Upload
sowwam
View
2.983
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
infrastruktur dan kemiskinan, apakah saling terkait?
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
SKRIPSI
PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP
KEMISKINAN DI INDONESIA: ANALISIS DATA
PANEL 1990-2004
Diajukan oleh:
MUHAMAD SOWWAM
0603000486
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA EKONOMI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
2007
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIA
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama : Muhamad Sowwam
Nomor Mahasiswa : 0603000486
Departemen : Ilmu Ekonomi
Konsentrasi : Publik/Regional
Judul Karya Akhir: Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan di Indonesia:
Analisis Data Panel 1990-2004
Tanggal……………………… Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
( Robert A Simanjuntak, Ph.D)
Tanggal……………………. Pembimbing Karya Akhir
(Jossy Prananta Moeis, Ph.D)
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:
“Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap proses pengurangan kemiskinan
di Indonesia: Analisis Data Panel 1990-2004”
yang disusun untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bukan merupakan
tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai
untuk mendapatkan gelar kesarjanaan ataupun jenjang pendidikan tinggi lainnya di
lingkungan Universitas Indonesia maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun,
kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan.
Depok, 10 Desember 2007
Muhamad Sowwam
NPM: 0603000486
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rabb semesta alam,
dimana jiwa dan nasib penulis berada dalam genggaman-NYA. Rabb yang selalu
memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya, walaupun hamba-Nya itu telah banyak
berbuat dosa dan khianat kepada-Nya.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang penghargaan yang setinggi – tingginya
penulis sampaikan kepada:
1. Orang tua tercinta, Bapak, Alm H. Imam Mahdi dan Ibunda Hj. Nadiroh. Terima
kasih atas dukungan yang diberikan kepada ananda. Terima Kasih telah mendoakan
ananda dalam sujud panjang, dalam tiap heningnya malam, maupun dalam tiap detik
ananda membutuhkan, sehingga Allah SWT berkenan menurunkan keajaiban–
keajaiban untuk tiap langkah ananda. Terimakasih atas keridhaan yang diberikan
kepada ananda sehingga mengundang keridhaan Allah SWT.
2. Terimakasih ananda ucapkan kepada kakanda Latifatun, Muhamad Fauzi, Titin
Rohmatin S,Ag, Neneng Hasanah S.Ag, Agus Amin, dan Nunung Nurseha A.Md
yang dengan caranya sendiri memberikan semangat kepada saya, terimakasih atas
doa-doa nya.
3. Bapak Jossy P Moeis, Ph.D, pembimbing skripsi penulis, yang ditengah
kesibukannya berkenan untuk mentransfer keahliannya dalam ilmu ekonomi
kemiskinan, membimbing dan memberikan masukan serta saran yang sangat berarti.
Dengan pemikiran dan hati yang ada pada Bapak, saya berharap agar bapak dapat
ikut berperan besar dalam proses pembuatan kebijakan berkaitan dengan kemiskinan
di negeri ini.
4. Bapak Ari Kuncoro Ph.D, dan Ibu Suyanti MSc selaku penguji penulis yang
berkenan memberikan saran menyeluruh pada penulisan skripsi ini. Selain itu,
memberikan insight yang luar biasa pada penulis mengenai skripsi ini saat sidang.
Sungguh sangat mencerahkan.
5. Mas Dewa, dan Mba Ruri (di LDFEUI) atas pelatihan singkat interpolasi, dan data
management dengan stata. Mas Abdi, terimakasih atas pengalaman kerja yang
diberikan di LD-FEUI.
6. Teman-teman IE 2003, Yudhis (good co-worker), Kindy (calon gubernur Bekasi
yang ekonom), Kiki (teman pertama di IE), Ikhsan (pak ustadz), Robby (pria rajin,
konkrit), Putri (thx atas hausman test-nya), Iqbal (catatan penuh gambar), Dani,
Ibnu, Husna, Dinar, Yogi, Ira, Arik, Erwin, Andre, Meining, Tuti, Aryo, Ardi,
Angga, Adi, Rika, Urfi, Fitri, Ria, Ira, Icha, Luvy, Oni, Firlana, Sandhi, Alex,
Nanto, dody, Liano, Prita, Ester, Katrin, Agnes, dan yang lainnya (maaf kalo ada
yang terlewat).
7. Temen-temen di Arista, tempat kos di tahun terakhir penulis di FEUI, (kos-kosan
paling ’rimbun’ yang pernah ada), Seno, Domi, Iman, Tigor, owbie, aha, kholid,
basori, susanto, dll.
8. Temen-temen part-timer di perpustakaan: UJ, Minang, Irvan, Sukma, Abdur, Oco,
Eko, Rini, Happy, Triana, dll.
9. Temen-temen di asrama Etos Jakarta, temen-temen KSM ekaprasetya UI mulai dari
zaman Sonny, Supri hingga Zakky, temen-temen BEM (Ai, Habibi, Ojan, Eka,
Rimas, Aji, dkk) khususnya PUSGERAK BEM UI (bung Tyan, Faisal, Shofwan,
Ivan, Giyanto, Iif, Apip), teman-teman pemenang LKTI G-trans, sungguh sarana
diskusi yang menyenangkan, menyegarkan dan menggairahkan, tempat tukar
pikiran, tempat perjuangan, terimakasih telah meningkatkan kapabilitas penulis.
10. Pegawai perpustakaan FEUI, tempat penulis ’bekerja’ dan menimba ilmu
terimakasih atas ”akses tidak terbatas” pada buku yang digunakan sebagai bahan-
bahan belajar selama di FEUI dan untuk pembuatan skripsi ini.
11. Akhirnya pada embun surgaku. Diturunkan oleh Sang Khalik dengan cinta-Nya.
Penawar atas kehausan, dampak kefanaan dunia. Entah di belahan dunia mana,
entah kapan dapat menemukannya. Cawan hati ini akan selalu dibersihkan agar
dapat menampung kesucian dan kemuliaanya. Membawanya kembali ke tempat
asalnya, surga.
Dan seluruh teman – teman lainnya, pihak – pihak yang tidak bisa disebutkan namanya
di sini; keberadaan anda semua membuat segalanya jadi lebih mudah dan lebih indah.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan anda semua dengan pahala yang berlipat dan
mengekalkan persaudaraan kita selamanya.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Jakarta, 10 Desember 2006,
Penulis,
Muhamad Sowwam
Karya ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, kakak-kakakku, dan kepada mereka yang selalu dan akan terus berjuang memerangi berbagai bentuk pemiskinan, penjajahan, pendudukan,
pengusiran, penggusuran,…
ABSTRAKSI
Judul : Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Analisis Data Panel
1990-2004
Nama : Muhamad Sowwam
NPM : 0603000486
Departemen : Ilmu Ekonomi
viii halaman + 120 halaman + 12 Tabel + 6 gambar dan grafik
Kebijakan pemerintah, yang mengadopsi kebijakan New Deal, berfokus pada pembangunan
infrastruktur guna tercapainya tiga tahap strategi (triple-track strategy). Triple-track strategy itu
sendiri terdiri atas pro-growth, pro-job dan pro-poor. Namun sebenarnya pola hubungan antara
infrastruktur dengan kemiskinan masih belum dapat disimpulkan. Studi ini bertujuan untuk
melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan tingkat propinsi di Indonesia. Pembagian
infrastruktur pada studi ini merujuk pada definisi Bank Dunia, yaitu infrastruktur ekonomi (jalan,
listrik, irigasi, telepon), dan infrastruktur sosial (pendidikan dan kesehatan). Dengan
menggunakan data panel pada tingkat propinsi periode 1990-2004, dan metode effect tetap (fixed
effect), serta berbagai lag, studi ini menghasilkan estimasi empiris. Pertama, dengan
menggunakan lag 1 tahun didapat bahwa air, jalan, banyaknya sekolah SMP-SMA dan jumlah
tempat tidur di rumah sakit tidak signifikan pada tingkat 5%. Sementara itu, terdapat tujuh
variabel yang signifikan. Diantaranya adalah listrik dengan koefisien -0,2, kemudian banyaknya
sekolah dasar dengan -0,11 , dan telepon dengan koefisien -0,08, dan irigasi sebesar -0,06.
Penelitian ini juga menemukan bahwa krisis secara empiris meningkatkan penduduk miskin.
Selain itu pada penelitian ini juga didapat bahwa kemiskinan periode sebelumnya berpengaruh
secara positif pada jumlah kemiskinan saat ini.
Kata kunci: infrastruktur, kemiskinan, fixed-effect, pembangunan, pertumbuhan.
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................i Abstraksi .......................................................................................................................... iii Daftar Isi ..........................................................................................................................iv Daftar Tabel ......................................................................................................................viDaftar Grafik....................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................................6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................................6 1.4. Hipotesis ...................................................................................................................7 1.5. Metode Penelitian .....................................................................................................7 1.6. Kerangka Penulisan ..................................................................................................8
BAB II LANDASAN TEORI ..............................................................................................92.1. Kemiskinan..............................................................................................................9
2.1.1. Perkembangan Konsep Kemiskinan ................................................................9 2.1.2. Garis Kemiskinan...........................................................................................12
2.1.2.1. Garis Kemiskinan Absolut......................................................................13 2.1.2.2. Garis Kemiskinan Relatif .......................................................................16 2.1.2.3. Garis Kemiskinan Subjektif....................................................................17
2.1.3. Aggregasi kemiskinan....................................................................................19 2.1.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ............................................................23 2.1.5. Kebijakan Kemiskinan...................................................................................29
2.2. Infrastruktur: Sebuah Kerangka Konseptual .........................................................35 2.2.1. Infrastruktur dan Kegagalan Pasar.................................................................39
2.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya.........................................................................41 2.3.1. Infrastruktur Irigasi ........................................................................................41 2.3.2. Infrastruktur Jalan ..........................................................................................46 2.3.3. Pendidikan......................................................................................................48 2.3.4. Infrastruktur Telepon .....................................................................................49 2.3.5. Infrastruktur Listrik........................................................................................50 2.3.6. Kesehatan.......................................................................................................51
2.4. Dasar Pembentukan Model ...................................................................................54 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................59
3.1. Spesifikasi Model......................................................................................................59 3.2. Data ...........................................................................................................................61 3.3. Metode Pengolahan Data ..........................................................................................62
3.3.1. Data Panel ..........................................................................................................62
iv
3.3.1.1. Pooled (Ordinary Least Square, OLS) ........................................................64 3.3.1.2. Fixed Effects Model (Least-Squared Dummy Variable/ LSDV) ...............65 3.3.1.3. Random Effects Model (Error Component Model) ....................................66
3.3.2. Pemilihan Metode Estimasi ...............................................................................67 3.4. Pengujian Model .......................................................................................................70
3.4.1. Kriteria Ekonomi ...............................................................................................70 3.4.2. Kriteria Statistik .................................................................................................70 3.4.3. Kriteria Ekonometrik .........................................................................................71
BAB IV ANALISIS DAN HASIL ESTIMASI ................................................................764.1. Deskripsi Data .......................................................................................................76 4.2. Pemilihan Model Estimasi ....................................................................................77 4.3. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika........................................................................78
4.3.1. Kriteria Statistik .................................................................................................78 4.3.2. Kriteria Ekonometrika .......................................................................................79
4.4. Analisis Temuan Empiris ......................................................................................83 4.4.1. Variabel Irigasi...................................................................................................84 4.4.2. Air bersih ...........................................................................................................864.4.3. Variabel Jalan.....................................................................................................89 4.4.4. Variabel Kesehatan ............................................................................................904.4.5. Variabel Pendidikan...........................................................................................924.4.6. Variabel Telepon................................................................................................954.4.7. Variabel Krisis ...................................................................................................964.4.8. Variabel Listrik ..................................................................................................974.4.9. Variabel Kemiskinan Periode Sebelumnya .......................................................99
BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN STUDI .........................1015.1. Kesimpulan .............................................................................................................1015.2. Saran .......................................................................................................................1025.3. Keterbatasan Studi ..................................................................................................103
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................106LAMPIRAN......................................................................................................................110
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1-1 Kondisi Ketenagakerjaan 2
Tabel 1-2 Tingkat Kemiskinan: Target dan Kondisi Aktual 2
Tabel 1-3 Kinerja Infrastruktur di Indonesia, 2004 4
Tabel 4-1 Deskripsi Data 77
Tabel 4-2 Hasil Estimasi Persamaan 78
Tabel 4-3 Matriks Korelasi 80
Tabel 4-4 Variance Inflation Factors a 81
Tabel 4-5 Variance Inflation Factors b 81
Tabel 4-6 Hasil Estimasi Persamaan Akhir 83
Tabel 4-7 Rumah Tangga yang Memiliki Luas Tanam (Padi) Kurang dari 0.5 Ha
Berdasarkan kuintil, Indonesia, 2004
85
Tabel 4-8 Akses Sumber Air Minum Berdasarkan Kuintil, Indonesia, 2004 89
Tabel 4-10 Banyaknya Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik PLN Sebagai
Sumber Penerangan, Indonesia, 2004
98
vi
DAFTAR GRAFIK
Gambar 2-1: Peta Konsep dari Teori-Teori Penyebab Kemiskinan 26
Gambar 2-2: Siklus Intergenarasi Pembentukan Modal Manusia 52
Gambar 3-1: Pengujian Pemilihan Metode Data Panel 68
Grafik 4-1: Akses Terhadap Air Bersih Berdasarkan Tingkat Penghasilan 87
Grafik 4-2: Persentase Jalan Kabupaten dengan Kondisi Baik terhadap Total Jalan
Kabupaten Di Setiap Provinsi, Indonesia, 2004
89
Grafik 4-3: Persentase Penduduk Miskin (dalam ribuan), Indonesia, 1976-2004 97
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada pidato peresmian pembukaan kongres ke 16 ISEI di Manado tahun 2006,
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dua istilah penting. Pertama, istilah
triple-track strategy, yaitu pro-growth, pro-job dan pro-poor. Trek pertama adalah
meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Trek kedua
adalah menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Terakhir, trek yang
ketiga, yaitu merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan untuk
mengurangi kemiskinan. Dengan demikian, pertumbuhan yang akan dihasilkan itu
mendatangkan kebaikan. Pertumbuhan yang (sekaligus) dapat menciptakan lapangan kerja,
dan mengurangi kemiskinan.
Kedua, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melontarkan pemikiran dan
proposal mengenai arah kebijakan pembangunan yang akan dilakukan pemerintahannya
pada beberapa tahun mendatang. Proposal program itu adalah, sebagaimana yang Presiden
SBY katakan dalam pidatonya:
"Program khusus ini, katakanlah new deal, prosperative new deal, mestilah lebih bersifat jangka pendek, tentu merupakan targeted action plan...Dan mengapa new deal ini harus kita pikirkan...kita boleh mengatakan the hungry can not wait. Bentuk program yang saya maksudkan tadi ...lebih fokus pada dua hal. Satu adalah employment creation, penciptaan lapangan kerja….”(Biro Per dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, 2006)
Pemikiran dan proposal itu dilatarbelakangi oleh kondisi akibat krisis ekonomi
yang memiliki magnitudo yang luar biasa dalam dan luasnya. Berdasar data BPS pada
Februari 2006 diketahui bahwa pengangguran terbuka sebesar 11,1 juta orang, setengah
menganggur 29,9 juta orang.
2
Tabel 1-1
Kondisi Ketenagakerjaan
2004 2005 2006 Rincian Agustus Februari November Februari
Penduduk usia >15 tahun (juta jiwa) 153,9 155,5 158,5 159,3 Angkatan kerja (juta jiwa) 104 105,8 105,9 106,3 • bekerja 93,7 94,9 94 95,2 • tidak bekerja (penganggur terbuka) 10,3 10,9 11,9 11,1 Setengah menganggur (juta jiwa) 27,9 29,6 28,9 29,9 • sukarela 14,5 15,3 15,0 15,7 • terpaksa 13,4 14,3 13,9 14,2 Bukan angkatan kerja (juta jiwa) 50 49,7 52,6 53 Jumlah penganggur (juta jiwa) 38,2 40,5 40,8 41,0 Tingkat pengangguran terbuka (%) 9,9 10,3 11,2 10,4
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selanjutnya, karena tidak ada pekerjaan, maka pendapatan (personal income) pada
kelompok marginal tidak tinggi. Akibatnya, 39,05 juta (17,75%) rakyat pada prinsipnya
masih miskin, dan sebanyak 13,02% yang hampir miskin (BPS, 2006).
Tabel 1-2
Tingkat Kemiskinan: Target dan Kondisi Aktual Awal RPJM dan RKP MDG Deskripsi
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2015
Tk Kemiskinan (%)
Target 15,0 13,3 14,4 -- 8,2 7,2
Aktual 16,6 15,8 17,75 16,5
Jumlah Penduduk miskin (Juta)
Target -- -- -- -- -- 18,8 --
Aktual 36,1 35,2 39,30 37,17
Sumber RPJM 2004-2009, RKP 2006, RKP 2007, dan publikasi BPS
Secara teoretis proposal New Deal itu didasarkan dari adanya preseden sejarah
sebelumnya. Sejarah dari adanya great depression yang sangat terkenal dalam sejarah
perekonomian dunia. Di Amerika fenomena tersebut menyebabkan pergantian Presiden,
dari Hoover ke Roosevelt. Akibat depresi, standar hidup menurun pada 1929-1933, di
Amerika Serikat output industri turun sampai 30%. Tingkat pengangguran naik lebih dari
25%. (Skousen, 2005) Roosevelt mengusulkan banyak program untuk keluar dari kondisi
tersebut. Program-program tersebut kemudian dikenal dengan istilah New Deal atau
3
Alphabet Soup (Schultz, 2006). Inti dari program new deal ini salah satunya adalah
pembangunan infrastruktur.
Program-program tersebut diantaranya adalah: CCC (civilian conservation corps)
yang lebih merupakan proyek pekerjaan umum, didisain untuk konservasi lingkungan.
Kemudian TVA (Tennesse valley authorithy), membangun bendungan; pembangkit tenaga
listrik di sepanjang sungai Tennese. Selanjutnya WPA, dilakukan dengan melakukan
pekerjaan berupa mengaspal jalan, membangun jembatan, lapangan udara, kantor pos. SSA
(social security act) merupakan sistem kerjasama negara bagian yang menyediakan
kompensasi untuk pengangguran dan asuransi untuk lanjut usia dan juga wealth tax act.
Dengan adanya program-program tersebut, Roosevelt berhasil menggerakkan kembali roda
perekonomian dan berhasil menanggulangi depresi tersebut. Dengan demikian,
infrastruktur merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan ekonomi.
Didukung dengan adanya preseden sejarah dan latar belakang pemikiran ekonomi
yang ada, maka pemerintah tampaknya serius untuk mengimplementasikan strategi
pembangunan ala Roosevelt itu ke Indonesia. Hal ini secara kasat mata dapat dilihat dari
adanya kegiatan atau program-program seperti infrastructure summit, infrastructure
exhibition and conference, kemudian pendirian komite kebijakan percepatan penyediaan
infrastruktur (KKPPI), pelaksanaan proyek pembangunan 10.000 tower rumah susun,
proyek pembangunan jalan tol trans-jawa yang sepanjang 913 Km dengan investasi total
sebesar Rp42,46 triliun (NK dan RAPBN 2008), jalan tol Jakarta (JORR II) yang
membutuhkan dana sebesar Rp 9,2 Triliun, proyek-proyek transportasi seperti
pembangunan bandara, pelabuhan. Kemudian program listrik 10.000 MW dengan nilai
investasi sebesar Rp105,4 triliun (NK dan RAPBN 2008), proyek energi bio-diesel, dan
upaya lainnya dalam rangka menggenjot proyek infrastruktur.
4
Upaya-upaya tersebut dilakukan, juga, karena fakta bahwa kondisi infrastruktur
yang semakin terpuruk semenjak krisis ekonomi. Sejak saat itu terlihat bahwa perhatian
pemerintah pada kondisi infrastruktur di Indonesia sangat kurang, terutama pada penyedian
infrastruktur khususnya di luar Jawa atau di Indonesia kawasan timur. Indonesia termasuk
salah satu negara dengan kualitas atau mutu kinerja infrastruktur yang terburuk dalam satu
kawasan (Tambunan, 2007). Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini bahwa dalam hal
kelistrikan masih banyak penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik (43%). Hanya
empat dari 1000 orang yang memiliki jaringan telepon. Hampir setengah dari penduduk
belum dapat mengakses ke sanitasi yang baik.
Tabel 1-3
Kinerja Infrastruktur di Indonesia, 2004 No klasifikasi Kinerja Urutan/ranking
1 Listrik Tingkat elektrifikasi (%) Kualitas listrik (skala 1-7)
53 3,4
11 dari 12
2 Telekomunikasi Transmisi dan distribusi yang putus Jaringan telepon per 1000 orang Pemilik mobile phone per 1000 orang Pemilik telepon per 1000 orang
11 4 6 9
12 dari 12
3 Air dan sanitasi %pop mengakses ke sanitasi yang baik %pop akses ke air bersih
55 78
7 dari 11
4 Jalan Jaringan jalan raya (km/1000 penduduk) Jalan aspal perjumlah tanah Fatalitas jalan/100.000 orang Fatalitas jalan/100.000 kendaraan
1,7 0,8 4,6 4,5
8 dari 12
Sumber: World Bank, 2004
Di tengah urgensitas untuk memperbaiki kondisi infrastruktur yang semakin buruk,
sebenarnya masih terjadi perdebatan mengenai pola hubungan antara infrastruktur dengan
kemiskinan. Oleh karena itu, perlu kiranya diteliti masalah ini. Hal ini dianggap penting
karena berkaitan dengan pengambilan kebijakan publik.
Ada dua pemikiran (mazhab) dalam melihat hubungan infrastruktur, pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Masika dan Baden, 1997). Pada satu sisi
(kelompok pemikiran pertama), memandang pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan
5
ekonomi, dan upaya pengurangan kemiskinan di negara berkembang. Sementara kelompok
pemikiran kedua melihat bahwa infrastruktur belum tentu berperan pada pengurangan
kemiskinan. Kalaupun infrastruktur berperan dalam pertumbuhan ekonomi namun belum
tentu terhadap kemiskinan. ‘Benang merah’ dari kedua pemikiran tersebut berkaitan
dengan masalah akses, pembiayaan, lokasi, dan jenis infrastruktur. Dengan demikian,
hubungan antara infrastruktur dan kemiskinan masih belum jelas (belum dapat
disimpulkan).
Mengenai perbedaan jenis infrastruktur. Bank Dunia membagi infrastruktur
menjadi tiga komponen, yaitu infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial dan infrastruktur
administrasi. Pertama, infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur yang ditujukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi. Infrastruktur ini meliputi: public utilities (listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, dan gas). Public work (jalan, bendungan, kanal, dan irigasi
dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang). Kedua,
infrastruktur sosial yang diantaranya ialah pendidikan, kesehatan, perumahan. Ketiga,
infrastruktur administrasi, misalnya penegakan hukum, kontrol administrasi dan
koordinasi.
Kecenderungan yang terjadi di Indonesia saat ini, secara sekilas, pembangunan
infrastruktur lebih terkonsentrasi pada jenis infrastruktur (jalan tol, komunikasi, serta
energi). Investasi pada infrastruktur ini memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan
jenis infrastruktur lainnya seperti infrastruktur sosial (pendidikan, dan kesehatan). Selama
ini masih belum dapat diketahui infrastruktur jenis apa yang akan lebih
berpengaruh/berperan pada pengurangan kemiskinan, apakah ekonomi atau sosial.
Mengingat masih belum adanya kesimpulan umum, serta terbatasnya, dan pentingnya studi
yang berkaitan dengan topik ini –berkaitan dengan masalah pengambilan kebijakan—
maka penulis akan mencoba menganalisis pola hubungan antara dua variabel tersebut.
6
1.2. Perumusan Masalah
Berdasar dari latar belakang di atas dapat diketahui bahwa, dari sisi pemikiran,
terdapat dua pemikiran yang saling bertentangan mengenai bagaimana hubungan antara
infrastruktur dengan kemiskinan sebenarnya. Sehingga pola hubungan diantara dua
variabel tersebut masih belum dapat disimpulkan. Studi ini ingin mencari pemikiran mana
yang lebih bekerja jika dihadapkan pada beberapa kondisi yang ada di Indonesia. Berkaitan
dengan jenis infrastruktur yang berbeda-beda tersebut, jenis infrastruktur manakah yang
lebih berperan dalam pengurangan kemiskinan, apakah infrastruktur ekonomi lebih
berperan dalam proses pengurangan kemiskinan jika dibandingkan dengan infrastruktur-
infrastruktur sosial?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari uraian diatas maka tujuan penelitian ini menjawab beberapa hal-hal yang ingin
diketahui seputar infrastruktur dan kemiskinan diantaranya ialah:
1. Mencari tahu apakah infrastruktur mempengaruhi proses pengurangan kemiskinan
di Indonesia kemudian, jika terdapat pengaruh, seberapa besar pengaruh dari
variabel infrastruktur dalam proses pengurangan kemiskinan di Indonesia.
2. Membandingkan perbedaan pengaruh dari dampak jenis infrastruktur (sosial atau
ekonomi) terhadap kemiskinan.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menambah referensi mengenai analisis
infrastruktur serta hubungannya dengan kemiskinan. Selain itu hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi pembuat kebijakan infrastruktur (pemerintah)
dalam upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.
7
1.4. Hipotesis
Ada beberapa hipotesa yang akan diuji pada studi ini, yaitu:
Hipotesis pertama, berkaitan dengan apakah terdapat pengaruh infrastruktur terhadap
kemiskinan.
H0 : Tidak terdapat hubungan antara infrastruktur dengan kemiskinan
H1 : Terdapat hubungan negatif antara infrastruktur terhadap kemiskinan.
Hipotesis kedua, mengenai perbedaan jenis infrastruktur, apakah jenis infrastruktur
memiliki dampak yang berbeda terhadap kemiskinan dan pengangguran.
H0 : Jenis infrastruktur ekonomi tidak lebih berpengaruh dibandingkan jenis
infrastruktur sosial terhadap kemiskinan.
H1 : Infrastruktur sosial lebih berpengaruh terhadap kemiskinan jika dibandingkan
dengan infrastruktur ekonomi.
1.5. Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel. Data panel merupakan
gabungan antara data time series dengan data cross-sectional. Data ini mencakup 26
propinsi sepanjang periode 1990 hingga 2004. Sebelumnya akan dilakukan beberapa
penyesuaian terlebih dahulu pada data berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, setelah era
reformasi banyak sekali terjadi perubahan dalam jumlah propinsi di Indonesia, baik
dikarenakan oleh propinsi yang memerdekakan (melepaskan) diri dari NKRI maupun
karena pemekaran wilayah. Kedua, mengingat data kemiskinan sebelum tahun 1999 adalah
data per tiga tahun, maka untuk kemiskinan akan dilakukan interpolasi data. Data yang
digunakan didapat dari berbagai institusi mulai dari BPS, Dep PU, PT PLN, Depdiknas,
Depkes, dan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Terdapat tiga kemungkinan berkaitan dengan model apa yang akan digunakan pada
penelitian ini. Pertama, model dengan metode pooled least square (PLS), kedua metode
8
efek tetap (Fixed Effect) dan terakhir metode efek acak (Random effect). Melalui beberapa
uji ekonometrika, maka akan ditetapkan model apa yang akan digunakan.
1.6. Kerangka Penulisan
Analisis pengaruh infrastruktur dan institusi pada kemiskinan dan ketenagakerjaan
di Indonesia ini disusun dalam lima bab.
• Bab I Pendahuluan. Memuat gambaran umum yang mendasari dilakukannya
penelitian ini. Bab ini terdiri atas latar belakang, perumusan maslah, tujuan dan
manfaat penelitian serta hipotesis. Kemudian juga mendeskripsikan sekilas
mengenai metodologi penelitian dan kerangka penulisan.
• Bab II Landasan Teoretis. Berisi mengenai tinjauan literatur yang memaparkan
berbagai teori dan bukti-bukti empiris dari studi-studi sebelumnya yang berkaitan
dengan topik penelitian ini.
• Bab III Metodologi Penelitian. Pada bab ini dijelaskan dasar pemilihan model,
data dan sumbernya serta metode yang digunakan dalam mengestimasi model. Bab
ini dibagi dalam beberapa sub-bab yang diantaranya ialah spesifikasi model, jenis,
dan sumber data serta definisi operasional dari masing-masing variabel, dan
prosedur estimasi.
• Bab IV Hasil Penelitian dan Analisis berisi hasil estimasi dan analisis yang
memaparkan berbagai temuan empiris yang diperoleh pada penelitian ini.
• Bab V Kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan serta
keterbatasan studi dan peluang untuk studi lebih lanjut pada topik studi ini. Pada
bab ini dirangkum hasil penelitian dan implikasi kebijakan yang dapat diambil
pemerintah.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan membahas
perkembangan konsep kemiskinan, kemudian penjelasan mengenai garis kemiskinan,
struktur kemiskinan serta kebijakan-kebijakan yang ada berkaitan dengan upaya
pengurangan kemiskinan. Bagian selanjutnya akan menjelaskan konsep infrastruktur. Pada
bagian terakhir bab ini akan dideskripsikan beberapa temuan pada penelitian-penelitian
sebelumnya yang tentunya berkaitan dengan infrastruktur dan kemiskinan.
2.1. Kemiskinan
2.1.1. Perkembangan Konsep Kemiskinan
Memperoleh definisi atas permasalahan kemiskinan yang lebih baik dan melakukan
komparasi berbagai pendekatan pengukuran kemiskinan yang digunakan adalah elemen
yang terpenting sebelum berbicara mengenai kebijakan mereduksi kemiskinan. Hal ini
tentunya akan berguna dalam membangun suatu kebijakan yang lebih efektif. Oleh karena
itu, pada bagian berikut akan dibahas mengenai konsep-konsep kemiskinan.
Pada awalnya kemiskinan dihubungkan dengan pendapatan. Pendapatan telah
dijadikan sebagai inti dari konsep kemiskinan. Namun ‘pendapatan’ itu sendiri tidak
kurang bermasalahnya dari konsep ‘kemiskinan’, sehingga harus secara hati-hati dan tepat
dalam mengelaborasinya. Jika pendapatan ekuivalen dengan asset, maka jasa-jasa layanan
publik serta subsidi dari pemerintah harus ditambahkan kedalam pendapatan dengan
ukuran yang akurat. Ukuran akurat tersebutlah yang sukar untuk diperoleh atau diukur
secara agregatif.
10
Ketika seseorang kekurangan pendapatan atau sumberdaya lainnya, termasuk
penggunaan asset serta barang dan jasa yang diterima yang ekuivalen dengan pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan –yaitu, makanan, barang-barang material, jasa-jasa,
kenyamanan— sehingga seseorang tersebut mampu memegang peranan dalam masyarakat,
seseorang tersebut dapat dikatakan berada dalam kemiskinan. Kemudian berbagai konsepsi
alternatif berkenaan dengan kemiskinan terus mengalami perkembangan. Konsepsi-
konsepsi alternatif tersebut sangat bergantung pada gagasan-gagasan mengenai subsisten
(subsistence), kebutuhan dasar (basic needs), serta deprivasi relatif (relative deprivation).
Penggunaan konsep subsisten untuk mendefinisikan kemiskinan kemudian banyak
dikritik (M Rein, 1970). Pendekatan tersebut lebih menginterpretasikan kebutuhan manusia
(human needs) secara dominan sebagai kebutuhan fisik dari pada sebagai kebutuhan sosial.
Manusia tidak hanya dilihat sebagai individu organisme yang membutuhkan sumberdaya
energi fisik melainkan juga makhluk sosial yang memiliki peranan di masyarakat sebagai
pekerja, warga, tetangga, orang tua, dan lain sebagainya (R Lister, 1990). Barang-barang
material pada akhirnya bukanlah suatu hal yang tetap melainkan berubah. Bahkan jumlah,
jenis, serta biaya makanan seseorangpun, sekarang, bergantung pada peranannya serta
kebiasaan makan yang terdapat pada masyarakat tertentu. Dengan demikian, kebutuhan
material menjadi sesuatu yang ditentukan, dalam berbagai cara, secara sosial.
Gagasan kedua adalah ‘kebutuhan dasar’ (basic needs). Kebutuhan dasar terdiri
dari dua komponen, yang pertama adalah kebutuhan minimum tertentu dari konsumsi
keluarga seperti makanan yang cukup, tempat berlindung, dan pakaian. Kedua, pelayanan
dasar yang disediakan oleh dan untuk komunitas dalam ukuran yang besar seperti sanitasi,
angkutan umum, layanan kesehatan, pendidikan, fasilitas rekreasi, dan lain sebagainya
(ILO, 1977). Secara khusus di daerah perdesaan, konsep kebutuhan dasar diperluas dengan
memasukkan lahan, peralatan pertanian serta akses pada bertani.
11
Sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa konsep kebutuhan dasar adalah perluasan
dari konsep subsisten. Selain terdapat kebutuhan material agar seseorang bertahan hidup,
terdapat juga fasilitas serta pelayanan –untuk layanan kesehatan, sanitasi, dan pendidikan –
yang dibutuhkan oleh komunitas lokal atau penduduk secara keseluruhan.
Gagasan ketiga dalam memahami kemiskinan ialah deprivasi relatif (J Scott, 1994).
Konsep relatifitas berlaku baik pada sumber daya maupun pada kondisi material dan sosial.
Seringkali terjadi perubahan (dari waktu ke waktu) dalam menentukan suatu kondisi untuk
menyatakan seseorang atau keluarga tertentu berada dalam keadaan miskin. Hal ini
menyebabkan gambaran kemiskinan sebagai suatu keadaan ketika seseorang memiliki
pendapatan disposibelnya relatif lebih rendah dari yang lain (kesenjangan) menjadi tidak
memuaskan. Dengan demikian, telah terjadi kegagalan secara konseptual dalam
membedakan kesenjangan dengan kemiskinan.
Kemiskinan sebaiknya dipahami tidak hanya sebagai seseorang yang menjadi
korban dari distribusi sumberdaya yang tidak merata (maldistribution), lebih tepatnya,
seseorang yang dengan sumberdaya yang dimilikinya tidak mampu memenuhi permintaan
sosial dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Ini adalah kriteria yang digunakan untuk
observasi mengenai deprivasi.
Motivasi atas penggunaan gagasan deprivasi relatif ini karena beberapa konsep
sebelumnya masih belum dapat menggambarkan secara tepat apa yang dimaksud dengan
kemiskinan. Terutama karena konsep subsisten yang mengecilkan esensi kebutuhan
manusia, sebagaimana konsep kebutuhan dasar yang dibatasi pada fasilitas fisik.
Karena banyak formulasi atau konsep, terdapat masalah dalam mendefinisikan
kemiskinan secara operasional. Saat ini ukuran kemiskinan tidak berjalan bersamaan
dengan perkembangan konsep seperti yang telah dijelaskan di atas. Kritik-kritik terhadap
pendekatan tertentu tidak harus selalu diterjemahkan dalam ukuran operasional. Garis
12
kemiskinan absolut menjadi metode yang sangat luas untuk mengukur kecukupan sumber
daya, dan penggunaannya telah berubah dari ide ‘subsisten’ menjadi pada kebutuhan yang
ditentukan secara sosial. Pendekatan kebutuhan dasar juga telah lebih dekat pada
kebutuhan sosial (Gordon, 2001).
2.1.2. Garis Kemiskinan
Proses pengukuran kemiskinan secara umum meliputi, paling tidak, dua langkah
yaitu, identifikasi siapa yang dianggap miskin dan tidak miskin, dan agregasi kemiskinan
yang mensintesakan informasi menjadi satu jumlah/bilangan tertentu.
Identifikasi siapa yang miskin atau tidak dapat digunakan dengan garis kemiskinan.
Pendekatan ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk mendapat suatu
perkiraan kuantitatif kemiskinan. Dengan pendekatan ini, sebuah rumah tangga akan
diklasifikasikan sebagai rumah tangga miskin jika pendapatan atau pengeluarannya kurang
dari nilai garis kemiskinan. Garis kemiskinan mewakili nilai aggregat dari seluruh barang
dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pada pembentukan garis kemiskinan, terdapat tiga pendekatan dasar, yaitu: garis
kemiskinan absolut (the absolute poverty line), garis kemiskinan relatif (the relative
poverty line), dan garis kemiskinan subjektif (the subjective poverty line) (Martin
Ravalion, 1994).
Garis kemiskinan absolut mengidentifikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk
mendapatkan barang dan jasa yang memuaskan standar minimum atas setiap kebutuhan
dasar. Sementara itu, garis kemiskinan relatif mengadopsi pemikiran bahwa garis
kemiskinan harus secara eksplisit merujuk pada kondisi umum masyarakat. Seseorang
dikatakan miskin ketika dia memuaskan kebutuhannya itu pada tingkat yang lebih rendah,
secara relatif, dari yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya. Dengan demikian, garis
kemiskinan relatif merupakan proporsi dari rata-rata atau nilai tengah atas
13
pendapatan/pengeluaran masyarakat. Perbedaan yang penting antara garis kemiskinan
absolut dan relatif berada pada bagaimana mereka menilai perubahan sebagai akibat
perubahan distribusi pendapatan atau pengeluaran (Foster, 1998).
Garis kemiskinan subjektif, berbeda dari dua pendekatan sebelumnya dalam
memandang kebutuhan minimum anggaran rumah tangga, adalah pembanding terbaik
untuk pendapatan dan pengeluaran. Pada pendekatan ini digunakan survei dari sampel
yang mewakili untuk mengukur pendapat masyarakat. Di sini masyarakat mendefinisikan
garis kemiskinannya sendiri.
2.1.2.1. Garis Kemiskinan Absolut
A. Membuat garis kemiskinan absolut
Garis kemiskinan absolut merepresentasikan biaya untuk membeli sekeranjang
barang yang dihadapkan pada ambang batas absolut dalam memenuhi kebutuhan dasar
tertentu. Untuk membuat garis kemiskinan diperlukan beberapa tahapan, pertama,
menentukan ambang batas untuk setiap kebutuhan dasar; kedua, mendefinisikan jenis dan
kuantitas barang/jasa; ketiga, memberikan harga pada barang dan jasa tersebut.
Nilai dari satuan barang dapat ditentukan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Secara langsung jika hanya sedikit kebutuhan dasar. Untuk semua kebutuhan
lainnya, nilai agregat dihitung secara tidak langsung. Dalam banyak kasus, perkiraan
langsung terbatas pada makanan saja. Pada kasus ini, kecukupan makanan dijadikan
sebagai ambang batas.
1. Garis kemiskinan makanan (food povety line)
Makanan merupakan kategori yang paling umum digunakan untuk mengukur
kemiskinan. Kecukupan gizi adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu,
ia merupakan pusat dari pembuatan garis kemiskinan. Misalnya berdasarkan pendapat ahli
14
gizi, seseorang dikatakan miskin ketika pendapatan mereka tidak cukup untuk memperoleh
kebutuhan hidup minimum untuk merawat (kerja) fisiknya/bertahan hidup.
Garis kemiskinan makanan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu garis
kemiskinan makanan normatif yang merepresentasikan biaya sekeranjang makanan yang
menyediakan kecukupan gizi. Namun garis kemiskinan ini bukan diperuntukkan dalam
pengukuran kemiskinan, dan juga tidak merepresentasikan kebiasaan konsumen. kemudian
garis kemiskinan makanan semi-normatif yang merepresentasikan biaya dari sekeranjang
makanan yang dipatok pada pedoman gizi tertentu yang disesuaikan dengan kebiasaan
konsumsi, serta harga pasar.
Ada beberapa tahapan dalam pembuatan garis kemiskinan makanan yang
mengikutsertakan kebiasaan masyarakat dalam penghitungan (semi-normatif), yaitu:
a) Menentukan energi yang dibutuhkan.
Memperkirakan energi (kalori) yang diperlukan untuk menopang hidup
individu (FAO, 2004). Kebutuhan kalori berbeda-beda dari setiap jenis orang,
misalnya berdasarkan umur, jenis kelamin atau aktivitasnya. Setelah hal itu
diketahui, kebutuhan kalori secara keseluruhan untuk suatu rumah tangga dapat
ditentukan. Kemudian, dengan pembobotan rata-rata diketahui rata-rata kebutuhan
kalori per orang.
b) Memilih kelompok yang dijadikan rujukan (reference groups).
Hal ini dilakukan agar ukuran dapat merepresentasikan pola konsumsi
masyarakat. Dengan demikian, tidak seluruh populasi dijadikan sebagai rujukan,
karena jika hal tersebut dilakukan hanya akan menimbulkan variasi yang sangat
besar dalam struktur keranjang makanan. Biasanya kelompok rujukan yang dipilih
adalah kelompok yang memenuhi, secara rata-rata, kebutuhan kalori dengan
pendapatan terendah. Metode alternatifnya adalah dengan menentukan konsumsi
15
kalori kelompok berdasar pada dua desil pertama pada distribusi pendapatan, atau
dengan menentukan kelompok yang didasarkan pada penghitungan kemiskinan
sebelumnya.
c) Isi dan biaya sekeranjang makanan.
Menentukan biaya dapat dilakukan dengan cara, pertama, membentuk
sekeranjang makanan secara eksplisit kemudian memberikan harga padanya.
Misalnya dengan cara memilih barang yang paling merepresentasikan dan
kemudian menyesuaikan dengan kuantitas yang telah disesuaikan dengan struktur
konsumsi dari kelompok rujukan tersebut. Kelompok makanan biasanya terdiri
dari: biji-bijian, umbi, gula, tumbuhan polong, sayur-sayuran, buah, daging, ikan,
susu dan produk olahannya, telur, minuman, minyak dan lemak. Dalam beberapa
kasus, beberapa tahapan dilakukan dalam menetapkan jenis makanan yang akan
dimasukkan dalam suatu keranjang makanan. Misalnya jika tujuan yang diinginkan
adalah memperoleh kelompok barang yang sedikit, maka barang-barang yang
jarang digunakan atau paling memakan biaya dapat diganti dengan barang yang
lebih umum digunakan atau lebih murah dalam kelompok yang sama.
Kedua, memperkirakan biaya makanan tanpa membuat daftar dari isi
keranjang makanan tersebut yaitu menentukan biaya secara langsung dari
kelompok yang dijadikan rujukan. Garis kemiskinan yang diperoleh adalah hasil
dari perkalian kebutuhan kalori dengan biaya perkalori pada kelompok rujukan
yang dipilih.
2. Garis kemiskinan bukan makanan (Non-Food Poverty Line)
Berbeda dengan jenis garis kemiskinan makanan yang memiliki kriteria objektif
mengenai berapa tingkatan minimum. Garis kemiskinan bukan makanan biasanya tidak
memiliki kriteria tersebut. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang umum untuk menentukan
16
kuantitas dan harga dari masing-masing barang dalam sekeranjang barang, karena tentunya
akan dibatasi oleh perdebatan yang ada.
Untuk Indonesia, dalam suatu keranjang secara eksplisit dimasukkan pakaian,
tempat tinggal, dan transportasi (Maksum, 2004). Untuk kelompok pakaian,
diformulasikan dengan bentuk persediaan pakaian dasar dengan membagi rata setiap
pakaian yang biasanya lebih dari satu tahun. Sementara itu, pada kasus tempat tinggal,
kelompok barang tersebut terdiri atas sewa akomodasi –termasuk listrik, dan air— serta
fasilitas-fasilitas seperti lemari es, mesin cuci, dan pengering. Satuan sewa biasanya dirata-
ratakan untuk dua hingga tiga kamar tidur. Sewa yang disubsidi dimasukkan dalam
penghitungan, namun mereka yang tidak membayar sewa tidak dimasukkan dalam
penghitungan. Terakhir, kelompok transportasi yang barang-barangnya digunakan untuk
bekerja, kesekolah, belanja atau aktivitas lainnya. Pada wilayah yang dilayani oleh jasa
angkutan umum, kelompok barang ini memasukkan biaya angkut/tarif, jika tidak,
memasukkan biaya membeli mobil bekas untuk lima tahun sekali ditambah pengeluaran
mengoperasikan kendaraan.
2.1.2.2. Garis Kemiskinan Relatif
Penggunaan garis kemiskinan relatif didasarkan pada pemikiran bahwa kemiskinan
yang diperkirakan telah dihadapkan dengan standar hidup masyarakat. Dari perspektif ini,
kemiskinan merepresentasikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan di
suatu masyarakat karena kekurangan sumberdaya.
Jika garis kemiskinan absolut banyak digunakan di negara berkembang, maka garis
kemiskinan relatif ini lebih relevan untuk digunakan di beberapa negara-negara maju
misalnya Uni Eropa (Ravalion, 1994). Ada dua alasan penting mengapa kemiskinan
absolut menjadi kurang relevan di negara maju. Pertama, tantangan utama Uni Eropa
adalah untuk memastikan bahwa keseluruhan populasi mendapat bagian manfaat dari
17
tingginya rata-rata kemakmuran. Tujuan untuk mengurangi kemiskinan relatif lebih banyak
diminta dari pada kemiskinan absolut, karena pertumbuhan ekonomi tidak akan berguna
jika ia tidak diikuti oleh perbaikan dalam distibusi pendapatan. Kedua, apa yang dipandang
sebagai standar kehidupan minimal yang dapat diterima sangat bergantung pada tingkatan
pembangunan sosial dan ekonomi secara umum, yang cenderung bervariasi di setiap
anggota Uni Eropa.
Contoh ukuran relatif dalam satuan moneter dapat dilihat pada peragaan berikut ini.
Misalnya seseorang diberi kesempatan sekali untuk memilih salah satu dari dua kondisi.
Kondisi A memiliki pendapatan absolut yang lebih besar untuk individu. Sedangkan
kondisi B memiliki pendapatan relatif lebih besar dibandingkan yang lain. Pilihan ekonomi
rasional mungkin akan jatuh pada kondisi A, namun penelitian mengenai perilaku manusia
menyatakan bahwa banyak orang yang akan memilih kondisi B.
Ukuran relatif murni mungkin akan menghasilkan sesuatu yang sifatnya
paradoksal. Bahkan jika, pertama dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
ketidakmerataan yang konstan, kemiskinan absolut mungkin akan menurun secara drastis
karena standar hidup setiap orang meningkat, namun ukuran relatif akan menunjukkan
tidak ada perubahan atau bahkan lebih buruk jika pertumbuhan tidak didistribusikan secara
merata. kedua, pengertian relatif membuat upaya untuk menghilangkan atau bahkan
mereduksi kemiskinan menjadi sangat sulit. Namun bukan berarti bahwa menggunakan
garis kemiskinan relatif mengimplikasikan bahwa kemiskinan ‘selalu ada bersama kita’
(Foster, 1998).
2.1.2.3. Garis Kemiskinan Subjektif
Ciri utama dari pendekatan ini adalah ambang batas antara yang miskin dan tidak
miskin ditentukan atas dasar persepsi orang mengenai standar kehidupan yang baik
menurut dirinya sendiri. Dalam pengukuran kemiskinan, pendekatan subjektif dapat
18
digunakan dalam konteks moneter (misal untuk menentukan nilai dari garis kemiskinan)
atau non-moneter.
Terdapat berbagai metode yang telah dibuat untuk menganalisa serta mendapatkan
informasi mengenai persepsi masyarakat. Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai
salah satu metode tersebut.
1. Pertanyaan pendapatan minimum
Metode ini dipelopori oleh Goedhart dan kemudian telah banyak diaplikasikan
dalam konteks yang berbeda (Garner, 2003). Metode ini didasarkan pada pertanyaan
pendapatan minimum, seperti ‘apakah anda menganggap, pada kondisi keuangan sekarang
ini, anda berada pada pendapatan minimum?’. Jawaban dari pertanyaan ini
merepresentasikan nilai dari garis kemiskinan untuk responden.
Nilai dari pendapatan minimum tersebut tergantung dari besaran pendapatannya di
antara faktor-faktor lainnya. Misalnya kondisi rumah tangga seperti kehadiran anggota
baru yang menjadi pencari nafkah baru, suami atau istri. Secara rata-rata, responden pada
suatu kondisi ekonomi yang baik akan cenderung berpikir bahwa pendapatan minimum
akan berada di bawah pendapatannya sekarang.
2. Pertanyaan kecukupan konsumsi.
Terdapat beberapa kekurangan dari metode sebelumnya, diantaranya adalah bahwa
setiap rumah tangga mungkin memiliki konsep yang berbeda mengenai pendapatan.
Beberapa rumah tangga mungkin melihat pendapatan mereka dari sisi moneter saja,
sementara yang lainnya memasukkan sumber pendapatan yang lain. Selanjutnya adalah
kemungkinan perbedaan interpretasi mengenai pendapatan minimum (Pradhan and
Ravalion, 2000).
Untuk menghindari keterbatasan tersebut, Pradhan dan Ravalion (2000)
mengusulkan untuk menggunakan hanya pertanyaan-pertanyaan kualitatif. Rumah tangga
19
akan ditanya apakah standar hidup dari keluarganya adalah ‘ kurang dari cukup’, ‘cukup’,
atau ‘lebih dari cukup’ untuk kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Pertanyaan yang serupa
juga ditanyakan untuk kategori konsumsi khusus lainnya seperti makanan, pakaian,
perumahan, pelayanan kesehatan dan sekolah. Garis kemiskinan subjektif didefinisikan
sebagai ‘the level of total spending above which respondent say (on average) that their
expenditures are adequate for their needs’ (Pradhan and Ravallion, 2000).
Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyan tersebut dapat memperkirakan garis
kemiskinan yang berbeda. Satu didasarkan dari respon atas pertanyaan yang berhubungan
dengan konsumsi makanan. Hal ini konsisten dengan ide garis kemiskinan makanan.
Tingkat pengeluaran minimum pada satu kategori tertentu yang memiliki kekurangan
infomasi langsung dapat diestimasi oleh kurva Engel (Pradhan and Ravallion, 2000).
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa individu dapat memperkirakan secara kualitatif
tingkat kepuasan yang disediakan oleh tingkat konsumsi yang berbeda, dan perkiraan yang
dibuat oleh individu yang berbeda dapat dibandingkan satu sama lain.
2.1.3. Aggregasi kemiskinan
Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa dalam proses pengukuran
kemiskinan terdapat dua langkah yang salah satunya adalah agregasi kemiskinan. Ada
banyak indeks yang tersedia dan dapat digunakan untuk mengagregasi informasi dari
pendekatan garis kemiskinan, namun hanya beberapa yang secara umum digunakan yaitu,
indeks jumlah orang miskin (headcount index), indeks kesenjangan kemiskinan (poverty
gap index), dan indeks keparahan kemiskinan (severity of poverty index). Semuanya itu
dikenal dengan penghitungan FGT (Foster, Greer, and Thorbecke, 1984).
Bagian ini akan, terlebih dahulu, menjelaskan persyaratan teoretis untuk
pengukuran kemiskinan yang ‘baik’ dan beberapa indeks yang sering digunakan.
A. Aksioma-aksioma untuk indeks kemiskinan
20
Analisis aksioma dari indeks kemiskinan diperkenalkan dan kemudian diperbaiki
lagi oleh Amartya Sen (Sen, 1976). Analisis ini menyatakan bahwa perhitungan
kemiskinan yang ‘baik’ harus memiliki beberapa karakteristik seperti di bawah ini:
a) Aksioma fokus (focal axiom): ukuran kemiskinan harus mengabaikan informasi
yang berhubungan dengan pendapatan individu yang tidak miskin.
b) Aksioma kesamaan (Monotonicity axiom): sebuah ukuran kemiskinan akan
meningkat ketika pendapatan dari individu miskin menurun. Hal ini berarti bahwa
seharusnya ada korelasi antara indeks dengan jarak orang miskin ke garis
kemiskinan.
c) Aksioma transfer (Transfer axiom): transfer pendapatan kepada mereka yang
’kurang miskin’ akan menaikkan indeks kemiskinan. Aksioma ini berarti bahwa
ukuran kemiskinan seharusnya merefleksikan bagaimana pendapatan
didistribusikan diantara orang miskin.
d) Kesamaan bagian (subgroup monotonicity): jika sebuah ukuran kemiskinan dari
bagian populasi meningkat, ceteris paribus, ukuran kemiskinan untuk keseluruhan
populasi akan meningkat.
B. Indeks-indeks kemiskinan.
1) Headcount index
Headcount index (H) mengukur proporsi orang miskin pada suatu populasi. Ditulis
dengan
)1(LLLLLnqH =
Di mana n adalah besaran populasi dan q adalah jumlah individu dengan
pendapatan di bawah garis kemiskinan.
Ukuran ini adalah indeks kemiskinan yang paling dikenal, dan sangat mudah
diinterpretasikan. Indeks ini memenuhi aksioma fokus namun menyediakan pandangan
21
mengenai kemiskinan yang sangat terbatas karena tidak ada informasi ‘seberapa miskin
orang miskin itu’ (aksioma kesamaan) dan tidak memperhatikan aspek distribusi (aksioma
transfer).
2) Kesenjangan kemiskinan (Poverty Gap/PG)
Kesenjangan kemiskinan mengukur defisit pendapatan relatif dari orang miskin
dengan melihat pada nilai dari garis kemiskinan, dibobotkan oleh jumlah orang miskin.
Dapat ditulis dengan:
)2(. LLLLLIHPG =
Di mana I adalah ‘rasio kesenjangan pendapatan’, didefinisikan sebagai
)3(LLLLz
yzI −=
Di mana z merepresentasikan garis kemiskinan dan adalah rata-rata pendapatan
orang miskin.
Rasio kesenjangan pendapatan ini mengindikasikasn jarak rata-rata antara
pendapatan mereka yang miskin dengan garis kemiskinan. Rasio ini bukan ukuran
kemiskinan yang baik jika, misalnya, orang terkaya dari orang miskin menaikan
pendapatannya di atas garis kemiskinan, indikator ini akan menunjukkan kenaikan dalam
kemiskinan karena rata-rata yang baru dari pendapatan orang miskin akan lebih rendah,
meskipun jumlah orang miskin menurun. Penyakit ini dapat dipecahkan ketika rasio
kesenjangan pendapatan tersebut dikalikan dengan headcount index (H).
Indeks PG juga dapat ditulis sebagai berikut:
∑=
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
=q
i
i
zyz
nPG
1
1………….(4)
Indeks kesenjangan kemiskinan ini memenuhi aksioma fokus dan kesamaan,
namun ia tidak memenuhi aksioma transfer.
3) Indeks keparahan kemiskinan.
22
Foster, Greer dan Thorbecke (1984) mengemukakan parameter pengukuran
kemiskinan:
∑=
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
=q
i
i
zyz
nP
1
1 α
α …………….(5)
Di mana α ≥ 0 dapat diinterpretasikan sebagai parameter ‘penghindaran
kesenjangan’, yang memberikan bermacam pembobotan pada perbedaan antara pendapatan
disetiap individu yang miskin dan garis kemiskinan.
Ketika α = 0, ukuran ini sama dengan headcount index; ketika α = 1, sama dengan
indeks kesenjangan kemiskinan. Jika α naik diluar nilai 2, pembobotan lebih secara
progresif diberikan kepada pendapatan yang jauh dari garis kemiskinan. Pada
kenyataannya, jika α → ∞, ukuran kemiskinan akan bergantung secara keseluruhan pada
jarak pendapatan orang termiskin dari garis kemiskinan.
Sebuah ukuran tentang keparahan kemiskinan yang telah digunakan secara luas
adalah αP dengan α = 2 (FGT2). Indeks ini memenuhi aksioma transfer, fokus dan
kesamaan. Indeks dapat ditulis sebagai berikut:
∑=
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
=q
i
i
zyz
nFGT
1
2
21
……………..(6)
Indeks ini sangat berguna untuk analisa kemiskinan, namun tidak semudah
mengartikan/menginterpretasikan ukuran headcount index, dan kesenjangan kemiskinan.
4) Indeks Sen.
Sebelum indeks Foster, Greer dan Thorbecke (FGT) dikenal, Amartya Sen
mengemukanan pengukuran kemiskinan yang lain yang memenuhi aksioma transfer.
[ ]PGIIHS )1( −+= ……………..(7)
23
Di mana Gp adalah keofisien gini untuk distribusi pendapatan orang miskin. Harus
diketahui bahwa ketika pendapatan dari orang miskin adalah sama, Gp = 0, dengan begitu
ukuran Sen menjadi S = H.I.
Ukuran ini memiliki dua kerugian dibandingkan dengan indeks FGT. Pertama,
penjumlahan kontribusi dari setiap bagian populasi pada kemiskinan total mungkin tidak
sampai 100 persen. Kedua, kemiskinan total mungkin akan turun bahkan ketika
kemiskinan di setiap bagian populasi meningkat.
2.1.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Setelah memahami apa itu kemiskinan, ukuran-ukurannya. Pada bagian ini, penulis
akan memaparkan apa saja yang menyebabkan kemiskinan itu ‘selalu ada’. Dengan
menggunakan pendekatan ekonomi kemiskinan, Blank (2003) mengidentifikasi enam
perspektif untuk memahami penyebab-penyebab dari kemiskinan. Blank memasukkan isu-
isu dari ekonomi yang belum berkembang, modal manusia, kontradiksi atas kapitalisme,
dan penyebab-penyebab struktural.
Perspektif pertama adalah ekonomi yang belum berkembang dan ketidakefektifan
fungsi pasar. Dengan mengambil contoh kemiskinan di dunia ketiga, ia berpendapat bahwa
kemiskinan akan dapat dikurangi dengan perluasan pasar ke daerah-daerah miskin.
Misalnya adalah dengan meningkatkan agar akses masyarakat kepada mekanisme pasar.
Soto (2002), dengan tesisnya yang sangat berpengaruh, menjawab mengapa faktor modal
berhasil di barat namun gagal di daerah yang lain. Ia berpendapat bahwa kegagalan di
daerah lain itu karena kurangnya faktor modal yang formal atau legal. Dengan memiliki
sertifikat atau dokumen tertentu atas modal yang dimiliki, individu tersebut dapat
menggunakannya sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman sebagai upaya
meningkatkan usahanya.
24
Selain itu, Kwon (2001) menyatakan bahwa penduduk miskin itu pada umumnya
berlokasi di perdesaan yang lokasinya terisolasi dari daerah sekitarnya. Hal ini berakibat
pada kurangnya berbagai opportunity baik itu dalam hal kesempatan kerja atau dalam hal
bagaimana mereka menjual hasil produksinya. Karena kurangnya akses ke pasar maka cara
untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan membuka daerah yang terisolasi tersebut
dengan pembangunan jalan.
Perspektif kedua, kekurangan pembangunan modal manusia di mana individu tidak
siap atau tidak mampu untuk ikut serta di dalam angkatan kerja. Seperti yang diungkapkan
dalam endogenous growth theory, bahwa pertumbuhan ekonomi banyak ditentukan oleh
stok human capital bukan oleh jumlah penduduk. Ketika individu dengan modal manusia
yang tinggi ini menjadi salah satu faktor produksi (tenaga kerja), maka akan menimbulkan
situasi increasing return to scale karena bisa berdampingan dengan kemajuan teknologi.
Dengan demikian, pendapatan secara umum juga akan meningkat.
Perspektif ketiga, bahwa pasar tidak berfungsi sehingga menciptakan kemiskinan.
Dalam pandangan Marxist, masyarakat kapitalis membuat biaya buruh lebih rendah
dengan ancaman pengangguran. Proses eksploitasi dalam sistem kapitalis ini diiringi pula
dengan proses korupsi dan ketidakadilan dalam setiap struktur pemerintahan yang
mengabdi kepada kepentingan pemilik modal (Baran, 1970). Struktur yang super-
ekspolitatif ini menyebabkan konsumsi mereka relatif terbatas dan tidak dapat
menimbulkan permintaan efektif yang berarti (Dos Santos, 1976). Dengan begitu,
kemiskinan akan dapat dikurangi dengan membuat regulasi di pasar tenaga kerja.
Perspektif keempat menerangkan adanya kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang
terjadi di luar sistem pasar. Baran (1970) berpendapat mengenai keterbelakangan negara-
negara miskin dikarenakan faktor modal bergerak dari negara maju ke negara miskin.
Pergerakan ini hanya bertujuan untuk menyedot keuntungan dari negara miskin tersebut.
25
Pergerakan modal ini mampu menggeser kebiasaan yang ada pada masyarakat di negara-
negara miskin. Kontrak transaksi berdasarkan faktor pasar menggeser hubungan
paternalistik. Namun permasalahannya adalah pergeseran ini meningkatkan proses
eksploitasi. Ketika kelas-kelas sosial (khususnya kelas menengah) tidak mampu melakukan
perlawanan terhadap proses eksploitasi, maka kelas sosial tersebut akhirnya melakukan
kerjasama dengan golongan feodal (pemilik modal dan penguasa lokal). Golongan elit
penguasa ini merupakan golongan ’compradore’ yang bertanggung jawab untuk
melindungi kepentingan pemilik modal.
Selanjutnya, perspektif kelima, kemiskinan dikaitkan dengan perilaku individu,
karakteristik, dan pilihan-pilihannya, seperti pernikahan, ukuran keluarga, dan kekerasan.
Nilai dari kerja dan pendidikan yang mendasari perspektif ini menyatakan bahwa masalah
kemiskinan itu berada pada kontrol orang miskin, yaitu pada diri mereka sendiri. Dengan
demikian, kebijakan atau program yang dibutuhkan adalah program yang dapat
mempengaruhi pilihan-pilihan mereka dengan berbagai insentif atau larangan. Perspektif
keenam menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh upaya untuk mengurangi
kemiskinan itu sendiri, merujuk pada apa yang dinamakan dengan ketergantungan pada
program-program kesejahteraan yang ada (welfare dependency) atau poverty traps.
Blank mengelompokkan perspektif-perspektif tersebut ke dalam beberapa
pemikiran ekonomi yang utama. Dua perspektif pertama (ekonomi tidak berkembang dan
kekurangan modal manusia) adalah pendekatan umum yang digunakan dalam ekonomi
liberal. Kemudian dua berikutnya adalah teori Marxist, kapitalisme menyebabkan
kemiskinan atau ekonomi politik, kekuatan sosial dan politik penyebab kemiskinan.
Kemudian, kedua terakhir adalah pandangan dari ekonomi klasik, perilaku individu, dan
kebergantungan penyebab kemiskinan. Ahli ekonomi klasik beranggapan bahwa intervensi
26
pemerintah untuk mengurangi kemiskinan hanya akan menghasilkan perilaku buruk dari
orang miskin, sehingga harus dihentikan.
Gambar 2-1
Peta Konsep dari Teori-Teori Penyebab Kemiskinan
Sumber: Blank, 2003.
Mengambil perspektif yang lebih luas mengenai dampak lingkungan sosial pada
perilaku manusia, Moreira (2003) melihat globalisasi (penyebaran kapitalisme) sebagai
penyebab utama dari kekayaan dan sekaligus kemiskinan. Ia menjelaskan bahwa
globalisasi bekerja memilih-milih, memasukkan atau mengeluarkan bagian dari
perekonomian dan masyarakat dari jaringan informasi, sehingga menimbulkan kantong-
kantong orang kaya dan orang miskin. Moreira menyalahkan globalisasi karena
menyebarkan kerakusan budaya barat atas barang-barang material, yang mana bertanggung
jawab atas timbulnya salah satu jenis kemiskinan yang dinamakan “konsumerisme
kemiskinan”.
6. mikro: Orang miskin
membuat pilihan-pilihan
5. makro: Program-program
kesejahteraan sosial menyebabkan kemiskinan
4. makro: kekuatan sosial dan politik
penyebab kemiskinan
3. makro: kapitalisme menyebabkan kemiskinan
2. mikro: orang miskin kurang
terampil dan tidak mampu
1. makro: ekonomi tidak berkembang
atau inefisien
Teori Kemiskinan
Ekonomi liberal dan neoliberal Ekonomi
klasik
Ekonomi politik
27
Mengingat bahwa definisi tradisional dari kemiskinan adalah “pendapatan yang
rendah atau tidak berpendapatan” sebagai satu-satunya kriteria, Sen berpendapat bahwa
kemiskinan bukan hanya sekadar pendapatan yang rendah, kemiskinan merupakan
kekurangan dalam kekuatan politik dan juga karena aspek psikologi. Lebih khusus lagi,
Sen berpendapat bahwa masyarakat modern mengurangi kekuatan dan kontrol warga
masyarakat tertentu, yang kemudian membuat kemiskinan menghinggapi warga tersebut.
Dalam upaya mengurangi kemiskinan, Sen percaya bahwa masyarakat harus menyediakan
tiga hal pada semua warganya, yaitu: 1) kebebasan ekonomi, sosial, dan politik, 2)
keamanan dan perlindungan, dan 3) aktivitas pemerintah yang transparan (Sen, 1999).
Laporan pembangunan Bank Dunia tahun 2000/2001 mengembangkan teori Sen
tersebut untuk membangun tiga pilar teori kemiskinan dikaitkan dengan ketiadaan
keamanan, pemberdayaan, dan kesempatan (World Bank, 2001). Konsep keamanan yang
didefinisikan Bank Dunia memasukkan faktor-faktor seperti air bersih, kecukupan
makanan dan rumah, dan pengurangan kerentanan atas bencana alam. Kemudian, konsep
pemberdayaan, senada dengan definisi Sen, memberikan alat untuk masyarakat miskin
agar mendapat lebih banyak suara (dalam pengambilan keputusan) dalam masyarakatnya.
Berikutnya, konsep ketiga dari Bank Dunia adalah kesempatan. Kemiskinan itu
ada, pada beberapa bagian, karena orang miskin dikurangi kesempatannya untuk
berpartisipasi secara independen dalam ekonomi global. Kesempatan itu berbentuk mulai
dari pencapaian pendidikan hingga kekurangan upah untuk biaya hidup, dan tingkat-masuk
tenaga kerja.
Berdasarkan pada konsep Blank di atas timbul sebuah pertanyaan lebih lanjut.
Pertanyaan yang berkaitan dengan apakah kemiskinan itu lebih disebabkan oleh perilaku
penduduk miskin tersebut atau karena lingkungan sosialnya. Terdapat dua pandangan atas
28
debat ini. Pertama mereka yang melihat dari sisi perilaku manusia, dan kedua yang
berfokus pada sisi sosiologi.
Pada pendahuluan di poverty and psychology: from global perspective to local
practice, Carr dan Sloan memberikan catatan bahwa ahli psikologi mengidentifikasi
penyebab kemiskinan yang pada umumnya berasal dari sisi individu. Sehingga interfensi
yang dikembangkan sebaiknya yang berfokus pada merubah perilaku manusia daripada
lingkungan sosialnya. Namun kesimpulan yang berbeda digambarkan oleh Rank dalam one
nation, underprivileged (2005) yang berpendapat bahwa akar dari penyebab kemiskinan
bukanlah berasal dari kegagalan individual melainkan kegagalan struktural yang ada di
masyarakat. Penelitiannya ini dilakukan di Amerika. Ia berpendapat bahwa ada asumsi
implisit di dalam etika orang Amerika yang individualis, yaitu, bahwa yang kaya adalah
pekerja keras dan berhak atas usahanya itu sementara yang miskin akan jatuh miskin
karena ketidakcakapan diri mereka sendiri.
Rank berpendapat sebaliknya, ia menyuguhkan bukti-bukti bahwa kemiskinan
disebabkan oleh ketidakcukupan struktur ekonomi dan politik untuk menyediakan
kesempatan yang cukup untuk semua kelompok. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan
oleh Hutchinson (2003) berkenaan dengan kemiskinan. Menurutnya kemiskinan itu
dikarekterisasikan dalam bentuk kesenjangan sosial yang meliputi sistem sosial yang
berbeda.
Dari dua pendapat ini dapat diambil kesimpulan, dikaitkan dengan pengambilan
kebijakan untuk mereduksi kemiskinan, bahwa perilaku manusia berkontribusi untuk
menimbulkan dan mengakhiri kemiskinan. Hal ini memberikan beberapa dukungan teoretis
pada program-program kerja sosial. Namun, upaya dari sisi individu ini akan gagal tanpa
restrukturisasi lingkungan sosial secara menyeluruh.
29
2.1.5. Kebijakan Kemiskinan
Kejelasan identifikasi (ukuran) kemiskinan, yang telah dijelaskan di atas,
merupakan modal mendasar dalam pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan
(Rao,1995). Kemudian perlunya pemahaman atas alasan-alasan dan penyebab timbulnya
kemiskinan, kejelasan atas suatu desain kebijakan, dan mengimplementasikan serta
mengawasi kebijakan tersebut adalah tiga faktor penting lainnya. Namun, sebelum
membahas kebijakan yang ada berkaitan dengan kemiskinan, terlebih dahulu akan dibahas
mengenai struktur kemiskinan yang ada.
Hingga saat ini, di negara-negara berkembang, kemiskinan lebih merupakan
fenomena perdesaan. Bagian terbesar dari mereka yang miskin berada pada sektor
pertanian. Penduduk yang mendekati atau tidak memiliki lahan adalah golongan termiskin
dari orang miskin perdesaan. Sementara itu, untuk di perkotaan, mayoritas penduduk
miskin adalah para pekerja tidak terampil yang berada di sektor jasa.
Untuk Indonesia sendiri, terdapat paling tidak tiga karakteristik yang menonjol dari
kemiskinan. Pertama, banyaknya rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan
nasional dari segi pendapatan. Hal ini membuat banyak rumah tangga tidak miskin retan
terhadap kemiskinan (high vulnerability). Kedua, perhitungan angka kemiskinan dari segi
pendapatan tidak dapat mencerminkan kemiskinan di Indonesia secara sepenuhnya, banyak
penduduk Indonesia yang ’tidak miskin dari segi pendapatan’ dapat tergolong miskin
berdasarkan kurangnya akses mereka terhadap layanan publik dan buruknya indikator-
indikator pembangunan manusia mereka. Ketiga, dengan kondisi geografis Indonesia yang
sangat luas dan alam yang sangat berbeda, profil kemiskinan antara satu daerah dengan
daerah lainnya sangat berbeda, dan ini menjadi satu karakteristik dari kemiskinan di
Indonesia.
30
Kemiskinan, selama ini, ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dari total pendapatan,
dan perubahan dari bagian orang miskin pada pendapatan tersebut. Jika bagian orang
miskin atas pendapatan turun lebih cepat dibandingkan kenaikan pendapatan secara umum,
maka orang miskin menerima dampak negatif dari pertumbuhan, sebaliknya, mereka akan
memperoleh keuntungan dari pertumbuhan (Adelman, 1986). Dengan demikian,
permasalahannya adalah bagaimana merubah bagian pendapatan atas orang miskin dengan
pembangunan ekonomi.
Menurut Irma Adelman (1961) terdapat beberapa tahapan dalam pembangunan
ekonomi. Tahap pertama adalah ekonomi agraria yang sedang memulai tahapan
industrialisasi. Pada tahapan ini ditandai dengan tingginya ketidakmerataan distribusi
pendapatan. Tahapan selanjutnya ditandai dengan semakin banyaknya penduduk yang
berada pada sektor modern, kemudian meningkatnya gap antara sektor berpendapatan
rendah dengan sektor berpendapatan tinggi, selain itu gap pada masing-masing sektor juga
meningkat. Perpindahan dari sektor berpendapatan rendah ke berpendapatan tinggi
sebenarnya akan mereduksi kesenjangan pendapatan, namun efek tersebut dinegasikan
dengan meluasnya kesenjangan pendapatan diantara sektor dan di dalam masing-masing
sektor. Dengan demikian, secara keseluruhan ketidakmerataan akan meningkat pula.
Seberapa besar biaya yang ditanggung oleh orang miskin selama pembangunan
ekonomi itu terjadi sangat tergantung pada distribusi asset, institusi untuk akumulasi asset,
serta institusi-institusi untuk akses ke pasar.
Asset yang memiliki dampak (paling) signifikan dalam distribusi pendapatan dan
kemiskinan adalah tanah dan pendidikan (Adelman, 1986). Dampak dari perubahan
ekonomi terhadap kemiskinan akan sangat bergantung pada besaran distribusi kepemilikan
tanah. Tingkat kemiskinan akan tinggi ketika tanah dibagi dalam banyak sekali penduduk
yang memiliki luas lahan yang kecil. Lalu terjadi konsentrasi kepemilikan lahan luas dan
31
dihadapkan dengan pekerja yang tentunya tidak memiliki lahan atau masyarakat yang
masih berpola subsisten. Peningkatan produktivitas lahan ketika petani subsisten dan tidak
memiliki lahan tidak dapat memanfaatkan hal tersebut karena terbatasnya akses atas kredit
atau faktor produksi akan cenderung menimbulkan marginalisasi atas mereka. Hasil yang
berbeda terjadi jika peningkatan produktivitas tersebut meningkatkan permintaan atas
tenaga kerja yang mampu menutupi tingginya biaya sewa lahan, dan menurunnya
pendapatan bersih dari penurunan harga. Selanjutnya, berkaitan dengan pendidikan,
meningkatnya pendidikan akan memperluas kepemilikan atas modal manusia dan akan
menurunkan ketidakmerataan dalam pendapatan.
Kelembagaan dalam pasar input dan komoditas sangat berpengaruh atas tingkat
kemiskinan. Pembangunan akan mempengaruhi secara simultan atas penyerapan tenaga
kerja dan input produksi, perpindahan tenaga kerja dan input produksi lainnya serta
realokasi tenaga kerja serta input lainnya. Seberapa besar penyerapan, perpindahan dan
realokasi itu memberikan keuntungan kepada orang miskin sangat bergantung dari struktur
atas pasar input dan komoditas. Sebagai contoh, kekakuan, kurangnya keterampilan yang
relevan, atau ketiadaan modal dan informasi dalam jangka pendek, menengah atau panjang
akan mencegah mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan.
Secara sederhana, berdasar penjelasan di atas, kemiskinan adalah salah satu kondisi
dari terlampau kecilnya kuantitas asset yang dimiliki, terlalu rendahnya volume penjualan,
dan atau terlalu rendahnya harga pasar atas komoditas yang diproduksi oleh seseorang.
Oleh karena itu, ada beberapa strategi pembangunan yang dapat diambil. Strategi
pembangunan (menggabungkan antara target kebijakan dengan instrument kebijakan)
adalah titik tolak dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Target dari kebijakan tersebut
misalnya adalah menaikkan kuantitas asset yang dimiliki oleh orang miskin, menaikkan
penjualan, atau menaikkan harga dari barang/jasa yang mereka jual.
32
1. Pendekatan yang Berorientasi pada Asset (Asset-orriented approaches)
Penyebab nomor satu timpangnya distribusi pendapatan di hampir semua negara
berkembang adalah sangat tidak meratanya kepemilikan asset. (Todaro, 2000); lebih jauh,
kepemilikan itu bukan hanya tidak merata namun didominasi oleh sekelompok kecil
masyarakat saja. Oleh karena itu, strategi kebijakan yang dapat digunakan untuk
memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan adalah pengurangan pada
kepemilikan terpusat tersebut.
Redistribusi asset (semacam land reform) atau menciptakan suatu lembaga yang
memberikan orang miskin lebih mudah dalam mengakses kesempatan untuk akumulasi
asset mereka lebih jauh (kemudahan untuk mengakses pendidikan) merupakan cara yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan asset yang dimiliki oleh orang miskin. Kedua hal ini
dilakukan sebelum adanya implementasi kebijakan berupa peningkatan produktivitas serta
industrialisasi. Meminjam istilah Irma Adelman (1978) ‘redistribution before growth’, ada
beberapa alasan mengapa hal ini diperlukan, diantaranya, adalah distribusi yang lebih baik
atas asset yang akan ditingkatkan produktivitasnya tentunya akan menurunkan efek
samping berupa “back-wash effect” dari ketidakmerataan distribusi aset terhadap
ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Dengan demikian, kebijakan pembangunan yang ada untuk mengurangi
kesenjangan dan kemiskinan haruslah memperbaiki struktur sosial yang ada terlebih
dahulu (Myrdal, 1973). Sebagai contohnya, adanya kesenjangan sosial mengakibatkan
mobilitas sosial rendah. Terdapat situasi free competition yang kejam dan mematikan
golongan penduduk yang lemah.
Chenery (1974) dengan pendekatannya yang dikenal dengan ‘redistribution with
growth’ merekomendasikan sesuatu yang sederhana yaitu memberikan bagian yang lebih
besar dari ‘kue’ pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi kepada akumulasi asset orang
33
miskin. Misalnya jika pertumbuhan ekonomi sebesar 6%/tahun, sepertiga dari
pertumbuhan tersebut (2% dari GNP) harus dicurahkan kepada investasi dalam berbagai
asset yang dimiliki oleh orang miskin atau dalam berbagai asset yang sifatnya komplemen
terhadap asset yang dimiliki oleh orang miskin (Todaro, 2000). Sebagai contohnya adalah
investasi pada program-program gizi, kesehatan, atau pendidikan yang ditujukan untuk
orang miskin; investasi pada irigasi untuk tanah yang dimiliki oleh orang miskin. Dreeze
(1990) menunjukkan bahwa akses kepada layanan publik yang lebih baik (pendidikan, dan
kesehatan) dengan fokus strategi pada penduduk miskin, akan meningkatkan kualitas hidup
penduduk miskin.
2. Kebijakan menciptakan permintaan (Demand-generating strategies)
Institusi untuk mengakses pasar faktor oleh orang miskin, dan strategi
pembangunan yang dipilih berpengaruh pada seberapa besar asset yang dimiliki oleh orang
miskin itu dapat dimonetisasi (Soto, 2002). Karena salah satu asset yang dimiliki oleh
orang miskin adalah pekerja tidak terampil, maka strategi yang paling dapat
menguntungkan orang miskin adalah yang meningkatkan permintaan atas tenaga kerja
tersebut serta membuat suatu institusi yang dapat mempermudah mobilitas tenaga kerja
serta, tentunya, akses terhadap pekerjaan.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah agricultural-development-led-
industrialization (Arief, 1998). Terdapat beberapa persyaratan yang harus ada dalam
realokasi tenaga kerja miskin kepada produktivitas yang lebih tinggi. Persyaratan itu
adalah pendidikan, upaya penghapusan atas hambatan dalam bermigrasi, serta
pertumbuhan yang lebih merata. Dengan demikian, strategi pengurangan kemiskinan yang
efektif adalah meningkatkan pertumbuhan dari produktivitas-tinggi, sektor yang padat
karya, serta jaminan atas akses orang miskin pada pekerjaan.
34
Diketahui bersama bahwa sektor yang paling padat karya dalam suatu
perekonomian adalah pertanian, sektor pengolahan ringan, dan beberapa sektor jasa
khususnya konstruksi. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya adalah
meningkatkan permintaan atas output (untuk sektor pengolahan), dan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja (sektor pertanian).
3. Kebijakan menaikkan harga (Price-increasing policies)
Kebijakan ini dapat dilakukan baik dalam pasar faktor, barang dan meningkatkan
produktivitas asset yang dimiliki oleh orang miskin. Kebijakan menaikkan harga lewat
pasar faktor akan berdampak pada menaiknya pendapatan. Kemudian kebijakan kenaikan
harga lewat pasar barang (misalnya output pertanian) akan menaikkan harga barang yang
diproduksi oleh pekerja miskin. Hal ini cenderung akan menguntungkan orang miskin
(karena mayoritas berada di desa), walaupun akan menurunkan pendapatan riil kaum
miskin di kota yang secara umum lebih kaya dibandingkan orang miskin di desa. Orang
miskin yang tidak memiliki lahan juga akan cenderung diuntungkan oleh kenaikan
permintaan atas tenaga kerja mereka, walaupun golongan ini adalah net-consumer.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan, terutama pada harga output pertanian
adalah akses petani pada bidang pemasaran. Hal ini menjadi prakondisi atas kebijakan ini.
Karena walaupun harga output pertanian tersebut tinggi, tetapi jika sisi pemasaran
dimonopoli oleh kelompok lain, katakan tengkulak, maka surplus ekonomi itu akan
diambil sepenuhnya oleh para tengkulak. Dengan demikian, kebijakan menaikkan harga ini
akan membuat petani semakin marjinal.
4. Kebijakan menaikkan produktivitas (Productivity-increasing policies).
Kebijakan ini merupakan cara lain untuk menaikkan harga dari asset (umumnya
tenaga kerja) yang dimiliki orang miskin. Biasanya dilakukan dengan meningkatkan
kualitas dari asset tersebut, kemudian meningkatkan asset lain yang komplemen dengan
35
asset orang miskin. Peningkatan kualitas asset dapat dilakukan dengan investasi pada
modal manusia –seperti nutrisi, pendidikan, dan kesehatan walaupun ada yang bersifat
tidak langsung –akan meningkatkan kapabilitas asset (tenaga kerja).
Untuk asset lain yang komplementatif investasi yang dapat dilakukan diantaranya
adalah menambah jumlah tanah dalam arti kuantitas dan kualitasnya. Penyebab utama
kemiskinan di pedesaan adalah kecilnya jumlah tanah yang dimiliki untuk ditanami,
kemudian rendahnya permintaan atas tenaga kerja oleh petani besar. Contoh investasinya
dapat berupa fasilitas irigasi dan drainase, yang dapat memungkinkan terjadinya
peningkatan panen/hektar. Hal ini tentunya mempunyai efek negatif seperti yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Namun dampak itu dapat dihindari dengan
menyediakan akses kepada sumberdaya alternatif yang dapat menggeser mereka pada
teknologi yang lebih produktif kepada para petani pekerja (yang tidak memiliki tanah).
2.2. Infrastruktur: Sebuah Kerangka Konseptual
Hingga saat ini masih sedikit kesepakatan atas apa yang dimaksud dengan
infrastruktur sebenarnya, baik dalam konteks negara atau antar negara, atau lintas disiplin
ilmu. Menurut Prude’ Homme (2004) ada beberapa karakteristik dari infrastruktur
ekonomi, diantaranya adalah: barang modal yang memproduksi layanan-layanan dengan
kombinasi input lainnya. Kemudian infrastruktur lebih bersifat jangka panjang, hal ini
berkaitan dengan pembiayaan dan pemeliharaan. Sifatnya yang khusus pada lokasi di mana
jasa itu disediakan, dan khusus pada penggunaan di mana tidak dapat digeser pada fungsi
lainnya. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar struktur biayanya adalah sunk cost.
Infrastruktur yang didefinisikan sebagai pelayanan publik dan fasilitas-fasilitas
produksi, termasuk fasilitas-fasilitas publik yang disyaratkan untuk menyediakan
pelayanan sosial dan mendukung aktivitas ekonomi sektor swasta. Kemudian Fox ( 2004)
mendefinisikan infrastruktur sebagai, “those services derived from the set of public works
36
traditionally supported by the public sector to enhance private sector production and to
allow for household consumption”. Bahkan di Amerika, (Executive Order 13010, 1996)
infrastruktur tidak hanya terbatas pada sudut pandang ekonomi melainkan juga pertahanan
dan keberlanjutan pemerintah (Moteff, 2003). Berdasarkan pengertian ini, infrastruktur
secara umum meliputi jalan, jembatan, air dan sistem pembuangan, bandara udara,
pelabuhan, bangunan umum, dan mungkin juga termasuk sekolah-sekolah, fasilitas-
fasilitas kesehatan, penjara, fasilitas rekreasi, pembangkit listrik, keamanan kebakaran,
tempat pembuangan sampah, dan telekomunikasi (Vaughn and Pollard, 2003).
Selanjutnya para ahli keuangan cenderung untuk mendefinisikan infrastruktur
dengan melihat kapasitasnya untuk menaikkan penerimaan serta pada tingkat di mana
infrastruktur itu akan menguntungkan (profit-making), merugi (loss-making) sehingga
membutuhkan subsidi atau di antara keduannya. Dengan demikian, ahli keuangan melihat
infrastruktur berdasar ciri potensi komersialisasi.
Berbeda dari dua disiplin di atas, ahli administrasi publik dan politik biasanya
melihat infrastruktur dari segi kepemilikan/pelaku. Hal ini cenderung untuk melihat
infrastruktur sebagai infrastruktur ‘publik’, ‘swasta’ atau kerja sama antara publik dan
swasta (public-private partnership). Selain itu juga mengarah pada tingkatan pemerintah
yang berkaitan erat dengan penyediaan infrastruktur, misalnya infrastruktur nasional
(pemerintah pusat), atau regional (pemerintah daerah).
Berbeda dengan penyedia infrastruktur yang sangat memperhatikan definisi,
pengguna –rumah tangga dan pengusaha– memiliki kepentingan kecil mengenai definisi.
Kepentingan mereka hanya ingin memiliki kemungkinan terbaik atas komoditas yang
tersedia ketika mereka membutuhkannya, pada kuantitas yang diinginkan, serta pada
tingkat harga berapa yang mampu mereka raih.
37
Definisi-definisi tersebut menjadi beragam ketika dihadapkan dengan lingkup
wilayah, negara. Hal ini karena terdapatnya perbedaan dalam hal tingkat pembangunan
ekonomi, kapasitas fiskal serta sistem tata kelolanya. Apa yang disebut infrastruktur
‘sosial’ pada suatu negara/wilayah dapat menjadi infrastruktur ‘ekonomi’ di
negara/wilayah lainnya. Sebagai contohnya adalah akses pelayanan telekomunikasi dasar.
Apa yang menjadi tanggung jawab publik di satu negara, dapat menjadi fungsi swasta di
negara lainnya, atau ada kerjasama diantara keduanya. Juga, infrastruktur dapat saja
diartikan sebagai ‘profit-making’ pada satu negara, dan ‘loss-making’ pada yang lainnya.
Berdasar konsep infrastruktur di atas, manfaat dari pengadaan infrastruktur sudah
jelas. Namun besar-kecilnya manfaat itu bergantung dari kualitas investasi pada
infrastruktur. Kualitas dari investasi infrastruktur itu sendiri sangat bergantung pada
keputusan yang dibuat mengenai apa yang seharusnya dibangun (atau tidak), siapa yang
seharusnya diuntungkan dari infrastruktur (atau tidak), kapan dan di mana infrastruktur
tersebut harus dibangun, berapa besar biaya untuk membangun dan mengoperasikannya,
siapa yang harus membangun atau mengoperasikannya (atau tidak), siapa yang harus
membayar (atau tidak), dan berapa banyak mereka harus membayarnya.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebuah keputusan yang
sangat rumit dengan potensi dampak yang akan ditimbulkannya pada kebijakan
pembangunan, kapasitas fiskal dan moneter, manajemen dan tata-kelola, dan konsumsi.
Hal yang menjadi perhatian utama dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan investasi
ialah bagaimana menggunakan sumber daya fiskal yang terbatas dihadapkan dengan
pertumbuhan/meningkatnya permintaan atasnya. Investasi berlebih pada infrastruktur akan
melencengkan sumberdaya fiskal dari permintaan tersebut, begitu pula jika kekurangan
investasi pada infrastruktur tertentu yang akan merugikan pengguna. Oleh karena itu,
38
diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan infrastruktur sehingga dapat menangkap
kompleksitas pelayanan infrasttruktur.
Pada bagian berikut akan dibahas mengenai inti dari definisi-definisi infrastruktur
yang menggambarkan bermacam-macam fungsi, fisik, dan ciri-ciri lainnya yang harus
diketahui dalam merumuskan kebijakan.
a) Infrastruktur pelayanan dan infrastruktur fasilitas.
Pada umumnya hanya sedikit yang membedakan kedua jenis infrastruktur ini.
Walaupun sebenarnya terdapat perbedaan penting antara fasilitas dan pelayanan yang akan
mempengaruhi pendekatan pemerintah dalam melakukan investasi. Tujuan utamanya
adalah memberikan infrastruktur pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen untuk
konsumsi, oleh pengusaha sebagai input antara dalam produksi, dan oleh masyarakat untuk
mengurangi eksternalitas negatif pada lingkungan seperti polusi air, banjir, dan sebagainya.
Infrastruktur pelayanan didefinisikan sebagai penyedia komoditas –seperti listrik,
air bersih, informasi, alat pengangkutan– ke rumah tangga dan pengusaha. Infrastruktur
fasilitas secara umum terdiri dari jaringan dan hubungan dua jenis asset, yaitu asset tetap,
dan perlengkapan.
Proses pengiriman infrastruktur pelayanan secara tidak langsung menyatakan
bahwa ada permintaan atas pelayanan tersebut. Jenis dari permintaan memiliki implikasi
atas siapa yang seharusnya menyediakan permintaan tersebut dan bagaimana
menyediakannya.
b) Ciri lain dari infrastruktur.
Selain karakteristik ekonomi yang telah dijelaskan di atas. Infrastruktur juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan dua ciri konsumsi, yaitu mencegah orang lain untuk
mengkonsumsi (excludable), dan persaingan dengan orang lain maksudnya ialah konsumsi
oleh seseorang akan mengurangi konsumsi orang lain (rivalry). Konsep ini telah
39
dinyatakan oleh Bank Dunia pada tahun 1994 dalam laporan pembangunan dunia (World
Development Report). Hal tersebut digunakan untuk mendefinisikan barang prifat dan
barang publik.
Barang prifat dapat didefinisikan sebagai barang yang memiliki baik rivalry
(konsumsi oleh seorang pengguna mengurangi ketersediaan penawaran pada pengguna
yang lainnya) dan excludable (seorang pengguna dapat dicegah untuk mengkonsumsi
barang tersebut). Sebaliknya barang publik murni tidak ada persaingan dalam konsumsi
dan tidak pula excludable.
Konsep publik dan prifat di sini tidak merujuk pada kepemilikan. Konsep ini
digunakan untuk mendefinisikan ciri konsumsi infrastruktur pelayanan. Dengan demikian,
tidak masalah siapa yang memiliki, pada akhirnya infrastruktur pelayanan akan dikonsumsi
oleh seseorang. Bagaimana masyarakat mengkonsumsi dan tingkatan mereka memberikan
kompensasi kepada penyedia merupakan hal yang harus diperhatikan dalam membuat
keputusan investasi.
Sifat eksludabilitas dari suatu pelayanan mempengaruhi siapa yang bertanggung
jawab dalam penyediaan jasa. Tingkat eksludabilitas yang tinggi berarti bahwa pengenaan
biaya pemakaian menentukan siapa yang memiliki akses terhadap pelayanan tersebut.
Sementara itu jika tingkat rivalitas tinggi berarti terdapat kompetisi yang lebih besar untuk
mendapatkan hak atas suatu pelayanan. Secara teoretis, pemisahan dua jenis barang atau
jasa ini sangat kentara/tegas, namun dalam praktiknya garis pembeda antara barang prifat,
barang publik, barang bebas, dan lainnya cenderung tidak jelas.
2.2.1. Infrastruktur dan Kegagalan Pasar
Berdasarkan dari berbagai penjelasan mengenai karakteristik infrastruktur di atas,
dapat dikatakan bahwa infrastruktur memiliki kemungkinan untuk mengarah pada
kegagalan pasar. Kegagalan pasar merupakan suatu istilah untuk menyatakan kondisi di
40
mana tidak menghasilkan output yang efisien (pareto). Terdapat dua bentuk dasar dari
kegagalan pasar jika dikaitkan dengan infrastruktur, yaitu underconsumption dan
undersupply. (Stiglitz, 2000) Underconsumption biasanya terjadi pada barang yang
sifatnya non-rivalry. Mengenakan tarif atau harga pada infrastruktur jenis ini akan
mencegah orang lain untuk menikmati infrastruktur tersebut, walaupun konsumsi mereka
itu tidak menambah tambahan biaya, mengingat marginal cost-nya adalah nol. Dengan
demikian, mengenakan tarif pada infrastruktur yang non-rivalry adalah suatu yang tidak
efisien karena hal ini menghasilkan underconsumption. Namun, jika tidak ada pengenaan
tarif atau harga pada infrastruktur maka tidak ada insentif untuk menyediakannya. Pada
bagian ini, inefisiensi (kegagalan pasar) berbentuk undersupply karena tidak adanya
pengecualian (exclusion).
Selain itu, karena sifatnya yang jangka panjang, tidak dapat diubah (irreversible),
infrastruktur dibatasi oleh keputusan politik dan risiko. Sebagai contoh, karena sifatnya
yang tidak dapat diubah (pabrik untuk memproduksi suatu barang dapat direlokasi atau
ditutup ketika peralatan berupa mesin sudah usang, namun hal ini tidak dapat terjadi pada
jalan kereta api atau sistem penyediaan air bersih), maka sekali infrastruktur itu di bangun,
akan dihadapakan pada berbagai macam gangguan baik itu karena adanya tekanan sosial
untuk menjaga agar harga dari pelayanan dasar itu tetap rendah atau dari adanya rent-
seeker.
Kemudian, contoh lainnya adalah karena struktur pasar yang cenderung tidak
kompetitif. Ada kemungkinan besar bahwa akan terjadi natural monopoly pada suatu
wilayah tertentu. Dengan demikian, akan tidak mungkin untuk bersaing, bagi pihak lain,
pada pengadaan pelayanan infrastruktur pada wilayah tersebut.
41
2.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya
Banyak sekali penelitian-penelitian yang menganalisa hubungan antara infrastruktur
terhadap kemiskinan dan ketenagakerjaan. Dari penelitian-penelitian tersebut ada yang
berupa studi kasus pada suatu wilayah tertentu dan atau jenis infrastruktur tertentu.
Kemudian ada pula yang berbentuk komparasi antar wilayah dan atau dampak perbedaan
jenis infrastruktur. Untuk memudahkan penjelasan, berikut ini akan dibahas perjenis
infrastruktur.
2.3.1. Infrastruktur Irigasi
Hussain, Trikhawala, dan Marikar (2002) melakukan penelitian berupa studi kasus
atas perbandingan dampak irigasi atas kemiskinan di pakisatan dan sri langka. Studi in
dilakukan selama periode 2001-2002 di Sri Lanka’s Uda Wale Left Bank Irrigation System
dan di Pakistan’s Mandi Bahaudin. Keduanya merupakan system irigasi skala besar.
Pendekatan dengan membuat komparasi atas wilayah sampel yang memiliki infrastruktur
irigasi baik, kurang baik, serta tanpa irigasi. Studi ini menggunakan data primer yang
diambil sebanyak tiga kali selama periode tersebut. Sampel yang digunakan sebanyak 858
rumah tangga di Sri lanka dan 720 di Pakistan. Kuesioner yang digunakan bersifat multi
topik, misalnya kemiskinan diukur berdasarkan konsep moneter (pendapatan dan
pengeluaran) dan non-moneter (kematian bayi, dependensi rasio, kualitas perumahan,
indeks berat badan, kinerja pertanian), konsep kemiskinan kronis dan permanen serta
transien (Hussain, Trikhawala, dan Marikar, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Sri Lanka, rumah tangga yang memiliki
akses terhadap irigasi memiliki tingkat pendapatan dan pengeluaran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah tanpa irigasi. Pengeluaran rata-rata bulanan rumah tangga di
daerah dengan irigasi adalah 24% lebih tinggi dibanding daerah tanpa irigasi. Studi ini juga
mengindikasikan bahwa produksi di area dengan irigasi mampu menopang area terdekat
42
yang tidak memiliki irigasi, degan demikian mengurangi tingkat kemiskinan kronik. Pada
studi ini ditemukan pula bahwa rumah tangga di daerah dengan irigasi dapat menghaluskan
pengeluaran mereka, dari pendapatan yang lebih tinggi.
Demikian juga di Pakistan, studi mengindikasikan bahwa irigasi mengurangi
kemiskinan kronik. Namun, dampak yang ditemukan atas irigasi tersebut hanya bersifat
marginal. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pertama, ketidakmerataan dalam
kepemilikan sumberdaya, khususnya tanah, mereka yang memiliki lahan lebih luas
menerima keuntungan lebih besar dari mereka yang memiliki lahan lebih kecil. Kedua, tata
kelola yang buruk (buruknya kondisi infrastruktur irigasi, kurangnya upaya dalam
pemeliharaan, serta adanya pencurian air).
Penelitian ini berkesimpulan bahwa akses terhadap irigasi secara signifikan
mengurangi kemiskinan kronis. Kemudian dampak dari irigasi akan semakin besar jika
rumah tangga, dalam hal kepemilikan lahan, lebih merata dalam distribusinya. Selanjutnya,
dalam program pengurangan kemiskinan, sebaiknya irigasi lebih ditargetkan untuk rumah
tangga atau daerah yag miskin. Terakhir, dalam kasus daerah yang memiliki distribusi
lahan tidak merata (Pakistan), dampak dari irigasi akan semakin tidak merata untuk
dirasakan kecuali diambil kebijakan untuk meredistribusi kepemilikan lahan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Japan Bank for International Cooperation
Institute (JBICI) yang bekerja sama dengan International Water Management Institute
(IWMI) (JBICI, 2007). Hasilnya memiliki kesimpulan yang sama. Terdapat bukti
kuantitatif yang kuat antara pembangunan infrastruktur irigasi dengan pengurangan
kemiskinan. Tingkat kejadian, kedalaman dan keparahan kemiskinan memiliki angka
tertinggi di daerah yang tidak memiliki irigasi, dan terendah di daerah yang memiliki
irigasi dengan ketersediaan air yang berlimpah. Kemudian mengenai indikator-indikator
sosial dan demografi menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja per rumah tangga semakin
43
kecil jika berada pada daerah tanpa irigasi sehingga pada daerah ini juga memiliki tingkat
dependensi yang tinggi pula. Kemudian, jumlah tahun sekolah di daerah yang memiliki
irigasi tersebut jauh lebih tinggi di daerah yang memiliki irigasi. Selanjutnya intensifikasi
penanaman (membuat panen mampu dilakukan pada musim hujan dan kering),
diversifikasi tanaman, serta produktifitas tanah menjadi lebih tinggi dengan adanya irigasi.
Mundlak, Larson, dan Butzer (2002) menganalisa efek dari variabel-variabel
infrastruktur, input, dan insentif harga pada pertumbuhan pertanian di Indonesia (1971-
1998), Filipina (1961-1998) dan di Thailand (1971-1995). Infrastruktur fisik terdiri dari
jalan, kemudian pendidikan dan kesehatan yang menggambarkan modal manusia.
Pendidikan di gambarkan dengan persentase dari pekerja pada sektor pertanian yang tidak
sekolah untuk Indonesia dan Thailand. Untuk Filipina yang digunakan adalah persentase
rata-rata pekerja yang sekolah dibandingkan dengan angkatan kerja. Sementara itu, yang
termasuk faktor input adalah lahan irigasi, lahan tadah hujan, pupuk, tenaga kerja serta
modal. Terakhir, variabel insentif adalah harga dan harga bayangan. Semua variabel
tersebut adalah variabel independen, pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen
adalah log dari nilai tambah.
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa infrastruktur fisik berperan 11-15%
pada pertumbuhan output di Thailand dan di Indonesia. Infrastruktur menyubangkan
proporsi yang besar terhadap meningkatnya pertumbuhan produktivitas faktor total yang
akan memiliki pengaruh negative terhadap kemiskinan. Yang sangat menarik adalah
kontribusi lahan irigasi terhadap pertumbuhan output di Indonesia yang cukup besar, yaitu
10-16 persen. Lahan irigasi di Indonesia memiliki elastisitas 0,46, besaran yang tinggi.
Kemudian produktivitas marginal dari lahan irigasi di Indonesia mengalami peningkatan
yang tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya intensifikasi dalam penanaman
(berkaitan dengan diversifikasi tanaman), serta memobilisasi sumberdaya yang terbatas ke
44
daerah yang memiliki irigasi, sementara di daerah tadah hujan akan menerima dampak
buruk. Namun berbeda dengan pendapat dari peneliti sebelumnya, Mundak, Larson, dan
Butzer berpendapat bahwa pengurangan kemiskinan tidak berkembang dengan baik karena
teknologi pertanian yang modern mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja, kemudian
tingkat upah tetap rendah. Dengan begitu kesejahteraan mereka yang tidak memiliki lahan
tidak meningkat. Namun pada sisi lainya, para pemilik lahan akan menerima keuntungan,
berupa peningkatan hasil pertanian, tingkat upah yang lebih tinggi, pada tahap selanjutnya
akan meningkatkan modal manusianya. Dengan demikian, pengurangan kemiskinan di
perdesaan sangat bergantung pada peningkatan kesempatan kerja di aktivitas bukan
pertanian (off-farm) (Mundak, Larson dan Butzer, 2002)
Datt dan Ravalion (1998b) menunjukkan bahwa negara yang memiliki stok awal
atas infrastruktur dan irigasi yang bagus akan memiliki tingkat produktivitas yang lebih
tinggi, hal ini tentunya akan mengurangi kemiskinan. Kemudian pada penelitiannya yang
lain, Datt dan Ravalion (1998) juga menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki
investasi awal yang lebih tinggi pada infrastruktur fisik dan bukan fisik telah mendorong
pada kinerja yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan
dibandingkan negara-negara yang ‘miskin’ dalam investasi pada infrastruktur.
Canning (1999) memberikan penekanan pada perbedaan dimensi kuantitas dan
kualitas dari stok infrastruktur dari negara-negara di dunia. Kuantitas infrastruktur terdiri
atas, panjang jalan, jalan beraspal, jalan kereta api, jumlah dari sambungan telepon, dan
kapasitas listrik. Sementara itu kualitas dari infrastruktur diantaranya adalah persentase
jalan dengan kondisi buruk (rusak), persentase dari panggilan telepon yang gagal,
kemudian persentase listrik yang hilang dari sistem distribusi. Ia menunjukkan bahwa
terdapat hubungan jangka panjang yang stabil antara infrastruktur dengan pertumbuhan
ekonomi. Penemuan ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pembangunan
45
infrastruktur fisik akan menaikkan pendapatan permanen dalam jangka panjang, dan
akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan kronis secara global.
Perbedaan besaran dampak irigasi terhadap pengurangan kemiskinan disebabkan
oleh beberapa kondisi, diantaranya ialah: ketidakmerataan dalam kepemilikan lahan,
kondisi dan pengelolaan irigasi, jenis teknologi irigasi, kualitas air, teknologi pertanian,
dan ukuran-ukuran lainnya seperti informasi, pemasaran input dan output (Husain,
Giordano, dan Harnja, 2003). Ketika tingkat ketidakmerataan distribusi tanah sangat tidak
merata, maka keuntungan hanya didapat oleh beberapa kelompok pemilik tanah. Irigasi
akan berdampak kecil terhadap kemiskinan. Kurangnya kepemilikan lahan menyebabkan
terjadinya self-exclusion bagi penduduk miskin. Manfaat irigasi akan dimonopoli oleh si
pemilik lahan (Husain, Giordano dan Harnja, 2003).
Hal yang senada juga terdapat pada penelitian Sampath (1990). Ia menemukan
bahwa irigasi akan mengarah pada ketidakmerataan tergantung pada faktor-faktor spesifik
diantaranya adalah struktur dari irigasi. Irigasi yang berbentuk sistem permukaan (kanal)
akan menyebabkan ketidakmerataan lebih tinggi jika dibandingkan dengan irigasi dengan
sistem air bawah tanah. Ketidakmerataan ini diperparah jika kepemilikan lahan juga tidak
merata.
Sebagai contohnya adalah petani kecil di India yang berjumlah sekitar 46% dari
total rumah tangga perdesaan, namun hanya dapat mengakses 14% dari lahan yang
teririgasi. Akan tetapi, petani besar (lahan lebih dari 4 ha) yang hanya 12,5% dari rumah
tangga mampu mengakses 38% lahan yang diairi oleh irigasi (Sampath, 1990).
Namun ketika kepemilikan lahan sudah terdistribusi secara merata, namun
pengelolaan dan akses terhadap input seperti pupuk sangat buruk maka dampak
pembangunan irigasi ini juga minim. Atau bahkan ketika kedua kondisi pertama itu bagus,
namun air tidak terdistribusi dengan baik, maka manfaat irigasi juga minimal. Kemudian,
46
ketika semua hal di atas itu dalam kondisi yang baik, namun petani tidak mampu menjual
hasil panen karena ketidaksempurnaan pasar, atau tingginya biaya transaksi, akan membuat
manfaat irigasi hilang.
2.3.2. Infrastruktur Jalan
Berbeda dengan studi-studi kontribusi jalan terhadap pertumbuhan ekonomi, studi-
studi yang melihat bagaimana peran kontribusi jalan terhadap kemiskinan dan distribusi
pendapatan lebih menunjukkan bukti-bukti pada tingkatan yang lebih mikro. Biasanya
melihat dari data survey. Seperti Dercon dan Krishnan yang mengumpulkan data rumah
tangga di Ethiopia tahun 1989, 1994 dan 1995 untuk melihat perubahan pada tingkat
kemiskinan dan menemukan faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut.
Dengan melakukan dekomposisi perubahan pada kemiskinan terhadap subkelompok
populasi, mereka menemukan bahwa rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang
lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih
rendah (Dercon and Krishnan, 1998).
Investasi pada jalan dapat mengurangi kemiskinan dari beberapa jalur, salah satu
yang terpenting adalah peranannya pada aktivitas non-farm di desa. Penelitian yang
dilakukan Khandker menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek
positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani. Semuanya itu
menguntungkan penduduk miskin (Khandker, 1989). kemudian Malmberg et all. (1997)
menemukan bahwa infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik
di sektor pertanian maupun bukan, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk
desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Kemudian Khandker, Levy dan Filmer
menyimpulkan bahwa proyek pembangunan jalan di Maroko berdampak pada
meningkatnya produksi pertanian, produktivitas lahan, dan input pertanian lainnya. Proyek
ini juga mengarah pada produksi hasil pertanian bernilai tinggi, dan meningkatkan
47
kesempatan kerja bukan pertanian. Pada sisi dampak sosial, manfaat dari proyek
pembangunan jalan ini juga meningkatkan akses kepada pelayanan kesehatan, dan
meningkatkan kehadiran anak didik di sekolah.
Fan dan Chan-Kang (2005) meneliti dampak pembangunan jalan terhadap
pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di China. Dengan menggunakan data tingkat
propinsi periode 1982-1999, mereka menemukan bahwa pembangunan jalan, bersama
penelitian di pertanian, irigasi, pendidikan, listrik, telekomunikasi berdampak secara
signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Penemuan terpenting dari studi ini
adalah jalan dengan kualitas rendah (kebanyakan di perdesaan) memiliki rasio biaya-
manfaat terhadap GDP nasional yang lebih besar dibandingkan dengan jalan kualitas
bagus. Jika melihat pada GDP sektor pertanian, jalan berkualitas bagus tidak berpengaruh
signifikan sementara jalan dengan kualitas rendah berpengaruh signifikan, dan setiap 1
yuan investasi akan menciptakan 1,57 yuan GDP sektor pertanian. Dalam bentuk
pengurangan kemiskinan, investasi pada jalan dengan kualitas buruk lebih besar
dampaknya pada jalan dengan kualitas yang bagus (Fan and Kang, 2005).
Untuk kasus di Indonesia, studi akan hal ini pernah dilakukan oleh Kwon. Ia
meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam pengurangan kemiskinan.
Menurutnya penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung
terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas.
Keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari berbagai
kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kemudian bagi pertanian,
hal ini akan meningkatkan biaya produksi dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka.
Transportasi pedesaan yang lebih baik menyebabkan petani mampu meningkatkan
kegiatannya (dengan biaya input yang lebih rendah), pertanian bergeser dari pola subsisten
ke ‘pasar’, dan meningkatkan kesempatan dari adanya pendapatan off-farm. Lebih jauh
48
lagi, dengan menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi dapat menjadikan
akses pada pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah bagi penduduk pedesaan
tersebut.
Menurutnya ada dua cara, infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan, yaitu dengan
dampak langsung (its own effect), dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel
lainnya (the through-effect). Dampak langsung dari infrastruktur jalan ini adalah tambahan
dari lapangan pekerjaan ketika pembangunan jalan ini berlangsung, meningkatkan
hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan.
Singkatnya, jalan dapat menyebabkan pasar input dan pasar barang bekerja lebih baik,
yang secara tidak langsung mengurangi kemiskinan (Kwon, 2001).
Meskipun dampak positif pembangunan infrastruktur jalan tersebut dalam
mendorong aktivitas bukan pertanian di desa, meningkatnya aktivitas tersebut merupakan
sumber yang signifikan atas terjadinya ketidakmerataan dalam pendapatan di desa
(Benjamin and Brandt, 1999). Dengan demikian, dampak positif yang dimiliki oleh
aktivitas bukan pertanian terhadap pertumbuhan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
mungkin dinegasikan oleh meningkatnya kesenjangan pada distribusi pendapatan.
2.3.3. Pendidikan
Pendidikan secara mikroekonomi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan
meningkatkan produktivitas. Secara teoretis paling tidak terdapat tiga mekanisme
bagaimana pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Hanushek, 2007). Pertama,
seperti dalam perspektif mikroekonomi, pendidikan meningkatkan modal manusia yang
melekat pada angkatan kerja, yang akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kedua,
pendidikan akan meningkatkan kapasitas inovasi dari suatu perekonomian, pengetahuan
baru atas teknologi akan mendorong pertumbuhan. Ketiga, pendidikan memfasilitasi dan
49
menyebarkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami dan mengimplementasikan
informasi baru yang ditemukan oleh orang lain, hal ini mendorong pertumbuhan.
Duflo (2000) meneliti mengenai dampak pembangunan sekolah dasar yang
melebihi 61.000 sekolah di Indonesia pada tahun 1973-1978 terhadap upah dan
pendidikan. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa pembangunan sekolah meningkatkan
pendidikan dan pendapatan. Kemudian hasil ekonomi berkisar dari 6,8% ke 10,6%.
Ketersediaan infrastruktur sekolah telah ditunjukkan memiliki korelasi positif
dengan penyelesaian sekolah (lulus), atau tingkat partisipasi (Nancy Birdsal, 1985).
Permasalahannya ialah bahwa sekolah-sekolah yang ada pada umumnya tidak terlokasi
secara acak. Pada sistem pendidikan yang mengandalkan pada keuangan pemerintah
daerah, semakin makmur masyarakatnya semakin banyak sekolah yang dapat dibangun.
Sementara itu, pada sistem yang tersentralisasi, pembangunan sekolah akan terjadi/banyak
pada daerah-daerah yang terbelakang. Hal ini menyebabkan upah akan lebih rendah pada
daerah yang memiliki lebih banyak sekolah negeri (Duflo, 2000).
2.3.4. Infrastruktur Telepon
Abdul Bayes (2001) meneliti peran telekomunikasi pada pembangunan desa dan
khususnya pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Bangladesh. Lebih tepatnya pada
program telepon desa berbayar yang dibuat oleh Bank Grameen. Ia berkesimpulan bahwa
telepon akan mempengaruhi produksi barang-barang yaitu dengan menurunkan biaya
transaksi. Profit yang ditimbulkan dari telepon ini sekitar seperlima atau seperempat dari
total pendapatan penduduk desa. Kemudian, layanan yang berasal dari telepon di desa-desa
memberikan keuntungan kepada mereka yang miskin daripada yang tidak, dan mengurangi
ketidakmerataan. Secara keseluruhan, para rumah tangga yang memilki telepon (86%
rumah tangga) menyatakan bahwa kondisi makanan mereka meningkat. Selain itu dampak
50
non-ekonomi lainnya yang positif adalah peningkatan penegakan hukum, dan memperkuat
hubungan kekerabatan. (Bayes, 2001)
Cronin et all, (1995) ingin melihat manfaat ekonomi dari telekomunikasi secara
kuantitatif, kemudian studinya ingin mengetahui dampak pembangunan telekomunikasi
pada masyarakat perdesaan di Pensylvania. Mereka menemukan bahwa pola pembangunan
(diukur dari pertumbuhan pekerjaan dan pendapatan) di perdesaan lebih lambat dari di
perkotaan. Hal ini karena mata pencaharian penduduk di perdesaan berada pada tiga jenis
sektor tradisional, yaitu pertanian, SDA, dan pengolahan. Telekomunikasi mendorong
pembangunan di perdesaan melalui substitusi biaya-efektif untuk modal dalam proses
produksi, meningkatkan kualitas dan meraih obat modern ke perdesaan, dan mampu
memperkenalkan pola pembelajaran jarak jauh yang mana dapat meningkatkan pendidikan
di perdesaan. Kemudian, dalam hal pertumbuhan pekerjaan, telekomunikasi yang
menurunkan biaya akan meningkatkan permintaan atas tenaga kerja. Namun yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya disparitas antara pengguna telekomunikasi di perkotaan dan
di perdesaan (Hudson dan Parker, 1991).
2.3.5. Infrastruktur Listrik
Listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non-farm di
perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar
0,42 (Fan et al, 2002). Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan
kemiskinan. Setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu
mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang.
Di Indonesia, listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi
secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan
dari penduduk miskin (Baliscanan, et al., 2002). Namun di Indonesia, dalam laporan
evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga yang memilih untuk tidak menggunakan
51
jaringan listrik yang tersedia. Hal ini pastinya disebabkan dari tingkat kemiskinan yang
ekstrim dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan kredit sehingga penduduk miskin
tersebut tidak dapat memanfaatkan faedah dari listrik di perdesaan (Ali dan Pernia, 2003).
Studi mengenai infrastruktur kelistrikan pernah dilakukan oleh Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-
FEUI) tahun 2003. Hasil simulasi menunjukkan, tanpa perbaikan apa-apa dalam
peningkatan daya terpasang listrik, rata-rata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya
akan mencapai 4,4 persen sampai tahun 2005. Bila pemerintah meningkatkan pertumbuhan
daya terpasang listrik 15 persen, misalnya, pertumbuhan ekspor akan dapat meningkat dari
rata-rata 7 persen menjadi 8,8 persen dan pertumbuhan ekonomi akan dapat mencapai rata-
rata 4,6 persen. Jika peningkatan daya terpasang listrik dinaikkan sampai 30 persen, rata-
rata pertumbuhan ekonomi dapat didorong sampai 4,8 persen sepanjang tahun 2003-2005
(LPEM, 2003).
Kebutuhan investasi di sektor listrik hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 41
miliar dolar AS. Kebutuhan investasi itu tidak hanya pembangunan pembangkit, namun
juga pembangunan sarana transmisi dan distribusi listrik. Kebutuhan investasi itu akan
dibiayai oleh pemerintah dan swasta, namun peran swasta hanya pada pembangunan
pembangkit saja, sedangkan untuk transmisi dan distribusi akan dipenuhi oleh pemerintah
dan PLN. Penelitian secara umum menunjukkan bahwa modal infrastruktur memiliki
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang (Fox, 1994).
2.3.6. Kesehatan
Kesehatan adalah modal manusia yang mempengaruhi pembangunan ekonomi
melalui, contohnya, produktivitas tenaga kerja, dan hambatan ekonomi ketika sakit.
Kesehatan memiliki dampak tidak langsung, misalnya kesehatan anak mempengaruhi
pendapatan di masa mendatang. Karena kesehatan juga memiliki dampak pada pencapaian
52
di bidang pendidikan, seperti partisipasi, kehadiran dan kemampuan kognitif (Galor dan
Foulkes, 2004). Hal ini dapat digambarkan pada grafik di bawah ini.
Gambar 2-2
Siklus Intergenarasi Pembentukan Modal Manusia
Sumber: Galor and Foulkes, 2004
Selain itu, kesehatan juga menjadi salah satu faktor penentu pertama kemiskinan
(temporer) dan jebakan kemiskinan (kronis) melalui dampak langsung dan tidak langsung
yang dimilikinya. Probabilitas anak-anak dari keluarga miskin yang akan berada pada
kemiskinan kronis sangat besar. Mereka dihadapkan pada masalah kesehatan yang
berulang terus sehingga mempengaruhi kemampuan kognitif mereka dan akhirnya mereka
tidak dapat sekolah. Tahap selanjutnya adalah pendapatan mereka saat dewasa akan kecil.
Orang tua dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah akan rendah pula
berinvestasi pada peningkatan modal manusia anak mereka. Dengan demikian, siklus
kemiskinan akan terus berulang (Lustig, 2006).
Secara umum, dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya didapat bahwa
infrastruktur memiliki hubungan negatif terhadap kemiskinan. Walaupun juga telah
dijelaskan secara sekilas bahwa terdapat suatu prakondisi tertentu agar infrastruktur secara
efektif dapat mengurangi kemiskinan.
53
Hal tersebutlah yang membuat beberapa kalangan skeptis mengenai peranan
infrastruktur terhadap pengurangan kemiskinan karena beberapa hal yang mendasar, yaitu:
pertama, walaupun penting untuk pertumbuhan ekonomi, investasi infrastruktur hanya
memiliki keterkaitan yang kecil dengan pengurangan kemiskinan. Kedua, actual benefit
dari infrastruktur secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan. Ketiga, lemahnya
tata-kelola dan institusi, proses kebijakan infrastruktur yang berkecenderungan selalu top-
down (tidak partisipatif) memberikan jalan untuk korupsi, mendistorsi pilihan investasi
masyarakat, dan tidak menghiraukan pemeliharaan infrastruktur yang ada.
Ada tiga aspek yang menjadi fokus perdebatan pada kebijakan infrastruktur, yaitu:
1. Akses dan ketepatan/kecocokkan. Analisis mengenai infrastruktur dan kemiskinan
menunjukkan bahwa, secara umum di banyak negara berkembang, akses masyarakat
miskin kepada layanan infrastruktur dibatasi, misal pada infrastruktur yang disediakan
sendiri, membeli air pada penjual keliling. Menurut Devas, ada beberapa faktor
penyebab utamanya diantaranya: ketidakcukupan dari skala kebutuhan yang besar;
mengadopsi standar yang relatif tinggi sehingga masyarakat miskin tidak bisa
menikmatinya, subsidi banyak yang diberikan kepada penduduk dengan pendapatan
tinggi dsb.(Devas, 1991)
2. Pembiayaan dan mekanisme cost-recovery. Siapa yang harus menanggung biaya
pengadaan infrastruktur tersebut, dengan perkataan lain apakah pemerintah
mengenakan harga tertentu kepada masyarakat yang menggunakan infrastruktur
tersebut.
3. Partisipasi masyarakat, dan institusi. Partisipasi semakin dibutuhkan didalam
mendesain dan mengimplementasikan infrastruktur. Kemungkinan-kemungkinan
intervensi pro-poor secara umum difokuskan pada ketentuan yang didasarkan pada
aspek komunitas, dengan aspek biaya teknologi yang rendah dan sederhana. Cotam
54
menyatakan bahwa blueprint mengenai teknologi infrastruktur (sering dihubungkan
dengan pembiayaan eksternal dan prosedur tender internasional) saat ini mengabaikan
realitas lokal. Ia menerangkan pentingnya pemahaman atas ketentuan infrastruktur
yang berdasar pada perspektif historis, dan sosial-budaya, keberagaman bentuk
organisasi lokal, inisiatif dan resistensi.
2.4. Dasar Pembentukan Model
Model persamaan pada studi ini didasarkan dari beberapa studi-studi yang telah
dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah Kwon (2001), dan Lutfi (2006).
2.4.1 Penelitian Kwon
Dalam studinya, Kwon mencoba menganalisa hubungan antara infrastruktur jalan,
dan pengurangan kemiskinan. Data yang digunakan dalam studinya adalah data cross-
sectional. Ia menganalisa data panel tingkat provinsi di Indonesia dari tahun 1976-1996
untuk melihat hubungan antara infrastruktur dan pengurangan kemiskinan. Provinsi
diklasifikasikan terlebih dahulu dengan melihat akses ke jalan dengan menggunakan
informasi pre-sample, merujuk pada rata-rata kepadatan jalan pada tahun 1976. Akses
yang bagus didefinisikan sebagai kepadatan jalan yang melebihi rata-rata. Sementara itu,
akses yang buruk ketika ia lebih rendah dari rata-rata. Pelayanan infrastruktur jalan
dianggap cukup jika akses pada jalan adalah bagus. Dengan demikian, terdapat enam
provinsi yang dikategorikan sebagai provinsi yang memiliki akses yang baik –Bali, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Yogjakarta – dan sejumlah 19
provinsi lainnya memiliki akses yang buruk.
Analisa pada studi ini mengandalkan pada pemecahan sampel, karena peranan
infrastruktur jalan dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan mungkin
berbeda diantara provinsi-provinsi yang memiliki jalan yang cukup dan provinsi-provinsi
yang tidak memilikinya. Oleh karena itu, analisa perbedaan cross-sectional akan
55
memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai peranan infrastruktur jalan dalam
pengurangan kemiskinan.
1) Bagaimana kemiskinan bereaksi pada investasi jalan.
Untuk mengukur sensitifitas kemiskinan digunakan persamaan sederhana untuk
kemiskinan yang memasukkan konstanta, log kemiskinan periode sebelumnya dan periode
tertentu, dan sepuluh periode sebelumnya. Dummy duapuluh lima provinsi juga
dimasukkan sebagai kontrol atas efek spesifik-provinsi pada kemiskinan. Investasi
pemerintah meliputi irigasi, jalan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian
dan kehutanan, dan pendidikan. Variabel makro ekonomi meliputi produksi regional,
pekerja di pertanian dan bukan pertanian, produksi pertanian, dan upah riil. Karena semua
variabel dalam bentuk log, koefisien harus diinterpretasikan sebagai sensitifitas kemiskinan
pada setiap variabel. Seluruh variabel yang digunakan adalah nilai riil yang dinormalisasi
dengan penduduk pada setiap provinsi.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut
)1.(............. 25,1011121110 ∑ ++++++= =−−− tjjtjttttt uDxxxyLpov δβββαα
Di mana:
Lpov : proporsi penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan
X :variabel bebas yang terdiri dari variabel jumlah pengeluaran
pembangunan, irigasi, transportasi, kesehatan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian dan kehutanan serta pendidikan, pekerja di
pertanian dan bukan pertanian, GDP regional, upah riil.
2) Dampak infrastruktur jalan pada kemiskinan.
Studi ini ingin mengetahui apakah ketersediaan jalan mempengaruhi kemiskinan
secara langsung atau tidak. Untuk itu dibuat beberapa persamaan. Pada persamaan pertama
diasumsikan bahwa kemiskinan merupakan fungsi dari produksi regional. Sementara itu
56
pada persamaan kedua, kemiskinan merupakan fungsi dari jalan. Seperti pada persamaan
sebelumnya, dummy provinsi dimasukkan sebagai kontrol atas dampak spesifik-provinsi.
Semua variabel dalam bentuk log.
)3.......(
)2.........(....................
121110
1110
∑∑
+++++=
++++=
−−
−
tjjjttt
tjjjttt
uDLROADLGDPLPOVLPOV
uDLGDPLPOVLPOV
δββαα
δβαα
Untuk menguji perbedaan cross-sectional, apakah hasil berbeda diantara provinsi
dengan akses bagus atau buruk, persamaan kedua di regresi kembali secara terpisah untuk
dua klasifikasi. Akan tetapi, perbedaan cross-sectional ini membutuhkan pengujian khusus
karena hasil yang didapat mungkin hanya berasal dari sampel yang berbeda daripada dari
perbedaan struktural. Persamaan kedua kemudian diestimasi dengan sampel penuh, dan
memperbolehkan setiap koefisien dari subsample jadi berbeda. Dengan mengatur IG = 1
untuk propinsi dengan akses bagus, dan IG = 0 untuk provinsi dengan akses buruk,
sehingga persamaan kedua yang diubah menjadi:
)4.....(........................................)(
)(
122
12111110
tjjjG
tBG
Gt
Gt
BGGt
Btt
uDILROAD
ILROADILGDPILGDPLPOVLPOV
++−+
+−+++=
∑−
−−
δββ
ββββαα
Di mana:
LPOV : proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
Superscript G : untuk provinsi dengan akses yang bagus
Superscript B : untuk provinsi dengan akses yang buruk
LGDP : produksi regional
LROAD : jalan
D : variabel dummy untuk setiap propinsi
Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa jalan mempengaruhi kemiskinan.
Kemiskinan memiliki sensitivitas yang lebih besar di provinsi yang memiliki akses bagus
dibandingkan dengan provinsi dengan akses buruk. Studi ini menyimpulkan bahwa
57
infrastruktur jalan berpengaruh pada pengurangan kemiskinan dengan dua jalan: secara
langsung (its own effect) dan dengan secara tidak langsung melalui pengaruhnya pada
kinerja variabel yang lain (the through-effect).
2.4.2 Penelitian Lutfi
Lutfi (2006) meneliti mengenai pengaruh infrastruktur dan institusi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Model yang digunakan pada penelitiannya itu mengadopsi model
Canning mengenai infrastruktur dan dampaknya terhadap output aggregat.
)1.(....................1itititititititit ULIXHKAY δγβαδγβα −−−−=
Di mana:
itY : PDRB daerah i pada periode t
itA : Total Faktor Produksi
itK : Modal fisik
itH : Human capital
itX : Infrastruktur
itI : Institusi
itL : Jumlah penduduk
itU : Error term
Pada studi ini ada sedikit perubahan dan penyesuaian pada model Canning di mana
jumlah penduduk (L) tidak secara eksplisit di masukkan dalam sebuah fungsi. Jumlah
penduduk implisit ada di dalam model dengan, membagi masing- masing suku dengan
jumlah penduduk. Selanjutnya model dibuat dalam bentuk log.
)3...(..........)2.(....................
∑ ∑ +++++=
+++++=
ititititititit
ititititititit
uixhkaGuixhkaGδγβα
δγβα
Di mana:
Git : Pertumbuhan ekonomi pada propinsi i pada periode t
xit : Infrastruktur pada propinsi i pada periode t
58
iit : Institusi pada propinsi i pada periode t
Infrastruktur dan institusi didisagregasi menjadi empat jenis infrastruktur dan tiga
jenis indikator institusi. Jenis infrastruktur yang dimasukkan dalam modelnya itu adalah
jalan, telepon, air, dan listrik (persamaan 4). Kemudian, institusi dilihat dari jumlah
pegawai negeri sipil, besaran anggaran pembangunan, dan biaya rutin (persamaan 5):
)5(..........
)4.....(..........
4321
4321
itititititititititit
itititititititititit
ubrbppendpnsxhkaG
uilistairteljlhkaG
++++++++=
++++++++=
∑∑
δδδδγβα
δγγγγβα
Berbeda dengan Kwon (2001), Lutfi (2006) menggunakan ukuran fisik dalam
model. Hal ini lebih baik karena dapat mengurangi pengaruh biaya investasi per satuan unit
yang berbeda-beda untuk setiap daerah akibat adanya perbedaan tingkat efisiensi dalam
penggunaan dana.
Berdasar pada dua penelitian tersebut, penulis memodifikasi model sehingga dapat
digunakan sebagai model untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap kemiskinan.
Kedua model menggunakan jumlah penduduk untuk melakukan normalisasi. Pada
penelitian ini penulis menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu menggunakan seribu
(1000) penduduk sebagai upaya normalisasi. Hal ini karena ukuran ini lebih sering
digunakan untuk mengukur kinerja infrastruktur (World Bank, 2004). (lihat tabel 1-3)
Kemudian mengganti analisis data cross-section yang digunakan oleh Kwon menjadi
analisis data panel, mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (2006).
59
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tahapan penulis dalam melakukan pengolahan data hingga
didapat hasil estimasi yang digunakan sebagai dasar analisis pengaruh infrastruktur
terhadap kemiskinan. Tahapan-tahapan tersebut berisi berbagai pengujian untuk memenuhi
kriteria yang ada (ekonomi, statistika, dan ekonometrika). Hal ini dilakukan guna
mendapatkan hasil estimasi yang dapat dipercaya karena sudah sesuai dengan metode
pengolahan data yang ada.
3.1. Spesifikasi Model
Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya. Studi ini ada sedikit perubahan dan
penyesuaian pada model Kwon yang lebih menggunakan data cross-section untuk
menganalisis pola hubungan infrastruktur dengan kemiskinan. Studi ini menggabungkan
(memodifikasi) penelitian yang dilakukan oleh Kwon dan Lutfi. Jumlah penduduk implisit
ada di dalam model dengan, membagi masing-masing suku dengan jumlah penduduk (per
1000 penduduk). Kemudian terjadi perubahan dalam variabel terutama mengenai jenis
infrastruktur. Infrastruktur di bagi menjadi beberapa jenis infrastruktur yaitu infrastruktur
ekonomi, dan sosial. Semua variabel diubah menjadi dalam bentuk log untuk melihat
sensitivitas kemiskinan terhadap variabel-variabel infrasttruktur (Kwon, 2001). Selain itu,
pada penelitian ini juga ditambah beberapa variabel lainnya yaitu dummy krisis dan
kemiskinan satu periode sebelumnya. Dengan demikian model persamaan pada studi ini
adalah sebagai berikut.
)1.....(12111 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα
)2.....(12122 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα
60
)3.....(12133 itx j itititjitxitit upovDkrisislInfrasosiamiInfraekonopov ∑ ∑ +++++= −−− ρρδγα
Infrastruktur ekonomi terdiri atas jalan negara dan propinsi, listrik, telekomunikasi,
dan pengadaan jaringan air bersih (piped water), irigasi, dan jalan kabupaten. Selanjutnya,
infrastruktur sosial pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu pendidikan dan kesehatan.
Sesuai dengan persamaan 1, 2 dan 3, maka bentuk persamaan di bawah ini juga dibuat
menjadi tiga macam lag.
)4.....(41 121221
214321
itititititit
itititititititit
upovDkrisiskeskespendmngahlistirigasiairteljlegpropjlkabapov
++++++++++++=
−ρρδδδλλγγγγ
Di mana:
Povit : Jumlah penduduk miskin per 1000 penduduk di propinsi i pada
periode t
telit : Jumlah sambungan telepon di propinsi i pada periode t
(telepon/1000 penduduk)
airit : Jumlah Air bersih yang disalurkan ke masyarakat di propinsi i pada
periode t (m3/1000 penduduk)
Jlkabit : Panjang jalan kabupaten di propinsi i pada periode t (km/1000
penduduk)
Jlnegpropit : Panjang jalan negara dan propinsi di propinsi i pada periode t
(km/1000 penduduk)
irigasiit : Luas lahan (sawah) yang terairi irigasi di propinsi i pada periode t
(ha/1000 penduduk)
listrkit : Kapasitas terpasang listrik di propinsi i pada periode t (MW/1000
penduduk)
61
pendit : Jumlah gedung SMP-SMA di propinsi i pada periode t
(sekolah/1000 penduduk)
Kes4it : Banyaknya tempat tidur di rumah sakit di propinsi i pada periode t
(tempat tidur/1000 penduduk)
Kes1it : Banyaknya Puskesmas di propinsi i pada periode t
(puskesmas/1000 penduduk)
Dkrisis : Dummy krisis.
Pov(-1) it : jumlah penduduk miskin per 1000 penduduk satu periode
sebelumnya.
3.2. Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data panel yang merupakan
penggabungan antara data kerat lintang (cross section); 26 propinsi yang ada di Indonesia,
dengan data deret waktu (time series); berbentuk periode tahunan dari tahun 1990 hingga
tahun 2004. Adapun data yang digunakan bersumber dari berbagai instansi pemerintah
yang ada seperti BPS, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan,
Departemen Pekerjaan Umum, Departemen pertanian, serta instansi lainnya seperti PT.
PLN. Sementara itu data juga didapat dari disertasi Riyana Miranti yang berjudul “The
Determinants of Regional Poverty in Indonesia : 1984-2002”.
Setelah krisis yang terjadi di Indonesia, perkembangan pesat terjadi dalam bidang
desentralisasi seperti pemekaran daerah. Pemekaran tersebut menyebabkan banyaknya
propinsi-propinsi baru yang terbentuk. Propinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontalo,
adalah salah satu dari beberapa propinsi baru yang terbentuk. Oleh karena itu penyesuaian
data adalah suatu tahapan yang harus dilakukan. Propinsi-propinsi yang digunakan adalah
propinsi awal sebelum terjadinya fenomena pemekaran daerah, dengan mengeluarkan
Timor Timur tentunya, karena sudah merdeka. Dengan demikian, Propinsi Banten,
62
misalnya, dimasukkan ke dalam propinsi awalnya yaitu Jawa Barat. Begitu juga dengan
beberapa propinsi baru lainnya.
Angka kemiskinan per propinsi di Indonesia yang diterbitkan oleh BPS perlu dibuat
penyesuaian. Kemudian berkaitan dengan perubahan metode pengukuran kemiskinan yang
dilakukan oleh BPS. Data kemiskinan pada studi ini menggunakan data kemiskinan
periode 1990-1999 yang terdapat pada disertasi Riyana Miranti (2007). Untuk tahun
setelah itu, digunakan data dari BPS. Riyana Miranti telah menghitung ulang data yang
ada dengan metode terbaru yang dikeluarkan oleh BPS. Dengan demikian, data yang
digunakan sudah memiliki metode penghitungan yang sama. Walaupun data yang didapat
dari studi Miranti merupakan hasil penghitungan, namun karena metode yang digunakan
sama dengan metode yang dipakai BPS, maka data kemiskinan setelah periode tersebut
dapat diikutsertakan dalam proses penghitungan berikutnya (dijadikan sebagai time-
series).1
Mengingat bahwa data yang didapat tersebut bukan merupakan data tahunan,
melainkan tiga tahunan, maka akan dilakukan metode interpolasi data dengan
menggunakan software Stata 8.0. Metode interpolasi yang terdapat di program stata 8.0
adalah interpolasi linear. Interpolasi ini untuk mencari intermediate data dari data tiga
tahunan. Dengan demikian, data tahunan dapat diketahui dari hasil estimasi tersebut.
Semenjak tahun 1999, BPS mengeluarkan data kemiskinan dengan periode tahunan.
3.3. Metode Pengolahan Data
Pada penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
Eviews 4 dan Stata 8.0. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode data
panel. Dengan demikian pada bagian berikutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai
metode data panel.
1 Hasil wawancara dengan Riyana Miranti melalui fasilitas email, Oktober 2007.
63
3.3.1. Data Panel
Seperti telah disinggung di atas, data panel (pooled data) adalah sebuah set data
yang berisi data sampel individu (propinsi) pada sebuah periode waktu tertentu. Dengan
kata lain, data panel merupakan gabungan antara data deret waktu (time-series) dengan
data kerat lintang (cross-section). Simbol yang digunakan adalah t untuk periode observasi,
sedangkan n adalah unit cross-section yang diobservasi. Proses pembentukan data panel
adalah dengan cara mengkombinasikan unit-unit deret waktu dengan kerat-lintang
sehingga terbentuklah suatu kumpulan data. Proses itu sendiri disebut pooling. Data panel
dapat diolah jika memiliki kriteria t > 1 dan n > 1. Jika t = 1dan n ≥ 1 maka disebut
deret-waktu murni, sedangkan jika t ≥ 1 dan n = 1 disebut kerat-lintang murni. Jika
jumlah periode observasi sama banyaknya untuk tiap-tiap unit cross section maka
dinamakan balanced panel. Sebaliknya jika jumlah periode observasi tidak sama untuk
tiap-tiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
Terdapat beberapa keuntungan yang didapat jika menggunakan data panel ini,
pertama dapat mendalami efek-efek ekonomi yang tidak dapat diperoleh jika
menggunakan data deret waktu ataupun data kerat lintang saja. Kedua, karena jumlah data
dan observasi yang meningkat, menghasilkan kenaikan pada derajat kebebasan (degree of
freedom) sehingga variasi koefisien menjadi efisien dan koefisien nilai menjadi lebih stabil
(Hsiao, 1986). Ketiga, dengan mengakomodasi semua informasi yang terkait dengan
variabel-variabel kerat-lintang maupun deret-waktu, data panel secara substansial mampu
menurunkan masalah omitted-variables; jika menghilangkan variabel yang relevan.
Bersamaan dengan itu, masalah kesalahan spesifikasipun dapat dieliminir.
Beberapa hal di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Baltagi (2001).
Baltagi menyatakan beberapa manfaat yang didapat ketika menggunakan data panel,
diantaranya adalah:
64
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Memberikan lebih banyak informasi & lebih bervariasi daripada hanya data deret
waktu atau kerat lintang. Data panel juga mengurangi kolinearitas antar variabel,
meningkatkan degree of freedom, dan meningkatkan efisiensi.
3. Sangat baik untuk digunakan dalam studi perubahan yang dinamik (study of
dynamics adjustment).
4. Dapat mendeteksi dan mengukur efek dengan lebih baik dibandingkan data deret-
waktu murni dan kerat-lintang murni.
5. Memungkinkan untuk mempelajari model perilaku (behavioral model) yang lebih
kompleks.
Terdapat tiga cara dalam mengestimasi data panel, pertama Pooled (Ordinary least
square, OLS). Kedua, fixed effect (dummy variable model, DMV). Ketiga, random effect
(error component model, ECM).
3.3.1.1. Pooled (Ordinary Least Square, OLS)
Proses estimasi dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa
(OLS) yaitu:
)1........(..........ititit XY εβα ++=
Untuk I = 1, 2, …, N dan t = 1, 2, …, T
N : jumlah unit kerat-lintang
T : jumlah periode deret-waktu
Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya tidak
memadai dikarenakan setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri.
Proses estimasi yang dapat dilakukan untuk setiap unit kerat-lintang dikarenakan
terdapatnya asumsi yang menyatakan bahwa komponen error pada data panel ini sama
dengan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa (OLS).
65
Untuk periode t =1, akan diperoleh persamaan regresi kerat-lintang sebagai berikut:
)2........(..........111 iii XY εβα ++=
Persamaan di atas akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T
persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita dapat memperoleh persamaan deret
waktu sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan
parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi
yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.
Metode ini tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan yang mungkin timbul akibat
dimensi ruang dan waktu. Model ini mengasumsikan bahwa intercept dan slope koefisien
dari dua variabel adalah identik untuk semua unit kerat-lintang. Karena terdapat
kemungkinan atas “ketidakbenaran” asumsi ini maka model ini mungkin akan mendistorsi
deskripsi dari hubungan Y dan X yang sebenarnya.
3.3.1.2. Fixed Effects Model (Least-Squared Dummy Variable/ LSDV)
Untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam intercept-intercept
dari unit kerat-lintang dan deret-waktu, maka digunakanlah peubah boneka (dummy
variable) sehingga akan terjadi perbedaan nilai parameter, baik atas unit kerat-lintang
maupun deret-waktu. Pendekatan yang paling sering dilakukan adalah dengan mengizinkan
intercept bervariasi antar unit kerat-lintang namun tetap mengasumsikan bahwa slope
koefisien adalah konstan antar unit kerat-lintang. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan
model efek tetap (fixed effect model/FEM). Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan
sebagai berikut
)3.......(...... 33223322 itiTTiiNtNttitit eZdZdZdWgWgWgbXaY ++++++++++=
Di mana,
66
=1, untuk individu ke-i, i=2,…, N
Wit
=0 untuk sebaliknya
=1, untuk periode ke-t, t = 2, …, N
Zit
=0, untuk sebaliknya
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa telah ditambahkan sebanyak (N–
1) + (T– 1) variabel boneka ke dalam model dan menghilangkan dua sisanya untuk
menghindari kolinearitas sempurna antar variabel independen. Dengan menggunakan
pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT– 2– (N–1) – (T– 1), atau sebesar
NT– N– T.
Penggunaan model LSDV di atas dapat dilakukan jika dimiliki sedikit unit kerat-
lintang. Namun jika unit kerat-lintang ini besar, penggunaan model LSDV akan
mengurangi derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari
parameter yang diestimasi.
3.3.1.3. Random Effects Model (Error Component Model)
Metode ini mengasumsikan bahwa komponen error (galat individu) tidak
berkorelasi satu sama lain dan komponen error (galat antar waktu dan kerat lintang) juga
tidak berkorelasi (no autocorelation) (Pyndick, 1998). Dalam model ini, parameter-
parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi proses pendugaan OLS. Bentuk model ini
dapat dilihat pada persamaan di bawah ini
67
)5(....................)4.......(..........
ittiit
ititit
wvuXY++=++=
εεβα
Di mana,
ui : komponen error kerat-lintang
vt : komponen error deret-waktu
wit : komponen error kombinasi
3.3.2. Pemilihan Metode Estimasi
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan dalam metode
data panel. Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana memilih satu dari tiga pendekatan
yang ada. Pemilihan ini bertujuan agar pendekatan yang dipilih cocok dengan tujuan
penelitian dan karakteristik data sehingga proses estimasi memberikan hasil yang lebih
tepat.
Metode OLS terlalu sederhana untuk mendeskripsikan fenomena yang ada,
sehingga pilihan selanjutnya adalah memilih diantara fixed effect model atau random effect
model. Penentuan atas dua model tersebut dapat ditentukan secara teoretis. Jika
diasumsikan bahwa error kerat-lintang tidak berkorelasi dengan regresor X, maka random
effect yang dipilih. Kemudian, jika diasumsikan bahwa error kerat-lintang berkorelasi
dengan X (error mempunyai pengaruh tetap/ dianggap sebagai bagian dari intercept),
maka fixed effect yang dipilih.
Jika secara teoretis tidak dapat ditentukan model mana yang akan dipilih, maka
dasar pemilihan model selanjutnya dapat didasarkan pada sampel penelitian. Jika data
diambil dari sampel individu atas suatu populasi yang besar secara acak, maka random
effect yang dipilih. Namun jika sampel merupakan seluruh populasi yang dipilih, maka
fixed effect merupakan metode yang lebih tepat (Hsiao, 1986).
68
Pengujian secara formal untuk menentukan model yang lebih baik untuk digunakan
dilakukan berdasar keputusan statistik. Serangkaian pengujian statistik yang dapat
dilakukan terdiri dari beberapa langkah. Hal ini dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Gambar 3-1
Pengujian Pemilihan Metode Data Panel
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa secara statistik terdapat tiga pengujian
yang dapat digunakan untuk menentukan metode apa yang akan dipilih. Ketiga pengujian
itu adalah:
1) Chow Test
Chow test (pengujian F Statistics) berfungsi untuk menentukan apakah model yang
digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan
hipotesis sebagai berikut:
Chow Test
Fixed Effect
Pooled
Random Effect
Haussman test
LM Test
69
H0 : Model Pooled Least Square (restricted)
H1 : Model Fixed effect (unrestricted)
Tolak H0 jika nilai Chow statistik (F statistic) lebih besar dari F tabel. Dengan
demikian, model yang dipilih adalah model fixed effect, dan sebaliknya. Besaran nilai
Chow itu sendiri didapat dari perhitungan di bawah ini.
)6...(....................)/(
)1/()(KNNTURSS
NURSSRRSSChow−−−−
=
Di mana:
RRSS : restricted residual sum square
URSS : unrestricted residual sum square
N : jumlah data kerat-lintang
T : jumlah data deret-waktu
K : jumlah peubah bebas
2) Haussman Test
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah model fixed effect atau random
effect yang dipilih. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0 : model random effect
H1 : model fixed effect
Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan statistik chi
square. Jika chi square statistic > chi square table (p-value < α) maka H0 ditolak (model
yang digunakan adalah fixed effect), dan sebaliknya. Namun ada pula cara yang lebih
sederhana untuk menentukan apakah model yang digunakan fixed effect atau random
effect, diantaranya:
1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section)
kecil, maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda sehingga dapat
dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed effect model.
70
2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi yang digunakan adalah random effect.
(Nachrowi D Nachrowi, 2006)
3.4. Pengujian Model
Upaya menguji model dapat dilakukan dengan melihat beberapa kriteria. Kriteria-
kriteria tersebut diantaranya adalah kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada
penjelasan analisis di bab berikutnya secara eksplisit hanya mencakup kriteria statistik dan
ekonometrika, sementara kriteria ekonomi dimasukkan pada analisis hasil estimasi.
3.4.1. Kriteria Ekonomi
Pengujian hasil estimasi dengan menggunakan pendekatan ekonomi yang
menitikberatkan pada bagaimana perubahan variabel dependen sebagai akibat dari
perubahan variabel-variabel independennya. Kriteria ini berupaya menguji suatu model
mengenai hubungan logis antara kedua variabel tersebut. Hubungan antar variabel
dikatakan logis ketika didasarkan pada hukum ekonomi yang ada atau berdasar teori-teori
atau penelitian-penelitian sebelumnya. Jika terdapat perbedaan hasil, katakan berkaitan
dengan tanda besaran koefisien, apakah positif atau negatif, maka perlu dicarikan jawaban
berupa alasan atau argumentasi atas penemuan tersebut.
3.4.2. Kriteria Statistik
a. Pengujian R Squared ( R2 )
Pengujian ini dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang
digunakan dalam memprediksi nilai variabel dependen. Nilai ini merupakan fraksi dari
variasi yang mampu dijelaskan dengan baik oleh model. Nilai R2 berkisar antara nol dan
satu.
b. Pengujian Adjusted R Squared ( Adj R2 )
71
Salah satu permasalahan jika kita menggunakan ukuran R2 untuk menilai baik
buruknya suatu model adalah kita akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring
dengan penambahan variabel bebas ke dalam model. Adjusted R2 secara umum
memberikan penalti atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu
menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adj R2 tidak akan pernah melebihi R2, bahkan
dapat turun jika kita memasukkan suatu variabel yang tidak perlu ke dalam model. Pada
model yang memiliki kecocokan yang rendah (goodness of fit), nilai Adj R2-nya dapat
memiliki nilai negatif.
c. Uji signifikansi untuk masing-masing variabel bebas
Dilakukan dengan menggunakan uji t-statistik pada tingkat kepercayaan 1%, 5%
dan 10%. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah nilai koefisien yang dihasilkan berbeda
signifikan dengan nol.
d. Pengujian Keabsahan Koefisien Regresi secara Keseluruhan
Pengujian jenis ini dilakukan dengan menggunakan distribusi F. Nilai F akan
mengikuti distribusi F dengan degree of freedom. Nilai F statistik yang besar lebih baik
dibandingkan dengan nilai F statistik yang rendah. Sedangkan nilai probabilitas F
merupakan tingkat signifikansi marginal dari F statistik. Pengujian dengan menggunakan
F-statistik disebut pula dengan tes keseluruhan (overall test).
3.4.3. Kriteria Ekonometrik
Setiap estimasi ekonometri harus dibersihkan dari penyimpangan terhadap asumsi
dasar yang diharapkan. (Gujarati, 2003) Ada tiga masalah utama yang seringkali muncul
yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi dasar yaitu heteroscedasticity,
autocorelation dan multicolinearity. Dalam studi ini, ketiga masalah tersebut akan
dideteksi dalam persamaan yang digunakan. Dalam melakukan estimasi persamaan linear
72
maka asumsi-asumsi harus dipenuhi, jika asumsi tidak terpenuhi maka tidak menghasilkan
nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).
a. Uji Multicollinearity
Multicolinearity terjadi ketika variabel bebas memiliki interdependensi yang
signifikan. Hal ini dapat menghasilkan suatu koefisien estimasi yang tidak stabil secara
numerik.
Uji multicolinearity dilakukan dengan beberapa cara yaitu, pertama, dengan
melihat apakah F statistik signifikansi namun t statistik tidak ada yang signifikan. Kedua,
apabila R² relatif besar tapi statistik t tidak ada yang signifikan. Multicolinearity dapat
ditentukan dengan melihat matriks korelasi dari variabel bebas. Jika terjadi korelasi lebih
dari 0,8 atau 0,9 antar variabel bebas maka terdapat masalah yang serius dengan
colinearity. Namun matriks korelasi tidak mengungkapkan tingkatan yang lebih tinggi dari
colinearity. Ada cara lain yang dapat mengungkapkan hal tersebut, yaitu variance inflation
factors (VIF). VIF merupakan suatu ukuran multicolinearity dalam suatu regresi (variabel
bebas). VIF adalah versi skala dari koefisien korelasi berganda antara variabel j dengan
variabel independen yang lainnya.
)7.........(..........)1(
12
jj R
VIF−
=
Di mana Rj adalah koefisien korelasi berganda.
Jika Rj sama dengan nol (tidak ada korelasi antara Xj dengan variabel bebas yang
lainnya), maka VIFj sama dengan 1. Ini adalah nilai terkecil. Neter, Wasserman dan Kutner
(1990) merekomendasikan untuk melihat pada nilai VIF yang terbesar. Jika nilainya lebih
besar dari 10 maka terdapat masalah multicolinearity.2
b. Uji Autocorrelation 2 http://www.itl.nist.gov/div898/software/dataplot/refman2/auxillar/vif.htm
73
Uji ini dilakukan dengan menggunakan statistik Durbin-Watson. DW Statistic
mengukur tingkat korelasi serial pada error persamaan regresi. Di mana angka DW yang
kurang dari dua mengindikasikan adanya korelasi serial. Implikasi dari adanya korelasi
serial pada error adalah model menjadi tidak konsisten untuk jumlah sampel yang lebih
besar, di mana errornya akan terbaca lebih besar.
Statistik DW dihitung dengan formula:
)8......(..........ˆ/)ˆˆ(1
2
2
21 ∑∑
==−−=
n
ii
n
iiiDW εεε
Jadi, DW itu tak lain hanya rasio jumlah kuadrat perbedaan dalam residual yang
berturut-turut terhadap RSS, dan ini merupakan keuntungan besar dari statistik DW yang
didasarkan pada residual yang ditaksir. Prosedur test yang digunakan adalah dengan
mengembangkan persamaan 1 tersebut menjadi: ∑
∑ ∑∑ −− −+= 2
12
12 2
t
tttt
eeeee
DW
karena ∑ 2te dan ∑ −
21te hanya berbeda satu periode observasi, keduanya kira-kira sama,
jadi dengan menetapkan ∑ 2te =∑ −
21te bisa di tulis sebagai: ⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−≈∑∑ −
2112
t
tt
eee
DW
sekarang akan didefinisikan koefisien autokolerasi derajat pertama dari sampel, suatu
penaksir dari ρ di mana ∑∑ −= 2
1^
t
tt
eee
ρ sehingga )1(2^ρ−=DW . Dengan demikian, akan
tidak ada korelasi ketika DW adalah atau mendekati 2, karena ^ρ adalah 0.
Untuk data panel statistik Durbin Watson dapat diketahui dari perhitungan berikut:
)9.......(..........)(
1 22
1 22
1
∑ ∑∑ ∑
= =
= = −−= N
i
T
t it
N
i
T
t ititpd
e
eeD
Di mana:
T : periode waktu dari data panel
74
N : jumlah individu pada data panel
eit : residu dari observasi data panel individu i pada periode t,
Apabila DW mendekati 2 maka menunjukkan tidak terjadi ( autokorelasi). Namun
ada yang perlu diperhatikan lebih lanjut, yaitu jika model estimasi yang digunakan adalah
model autoregresif. Pengujian DW seharusnya tidak digunakan untuk menguji
autocorelation karena akan cenderung untuk mendekati nilai 2. Dengan demikian, terdapat
bias pada nilai pengujian tersebut. Oleh karena itu, dikembangkan suatu pengukuran untuk
menguji autocorrelation dalam model seperti itu, yaitu statistik h (Gujarati, 2004).
)(var1211
αNNdh
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −= ………………(10)
Di mana:
d : statistitik Durbin-Watson yang biasa.
N : jumlah observasi
Varα : varians koefisien dari lag variabel dependen.
H0 : tidak ada autocorrelations
H1 : ada autocorrelations
Jika h yang dihitung lebih kecil dari nilai h kritis, maka terima H0. Namun untuk
melihat tingkat autokorelasi lebih lanjut digunakan test Breusch-Gofrey Langrange
Multiplier (LM) test. Jika probabilita Obs*R-squared statistic lebih kecil dari alpha (α =
0,05), maka kita tolak hipotesa Ho yang berarti bahwa ada masalah autokorelasi.
H0 : tidak ada serial correlations.
H1 : ada serial correlations
c. Uji Heteroscedasticity
Dilakukan dengan menggunakan Heteroscedasticity no cross term option. Di mana
Ho adalah homoscedsticity, dan jika probabilita dari R-squared statistic lebih kecil dari
75
alpha (α = 0,05), maka kita tolak H0 yang berarti bahwa ada masalah heteroscedasticity.
Cara mengatasinya ialah dengan men-treatment model tersebut dengan menggunakan
metode White.
Berbagai metode pengolahan data di atas dilakukan agar hasil estimasi model,
paling tidak, memenuhi berbagai persyaratan (BLUE) sehingga interpretasi atas hasil
estimasi dapat dipercaya. Bab selanjutnya akan memperlihatkan hasil pengolahan data
berdasarkan urutan langkah yang sudah dijelaskan sebelumnya dan interpretasi atas hasil
temuan empiris tersebut.
76
BAB IV
ANALISIS DAN HASIL ESTIMASI
Pada bab ini penulis akan memperlihatkan hasil estimasi dan menterjemahkan hasil
tersebut berdasar pada teori atau penelitian-penelitian sebelumnya. Urutan pada bab ini
kurang lebih akan mengikuti alur tahapan metodologi penelitian seperti yang terdapat pada
bab sebelumnya. Sementara untuk analisis hasil temuan empiris, penulis akan
membahasnya per jenis infrastruktur, sesuai pada bab studi literatur di atas.
4.1. Deskripsi Data
Dalam deskripsi data ada beberapa ukuran yang penting yaitu mengenai ukuran
terpusat (central tendency), penyebaran (dispersion/variability), dan distribusi
(distribution). Ukuran terpusat yang akan disajikan pada bagian ini adalah mean.
Sementara itu untuk ukuran penyebaran variasi pada data yang digunakan adalah standar
deviasi (ukuran penyebaran pada mean), dan nilai terkecil dan terbesar dari data numerik
(minimum dan maximum). Namun, untuk ukuran yang melihat bentuk distribusi seperti
skewness dan kurtosis tidak di tampilkan pada tabel di bawah ini, karena beberapa
keterbatasan. Di bawah ini adalah tabel mengenai deskripsi data.
77
Tabel 4-1
Deskripsi Data
Variabel Obs Mean Std. Dev Min Max Pov 390 0,238 0,198 0,239 1,339Air 390 7,588 7,741 1,005 76,013Irigasi 360 26,885 15,869 0,239 99,096Pkmas 390 0,228 0,114 0,344 0,555Kes4 390 0,668 0,363 0,160 1,993KesRS 390 0,007 0,003 0,002 0,019Jlnneg 390 0,296 0,272 0,000 1,587Jlprop 388 0,478 0,318 0,394 1,411Jlkab 390 2,336 1,297 0,000 7,938Pend1 390 0,915 0,251 0,331 1,823Pend2 390 0,132 0,379 0,551 0,243Pend3 390 0,694 0,021 0,214 0,130pendmngah 390 0,201 0,530 0,083 0,351Tel 390 20,576 31,128 0,752 226,772Listrik 390 220,051 322,621 18,634 2325,937
4.2. Pemilihan Model Estimasi
Pengujian yang pertama adalah menentukan apakah model estimasi menggunakan
metode biasa (Pooled Least Square ) atau menggunakan metode efek tetap (Fixed effect).
Besaran nilai Chow itu sendiri, didapat dari perhitungan di bawah ini.
309092,600188,01185,0
==Chow
F tabel (27, 325, 0.05) adalah 1,46. Dengan demikian, F statistik > F tabel, pada
tahap ini model yang dipilih bukan metode biasa melainkan metode efek tetap (fixed
effect). Tahap berikutnya adalah menentukan apakah metode estimasi yang digunakan
adalah metode efek tetap (fixed effect) dengan metode efek acak (random effect) dengan
menggunakan uji Hausmann. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
78
Berdasarkan hasil penghitungan, didapat nilai Chi-Square sebesar 137,2272 dan
nilai p-value sebesar 0,000. Dengan demikian, karena nilai probabilita dari hausman < 0,05
maka H0 di tolak, artinya fixed effect model yang digunakan.
4.3. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika
4.3.1. Kriteria Statistik
Sesuai dengan apa yang terdapat pada bab metodologi penelitian, sebelum
melakukan analisis atas temuan empiris pada penelitian ini, maka model yang ada perlu
dilakukan berbagai macam pengujian dengan berbagai kriteria yang ada sehingga tidak
melanggar berbagai asumsi yang ada.
Tabel 4-2
Hasil Estimasi Persamaan Variable Coefficient t-Statistic Prob.
LOG(IRIGASI?(-1)) -0.061154 -3.525608 0.0005 LOG(AIR?(-1)) -0.004567 -0.365185 0.7152 LOG(JLKAB?(-1)) -0.015629 -0.642195 0.5212 LOG(JLNEG?(-1)) 0.024247 1.837799 0.0671 LOG(JLPROP?(-1)) 0.015970 1.069948 0.2855 LOG(KESRS?(-1)) -0.009667 -0.846307 0.3981 LOG(PKMAS?(-1)) 0.100252 2.677892 0.0078 LOG(TEL?(-1)) -0.090548 -7.214039 0.0000 LOG(PENDMNGAH?(-1)) -0.046005 -1.256266 0.2100 LOG(PEND1?(-1)) -0.130313 -2.909882 0.0039 DKRISIS? 0.227723 21.27047 0.0000 LOG(LISTRK?(-1)) -0.204153 -10.08593 0.0000 LOG(POV?(-1)) 0.656329 18.29062 0.0000 R-squared 0.991129 Adjusted R-squared 0.990053 F-statistic 921.7198 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.012943 *Level of significance α = 5%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat tujuh variabel bebas yang
signifikan pada α 5%. Variabel-variabel tersebut ialah irigasi periode sebelumnya,
puskemas periode sebelumnya, telepon periode sebelumnya, gedung/sekolah dasar periode
sebelumnya, krisis, listrik periode sebelumnya, dan kemiskinan periode sebelumnya..
79
Sementara untuk variabel seperti jalan negara signifikan pada α = 10%. Variabel bebas
lainya seperti jalan kabupaten, jalan propinsi, jumlah RS, dan jumlah sekolah SMP-SMA
tidak signifikan.
Analisis secara keseluruhan, terlihat bahwa adjusted R2 dari model memiliki
besaran yang cukup tinggi yaitu 0,9911. artinya adalah bahwa model ini mampu
menjelaskan hingga 99,11% variasi yang terjadi pada tingkat kemiskinan propinsi di
Indonesia. Nilai adjusted R2 ini berguna untuk melihat apakah penambahan variabel bebas
mampu menambah daya prediksi suatu model.
4.3.2. Kriteria Ekonometrika
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kriteria ekonometrika terdiri
atas: pertama, apakah terdapat masalah autokorelasi atau tidak. Berdasarkan tabel 4-2 dapat
dilihat bahwa nilai Durbin-Watson mendekati nilai dua (2.0129). Seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, model autoregresif akan menghasilkan nilai DW yang
bias. Oleh karena itu, akan dilakukan penghitungan statistik yang sesuai dengan model
tersebut yaitu statistik h.
121.0)000171,0(3341
3340129,2211 −=
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −=h
Dari hasil perhitungan didapat bahwa nilai h adalah -0.121. Karena h hitung lebih
kecil dari h kritis (1,645) maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat masalah
autocorrelation.
Kriteria ekonometrika yang kedua adalah apakah dalam model terdapat masalah
multicolinearity atau tidak. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melihat apakah
terdapat masalah multicolinearity atau tidak, yaitu dengan melakukan komparasi antara
besaran R2 dengan signifikansi dari variabel bebas. Dari ringkasan hasil estimasi di atas
terlihat bahwa nilai R2 besar, kemudian cukup banyak variabel bebas yang signifikan. Hal
80
ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat multicolinearity. Cara berikutnya adalah dengan
menggunakan matriks korelasi. Bila besaran matriks korelasi menunjukkan besaran 0,8-0,9
maka di indikasikan bahwa variabel bebas tersebut berkorelasi dengan variabel bebas
lainnya. Berikut adalah matriks korelasi dengan menggunakan stata.
Tabel 4-3
Matriks Korelasi
Logirigasi (-1)
Logair (-1)
Logjlneg (-1)
Logjlprop (-1)
Logjlkab (-1)
Logkesrs (-1)
Logpkmas (-1)
Logtel (-1)
Logpendmngah (-1)
Logpend (-1)
Loglistrk (-1)
Logirigasi(-1) 1
logair(-1) -0,5397 1
logjlneg(-1) 0,4223 -0,2094 1
logjlprop(-1) 0,2284 -0,1618 0,8241 1
logjlkab(-1) 0,4072 -0,1561 0,7824 0,7497 1
logkesrs(-1) -0,2273 0,4597 0,1854 0,2946 0,3438 1
logpkmas(-1) 0,5402 -0,2082 0,9327 0,8000 0,8472 0,2244 1
logtel(-1) -0,4024 0,6421 -0,1609 -0,1265 -0,1431 0,2553 -0,1960 1
logpendmngah(-1) -0,1329 0,1982 0,4804 0,5279 0,5680 0,4355 0,4932 0,1514 1
logpend(-1) 0,5974 -0,3458 0,8199 0,6218 0,7686 0,1536 0,8816 -0,4214 0,3622 1
Loglistrk(-1) -0,6364 0,7376 -0,5783 -0,5684 -0,5132 0,1755 -0,6060 0,6990 -0,0519 -0,6894
1
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat nilai yang melebihi 0,8 yaitu pada
variabel jalan negara dan jalan propinsi, jalan negara dengan puskesmas (pkmas), jalan
kabupaten dengan puskemas, dan sekolah dasar dengan jalan negara, dan sekolah dasar
(pend1) dengan puskesmas. Namun hal ini belum memastikan bahwa memang benar telah
terjadi multicolinearity. Oleh karena itu, akan dilakukan uji yang lain, yaitu dengan
menggunakan variance Inflation Factors (VIF). Di bawah ini adalah hasil perhitungan
VIF.
81
Tabel 4-4
Variance Inflation Factors a
Variable VIF 1/VIF Logpkmas(-1) 18,93 0,053 logjlneg(-1) 10,26 0,098 Logpend1(-1) 8,18 0,122 loglistrk(-1) 7,80 0,128 Logjlprop(-1) 6,24 0,160 Logjlkab(-1) 4,61 0,217 Logair(-1) 3,43 0,292 Logirigasi(-1) 3,34 0,300 Logtel(-1) 2,92 0,343 Logpendmngah(-1) 2,19 0,457 Logkesrs(-1) 1,83 0,546 Mean VIF 6,34
Ternyata nilai VIF variabel-variabel bebas ada yang melebihi nilai sepuluh (10),
yaitu puskesmas dan jalan negara maka dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan tabel di
atas, multicolinearity terdapat pada estimasi model ini. Oleh karena itu, pada variabel
puskesmas (pkmas) dilakukan modifikasi, yaitu mengeluarkan puskesmas pembantu dari
puskesmas utama. Variabel baru yang telah dimodifikasi menjadi (kes1). Kemudian
penggabungan variabel jalan negara dengan jalan propinsi (jlnegprop) untuk
menghilangkan korelasi yang tinggi pada jalan negara. Setelah dilakukan modifikasi maka
masalah multicolinearity tidak terlihat lagi. Hal ini dapat dilihat dari hasil Penghitungan
VIF di bawah ini.
Tabel 4-5 Variance Inflation Factors
Variable VIF 1/VIF Loglistrk(-1) 7,23 0,1383 Logpend1(-1) 6,04 0,1656 logjlnegprop(-1) 5,81 0,1721 Logkes1(-1) 4,52 0,2213 logjlkab(-1) 4,20 0,2384 logtel(-1) 3,49 0,2868 logair(-1) 3,28 0,3046 logirigasi(-1) 2,86 0,3499 logpendmngah(-1) 2,28 0,4395 Logkes4(-1) 1,61 0,6229
82
Mean VIF 4,13
Berkaitan dengan masalah heteroscedasticity, masalah ini dapat dilihat dengan
membandingkan nilai sum square of residual error (SSRE) antara estimasi yang di bobot
dengan yang tidak. Dari hasil estimasi (dapat dilihat di bagian lampiran) terlihat adanya
potensi heteroscedasticity. Namun oleh karena sudah dilakukan pembobotan (white
heteroscedasticity) maka masalah heteroscedasticity ini terselesaikan.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan. Karena dalam proses uji multicolinearity
telah terjadi perubahan satu variabel maka model persamaan juga berubah secara otomatis.
Di bawah ini adalah hasil akhir model persamaan yang sudah melalui beberapa tahap
pengujian seperti yang telah dilakukan pada persamaan sebelumnya (hasil pengujian dapat
dilihat pada lampiran). Tabel di bawah ini terdiri dari tiga persamaan, persamaan dengan
lag 1, 2, dan tiga secara terpisah. Khusus untuk kemiskinan, karena beberapa alasan
tertentu dan untuk tujuan studi maka lag yang akan digunakan adalah hanya lag 1. Dari
berbagai tahapan pengujian tersebut, disimpulkan bahwa model persamaan ini (tabel 4-6)
sudah tidak terjadi pelanggaran asumsi ekonometrika.
83
Tabel 4-6
Hasil Estimasi Persamaan
Lags 1 Lags 2 lags 3 Variabel Koefisien Prob. Koefisien Prob. Koefisien Prob.
LOG(IRIGASI) -0,05833 0,0010 -0,01433 0,4711 -0,03954 0,0872 LOG(AIR) -0,01003 0,4259 -0,03142 0,0015 -0,05394 0,0003 LOG(JLKAB) -0,00087 0,9721 0,03137 0,1655 0,04269 0,0892 LOG(JLNEGPROP) 0,01593 0,4778 0,02484 0,2044 0,01461 0,5104 LOG(KES4) -0,00364 0,7208 -0,03748 0,0001 -0,02162 0,0633 LOG(KES1) 0,10927 0,0021 0,17819 0,0000 0,07095 0,0942 LOG(TEL) -0,08209 0,0000 -0,02898 0,0115 -0,06567 0,0000 LOG(PENDMNGAH) -0,05030 0,1670 0,17349 0,0000 0,18927 0,0000 LOG(PEND1) -0,11185 0,0134 -0,04288 0,3033 -0,10223 0,0779 DKRISIS 0,22715 0,0000 0,20628 0,0000 0,23266 0,0000 LOG(LISTRK) -0,20228 0,0000 -0,21178 0,0000 -0,16463 0,0000 LOG(POV)(-1) 0,66232 0,0000 0,63052 0,0000 0,59054 0,0000 R-squared 0,99103 0,99034 0,98945 Adjusted R-squared 0,98998 0,98911 0,98798 F-statistic 940,68090 802,81350 670,01740 Prob(F-statistic) 0,00000 0,00000 0,00000 Durbin-Watson stat 2,00412 2,15345 2,16908
4.4. Analisis Temuan Empiris
Pada bagian ini, analisis akan dilakukan per variabel bebas. Analisis akan
dilakukan baik melalui pendekatan deskriptif maupun pendekatan teoretis (dikaitkan
dengan penelitian-penelitian sebelumnya). Hasil estimasi yang akan di analisis adalah
hasil estimasi pada tabel 4-6.
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa terdapat delapan variabel yang signifikan
pada α = 5%. Sementara itu ada lima variabel yang tidak signifikan yaitu air, jalan negara-
propinsi, jalan kabupaten dan jumlah sekolah SMP dan SMA.
84
4.4.1. Variabel Irigasi
Hasil estimasi model pada penelitian ini menunjukkan hubungan negatif antara
variabel irigasi dengan kemiskinan. Pada kolom satu, setiap kenaikan 1% pada irigasi satu
tahun sebelumnya maka akan terjadi penurunan pada kemiskinan sebesar 0,058%, ceteris
paribus. Hasil ini sesuai dengan mainstream penelitian sebelumnya. Hasil-hasil penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa irigasi akan meningkatkan pendapatan akibat
berkurangnya biaya produksi. Selain itu dalam proses pembangunannya irigasi merupakan
bentuk public works public works yang relatif labor intensif, hal ini pada tahap selanjutnya
adalah penyerapan banyak tenaga kerja, dengan begitu kemiskinan akan berkurang (Reddy,
Reddy and Sousan, 2003; Intizar Husain, Giardano and Harnja, 2003; JBIC, 2007).
Namun bila dilihat dari besaran dampaknya, irigasi ternyata tidak memberikan hasil
yang besar. Hal ini terlihat dari tingkat elastisitas/sensitivitas yang kurang dari 1. Hal ini
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti akses, pengelolaan, dan kondisi
ketidakmerataan lahan yang ada pada sektor pertanian.
Hasil studi ini mirip dengan hasil penelitian Husain, Triwakhala, dan Marikar
(2002) khususnya untuk wilayah Pakistan. Walaupun banyak perdedaan dalam metodologi
penelitian, mungkin hasil penelitian mereka tersebut juga dapat terjadi di Indonesia.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa ketidakmerataan kepemilikan asset (tanah) akan
menegasikan dampak pembangunan irigasi terhadap kemiskinan. Masyarakat yang
memiliki tanah yang luas akan lebih diuntungkan daripada masyarakat yang memiliki
lahan yang kecil. Selanjutnya mereka juga menunjukkan bahwa tata kelola yang buruk
(buruknya kondisi infrastruktur irigasi, kurangnya upaya dalam pemeliharaan, serta adanya
pencurian air) akan menghilangkan dampak pembangunan irigasi terhadap kemiskinan.
Mengenai kepemilikan lahan, berdasarkan data hasil Sensus Pertanian 2003 (ST03)
dapat dilihat bahwa kepemilikan lahan petani di Indonesia semakin sedikit. Persentase
85
rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat
menjadi 56,5 persen pada tahun 2003. Padahal dalam Sensus Pertanian 1993 (ST93) masih
sebesar 52,7 persen. Petani gurem yang tadi berjumlah 10.804.000 rumah tangga pada
1993 menjadi 13.663.000 tahun 2003. Terjadi penambahan 3,8 persen petani atau
2.859.000 juta rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha.
Selama 10 tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,6
persen/ tahun. Berdasar pada data BPS, persentase petani gurem di Jawa adalah 69,8
persen pada 1993, namun angka ini melaju cepat menjadi 74,9 persen atau bertambah
sebanyak 1.922.000 rumah tangga. Di luar Jawa, ST93 persentasenya sebesar 30,6 persen,
sementara itu ST03 mencatat 33,9 persen ekuivalen dengan 937.000 rumah tangga. Hal ini
menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat dari pada
di luar Jawa. Di bawah ini adalah tabel mengenai rumah tangga yang memiliki luas tanam
kurang dari 0,5 ha berdasarkan quantiles di Indonesia pada tahun 2004.
Tabel 4-9
Rumah Tangga yang Memiliki Luas Tanam (Padi) Kurang dari 0,5 Ha Berdasarkan
Kuintil, Indonesia, 2004
quantiles of b7r28 Freq. Percent Cum.
1 4,285 14,13 14,13 2 4,862 16,04 30,17 3 4,523 14,92 45,09 4 4,086 13,48 58,57 5 3,475 11,46 70,03 6 3,029 9,99 80,02 7 2,442 8,05 88,08 8 1,863 6,15 94,22 9 1,160 3,83 98,05
10 592 1,95 100,00 Total 30,317 100,00
Sumber: Susenas 2004, diolah
Selain itu data yang didapat dari Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan
Departemen pertanian, memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2001-2003 sebanyak
86
610.596 Ha lahan sawah berganti menjadi kawasan permukiman dan kegiatan usaha
lainnya. Hal-hal tersebutlah yang menegasikan dampak pembangunan irigasi terhadap
kemiskinan.
4.4.2. Air bersih
Volume banyaknya air bersih yang disalurkan ke masyarakat ternyata tidak mampu
mengurangi kemiskinan pada periode awal. Hal ini ditunjukkan dari tidak signifikannya
(pada α = 5%) pengaruh variabel air bersih terhadap penduduk miskin. Namun, air bersih
baru mampu mengurangi kemiskinan dengan membutuhkan rentang waktu yang lebih
lama, yaitu dua sampai tiga tahun. Terlihat bahwa pada lag 2, ketika terjadi 1% kenaikan
pada air yang diditribusikan ke masyarakat maka kemiskinan akan berkurang sebesar
0.0314%, ceteris paribus.
Air termasuk dalam kebutuhan dasar –merupakan salah satu konsep dalam
kemiskinan. Ketika kebutuhan dasar dari suatu individu (rumah tangga) itu dapat terpenuhi
maka individu (rumah tangga) tidak tergolong dalam orang (rumah tangga) miskin. Air
bersih juga terbukti dapat meningkatkan kondisi kesehatan penduduk. Ketika penduduk
sehat, maka probabilitas hilangnya potensi penghasilan akibat tidak bekerja karena sakit
akan kecil. Dengan demikian, air bersih tentunya akan diekspektasikan mempunyai
korelasi negatif yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Namun, ternyata
temuan empiris ini menunjukkan bahwa air besih masih relatif kecil mempengaruhi proses
pengurangan kemiskinan di Indonesia.
Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena
volume air bersih yang didistribusikan selama ini masih terlalu kecil untuk memberikan
dampak bagi pengurangan kemiskinan. Kedua, berkaitan dengan masalah akses penduduk
miskin terhadap air bersih. Berdasarkan data SUSENAS dapat diketahui bahwa 40%
87
penduduk termiskin masih memiliki akses yang sangat kecil, secara relatif, dibandingkan
dengan 20% penduduk terkaya.
Grafik 4-1
Akses Terhadap Air Bersih Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Berdasarkan grafik di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa karena akses
penduduk termiskin terhadap air bersih relatif kecil, maka penambahan volume air bersih
yang disalurkan hanya memberikan manfaat yang relatif kecil. Kualitas hidup mereka tidak
meningkat sebagaimana yang diharapkan jika mereka memiliki akses terhadap air bersih
tersebut.
Kemudian, di bawah ini adalah tabel mengenai sumber air minum berdasarkan
kuintil. Ukuran sumber air minum yang sehat adalah dari 1-4, sementara untuk sumber air
minum yang lainnya (sumur tak terlindungi, air sungai, air hujan, mata air tak terlindungi,
dan lainnya) dinilai relatif kurang sehat.
88
Tabel 4-9
Akses Sumber Air Minum Berdasarkan Kuintil, Indonesia, 2004
quantiles 1 2 3 4 lainnya 1 1,43 3,80 5,89 11,38 13,83 2 3,17 4,55 7,01 11,12 13,23 3 3,75 5,07 7,71 11,13 12,69 4 3,98 6,29 8,13 11,09 11,91 5 6,08 7,70 9,53 10,76 11,62 6 6,64 8,90 10,29 10,71 10,04 7 8,82 10,82 11,57 10,12 9,02 8 11,82 11,73 12,25 9,44 8,80 9 16,53 18,05 13,40 8,15 5,91 10 37,77 23,08 14,23 6,10 3,67 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Keterangan: 1) air dalam kemasan, 2) ledeng 3) pompa 4) sumur terlindungi Sumber: Susenas 2004, diolah
Tabel di atas mengindikasikan bahwa akses terhadap sumber air minum yang sehat
relatif kecil bagi masyarakat miskin (kuintil dasar, 1-2), sebaliknya untuk mereka yang
kaya (kuintil atas) akses terhadap sumber air minum yang sehat lebih besar. berlawanan
dengan hal itu, sumber air minum penduduk miskin relatif kurang sehat. Hal ini terlihat
pada kolom terakhir yang berisi sumber air minum lainnya, kuintil 1-2 berkisar 13,23
hingga 13,83%.
Selanjutnya, secara umum 22% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki akses
air bersih. Hanya 14% yang secara formal tersambung ke PDAM. PDAM mensuplai air ke
50% rumah tangga (36% lewat jaringan pipa dan sisanya lewat vendor) di daerah
perkotaan, di mana 40-42% dari total rumah tangga disediakan masyarakat dan sistem
yang dikelola rumah tangga. Di daerah pedesaan, PDAM hanya melayani sekitar 8%
rumah tangga, dan sekitar 88% rumah tangga tersebut dilayani oleh mekanisme penyediaan
sendiri (self-supply) yang disediakan oleh masyarakat maupun rumah tangga itu sendiri
(Indonesia, Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action; 2004).
Berkaitan dengan suplai air bersih di perkotaan, masyarakat perkotaan di Indonesia
yang menikmati air bersih dengan sistem perpipaan baru mencapai 39% (KAI, 2003).
89
Kualitas air yang baik baru 68%. Lamanya jam operasi (pelayanan) adalah 18 jam.
Terdapat kebocoran yang cukup besar yaitu 38% (Alizar Anwar, 2004).
Selain masalah akses, masalah kondisi infrastruktur juga telah menghilangkan
dampak air bersih terhadap kemiskinan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Cipta Karya
Departemen Pekerjaan umum, dinyatakan bahwa hampir 80% infrastruktur untuk
penyediaan air bersih dalam kondisi memprihatinkan. Kemudian melihat kondisi PDAM,
hanya 5% yang sehat, kurang sehat 31%, tidak sehat 32%, dan kritis 28% (Alizar Anwar,
2004).
4.4.3. Variabel Jalan
Panjang jalan kabupaten dan jalan negara serta propinsi ternyata tidak berpengaruh
pada kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4-6, di mana panjang jalan tidak mampu
mengurangi kemiskinan.
Hal ini karena berbagai keterbatasan yang ada, penelitian ini belum melihat kualitas
jalan, apakah baik, rusak parah atau tidak. Di bawah ini adalah grafik persentase jalan
kabupaten kondisi baik dengan total jalan kabupaten pada tahun 2004.
Grafik 4-2
Persentase Jalan Kabupaten dengan Kondisi Baik terhadap Total Jalan kabupaten di
setiap Provinsi, Indonesia, 2004
Sumber: BPS, diolah
90
Dari Grafik tersebut terlihat bahwa hanya ada beberapa provinsi (tiga) saja di mana
persentase kondisi jalan Kabupaten yang baik melebihi besaran 50%. Provinsi-provinsi
tersebut adalah Sumatera Selatan, Jakarta dan Jogyakarta.
Namun bila dilihat dari tanda koefisiennya, diketahui bahwa jalan kabupaten
bertanda negatif sementara itu jalan propinsi dan negara bertanda positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembukaan isolasi atas daerah miskin sehingga bisa berinteraksi
dengan daerah yang lain, belum memerlukan lingkup wilayah yang relatif luas, melainkan
hanya untuk wilayah-wilayah sekitarnya saja. Transaksi ekonomi yang diciptakan oleh
jalan masih dalam lingkup wilayah yang tidak terlalu luas.
4.4.4. Variabel Kesehatan
Variabel kesehatan pada model estimasi ini terdiri dari dua macam, yang pertama
adalah jumlah tempat tidur di rumah sakit dan jumlah puskesmas (tidak termasuk
puskesmas pembantu) yang terdapat di setiap provinsi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
jumlah tempat tidur di rumah sakit berpengaruh secara signifikan terhadap pengurangan
penduduk miskin. Namun pengaruhnya itu baru dirasakan pada 2-3 tahun berikutnya.
Setiap tambahan 1% tempat tidur di Rumah Sakit pada dua periode sebelumnya, maka
kemiskinan akan berkurang sebesar 0,03%, ceteris paribus. Dengan adanya sarana
kesehatan, dalam hal ini sarana di rumah sakit. Ketika seseorang sakit, maka sarana
kesehatan ini mampu mengurangi lamanya seseorang itu sakit sehingga biaya opportunitas
yang timbul menjadi lebih kecil.
Sementara itu, jumlah puskesmas berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah
penduduk miskin namun memiliki besara positif. Hal ini sepertinya mengikuti pola
kesimpulan yang dihasilkan pada studi Duflo (2000). Ia menyatakan bahwa pembangunan
sekolah dasar yang melebihi 61.000 sekolah di Indonesia pada tahun 1973-1978 dilakukan
tidak secara acak. pada sistem yang tersentralisasi, pembangunan sekolah akan
91
terjadi/banyak pada daerah-daerah yang terbelakang. Hal ini menyebabkan upah akan lebih
rendah pada daerah yang memiliki lebih banyak sekolah negeri. Sehingga di sini terlihat
bahwa puskesmas memiliki hubungan yang positif dengan kemiskinan.
Hal ini mungkin karena penurunan kinerja puskesmas. Setelah krisis penurunan
kinerja puskemas dapat dibedakan menjadi dua macam (Juanita, 2002). Pertama,
penurunan kemampuan puskesmas, diantaranya ialah:
a. Menurunnya persediaan obat karena sebagian besar obat masih di impor.
b. Menurunnya persediaan alat kesehatan dan reagensia.
c. Menurunnya kemampuan pembiayaan program/pelayanan kesehatan, contohnya
kunjungan ke rumah dan surveilance menurun tajam.
Kedua, meningkatnya beban kerja puskesmas seperti meningkatnya jumlah
program/ pelayanan. Kemudian, dalam rangka mengatasi masalah kesehatan yang banyak
dihadapi keluarga miskin, puskesmas harus mengaktifkan kembali beberapa kegiatan
program yang sebelumnya tidak dilaksanakan secara intensif, misalnya, penimbangan
balita, pemberian makanan tambahan, surveilan gizi penyakit menular. Selain itu,
puskesmas harus melaksanakan beberapa kegiatan baru seperti identifikasi keluarga
miskin. Terakhir, meningkatnya masalah kesehatan secara umum di wilayah kerjanya
(Juanita, 2002). Penurunan kemampuan serta meningkatnya beban kerja menyebabkan
menurunya mutu kualitas pelayanan puskesmas serta kondisi kesehatan secara
keseluruhan.
Selain itu, di Indonesia, dalam kondisi normal, pola pembiayaan langsung (biaya
diberikan langsung kepada provider) tidak cocok. Karena pola pembiayaan tersebut akan
menimbulkan inefisiensi, penyalahgunaan, tidak dapat diaudit oleh tim (Rubi, 2005).
Dengan demikian, opportunity cost-nya relatif besar. Thabrany dan Mayanda (2005)
berpendapat bahwa meskipun fasilitas kesehatan sudah tersebar luas, namun utilisasi atas
92
fasilitas tersebut masih belum optimal. Subsidi pemerintah pada puskesmas dan rumah
sakit tidak tepat sasaran. Hal ini karena proporsi RT berpendapatan tinggi yang menerima
subsidi relatif besar, sekitar setengah dari RT pendapatan terendah. Penduduk miskin tidak
memiliki akses yang sama karena kendala budaya, geografis, dan finansial.
4.4.5. Variabel Pendidikan
Banyaknya bangunan sekolah dasar mampu mengurangi kemiskinan pada periode
satu dan tiga tahun sebelumnya. Setiap kenaikan 1% sekolah dasar pada periode
sebelumnya maka kemiskinan akan berkurang sebesar 0,111%, ceteris paribus.
Sekolah dasar terbukti mampu memberikan manfaat pada penduduk miskin,
terutama mereka yang tinggal di perdesaan. Beberapa penelitian sebelumnya
mengungkapkan bahwa penduduk/petani yang lulus sekolah dasar akan lebih produktif
dibandingkan yang tidak bersekolah. Karena dengan pendidikan dasar penduduk sangat
dibantu oleh keterampilan dasar seperti berhitung, membaca, dan tulis. Keterampilan-
keterampilan tersebut adalah dasar untuk dapat bertahan hidup, misalnya penduduk akan
mampu mengatur keuangannya sendiri sehingga lebih efisien, dan lain sebagainya.
Namun, dampak tersebut hanya sampai pada tingkat sekolah dasar saja, tidak pada
jenjang yang lebih tinggi. Foster dan Rosenzweig (1995) meneliti mengenai dampak dari
pendidikan terhadap petani di India. Studi ini sangat relevan jika digunakan sebagai
pelajaran untuk Indonesia. Bagi petani, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat,
juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah. Mengingat
bagi petani pengalaman lebih dibutuhkan daripada pendidikan (lanjutan bukan dasar).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa opportunity cost untuk ke sekolah sangat besar.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan permintaan terhadap pendidikan menengah masih
relatif kecil.
93
Berlainan dengan hasil banyaknya sekolah dasar, banyaknya SMP dan SMA
ternyata memiliki dampak yang sebaliknya. Banyaknya SMP dan SMA dua dan tiga
periode sebelumnya berhubungan positif dengan kemiskinan.
Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama,
dikaitkan dengan ketenagakerjaan antar sektor, maka ketika probabilita partisipasi
penduduk pada pendidikan menengah ini tinggi akan terjadi pergeseran penawaran tenaga
kerja dari sektor pertanian ke sektor modern. Pergeseran penawaran ini pada umumnya
mensyaratkan terjadinya perpindahan penduduk dalam ranah geografi. Kemudian terdapat
dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu pertama, perpindahan penduduk tersebut akan
menyebabkan berkurangnya sumber daya di desa (brain drain effects).
Ketika penawaran ini dapat diakomodasi oleh permintaan tenaga kerja di sektor
modern, penduduk dengan years of schooling lebih lama akan menerima pendapatan yang
lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Paul Schultz (1988) yang menyatakan bahwa
ada hubungan positif antara pekerja yang sekolah dengan pendapatan mereka. Namun, hal
ini memiliki potensi dampak negatif yaitu terciptanya suatu kesenjangan diantara kedua
sektor tersebut. Sebaliknya, ketika penawaran tersebut tidak terakomodasi maka yang
terjadi adalah shared poverty.
Sebagai buktinya adalah meningkatnya proporsi penduduk miskin di daerah
perkotaan yang lebih dikarenakan proses urbanisasi. Kemudian, meningkatnya penduduk
yang bermatapencaharian di sektor jasa. Peningkatan sektor jasa ini bukan karena
tingginya permintaan pada sektor tersebut melainkan karena tidak terserapnya penawaran
tenaga kerja di sektor modern (manufaktur). Sektor jasa ini lebih merupakan sektor
infomal. Sektor ini sangat rentan jika terjadi guncangan.
Dengan demikian, Pendidikan dapat berdampak negatif pada pemerataan. Berbagai
studi komparatif antar negara menunjukkan ketika pendidikan tinggi maka terdapat
94
kecenderungan ketidakmerataan yang tinggi pula. Seperti yang ditunjukkan oleh Pritchett
(2003). Ia menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antarnegara di dunia.
Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi
0,56. Tapi, di saat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antarnegara
meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Di Indonesia pada 1980-1990-an, subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi
pendidikan tinggi menyebabkan koefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan
perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu
(Booth, 2000).
Data menujukkan bahwa terdapat masalah serius pada sektor pendidikan, terutama
di tingkat menengah pertama dan selanjutnya. Data mengenai tingkat partisipasi murni
pada tahun 1999 menyatakan bahwa persentase untuk anak usia 13-17 tahun adalah 79%,
dan untuk usia 16-18 tahun adalah 51%. Selanjutnya jika melihat dari latar belakang sosio-
ekonomi, tingkat partisipasi sekolah mereka yang masuk ke SMP dari golongan kuintil
terkaya adalah 93%, sementara untuk kuintil termiskin hanya 66%. Ditingkat selanjutnya
(SMA) kondisi semakin parah, angka partisipasi untuk kedua kuintil ini adalah masing-
masing 75% dan 29%. Hal ini menunjukkan bahwa anak dari keluarga miskin menghadapi
maslah serius dalam meneruskan pendidikan mereka, terutama untuk tingkat pendidikan
lanjutan setelah sekolah dasar (SMERU, 2001).
Pendidikan yang meningkatkan produktivitas pekerja merupakan asumsi dasar
dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kesenjangan. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan
meningkat. Di sisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu
diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi
kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan
95
kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan
mengecil. Namun, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari
pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk
jenis-jenis pekerjaan tertentu.
4.4.6. Variabel Telepon
Sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, Pada penelitian ini didapat bahwa
telepon berkorelasi negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Artinya
setiap kenaikan 1%, ceteris paribus, sambungan telepon pada satu periode sebelumnya
maka kemiskinan akan berkurang sebesar 0,082%. Hal ini karena telepon mampu
menurunkan biaya dalam proses produksi. Kemudian telepon dapat meningkatkan
opportunitas penduduk baik itu dalam bidang ketenagakerjaan maupun usaha.
Berdasarkan data yang ada, pengguna telepon bagi penduduk miskin masih sangat
kecil. Kemudian secara umum juga menunjukkan hal yang sama, dari 72.000 jumlah desa,
desa yang belum terjangkau telepon adalah 43.000. Sementara itu jumlah SST telkom 2002
adalah 7,8 juta, dan jumlah pelanggan telkom 2002 adalah 7,4 Juta (Bisnis Indonesia,
14/05/2003). Pertanyaannya, mengapa variabel telepon masih mampu mengurangi
kemiskinan?
Adalah suatu fenomena yang sangat umum yang terjadi di masyarakat bahwa
penduduk yang tidak mempunyai telepon fixed-line sering meminta bantuan kepada
tetangga atau saudaranya yang memiliki telepon. Sehingga walaupun mereka itu tidak
memiliki sambungan telepon namun masih bisa menerima manfaat dari para pemilik
telepon. Dengan demikian, ada suatu spillover effect dari si pemilik telepon kepada rumah
tangga lain yang tidak memiliki sambungan telepon.
96
4.4.7. Variabel Krisis
Krisis moneter di Indonesia terbukti menimbulkan berbagai biaya yang sangat
merugikan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh krisis terhadap jumlah
penduduk miskin. Krisis terbukti secara empiris meningkatkan penduduk miskin di
Indonesia. Krisis menambah penduduk miskin Indonesia sebesar 0,22 orang miskin per
seribu penduduk.
Thomas dan Frankenberg (2005) meneliti respon rumah tangga terhadap krisis.
Dengan menggunakan data survey rumah tangga longitudinal (IFLS berbagai tahun),
menemukan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan pengeluaran rumah tangga
sebesar 10%. Kemudian dihubungkan antara perdesaan dan perkotaan, maka penduduk
perkotaan memperoleh dampak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang ada di
perdesaan. Total pengeluaran rumah tangga di perkotaan menurun sebesar 25%,
pengeluaran perkapita turun sebesar 34%, sementara untuk di perdesaan total pengeluaran
rumah tangga tidak mengalami penurunan, tetapi pengeluaran perkapita menurun 18%.
Pada kedua region tersebut kemiskinan meningkat dengan besaran yang sama, yaitu 30%.
Selain itu mereka juga menemukan bahwa krisis berdampak pada penurunan
investasi modal manusia, yaitu sekolah dan kesehatan. Untuk penduduk miskin, krisis
menyebabkan penurunan yang cukup substansial pada porsi pengeluaran untuk sekolah
pada tahun 1997-1998. Hal ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan penduduk.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, secara rata-rata, pendapatan rumah tangga menurun
sebesar 40% untuk di perkotaan, sementara di perdesaan penurunan jauh lebih kecil yaitu
sebesar 20% (Thomas dan Frankenberg, 2005).
Hal tersebut dapat terlihat dari grafik penduduk miskin Indonesia dari tahun 1976
hingga 2004. Secara umum kemiskinan dari tahun 1976 hingga periode awal 90-an
mengalami penurunan yang drastis. Namun sejak tahun 1996 hingga 1999 mengalami
97
kenaikan yang drastis pula. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin terus meningkat
hingga 49,5 juta jiwa. Dibanding dengan tahun 1996, angka penduduk miskin meningkat
sekitar 30,3%. Tingginya penduduk miskin pada tahun 1998 ini merupakan dampak
kumulatif dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Tingginya inflasi ketika krisis dan
banyaknya pengangguran merupakan salah satu faktor utama penentu peningkatan
kemiskinan pada periode ini. Kenaikan inflasi menyebabkan biaya hidup semakin tinggi,
semakin banyak penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Grafik 4-3
Persentase Penduduk Miskin, Indonesia, 1976-2006
Sumber: BPS
4.4.8. Variabel Listrik
Semakin besar kapasitas listrik di Indonesia, maka besaran listrik yang
didistribusikan kepada masyarakat akan semakin besar. Hal ini secara empiris akan
menurunkan tingkat kemiskinan. Setiap kenaikan 1% kapasitas listrik pada satu periode
sebelumnya, ceteris paribus, maka penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,202%.
Variabel ini memiliki dampak secara langsung dan tidak langsung bagi penduduk
miskin di Indonesia. Dampak langsung dari keberadaan infrastruktur ini diantaranya adalah
listrik sebagian besar digunakan untuk penerangan, TV, dan radio pada tingkat pendapatan
98
yang rendah. Kemudian digunakan sebagai pemanas, alat untuk memasak dan sebagai alat-
alat rumah tangga untuk usaha rumah tangga pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Dampak tidak langsung untuk penduduk miskin diantaranya adalah, listrik mampu
menurunkan biaya energi untuk perusahaan. Hal ini akan meningkatkan proses penciptaan
tenaga kerja dalam lingkup aktivitas yang luas. Kemudian listrik juga mampu
meningkatkan tingkat kesehatan dan jasa pelayanan lainnya (contohnya, pendingin,
penerangan, penghangat, dan lain sebagainya). Selain itu, listrik juga meningkatkan akses
masyarakat pada informasi, komunikasi dan teknologi (ICT). Akses komunikasi yang lebih
baik mampu membantu proses migrasi, memberikan informasi atas kesempatan yang ada,
dan akses pada pengetahuan dalam komunitas yang lebih luas. Semua hal tersebut
berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Di bawah ini adalah jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan
dari listrik PLN pada tahun 2004 di Indonesia. Terlihat bahwa desil pertama hingga
keempat persentase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN sebagai sumber
penerangannya berkisar 61-74%. Sementara itu desil ke sembilan dan kesepuluh masing-
masing sebesar 90,5% dan 94%. Namun walaupun begitu, sudah lebih dari 50% penduduk
termiskin menikmati listrik.
Tabel 4-10
Banyaknya Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik PLN Sebagai Sumber
Penerangan, Indonesia, 2004 quantiles PLN persentase lainnya persentase total 1 15.456 61.1 9.836 38,9 25.292 2 17.039 67,4 8.252 32.6 25.291 3 17.989 71,1 7.303 28,9 25.292 4 18.742 74,1 6.549 25,9 25.291 5 19.651 75,8 6.270 24,2 25.921 6 20.394 80,6 4.900 19,4 25.294 7 21.048 83,2 4.241 16,8 25.289 8 21.851 86,4 3.440 13,6 25.291 9 22.891 90,5 2.400 9,5 25.291 10 23.761 94,0 1.530 6,0 25.291 Total 198.816 78,6 54.097 21,4 252.913
Sumber: susenas 2004, diolah
99
4.4.9. Variabel Kemiskinan Periode Sebelumnya
Variabel ini untuk melihat apakah kemiskinan di Indonesia termasuk kemiskinan
yang sifatnya temporer atau tidak. Temuan pada penelitian ini menyatakan bahwa ketika
kemiskinan pada periode sebelumnya naik sebesar 1%, maka kemiskinan pada saat ini
akan meningkat sebesar 0,66%, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa pada
perubahan penduduk miskin dari tahun ke tahun, seperti yang ditujukan pada grafik di atas,
bahwa ada sebagian penduduk Indonesia yang selalu miskin (tidak mampu keluar dari
kemiskinan). Namun dalam skripsi ini, karena keterbatasan yang ada, tidak lebih lanjut
mengenai kemiskinan dinamis.
Sumanta menunjukkan bahwa terdapat lingkaran kemiskinan di Indonesia dengan
pola hubungan tidak langsung (Sumanta, 2005). Dasar teori yang digunakan adalah Nurkse
(1953) yang menyatakan bahwa tingkat kemiskinana yang tinggi disuatu daerah terjadi
karena rendahnya pendapatan perkapita daerah tersebut. Pendapatan perkapita yang rednah
karena investasi perkapita yang rendah. Investasi perkapita yang rendah terjadi karena
permintaan domestik perkapita yang rendah. Permintaan domestik yang rendah terjadi
karena tingkat kemiskinan yang tinggi, begitu seterusnya sehingga daerah terbelakang akan
terus terbelakang.
Menurut sumanta ada peluang bagi daerah-daerah terbelakang untuk keluar dari
jebakan kemiskinan bila berhasil melakukan kebijakan sebagai berikut: meningkatkan
kualitas SDM melalui pendidikan dan kesehatan masyarakat; mengembangkan sektor
industri jasa sehingga peranannya meningkat dalam perekonommian; meningkatkan
ketersediaan infrastruktur untuk mendukung perekonomian daerah; meningkatkan upah
riil; dan meningkatkan kualitas tata pemerintahan daerah dan meningkatkan alokasi
anggaran pembangunan daerah yang pro terhadap masyarakat miskin.
100
Berdasar pada hasil analisis di atas, dapat diambil sebuah ‘benang merah’ bahwa
pada umumnya infrastruktur ekonomi lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan tingkat
propinsi di Indonesia, walaupun ada juga variabel yang berpengaruh positif terhadap
kemiskinan seperti luas lahan sawah dengan pengairan (irigasi). Hal ini terbukti dari
pengaruh negatif dari jalan kabupaten, listrik, dan telepon terhadap kemiskinan. Sementara
itu, infrastruktur sosial cenderung untuk tidak berpengaruh (seperti jumlah tempat tidur di
rumah sakit) bahkan ada yang berhubungan positif dengan kemiskinan (jumlah gedung
sekolah SMP dan SMA). Walaupun sensitifitas kemiskinan terhadap infrastruktur relatif
kecil. Tetap saja diperlukan suatu penelitian lebih lanjut yang sifatnya lebih mikro.
Secara umum penjelasan dari temuan di atas (variabel-variabel yang tidak sesuai
dengan teori) didekati dari argumentasi struktur sosial masyarakat yang ada di Indonesia
dan akses penduduk miskin pada infrastruktur tersebut. Sebagai contoh, penambahan luas
lahan sawah yang diairi irigasi akan menambah penduduk miskin, karena diduga terdapat
struktur sosial yang eksploitatif antara petani dengan lahan luas dengan petani gurem atau
buruh tani. Hal ini berakibat pada dimonopolinya manfaat irigasi oleh mereka yang punya
lahan sawah lebih luas. Dari sini dapat terlihat bahwa akses masyarakat miskin (petani)
terhadap asset (lahan) sangat minim.
101
BAB V
KESIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN STUDI
Penelitian ini mencoba melihat hubungan antara ketersediaan infrastruktur dengan
tingkat kemiskinan. Infrastruktur yang di uji pada studi ini meliputi jalan kabupaten, jalan
propinsi-negara, listrik, telepon, air, irigasi, puskemas, tempat tidur di rumah sakit, dan
sekolah SD, dan SMP-SMA. Pemilihan infrastruktur ini didasarkan pada definisi Bank
Dunia dalam membagi infrastruktur dalam tiga kelompok besar, yaitu infrastruktur
ekonomi, sosial dan administrasi.
5.1. Kesimpulan
a) Hasil estimasi dengan menggunakan fixed-effect dan lags 1 menunjukkan bahwa
terdapat tujuh variabel yang signifikan pada α sebesar 5%. Variabel-variabel tersebut
adalah irigasi, puskesmas, telepon, jumlah sekolah dasar, listrik, krisis, dan kemiskinan
satu periode sebelumnya. Sementara itu ada empat variabel yang tidak signifikan yaitu
air, jalan, banyaknya sekolah SMP-SMA dan jumlah tempat tidur di rumah sakit
sebagai salah satu indikator infrastruktur kesehatan.
b) Mengenai arah dan besaran hubungan antara masing-masing jenis infrastruktur, hasil
studi ini menunjukkan bahwa: pertama, untuk variabel yang berkorelasi negatif
terhadap kemiskinan, kontribusi terbesar dalam proses pengurangan kemiskinan adalah
infrastruktur ekonomi (Listrik) dengan koefisien -0,2, sekolah dasar dengan -0.11,
kemudian telepon dengan koefisien -0,08, dan irigasi dengan -0.06. Kemudian untuk
variabel yang berkorelasi positif dan signifikan meliputi puskesmas, krisis, dan
kemiskinan periode sebelumnya.
c) Banyaknya sekolah dasar mampu mengurangi kemiskinan karena manfaat pendidikan
hanya berlaku pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Kemiskinan didominasi di
102
perdesaan, dan pada sektor pertanian. Foster dan Rosenweig (1995) menyimpulkan
bahwa petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada
yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki
pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Namun, karena berbagai
keterbatasan yang ada, studi ini tidak bermaksud untuk menyimpulkan bahwa
pendidikan dan kebijakan pendidikan pemerintah tidak bermanfaat bagi orang miskin.
Namun, studi ini mengindikasikan bahwa ada hal-hal lain yang menjadi penyebab
mengapa banyaknya sekolah SMP-SMA menyebabkan kemiskinan bertambah parah
adalah terjadinya brain drain dari masyarakat perdesaan ke perkotaan. Mengingat hasil
estimasi ini relatif bertentangan dengan penelitian pada umumnya dan berada pada
tataran agregat, maka perlu dilakukan studi dengan lingkup yang lebih mikro.
d) Selain variabel infrastruktur, peneliti juga menggunakan beberapa variabel kontrol
yaitu krisis ekonomi, dan kemiskinan satu periode sebelumnya. Kedua variabel ini
memiliki kontribusi yang besar dan signifikan pada kemiskinan.
e) Relatif kecilnya dampak infrastruktur terhadap proses pengurangan kemiskinan di
Indonesia mungkin dikarenakan kualitas dan kondisi infrastruktur tersebut, selain itu
juga masalah akses pada layanan infrastruktur tersebut.
5.2. Saran
a) Dalam bidang listrik dan telekomunikasi, penting kiranya bagi pemerintah berupaya
untuk menggeser pola berpikir dari sekedar subsidi pemakai yang sudah ada kepada
peningkatan akses kepada rumah tangga yang belum menikmati manfaat infrastruktur
listrik dan telekomunikasi.
b) Pada sektor pertanian, mengingat kecilnya dampak irigasi maka perlu kiranya meneliti
lebih jauh apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin saja disebabkan oleh kualitas,
pengelolaan atau kondisi-kondisi di masyarakat seperti ketidakmerataan distribusi
103
lahan. Selain itu, perlu kiranya untuk juga memperhatikan pola perubahan konversi
lahan pertanian menjadi usaha lainnya. Akses yang minim terhadap asset (tanah) itulah
yang menyebabkan petani yang miskin di desa tidak mampu keluar dari jeratan
kemiskinan.Dengan demikian, ketika penyebab-penyebab itu diperbaiki maka manfaat
dari adanya irigasi tidak mengalami maldistribution.
c) Pada infrastruktur air, perlu kiranya meningkatkan kualitas air bersih yang mampu
diakses oleh masyarakat kota. Karena studi ini menggunakan data air yang disalurkan
PDAM, maka dalam hal ini ranah yang lebih relevan adalah wilayah perkotaan. PDAM
lebih dapat meningkatkan kapasitasnya sehingga suplai dapat dikuatkan. Untuk
menambahkan, pemerintah daerah dapat memberikan mandat dan insentif kepada
PDAM untuk meningkatkan skala layanan kepada daerah-daerah yang menjadi
“kantong-kantong” kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendisain struktur
tarif yang sesuai untuk mereka yang miskin.
d) Kebijakan infrastruktur ini merupakan salah satu saran dari beberapa organisasi
internasional (Bank Dunia, ADB, dan lain sebagainya). Saran dari beberapa lembaga
internasional itu diberikan kepada seluruh negara. Studi ini mengindikasikan bahwa
tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara.
Dan studi ini juga mengkritik dengan tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara
universal. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih
besar. Hal ini dapat dilihat pada infrastruktur pendidikan (gedung sekolah SMP dan
SMA) dan kesehatan yang ternyata tidak begitu berperan dalam proses pengurangan
kemiskinan di Indonesia.
5.3. Keterbatasan Studi
a) Karena berbagai keterbatasan yang ada, seperti kesulitan dalam pencarian data, studi
ini belum melihat segi kualitas infrastruktur. Oleh karena itu, saran untuk studi lebih
104
lanjut adalah memasukkan sisi kualitas infrastruktur ke dalam proses
penghitungan/estimasi.
b) Pada era otonomi daerah saat ini kewenangan terbesar ada pada tingkat pemerintahan
yang lebih kecil, seperti tingkat kabupaten. Studi ini terlalu melihat secara agregatif,
yaitu pada tingkat propinsi. Padahal kewenangan dalam bidang-bidang tertentu sudah
menjadi tanggung jawab pada tingkat kabupaten. Untuk itu, studi lebih lanjut
seharusnya dapat menjadikan kabupaten sebagai entitas subjek penelitiannya.
c) Definisi infrastruktur pada studi ini mendasarkan pada definisi bank dunia. Bank dunia
membagi jenis infrastruktur menjadi 3 macam. Studi ini hanya mencakup dua dari tiga
definisi tersebut, yaitu ekonomi dan sosial. Sementara infrastruktur
administrasi/institusi belum dimasukkan dalam perhitungan. Padahal berdasarkan teori
yang ada faktor administrasi/institusi juga mempunyai peranan yang signifikan
terhadap proses pengurangan kemiskinan. Tata kelola yang lemah akan merugikan
kaum miskin secara tidak adil. Ketidakefisienan sektor publik, korupsi dan pemborosan
menyebabkan tidak memadainya sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan dan yang
ada untuk jasa-jasa layanan publik dan berbagai program anti kemiskinan.
d) Untuk melihat dampak infrastruktur terhadap kemiskinan, studi ini mengasumsikan
dampak yang terjadi berbentuk dampak langsung. Sementara untuk dampak tidak
langsungnya masih belum terjelaskan pada studi ini. Oleh karena itu, saran untuk studi
selanjutnya adalah agar dapat menggunakan berbagai metodologi penelitian yang ada
yang memungkinkan melihat atau memasukkan dampak tidak langsung infrastruktur
terhadap kemiskinan.
Walaupun dengan berbagai keterbatasan di atas, studi ini telah berhasil menemukan
bahwa pada umumnya infrastruktur yang lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan di
Indonesia sepanjang periode 1990-2004 adalah infrastruktur ekonomi. Sementara
105
infrastruktur sosial secara umum masih kurang efektif untuk mereduksi kemiskinan pada
tingkat aggregat. Secara umum sensitivitas dari infrastruktur terhadap kemiskinan masih
relatif kecil. Tentunya diperlukan penelitian yang lebih dalam untuk menemukan
penjelasan lebih jauh atas berbagai temuan tersebut.
106
DAFTAR PUSTAKA
Adelman, Irma. Redistribution Before Growth: A Strategy for Developing Countries. The
Hague: Martinus Nijhof, 1978.
Ali, Ifzal dan Ernesto Pernia. Infrastructure and Poverty Reduction: What Is The Connection? ERD Policy Brief no 13. Januari 2003.
Anwar, Alizar. Pelayanan Air Minum Wilayah Perkotaan di Indonesia. Journalist Workshop on Water Issue. Novotel Coralia, Bogor. 5-8 Desember, 2004.
Arief, Sritua. Teori dan Kebijaksanaan pembangunan. Jakarta: CIDES. 1998.
Aziz, Iwan Jaya. Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Implikasinya Di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. 1994.
Bayes, Abdul. Infrastructure And Ruraldevelopment: Insights From A Grameen Bank Village Phone Initiative In Bangladesh. Agricultural Economics 25 261–272. 2001.
Benjamin, D., dan L. Brandt. 1999. Markets and Inequality In Rural China: Parallels with the past. American Economic Review 89 (2): 292–295.
Biro Pers dan Media Rumah Tangga KePresidenan. Sambutan Presiden RI pada Acara Peresmian Pembukaan Kongres ke-16 ISEI di Manado. Tanggal 18 Juni 2006.
Blank, M. Selecting Among Anti-Poverty Policies: Can An Economist Be Both Critical And Caring? Review of Social Economy, 61 (4) 447-469
BPS. Berita resmi Tingkat kemiskinan di Indonesia 2005-2006. No 47/IX/1 September 2006
CGI. Investing for Growth: The world bank brief for CGI. Executive Summary. 2006.
Cronin, Francis J et al. The Rural Economic Development Implication Of Telecomunications: Evidence From Pennsylvania. Telecomunications Policy, V01. 19, N0.7, pp. 545-559, 1995.
Chenery, Hollis, et al. Redistribution With Growth. Cambridge: oxford university press. 1974 dalam Irma Adelman. A Poverty-Focused Approach To Development Policy.
D, Canning. Infrastructure Contibution To Aggregate Output. The World Bank. Policy Reseach Working Paper no 1929 dalam Lutfi. Pengaruh Infrastruktur Dan Institusi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEUI. Tidak diterbitkan. 2006.
Dercon, S., dan P. Krishnan. Changes In Poverty In Rural Ethiopia 1989–1995: Measurement, Robustness Tests And Decomposition. WPS/98-7. Oxford: Center for the Study of African Economics. 1998.
Devas, C. Financing mechanisms, in ADB/EDI, The Urban Poor And Basic Infrastructure Services In Asia And The Pacific: A Regional Seminar. January 22-28 1991, Manila, Philippines.
107
Duflo, Esther. Schooling And Labor Market Consequences Of School Construction In Indonesia: Evidence Of An Unusual Policy Experiment. NBER Working Paper 7860. Cambridge. 2000.
Excecutive Order 13010—Critical Infrastructure Protection. Federal Register, July 17 1996. Vol 61, No 138. Pp 37347-37350.
Fan, Shengen dan Connie Chan Kang. Road Development, Economic Growth And Poverty Reduction In China. IFPRI Research Report No 138. 2005.
FAO/WHO/UNU. Human Energy Requirements. Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation, FAO Food and Nutrition Technical Report Series, No 1. 2004.
Feres, J.C. Notes on the Measurement of Poverty by the Income Method. Cepal Review, No 61. 1997.
Foster, J. Absolute Versus Relative Poverty. American Economic Review, Vol.88 No 2, 1998.
Fox, W. Strategic options for urban infrastructure management. Urban Management Programme Policy Paper 17. Washington D.C: World Bank. 1994 dalam Rachel Mashika and Sally Barden. Infrastructure An Poverty: A Gender Analysis. UK: Bridge, SIDA report no 15. June 1997.
Garner and K, Short. Personal Assessments of minimum income and Expenses: What Do They Tell Us About ‘Minimum Living’ Thresholds And Equivalence Scales?. Elsevier Science. 2003.
Gordon, dan P Townsend (ed). Breadline Europe: The Measurement of Poverty. Bristol: Policy Press. 2001.
Gujarati, Damodar. Basic Econometric. 4th ed, Singapore: Mc Graw Hill, 2003.
Hanushek, Eric. The Role of School Improvement In Economic Development. Nber Working Paper no 12832. 2007.
Hussain, Intizar, Fuard Marikar and Sunil Thrikawala. Assessment Of Impacts Of Irrigation Infrastructure Development On Poverty Alleviation. Sri Lanka: Final Research Report, International Water Management Institute (IWMI) Colombo. 2002.
Hussain, Intizar., Mark Giordano dan Munir A. Hanjra. Agricultural Water and Poverty Linkages: Case Studies on Large and Small Systems. IWMI. 2003.
J, Foster, J.Greer, dan E. Thorbeke. A Class Of Decomposable Poverty Measures. Econometrica, 1984 vol. 52
J, Foster. Absolute Versus Relative Poverty. American Economic Review, vol.88, No.2, 1998.
JBICI. Impact of Irrigation Infrastructure Development on Dynamics of Incomes and Poverty: Econometric Evidence Using Panel Data from Sri Lanka. JBICI Research Paper No. 32. March 2007.
Jones, Stephen. Background Paper: Contribution Infrastructure To Growth And Poverty Reduction In East Asia And The Pacific. Oxford Policy Management. 2004.
Juanita. Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Medan: USU. 2002.
108
Khandker, S. Improving Rural Wages In India. Policy, Planning, and Research Working Paper 276. Washington, D.C: World Bank. 1989.
Kwon, Eunkyung. Infrastructure, Growth And Poverty Reduction In Indonesia: A Crosssectional Analysis. Asian Development Bank Institute. 2001.
Lister, R. The Exclusive Society: Citizenship and the Poor. London: Child Poverty Action Group. 1990.
Lustig, Nora. Investing in Health for Economic Development. UNU-WIDER Research Paper No. 2006/30
Malmberg, C. C., A. Ryan, and L. Pouliquen. Rural Infrastructure Services For Development And Poverty Reduction. Washington D.C: World Bank. 1997.
Masika, Rachel dan Sally Baden. Infrastructure and Poverty: A Gender Analysis. Institue of Development Studies. Report No. 51. June 1997.
Moteff, John, Claudia Copeland dan John Fischer. Critical Infrastructure: What Makes An Infrastructure Critical? Congressional Research Service. 2003.
P, Streeten. Poverty: Concepts and Measurement. Discussion Paper, No.6. Institute for Economic Development. 1989.
Perdana, Ari A. Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan. Kompas, Jumat 18 Maret 2005.
Pradhan dan Martin Ravalion. Measuring Poverty Using Qualitative Perceptions of Consumption Adequacy. Review of Economics and Statistics, Vol.82, No.3. 2000.
Quibria, M.G. Growth and Poverty: Lesson From The East Asian Miracle Revisited. Adb Institute Research Paper Series. No 33. Februari 2002.
Ravalion, Martin. Poverty Comparisons. Chur, Switzerland: Harwood Academic Publisher. 1994
Ravalion, Martin. Poverty Lines in Theory and Practice. LSMS Working Paper, No 133. Washington DC: World Bank. 1998.
Rein, M. Problems in the Definition and Measurement of Poverty. in Townsend (ed.). The Concept of Poverty. London: Heinneman, 1970.
Schultz, Paul. Education Investment and Returns. In Handbook Of Development Economics, vol 1, edited by H Chenery and TN Srinivasan. Elsevier Science Publisher. 1988.
Scott, J. Poverty and Wealth: Citizenship, Deprivation, and Priveledge. London: Longmann. 1994.
Sen, Amartya K. Poor, Relatively Speaking. Oxford Economic papers, July No.35. 1983.
Sida. Promoting Sustainable Livelihoods, Stockholm: Swedish International Co-operation Development Agency. 1996.
Skousen, Mark. Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Jakarta: Prenada. 2005.
SMERU. Seri Debat Pembangunan: Studi Kasus Indonesia. Laporan Lokakarya. Jakarta, Juli 2001.
Sumanta. Fenomena Lingkaran Kemiskinan Indonesia: Analisis Ekonomi Regional Data Panel Provinsi Tahun 1999-2002. unpublished. Tesis Pasca Sarjana FEUI. 2005.
109
Todaro, Michael P. Economic Development. Harlow: Addison Wesley. 2000.
Townsend, P. The International Analysis Of Poverty. New York: Harvester Wheatshef, 1993.
Vaughn, Roger dan Robert Pollard. Rebuilding America, Vol.I, planning and managing public works in the 1980s. Council of State Planning Agencies. Washington DC, 1984: 1-2, in Mohn Moteff, Claudia Copeland dan John Fischer. Critical Infrastructure: What Makes An Infrastructure Critical? Congressional Research Service. 2003.
Vidyaratne, D.B.P.S. Methhodology for Computation of Poverty Line and Poverty Statistics for Sri Lanka. Manila, 2004.
110
LAMPIRAN 1. Persamaan Pertama
309092,600188,01185,0
==Chow
F tabel (27, 325, 0.05) adalah 1,46.
(fixed versus random effects)
H0: random effects
Chi-square (13 d.f.) 137.22722
p-value 0.0000000
Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-1)) -0.061154 0.017346 -3.525608 0.0005
LOG(AIR?(-1)) -0.004567 0.012506 -0.365185 0.7152LOG(JLKAB?(-1)) -0.015629 0.024336 -0.642195 0.5212LOG(JLNEG?(-1)) 0.024247 0.013193 1.837799 0.0671
LOG(JLPROP?(-1)) 0.015970 0.014926 1.069948 0.2855LOG(KESRS?(-1)) -0.009667 0.011422 -0.846307 0.3981LOG(PKMAS?(-1)) 0.100252 0.037437 2.677892 0.0078
LOG(TEL?(-1)) -0.090548 0.012552 -7.214039 0.0000LOG(PENDMNGAH?(
-1)) -0.046005 0.036621 -1.256266 0.2100
LOG(PEND1?(-1)) -0.130313 0.044783 -2.909882 0.0039DKRISIS? 0.227723 0.010706 21.27047 0.0000
LOG(LISTRK?(-1)) -0.204153 0.020241 -10.08593 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.656329 0.035883 18.29062 0.0000
Fixed Effects _ACEH--C 0.701634
_SUMUT--C 0.878204 _SUMBAR--C 0.712576
_RIAU--C 0.666565 _JAMBI--C 0.585666
_SUMSEL--C 1.454258 _BENGKULU--C -0.047548 _LAMPUNG--C 0.788778 _JAKARTA--C 0.769404
_JABAR--C 0.928485 _JATENG--C 0.997127 _YOGYA--C 0.991109 _JATIM--C 1.136223 _BALI--C 0.806447 _NTB--C 0.730158 _NTT--C 0.659909
111
_KALBAR--C 0.762620 _KALTENG--C 0.550411 _KALSEL--C 0.594797 _KALTIM--C 0.778945 _SULUT--C 0.733435
_SULTENG--C 0.724575 _SULSEL--C 0.783183 _SULTRA--C 0.674713
Weighted Statistics R-squared 0.991129 Mean dependent var -2.594010Adjusted R-squared 0.990053 S.D. dependent var 1.437666S.E. of regression 0.143382 Sum squared resid 6.105841F-statistic 921.7198 Durbin-Watson stat 2.012943Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.954711 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.949221 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.155669 Sum squared resid 7.197116Durbin-Watson stat 2.558943 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.388766 0.075517 5.148061 0.0000
LOG(IRIGASI?(-1)) -0.010873 0.008237 -1.320050 0.1878LOG(AIR?(-1)) -0.021377 0.010003 -2.137070 0.0334
LOG(JLKAB?(-1)) -0.015884 0.015260 -1.040841 0.2987LOG(JLNEG?(-1)) -0.056206 0.012066 -4.658291 0.0000
LOG(JLPROP?(-1)) -0.026054 0.010612 -2.455151 0.0146LOG(KESRS?(-1)) -0.006865 0.005773 -1.188994 0.2353LOG(PKMAS?(-1)) 0.052715 0.025623 2.057351 0.0405
LOG(TEL?(-1)) 0.040476 0.013499 2.998502 0.0029LOG(PENDMNGAH?(
-1)) 0.069481 0.020442 3.398850 0.0008
LOG(PEND1?(-1)) 0.005272 0.036670 0.143759 0.8858DKRISIS? 0.097124 0.008594 11.30126 0.0000
LOG(LISTRK?(-1)) -0.116177 0.016851 -6.894219 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.929303 0.013096 70.96092 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.980960 Mean dependent var -2.600306Adjusted R-squared 0.980187 S.D. dependent var 1.195992S.E. of regression 0.168348 Sum squared resid 9.069096F-statistic 1268.220 Durbin-Watson stat 1.897344Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.938964 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.936484 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.174101 Sum squared resid 9.699534
112
Durbin-Watson stat 2.635431 Autocorelation test
121.0)000171,0(3341
3340129,2211 −=
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −=h
h hitung < h kritis (1,645) maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat masalah
autocorrelation.
Multicorelation
Logirigasi (-1)
Logair (-1)
Logjlneg (-1)
Logjlprop (-1)
Logjlkab (-1)
Logkesrs (-1)
Logpkmas (-1)
Logtel (-1)
Logpendmngah (-1)
Logpend (-1)
Loglistrk (-1)
Logirigasi(-1) 1
logair(-1) -0,5397 1
logjlneg(-1) 0,4223 -0,2094 1
logjlprop(-1) 0,2284 -0,1618 0,8241 1
logjlkab(-1) 0,4072 -0,1561 0,7824 0,7497 1
logkesrs(-1) -0,2273 0,4597 0,1854 0,2946 0,3438 1
logpkmas(-1) 0,5402 -0,2082 0,9327 0,8000 0,8472 0,2244 1
logtel(-1) -0,4024 0,6421 -0,1609 -0,1265 -0,1431 0,2553 -0,1960 1
logpendmngah(-1) -0,1329 0,1982 0,4804 0,5279 0,5680 0,4355 0,4932 0,1514 1
logpend(-1) 0,5974 -0,3458 0,8199 0,6218 0,7686 0,1536 0,8816 -0,4214 0,3622 1
Loglistrk(-1) -0,6364 0,7376 -0,5783 -0,5684 -0,5132 0,1755 -0,6060 0,6990 -0,0519 -0,6894
1
Variable VIF 1/VIF Logpkmas(-1) 18,93 0,053 logjlneg(-1) 10,26 0,098 Logpend1(-1) 8,18 0,122 loglistrk(-1) 7,80 0,128 Logjlprop(-1) 6,24 0,160 Logjlkab(-1) 4,61 0,217 Logair(-1) 3,43 0,292 Logirigasi(-1) 3,34 0,300 Logtel(-1) 2,92 0,343 Logpendmngah(-1) 2,19 0,457 Logkesrs(-1) 1,83 0,546 Mean VIF 6,34
VIF > 10 terdapat multicorelation. 2. Persamaan kedua (lag 1)
113
919.50189.01118.0
==testchow Hausman Test (fixed versus random effects) H0: random effects
Chi-square (12 d.f.) 141.96543 p-value 0.0000000
Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-1)) -0.058331 0.017542 -3.325244 0.0010
LOG(AIR?(-1)) -0.010030 0.012579 -0.797351 0.4259LOG(JLKAB?(-1)) -0.000869 0.024857 -0.034944 0.9721
LOG(JLNEGPROP?(-1))
0.015928 0.022412 0.710691 0.4778
LOG(KES4?(-1)) -0.003639 0.010173 -0.357684 0.7208LOG(KES1?(-1)) 0.109267 0.035196 3.104527 0.0021LOG(TEL?(-1)) -0.082086 0.011544 -7.110498 0.0000
LOG(PENDMNGAH?(-1))
-0.050295 0.036304 -1.385382 0.1670
LOG(PEND1?(-1)) -0.111849 0.044955 -2.487993 0.0134DKRISIS? 0.227149 0.011022 20.60811 0.0000
LOG(LISTRK?(-1)) -0.202281 0.020517 -9.859228 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.662323 0.035725 18.53967 0.0000
Fixed Effects _ACEH--C 0.851549
_SUMUT--C 1.038225 _SUMBAR--C 0.856720
_RIAU--C 0.833751 _JAMBI--C 0.761453
_SUMSEL--C 1.589684 _BENGKULU--C 0.147755 _LAMPUNG--C 0.935371 _JAKARTA--C 0.755690
_JABAR--C 1.004041 _JATENG--C 1.087918 _YOGYA--C 1.081111 _JATIM--C 1.234390 _BALI--C 0.957893 _NTB--C 0.883964 _NTT--C 0.809906
_KALBAR--C 0.922278 _KALTENG--C 0.734662 _KALSEL--C 0.723770 _KALTIM--C 0.937326 _SULUT--C 0.918371
_SULTENG--C 0.914376 _SULSEL--C 0.907133
114
_SULTRA--C 0.822955 Weighted Statistics
R-squared 0.991030 Mean dependent var -2.596161Adjusted R-squared 0.989976 S.D. dependent var 1.433584S.E. of regression 0.143527 Sum squared resid 6.138795F-statistic 940.6809 Durbin-Watson stat 2.004123Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.954789 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.949479 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.155274 Sum squared resid 7.184739Durbin-Watson stat 2.574276 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1991 2004 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 334 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.375412 0.104982 3.575951 0.0004
LOG(IRIGASI?(-1)) -0.009678 0.008470 -1.142615 0.2540LOG(AIR?(-1)) -0.029127 0.010829 -2.689647 0.0075
LOG(JLKAB?(-1)) 0.000761 0.016244 0.046848 0.9627LOG(JLNEGPROP?(-
1)) -0.063314 0.013814 -4.583446 0.0000
LOG(KES4?(-1)) 0.019944 0.007000 2.849350 0.0047LOG(KES1?(-1)) -0.021775 0.026854 -0.810881 0.4180LOG(TEL?(-1)) 0.032756 0.013533 2.420387 0.0161
LOG(PENDMNGAH?(-1))
0.079138 0.019859 3.984975 0.0001
LOG(PEND1?(-1)) 0.012423 0.029957 0.414689 0.6786DKRISIS? 0.111817 0.009881 11.31639 0.0000
LOG(LISTRK?(-1)) -0.113788 0.017851 -6.374149 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.927633 0.013289 69.80584 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.980236 Mean dependent var -2.574685Adjusted R-squared 0.979497 S.D. dependent var 1.165106S.E. of regression 0.166829 Sum squared resid 8.934031F-statistic 1326.729 Durbin-Watson stat 1.891008Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.938984 Mean dependent var -1.760457Adjusted R-squared 0.936703 S.D. dependent var 0.690813S.E. of regression 0.173801 Sum squared resid 9.696377Durbin-Watson stat 2.623036 Test Multicorelation Variable VIF 1/VIF Loglistrk(-1) 7,23 0,1383 Logpend1(-1) 6,04 0,1656
115
logjlnegprop(-1) 5,81 0,1721 Logkes1(-1) 4,52 0,2213 logjlkab(-1) 4,20 0,2384 logtel(-1) 3,49 0,2868 logair(-1) 3,28 0,3046 logirigasi(-1) 2,86 0,3499 logpendmngah(-1) 2,28 0,4395 Logkes4(-1) 1,61 0,6229 Mean VIF 4,13
3. Persamaan ketiga (Lag 2)
78207,40199,00952,0
==testchow
Hausman: Hausman Test
(fixed versus random effects)
H0: random effects Chi-square (12 d.f.) 122,59881
p-value 0.0000000 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 310 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-2)) -0.014334 0.019862 -0.721676 0.4711
LOG(AIR?(-2)) -0.031419 0.009793 -3.208481 0.0015LOG(JLKAB?(-2)) 0.031366 0.022560 1.390360 0.1655
LOG(JLNEGPROP?(-2))
0.024836 0.019523 1.272177 0.2044
LOG(KES4?(-2)) -0.037484 0.009556 -3.922710 0.0001LOG(KES1?(-2)) 0.178186 0.041618 4.281474 0.0000LOG(TEL?(-2)) -0.028979 0.011392 -2.543798 0.0115
LOG(PENDMNGAH?(-2))
0.173485 0.040290 4.305849 0.0000
LOG(PEND1?(-2)) -0.042876 0.041570 -1.031419 0.3033DKRISIS? 0.206278 0.010255 20.11448 0.0000
LOG(LISTRK?(-2)) -0.211782 0.016648 -12.72149 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.630521 0.040095 15.72580 0.0000
Fixed Effects _ACEH--C 1.100110
_SUMUT--C 1.331540 _SUMBAR--C 1.153227
_RIAU--C 1.201516 _JAMBI--C 1.050357
116
_SUMSEL--C 1.963650 _BENGKULU--C 0.360722 _LAMPUNG--C 1.291206 _JAKARTA--C 1.253206
_JABAR--C 1.589100 _JATENG--C 1.592551 _YOGYA--C 1.366712 _JATIM--C 1.712124 _BALI--C 1.227069 _NTB--C 1.363589 _NTT--C 1.104044
_KALBAR--C 1.209939 _KALTENG--C 0.834042 _KALSEL--C 1.042792 _KALTIM--C 1.215363 _SULUT--C 1.113796
_SULTENG--C 1.099984 _SULSEL--C 1.160172 _SULTRA--C 1.056259
Weighted Statistics R-squared 0.990343 Mean dependent var -2.782133Adjusted R-squared 0.989109 S.D. dependent var 1.473135S.E. of regression 0.153735 Sum squared resid 6.475856F-statistic 802.8135 Durbin-Watson stat 2.153452Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.950940 Mean dependent var -1.776423Adjusted R-squared 0.944673 S.D. dependent var 0.691670S.E. of regression 0.162692 Sum squared resid 7.252441Durbin-Watson stat 2.602426 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2004 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 310 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.437645 0.099499 4.398475 0.0000
LOG(IRIGASI?(-2)) -0.004255 0.009239 -0.460475 0.6455LOG(AIR?(-2)) -0.025872 0.010872 -2.379697 0.0180
LOG(JLKAB?(-2)) 0.007520 0.016996 0.442467 0.6585LOG(JLNEGPROP?(-
2)) -0.082201 0.013313 -6.174306 0.0000
LOG(KES4?(-2)) -0.002608 0.006935 -0.376140 0.7071LOG(KES1?(-2)) 0.004293 0.026355 0.162886 0.8707LOG(TEL?(-2)) 0.056718 0.014120 4.016878 0.0001
LOG(PENDMNGAH?(-2))
0.091981 0.021316 4.315138 0.0000
LOG(PEND1?(-2)) 0.019476 0.033978 0.573193 0.5669DKRISIS? 0.103075 0.009949 10.36017 0.0000
LOG(LISTRK?(-2)) -0.131237 0.017553 -7.476733 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.917926 0.013919 65.94617 0.0000
Weighted Statistics
117
R-squared 0.980012 Mean dependent var -2.632866Adjusted R-squared 0.979204 S.D. dependent var 1.197567S.E. of regression 0.172699 Sum squared resid 8.858010F-statistic 1213.468 Durbin-Watson stat 1.953463Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.934809 Mean dependent var -1.776423Adjusted R-squared 0.932175 S.D. dependent var 0.691670S.E. of regression 0.180133 Sum squared resid 9.636988Durbin-Watson stat 2.659470 Matriks Korelasi
VIF
4. Persamaan ketiga (Lag 3)
479399,501846,0
101184,0==testchow
Hausman Test (fixed versus random
effects)
H0: random effects
Chi-square (12 d.f.) 129.93816
p-value 0.0000000
118
Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1993 2004 Included observations: 12 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 286 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(IRIGASI?(-3)) -0.039543 0.023030 -1.717044 0.0872
LOG(AIR?(-3)) -0.053942 0.014626 -3.688063 0.0003LOG(JLKAB?(-3)) 0.042689 0.025016 1.706441 0.0892
LOG(JLNEGPROP?(-3))
0.014612 0.022167 0.659165 0.5104
LOG(KES4?(-3)) -0.021615 0.011587 -1.865373 0.0633LOG(KES1?(-3)) 0.070949 0.042232 1.679988 0.0942LOG(TEL?(-3)) -0.065672 0.011727 -5.599956 0.0000
LOG(PENDMNGAH?(-3))
0.189265 0.044432 4.259643 0.0000
LOG(PEND1?(-3)) -0.102230 0.057744 -1.770380 0.0779DKRISIS? 0.232656 0.010018 23.22482 0.0000
LOG(LISTRK?(-3)) -0.164632 0.022239 -7.402744 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.590537 0.048682 12.13040 0.0000
Fixed Effects _ACEH--C 0.705579
_SUMUT--C 0.815707 _SUMBAR--C 0.696378
_RIAU--C 0.699909 _JAMBI--C 0.624642
_SUMSEL--C 1.604419 _BENGKULU--C -0.101478 _LAMPUNG--C 0.783474 _JAKARTA--C 0.532513
_JABAR--C 1.006190 _JATENG--C 1.060605 _YOGYA--C 0.849033 _JATIM--C 1.183306 _BALI--C 0.717299 _NTB--C 0.927051 _NTT--C 0.733106
_KALBAR--C 0.783741 _KALTENG--C 0.455999 _KALSEL--C 0.601861 _KALTIM--C 0.772822 _SULUT--C 0.682850
_SULTENG--C 0.751323 _SULSEL--C 0.702005 _SULTRA--C 0.711162
Weighted Statistics R-squared 0.989452 Mean dependent var -2.736240Adjusted R-squared 0.987975 S.D. dependent var 1.412928S.E. of regression 0.154940 Sum squared resid 6.001579F-statistic 670.0174 Durbin-Watson stat 2.169076Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.949014 Mean dependent var -1.788476
119
Adjusted R-squared 0.941876 S.D. dependent var 0.693149S.E. of regression 0.167111 Sum squared resid 6.981509Durbin-Watson stat 2.576006 Dependent Variable: LOG(POV?) Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1993 2004 Included observations: 12 Number of cross-sections used: 24 Total panel (unbalanced) observations: 286 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.323481 0.116886 2.767493 0.0060
LOG(IRIGASI?(-3)) -0.020688 0.009664 -2.140853 0.0332LOG(AIR?(-3)) -0.039337 0.012856 -3.059931 0.0024
LOG(JLKAB?(-3)) 0.015127 0.016482 0.917816 0.3595LOG(JLNEGPROP?(-
3)) -0.065280 0.015636 -4.175021 0.0000
LOG(KES4?(-3)) 0.011749 0.010597 1.108728 0.2685LOG(KES1?(-3)) -0.008700 0.031948 -0.272325 0.7856LOG(TEL?(-3)) 0.034307 0.016545 2.073536 0.0391
LOG(PENDMNGAH?(-3))
0.040762 0.024069 1.693541 0.0915
LOG(PEND1?(-3)) 0.040447 0.040478 0.999232 0.3186DKRISIS? 0.115490 0.010636 10.85870 0.0000
LOG(LISTRK?(-3)) -0.104374 0.020723 -5.036665 0.0000LOG(POV?(-1)) 0.925874 0.015742 58.81458 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.978938 Mean dependent var -2.613822Adjusted R-squared 0.978013 S.D. dependent var 1.192165S.E. of regression 0.176776 Sum squared resid 8.531198F-statistic 1057.413 Durbin-Watson stat 1.994969Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.930979 Mean dependent var -1.788476Adjusted R-squared 0.927945 S.D. dependent var 0.693149S.E. of regression 0.186063 Sum squared resid 9.451100Durbin-Watson stat 2.703205 Test multicorelation
120