43
SKRIPSI NOVEMBER 2020 GAMBARAN KADAR HBA1C PASIEN DM TIPE 2 KOMPLIKASI SINDROM KORONER AKUT DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO PERIODE JANUARI – JUNI 2019 Oleh DWI PUTRI MULYANI JAMALUDDIN C011 17 1546 Pembimbing: Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2020

SKRIPSI NOVEMBER 2020 GAMBARAN KADAR HBA1C …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI

NOVEMBER 2020

GAMBARAN KADAR HBA1C PASIEN DM TIPE 2

KOMPLIKASI SINDROM KORONER AKUT DI RSUP DR. WAHIDIN

SUDIROHUSODO PERIODE JANUARI – JUNI 2019

Oleh

DWI PUTRI MULYANI JAMALUDDIN

C011 17 1546

Pembimbing:

Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020

GAMBARAN KADAR HBA1C PASIEN DM TIPE 2

KOMPLIKASI SINDROM KORONER AKUT DI RSUP DR. WAHIDIN

SUDIROHUSODO PERIODE JANUARI – JUNI 2019

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Hasanuddin

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

DWI PUTRI MULYANI JAMALUDDIN

C011 17 1546

Pembimbing:

Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

MAKASSAR

2020

iii

HALAMAN PENGESAHAN

iv

v

vi

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA

vii

SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN NOVEMBER 2020

Dwi Putri Mulyani Jamaluddin, C011 17 1546 Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes

Gambaran Kadar HbA1c Pasien DM Tipe 2 Komplikasi Sindrom Koroner Akut di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode Januari – Juni 2019

ABSTRAK

Latar Belakang: Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang dapat dicegah,

namun prevalensinya terus meningkat setiap tahun. 422 juta orang dewasa

mengalami diabetes pada tahun 2014 yang merupakan peningkatan dua kali lipat

dari tahun 1980. Diabetes berkepanjangan tanpa kontrol glukosa darah dapat

menimbulkan komplikasi, salah satunya adalah Sindrom Koroner Akut (SKA).

Global Report on Diabetes, WHO (2016) menetapkan pemeriksaan HbA1c

parameter terbaik untuk menilai kontrol glukosa darah. HbA1c dapat memprediksi

kadar glukosa darah dalam 3-4 bulan sebelumnya dan tidak berpengaruh terhadap

fluktuasi glukosa darah harian. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-

sectional dengan metode pengambilan sampel consecutive sampling dari data

rekam medis pasien SKA yang memiliki riwayat DM tipe 2 dan telah melakukan

pemeriksaan HbA1c. Hasil: Dari total 80 sampel pasien didapatkan 87,5%

diantaranya memiliki kadar HbA1c ≥7%. Telah dilakukan uji asosiasi Chi square

terhadap variabel HbA1c dengan klasifikasi SKA, uji pearson antara HbA1c dan

lama perawatan, serta uji rank spearman antara HbA1c dan luaran pasien dan

diperoleh nilai p>0,05 sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Kesimpulan: Pada

penelitian ini tidak ditemukan hubungan signifikan antara kadar HbA1c dengan

jenis klasifikasi SKA, lama perawatan, dan luaran pasien.

Kata Kunci: DM tipe 2, Sindrom Koroner Akut, HbA1c

viii

THESIS MEDICAL FACULTY

HASANUDDIN UNIVERSITY NOVEMBER 2020

Dwi Putri Mulyani Jamaluddin, C011 17 1546 Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes

HbA1c in type 2 Diabetes with Acute Coronary Syndrome Patients in Wahidin Sudirohusodo Hospital January – June 2019

ABSTRACT

Background: Diabetes is a non communicable disease that can be prevented, but

it’s number are still constantly increasing every year. In 2014, 422 million adults

were diagnosed with diabetes, which is twice the amount of diabetes patients in

1980. Prolonged diabetes without glycemic control will lead to Acute Coronary

Syndrome (ACS). Based on WHO (2016) Global Report on Diabetes, HbA1c is

considered as the best parameter to monitoring glycemic control in diabetes. HbA1c

predicts average glycemic exposure during the preceding 3 to 4 months and does

not interfere with daily blood glucose. Method: This is a cross-sectional study with

consecutive sampling method from medical record of ACS patients with history of

type 2 diabetes who undergo HbA1c test. Results: Out of 80 patients, 87,5% had

HbA1c level ≥7%. Chi square test were used to analyze the association between

HbA1c level and type of ACS, pearson test were used for HbA1c level and long of

hospital stay, rank spearman test were used for HbA1c level and prognosis.

Statistical analysis obtained p value >0,05, meaning H0 accepted and H1 rejected.

Conclusion: There is no significant relationship between HbA1c level and type of

ACS, long of hospital stay, and prognosis.

Keywords: Type 2 Diabetes, Acute Coronary Syndrome, HbA1c

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, penulis

dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran Kadar Hba1c Pasien

DM Tipe 2 Komplikasi Sindrom Koroner Akut Di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Periode Januari – Juni 2019” sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi pada program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanudddin.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan

terima kasih yang tulus kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. H. Jamaluddin dan Ibunda Hj.

Hasriati yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan serta

do’a yang tak terhingga kepada penulis sejak lahir hingga sekarang.

2. Prof. dr. Mansyur Arif, Sp.PK(K), Ph.D, M.Kes selaku pembimbing

skripsi sekaligus pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiran untuk penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik dan berjalan dengan lancar.

3. Dr. dr. Tenri Esa, M.Si, Sp.PK dan dr. Kartika Paramita, Sp.PK selaku

penguji skripsi I dan II yang telah memberikan kritik dan saran yang

membangun dalam penyusunan skripsi ini.

4. Prof. dr. Budu, Ph.D.,Sp.M., M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin beserta jajarannya atas dukungan

dan nasihatnya.

5. Saudara penulis dr. Awaludin Jamal dan segenap keluarga besar yang

senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

x

6. Teman-teman sejawat dan seperjuangan “CUCU TOK DALANG” Nurul

Sakinah, Anfauziyah Eka, Ratri Indraswari, Kezia Febiola, Filza

Salsabila, Ainun Maulidya, Luciana Leonard, A. Fitri Febrianty, Dhiya

Lathifah, Rea Thalia, Retno Nurul, Aisyah Nurul, Visakha Thio, Muh.

Farid, Anfasa, Farhan Yasir, dan Marsuki yang telah memberikan

hiburan, doa dan motivasinya sejak awal perkuliahan hingga saat ini.

7. Staf dan asisten dosen Departemen Histologi Fakultas Kedokteran

UNHAS yang memberikan rasa nyaman dan semangat selama penelitan

dan penyusunan skripsi ini.

8. Dan seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini baik

secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu

per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi

ini. Akhirnya penulis berdoa semoga Allah SWT senantiasa memberikan imbalan

yang setimpal kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi

ini. Aamiin YRA.

Makassar, 12 November 2020

Penulis

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ..................................... vABSTRAK ........................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ixDAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiiiDAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvBAB 1 LATAR BELAKANG ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 11.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 31.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3

1.3.1. Tujuan Umum ................................................................................................... 31.3.2. Tujuan Khusus .................................................................................................. 3

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 52.1. DM Tipe 2 .......................................................................................................... 5

2.1.1. Definisi DM Tipe 2 .................................................................................... 52.1.2. Klasifikasi Diabetes ................................................................................... 52.1.3. Patofisiologi DM Tipe 2 ............................................................................ 72.1.4. Diagnosis DM Tipe 2 ................................................................................. 92.1.5. Penatalaksanaan DM Tipe 2 .................................................................... 102.1.6. Komplikasi DM ....................................................................................... 162.1.7. Pengelolaan DM .............................................................................................. 18

2.2. Komplikasi SKA .............................................................................................. 192.2.1. Definisi SKA ........................................................................................... 192.2.2. Patofisiologi SKA .................................................................................... 202.2.3. Klasifikasi SKA ....................................................................................... 222.2.4. Diagnosis SKA ........................................................................................ 22

2.3. Hemoglobin-glikosilat (HbA1c) ....................................................................... 242.3.1. Metode Pemeriksaan HbA1c ................................................................... 262.3.2. Kelebihan dan keterbatasan pemeriksaan HbA1c ................................... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL HIPOTESIS PENELITIAN ............... 293.1. Kerangka Teori ................................................................................................. 293.2. Kerangka Konsep ............................................................................................. 303.3. Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................................ 314.1. Jenis Penelitian ................................................................................................. 314.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................ 314.3. Populasi dan Sampel ........................................................................................ 31

4.3.1. Populasi .................................................................................................... 314.3.2. Sampel ..................................................................................................... 31

4.4. Kriteria Sampel ................................................................................................. 324.4.1. Kriteria Inklusi ......................................................................................... 32

xii

4.4.2. Kriteria Eksklusi ...................................................................................... 324.5. Variabel Penelitian ........................................................................................... 33

4.5.1. Variabel Independen ................................................................................ 334.5.2. Variabel Dependen .................................................................................. 33

4.6. Jenis Data Penelitian ........................................................................................ 334.7. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ...................................................... 334.8. Alur Penelitian .................................................................................................. 344.9. Pengolahan dan Penyajian Data ....................................................................... 34

4.9.1. Pengolahan data ....................................................................................... 344.9.2. Penyajian data .......................................................................................... 34

4.10. Etika Penelitian ................................................................................................. 34

BAB 5 HASIL ANALISIS PENELITIAN ......................................................... 365.1. Analisis Univariat ............................................................................................. 365.2. Analisis Bivariat ............................................................................................... 38

BAB 6 PEMBAHASAN ....................................................................................... 416.1. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin .................................................. 416.2. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia .................................................................. 426.3. Distribusi Pasien Berdasarkan Kadar HbA1c ................................................... 436.4. Analisis Hubungan Antara Kadar HbA1c dengan Klasifikasi SKA ................ 436.5. Analisis Hubungan Antara Kadar HbA1c dengan Lama Perawatan ................ 446.6. Analisis Hubungan Antara Kadar HbA1c dengan Luaran Pasien .................... 45

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 477.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 477.2. Saran ................................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

xiii

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Sasaran Pengendalian DM ..................................................................... 19

Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Pasien DM Tipe 2 Komplikasi SKA....37

Tabel 5.2 Analisis Hubungan Kadar HbA1c dengan Jenis Klasifikasi SKA ........ 39

Tabel 5.3 Analisis Hubungan Kadar HbA1c dengan Lama Perawatan ................. 39

Tabel 5.4 Analisis Hubungan Kadar HbA1c dengan Luaran Pasien ..................... 40

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Ominous octet dalam patogenesis hiperglikemia ................................. 8

Gambar 2.2 Algoritma Tatalaksana DM tipe 2 ...................................................... 15

Gambar 2.3 Mekanisme Pembentukan Plak Aterosklerosis .................................. 21

Gambar 2.4 Alur diagnosis SKA ........................................................................... 23

Gambar 4.1 Alur Penelitian....................................................................................34

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Permohonan Penelitian ..................................................... 55

Lampiran 2. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik ................................................ 56

Lampiran 3. Surat Keterangan Izin Penelitian ....................................................... 57

Lampiran 4 Surat Perpanjangan Izin Penelitian .................................................... 58

Lampiran 5. Data Pasien dan Hasil Uji Statistik .................................................... 59

Lampiran 6. Biodata Diri Penulis .......................................................................... 62

1

BAB 1

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Diabetes adalah penyakit metabolik yang disebabkan oleh resistensi insulin,

kurangnya produksi insulin, atau gabungan antara keduanya yang ditandai dengan

keadaan hiperglikemia. Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang menjadi

prioritas dari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Meskipun menjadi

salah satu penyakit yang kejadiannya dapat dicegah dan ditunda, angka kejadian

diabetes tetap saja meningkat setiap tahunnya (PERKENI, 2019; WHO, 2016).

Sekitar tahun 1980 terhitung 108 juta orang dewasa mengalami diabetes dan

angka ini terus meningkat hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 422 juta jiwa

mengalami diabetes, menunjukkan peningkatan hampir dua kali lipat dari tahun

1980. Penduduk wilayah Asia Tenggara mengalami diabetes 10 tahun lebih awal

dibandingkan dengan orang-orang di wilayah Eropa. Pada tahun 2012, sekitar 1

juta orang dewasa meninggal akibat komplikasi diabetes (WHO, 2016).

Diabetes di Indonesia juga memiliki kecenderungan untuk terus meningkat.

Pada tahun 2007 prevalensi diabetes sebanyak 5,7% dan meningkat menjadi 6,9%

pada tahun 2013. Hingga pada tahun 2015, Indonesia menempati urutan ke tujuh

negara dengan prevalensi diabetes terbanyak setelah China, India, Amerika

Serikat, Brazil, Rusia, dan Meksiko. Saat ini DM Tipe 2 dan komplikasinya

merupakan penyebab ke tiga kematian terbanyak di Indonesia (WHO, 2016).

Di Sulawesi Selatan, prevalensi diabetes melitus (DM) pada penduduk usia

diatas 15 tahun meningkat dari tahun 2013 sebanyak 1,6% menjadi 1,8% pada

tahun 2018. Di Kota Makassar pada tahun 2015, terhitung kasus baru DM

2

sebanyak 21.018, sedangkan kasus lama sebanyak 57.087. Di tahun yang sama,

terdapat 811 kematian akibat DM (Dinkes Kota Makasar, 2015; Riskesdas, 2018).

Diabetes yang berkepanjangan tanpa kontrol gula darah yang rutin pada

akhirnya berkembang menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi kronik

diabetes secara garis besar dibagi berdasarkan komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular diabetes dapat berupa penyakit

kardiovaskular, peripheral arterial disease (PAD), dan stroke. Sedangkan

komplikasi mikrovaskular berupa neuropati, retinopati, dan nefropati (PERKENI,

2019).

Salah satu komplikasi diabetes terbanyak adalah penyakit kardiovaskular.

Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian pasien dengan DM Tipe 2

Manifestasi klinis dari komplikasi kardiovaskular salah satunya yaitu Sindrom

koroner akut (SKA). SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil (UAP), infark

miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan infark miokard akut non-

elevasi segmen ST (NSTEMI) timbul akibat hiperglikemia yang mempercepat

aterogenesis yang melibatkan berbagai mekanisme (Baynest, 2015; PERKI,

2018).

Beberapa tindakan preventif dapat dilakukan untuk mencegah DM Tipe 2.

Hingga saat ini belum ditemukan teknologi yang dapat digunakan untuk

menuntaskan penyakit tersebut. Hal ini mengharuskan pasien mengontrol glukosa

darah secara teratur untuk mencegah komplikasi dan menghindari kematian

prematur. Pemeriksaan Hemoglobin-glikosilat (HbA1c) merupakan metode

pilihan untuk kontrol glukosa darah yang telah ditetapkan oleh Global Report on

Diabetes yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2016. Tes laboratorium ini

3

menunjukkan kadar glukosa darah dalam 3-4 bulan sebelumnya sehingga tidak

hanya untuk melihat kadar glukosa darah namun dapat pula memantau seberapa

baik pasien mengontrol diabetes beberapa bulan sebelumnya. Adapun pengobatan

diabetes saat ini belum dapat mencegah semua komplikasi, namun dapat

memperlambat perkembangannya (WHO, 2013).

Pemeriksaan HbA1c baru dapat dilakukan ketika pasien rutin memeriksakan

dirinya. Salah satu masalah terbesar adalah dua dari tiga orang dengan diabetes

tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu pengidap diabetes dan baru

memeriksakan dirinya setelah gejala dari komplikasi mulai muncul (WHO, 2016).

Melihat dari seberapa seriusnya masalah ini, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Kadar HbA1c Pasien DM Tipe 2

Komplikasi Sindrom Koroner Akut di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode

Januari – Juni 2019”.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran kadar HbA1c pada pasien DM Tipe 2 komplikasi

SKA di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kadar HbA1c

pada pasien DM Tipe 2 komplikasi SKA di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi

SKA.

4

2. Untuk menganalisis hubungan antara kadar HbA1c dengan jenis klasifikasi

SKA pada pasien DM tipe 2.

3. Untuk menganalisis hubungan antara kadar HbA1c dengan lama perawatan

pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi SKA.

4. Untuk menganalisis hubungan antara kadar HbA1c dengan luaran pada

pasien DM tipe 2 komplikasi SKA.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran mengenai kadar HbA1c pada pasien DM Tipe 2

dengan komplikasi SKA.

2. Mengetahui hubungan antara kadar HbA1c dengan SKA pada pasien DM

Tipe 2.

3. Sebagai acuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pasien

DM Tipe 2 dengan dan tanpa komplikasi.

4. Sebagai acuan untuk mencegah terjadinya komplikasi SKA pada pasien DM

Tipe 2.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DM Tipe 2

2.1.1. Definisi DM Tipe 2

DM merupakan penyakit metabolik yang disebabkan oleh resistensi insulin,

gangguan sekresi insulin, atau gabungan antar keduanya yang ditandai dengan

keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia kronik akibat diabetes dihubungkan dengan

kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan terhadap beberapa organ,

khususnya mata, ginjal, sistem saraf, jantung, dan pembuluh darah. Faktor genetik

dan lingkungan sangat berperan penting dalam munculnya penyakit ini. Adapun

faktor risiko dapat meningkat pada orang-orang dengan usia tua, berat badan

berlebih dan obesitas, wanita dengan riwayat melahirkan lebih dari 4 kg, riwayat

keluarga diabetes, pola makan yang tidak sehat, kurangnya aktifitas fisik, serta

merokok (ADA, 2010; PERKENI, 2019; WHO, 2016).

2.1.2. Klasifikasi Diabetes

Diabetes diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, yaitu DM tipe 1, DM tipe

2, DM gestasional, dan DM tipe lain. DM Tipe 1 disebabkan oleh destruksi sel beta

pankreas akibat proses autoimun maupun idiopatik yang berkahir pada penurunan

insulin yang absolut. Puncak insidens DM tipe 1 yaitu pada anak usia 5-6 tahun dan

11 tahun. Faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam timbulnya

penyakit ini. Faktor genetik dikaitkan dengan HLA tertentu, namun tetap

diperlukan faktor pemicu dari lingkungan untuk dapat menimbulkan gejala DM tipe

1. Akibat dari penurunan insulin yang absolut, penderita DM tipe 1 harus

6

mengkonsumsi insulin seumur hidup untuk menyeimbangi keadaan hiperglikemia

(IDAI, 2015).

DM tipe 2 adalah tipe diabetes dengan kejadian terbanyak di dunia. DM tipe 2

atau disebut juga diabetes onset dewasa merupakan penyakit metabolik yang

didasari oleh resistensi insulin yang menyebabkan gangguan fungsi insulin dan

berakhir pada sekresi insulin yang tidak adekuat. Diabetes tipe ini seringkali luput

dari pengetahuan penderitanya akibat hiperglikemia yang berkembang secara

perlahan dan tidak menunjukkan gejala yang signifikan di awal perkembangannya

(ADA, 2010; PERKENI, 2019).

DM gestasional merupakan gangguan toleransi karbohidrat yang menyebabkan

keadaan hiperglikemia yang pertamakali diketahui pada saat hamil. Neonatus

dengan riwayat ibu DM gestasional memiliki risiko yang lebih besar terhadap

cedera dalam proses kelahiran, kelahiran dengan sectio caesarea, dan

membutuhkan perawatan newborn intensive care unit (NICU) (Moore, 2018;

Wilmot et al., 2014).

DM tipe lain adalah diabetes dengan penyebab selain dari ketiga klasifikasi

lainnya. DM tipe lain dapat disebabkan oleh penyakit penyerta maupun konsumsi

obat-obatan tertentu. Beberapa penyakit mendasari DM tipe lain utamanya

kerusakan sel beta pankreas akibat pankreatitis, sistik fibrosis, dan keganasan pada

pankreas; Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi insulin seperti

feokromositoma; Sindrom hormonal yang menyebabkan resistensi insulin perifer

seperti akromegali dan sindroma Cushing; serta pengguanan obat seperti fentoin,

glukokortikoid, dan estrogen (Khardori, 2019).

7

2.1.3. Patofisiologi DM Tipe 2

Patofisiologi utama yang mengawali DM tipe 2 adalah resistensi insulin dan

disfungsi sel beta pankreas. Pada orang-orang dengan berat badan berlebih dan

obesitas, terjadi gangguan fungsi insulin pada otot dan hati sehingga memaksa sel

beta pankreas untuk mengeluarkan lebih banyak insulin ke dalam darah sebagai

kompensasi. Kompensasi ini menyebabkan kadar glukosa darah dapat normal untuk

sementara waktu. Ketika sel beta pankreas tidak dapat mengimbangi kenaikan

glukosa darah dengan menghasilkan insulin yang cukup, maka glukosa darah akan

tetap meningkat. Akibatnya terjadilah hiperglikemia kronik. Keadaan ini akan

memperburuk resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Ketika diagnosis

DM tipe 2 ditegakkan, fungsi normal sel beta pankreas tersisa 50% (Decroli, 2019).

Secara normal, kadar glukosa dalam darah yang meningkat akan merangsang

pengeluaran hormon insulin oleh sel beta pankreas. Insulin kemudian berikatan

dengan Insulin Receptor Substrat-1 (ISR-1) yang merangsang proses penghantaran

sinyal untuk produksi GLUT-4. GLUT-4 berperan sebagai transporter glukosa ke

dalam jaringan. Ketika terjadi resistensi insulin, proses tersebut akan terganggu

sehingga glukosa tetap berada di luar sel menyebabkan kurangnya asupan glukosa

pada jaringan dan berpotensi mengalami gangguan fungsi. Akibat dari resistensi

insulin, beberapa organ dalam tubuh juga akan memberikan dampaknya masing-

masing yang berakhir pada makin buruknya hiperglikemia. Istilah ominous octet

merujuk pada delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia.

Organ-organ tersebut adalah otot, hepar, sel beta pankreas, jaringan adiposa, usus,

sel alfa pankreas, ginjal, dan otak (DeFronzo, 2009).

8

Gambar 2.1 Ominous octet dalam patogenesis hiperglikemia (DeFronzo,

2009)

Resistensi insulin dapat menyebabkan berubahnya beberapa keadaan di dalam

organ-organ yang dapat memperburuk hiperglikemia. Hepar akan merangsang

proses glukoneogenesis yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah; Pada otot

akan terjadi gangguan ambilan dan utilisasi glukosa; Pada jaringan adiposa akan

terjadi peningkatan lipolisis yang akan berakhir pada glukoneogenesis; Pada usus

terjadi resistensi GIP dan defisiensi GLP-1 yang berperan dalam menghasilkan efek

inkretin. Akibatnya efek inkretin yang dapat menurunkan laju penyerapan nutrisi,

menekan produksi glukagon, dan meningkatkan insulin akan terganggu; Pada ginjal

terjadi peningkatan ekspresi SGLT-2 yang menyebabkan reabsorbsi glukosa dari

tubulus kontortus proksimal ke dalam sirkulasi meningkat; Pada sel alfa pankreas

akan terjadi peningkatan sekresi glukagon yang berakhir pada glikogenolisis dan

glukoneogenesis; dan di Otak terjadi gangguan neurotransmitter sehingga

seseorang tidak merasa kenyang setelah intake makanan yang mencukupi. Proses

9

yang terjadi akibat resistensi insulin di organ-organ tersebut akan meningkatkan

kadar glukosa dalam darah yang berakhir pada semakin buruknya hiperglikemia.

Akibatnya sel beta pankreas yang awalnya dapat mengimbangi hiperglikemia

dengan meningkatkan sekresi insulin akan mengalami kelelahan sehingga

menyebabkan disfungsi sel beta pankreas (Decroli, 2019; PERKENI, 2019).

2.1.4. Diagnosis DM Tipe 2

Keluhan yang ditemukan pada penderita DM tipe 2 terbagi kedalam keluhan

klasik dan keluhan lain. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia

dan penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas. Adapun keluhan lain seperti

lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus

vulva pada wanita. Gejala klinis DM tidak cukup untuk menegakkan diagnosis,

sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium glukosa darah. Dari berbagai

macam jenis pemeriksaan glukosa darah, pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan enzimatik dengan sampel plasma darah vena (PERKENI, 2019).

Kriteria diagnosis DM berdasarkan Persatuan Endokrinologi Indonesia

(PERKENI) pada tahun 2019:

1. Pemeriksaan glukosa darah puasa ≥125 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada

asupan kalori minimal 8 jam; atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa

Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram; atau

3. pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik; atau

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode terstandarisasi oleh

National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

10

2.1.5. Penatalaksanaan DM Tipe 2

Tujuan penatalaksanaan DM jangka pendek untuk menghilangkan keluhan DM,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Tujuan jangka

panjang berupa tindakan pencegahan komplikasi mikrovaskular dan

makrovaskular. Adapun tujuan akhir guna menurunkan morbiditas dan mortalitas

DM (PERKENI, 2019).

Dalam penatalaksanaan umum DM perlu dilakukan evaluasi medis lengkap

seperti menggali riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan fisik, evaluasi

laboratorium dengan melakukan tes glukosa darah dan HbA1c, serta melakukan

pemeriksaan tertentu seperti pemeriksaan profil lipid, tes fungsi hati, dan tes fungsi

ginjal untuk mendeteksi adanya kecenderungan komplikasi. Penatalaksanaan

khusus DM terdiri dari segi non-farmakologi dan farmakologi (PERKENI, 2019).

2.1.5.1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi

Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya merupakan hal

yang sangat penting terkhusus pada pasiaen yang baru terdiagnosis DM. Pasien

baiknya dibekali pengetahuan mengenai DM seperti informasi perjalanan penyakit

DM, pentingnya kontrol DM untuk mencegah terjadinya komplikasi, bahaya yang

ditimbulkan dari ketidakpatuhan minum obat dan kontrol DM yang tidak teratur,

interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat diabetes oral yang

diberikan, serta pemahaman mengenai gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

Edukasi mengenai perawatan kaki juga perlu diberikan pada setiap pasien DM

dengan ulkus maupun neuropati (PERKENI, 2019).

Pengaturan gizi dengan pola makan yang sehat juga perlu diperhatikan. Pasien

DM perlu mengetahui pentingnya mengatur jadwal makan, jenis dan jumlah

11

kandungan kalori, terkhusus pada pasien yang menggunakan obat dengan efek

samping meningkatkan produksi insulin atau terapi insulin untuk mencegah

terjadinya komplikasi akut hipoglikemi. Adapun komposisi makanan yang

dianjurkan yaitu karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, serta protein sebesar 10-20%

dari total asupan energi. Anjuran asupan natrium <2300 mg/hari, diluar pasien

dengan hipertensi yang memerlukan pengurangan natrium secara individual. Pasien

DM juga dianjurkan mengonsumsi serat 20-35 gram/hari yang dapat diperoleh dari

kacang-kacangan, buah dan sayuran. Penggunaan pemanis alternatif yang tidak

melebihi batas aman juga perlu untuk pasien DM (PERKENI, 2019).

Rutin melakukan aktifitas jasmani sangat dianjurkan pada pasien DM tipe 2 yang

tidak disertai adanya nefropati. Aktifitas jasmani bertujuan untuk menjaga

kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin.

Disarankan untuk melakukan olahraga sebanyak 3-5 kali dalam durasi 30-45 menit,

dengan total 150 menit dalam satu minggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari

berturut-turut. Aktifitas jasmani yang dimaksud berupa olahraga aerobik dengan

intensitas sedang seperti jalan cepat, bersepeda, jogging, dan berenang. Sedangkan

latihan beban dianjurkan 2-3 kali perminggu. Aktifitas jasmani tidak termasuk

aktifitas sehari-hari. Aktifitas jasmani harus disesuaikan berdasarkan umur, status

kesegaran jasmani, dan sebaiknya dihindari pada penderita dengan osteoarthritis,

hipertensi tidak terkontrol, retinopati, dan nefropati (PERKENI, 2019).

2.1.5.2. Penatalaksanaan Farmakologi

Pemberian terapi farmakologi diberikan bersamaan dengan pengaturan pola

makan dan aktivitas jasmani. Adapun terapi farmakologi yang dapat diberikan

yaitu:

12

a. Pemacu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Sulfonilurea mempunyai efek utama merangsang pengeluaran insulin oleh sel

beta pankreas. Efek ssamping utama dari obat ini adalah hipoglikemia dan

peningkatan berat badan. Obat ini tidak dianjurkan untuk orang-orang dengan risiko

tinggi hipoglikemia seperti wanita yang sedang mengandung, gangguan fungsi hati,

dan ginjal. Dengan sulfonilurea, kemungkinan penurunan HbA1c sebanyak 1,0-

2,0% (PERKENI, 2019).

2. Meglitinide

Meglitinide merupakan obat lain yang dapat merangsang sekresi insulin, selain

Sulfonilurea. Pemberian obat ini dilakukan setiap kali makan, sehingga dapat

menurunkan glukosa post prandial secara cepat. Efek samping yang mungkin

timbul adalah hipoglikemia. Peningkatan berat badan juga dapat timbul setelah

pemberian obat ini. Terdapat dua jenis Meglitinide yaitu Rapaglinid dan Nateglinid.

Pemberian obat ini tidak direkomendasikan untuk wanita hamil, ibu menyusui, dan

anak-anak. Kemungkinan penurunan HbA1c dengan obat ini adalah 0,5-1,5%

(PERKENI, 2019).

b. Peningkat Sensitivitas Insulin

1. Metformin

Metformin merupakan turunan generasi kedua dari Biguanid. Saat ini metformin

merupakan lini pertama untuk terapi awal diabetes. Efek utamanya adalah

mengurangi produksi glukosa hati dari glukoneogenesis dan memperbaiki ambilan

glukosa di jaringan perifer. Metformin kontraindikasi dengan pasien yang memiliki

gangguan ginjal, gangguan hati, dan penyakit paru kronik. Efek samping dari

13

konsumsi obat ini adalah gejala dispepsia. Metformin tidak merangsang sekresi

insulin sehingga efek hipoglikemi berkurang. Penurunan HbA1c yang dapat

dihasilkan adalah 1,0-2,0% (PERKENI, 2019).

2. Tiazolidindion (TZD)

TZD mampu menurunkan resisrensi insulin dengan meningkatkan jumlah

protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan

lemak dan otot. Obat ini dapat meningkatkan resistensi cairan tubuh sehingga tidak

direkomendasikan pada pasien gagal jantung. Obat dalam golongan ini adalah

Pioglitazone. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa edema. Penurunan

HbA1c dengan obat ini adalah 0,5-1,4% (PERKENI, 2019).

c. Alfa Glukosidase Inhibitor

Obat ini berfungsi dengan cara menghambat absorbs glukosa di usus halus,

sehingga dapat digunakan untuk menurunkan glukosa darah post prandial.

Golongan ini biasanya diberikan pada penderita DM yang tidak dapat mengatur

pola makan. Obat dalam golongan ini adalah Akarbos. Efek samping yang dapat

ditimbulkan yaitu flatulen dan pelunakan pada feses. Penurunan HbA1c dengan

obat ini adalah 0,5-0,8% (PERKENI, 2019).

d. DPP-IV Inhibitor (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat ini berfungsi menghambat enzim DPP-IV sehingga GLP-1 tidak

dihancurkan. GLP-1(Glucose Like Peptide-1) berfungsi untuk merangsang sekresi

insulin, menekan produksi glucagon oleh sel alfa pankreas, menghambat

pengosongan lambung, dan meningkatkan rasa kenyang. Obat dalam golongan ini

adalah Sitagliptin dan Linagliptin. Efek samping penggunaan obat ini adalah

14

gangguan pencernaan seperti muntah. Penurunan HbA1c dengan obat ini adalah

0,5-0,8% (PERKENI, 2019).

e. SGLT-2 Inhibitor (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat ini dapat menghambat kerja enzim transporter glukosa SGLT-2 yang

berfungsi dalam reabsorbsi glukosa di tubulus kontortus proksimal, sehingga

glukosa tidak dipindahkan kembali ke dalam pembuluh darah melainkan ikut keluar

menjadi produk ginjal. Efek samping yang ditumbulkan berupa dehidrasi.

Penurunan HbA1c dengan obat ini adalah 0,8-1,0% (PERKENI, 2019).

f. Insulin

Insulin diberikan kepada kondisi tertentu dimana penggunaan obat antidianbetes

oral dengan dosis optimal masih belum dapat menurunkan kadar glukosa darah

dibawah target yang telah ditentukan atau terdapat kontraindikasi dalam

pemberiannya. Beberapa keadaan lain yang juga memerlukan injeksi insulin yaitu

pasien dengan kadar HbA1c > 9%, hiperglikemia berat disertai dengan ketosis,

kondisi perioperative, kehamilan dengan DM/Diabetes gestasional yang tidak

terkendali setelah perubahan pola makan, gangguan fungsi ginjal dan hati yang

berat, serta infeksi sistemik. Insulin diberikan dalam bentuk injeksi. Efek samping

utama penggunaan insulin adalah hipoglikemia, sedangkan efek samping lain

adalah alergi terhadap insulin (PERKENI, 2019).

Dasar pemberian terapi insulin diupayakan mampu menyerupai sekresi insulin

fisiologis yaitu sekresi basal dan sekresi prandial. Defisiensi insulin dapat berupa

defisiensi insulin basal yang menyebabkan hiperglikemia pada keadaan puasa,

sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah

makan. Target utama injeksi insulin adalah menurunkan glukosa darah puasa yang

15

dapat dicapai dengan insulin kerja sedang atau panjang. Apabila setelah

memberikan insulin basal namun kadar HbA1c belum terkendali maka pemberian

insulin prandial dapat diberikan. Pemberian insulin prandial digunakan untuk

menurunkan kadar glukosa darah secara cepat yang diinjeksi 5-10 menit sebelum

makan atau insulin kerja pendek 30 menit sebelum makan. Pemberian insulin dapat

berupa terapi tunggal maupun kombinasi dengan obat oral yang tentunya dengan

pertimbangan matang sesuai kondisi masing-masing pasien (PERKENI, 2019).

Penyuntikan insulin dilakukan di subkutan dengan arah jarum tegak lurus

dengan permukaan kulit. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada lengan atas,

perut, dan paha bagian luar. Dianjurkan untuk melakukan rotasi lokasi penyuntikan

guna mencegah terjadinya lecet pada permukaan kulit dan atrofi otot. Berikut

adalah algoritma pemberian terapi DM tipe 2 (PERKENI, 2019).

Manajemen DM bersifat individual. Tatalaksana diberikan sesuai kondisi pasien

baik itu dalam segi kebutuhan obat, kemampuan, dan keinginan pasien. Tindakan

yang dilakukan harus mempertmbangkan usia dan harapan hidupnya, adanya

komplikasi kardiovaskular, serta ketersediaan obat dan kemampuan daya beli

pasien (PERKENI, 2019).

Gambar 2.2 Algoritma Tatalaksana DM tipe 2 (PERKENI, 2019)

16

2.1.6. Komplikasi DM

2.1.6.1. Komplikasi Akut DM

1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis Diabetik adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan

hiperglikemia, asidosis, dan ketosis. KAD disebabkan oleh penurunan insulin yang

menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal, dan gangguan

ambilan glukosa di jaringan akibat hiperglikemia dan hiperosmolalitas. Terdapat

80% KAD disebabkan oleh infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut,

penggunaan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin, dan 20% tidak

diketahui penyebabnya (Soewondo, 2009).

Kriteria diagnosis untuk KAD meliputi hiperglikemia >200 mg/dL, pH arteri

<7,3, dan/atau bikarbonat <15 mmol/L disertai glukosuria, ketonuria, dan

ketonemia. Tatalaksana KAD menyangkut pengawasan ketat terhadap denyut nadi,

tekanan darah, laju nafas, status neurologis, input dan output cairan, pemberian

insulin, seta pemerikasaan kadar glukosa darah, analisa gas darah, keton darah,

serta elektrolit darah. Prognosis komplikasi ini baik jika penanganan dilakukan

secara efektif (Soewondo, 2009).

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan penurunan kadar glukosa darah < 70 mg/dL.

Penurunan konsentrasi glukosa ini baik dengan atau tanpa adanya gejala sistem

otonom yaitu whipple’s triad yang terdiri dari gejala-gejala hipoglikemia, kadar

glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan pengobatan.

Hipoglikemia biasanya timbul akibat penggunaan sulfonilurea dan insulin. Orang

17

yang terbukti hipoglikemia dengan kadar glukosa darah di bawah rata-rata belum

tentu menunjukkan gejala hipoglikemia.

Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang dewasa dibagi ke dalam tanda

otonom dan tanda neuroglikopenik. Tanda otonom seperti rasa lapar, berkeringat,

gelisah, paresthesia, palpitasi, tremulousness. Sedangkan gejala otonom dapat

berupa pucat, takikardia, dan widened pulse-pressure. Untuk tanda neuroglikopenik

yaitu lemah, lesu, dizziness, pusing, confusion, perubahan sikap, gangguan

kognitif, pandangan kabur, dan diplopia. Untuk gejala neuroglikopenik yaitu

cortical-blindness, hipotermia, kejang, dan koma.

2.1.6.2. Komplikasi Kronik DM

Hiperglikemia yang tidak terkontrol akan menimbulkan komplikasi kronik yang

dapat menurunkan kualitas hidup penderita diabetes. Perkembangan komplikasi

sudah dimulai di masa awal seseorang merasakan gejala diabetes. Komplikasi

makrovaskular pada DM tipe 2 dapat berupa penyakit jantung dan pembuluh darah,

penyakit arteri perifer, dan stroke. Komplikasi makrovaskular timbul akibat

penumpukan plak ateroma yang menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah.

Mikroangiopati tidak begitu spesifik pada diabetes, namun dapat timbul lebih cepat,

lebih sering, dan umumnya lebih serius dibandingkan pasien tanpa diabetes. Studi

epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular

pada penderita diabetes meningkat sebanyak 4-5 kali lipat dibandingkan orang

normal. Hiperinsulinemia telah terbukti menjadi faktor aterogenik dan diduga

berperan dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

Komplikasi mikrovaskular ditimbulkan akibat penyumbatan pada pembuluh

darah kecil. Komplikasi mikrovaskular pada penderita diabetes berupa retinopati

18

diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati. Kecurigaan seseorang menderita

diabetes biasanya diawali dari gejala gangguan penglihatan seperti penurunan

ketajaman penglihatan. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa mayoritas

penderita diabetes tidak mengetahui dirinya terkena diabetes sampai gejala

komplikasi kronik mulai muncul salah satunya gangguan penglihatan yang

merupakan gejala retinopati diabetik. Nefropati diabetik paling banyak disebabkan

oleh DM tipe 2. Kerusakan ginjal pada DM dapat mengurangi fungsi glomerulus

ginjal sebagai mediator filtrasi sehingga molekul-molekul yang seharusnya di

reabsorbsi kembali ke sirkulasi ikut keluar bersamaan dengan produk ginjal lainnya

melalui urinasi (Permana, 2009).

2.1.7. Pengelolaan DM

Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, namun kita dapat

mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan melakukan

kontrol metabolik yang baik. DM dikatakan terkendali apabila kadar glukosa darah,

HbA1c, dan lipid berada pada angka yang diharapkan, serta status gizi maupun

tekanan darah sesuai dengan target yang telah ditentukan. Pengendalian DM dapat

dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat, patuh dalam pengobatan yang

dianjurkan, serta rutin melakukan kontrol DM. Pentingnya melakukan follow up

pada pasien diabetes guna mencegah komplikasi. Studi membuktikan bahwa

kontrol metabolik dapat menunda atau mencegah perkembangan komplikasi

diabetes (Patel, et al., 2008; PERKENI, 2019).

19

Tabel 2.1 Sasaran Pengendalian DM

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2.

PERKENI, 2019.

2.2. Komplikasi SKA

2.2.1. Definisi SKA

Resistensi insulin yang semakin memberat menyebabkan hiperglikemia kronis.

Keadaan hiperglikemia yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai

kemungkinan komplikasi termasuk komplikasi kardiovaskular. SKA merupakan

masalah kardiovaskular utama penyebab angka perawatan dan angka kematian

yang tinggi. Perkembangan komplikasi DM tipe 2 menjadi SKA diawali dari

kerusakan endotel akibat resistensi insulin. Keruskan endotel memudahkan

lipoprotein khususnya LDL melekat sehingga terbentuk lesi aterosklerosis. Sangat

penting untuk melakukan skrining pada pasien diabetes dengan faktor risiko

Parameter Sasaran

IMT (kg/m2) 18,5 - <23

Tekanan darah (mmHg) <140/<90

Glukosa darah preprandial kapiler

(mg/dl)

80-130

Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler

(mg/dl)

<180

HbA1c (%) <7

LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko tinggi KV)

HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50

Trigliserida (mg/dl) <150

20

kardiovaskular. Faktor risiko berupa hipertensi, dislipidemia, merokok, riwayat

keluarga dengan penyakit jantung koroner, dan penyakit ginjal kronis (ADA, 2018;

Decroli, 2019; PERKI, 2018).

2.2.2. Patofisiologi SKA

Komplikasi kardiovaskular adalah salah satu komplikasi kronik pada DM Tipe

2. Komplikasi kronik DM didasari oleh mekanisme glikasi protein berlebihan dan

stres oksidatif. Glikasi protein merupakan proses non-enzimatik yang terdiri dari

ikatan antara glukosa dengan protein. Glikasi protein yang lebih lanjut akan

mengubah molekul protein membentuk Advanced Glycation End Products (AGEs).

AGEs merupakan produk irreversibel yang dapat mempengaruhi struktur serta

fungsi luar dan dalam sel. AGEs dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskular dan

makrovaskular dengan membentuk cross-link terhadap molekul matriks

ekstraselular sehingga mengubah struktur sel menjadi lebih kaku. Sedangkan ikatan

AGEs dengan reseptornya yaitu Receptor Advanced Glycation End Products

(RAGE) akan mengubah fungsi sel dengan meningkatkan permeabilitas endotel

terhadap makromolekul serta menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS). ROS

dengan sifatnya yang sangat reaktif dapat menyebabkan stres oksidatif yang dapat

memperburuk disfungsi endotel. AGEs juga akan menurunkan produksi Nitrit

Oksida (NO) sehingga berkontribusi dalam aterosklerosis (Decroli, 2019; Goldin,

et al., 2006).

Glikosilasi protein berlebihan, stres oksidatif, dan faktor risiko menyebabkan

kerusakan endotel baik secara struktural maupun fungsional. Lesi pada endotel

meningkatkan produksi molekul adhesi dan permeabilitas endotel sehingga

lipoprotein yang beredar dalam sirkulasi pembuluh darah terutama LDL mudah

21

melakukan perlekatan. LDL yang melekat pada endotel akan mengalami oksidasi

yang dapat membangkitkan proses inflamasi. Proses inflamasi dimulai dengan sel

endotel yang mengeluarkan ICAM-I (intercellular adhesion molecule-I) dan

VCAM-I (Vascular cell adhesion molecule-I) untuk menarik leukosit khususnya

monosit dan limfosit T. Monosit pada sel endotel akan bermigrasi ke dalam tunika

intima dan melakukan transformasi menjadi makrofag yang akan melakukan

fagosit LDL dan membentuk foam cells. Jaringan fibrosa membentuk fibrous cap

yang membungkus lipid dan foam cells. Depostit kalsium terjadi seehingga plak

yang terbentuk akan mengeras. Akumulasi LDL yang semakin menumpuk sehingga

terjadi aterosklerosis yang menyumbat pembuluh darah serta mengganggu

oksigenasi sel miokardium (Insull, 2009; Lintong, 2009).

Gambar 2.3 Mekanisme Pembentukan Plak Aterosklerosis (Lilly, S.L., 2016)

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari ateroma yang

mengalami ruptur dan membentuk trombus. Ketika plak aterosklerosis ruptur maka

terjadi pelepasan substansi inflamasi yang memodifikasi komposisi fibrous cap.

Limfosit T melepaskan IFN-𝛾 yang mengambat sintesis sel otot polos sehingga

melemahkan integrasi fibrous cap. Pelepasan enzim metalloproteinase menurunkan

produksi matriks ekstrasel sehingga menghasilkan plak yang tidak stabil. Plak

aterosklerosis bersifat trombogenik, sehingga rupturnya plak dapat mengaktifkan

22

jalur koagulasi dengan dihasilkannya faktor koagulasi Va, ADP dan fibrinogen,

serta vasokonstriktor (thromboxane dan serotonin). Akhirnya white thrombus atau

trombus yang kaya akan trombosit terbentuk dan menyumbat aliran darah koroner

secara parsial maupun total. Disamping mekanisme agregasi trombosit, disfungsi

endotel yang menghambat pengeluaran vasodilator NO dan prostasiklin dapat

memperburuk oklusi sehingga mengakibatkan iskemia miokardium. Apabila tidak

segera dilakukan intervensi, dalam 60 menit miokardium akan mengamalami infark

mengakibatkan manifestasi klinis UAP, STEMI, dan NSTEMI. Oklusi trombus

secara parsial biasanya menimbulkan manifestasi klinis UAP dan NSTEMI,

sedangkan pada STEMI sering ditemukan sumbatan trombus yang memenuhi

seluruh lumen pembuluh darah koroner dan menimbulkan nekrosis yang lebih luas

(Insull, 2009; Lilly, 2016; PERKI, 2018).

2.2.3. Klasifikasi SKA

Berdasarkan pedoman tata laksana SKA yang dikeluarkan oleh PERKI

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) pada tahun 2018, SKA

diklasifikasikan menjadi:

1. Infark Miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment Elevation

Myocardial Infarction)

2. Infark Miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: Non ST segment

Elevation Myocardial Infarction)

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)

2.2.4. Diagnosis SKA

Faktor risiko kardiovaskular pada pasien diabetes harus dinilai secara sistematis

setiap tahunnya guna mencegah terjadinya komplikasi. Diagnosis untuk komplikasi

23

SKA dilakukan berdasarkan kriteria diagnosis yang dikeluarkan oleh PERKI

(ADA, 2018; PERKI, 2018).

Gambar 2.4 Alur diagnosis SKA (PERKI, 2018)

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai

elevasi segmen ST pada pemeriksaan elektrokardiogram. Keadaan ini memerlukan

revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokardium

secepatnya. Tindakan revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan

biomarka jantung (PERKI, 2018).

Diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris

akut tanpa elevasi segmen ST. Hasil EKG dapat berupa depresi segmen ST, inversi

gelombang T, gelombang T mendatar, gelombang T pseudo-normalisasi, atau tanpa

perubahan. Pembeda antara NSTEMI dan UAP berdasarkan hasil pemeriksaan

biomarka jantung. Apabila hasil pemerikasaan biomarka jantung terjadi

peningkatan bermakna maka penegakan diagnosis jatuh pada NSTEMI, jika

biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna maka diagnosis UAP harus

Elevasi segmen ST

STEMI

Depresi segmen ST dan atau

inversi gelombang T

Biomarka jantung (-)

Biomarka jantung (+)

UAP NSTEMI

Angina Pektoris Akut

24

ditegakkan. Biomarka jantung yang biasanya digunakan adalah high sensitivity

troponin, troponin, atau CK-MB (PERKI, 2018).

2.3. Hemoglobin-glikosilat (HbA1c)

Hemoglobin-glikosilat (HbA1c) pertama kali ditemukan pada akhir tahun

1960an dan digunakan sebagai penanda kontrol glukosa darah pada pasien diabetes

sejak 1977. HbA1c terbentuk dari ikatan hemoglobin dengan glukosa. Ikatan ini

terbentuk dari reaksi non-enzimatik yang menyebabkan terikatnya glukosa dengan

valin N-terminal rantai beta molekul hemoglobin atau disebut dengan glikosilasi

protein. Glikosilasi protein merupakan proses spontan dan irreversibel. Dalam

keadaan normal, 4 – 6% hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Banyaknya

hemoglobin yang terglikosilasi berbanding lurus dengan banyaknya glukosa di

dalam darah sehingga pada keadaan hiperglikemia cenderung terjadi peningkatan

glikosilasi yang dapat diukur dengan kadar HbA1c (Bunn, et al., 1978; Higgins et

al., 1982; Indranilla, 2017; Suryathi, 2015).

HbA1c tidak mempengaruhi kemampuan hemoglobin dalam mengikat oksigen.

Kadar HbA1c akan lebih tinggi pada eritrosit tua akibat lebih lama beredar dalam

sirkulasi pembuluh darah dibandingkan dengan eritrosit muda. Beberapa kondisi

dapat menyebabkan penurunan palsu kadar HbA1c yaitu pada pasien hemolisis

episodik atau kronis, anemia, dan gagal ginjal kronis. Orang-orang dengan riwayat

kehilangan darah dalam jangka waktu dekat, hemoglobinopati seperti sickle-cell

disease, dan orang-orang dengan riwayat donor darah dalam jangka waktu dekat,

juga tidak direkomendasikan melakukan test HbA1c (Dirani, et al., 2011; Herman,

2009; Swenarchuk et al., 2009)

25

Kadar HbA1c dapat menjadi penanda spesifik untuk komplikasi diabetes seperti

penyakit kardiovaskular, nefropati, dan retinopati akibat kemampuannya dalam

memantau glukosa darah dalam 3-4 bulan terakhir. Keuntungan dari pemeriksaan

HbA1c adalah pasien tidak perlu dipuasakan. HbA1c juga lebih stabil dalam darah

dibandingkan glukosa darah sehingga tidak berpengaruh saat perpindahan sampel

ke laboratorium (WHO, 2011).

Pemeriksaan HbA1c dapat menjadi alat diagnosis dan sebagai baku emas untuk

menilai kontrol diabetes. Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila kadar HbA1c

≥6,5% sedangkan sasaran target kontrol diabetes adalah HbA1c <7%. Untuk

melihat hasil terapi dan perubahan rencana terapi, pemeriksaan dapat dilakukan 3

bulan sekali, atau setiap bulan dianjurkan pada penderita dengan HbA1c >10%.

Sedangkan pada pasien dengan kontrol gula darah yang stabil disarankan untuk

memeriksakan HbA1c minimal 6 bulan sekali. Diabetes biasanya dihubungkan

dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (PERKENI, 2019).

Pada beberapa studi ditemukan hubungan positif antara peningkatan HbA1c

dengan kejadian Sindroma Koroner Akut, Infark Miokardial Akut, dan gagal

jantung baik pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Penurunan HbA1c sebanyak

1% pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan sebanyak 19% kemungkinan

menderita katarak, 16% kemungkinan menderita gagal jantung, 43% kemunginan

menderita amputasi atau kematian akibat penyakit vaskular perifer. Kontrol glukosa

darah yang intens dapat menurunkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular

begitu pula dengan penyakit mikroangiopati pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2

dengan follow up jangka panjang. Kadar HbA1c <6% dapat menurunkan laju

26

perkembangan kejadian kardiovaskular pada pasien DM tipe 2 (Al-Agha et al.,

2015; Nathan et al., 2014; Sadduine, et al., 2002; Shaiso, 2013).

2.3.1. Metode Pemeriksaan HbA1c

Sejak diperkenalkan hingga sekarang, pemeriksaan HbA1c masih menjadi

pemeriksaan indeks kadar glukosa yang dianjurkan untuk menilai kontrol diabetes.

HbA1c telah terbukti bermanfaat sebagai parameter untuk memantau kadar glukosa

selama 2-4 bulan terakhir. Metode pemeriksaan yang direkomendasikan adalah

yang memberikan tingkat keakuratan tinggi agar tidak banyak memberikan bias

pada hasil pemeriksaan. Pemeriksaan HbA1c dapat dilakukan dengan beberapa

metode. Metode-metode ini antara lain:

1. Berdasarkan perbedaan muatan [(ion exchange column chromatography, high

performance liquid chromatography), elektroforesis, isoelectric focusing].

2. Berdasarkan perbedaan struktur [affinity chromatography, immunoassay]

3. Analisis kimia (fotometris dengan enzimatik direk)

Metode pengukuran kadar HbA1c yang digunakan dapat berbeda di setiap

laboratorium klinik. Namun dari metode pemeriksaan yang ada, masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode immunoassay adalah salah satu yang

banyak digunakan karena dapat dikerjakan dengan alat kimia klinik dengan jumlah

sampel yang banyak dan tidak mengambil waktu pemeriksaan yang lama.

Kekurangannya, hasil dari pemeriksaan HbA1c dengan metode ini sangat

bergantung pada keberadaan varian dari hemoglobin (Izumi et al., 2009).

Metode High-performance liquid chromatography atau HPLC memliki

keunggulan karena produktifitas dan tingkat akurasi hasil yang tinggi serta relatif

tidak terpengaruhi oleh varian hemoglobin. Namun pemeriksaan ini terbilang relatif

27

mahal karena penggunaan alat khusus. HPLC juga membutuhkan staf yang terlatih

dan pemeriksaan sampel yang cukup lama (Izumi et al., 2009).

Metode enzimatik merupakan metode baru yang diperkenalkan untuk mengukur

kadar HbA1c. Tes ini berdasarkan pada enzim fructosyl amino acid oxidase atau

FAOD. Pengukuran ini telah dibuat kedalam alat kimia otomatis, sehingga

pemeriksa dapat melakukan prosedur secara cepat dengan jumlah sampel yang

besar. Metode enzimatik memiliki tingkat akurasi tinggi yang sama dengan HPLC

dan kemudahan yang sebanding dengan immunoassay. Keunggulan lain metode ini

adalah pemeriksaan tidak terpengaruh dengan varian hemoglobin sehingga tidak

terpengaruh oleh Hb abnormal akibat penggunaan fructosyl-valine-histidine atau f-

VH. International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine

(IFCC) telah merekomendasikan pengguanaan f-VH sebagai standar acuan

pemeriksaan HbA1c (ADA, 2013; Izumi et al., 2009).

2.3.2. Kelebihan dan keterbatasan pemeriksaan HbA1c

Pemeriksaan HbA1c ditetapkan sebagai parameter terbaik dalam menilai kontrol

diabetes dan memprediksi kadar glukosa darah dalam 3-4 bulan sebelumnya.

Pemeriksaan ini lebih unggul dibandingkan pemeriksaan glukosa darah lainnya

karena lebih objektif tanpa dipengaruhi oleh glukosa darah harian dan tidak perlu

melakukan persiapan puasa seperti pemeriksaan lainnya (WHO, 2016).

HbA1c terkandung di dalam eritrosit dan terurai bersamaan setelah 90-120 hari

sesuai dengan masa hidup eritrosit. Hal ini menjadi dasar mengapa kadar HbA1c

dapat memantau kadar glukosa darah dalam 3-4 bulan. Kadar HbA1c akan kembali

normal jika kadar glukosa sudah terkendali. Berbeda dengan pemeriksaan GDS dan

28

GDP, kadar HbA1c terbilang stabil karena tidak dipengaruhi oleh fluktuasi glukosa

darah harian (Beynest, 2015; Dwipayana et al., 2010; Suryanthi, 2015).

Dari keunggulan-keunggulan yang telah disebutkan di atas, HbA1c masih

memiliki beberapa keterbatasan. Pada pemeriksaan HbA1c, variasi hemoglobin

sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini tidak

dianjurkan bagi pasien yang memiliki dengan keadaan hemoglobinopati. Namun

keterbatasan ini dapat ditanggulangi dengan menerapkan metode enzimatik yang

tidak terpengaruh oleh abnormalitas hemoglobin. Keadan lain juga dapat

mempengaruhi akurasi pemeriksaan HbA1c seperti red blood cell turn over. Pada

pasien anemia hemolitik, degradasi eritrosit terjadi lebih awal dari normalnya

sehingga besar kemungkinan interpretasi palsu HbA1c dapat terjadi. Hal yang sama

terjadi pada orang-orang yang mengalami kehilangan darah dalam jumlah besar

serta riwayat transfusi darah dalam jangka waktu dekat. Perdarahan menyebabkan

peningkatan produksi retikulosit sehingga terjadi kompensasi peningkatan produksi

eritrosit di sumsum tulang. Eritrosit baru memiliki ikatan glukosa yang rendah

dibandingkan dengan eritrosit tua yang telah lama beredar di sirkulasi sehingga

dapat terjadi hasil HbA1c rendah palsu (Dirani et al., 2011; Swenarchuk, et al.,

2009).

Hal sebaliknya terjadi pada pasien pasca splenektomi dan anemia aplastik. Pasca

spelenktomi terjadi perlambatan klirens eritrosit sehingga dapat beredar lebih lama

di pembuluh darah. Sedangkan anemia aplastik menyebabkan produksi retikulosit

terganggu. Retikulopenia menyebabkan peningkatan eritrosit tua di dalam darah

sehingga pemeriksaan HbA1c dapat menunjukkan hasil tinggi palsu (Setiawan,

2011).