisi, diantaranya ialah: ketidakmerataan dalam kepemilikan lahan,

kondisi dan pengelolaan irigasi, jenis teknologi irigasi, kualitas air, teknologi pertanian,

dan ukuran-ukuran lainnya seperti informasi, pemasaran input dan output (Husain,

Giordano, dan Harnja, 2003). Ketika tingkat ketidakmerataan distribusi tanah sangat tidak

merata, maka keuntungan hanya didapat oleh beberapa kelompok pemilik tanah. Irigasi

akan berdampak kecil terhadap kemiskinan. Kurangnya kepemilikan lahan menyebabkan

terjadinya self-exclusion bagi penduduk miskin. Manfaat irigasi akan dimonopoli oleh si

pemilik lahan (Husain, Giordano dan Harnja, 2003).

Hal yang senada juga terdapat pada penelitian Sampath (1990). Ia menemukan

bahwa irigasi akan mengarah pada ketidakmerataan tergantung pada faktor-faktor spesifik

diantaranya adalah struktur dari irigasi. Irigasi yang berbentuk sistem permukaan (kanal)

akan menyebabkan ketidakmerataan lebih tinggi jika dibandingkan dengan irigasi dengan

sistem air bawah tanah. Ketidakmerataan ini diperparah jika kepemilikan lahan juga tidak

merata.

Sebagai contohnya adalah petani kecil di India yang berjumlah sekitar 46% dari

total rumah tangga perdesaan, namun hanya dapat mengakses 14% dari lahan yang

teririgasi. Akan tetapi, petani besar (lahan lebih dari 4 ha) yang hanya 12,5% dari rumah

tangga mampu mengakses 38% lahan yang diairi oleh irigasi (Sampath, 1990).

Namun ketika kepemilikan lahan sudah terdistribusi secara merata, namun

pengelolaan dan akses terhadap input seperti pupuk sangat buruk maka dampak

pembangunan irigasi ini juga minim. Atau bahkan ketika kedua kondisi pertama itu bagus,

namun air tidak terdistribusi dengan baik, maka manfaat irigasi juga minimal. Kemudian,

Page 58: Skripsi M Sowwam_0603000486

46

ketika semua hal di atas itu dalam kondisi yang baik, namun petani tidak mampu menjual

hasil panen karena ketidaksempurnaan pasar, atau tingginya biaya transaksi, akan membuat

manfaat irigasi hilang.

2.3.2. Infrastruktur Jalan

Berbeda dengan studi-studi kontribusi jalan terhadap pertumbuhan ekonomi, studi-

studi yang melihat bagaimana peran kontribusi jalan terhadap kemiskinan dan distribusi

pendapatan lebih menunjukkan bukti-bukti pada tingkatan yang lebih mikro. Biasanya

melihat dari data survey. Seperti Dercon dan Krishnan yang mengumpulkan data rumah

tangga di Ethiopia tahun 1989, 1994 dan 1995 untuk melihat perubahan pada tingkat

kemiskinan dan menemukan faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut.

Dengan melakukan dekomposisi perubahan pada kemiskinan terhadap subkelompok

populasi, mereka menemukan bahwa rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang

lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih

rendah (Dercon and Krishnan, 1998).

Investasi pada jalan dapat mengurangi kemiskinan dari beberapa jalur, salah satu

yang terpenting adalah peranannya pada aktivitas non-farm di desa. Penelitian yang

dilakukan Khandker menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek

positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani. Semuanya itu

menguntungkan penduduk miskin (Khandker, 1989). kemudian Malmberg et all. (1997)

menemukan bahwa infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik

di sektor pertanian maupun bukan, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk

desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Kemudian Khandker, Levy dan Filmer

menyimpulkan bahwa proyek pembangunan jalan di Maroko berdampak pada

meningkatnya produksi pertanian, produktivitas lahan, dan input pertanian lainnya. Proyek

ini juga mengarah pada produksi hasil pertanian bernilai tinggi, dan meningkatkan

Page 59: Skripsi M Sowwam_0603000486

47

kesempatan kerja bukan pertanian. Pada sisi dampak sosial, manfaat dari proyek

pembangunan jalan ini juga meningkatkan akses kepada pelayanan kesehatan, dan

meningkatkan kehadiran anak didik di sekolah.

Fan dan Chan-Kang (2005) meneliti dampak pembangunan jalan terhadap

pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di China. Dengan menggunakan data tingkat

propinsi periode 1982-1999, mereka menemukan bahwa pembangunan jalan, bersama

penelitian di pertanian, irigasi, pendidikan, listrik, telekomunikasi berdampak secara

signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Penemuan terpenting dari studi ini

adalah jalan dengan kualitas rendah (kebanyakan di perdesaan) memiliki rasio biaya-

manfaat terhadap GDP nasional yang lebih besar dibandingkan dengan jalan kualitas

bagus. Jika melihat pada GDP sektor pertanian, jalan berkualitas bagus tidak berpengaruh

signifikan sementara jalan dengan kualitas rendah berpengaruh signifikan, dan setiap 1

yuan investasi akan menciptakan 1,57 yuan GDP sektor pertanian. Dalam bentuk

pengurangan kemiskinan, investasi pada jalan dengan kualitas buruk lebih besar

dampaknya pada jalan dengan kualitas yang bagus (Fan and Kang, 2005).

Untuk kasus di Indonesia, studi akan hal ini pernah dilakukan oleh Kwon. Ia

meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam pengurangan kemiskinan.

Menurutnya penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung

terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas.

Keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari berbagai

kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kemudian bagi pertanian,

hal ini akan meningkatkan biaya produksi dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka.

Transportasi pedesaan yang lebih baik menyebabkan petani mampu meningkatkan

kegiatannya (dengan biaya input yang lebih rendah), pertanian bergeser dari pola subsisten

ke ‘pasar’, dan meningkatkan kesempatan dari adanya pendapatan off-farm. Lebih jauh

Page 60: Skripsi M Sowwam_0603000486

48

lagi, dengan menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi dapat menjadikan

akses pada pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah bagi penduduk pedesaan

tersebut.

Menurutnya ada dua cara, infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan, yaitu dengan

dampak langsung (its own effect), dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel

lainnya (the through-effect). Dampak langsung dari infrastruktur jalan ini adalah tambahan

dari lapangan pekerjaan ketika pembangunan jalan ini berlangsung, meningkatkan

hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan.

Singkatnya, jalan dapat menyebabkan pasar input dan pasar barang bekerja lebih baik,

yang secara tidak langsung mengurangi kemiskinan (Kwon, 2001).

Meskipun dampak positif pembangunan infrastruktur jalan tersebut dalam

mendorong aktivitas bukan pertanian di desa, meningkatnya aktivitas tersebut merupakan

sumber yang signifikan atas terjadinya ketidakmerataan dalam pendapatan di desa

(Benjamin and Brandt, 1999). Dengan demikian, dampak positif yang dimiliki oleh

aktivitas bukan pertanian terhadap pertumbuhan pendapatan dan pengurangan kemiskinan

mungkin dinegasikan oleh meningkatnya kesenjangan pada distribusi pendapatan.

2.3.3. Pendidikan

Pendidikan secara mikroekonomi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan

meningkatkan produktivitas. Secara teoretis paling tidak terdapat tiga mekanisme

bagaimana pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Hanushek, 2007). Pertama,

seperti dalam perspektif mikroekonomi, pendidikan meningkatkan modal manusia yang

melekat pada angkatan kerja, yang akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kedua,

pendidikan akan meningkatkan kapasitas inovasi dari suatu perekonomian, pengetahuan

baru atas teknologi akan mendorong pertumbuhan. Ketiga, pendidikan memfasilitasi dan

Page 61: Skripsi M Sowwam_0603000486

49

menyebarkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami dan mengimplementasikan

informasi baru yang ditemukan oleh orang lain, hal ini mendorong pertumbuhan.

Duflo (2000) meneliti mengenai dampak pembangunan sekolah dasar yang

melebihi 61.000 sekolah di Indonesia pada tahun 1973-1978 terhadap upah dan

pendidikan. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa pembangunan sekolah meningkatkan

pendidikan dan pendapatan. Kemudian hasil ekonomi berkisar dari 6,8% ke 10,6%.

Ketersediaan infrastruktur sekolah telah ditunjukkan memiliki korelasi positif

dengan penyelesaian sekolah (lulus), atau tingkat partisipasi (Nancy Birdsal, 1985).

Permasalahannya ialah bahwa sekolah-sekolah yang ada pada umumnya tidak terlokasi

secara acak. Pada sistem pendidikan yang mengandalkan pada keuangan pemerintah

daerah, semakin makmur masyarakatnya semakin banyak sekolah yang dapat dibangun.

Sementara itu, pada sistem yang tersentralisasi, pembangunan sekolah akan terjadi/banyak

pada daerah-daerah yang terbelakang. Hal ini menyebabkan upah akan lebih rendah pada

daerah yang memiliki lebih banyak sekolah negeri (Duflo, 2000).

2.3.4. Infrastruktur Telepon

Abdul Bayes (2001) meneliti peran telekomunikasi pada pembangunan desa dan

khususnya pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Bangladesh. Lebih tepatnya pada

program telepon desa berbayar yang dibuat oleh Bank Grameen. Ia berkesimpulan bahwa

telepon akan mempengaruhi produksi barang-barang yaitu dengan menurunkan biaya

transaksi. Profit yang ditimbulkan dari telepon ini sekitar seperlima atau seperempat dari

total pendapatan penduduk desa. Kemudian, layanan yang berasal dari telepon di desa-desa

memberikan keuntungan kepada mereka yang miskin daripada yang tidak, dan mengurangi

ketidakmerataan. Secara keseluruhan, para rumah tangga yang memilki telepon (86%

rumah tangga) menyatakan bahwa kondisi makanan mereka meningkat. Selain itu dampak

Page 62: Skripsi M Sowwam_0603000486

50

non-ekonomi lainnya yang positif adalah peningkatan penegakan hukum, dan memperkuat

hubungan kekerabatan. (Bayes, 2001)

Cronin et all, (1995) ingin melihat manfaat ekonomi dari telekomunikasi secara

kuantitatif, kemudian studinya ingin mengetahui dampak pembangunan telekomunikasi

pada masyarakat perdesaan di Pensylvania. Mereka menemukan bahwa pola pembangunan

(diukur dari pertumbuhan pekerjaan dan pendapatan) di perdesaan lebih lambat dari di

perkotaan. Hal ini karena mata pencaharian penduduk di perdesaan berada pada tiga jenis

sektor tradisional, yaitu pertanian, SDA, dan pengolahan. Telekomunikasi mendorong

pembangunan di perdesaan melalui substitusi biaya-efektif untuk modal dalam proses

produksi, meningkatkan kualitas dan meraih obat modern ke perdesaan, dan mampu

memperkenalkan pola pembelajaran jarak jauh yang mana dapat meningkatkan pendidikan

di perdesaan. Kemudian, dalam hal pertumbuhan pekerjaan, telekomunikasi yang

menurunkan biaya akan meningkatkan permintaan atas tenaga kerja. Namun yang perlu

diperhatikan adalah terjadinya disparitas antara pengguna telekomunikasi di perkotaan dan

di perdesaan (Hudson dan Parker, 1991).

2.3.5. Infrastruktur Listrik

Listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non-farm di

perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar

0,42 (Fan et al, 2002). Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan

kemiskinan. Setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu

mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang.

Di Indonesia, listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi

secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan

dari penduduk miskin (Baliscanan, et al., 2002). Namun di Indonesia, dalam laporan

evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga yang memilih untuk tidak menggunakan

Page 63: Skripsi M Sowwam_0603000486

51

jaringan listrik yang tersedia. Hal ini pastinya disebabkan dari tingkat kemiskinan yang

ekstrim dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan kredit sehingga penduduk miskin

tersebut tidak dapat memanfaatkan faedah dari listrik di perdesaan (Ali dan Pernia, 2003).

Studi mengenai infrastruktur kelistrikan pernah dilakukan oleh Lembaga

Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-

FEUI) tahun 2003. Hasil simulasi menunjukkan, tanpa perbaikan apa-apa dalam

peningkatan daya terpasang listrik, rata-rata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya

akan mencapai 4,4 persen sampai tahun 2005. Bila pemerintah meningkatkan pertumbuhan

daya terpasang listrik 15 persen, misalnya, pertumbuhan ekspor akan dapat meningkat dari

rata-rata 7 persen menjadi 8,8 persen dan pertumbuhan ekonomi akan dapat mencapai rata-

rata 4,6 persen. Jika peningkatan daya terpasang listrik dinaikkan sampai 30 persen, rata-

rata pertumbuhan ekonomi dapat didorong sampai 4,8 persen sepanjang tahun 2003-2005

(LPEM, 2003).

Kebutuhan investasi di sektor listrik hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 41

miliar dolar AS. Kebutuhan investasi itu tidak hanya pembangunan pembangkit, namun

juga pembangunan sarana transmisi dan distribusi listrik. Kebutuhan investasi itu akan

dibiayai oleh pemerintah dan swasta, namun peran swasta hanya pada pembangunan

pembangkit saja, sedangkan untuk transmisi dan distribusi akan dipenuhi oleh pemerintah

dan PLN. Penelitian secara umum menunjukkan bahwa modal infrastruktur memiliki

dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang (Fox, 1994).

2.3.6. Kesehatan

Kesehatan adalah modal manusia yang mempengaruhi pembangunan ekonomi

melalui, contohnya, produktivitas tenaga kerja, dan hambatan ekonomi ketika sakit.

Kesehatan memiliki dampak tidak langsung, misalnya kesehatan anak mempengaruhi

pendapatan di masa mendatang. Karena kesehatan juga memiliki dampak pada pencapaian

Page 64: Skripsi M Sowwam_0603000486

52

di bidang pendidikan, seperti partisipasi, kehadiran dan kemampuan kognitif (Galor dan

Foulkes, 2004). Hal ini dapat digambarkan pada grafik di bawah ini.

Gambar 2-2

Siklus Intergenarasi Pembentukan Modal Manusia

Sumber: Galor and Foulkes, 2004

Selain itu, kesehatan juga menjadi salah satu faktor penentu pertama kemiskinan

(temporer) dan jebakan kemiskinan (kronis) melalui dampak langsung dan tidak langsung

yang dimilikinya. Probabilitas anak-anak dari keluarga miskin yang akan berada pada

kemiskinan kronis sangat besar. Mereka dihadapkan pada masalah kesehatan yang

berulang terus sehingga mempengaruhi kemampuan kognitif mereka dan akhirnya mereka

tidak dapat sekolah. Tahap selanjutnya adalah pendapatan mereka saat dewasa akan kecil.

Orang tua dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah akan rendah pula

berinvestasi pada peningkatan modal manusia anak mereka. Dengan demikian, siklus

kemiskinan akan terus berulang (Lustig, 2006).

Secara umum, dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya didapat bahwa

infrastruktur memiliki hubungan negatif terhadap kemiskinan. Walaupun juga telah

dijelaskan secara sekilas bahwa terdapat suatu prakondisi tertentu agar infrastruktur secara

efektif dapat mengurangi kemiskinan.

Page 65: Skripsi M Sowwam_0603000486

53

Hal tersebutlah yang membuat beberapa kalangan skeptis mengenai peranan

infrastruktur terhadap pengurangan kemiskinan karena beberapa hal yang mendasar, yaitu:

pertama, walaupun penting untuk pertumbuhan ekonomi, investasi infrastruktur hanya

memiliki keterkaitan yang kecil dengan pengurangan kemiskinan. Kedua, actual benefit

dari infrastruktur secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan. Ketiga, lemahnya

tata-kelola dan institusi, proses kebijakan infrastruktur yang berkecenderungan selalu top-

down (tidak partisipatif) memberikan jalan untuk korupsi, mendistorsi pilihan investasi

masyarakat, dan tidak menghiraukan pemeliharaan infrastruktur yang ada.

Ada tiga aspek yang menjadi fokus perdebatan pada kebijakan infrastruktur, yaitu:

1. Akses dan ketepatan/kecocokkan. Analisis mengenai infrastruktur dan kemiskinan

menunjukkan bahwa, secara umum di banyak negara berkembang, akses masyarakat

miskin kepada layanan infrastruktur dibatasi, misal pada infrastruktur yang disediakan

sendiri, membeli air pada penjual keliling. Menurut Devas, ada beberapa faktor

penyebab utamanya diantaranya: ketidakcukupan dari skala kebutuhan yang besar;

mengadopsi standar yang relatif tinggi sehingga masyarakat miskin tidak bisa

menikmatinya, subsidi banyak yang diberikan kepada penduduk dengan pendapatan

tinggi dsb.(Devas, 1991)

2. Pembiayaan dan mekanisme cost-recovery. Siapa yang harus menanggung biaya

pengadaan infrastruktur tersebut, dengan perkataan lain apakah pemerintah

mengenakan harga tertentu kepada masyarakat yang menggunakan infrastruktur

tersebut.

3. Partisipasi masyarakat, dan institusi. Partisipasi semakin dibutuhkan didalam

mendesain dan mengimplementasikan infrastruktur. Kemungkinan-kemungkinan

intervensi pro-poor secara umum difokuskan pada ketentuan yang didasarkan pada

aspek komunitas, dengan aspek biaya teknologi yang rendah dan sederhana. Cotam

Page 66: Skripsi M Sowwam_0603000486

54

menyatakan bahwa blueprint mengenai teknologi infrastruktur (sering dihubungkan

dengan pembiayaan eksternal dan prosedur tender internasional) saat ini mengabaikan

realitas lokal. Ia menerangkan pentingnya pemahaman atas ketentuan infrastruktur

yang berdasar pada perspektif historis, dan sosial-budaya, keberagaman bentuk

organisasi lokal, inisiatif dan resistensi.

2.4. Dasar Pembentukan Model

Model persamaan pada studi ini didasarkan dari beberapa studi-studi yang telah

dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah Kwon (2001), dan Lutfi (2006).

2.4.1 Penelitian Kwon

Dalam studinya, Kwon mencoba menganalisa hubungan antara infrastruktur jalan,

dan pengurangan kemiskinan. Data yang digunakan dalam studinya adalah data cross-

sectional. Ia menganalisa data panel tingkat provinsi di Indonesia dari tahun 1976-1996

untuk melihat hubungan antara infrastruktur dan pengurangan kemiskinan. Provinsi

diklasifikasikan terlebih dahulu dengan melihat akses ke jalan dengan menggunakan

informasi pre-sample, merujuk pada rata-rata kepadatan jalan pada tahun 1976. Akses

yang bagus didefinisikan sebagai kepadatan jalan yang melebihi rata-rata. Sementara itu,

akses yang buruk ketika ia lebih rendah dari rata-rata. Pelayanan infrastruktur jalan

dianggap cukup jika akses pada jalan adalah bagus. Dengan demikian, terdapat enam

provinsi yang dikategorikan sebagai provinsi yang memiliki akses yang baik –Bali, Jawa

Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Yogjakarta – dan sejumlah 19

provinsi lainnya memiliki akses yang buruk.

Analisa pada studi ini mengandalkan pada pemecahan sampel, karena peranan

infrastruktur jalan dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan mungkin

berbeda diantara provinsi-provinsi yang memiliki jalan yang cukup dan provinsi-provinsi

yang tidak memilikinya. Oleh karena itu, analisa perbedaan cross-sectional akan

Page 67: Skripsi M Sowwam_0603000486

55

memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai peranan infrastruktur jalan dalam

pengurangan kemiskinan.

1) Bagaimana kemiskinan bereaksi pada investasi jalan.

Untuk mengukur sensitifitas kemiskinan digunakan persamaan sederhana untuk

kemiskinan yang memasukkan konstanta, log kemiskinan periode sebelumnya dan periode

tertentu, dan sepuluh periode sebelumnya. Dummy duapuluh lima provinsi juga

dimasukkan sebagai kontrol atas efek spesifik-provinsi pada kemiskinan. Investasi

pemerintah meliputi irigasi, jalan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian

dan kehutanan, dan pendidikan. Variabel makro ekonomi meliputi produksi regional,

pekerja di pertanian dan bukan pertanian, produksi pertanian, dan upah riil. Karena semua

variabel dalam bentuk log, koefisien harus diinterpretasikan sebagai sensitifitas kemiskinan

pada setiap variabel. Seluruh variabel yang digunakan adalah nilai riil yang dinormalisasi

dengan penduduk pada setiap provinsi.

Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut

)1.(............. 25,1011121110 ∑ ++++++= =−−− tjjtjttttt uDxxxyLpov δβββαα

Di mana:

Lpov : proporsi penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan

X :variabel bebas yang terdiri dari variabel jumlah pengeluaran

pembangunan, irigasi, transportasi, kesehatan, ilmu pengetahuan dan

teknologi, pertanian dan kehutanan serta pendidikan, pekerja di

pertanian dan bukan pertanian, GDP regional, upah riil.

2) Dampak infrastruktur jalan pada kemiskinan.

Studi ini ingin mengetahui apakah ketersediaan jalan mempengaruhi kemiskinan

secara langsung atau tidak. Untuk itu dibuat beberapa persamaan. Pada persamaan pertama

diasumsikan bahwa kemiskinan merupakan fungsi dari produksi regional. Sementara itu

Page 68: Skripsi M Sowwam_0603000486

56

pada persamaan kedua, kemiskinan merupakan fungsi dari jalan. Seperti pada persamaan

sebelumnya, dummy provinsi dimasukkan sebagai kontrol atas dampak spesifik-provinsi.

Semua variabel dalam bentuk log.

)3.......(

)2.........(....................

121110

1110

∑∑

+++++=

++++=

−−

tjjjttt

tjjjttt

uDLROADLGDPLPOVLPOV

uDLGDPLPOVLPOV

δββαα

δβαα

Untuk menguji perbedaan cross-sectional, apakah hasil berbeda diantara provinsi

dengan akses bagus atau buruk, persamaan kedua di regresi kembali secara terpisah untuk

dua klasifikasi. Akan tetapi, perbedaan cross-sectional ini membutuhkan pengujian khusus

karena hasil yang didapat mungkin hanya berasal dari sampel yang berbeda daripada dari

perbedaan struktural. Persamaan kedua kemudian diestimasi dengan sampel penuh, dan

memperbolehkan setiap koefisien dari subsample jadi berbeda. Dengan mengatur IG = 1

untuk propinsi dengan akses bagus, dan IG = 0 untuk provinsi dengan akses buruk,

sehingga persamaan kedua yang diubah menjadi:

)4.....(........................................)(

)(

122

12111110

tjjjG

tBG

Gt

Gt

BGGt

Btt

uDILROAD

ILROADILGDPILGDPLPOVLPOV

++−+

+−+++=

∑−

−−

δββ

ββββαα

Di mana:

LPOV : proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan

Superscript G : untuk provinsi dengan akses yang bagus

Superscript B : untuk provinsi dengan akses yang buruk

LGDP : produksi regional

LROAD : jalan

D : variabel dummy untuk setiap propinsi

Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa jalan mempengaruhi kemiskinan.

Kemiskinan memiliki sensitivitas yang lebih besar di provinsi yang memiliki akses bagus

dibandingkan dengan provinsi dengan akses buruk. Studi ini menyimpulkan bahwa

Page 69: Skripsi M Sowwam_0603000486

57

infrastruktur jalan berpengaruh pada pengurangan kemiskinan dengan dua jalan: secara

langsung (its own effect) dan dengan secara tidak langsung melalui pengaruhnya pada

kinerja variabel yang lain (the through-effect).

2.4.2 Penelitian Lutfi

Lutfi (2006) meneliti mengenai pengaruh infrastruktur dan institusi terhadap

pertumbuhan ekonomi. Model yang digunakan pada penelitiannya itu mengadopsi model

Canning mengenai infrastruktur dan dampaknya terhadap output aggregat.

)1.(....................1itititititititit ULIXHKAY δγβαδγβα −−−−=

Di mana:

itY : PDRB daerah i pada periode t

itA : Total Faktor Produksi

itK : Modal fisik

itH : Human capital

itX : Infrastruktur

itI : Institusi

itL : Jumlah penduduk

itU : Error term

Pada studi ini ada sedikit perubahan dan penyesuaian pada model Canning di mana

jumlah penduduk (L) tidak secara eksplisit di masukkan dalam sebuah fungsi. Jumlah

penduduk implisit ada di dalam model dengan, membagi masing- masing suku dengan

jumlah penduduk. Selanjutnya model dibuat dalam bentuk log.

)3...(..........)2.(....................

∑ ∑ +++++=

+++++=

ititititititit

ititititititit

uixhkaGuixhkaGδγβα

δγβα

Di mana:

Git : Pertumbuhan ekonomi pada propinsi i pada periode t

xit : Infrastruktur pada propinsi i pada periode t

Page 70: Skripsi M Sowwam_0603000486

58

iit : Institusi pada propinsi i pada periode t

Infrastruktur dan institusi didisagregasi menjadi empat jenis infrastruktur dan tiga

jenis indikator institusi. Jenis infrastruktur yang dimasukkan dalam modelnya itu adalah

jalan, telepon, air, dan listrik (persamaan 4). Kemudian, institusi dilihat dari jumlah

pegawai negeri sipil, besaran anggaran pembangunan, dan biaya rutin (persamaan 5):

)5(..........

)4.....(..........

4321

4321

itititititititititit

itititititititititit

ubrbppendpnsxhkaG

uilistairteljlhkaG

++++++++=

++++++++=

∑∑

δδδδγβα

δγγγγβα

Berbeda dengan Kwon (2001), Lutfi (2006) menggunakan ukuran fisik dalam

model. Hal ini lebih baik karena dapat mengurangi pengaruh biaya investasi per satuan unit

yang berbeda-beda untuk setiap daerah akibat adanya perbedaan tingkat efisiensi dalam

penggunaan dana.

Berdasar pada dua penelitian tersebut, penulis memodifikasi model sehingga dapat

digunakan sebagai model untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan.

Kedua model menggunakan jumlah penduduk untuk melakukan normalisasi. Pada

penelitian ini penulis menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu menggunakan seribu

(1000) penduduk sebagai upaya normalisasi. Hal ini karena ukuran ini lebih sering

digunakan untuk mengukur kinerja infrastruktur (World Bank, 2004). (lihat tabel 1-3)

Kemudian mengganti analisis data cross-section yang digunakan oleh Kwon menjadi

analisis data panel, mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (2006).

Page 71: Skripsi M Sowwam_0603000486

59

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tahapan penulis dalam melakukan pengolahan data hingga

didapat hasil estimasi yang digunakan sebagai dasar analisis pengaruh infrastruktur

terhadap kemiskinan. Tahapan-tahapan tersebut berisi berbagai pengujian untuk memenuhi

kriteria yang ada (ekonomi, statistika, dan ekonometrika). Hal ini dilakukan guna

mendapatkan hasil estimasi yang dapat dipercaya karena sudah sesuai dengan metode

pengolahan data yang ada.

3.1. Spesifikasi Model

Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya. Studi ini ada sedikit perubahan dan

penyesuaian pada model Kwon yang lebih menggunakan data cross-section untuk

menganalisis pola hubungan infrastruktur dengan kemiskinan. Studi ini menggabungkan

(memodifikasi) penelitian yang dilakukan oleh Kwon dan Lutfi. Jumlah penduduk implisit

ada di dalam model dengan, membagi masing-masing suku dengan jumlah penduduk (per

1000 penduduk). Kemudian terjadi perubahan dalam variabel terutama mengenai jenis

infrastruktur. Infrastruktur di bagi menjadi beberapa jenis infrastruktur yaitu infrastruktur

ekonomi, dan sosial. Semua variabel diubah menjadi dalam bentuk log untuk melihat

sensitivitas kemiskinan terhadap variabel-variabel infrasttruktur (Kwon, 2001). Selain itu,

pada penelitian ini juga ditambah beberapa variabel lainnya yaitu dummy krisis dan

kemiskinan satu periode sebelumnya. Dengan demikian model persamaan pada studi ini

adalah sebagai berikut.

)1.....(12111 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα

)2.....(12122 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα

Page 72: Skripsi M Sowwam_0603000486

60

)3.....(12133 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα

Infrastruktur ekonomi terdiri atas jalan negara dan propinsi, listrik, telekomunikasi,

dan pengadaan jaringan air bersih (piped water), irigasi, dan jalan kabupaten. Selanjutnya,

infrastruktur sosial pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu pendidikan dan kesehatan.

Sesuai dengan persamaan 1, 2 dan 3, maka bentuk persamaan di bawah ini juga dibuat

menjadi tiga macam lag.

)4.....(41 121221

214321

itititititit

itititititititit

upovDkrisiskeskespendmngahlistirigasiairteljlegpropjlkabapov

++++++++++++=

−ρρδδδλλγγγγ

Di mana:

Povit : Jumlah penduduk miskin per 1000 penduduk di propinsi i pada

periode t

telit : Jumlah sambungan telepon di propinsi i pada periode t

(telepon/1000 penduduk)

airit : Jumlah Air bersih yang disalurkan ke masyarakat di propinsi i pada

periode t (m3/1000 penduduk)

Jlkabit : Panjang jalan kabupaten di propinsi i pada periode t (km/1000

penduduk)

Jlnegpropit : Panjang jalan negara dan propinsi di propinsi i pada periode t

(km/1000 penduduk)

irigasiit : Luas lahan (sawah) yang terairi irigasi di propinsi i pada periode t

(ha/1000 penduduk)

listrkit : Kapasitas terpasang listrik di propinsi i pada periode t (MW/1000

penduduk)

Page 73: Skripsi M Sowwam_0603000486

61

pendit : Jumlah gedung SMP-SMA di propinsi i pada periode t

(sekolah/1000 penduduk)

Kes4it : Banyaknya tempat tidur di rumah sakit di propinsi i pada periode t

(tempat tidur/1000 penduduk)

Kes1it : Banyaknya Puskesmas di propinsi i pada periode t

(puskesmas/1000 penduduk)

Dkrisis : Dummy krisis.

Pov(-1) it : jumlah penduduk miskin per 1000 penduduk satu periode

sebelumnya.

3.2. Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data panel yang merupakan

penggabungan antara data kerat lintang (cross section); 26 propinsi yang ada di Indonesia,

dengan data deret waktu (time series); berbentuk periode tahunan dari tahun 1990 hingga

tahun 2004. Adapun data yang digunakan bersumber dari berbagai instansi pemerintah

yang ada seperti BPS, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan,

Departemen Pekerjaan Umum, Departemen pertanian, serta instansi lainnya seperti PT.

PLN. Sementara itu data juga didapat dari disertasi Riyana Miranti yang berjudul “The

Determinants of Regional Poverty in Indonesia : 1984-2002”.

Setelah krisis yang terjadi di Indonesia, perkembangan pesat terjadi dalam bidang

desentralisasi seperti pemekaran daerah. Pemekaran tersebut menyebabkan banyaknya

propinsi-propinsi baru yang terbentuk. Propinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontalo,

adalah salah satu dari beberapa propinsi baru yang terbentuk. Oleh karena itu penyesuaian

data adalah suatu tahapan yang harus dilakukan. Propinsi-propinsi yang digunakan adalah

propinsi awal sebelum terjadinya fenomena pemekaran daerah, dengan mengeluarkan

Timor Timur tentunya, karena sudah merdeka. Dengan demikian, Propinsi Banten,

Page 74: Skripsi M Sowwam_0603000486

62

misalnya, dimasukkan ke dalam propinsi awalnya yaitu Jawa Barat. Begitu juga dengan

beberapa propinsi baru lainnya.

Angka kemiskinan per propinsi di Indonesia yang diterbitkan oleh BPS perlu dibuat

penyesuaian. Kemudian berkaitan dengan perubahan metode pengukuran kemiskinan yang

dilakukan oleh BPS. Data kemiskinan pada studi ini menggunakan data kemiskinan

periode 1990-1999 yang terdapat pada disertasi Riyana Miranti (2007). Untuk tahun

setelah itu, digunakan data dari BPS. Riyana Miranti telah menghitung ulang data yang

ada dengan metode terbaru yang dikeluarkan oleh BPS. Dengan demikian, data yang

digunakan sudah memiliki metode penghitungan yang sama. Walaupun data yang didapat

dari studi Miranti merupakan hasil penghitungan, namun karena metode yang digunakan

sama dengan metode yang dipakai BPS, maka data kemiskinan setelah periode tersebut

dapat diikutsertakan dalam proses penghitungan berikutnya (dijadikan sebagai time-

series).1

Mengingat bahwa data yang didapat tersebut bukan merupakan data tahunan,

melainkan tiga tahunan, maka akan dilakukan metode interpolasi data dengan

menggunakan software Stata 8.0. Metode interpolasi yang terdapat di program stata 8.0

adalah interpolasi linear. Interpolasi ini untuk mencari intermediate data dari data tiga

tahunan. Dengan demikian, data tahunan dapat diketahui dari hasil estimasi tersebut.

Semenjak tahun 1999, BPS mengeluarkan data kemiskinan dengan periode tahunan.

3.3. Metode Pengolahan Data

Pada penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program

Eviews 4 dan Stata 8.0. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode data

panel. Dengan demikian pada bagian berikutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai

metode data panel.

1 Hasil wawancara dengan Riyana Miranti melalui fasilitas email, Oktober 2007.

Page 75: Skripsi M Sowwam_0603000486

63

3.3.1. Data Panel

Seperti telah disinggung di atas, data panel (pooled data) adalah sebuah set data

yang berisi data sampel individu (propinsi) pada sebuah periode waktu tertentu. Dengan

kata lain, data panel merupakan gabungan antara data deret waktu (time-series) dengan

data kerat lintang (cross-section). Simbol yang digunakan adalah t untuk periode observasi,

sedangkan n adalah unit cross-section yang diobservasi. Proses pembentukan data panel

adalah dengan cara mengkombinasikan unit-unit deret waktu dengan kerat-lintang

sehingga terbentuklah suatu kumpulan data. Proses itu sendiri disebut pooling. Data panel

dapat diolah jika memiliki kriteria t > 1 dan n > 1. Jika t = 1dan n ≥ 1 maka disebut

deret-waktu murni, sedangkan jika t ≥ 1 dan n = 1 disebut kerat-lintang murni. Jika

jumlah periode observasi sama banyaknya untuk tiap-tiap unit cross section maka

dinamakan balanced panel. Sebaliknya jika jumlah periode observasi tidak sama untuk

tiap-tiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.

Terdapat beberapa keuntungan yang didapat jika menggunakan data panel ini,

pertama dapat mendalami efek-efek ekonomi yang tidak dapat diperoleh jika

menggunakan data deret waktu ataupun data kerat lintang saja. Kedua, karena jumlah data

dan observasi yang meningkat, menghasilkan kenaikan pada derajat kebebasan (degree of

freedom) sehingga variasi koefisien menjadi efisien dan koefisien nilai menjadi lebih stabil

(Hsiao, 1986). Ketiga, dengan mengakomodasi semua informasi yang terkait dengan

variabel-variabel kerat-lintang maupun deret-waktu, data panel secara substansial mampu

menurunkan masalah omitted-variables; jika menghilangkan variabel yang relevan.

Bersamaan dengan itu, masalah kesalahan spesifikasipun dapat dieliminir.

Beberapa hal di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Baltagi (2001).

Baltagi menyatakan beberapa manfaat yang didapat ketika menggunakan data panel,

diantaranya adalah:

Page 76: Skripsi M Sowwam_0603000486

64

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Memberikan lebih banyak informasi & lebih bervariasi daripada hanya data deret

waktu atau kerat lintang. Data panel juga mengurangi kolinearitas antar variabel,

meningkatkan degree of freedom, dan meningkatkan efisiensi.

3. Sangat baik untuk digunakan dalam studi perubahan yang dinamik (study of

dynamics adjustment).

4. Dapat mendeteksi dan mengukur efek dengan lebih baik dibandingkan data deret-

waktu murni dan kerat-lintang murni.

5. Memungkinkan untuk mempelajari model perilaku (behavioral model) yang lebih

kompleks.

Terdapat tiga cara dalam mengestimasi data panel, pertama Pooled (Ordinary least

square, OLS). Kedua, fixed effect (dummy variable model, DMV). Ketiga, random effect

(error component model, ECM).

3.3.1.1. Pooled (Ordinary Least Square, OLS)

Proses estimasi dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa

(OLS) yaitu:

)1........(..........ititit XY εβα ++=

Untuk I = 1, 2, …, N dan t = 1, 2, …, T

N : jumlah unit kerat-lintang

T : jumlah periode deret-waktu

Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya tidak

memadai dikarenakan setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri.

Proses estimasi yang dapat dilakukan untuk setiap unit kerat-lintang dikarenakan

terdapatnya asumsi yang menyatakan bahwa komponen error pada data panel ini sama

dengan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa (OLS).

Page 77: Skripsi M Sowwam_0603000486

65

Untuk periode t =1, akan diperoleh persamaan regresi kerat-lintang sebagai berikut:

)2........(..........111 iii XY εβα ++=

Persamaan di atas akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T

persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita dapat memperoleh persamaan deret

waktu sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan

parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi

yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.

Metode ini tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan yang mungkin timbul akibat

dimensi ruang dan waktu. Model ini mengasumsikan bahwa intercept dan slope koefisien

dari dua variabel adalah identik untuk semua unit kerat-lintang. Karena terdapat

kemungkinan atas “ketidakbenaran” asumsi ini maka model ini mungkin akan mendistorsi

deskripsi dari hubungan Y dan X yang sebenarnya.

3.3.1.2. Fixed Effects Model (Least-Squared Dummy Variable/ LSDV)

Untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam intercept-intercept

dari unit kerat-lintang dan deret-waktu, maka digunakanlah peubah boneka (dummy

variable) sehingga akan terjadi perbedaan nilai parameter, baik atas unit kerat-lintang

maupun deret-waktu. Pendekatan yang paling sering dilakukan adalah dengan mengizinkan

intercept bervariasi antar unit kerat-lintang namun tetap mengasumsikan bahwa slope

koefisien adalah konstan antar unit kerat-lintang. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan

model efek tetap (fixed effect model/FEM). Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan

sebagai berikut

)3.......(...... 33223322 itiTTiiNtNttitit eZdZdZdWgWgWgbXaY ++++++++++=

Di mana,

Page 78: Skripsi M Sowwam_0603000486

66

=1, untuk individu ke-i, i=2,…, N

Wit

=0 untuk sebaliknya

=1, untuk periode ke-t, t = 2, …, N

Zit

=0, untuk sebaliknya

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa telah ditambahkan sebanyak (N–

1) + (T– 1) variabel boneka ke dalam model dan menghilangkan dua sisanya untuk

menghindari kolinearitas sempurna antar variabel independen. Dengan menggunakan

pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT– 2– (N–1) – (T– 1), atau sebesar

NT– N– T.

Penggunaan model LSDV di atas dapat dilakukan jika dimiliki sedikit unit kerat-

lintang. Namun jika unit kerat-lintang ini besar, penggunaan model LSDV akan

mengurangi derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari

parameter yang diestimasi.

3.3.1.3. Random Effects Model (Error Component Model)

Metode ini mengasumsikan bahwa komponen error (galat individu) tidak

berkorelasi satu sama lain dan komponen error (galat antar waktu dan kerat lintang) juga

tidak berkorelasi (no autocorelation) (Pyndick, 1998). Dalam model ini, parameter-

parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Hal

ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi proses pendugaan OLS. Bentuk model ini

dapat dilihat pada persamaan di bawah ini

Page 79: Skripsi M Sowwam_0603000486

67

)5(....................)4.......(..........

ittiit

ititit

wvuXY++=++=

εεβα

Di mana,

ui : komponen error kerat-lintang

vt : komponen error deret-waktu

wit : komponen error kombinasi

3.3.2. Pemilihan Metode Estimasi

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan dalam metode

data panel. Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana memilih satu dari tiga pendekatan

yang ada. Pemilihan ini bertujuan agar pendekatan yang dipilih cocok dengan tujuan

penelitian dan karakteristik data sehingga proses estimasi memberikan hasil yang lebih

tepat.

Metode OLS terlalu sederhana untuk mendeskripsikan fenomena yang ada,

sehingga pilihan selanjutnya adalah memilih diantara fixed effect model atau random effect

model. Penentuan atas dua model tersebut dapat ditentukan secara teoretis. Jika

diasumsikan bahwa error kerat-lintang tidak berkorelasi dengan regresor X, maka random

effect yang dipilih. Kemudian, jika diasumsikan bahwa error kerat-lintang berkorelasi

dengan X (error mempunyai pengaruh tetap/ dianggap sebagai bagian dari intercept),

maka fixed effect yang dipilih.

Jika secara teoretis tidak dapat ditentukan model mana yang akan dipilih, maka

dasar pemilihan model selanjutnya dapat didasarkan pada sampel penelitian. Jika data

diambil dari sampel individu atas suatu populasi yang besar secara acak, maka random

effect yang dipilih. Namun jika sampel merupakan seluruh populasi yang dipilih, maka

fixed effect merupakan metode yang lebih tepat (Hsiao, 1986).

Page 80: Skripsi M Sowwam_0603000486

68

Pengujian secara formal untuk menentukan model yang lebih baik untuk digunakan

dilakukan berdasar keputusan statistik. Serangkaian pengujian statistik yang dapat

dilakukan terdiri dari beberapa langkah. Hal ini dijelaskan pada gambar di bawah ini.

Gambar 3-1

Pengujian Pemilihan Metode Data Panel

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa secara statistik terdapat tiga pengujian

yang dapat digunakan untuk menentukan metode apa yang akan dipilih. Ketiga pengujian

itu adalah:

1) Chow Test

Chow test (pengujian F Statistics) berfungsi untuk menentukan apakah model yang

digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan

hipotesis sebagai berikut:

Chow Test

Fixed Effect

Pooled

Random Effect

Haussman test

LM Test

Page 81: Skripsi M Sowwam_0603000486

69

H0 : Model Pooled Least Square (restricted)

H1 : Model Fixed effect (unrestricted)

Tolak H0 jika nilai Chow statistik (F statistic) lebih besar dari F tabel. Dengan

demikian, model yang dipilih adalah model fixed effect, dan sebaliknya. Besaran nilai

Chow itu sendiri didapat dari perhitungan di bawah ini.

)6...(....................)/(

)1/()(KNNTURSS

NURSSRRSSChow−−−−

=

Di mana:

RRSS : restricted residual sum square

URSS : unrestricted residual sum square

N : jumlah data kerat-lintang

T : jumlah data deret-waktu

K : jumlah peubah bebas

2) Haussman Test

Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah model fixed effect atau random

effect yang dipilih. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 : model random effect

H1 : model fixed effect

Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan statistik chi

square. Jika chi square statistic > chi square table (p-value < α) maka H0 ditolak (model

yang digunakan adalah fixed effect), dan sebaliknya. Namun ada pula cara yang lebih

sederhana untuk menentukan apakah model yang digunakan fixed effect atau random

effect, diantaranya:

1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section)

kecil, maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda sehingga dapat

dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed effect model.

Page 82: Skripsi M Sowwam_0603000486

70

2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi yang digunakan adalah random effect.

(Nachrowi D Nachrowi, 2006)

3.4. Pengujian Model

Upaya menguji model dapat dilakukan dengan melihat beberapa kriteria. Kriteria-

kriteria tersebut diantaranya adalah kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada

penjelasan analisis di bab berikutnya secara eksplisit hanya mencakup kriteria statistik dan

ekonometrika, sementara kriteria ekonomi dimasukkan pada analisis hasil estimasi.

3.4.1. Kriteria Ekonomi

Pengujian hasil estimasi dengan menggunakan pendekatan ekonomi yang

menitikberatkan pada bagaimana perubahan variabel dependen sebagai akibat dari

perubahan variabel-variabel independennya. Kriteria ini berupaya menguji suatu model

mengenai hubungan logis antara kedua variabel tersebut. Hubungan antar variabel

dikatakan logis ketika didasarkan pada hukum ekonomi yang ada atau berdasar teori-teori

atau penelitian-penelitian sebelumnya. Jika terdapat perbedaan hasil, katakan berkaitan

dengan tanda besaran koefisien, apakah positif atau negatif, maka perlu dicarikan jawaban

berupa alasan atau argumentasi atas penemuan tersebut.

3.4.2. Kriteria Statistik

a. Pengujian R Squared ( R2 )

Pengujian ini dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang

digunakan dalam memprediksi nilai variabel dependen. Nilai ini merupakan fraksi dari

variasi yang mampu dijelaskan dengan baik oleh model. Nilai R2 berkisar antara nol dan

satu.

b. Pengujian Adjusted R Squared ( Adj R2 )

Page 83: Skripsi M Sowwam_0603000486

71

Salah satu permasalahan jika kita menggunakan ukuran R2 untuk menilai baik

buruknya suatu model adalah kita akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring

dengan penambahan variabel bebas ke dalam model. Adjusted R2 secara umum

memberikan penalti atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu

menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adj R2 tidak akan pernah melebihi R2, bahkan

dapat turun jika kita memasukkan suatu variabel yang tidak perlu ke dalam model. Pada

model yang memiliki kecocokan yang rendah (goodness of fit), nilai Adj R2-nya dapat

memiliki nilai negatif.

c. Uji signifikansi untuk masing-masing variabel bebas

Dilakukan dengan menggunakan uji t-statistik pada tingkat kepercayaan 1%, 5%

dan 10%. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah nilai koefisien yang dihasilkan berbeda

signifikan dengan nol.

d. Pengujian Keabsahan Koefisien Regresi secara Keseluruhan

Pengujian jenis ini dilakukan dengan menggunakan distribusi F. Nilai F akan

mengikuti distribusi F dengan degree of freedom. Nilai F statistik yang besar lebih baik

dibandingkan dengan nilai F statistik yang rendah. Sedangkan nilai probabilitas F

merupakan tingkat signifikansi marginal dari F statistik. Pengujian dengan menggunakan

F-statistik disebut pula dengan tes keseluruhan (overall test).

3.4.3. Kriteria Ekonometrik

Setiap estimasi ekonometri harus dibersihkan dari penyimpangan terhadap asumsi

dasar yang diharapkan. (Gujarati, 2003) Ada tiga masalah utama yang seringkali muncul

yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi dasar yaitu heteroscedasticity,

autocorelation dan multicolinearity. Dalam studi ini, ketiga masalah tersebut akan

dideteksi dalam persamaan yang digunakan. Dalam melakukan estimasi persamaan linear

Page 84: Skripsi M Sowwam_0603000486

72

maka asumsi-asumsi harus dipenuhi, jika asumsi tidak terpenuhi maka tidak menghasilkan

nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

a. Uji Multicollinearity

Multicolinearity terjadi ketika variabel bebas memiliki interdependensi yang

signifikan. Hal ini dapat menghasilkan suatu koefisien estimasi yang tidak stabil secara

numerik.

Uji multicolinearity dilakukan dengan beberapa cara yaitu, pertama, dengan

melihat apakah F statistik signifikansi namun t statistik tidak ada yang signifikan. Kedua,

apabila R² relatif besar tapi statistik t tidak ada yang signifikan. Multicolinearity dapat

ditentukan dengan melihat matriks korelasi dari variabel bebas. Jika terjadi korelasi lebih

dari 0,8 atau 0,9 antar variabel bebas maka terdapat masalah yang serius dengan

colinearity. Namun matriks korelasi tidak mengungkapkan tingkatan yang lebih tinggi dari

colinearity. Ada cara lain yang dapat mengungkapkan hal tersebut, yaitu variance inflation

factors (VIF). VIF merupakan suatu ukuran multicolinearity dalam suatu regresi (variabel

bebas). VIF adalah versi skala dari koefisien korelasi berganda antara variabel j dengan

variabel independen yang lainnya.

)7.........(..........)1(

12

jj R

VIF−

=

Di mana Rj adalah koefisien korelasi berganda.

Jika Rj sama dengan nol (tidak ada korelasi antara Xj dengan variabel bebas yang

lainnya), maka VIFj sama dengan 1. Ini adalah nilai terkecil. Neter, Wasserman dan Kutner

(1990) merekomendasikan untuk melihat pada nilai VIF yang terbesar. Jika nilainya lebih

besar dari 10 maka terdapat masalah multicolinearity.2

b. Uji Autocorrelation 2 http://www.itl.nist.gov/div898/software/dataplot/refman2/auxillar/vif.htm

Page 85: Skripsi M Sowwam_0603000486

73

Uji ini dilakukan dengan menggunakan statistik Durbin-Watson. DW Statistic

mengukur tingkat korelasi serial pada error persamaan regresi. Di mana angka DW yang

kurang dari dua mengindikasikan adanya korelasi serial. Implikasi dari adanya korelasi

serial pada error adalah model menjadi tidak konsisten untuk jumlah sampel yang lebih

besar, di mana errornya akan terbaca lebih besar.

Statistik DW dihitung dengan formula:

)8......(..........ˆ/)ˆˆ(1

2

2

21 ∑∑

==−−=

n

ii

n

iiiDW εεε

Jadi, DW itu tak lain hanya rasio jumlah kuadrat perbedaan dalam residual yang

berturut-turut terhadap RSS, dan ini merupakan keuntungan besar dari statistik DW yang

didasarkan pada residual yang ditaksir. Prosedur test yang digunakan adalah dengan

mengembangkan persamaan 1 tersebut menjadi: ∑

∑ ∑∑ −− −+= 2

12

12 2

t

tttt

eeeee

DW

karena ∑ 2te dan ∑ −

21te hanya berbeda satu periode observasi, keduanya kira-kira sama,

jadi dengan menetapkan ∑ 2te =∑ −

21te bisa di tulis sebagai: ⎟

⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−≈∑∑ −

2112

t

tt

eee

DW

sekarang akan didefinisikan koefisien autokolerasi derajat pertama dari sampel, suatu

penaksir dari ρ di mana ∑∑ −= 2

1^

t

tt

eee

ρ sehingga )1(2^ρ−=DW . Dengan demikian, akan

tidak ada korelasi ketika DW adalah atau mendekati 2, karena ^ρ adalah 0.

Untuk data panel statistik Durbin Watson dapat diketahui dari perhitungan berikut:

)9.......(..........)(

1 22

1 22

1

∑ ∑∑ ∑

= =

= = −−= N

i

T

t it

N

i

T

t ititpd

e

eeD

Di mana:

T : periode waktu dari data panel

Page 86: Skripsi M Sowwam_0603000486

74

N : jumlah individu pada data panel

eit : residu dari observasi data panel individu i pada periode t,

Apabila DW mendekati 2 maka menunjukkan tidak terjadi ( autokorelasi). Namun

ada yang perlu diperhatikan lebih lanjut, yaitu jika model estimasi yang digunakan adalah

model autoregresif. Pengujian DW seharusnya tidak digunakan untuk menguji

autocorelation karena akan cenderung untuk mendekati nilai 2. Dengan demikian, terdapat

bias pada nilai pengujian tersebut. Oleh karena itu, dikembangkan suatu pengukuran untuk

menguji autocorrelation dalam model seperti itu, yaitu statistik h (Gujarati, 2004).

)(var1211

αNNdh

−⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −= ………………(10)

Di mana:

d : statistitik Durbin-Watson yang biasa.

N : jumlah observasi

Varα : varians koefisien dari lag variabel dependen.

H0 : tidak ada autocorrelations

H1 : ada autocorrelations

Jika h yang dihitung lebih kecil dari nilai h kritis, maka terima H0. Namun untuk

melihat tingkat autokorelasi lebih lanjut digunakan test Breusch-Gofrey Langrange

Multiplier (LM) test. Jika probabilita Obs*R-squared statistic lebih kecil dari alpha (α =

0,05), maka kita tolak hipotesa Ho yang berarti bahwa ada masalah autokorelasi.

H0 : tidak ada serial correlations.

H1 : ada serial correlations

c. Uji Heteroscedasticity

Dilakukan dengan menggunakan Heteroscedasticity no cross term option. Di mana

Ho adalah homoscedsticity, dan jika probabilita dari R-squared statistic lebih kecil dari

Page 87: Skripsi M Sowwam_0603000486

75

alpha (α = 0,05), maka kita tolak H0 yang berarti bahwa ada masalah heteroscedasticity.

Cara mengatasinya ialah dengan men-treatment model tersebut dengan menggunakan

metode White.

Berbagai metode pengolahan data di atas dilakukan agar hasil estimasi model,

paling tidak, memenuhi berbagai persyaratan (BLUE) sehingga interpretasi atas hasil

estimasi dapat dipercaya. Bab selanjutnya akan memperlihatkan hasil pengolahan data

berdasarkan urutan langkah yang sudah dijelaskan sebelumnya dan interpretasi atas hasil

temuan empiris tersebut.

Page 88: Skripsi M Sowwam_0603000486

76

BAB IV

ANALISIS DAN HASIL ESTIMASI

Pada bab ini penulis akan memperlihatkan hasil estimasi dan menterjemahkan hasil

tersebut berdasar pada teori atau penelitian-penelitian sebelumnya. Urutan pada bab ini

kurang lebih akan mengikuti alur tahapan metodologi penelitian seperti yang terdapat pada

bab sebelumnya. Sementara untuk analisis hasil temuan empiris, penulis akan

membahasnya per jenis infrastruktur, sesuai pada bab studi literatur di atas.

4.1. Deskripsi Data

Dalam deskripsi data ada beberapa ukuran yang penting yaitu mengenai ukuran

terpusat (central tendency), penyebaran (dispersion/variability), dan distribusi

(distribution). Ukuran terpusat yang akan disajikan pada bagian ini adalah mean.

Sementara itu untuk ukuran penyebaran variasi pada data yang digunakan adalah standar

deviasi (ukuran penyebaran pada mean), dan nilai terkecil dan terbesar dari data numerik

(minimum dan maximum). Namun, untuk ukuran yang melihat bentuk distribusi seperti

skewness dan kurtosis tidak di tampilkan pada tabel di bawah ini, karena beberapa

keterbatasan. Di bawah ini adalah tabel mengenai deskripsi data.

Page 89: Skripsi M Sowwam_0603000486

77

Tabel 4-1

Deskripsi Data

Variabel Obs Mean Std. Dev Min Max Pov 390 0,238 0,198 0,239 1,339Air 390 7,588 7,741 1,005 76,013Irigasi 360 26,885 15,869 0,239 99,096Pkmas 390 0,228 0,114 0,344 0,555Kes4 390 0,668 0,363 0,160 1,993KesRS 390 0,007 0,003 0,002 0,019Jlnneg 390 0,296 0,272 0,000 1,587Jlprop 388 0,478 0,318 0,394 1,411Jlkab 390 2,336 1,297 0,000 7,938Pend1 390 0,915 0,251 0,331 1,823Pend2 390 0,132 0,379 0,551 0,243Pend3 390 0,694 0,021 0,214 0,130pendmngah 390 0,201 0,530 0,083 0,351Tel 390 20,576 31,128 0,752 226,772Listrik 390 220,051 322,621 18,634 2325,937

4.2. Pemilihan Model Estimasi

Pengujian yang pertama adalah menentukan apakah model estimasi menggunakan

metode biasa (Pooled Least Square ) atau menggunakan metode efek tetap (Fixed effect).

Besaran nilai Chow itu sendiri, didapat dari perhitungan di bawah ini.

309092,600188,01185,0

==Chow

F tabel (27, 325, 0.05) adalah 1,46. Dengan demikian, F statistik > F tabel, pada

tahap ini model yang dipilih bukan metode biasa melainkan metode efek tetap (fixed

effect). Tahap berikutnya adalah menentukan apakah metode estimasi yang digunakan

adalah metode efek tetap (fixed effect) dengan metode efek acak (random effect) dengan

menggunakan uji Hausmann. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 : Random Effect Model

H1 : Fixed Effect Model

Page 90: Skripsi M Sowwam_0603000486

78

Berdasarkan hasil penghitungan, didapat nilai Chi-Square sebesar 137,2272 dan

nilai p-value sebesar 0,000. Dengan demikian, karena nilai probabilita dari hausman < 0,05

maka H0 di tolak, artinya fixed effect model yang digunakan.

4.3. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika

4.3.1. Kriteria Statistik

Sesuai dengan apa yang terdapat pada bab metodologi penelitian, sebelum

melakukan analisis atas temuan empiris pada penelitian ini, maka model yang ada perlu

dilakukan berbagai macam pengujian dengan berbagai kriteria yang ada sehingga tidak

melanggar berbagai asumsi yang ada.

Tabel 4-2

Hasil Estimasi Persamaan Variable Coefficient t-Statistic Prob.

LOG(IRIGASI?(-1)) -0.061154 -3.525608 0.0005 LOG(AIR?(-1)) -0.004567 -0.365185 0.7152 LOG(JLKAB?(-1)) -0.015629 -0.642195 0.5212 LOG(JLNEG?(-1)) 0.024247 1.837799 0.0671 LOG(JLPROP?(-1)) 0.015970 1.069948 0.2855 LOG(KESRS?(-1)) -0.009667 -0.846307 0.3981 LOG(PKMAS?(-1)) 0.100252 2.677892 0.0078 LOG(TEL?(-1)) -0.090548 -7.214039 0.0000 LOG(PENDMNGAH?(-1)) -0.046005 -1.256266 0.2100 LOG(PEND1?(-1)) -0.130313 -2.909882 0.0039 DKRISIS? 0.227723 21.27047 0.0000 LOG(LISTRK?(-1)) -0.204153 -10.08593 0.0000 LOG(POV?(-1)) 0.656329 18.29062 0.0000 R-squared 0.991129 Adjusted R-squared 0.990053 F-statistic 921.7198 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.012943 *Level of significance α = 5%

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat tujuh variabel bebas yang

signifikan pada α 5%. Variabel-variabel tersebut ialah irigasi periode sebelumnya,

puskemas periode sebelumnya, telepon periode sebelumnya, gedung/sekolah dasar periode

sebelumnya, krisis, listrik periode sebelumnya, dan kemiskinan periode sebelumnya..

Page 91: Skripsi M Sowwam_0603000486

79

Sementara untuk variabel seperti jalan negara signifikan pada α = 10%. Variabel bebas

lainya seperti jalan kabupaten, jalan propinsi, jumlah RS, dan jumlah sekolah SMP-SMA

tidak signifikan.

Analisis secara keseluruhan, terlihat bahwa adjusted R2 dari model memiliki

besaran yang cukup tinggi yaitu 0,9911. artinya adalah bahwa model ini mampu

menjelaskan hingga 99,11% variasi yang terjadi pada tingkat kemiskinan propinsi di

Indonesia. Nilai adjusted R2 ini berguna untuk melihat apakah penambahan variabel bebas

mampu menambah daya prediksi suatu model.

4.3.2. Kriteria Ekonometrika

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kriteria ekonometrika terdiri

atas: pertama, apakah terdapat masalah autokorelasi atau tidak. Berdasarkan tabel 4-2 dapat

dilihat bahwa nilai Durbin-Watson mendekati nilai dua (2.0129). Seperti yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya, model autoregresif akan menghasilkan nilai DW yang

bias. Oleh karena itu, akan dilakukan penghitungan statistik yang sesuai dengan model

tersebut yaitu statistik h.

121.0)000171,0(3341

3340129,2211 −=

−⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=h

Dari hasil perhitungan didapat bahwa nilai h adalah -0.121. Karena h hitung lebih

kecil dari h kritis (1,645) maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat masalah

autocorrelation.

Kriteria ekonometrika yang kedua adalah apakah dalam model terdapat masalah

multicolinearity atau tidak. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melihat apakah

terdapat masalah multicolinearity atau tidak, yaitu dengan melakukan komparasi antara

besaran R2 dengan signifikansi dari variabel bebas. Dari ringkasan hasil estimasi di atas

terlihat bahwa nilai R2 besar, kemudian cukup banyak variabel bebas yang signifikan. Hal

Page 92: Skripsi M Sowwam_0603000486

80

ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat multicolinearity. Cara berikutnya adalah dengan

menggunakan matriks korelasi. Bila besaran matriks korelasi menunjukkan besaran 0,8-0,9

maka di indikasikan bahwa variabel bebas tersebut berkorelasi dengan variabel bebas

lainnya. Berikut adalah matriks korelasi dengan menggunakan stata.

Tabel 4-3

Matriks Korelasi

Logirigasi (-1)

Logair (-1)

Logjlneg (-1)

Logjlprop (-1)

Logjlkab (-1)

Logkesrs (-1)

Logpkmas (-1)

Logtel (-1)

Logpendmngah (-1)

Logpend (-1)

Loglistrk (-1)

Logirigasi(-1) 1

logair(-1) -0,5397 1

logjlneg(-1) 0,4223 -0,2094 1

logjlprop(-1) 0,2284 -0,1618 0,8241 1

logjlkab(-1) 0,4072 -0,1561 0,7824 0,7497 1

logkesrs(-1) -0,2273 0,4597 0,1854 0,2946 0,3438 1

logpkmas(-1) 0,5402 -0,2082 0,9327 0,8000 0,8472 0,2244 1

logtel(-1) -0,4024 0,6421 -0,1609 -0,1265 -0,1431 0,2553 -0,1960 1

logpendmngah(-1) -0,1329 0,1982 0,4804 0,5279 0,5680 0,4355 0,4932 0,1514 1

logpend(-1) 0,5974 -0,3458 0,8199 0,6218 0,7686 0,1536 0,8816 -0,4214 0,3622 1

Loglistrk(-1) -0,6364 0,7376 -0,5783 -0,5684 -0,5132 0,1755 -0,6060 0,6990 -0,0519 -0,6894

1

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat nilai yang melebihi 0,8 yaitu pada

variabel jalan negara dan jalan propinsi, jalan negara dengan puskesmas (pkmas), jalan

kabupaten dengan puskemas, dan sekolah dasar dengan jalan negara, dan sekolah dasar

(pend1) dengan puskesmas. Namun hal ini belum memastikan bahwa memang benar telah

terjadi multicolinearity. Oleh karena itu, akan dilakukan uji yang lain, yaitu dengan

menggunakan variance Inflation Factors (VIF). Di bawah ini adalah hasil perhitungan

VIF.

Page 93: Skripsi M Sowwam_0603000486

81

Tabel 4-4

Variance Inflation Factors a

Variable VIF 1/VIF Logpkmas(-1) 18,93 0,053 logjlneg(-1) 10,26 0,098 Logpend1(-1) 8,18 0,122 loglistrk(-1) 7,80 0,128 Logjlprop(-1) 6,24 0,160 Logjlkab(-1) 4,61 0,217 Logair(-1) 3,43 0,292 Logirigasi(-1) 3,34 0,300 Logtel(-1) 2,92 0,343 Logpendmngah(-1) 2,19 0,457 Logkesrs(-1) 1,83 0,546 Mean VIF 6,34

Ternyata nilai VIF variabel-variabel bebas ada yang melebihi nilai sepuluh (10),

yaitu puskesmas dan jalan negara maka dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan tabel di

atas, multicolinearity terdapat pada estimasi model ini. Oleh karena itu, pada variabel

puskesmas (pkmas) dilakukan modifikasi, yaitu mengeluarkan puskesmas pembantu dari

puskesmas utama. Variabel baru yang telah dimodifikasi menjadi (kes1). Kemudian

penggabungan variabel jalan negara dengan jalan propinsi (jlnegprop) untuk

menghilangkan korelasi yang tinggi pada jalan negara. Setelah dilakukan modifikasi maka

masalah multicolinearity tidak terlihat lagi. Hal ini dapat dilihat dari hasil Penghitungan

VIF di bawah ini.

Tabel 4-5 Variance Inflation Factors

Variable VIF 1/VIF Loglistrk(-1) 7,23 0,1383 Logpend1(-1) 6,04 0,1656 logjlnegprop(-1) 5,81 0,1721 Logkes1(-1) 4,52 0,2213 logjlkab(-1) 4,20 0,2384 logtel(-1) 3,49 0,2868 logair(-1) 3,28 0,3046 logirigasi(-1) 2,86 0,3499 logpendmngah(-1) 2,28 0,4395 Logkes4(-1) 1,61 0,6229

Page 94: Skripsi M Sowwam_0603000486

82

Mean VIF 4,13

Berkaitan dengan masalah heteroscedasticity, masalah ini dapat dilihat dengan

membandingkan nilai sum square of residual error (SSRE) antara estimasi yang di bobot

dengan yang tidak. Dari hasil estimasi (dapat dilihat di bagian lampiran) terlihat adanya

potensi heteroscedasticity. Namun oleh karena sudah dilakukan pembobotan (white

heteroscedasticity) maka masalah heteroscedasticity ini terselesaikan.

Ada satu hal yang perlu diperhatikan. Karena dalam proses uji multicolinearity

telah terjadi perubahan satu variabel maka model persamaan juga berubah secara otomatis.

Di bawah ini adalah hasil akhir model persamaan yang sudah melalui beberapa tahap

pengujian seperti yang telah dilakukan pada persamaan sebelumnya (hasil pengujian dapat

dilihat pada lampiran). Tabel di bawah ini terdiri dari tiga persamaan, persamaan dengan

lag 1, 2, dan tiga secara terpisah. Khusus untuk kemiskinan, karena beberapa alasan

tertentu dan untuk tujuan studi maka lag yang akan digunakan adalah hanya lag 1. Dari

berbagai tahapan pengujian tersebut, disimpulkan bahwa model persamaan ini (tabel 4-6)

sudah tidak terjadi pelanggaran asumsi ekonometrika.

Page 95: Skripsi M Sowwam_0603000486

83

Tabel 4-6

Hasil Estimasi Persamaan

Lags 1 Lags 2 lags 3 Variabel Koefisien Prob. Koefisien Prob. Koefisien Prob.

LOG(IRIGASI) -0,05833 0,0010 -0,01433 0,4711 -0,03954 0,0872 LOG(AIR) -0,01003 0,4259 -0,03142 0,0015 -0,05394 0,0003 LOG(JLKAB) -0,00087 0,9721 0,03137 0,1655 0,04269 0,0892 LOG(JLNEGPROP) 0,01593 0,4778 0,02484 0,2044 0,01461 0,5104 LOG(KES4) -0,00364 0,7208 -0,03748 0,0001 -0,02162 0,0633 LOG(KES1) 0,10927 0,0021 0,17819 0,0000 0,07095 0,0942 LOG(TEL) -0,08209 0,0000 -0,02898 0,0115 -0,06567 0,0000 LOG(PENDMNGAH) -0,05030 0,1670 0,17349 0,0000 0,18927 0,0000 LOG(PEND1) -0,11185 0,0134 -0,04288 0,3033 -0,10223 0,0779 DKRISIS 0,22715 0,0000 0,20628 0,0000 0,23266 0,0000 LOG(LISTRK) -0,20228 0,0000 -0,21178 0,0000 -0,16463 0,0000 LOG(POV)(-1) 0,66232 0,0000 0,63052 0,0000 0,59054 0,0000 R-squared 0,99103 0,99034 0,98945 Adjusted R-squared 0,98998 0,98911 0,98798 F-statistic 940,68090 802,81350 670,01740 Prob(F-statistic) 0,00000 0,00000 0,00000 Durbin-Watson stat 2,00412 2,15345 2,16908

4.4. Analisis Temuan Empiris

Pada bagian ini, analisis akan dilakukan per variabel bebas. Analisis akan

dilakukan baik melalui pendekatan deskriptif maupun pendekatan teoretis (dikaitkan

dengan penelitian-penelitian sebelumnya). Hasil estimasi yang akan di analisis adalah

hasil estimasi pada tabel 4-6.

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa terdapat delapan variabel yang signifikan

pada α = 5%. Sementara itu ada lima variabel yang tidak signifikan yaitu air, jalan negara-

propinsi, jalan kabupaten dan jumlah sekolah SMP dan SMA.

Page 96: Skripsi M Sowwam_0603000486

84

4.4.1. Variabel Irigasi

Hasil estimasi model pada penelitian ini menunjukkan hubungan negatif antara

variabel irigasi dengan kemiskinan. Pada kolom satu, setiap kenaikan 1% pada irigasi satu

tahun sebelumnya maka akan terjadi penurunan pada kemiskinan sebesar 0,058%, ceteris

paribus. Hasil ini sesuai dengan mainstream penelitian sebelumnya. Hasil-hasil penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa irigasi akan meningkatkan pendapatan akibat

berkurangnya biaya produksi. Selain itu dalam proses pembangunannya irigasi merupakan

bentuk public works public works yang relatif labor intensif, hal ini pada tahap selanjutnya

adalah penyerapan banyak tenaga kerja, dengan begitu kemiskinan akan berkurang (Reddy,

Reddy and Sousan, 2003; Intizar Husain, Giardano and Harnja, 2003; JBIC, 2007).

Namun bila dilihat dari besaran dampaknya, irigasi ternyata tidak memberikan hasil

yang besar. Hal ini terlihat dari tingkat elastisitas/sensitivitas yang kurang dari 1. Hal ini

mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti akses, pengelolaan, dan kondisi

ketidakmerataan lahan yang ada pada sektor pertanian.

Hasil studi ini mirip dengan hasil penelitian Husain, Triwakhala, dan Marikar

(2002) khususnya untuk wilayah Pakistan. Walaupun banyak perdedaan dalam metodologi

penelitian, mungkin hasil penelitian mereka tersebut juga dapat terjadi di Indonesia.

Penelitian mereka menunjukkan bahwa ketidakmerataan kepemilikan asset (tanah) akan

menegasikan dampak pembangunan irigasi terhadap kemiskinan. Masyarakat yang

memiliki tanah yang luas akan lebih diuntungkan daripada masyarakat yang memiliki

lahan yang kecil. Selanjutnya mereka juga menunjukkan bahwa tata kelola yang buruk

(buruknya kondisi infrastruktur irigasi, kurangnya upaya dalam pemeliharaan, serta adanya

pencurian air) akan menghilangkan dampak pembangunan irigasi terhadap kemiskinan.

Mengenai kepemilikan lahan, berdasarkan data hasil Sensus Pertanian 2003 (ST03)

dapat dilihat bahwa kepemilikan lahan petani di Indonesia semakin sedikit. Persentase

Page 97: Skripsi M Sowwam_0603000486

85

rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat

menjadi 56,5 persen pada tahun 2003. Padahal dalam Sensus Pertanian 1993 (ST93) masih

sebesar 52,7 persen. Petani gurem yang tadi berjumlah 10.804.000 rumah tangga pada

1993 menjadi 13.663.000 tahun 2003. Terjadi penambahan 3,8 persen petani atau

2.859.000 juta rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha.

Selama 10 tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,6

persen/ tahun. Berdasar pada data BPS, persentase petani gurem di Jawa adalah 69,8

persen pada 1993, namun angka ini melaju cepat menjadi 74,9 persen atau bertambah

sebanyak 1.922.000 rumah tangga. Di luar Jawa, ST93 persentasenya sebesar 30,6 persen,

sementara itu ST03 mencatat 33,9 persen ekuivalen dengan 937.000 rumah tangga. Hal ini

menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat dari pada

di luar Jawa. Di bawah ini adalah tabel mengenai rumah tangga yang memiliki luas tanam

kurang dari 0,5 ha berdasarkan quantiles di Indonesia pada tahun 2004.

Tabel 4-9

Rumah Tangga yang Memiliki Luas Tanam (Padi) Kurang dari 0,5 Ha Berdasarkan

Kuintil, Indonesia, 2004

quantiles of b7r28 Freq. Percent Cum.

1 4,285 14,13 14,13 2 4,862 16,04 30,17 3 4,523 14,92 45,09 4 4,086 13,48 58,57 5 3,475 11,46 70,03 6 3,029 9,99 80,02 7 2,442 8,05 88,08 8 1,863 6,15 94,22 9 1,160 3,83 98,05

10 592 1,95 100,00 Total 30,317 100,00

Sumber: Susenas 2004, diolah

Selain itu data yang didapat dari Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan

Departemen pertanian, memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2001-2003 sebanyak

Page 98: Skripsi M Sowwam_0603000486

86

610.596 Ha lahan sawah berganti menjadi kawasan permukiman dan kegiatan usaha

lainnya. Hal-hal tersebutlah yang menegasikan dampak pembangunan irigasi terhadap

kemiskinan.

4.4.2. Air bersih

Volume banyaknya air bersih yang disalurkan ke masyarakat ternyata tidak mampu

mengurangi kemiskinan pada periode awal. Hal ini ditunjukkan dari tidak signifikannya

(pada α = 5%) pengaruh variabel air bersih terhadap penduduk miskin. Namun, air bersih

baru mampu mengurangi kemiskinan dengan membutuhkan rentang waktu yang lebih

lama, yaitu dua sampai tiga tahun. Terlihat bahwa pada lag 2, ketika terjadi 1% kenaikan

pada air yang diditribusikan ke masyarakat maka kemiskinan akan berkurang sebesar

0.0314%, ceteris paribus.

Air termasuk dalam kebutuhan dasar –merupakan salah satu konsep dalam

kemiskinan. Ketika kebutuhan dasar dari suatu individu (rumah tangga) itu dapat terpenuhi

maka individu (rumah tangga) tidak tergolong dalam orang (rumah tangga) miskin. Air

bersih juga terbukti dapat meningkatkan kondisi kesehatan penduduk. Ketika penduduk

sehat, maka probabilitas hilangnya potensi penghasilan akibat tidak bekerja karena sakit

akan kecil. Dengan demikian, air bersih tentunya akan diekspektasikan mempunyai

korelasi negatif yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Namun, ternyata

temuan empiris ini menunjukkan bahwa air besih masih relatif kecil mempengaruhi proses

pengurangan kemiskinan di Indonesia.

Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena

volume air bersih yang didistribusikan selama ini masih terlalu kecil untuk memberikan

dampak bagi pengurangan kemiskinan. Kedua, berkaitan dengan masalah akses penduduk

miskin terhadap air bersih. Berdasarkan data SUSENAS dapat diketahui bahwa 40%

Page 99: Skripsi M Sowwam_0603000486

87

penduduk termiskin masih memiliki akses yang sangat kecil, secara relatif, dibandingkan

dengan 20% penduduk terkaya.

Grafik 4-1

Akses Terhadap Air Bersih Berdasarkan Tingkat Penghasilan

Berdasarkan grafik di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa karena akses

penduduk termiskin terhadap air bersih relatif kecil, maka penambahan volume air bersih

yang disalurkan hanya memberikan manfaat yang relatif kecil. Kualitas hidup mereka tidak

meningkat sebagaimana yang diharapkan jika mereka memiliki akses terhadap air bersih

tersebut.

Kemudian, di bawah ini adalah tabel mengenai sumber air minum berdasarkan

kuintil. Ukuran sumber air minum yang sehat adalah dari 1-4, sementara untuk sumber air

minum yang lainnya (sumur tak terlindungi, air sungai, air hujan, mata air tak terlindungi,

dan lainnya) dinilai relatif kurang sehat.

Page 100: Skripsi M Sowwam_0603000486

88

Tabel 4-9

Akses Sumber Air Minum Berdasarkan Kuintil, Indonesia, 2004

quantiles 1 2 3 4 lainnya 1 1,43 3,80 5,89 11,38 13,83 2 3,17 4,55 7,01 11,12 13,23 3 3,75 5,07 7,71 11,13 12,69 4 3,98 6,29 8,13 11,09 11,91 5 6,08 7,70 9,53 10,76 11,62 6 6,64 8,90 10,29 10,71 10,04 7 8,82 10,82 11,57 10,12 9,02 8 11,82 11,73 12,25 9,44 8,80 9 16,53 18,05 13,40 8,15 5,91 10 37,77 23,08 14,23 6,10 3,67 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Keterangan: 1) air dalam kemasan, 2) ledeng 3) pompa 4) sumur terlindungi Sumber: Susenas 2004, diolah

Tabel di atas mengindikasikan bahwa akses terhadap sumber air minum yang sehat

relatif kecil bagi masyarakat miskin (kuintil dasar, 1-2), sebaliknya untuk mereka yang

kaya (kuintil atas) akses terhadap sumber air minum yang sehat lebih besar. berlawanan

dengan hal itu, sumber air minum penduduk miskin relatif kurang sehat. Hal ini terlihat

pada kolom terakhir yang berisi sumber air minum lainnya, kuintil 1-2 berkisar 13,23

hingga 13,83%.

Selanjutnya, secara umum 22% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki akses

air bersih. Hanya 14% yang secara formal tersambung ke PDAM. PDAM mensuplai air ke

50% rumah tangga (36% lewat jaringan pipa dan sisanya lewat vendor) di daerah

perkotaan, di mana 40-42% dari total rumah tangga disediakan masyarakat dan sistem

yang dikelola rumah tangga. Di daerah pedesaan, PDAM hanya melayani sekitar 8%

rumah tangga, dan sekitar 88% rumah tangga tersebut dilayani oleh mekanisme penyediaan

sendiri (self-supply) yang disediakan oleh masyarakat maupun rumah tangga itu sendiri

(Indonesia, Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action; 2004).

Berkaitan dengan suplai air bersih di perkotaan, masyarakat perkotaan di Indonesia

yang menikmati air bersih dengan sistem perpipaan baru mencapai 39% (KAI, 2003).

Page 101: Skripsi M Sowwam_0603000486

89

Kualitas air yang baik baru 68%. Lamanya jam operasi (pelayanan) adalah 18 jam.

Terdapat kebocoran yang cukup besar yaitu 38% (Alizar Anwar, 2004).

Selain masalah akses, masalah kondisi infrastruktur juga telah menghilangkan

dampak air bersih terhadap kemiskinan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Cipta Karya

Departemen Pekerjaan umum, dinyatakan bahwa hampir 80% infrastruktur untuk

penyediaan air bersih dalam kondisi memprihatinkan. Kemudian melihat kondisi PDAM,

hanya 5% yang sehat, kurang sehat 31%, tidak sehat 32%, dan kritis 28% (Alizar Anwar,

2004).

4.4.3. Variabel Jalan

Panjang jalan kabupaten dan jalan negara serta propinsi ternyata tidak berpengaruh

pada kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4-6, di mana panjang jalan tidak mampu

mengurangi kemiskinan.

Hal ini karena berbagai keterbatasan yang ada, penelitian ini belum melihat kualitas

jalan, apakah baik, rusak parah atau tidak. Di bawah ini adalah grafik persentase jalan

kabupaten kondisi baik dengan total jalan kabupaten pada tahun 2004.

Grafik 4-2

Persentase Jalan Kabupaten dengan Kondisi Baik terhadap Total Jalan kabupaten di

setiap Provinsi, Indonesia, 2004

Sumber: BPS, diolah

Page 102: Skripsi M Sowwam_0603000486

90

Dari Grafik tersebut terlihat bahwa hanya ada beberapa provinsi (tiga) saja di mana

persentase kondisi jalan Kabupaten yang baik melebihi besaran 50%. Provinsi-provinsi

tersebut adalah Sumatera Selatan, Jakarta dan Jogyakarta.

Namun bila dilihat dari tanda koefisiennya, diketahui bahwa jalan kabupaten

bertanda negatif sementara itu jalan propinsi dan negara bertanda positif. Hal ini

mengindikasikan bahwa pembukaan isolasi atas daerah miskin sehingga bisa berinteraksi

dengan daerah yang lain, belum memerlukan lingkup wilayah yang relatif luas, melainkan

hanya untuk wilayah-wilayah sekitarnya saja. Transaksi ekonomi yang diciptakan oleh

jalan masih dalam lingkup wilayah yang tidak terlalu luas.

4.4.4. Variabel Kesehatan

Variabel kesehatan pada model estimasi ini terdiri dari dua macam, yang pertama

adalah jumlah tempat tidur di rumah sakit dan jumlah puskesmas (tidak termasuk

puskesmas pembantu) yang terdapat di setiap provinsi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa

jumlah tempat tidur di rumah sakit berpengaruh secara signifikan terhadap pengurangan

penduduk miskin. Namun pengaruhnya itu baru dirasakan pada 2-3 tahun berikutnya.

Setiap tambahan 1% tempat tidur di Rumah Sakit pada dua periode sebelumnya, maka

kemiskinan akan berkurang sebesar 0,03%, ceteris paribus. Dengan adanya sarana

kesehatan, dalam hal ini sarana di rumah sakit. Ketika seseorang sakit, maka sarana

kesehatan ini mampu mengurangi lamanya seseorang itu sakit sehingga biaya opportunitas

yang timbul menjadi lebih kecil.

Sementara itu, jumlah puskesmas berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah

penduduk miskin namun memiliki besara positif. Hal ini sepertinya mengikuti pola

kesimpulan yang dihasilkan pada studi Duflo (2000). Ia menyatakan bahwa pembangunan

sekolah dasar yang melebihi 61.000 sekolah di Indonesia pada tahun 1973-1978 dilakukan

tidak secara acak. pada sistem yang tersentralisasi, pembangunan sekolah akan

Page 103: Skripsi M Sowwam_0603000486

91

terjadi/banyak pada daerah-daerah yang terbelakang. Hal ini menyebabkan upah akan lebih

rendah pada daerah yang memiliki lebih banyak sekolah negeri. Sehingga di sini terlihat

bahwa puskesmas memiliki hubungan yang positif dengan kemiskinan.

Hal ini mungkin karena penurunan kinerja puskesmas. Setelah krisis penurunan

kinerja puskemas dapat dibedakan menjadi dua macam (Juanita, 2002). Pertama,

penurunan kemampuan puskesmas, diantaranya ialah:

a. Menurunnya persediaan obat karena sebagian besar obat masih di impor.

b. Menurunnya persediaan alat kesehatan dan reagensia.

c. Menurunnya kemampuan pembiayaan program/pelayanan kesehatan, contohnya

kunjungan ke rumah dan surveilance menurun tajam.

Kedua, meningkatnya beban kerja puskesmas seperti meningkatnya jumlah

program/ pelayanan. Kemudian, dalam rangka mengatasi masalah kesehatan yang banyak

dihadapi keluarga miskin, puskesmas harus mengaktifkan kembali beberapa kegiatan

program yang sebelumnya tidak dilaksanakan secara intensif, misalnya, penimbangan

balita, pemberian makanan tambahan, surveilan gizi penyakit menular. Selain itu,

puskesmas harus melaksanakan beberapa kegiatan baru seperti identifikasi keluarga

miskin. Terakhir, meningkatnya masalah kesehatan secara umum di wilayah kerjanya

(Juanita, 2002). Penurunan kemampuan serta meningkatnya beban kerja menyebabkan

menurunya mutu kualitas pelayanan puskesmas serta kondisi kesehatan secara

keseluruhan.

Selain itu, di Indonesia, dalam kondisi normal, pola pembiayaan langsung (biaya

diberikan langsung kepada provider) tidak cocok. Karena pola pembiayaan tersebut akan

menimbulkan inefisiensi, penyalahgunaan, tidak dapat diaudit oleh tim (Rubi, 2005).

Dengan demikian, opportunity cost-nya relatif besar. Thabrany dan Mayanda (2005)

berpendapat bahwa meskipun fasilitas kesehatan sudah tersebar luas, namun utilisasi atas

Page 104: Skripsi M Sowwam_0603000486

92

fasilitas tersebut masih belum optimal. Subsidi pemerintah pada puskesmas dan rumah

sakit tidak tepat sasaran. Hal ini karena proporsi RT berpendapatan tinggi yang menerima

subsidi relatif besar, sekitar setengah dari RT pendapatan terendah. Penduduk miskin tidak

memiliki akses yang sama karena kendala budaya, geografis, dan finansial.

4.4.5. Variabel Pendidikan

Banyaknya bangunan sekolah dasar mampu mengurangi kemiskinan pada periode

satu dan tiga tahun sebelumnya. Setiap kenaikan 1% sekolah dasar pada periode

sebelumnya maka kemiskinan akan berkurang sebesar 0,111%, ceteris paribus.

Sekolah dasar terbukti mampu memberikan manfaat pada penduduk miskin,

terutama mereka yang tinggal di perdesaan. Beberapa penelitian sebelumnya

mengungkapkan bahwa penduduk/petani yang lulus sekolah dasar akan lebih produktif

dibandingkan yang tidak bersekolah. Karena dengan pendidikan dasar penduduk sangat

dibantu oleh keterampilan dasar seperti berhitung, membaca, dan tulis. Keterampilan-

keterampilan tersebut adalah dasar untuk dapat bertahan hidup, misalnya penduduk akan

mampu mengatur keuangannya sendiri sehingga lebih efisien, dan lain sebagainya.

Namun, dampak tersebut hanya sampai pada tingkat sekolah dasar saja, tidak pada

jenjang yang lebih tinggi. Foster dan Rosenzweig (1995) meneliti mengenai dampak dari

pendidikan terhadap petani di India. Studi ini sangat relevan jika digunakan sebagai

pelajaran untuk Indonesia. Bagi petani, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat,

juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah. Mengingat

bagi petani pengalaman lebih dibutuhkan daripada pendidikan (lanjutan bukan dasar).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa opportunity cost untuk ke sekolah sangat besar.

Hal inilah yang mungkin menyebabkan permintaan terhadap pendidikan menengah masih

relatif kecil.

Page 105: Skripsi M Sowwam_0603000486

93

Berlainan dengan hasil banyaknya sekolah dasar, banyaknya SMP dan SMA

ternyata memiliki dampak yang sebaliknya. Banyaknya SMP dan SMA dua dan tiga

periode sebelumnya berhubungan positif dengan kemiskinan.

Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama,

dikaitkan dengan ketenagakerjaan antar sektor, maka ketika probabilita partisipasi

penduduk pada pendidikan menengah ini tinggi akan terjadi pergeseran penawaran tenaga

kerja dari sektor pertanian ke sektor modern. Pergeseran penawaran ini pada umumnya

mensyaratkan terjadinya perpindahan penduduk dalam ranah geografi. Kemudian terdapat

dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu pertama, perpindahan penduduk tersebut akan

menyebabkan berkurangnya sumber daya di desa (brain drain effects).

Ketika penawaran ini dapat diakomodasi oleh permintaan tenaga kerja di sektor

modern, penduduk dengan years of schooling lebih lama akan menerima pendapatan yang

lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Paul Schultz (1988) yang menyatakan bahwa

ada hubungan positif antara pekerja yang sekolah dengan pendapatan mereka. Namun, hal

ini memiliki potensi dampak negatif yaitu terciptanya suatu kesenjangan diantara kedua

sektor tersebut. Sebaliknya, ketika penawaran tersebut tidak terakomodasi maka yang

terjadi adalah shared poverty.

Sebagai buktinya adalah meningkatnya proporsi penduduk miskin di daerah

perkotaan yang lebih dikarenakan proses urbanisasi. Kemudian, meningkatnya penduduk

yang bermatapencaharian di sektor jasa. Peningkatan sektor jasa ini bukan karena

tingginya permintaan pada sektor tersebut melainkan karena tidak terserapnya penawaran

tenaga kerja di sektor modern (manufaktur). Sektor jasa ini lebih merupakan sektor

infomal. Sektor ini sangat rentan jika terjadi guncangan.

Dengan demikian, Pendidikan dapat berdampak negatif pada pemerataan. Berbagai

studi komparatif antar negara menunjukkan ketika pendidikan tinggi maka terdapat

Page 106: Skripsi M Sowwam_0603000486

94

kecenderungan ketidakmerataan yang tinggi pula. Seperti yang ditunjukkan oleh Pritchett

(2003). Ia menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antarnegara di dunia.

Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi

0,56. Tapi, di saat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antarnegara

meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.

Di Indonesia pada 1980-1990-an, subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi

pendidikan tinggi menyebabkan koefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan

perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu

(Booth, 2000).

Data menujukkan bahwa terdapat masalah serius pada sektor pendidikan, terutama

di tingkat menengah pertama dan selanjutnya. Data mengenai tingkat partisipasi murni

pada tahun 1999 menyatakan bahwa persentase untuk anak usia 13-17 tahun adalah 79%,

dan untuk usia 16-18 tahun adalah 51%. Selanjutnya jika melihat dari latar belakang sosio-

ekonomi, tingkat partisipasi sekolah mereka yang masuk ke SMP dari golongan kuintil

terkaya adalah 93%, sementara untuk kuintil termiskin hanya 66%. Ditingkat selanjutnya

(SMA) kondisi semakin parah, angka partisipasi untuk kedua kuintil ini adalah masing-

masing 75% dan 29%. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari keluarga miskin menghadapi

maslah serius dalam meneruskan pendidikan mereka, terutama untuk tingkat pendidikan

lanjutan setelah sekolah dasar (SMERU, 2001).

Pendidikan yang meningkatkan produktivitas pekerja merupakan asumsi dasar

dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan

kesenjangan. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan

meningkat. Di sisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu

diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi

kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan

Page 107: Skripsi M Sowwam_0603000486

95

kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan

mengecil. Namun, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari

pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk

jenis-jenis pekerjaan tertentu.

4.4.6. Variabel Telepon

Sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, Pada penelitian ini didapat bahwa

telepon berkorelasi negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Artinya

setiap kenaikan 1%, ceteris paribus, sambungan telepon pada satu periode sebelumnya

maka kemiskinan akan berkurang sebesar 0,082%. Hal ini karena telepon mampu

menurunkan biaya dalam proses produksi. Kemudian telepon dapat meningkatkan

opportunitas penduduk baik itu dalam bidang ketenagakerjaan maupun usaha.

Berdasarkan data yang ada, pengguna telepon bagi penduduk miskin masih sangat

kecil. Kemudian secara umum juga menunjukkan hal yang sama, dari 72.000 jumlah desa,

desa yang belum terjangkau telepon adalah 43.000. Sementara itu jumlah SST telkom 2002

adalah 7,8 juta, dan jumlah pelanggan telkom 2002 adalah 7,4 Juta (Bisnis Indonesia,

14/05/2003). Pertanyaannya, mengapa variabel telepon masih mampu mengurangi

kemiskinan?

Adalah suatu fenomena yang sangat umum yang terjadi di masyarakat bahwa

penduduk yang tidak mempunyai telepon fixed-line sering meminta bantuan kepada

tetangga atau saudaranya yang memiliki telepon. Sehingga walaupun mereka itu tidak

memiliki sambungan telepon namun masih bisa menerima manfaat dari para pemilik

telepon. Dengan demikian, ada suatu spillover effect dari si pemilik telepon kepada rumah

tangga lain yang tidak memiliki sambungan telepon.

Page 108: Skripsi M Sowwam_0603000486

96

4.4.7. Variabel Krisis

Krisis moneter di Indonesia terbukti menimbulkan berbagai biaya yang sangat

merugikan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh krisis terhadap jumlah

penduduk miskin. Krisis terbukti secara empiris meningkatkan penduduk miskin di

Indonesia. Krisis menambah penduduk miskin Indonesia sebesar 0,22 orang miskin per

seribu penduduk.

Thomas dan Frankenberg (2005) meneliti respon rumah tangga terhadap krisis.

Dengan menggunakan data survey rumah tangga longitudinal (IFLS berbagai tahun),

menemukan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan pengeluaran rumah tangga

sebesar 10%. Kemudian dihubungkan antara perdesaan dan perkotaan, maka penduduk

perkotaan memperoleh dampak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang ada di

perdesaan. Total pengeluaran rumah tangga di perkotaan menurun sebesar 25%,

pengeluaran perkapita turun sebesar 34%, sementara untuk di perdesaan total pengeluaran

rumah tangga tidak mengalami penurunan, tetapi pengeluaran perkapita menurun 18%.

Pada kedua region tersebut kemiskinan meningkat dengan besaran yang sama, yaitu 30%.

Selain itu mereka juga menemukan bahwa krisis berdampak pada penurunan

investasi modal manusia, yaitu sekolah dan kesehatan. Untuk penduduk miskin, krisis

menyebabkan penurunan yang cukup substansial pada porsi pengeluaran untuk sekolah

pada tahun 1997-1998. Hal ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan penduduk.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, secara rata-rata, pendapatan rumah tangga menurun

sebesar 40% untuk di perkotaan, sementara di perdesaan penurunan jauh lebih kecil yaitu

sebesar 20% (Thomas dan Frankenberg, 2005).

Hal tersebut dapat terlihat dari grafik penduduk miskin Indonesia dari tahun 1976

hingga 2004. Secara umum kemiskinan dari tahun 1976 hingga periode awal 90-an

mengalami penurunan yang drastis. Namun sejak tahun 1996 hingga 1999 mengalami

Page 109: Skripsi M Sowwam_0603000486

97

kenaikan yang drastis pula. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin terus meningkat

hingga 49,5 juta jiwa. Dibanding dengan tahun 1996, angka penduduk miskin meningkat

sekitar 30,3%. Tingginya penduduk miskin pada tahun 1998 ini merupakan dampak

kumulatif dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Tingginya inflasi ketika krisis dan

banyaknya pengangguran merupakan salah satu faktor utama penentu peningkatan

kemiskinan pada periode ini. Kenaikan inflasi menyebabkan biaya hidup semakin tinggi,

semakin banyak penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Grafik 4-3

Persentase Penduduk Miskin, Indonesia, 1976-2006

Sumber: BPS

4.4.8. Variabel Listrik

Semakin besar kapasitas listrik di Indonesia, maka besaran listrik yang

didistribusikan kepada masyarakat akan semakin besar. Hal ini secara empiris akan

menurunkan tingkat kemiskinan. Setiap kenaikan 1% kapasitas listrik pada satu periode

sebelumnya, ceteris paribus, maka penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,202%.

Variabel ini memiliki dampak secara langsung dan tidak langsung bagi penduduk

miskin di Indonesia. Dampak langsung dari keberadaan infrastruktur ini diantaranya adalah

listrik sebagian besar digunakan untuk penerangan, TV, dan radio pada tingkat pendapatan

Page 110: Skripsi M Sowwam_0603000486

98

yang rendah. Kemudian digunakan sebagai pemanas, alat untuk memasak dan sebagai alat-

alat rumah tangga untuk usaha rumah tangga pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Dampak tidak langsung untuk penduduk miskin diantaranya adalah, listrik mampu

menurunkan biaya energi untuk perusahaan. Hal ini akan meningkatkan proses penciptaan

tenaga kerja dalam lingkup aktivitas yang luas. Kemudian listrik juga mampu

meningkatkan tingkat kesehatan dan jasa pelayanan lainnya (contohnya, pendingin,

penerangan, penghangat, dan lain sebagainya). Selain itu, listrik juga meningkatkan akses

masyarakat pada informasi, komunikasi dan teknologi (ICT). Akses komunikasi yang lebih

baik mampu membantu proses migrasi, memberikan informasi atas kesempatan yang ada,

dan akses pada pengetahuan dalam komunitas yang lebih luas. Semua hal tersebut

berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Di bawah ini adalah jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan

dari listrik PLN pada tahun 2004 di Indonesia. Terlihat bahwa desil pertama hingga

keempat persentase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN sebagai sumber

penerangannya berkisar 61-74%. Sementara itu desil ke sembilan dan kesepuluh masing-

masing sebesar 90,5% dan 94%. Namun walaupun begitu, sudah lebih dari 50% penduduk

termiskin menikmati listrik.

Tabel 4-10

Banyaknya Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik PLN Sebagai Sumber

Penerangan, Indonesia, 2004 quantiles PLN persentase lainnya persentase total 1 15.456 61.1 9.836 38,9 25.292 2 17.039 67,4 8.252 32.6 25.291 3 17.989 71,1 7.303 28,9 25.292 4 18.742 74,1 6.549 25,9 25.291 5 19.651 75,8 6.270 24,2 25.921 6 20.394 80,6 4.900 19,4 25.294 7 21.048 83,2 4.241 16,8 25.289 8 21.851 86,4 3.440 13,6 25.291 9 22.891 90,5 2.400 9,5 25.291 10 23.761 94,0 1.530 6,0 25.291 Total 198.816 78,6 54.097 21,4 252.913

Sumber: susenas 2004, diolah

Page 111: Skripsi M Sowwam_0603000486

99

4.4.9. Variabel Kemiskinan Periode Sebelumnya

Variabel ini untuk melihat apakah kemiskinan di Indonesia termasuk kemiskinan

yang sifatnya temporer atau tidak. Temuan pada penelitian ini menyatakan bahwa ketika

kemiskinan pada periode sebelumnya naik sebesar 1%, maka kemiskinan pada saat ini

akan meningkat sebesar 0,66%, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa pada

perubahan penduduk miskin dari tahun ke tahun, seperti yang ditujukan pada grafik di atas,

bahwa ada sebagian penduduk Indonesia yang selalu miskin (tidak mampu keluar dari

kemiskinan). Namun dalam skripsi ini, karena keterbatasan yang ada, tidak lebih lanjut

mengenai kemiskinan dinamis.

Sumanta menunjukkan bahwa terdapat lingkaran kemiskinan di Indonesia dengan

pola hubungan tidak langsung (Sumanta, 2005). Dasar teori yang digunakan adalah Nurkse

(1953) yang menyatakan bahwa tingkat kemiskinana yang tinggi disuatu daerah terjadi

karena rendahnya pendapatan perkapita daerah tersebut. Pendapatan perkapita yang rednah

karena investasi perkapita yang rendah. Investasi perkapita yang rendah terjadi karena

permintaan domestik perkapita yang rendah. Permintaan domestik yang rendah terjadi

karena tingkat kemiskinan yang tinggi, begitu seterusnya sehingga daerah terbelakang akan

terus terbelakang.

Menurut sumanta ada peluang bagi daerah-daerah terbelakang untuk keluar dari

jebakan kemiskinan bila berhasil melakukan kebijakan sebagai berikut: meningkatkan

kualitas SDM melalui pendidikan dan kesehatan masyarakat; mengembangkan sektor

industri jasa sehingga peranannya meningkat dalam perekonommian; meningkatkan

ketersediaan infrastruktur untuk mendukung perekonomian daerah; meningkatkan upah

riil; dan meningkatkan kualitas tata pemerintahan daerah dan meningkatkan alokasi

anggaran pembangunan daerah yang pro terhadap masyarakat miskin.

Page 112: Skripsi M Sowwam_0603000486

100

Berdasar pada hasil analisis di atas, dapat diambil sebuah ‘benang merah’ bahwa

pada umumnya infrastruktur ekonomi lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan tingkat

propinsi di Indonesia, walaupun ada juga variabel yang berpengaruh positif terhadap

kemiskinan seperti luas lahan sawah dengan pengairan (irigasi). Hal ini terbukti dari

pengaruh negatif dari jalan kabupaten, listrik, dan telepon terhadap kemiskinan. Sementara

itu, infrastruktur sosial cenderung untuk tidak berpengaruh (seperti jumlah tempat tidur di

rumah sakit) bahkan ada yang berhubungan positif dengan kemiskinan (jumlah gedung

sekolah SMP dan SMA). Walaupun sensitifitas kemiskinan terhadap infrastruktur relatif

kecil. Tetap saja diperlukan suatu penelitian lebih lanjut yang sifatnya lebih mikro.

Secara umum penjelasan dari temuan di atas (variabel-variabel yang tidak sesuai

dengan teori) didekati dari argumentasi struktur sosial masyarakat yang ada di Indonesia

dan akses penduduk miskin pada infrastruktur tersebut. Sebagai contoh, penambahan luas

lahan sawah yang diairi irigasi akan menambah penduduk miskin, karena diduga terdapat

struktur sosial yang eksploitatif antara petani dengan lahan luas dengan petani gurem atau

buruh tani. Hal ini berakibat pada dimonopolinya manfaat irigasi oleh mereka yang punya

lahan sawah lebih luas. Dari sini dapat terlihat bahwa akses masyarakat miskin (petani)

terhadap asset (lahan) sangat minim.

Page 113: Skripsi M Sowwam_0603000486

101

BAB V

KESIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN STUDI

Penelitian ini mencoba melihat hubungan antara ketersediaan infrastruktur dengan

tingkat kemiskinan. Infrastruktur yang di uji pada studi ini meliputi jalan kabupaten, jalan

propinsi-negara, listrik, telepon, air, irigasi, puskemas, tempat tidur di rumah sakit, dan

sekolah SD, dan SMP-SMA. Pemilihan infrastruktur ini didasarkan pada definisi Bank

Dunia dalam membagi infrastruktur dalam tiga kelompok besar, yaitu infrastruktur

ekonomi, sosial dan administrasi.

5.1. Kesimpulan

a) Hasil estimasi dengan menggunakan fixed-effect dan lags 1 menunjukkan bahwa

terdapat tujuh variabel yang signifikan pada α sebesar 5%. Variabel-variabel tersebut

adalah irigasi, puskesmas, telepon, jumlah sekolah dasar, listrik, krisis, dan kemiskinan

satu periode sebelumnya. Sementara itu ada empat variabel yang tidak signifikan yaitu

air, jalan, banyaknya sekolah SMP-SMA dan jumlah tempat tidur di rumah sakit

sebagai salah satu indikator infrastruktur kesehatan.

b) Mengenai arah dan besaran hubungan antara masing-masing jenis infrastruktur, hasil

studi ini menunjukkan bahwa: pertama, untuk variabel yang berkorelasi negatif

terhadap kemiskinan, kontribusi terbesar dalam proses pengurangan kemiskinan adalah

infrastruktur ekonomi (Listrik) dengan koefisien -0,2, sekolah dasar dengan -0.11,

kemudian telepon dengan koefisien -0,08, dan irigasi dengan -0.06. Kemudian untuk

variabel yang berkorelasi positif dan signifikan meliputi puskesmas, krisis, dan

kemiskinan periode sebelumnya.

c) Banyaknya sekolah dasar mampu mengurangi kemiskinan karena manfaat pendidikan

hanya berlaku pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Kemiskinan didominasi di

Page 114: Skripsi M Sowwam_0603000486

102

perdesaan, dan pada sektor pertanian. Foster dan Rosenweig (1995) menyimpulkan

bahwa petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada

yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki

pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Namun, karena berbagai

keterbatasan yang ada, studi ini tidak bermaksud untuk menyimpulkan bahwa

pendidikan dan kebijakan pendidikan pemerintah tidak bermanfaat bagi orang miskin.

Namun, studi ini mengindikasikan bahwa ada hal-hal lain yang menjadi penyebab

mengapa banyaknya sekolah SMP-SMA menyebabkan kemiskinan bertambah parah

adalah terjadinya brain drain dari masyarakat perdesaan ke perkotaan. Mengingat hasil

estimasi ini relatif bertentangan dengan penelitian pada umumnya dan berada pada

tataran agregat, maka perlu dilakukan studi dengan lingkup yang lebih mikro.

d) Selain variabel infrastruktur, peneliti juga menggunakan beberapa variabel kontrol

yaitu krisis ekonomi, dan kemiskinan satu periode sebelumnya. Kedua variabel ini

memiliki kontribusi yang besar dan signifikan pada kemiskinan.

e) Relatif kecilnya dampak infrastruktur terhadap proses pengurangan kemiskinan di

Indonesia mungkin dikarenakan kualitas dan kondisi infrastruktur tersebut, selain itu

juga masalah akses pada layanan infrastruktur tersebut.

5.2. Saran

a) Dalam bidang listrik dan telekomunikasi, penting kiranya bagi pemerintah berupaya

untuk menggeser pola berpikir dari sekedar subsidi pemakai yang sudah ada kepada

peningkatan akses kepada rumah tangga yang belum menikmati manfaat infrastruktur

listrik dan telekomunikasi.

b) Pada sektor pertanian, mengingat kecilnya dampak irigasi maka perlu kiranya meneliti

lebih jauh apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin saja disebabkan oleh kualitas,

pengelolaan atau kondisi-kondisi di masyarakat seperti ketidakmerataan distribusi

Page 115: Skripsi M Sowwam_0603000486

103

lahan. Selain itu, perlu kiranya untuk juga memperhatikan pola perubahan konversi

lahan pertanian menjadi usaha lainnya. Akses yang minim terhadap asset (tanah) itulah

yang menyebabkan petani yang miskin di desa tidak mampu keluar dari jeratan

kemiskinan.Dengan demikian, ketika penyebab-penyebab itu diperbaiki maka manfaat

dari adanya irigasi tidak mengalami maldistribution.

c) Pada infrastruktur air, perlu kiranya meningkatkan kualitas air bersih yang mampu

diakses oleh masyarakat kota. Karena studi ini menggunakan data air yang disalurkan

PDAM, maka dalam hal ini ranah yang lebih relevan adalah wilayah perkotaan. PDAM

lebih dapat meningkatkan kapasitasnya sehingga suplai dapat dikuatkan. Untuk

menambahkan, pemerintah daerah dapat memberikan mandat dan insentif kepada

PDAM untuk meningkatkan skala layanan kepada daerah-daerah yang menjadi

“kantong-kantong” kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendisain struktur

tarif yang sesuai untuk mereka yang miskin.

d) Kebijakan infrastruktur ini merupakan salah satu saran dari beberapa organisasi

internasional (Bank Dunia, ADB, dan lain sebagainya). Saran dari beberapa lembaga

internasional itu diberikan kepada seluruh negara. Studi ini mengindikasikan bahwa

tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara.

Dan studi ini juga mengkritik dengan tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara

universal. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih

besar. Hal ini dapat dilihat pada infrastruktur pendidikan (gedung sekolah SMP dan

SMA) dan kesehatan yang ternyata tidak begitu berperan dalam proses pengurangan

kemiskinan di Indonesia.

5.3. Keterbatasan Studi

a) Karena berbagai keterbatasan yang ada, seperti kesulitan dalam pencarian data, studi

ini belum melihat segi kualitas infrastruktur. Oleh karena itu, saran untuk studi lebih

Page 116: Skripsi M Sowwam_0603000486

104

lanjut adalah memasukkan sisi kualitas infrastruktur ke dalam proses

penghitungan/estimasi.

b) Pada era otonomi daerah saat ini kewenangan terbesar ada pada tingkat pemerintahan

yang lebih kecil, seperti tingkat kabupaten. Studi ini terlalu melihat secara agregatif,

yaitu pada tingkat propinsi. Padahal kewenangan dalam bidang-bidang tertentu sudah

menjadi tanggung jawab pada tingkat kabupaten. Untuk itu, studi lebih lanjut

seharusnya dapat menjadikan kabupaten sebagai entitas subjek penelitiannya.

c) Definisi infrastruktur pada studi ini mendasarkan pada definisi bank dunia. Bank dunia

membagi jenis infrastruktur menjadi 3 macam. Studi ini hanya mencakup dua dari tiga

definisi tersebut, yaitu ekonomi dan sosial. Sementara infrastruktur

administrasi/institusi belum dimasukkan dalam perhitungan. Padahal berdasarkan teori

yang ada faktor administrasi/institusi juga mempunyai peranan yang signifikan

terhadap proses pengurangan kemiskinan. Tata kelola yang lemah akan merugikan

kaum miskin secara tidak adil. Ketidakefisienan sektor publik, korupsi dan pemborosan

menyebabkan tidak memadainya sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan dan yang

ada untuk jasa-jasa layanan publik dan berbagai program anti kemiskinan.

d) Untuk melihat dampak infrastruktur terhadap kemiskinan, studi ini mengasumsikan

dampak yang terjadi berbentuk dampak langsung. Sementara untuk dampak tidak

langsungnya masih belum terjelaskan pada studi ini. Oleh karena itu, saran untuk studi

selanjutnya adalah agar dapat menggunakan berbagai metodologi penelitian yang ada

yang memungkinkan melihat atau memasukkan dampak tidak langsung infrastruktur

terhadap kemiskinan.

Walaupun dengan berbagai keterbatasan di atas, studi ini telah berhasil menemukan

bahwa pada umumnya infrastruktur yang lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan di

Indonesia sepanjang periode 1990-2004 adalah infrastruktur ekonomi. Sementara

Page 117: Skripsi M Sowwam_0603000486

105

infrastruktur sosial secara umum masih kurang efektif untuk mereduksi kemiskinan pada

tingkat aggregat. Secara umum sensitivitas dari infrastruktur terhadap kemiskinan masih

relatif kecil. Tentunya diperlukan penelitian yang lebih dalam untuk menemukan

penjelasan lebih jauh atas berbagai temuan tersebut.

Page 118: Skripsi M Sowwam_0603000486

106

DAFTAR PUSTAKA

Adelman, Irma. Redistribution Before Growth: A Strategy for Developing Countries. The

Hague: Martinus Nijhof, 1978.

Ali, Ifzal dan Ernesto Pernia. Infrastructure and Poverty Reduction: What Is The Connection? ERD Policy Brief no 13. Januari 2003.

Anwar, Alizar. Pelayanan Air Minum Wilayah Perkotaan di Indonesia. Journalist Workshop on Water Issue. Novotel Coralia, Bogor. 5-8 Desember, 2004.

Arief, Sritua. Teori dan Kebijaksanaan pembangunan. Jakarta: CIDES. 1998.

Aziz, Iwan Jaya. Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Implikasinya Di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. 1994.

Bayes, Abdul. Infrastructure And Ruraldevelopment: Insights From A Grameen Bank Village Phone Initiative In Bangladesh. Agricultural Economics 25 261–272. 2001.

Benjamin, D., dan L. Brandt. 1999. Markets and Inequality In Rural China: Parallels with the past. American Economic Review 89 (2): 292–295.

Biro Pers dan Media Rumah Tangga KePresidenan. Sambutan Presiden RI pada Acara Peresmian Pembukaan Kongres ke-16 ISEI di Manado. Tanggal 18 Juni 2006.

Blank, M. Selecting Among Anti-Poverty Policies: Can An Economist Be Both Critical And Caring? Review of Social Economy, 61 (4) 447-469

BPS. Berita resmi Tingkat kemiskinan di Indonesia 2005-2006. No 47/IX/1 September 2006

CGI. Investing for Growth: The world bank brief for CGI. Executive Summary. 2006.

Cronin, Francis J et al. The Rural Economic Development Implication Of Telecomunications: Evidence From Pennsylvania. Telecomunications Policy, V01. 19, N0.7, pp. 545-559, 1995.

Chenery, Hollis, et al. Redistribution With Growth. Cambridge: oxford university press. 1974 dalam Irma Adelman. A Poverty-Focused Approach To Development Policy.

D, Canning. Infrastructure Contibution To Aggregate Output. The World Bank. Policy Reseach Working Paper no 1929 dalam Lutfi. Pengaruh Infrastruktur Dan Institusi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEUI. Tidak diterbitkan. 2006.

Dercon, S., dan P. Krishnan. Changes In Poverty In Rural Ethiopia 1989–1995: Measurement, Robustness Tests And Decomposition. WPS/98-7. Oxford: Center for the Study of African Economics. 1998.

Devas, C. Financing mechanisms, in ADB/EDI, The Urban Poor And Basic Infrastructure Services In Asia And The Pacific: A Regional Seminar. January 22-28 1991, Manila, Philippines.

Page 119: Skripsi M Sowwam_0603000486

107

Duflo, Esther. Schooling And Labor Market Consequences Of School Construction In Indonesia: Evidence Of An Unusual Policy Experiment. NBER Working Paper 7860. Cambridge. 2000.

Excecutive Order 13010—Critical Infrastructure Protection. Federal Register, July 17 1996. Vol 61, No 138. Pp 37347-37350.

Fan, Shengen dan Connie Chan Kang. Road Development, Economic Growth And Poverty Reduction In China. IFPRI Research Report No 138. 2005.

FAO/WHO/UNU. Human Energy Requirements. Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation, FAO Food and Nutrition Technical Report Series, No 1. 2004.

Feres, J.C. Notes on the Measurement of Poverty by the Income Method. Cepal Review, No 61. 1997.

Foster, J. Absolute Versus Relative Poverty. American Economic Review, Vol.88 No 2, 1998.

Fox, W. Strategic options for urban infrastructure management. Urban Management Programme Policy Paper 17. Washington D.C: World Bank. 1994 dalam Rachel Mashika and Sally Barden. Infrastructure An Poverty: A Gender Analysis. UK: Bridge, SIDA report no 15. June 1997.

Garner and K, Short. Personal Assessments of minimum income and Expenses: What Do They Tell Us About ‘Minimum Living’ Thresholds And Equivalence Scales?. Elsevier Science. 2003.

Gordon, dan P Townsend (ed). Breadline Europe: The Measurement of Poverty. Bristol: Policy Press. 2001.

Gujarati, Damodar. Basic Econometric. 4th ed, Singapore: Mc Graw Hill, 2003.

Hanushek, Eric. The Role of School Improvement In Economic Development. Nber Working Paper no 12832. 2007.

Hussain, Intizar, Fuard Marikar and Sunil Thrikawala. Assessment Of Impacts Of Irrigation Infrastructure Development On Poverty Alleviation. Sri Lanka: Final Research Report, International Water Management Institute (IWMI) Colombo. 2002.

Hussain, Intizar., Mark Giordano dan Munir A. Hanjra. Agricultural Water and Poverty Linkages: Case Studies on Large and Small Systems. IWMI. 2003.

J, Foster, J.Greer, dan E. Thorbeke. A Class Of Decomposable Poverty Measures. Econometrica, 1984 vol. 52

J, Foster. Absolute Versus Relative Poverty. American Economic Review, vol.88, No.2, 1998.

JBICI. Impact of Irrigation Infrastructure Development on Dynamics of Incomes and Poverty: Econometric Evidence Using Panel Data from Sri Lanka. JBICI Research Paper No. 32. March 2007.

Jones, Stephen. Background Paper: Contribution Infrastructure To Growth And Poverty Reduction In East Asia And The Pacific. Oxford Policy Management. 2004.

Juanita. Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Medan: USU. 2002.

Page 120: Skripsi M Sowwam_0603000486

108

Khandker, S. Improving Rural Wages In India. Policy, Planning, and Research Working Paper 276. Washington, D.C: World Bank. 1989.

Kwon, Eunkyung. Infrastructure, Growth And Poverty Reduction In Indonesia: A Crosssectional Analysis. Asian Development Bank Institute. 2001.

Lister, R. The Exclusive Society: Citizenship and the Poor. London: Child Poverty Action Group. 1990.

Lustig, Nora. Investing in Health for Economic Development. UNU-WIDER Research Paper No. 2006/30

Malmberg, C. C., A. Ryan, and L. Pouliquen. Rural Infrastructure Services For Development And Poverty Reduction. Washington D.C: World Bank. 1997.

Masika, Rachel dan Sally Baden. Infrastructure and Poverty: A Gender Analysis. Institue of Development Studies. Report No. 51. June 1997.

Moteff, John, Claudia Copeland dan John Fischer. Critical Infrastructure: What Makes An Infrastructure Critical? Congressional Research Service. 2003.

P, Streeten. Poverty: Concepts and Measurement. Discussion Paper, No.6. Institute for Economic Development. 1989.

Perdana, Ari A. Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan. Kompas, Jumat 18 Maret 2005.

Pradhan dan Martin Ravalion. Measuring Poverty Using Qualitative Perceptions of Consumption Adequacy. Review of Economics and Statistics, Vol.82, No.3. 2000.

Quibria, M.G. Growth and Poverty: Lesson From The East Asian Miracle Revisited. Adb Institute Research Paper Series. No 33. Februari 2002.

Ravalion, Martin. Poverty Comparisons. Chur, Switzerland: Harwood Academic Publisher. 1994

Ravalion, Martin. Poverty Lines in Theory and Practice. LSMS Working Paper, No 133. Washington DC: World Bank. 1998.

Rein, M. Problems in the Definition and Measurement of Poverty. in Townsend (ed.). The Concept of Poverty. London: Heinneman, 1970.

Schultz, Paul. Education Investment and Returns. In Handbook Of Development Economics, vol 1, edited by H Chenery and TN Srinivasan. Elsevier Science Publisher. 1988.

Scott, J. Poverty and Wealth: Citizenship, Deprivation, and Priveledge. London: Longmann. 1994.

Sen, Amartya K. Poor, Relatively Speaking. Oxford Economic papers, July No.35. 1983.

Sida. Promoting Sustainable Livelihoods, Stockholm: Swedish International Co-operation Development Agency. 1996.

Skousen, Mark. Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Jakarta: Prenada. 2005.

SMERU. Seri Debat Pembangunan: Studi Kasus Indonesia. Laporan Lokakarya. Jakarta, Juli 2001.

Sumanta. Fenomena Lingkaran Kemiskinan Indonesia: Analisis Ekonomi Regional Data Panel Provinsi Tahun 1999-2002. unpublished. Tesis Pasca Sarjana FEUI. 2005.

Page 121: Skripsi M Sowwam_0603000486

109

Todaro, Michael P. Economic Development. Harlow: Addison Wesley. 2000.

Townsend, P. The International Analysis Of Poverty. New York: Harvester Wheatshef, 1993.

Vaughn, Roger dan Robert Pollard. Rebuilding America, Vol.I, planning and managing public works in the 1980s. Council of State Planning Agencies. Washington DC, 1984: 1-2, in Mohn Moteff, Claudia Copeland dan John Fischer. Critical Infrastructure: What Makes An Infrastructure Critical? Congressional Research Service. 2003.

Vidyaratne, D.B.P.S. Methhodology for Computation of Poverty Line and Poverty Statistics for Sri Lanka. Manila, 2004.

Page 122: Skripsi M Sowwam_0603000486

110

LAMPIRAN 1. Persamaan Pertama

309092,600188,01185,0

==Chow

F tabel (27, 325, 0.05) adalah 1,46.

(fixed versus random effects)

H0: random effects

Chi-square (13 d.f.) 137.22722

p-value 0.0000000

Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-1)) -0.061154 0.017346 -3.525608 0.0005

LOG(AIR?(-1)) -0.004567 0.012506 -0.365185 0.7152LOG(JLKAB?(-1)) -0.015629 0.024336 -0.642195 0.5212LOG(JLNEG?(-1)) 0.024247 0.013193 1.837799 0.0671

LOG(JLPROP?(-1)) 0.015970 0.014926 1.069948 0.2855LOG(KESRS?(-1)) -0.009667 0.011422 -0.846307 0.3981LOG(PKMAS?(-1)) 0.100252 0.037437 2.677892 0.0078

LOG(TEL?(-1)) -0.090548 0.012552 -7.214039 0.0000LOG(PENDMNGAH?(

-1)) -0.046005 0.036621 -1.256266 0.2100

LOG(PEND1?(-1)) -0.130313 0.044783 -2.909882 0.0039DKRISIS? 0.227723 0.010706 21.27047 0.0000

LOG(LISTRK?(-1)) -0.204153 0.020241 -10.08593 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.656329 0.035883 18.29062 0.0000

Fixed Effects _ACEH--C 0.701634

_SUMUT--C 0.878204 _SUMBAR--C 0.712576

_RIAU--C 0.666565 _JAMBI--C 0.585666

_SUMSEL--C 1.454258 _BENGKULU--C -0.047548 _LAMPUNG--C 0.788778 _JAKARTA--C 0.769404

_JABAR--C 0.928485 _JATENG--C 0.997127 _YOGYA--C 0.991109 _JATIM--C 1.136223 _BALI--C 0.806447 _NTB--C 0.730158 _NTT--C 0.659909

Page 123: Skripsi M Sowwam_0603000486

111

_KALBAR--C 0.762620 _KALTENG--C 0.550411 _KALSEL--C 0.594797 _KALTIM--C 0.778945 _SULUT--C 0.733435

_SULTENG--C 0.724575 _SULSEL--C 0.783183 _SULTRA--C 0.674713

Weighted Statistics R-squared 0.991129 Mean dependent var -2.594010Adjusted R-squared 0.990053 S.D. dependent var 1.437666S.E. of regression 0.143382 Sum squared resid 6.105841F-statistic 921.7198 Durbin-Watson stat 2.012943Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.954711 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.949221 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.155669 Sum squared resid 7.197116Durbin-Watson stat 2.558943 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.388766 0.075517 5.148061 0.0000

LOG(IRIGASI?(-1)) -0.010873 0.008237 -1.320050 0.1878LOG(AIR?(-1)) -0.021377 0.010003 -2.137070 0.0334

LOG(JLKAB?(-1)) -0.015884 0.015260 -1.040841 0.2987LOG(JLNEG?(-1)) -0.056206 0.012066 -4.658291 0.0000

LOG(JLPROP?(-1)) -0.026054 0.010612 -2.455151 0.0146LOG(KESRS?(-1)) -0.006865 0.005773 -1.188994 0.2353LOG(PKMAS?(-1)) 0.052715 0.025623 2.057351 0.0405

LOG(TEL?(-1)) 0.040476 0.013499 2.998502 0.0029LOG(PENDMNGAH?(

-1)) 0.069481 0.020442 3.398850 0.0008

LOG(PEND1?(-1)) 0.005272 0.036670 0.143759 0.8858DKRISIS? 0.097124 0.008594 11.30126 0.0000

LOG(LISTRK?(-1)) -0.116177 0.016851 -6.894219 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.929303 0.013096 70.96092 0.0000

Weighted Statistics R-squared 0.980960 Mean dependent var -2.600306Adjusted R-squared 0.980187 S.D. dependent var 1.195992S.E. of regression 0.168348 Sum squared resid 9.069096F-statistic 1268.220 Durbin-Watson stat 1.897344Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.938964 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.936484 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.174101 Sum squared resid 9.699534

Page 124: Skripsi M Sowwam_0603000486

112

Durbin-Watson stat 2.635431 Autocorelation test

121.0)000171,0(3341

3340129,2211 −=

−⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=h

h hitung < h kritis (1,645) maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat masalah

autocorrelation.

Multicorelation

Logirigasi (-1)

Logair (-1)

Logjlneg (-1)

Logjlprop (-1)

Logjlkab (-1)

Logkesrs (-1)

Logpkmas (-1)

Logtel (-1)

Logpendmngah (-1)

Logpend (-1)

Loglistrk (-1)

Logirigasi(-1) 1

logair(-1) -0,5397 1

logjlneg(-1) 0,4223 -0,2094 1

logjlprop(-1) 0,2284 -0,1618 0,8241 1

logjlkab(-1) 0,4072 -0,1561 0,7824 0,7497 1

logkesrs(-1) -0,2273 0,4597 0,1854 0,2946 0,3438 1

logpkmas(-1) 0,5402 -0,2082 0,9327 0,8000 0,8472 0,2244 1

logtel(-1) -0,4024 0,6421 -0,1609 -0,1265 -0,1431 0,2553 -0,1960 1

logpendmngah(-1) -0,1329 0,1982 0,4804 0,5279 0,5680 0,4355 0,4932 0,1514 1

logpend(-1) 0,5974 -0,3458 0,8199 0,6218 0,7686 0,1536 0,8816 -0,4214 0,3622 1

Loglistrk(-1) -0,6364 0,7376 -0,5783 -0,5684 -0,5132 0,1755 -0,6060 0,6990 -0,0519 -0,6894

1

Variable VIF 1/VIF Logpkmas(-1) 18,93 0,053 logjlneg(-1) 10,26 0,098 Logpend1(-1) 8,18 0,122 loglistrk(-1) 7,80 0,128 Logjlprop(-1) 6,24 0,160 Logjlkab(-1) 4,61 0,217 Logair(-1) 3,43 0,292 Logirigasi(-1) 3,34 0,300 Logtel(-1) 2,92 0,343 Logpendmngah(-1) 2,19 0,457 Logkesrs(-1) 1,83 0,546 Mean VIF 6,34

VIF > 10 terdapat multicorelation. 2. Persamaan kedua (lag 1)

Page 125: Skripsi M Sowwam_0603000486

113

919.50189.01118.0

==testchow Hausman Test (fixed versus random effects) H0: random effects

Chi-square (12 d.f.) 141.96543 p-value 0.0000000

Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-1)) -0.058331 0.017542 -3.325244 0.0010

LOG(AIR?(-1)) -0.010030 0.012579 -0.797351 0.4259LOG(JLKAB?(-1)) -0.000869 0.024857 -0.034944 0.9721

LOG(JLNEGPROP?(-1))

0.015928 0.022412 0.710691 0.4778

LOG(KES4?(-1)) -0.003639 0.010173 -0.357684 0.7208LOG(KES1?(-1)) 0.109267 0.035196 3.104527 0.0021LOG(TEL?(-1)) -0.082086 0.011544 -7.110498 0.0000

LOG(PENDMNGAH?(-1))

-0.050295 0.036304 -1.385382 0.1670

LOG(PEND1?(-1)) -0.111849 0.044955 -2.487993 0.0134DKRISIS? 0.227149 0.011022 20.60811 0.0000

LOG(LISTRK?(-1)) -0.202281 0.020517 -9.859228 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.662323 0.035725 18.53967 0.0000

Fixed Effects _ACEH--C 0.851549

_SUMUT--C 1.038225 _SUMBAR--C 0.856720

_RIAU--C 0.833751 _JAMBI--C 0.761453

_SUMSEL--C 1.589684 _BENGKULU--C 0.147755 _LAMPUNG--C 0.935371 _JAKARTA--C 0.755690

_JABAR--C 1.004041 _JATENG--C 1.087918 _YOGYA--C 1.081111 _JATIM--C 1.234390 _BALI--C 0.957893 _NTB--C 0.883964 _NTT--C 0.809906

_KALBAR--C 0.922278 _KALTENG--C 0.734662 _KALSEL--C 0.723770 _KALTIM--C 0.937326 _SULUT--C 0.918371

_SULTENG--C 0.914376 _SULSEL--C 0.907133

Page 126: Skripsi M Sowwam_0603000486

114

_SULTRA--C 0.822955 Weighted Statistics

R-squared 0.991030 Mean dependent var -2.596161Adjusted R-squared 0.989976 S.D. dependent var 1.433584S.E. of regression 0.143527 Sum squared resid 6.138795F-statistic 940.6809 Durbin-Watson stat 2.004123Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.954789 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.949479 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.155274 Sum squared resid 7.184739Durbin-Watson stat 2.574276 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.375412 0.104982 3.575951 0.0004

LOG(IRIGASI?(-1)) -0.009678 0.008470 -1.142615 0.2540LOG(AIR?(-1)) -0.029127 0.010829 -2.689647 0.0075

LOG(JLKAB?(-1)) 0.000761 0.016244 0.046848 0.9627LOG(JLNEGPROP?(-

1)) -0.063314 0.013814 -4.583446 0.0000

LOG(KES4?(-1)) 0.019944 0.007000 2.849350 0.0047LOG(KES1?(-1)) -0.021775 0.026854 -0.810881 0.4180LOG(TEL?(-1)) 0.032756 0.013533 2.420387 0.0161

LOG(PENDMNGAH?(-1))

0.079138 0.019859 3.984975 0.0001

LOG(PEND1?(-1)) 0.012423 0.029957 0.414689 0.6786DKRISIS? 0.111817 0.009881 11.31639 0.0000

LOG(LISTRK?(-1)) -0.113788 0.017851 -6.374149 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.927633 0.013289 69.80584 0.0000

Weighted Statistics R-squared 0.980236 Mean dependent var -2.574685Adjusted R-squared 0.979497 S.D. dependent var 1.165106S.E. of regression 0.166829 Sum squared resid 8.934031F-statistic 1326.729 Durbin-Watson stat 1.891008Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.938984 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.936703 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.173801 Sum squared resid 9.696377Durbin-Watson stat 2.623036 Test Multicorelation Variable VIF 1/VIF Loglistrk(-1) 7,23 0,1383 Logpend1(-1) 6,04 0,1656

Page 127: Skripsi M Sowwam_0603000486

115

logjlnegprop(-1) 5,81 0,1721 Logkes1(-1) 4,52 0,2213 logjlkab(-1) 4,20 0,2384 logtel(-1) 3,49 0,2868 logair(-1) 3,28 0,3046 logirigasi(-1) 2,86 0,3499 logpendmngah(-1) 2,28 0,4395 Logkes4(-1) 1,61 0,6229 Mean VIF 4,13

3. Persamaan ketiga (Lag 2)

78207,40199,00952,0

==testchow

Hausman: Hausman Test

(fixed versus random effects)

H0: random effects Chi-square (12 d.f.) 122,59881

p-value 0.0000000 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 310 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-2)) -0.014334 0.019862 -0.721676 0.4711

LOG(AIR?(-2)) -0.031419 0.009793 -3.208481 0.0015LOG(JLKAB?(-2)) 0.031366 0.022560 1.390360 0.1655

LOG(JLNEGPROP?(-2))

0.024836 0.019523 1.272177 0.2044

LOG(KES4?(-2)) -0.037484 0.009556 -3.922710 0.0001LOG(KES1?(-2)) 0.178186 0.041618 4.281474 0.0000LOG(TEL?(-2)) -0.028979 0.011392 -2.543798 0.0115

LOG(PENDMNGAH?(-2))

0.173485 0.040290 4.305849 0.0000

LOG(PEND1?(-2)) -0.042876 0.041570 -1.031419 0.3033DKRISIS? 0.206278 0.010255 20.11448 0.0000

LOG(LISTRK?(-2)) -0.211782 0.016648 -12.72149 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.630521 0.040095 15.72580 0.0000

Fixed Effects _ACEH--C 1.100110

_SUMUT--C 1.331540 _SUMBAR--C 1.153227

_RIAU--C 1.201516 _JAMBI--C 1.050357

Page 128: Skripsi M Sowwam_0603000486

116

_SUMSEL--C 1.963650 _BENGKULU--C 0.360722 _LAMPUNG--C 1.291206 _JAKARTA--C 1.253206

_JABAR--C 1.589100 _JATENG--C 1.592551 _YOGYA--C 1.366712 _JATIM--C 1.712124 _BALI--C 1.227069 _NTB--C 1.363589 _NTT--C 1.104044

_KALBAR--C 1.209939 _KALTENG--C 0.834042 _KALSEL--C 1.042792 _KALTIM--C 1.215363 _SULUT--C 1.113796

_SULTENG--C 1.099984 _SULSEL--C 1.160172 _SULTRA--C 1.056259

Weighted Statistics R-squared 0.990343 Mean dependent var -2.782133Adjusted R-squared 0.989109 S.D. dependent var 1.473135S.E. of regression 0.153735 Sum squared resid 6.475856F-statistic 802.8135 Durbin-Watson stat 2.153452Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.950940 Mean dependent var -1.776423Adjusted R-squared 0.944673 S.D. dependent var 0.691670S.E. of regression 0.162692 Sum squared resid 7.252441Durbin-Watson stat 2.602426 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 310 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.437645 0.099499 4.398475 0.0000

LOG(IRIGASI?(-2)) -0.004255 0.009239 -0.460475 0.6455LOG(AIR?(-2)) -0.025872 0.010872 -2.379697 0.0180

LOG(JLKAB?(-2)) 0.007520 0.016996 0.442467 0.6585LOG(JLNEGPROP?(-

2)) -0.082201 0.013313 -6.174306 0.0000

LOG(KES4?(-2)) -0.002608 0.006935 -0.376140 0.7071LOG(KES1?(-2)) 0.004293 0.026355 0.162886 0.8707LOG(TEL?(-2)) 0.056718 0.014120 4.016878 0.0001

LOG(PENDMNGAH?(-2))

0.091981 0.021316 4.315138 0.0000

LOG(PEND1?(-2)) 0.019476 0.033978 0.573193 0.5669DKRISIS? 0.103075 0.009949 10.36017 0.0000

LOG(LISTRK?(-2)) -0.131237 0.017553 -7.476733 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.917926 0.013919 65.94617 0.0000

Weighted Statistics

Page 129: Skripsi M Sowwam_0603000486

117

R-squared 0.980012 Mean dependent var -2.632866Adjusted R-squared 0.979204 S.D. dependent var 1.197567S.E. of regression 0.172699 Sum squared resid 8.858010F-statistic 1213.468 Durbin-Watson stat 1.953463Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.934809 Mean dependent var -1.776423Adjusted R-squared 0.932175 S.D. dependent var 0.691670S.E. of regression 0.180133 Sum squared resid 9.636988Durbin-Watson stat 2.659470 Matriks Korelasi

VIF

4. Persamaan ketiga (Lag 3)

479399,501846,0

101184,0==testchow

Hausman Test (fixed versus random

effects)

H0: random effects

Chi-square (12 d.f.) 129.93816

p-value 0.0000000

Page 130: Skripsi M Sowwam_0603000486

118

Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1993 2004 Included observations: 12 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 286 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-3)) -0.039543 0.023030 -1.717044 0.0872

LOG(AIR?(-3)) -0.053942 0.014626 -3.688063 0.0003LOG(JLKAB?(-3)) 0.042689 0.025016 1.706441 0.0892

LOG(JLNEGPROP?(-3))

0.014612 0.022167 0.659165 0.5104

LOG(KES4?(-3)) -0.021615 0.011587 -1.865373 0.0633LOG(KES1?(-3)) 0.070949 0.042232 1.679988 0.0942LOG(TEL?(-3)) -0.065672 0.011727 -5.599956 0.0000

LOG(PENDMNGAH?(-3))

0.189265 0.044432 4.259643 0.0000

LOG(PEND1?(-3)) -0.102230 0.057744 -1.770380 0.0779DKRISIS? 0.232656 0.010018 23.22482 0.0000

LOG(LISTRK?(-3)) -0.164632 0.022239 -7.402744 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.590537 0.048682 12.13040 0.0000

Fixed Effects _ACEH--C 0.705579

_SUMUT--C 0.815707 _SUMBAR--C 0.696378

_RIAU--C 0.699909 _JAMBI--C 0.624642

_SUMSEL--C 1.604419 _BENGKULU--C -0.101478 _LAMPUNG--C 0.783474 _JAKARTA--C 0.532513

_JABAR--C 1.006190 _JATENG--C 1.060605 _YOGYA--C 0.849033 _JATIM--C 1.183306 _BALI--C 0.717299 _NTB--C 0.927051 _NTT--C 0.733106

_KALBAR--C 0.783741 _KALTENG--C 0.455999 _KALSEL--C 0.601861 _KALTIM--C 0.772822 _SULUT--C 0.682850

_SULTENG--C 0.751323 _SULSEL--C 0.702005 _SULTRA--C 0.711162

Weighted Statistics R-squared 0.989452 Mean dependent var -2.736240Adjusted R-squared 0.987975 S.D. dependent var 1.412928S.E. of regression 0.154940 Sum squared resid 6.001579F-statistic 670.0174 Durbin-Watson stat 2.169076Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.949014 Mean dependent var -1.788476

Page 131: Skripsi M Sowwam_0603000486

119

Adjusted R-squared 0.941876 S.D. dependent var 0.693149S.E. of regression 0.167111 Sum squared resid 6.981509Durbin-Watson stat 2.576006 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1993 2004 Included observations: 12 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 286 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.323481 0.116886 2.767493 0.0060

LOG(IRIGASI?(-3)) -0.020688 0.009664 -2.140853 0.0332LOG(AIR?(-3)) -0.039337 0.012856 -3.059931 0.0024

LOG(JLKAB?(-3)) 0.015127 0.016482 0.917816 0.3595LOG(JLNEGPROP?(-

3)) -0.065280 0.015636 -4.175021 0.0000

LOG(KES4?(-3)) 0.011749 0.010597 1.108728 0.2685LOG(KES1?(-3)) -0.008700 0.031948 -0.272325 0.7856LOG(TEL?(-3)) 0.034307 0.016545 2.073536 0.0391

LOG(PENDMNGAH?(-3))

0.040762 0.024069 1.693541 0.0915

LOG(PEND1?(-3)) 0.040447 0.040478 0.999232 0.3186DKRISIS? 0.115490 0.010636 10.85870 0.0000

LOG(LISTRK?(-3)) -0.104374 0.020723 -5.036665 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.925874 0.015742 58.81458 0.0000

Weighted Statistics R-squared 0.978938 Mean dependent var -2.613822Adjusted R-squared 0.978013 S.D. dependent var 1.192165S.E. of regression 0.176776 Sum squared resid 8.531198F-statistic 1057.413 Durbin-Watson stat 1.994969Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.930979 Mean dependent var -1.788476Adjusted R-squared 0.927945 S.D. dependent var 0.693149S.E. of regression 0.186063 Sum squared resid 9.451100Durbin-Watson stat 2.703205 Test multicorelation

Page 132: Skripsi M Sowwam_0603000486

120