Upload
dokiet
View
271
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP
KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE
SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI
PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR
Oleh :
MARLYNA SUNARYO
F24102052
2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Marlyna Sunaryo. F24102052. Mempelajari pengaruh kadar air terhadap karakteristik mutu dan minimalisasi waste selama proses produksi snack Taro net di PT. Rasa Mutu Utama, Bogor. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ir. Maulana W. Jumantara. 2006.
RINGKASAN
Perkembangan bisnis snack di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini semakin menggelembung. Pada tahun 2004, pangsa pasar snack modern mencapai 59.500 ton dan nilai bisnisnya mencapai 1,9 triliun (Hidayat, 2006). Snack merupakan makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari (Muchtadi, et al., 1988). PT. Rasa Mutu Utama memproduksi snack dengan merk dagang “Taro”, yang diproduksi untuk PT. Unilever Indonesia.
Snack Taro net merupakan single layer pellet berbentuk net yang diproduksi secara semi-kontinyu menggunakan teknologi ebisen yang berasal dari Jepang. Snack ebisen ini bukan merupakan produk ekstrusi tetapi lebih menyerupai kerupuk. Proses produksi ebisen meliputi tahap pemasakan, sheeting, pendinginan dengan cooling conveyor, rolling, aging, pemotongan, pengeringan pertama (first dryer), pengeringan kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan.
Untuk mendapatkan mutu produk akhir yang baik, maka mutu bahan harus dikendalikan mulai dari bahan baku, selama proses hingga penyimpanan produk akhir. Salah satu parameter yang sangat menentukan mutu produk snack adalah kadar air, yang akan menentukan mutu fisiko-kimia, biologis dan organoleptik produk.
Pemasakan bahan dilakukan dengan mencampurkan terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder dengan sejumlah air pada steam cooker, lalu adonan akan masuk ke mesin sheeting dan dihasilkan adonan berbentuk lembaran (sheet). Jumlah air yang ditambahkan pada proses pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air adonan, ketebalan dan elastisitas lembaran adonan. Setelah itu, lembaran adonan didinginkan pada cooling conveyor, lalu digulung menjadi bentuk rol dan diaging pada suhu kamar. Selama proses pendinginan sampai rol adonan diletakkan di rak aging memungkinkan adanya cemaran mikrobiologi yang bersumber dari udara, pekerja, alat dan sagu tabur.
Selama proses aging, pati mengalami retrogradasi yaitu kristalisasi kembali yang dapat dikarakteristik oleh fenomena fisik dan kimia, seperti perubahan tekstur, migrasi air, kristalisasi pati dan interaksi komponen. Perbedaan kelembaban udara ruang aging tidak berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati. Lembaran yang berada pada posisi paling luar memiliki laju penurunan kadar air paling cepat, kemudian posisi paling dalam dan posisi paling tengah yang memiliki laju penurunan kadar air paling lambat. Semakin cepat laju penurunan kadar air, maka tekstur lembaran adonan akan cepat mengeras. Endospora bakteri dan mikotoksin kapang terbentuk pada fase pertumbuhan lambat sebelum memasuki fase pertumbuhan tetap, yang berlangsung pada waktu aging 20 jam, sehingga waktu aging harus dibatasi.
Setelah diaging, sheet dipotong menjadi potongan kecil berbentuk persegi panjang yang biasa disebut “pelet”. Pelet-pelet ini kemudian dikeringkan pada
mesin pengering pertama (first dryer) dan disimpan sebagai stok di gudang pelet. Kadar air pelet berpengaruh terhadap tekstur pelet selama proses pengeringan. Semakin rendah kadar air pelet, maka tekstur pelet akan mudah rapuh. Selain itu, kadar air juga mempengaruhi mutu mikrobiologis pelet selama penyimpanan. Semakin tinggi kadar air pelet, maka potensi pertumbuhan mikroorganisme semakin besar. Berdasarkan kurva sorpsi isoterm pelet first dryer aman disimpan pada tingkat kadar air 12.41-14.17% untuk gudang penyimpanan Taro dengan RH ruangan 70-80%.
Sebelum digoreng, pelet yang berasal dari gudang dikeringkan kembali pada mesin pengering kedua (second dryer) sampai kadar air 8-9.5% (Serena, 1996). Kemudian pelet digoreng, ditambahkan flavour dan dikemas. Kadar air pelet second dryer berpengaruh nyata terhadap densitas kamba hasil goreng. Semakin tinggi kadar air pelet, maka densitas kamba hasil goreng semakin rendah. Selain itu, aw hasil goreng mempengaruhi tingkat kerenyahan produk. Semakin tinggi aw produk maka tingkat kerenyahan produk semakin rendah.
Produk snack memiliki aw yang rendah yaitu 0.27-0.33, sehingga produk aman dari cemaran mikrobiologis asalkan produk bisa dijaga dari kelembaban yang memungkinkan kenaikan kadar air. Mutu mikrobiologis snack Taro net sangat baik, karena memenuhi semua persyaratan mikrobiologis SNI makanan ringan ekstrudat.
Selama rangkaian proses produksi snack Taro net banyak dihasilkan waste, yang merupakan bahan baku yang tidak dapat diproses lebih lanjut. Waste paling banyak ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan pertama dan pengeringan kedua. Jumlah waste pada tahap pemotongan diperkirakan antara 0.39–0.73%, sedangkan jumlah waste pada tahap pengeringan pertama 0.26-0.43%. Jumlah waste pada tahap pengeringan kedua 1.89–2.97% per shift, yang diperoleh dari 5 mesin pengering kedua yang berbeda. Berdasarkan uji Post Hoc ANOVA pada mesin pengering kedua dapat disimpulkan bahwa mesin 1 dan mesin 6 memiliki perbedaan jumlah waste yang signifikan dibandingkan mesin pengering kedua yang lain.
Identifikasi penyebab tingginya jumlah waste disebabkan oleh 5 faktor yaitu manusia, metode, bahan, alat/wadah dan lingkungan. Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah yang meliputi training karyawan, modifikasi metode dan mesin, perbaikan lingkungan dan kontrol proses.
MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP
KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE
SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI
PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MARLYNA SUNARYO
F24102052
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP
KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE
SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI
PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MARLYNA SUNARYO
F24102052
Dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 di Bogor
Tanggal lulus : 7 Oktober 2006
Menyetujui,
Bogor, 28 Desember 2006
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Ir. Maulana W. Jumantara Pembimbing Akademik Pembimbing Lapang
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 di
Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara,
dari keluarga Amie Sunaryo dan Willianny. Penulis
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kesatuan
Bogor sampai tahun 1996. Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Kesatuan
Bogor, dan pada tahun 2002 menyelesaikan Sekolah
Menengah Umum di SMU Regina Pacis Bogor. Tahun 2002, penulis diterima
sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB).
Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan kerohanian
PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), baik sebagai aktivis maupun pengurus.
Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitian, dan aktif mengikuti
seminar-seminar pangan, seperti Seminar dan Pelatihan HACCP 2004 (Hazard
Analytical Critical Control Point), Training Auditor HACCP 2006, Seminar
Nasional Teknologi Perisa dan Aplikasinya, Pangan Organik dan lain-lain. Pada
tahun 2005, penulis terpilih sebagai 10 mahasiswa berprestasi Fakultas Teknologi
Pertanian IPB.
Pada bulan Februari – Juni 2006, penulis melakukan kegiatan magang
sebagai tugas akhir (skripsi) di PT. Unilever Indonesia dengan judul Mempelajari
Pengaruh Kadar Air terhadap Karakteristik Mutu dan Minimalisasi Waste Selama
Proses Produksi Snack Taro net di PT. Rasa Mutu Utama, Bogor di bawah
bimbingan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ir. Maulana W. Jumantara.
KATA PENGANTAR
Segala Puji, Hormat serta Syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus
Kristus atas segala rahmat, kasih karunia dan pemeliharaan-Nya yang tidak putus-
putusnya dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
kegiatan magang dan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak
terhingga kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis, yaitu :
1. Kedua orang tua penulis, yang tidak habis-habisnya memberikan kasih,
perhatian, dukungan dan doa kepada penulis. Adikku, Juhadi yang selalu siap
sedia membantu penulis, Suk-suk, Pak-pak yang senantiasa mendukung
studiku.
2. Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi. yang telah membimbing penulis selama
studi hingga penulisan skripsi. Terima kasih atas segala nasehat, bimbingan
dan masukannya kepada penulis.
3. Bpk. Ir. Maulana W. Jumantara selaku pembimbing lapang yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba banyak ilmu di PT.
Unilever Indonesia. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan, ilmu,
nasehat, bimbingan dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.
4. Ibu Ir. Elvira Syamsir, MSi. yang telah berkenan menjadi dosen penguji.
5. Bpk. Yogi Sapta dan Pak Budi yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan kegiatan magang di PT. Rasa Mutu Utama dan
menerima penulis dengan baik.
6. Pak Lukman, Pak Slamet Supriyadi, Mas Wiwit yang telah memberikan
waktunya untuk membantu penulis selama melaksanakan kegiatan magang
dan masukannya.
7. Pak Wakiyo, QC RMU : Pak Fajar, Pak Nanang, Pak Siswoyo; Supervisor
RMU : Pak Atik, Pak Susilo, Pak Idrus, Pak Udin; leader produksi, karyawan
produksi, RMS dan FPS yang telah sangat membantu kelancaran penulis
dalam mengerjakan project dan trial. Staf RMU: Pak Asbi, Pak Makpur, Pak
Mudji, Pak Kamto, Mba Yuli, Mba Yani, Mba Unil, Pak Richard, Mba Indri,
Ibu Jumini, Om Firzon; Satpam RMU, dll yang telah menerima penulis
dengan ramah dan segala bantuannya.
8. Ibu Serena, Ibu Penny, Pak Sukardiman, Pak Eben, Pak Kusmanto, Ibu
Ummy, Mba Peni, Pak Yono, Pak Yusuf, Pak Yusman, Pak Sule, dll yang
telah menerima penulis dengan ramah dan segala bantuannya.
9. Pak Ali Manshur, Pak Nunung, Pak Heri, Pak Bambang terima kasih atas
segala bantuannya, serta semua pihak di PT. Unilever Indonesia dan PT. Rasa
Mutu Utama yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
segala keterbukaan dan keramahannya selama penulis magang.
10. Teman-teman seperjuanganku Qco dan Astri, terima kasih atas dukungan dan
waktu-waktu yang kita habiskan bersama; Steisi dan Izal, terima kasih atas
dukungan, kerja sama dan kekompakan yang ada; Gol B-4, teman
seperjuangan ngerjain laporan, terima kasih buat dukungan dan kerja samanya,
dan semua temen-teman TPG 39, terima kasih atas kebersamaannya selama di
TPG.
11. My sisters: Dika, Vivi; Christ, Ko Hardi, teman-teman PMK IPB, Perkantas
Bogor, GBIB, KNM 2006 terima kasih atas persahabatan, dukungan dan doa
yang terus menguatkan penulis. HE giveth more grace when the burden grows
greater and HE sendeth more strength when the labors increase...
Bogor, Oktober 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
DAFTAR TABEL.....................................................................................
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
I. PENDAHULUAN.................................................................................
A. LATAR BELAKANG....................................................................
B. TUJUAN.........................................................................................
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN................................................
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN...............
B. LOKASI PERUSAHAAN..............................................................
C. BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN...................
D. STRUKTUR ORGANISASI..........................................................
E. MANAJEMEN PERUSAHAAN...................................................
F. PERATURAN KERJA...................................................................
G. KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA.................
III. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
A. SNACK FOOD ...............................................................................
1. Karakteristik Mutu Snack ......................................................
2. Aspek Mikrobiologi Produk Snack ........................................
B. AIR DALAM BAHAN PANGAN ................................................
C. PERANAN AIR SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK .........
D. PATI................................................................................................
1. Pati untuk Snack.......................................................................
2. Gelatinisasi Pati........................................................................
3. Retrogradasi Pati......................................................................
E. PROSES PEMBUATAN SNACK TARO NET..............................
1. Bahan-bahan.............................................................................
2. Proses Pembuatan...................................................................
IV. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................
iv
vi
ix
xi
xii
1
1
2
3
3
6
6
8
8
9
10
12
12
14
17
18
21
24
24
27
29
32
32
37
43
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................
B. TAHAPAN PENELITIAN.............................................................
C. METODE ANALISIS.....................................................................
V. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
A. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU BAHAN BAKU.................................................................
1. Mutu Biologis Bahan Baku.......................................................
2. Mutu Fisiko-kimia Bahan Baku................................................
3. Mutu Organoleptik Bahan Baku...............................................
B. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ADONAN DAN LEMBARAN ADONAN (SHEET).......
1. Pengaruh Kadar Air Pemasakkan terhadap MutuOrganoleptik Adonan..............................................................
2. Pengaruh Kadar Air Pemasakkan terhadap Mutu FisikLembaran Adonan (Sheet).......................................................
3. Pengaruh Kadar Air Lembaran Adonan terhadap PotensiPertumbuhan Mikrobiologi Selama Proses Pendinginan (Cooling)..................................................................................
4. Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama ProsesAging........................................................................................
5. Pengaruh Kelembaban Udara Ruang Aging terhadap ProsesRetrogradasi Pati Lembaran Adonan pada ProsesAging.......................................................................................
6. Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air Selama Aging terhadap Tekstur Lembaran Adonan.......................................................
C. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU PELET................................................................................
1. Tekstur Pelet............................................................................
2. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada PenyimpananPelet..........................................................................................
3. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet......................................................
D. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU HASIL GORENG..............................................................
1. Proses Penggorengan...............................................................
2. Ekspansi Hasil Goreng.............................................................
3. Mutu Organoleptik Hasil Goreng............................................
4. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan
43
46
50
57
57
57
62
63
64
64
66
69
72
77
78
79
79
80
81
82
82
85
87
Produk Akhir (Finish Product) ...............................................
E. MINIMALISASI WASTE...............................................................
1. Perhitungan Waste...................................................................
2. Diagram Sebab Akibat.............................................................
3. Upaya Minimalisasi Waste......................................................
VI. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
A. KESIMPULAN...............................................................................
B. SARAN...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
LAMPIRAN...............................................................................................
88
90
91
94
98
102
102
103
105
109
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi snack di Indonesia berdasarkan teknologi ...............
Tabel 2. Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000).....
Tabel 3. Pengukuran sifat fisik secara objektif selama proses produksi snack Taro net............................................................................
Tabel 4. Pengukuran sifat sensori selama proses produksi snack Taro net................................................................................................
Tabel 5. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba ......................
Tabel 6. Karakteristik sifat beberapa jenis pati........................................
Tabel 7. Mekanisme gelatinisasi pati........................................................
Tabel 8. Komposisi perisa snack Taro net................................................
Tabel 9. Ambang batas maksimum kadar air bahan baku........................
Tabel 10. Analisis mikrobiologi bahan baku snack Taro net......................
Tabel 11. Profil mikrobiologi tepung-tepungan..........................................
Tabel 12. Serangga-serangga yang menyerang serealia.............................
Tabel 13. Parameter uji organoleptik bahan baku snack Taro net..............
Tabel 14. Karakteristik organoleptik penampakan adonan.........................
Tabel 15. Analisa mikrobiologi udara ruang aging.....................................
Tabel 16. Waktu generasi beberapa mikroorganisme cemaran..................
Tabel 17. Hasil analisa mikrobiologi lembaran adonan selama aging.......
Tabel 18. Kecepatan pertumbuhan konstan mikroorganisme setiap fase...
Tabel 19. Kelembaban udara rak aging.......................................................
Tabel 20. Kadar air lembaran adonan setelah aging 8.5 jam......................
Tabel 21. Kemiringan rata-rata kurva regresi linear dan tingkat kekerasan lembaran adonan setelah aging 12 jam......................
Tabel 22. Kondisi pelet setelah pengeringan..............................................
Tabel 23. Densitas kamba hasil goreng.......................................................
Tabel 24. Deskripsi tekstur hasil goreng.....................................................
Tabel 25. Tingkat kerenyahan hasil goreng................................................
Tabel 26. Profil mikrobiologi breakfast cereal dan snack..........................
Tabel 27. Analisa kadar air dan mikrobiologi finish product.....................
Tabel 28. Upaya minimalisasi waste pada tahap pemotongan....................
13
15
16
16
17
26
28
37
57
58
59
61
64
65
71
72
73
74
77
77
78
80
86
87
87
89
89
100
Tabel 29. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua.........
Tabel 30. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua.........
Tabel 31. Kadar air lembaran adonan (%)..................................................
Tabel 32. Ketebalan lembaran adonan (mm)..............................................
Tabel 33. Elastisitas lembaran adonan .......................................................
100
101
115
116
117
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Snack ebisen berbentuk net.......................................................
Gambar 2. Kurva moisture sorption isoterm..............................................
Gambar 3. Kurva stabilitas bahan pangan..................................................
Gambar 4. Keterlibatan air selama proses produksi snack Taro net...........
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin.............................................
Gambar 6. Proses retrogradasi pati.............................................................
Gambar 7. Steam Cooker............................................................................
Gambar 8. Proses aging..............................................................................
Gambar 9. Mesin pengering pertama........................................................
Gambar 10. Mesin pengering kedua...........................................................
Gambar 11. Mesin penggorengan dan flavouring.......................................
Gambar 12. Diagram alir metodologi penelitian.........................................
Gambar 13. Susunan desikator...................................................................
Gambar 14. Kadar air lembaran adonan (%)..............................................
Gambar 15. Ketebalan rata-rata lembaran adonan (mm)............................
Gambar 16. Elastisitas rata-rata lembaran adonan......................................
Gambar 17. Waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging...............................................
Gambar 18. Kurva hubungan antara jumlah koloni dengan waktu aging...
Gambar 19. Kurva logaritmik pertumbuhan mikroorganisme....................
Gambar 20. Frekuensi waktu generasi beberapa mikroorganisme.............
Gambar 21. Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada suhu 31oC........
Gambar 22. Perubahan selama penggorengan deep frying.........................
Gambar 23. Kurva regresi hubungan antara kadar air pelet dengan densitas kamba........................................................................
Gambar 24. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan...................
Gambar 25. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan pertama.....
Gambar 26. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan kedua........
Gambar 27. Diagram sebab akibat waste tahap pemotongan.....................
Gambar 28. Diagram sebab akibat waste tahap pengeringan pertama........
Gambar 29. Diagram sebab akibat waste tahap pengeringan kedua...........
13
19
21
22
25
30
38
39
40
41
42
44
49
67
67
68
70
73
76
76
81
83
86
91
92
93
95
96
97
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Struktur organisasi PT Unilever Indonesia...........................
Lampiran 2. Beberapa mikotoksin utama dalam penyimpanan bahan pangan...................................................................................
Lampiran 3. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 01-3751-1995)...........
Lampiran 4. Persyaratan mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)....................
Lampiran 5. Persyaratan mutu gula kristal putih (SNI 01-3140-2000).....
Lampiran 6. Persyaratan mutu minyak goreng (SNI 01-3741-1995)........
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap kadar air adonan (%)............................................................................
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap ketebalan lembaran adonan (mm).........................................................
Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap elastisitas lembaran adonan...................................................................
Lampiran 10. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kelembaban udara (%) dengan kadar air (%)......................................................
Lampiran 11. Kemiringan kurva regresi linear antara kadar air sheet (%) dengan waktu aging (jam).....................................................
Lampiran 12. Hasil penyetimbangan kadar air pelet first dryer pada 4 tingkat RH.............................................................................
Lampiran 13. Kadar air kesetimbangan pelet first dryer pada 4 tingkat RH.........................................................................................
Lampiran 14. Kadar air rata-rata pelet second dryer...................................
Lampiran 15. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kadar air pelet (%) dengan densitas kamba (g/cm3)...........................................
Lampiran 16. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pemotongan.
Lampiran 17. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan pertama..................................................................................
Lampiran 18. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan kedua.....................................................................................
Lampiran 19. Transformasi data jumlah waste tahap pengeringan kedua..
Lampiran 20. Analisis ragam (ANOVA one-way) jumlah waste tahap pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua..........
Lampiran 21. Analisis Post Hoc ANOVA jumlah waste tahap
109
110
112
113
114
114
115
116
117
118
119
119
120
120
120
121
122
123
124
125
pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua..........
Lampiran 22. Homogenous subsets jumlah waste pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua.........................................
126
128
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsumsi snack telah menjadi sebuah hiburan di Amerika dan memiliki
kontribusi terhadap peningkatan asupan energi. Sebagian besar masyarakat
Amerika memperoleh 20% asupan kalori berasal dari konsumsi snack
(Ranhotra dan Vetter, 1991). Konsumsi snack bukan sebuah fenomena baru,
tetapi telah menjadi ciri khas dari gaya hidup Amerika (McCarthy, 2002).
Penjualan snack di seluruh dunia terus-menerus mengalami peningkatan
dan konsumsi snack telah menjadi makanan keempat pada pola makan orang
Amerika. Di Eropa, trend dari snack sehat menghasilkan beberapa variasi
produk. Jerman telah menjadi pasar keripik kentang, di mana kacang
merupakan kategori snack yang memiliki tingkat penjualan paling tinggi. Di
Inggris, snack menjadi salah satu segmen terbesar dari industri pangan. Pasar
snack di Swedia telah mencapai 4 pon per kapita dengan keripik kentang,
produk ekstrusi dan kacang dengan peningkatan yang luar biasa (Ranhotra dan
Vetter, 1991).
Perkembangan bisnis snack di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini
semakin menggelembung. Survey CIC (Corinthian Infopharma Corpora)
tahun 2005 menyebutkan pada tahun 2004 pangsa pasar snack modern
mencapai 59.500 ton atau naik dari tahun 2003 yang hanya sebesar 53.600 ton.
Sementara, nilai bisnisnya pada tahun 2004 sebesar Rp. 1,9 triliun, sedangkan
tahun 2003 Rp. 1,7 triliun. Pada tahun 2002 nilai bisnis snack sudah mencapai
Rp. 1,5 triliun. Sampai pertengahan tahun 2005 terdapat 124 perusahaan yang
berkiprah di industri snack modern di Indonesia dengan total kapasitas
produksi 144.400 ton (Hidayat, 2006).
Snack merupakan makanan ringan yang dimakan di antara ketiga waktu
makanan utama dalam sehari. Snack beragam berdasarkan bentuk, cara
pengolahan dan penyajiannya (Muchtadi, et al., 1988). Snack juga merupakan
komponen penting dalam makanan yang disajikan pada pesta, dan biasanya
berfungsi sebagai pelengkap pada waktu makan (Ranhotra dan Vetter, 1991).
Dewasa ini, teknologi snack semakin maju sehingga dihasilkan produk
snack yang beraneka ragam. Teknologi yang banyak berkembang di Indonesia
saat ini antara lain ebisen, extruder schaff, twist extruder, pelet extruder,
fabricated chips dan slice chip. Snack Taro merupakan single layer pellet
berbentuk net yang diproduksi secara semi-kontinyu menggunakan teknologi
ebisen yang berasal dari Jepang. Snack ebisen ini bukan merupakan produk
ekstrusi tetapi lebih menyerupai kerupuk.
Pada industri snack, kadar air merupakan parameter penting yang
menentukan kualitas produk dan menjadi titik kritis produk snack (Anonim2,
2006). Selama proses produksi dan penyimpanan snack, kadar air memegang
peranan penting dalam menentukan mutu fisiko-kimia, mikrobiologi dan
organoleptik produk. Oleh karena itu, pengontrolan kadar air produk selama
proses produksi diperlukan untuk menjaga konsistensi kualitas produk.
Hal lain yang menjadi masalah pada produksi Taro net adalah jumlah
waste yang cukup tinggi. Waste produk Taro net mencapai dua ton per
bulannya. Persentase waste terbesar ditemukan pada tahap pemotongan,
pengeringan pertama dan pengeringan kedua. Adanya waste ini
mengindikasikan adanya biaya (cost) yang hilang dan berpengaruh pada harga
pokok produksi (HPP).
B. TUJUAN
Tujuan dari pelaksanaan magang ini adalah :
1. Mempelajari proses pembuatan produk snack Taro net.
2. Mempelajari pengaruh kadar air terhadap karakteristik mutu snack Taro
net.
3. Mempelajari upaya minimalisasi waste selama proses produksi snack Taro
net.
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
PT Rasa Mutu Utama berdiri pada tahun 1985 yang berlokasi di Gunung
Putri, Bogor. Pada September 2003, PT. Rasa Mutu Utama diakuisisi oleh PT.
Unilever Indonesia lengkap dengan pabrik dan segala fasilitasnya.
PT Unilever Tbk merupakan suatu perusahaan yang berstatus PMA
(Penanaman Modal Asing) yang bergerak dalam bidang pengolahan makanan,
deterjen, sabun dan kosmetik. PT Unilever Tbk memiliki banyak anak cabang
yang tersebar di berbagai negara, termasuk di Indonesia. PT Unilever
Indonesia berdiri pertama kali pada tahun 1933 saat Indonesia masih berada di
bawah jajahan koloni Belanda. Pada saat Indonesia berada dalam
pemerintahan Jepang, kegiatan produksi Unilever dihentikan dan akhirnya
dimulai kembali setelah Perang Dunia II.
Sejarah berdirinya Unilever dapat dijelaskan sebagai berikut:
1885 Di Inggris, William Hasketh Lever dan saudaranya, James Darcy
Lever, mendirikan perusahaan sabun yang bernama Lever Brothers.
Produk pertama yang dihasilkan adalah Sunlight, diikuti dengan
Lux dan Lifebuoy.
1927 Di Belanda, terdapat perusahaan milik keluarga Anton Jurgens yang
telah berdiri sejak tahun 1868, dan memproduksi margarin.
Perusahaan ini kemudian bergabung dengan perusahaan margarin
milik keluarga Van den Bergh dan menamakannnya 'Margarine
Unie'. Cabang perusahaan di Inggris dinamakan 'Margarine Union'.
1930 Perusahaan margarin ’Margarin Unie’ tersebut bergabung dengan
perusahaan Lever Brothers. Setelah bergabung, perusahaan tersebut
berganti nama menjadi Unilever. Perusahaan ini memiliki 2 induk
pimpinan, yaitu: Unilever Ltd (pusat di London) dan NV Unilever
(pusat di Rotterdam).
1930 Pabrik sabun Lever's Zeepfabrieken NV didirikan di Angke,
Jakarta, oleh Charles Tatlow, direktur Unilever Ltd.
1934 Pabrik margarin Van der Bergh's Fabrieken NV mulai beroperasi di
Angke, Jakarta.
1936 Pabrik makanan Van der Bergh’s Fabrieken didirikan di Angke,
Jakarta.
1941 Pabrik sabun Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV
didirikan di Surabaya.
1944 Pabrik NSD (Non Soap Detergent) didirikan di Angke, Jakarta.
1948 Pabrik pengolahan minyak Oliefabriek Archa NV mulai beroperasi.
1952 Pabrik minyak Archa yang terletak di daerah perbankan Jakarta
dibeli oleh Unilever.
1957 Perkembangan Unilever terganggu karena adanya konfrontasi
antara Indonesia dengan Belanda dan Malaysia.
1964 Unilever berproduksi kembali di bawah pemerintahan Indonesia.
1966 Situasi Indonesia membaik (pemerintahan Orde Baru).
1967 Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU PMA nomor l tahun 1967
sehingga orang asing boleh memiliki perusahaannya kembali.
Dengan demikian, Unilever menjadi lebih leluasa dalam
menjalankan produksinya.
1970 Pabrik deterjen "Rinso" didirikan dan dioperasikan pertama kali di
Angke, Jakarta.
1980 Pabrik Lever's Zeepfabrieken NV, Van der Bergh's Fabrieken,
Oliefabriek Archa NV, dan Maatschappij ter Exploitatie der Colibri
Fabrieken NV melakukan merger dan menyatakan diri untuk
bernaung dalam perusahaan yang disebut PT Unilever Indonesia.
1981 PT Unilever Indonesia memulai kegiatan go public dengan cara
membuka penjualan saham sebesar 15% kepada para investor
Indonesia.
1982 Unilever melakukan relokasi pada karyawan produksi yang berasal
Colibri-Ngagel menuju Rungkut, Surabaya.
1983 Unilever melakukan pemindahan pabrik sabun dari Colibri-Ngagel
ke Rungkut. Kemudian, pabrik kosmetik Elida Gibbs didirikan di
Rungkut, Surabaya.
1989 Bisnis teh dimulai dengan teh merk lokal, Sariwangi. Proses
produksinya dilakukan oleh pihak ketiga di Citeureup, Bogor.
1990 Produk teh Sariwangi mulai dipasarkan.
1992 Pabrik Ice Cream Wall's mulai beroperasi di Cikarang, Bekasi.
TPM (Total Productive Maintenance) mulai diterapkan di pabrik
yang berlokasi di Angke.
1994 Pabrik sabun di Angke, Jakarta dipindahkan ke Rungkut, Surabaya.
Produksi Lipton Tea menggunakan ruang ganda di Citeureup,
Bogor. Selain itu, juga dilakukan perluasan area pabrik Wall's IC.
1995 Pabrik yang beroperasi di Angke, Jakarta mulai dipindahkan ke
Cikarang, Bekasi
1996 Pabrik NSD dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi.
Selain itu, juga dilakukan perluasan area cold storage pabrik Wall's
IC. PT Unilever Indonesia memperoleh penghargaan TPM
Excellence Award, untuk kategori I dari Japan Institute of Plant
Maintenance (JIPM)
1997 Pabrik makanan dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang,
Bekasi. PT Unilever Indonesia memperoleh akreditasi ISO 9001
untuk pabrik kosmetik di Rungkut, Surabaya dan diikuti pabrik
lainnya. Proses produksi teh instan dipindahkan ke Citeureup,
Bogor.
1998 TPM mulai dijalankan di Citeureup dan berhasil memperoleh
akreditasi ISO 9001.
1999 PT Unilever Indonesia meraih Unilever Safety Award, Bronze
Excellence Trophy ISO 14001, dan akreditasi Occupational Health
Service and Management System (OHSMS) BS 8800. Sistem
HACCP mulai diimplementasikan. Lisensi produksi teh berhasil
diperoleh.
2000 PT Unilever Indonesia berhasil meraih penghargaan TPM
Continuity Award, Unilever Safety Award, dan Silver Excellence
Trophy. Pabrik teh dan teh instan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi
2001 Unilever berhasil mengambil alih produksi Best Foods, Knorr, dan
kecap Bango.
2003 Unilever berhasil mengambil alih produksi snack Taro net dan Taro
stick serta mengakuisisi PT. Rasa Mutu Utama.
2004 Pabrik shampo dipindahkan ke Cikarang, Bekasi.
B. LOKASI PERUSAHAAN
PT Unilever Indonesia Tbk berpusat di Gedung Graha Unilever Jl. Gatot
Subroto Kav. 15 Jakarta. Lokasi pabrik Unilever berada di dua daerah.
Cikarang-Bekasi dan Rungkut-Surabaya. Ada dua bagian pabrik yang
berlokasi di kawasan industri Cikarang, yaitu pabrik SCC&C (Spread Cooking
Category & Culinary), TBB (Tea Based Beverage), dan Ice Cream Wall's
(ketiganya digolongkan pabrik Foods) dan pabrik NSD (Non Soap Detergent),
dengan alamat Jl. Jababeka IX Blok D No. 1-29 (Foods) dan 11 Jababeka VI
Blok O (NSD), Desa Wangun Harja, Kecamatan Cikarang. Kabupaten Bekasi.
Jawa Barat 17520.
Pabrik di kawasan industri Cikarang terdiri dari 2 lokasi, 1 lokasi
memproduksi deterjen dan 1 lokasi lagi untuk memproduksi makanan dan es
krim. Kedua pabrik tersebut dilengkapi dengan kantor, mushola/masjid, pos
penjagaan, kantin, unit pengolahan limbah, gudang bahan mentah, tempat
parkir, dan taman.
Pabrik Unilever Indonesia yang berlokasi di Rungkut, Surabaya
memproduksi sabun dan bahan kosmetik seperti: Lux, Sunsilk, Pepsodent,
Citra, dan sebagainya. Pemilihan lokasi pabrik didasarkan pada beberapa
faktor, yaitu tempat yang strategis untuk kelancaran pemasaran produk,
tersedianya sarana infrastruktur, area yang cukup untuk dilaksanakannya
perluasan pabrik dan kemudahan suplai bahan baku.
C. BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN
PT Unilever Indonesia, Tbk adalah perusahaan multinasional yang
memproduksi bahan kebutuhan sehari-hari (consumer goods). Bidang
produksi PT. Unilever Indonesia, Tbk dibagi menjadi empat divisi, yaitu:
1. Divisi Home Care
Divisi ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Non Soap Detergent
• Memproduksi deterjen pencuci (bubuk dan krim) dengan merk
dagang Rinso. Surf, Omo dan Super Busa.
• Memproduksi cairan pewangi dan pelembut pakaian dengan merk
dagang Comfort dan Molto
b. Household Care
Memproduksi barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti cairan
pembersih lantai, bahan pengkilap dan penghilang kuman dengan merk
dagang Super Pell, Sunlight,Vixal dan Domestos.
2. Divisi Personal Care
Divisi ini memproduksi barang-barang kebutuhan perawatan pribadi
yang terdiri dari:
• Hair dengan merk dagang Clear, Sunsilk, Brisk dan lain-lain.
• Skin dengan merk dagang Pond's, Dove, Hazeline, Lux, Lifebuoy,
Cuddle, dan lain-lain.
• Deodorant dengan merk dagang Axe dan Rexona.
• Dental dengan merk dagang Pepsodent dan Close Up.
3. Divisi Foods
Divisi ini dibagi menjadi kategori. yaitu:
a. Spread Cooking Category and Culinary
• Memproduksi Margarine dan Bakery Fat dengan merk dagang
Blue Band, VO, Top Bake, Croma Cromix, Croma Cake,Croma
Korst, MCM, Snow White, dan Frytol.
• Memproduksi bermacam-macam bumbu masak, seperti Royco, dan
Knorr.
• Memproduksi minuman ringan siap saji Lipton.
b. Tea Based Beverage
Memproduksi teh untuk dikonsumsi dalam negeri maupun untuk
diekspor yaitu: Sariwangi, Bushells. Choya, dan lain-lain.
c. Snacks
Memproduksi snack, yaitu Taro net dan Taro stick.
4. Divisi Ice Cream
Divisi ini memproduksi es krim Wall's dengan berbagai jenis, rasa dan
kemasan.
D. STRUKTUR OGANISASI
Pabrik pengolahan makanan di Cikarang dipimpin oleh seorang direktur
supply chain (Supply Chain Director Foods) yang membawahi beberapa orang
manajer, yaitu :
1. Manajer Teknik Foods (Technical Manager Food) bertugas dan
bertanggung jawab atas pengelolaan, lay out dan kinerja pabrik foods.
2. Manajer Produksi (Production Manager) yang bertugas dan bertanggung
jawab dalam perencanaan produksi dan output produksi sehari-hari.
3. Plant Engineer yang bertanggung jawab atas engineering perusahaan.
4. Manajer Personalia (Works Personel Manager) bertugas dan bertanggung
jawab dalam bagian administrasi kepegawaian, urusan rumah tangga,
keuangan, dan pengadaan Sumber Daya Manusia.
5. Manajer Pengembangan Senior (Senior Development Manager) bertugas
dan bertanggung jawab atas pengembangan perusahaan.
6. Manajer Pengepakan (Packaging Manager) bertugas dan bertanggung
jawab dalam kelancaran dan efisiensi proses pengepakan.
7. Manajer kualitas (Quality Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam
pengawasan dan pengendalian mutu berdasar analisa dan penelitian
laboratorium, keadaan bahan baku, pengendalian proses dan keadaan
produk jadi.
8. Manajer Perencanaan (IED / Planning Manager) bertugas dan bertanggung
jawab dalam perencanaan program-program dalam usaha pengembangan
perusahaan.
Struktur organisasi PT. Unilever, Tbk. Pabrik SCC & C Cikarang dapat
dilihat pada Lampiran 1.
E. MANAJEMEN PERUSAHAAN
Program pengembangan manajemen yang diberlakukan di PT Unilever
Indonesia, Tbk adalah program Total Productive Maintenance (TPM).
Program TPM adalah metoda untuk mewujudkan Zero failure (tanpa
kesalahan), Zero accident (tanpa kecelakaan) dan Zero defect (tanpa cacat).
Dasar pelaksanaan TPM adalah lima "S", yaitu Seiri, Seiton, Seiso,
Seikatsu dan Shitsuke. Seiri (Clearing Up) yaitu menyingkirkan benda-benda
yang tidak diperlukan, Seiton (Organizing), menempatkan barang-barang
yang dibutuhkan dengan rapi, Seiso (Cleaning), membersihkan peralatan dan
daerah kerja, Seikatsu (Standardizing), membuat standar kebersihan,
pelumasan, dan inspeksi sedangkan Shitsuke (Training and Discipline), yaitu
meningkatkan keterampilan dan moral.
Kelima dasar di atas kemudian ditunjang oleh sembilan pilar TPM untuk
menunjang keberhasilan pelaksanaan program, yaitu pemeliharaan mandiri
(Autonomous Maintenance), peningkatan bagian, pemeliharaan terencana
(Planned Maintenance), pelatihan (Training), kontrol awal dan pencegahan
perawatan, pemeliharaan mutu (Quality Maintenance), TPM di perkantoran
(TPM in Office), keselamatan, kesehatan, dan lingkungan kerja (Safely.
Healthy, and Environment) dan manajemen rantai suplai (Supply Chain
Management).
F. PERATURAN KERJA
Administrasi kantor dilaksanakan setiap hari kerja dengan jadwal:
Senin - Jumat : 07.30 - 15.00 WIB
Sabtu : 07.30-13.00 WIB
Istirahat : 11.30 - 12.00 WIB, atau 12.00-12.30 WIB
Sedangkan jadwal produksi harian dibagi menjadi 3 shift
dengan pembagian sebagai berikut:
Shift Pagi : 06.00 - 14.00 WIB
Shift Siang : 14.00 - 22.00 WIB
Shift Sore : 22.00 - 06.00 WIB
Waktu operasi pabrik adalah 295 hari/tahun, 6 hari/minggu, 3 shift/hari
dan hari libur sebanyak 52 hari minggu, 12 hari libur umum dan 6 hari
Lebaran.
G. KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA
PT. Unilever Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk fasilitas-fasilitas jaminan sosial dan
tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada karyawannya, di mana perincian-
perincian mengenai hal tersebut tertuang dalam Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB) yang dibuat oleh serikat pekerja dan pihak perusahaan.
Serikat pekerja PT. Unilever Indonesia sudah berdiri sejak tahun 1970-
an dan pada tahun 1982 resmi menjadi anggota serikat pekerja seluruh
Indonesia. Berdasarkan KKB tersebut fasilitas dan tunjangan yang diperoleh
karyawan PT. Unilever Indonesia adalah:
1. Makan, disediakan untuk seluruh karyawan tetap pada jam-jam istirahat di
kantin perusahaan.
2. Fasilitas pengobatan diberikan gratis kepada karyawan dan keluarganya
sampai dengan tiga anak meliputi biaya perawatan di rumah sakit pada
rumah sakit yang telah ditentukan, pembayaran gaji selama sakit,
pengobatan dan perawatan gigi, pcnggantian biaya kaca mata dan frame,
penggantian biaya bersalin untuk pekerja wanita dan bantuan bersalin istri
pekerja.
3. Koperasi karyawan.
4. Program kepemilikan rumah.
5. Tunjangan perumahan diberi setahun sekali berupa uang.
6. Program kepemilikan kendaraan bermotor.
7. Klub olah raga. kesenian, rekreasi dan pernbinaan rohani.
8. Program ASTEK.
9. Tunjangan pensiun, berupa uang pesangon pada saat karyawan memasuki
usia pensiun yaitu 55 tahun.
10. Pernbinaan keluarga berencana lestari dan balita.
11. Tunjangan belajar anak karyawan, diberikan kepada anak karyawan yang
menjadi juara kelas.
12. Beasiswa diberikan kepada anak karyawan yang diterima di perguruan
tinggi negeri.
13. Program tabungan pendidikan.
14. Penghargaan kerja diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama
15 tahun dan kepada karyawan yang telah bekerja selama 25 tahun.
15. Tunjangan cuti diberikan kepada karyawan 1 tahun sekali dalam bentuk
gaji ke-13.
16. Cuti besar diberikan setiap 6 tahun masa kerja berupa 74 hari cuti diluar
cuti tahunan dengan biaya pulang kampung ditanggung perusahaan atau
dalam bentuk 2 bulan gaji ditambah 14 hari cuti diluar cuti tahunan.
17. Santunan kematian.
18. Kesempatan naik haji dengan pembayaran upah penuh.
19. Tunjangan Hari Raya.
20. Paket distribusi diberikan setiap akhir bulan berupa produk kebutuhan
rumah tangga yang diproduksi oleh PT. Unilever.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. SNACK FOOD
Snack food seringkali disebut savory snack, karena pada umumnya snack
diberi flavor savory termasuk rasa asin atau berbumbu. Menurut Lusas (2000),
di samping rasa yang lezat, ciri-ciri snack modern dengan flavor savory adalah:
• aman dan bebas dari bahaya kimia, substansi toksik dan mikroorganisme
patogen sesuai peraturan yang berlaku,
• biasanya dipersiapkan secara komersial dalam jumlah besar dengan
proses yang kontinyu,
• dibumbui, biasanya garam dan kadang-kadang ditambahkan flavor
lainnya,
• stabil selama penyimpanan, tidak membutuhkan pendinginan untuk
pengawetan,
• dikemas dengan kemasan siap konsumsi (ready-to-eat), biasanya dibagi
menjadi potongan-potongan ukuran makan (bite-size), mudah ditangani
dengan jari, dan memiliki penampakan berminyak atau kering tergantung
dugaan konsumen untuk produk tertentu,
• dijual kepada konsumen dalam kondisi segar, yang dicapai dengan :
∗ pemakaian bahan pengemas untuk menghindari air, oksigen dan
cahaya, menjaga kerenyahan produk, memperlambat oksidasi alami
minyak dan menghilangkan katalis oksidasi,
∗ menggunakan pengemasan atmosfer dengan gas inert (nitrogen) dan
sistem antioksidan untuk proteksi minyak tambahan,
∗ pengkodean tanggal pada pengemas dan membuangnya dari rak
penyimpanan jika tidak terjual selama umur simpan produk.
Dewasa ini, teknologi snack modern semakin maju sehingga dihasilkan
produk snack yang beraneka ragam. Berdasarkan teknologi yang digunakan,
snack di Indonesia dapat diklasifikasikan seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi snack di Indonesia berdasarkan teknologi
Jenis Snack Basis bahan Teknologi Produk Ebisen (sheeted snack) Terigu Ebisen-line Taro net
Cheetos net Second-generation snack (direct-expanded)
Jagung, beras Twist extruder Taro stick, Cheetos
Third-generation snack (pellet)
Pati Pellet extruder snack7
Jetz
Co-extruder snack Serealia Single dan twin screw extruder
Momogi stick paste
Fabricated chips Tepung Sheeting, stamping, frying, flavouring
Piattos, Pringles
Slice chip Kentang, buah
Frying, flavouring Chitato, Lays
Snack Taro net menggunakan teknologi ebisen yang berasal dari
Jepang. Produk snack pertama yang menggunakan teknologi ini adalah
shrimp cracknel (Ebi-Senbei) yang merupakan makanan tradisional Jepang.
Snack Taro net merupakan hasil pengembangan dari teknologi ebisen
(Gambar 1).
Gambar 1. Snack ebisen berbentuk net
Menurut Nagao (2000), pati dan tepung terigu adalah komposisi
terpenting dari formula snack ini. Tepung terigu berprotein rendah dengan
kadar abu 0.35-0.55% dan protein 7-10% dapat diproses dengan mudah
untuk membuat senbei berbasis terigu. Tetapi, senbei berbasis terigu yang
berkualitas tinggi membutuhkan terigu dengan kadar protein menengah dan
kualitas gluten yang halus. Persyaratan kualitas utama yang terpenting
adalah kerenyahan. Pada waktu bersamaan, senbei berbasis terigu harus
melunak secara cepat di dalam mulut tanpa menjadi bergetah (gummy).
Pelet snack ebisen dapat berlapis satu (single layer) dan dua (double
layer) tergantung bentuk yang diinginkan. Proses produksi snack ebisen
meliputi tahap pemasakan, sheeting, pendinginan dengan cooling conveyor,
rolling, aging, pemotongan, pengeringan pertama (first dryer), pengeringan
kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan.
1. Karakteristik Mutu Snack
Menurut ISO-9000, mutu didefinisikan sebagai derajat dari
serangkaian karakteristik produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan atau
harapan yang dinyatakan. Dalam industri pangan, mutu ditentukan oleh
berbagai karakteristik yang terus berkembang mengikuti kebutuhan
konsumen yang semakin meluas spektrumnya. Beberapa abad yang lalu
telah dikembangkan karakteristik fungsional yang sampai saat ini terus
berlanjut dalam penyempurnaan cara-cara pengukurannya termasuk
peningkatan kemampuan instrumen alat pengukur (Muhandri dan
Kadarisman, 2005).
Karakteristik fungsional pada produk pangan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar yaitu : sifat fisik (morfologi, sifat termal, sifat
reologi dan sifat spektral), sifat kimia (komposisi kimia, senyawa kimia
aktif, bahan kimia tambahan, bahan kimia pengolahan) dan sifat
mikrobiologi (mikroba alami, mikroba kontaminan, mikroba patogen dan
mikroba pembusuk (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Karakteristik
fungsional lebih bersifat objektif dalam menentukan sifat mutu pangan,
sedangkan penilaian sifat mutu yang bersifat subjektif dilakukan
menggunakan evaluasi organoleptik.
Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera banyak digunakan
untuk menilai mutu makanan. Penilaian dengan cara ini disenangi karena
dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung dan dalam beberapa hal
penilaian dengan indera melebihi ketelitian alat yang paling sensitif
sekalipun.
Karakteristik mutu snack dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu
karakteristik mutu fisik, kimia, mikrobiologis dan organoleptik. Persyaratan
mutu makanan ringan yang telah ditetapkan oleh SNI 01-2886-2000 dapat
dilihat pada Tabel 2. Menurut SNI 01-2886-2000 (2000), makanan ringan
ekstrudat adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari
bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan
makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan
atau tanpa melalui proses penggorengan.
Tabel 2. Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000)
No Jenis uji Satuan Persyaratan 1 1.1 1.2 1.3
Keadaan Bau Rasa Warna
- - -
normal normal normal
2 Kadar air % b/b maks. 4 3 3.1 3.2
Kadar lemak Tanpa proses penggorengan Dengan proses penggorengan
% b/b % b/b
maks. 30 maks. 38
4 Kadar silikat % b/b maks. 0,1 5 5.1 5.2
Bahan tambahan makanan Pemanis buatan Pewarna
- -
Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Permenkes no.722/Menkes/Per/ IX/1988 s.d.a.
6 6.1 6.2 6.3 6.4
Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 1,0 maks. 10 maks. 40 maks. 0,05
7 Arsen (As) mg/g maks. 0,5 8 8.1 8.2 8.3
Cemaran mikroba Angka Lempeng Total Kapang E. coli
koloni/g koloni/g APM/g
maks. 1,0 x 104 maks. 50 negatif
Secara umum, sifat fisik meliputi warna, bentuk dan ukuran.
Pengukuran sifat fisik banyak dilakukan karena pengukurannya mudah dan
cepat. Beberapa sifat fisik dapat diukur secara organoleptik maupun secara
objektif. Pengukuran sifat fisik secara objektif yang dilakukan selama
proses produksi snack Taro net dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran sifat fisik secara objektif selama proses produksi snack Taro net
Sifat Fisik Alat Atribut yang diukur Kadar air Moisture analyzer Kadar air bahan Dimensi Jangka sorong Tebal sheet, dimensi pelet dan
hasil penggorengan Ukuran Neraca analitik Berat bahan Indeks ekspansi Kotak Bulk Density Densitas bahan
Sifat fisik berhubungan erat dengan sifat organoleptik produk,
misalnya rasa manis dengan kadar gula. Sifat mutu organoleptik
diklasifikasikan menjadi empat golongan yaitu visual, aroma, rasa dan
tekstur. Sifat sensori ini diukur secara langsung dengan indera manusia.
Pengukuran sifat sensori yang dilakukan selama proses produksi snack
Taro net dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengukuran sifat sensori selama proses produksi snack Taro net
Sifat Sensori Atribut Sampel Warna Bahan baku, snack Visual Ukuran, bentuk Pelet, snack
Aroma Bau minyak Snack Kekerasan Pelet Tekstur Kerenyahan Snack
Rasa Intensitas bumbu Snack
Karakteristik mutu kimia dapat menentukan kualitas bahan, salah
satunya pada minyak goreng. Sifat kimia yang diukur adalah jumlah asam
lemak bebas (FFA). Nilai FFA (free fatty acid) menentukan parameter
kerusakan lemak. Semakin tinggi nilai FFA, berarti semakin tinggi
hidrolisis yang terjadi.
Salah satu masalah yang sangat vital bagi industri dan bisnis pangan
adalah keamanan pangan (Winarno, 2004). Oleh karena itu, mutu
mikrobiologis bahan pangan sangat penting dalam penilaian mutu produk
pangan. Mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan pangan dapat
menyebabkan penurunan mutu atau kerusakan produk serta membahayakan
kesehatan konsumen. Toksin yang dihasilkan oleh beberapa
mikroorganisme seperti Clostridium botulinum dan Aspergillus flavus
dapat membahayakan kesehatan konsumen.
2. Aspek Mikrobiologi Produk Snack
Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial
dalam kehidupan manusia. Walaupun makanan itu menarik, nikmat, tinggi
gizinya, jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia oleh makanan
(foodborne disease) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi (Winarno,
2004).
Snack adalah produk pangan dengan nilai kadar air yang rendah yaitu
maksimum 4% (SNI. 01-2886-2000). Kadar air snack yang rendah
berkorelasi dengan nilai aw yang rendah yaitu 0.25 - 0.33. Dengan nilai aw
ini, produk snack relatif aman dari kontaminasi mikroba, karena nilai aw ini
tidak memenuhi nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba. Nilai aw
minimum untuk pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba (Jay, 2000)
Organisme aw Organisme aw Grup Grup Bakteri pembusuk 0.90 Bakteri halofilik 0.75 Khamir pembusuk 0.88 Kapang xerofilik 0.61 Kapang pembusuk 0.80 Khamir osmofilik 0.61 Organisme spesifik Organisme spesifik Clostridium botulinum, tipe E 0.97 Candida scotti 0.92 Pseudomonas spp. 0.97 Trichosporon pullulans 0.91 Acinetobacter spp. 0.96 Candida zeylanoides 0.90 Eschericia coli 0.96 Geotrichum candidum 0.90 Enterobacter aerogenes 0.95 Trichothecium spp. 0.90 Bacillus subtilis 0.95 Byssochlamys nivea 0.87 Clostridium botulinum, tipe A, B 0.94 Staphylococcus aureus 0.86 Candida utilis 0.94 Alternaria citri 0.84 Vibrio parahaemolyticus 0.94 Penicillium patulum 0.81 Botrytis cinerea 0.93 Eurotium repens 0.72 Rhizopus stolonifer 0.93 Aspegillus glaucus 0.70 Mucor spinosus 0.93 Aspegillus conicus 0.70
Aspegillus echinulatus 0.64 Zygosaccharomyces rouxii 0.62
Xeromyces bisporus 0.61
Produk snack Taro net mengalami proses penggorengan sehingga
kadar air dan nilai aw bahan menjadi rendah. Hal ini menyebabkan
rendahnya resiko kontaminasi pada produk snack, namun selama proses
produksi Taro net dari bahan baku sampai produk setengah jadi memiliki
resiko yang tinggi. Tepung terigu, yang merupakan bahan baku utama
snack Taro net memiliki resiko kontaminasi Bacillus cereus dan kapang.
Resiko ini dapat diminimalkan dengan mengontrol aw yang rendah untuk
menghambat pertumbuhan mikroba (Jay, 2000). Pada proses selanjutnya
bahan ini akan mengalami proses pemasakan yang dapat membunuh
mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan pembentukan mikotoksin oleh kapang.
Titik kritis dari kontaminasi mikrobiologi adalah pada proses aging,
ketika lembaran adonan diaging pada suhu ruang (30-33oC) selama 8-16
jam. Karakteristik lembaran adonan dengan kadar air 30-33% dan aw 0.9-
0.95 dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme. Penggulungan lembaran
adonan yang dilakukan secara manual oleh pekerja, memiliki resiko
kontaminasi mikroorganisme seperti Staphylococcus aureus dan
Salmonella dari tangan pekerja. Setelah proses aging, dilakukan
pemotongan yang dilanjutkan dengan pengeringan. Pada tahapan
pengeringan, kemungkinan besar mikroorganisme akan mati, namun
pengeringan tidak dapat menginaktivasi toksin yang mungkin dihasilkan
mikroorganisme selama proses aging. Toksin yang dihasilkan oleh kapang
atau mikotoksin adalah alfatoksin, okhratoksin, patulin, islanditoksin,
luteoskirin, rugulosin, zearalenon, trikhotesen, sterigmatositin, asam
penisilat, dan sitrinin. Karakteristik masing-masing mikotoksin dapat
dilihat pada Lampiran 2.
B. AIR DALAM BAHAN PANGAN
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia
dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga
merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Bahkan
dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung serta
biji-bijian, terkandung air dalam jumlah tertentu. Kandungan air dalam bahan
makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu.
Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media
air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno,
1997).
Peranan air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai kadar air dan
aktivitas air, sedangkan di udara dinyatakan sebagai kelembaban relatif (RH)
dan kelembaban mutlak (H). Dalam bahan pangan, air terutama berperan
sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas
dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran
aktivitas air (aw) (Syarief dan Halid, 1993).
Aktivitas air adalah rasio antara tekanan parsial air (P) di atas sampel
dengan tekanan uap murni pada suhu yang sama (P0). Hubungan antara kadar
air dalam bahan pangan dengan aktivitas air pada suhu konstan diketahui
sebagai moisture sorption isoterm (MSI). Informasi mengenai kurva MSI
bermanfaat untuk proses pemekatan dan pengeringan, karena kesulitan
penghilangan air berhubungan erat dengan tekanan uap relatif (relatif vapor
pressure); formulasi campuran bahan untuk mencegah transfer air antara bahan
pangan; menentukan sifat ketahanan terhadap air yang dibutuhkan pada bahan
pengemas; menentukan apakah kadar air dapat menghambat pertumbuhan
mikroba; memprediksi stabilitas kimia dan fisika dari bahan pangan sebagai
fungsi air. Kurva MSI secara umum untuk bahan pangan berkadar air rendah
pada suhu 20oC dapat dilihat pada Gambar 2 (Fennema, 1996).
Gambar 2. Kurva moisture sorption isoterm
Ketika air ditambahkan, komposisi sampel bergerak dari zona 1 (kering)
menuju zona 3 (kelembaban tinggi) dan sifat air berhubungan dengan
perbedaan zona secara signifikan. Air yang berada pada zona 1 terikat secara
kuat dan tidak dapat dimobilisasi. Air ini terikat pada bagian polar bahan
pangan dengan ikatan air-ion atau interaksi air-dipol, tidak dapat membeku
pada suhu -40oC, tidak dapat digunakan sebagai pelarut, dan jumlahnya tidak
dapat membuat bahan padat menjadi plastis. Air zona 1 merupakan bagian dari
padatan, jumlahnya sedikit sekali dan memiliki nilai entalpi lebih besar dari
nilai entalpi air (Fennema, 1996). Menurut Winarno (1997), sebagian air ini
dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa.
Air pada zona 2 berhubungan dengan molekul air lain dan molekul
terlarut yang berikatan hidrogen, sedikit dapat dimobilisasi, tidak dapat
membeku pada suhu -40oC, dapat membuat padatan menjadi plastis,
menurunkan suhu transisi gelas dan menyebabkan pengembangan mula-mula
dari matriks padatan. Air pada zona 1 dan 2 biasanya mengandung air kurang
dari 5% pada bahan pangan dengan kelembaban tinggi (Fennema, 1996).
Penghilangan air tipe II (zona 2 pada moisture sorption isoterm) ini akan
mengakibatkan penurunan aw (water activity) sehingga pertumbuhan mikroba
dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti reaksi
browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan dikurangi. Jika air tipe II ini
dikurangi seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3-7% dan
kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk
yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh
(Winarno, 1997).
Air pada zona 3 tidak terikat kuat, dapat dimobilisasi dan terperangkap
dalam bahan pangan. Air ini dapat membeku, dapat digunakan sebagai pelarut,
dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Air pada zona 3 baik
terperangkap maupun bebas, biasanya mengandung lebih dari 95% total air
pada bahan pangan dengan kelembaban tinggi (Fennema, 1996). Menurut
Winarno (1997), apabila air tipe III (zona III) ini diuapkan seluruhnya,
kandungan air bahan berkisar antara 12-25% dengan aw (water activity) kira-
kira 0.8 tergantung dari jenis bahan dan suhu.
Menurut Syarief dan Halid (1993), interaksi antara bahan pangan dengan
molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul air di udara sekitarnya
sangat dominan dalam terjadinya penyimpangan mutu atau kerusakan bahan
pangan. Labuza (1972) menyajikan ambang batas tingkat hidratasi (aw) dalam
hubungannya dengan kecepatan reaksi kerusakan. Hubungan ini digambarkan
dengan peta stabilitas yaitu hubungan antara kecepatan reaksi dengan aw bahan
(Gambar 3).
Gambar 3. Kurva stabilitas bahan pangan (Winarno, 1997)
C. PERANAN AIR SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK
Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan produk
snack. Air yang digunakan dalam produksi harus memenuhi persyaratan mutu
air minum yaitu memiliki penampakan yang baik dan tidak tercemar baik
secara fisik, kimia maupun mikrobiologi. Air ditambahkan dalam proses
pemasakan, baik air secara langsung maupun air yang berasal dari uap (steam).
Namun, ada air yang sengaja dihilangkan melalui proses pengeringan dan
penggorengan. Kenaikan kadar air pelet selama penyimpanan merupakan
proses kesetimbangan dengan RH lingkungan, sedangkan migrasi air selama
proses aging merupakan dampak dari proses retrogradasi pati. Keterlibatan air
selama proses produksi snack Taro net dapat dilihat pada Gambar 4.
Air Mixing + sheeting Aging Cutting First
Drying Stock SecondDrying Frying Packaging
Air daristeam
Air(evaporasi) Air
Air(kesetimbangan) AirAir
Air Mixing + sheeting Aging Cutting First
Drying Stock SecondDrying Frying Packaging
Air daristeam
Air(evaporasi) Air
Air(kesetimbangan) AirAir
Gambar 4. Keterlibatan air selama proses produksi snack Taro net
Air merupakan komponen penting dalam pembentukan gluten serta
berfungsi sebagai pelarut garam dan pengikat karbohidrat sehingga dihasilkan
adonan yang baik (Mulyani, 2000). Air bersenyawa dengan protein
membentuk gluten, sehingga menentukan konsistensi dan karakteristik reologi
adonan. Daya serap air akan meningkat dengan semakin tingginya kandungan
protein.
Air berperan sebagai plasticizer untuk kristal pati. Adanya air akan
menurunkan suhu dari transisi gelas (Tg) dan titik leleh kristal. Selain itu,
kandungan air juga mempengaruhi sifat reologi dari gel pati (Eliasson dan
Gudmunsson, 1996).
Retrogradasi pati terjadi ketika pati yang telah mengalami gelatinisasi
disimpan pada suhu rendah sehingga terjadi rekristalisasi pati. Selama proses
ini terjadi ikatan hidrogen antara gugus OH amilosa pada pati yang
tergelatinisasi sehingga air dipaksa keluar dari struktur gel dan pati menjadi
tidak dapat dilarutkan. Oleh karena itu, selama proses aging kadar air
lembaran adonan cenderung menurun disertai dengan meningkatnya kekerasan
dan kekakuan lembaran adonan.
Lembaran adonan yang telah dipotong menjadi pelet basah dikeringkan
menggunakan alat pengering pertama (first dryer) dengan hembusan udara
panas yang berasal dari boiler. Fellows (2000) mendefinisikan pengeringan
sebagai aplikasi panas di bawah kondisi terkontrol untuk menghilangkan
sebagian besar air yang secara normal ada di makanan dengan evaporasi (atau
sublimasi pada freeze drying). Tujuan utama dari proses pengeringan adalah
memperpanjang umur simpan dengan mereduksi aktivitas air (aw) yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim.
Pada proses pembuatan snack Taro net dilakukan pengeringan sebanyak
dua kali. Pengeringan pertama bertujuan untuk mendapatkan kadar air pelet
yang aman untuk disimpan atau aman dari cemaran biologis yang mungkin
tumbuh baik mikroba maupun serangga. Proses pengeringan kedua bertujuan
untuk mendapatkan kadar air siap goreng, sehingga tekstur yang dihasilkan
sesuai standar, tidak berpori dan tidak bantat.
Penyimpanan dan pengeringan bahan pangan hasil pertanian
berhubungan dengan kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan
adalah kadar air bahan dalam keadaan setimbang dengan udara di sekitarnya.
Bahan dalam keadaan setimbang dengan lingkungannya bila laju air yang
hilang dari bahan ke lingkungan sama dengan laju air yang bertambah ke
dalam bahan dari lingkungan (Hall, 1980 di dalam oleh Prastyanty, 1998).
Masing-masing bahan pangan memiliki nilai kadar air kesetimbangan yang
berbeda-beda.
Menurut Prastyanty (1998), secara alami bahan pangan baik yang belum
diolah maupun yang sudah diolah bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap
air dari udara sekeliling dan sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang
terkandung ke udara. Secara umum, sifat-sifat hidratasi ini digambarkan
dengan kurva sorpsi isoterm.
Pelet yang telah dikeringkan dengan mesin pengering kedua digoreng
untuk meningkatkan kualitas makan (eating quality). Pada proses
penggorengan terjadi pengembangan kerupuk yang ditentukan oleh kandungan
air bahan. Pengembangan ini merupakan hasil sejumlah besar letusan dari air
ikatan yang menguap dengan cepat selama proses penggorengan dan sekaligus
terbentuk rongga-rongga udara yang tersebar secara merata pada seluruh
struktur kerupuk goreng (Muliawan, 1991). Kandungan air bahan akan
menentukan tekstur hasil goreng. Jika kadar air bahan terlalu tinggi,
permukaan bahan akan mengalami bulbing atau membentuk gelembung-
gelembung. Sebaliknya, jika kadar air bahan terlalu rendah bahan tidak akan
mengembang atau bantat.
Kandungan air bahan juga mempengaruhi mutu minyak goreng. Pada
suhu tinggi air akan menghidrolisa gliserida-gliserida minyak menjadi gliserol
dan asam lemak bebas. Gliserol selanjutnya akan terpecah menjadi acrolein
yang mempunyai bau pedas dan merangsang keluarnya air mata (Djatmiko, et
al., 1985).
Walaupun telah mengalami proses penggorengan, produk akhir snack
masih mengandung air sekitar 2-3%. Kandungan air ini akan menentukan
kerenyahan produk dan peningkatan kadar air akan menurunkan kerenyahan
produk snack. Kadar air produk snack yang rendah yaitu maksimal 4%,
membuat umur simpan produk relatif lama sampai 8 bulan. Dengan
mengontrol kandungan air produk, maka struktur, tekstur, stabilitas dan
densitas bahan dapat dipertahankan.
D. PATI
1. Pati Untuk Snack
Pati memainkan peranan penting pada pengembangan produk
pangan, baik sebagai bahan baku atau bahan tambahan seperti pengental,
penstabil, atau penguat tekstur. Penambahan pati ditujukan untuk
meningkatkan retensi air, mengontrol mobilitas air, dan juga menjaga
kualitas produk pangan selama penyimpanan (Pongsawatmanit, et al.,
2001).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri
dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan
amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak
4-5% dari berat total (Winarno, 1997). Struktur amilosa dan amilopektin
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Muchtadi, et al. 1988)
Secara komersial pati diperoleh dari biji-bijian serealia, umumnya
jagung, gandum dan beberapa varietas beras dan dari umbi dan akar, seperti
kentang, ubi jalar dan tapioka (BeMiller dan Whistler, 1996). Pati dari sumber
yang berbeda memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi bentuk,
ukuran, distribusi ukuran, komposisi dan kristal granula (Belitz dan Grosch,
1999). Karakteristik pati menentukan jenis pati yang sesuai untuk produk
tertentu. Selain itu, harga menjadi pertimbangan supaya produk lebih
ekonomis. Karakteristik dan harga jual beberapa jenis pati dapat dilihat pada
Tabel 6.
Jenis pati yang berbeda membuat tekstur yang dihasilkan juga berbeda.
Pati jagung cenderung lebih kaku dan rapuh, sedangkan tapioka cenderung
lebih ringan dan kurang garing. Beras dan beras ketan cenderung membuat
produk lebih lembut terutama pada snack. Penambahan pati kentang membuat
produk memiliki tekstur lebih ringan. Sebaliknya, tepung terigu dengan kadar
protein 7-18% meningkatkan densitas produk (Frank, 2000).
Tabel 6. Karakteristik sifat beberapa jenis pati
Kandungan Pati Amilosa
(%) Amilopektin
(%)
Ukuran granula
(μm)
Bentuk granula
Suhu gelatinisasi
(oC)
Harga relatif/100 g
(Rp.) Tapioka 17 83 5-35
Oval
52-64 479
Gandum 25 75 2-35
Ellips
52-64 519.50; 559.50; 604.50
Sagu 27 73 20-60
Ellips
60-72 -
Jagung 27 73 5-25
Poligonal
62-74 1581.25
Kentang 22 78 15-100
Bundar
56-69 -
Beras 17 83 3-8
Poligonal
61-78 719.00
Sumber : Knight (1989), Muchtadi, et.al. (1988), * Harga ADA Supermarket per Mei 2006
Menurut Muchtadi et al. (1988), amilopektin dapat merangsang
terjadinya proses mekar (puff) sehingga produk dengan kadar amilopektin
tinggi bersifat ringan, porus, garing dan gampang patah (renyah). Pati yang
mengandung amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras,
karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas. Pati juga dapat
mempertahankan daya awet dengan mempertahankan tekstur garing selama
penyimpanan.
Granula pati memiliki sifat semikristal yang mengindikasikan orientasi
tingkat tinggi dari molekul glukan. Sekitar 70% massa granula pati dipandang
sebagai bentuk amorf dan kira-kira 30% sebagai bentuk kristal. Daerah amorf
mengandung amilosa sebagai jumlah terbanyak, sedangkan daerah kristal
mengandung paling banyak amilopektin. Derajat kristalisasi ini sangat
tergantung pada kadar air (Belitz dan Grosch, 1999).
Pati alami dapat dibagi menjadi beberapa tipe menggunakan diagram
difraksi X-ray yaitu tipe A, B dan C serta tipe V yang terdapat pada granula
yang mengalami pengembangan (swelling). Tipe A dan B merupakan
modifikasi kristal alami, sedangkan tipe C merupakan bentuk campuran. Tipe
A banyak terdapat pada pati serealia dan tipe B pada kentang, amylomaize dan
pati yang mengalami retrogradasi. Tipe C tidak hanya terdapat pada campuran
pati jagung dan kentang juga terdapat pada pati kacang-kacangan (Belitz dan
Grosch, 1999).
2. Gelatinisasi Pati
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam
air panas atau hangat (Muchtadi et al, 1988). Menurut Pongsawatmanit, et al,
(2001), jika granula pati alami yang kering tersuspensi dalam air dan kemudian
dipanaskan, granula pati akan menyerap air dan mengembang menjadi lebih
luas, disertai dengan kehilangan bentuk kristal dari granula. Sebagian amilosa
berpisah dari amilopektin dan terlepas keluar dari granula. Fenomena ini
disebut gelatinisasi.
Sebagai suatu polimer, pati mengalami perubahan sebagai berikut :
Polisakarida <====> gel <====> sol
Perubahan sol-gel sangat tergantung pada suhu dan konsentrasi.
Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak
melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible)
jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Muchtadi et a., 1988).
Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekul-molekul air
berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul
amilosa dan amilopektin. Dengan semakin naiknya suhu suspensi pati dalam
air maka pengembangan granula semakin besar, karena ikatan hidrogen
semakin melemah. Menurut Meyer (1982) di dalam Muchtadi et al. (1988),
pengembangan maksimum dicapai pada penyerapan air sebanyak 2500%.
Namun, selama pengeringan granula pati akan kembali pada ukuran semula
(BeMiller dan Whistler, 1996).
Selama proses gelatinisasi pati terjadi pengrusakan ikatan hidrogen yang
berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas granula pati.
Kerusakan integritas granula pati menyebabkan granula menyerap air,
sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk dalam medium. Sesudah
pengrusakan granula selesai, viskositas pati menurun. (Mulyandari, 1992).
McCready (1970) di dalam Muchtadi, et al. (1988) membedakan
mekanisme gelatinisasi menjadi tiga fase. Pertama, air akan secara perlahan-
lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula. Kemudian pada suhu
antara 60-85oC granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya
kehilangan sifat birefringence-nya. Ketiga, jika suhu terus naik maka molekul-
molekul pati terdifusi keluar granula. Adanya amilosa yang keluar
menyebabkan naiknya kekentalan yang juga merupakan fungsi dari suhu.
Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
Tahapan proses Deskripsi Granula pati mentah yang terdiri atas amilosa (heliks) dan amilopektin (bercabang-cabang) Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang. Penambahan panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar granula
Granula hampir hanya mengandung amilopektin yang terperangkap serta struktur matriks amilosa membentuk suatu gel.
Pada tahap gelatinisasi, volume pati akan mengembang membentuk
struktur elastis yang pada tahap penggorengan ataupun proses ekstrusi akan
terjadi pengembangan adonan. Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996),
pengembangan granula pati biasanya diukur sebagai peningkatan volume gel.
Proses gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu
pemanasan, rasio amilosa dan amilopektin, rasio air dan pati dan komponen
atau bahan–bahan lain yang dapat mengikat air seperti gula dan garam (Serena,
1996). Proses gelatinisasi menyebabkan perubahan yang luar biasa pada sifat
reologi dari suspensi pati. Sifat dari gel pati sangat sensitif terhadap beberapa
faktor seperti shear, suhu, tingkat pemanasan (pendinginan), sumber pati dan
keberadaan komponen lain. Gel pati bukan sistem yang berada dalam
kesetimbangan. Struktur kristal hancur selama proses gelatinisasi, tetapi
bentuk kristal akan kembali terbentuk selama penyimpanan. Kemampuan
molekul pati untuk mengkristal setelah gelatinisasi didefinisikan sebagai
retrogradasi (Eliasson dan Gudmundsson, 1996).
Dalam proses pembuatan snack, dikehendaki proses gelatinisasi tidak
sempurna, karena proses gelatinisasi yang sempurna akan menghasilkan
adonan yang kenyal, rapuh, sulit dibentuk, tidak kompak dan menghasilkan
produk akhir yang permukaannya tidak rata (Serena, 1996). Proses gelatinisasi
pati mempengaruhi tekstur dan konsistensi bahan pangan dan interaksi antara
pati dan air akan mempengaruhi sifat fungsional pati.
Menurut Muchtadi, et al. (1988), kesempurnaan gelatinisasi dipengaruhi
oleh kadar air dan suhu proses. Penentuan derajat kesempurnaan gelatinisasi
pati dapat dilakukan berdasarkan (1) hilangnya gejala birefrigence granula pati
jika diamati di bawah mikroskop cahaya terpolarisasi, (2) daya kelarutan dan
pengukuran absorpsi zat warna (dyes), (3) perubahan kekentalan, (4)
perubahan pola difraksi sinar X, (5) metode enzimatis, (6) metode magnetik
resonansi nuklir, (7) metode differential scanning calorimetry (DSC),
pengukuran intensitas warna akibat adanya iodium dan sebagainya.
3. Retrogradasi Pati
Gel pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula yang
membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang
terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi pada saat
pati terus dalam keadaan panas. Bila pasta kemudian mendingin, energi kinetik
tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan amilosa untuk bersatu
kembali. Molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan
dnegan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan
demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi
semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno,
1997). Proses terjadinya retrogradasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Proses retrogradasi pati (Huang dan Rooney, 2000)
Proses retrogradasi terjadi karena pati yang tergelatinisasi tidak berada
pada kesetimbangan termodinamik. Sifat reologi akan berubah secara jelas
dengan peningkatan kekerasan (firmness) dan kekakuan (rigidity). Hilangnya
kapasitas penyerapan air (water holding capacity) dan pemulihan bentuk
kristal akan terjadi dan meningkat selama proses aging. Proses retrogradasi
tidak akan terjadi tanpa jumlah air minimum yang terdapat dalam gel. Kadar
air dan suhu penyimpanan merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat
retrogradasi. Selain itu, sumber pati yang berbeda akan mempengaruhi tingkat
retrogradasi yang terjadi dan kemungkinan besar hal ini tidak hanya
disebabkan oleh rasio amilosa dan amilopektin saja (Eliasson dan
Gudmunsson, 1996). Menurut Lundqvist (2001), tingkat retrogradasi juga
dipengaruhi panjang rantai amilopektin dan konsentrasi pati, adanya bahan-
bahan seperti gula, garam, lemak dan surfaktan.
Retrogradasi didefinisikan sebagai kemampuan molekul pati untuk
mengkristal setelah gelatinisasi. Retrogradasi amilosa dipercaya sebagai
prasyarat untuk pembentukan crumb normal dari roti, retrogradasi biasanya
menyebabkan penurunan kualitas. Hal ini terlihat sebagai sineresis (hilangnya
air) atau sebagai peningkatan kekerasan. Interaksi pati dengan komponen lain
seperti lipid polar dan protein akan meningkatkan sifat fungsionalnya
(Eliasson dan Gudmundsson, 1996).
Retrogradasi yang merupakan pemulihan sebagian dan penyusunan
struktur awal dari polisakarida terjadi ketika pendinginan dan penyimpanan
pada suhu rendah. Kristalisasi dari amilosa tercapai setelah 2 hari, di mana
kristalisasi gel pati terus berlanjut. Gel amilopektin meningkat secara perlahan
dan tercapai setelah 30-40 hari. Sekitar 70% kristal akan hilang dari pati yang
teretrogradasi sempurna pada pemanasan 90oC, di mana gel amilosa akan
berkurang sekitar 25%. Kristalisasi dari amilopektin dapat balik secara
sempurna selama pemanasan. Residu kristal dari gel pati setelah pemanasan
merupakan fraksi amilosa (Eliasson dan Gudmunsson, 1996).
Retrogradasi atau asosiasi amilosa sangat cepat, sehingga rantai linear
berdifusi keluar dari granula pati. Hal ini memberikan struktur keras dengan
cepat. Amilopektin yang bercabang dengan struktur lebih kompleks, dan
molekul yang lebih besar (bulky) menyebabkan amilopektin mengalami
retrogradasi lebih lambat. Tekstur yang keras tidak hanya berasosiasi dengan
tingginya amilosa tetapi juga mengurangi kehilangan kelembaban dan
membantu menjaga kelembaban dari migrasi air (Frank, 2000)
Proses retrogradasi dapat dikarakteristik oleh fenomena fisik dan kimia,
seperti perubahan tekstur, migrasi air, kristalisasi pati dan interaksi komponen
(Vodovotz, et al., 2001). Proses retrogradasi harus secara ketat dikontrol
terutama produk pangan yang berbasis pati, karena retrogradasi dapat
membentuk struktur produk tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan
penurunan kualitas (pengerasan atau sineresis) (Pongsawatmanit, et al., 2001).
Interaksi antara polisakarida pati dan air mungkin dapat menghambat
pengaruh dominan dari sifat sistem yang ada, di mana komponan lain dapat
mempengaruhi bagaimana pati berinteraksi dengan air. Salah satunya adalah
gula, yang dapat mempengaruhi sifat gelatinisasi dan retrogradasi pati.
Kebanyakan gula menghambat pengaruh anti-plasticizing dan penurunan
jumlah amilosa yang terlepas. Tingkat retrogradasi dapat ditingkatkan selama
periode penyimpanan jangka pendek tetapi secara substansi menurun selama
penyimpanan jangka panjang (Pongsawatmanit, et al., 2001).
D. PROSES PEMBUATAN SNACK TARO NET
1. Bahan-Bahan
a. Tepung terigu
Tepung terigu merupakan bahan utama pembuatan snack Taro net.
Menurut SNI 01-3751-1995, tepung terigu yang digunakan untuk bahan
makanan adalah bahan makanan hasil pengolahan endosperm dari biji gandum
(Triticum vulgare). Berdasarkan jenis gandum yang dipakai, maka tepung
terigu dibedakan menjadi tiga jenis yaitu tepung terigu Cakra Kembar
(kandungan protein tinggi), Segitiga Biru (kandungan protein menengah) dan
Kunci Biru (kandungan protein rendah) yang memiliki sifat-sifat berbeda
tergantung tujuan penggunaannya. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 01-
3751-1995) dapat dilihat pada Lampiran 3.
Komponen terpenting dari tepung terigu adalah protein. Tepung terigu
memiliki empat jenis protein yaitu glutenin, globulin, gliadin dan albumin.
Dari keempat jenis protein tersebut, yang mempunyai peranan penting dalam
pembentukan adonan adalah protein glutenin dan gliadin. Kedua protein
tersebut ditemukan pada jumlah yang cukup tinggi pada gandum terutama
pada endosperm gandum, yaitu sekitar 80-85% (Serena, 1996).
Gluten gandum menunjukkan sifat-sifat fisik adonan yang berbeda dari
adonan dari adonan-adonan yang dibuat dari serealia lainnya. Ketika air
ditambahkan pada tepung gandum dan diaduk, protein-protein yang tidak larut
dalam air akan mengikat air dan membentuk gluten. Gluten berfungsi sebagai
penyusun adonan (Pomeranz dan Shellenberger, 1971).
Air dalam adonan menyebabkan pembentukan massa yang ekstensibel
dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari glutenin dan gliadin.
Sifat fisik gluten menyebabkan adonan mempunyai kemampuan untuk
menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
pengembangan adonan. Kandungan gluten yang tinggi cenderung
mneyebabkan penyerapan air lebih banyak dibandingkan dengan terigu
berkadar gluten rendah, sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya
pengembangan yang lebih baik dan elastis tetapi lengket.
Pada proses pembuatan snack Taro net digunakan tepung terigu yang
berkadar protein rendah. Hal ini dikarenakan tepung terigu yang mengandung
gluten tinggi cenderung menyerap air lebih banyak sehingga adonan
mengembang, elastis dan lengket, sehingga sulit dibuat lembaran maupun
untuk proses selanjutnya. Selain itu, kandungan gluten yang rendah cenderung
membuat produk lebih renyah dan lebih murah sehingga lebih ekonomis.
Pemilihan tepung terigu yang tepat akan menentukan karakteristik snack
yang diinginkan. Tepung terigu yang memiliki perbedaan total protein akan
mengakibatkan perbedaan tingkat pengembangan. Semakin tinggi total
protein, tingkat pengembangan semakin rendah. Hal ini dikarenakan gluten
menghambat ekspansi dari pelet dan membuat tekstur menjadi keras.
Penghambatan ini terjadi karena sifat hidrasi protein, sehingga menghambat
ekspansi tiba-tiba dari uap air.
b. Tapioka
Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstrak umbi ketela pohon atau ubi
kayu (Manihot utilisima) yang telah mengalami pencucian secara sempurna,
pengeringan dan penggilingan. Selain karbohidrat sebagai komponen
utamanya, tapioka masih mengandung sedikit protein dan lemak.
Tapioka digunakan dalam pembuatan snack, karena dapat memberikan
daya pengembangan yang baik pada tingkat kadar air adonan sedang dan suhu
proses yang tinggi. Selain itu, pati diketahui sebagai puff material dalam
pembuatan snack atau bahan yang berkontribusi dalam pemekaran produk.
Pati juga memiliki kapabilitas yang kuat untuk berasosiasi dengan air
sehingga dapat berlaku sebagai agen yang efektif untuk mengontrol perilaku
air pada sistem pangan kompleks (Pongsawatmanit, et al., 2001).
Pati yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah tapioka.
Hal ini dikarenakan harga tapioka yang relatif murah dibandingkan jenis pati
yang lain. Kandungan amilopektin yang tinggi pada tapioka membuat
kantung-kantung udara semakin banyak pada saat penggorengan. Untuk
menghasilkan produk snack yang bermutu, tapioka yang digunakan harus
memenuhi persyaratan mutu SNI tapioka (Lampiran 4). Pati berkualitas baik
dapat dilihat dari derajat keputihan tepung dan bersuara nyaring ketika
digesek pada tangan.
c. Baking powder
Baking powder merupakan leavening agent, yaitu bahan yang dapat
melepaskan gas karbondioksida (CO2) pada kondisi tertentu. Bahan ini
menciptakan gelembung gas pada adonan dan membuat adonan mengembang.
Ketika produk tersebut dipanaskan akan terbentuk kantung-kantung udara
yang mengakibatkan produk terasa ringan dan renyah (Gale, 2006).
Penambahan baking powder dimaksudkan untuk menghasilkan
pengembangan adonan yang baik karena baking powder mampu
menghasilkan gas berupa gas CO2, di mana dengan adanya pengembangan
tersebut penetrasi bumbu ke dalam adonan akan lebih merata. Baking powder
juga akan membentuk pori-pori adonan yang dapat menyebabkan uap panas
dapat dengan mudah masuk ke dalam adonan sehingga proses pemasakan
berlangsung lebih cepat (Serena, 1996).
Baking powder adalah padatan berwarna putih yang biasanya memiliki
tiga komponen yaitu asam, alkali dan pengisi. Ketika air ditambahkan pada
baking powder, asam dan basa kering larut menjadi larutan. Pada bentuk ini,
komponen-komponen bereaksi memproduksi gas karbondioksida. Baking
powder akan menentukan tekstur akhir produk dan dapat mempengaruhi
flavor, kadar air, dan penerimaan secara keseluruhan (Gale, 2006).
Alkali yang digunakan pada baking powder adalah soda kue atau
natrium bikarbonat yang berupa kristal putih larut air dan memproduksi gas
karbondioksida ketika dipanaskan sekitar 50oC. Saat ini, ada empat macam
asam yang banyak digunakan pada baking powder komersil yaitu
monokalsium fosfat (CaHPO4), asam natrium pirofosfat, natrium alumunium
fosfat dan natrium alumunium sulfat. Monokalsium fosfat merupakan asam
bereaksi cepat dan memproduksi sejumlah besar gas dalam tiga menit setelah
penambahannya. Asam natrium pirofosfat merupakan asam bereaksi lambat.
Natrium alumunium fosfat dan natrium alumunium sulfat juga asam bereaksi
lambat dan menghasilkan gas ketika dipanaskan. Namun, kedua komponen ini
kurang disukai karena mengandung alumunium yang dapat menyebabkan
flavor yang tidak disukai (unpleasant flavour). Komponen terakhir adalah
pengisi dan bahan yang biasa digunakan adalah pati jagung. Fungsi dari
pengisi ini adalah menjaga produk tetap kering dan mudah menyebar
(flowing), menjaga asam dan alkali terpisah, mencegah reaksi selama
penyimpanan, menambah bobot pada bubuk serta membuatnya mudah diukur
dan distandardisasi (Gale, 2006).
Perbedaan utama dari beberapa jenis baking powder adalah waktu
reaksi. Ada dua kategori yaitu baking powder aktivitas tunggal dan aktivitas
ganda. Baking powder aktivitas tunggal memproduksi gas secara cepat ketika
bercampur dengan cairan. Adonan ini harus dimasak dengan cepat supaya
tidak mengempis (Gale, 2006).
Menurut Suratno (1995), baking powder aktivitas tunggal biasanya
hanya terdiri dari satu jenis bahan, misalnya natrium bikarbonat. Baking
powder ini mempunyai aktivitas cepat, karena reaksinya berjalan cepat namun
efek pengembangan yang dihasilkannya tidak berlangsung lama. Mekanisme
baking powder mengikuti persamaan berikut :
NaHCO3 Na2CO3 + H2O + CO2
Baking powder aktivitas ganda pada mulanya hanya menghasilkan gas
dalam jumlah kecil ketika bercampur dengan cairan. Pelepasan utama gas
terjadi ketika adonan dipanaskan selama pemasakan. Biasanya baking powder
aktivitas ganda memiliki dua macam asam, salah satu bereaksi langsung dan
satu lagi bereaksi ketika dipanaskan (Gale, 2006).
Baking powder aktivitas ganda biasanya terdiri dari natrium bikarbonat
(NaHCO3) dan natrium pirofosfat (NaHPO4). Mekanisme reaksi baking
powder jenis ini terjadi dalam dua tahapan reaksi. Tahap pertama adalah
pebentukkan asam dan tahap kedua adalah reaksi asam dengan natrium
bikarbonat menghasilkan gas karbondioksida. Mekanisme baking powder
aktivitas ganda mengikuti reaksi berikut (Serena, 1996):
NaHPO4 + H2O NaOH + H3PO4
NaHCO3 + H3PO4 Na3PO4 + H2O + CO2
d. Gula
Gula ditambahkan pada proses pembuatan snack untuk memberikan rasa
manis. Selain itu, gula dapat memberikan warna melalui reaksi maillard
sekaligus mengontrol waktu penggorengan. Adanya gula juga menurunkan aw
produk, sehingga stabilitas bahan pangan lebih baik karena gula membuat air
tidak dapat digunakan oleh mikroorganisme. Namun, keberadaan komponen
gula menyebabkan proses pengeringan berlangsung lebih lama.
Gula bersifat higroskopis (kemampuan menahan air), sehingga dapat
memperbaiki daya tahan produk dalam penyimpanan. Adanya gula juga
mempengaruhi gelatinisasi pati. Komponen gula akan meningkatkan suhu
gelatinisasi pati. Gula yang digunakan harus memiliki mutu yang baik dan
dipilih yang berwarna seputih mungkin untuk menghindari produk gosong.
Persyaratan mutu gula dapat dilihat pada Lampiran 5.
e. Garam
Garam ditambahkan untuk memberikan rasa asin. Garam yang
digunakan adalah garam tidak beryodium. Hal ini dikarenakan yodium dapat
memicu oksidasi minyak sehingga produk snack menjadi berbau tengik.
Garam larut dalam gluten dan meningkatkan keliatan gluten serta
mengurangi kelengketan. Selain itu, garam dapat meningkatkan daya absorbsi
air dari tepung serta memberikan distribusi panas pada snack selama proses
pengeringan. Garam dalam konsentrasi tinggi memiliki efek pengawet karena
dapat menyebabkan plasmolisis sel mikroba sehingga menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian mikroba.
f. Minyak Nabati
Minyak nabati digunakan sebagai media untuk menggoreng bahan.
Menurut Ketaren (1986), dalam penggorengan minyak goreng berfungsi
sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi
dan kalori dalam bahan pangan. Minyak yang telah rusak tidak hanya
mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tekstur dan flavor
dari bahan pangan digoreng. Oleh karena itu, minyak yang digunakan harus
memenuhi persyaratan mutu sehingga produk yang dihasilkan juga memiliki
mutu yang baik. Persyaratan mutu minyak goreng dapat dilihat pada
Lampiran 6.
g. Perisa (seasoning)
Seasoning didefinisikan sebagai bahan-bahan campuran yang terdiri dari
satu atau beberapa rempah-rempah atau ekstrak rempah-rempah yang
ditambahkan ke dalam produk selama proses pengolahan produk atau sebelum
produk disajikan dengan tujuan untuk meningkatkan flavor alami bahan
pangan serta dapat meningkatkan penerimaan konsumen (Farrel, 1985).
Snack Taro net memiliki tiga jenis pencita rasa yaitu rumput laut,
kentang barbekyu dan pizza. Pencita rasa ini ditambahkan dalam bentuk
powder setelah proses penggorengan. Komposisi dari masing-masing perisa
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi Perisa Snack Taro net
Perisa Komposisi Kentang barbekyu Laktosa, penguat rasa MSG, hidrolisat protein
nabati dan rempah-rempah. Rumput laut Tepung kecap, penguat rasa MSG, rumput laut
kering dan hidrolisat protein nabati. Pizza Mengandung bubuk susu, penguat rasa MSG,
dinatrium inosinat dan guanilat, rempah-rempah, bubuk keju dan ekstrak ragi.
2. Proses Pembuatan
Proses produksi Taro net dimulai dengan proses pemasakan bahan pada
steam cooker. Bahan-bahan yang dimasukkan adalah tepung terigu, tapioka,
gula, garam dan baking powder. Kemudian, bahan-bahan tersebut dicampur,
ditambahkan air dan di-steam. Proses steam dilakukan dua tahap, yaitu half
steam selama 2 menit dan full steam selama 7.5 menit yang dilakukan pada
tekanan boiler 10 bar dan suhu steam 180-200oC. Proses half steam bertujuan
untuk mencegah tepung beterbangan pada saat pencampuran. Pada proses ini
terjadi gelatinisasi pati tidak sempurna, karena gelatinisasi sempurna akan
menyebabkan adonan menjadi kenyal sehingga sulit dibuat lembaran. Mesin
steam cooker dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Steam Cooker (www.nposk.com)
Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dan air berlangsung
secara merata dan menarik serat-serat gluten. Pisau pada mesin pengaduk akan
memecah air dan tepung, sehingga air dapat menembus pori-pori tepung. Air
yang meresap tersebut akan menyebabkan serat gluten mengembang dan
dengan pengadukan yang cukup maka serat gluten akan tertarik, tersusun
tersilang dan terbungkus dalam pati sehingga akan membentuk adonan yang
lunak, halus dan kompak (Jamilah, 2002).
Setelah pemasakan, adonan dibentuk menjadi lembaran bermotif net
dengan ketebalan 1.4 – 1.7 mm. Pembentukan lembaran dilakukan pada
keadaan panas, jangan menunggu adonan dingin karena dapat membentuk
warna yang tidak rata. Ketebalan yang dihasilkan harus seragam, baik bagian
tengah maupun samping. Ketidakseragaman lembaran biasanya dikarenakan
elastisitas adonan, hal ini dapat dikurangi dengan membuang bagian pinggir
dan di-rework atau memodifikasi rol penggiling. Kemudian lembaran ditaburi
tapioka dan didinginkan pada cooling conveyor atau dilapisi dengan plastik
untuk menghindari kelengketan. Pendinginan bertujuan untuk memudahkan
penggulungan sheet agar tidak terlalu lunak.
Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk roll diaging
selama 8-16 jam pada suhu ruang. Tujuan utama dari proses aging adalah
transformasi pati dari tipe alfa menjadi beta. Proses aging dilakukan untuk
mengkondisikan lembaran adonan siap untuk dipotong menjadi ukuran pelet
yang diinginkan. Lembaran adonan yang diperoleh setelah pendinginan pada
cooling conveyor masih lunak dan sangat lengket sehingga sulit untuk
dipotong. Retrogradasi pati dan evaporasi air yang terjadi selama aging akan
membuat adonan mudah dipotong. Namun, evaporasi air yang berlebihan akan
membuat adonan keras, sehingga harus dihindari.
Evaporasi air yang berlebihan dapat dicegah dengan tidak meletakkan
adonan pada udara mengalir. Untuk menjaga kondisi kesesakan udara (air
tightness), rak aging ditutup dengan papan stainless atau plastik. Jika rak
aging dibiarkan tertutup dan kesesakan udara terjaga maka RH ruangan sekitar
90% atau lebih. Dalam kondisi ini, rol adonan akan memiliki kadar air tinggi,
karena air yang berevaporasi dari rol adonan. Ini berarti udara di sekeliling rol
adonan memiliki kelembaban tinggi bahkan hampir jenuh. Evaporasi air yang
terjadi selama aging ditunjukan oleh tanda panah dari rol adonan (Gambar 8).
wound dough
Aging Rack
Gambar 8. Proses aging
Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dilakukan pada rak terbuka dan
tidak ditutup oleh plastik atau papan stainless, sehingga terekspos oleh udara
mengalir. Hal ini menyebabkan evaporasi air berlebihan dan permukaan rol
adonan menjadi keras. Penutupan rak aging dengan plastik tidak dilakukan,
karena sisa adonan dapat menempel pada plastik, sehingga dapat ditumbuhi
oleh mikroorganisme, mengingat kadar air adonan yang tinggi dan suhu ruang
aging sekitar 27-32oC memicu pertumbuhan mikroorganisme dengan mudah.
Jika penutupan rak aging tetap dilakukan, plastik yang digunakan harus
dibersihkan secara rutin.
Setelah tahapan aging, lembaran adonan dipotong menjadi ukuran pelet
yang diinginkan, yaitu lebar 1.5-1.7 cm dan panjang 1.5-1.9 cm. Kemudian
pelet dikeringkan pada pengeringan pertama (first dryer) dengan hembusan
udara panas yang berasal dari boiler. Mesin pengering pertama dapat dilihat
pada Gambar 9. Tujuan utama dari proses pengeringan adalah
memperpanjang umur simpan dengan mereduksi aktivitas air (aw) yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim.
Gambar 9. Mesin pengering pertama (www.nposk.com)
Proses pengeringan pertama menggunakan pengering tipe konveyor
pada suhu 55-60oC selama 4-6 jam dengan kecepatan konveyor 30
menit/siklus. Menurut Fellows (2000), pengering tipe konveyor memiliki
tingkat pengeringan moderat dengan kapasitas evaporasi maksimum 1820
kg/jam. Pengeringan yang cepat dan bersuhu tinggi akan menyebabkan
perubahan besar pada tekstur bahan pangan dibandingkan pengeringan dengan
tingkat moderat dan suhu yang lebih rendah. Pengeringan cepat memiliki
kapasitas evaporasi maksimum di atas 15000 kg/jam, seperti pengering tipe
spray dan vacuum band. Pengeringan yang berlebihan akan menyebabkan
masalah cracking pada pelet selama penyimpanan.
Pelet yang telah dikeringkan pada mesin pengeringan pertama dengan
kadar air 13-15% (Anonim6, 2005) disimpan sebagai stok di gudang pelet
dalam kontainer plastik berkapasitas 25 kg. Gudang pelet ini tidak dilengkapi
pengatur suhu dan RH ruangan, sehingga pelet-pelet disimpan pada suhu
ruang dan RH lingkungan. Penyimpanan pelet selama beberapa hari
menyebabkan perbedaan kadar air antar pelet semakin berkurang.
Pengkondisian ini berguna untuk menyeragamkan kadar air antar pelet dan
distribusi air dalam pelet itu sendiri.
Sebelum digoreng, pelet dari gudang dikeringkan kembali pada
pengering kedua sampai dicapai kadar air optimum untuk digoreng yaitu 7-
10%. Pengeringan dilakukan menggunakan mesin pengering bertipe silinder
berputar dengan waktu standar pengeringan 6-12 jam pada suhu 60-70oC.
Sumber panas berasal dari gas elpiji atau pemanas elektrik (Anonim6, 2005).
Kadar air akhir proses pengeringan kedua akan menentukan tingkat
ekspansi produk. Proses pengeringan pada mesin pengering kedua merupakan
pengeringan dengan rasio menurun. Jadi, proses pengeringan berlangsung
lambat, sehingga perbedaan kadar air di permukaan dan dalam pelet semakin
rendah. Pengeringan yang lambat akan memberikan kadar air relatif seragam,
sehingga tingkat ekspansi akan seragam. Selain itu, kecepatan evaporasi uap
air dari permukaan serta difusi internal air harus sama. Jika tidak demikian,
maka permukaan pelet akan mengalami case hardening. Mesin pengering
kedua yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mesin pengering kedua (www.nposk.com)
Setelah pelet dikeringkan pada pengeringan kedua, pelet disimpan
selama 2 sampai 3 jam sebelum digoreng untuk mendistribusikan kadar air
secara seragam pada pelet. Proses penggorengan dilakukan dengan deep
frying menggunakan medium minyak goreng nabati pada suhu 180-200oC.
Pada proses penggorengan, pelet mengalami pemanasan sehingga air yang
terikat pada jaringan menguap dan menghasilkan tekanan uap untuk
mengembangkan struktur elastis jaringan (Setiawan di dalam Zulviani, 1992).
Pelet hasil penggorengan ditambahkan flavour dan dikemas. Mesin
penggorengan dan flavouring dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Mesin penggorengan dan flavouring (www.nposk.com)
Proses penggorengan terjadi dalam 5 tahapan, yaitu pengisian pelet,
penggorengan, penirisan, penuangan dan pengembalian bucket pada posisi
awal. Waktu yang dibutuhkan per batch penggorengan adalah 45-60 menit.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan adonan snack Taro net
adalah tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder. Selain itu
digunakan minyak nabati untuk menggoreng, flavour seperti potato barbeque,
pizza, sosis dan rumput laut serta film plastik untuk kemasan Taro net.
Bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah garam jenuh yaitu KI, NaCl,
KBr dan Na2SO4. Bahan-bahan untuk analisis mikrobiologi adalah larutan
garam pepton, larutan buffer pepton (buffer pepton water), media
Oxytetracycline Malt Extract Agar (OMEA), Rappaport-Vassiliadis
Enrichment Broth (RVEB), Selenite Cystine Broth Base (SCBB), Brilliant
Green Agar modifikasi (BGAm), Mannitol Lysine Crystal Violet Brilliant
Green Agar (MLCBA), Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA),
Polymyxin Pyruvate Egg Yolk Mannitol Bromothymol Blue Agar (PEMBA),
Nutrient Agar (NA), Brain Parker’s Medium (BPA), Brain Heart Infusion
Broth (BHIB), Heart Infusion Broth (HIB), Violet Red Bile Glucose Agar
(VRBGA), Plate Count Agar (PCA), stomacher bag dan plasma kelinci.
Bahan-bahan lain yang diperlukan adalah kapas dan plastik.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah steam
cooker, dough sheeter, cooling conveyor, mesin penggulungan sheet, mesin
pemotong, mesin pengeringan pertama (first dryer), pengeringan kedua
(second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan. Alat-alat yang
digunakan untuk analisis fisikokimia adalah moisture analyzer halogen
drying, oven, aw meter, termometer air raksa, RH meter, desikator, inkubator,
dan kotak bulk density. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi
adalah stomacher, pipet steril, tabung reaksi steril, cawan petri steril,
erlenmeyer, inkubator, glass spreader, bunsen, dan waterbath. Selain itu
digunakan timbangan analitik, gunting, besi rol, kontainer pelet, sudip, cawan
alumunium, cawan porselen, gelas piala, dan palet. Diagram alir metodologi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Tahapan Pembuatan dan Analisis Snack Taro net
@
• Pengamatan karakteristik
mutu bahan baku • Pembuatan adonan dan
lembaran adonan • Pengujian mutu
organoleptik adonan • Pengujian mutu fisik
lembaran adonan • Pengukuran waktu proses
sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging
• Pengujian mutu
mikrobiologis lembaran adonan selama proses aging
• Pengujian pengaruh kelembaban udara (RH) rak aging terhadap proses retrogradasi pati lembaran adonan pada proses aging
• Pengujian pengaruh laju perubahan kadar air terhadap tekstur lembaran adonan selama aging
Terigu, tapioka, gula, garam, baking powder
Pemasakkan dengan steam cooker
Pencetakkan (sheeting)
Pendinginan dengan cooling conveyor
Penambahan tapioka
Penggulungan
Aging
Sheet
Roll sheet
Pelet basah
@
• Perhitungan waste dan pembuatan diagram sebab akibat
• Perhitungan waste dan
pembuatan diagram sebab akibat
• Kurva sorpsi isoterm
pelet hasil pengeringan pertama
• Perhitungan waste dan
pembuatan diagram sebab akibat
• Pengujian pengaruh
kadar air pelet terhadap indeks ekspansi hasil goreng
• Pengujian pengaruh
kadar air hasil goreng terhadap mutu organoleptik
Gambar 12. Diagram alir metodologi penelitian
Pengeringan pertama
Pelet first dryer
Penyimpanan di gudang selama 30 hari
Pelet second dryer
Pengeringan kedua
Penggorengan dan Flavouring
Pengemasan
kue (hasil goreng)
Snack Taro net
B. TAHAPAN PENELITIAN
1. Pengamatan Mutu Bahan Baku
Bahan baku pembuatan snack Taro net adalah tepung terigu, tapioka,
gula, garam dan baking powder. Mutu yang diamati adalah mutu fisik
(kadar air), mutu organoleptik (penampakan, warna, bau dan rasa) dan
mutu mikrobiologi (TPC, koliform, kapang dan khamir). Sampel uji
diambil per lot setiap penerimaan bahan baku.
2. Pembuatan Adonan dan Lembaran Adonan Snack Taro Net
Tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder dimasukan
ke dalam mesin steam cooker. Kemudian diatur persentase air yang akan
ditambahkan dan dijalankan mesin steam cooker selama beberapa menit.
Pada penelitian ini dibuat tiga perlakuan pembuatan adonan dengan
persentase air pemasakan yang berbeda, yaitu 34, 37 dan 40% terhadap
berat bahan baku. Percobaan ini didasarkan pada rancangan acak lengkap
dengan percobaan satu faktor yaitu jumlah air pemasakan. Adonan yang
dihasilkan dialirkan ke sheeter, dipipihkan dan dicetak motif net.
3. Pengujian Mutu Organoleptik Adonan
Adonan yang dihasilkan dari ketiga perlakuan di atas diamati secara
organoleptik, yaitu tekstur, warna dan sifat plastisasi dari air. Warna dan
plastisasi air diamati secara visual sedangkan tekstur diamati dengan
menekan adonan menggunakan tangan.
4. Pengujian Mutu Fisik Lembaran Adonan
Pada lembaran adonan bermotif net dilakukan pengukuran mutu
fisik yang meliputi ketebalan dan elastisitas lembaran. Ketebalan lembaran
diukur menggunakan jangka sorong, sedangkan elastisitas lembaran diukur
dengan uji tarik.
Percobaan dilakukan dengan tiga buah lembaran adonan dari 3
adonan yang memiliki variasi persentase air pemasakan dan setiap
perlakuan diulang sebanyak 5 kali untuk pengujian ketebalan lembaran
adonan sedangkan untuk pengujian elastisitas adonan diulang sebanyak 2
kali. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan
satu faktor. Model linier aditif secara umum dari rancangan satu faktor
dengan rancangan acak lengkap yang digunakan adalah model tetap.
Model tetap merupakan model di mana perlakuan-perlakuan yang
digunakan dalam percobaan berasal dari populasi yang terbatas dan
pemilihan perlakuannya ditentukan secara langsung oleh peneliti. Bentuk
umum dari model linier aditif adalah (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :
Yij = µ + τi + εij atau Yij = µi + εij
di mana i = 1,2, ...., t dan j = 1,2,.... r
Yij = variabel respon pada penambahan jumlah air pemasakan ke-i
dan ulangan ke-j
µi = rataan umum
τi = pengaruh penambahan jumlah air pemasakan ke-i
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
5. Pengukuran Waktu Proses Sheeting, Cooling, Rolling, dan Transportasi ke Ruang Aging
Pengukuran waktu dimulai dari adonan turun dari steam cooker
sebagai detik ke-0 sampai rol adonan terakhir dalam batch tersebut
diletakkan pada rak aging. Pengukuran dilakukan menggunakan stopwatch
pada 2 mesin cooker yang memiliki kapasitas berbeda, yaitu mesin cooker
dengan kapasitas 50 dan 100 kg.
6. Pengujian Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama Proses Aging
Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk rol diletakkan
dalam ruang aging untuk melalui proses aging. Sampel lembaran adonan
diambil pada waktu aging 0, 12, 20, 24 dan 26 jam dari 4 mesin cooker
yang berbeda. Kemudian, dilakukan analisis mikrobiologi pada sampel
tersebut yang meliputi TPC (Total Plate Count), total kapang dan khamir,
total Enterobacter dan uji kualitatif bakteri patogen yaitu B. cereus, S.
aureus dan Salmonella.
Identifikasi pembagian fase pertumbuhan mikrobiologi berdasarkan
analisis TPC mikrobiologi selama aging. Pada setiap fase dilakukan
perhitungan kecepatan pertumbuhan konstan (k) mikrobiologi untuk
menentukan titik kritis waktu aging yang aman. Menurut Fardiaz (2002),
kecepatan pertumbuhan konstan (k) dapat dihitung berdasarkan persamaan
berikut :
keterangan :
k = kecepatan pertumbuhan konstan (generasi/waktu)
Nt = jumlah sel setelah waktu t
No = jumlah sel awal
t = waktu dari No ke Nt (jam atau menit)
7. Pengujian Pengaruh Kelembaban Udara (RH) Rak Aging terhadap Proses Retrogradasi Pati Lembaran Adonan pada Proses Aging
Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk rol diaging
pada 4 rak aging yang dipilih secara acak, yaitu rak aging no. 14, 52, 65
dan 78. Kemudian, dilakukan pengukuran suhu bola basah dan suhu bola
kering pada setiap rak aging. Suhu bola basah dan bola kering diplotkan
pada kurva psikometrik untuk mendapatkan nilai kelembaban udara (RH).
Kemudian dilakukan pengukuran kadar air lembaran adonan pada waktu
aging 0 dan 8 jam.
8. Pengujian Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air terhadap Tekstur Lembaran Adonan Selama Aging
Sebanyak 3 rol lembaran adonan diaging dan tiap rol dibagi menjadi
empat bagian. Pada setiap rol dilakukan pengukuran kadar air pada
lembaran yang terletak pada posisi paling luar, tengah dan dalam dari rol.
Pengukuran dilakukan pada 4 titik jam aging yang berbeda. Kemudian
dilakukan uji kekerasan terhadap tekstur lembaran adonan pada posisi luar,
tengah dan dalam setelah diaging selama 12 jam.
9. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet First Dryer
Desikator berisi contoh disimpan dalam ruang penyimpanan yang
telah diatur suhunya 31oC dan dijaga tetap. Untuk mendapatkan kondisi
RH yang diinginkan, diletakkan larutan garam jenuh sebagai pengatur
k = log Nt – log No 0.301t
kelembaban desikator. Larutan garam jenuh diperoleh dengan melarutkan
garam dalam jumlah berlebih ke dalam air destilata.
RH gudang Taro adalah 65-90%, sehingga dibuat kurva sorpsi
isoterm pada kisaran RH tersebut. Garam jenuh yang digunakan adalah KI
(RH 69%), NaCl (RH 74%), KBr (RH 83%) dan Na2SO4 (RH 87%).
Pelet first dryer sebanyak ± 5 gram dimasukkan dalam cawan
alumunium yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan tersebut
dimasukkan dalam desikator yang telah berisi larutan garam jenuh seperti
Gambar 13. Setiap tiga hari sekali cawan sampel ditimbang sampai
mencapai berat konstan.
Keterangan :
1. Inkubator
2. Desikator
3. Cawan alumunium
4. Penyangga berlubang
5. Larutan garam jenuh
Gambar 13. Susunan Desikator
10. Pengujian Pengaruh Kadar Air Pelet terhadap Indeks Ekspansi Hasil Goreng
Pelet first dryer dikeringkan pada mesin pengering kedua selama
150 menit dan setiap 30 menit sampel diturunkan sebagian dari mesin
pengering kedua. Sampel yang diturunkan diukur kadar airnya
menggunakan moisture analyzer pada 5 titik yang berbeda. Pelet tersebut
kemudian digoreng pada mesin penggorengan dan diukur densitas kamba
hasil gorengnya. Pengukuran densitas kamba menggunakan kotak bulk
density dengan volume 18 liter dan timbangan.
11. Pengujian Pengaruh Kadar Air Hasil Goreng terhadap Mutu Organoleptik
Berdasarkan tekstur, hasil goreng dikelompokkan menjadi empat
yaitu porian, keriting, standar dan bantat. Pada setiap kelompok ini
dilakukan pengukuran kadar air dan aw serta uji kerenyahan. Pengukuran
kadar air menggunakan moisture analyzer, sedangkan aw menggunakan aw
meter dengan ketelitian ±0.02. Uji kerenyahan dilakukan secara
organoleptik.
12. Perhitungan Waste
Waste pada tahap pemotongan dikumpulkan setiap batcg
pemotongan. Waste tersebut dipisahkan menjadi waste rol adonan dan
waste pelet, kemudian ditimbang. Waste pada tahap pengeringan pertama
dikumpulkan untuk setiap mesin pengering pertama. Waste dipisahkan
menjadi waste yang tercecer di sekeliling mesin dan waste yang terdapat
pada bagian dalam mesin, kemudian dilakukan penimbangan. Waste pada
tahap pengeringan kedua dikumpulkan untuk setiap mesin pengering
kedua setelah penurunan pelet dari mesin dan dilakukan penimbangan.
13. Diagram Sebab Akibat
Pembuatan diagram Ishikawa dilakukan dengan brainstorming
bersama Supervisor, Quality Control dan Kepala seksi.
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Fisikokimia
a. Kadar Air (Moisture Analyzer Halogen Drying)
Sampel lembaran adonan dipersiapkan dengan memotong adonan
menjadi ukuran 0.5 cm x 0.5 cm, sampel pelet dipatahkan menjadi empat
persegi kecil sedangkan sampel hasil goreng dihancurkan menjadi
berbentuk bubuk. Sampel sebanyak ±3 gram diletakkan pada piring
alumunium foil yang terdapat pada moisture analyzer, kemudian sampel
diratakan. Sampel lembaran adonan dan pelet menggunakan suhu
pengeringan 200oC, sedangkan hasil goreng suhu 105oC. Tekan tombol
START, moisture analyzer akan mengeringkan sampel dan menampilkan
nilai kadar air secara digital sampai dua angka di belakang koma.
b. Kadar Air (Metode Oven) (UMA 0754)
Cawan kosong dan tutupnya ditimbang, kemudian ditimbang sampel
yang telah dihancurkan atau diblender sebanyak ± 5 gram. Angkat tutup
cawan dan tempatkan cawan beserta isi dan tutupnya dalam oven suhu
105oC selama 4 jam. Tutup dengan penutup cawan, pindahkan cawan ke
desikator, lalu didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali. Kadar air
dihitung berdasarkan berat kering bahan.
Kadar air (%) = berat air yang menguap (gram) x 100%
berat kering contoh (gram)
c. aw
Sebanyak ± 3 gram sampel dihancurkan atau diblender, kemudian
diletakkan pada piringan kecil aw meter. Tempat sampel ditutup, ditekan
tombol START, nilai aw muncul di layar secara digital.
d. Suhu Bola Basah dan Bola Kering
Pengukuran suhu bola kering dilakukan menggunakan termometer
air raksa. Suhu bola basah diukur dengan termometer air raksa yang
bagian bawahnya diletakkan kapas basah, kemudian dianginkan
menggunakan kipas angin sampai suhu stabil.
e. Uji Elastisitas
Uji elastisitas dilakukan menggunakan uji tarik secara manual. Sheet
dipotong persegi panjang dengan ukuran 8 cm x 3 cm, ditarik dari satu sisi
sampai putus di atas penggaris. Catat panjang maksimal sheet yang bisa
dicapai sampai putus. Elastisitas dinyatakan dengan :
Elastisitas = panjang maksimal sheet sampai putus (cm)
8 cm
f. Densitas Kamba
Snack dari penggorengan dimasukkan ke dalam kotak densitas
kamba yang bervolume 18 liter sampai penuh tanpa menekan hasil goreng,
hanya diratakan saja. Kemudian hasil goreng yang telah dimasukkan
dalam kotak ditimbang. Satuan densitas kamba adalah berat bahan (gram)
per 18 liter.
2. Analisis Mikrobiologi
a. Total Plate Count (TPC)
Analisis TPC dilakukan menggunakan metode tuang. Sebanyak
kurang lebih 15 ml PCA (Plate Count Agar) dituangkan ke dalam cawan
petri steril, ditutup dan dibiarkan hingga membeku. Kemudian dipipet 0.1
ml contoh yang telah diencerkan ke dalam cawan petri, diratakan
menggunakan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 30oC selama 2
hari.
b. Total Kapang-Khamir (UMA 0322)
Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam
pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan
garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh
dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media Oxytetracycline
Malt Extract Agar (OMEA), diratakan dengan glass spreader, diinkubasi
terbalik pada suhu 25oC selama 3-5 hari dan dihitung jumlah koloni per
gram. Total kapang diperoleh dari hasil perhitungan koloni yang
bermiselium, sedangkan sisanya adalah koloni khamir.
c. Total Enterobacter (UMA 0333)
Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam
pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan
garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 1 ml contoh
dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam cawan petri steril.
Kemudian dituang 12-13 ml VRBGA cair ke dalam cawan petri yang telah
diinokulasi, diratakan dan diinkubasi terbalik pada suhu 37oC selama 24
jam. Koloni berwarna merah gelap atau ungu, kemudian dihitung jumlah
koloni per gram.
d. Uji Kualitatif B. Cereus (UMA 0339)
Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam
pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan
garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh
dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media PEMBA,
diratakan dengan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 37oC
selama 24-28 jam. Koloni berwarna biru hijau sampai biru dan lebih besar
dari 2 mm dan jelas dengan reaksi kuning telur (egg yolk).
e. Uji Kualitatif Salmonella (UMA 0340)
Sampel sebanyak 25 gram dilarutkan dalam 225 ml larutan buffer
pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik, diinkubasi dalam stomacher
bag selama 20 jam pada suhu 37oC. Sebanyak 0.1 ml contoh dimasukkan
dalam 10 ml RVEB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42oC dan
sebanyak 10 ml contoh dimasukkan dalam 100 ml SCBB dan diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, kultur dari RVEB
digores pada media BGA dan MLCBA atau XLDA, kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Koloni Salmonella pada media BGA
berwarna pink, halus dengan pinggiran merah, pada media MLCBA koloni
besar berwarna ungu kehitaman sedangkan pada media XLDA koloni
berwarna hitam dan memiliki lingkaran merah terang.
f. Uji Kualitatif S. aureus (UMA 0337)
Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam
pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan
garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh
dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media BPA, diratakan
dengan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 37oC selama 24 dan
28 jam. Koloni berwarna hitam mengkilat dengan atau tanpa zona bening.
3. Uji Organoleptik
a. Uji Kekerasan
Metode percobaan uji kekerasan dilakukan uji patah. Uji patah
dilakukan dengan mematahkan lembaran adonan dengan kedua tangan.
Penilaian dilakukan oleh seorang quality control dan memberi penilaian
tentang keras atau lunaknya lembaran adonan dalam 4 kategori yaitu
sangat keras, keras, agak keras dan lunak. Lembaran adonan dengan
kekerasan tinggi akan mudah dipatahkan dan bunyinya nyaring, sedangkan
semakin lunak adonan semakin sulit untuk dipatahkan. Skala yang
diberikan mulai dari (+++) untuk kategori sangat keras dan (-) untuk
kategori lunak.
b. Uji Kerenyahan (Prastyanty, 1998)
Metode percobaan uji kerenyahan dilakukan dengan dua cara yaitu
uji patah dan uji cicip. Uji patah dilakukan dengan mematahkan kerupuk
dengan kedua tangan sedangkan uji cicip dilakukan dengan menggigit
kerupuk. Penilaian dilakukan oleh seorang quality control dan memberi
penilaian tentang renyah atau tidaknya produk dalam 4 kategori yaitu
sangat renyah, renyah, agak renyah dan tidak renyah. Skala yang
diberikan mulai dari (+++) untuk kategori sangat renyah dan (-) untuk
kategori tidak renyah.
4. Analisis Data Statistik
a. Pengujian Hipotesis Analisis Sidik Ragam (Matjik dan Sumertajaya, 2002)
Bentuk hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut :
Ho : τi = ...= τ6 = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang
diamati)
H1 : paling sedikit ada satu i di mana τi ≠ 0
Pengujian hipotesis menggunakan statistik uji F-hitung mengikuti sebaran
F dengan derajat bebas pembilang sebesar t-1 dan derajat bebas penyebut
sebesar t(r-1). Dengan demikian jika nilai F-hitung lebih besar dari
Fα,db1,db2 maka hipotesis nol ditolak dan berlaku sebaliknya. Penolakan
hipotesis nol berimplikasi bahwa perlakuan yang diberikan terhadap unit-
unit percobaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon
percobaan yang diamati.
b. Analisis Hasil Pengujian Korelasi Bivariate Pearson (Santoso, 2002).
1. Hipotesis :
Ho : tidak ada hubungan (korelasi) antara dua variabel
H1 : ada hubungan (korelasi) antara dua variabel
2. Penentuan kesimpulan
Jika probabilitas (signifikansi) > 0.05, maka Ho diterima
Jika probabilitas (signifikansi) < 0.05, maka Ho ditolak
c. Statistika Deskriptif (SPSS)
Analisis dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Menu yang
digunakan adalah descriptive statistics dan submenu frequencies dan
descriptives.
Untuk memperkirakan besar rata-rata populasi yang diperkirakan
dari sampel, digunakan standard error of mean pada tingkat kepercayaan
95%, sehingga rata-rata jumlah waste menjadi = rata-rata ± (t hitung x
Standard error of mean). Karena jumlah sampel di bawah 30, maka yang
digunakan adalah angka t tabel, jika sampel lebih dari 30 maka yang
digunakan z sampel. Selain itu, digunakan rasio skewness untuk
menentukan apakah data berdistribusi normal. Rasio skewness diperoleh
dari nilai skewness dibagi standard error skewness. Jika rasio skewness
berada di antara -2 sampai +2 maka distribusi data normal (Santoso,
2006).
d. Analisis Ragam
Analisis ragam dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Menu yang
digunakan adalah ANOVA one-way. Analisis hasil pengujian adalah
sebagai berikut (Santoso, 2006) :
a. Hipotesis :
Ho : kelima rata-rata populasi adalah identik
H1 : kelima rata-rata populasi adalah tidak identik
b. Penentuan kesimpulan
Jika probabilitas (signifikansi) > 0.05, maka Ho diterima
Jika probabilitas (signifikansi) < 0.05, maka Ho ditolak
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah waste yang nyata
pada setiap mesin pengering kedua dilakukan analisis ragam ANOVA one-
way. Jika sampel tidak mempunyai varians yang sama, maka dilakukan
transformasi data dan diperoleh nilai signifikansi dari test of homogeneity
of variances. Jika nilai probabilitas > 0.05, maka berarti kelima varians
populasi adalah identik (Santoso, 2006). Dengan demikian, kesamaan
varians yang merupakan salah satu syarat uji ANOVA telah terpenuhi.
Setelah kelima varians terbukti sama, baru dilakukan uji ANOVA
untuk menguji apakah kelima mesin mempunyai rata-rata yang sama
berdasarkan nilai probabilitas. Untuk mengetahui mesin mana saja yang
berbeda dan yang tidak berbeda dilakukan post hoc menggunakan analisis
Bonferroni dan Tukey. Hasil uji signifikansi dengan mudah bisa dilihat
pada hasil analisis dengan ada atau tidaknya tanda * pada kolom mean
difference. Jika terdapat tanda *, maka perbedaan tersebut nyata atau
signifikan. Selain itu bisa dipergunakan homogenous subset untuk
menyatakan subset mana saja yang mempunyai perbedaan rata-rata tidak
signifikan (Santoso, 2006).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK MUTU BAHAN BAKU
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah
terigu, tapioka, gula, garam, baking powder, minyak nabati dan flavor. Untuk
mendapatkan produk yang baik, bahan baku yang dipergunakan harus
berkualitas baik. Parameter utama untuk menentukan kualitas bahan baku
adalah kadar air yang mempengaruhi karakteristik produk, baik mutu
fisikokimia, organoleptik dan biologis. Berikut ini adalah ambang batas
maksimum kadar air dari masing-masing bahan baku yang dipergunakan di
PT. Rasa Mutu Utama (Tabel 9).
Tabel 9. Ambang batas maksimum kadar air bahan baku
Bahan Baku Kadar air maksimum (%) Tepung terigu 14.001
Tapioka 15.002 Gula 0.04
Garam 0.08 Baking powder 7.00
Perisa 6.00 – 7.00 Minyak nabati 0.303
Sumber : 1SNI 01-3751-1995, 2SNI 01-3451-1994, 3SNI 01-3741-1995
1. Mutu Biologis Bahan Baku
Kadar air dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas keamanan
bahan dari kontaminasi mikroorganisme. Bahan pangan yang memiliki
kadar air tinggi cenderung lebih mudah ditumbuhi mikroorganisme dan
serangga. Karakteristik hidratasi yang sering digunakan dalam penentuan
mikrobiologis adalah aw.
Flora mikroorganisme pada terigu, dan produk sejenis biasanya
bersumber dari tanah, lingkungan penyimpanan, dan selama proses.
Produk-produk ini kaya akan protein dan karbohidrat, namun aw yang
rendah dapat menekan pertumbuhan semua mikroorganisme jika disimpan
dengan benar. Jumlah mikroorganisme dalam tepung relatif sedikit dan
penambahan pemutih dapat mengurangi jumlah mikroorganisme. Ketika
terjadi kenaikan aw, bakteri dari genus Bacillus dan kapang dari beberapa
genus dapat tumbuh (Jay, 2000). Menurut Frazier dan Wetshoff (1988)
mikroorganisme pada tepung terigu meliputi spora Bacillus, bakteri
koliform, dan beberapa dari genus Achromobacter, Flavobacterium,
Sarcina, Micrococcus, Alcaligenes dan Serratia. Spora kapang umumnya
berasal dari Aspergilus dan Penicillium, dengan beberapa dari Alternaria,
Cladosporium dan genus lainnya.
Pembentuk spora aerobik, seperti Bacillus cereus dapat
memproduksi amilase, sehingga mikroorganisme dapat menggunakan
tepung dan produk sejenis sebagai sumber energi jika kandungan air bahan
mencukupi. Kandungan air yang lebih rendah akan menyebabkan
pertumbuhan kapang yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dan
pembentukkan spora, seperti genus Rhizopus dengan spora hitam (Jay,
2000). Pada tepung berkadar air rendah kapang tidak akan tumbuh tetapi
pada kadar air di atas 14%, kapang dapat tumbuh (Hoseney di dalam Butt,
et al., 2003).
Mikroorganisme E. coli seringkali mengkontaminasi tepung-
tepungan. Menurut Fardiaz (1989), bakteri ini merupakan indikator adanya
polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan,
susu dan produk-produk susu. Adanya bakteri ini di dalam makanan atau
minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang
bersifat enteropatogenik dan/atau toksigenik yang berbahaya bagi
kesehatan.
Bahan baku snack ternyata memiliki potensi terhadap cemaran
mikrobiologis yaitu bakteri, kapang dan khamir. Analisis mikrobiologi
bahan baku snack Taro net, yaitu tepung terigu, tapioka, gula, garam dan
baking powder dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Analisis mikrobiologi bahan baku snack Taro net
Mikrobiologi (kol/gram) Bahan Baku Kadar air (%) TPC Koliform Kapang Khamir
Terigu 12.24 1.9 x 102 0 1.6 x 102 0 Tapioka 12.73 2.3 x 102 0 1.0 x 101 0
B. powder 5.03 0 0 0 0 Gula 0.23 - - - -
Garam 0.17 - - - -
Dari kelima bahan baku snack di atas, tepung terigu dan tapioka
merupakan bahan yang paling banyak memiliki cemaran biologis. Hal ini
dikarenakan karakteristik tepung terigu yang kaya akan karbohidrat dan
protein serta tapioka yang merupakan pati singkong.
Tepung terigu yang dianalisis memiliki jumlah koloni 1.9 x 102
koloni/gram (metode hitungan cawan/TPC) dan kapang 1.6 x 102
koloni/gram, sedangkan koliform dan khamir 0 koloni/gram. Fardiaz
(1992) menyatakan ada beberapa keunggulan perhitungan koloni dengan
metode hitungan cawan (Total Plate Count), yaitu hanya sel yang masih
hidup yang dihitung. Profil mikrobiologi normal pada tepung-tepungan
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Profil mikrobiologi tepung-tepungan
Mikroflora normal Kisaran Jumlah (koloni/gram) Kapang 102 – 104 Khamir 10 – 102 Bakteri :
• Aerobic Plate Count • Koliform • Spora pembusuk
102- 106 0 – 10 0 - 102
Sumber : Frazier dan Westhoff (1988)
Berdasarkan Tabel 11, tepung terigu yang digunakan dalam
pembuatan snack Taro net memiliki mutu mikrobiologis yang baik, karena
jumlah kapang, khamir dan koliform pada tepung terigu masing-masing
1.6 x 102, 0 dan 0 koloni/gram masih dalam kisaran normal yaitu 102- 104,
10-102, dan 0-10. Hasil analisis tepung terigu ini juga memenuhi standar
SNI 01-3751-1995 tentang tepung terigu, yaitu angka lempeng total (TPC)
maksimum 106 koloni/gram, kapang 104 koloni/gram dan E. coli 10
APM/g. Hal ini didukung oleh kadar air tepung terigu yang rendah yaitu
12.24%, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Tapioka yang merupakan pati singkong memiliki TPC 2.3 x 102
koloni/gram, kapang 1.0 x 101 koloni/gram, koliform 0 koloni/gram dan
khamir 0 koloni/gram. Menurut SNI 01-3451-1994, standar cemaran
mikrobiologi untuk tapioka adalah angka lempeng total (TPC) maksimum
1.0 x 106, kapang 1.0 x 104 dan E. coli 10. Berdasarkan standar SNI 01-
3451-1994, tapioka yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net
memiliki mutu mikrobiologis yang baik, karena hasil analisis mikrobiologi
tapioka masih dalam kisaran standar. Hal ini didukung oleh kadar air
tapioka yang rendah yaitu 12.73%, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1988),
tapioka akan rusak jika terjadi kenaikan kadar air. Kerusakan disebabkan
oleh bakteri dengan pigmen oranye yang dapat menghidrolisa pati.
Menurut Frazier dan Westhoff (1988), jika dilihat dari aspek
kesehatan publik, kontaminasi serealia dan produknya oleh kapang telah
menjadi perhatian utama karena kemungkinan adanya mikotoksin.
Mikotoksin utama yang terdapat pada bahan pertanian dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Hasil analisis mikrobiologi pada baking powder, tidak ditemukan
cemaran mikrobiologi. Hal ini dikarenakan komposisi baking powder yang
berupa soda kue, asam dan bahan pengisi tidak mendukung pertumbuhan
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992), salah satu
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jasad renik adalah tersedianya
nutrien yaitu sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor pertumbuhan
seperti mineral dan vitamin. Gula dan garam tidak dilakukan analisis
mikrobiologi, karena kedua komponen tersebut mempunyai aksi sebagai
pengawet makanan dan tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme.
Selain mikroorganisme, ada beberapa serangga yang dapat
mengkontaminasi produk serealia yang belum diolah. Kadar air dari
komoditas pangan yang diserang oleh serangga hama gudang mempunyai
pengaruh terhadap pertumbuhan serangga seperti halnya pengaruh suhu.
Pada kadar air rendah, serangga mungkin masih hidup tetapi tingkat
pertumbuhannya rendah. Sebaliknya pada komoditas pangan dengan kadar
air tinggi pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain akan mengurangi
kemampuan serangga hama gudang untuk tetap hidup dan berkembang
biak. Pengaruh kadar air komoditas pangan terhadap kehidupan serangga
sangat erat hubungannya dengan kelembaban relatif di mana komoditas
pangan disimpan (Syarief dan Halid, 1989).
Serangga yang hidup pada penyimpanan serealia dan produknya
tergantung pada suplai air (kadar air). Secara umum, kadar air 9% atau
lebih rendah dapat menghambat infestasi serangga (Butt, et al., 2003).
Serangga-serangga yang menyerang produk serealia dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12. Serangga-serangga yang menyerang serealia
No Nama Serangga Keterangan Kondisi Pertumbuhan Optimum
1 Rhyzoptera dominica Fabricus
hama penting pada sereal yang belum diolah
RH 70%, suhu 34oC
2 Oryzaephilus surinamensis Linnaeus
hama penting pada sereal yang belum diolah
Suhu 30-35oC, RH 70%.
3 Tribolium castaneum
Hama sekunder pada sereal
Suhu 35oC, RH 75%
4 Tenebroides mauritanicus Linnaeus
Hama sekunder pada sereal dan tepung
-
5 Ephestia spp. Hama gudang penting pada tepung sereal
Suhu 28oC, RH 75%
6 Corcyra Cephalonica
Hama yang suka menyerang tepung sereal
Suhu 30oC, RH 70%
Sumber : Syarief dan Halid (1989)
Melihat potensi pertumbuhan mikroorganisme dan serangga, perlu
dilakukan penyimpanan bahan baku yang benar, yaitu disimpan dalam
ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat, cukup
penerangan, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan yang
terdahulu diterima sebaiknya digunakan terlebih dahulu (first in first out).
Kondisi ruang penyimpanan harus dikontrol, baik suhu maupun RH
ruangan, sehingga kadar air bahan baku dapat dijaga konstan untuk
meminimalisasi potensi pertumbuhan serangga maupun mikroorganisme.
Selain itu, sanitasi pekerja perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi
silang yang bersumber dari pakaian atau tangan karyawan
.
2. Mutu Fisiko-kimia Bahan Baku
Tepung terigu merupakan bahan baku dengan komposisi terbesar
dalam pembuatan snack Taro net. Tepung terigu yang baik memiliki kadar
air maksimal 14%. Kadar air tepung yang terlalu tinggi akan menyebabkan
adonan menjadi lebih elastis dan kenyal. Menurut Barbosa-Canovas dan
Yan (2003), kadar air tepung mempengaruhi kelengketan dan konsistensi
adonan. Adonan yang dibuat dari tepung berkadar air rendah lebih sensitif
terhadap perubahan absorpsi air adonan daripada adonan yang dibuat dari
tepung berkadar air tinggi.
Kadar air tepung berhubungan dengan umur simpannya, semakin
rendah kadar air tepung, maka stabilitas penyimpanan tepung akan
semakin baik. Selain itu, kerusakan kualitas baking akan berkurang seiring
dengan rendahnya kadar air yang dapat memperlambat respirasi dan
aktivitas mikroorganisme (Staudt dan Zeigler di dalam Butt, et al., 2003).
Kadar air tepung yang tinggi akan menyebabkan aktivitas lipolitik dan
proteolitik meningkat, sehingga mengakibatkan hilangnya nutrisi (protein
dan lemak) dan meningkatnya produksi asam lemak bebas yang
menyebabkan mutu organoleptik produk menjadi rendah (Butt, et al.,
2003).
Tapioka yang digunakan harus memiliki kadar air maksimal 13%.
Masalah yang sering timbul pada bahan tepung-tepungan seperti tepung,
tapioka dan pati adalah penggumpalan atau caking. Caking dikarakterisasi
oleh pembentukkan gumpalan lembut atau total soldifikasi yang
disebabkan gaya interpartikel yang berkembang di bawah penyerapan air,
suhu yang menaik, atau tekanan statis. Ada banyak faktor yang
menyebabkan pembentukan gumpalan, tetapi faktor utamanya adalah
kadar air, komposisi, tekanan, ukuran kristal dan bentuk, suhu dan variasi
kelembaban (Barbosa-Canovas dan Yan, 2003).
Kadar air merupakan musuh utama bagi baking powder, karena
dapat memperpendek umur simpannya. Selain itu, kelembaban udara dapat
bereaksi dengan komponen aktif pada baking powder dan menurunkan
efektivitasnya. Selama penyimpanan, jika menyerap air maka baking
powder akan menggumpal. Penentuan kualitas baking powder dapat
dilakukan dengan mengambil satu sendok teh baking powder dan
memasukannya dalam air panas. Jika terbentuk desis air, maka baking
powder masih layak untuk digunakan (Eborn, 2005).
Gula bersifat higroskopis dan akan menggumpal jika menyerap air.
Begitu pula dengan garam yang menyerap air dari udara jika tidak tertutup
rapat. Jika garam menyerap air dan menggumpal, dapat dikeringkan
dengan oven (Anonim5, 2006)
Kadar air juga berpengaruh terhadap mutu minyak nabati yang
digunakan untuk menggoreng. Menurut SNI 01-3741-1995, kadar air
minyak goreng maksimal 0.3%. Hal ini dikarenakan adanya air dapat
memicu reaksi hidrolisis yang akan memecah trigliserida menjadi gliserol
dan asam lemak bebas. Menurut Ketaren (1986), asam lemak bebas dapat
menghasilkan bau tengik dan rasa tidak enak dalam bahan pangan
berlemak. Asam lemak bebas yang bereaksi dengan amonia yang
dihasilkan dari degradasi protein akan menimbulkan bau sabun yang tidak
enak (soapy flavour). Oleh karena itu, reaksi hidrolisis minyak ini harus
diawasi dengan pengecekkan kadar FFA (free fatty acid) minyak. Menurut
SNI 01-0741-1995, nilai FFA minyak yang baik adalah maksimal 0.3%.
3. Mutu Organoleptik Bahan Baku
Bahan baku pembuatan snack Taro net harus melalui pemeriksaan
mutu terlebih dahulu sebelum digunakan. Pemeriksaan mutu melalui
evaluasi organoleptik dianggap paling mudah dan praktis. Menurut
Soekarto (1985), penilaian mutu dengan cara ini disenangi karena dapat
dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Uji organoleptik yang dilakukan
meliputi penampakan, aroma, rasa, dan tekstur. Parameter-parameter yang
digunakan dalam pengujian organoleptik dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Parameter uji organoleptik bahan baku snack Taro net
Bahan baku Parameter uji organoleptik Tepung terigu1 Berwarna putih krem, kering, tidak menggumpal, tidak
berbau (bau normal), tidak berkutu dan bebas bahan cemaran.
Tapioka2 Berwarna putih, tidak berbau (bau normal), tidak berkutu, dan bebas bahan cemaran.
Gula Berupa kristal putih jernih, berasa manis dan tidak berbau Garam Berupa kristal putih transparan, bersih, bebas cemaran dan
berasa asin Baking powder Berwarna putih dan bebas cemaran. Perisa rumput laut
Berupa bubuk dengan flake kehijauan, kering dan tidak menggumpal.
Perisa kentang barbekyu
Berupa bubuk berwarna coklat, kering, tidak menggumpal dan beraroma kentang.
Perisa pizza Berupa bubuk berwarna oranye kecoklatan, kering, tidak menggumpal dan berasa pizza pepperoni.
Minyak goreng3
Tidak berasa, tidak berbau dan berwarna jernih kekuningan.
Sumber : 1SNI 01-3751-1995, 2SNI 01-3451-1994, 3SNI 01-3741-1995
B. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ADONAN DAN LEMBARAN ADONAN (SHEET)
Air digunakan untuk mencampurkan semua bahan dan pemasakan
adonan. Air yang digunakan memiliki pH sekitar 7.5. Persentase jumlah air
yang ditambahkan akan menentukan karakteristik mutu adonan dan lembaran
adonan yang dihasilkan.
Pada percobaan ini dilakukan pemasakan adonan dengan tiga perlakuan,
yaitu perbedaan persentase jumlah air untuk jumlah bahan kering yang sama.
Persentase jumlah air yang ditambahkan yaitu 34, 37 dan 40%. Adonan yang
dihasilkan dari masing-masing perlakuan berbeda-beda, dilihat dari mutu fisik
dan organoleptik adonan.
1. Pengaruh Kadar Air Pemasakan terhadap Mutu Organoleptik Adonan
Jumlah air pada pemasakan adonan mempengaruhi proses
gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati terjadi ketika terdapat air dalam jumlah
berlebih dan suhu yang mencukupi suhu gelatinisasi masing-masing pati.
Semakin berlebih jumlah air, gelatinisasi pati terjadi semakin sempurna.
Menurut Muchtadi, et al. (1989), jika tidak terdapat air dalam jumlah
yang cukup maka yang terjadi adalah proses peleburan dari granula pati
sebagai akibat adanya pemanasan. Peleburan granula pati terjadi pada suhu
yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasinya. Jika jumlah air tidak
mencukupi maka akan terjadi destabilisasi bagian amorf dan kristal dari
granula pati sebagai akibat penetrasi air dan panas dalam granula. Akan
tetapi karena jumlah air yang tersedia tidak mencukupi maka gelatinisasi
hanya berlangsung sebagian. Perbedaan dari masing-masing perlakuan
dapat diamati dari penampakan adonan yang meliputi warna, tekstur dan
plastisasi dari air yang dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Karakteristik organoleptik penampakan adonan
Persentase air pemasakan (%)
Warna adonan
Tekstur Plastisasi air
Gambar
34 Kuning cerah Agak keras Kurang
37 Kuning agak gelap
Lunak Cukup
40 Kuning gelap Lunak Sempurna
Warna adonan dengan penambahan air 34% adalah kuning cerah dan
tekstur agak keras. Plastisasi air pada adonan ini kurang, karena masih ada
sedikit gumpalan tepung. Pada adonan dengan penambahan air 37%,
warna adonan berwarna kuning tetapi agak gelap dibandingkan adonan
dengan penambahan air 34% dan teksturnya lebih lunak. Plastisasi air pada
adonan ini terbilang cukup karena tidak terdapat gumpalan tepung dan
tidak lengket. Adonan dengan penambahan air 40% berwarna kuning
gelap dibandingkan dua adonan lainnya dan teksturnya lunak. Plastisasi air
pada adonan ini sempurna, karena adonan tercampur merata di semua
bagian dan lengket.
Semakin tinggi persentase air pemasakan membuat adonan berwarna
kuning semakin gelap dan mengkilap. Penambahan air juga membuat
tekstur adonan semakin lunak. Hal ini disebabkan plastisasi air semakin
sempurna dengan semakin banyaknya jumlah air yang ditambahkan
sehingga mempengaruhi viskositas adonan. Adonan dengan viskositas
rendah memiliki tekstur yang lebih lunak.
Dari ketiga perlakuan dengan variasi jumlah air pemasakan
diperoleh karakteristik adonan yang berbeda-beda. Adonan dengan
penambahan air 34% memiliki tekstur yang keras sehingga memerlukan
tenaga yang besar untuk memasukkan adonan ke sheeter dan adonan
kurang merata karena terdapat sedikit gumpalan tepung. Adonan dengan
penambahan air 37% memiliki tekstur lunak, sehingga tidak memerlukan
tenaga yang besar untuk memasukkan adonan ke sheeter dan adonan tidak
lengket sehingga tidak menempel pada mesin. Adonan dengan
penambahan air 40% memiliki plastisasi air yang sempurna, sehingga
elastisitas adonan meningkat.
Adonan yang diinginkan memiliki warna kuning cerah dan
mengkilap. Jika dilihat dari karakteristik organoleptik masing-masing
adonan yaitu warna, tekstur dan plastisasi air, maka adonan dengan
persentase air 37% memiliki karakteristik paling baik.
2. Pengaruh Kadar Air Pemasakan terhadap Mutu Fisik Lembaran Adonan (sheet)
Penambahan jumlah air yang semakin banyak menyebabkan kadar
air adonan semakin tinggi (Gambar 14). Semakin tinggi persentase air
pemasakan yaitu 34, 37 dan 40% maka kadar air rata-rata lembaran
adonan semakin meningkat yaitu 34.9%, 36.2%, dan 39.4%.
34.9
36.2
39.4
32
33
34
35
36
37
38
39
40
34 37 40
Persentase air pemasakan (%)K
adar
air
lem
bara
n ad
onan
(%)
Gambar 14. Kadar air (%) lembaran adonan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap
pengaruh persentase air pemasakan terhadap kadar air lembaran adonan
(Lampiran 7), dapat disimpulkan bahwa persentase air pemasakan
berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada taraf nyata
0.05.
Pada perlakuan variasi persentase air pemasakan yaitu 34, 37 dan
40% diperoleh ketebalan lembaran adonan yang semakin menurun yaitu
1.9, 1.8 dan 1.6 mm (Gambar 15). Hal ini berarti semakin tinggi kadar air
lembaran adonan maka semakin tipis lembaran adonan.
1.9
1.8
1.6
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
34 37 40
Persentase air pemasakan (%)
Ket
ebal
an le
mba
ran
adon
an (m
m)
Gambar 15. Ketebalan rata-rata lembaran adonan (mm)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap pada
Lampiran 8, dapat disimpulkan bahwa persentase jumlah air pemasakan
berpengaruh nyata terhadap ketebalan adonan pada taraf nyata 0.05.
Ketika adonan dibuat menjadi lembaran, adonan dengan kadar air
tinggi menghasilkan lembaran adonan yang lebih tipis pada jarak rol
sheeter yang sama dibandingkan dengan adonan dengan kadar air lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan adonan dengan kadar air tinggi memiliki
tekstur lebih lunak dan viskositas yang lebih rendah.
Ketebalan lembaran adonan yang diinginkan adalah 1.4 – 1.7 mm,
sehingga adonan dengan air 40% memiliki ketebalan dalam kisaran
standar yaitu 1.6 mm. Adonan dengan air 34 dan 37% memiliki ketebalan
lembaran yaitu 1.9 dan 1.8 mm, di mana ketebalan ini tidak memenuhi
standar PT. Rasa Mutu Utama.
Persentase air pemasakan juga berpengaruh terhadap elastisitas
lembaran adonan (Gambar 16). Dari rata-rata elastisitas lembaran adonan
pada setiap persentase air pemasakan terlihat semakin tinggi kadar air
adonan akan meningkatkan elastisitas lembaran adonan.
2.06
2.16
2.34
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
34 37 40
Persentase air pemasakan (%)
Ela
stis
itas
adon
an
Gambar 16. Elastisitas rata-rata lembaran adonan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap
pengaruh jumlah air pemasakan terhadap elastisitas lembaran adonan
(Lampiran 9), dapat disimpulkan bahwa persentase air pemasakan
berpengaruh nyata terhadap elastisitas lembaran adonan pada taraf nyata
0.05.
Elastisitas lembaran adonan akan mempengaruhi tingkat ekspansi
snack ketika digoreng. Berdasarkan studi di Jepang, elastisitas lembaran
adonan yang dapat menghasilkan tingkat ekspansi yang baik adalah 3.
Adonan dengan air 40% paling mendekati standar tersebut dengan
elastisitas 2.34 dibandingkan adonan dengan air 34 dan 37% yang
memiliki elastisitas 2.06 dan 2.16.
Berdasarkan Gambar 16 semakin tinggi persentase air pemasakan,
elastisitas lembaran adonan semakin tinggi. Hal ini disebabkan pengaruh
gluten dan gelatinisasi pati, yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan jaringan pada adonan. Gluten terbentuk dengan penambahan
air pada saat pencampuran adonan dan semakin tinggi penyerapan air oleh
gluten, maka adonan semakin elastis dan lengket. Ketika terdapat air
dalam jumlah berlebih dan dipanaskan, terjadi gelatinisasi pati yang
menyebabkan adonan elastis dan lengket. Semakin tinggi jumlah air yang
ditambahkan, maka dihasilkan lembaran adonan semakin elastis karena
sifat gluten dan pati yang tergelatinisasi sempurna.
Adonan dengan penambahan air 40% memberikan ketebalan dan
elastisitas paling baik dibandingkan adonan dengan penambahan air 34
dan 37%. Namun adonan dengan penambahan air 40% memiliki warna
kuning gelap yang tidak diinginkan. Untuk menghindari warna kuning
yang gelap dapat dilakukan pengurangan suhu dan waktu pemasakan.
3. Pengaruh Kadar Air Lembaran Adonan terhadap Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi Selama Proses Pendinginan (cooling)
Pemasakan adonan berlangsung selama kurang lebih 9 menit
menggunakan steam bersuhu 180-200oC. Pemasakan suhu tinggi ini dapat
mereduksi jumlah mikroorganisme, sehingga adonan dapat dikatakan
aman dari mikroorganisme. Namun, mikroorganisme pembentuk spora
seperti B. cereus dapat membentuk spora yang resisten terhadap panas.
Kejutan seperti panas yang tinggi dapat membuat spora bergerminasi
(Abedon, 2003).
Adonan yang telah masak kemudian dibuat menjadi lembaran dan
dialirkan menggunakan cooling conveyor. Pada saat inilah, potensi
terbesar terjadinya kontaminasi silang dari udara, bahan lain dan pekerja.
Hal ini dikarenakan tidak semua bagian cooling conveyor tertutup rapat,
ada beberapa tempat yang mengekspos lembaran adonan ke udara terbuka.
Selain itu, ada kontak bahan dengan pekerja pada saat sheeting dan
penggulungan. Waktu yang dibutuhkan pada saat adonan turun dari cooker
sampai adonan digulung dan diletakkan pada ruang aging cukup lama dan
berbeda setiap mesin (Gambar 17).
16.78
28.97
0
5
10
15
20
25
30
35
50 100
Kapasitas Mesin Cooker (kg)
Wak
tu (m
enit)
Gambar 17. Waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling, rolling dan
transportasi ke ruang aging
Mesin cooker terdiri dari mesin steam cooker, sheeter dan cooling
conveyor yang dirangkai secara kontinyu. Kapasitas mesin cooker yang
berbeda mempengaruhi waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling,
rolling dan transportasi ke ruang aging. Jika diidentifikasi waktu tersebut
terdiri dari sheeting, cooling pada konveyor berjalan, tempering, rolling
dan pengangkutan ke ruang aging. Selama proses ini berlangsung,
lembaran adonan yang memiliki kadar air sekitar 33%, mengalami kontak
dengan udara, tapioka tabur, permukaan peralatan dan pekerja.
Karakteristik lembaran adonan yang memiliki kadar air dan aw yang tinggi
serta kaya protein dan karbohidrat akan memicu potensi pertumbuhan
mikroorganisme.
Kondisi udara pada ruang produksi penuh dengan tepung-tepungan
yang berterbangan, serta RH relatif tinggi sangat disenangi oleh
mikroorganisme. Hasil analisa mikrobiologi udara pada ruang aging yang
terletak dalam satu ruangan besar dengan cooker dan sheeter dapat dilihat
pada Tabel 15.
Tabel 15. Analisa mikrobiologi udara ruang aging
Area TPC (koloni/g)
Enterobacter (koloni/gram)
Kapang (koloni/gram)
Khamir (koloni/gram)
R. aging 1 7.8 x 102 2 4.1 x 101 1.1 x 101 R. aging 2 1.3 x 103 2 3.8 x 101 4
Berdasarkan Tabel 15, udara memiliki peluang yang cukup besar
untuk mengkontaminasi produk, dengan TPC 7.8 x 102 pada ruang aging 1
dan 1.3 x 103 pada ruang aging 2. Selain itu, tapioka tabur yang digunakan
tidak disimpan pada tempat tertutup dan prosedur sanitasi kurang baik
dijalankan. Hal ini dapat menjadi sumber cemaran mikrobiologis.
Potensi terjadinya kontaminasi mikroorganisme juga dapat berasal
dari pekerja. Hal ini dikarenakan pekerja tidak dilengkapi alat pengaman
diri yang memadai, seperti sarung tangan, masker, topi dan celemek.
Perlengkapan tersebut disediakan namun jumlahnya tidak cukup sehingga
seringkali perlengkapan tersebut tidak dicuci atau dibersihkan
sebagaimana prosedur sanitasi yang baik. Selain itu, pekerja seringkali
menjatuhkan lembaran adonan ke lantai saat penggulungan. Hal ini dapat
menyebabkan kontaminasi dari lantai, apalagi lantai ruang produksi hanya
dibersihkan tetapi tidak didesinfektasi. Begitu pula halnya dengan
permukaan meja yang kontak dengan makanan tidak mendapatkan
prosedur sanitasi rutin.
Sumber cemaran mirobiologis utama selama sheeting, cooling,
rolling dan transportasi ke ruang aging adalah udara, tapioka tabur, pekerja
dan permukaan meja yang kontak dengan bahan. Kontaminasi pada
adonan selama proses sheeting sampai transportasi ke ruang aging dapat
menyebabkan pertumbuhan dan pembelahan mikroorganisme. Menurut
Abedon (2003), waktu yang dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan satu
pembelahan biner disebut waktu generasi. Waktu generasi untuk masing-
masing mikroorganisme berbeda-beda dan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Waktu generasi beberapa mikroorganisme cemaran
Bakteri Medium Waktu generasi (menit)
E. coli Glucose-salt 17 Staphylococcus aureus Heart Infusion Broth 27-30
B. cereus - 11* Sumber : Todar (2002), *Doyle (2001)
Berdasarkan Tabel 16, selama proses sheeting, cooling, rolling dan
transportasi ke ruang aging pada mesin C1 selama 16.78 menit
memungkinkan terjadinya pembelahan biner B. cereus. Pada mesin C5
dengan waktu 28.97 menit memungkinkan terjadi pembelahan biner B.
cereus, E. coli dan S.aureus. Tapi, harus diperhitungkan juga waktu
adaptasi (fase lag) mikroorganisme sebelum memasuki fase pertumbuhan
(fase log). Menurut Fardiaz (1992), lamanya fase adaptasi dipengaruhi
oleh beberapa faktor di antaranya adalah (1) medium dan lingkungan
pertumbuhan dan (2) jumlah inokulum. Untuk meminimalkan potensi
cemaran mikrobiologi pada adonan selama proses sheeting sampai
transportasi ke ruang aging dapat dilakukan pelatihan sanitasi pada pekerja
dan pembuatan SSOP (Standard Sanitation Operation Procedure) untuk
sanitasi udara, lantai dan permukaan yang kontak dengan bahan.
4. Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama Proses Aging
Adonan berbentuk rol diletakkan pada rak-rak aging dan diaging
selama 8-16 jam. Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dibatasi maksimal
16 jam untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme, khususnya kapang
pembentuk toksin yang mungkin mengkontaminasi produk.
Lembaran adonan merupakan produk setengah jadi yang paling
berpotensi terkontaminasi oleh mikroorganisme, karena karakteristiknya
yang menunjang pertumbuhan mikroorganisme yaitu kaya karbohidrat,
protein relatif tinggi, kadar air tinggi (30-33%), aw tinggi (> 0.90), suhu
optimum (27-32oC) dan RH yang relatif tinggi (70-80%). Oleh karena itu,
line proses adonan harus dikontrol untuk meminimalisasi kontaminasi.
Proses pengeringan yang dilakukan dapat membunuh mikroorganisme,
namun pada saat sheeting dan aging sudah terjadi perkembangbiakan
mikroorganisme yang dapat menurunkan kualitas produk. Semakin lama
waktu aging, jumlah mikroorganisme yang dianalisis semakin meningkat
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil analisa mikrobiologi lembaran adonan selama aging
Hasil Analisa Mikrobiologi Lembaran Adonan Umur aging (jam)
TPC (kol/g)
Kapang (kol/g)
Khamir (kol/g)
S. aureus B. cereus Enterobacter (kol/g)
0 2.5x104 0 0 negatif negatif 0 12 7.8x104 0 0 negatif negatif 0 20 3.5x106 0 0 negatif negatif 0 24 3.5x106 0 0 negatif negatif 0 26 1.7x106 0 0 negatif negatif 0
Berdasarkan Tabel 17, semakin lama waktu aging jumlah
mikroorganisme yang dianalisis dengan TPC semakin meningkat, tetapi
pada waktu aging 26 jam mengalami penurunan. Peningkatan jumlah
koloni disebabkan mikroorganisme mengalami pertumbuhan yaitu
pertambahan sel, sedangkan penurunan jumlah koloni disebabkan
kematian sel mikroorganisme. Jika jumlah koloni dihubungkan dengan
waktu aging, maka diperoleh kurva seperti dapat dilihat pada Gambar 18.
0.0E+00
5.0E+05
1.0E+06
1.5E+06
2.0E+06
2.5E+06
3.0E+06
3.5E+06
4.0E+06
0 5 10 15 20 25 30
waktu aging (jam)
Jum
lah
mik
roba
(kol
oni/g
ram
)
Gambar 18. Kurva hubungan antara jumlah koloni dengan waktu aging
Jika diperhatikan, kurva hubungan antara jumlah koloni dengan
waktu aging hampir serupa dengan kurva pertumbuhan mikroorganisme.
Pada waktu aging 0-12 jam merupakan fase pertumbuhan awal, karena
terjadi peningkatan jumlah koloni tetapi sedikit. Menurut Fardiaz (1992),
selama fase pertumbuhan awal sel mulai membelah dengan kecepatan
yang masih rendah. Kemudian pada waktu aging 12-20 jam merupakan
fase pertumbuhan logaritmik, di mana mikroorganisme membelah dengan
sangat cepat sedangkan waktu aging 20-24 jam merupakan fase
pertumbuhan tetap (statis). Pada fase pertumbuhan tetap, sel-sel menjadi
lebih tahan terhadap keadaan ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan
bahan kimia. Fase menuju kematian (death phase) terjadi pada waktu
aging 24-26 jam, dan kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi
nutrien, lingkungan dan jenis mikroorganisme.
Menurut Fardiaz (1992), pembagian fase tersebut juga dapat dilihat
dengan perubahan kecepatan pertumbuhan konstan (k). Berdasarkan
persamaan kecepatan pertumbuhan, diperoleh kecepatan pertumbuhan
konstan dari setiap fase (Tabel 18).
Tabel 18. Kecepatan pertumbuhan konstan mikroorganisme setiap fase
Waktu aging (jam ke-)
Fase Kecepatan pertumbuhan konstan (generasi/jam)
0-12 Pertumbuhan awal 0.21 12-20 Pertumbuhan logaritmik 0.69 20-24 Pertumbuhan statis 0.00 24-26 Menuju kematian -0.30
Berdasarkan Tabel 18, kecepatan pertumbuhan konstan fase
pertumbuhan awal mikroorganisme hanya 0.21 generasi/jam, namun pada
fase pertumbuhan logaritmik meningkat menjadi 0.69 generasi/jam. Pada
fase pertumbuhan statis, kecepatan pertumbuhan konstan 0.00
generasi/jam. Pada fase ini jumlah sel tetap, karena jumlah sel yang
tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Pada fase menuju kematian
terjadi penurunan jumlah koloni yang ditandai dengan nilai kecepatan
pertumbuhan konstan yang negatif. Penurunan koloni ini terjadi karena
sebagian populasi mikroorganisme mengalami kematian, akibat nutrien
pada medium dan energi cadangan dalam sel habis (Fardiaz, 1992).
Sebelum memasuki fase pertumbuhan statis, terdapat fase
pertumbuhan lambat yang merupakan fase akhir pertumbuhan logaritmik
Pada fase pertumbuhan lambat, mulai terbentuk endospora bakteri
(Fardiaz, 1992) dan mikotoksin oleh kapang (Jay, 2002). Endospora
bakteri yang biasa dibentuk oleh sel basillus seperti B. cereus sangat tahan
terhadap pemanasan, pengeringan serta disinfektan dan jika bergerminasi
menjadi sel vegetatif dapat menghasilkan toksin (toksin Bacillus).
Mikotoksin yang dibentuk oleh kapang merupakan senyawa beracun yang
tahan terhadap panas. Namun, miktoksin ini bersifat akumulatif sehingga
gejala biasanya timbul karena konsumsi mikotoksin yang berulang-ulang
(Fardiaz, 1992).
Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dibatasi secara ketat
maksimum 16 jam. Namun, sebaiknya diperketat menjadi 12 jam sebelum
mikroorganisme mencapai jumlah 106 koloni/gram. Selain itu, pada waktu
aging 20 jam mikroorganisme sudah memasuki fase pertumbuhan tetap
(statis) dan jika waktu ini terlewati, maka kemungkinan telah terbentuk
endospora bakteri dan mikotoksin kapang yang membahayakan. Jika
waktu aging tetap diinginkan 16 jam, maka harus dilakukan penghambatan
pertumbuhan mikroorganisme, seperti sanitasi rak aging, sanitasi pekerja,
dan penggunaan suhu rendah di ruang aging.
Pada fase pertumbuhan logaritmik, pertambahan jumlah
mikroorganisme mengikuti kurva logaritmik. Berdasarkan kurva
logaritmik (Gambar 19) diperoleh persamaan eksponensial yaitu y =
15457e0.2351x di mana y adalah jumlah mikroorganisme (koloni/gram) dan
x adalah waktu aging. Dengan persamaan ini dapat diprediksi jumlah
mikroorganisme berdasarkan waktu aging.
y = 15457e0.2351x
R2 = 0.836
0.0E+00
5.0E+05
1.0E+06
1.5E+06
2.0E+06
2.5E+06
3.0E+06
3.5E+06
4.0E+06
0 5 10 15 20 25
waktu aging (jam)
Jum
lah
mik
roba
(kol
oni/g
ram
)
Gambar 19. Kurva logaritmik pertumbuhan mikroorganisme
Kecepatan pertumbuhan konstan (k) selama fase logaritmik adalah
0.69 generasi/jam. Dari nilai k ini, dapat dihitung waktu generasi
mikroorganisme yaitu 1/k atau 1/(0.69) jam. Dengan perhitungan tersebut
diperoleh waktu generasi mikroorganisme yang terdapat pada roll sheet
adalah 1.45 jam atau 87.00 menit.
Perbedaan sifat-sifat sel suatu organisme dan mekanisme
pertumbuhannya akan menyebabkan perbedaan dalam kecepatan
pertumbuhan. Pada umumnya semakin kompleks suatu organisme,
semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah. Jadi
pertumbuhan bakteri akan lebih cepat daripada khamir dan khamir lebih
cepat daripada kapang. Pola frekuensi waktu generasi pada bakteri, kapang
dan khamir dapat dilihat pada Gambar 20 (Fardiaz, 1992).
Gambar 20. Frekuensi waktu generasi beberapa mikroorganisme
Berdasarkan Gambar 20, dengan waktu generasi 87.00 menit,
frekuensi pertumbuhan mikroorganisme yang paling memungkinkan pada
rol sheet selama aging adalah bakteri dan khamir serta sebagian kecil
kapang.
Untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme, seharusnya aging
dilakukan pada ruang tertutup, namun pada proses produksi Taro net ruang
aging tidak ditutup. Hal ini dikarenakan penutupan kotak aging yang
biasanya menggunakan plastik akan tertempel produk, sehingga bisa
menjadi sumber kontaminasi untuk produk berikutnya.
5. Pengaruh Kelembaban Udara (RH) Rak Aging terhadap Proses Retrogradasi Pati Lembaran Adonan pada Proses Aging
Selama proses aging, terjadi proses retrogradasi pati yang
merupakan rekristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi.
Proses retrogradasi pati ini dapat dikarakterisasi dengan mengamati
migrasi air, yang dapat diukur dengan parameter kadar air bahan.
Ruang aging terdiri dari rak-rak aging yang tersebar di sekitar ruang
produksi memiliki kondisi rak yang berbeda, seperti kelembaban dan
suhu. Kelembaban udara dan suhu dari empat rak aging yang berbeda
dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Kelembaban udara rak aging
No. Rak Aging
Suhu bola basah (oC)
Suhu bola kering (oC)
Kelembaban udara (%)
14 27.0 33.0 70 52 27.0 33.5 63 65 26.0 33.0 55 78 26.5 33.0 58
Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa setiap rak aging memiliki
tingkat kelembaban udara yang berbeda. Kadar air awal lembaran adonan
dan kadar air setelah aging selama 8.5 jam dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Kadar air lembaran adonan setelah aging 8.5 jam
Kadar air (%) Ulangan Kadar air awal (%) 14* 52* 65* 78*
1 33.63 21.21 19.40 22.30 21.80 2 33.94 22.55 19.20 22.96 22.27 3 - 21.43 18.52 22.58 21.13
Rata-rata 33.79 21.73 19.04 22.61 21.73 Keterangan : * = nomor kotak aging
Berdasarkan hasil analisis korelasi pada Lampiran 10, hasil
pengujian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kelembaban udara (RH) rak aging dengan kadar air lembaran pada tingkat
signifikansi 5%. Hal ini berarti perbedaan kondisi rak aging tidak
berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati selama proses aging.
6. Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air terhadap Tekstur Lembaran Adonan Selama Proses Aging
Pada proses aging terjadi migrasi air yang menyebabkan perubahan
kadar air lembaran adonan. Posisi lembaran pada rol menyebabkan
perbedaan laju perubahan kadar air lembaran adonan. Laju perubahan
kadar air lembaran adonan ditunjukkan oleh kemiringan kurva regresi
linear yang diperoleh dengan menghubungkan waktu aging (jam) dengan
kadar air lembaran (Lampiran 11).
Laju perubahan kadar air lembaran adonan pada berbagai posisi
pada rol dapat dilihat pada Tabel 21. Posisi lembaran yang berada paling
luar memiliki laju perubahan paling cepat dengan rata-rata kemiringan = -
1.79 sedangkan posisi paling tengah memiliki laju perubahan paling
lambat dengan rata-rata kemiringan = -0.02. Nilai negatif pada kemiringan
menunjukkan bahwa semakin tinggi waktu aging maka kadar air adonan
semakin rendah. Nilai kemiringan = 0, menunjukkan laju perubahan tetap
atau tidak ada perubahan sama sekali. Posisi tengah dan paling dalam
memiliki nilai kemiringan yang mendekati 0, yaitu -0.02 dan -0.08. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan kadar air yang terjadi pada kedua posisi
ini sangat kecil.
Tabel 21. Kemiringan rata-rata kurva regresi linear dan tingkat kekerasan lembaran adonan setelah aging 12 jam
Posisi Kemiringan rata-rata kurva regresi linear
Tingkat Kekerasan
Luar -1.79 +++ Tengah -0.02 - Dalam -0.08 -
Perubahan kadar air yang terjadi pada proses aging mempengaruhi
tekstur lembaran adonan. Tekstur lembaran adonan pada posisi luar
memiliki tingkat kekerasan paling tinggi (+++), sedangkan posisi tengah
dan dalam tekstur lembaran adonan lunak (-). Lembaran pada posisi
paling luar memiliki kadar air yang cenderung lebih rendah dibandingkan
posisi tengah dan dalam pada waktu aging yang sama, karena laju
perubahan kadar air pada posisi paling luar paling cepat. Semakin rendah
kadar air lembaran adonan maka tekstur menjadi keras dan mudah patah.
Tekstur lembaran adonan yang keras akan menyulitkan pemotongan
karena mudah patah, sehingga biasanya dibuang. Pembuangan lembaran
adonan ini akan menambah jumlah waste pada bagian pemotongan. Untuk
mengurangi laju perubahan kadar air yang terlalu besar pada rol adonan
bagian luar dapat dilakukan dengan menutup rak aging dengan plastik.
Namun, untuk mencegah kontaminasi dari sisa adonan yang menempel
pada plastik diperlukan prosedur sanitasi plastik secara rutin atau
membatasi jarak antara rol adonan dengan plastik supaya tidak menempel.
C. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU
PELET
1. Tekstur Pelet
Lembaran adonan yang sudah diaging dan dipotong sesuai ukuran
yang diinginkan disebut pelet basah. Pelet basah ini kemudian dikeringkan
selama 4-6 jam pada mesin pengering pertama sampai mencapai kadar air
aman untuk disimpan, yaitu 12-14%. Pelet yang telah dikeringkan ini
disebut pelet first dryer, yang merupakan produk setengah jadi snack Taro
net. Pelet ini dapat disimpan di gudang sebagai stok sampai batas waktu
30 hari. Sebelum digoreng pelet ini akan dikeringkan kembali pada mesin
pengering kedua sampai kadai air mencapai 8-9.5% atau siap digoreng.
Selama pengeringan terjadi penurunan kadar air bahan, yang
menyebabkan perubahan tekstur pelet. Waktu pengeringan sangat
menentukan kualitas pelet dan berpengaruh terhadap tekstur hasil goreng.
Studi di Jepang mengemukakan tiga kondisi pelet setelah pengeringan,
yaitu pelet dengan kadar air tinggi, optimum dan rendah yang dapat dilihat
pada Tabel 22.
Tabel 22. Kondisi pelet setelah pengeringan
Kondisi Pelet Keterangan
air
Kadar air tinggi (di atas 16%), Kapang dapat tumbuh (kondisi 1) Optimum, kadar air sekitar 15% (kondisi 2) Pengeringan pertama berlebihan, Rapuh, sangat mudah dipatahkan, terjadi perubahan bentuk (kondisi 3).
Penentuan titik akhir pengeringan pertama dilakukan dengan
mengamati tekstur pelet secara organoleptik yang kemudian dikonfirmasi
dengan pengukuran kadar air pelet. Pelet pada kondisi 1 (Tabel 22),
permukaan luar pelet sudah kering, namun ketika dipatahkan bagian dalam
pelet masih basah dan lengket karena kadar air pelet masih tinggi. Pelet
pada kondisi 2, permukaan luar pelet sudah kering, tetapi ketika
dipatahkan dapat terbelah dengan mudah dan bagian dalam pelet tidak
lengket. Pelet kondisi 3, permukaan luar pelet sudah kering dan ketika
diremas dengan tangan langsung hancur karena kadar air pelet yang terlalu
rendah. Pelet kondisi 3 ini ditemukan ketika waktu pengeringan terlalu
lama dan pelet tipis sehingga proses pengeringan berlangsung lebih cepat.
2. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan Pelet
Pelet basah jika disimpan pada plastik tertutup, dalam satu hari
sudah dapat diamati miselium dan koloni kapang yang tumbuh dengan
berbagai noda warna. Hal ini dikarenakan kadar air pelet basah masih
tinggi sekitar 30%. Oleh karena itu, pelet basah dikeringkan menggunakan
mesin pengering pertama sampai kadar air aman dari pertumbuhan kapang
sehingga dapat disimpan sebagai stok. Parameter yang digunakan untuk
menentukan kadar air minimum adalah pertumbuhan kapang. Hal ini
dikarenakan kapang adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
kadar air paling rendah dibandingkan khamir dan bakteri. Berdasarkan
air
air
kurva stabilitas bahan pangan (Gambar 3), kapang dapat tumbuh pada aw
minimum sekitar 0.62, sedangkan khamir pada aw 0.88 dan bakteri 0.90.
Pengertian tingkat kadar air aman untuk penyimpanan tidak selalu
berada pada kadar air yang setara dengan aw 0.62 (ambang batas minimum
pertumbuhan kapang). Penyimpanan dinyatakan aman pada kondisi kadar
air setimbang dengan keadaan lingkungan (kadar air kesetimbangan).
Secara umum, sifat-sifat hidaratasi dapat digambarkan dengan kurva sorpsi
isotermik, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan
dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan
bahan pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993).
3. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet
Kurva sorpsi isoterm merupakan alat yang penting dalam
mempelajari umur simpan. Kurva ini menyajikan informasi di mana proses
termodinamika dari sorpsi air oleh produk dapat dipelajari (Xiong, 2002).
Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada 4 tingkat RH dapat dilihat
pada Gambar 21 (Lampiran 12).
12.28 12.92
15.00
18.99
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
69.00 74.00 84.00 87.00
Kelembaban Udara (%)
Kad
ar a
ir pe
let (
%)
Gambar 21. Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada suhu 31oC
Menurut Syarief dan Halid (1993), bentuk kurva sorpsi isotermik
khas bagi setiap bahan pangan dan umumnya berbentuk sigmoid
(menyerupai huruf S). Sorpsi isotermik tidak hanya dapat menunjukkan
pada tingkat kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan
ataupun yang tidak diinginkan, tetapi juga menunjukkan perubahan-
perubahan penting kadar air yang dinyatakan dalam aw.
Dari kurva sorpsi isotermik dapat diperoleh kadar air kesetimbangan
pelet pada tingkat RH yang berbeda (Lampiran 13). Pada RH 69%, kadar
air kesetimbangan pelet 12.28%, sedangkan RH 74, 84 dan 87% masing-
masing memiliki kadar air kesetimbangan 12.92, 15.00 dan 18.99%. Kadar
air yang aman untuk disimpan setara dengan aw minimum pertumbuhan
kapang yaitu 0.62 atau pada RH 62% yaitu 11.38% (dengan interpolasi).
Pelet hasil pengeringan pertama memiliki aw 0.66 – 0.74, nilai aw ini
memungkinkan adanya pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini berarti
proses pengeringan pertama belum menghasilkan pelet dengan kadar air
yang aman untuk disimpan atau setara dengan aw minimum pertumbuhan
kapang (0.62). Untuk itu waktu pengeringan perlu diperpanjang dengan
suhu tidak terlalu tinggi yaitu 55-60oC sampai diperoleh pelet dengan nilai
aw aman atau kadar air 11.38%. Suhu yang tinggi akan mempercepat
proses pengeringan, namun dapat menyebabkan case hardening pada
pelet.
D. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU HASIL GORENG
1. Proses Penggorengan
Snack Taro net yang merupakan fried snack, penggorengan
merupakan peralatan yang paling utama dan jantung dari seluruh proses.
Menurut Fellows (2000), penggorengan merupakan unit operasi yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas makan (eating quality). Proses ini
memiliki efek mengawetkan karena dapat menyebabkan kematian
mikroorganisme, kerusakan enzim, dan penurunan aw pada permukaan
maupun seluruh bahan pangan (jika digoreng dalam bentuk potongan
tipis).
Ketaren (1986) membagi sistem menggoreng bahan pangan menjadi
dua macam yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep
frying). Pada penggorengan sistem gangsa bahan pangan yang digoreng
tidak sampai terendam minyak atau lemak, sedangkan pada proses
penggorengan deep frying bahan pangan terendam dalam minyak.
Menurut Banks dan Lusas (2002), penggorengan bahan pangan
selalu membawa : (1) oksigen, yang berkontribusi terhadap oksidasi lemak
yang menyebabkan pengembangan komponen volatil dan polimerik, (2)
air, yang berkontribusi terhadap hidrolisis lemak dan peningkatan asam
lemak bebas, mono dan digliserida dan gliserin, (3) leachable metal dan
komponen warna pada minyak, (4) sistem enzim yang melengkapi
beberapa reaksi degradasi walaupun cepat diinaktivasi. Perubahan yang
terjadi selama penggorengan deep frying dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Perubahan selama penggorengan deep frying
Ketika bahan pangan diletakkan pada minyak panas, suhu
permukaan meningkat secara cepat dan air menguap. Proses evaporasi
bergerak di dalam bahan pangan dan terbentuk kerak. Suhu di permukaan
meningkat menyamai suhu minyak panas dan suhu internal bahan
meningkat secara perlahan sampai 100oC. Tingkat transfer panas dikontrol
oleh perbedaan suhu antara minyak dan bahan pangan dan koefisien
transfer panas di permukaan, yang dipengaruhi kondukstivitas termal
bahan pangan (Fellows, 2000)
Permukaan kerak memiliki struktur berpori yang terdiri dari kapiler-
kepiler yang berbeda ukuran. Selama penggorengan, baik air dan uap air
dihilangkan dari kapiler besar yang digantikan oleh minyak panas.
Pembentukan tekstur bahan pangan yang digoreng disebabkan oleh
perubahan protein, lemak dan karbohidrat polimerik yang menyebabkan
peningkatan karakteristik warna, flavor dan aroma (Fellows, 2000).
Menurut Banks dan Lusas (2002), penggorengan bahan terdiri dari
beberapa tahap yaitu : (1) pemasukkan bahan, (2) case hardening, (3)
pengerasan permukaan, (4) penurunan air, (5) akhir penggorengan dan (6)
absorpsi minyak. Pada tahap pemasukkan bahan, bahan mentah direndam
dalam minyak panas dan pati pada permukaan tergelatinisasi secara cepat,
kemudian permukaan produk tertutup merata oleh gelembung uap kecil
karena air pada permukaan mulai menguap. Pada tahap case hardening,
lapisan sel paling luar pada permukaan produk mengalami dehidrasi.
Ketika air permukaan semakin berkurang, air pada internal bahan berubah
fase menjadi uap. Kemudian, pada tahap pengerasan struktur, lapisan
tambahan dari permukaan sel mulai mengalami dehidrasi dan
mengembangkan struktur kerak.
Selama tahap penggorengan akhir, suhu permukaan secara cepat
mendekati suhu minyak. Kadar air rendah dan suhu tinggi mendukung
reaksi asam amino, protein dan karbohidrat. Suhu yang semakin
meningkat mendukung penurunan kadar air akhir, pengembangan kerak
dengan tekstur renyah dan kaya warna. Kadar lemak bahan semakin
meningkat dan sebagian minyak berada pada permukaan. Pada tahap
absorpsi minyak, kadar lemak bahan yang digoreng diperoleh dari
pembasahan permukaan, aksi kapiler dan absorpsi vakum. Pada tahap
akhir, minyak diabsorpsi oleh kapiler untuk mengisi kekosongan yang
terbentuk pada bahan pangan. Pada proses pendinginan, uap air dalam
produk terkondensasi membentuk vakum parsial yang mempercepat
penyerapan minyak pada permukaan (Banks dan Lusas, 2002).
Selama proses penggorengan bahan pangan sejenis kerupuk terjadi
pengembangan atau ekspansi kerupuk. Pada dasarnya fenomena
pengembangan kerupuk disebabkan oleh tekanan uap yang terbentuk dari
pemanasan kandungan air bahan sehingga mendesak struktur bahan
membentuk produk yang mengembang (Wiriano, 1984).
Mekanisme terjadinya pengembangan kerupuk akibat terlepasnya air
yang terikat pada gel pati sewaktu penggorengan adalah sebagai berikut :
air mula-mula menjadi uap karena peningkatan suhu dan mendesak gel
pati untuk keluar sekaligus terjadi pengosongan yang membentuk kantung-
kantung udara pada kerupuk. Kantung-kantung udara ini akan semakin
banyak pada kerupuk yang memiliki amilopektin tinggi (Rumbay, et al. di
dalam Zulviani, 1992).
Pengembangan atau ekspansi snack Taro net diukur dengan
parameter densitas kamba. Menurut Fellows (2002), densitas kamba
adalah mengukur densitas dari sejumlah besar bahan termasuk ruang udara
yang terdapat di antara potongan-potongan bahan. Densitas kamba
merupakan massa padatan dibagi dengan volume, yang dipengaruhi oleh
densitas padatan, dan geometri, ukuran dan sifat permukaan dari partikel
individunya.
Pengembangan atau ekspansi snack selama penggorengan akan
meningkatkan volume snack, tetapi menurunkan massa. Oleh karena itu,
semakin tinggi tingkat ekspansi snack maka densitas kamba bahan
semakin rendah.
2. Ekspansi Hasil Goreng
Pelet yang telah dikeringkan pada mesin pengering kedua akan
digoreng pada batch penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi
pengembangan atau ekspansi bahan yang disebabkan ekspansi tiba-tiba
dari uap air sehingga kadar air pelet akan menentukan tingkat
pengembangan yang terjadi. Tingkat pengembangan hasil goreng ini dapat
diukur dengan parameter densitas kamba. Pengukuran densitas kamba
pada berbagai tingkat kadar air pelet (Lampiran 14) dapat dilihat pada
Tabel 23.
Tabel 23. Densitas kamba hasil goreng
Kadar air pelet (%) Densitas kamba (g/cm3) 12.38 57.80 11.96 60.60 11.82 64.40 11.56 65.80
Berdasarkan Tabel 23, semakin rendah kadar air maka densitas
kamba bahan semakin tinggi. Densitas kamba yang semakin tinggi
menunjukkan tingkat pengembangan yang rendah sehingga dapat
disimpulkan bahwa kadar air yang terlalu rendah akan membuat produk
akhir dengan tingkat ekspansi yang rendah, sedangkan kadar air terlalu
tinggi akan menyebabkan tingkat ekspansi yang berlebihan.
Nilai korelasi yang diperoleh adalah -0.914 antara kadar air pelet
dengan densitas kamba (Lampiran 15). Nilai negatif menyatakan bahwa
kenaikan kadar air pelet akan menyebabkan penurunan densitas kamba.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kadar air pelet dengan densitas kamba. Kurva regresi hubungan
antara kadar air pelet dengan densitas kamba dapat dilihat pada Gambar
23.
y = -10.294x + 184.96R2 = 0.9241
57.0058.0059.0060.0061.0062.0063.0064.0065.0066.0067.00
11.40 11.60 11.80 12.00 12.20 12.40 12.60
kadar air pelet (%)
Den
sita
s K
amba
(g/c
m3 )
Gambar 23. Kurva regresi hubungan antara kadar air pelet dengan
densitas kamba
Berdasarkan Gambar 23, diperoleh persamaan antara kadar air pelet
dan densitas kamba bahan yaitu y = -10.294x + 184.96. Untuk
mendapatkan produk akhir dengan densitas kamba tertentu, dapat
diperoleh melalui persamaan regresi hubungan kadar air pelet dengan
densitas kamba. Densitas kamba yang diinginkan pada produk snack Taro
net adalah 58.33-63.89 g/cm3, sehingga kadar air pelet yang diperlukan
adalah 11.81-12.36%.
3. Mutu Organoleptik Hasil Goreng
Kadar air pelet sebelum digoreng menentukan tingkat
pengembangan produk sehingga mempengaruhi tekstur hasil goreng.
Tekstur hasil goreng snack Taro net dapat dibagi menjadi empat kategori
yaitu standar, porian, keriting dan bantat. Deskripsi masing-masing tekstur
dan penyebab terjadinya dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Deskripsi tekstur hasil goreng
Kategori Deskripsi Penyebab Standar Permukaan merata dengan rongga
udara kecil yang seragam. Kadar air sesuai
Porian Struktur tidak seragam dan memiliki gelembung-gelembung besar di permukaan
Kadar air terlalu tinggi, indeks ekspansi tinggi
Keriting Pengembangan tidak merata, ada bagian yang tidak mengembang
Kadar air tidak merata
Bantat Tesktur keras, rapuh, tidak ada rongga udara atau gelembung.
Kadar air terlalu rendah, indeks ekspansi rendah
Sumber : Miles (1960)
Berdasarkan Tabel 24, dapat disimpulkan bahwa tekstur hasil
goreng dipengaruhi oleh kadar air pelet yang juga menentukan indeks
ekspansi produk. Tekstur hasil goreng ini akan menentukan tingkat
kerenyahan produk, yang merupakan atribut utama setiap produk snack.
Tingkat kerenyahan hasil goreng pada beberapa kategori tekstur hasil
goreng dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Tingkat kerenyahan hasil goreng
aw Kategori 1 2 Rata-rata
Kadar air (%)
Tingkat kerenyahan
Porian 0.28 0.26 0.27 3.14 +++ Standar 0.25 0.29 0.27 3.70 ++ Keriting 0.31 0.30 0.31 3.80 - Bantat 0.31 0.34 0.33 4.31 -
Keterangan : - (tidak renyah), + (agak renyah), ++ (renyah), +++ (sangat renyah)
Menurut Prastyanty (1998), kerenyahan merupakan fungsi dari aw.
Semakin meningkat aw, maka kerenyahan semakin menurun. Berdasarkan
tabel di atas hasil goreng porian dan standar memiliki aw paling kecil yaitu
0.27 tetapi tingkat kerenyahannya masing-masing sangat renyah dan
renyah. Hasil goreng keriting dan bantat memiliki aw tinggi yaitu 0.31 dan
0.33 tetapi tidak renyah sama sekali. Hasil perhitungan aw ini kurang
sensitif karena aw meter yang digunakan hanya memiliki ketelitian sampai
±0.02.
Selain aw, kadar air hasil goreng juga berpengaruh terhadap tingkat
kerenyahan hasil goreng. Hasil goreng porian memiliki kadar air paling
rendah yaitu 3.14% tetapi memiliki tingkat kerenyahan paling tinggi,
sedangkan hasil goreng standar dengan kadar air 3.70% hanya memiliki
tingkat kerenyahan ++ atau renyah. Hasil goreng keriting dan bantat yang
memiliki kadar air 3.80 dan 4.31%, tidak renyah.
Hasil goreng porian memiliki tingkat kerenyahan paling tinggi
namun tidak dikehendaki, karena tekstur porian memiliki rongga udara
besar yang membuat snack tidak berisi. Hasil goreng keriting dan bantat
juga tidak dikehendaki karena teksturnya cenderung keras dan tidak
renyah.
Snack Taro net yang mengalami proses penggorengan berpotensi
terjadi oksidasi lemak. Berdasarkan kurva stabilitas bahan pangan
(Gambar 3), oksidasi lemak terjadi pada aw sekitar 0.05-0.8. Jadi, snack
Taro net dengan aw rata-rata 0.27-0.33 memungkinkan terjadinya oksidasi
lemak yang dapat menyebabkan bau tengik dan rasa tidak enak pada
produk.
4. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan Produk Akhir (Finish Product)
Pada tahap awal produksi snack, bahan memiliki kadar air yang
tinggi sehingga memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme. Tetapi,
pada tahap akhir, mikroorganisme hanya terdapat pada produk dalam
jumlah sedikit. Hal ini dikarenakan produk akhir memiliki aw yang rendah,
sehingga tidak sulit mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu,
produk disimpan dalam kemasan untuk mencegah serangga dan
menghindari perubahan suhu dan kenaikan kadar air. Profil
mikroorganisme pada produk snack dapat dilihat pada Tabel 26 (Frazier
dan Westhof, 1988).
Tabel 26. Profil mikrobiologi breakfast cereal dan snack
Mikroflora normal Kisaran jumlah (koloni/gram)
Kapang 0 – 103 Khamir 0 - 102 Bakteri
• Aerobic Plate Count • Koliform
0 - 102
0 - 102
Produk akhir snack Taro net memiliki aw 0.27-0.33. Berdasarkan
kurva stabilitas bahan pangan (Gambar 3), nilai aw ini tidak mendukung
sama sekali pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Almond, et al.
(1991), mikroorganisme yang dapat tumbuh pada nilai aw paling minimum
adalah khamir osmofilik yaitu pada aw 0.60. Namun, pada analisa
mikrobiologi produk akhir snack Taro net (Tabel 27) ditemukan ada
koloni mikrobiologi dalam jumlah relatif sedikit. Hal ini dikarenakan
adanya kontaminasi silang, baik dari udara atau pekerja. Walaupun
terdapat koloni mikroorganisme pada produk akhir, mikroorganisme ini
tidak mengalami pertumbuhan karena aw bahan tidak mendukung
pertumbuhan mikroorganisme.
Tabel 27. Analisa kadar air dan mikrobiologi finish product
Mikrobiologi (koloni/gram) Item Kadar air (%) TPC Koliform Kapang Khamir
Taro X 1.76 2.0 x 101 0 0 0 Taro Y 1.28 2.0 x 101 0 0 0 Taro Z 0.93 1.0 x 101 0 0 0
Berdasarkan Tabel 27, Taro X dan Taro Y memiliki jumlah koloni
2.0 x 101 koloni/gram, sedangkan Taro Z yang memiliki kadar air paling
rendah hanya terdapat 1.0 x 101 koloni/gram. Hasil analisis mikrobiologi
di atas menunjukkan mutu mikrobiologi produk akhir snack Taro net
sangat baik, karena jumlah koloni mikrobiologi relatif rendah.
Menurut SNI 01-2886-2000 tentang makanan ringan ekstrudat,
jumlah angka lempeng total maksimum (TPC) adalah 1.0 x 104
koloni/gram, kapang maksimum 50 dan E. coli negatif. Produk snack Taro
net X, Y, dan Z masing-masing memiliki jumlah angka lempeng total 2.0
x 101, 2.0 x 101 dan 1.0 x 101 koloni/gram yang jauh di bawah persyaratan
SNI. Jumlah kapang dari Taro X, Y dan Z adalah 0 koloni/gram yang juga
memenuhi persyaratan mutu SNI yaitu maksimum 50 koloni/gram. Selain
itu, pada Taro X, Y dan Z tidak ditemukan koliform, sehingga memenuhi
persyaratan SNI bahwa E. coli harus negatif. Hal ini berarti, pabrik tidak
perlu melakukan analisis mikrobiologi produk akhir secara rutin, karena aw
produk yang rendah sudah efektif menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
E. MINIMALISASI WASTE
Semua usaha menghasilkan waste, baik berupa bahan padatan, emisi
udara atau buangan air (Anonim3, 2004). Begitu pula dalam proses produksi
snack Taro net dihasilkan waste.
Waste adalah bahan yang tidak lagi diinginkan dan merupakan sesuatu
yang sudah kehilangan nilainya bagi pemiliknya (Anonim4, 2006). Waste
dalam proses produksi snack Taro net adalah bahan setengah jadi yang tidak
dapat diproses lebih lanjut. Pada produksi snack Taro net, waste paling banyak
ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan pertama dan pengeringan
kedua.
Ada biaya tersembunyi pada produksi waste. Hal ini meliputi biaya dari
hilangnya bahan baku, waktu dan energi yang diinvestasikan pada proses
produksi. Bisnis di Inggris diperkirakan kehilangan sampai 4.5% dari
perputaran tahunan setiap tahun dikarenakan waste yang tidak dapat
dihindarkan (Anonim3, 2004). Menurut Larantukan (2005), waste
mempengaruhi efisiensi proses (rendemen produk) dan mengindikasikan biaya
(cost) yang hilang serta mempengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP).
Minimalisasi waste adalah meningkatkan efisiensi. Secara sederhana,
minimalisasi waste berarti mempergunakan bahan baku lebih sedikit dan
mendapatkan produk akhir lebih banyak. Peningkatan efisiensi dapat
memaksimalkan output dan meningkatkan profit. Selain itu, menyimpan
sumber daya yang bernilai dan menjaga lingkungan (Anonim3, 2004).
1. Perhitungan Waste
Selama rangkaian proses produksi Taro net banyak dihasilkan waste,
yang paling banyak ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan
pertama dan pengeringan kedua.
a. Tahap Pemotongan
Pada tahap pemotongan terdapat tiga macam waste yaitu waste
lembaran adonan bagian pinggir yang tidak terpotong, potongan
substandar dan pelet yang terjatuh selama proses pemotongan. Waste
dikumpulkan setelah satu batch pemotongan selesai dan kemudian
ditimbang. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan dapat
dilihat pada Gambar 24.
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00
Jumlah waste (%)
0
2
4
6
8
Freq
uenc
y
Mean = 0.5596Std. Dev. = 0.40836N = 24
Gambar 24. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan
Berdasarkan Gambar 24, jumlah waste rata-rata per batch
pemotongan adalah 0.56% dengan standar error 0.08% (Lampiran
16) dan angka t tabel (df = 23) 2.069, maka diperkirakan jumlah waste
populasi pada tingkat kepercayaan 95% adalah 0.39-0.73%. Nilai
median data adalah 0.44 % yang menunjukkan bahwa 50% sampel
mempunyai jumlah waste 0.44% ke atas dan 50%-nya mempunyai
jumlah waste 0.44% ke bawah.
Standar deviasi data adalah 0.41%, semakin besar standar
deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness waste
pada tahap pemotongan adalah 2.7, karena nilai ini tidak berada pada
kisaran -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa data waste pada
tahap pemotongan tidak berdistribusi normal.
b. Tahap Pengeringan Pertama
Pada tahap pengeringan pertama terdapat dua macam waste,
yaitu potongan halus pelet yang terdapat di bagian bawah mesin
pengering pertama dan pelet yang terjatuh. Potongan halus pelet
disebabkan oleh gesekan yang terjadi antar pelet kering selama proses
pengeringan, sedangkan pelet yang terjatuh disebabkan cara kerja
pekerja yang terburu-buru memasukkan dan menurunkan pelet dari
mesin pengering pertama. Selain itu, ada bagian mesin pengering
pertama yang tidak rapat, sehingga menyebabkan pelet terjatuh ketika
proses pengeringan berlangsung. Jumlah waste pada tahap
pengeringan pertama dapat dilihat pada Gambar 25.
0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
Jumlah waste (%)
0
1
2
3
4
5
Freq
uenc
y
Mean = 0.345Std. Dev. = 0.12739N = 12
Gambar 25. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan pertama
Berdasarkan Gambar 25, jumlah waste rata-rata per batch
pengeringan pertama adalah 0.35% dengan standar error 0.04%
(Lampiran 17) dan angka t tabel (df = 11) 2.201, maka diperkirakan
jumlah waste populasi tahap pengeringan pertama pada tingkat
kepercayaan 95% adalah 0.26-43%. Nilai median data adalah 0.31%
yang menunjukkan bahwa 50% sampel mempunyai jumlah waste
0.31% ke atas dan 50%-nya mempunyai jumlah waste 0.31% ke
bawah.
Standar deviasi data adalah 0.13%, semakin besar standar
deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness data
adalah 1.38, yang berada di antara -2 sampai +2, maka dapat
disimpulkan bahwa distribusi data normal.
c. Tahap Pengeringan Kedua
Setelah pengeringan pertama, pelet dikeringkan kembali pada
mesin pengering kedua (second dryer) untuk mendapatkan ekspansi
hasil goreng yang maksimal. Pada tahap pengeringan kedua terdapat
waste pelet yang dikumpulkan dari lantai dan bagian dalam mesin.
Jumlah waste rata-rata per shift dari 5 mesin pengering kedua pada
tahap pengeringan kedua dapat dilihat pada Gambar 26.
1.50 2.00 2.50 3.00 3.50
Persentase waste rata-rata per shift (%)
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Freq
uenc
y
Mean = 2.4314Std. Dev. = 0.63717N = 7
Gambar 26. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan kedua
Berdasarkan Gambar 26, jumlah waste rata-rata per shift
pengeringan kedua adalah 2.43% dengan standar error 0.24%
(Lampiran 18) dan angka t tabel (df = 6) 2.447, maka rata-rata
jumlah waste populasi tahap pengeringan kedua per shift pada tingkat
kepercayaan 95% adalah 1.89-2.97%. Nilai median data adalah
2.46%, yang menunjukkan bahwa 50% sampel mempunyai jumlah
waste 2.46% ke atas dan 50%-nya mempunyai jumlah waste 2.46% ke
bawah.
Standar deviasi data adalah 0.64%, semakin besar standar
deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness data
adalah 0.29 yang berada di antara -2 sampai +2, maka dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi normal.
Kelima sampel tidak mempunyai varians yang sama, maka
dilakukan transformasi data (Lampiran 19). Dari data waste yang
telah ditransformasi, diperoleh nilai signifikansi dari test of
homogeneity of variances yaitu 0.39. Karena nilai probabilitas > 0.05,
maka berarti kelima varians populasi adalah identik. Berdasarkan uji
ANOVA pada Lampiran 20, hasil pengujian menunjukkan bahwa
rata-rata jumlah waste pada kelima mesin pengering kedua tersebut
memang berbeda.
Dengan melihat tanda * pada hasil analisis post hoc dengan test
Bonferroni dan Tukey (Lampiran 21) terlihat bahwa jumlah waste
rata-rata dari mesin 1 berbeda nyata dengan mesin 6 begitu juga
sebaliknya. Pada homogenous subsets (Lampiran 22), mesin 2, 3 dan
5 berada pada subset 1 dan 2, sedangkan mesin 1 pada subset 1 dan
mesin 6 pada subset 2. Hal ini menunjukkan bahwa mesin 1 dan mesin
6 memiliki perbedaan dengan yang lain.
2. Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat sering disebut sebagai diagram Ishikawa dan
diagram Tulang Ikan. Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui
faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah
(berpengaruh terhadap hasil). Penyusunannya dilakukan dengan teknik
brainstorming (sumbang saran). Secara umum terdapat 5 faktor yang
berpengaruh yaitu (1) lingkungan, (2) manusia, (3) metode, (4) bahan, dan
(5) mesin peralatan (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Upaya
minimalisasi waste yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah.
Oleh karena itu diperlukan identifikasi penyebab masalah pada tiap
tahapan.
Proses pemotongan berlangsung mulai dari pemotongan bahan,
kemudian ditampung pada ember, dinaikkan ke lori dan didorong menuju
ruang mesin pengering pertama. Pada tahap pemotongan, jumlah waste
yang tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, bahan, manusia, metode
dan mesin. Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat
pada Gambar 27.
Jumlah waste (%) Pemotongan tinggi
BahanAlat / wadah
Manusia Metode
Lingkungan
kelelahanpengalaman
Cara PengangkutanKe Mesin FD
Ruangan panas
Lantai rusak
Kapasitasember
Tapioka taburkurangGulungan
tidak rapih
Gambar 27. Diagram sebab akibat waste pada tahap pemotongan
Berdasarkan Gambar 27, faktor kelelahan dan pengalaman manusia
mempengaruhi jumlah waste. Pengalaman yang kurang dalam
menggunakan mesin pemotong menyebabkan banyaknya hasil potongan
substandar, karena tidak memotong pada posisi yang benar, sedangkan
kelelahan menyebabkan pekerja tidak berkonsentrasi dan terburu-buru
sehingga banyak pelet yang jatuh dan terbuang. Hal ini juga dipengaruhi
oleh kondisi lembaran adonan. Lembaran adonan yang tidak digulung
rapih menyebabkan potongan miring (pelet substandar) dan banyak
menyisakan pinggiran gulungan yang tidak terpotong. Sagu tabur
lembaran adonan yang kurang menyebabkan lembaran lengket dan robek
ketika ditarik untuk dipotong. Pelet substandar, pelet yang terjatuh,
pinggiran gulungan lembaran, lembaran adonan yang robek akan dibuang
dan menjadi waste.
Metode yang digunakan dalam pengangkutan pelet kurang efektif
karena ditampung menggunakan ember. Penampungan ini kurang efektif
karena, kapasitas ember yang kecil menyebabkan seringnya pergantian
pengisian ember. Pergantian ember ini menyebabkan banyak pelet
terjatuh, karena kecepatan pergantian tidak sama dengan kecepatan aliran
pelet yang keluar dari mesin pemotongan. Kemudian pelet dalam ember
diangkut menggunakan lori, sehingga mudah terjatuh apalagi kondisi
lantai banyak yang rusak. Selain itu, ruangan yang panas menyebabkan
pekerja mengangkut pelet dengan cepat sehingga mudah terjatuh karena
tersandung lantai yang rusak.
Tahap pengeringan pertama berlangsung mulai dari pemasukkan
pelet basah (loading), proses pengeringan pada mesin pengering pertama
dan penurunan pelet (unloading). Pada tahap pengeringan pertama, jumlah
waste yang tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, manusia, metode
dan mesin. Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat
pada Gambar 28.
Jumlah waste (%) Pengeringan pert ama
tinggi
Alat / wadah
Manusia Metode
Lingkungan
kelelahanpengalam an
Cara unloading
Ruangan panas kontruksi mesin
Gambar 28. Diagram sebab akibat waste pada tahap pengeringan pertama
Faktor kelelahan dan pengalaman manusia mempengaruhi jumlah
waste. Kelelahan pekerja menyebabkan pemasukkan bahan (loading)
terburu-buru apalagi ruangan panas. Selain itu, pengalaman pekerja
bagaimana cara pemasukkan bahan yang benar ke mesin mempengaruhi
jumlah waste. Proses loading dilakukan pada konveyor mesin yang
berjalan, sehingga jika kurang pengalaman banyak pelet yang jatuh ketika
loading bahan. Selain itu, metode loading bahan dengan cara mengangkat
ember setinggi hampir 0.75 meter dan menuangkan isinya pada mesin
kurang efektif karena membuat pekerja cepat lelah dan tidak semua bahan
tertuang dengan baik ke dalam mesin.
Hal lain adalah konstruksi mesin, ada beberapa bagian mesin yang
tidak tertutup rapat. Pelet memiliki ukuran yang relatif kecil, sehingga
ketika proses pengeringan berlangsung banyak pelet terjatuh melalui
celah-celah yang terdapat pada mesin.
Tahap pengeringan kedua berlangsung mulai dari pemasukkan pelet
(loading), proses pengeringan pada mesin pengering kedua dan penurunan
pelet (unloading). Pada tahap pengeringan kedua, jumlah waste yang
tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, manusia, metode dan mesin.
Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Gambar
29.
Jumlah waste (%) Pengeringan kedua
tinggi
Alat / wadah
Manusia Metode
Lingkungan
kelelahanpengalaman
Cara loading danunloading bahan
Ruangan panaskontruksi mesin
Gambar 29. Diagram sebab akibat waste pada tahap pengeringan kedua
Seperti tahap yang lain, faktor kelelahan dan pengalaman manusia
berperan dalam tingginya jumlah waste. Pengalaman menentukan
keterampilan dalam loading dan unloading bahan secara cepat, jika
pengalaman kurang proses loading dan unloading menjadi berantakan dan
banyak pelet yang terjatuh. Selain itu, faktor kelelahan pekerja juga
berpengaruh, jika dikalkulasikan setiap pekerja pada tahap pengeringan
kedua harus mengangkut 371 kg pelet/jam (loading dan unloading).
Kelelahan ini akan menyebabkan kecerobohan yang berakibat banyak
pelet yang jatuh ketika pengangkutan. Selain itu, ruangan yang panas
mempercepat kelelahan pekerja.
Metode loading dan unloading pelet pada mesin pengering kedua
juga kurang efektif. Pekerja harus mengangkat kontainer pelet setinggi
hampir 1.5 meter untuk memasukkannya ke dalam mesin, satu kontainer
pelet untuk dua lubang mesin pengering kedua. Sehingga ketika pelet
dimasukkan banyak yang terjatuh. Begitu pula, pada saat unloading, pelet
diturunkan pada tempat penampungan pelet. Kemudian pelet diserok dan
dimasukkan dalam kontainer pelet. Pelet yang terjatuh tidak dipergunakan
kembali tetapi dibuang menjadi waste. Konstruksi mesin yang
mempengaruhi jumlah waste adalah engsel pintu mesin yang longgar,
sehingga ketika pengeringan berlangsung dengan cara berputar, pintu
mesin menjadi longgar (ada celah) dan banyak pelet terjatuh.
3. Upaya Minimalisasi Waste
Waste mengindikasikan adanya biaya (cost) yang hilang. Tingginya
jumlah waste menunjukkan proses yang tidak efisien dan menimbulkan
masalah perekonomian perusahaan. Menurut Anonim1 (2004), pada
manajemen waste, minimalisasi adalah upaya yang paling banyak dipilih
untuk mereduksi jumlah waste. Beberapa hal yang harus dilakukan
sebelum melakukan minimalisasi waste adalah mengidentifikasi penyebab
timbulnya waste, memonitor jumlah waste dan menghitung biaya (cost)
yang hilang dari waste.
Identifikasi penyebab waste dan perhitungan jumlah waste sudah
dilakukan menggunakan diagram sebab akibat dan perhitungan statistik.
Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah.
Pada tahap pemotongan, masalah yang dihadapi adalah kelelahan
dan pengalaman pekerja yang kurang; metode pengangkutan pelet ke
mesin pengering pertama; gulungan rol lembaran yang tidak rapih dan
kurang sagu; kapasitas ember kecil; lantai rusak dan ruangan panas. Untuk
mengatasi kelelahan pekerja dapat dilakukan dengan menambah waktu
istirahat secara bergiliran. Selain itu, modifikasi alat dan penambahan
ventilasi akan membantu mengurangi kelelahan pekerja. Pengalaman kerja
yang kurang diatasi dengan mengadakan training yang terprogram dan
berkesinambungan.
Metode pengangkutan pelet ke mesin pengering pertama yang
dilakukan dengan lori dapat dimodifikasi dengan pemasangan konveyor
dari mesin pemotong ke mesin pengering pertama sehingga proses
pengangkutan dilakukan dengan sistem kontinyu. Hal ini juga dapat
mengatasi kapasitas ember yang kecil yang biasa digunakan sebagai
wadah untuk mengangkut pelet ke mesin pengering pertama.
Gulungan rol lembaran yang tidak rapih dapat diatasi dengan
memberikan pengarahan kepada pekerja oleh supervisor serta program
monitoring kondisi sikat pada mesin cooker untuk memastikan tapioka
tabur merata. Selain itu, diperlukan perbaikan lantai, penambahan ventilasi
untuk mengatasi kondisi lantai yang rusak serta ruangan yang panas.
Upaya minimalisasi yang dapat dilakukan pada tahap pemotongan dapat
dilihat pada Tabel 28.
Pada tahap pengeringan pertama, penyebab jumlah waste bersumber
dari kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang; metode loading pelet;
konstruksi mesin; lantai rusak dan ruangan panas. Kelelahan dan
pengalaman pekerja yang kurang diatasi dengan menambah waktu istirahat
secara bergiliran serta training karyawan seperti pada tahap pemotongan.
Metode loading pelet yang merupakan proses lanjutan dari tahap
pemotongan dapat diatasi dengan pemasangan konveyor dari mesin
pemotongan ke mesin pengeringan pertama. Selain itu, dapat dilakukan
modifikasi mesin untuk mengatasi kontruksi mesin pengeringan pertama
yang memiliki celah-celah yang dapat melewatkan pelet ke lantai. Selain
itu, perbaikan lantai, penambahan ventilasi dan kipas angin untuk
mengatasi masalah lingkungan. Upaya minimalisasi waste pada tahap
pengeringan pertama dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 28. Upaya minimalisasi waste pada tahap pemotongan
No Penyebab Masalah Upaya minimalisasi 1 Pekerja
• Kelelahan
• pengalaman
• Menambah waktu istirahat secara
bergiliran • Penggunaan alat bantu • Training karyawan baru
2 Metode Cara pengangkutan ke mesin pengeringan pertama
Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu)
3 Bahan • Gulungan tidak rapih • Tapioka tabur kurang
• Training karyawan • Monitor sikat pada mesin cooker,
jika rusak bisa diganti yang baru 4 Alat/wadah
Kapasitas ember Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu)
5 Lingkungan • Lantai rusak • Ruangan panas
• Perbaikan lantai • Penambahan ventilasi dan kipas
angin
Tabel 29. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua
No Penyebab Masalah Upaya minimalisasi 1 Pekerja
• kelelahan • pengalaman
• Menambah waktu istirahat secara
bergiliran. • Training karyawan baru
2 Metode Cara loading pelet
Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu).
4 Alat/wadah Konstruksi mesin
Modifikasi mesin, menutup celah-celah yang ada.
5 Lingkungan • Lantai rusak • Ruangan panas
• Perbaikan lantai • Penambahan ventilasi, kipas angin
Pada tahap pengeringan kedua, penyebab jumlah waste bersumber
dari kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang; metode loading dan
unloading pelet; kontruksi mesin dan lingkungan. Masalah pekerja diatasi
dengan istirahat secara bergiliran dan training seperti pada tahap
sebelumnya. Untuk mengatasi metode loading dan unloading yang
menyebabkan pelet terjatuh, dapat dilakukan modifikasi tempat
penampungan pelet. Modifikasi dilakukan agar pemindahan pelet dari
tempat penampungan pelet ke kontainer tidak menggunakan serokan
melainkan secara kontinyu. Misalnya desain penampungan pelet dibuat
miring dan diberi katup yang dapat dibuka dan ditutup pada bagian bawah,
sehingga pelet dapat diturunkan secara langsung.
Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah perawatan pintu mesin
untuk mengatasi engsel pintu yang tidak kuat atau longgar. Pada ruangan
pengeringan kedua juga perlu ditambahkan ventilasi dan kipas angin untuk
mengatasi ruangan yang panas. Upaya minimalisasi waste pada tahap
pengeringan kedua dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua
No Penyebab Masalah Upaya minimalisasi 1 Pekerja
• kelelahan • pengalaman
• Menambah waktu istirahat secara
bergiliran. • Training karyawan baru
2 Metode Cara loading dan unloading
Modifikasi tempat penampungan pelet
4 Alat/wadah Konstruksi mesin
Perawatan pintu mesin
5 Lingkungan Ruangan panas
Penambahan ventilasi dan kipas angin
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Proses produksi snack Taro net terbagi menjadi dua bagian yaitu
produksi pelet dan snack Taro net. Proses pembuatan pelet meliputi tahap
pemasakan pada mesin steam cooker, sheeting, pendinginan dengan cooling
conveyor, rolling, aging, pemotongan dan pengeringan pertama (first dryer).
Proses pembuatan snack dimulai dari pelet yang mengalami tahapan
pengeringan kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan
pengemasan.
Kadar air bahan baku snack Taro net mempengaruhi mutu biologis,
fisiko-kimia dan organoleptik. Persentase air yang ditambahkan pada
pemasakan adonan berpengaruh nyata terhadap kadar air adonan, ketebalan
dan elastisitas lembaran adonan pada tingkat signifikansi 5%. Persentase air
34% memberikan karakteristik organoleptik paling baik, sedangkan adonan
dengan air 40% memberikan ketebalan dan elastisitas lembaran adonan yang
memenuhi standar. Kadar air lembaran adonan (sheet) yang tinggi sekitar 33%
berpotensi mendukung pertumbuhan mikroorganisme, yang berasal dari
kontaminasi udara, pekerja, permukaan yang kontak dengan bahan dan tapioka
tabur selama proses pendinginan pada cooling conveyor. Selain itu, kadar air
lembaran adonan juga mempengaruhi mutu mikrobiologisnya selama proses
aging. Pada tahapan ini dapat terbentuk mikotoksin dan endospora bakteri
sehingga sebaiknya waktu aging dibatasi maksimal 12 jam sebelum jumlah
TPC mencapai 106 koloni/gram. Perbedaan kelembaban udara rak aging tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada tingkat
signifikansi 5%. Semakin cepat laju penurunan kadar air selama aging, maka
tekstur lembaran adonan akan semakin mengeras.
Kadar air juga berpengaruh terhadap tekstur pelet selama proses
pengeringan. Kadar air pelet yang terlalu rendah menyebabkan tekstur pelet
rapuh. Kadar air pelet yang semakin tinggi menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme. Berdasarkan kurva sorpsi isoterm, pelet first dryer aman
disimpan pada tingkat kadar air 11.38% yang setara dengan aw minimum
pertumbuhan kapang yaitu 0.62. Kadar air pelet second dryer berpengaruh
nyata terhadap densitas kamba hasil goreng pada tingkat signifikansi 5% dan
kadar air pelet standar adalah 11.81-12.36%. Semakin tinggi aw produk maka
tingkat kerenyahan produk semakin rendah. Produk snack dengan aw 0.27-
0.33, aman dari cemaran mikrobiologis asalkan produk bisa dijaga dari
kelembaban yang memungkinkan kenaikan kadar air. Mutu mikrobiologis
snack Taro net memenuhi semua persyaratan mikrobiologi SNI makanan
ringan ekstrudat.
Jumlah waste pada tahap pemotongan diperkirakan antara 0.39–0.73%,
sedangkan jumlah waste pada tahap pengeringan pertama diperkirakan antara
0.26-0.43%. Jumlah waste pada tahap pengeringan kedua diperkirakan 1.89–
2.97% per shift, yang diperoleh dari 5 mesin pengering kedua yang berbeda.
Berdasarkan uji Post Hoc ANOVA pada mesin pengering kedua dapat
disimpulkan bahwa mesin 1 dan mesin 6 memiliki perbedaan jumlah waste
yang signifikan dibandingkan mesin yang lain. Identifikasi penyebab
tingginya jumlah waste disebabkan oleh 5 faktor yaitu manusia, metode,
bahan, alat/wadah dan lingkungan. Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah
mengatasi penyebab masalah yang meliputi training karyawan, modifikasi
metode dan mesin, perbaikan lingkungan dan kontrol proses.
B. SARAN
Melihat potensi pasar snack yang semakin meningkat, persaingan di
bisnis snack akan semakin ketat pada tahun-tahun ke depan. Oleh karena itu,
untuk memenangkan persaingan pasar, mutu snack harus terus ditingkatkan.
Ada beberapa hal yang dirasakan perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu
produk selama proses produksi snack Taro net, yaitu :
1. Standardisasi proses, sehingga keseragaman mutu dapat dipertahankan,
2. Peningkatan implementasi SSOP, GMP dan HACCP, sehingga keamanan
produk dapat dipastikan mulai dari bahan baku sampai produk akhir,
3. Pelatihan sanitasi dan higiene karyawan, sehingga karyawan mengerti
bagaimana cara produksi pangan yang baik,
4. Minimalisasi waste, sehingga biaya (cost) produksi dapat ditekan.
Selain itu, perlu dilakukan studi lanjutan untuk meningkatkan mutu
produk baik mutu fisiko-kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Beberapa hal
yang perlu dilakukan studi lanjut adalah :
1. Profil pertumbuhan mikrobiologi selama tahapan aging,
2. Profil pertumbuhan mikrobiologi selama penyimpanan pelet di
gudang,
3. Profil perubahan mutu selama umur simpan produk
Demikian saran-saran yang dapat diberikan oleh Penulis. Skripsi ini
masih jauh dari sempurna, tetapi semoga studi yang dilakukan dapat
bermanfaat untuk pengembangan produk snack di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Abedon, S. T. Microbial growth. www.mansfield.ohio-state.edu Anonim1. 2004. Waste at work information sheet. www.wasteonline.org Anonim2. 2006. Measuring moisture contents in the snack food and baking
industries. www.cscscientific.com Anonim3. 2004. Waste in the workplace. www.wasteonline.org.uk Anonim4. 2006. Waste. www.wikipedia.org Anonim5. 2006. Food Storage FAQ. www.survival-center.com Anonim6. 2005. N.P Company, Inc. www.nposk.com Banks, D. E. dan E. W. Lusas. 2002. Oils and Industrial frying. Di dalam Snack
Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Barbosa-Canovas, G.V. dan H. Yan. 2003. Powder characteristics of
preprocessed flours. Di dalam Characterization of Cereals and Flours. Kaletunc, G. Dan Breslauer (Eds.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel.
Belitz, D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Jerman BeMiller, J. N. dan R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food
Chemistry. Fennema, O. R. (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Butt, M. S., M. Nasir, S. Akhtar dan K. Sharif. 2003. Effect of moisture and
packaging on the shelf life of wheat flour. Internet Journal of Food Safety. V 4 : 1-6.
Djatmiko, B. dan A. B. Enie. 1985. Proses Penggorengan dan Pengaruhnya
Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Agro Industri Press. Bogor.
Doyle, M. E. 2001. Bacillus cereus fact sheet. www.foodprotect.org Eborn, D. 2005. Rumford Baking Powder. www.waltonfeed.com Eliasson, A. dan M. Gudmundsson. 1996. Starch : physicochemical and
functional aspects. Di dalam Carbohydrates in Food. Eliasson, A. (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Hongkong.
Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Farrel, K. T. 1985. Spices,Condiments, and Seasonings. The AVI Publishing
Company, Inc. Westport. Connecticut. Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology. Second edition. CRC Press.
Boca Raton. Boston New York. Washington, DC. Fennema, O. R. 1996. Water and ice. Di dalam Food Chemistry. Fennema, O. R.
(Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Frank, P. 2000. Snack Mixes. www.foodproductdesign.com Gale, T. 2006. Baking powder. www.madehow.com Harper, J. M. 1981. Extrusion of Food. Vol I. CRC Press, Inc. Florida Hidayat, T. 2006. Garudafood perkuat posisi di bisnis snack. www.swa.co.id. Huang, D. P. dan L. W. Rooney. 2002. Starches for snack foods. Di dalam Snack
Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Jamilah. 2002. Proses produksi dan pengendalian mutu mie instan di PT Sentra
Food Indonusa, Karawang. Laporan Magang. SJMP Fateta IPB. Bogor Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Aspen Publishers, Inc. Maryland. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Knight, J. W. 1989. The Starch Industry. Pergamon Press. Oxford. Larantukan, T.L. 2005. Minimalisasi waste pada proses produksi dry mix product
di PT. Nutrifood Indonesia-SBU Tropicana Slim Ciawi, Bogor-Jawa Barat. Laporan Magang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor.
Lundqvist, H. 2001. Amylopectin-interactions with lipid and protein.
www.lub.lu.se Lusas, E. W. 2002. Overview. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W.
Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Matjik, A. A. dan I. A. Sumertajaya. 2002. Perancangan dan Percobaan. IPB Press. Bogor.
McCarthy, J. A. 2002. The snack industry : history, domestic, and global status.
Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Miles, W. J. 1960. Method for preparing sheeted fried snack products.
www.freepatentsonline.com Moss, M. O. 2000. Toxigenic fungi and mycotoxin. Di dalam The Microbiological
Safety and Quality of Food. Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., Gould, G. W. (Eds.). Aspen Publishers, Inc. Maryland.
Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan A.B. Ahza. 1988. Teknologi Pemasakan
Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Muhandri, T. dan D. Kadarisman. 2005. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB. Bogor Muliawan, D. 1991. Pengaruh berbagai tingkat kadar air terhadap pengembangan
kerupuk sagu goreng. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Mulyandari, S. H. 1992. Kajian perbandingan sifat-sifat pati umbi-umbian dan
pati biji-bijian. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Mulyani, S. 2000. Pengawasan mutu terigu simpan dan pengaruhnya terhadap
tekstur mie instan di PT Indofood Sukses Makmur, Jakarta. Laporan Magang. SJMP Fatete IPB. Bogor
Nagao, S. 2002. Japanese snack foods. Di dalam Snack Food Processing. Lusas,
E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Pomeranz, Y. dan J. A. Shellenberger. 1971. Bread Science and Technology. The
AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Pongsawatmanit, R., P. Thanasukarn dan S. Ikeda. 2002. Effect of sucrose on RVA
viscosity parameters, water activity and freezable water fraction of cassave starch suspensions. Science Asia 28 : 129-134
Prastyanty, R. 1998. isotermi sorpsi air dan kerenyahan kerupuk goreng dengan
“penggorengan” oven gelombang mikro. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Ranhotra, G.S., dan J. L. Vetter. 1991. Foods considered for nutrient addition :
snacks and confectioneries. Di dalam Nutrient Additions to Food.
Bauernfeind, J. C. dan Lachance, P. A. (Eds.). Food & Nutrition Press, Inc. Connecticut, USA.
Santoso, S. 2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 14. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta Serena. 1996. Aspek teknologi pangan dalam produksi makanan ringan, di PT.
Radiance Food Industry Division. Laporan Praktek Lapang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta Suratno, Y. D. 1995. Mempelajari aspek teknologi pangan di perusahaan makanan
ringan PT. Intranesia Bina Citra, Tanggerang. Laporan Praktek Lapang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor.
Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta. Syarief, R., L. Ega, dan C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB
Press. Bogor Todar, K. 2002. Growth of bacterial population. www.textbookofbacterilogy.net Vodovotz, Y., M. Baik, E. Vittadini, dan P. Chinachoti. 2001. Instrumental
techniques used in bread staling analysis. Di dalam Bread Staling. Chinachoti, P. dan Y. Vodovotz (Eds.). CRC Press. Boca Rato. London, New York. Washington, D.C.
Winarno, F. G. 2004. Keamanan Pangan. Mbrio Press. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. Xiong, L. 2002. Determination and prediction of shelf life of moisture-sensitive
shredded wheat cereals. www.msu.edu Zulviani, R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat suhu penggorengan terhadap pola
pengembangan kerupuk sagu goreng. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Lampiran 1. Struktur organisasi PT. Unilever Indonesia SCC&C Cikarang
Supply Chain Director Foods
Quality Manager
Technical Manager
Quality Assistant Manager
Production Assistant Manager
Production Manager
Plant Engineer
Assistant Plant Engineer
Lampiran 2. Beberapa mikotoksin utama dalam penyimpanan bahan pangan Mikotoksin Kapang
utama Substrat Kondisi Produksi
Toksin Karakteristik toksin
Alfatoksin Aspergillus flavus A. parasiticus
Serealia, kacang tanah (komoditi pangan tropik dan subtropik)
aw minimum 0.80, Suhu optimum : 25oC-35oC, kondisi suhu yang berfluktuasi lebih merangsang aktivitas metabolisme sekunder mikotoksin, diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, kaya lipida dan protein.
Termostabil, termotolerans sampai suhu 250oC, peka terhadap basa (NaOH, NH3)
Okhratoksin A. ochraceus A. viridicatum P. verrucosum
Jewawut, gabah, jagung, gandum, lada hitam, biji kopi
aw minimum 0.85 (A. ochraceus ), suhu 24-31oC (optimum 24oC) untuk P. verrucosum, sedangkan A. ochraceus pada suhu 12-37oC (optimum 25oC), produksi toksin maksimal pada aw 0.95 dan suhu 30oC, produksi toksin meningkat dengan meningkatnya kandungan protein.
Berupa kristal, tidak berwarna, larut pada solven organik yang polar dan lautan encer, tidak dapat didekstruksi sempurna pada suhu 250oC,
Patulin
A. clavatus P. expansum P. patulum P. urticae P. cyclopium
Bebijian, buah-buahan (apel), jus buah, silase
pH 3.2 -3.8, produksi maksimum pada suhu 30-37oC,
Merupakan lakton tidak jenuh C7H6O4, peka terhadap SO2, stabil dalam suasana asam, tidak stabil dalam suasana basa, dapat diproduksi pada suhu rendah. titik lebur 110.5oC, larut dalam eter, kloroform, etil asetat dan etanol; dapat direduksi dengan asam askorbat, direduksi selama pasteurisasi
Islanditoksin, luteoskirin, rugulosin
P. islandicum P. rugulosum
Beras, sorgum, jewawut
- Luteoskirin berwarna kuning dan lipofilik, islanditoksin bersifat hidrofilik dan berwarna kuning.
Zearalenon F. graminearum F. tricineatum
Jagung, gandum
aw di atas 0.95, suhu optimum 27oC, lebih aktif pada kondisi penyimpanan yang suhunya berubah drastis
Kristal putih, titik ;ebur 165oC, tidak larut dalam air, CS2 dan CCl, larut dalam benzen, CH2Cl2, etil asetat, air pada pH 12, etanol, metanol, aseton dan butanol, mempunyai efek anabolik
Trikhotesen Fusarium sp. Serealia Pertumbuhan Mudah larut air, butanol,
maksimum pada suhu 25oC
toluen, piridin, tidak mudah larut dalam etil eter, aseton dan kloroform.
Sterigmato-sistin
A. versicolor Gandum, oat
Pertumbuhan maksimum pada suhu 27-29oC
Dapat dikonversi menjadi aflatoksin B1 oleh Aspergillus parasiticus, larut dalam alkohol, asetonitril, etilasetat dan tidak larut dalam petrol eter, tidak stabil dalam lingkungan basa.
Asam penisilat
P. cyclopium A. ochraceus P. viridicatum
Serealia, tembakau
aw minimum 0.81 (A. ochraceus )
Stabil pada suihu 100oC dengan berbagai nilai pH, titik lebur 84-87oC, tidak larut dalam air dingin, petrol eter dan heksen, larut dalam air panas, etanol, kloroform, etil asetat dan benzen eter.
Sitrinin P. citrinum A. clavatus
Beras kuning, roti berkapang, gandum, rye, oat
Suhu 20-30oC Peka terhadap panas, pada suhu 60-70oC toksin tidak akan rusak, stabil pada kondisi asam, tidak stabil dalam kondisi basa, rusak selama penyimpanan pada aktivitas air yang tinggi, dapat dihambat oleh kafein
Sumber : Syarief dan Halid (1993), Syarief, et al. (2003), Jay (2000) dan Moss (2000)
Lampiran 3. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 01-3751-1995)
Persyaratan No Kriteria Uji Satuan Jenis A Jenis B Jenis C
1 1.1 1.2 1.3 1.4
Keadaan Bentuk Bau Rasa Warna
- - - -
Serbuk halus
Normal Normal Normal
Serbuk halus
Normal Normal Normal
Serbuk halus
Normal Normal Normal
2 Benda Asing - Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
3 Serangga (dalam semua stadia dan potongan-potongannya)
- Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
4 Jenis pati lain - Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
5 Kehalusan (lolos ayakan 145 μ (100 mesh)
%b/b
Min. 95 Min. 95 Min. 95
6 Air %b/b Maks. 14 Maks. 14 Maks. 14 7 Abu %b/b Maks. 0.6 Maks. 0.6 Maks. 0.6 8 Protein (N x 0.57) %b/b Maks. 12 Maks. 10-11 Maks. 8-9 9 Serat kasar %b/b Maks. 0.4 Maks. 0.4 Maks. 0.4 10 Keasaman (dihitung
sebagai asam laktat) %b/b Maks. 0.4 Maks. 0.4 Maks. 0.4
11 Bahan tambahan makanan (bahan pemutih)
Sesuai SNI 01-0222-1995
12 12.1 12.2 12.3 12.4
Cemaran Logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40
Maks. 0.05
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40
Maks. 0.05
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40
Maks. 0.05
13 Cemaran arsen mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Maks. 0.5 14 14.1 14.2 14.3
Cemaran Mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
Koloni/gAPM/g
Koloni/g
106
10 104
106
10 104
106
10 104
Lampiran 4. Persyaratan mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)
Persyaratan No Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III
1 Kadar air (b/b) % Maks. 15 Maks. 15 Maks. 15 2 Kadar abu (b/b) % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60 3 Serat dan benda
asing (b/b) % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60
4 Derajat putih (BaSO4= 100%)
% Min. 94.5 Min. 92 <92
5 Kekentalan oEngler 3 – 4 2.5 - 3 < 2.5 6 Derajat asam ml IN
NaOH/100 g Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3
7 Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05
8 Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Maks. 0.5 9 Cemaran
mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
koloni/g
koloni/g koloni/g
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
Lampiran 5. Persyaratan mutu gula kristal putih (SNI 01-3140-2000)
Persyaratan No Kriteria uji SatuanGKP I GKP II GKP III
% Min. 90 Min. 65 Min. 60
1 1.1 1.2
Warna Warna kristal Warna larutan (ICUMSA)
Lu Maks. 250 Maks. 350 Maks. 450
2 Besar jenis butir Mm 0.8 -1.2 0.8 -1.2 0.8 -1.2 3 Susut pengeringan % b/b Maks. 0.1 Maks. 0.15 Maks. 0.2 4 Polarisasi (oZ, 20oC) “Z” Min. 99.6 Min. 99.5 Min. 99.4 5 Gula pereduksi % b/b Maks. 0.10 Maks. 0.15 Maks. 0.20 6 Abu % b/b Maks. 0.10 Maks. 0.15 Maks. 0.20 7 Bahan asing tidak larut Derajat Maks. 5 Maks. 5 Maks. 5 8 Bahan tambahan
makanan : Belerang dioksida (SO2)
Mg/kg
Maks. 30
Maks. 30
Maks. 30
9 9.1 9.2
Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu)
Mg/kg Mg/kg
Maks. 2 Maks. 2
Maks. 2 Maks. 2
Maks. 2 Maks. 2
10 Arsen (As) Mg/kg Maks. 1 Maks. 1 Maks. 1 Lampiran 6. Persyaratan mutu minyak goreng (SNI 01-3741-1995)
No Kriteria uji Satuan Persyaratan 1 1.1 1.2
Keadaan Bau Rasa
- -
Normal Normal
2 Air % b/b Maksimum 0.30 3 Asam lemak bebas (dihitung
berdasakan asam laurat) % b/b
Maksimum 0.30 4 Minyak pelican - Tidak ternyata 5 Bahan tambahan makanan Sesuai SNI 01-0222-1995
dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88
6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6
Cemaran logam Besi (Fe) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Timah (Sn)
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Maksimum 1.5 Maksimum 0.1 Maksimum 0.1 Maksimum 40.0 Maksimum 0.05 Maksimum 40.0 / 250.0 *
7 Arsen (As) Mg/kg Maksimum 0.1 * dalam kemasan kaleng
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap kadar air adonan (%)
Tabel 31. Kadar air lembaran adonan (%)
Persentase air pemasakan (%) Ulangan
1 2 3
Rata-rata
34 35.88 34.30 34.35 34.84 37 35.73 36.65 36.06 36.15 40 39.71 39.18 39.19 39.36
Rataan Umum 36.78
Hasil analisis sidik ragam
Sumber keragaman Db
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Perlakuan 2 32.42 16.21 43.59 Galat 6 2.23 0.37 Total 8 34.66 Koefisien keragaman (%) 1.66
Pengujian hipotesis :
Nilai F hitung = 43.59 dan F tabel (2,6), = 5.143 pada taraf nyata 0.05. Oleh
karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air
pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada
tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap ketebalan lembaran adonan (mm)
Tabel 32. Ketebalan lembaran adonan (mm)
Ulangan Persentase air pemasakan (%) 1 2 3 4 5
Rata-rata
34 1.94 1.90 1.84 1.88 1.94 1.90 37 1.90 1.76 1.70 1.71 1.92 1.80 40 1.78 1.72 1.50 1.54 1.62 1.63
Hasil analisis sidik ragam
Sumber keragaman
Db
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
tengah
F hitung
Perlakuan 2 0.18 0.0915 10.2640 Galat 12 0.11 0.0089 Total 14 0.29 Koefisien keragaman (%) 5.31
Pengujian hipotesis:
Nilai F hitung = 10.2640 dan F tabel (2,12) = 3.885 pada taraf nyata 0.05.
Oleh karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air
pemasakan berpengaruh nyata terhadap ketebalan adonan pada tingkat
signifikansi 5%.
Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap elastisitas lembaran adonan
Tabel 33. Elastisitas lembaran adonan
Ulangan 1 2
Persentase air pemasakan
(%)
Panjang (cm)
Elastisitas Panjang (cm)
Elastisitas
Elastisitas rata-rata
10 16.50 2.0625 16.50 2.0625 2.0625 11 17.50 2.1875 17.00 2.1250 2.1563 12 18.50 2.3125 19.00 2.3750 2.3438
Hasil analisis sidik ragam
Sumber keragaman Db
Jumlah kuadrat
Kuadrattengah
F hitung
Perlakuan 2 0.08 0.04 31.50 Galat 3 0.00 0.00 Total 5 0.09 Koefisien keragaman (%) 1.65
Pengujian hipotesis :
Nilai F hitung = 31.50 dan F tabel (2,3), = 9.552 pada taraf nyata 0.05. Oleh
karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air
pemasakkan berpengaruh nyata terhadap elastisitas lembaran adonan pada
tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 10. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kelembaban udara (%) dengan kadar air (%)
Correlations
Kelembaban udara (RH)
Kadar air sheet (%)
Pearson Correlation 1 -.320 Sig. (2-tailed) . .680
Kelembaban udara (RH)
N 4 4 Pearson Correlation -.320 1 Sig. (2-tailed) .680 .
Kadar air sheet (%)
N 4 4 Pengujian hipotesis :
Tingkat signifikansi yang diperoleh adalah 0.680. Tingkat signifikansi
(probabilitas) 0.680 > 0.05, dengan demikian Ho diterima. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban udara
(RH) ruang aging dengan kadar air lembaran. Hal ini berarti perbedaan kondisi
ruang aging tidak berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati selama
proses aging pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 11. Kemiringan kurva regresi linear antara kadar air sheet (%) dengan waktu aging (jam)
Kadar air sheet (%) Ulangan Waktu aging (jam)
A B C 1 32.46 33.61 33.07 2 30.10 33.41 31.87 3 27.86 32.62 32.52 5 23.87 33.82 32.17
1
Kemiringan kurva regresi linear
-2.14 0.04 -0.14
6 21.97 33.47 32.86 7 17.79 32.29 31.79 8 16.09 32.74 32.35 9 16.51 33.34 32.93
2
Kemiringan kurva regresi linear
-1.81 0.01 0.08
7 23.54 32.53 31.81 8 21.26 31.70 32.10 9 19.37 32.42 32.07 11 17.75 31.88 31.17
3
Kemiringan kurva regresi linear
-1.41 -0.10 -0.18
Keterangan : A = posisi sheet paling luar, B = posisi tengah rol, C = posisi paling dalam rol Lampiran 12. Hasil penyetimbangan kadar air pelet first dryer pada 4 tingkat RH
Berat cawan dan pelet first dryer hari ke- (gram) RH (%) Ulangan 0 2 4 6 7
1 15.4629 15.5455 15.5662 15.5717 15.5663 69 2 13.4034 13.4874 13.5073 13.5125 13.5065 1 15.2228 15.3386 15.3454 15.3449 15.3405 74 2 15.4348 15.5574 15.5579 15.5585 15.5592
Berat cawan dan pelet first dryer hari ke- (gram) RH (%) Ulangan
0 3 6 8 1 15.4407 15.8078 15.8423 15.8318 84 2 15.1957 15.5324 15.5704 15.5624 1 15.2134 15.6559 15.8064 15.8738 87 2 13.1535 13.6132 13.7368 13.8007
Lampiran 13. Kadar air kesetimbangan pelet first dryer pada 4 tingkar RH
RH (%) Ulangan Kadar air (%) Kadar air rata-rata (%) 1 12.27 67 2 12.28
12.28
1 12.94 74 2 12.89
12.92
1 15.05 84 2 14.96
15.00
1 19.33 87 2 18.64
18.99
Lampiran 14. Kadar air rata-rata pelet second dryer
Ulangan Kode 1 2 3 4 5
Kadar air rata-rata
L1 12.09 12.51 11.98 12.62 12.72 12.38 L2 12.11 11.75 12.21 11.61 12.14 11.96 L3 11.04 11.84 12.00 12.14 12.09 11.82 L4 11.45 11.26 11.63 11.62 11.85 11.56
Lampiran 15. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kadar air pelet (%) dengan
densitas kamba (kg/cm3)
Correlations
Kadar air pellet (%)
Densitas kamba
(kg/cm3) Pearson Correlation 1 -.914(*)
Sig. (2-tailed) . .030
Kadar air pellet (%)
N 5 5 Pearson Correlation -.914(*) 1
Sig. (2-tailed) .030 .
Bulk Density (kg/cm3)
N 5 5 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Pengujian hipotesis :
Tingkat signifikansi yang diperoleh adalah 0.030. Tingkat signifikansi
(probabilitas) 0.030 < 0.05, dengan demikian Ho ditolak. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar air pelet dengan
densitas kamba pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 16. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pemotongan Statistics
Valid 24 N
Missing 0 Mean .5596 Std. Error of Mean .08336 Median .4400 Std. Deviation .40836 Variance .167 Skewness 1.275 Std. Error of Skewness .472 Kurtosis 1.195 Std. Error of Kurtosis .918 Range 1.58 Minimum .12 Maximum 1.70
10 .1500 25 .2550 50 .4400 75 .8325
Percentiles
90 1.1850
Jumlah waste (%)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid .12 1 4.2 4.2 4.2 .15 2 8.3 8.3 12.5 .19 1 4.2 4.2 16.7 .21 1 4.2 4.2 20.8 .24 1 4.2 4.2 25.0 .30 1 4.2 4.2 29.2 .33 1 4.2 4.2 33.3 .34 1 4.2 4.2 37.5 .35 1 4.2 4.2 41.7 .37 1 4.2 4.2 45.8 .41 1 4.2 4.2 50.0 .47 2 8.3 8.3 58.3 .51 1 4.2 4.2 62.5 .58 1 4.2 4.2 66.7 .59 1 4.2 4.2 70.8 .63 1 4.2 4.2 75.0 .90 1 4.2 4.2 79.2 .93 1 4.2 4.2 83.3 1.12 1 4.2 4.2 87.5 1.17 1 4.2 4.2 91.7 1.20 1 4.2 4.2 95.8 1.70 1 4.2 4.2 100.0 Total 24 100.0 100.0
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Jumlah waste (%) 24 .12 1.70 .5596 .40836 Valid N (listwise) 24
Lampiran 17. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan pertama
Statistics Jumlah waste (%)
Valid 12 N Missing 0
Mean .3450 Std. Error of Mean .03677 Median .3100 Std. Deviation .12739 Variance .016 Skewness .879 Std. Error of Skewness .637 Kurtosis .429 Std. Error of Kurtosis 1.232 Range .44 Minimum .16 Maximum .60
10 .1810 25 .2650 50 .3100 75 .4100
Percentiles
90 .5850
Jumlah waste (%)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent .16 1 8.3 8.3 8.3 .23 1 8.3 8.3 16.7 .26 1 8.3 8.3 25.0 .28 1 8.3 8.3 33.3 .29 1 8.3 8.3 41.7 .30 1 8.3 8.3 50.0 .32 1 8.3 8.3 58.3 .35 1 8.3 8.3 66.7 .38 1 8.3 8.3 75.0 .42 1 8.3 8.3 83.3 .55 1 8.3 8.3 91.7 .60 1 8.3 8.3 100.0
Valid
Total 12 100.0 100.0 Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Jumlah waste (%) 12 .16 .60 .3450 .12739 Valid N (listwise) 12
Lampiran 18. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan kedua
Statistics
Persentase waste rata-rata per shift (%) Valid 7 N Missing 61
Mean 2.4314 Std. Error of Mean .24083 Median 2.4600 Std. Deviation .63717 Variance .406 Skewness .228 Std. Error of Skewness .794 Kurtosis -.511 Std. Error of Kurtosis 1.587 Range 1.82 Minimum 1.60 Maximum 3.42
10 1.6000 25 1.7600 50 2.4600 75 2.9800
Percentiles
90 3.4200
Persentase waste rata-rata per shift (%)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent 1.60 1 1.5 14.3 14.3 1.76 1 1.5 14.3 28.6 2.32 1 1.5 14.3 42.9 2.46 1 1.5 14.3 57.1 2.48 1 1.5 14.3 71.4 2.98 1 1.5 14.3 85.7 3.42 1 1.5 14.3 100.0
Valid
Total 7 10.3 100.0 Missing System 61 89.7 Total 68 100.0
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Persentase waste rata-rata per shift (%) 7 1.60 3.42 2.4314 .63717
Valid N (listwise) 7
Lampiran 19. Transformasi data jumlah waste tahap pengeringan kedua
Mesin Jumlah waste SD (%) Transformasi data 1 2.70 1.64 2 3.10 1.76 3 2.70 1.64 5 2.74 1.66 6 5.88 2.42 1 1.20 1.10 2 4.17 2.04 3 2.36 1.54 5 2.10 1.45 6 2.47 1.57 1 1.00 1.00 2 1.62 1.27 3 1.52 1.23 5 1.41 1.19 6 3.25 1.80 1 1.14 1.07 2 3.30 1.82 3 2.48 1.57 5 3.05 1.75 6 2.43 1.56 1 2.53 1.59 2 2.58 1.61 3 2.74 1.66 5 1.14 1.07 6 2.61 1.62 1 1.54 1.24 2 3.60 1.90 3 2.61 1.62 5 1.80 1.34 6 5.34 2.31 1 1.12 1.06 2 1.23 1.11 3 1.30 1.14 5 2.40 1.50 6 2.12 1.46
Lampiran 20. Analisis ragam (ANOVA one-way) jumlah waste tahap pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua
Descriptives
tans_waste
95% Confidence Interval for Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
Mesin 1 7 1.2423 .26665 .10079 .9957 1.4889 1.00 1.64Mesin 2 7 1.6435 .33947 .12831 1.3296 1.9575 1.11 2.04Mesin 3 7 1.4854 .20985 .07931 1.2914 1.6795 1.14 1.66Mesin 5 7 1.4206 .24255 .09167 1.1963 1.6449 1.07 1.75Mesin 6 7 1.8201 .38971 .14730 1.4596 2.1805 1.46 2.42Total 35 1.5224 .34303 .05798 1.4046 1.6402 1.00 2.42
Test of Homogeneity of Variances
tans_waste
Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.071 4 30 .388
ANOVA
tans_waste
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1.354 4 .339 3.838 .012 Within Groups 2.647 30 .088 Total 4.001 34
Lampiran 21. Analisis Post Hoc ANOVA jumlah waste tahap pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua
Multiple Comparisons
Dependent Variable: tans_waste
95% Confidence Interval
(I) No. Mesin
(J) No. Mesin
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
Tukey Mesin 1 Mesin 2 -.40123 .15876 .111 -.8617 .0593 HSD Mesin 3 -.24313 .15876 .551 -.7036 .2174 Mesin 5 -.17830 .15876 .793 -.6388 .2822 Mesin 6 -.57776(*) .15876 .008 -1.0383 -.1173 Mesin 2 Mesin 1 .40123 .15876 .111 -.0593 .8617 Mesin 3 .15810 .15876 .855 -.3024 .6186 Mesin 5 .22293 .15876 .630 -.2376 .6834 Mesin 6 -.17654 .15876 .799 -.6370 .2840 Mesin 3 Mesin 1 .24313 .15876 .551 -.2174 .7036 Mesin 2 -.15810 .15876 .855 -.6186 .3024 Mesin 5 .06483 .15876 .994 -.3957 .5253 Mesin 6 -.33463 .15876 .243 -.7951 .1259 Mesin 5 Mesin 1 .17830 .15876 .793 -.2822 .6388 Mesin 2 -.22293 .15876 .630 -.6834 .2376 Mesin 3 -.06483 .15876 .994 -.5253 .3957 Mesin 6 -.39946 .15876 .114 -.8600 .0610 Mesin 6 Mesin 1 .57776(*) .15876 .008 .1173 1.0383 Mesin 2 .17654 .15876 .799 -.2840 .6370 Mesin 3 .33463 .15876 .243 -.1259 .7951 Mesin 5 .39946 .15876 .114 -.0610 .8600 Bonfer Mesin 1 Mesin 2 -.40123 .15876 .170 -.8822 .0798 roni Mesin 3 -.24313 .15876 1.000 -.7241 .2379 Mesin 5 -.17830 .15876 1.000 -.6593 .3027 Mesin 6 -.57776(*) .15876 .010 -1.0588 -.0968 Mesin 2 Mesin 1 .40123 .15876 .170 -.0798 .8822 Mesin 3 .15810 .15876 1.000 -.3229 .6391 Mesin 5 .22293 .15876 1.000 -.2581 .7039 Mesin 6 -.17654 .15876 1.000 -.6575 .3045 Mesin 3 Mesin 1 .24313 .15876 1.000 -.2379 .7241 Mesin 2 -.15810 .15876 1.000 -.6391 .3229 Mesin 5 .06483 .15876 1.000 -.4162 .5458 Mesin 6 -.33463 .15876 .435 -.8156 .1464 Mesin 5 Mesin 1 .17830 .15876 1.000 -.3027 .6593 Mesin 2 -.22293 .15876 1.000 -.7039 .2581 Mesin 3 -.06483 .15876 1.000 -.5458 .4162 Mesin 6 -.39946 .15876 .174 -.8805 .0816 Mesin 6 Mesin 1 .57776(*) .15876 .010 .0968 1.0588 Mesin 2 .17654 .15876 1.000 -.3045 .6575 Mesin 3 .33463 .15876 .435 -.1464 .8156 Mesin 5 .39946 .15876 .174 -.0816 .8805
* The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 22. Homogenous subsets jumlah waste pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua
Homogeneous Subsets
tans_waste
Subset for alpha = .05 No. Mesin N 1 2
Mesin 1 7 1.2423 Mesin 5 7 1.4206 1.4206Mesin 3 7 1.4854 1.4854Mesin 2 7 1.6435 1.6435Mesin 6 7 1.8201
Tukey HSD(a)
Sig. .111 .114Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 7.000.