Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
PENGARUH PENERAPAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA
TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PEMERINTAH KOTA MEDAN
OLEH :
ESPINOZA
090503026
PROGRAM STUDI STRATA I AKUNTANSI
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Penerapan Anggaran
Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan“ adalah
benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna
menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga,
dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau
dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah. Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan
plagiat dalam skripsi ini,saya besedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Medan, Maret 2014
Yang Membuat Pernyataan,
( Espinoza)
NIM : 090503026
i
ABSTRACT
This research is a case study in Medan City Government with the title "The Effect of Performance -Based Application Performance Against Budget Financial Field Municipal Government " . The purpose of this study was to determine the financial performance of Medan government after the enactment of performance -based budgeting . In this study , researchers used tools of financial ratio analysis to determine the areas of financial performance areas , namely ( 1 ) Ratio of Local Independence ; ( 2 ) The ratio of fiscal decentralization ; ( 3 ) Ratio Capability Funding Level ; ( 4 ) Budgeting Efficiency Ratio , (5 ) Effectiveness Ratio revenues , (6 ) Ratio of Operational expenditure , and ( 7 ) Ratio of Growth. The results of the study showed that after the implementation of performance-based budgeting Medan financial independence ratio is still relatively low and likely to decline . So also with the degree of fiscal decentralization after the performance -based budget is still relatively low with an average of 21.43 % per year. In realizing the budget can be said to be efficient and spending growth showed positive growth offset by revenue growth in the financial performance of the whole government of Medan after the performance -based budget can be quite good because PAD has increased despite followed with the help of the central government . Based on the description above , the researchers suggest Medan City Government should improve its performance with the intensification and extension of levies and taxes to reduce dependence on outside parties and maintain the effectiveness and efficiency in financial management .
Keywords: Performance-based budgeting, financial performance
ii
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi kasus pada Pemerintah Kota Medan dengan judul “Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan”.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah Kota Medan setelah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat analisis rasio keuangan daerah untuk mengetahui kinerja keuangan daerah yaitu (1) Rasio Kemandirian; (2) Rasio Desentralisasi fiskal; (3) Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan; (4) Rasio Efisiensi Belanja; (5) Rasio Efektivitas Pendapatan; (6) Rasio Keserasian; dan (7) Rasio Pertumbuhan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa setelah pelaksanaan anggaran berbasis kinerja rasio kemandirian keuangan Kota Medan masih tergolong rendah dan cenderung menurun. Begitu juga dengan derajat desentralisasi fiscal setelah anggaran berbasis kinerja masih tergolong rendah dengan rata-rata 21,43% per tahunnya. Dalam merealisasikan anggaran belanja dapat dikatakan efisien dan pertumbuhan belanja menunjukkan pertumbuhan yang positif yang diimbangi dengan pertumbuhan pendapatan Secarak seluruhan kinerja keuangan pemerintah Kota Medan setelah anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan cukup baik karena PAD mengalami peningkatan walaupun diikuti dengan bantuan dari pemerintah pusat. Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyarankan sebaiknya Pemerintah Kota Medan meningkatkan kinerjanya dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap retribusi dan pajak daerah untuk mengurangi ketergantungan kepada pihak luar dan mempertahankan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan. Kata Kunci :Anggaran Berbasis Kinerja, Kinerja Keuangan
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Kota Medan”. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk
memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi
Departemen Akuntansi Universitas Sumatera Utara.Manfaat dari penelitian adalah
menambah wawasan dan pengetahuan penulis terutama tentang masalah yang
dibahas dalam penelitian ini.
Pada kesempatan yang baik ini pula, penulis tak lupa menyampaikan rasa
terima kasih kepada kedua orang tuaku tercinta, Ibunda Eldawati atas curahan
seluruh cinta dan kasih sayangnya serta untaian doa yang tiada henti yang sampai
kapanpun penulis tidak akan bisa membalasnya. Ayahanda Drs. Yulis Herman,
M.Pd (Alm)yang tidak sempat melihat ananda meraih gelar sarjana atas semua
nasihat, kasih sayang, serta cucuran keringat dan pengorbanannya yang ikhlas
tanpa pamrih dalam membesarkan penulis. Maafkan jika ananda sering
menyusahkan, merepotkan, dan melukai perasaan ibunda dan ayahanda. Semoga
Allah Subhanahu WaTa’ala selalu menerangi jalanmu dan memberikan
keselamatan dunia akhirat. Amin.Juga kepada Abang penulis Pramudya Utama,
SH yang tiada hentinya memberikan dorongan positif, masukan dan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini.
Penulisan skripsi inijuga tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan
berupa doa, bimbingan, pengarahan, bantuan, kerja sama semua pihak yang telah
iv
turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak.
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec.Ac, Ak. selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS, Ak. selaku Ketua
Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Utara, dan Bapak
Drs. Hotmal Jafar, MM., Ak. selaku Sekretaris Departemen Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si., Ak. selaku Ketua Program Studi S1
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Ibu Dra.
Mutia Ismail, MM., Ak. selaku Sekretaris Program Studi S1 Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Iskandar Muda, SE., M.Si., Ak. selaku Dosen Pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan hingga skripsi ini
dapat diselesaikan dan juga kepada Bapak Drs. Syamsul Bahri TRB, MM.,
Ak. selaku Dosen Pembaca yang telah memberikan saran yang
membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Kepada Kepala BPKD Kota Medan, beserta staf yang telah memberikan
izin dan telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data. Terima
kasih atas waktu yang diluangkan untuk penulis.
v
6. Teman-teman mahasiswa Akuntansi 2009 yang begitu banyak jumlahnya
yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua
yang telah kita lalui bersama.
Penulis sangat menyadari bahwa didalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
harapan pembaca sebagaimana tulisan-tulisan ilmiah yang lainnya, baik dari segi
teknik penulisan maupun dari segi isinya.Untuk itu, dengan segala kerendahan
hati dan pengetahuan yang terbatas penulis siap menerima saran dan kritik yang
membangun.Akhir kata, peneliti berharap skripsi ini bermanfaat.
Medan,
Penulis,
Espinoza
NIM : 090503026
vi
DAFTAR ISI SKRIPSI
ABSTRACT ........................................................................................................ i ABSTRAK .......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 8
1.4Manfaat Penelitian .......................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keuangan Daerah ........................................................................... 10
2.1.1 Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah .................................... 14 2.1.2 UU Pelaksanaan Keuangan Daerah........................................15
2.2 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ............................................ 19
2.2.1. Pengertian Kinerja Keuangan...................................................... 19
2.2.2.Kinerja Keuangan Berdasarkan LAKIP ..................................... 21
2.2.3.Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ............................. 25
vii
2.2.4.Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah ............................ 30
2.3. Anggaran Berbasis Kinerja ............................................................ 38
2.3.1.Pengertian Anggaran .................................................................. 38
2.3.2.Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja ......................................... 43
2.4. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 47
2.5. Kerangka Konseptual .................................................................... 50
2.6. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 51
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 DesainPenelitian ............................................................................. 52 3.2 JenisdanSumber Data ..................................................................... 52 3.2.1. Jenis Data .................................................................................. 52 3.2.2.Sumber Data ................................................................................ 52
3.3 Prosedur Pengumpulan Data ........................................................... 53
3.4DefinisiOperasionaldanPengukuranVariabel .................................... 53
3.4.1 VariabelIndependen ............................................................... 54
3.4.2 Variabel Dependen................................................................ 54
3.5 Metode Analisis Data ...................................................................... 56
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 56
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kota Medan ........................................................ 58
4.2 Gambaran Umum Perekonomian Kota Medan................................. 62
viii
4.3 Analisa Hasil Penelitian .................................................................. 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 80
5.2 Saran .......................................................................................... 83
5.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 85
LAMPIRAN ..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL
NOMOR JUDUL HALAMAN
Tabel 1.1 Anggaran&RealisasiBelanjaPemerintah Daerah
Kota Medan Tahun 2006 5
Tabel 2.1 Skala Interval Rasio Desentralisasi Fiskal 35
Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu 49
Tabel 3.1 Definsi Operasional dan Pengukuran Variabel 55
Tabel 4.1 JumlahPendudukdanKepadatanPenduduk Kota Medan 62
Tabel 4.2 Realisasi APBD Pemerintah kota Medan 65
Tabel 4.3 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 67
Tabel 4.4 RasioDerajatDesentralisasi Fiskal 68
Tabel 4.5 Rasio Tingkat KemampuanPembiayaan (PAD/BRNP) 70
Tabel 4.6 Rasio Tingkat KemampuanPembiayaan (TPjD/PAD) 71
Tabel 4.7 RasioEfisiensi Belanja Daerah Kota Medan 72
Tabel 4.8 RasioEfektivitas PAD Kota Medan 74
Tabel 4.9 Rasio Keserasian 76
Tabel 4.10 RasioPertumbuhan 78
x
DAFTAR GAMBAR
NOMOR JUDUL HALAMAN
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 53
xi
DAFTAR LAMPIRAN
NOMOR JUDUL
Lampiran 1 LaporanRealisasi APBD Kota Medan Tahun 2005
Lampiran 2 LaporanRealisasi APBD Kota Medan Tahun 2006
Lampiran 3 LaporanRealisasi APBD Kota Medan Tahun 2007
Lampiran 4 LaporanRealisasi APBD Kota Medan Tahun 2008
Lampiran 5 LaporanRealisasi APBD Kota Medan Tahun 2009
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang mengatur mengenai otonomi
daerah di Indonesia dan sekarang berubah menjadi undang-undang nomor 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999
dan sekarang berubah menjadi undang-undang nomor 33 tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi
sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut
merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan menggambarkan
serta memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang
sesungguhnya.Pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah adalah
perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa semangkin
maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap Negara, termaksud daya
saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah ini diharapkan akan tercapai
melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan
kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi
daerah (Halim 2001:2).
Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antara responsif
terhadap kebutuhan potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing.Hal ini
ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk
2
mengelola rumah tangganya sendiri, (Bastian 2006). Adapun misi utama undang-
undang nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tersebut
bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewewenangan pembangunan dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi yang lebihpenting adalah efisiensi
dan efektifitas sumber daya keuangan.
Oleh karena itulah diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan
dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumber daya keuangan daerah berikut
dengan analisis prestasi pengelolaan sumber daya keuangan daerah itu sendiri
(Bastian 2006:6). Hal tersebut sesuai dengan ciri penting dari suatu daerah
otonomi yang mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya yaitu terletak pada
strategi sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan di bidang keuangan daerah
(Soedjono 2000).
Analisa prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu
sendiri yang dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk
memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan
sumbersumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan
masyarakat di daerah.Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya
disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Seiring sejalan dengan
pemberlakuan undangundang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 yaitu mengenai perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu
undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, undang-undang
nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab
3
keuangan Negara, yang telah membuat perubahan yang mendasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya dalam
perencanaan dan anggaran pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kemudian
saat ini keluar peraturan tentang Pengelolaan keuangan daerah yaitu Peraturan
Pemerintah RI No 58 tahun 2004 dan Permendagri No.13 tahun 2006 tentang
pedoman pengelolaan keuangan daerah yang mengantikan Kepmendagri No. 29
tahun 2002. Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD
diharapkan menjadi lebih partisipasi. Hal tersebut sesuai dengan permendagri
No.13 tahun 2006 yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD
diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana
strategi daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah. Serta
pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah.
Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang No. 17
tahun 2003 tentang perimbangan keuangan Negara akan pula diterapkan secara
penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran
tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat (Abimanyu
2005). Undang-undang No.17 tahun 2003 menetapkan bahwa APBD disusun
berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung
kebijakan ini perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan
imformasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja Anggaran kinerja
pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah
yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.Adapun kinerja tersebut
harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus
4
berorentasi pada kepentingan publik (Mariana 2005). Melalui permendagri No. 13
tahun 2006 implementasi pradigma baru yang berorentasi pada prestasi kinerja
dapat diterapkan dalam penyusunan APBD, baik dalam system akuntansi dan
pengelolaan keuangan daerah.
Pemerintah Kota (PEMKOT) Medan merupakan salah satu Pemerintahan
Daerah di Sumatera Utara yang diharuskan untuk menyusun laporan
pertanggungjawaban keuangan daerah yang terdiri dari :
1. Neraca
2. Laporan Realisasi Anggaran
3. Laporan Arus Kas
4. Catatan Atas Laporan Keuangan
Penyusunan laporan keuangan tersebut berpedoman pada ketentuan pokok
yang menyangkut pengelolaan keuangan dan otonomi daerah serta peraturan
pelaksanaannya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat.Sedangkan dalam
penerapannya diperkuat oleh peraturan daerah.
Skripsi ini akan membahas mengenai Analisa Kinerja Keuangan Daerah pada
pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja. Dari data yang diperoleh dari LKPJ Kota
Medan Tahun 2006 dapat dilihat bahwa tidak satupun dari pos belanja daerah
yang jumlah realisasi pengeluarannya mencapai anggaran apalagi melebihi jumlah
yang dianggarkan.Hal ini menunjukkan pengeluaran belanja daerah pada masa
awal penerapan anggaran berbasis kinerja dilakukan secara efisien, efektif dan
ekonomis.
5
Tabel 1.1
Anggaran dan Realisasi Belanja Pemerintah Kota Medan Tahun Anggaran 2006
No Jenis Belanja Anggaran Realisasi Lebih (kurang) %
1 BELANJA APARATUR 468,048,556,430.00 436,296,011,302.75 (31,752,545,127.25) 93.22% 1.1 Belanja Administrasi Umum 382,907,274,244.00 359,784,502,625.00 (23,122,771,619.00) 93.96% 1.2 Belanja Operasi dan
Pemeliharaan 55,156,779,411.00 47,419,361,222.75 (7,737,418,188.25) 85.97% 1.3 Belanja Modal 29,984,502,775.00 29,092,147,455.00 (892,355,320.00) 97.02% 2 BELANJA PUBLIK 947,436,861,788.00 886,129,408,213.19 (61,307,453,574.81) 93.53% 2.1 Belanja Administrasi Umum 399,988,490,102.00 392,429,927,185.00 (7,558,562,917.00) 98.11% 2.2 Belanja Operasi dan
Pemeliharaan 202,153,030,256.00 186,465,619,995.08 (15,687,410,260.92) 92.24% 2.3 Belanja Modal 218,015,258,930.00 186,594,118,959.11 (31,421,139,970.89) 85.59% 2.4 Belanja Bagi Hasil dan
Bantuan Keuangan 119,780,082,500.00 115,667,997,278.00 (4,112,085,222.00) 96.57% 2.5 Belanja Tak Tersangka 7,500,000,000.00 4,971,744,796.00 (2,528,255,204.00) 66.29% Jumlah Belanja 1,415,485,418,218.00 1,322,425,419,515.94 (93,059,998,702.06) 93.43%
Sumber: LKPJ Kota Medan Tahun 2006
Dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di daerah, telah
dilakukan reformasi penganggaran dengan menerapkan tiga (3) pendekatan yaitu:
1. Penganggaran dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
(KPJM) atau juga dikenal dengan Medium Term Expenditure Framework
(MTEF). Pendekatan ini menuntut kita menyusun rencana anggaran untuk
dua (2) tahun anggaran berturut-turut, yaitu tahun anggaran bersangkutan,
dan rencana anggaran untuk tahun berikutnya.
2. Penganggaran Terpadu (Unified Budgeting). Pendekatan ini menyatukan
penyusunan anggaran baik untuk yang sifatnya mengikat (dulu dikenal
dengan istilah anggaran rutin) maupun anggaran yang tidak mengikat (dulu
dikenal dengan istilah anggaran pembangunan) yang sebelumnya dilakukan
6
secara terpisah.Pendekatan ini memaksa instansi pemerintah untuk
memandang perencanaan dan penganggaran secara utuh agar dapat
menjalankan fungsinya secara baik dan benar.
3. Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting).
Pendekatan ini mengatakan bahwa besarnya alokasi anggaran didasarkan
atas target prestasi kinerja yang diusulkan oleh instansi pengusul. Ukuran
kinerja untuk program adalah manfaat (outcome) sedangkan untuk kegiatan
adalah keluaran (output). Penganggaran kinerja atau berdasarkan prestasi
kerja adalah penganggaran yang menekankan pada orientasi output
(keluaran) dan outcome (hasil) yang memiliki konsekuensi pada
mekanisme penyusunan anggaran.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan “penyusunan anggaran
berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator
kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan
minimal”. Selanjutnya, dalam penjelasan PP No. 58 Tahun 2005 disebutkan
“untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka
dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan
dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2)
penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga
satuan yang rasional”.
Penyusunan anggaran oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan,
7
sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan)
dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja
mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk
bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut maka konsekuensi
logisnya adalah Pemerintah Daerah Kota Medan harus meningkatkan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah di daerah terhadap pembangunan dan
penyelenggaran pemerintah di daerah.Prinsip-prinsip tersebut telah membuka
peluang dan kesempatan yang luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan
kewenangannya secara mandiri, luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraaan masyarakat dapat
dilakukakan melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat serta daya saing daerah .
Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik maka Pemerintah Kota
Medan perlu mengikuti segala undang-undang dan peraturan-peraturan yang
berlaku.Salah satunya Kota Medan perlu menerapkan prinsip-prinsip sistem
anggaran berbasis kinerja yang ditetapkan secara bertahap mulai tahun
2005.Dengan tersedianya sumber daya manusia yang dapat memahami konsep
pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dan mengenai pentingnya penganggaran
berbasis kinerja agar didukung dalam penerapan anggaran.Dengan adanya
pemahaman yang benar dapat menghilangkan rasa saling curiga, tidak percaya
dan terwujudnya sinergi antara pihak dalam mewujudkan anggaran yang berbasis
8
kinerja bagi suatu pemerintah daerah secara baik dan benar sehingga
pemerintahan yang baik dapat bersama-sama diwujudkan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian berkaitan dengan “ Pengaruh Penerapan Anggaran
Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Medan “
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dalam penelitian ini penulis
mencoba merumuskan permasalahan, yaitu: “Apakah Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja Berpengaruh Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kota
Medan Dalam Bentuk : Tingkat Kemandirian, Tingkat Desentralisasi Fiskal,
Tingkat Kemampuan Pembiayaan, Tingkat Keserasian dan Tingkat Efektifitas dan
Efisiensi serta Tingkat Pertumbuhan ?”
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan
untuk menguji dan menganalisa pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
(ABK) terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat
secara umum dan secara khusus kepada :
9
1. Bagi Peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman tentang akuntansi pemerintahan, khususnya bagaimana
penerapan penganggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah.
2. Bagi pemerintah daerah, sebagai informasi sebagai tambahan referensi
dalam menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah setelah
diberlakukannya anggaran berbasis kinerja.
3. Bagi Akademisi, sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya
dan memberi masukan pada pengembangan akuntansi sektor publik.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keuangan Daerah
Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah
sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta
pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.
Menurut Halim (2004), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari
keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik
daerah.Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
Halim (2001:19) mengartikan ‘’keuangan daerah sebagai semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang itu
belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-
pihak lain sesuai ketentuan/peraturan undangundang yang berlaku’’.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005,
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan
bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
11
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Kebijakan keuangan daerah
senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya
perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan
berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan undangundang
atau Peraturan Daerah tentang Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah
disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai kinerja instansi
pemarintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh penggunaan Anggaran
sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan pengungkapan informasi
tentang kinerja ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran
pemerintah yang ditetapkan dengan mengidentifikasikan secarajelas keluaran
(outputs) dan setiap kegiatan dari hasil (outcome) dari setiapprogram untuk
keperluan tersebut, perlu disusun suatu sistem akuntabilitas kinerjainstansi
pemerintah yang terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem
penganggaran dan sistem akuntansi pemerintah tersebut sekaligus
dimaksudkanuntuk menggantikan ketentuan yang termuat dalam Instruksi
Presiden Nomor 7Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
sehinggadihasilkan suatu laporan keuangan dan kinerja yang terpadu.
Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan,
12
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata
CaraPenyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah semua
hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat
dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2002:19) menyatakan terdapat 2hal
yang perlu dijelaskan, yaitu:
a. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-
sumberpenerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaanmilik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-
sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusussesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan
menaikkankekayaan daerah.
b. Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban
untukmengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah
dalamrangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur,
pelayananumum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut.
Adapun ruang lingkup dari keuangan daerah menurut Halim (2001:20) ada
dua yaitu :
a. Keuangan daerah yang dikelolah langsung, meliputi:
13
1). Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (ABPD)
2). Barang-barang inventaris milik daerah
b. Kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi
1). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Keuangan daerah dikelolah melalui manajemen keuangan
daerah.Adapunarti dari keuangan daerah itu sendiri yaitu pengorganisasian dan
pengelolahan sumber-sumber kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut, Halim (2001:20).‘’Sedangkan
alat untukmelaksanakan manajemen keuangan daerah yaitu tata usaha daerah yang
terdiridari tata usaha umum dan tata usaha keuangan yang sekarang lebih dikenal
dengan akuntansi keuangan daerah.’’
Telah dijelaskan diatas bahwa keuangan daerah adalah pengorganisasian
kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang di inginkan
daerah tersebut, sedangkan akuntansi keuangan daerah sering diartikan sebagai
tata buku atau rangkaian kegiatan yang dilakuakan secara sistimatis dibidang
keuangan berdasarkan prinsip-prinsip, standar-standar tertentu serta prosedur-
prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan.
14
2.1.1 Tujuan Pengelolahan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur
keuangandaerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
daerah menurut(Devas,dkk, 1987:279-280) adalah sebagai berikut :
a. Tanggung jawab (accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada
lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah.Lembaga atau orang itu
termaksud pemerintah pusat, DPRD, kepala daerah dan masyarakat
umum.Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab mencakup
keabsahan yaitutata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan keuangan
dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan penyelewengan
dan memastikan semuapendapatannya yang sah dan benar-benar terpungut
jelas sumbernya dan tepatpenggunaanya.
b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelolah sedemikianrupa sehingga
mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka
pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang yang telah
ditentukan.
c. Kejujuran
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan dearah pada prinsipnya
harus diserakan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat
dipercaya.
15
d. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian
rupasehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untukmencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang
serendah-rendahnya dandalam waktu yang secepat-cepatnya.
e. Pengendalian
Para aparat pengelolah keuangan daerah, DPRD dan petugas
pengawasanharus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut
dapat tercapai.
2.1.2. Undang-Undang Pelaksanaan Keuangan Daerah
Menurut Mahmudi dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik
(2006:23) menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan
daerah, dilihat dari aspek historis, dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu “Era
sebelum otonomi daerah, Era transisi otonomi, era pascatransisi”.Era pra-
otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Barumulai
tahun 1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara tahun
1999 hingga 2004, dan era pascatransisi adalah masa setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang- Undang Nomor 1 tahun 2004, Undang-
undang Nomor 15 tahun 2004, Undang undang Nomor 32 dan 33 Tahun
2004.Pada era reformasi, dalam manajemen keuangan daerah terdapat
16
reformasipelaksanaan seiring dengan adanya otonomi daerah. Adapun
peraturan pelaksanaannya menurut Halim (2001:3) telah dikeluarkan oleh
pemerintah yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
yang sekarang sekarang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
tahun 1999 yang sekarang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang
DanaPerimbangan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengolahandan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
c. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang
PinjamanDaerah
d. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata
CaraPertanggungjawaban Kepala Daerah
e. Surat Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal
17November 2000 Nomor 903/235/SJ tentang Pedoman
UmumPenyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, karakteristik manajemen
keuangan daerah pada era reformasi antara lain :
17
a. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten
b. Pengertian pemerintah daerah adalah kepala daerah
besertaperangkat lainya. Pemerintah daerah ini adalah badan
eksekutif,sedangkan badan legislatif didaerah adalah DPRD.
c. Perhitungan APBD menjadi satu dengan
pertanggungjawabankepala daerah (Pasal 5 PP Nomor 108 tahun
2000)
d. Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran
terdiriatas :
1) Laporan perhitungan APBD
2) Nota perhitungan APBD
3) Laporan aliran kas
4) Neraca daerah dilengkapi dengan kinerja berdasarkan
tolakukur Renstra (Pasal 38 PP nomor 105 tahun 2000)
e. Pinjaman APBD tdak lagi masuk dalam pos pendapatan
(yangmenunjukan hak pemerintah daerah), tetapi masukan dalam
pospenerimaan (yang belum tentu menjadi hak pemerintah
daerah)
f. Masyarakat termaksud dalam unsur-unsur penyusunan
APBDdisamping pemerintah daerah yang terdiri atas kepala
daerah danAPBD.
g. Indikator kinerja pemerintah daerah tidak hanya mencakup
1) Perbandingan antara anggaran dengan realisasinya
18
2) Perbandingan standar biaya dengan realisasinya
3) Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi
standarpelayanan yang diharapkan.
h. Laporan pertanggungjawaban daerah pada akhir tahun
anggaranyang bentuknya laporan perhitungan APBD dibahas oleh
DPRDdan mengandung konsekuwensi terhadap masa jabatan
kepaladaerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.
Dalam peraturan diatas terutama Peraturan Pemerintah Nomor 105
tahun2000, dapat dilihat 6 (enam) pergeseran anggaran daerah secara
umum dari era prareformasi ke era pasca reformasi yaitu :
a. Dari vertical accountability menjadi horizontal accountability
b. Dari traditional buget menjadi performance buget
c. Dari pengendalian dan audit keuangan ke pengendalian dan
auditkeuangan dan kinerja
d. Lebih menerapkan konsep value for money
e. Penerapan pusat pertanggungjawaban
f. Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah
Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29
19
Tahun 2002. PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105
Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam
penyusunan APBD, pelaksanaan,penatausahaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki
persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang
mengedepankan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas.Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan yang baru dilandasi
pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan
keuangan daerah, sistem dan prosedur serta kebijakan lainnya yang perlu
mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan, akuntansi, pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah.
Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri
No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun
Laporan Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu
PP No.24 Tahun yang merupakan panduan atau pedoman bagi pemerintah
daerah dalam menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan
akuntansi, serta kebijakan akuntansi.
2.2. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
2.2.1. Pengertian Kinerja Keuangan
Dalam organisasi sektor publik, setelah adanya oprasional
anggaran, langkah selanjutnya adalah pengukuran kinerja untuk menilai
20
prestasi dan akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam menghasilan
pelayanan publik yang lebih baik.‘’Akuntabilitas yang merupakan salah
satu ciri dari terapan goodgovernance bukan hanya sekedar kemampuan
menujukan bagaimana menunjukan bahwa uang publik tersebut telah
dibelanjakan secara ekonomis, efektif, dan efisien’’ (Mardiasmo
2002:121). Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik
dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan
menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Efisiensi
merupakan perbandingan ouput/ input yang dikaitkan dengan standar
kinerja atau target yang telahditetapkan. ‘’Sedangkan efektif merupakan
tingkat standar kinerja atau program dengan target yang telah ditetapkan
yang merupakan perbandingan-perbandingan outcome dengan output’’
(Mardiasmo, 2002: 4).Adapun arti dari penilaian kinerja menurut
Mardiasmo (2002:28) ‘’yaitu penentuan secara priodik efektifvitas
oprasional suatu organisasi, bagianorganisasi, karyawan berdasarkan
sasaran, standar, dan kreteria yang telah ditetapkan sebelumnya.’’ Dan
menurut keputusan menteri dalam negeri nomor 29 tahun 2002 yang
sekarang berubah manjadi permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang
pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan
daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja
daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan
perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), bahwa tolak
21
ukur kinerja merupakan komponen lainya yng harus dikembangkan untuk
dasar pengukuran kinerjakeuangan dalam sistem anggaran kinerja.
Sedangkan menurut Mahmudin (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan
visi organisasi yang teruang dalam stategic planning suatu organisasi”.
Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003 : 64) “Kinerja
(performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses
manajemen atau suatuorganisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja
tersebut harus dapat diukurdengan dibandingkan standar yang telah
ditentukan”.Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri
darikemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowladge + skill),
sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya
aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja.Motivasi merupakan
kondisi yang menggerakan sumber daya aparatur pemerintah dengan
terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.
Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu
hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan
belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan
melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu
periode anggaran.Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang
22
terbentuk dari unsur LaporanPertangggungjawaban Kepala Daerah berupa
Perhitungan APBD.
2.2.2. Kinerja Keuangan Berdasarkan LAKIP
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, ada kewajiban setiap instansi
pemerintah untuk menyusun dan melaporkan Pensekemaan Strategi
tentang program-program utama yang akan dicapai selama satu sampai
dengan lima tahun, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
instansi dan jajaranya. Laporan Akuntabilitas Kineja Instansi Pemerintah
dan fungsi instansi. LAKIP tersebut sama sekali tidak menyinggung
mengenai peran laporan keuangan instansi yang seharusnya menjadi dasar
penyusunan LAKIP, padahal seluruh kegiatan penyelenggaraan
pemerintah bermuara pada keuangan/pendanaan.
Instansi pemerintah yang berkewajiban menerapkan sistem
akuntabilitas kinerja dan menyampaikan pelaporanya adalah instansi dari
pusat, Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.Adapun penanggung-jawab
penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
adalah pejabat yang secara fungsional bertanggung jawab melayani fungsi
administrasi di instansi masing masing.Selanjutnya pimpinan bersama tim
kerja harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan
keberhasilan/kegagalan tingkat kinerja yang dicapai. Selain itu,
penyusunan LAKIP harus mengukuti prinsip-prinsip yang lazim, yaitu
23
laporan harus disusun secara, objektif, dan transparan. Disamping itu,
perlu diperhatikan prinsip-prinsip lain:
Prinsip pertanggungjawaban (adanya responsibility
center),sehingga lingkupnya jelas. Hal-hal yang
dikendalikan(controllable) oleh pihak yang melaporkan harus
dapat dimengertipembaca laporan.
Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal-hal yang
pentingdan relevan bagi pengambil keputusan dan pertanggung
jawaban instansi yang bersangkutan. Misalnya, hal-hal yang
menonjol baik keberhasilan maupun kegagalan, perbedaan
antara realisasi dengan target/standar/budget, penyimpangan
dari skema karena alasantertentu dan sebagainnya.
Prinsip manfaat , yaitu manfaat laporan harus lebih besar dari
padabiaya penyusunan.
Isi dari LAKIP adalah uraian pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
danfungsi dalam rangka pencapaian visi dan misi serta penjabaranya yang
menjadiperhatian utama instansi pemerintah. Selain itu perlu dimasukkan
juga beberapaaspek pendukung meliputi uraian pertanggungjawaban
mengenai :
a. Aspek keuangan
b. Aspek sumber daya
c. Aspek sarana dan prasarana
24
d. Metode kerja, pengedalian manajemen, dan kebijaksanaan lain
yangmendukung pelaksanaan tugas instansi
Agar LAKIP dapat lebih berguna sebagai umpan balik bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya diseragamkan tanpa
mengabaikan keunikan masing-masing instansi pemerintah. Penyeragaman
ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan cara penyajian yang
cenderung menjauhkan pemenuhan persyaratan minimal akan informasi
yang seharusnya dimuat dalam LAKIP. Penyeragaman juga dimaksudkan
untuk pelaporan yang bersifat rutin, sehingga perbandingan atau evaluasi
dapat dilakkan secara memadai. LAKIP dapat dapat dimasukan pada
kategori laporan rutin, Karena paling tidak disusun dan disampaikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali.Dan juga agar
pengungkapan akuntabilitas aspek-aspek pendukung pelaksanaan tugas
dan fungsi tidak tumpang tindih dengan pengugkapan akuntabilitas
kinerja, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan pada perolehan
danpenggunaan dana, baik dana yang berasal dari dana alokasi APBD
(rutinmaupun pembangunan) maupun dana yang berasal dari PNBP
(penerimaan Negara bukan pajak).
2. Uraian pertanggungjawaban sumber daya manusia, dititikberatkan pada
penggunaan dan pembinaan dalam hubunganya dengan peningkatan
kinerja yang berorentasi pada hasil atau manfaat, dan peningkatan
kualitaspelayanan kepada masyarakat.
25
3. Uraian mengenai pertanggungjawaban penggunaan sarana dan
prasaranadititikberatkan pada pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan
danpengembanganya.
4. Uraian tentang metode kerja, pengendalian manajemen dan
kebijaksanaanlainya, difokuskan pada manfaat atau dampak dari suatu
kebijaksanaanyang merupakan cerminan pertanggungjawaban
kebijaksanaan (policy accontibility)
2.2.3. Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Analisa keuangan menurut Halim (2001:127) ‘’merupakan sebuah
usahamengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan
yang tersedia.’’Sedangkan pada pasal 4 PP Nomor 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan KeuanganDaerah menegaskan bahwa keuangan daerah
dikelolah secara tertib, taat padaperaturan perundang-undangan efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaatuntuk masyarakat.
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 PP Nomor 58 tahun 2005 yang dimaksud
dari efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan
masukantertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai
keluaran tertentu ;ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan
kualitas tertentu pada tingkatharga rendah; efektif merupakan mencapaian
pencapaian hasil program dengantarget yang telah ditetapkan, yaitu
dengan cara membandingkan keluaran denganhasil; transparan merupakan
26
prinsip keterbukaan yang memungkinkanmasyarakat untuk mengetahui
dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnyatentang keuangan daerah;
sedangkan bertanggungjawab merupakan perwujudan
kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalaian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan
yangditetapkan. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelolah
keuangandituangkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)
yang baik secaralangsung maupaun tidak langsung mencerminkan
kemampuan pemerintah daerahdalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah, pembangunan danpelayanan sosial masyarakat, yang dapat
dianalisa menggunakan analisa rasiokeuangan terhadap APBD.
Menurut Halim (2001:127) penggunaan analisa rasio keuangan
secara luassudah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat
komersial, sedangkanpada lembaga publik khususnya pemerintah daerah
masih sangat terbatas, hal itukarena:
a. Keterbatasan penyajian laporan keuangan pada lembaga
pemerintahdaerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan
penyajian laporankeuangan oleh lembaga perusahaan yang bersifat
komersial.
b. Selama ini penyusunan APBD sebagian masih dilakukan
berdasarkanperimbangan incremental budget yaitu besarnya
masing-masingkomponen pendapatan dan pengeluaran dihitung
dengan meningkatkansejumlah pendapatan persentase tertentu
27
(biasanya berdasarkan tingkatinflasi). Oleh karena disusun dengan
pendekatan secara incremental makasering kali mengabaikan
bagaimana rasio keuangan dalam APBD. Misaladanya prinsip
‘’yang penting pendapatan naik meskipun untuk menaikanya itu
diperlukan biaya yang tidak efisien’’.
c. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian
pertanggungjawabanpengelolaan keuangan daerah, lebih
ditekankan pada pencapaian target,sehingga kurang
memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada
komposisi ataupun pada struktur APBD.
Analisa keuangan adalah usaha mengidentifikasikan ciri-ciri
keuanganberdasarkan laporan keuangan yang tersedia.Bagi perusahaan
swasta (lembagayang bersifat komersial). Analisa keuangan yang
digunakan pada umumnya terdiridari :
1. Rasio likuiditas yaitu rasio yang menggambarkan
kemampuanperusahaan untuk memenuhi kewajiban dengan
segerah.
2. Rasio leverage yaitu rasio yang mengukur perbandingan dana
yangdisediakan oleh pemelik dengan dana yang dipinjam
perusahaan darikreditor.
28
3. Rasio aktivitas yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur
efektifitasperusahaan didalam menggunakan dan mengendalikan
sumber yangdimiliki perusahan.
4. Rasio profitabilitas yaitu rasio yang mengukur
kemampuanperusahaan dalam menghasilkan laba.
Rasio-rasio tersebut perlu disusun untuk melayani pihak yang
berkepentingan dengan perususahaan yaitu:
a. Para kreditor baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu
untukmenilai kemamampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya.
b. Pemegang saham ataupaun pemelik perusahaan, yaitu
untukmenganalisa sampai sejauh mana perusahaan maupun
membayarandividen ataupun memperoleh laba.
c. Pengelolaan, yaitu sebagai informasi yang dapat dipakai
sebagailandasan dalam pengambilan keputusan.
Penggunaan analisa rasio pada sektor publik khususnya terhadap
APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukuranya.
Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang
transfaransi, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel.Analisa rasio
terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian
29
dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimilki perusahaan
swasta.Analisa rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan
hasil yang dicapai dari satu priode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan
dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki
pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan yang lain yang terdekat
adapun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi
rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah
lainya. Adapun pihak-pihak yangberkepentingan dengan rasio keuangan
pada APBD ini adalah:
1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).Pihak
eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya.
2. Pemerintah Pusat/Propinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah
3. Masyarakat dan kreditor, sebagai pihak yang akan turut
memilikisaham pemerintah daerah, bersedia memberikan pinjaman
ataupunmembeli obligasi.
Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong
pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara
berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara
terus menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang.Salah satu alat
menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan
30
daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap
APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo
(Halim, 2002:126) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
penyelenggaraan
otonomi daerah.
2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan
pendapatandaerah.
3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam
membelanjakanpendapatan daerahnya.
4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam
pembentukan pendapatan daerah.
5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan
pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu
2.2.4. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah
Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap
APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang
transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio
terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian
31
dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan
swasta.
Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD
dilakukandengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dibandingkan denganperiode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yangterjadi. Selain itu dapat pula dilakukan
dengan cara membandingkan dengan rasiokeuangan yang dimiliki suatu
pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yangterdekat maupun yang
potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimanarasio keuangan
pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.
Beberapa rasio yang dapat dikembangkanberdasarkan data
keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut :
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Pendapatan Asli daerah Bantuan pemerintah pusat/propinsi dan pinjaman
2. Rasio Desentralisasi fiskal Total Penerimaan Daerah (TPD) Pendapatan Asli Daerah (PAD).
3. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan Total Belanja Rutin Non Belanja Pegawai (BRNP)
32
Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Total Pajak Daerah (TPjD)
4. Rasio Efisiensi Belanja dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
Rasio Efisiensi Belanja Realisasi Belanja Anggaran Belanja
Rasio Efektifitas
Realisasi penerimaan PAD Target penerimaan PAD (berdasarkan potensi real daerah)
5. Rasio Keserasian Total Belanja Rutin
Total APBD
Total Belanja Pembangunan
Total APBD
6. Rasio pertumbuhan
33
Rasio pertumbuhan yang dimaksud disini adalah pertumbuhan
pendapatan aslidaerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin, dan
total belanjapembangunan dari suatu periode.
Penjelasan dari parameter rasio diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukan
kemampuanpemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Kemandirian keuangandaerah ditunjukan oleh
besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya
bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Rasio kemandirian
menggambarkan ketergantungan daerah terhadapsumber dana
ekternal. Semangkin tinggi rasio kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
ekternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semangkin
rendah, dan demikian juga sebaliknya.Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masayarakat dalam membayar
pajak dan restribusi daerah yang merupakan komponen utama
pendapatan asli daerah. Semangkin tinggi masyarakat membayar
34
pajak dan restribusi daerah akan menggambarkan tingkat
kesejateraan masyarakat yang semakin tinggi.
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang
diberikanpemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
menggali dan mengelolapendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk
mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber
pendapatan yang dikelola sendiri olehdaerah terhadap total
penerimaan daerah.Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
penerimaan yang berasal darihasil pajak daerah, retribusi daerah,
perusahaan milik daerah dan pengelolaankekayaan milik daerah serta
lain-lain pendapatan yang sah. Total PendapatanDaerah (TPD)
merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dari seluruhpenerimaan
dalam satu tahun anggaran.
Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) merupakan pajak
yangdialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian
didistribusikan antara pusatdan daerah otonomi. Rasio ini
dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilanpembagian sumber
daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai
potensidaerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi
hasilnya maka suatudaerah tersebut semakin mampu membiayai
pengeluarannya sendiri tanpa bantuandari pemerintah pusat.Derajat
35
desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD
dibandingkandengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol
UGM dalam Munir (2004:106)menggunakan skala interval
sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2.1
Tabel 2.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00 Sangat Kurang
10,01-20,00 Kurang
20,01-30,00 Cukup
30,01-40,00 Sedang
40,01-50,00 Baik
>50,00 Sangat baik
Sumber : Anita W, 2001 : 22
3. Tingkat Kemandirian Pembiayaan
Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirian
pemerintah kabupatendalam membiayai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) setiapperiode anggaran. Belanja Rutin
36
Non Belanja Pegawai (BRNP) merupakanpengeluaran daerah
dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang
terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas,
pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta
belanja lain-lain. Rasio dimaksudkan untuk mengukur tingkat
kemampuan PAD dalammembiayai belanja daerah diluar belanja
pegawai.Dalam ketentuan yangdigariskan bahwa belanja rutin
daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiapPemda dan karenanya
tolok ukur ini sesuai pengukuran dimaksud. Pajak Daerah (TPjD)
merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan
digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan pemerintah.Rasio dimaksudkan untuk mengukur
tingkat kontribusi pajak daerahsebagai sumber pendapatan yang
dikelola sendiri oleh daerah terhadap total PAD. Semakin besar
rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai sumber pendapatan
daerah akan semakin baik.
4. Rasio Efisiensi Belanja dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
Rasio Efisiensi Belanja adalah rasio yang menggambarkan
perbandingan antara besarnya anggaran belanja dengan realisasi
belanja . Kinerja pemda dalam melakukan
pembelanjaandikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang
37
dari satu atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisiensi
berarti kinerja pemda semakin baik.
Rasio efektifitas manggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalammerealisasikan pendapatan asli daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi rill daerah. Kemampuan daerah dalam
menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila yang dicapai
mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen.Namun demikian
semangkin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan
daerah yang semangkin baik.Guna memperoleh ukuran yang lebih
baik, rasio efektifitastersebut perlu dipersandingkan dengan rasio
efisiensi yang dicapai pemerintahdaerah.
5. Rasio Keserasian
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memperioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi
(belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana
prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.
Belum ada patokan yang pasti yang pasti berapa besarnya rasio
belanjarutin maupun pembangunan terhadap APBD yang ideal,
karena itu sangatdipengarui oleh dinamisasi kegiatan pembangunan
38
dan besarnya kebutuhaninvestasi yang diperlukan untuk mencapai
pertumbuhan yang ditargetkan.Namun demikian, sebagai daerah di
negara berkembang peran pemerintah daerah untuk memacu
pelaksanaa pembangunan masi relatif besar.Oleh karena itu, rasio
belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.
6. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar
kemampuanpemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya.Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk
masing-masing komponen sumber pendapatan danpengeluaran,
dapat digunakan mengevaluasi potensi- potensi mana yang diperlu
mendapatkan perhatian.
2.3. Anggaran Berbasis Kinerja
2.3.1. Pengertian Anggaran
Menurut Mardiasmo (2002), ‘’Anggaran adalah sebuah proses
yangdilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan
sumber daya yangdimilikinya pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terbatas (the process ofallocating resources to unlimited demends )’’.
39
Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam
pengelolaan kekayaan sebuah organisasi sektor publik tentunya
berkeinginan memberikan pelanyanan maksimal kepada masyarakat, tetapi
sering kali keinginan tersebut terhambat oleh terbatasnya sumber daya
yang dimiliki.Disinilah dituntut peran penting anggaran.Anggaran dapat
juga dikatakan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial. Pembuatan
anggaran dalam organisasi sektor publik, terutama pemerintah, merupakan
sebuah proses yang cukup rumit dan mengandung muatan politis yang
cukup segnifikan. Berbeda dengan penyusunan anggarandiperusahaan
swasta yang muatan politisnya relatif lebih kecil. Mardiasmo (2002:61)
menyatakan bahwa ‘’Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi
kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial sedangkan penganggaran adalahproses
atau metode untuk mepersiapkan suatu anggaran’’.Sedangkan menurut
Bastian (2006:164) ‘’mengutip dari NationalCommitteen on Govermental
Acconting (NCGA), yaitu rencana operasi keuanganyang mencakup
estimasi pengeluaran yang diusulkan dan sumber pendapatanyang
diharapkan untuk membiayai dalam periode waktu tertentu.’’
Anggaran merupakan dokumen yang berisi angka-angka
yangdiprediksikan akan diperoleh dan akan digunakan untuk satu jangka
waktutertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anggaran
adalah suatuinstrumen yang menggambarkan kebijakan manajemen yang
40
dinyatakan dalambentuk angka-angka yang dibuat secara sistematis dan
terencana dengan mengintregrasikan dan mengalokasikan seluruh sumber
daya (resources) ke dalam berbagai program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai kinerja yang diharapkan pada suatu masa
tertentu.
Penganggaran pada organisasi publik yang berorentasi pada
pelayanan terhadap masyarakat bersifat terbuka serta cenderung
dipengarui oleh iklim politik dalam suatu Negara.Hal ini menyebabkan
penyusunan anggaran pada publik lebih komplek dibandingkan dengan
penyusunan anggaran pada organisasi privat.Mardiasmo (2002:62)
menyatakan ‘’anggaran publik berisi rencana kegiatan yang
direpersentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja
dalam satu moneter.Dalam bentuk yang paling sederhana anngaran publik
merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari
suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja,
dan aktivitas.’’ Lebih lanjut Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa:
Penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan
yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang lebih tinggih.Hal
tersebut berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif
kecil nuansa poltiknya.Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian
dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya
pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan kepada public
untuk dikeritik, didiskusikan, dan diberimasukan. Anggaran sektor publik
41
merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan
pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.
Anggaran sektor publik menggambarkan kegiatan pemerintah
dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai stakeholder.Oleh
sebab itu setiapanggaran publik harus berpihak kepada kepentingan rakyat
banyak dan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan implementor serta
meningkatkan wibawa pemerintah.Anggaran menjadi sangat esensial
dalam upaya menghapus kemiskinan danmeningkatkan kesejateraan
masyarakat melalui program pemerintah denganmelibatkan
masyarakat.Penyusunan anggaran harus sesuai dengan prinsip-prinsipyang
diterima secara umum.
Mardiasmo (2002:63) mengungkapkan ada beberapa fungsi utama
dariadanya anggaran sektor publik yaitu :
a. Anggaran sebagai alat perencanaan (Planning Tool)
b. Anggaran sebagai alat pengendalian (Control Tool)
c. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (Fiscal Tool)
d. Anggaran sebagai alat politik (Political Tool)
e. Anggaran sebagai alat kordinasi dan komunikasi (Coordination &
Communication)
f. Anggaran sebagai alat penilaian kinerja
(PerformeanceMeasurement Tool)
g. Anggaran sebagai alat motivasi (Motivation Tool)
42
h. Anggaran sebagai alat menciptakan ruang public (Publik Sphere)
Adapun tipe dari anggaran menurut Bastian (2006:166) adalah sebagai
berikut :
a. Line Item Budgeting
Line item Budgeting adalah penyusunan anggaran yang
didasarkan pada dan dari mana dana berasal (pos-pos penerimaan)
dan untuk apa dana tersebut digunakan (pos-pos pengeluaran).
Jenis anggaran ini relative dianggap paling tua dan banyak
mengandung kelemahan atau sering disebu tradisional.
b. Planning Programming Budgeting System (PPBS)
Planning Programming Budgeting System adalah suatu
prosesperencanaan, pembuatan, program, dan penganggaran, serta
didalamnyaterkandung indetifikasi tujuan organisasi atas
permasalahan yang mungkin timbul.
c. Zero Based Budgeting (ZBB)
Zero Based budgeting adalah sistem anggaran yang
didasarkan padaperkirakan kegiatan, bukan pada yang telah
dilakukan dimasa lalu, dan setiapkegiatan dievaluasi secara
terpisah.
d. Performance Budgeting
43
Performance Budgeting adalah sistem penganggaran yang
berorentasi padaoutput organisasi dan berkaitan erat dengan Visi,
Misi, dan Rencana StrategiOrganisasi.
e. Medium Term Budgeting Framework (MTBF)
Medium Term Budgeting Framework adalah suatu
kerangka strategikebijakan pemerintah tentang anggaran belanja
untuk departemen dan lembagapemerintah non departemen, dan
kerangka tersebut memberikan tanggung jawabyang lebih besar
kepada departemen untuk penetapan alokasi dan penggunaan
sumber dana pembangunan.
2.3.2 Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja
Menurut keputusan Menteri dalam negeri nomor 29 tahun
2002 yangsekarang berubah menjadi Permendagi Nomor 13 Tahun
2006 anggaranpendapatan belanja daerah (ABPD) dalam era
otonomi daerah disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem
anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau
keluaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah
ditetapkan. Dengan demikian diharapkan penyusunan dan
pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala
prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan (Mariana 2005).
Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam pengelolaan keuangan
daerahsejak diterbitkannya PP Nomor 105 tahun 2000 yang dalam
44
pasal 8 dinyatakanbahwa APBD disusun dengan pendekatan
kinerja. Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi
pemerintah di Indonesia dicanangkan melalui pemberlakuan UU
nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan nagara dan diterapkan
secara bertahap mulai tahun anggaran 2005.
Menurut Mardiasmo (2002;105) “Performance budget pada
dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengolahan anggaran
daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil kerja atau kinerja.
Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan
publik, yang berarti berorientasi pada kepentingan
publik”.Selanjutnya Mardiasmo (2002:132) menyatakan
“Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep
produktifitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan
menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap
input yang digunakan (cost of output)”. Proses kegiatan
operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil
kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan Sumber Daya dan
Dana yang serendah-rendahnya (spending well). Pengertian
evektifitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan
atau target kebijakan (hasil guna). Dalam penjelasan PP nomor 105
tahun 2000 dinyatakan bahwa anggaran dengan pendekatan kinerja
adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input
45
yang ditetapkan. Berdasarkan pengertian tersebut, setiap input
yang ditetapkan dalam anggaran harus dapat diukur hasilnya dan
pengukuran hasil bukan pada besarnya dana yang telah dihabiskan
sebagaimana yang dilaksanakan pada sistim penganggaran
tradisional (line-item & incremental budget) tetapi pada tolak ukur
kinerja yang telah ditetapkan.
Menurut Kepmendagri No.29 tahun 2002 pengertian
anggaran berbasis kinerja adalah:
a. Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian
hasil kerjaatau output dari perencanaan alokasi biaya atau input
yang ditetapkan.
b. Didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Anggaran
dipandang sebagaialat untuk mencapai tujuan.
c. Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money
danefektifitas anggaran.
d. Anggaran kinerja merupakan system yang mencakup kegiatan
penyusunanprogram dan tolak ukur (indicator) kinerja sebagai
instrument untukmencapai tujuan dan sasaran program.
Bastian (2006;171) “Performance budgeting (anggaran yang
berorentasipada kinerja) adalah sistem penganggaran yang berorentasi
pada output organisasi dan berkaitan sangat erat dengan visi, misi dan
rencana strategi organisasi. Performance budgeting mengalokasikan
46
sumber daya pada program, bukan pada unit organisasi semata dan
memakai ‘output measurement’ sebagai indikator kinerja organisasi’’.
Berdasarkan pengertian anggaran berbasis kinerja menurut
Bastian,komponen-komponen visi, misi dan rencana strategi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anggaran berbasia
kinerja.Dengan demikian penyusunan anggaran berbasis kinerja
membutukan suatu sistim administrasi publik yang telah ditata
dengan baik, konsisten dan tersetuktur sehingga kinerja anggaran
dapat dicapai berdasarkan ukuran-ukuran yang telah
ditetapkan.Melalui pengukuran kinerja, manajemen dapat
menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu unit organisasi
dalam pencapaian sasaran dan tujuan untuk selanjutnya
memberikan penghargaan (reward) untuk keberhasilan atau
hukuman (punishment) untuk kegagalan.
Menurut Mardiasmo (2002:84). Pendekatan anggaran
berbasis kinerjadisusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang
terdapat dalam anggarantradisional, khususnya kelemahan yang
disebabakan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran
pelayanan publik.Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat
menekankan konsep value for money dan pengawasan atas kinerja
output.Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan
47
dan pembuatanprioritas tujuan serta pendekatan yang sistimatis dan
rasional dalam prosespengambilan keputusan.
Anggaran berbasis kinerja didasarkan pada tujuan dan
sasaran kinerja.Oleh karena itu anggaran digunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan.Penilaiananggaran berbasis kinerja
didasarkan pada pelaksanaan value for money danefektifitas
anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak pandangan
tradisionalyang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan
campur tangan, pemerintahakan menyalahgunakan kedudukan
mereka dan cenderung boros (over spending).
Menurut pendekatan anggaran berbasis kinerja, dominasi
pemerintah akan dapatdiawasi dan dikendalikan melalui penerapan
internal cost awareness, auditkeuangan dan audit kinerja, serta
evaluasi kinerja eksternal. Selain didorong untukmenggunakan
dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk
mampumencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar
dapat mencapai tujuantersebut maka diperlukan adanya program
dan tolak ukur sebagai standar kinerja.Sistem anggaran berbasis
kinerja pada dasarnya merupakan sistem yangmencakup kegiatan
penyusunan program dan tolak ukur kinerja sebagai instrument
untuk mencapai tujuan dan sasaran program.
48
2.4. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya
Cipta, Hendra (2011) yang meneliti tentang analisis penerapan penganggaran
berbasis kinerja pada pemerintah daerah Kabupaten Tanah Datar dengan
menggunakan output dan outcome sebagai indikator kinerja. Hasil penilaian
terhadap indikator kinerja tersebut menunjukkan bahwa secara umum indikator
kinerja yang digunakan dalam dokumen anggaran tersebut belum memenuhi kriteria
indikator kinerja yang baik.Kondisi ini berimplikasi pada penggunaan indikator
kinerja tersebut dalam penyusunan anggaran dimana indikator kinerja tersebut tidak
bisa dikaitkan secara langsung dengan anggaran yang ditetapkan untuk kegiatan yang
terkait. Dengan demikian, persyaratan mendasar dalam penerapan bentuk sederhana
performance based budgeting belum terpenuhi dalam penyusunan APBD Kabupaten
Tanah Datar tahun anggaran 2009 dan 2010.
Dita Eka Aprilia (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh
pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah Kota Batu.Penelitian ini menggunakan alat analisis rasio untuk mengatehui
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.Hasil analisis ini
menunjukkan bahwakinerja keuangan Pemerintah Kota Batu sebelum dan sesudah
anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan cukup baik karena PAD mengalami
peningkatan diikuti dengan bantuan dari pemerintah pusat dan tercapainya target
penerimaan PAD.
Hijrani Putri Lubis (2009) telah melakukan penelitian yang berjudul
Analisis Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang.Penelitian ini menyimpulkan bahwa
49
anggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah Kabupaten Deli Serdang. Penelitian tersebut menemukan bahwa
pemberlakuan anggaran berbasis kinerja secara simultan berpengaruh signifikan
positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Deli Serdang
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti
Judul Penelitian Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Cipta, Hendra (2011)
Dita Eka Aprilia (2009)
Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) Pada Pemerintah Daerah (Studi Eksploratif Pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar) Analisis Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Batu
Anggaran Berbasis Kinerja, Pemerintah Daerah
Anggaran Berbasis Kinerja, Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Hasil penelitian menunjukkan secara umum indikator kinerja yang digunakan dalam dokumen anggaran tersebut belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik.. Dengan demikian, persyaratan mendasar dalam penerapan bentuk sederhana performance based budgeting belum terpenuhi dalam penyusunan APBD Kabupaten Tanah Datar tahun anggaran 2009 dan 2010. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kota Batu sebelum dan sesudah anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan cukup baik karena PAD mengalami peningkatan diikuti dengan bantuan dari pemerintah pusat dan tercapainya target
50
Hijrani Putri Lubis (2009)
Analisis Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdangi
Anggaran Berbaris Kinerja, Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
penerimaan PAD. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberlakuan anggaran berbasis kinerja secara simultan berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Deli Serdang
2.5. Kerangka Konseptual
Menurut Erlina (2008 : 38) kerangka teoritis adalah suatu model yang
menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting
yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Hubungan yang dijelaskan
adalah hubungan antara variabel bebas dengan variabel yang lain yang
menyertainya.
Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan tinjauan
penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian
sebagai berikut :
PEMERINTAH KOTA
MEDAN
LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN
51
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis di
antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang
dapat diuji (Sekaran, 2006 : 135). Berdasarkan kerangka konseptual yang telah
diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :
Penganggaran Berbasis Kinerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja
keuangan pemerintah Kota Medan
Terdapat peningkatan kinerja keuangan pemerintah Kota Medan setelah
pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja
52
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif.
Menurut Erlina (2007:64), “Penelitian deskriptif adalah penelitian terhadap
fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh oleh peneliti dari subjek
beberapa individu., organisasional, industri, atau perspektif lain”. Menurut
Sugiyono (2007:11), Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan
untuk mengetahui nilai variable mandiri, baik satu variable atau lebih
independen tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan variable lain.
53
3.2. Jenis Data dan Sumber Data
3.2.1. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dan kuantitatif.
a. Data kualitatif berupa keadaan dan gambaran umum Kota Medan yang
merupakan profil daerah
b. Data kuantitatif berupa laporan perhitungan realisasi APBD Pemerintah
Daerah Kota Medan
3.2.2. Sumber Data
Data yang dikumpulkan dan digunakan untuk mendukung penulisan
adalah data sekunder.Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari dokumen-dokumen resmi serta sumber-sumber lainnya
berupa data runtut waktu (time series) yaitu Laporan Realisasi APBD
Pemerintah Kota Medan Tahun 2005-2009.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dan bahan yang diperlukan untuk penyusunan
skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode yaitu :
.
1. Teknik dokumentasi dalam hal ini penulis mengumpulkan data sekunder
melalui pengambilan data yang ada di Kantor BPKD dan Kantor Dispenda
Kota Medan serta dengancara mencari data yang telah ada di beberapa
website yang mengandung materi bahan mengenai laporan ataupun kondisi
keuangan Pemerintah Kota Medan
54
2. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mempelajariliteratur-literatur yang ada baik berupa buku maupun karya
ilmiah yang digunakan sebagai pedoman ataupun landasan teori dalam
menganalisapermasalahan dalam penelitian ini.
3.4.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional menjelaskan karakteristik dari objek dalam elemen-
elemen yang dapat diobservasi yang menyebabkan konsep dapat diukur dan
dioperasionalisasikan dalam penelitian (Erlina, 2008).
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pelaksanaan
penelitian ini, maka perlu diberikan definisi variabel operasional yang akan
diteliti. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Anggaran Berbasis
Kinerja sementara variabel dependen dari penelitian ini adalah Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah.
3.4.1. Variabel Independen
Anggaran berbasis Kinerja adalah sistem anggaran yang mengutamakan
pencapaian hasil kinerja atau keluaran (output)dari perencanaan alokasi biaya
yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan penyusunan dan
pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan
preferensi daerah yang bersangkutan.
3.4.2. Variabel Dependen
55
Kinerja Keuangan pemerintah daerah merupakan Kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelolah keuangan dituangkan dalam
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang baik secara langsung
maupaun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan
pelayanan sosial masyarakat
Tabel 3.1
Definisi Operasional variabel dan skala pengukuran
Variabel Definisi Operasional Indikator Skala
Anggaran Berbasis Kinerja
(X)
Kinerja Keuangan
sistem anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau keluaran (output)dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelolah keuangan
Realisasi Anggaran dan Belanja daerah Petumbuhan Kinerja
Rasio Rasio
56
Pemerintah Daerah
(Y)
yang dituangkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang baik secara langsung maupaun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat
keuangan
3.5. Metode Analisa Data
Analisa data yang dilakukan dengan metode ini adalah:
Metode Deskriptif
Metode analisa dengan terlebih dahulu mengumpulkan data yang ada
kemudian diklasifikasi, dianalisa, selanjutnya di Interprestasikan sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai keadaan yang diteliti. Dalam hal ini
analisa data akan dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan daerah yang
telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Rasio keuangan daerah yang digunakanyaitu:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
2. Rasio Disentralisasi Fiskal
57
3. Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan
4. Rasio efektivitas PAD dan Efisiensi Belanja Daerah
5. Rasio Keserasian
6. Rasio Pertumbuhan
3.6. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan kelompok orang, peristiwa, atau hal yang
ingin peneliti invesitgasi.Adapun populasi penelitian ini adalah Laporan Realisasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Medan.Sampel adalah
bagian dari populasi yang harus memiliki karakteristik populasi dan sesuai dengan
tujuan penelitian.Adapun metode pengambilan sampel yang digunakan peneliti
adalah metode purposive sampling yakni pengambilan sampel dengan
memperhatikan karakteristik dan kriteria tertentu.Kriteria penarikan sampel
diambil dari laporan realisasi anggaran setelah Penerapan Anggaran Berbasis
Kinerja (ABK) pada pemerintah Kota Medan.
58
BAB IV
ANALISA HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera
Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis
secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan
sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
59
dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia,
Singapura dan lain-lain.Demikian juga secara demografis Kota Medan
diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar.Hal ini tidak
terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007
diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa.Demikian juga secara ekonomis
dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota
Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan
regional/nasional.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja
pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor
sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang
secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan
kotatermasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi). Sesuai dengan
dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui
beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan
Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota
Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat
Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan
diperluas menjadi tiga kali lipat.
Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973
Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang
terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi
60
yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor
140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran
Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.
Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH
Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996
tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992
tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21
Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan
administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis
dan sosial ekonomis.
Secara administratif , wilayah kota medan hampir secara keseluruhan
berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan
dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat
Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di
dunia.Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan
Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan.
Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya
Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli
Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini
menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai
61
kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat
dengan daerah-daerah sekitarnya.
Secara demografis, penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu
yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adapt
istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan
bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang
mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses
pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi
menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah
perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan social ekonominya. Di sisi lain
adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi
tingkat kematian.
Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini
mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat
kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian
rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor,
antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang
diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi.
Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat
dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.Pada tahap ini pertumbuhan penduduk
mulai menurun.
62
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian
sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung
untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.
Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai
dinamika social yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas),
meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,
termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan
yang diterapkan.
Tabel 4.1
Tabel Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk
Di Kota Medan Tahun 2005 – 2009
Tahun Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (KM²)
Kepadatan Penduduk
(Jiwa/KM²) [1] [2] [3] [4]
2005 2.036.185 265,10 7.681 2006 2.067.288 265,10 7.798 2007 2.083.156 265,10 7.858 2008 2.102.105 265,10 7.929,5
63
2009 2.121.053 265,10 8.001 Sumber BPS Kota Medan
4.2. Gambaran Umum Perekonomian Kota Medan
Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti
pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi,
dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor
non primer, khususnya industri pengolahan dengan increasing retunrn to scale
(relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang
dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan, bahwa
semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses
peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan
struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung
proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap.
Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan
didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya
dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor
produksi, seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung
proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan
perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada
kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor
tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar
26,91 persen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan
64
yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub
sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor
industri pengolahan sebesar 16,58 persen.
Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan
dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70
persen, sekunder sebesar 28,37 persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing-
masing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran
sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen,
industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen.
Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota
Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen
dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang
dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha
perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasi/telekomunikasi sebesar
19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen.
Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar
6,56 persen terhadap tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor
pengangkutan dan komunikasi 9,22 persen. Disusul oleh sektor perdagangan,
hotel, dan restoran 8,47 persen, sektor bangunan 8,22 persen, sektor jasa-jasa 7,42
persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 5,06 persen, sektor pertanian 4,18 persen,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 2,94 persen,
sektor industri 1,71 persen, dan penggalian tumbuh 0,46 persen. Besaran PDRB
65
Kota Medan pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku tercapai sebesar Rp.72,67
triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 33,43 triliun.
Terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Medan tahun 2009 sebesar 6,56 persen,
sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang perumbuhan sebesar 2,20
persen Disusul oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 1,85 persen, sektor
bangunan 0,91 persen, sektor jasa-jasa 0,76 persen, sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 0,43 persen, sektor industri 0,25 persen, sektor pertanian 0,10
persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 0,07 persen dan sektor pertambangan dan
penggalian menyumbang pertumbuhan 0,00 persen.
Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB Kota Medan pada tahun 2009
digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang mencapai 36,20 persen,
disusul oleh ekspor neto 30,53 persen (ekspor 50,82 persen dan impor 20,29
persen), pembentukan modal tetap bruto 20,61 persen, konsumsi pemerintah 9,54
persen dan pengeluaran konsumsi lembaga nirlaba 0,64 persen. PDRB per Kapita
atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai Rp. 34,26 juta, lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp. 31,07 juta.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dialokasikan dalam bentuk dana inpres (regional) maupun dana
DIP (sektoral), maka saat ini sebagian besar sudah dalam bentuk bantuan spesifik
yang langsung diterima dan dikelola oleh daerah.
Pemanfaatan sebagian besar dana perimbangan tersebut oleh pemerintah
Kota Medan digunakan untuk pengembangan jaringan infrastruktur kota terpadu
66
termasuk pemeliharaannya. Realisasi APBD Pemerintah Kota Medan Lima Tahun
Terakhir sebagai berikut:
Tabel 4.2
Realisasi APBD Pemerintah Kota Medan
Tahun 2005-2009
Tahun Realisasi
2005 1,228,649,091,079.96
2006 1,398,910,993,061.64
2007 1,643,205,293,787.40
2008 1,806,373,003,161.57
2009 1,870,374,442,328.41
Sumber: Laporan Realisasi APBD Kota Medan 2005-2009
4.3. Analisa Hasil Penelitian
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan
daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian
keuangan daerah mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap
bantuan pada pihak eksternal (terutama pemerintah pusat/propinsi) semakin
rendah, dan demikian juga sebaliknya.Rasio kemandirian keuangan daerah juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah.Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat
dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama
67
pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi,
Pada Tabel 4.2 menunjukkan rasio kemandirian keuangan daerah Kota
Medan dari tahun anggaran 2005 sampai 2009.Sebagai hasilnya dapat dilihat
bahwa kemandirian keuangan Kota Medan pada saat pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja masih rendah dan mempunyai kecenderungan menurun. Rata-rata
rasio kemandirian yaitu hanya 31,5 %. Ini berarti Kota Medan masih
ketergantungan atas sumber dana baik dari pemerintah pusat/propinsi maupun
pinjaman. Untuk itu perlu adanya usaha pemerintah daerah untuk dapat
mengurangi ketergantungan atas sumber dana ekstern dan meminta kewenangan
untuk dapat mengelola sumber pendapatan lain yang sampai saat ini masih
dikuasai pemerintah pusat atau propinsi seperti Pajak Kendaraan Bermotor.
Tabel 4.3
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Pada Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja
Tahun PAD Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi & Pinjaman
Rasio
2005 310.398.944.740,00 950.978.776.025,00 32,63 %
2006 329.981.270.115,00 1.110.527.623.167,00 29,71 %
2007 324.263.785.000,00 1.296.986.685.520,00 25,00 %
2008 356.137.806.555,00 1.348.061.495.542,00 26,42 %
2009 386.862.522.644,00 1.471.152.322.582,00 26,30 %
68
Rata-rata 28,01 % Sumber : Data Olahan Penulis, 2013
Halim (2001:125) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang
mampu melaksanakan otonomi yaitu adalah (1) kemampuan keuangan daerah,
artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang
cukup untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. (2) Ketergantungan
kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah
dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah
daerah menjadi lebih besar. Dalam beberapa tahun pelaksanaan Anggaran
Berbasis Kinerja dapat diketahui bahwa rata-rata rasio selama tahun tersebut
adalah sebesar 28,01 persen yang dimana jika dilihat pada pola hubungan tingkat
kemandirian dan kemampuan keuangan daerah masih bersifat konsulatif yang
artinya kemampuan keuangan masih tergolong rendah.
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiscal digunakan untuk melihat kontribusi
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pendapatan daerah secara
keseluruhan.Pada tabel 4.4 disajikan perhitungan rasio derajat desentralisasi fiscal
pada periode pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.
Tabel 4.4
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Pada pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja
69
Tahun PAD Pendapatan Daerah Rasio
2005 310.398.944.740,00 1.252.533.310.765,00 24,78 %
2006 329.981.270.115,00 1.440.508.893.282,00 22,91 %
2007 324.263.785.000,00 1.717.929.894.120,00 18,88 %
2008 356.137.806.555,00 1.764.199.302.097,00 20,19 %
2009 386.862.522.644,00 1.894.222.016.226,00 20,42 %
Rata-rata 21,43 % Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Dari perhitungan diatas terlihat bahwa derajat desentralisasi Kota Medan
pada saat penerapan anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan rendah. Rata-rata
tingkat derajat desentralisasi pada tahun 2005-2009 yaitu 21,43 %. Jika dilihat
dengan kategori skala interval derajat desentralisasi fiscal yang ditemukan oleh
Tim Fisipol UGM maka rata-rata tersebut masih tergolong dalam kategori cukup
(20.01-30.00%)Ini berarti kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kota Medan untuk menggali dan
mengelola pendapatan masih rendah.Untuk itu kedepannya Kota Medan harus
lebih berupaya untuk dapat meningkatkan PAD nya baik dengan menggali potensi
baru ataupun mengembangkan potensi-potensi pendapatan yang ada.
Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat untuk mengambil keputusan dan pengelolaan fiskal kepada pemerintah
daerah.Pelimpahan wewenang tersebut selanjutnya dipertanggungjawabkan secara
transparan kepada masyarakat yang bersangkutan (Boex, 2001:13).Secara teori
dapat disimpulkan bahwa besaran nilai rasio derajat desentralisasi fiskal
70
pemerintah Kota Medan masih tergolong cukup dengan melihat kategori skala
interval. Maka dengan melihat hal tersebut bias dikatakan pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat untuk mengambil keputusan dan pengelolaan fiskal kepada
pemerintah daerah masih harus ditingkatkan lagi.
3. Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan
Rasio ini bermaksud untuk mengukur tingkat kemampuan PAD dalam
membiayai belanja daerah diluar belanja pegawai dan untuk mengukur tingkat
kontribusi pajak daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh
daerah terhadap total PAD.
Tabel 4.5 menunjukkan tingkat kemampuan pembiayaan Kota Medan
Tahun Anggaran 2005-2009.Sebagai hasilnya terdapat fluktuasi rasio PAD/BRNP
dimana dari tahun 2005 sampai 2007 mengalami penurunan kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2008 dan 2009.
Tabel 4.5
Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan (PAD/BRNP)
Tahun 2005-2009
Tahun PAD BRNP Rasio
2005 310.398.944.740,00 461,006,403,141.00 67,33 %
2006 329.981.270.115,00 513,310,999,848.00 64,28 %
2007 324.263.785.000,00 510,810,999,848.00 63,48 %
2008 356.137.806.555,00 478,726,807,673.00 74,39 %
2009 386.862.522.644,00 480,726,807,673.00 80,47 %
71
Rata-rata 69,99 %
Pada Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja rata-rata rasio PAD/BRNP
adalah sebesar 69,99 %. Jika dilihat dari tahun ke tahun rasio tersebut mengalami
peningkatan drastis dari tahun 2007 hingga 2009.Ini berarti pendapatan asli
daerah telah dapat memenuhi atau membiayai belanja daerah walaupun belum
sepenuhnya. Sedangkan pada TPjD/PAD pada pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja juga mengalami hal yang sama yakni pada awal pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja mengalami penurunan pada tiga tahun pertama (2005-2007) yakni
sebesar 2,05 %. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2008 dan 2009
sebesar 2,72 %. Dengan melihat jumlah rata-rata rasio TPjD/PAD sebesar 57,44
% dapat diketahui bahwa sebagian besar jumlah PAD Kota Medan berasal dari
sektor pajak. Namun jumlah tersebut masih tergolong kecil sehingga dibutuhkan
upaya-upaya lebih bagi pemerintah Kota untuk terus menelusuri dan
mengembangkan basis penerimaan pajak daerah.
Tabel 4.6
Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan (TPjD/PAD)
Tahun 2005-2009
Tahun TPjD PAD Rasio
2005 179,691,577,640.00
310,398,944,740.00 57.89%
2006 190,295,756,640.00
329,981,270,115.00 57.67%
2007 181,084,130,000.00
324,263,785,000.00 55.84%
2008 203,940,233,142.00
356,137,806,555.00 57.26%
72
2009 226,564,893,942.00
386,862,522,644.00 58.56%
Rata-rata 57.44% Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Tingkat Kemampuan Pembiayaan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar
tingkat penerimaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan besarnya jumlah
belanja pemerintah daerah.Dari besarnya jumlah rata-rata rasio dapat diketahui
bahwa terjadi pola hubungan konsultatif dimana kemampuan keuangan
pemerintah daerah dalam membiayai belanja daerah telah mulai meningkat
sehingga mengurangi pola pengarahan atau campur tangan pemerintah pusat.
4. Rasio Efisiensi Belanja dan Efektivitas Pendapatan Daerah
Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang
daerah.Rasio ini bertujuan untuk membandingkan besarnya jumlah anggaran
dengan jumlah realisasi belanja daerah.Semakin kecil rasio ini maka dapat
dikatakan pemerintah daerah telah efisien dalam membelanjakan anggaran. Rasio
efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan
pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang
ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Tabel 4.7 menunjukkan efisiensi belanja daerah Kota Medan dari Tahun
Anggaran 2005 hingga 2009.
Tabel 4.7
Rasio Efisiensi Belanja Daerah Kota Medan
Tahun 2005-2009
73
Tahun Anggaran Belanja Realisasi Belanja Rasio
2005 1,219,659,901,765.00
1,146,819,824,075.00 94.03%
2006 1,405,340,418,218.00
1,313,160,750,935.94 93.44%
2007 1,751,826,795,575.00
1,392,698,096,687.55 79.50%
2008 1,881,236,640,742.00
1,477,958,513,206.00 78.56%
2009 2,349,719,173,172.00
1,886,588,720,238.37 80.29%
Rata-rata 85.16% Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Dari tabel perhitungan di atas terlihat bahwa pemerintah Kota Medan pada
masa penerapan anggaran berbasis kinerja telah melakukan efisiensi belanja yang
dibuktikan dengan rasio efisiensi pada tiap tahun dibawah 100 persen dan dengan
rata-rata keseluruhan adalah sebesar 85,16 persen. Ini menunjukkan bahwa kinerja
keuangan pemerintah Kota Medan pada masa pemberlakuan anggaran berbasis
kinerja cukup baik.
Untuk rasio efektivitas PAD hanya pada tahun 2008 realisasi PAD lebih
tinggi dibanding dengan rencana pendapatan yakni sebesar 109,93 persen. Ini
dikarenakan realisasi pendapatan pajak yang melampui target pada tahun tersebut
yaitu sebesar Rp 391.514.558.081,44. Lebih besar Rp 35.376.751.526,44 dari
target pendapatan. Serta jumlah dana perimbangan pemerintah pusat yang juga
berasal dari dana bagi hasil pajak yang tinggi lebih besar dari anggaran.
Jika dilihat berdasarkan rata-rata jumlah rasio efektivitas selama lima
tahun pelaksanaan anggaran berbasis kinerja sebesar 98,82 persen maka dapat
disimpulkan bahwa kinerja pendapatan dapat dikatakan efektif. Tabel 4.8
74
memperlihatkan perhitungan rasio efektivitas PAD Kota Medan Tahun 2005-
2009.
Tabel 4.8
Rasio Efektivitas PAD Kota Medan
Tahun 2005-2009
Tahun PAD
Rasio Rencana Realisasi
2005 310,398,944,740.00
303,383,072,313.96 97.74%
2006 329,981,270,115.00
312,862,351,244.64 94.81%
2007 324,263,785,000.00
312,467,370,442.93 96.36%
2008 356,137,806,555.00
391,514,558,081.44 109.93%
2009 386,862,522,644.00
368,564,026,365.41 95.27%
Rata-rata 98.82%
75
Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Efektivitas pengelolaan PAD menunjukkan suatu kondisi dimana daerah
mampu menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan memanfaatkannya
secara memadai untuk membiayai aktifitas dalam urusan otonomi.Suatu daerah
dapat dikatakan sangat efektif dalam pengelolaan PAD jika rasio efektivitas
sebesar >1.Karena didalam pelaksanaan telah terjadi perbedaan signifikan dimana
realisasi lebih besar dibanding perencanaan. Pengertian efektivitas berhubungan
dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sector public, sehingga suatu
kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar
terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan
sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Rasio efektivtas menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam merealiasikan PAD yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Semakin besar realisasi penerimaan PAD maka dapat dikatakan semakin efektif
dan begitu pula sebaliknya.
5. Rasio Keserasian
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal.
Semakin tinggi persentasi dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti
persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.
Menurut Abdul Halim (2001:13) belum ada patokan yang pasti berapa
besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan terhadap APBD yang ideal,
76
karena masih sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan
besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang
ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah di Negara yang berkembang peran
pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif
besar.Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relative masih kecil perlu
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.
Tabel 4.9 menunjukan rasio keserasian pada Pemerintah Kota Medan dari
Tahun Anggaran 2005 sampai 2009. Sebagai hasilnya terdapat penurunan pada
tingkat rasio TBR/TAPBD setelah adanya anggaran berbasis kinerja terutama
sampai pada tahun 2007 yakni sebesar 6,21 persen sehingga dibarengi dengan
kenaikan tingkat rasio TBP/TAPBD dengan jumlah yang sama. Rata-rata tiap
rasio dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja sebesar 80,09 persen untuk
rasio TBR/TAPBD dan sebesar 19,91 persen untuk rasio TBP/TAPBD.
Dari perhitungan tingkat rasio secara keseluruhan terlihat bahwa sebagian
besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota Medan masih diprioritaskan
untuk kebutuhan belanja rutin sehingga rasio balanja pembangunan terhadap
APBD masih relatif kecil. Tetapi setelah adanya anggaran berbasis kinerja ada
kecenderungan Pemerintah Kota Medan lebih mengurangi belanja rutinnya
walaupun masih dalam persentase kecil sehingga meningkatkan belanja
pembangunannya secara rata-rata.
Tabel 4.9
Rasio Keserasian
77
Pada pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja
Keterangan Tahun
Rata-rata 2005 2006 2007 2008 2009
TBR/TAPBD 82.57% 82.35% 76.36% 79.21% 79.94% 80.09%
TBP/TAPBD 17.43% 17.65% 23.64% 20.79% 20.06% 19.91% Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan
secara optimal .semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja
rutin berarti persentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan
sarana dan prasarana ekonomi masyarakat canderung semakin kecil. Semakin
tinggi nilai rasio keserasian daerah menunjukkan rendahnya alokasi untuk
pengeluaran pembangunan.Sehingga diperkirakan kemampuan keuangan daerah
rendah karena tidak mampu melakukan investasi jangka panjang dan sebagian
besar pengeluaran hanya untuk pengeluaran sehari-hari.
6.Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah
dicapai dari periode ke periode berikutnya.Dengan diketahuinya pertumbuhan
untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi utama yang perlu mendapat
perhatian.
78
Tabel 4.10 menunjukkan tingkat rasio pertumbuhan untuk pendapatan asli
daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin dan total belanja pembangunan
pada Pemerintah Kota Medan Tahun Anggaran 2005-2009. Sebagai hasilnya
terdapat peningkatan pendapatan asli daerah dan pertumbuhan belanja
pembangunan dengan total pertumbuhan dari tahun 2005 hingga 2009 sebesar
98.30 persen. Ini menunjukkan bahwa pada saat penerapan anggaran berbasis
kinerja pemerintah Kota Medan telah berhasil meningkatkan pendapatan asli
daerah dan meningkatkan proporsi belanja pembangunan sehingga dapat
dikatakan kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan pada masa pemberlakuan
anggaran berbasis kinerja telah memperlihatkan kinerja yang positif.
Tabel 4.10
Rasio Pertumbuhan
Pada Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja
No Keterangan Tahun Rata-rata Pertumbuhan
2005 2006 2007 2008 2009
1 Pendapatan asli Daerah ˉ 6.31% -1.73% 9.83% 8.63% 5.76%
2 Total Pendapatan Daerah ˉ 15.01% 19.26% 2.69% 7.73% 11.17%
3 Total Belanja Rutin ˉ 14.92% 15.58% 11.40% 26.05% 16.99%
4 Total Belanja Pembangunan ˉ 16.67% 66.69% -5.58% 20.52% 24.58%
Sumber: Data Olahan Penulis, 2013
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang
79
dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai
komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Total
Pendapatan Daerah, Belanja Rutin, dan Belanja Pembangunan (Mahmudi,
2010:145).
Apabila semakin tinggi nilai PAD, TPD dan Belanja Pembangunan yang
diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya adalah
positif.Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan
dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke periode
berikutnya.Selanjutnya jika semakin nilai tinggi PAD, TPD, dan Belanja Rutin
yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan, maka
pertumbuhannya adalah negatif.Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum
mampu mempertahankan dan meningkatkan pertmbuhannya dari periode yang
satu ke periode yang berikutnya.
80
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan setelah adanya pelaksanaan sistem
Anggaran Berbasis Kinerja. Dari analisa yang dilakukan penulis, ada beberapa
kesimpulan yang diambil antara lain:
1. Analisa Rasio Keuangan merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
menilai kinerja keuangan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan
daerah yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja daerah
(APBD)
81
2. Anggaran Berbasis Kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari pelaksanaan
alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
3. Analisa data yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan dilaksanakannya
anggaran berbasis kinerja ternyata tidak memberikan peningkatan secara
keseluruhan terhadap kinerja keuangan pemerintah Kota Medan. Namun
sudah mengarah kepada peningkatan yang positif. Hal ini dapat dilihat dari
penelitian terhadap ke enam rasio yang digunakan untuk menilai kinerja
pemerintah daerah periode anggaran 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009.
Enam rasio keuangan yang digunakan tersebut antara lain: Rasio
Kemandirian, rasio desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemampuan
pembiayaan, rasio efisiensi dan efiktivitas, rasio keserasian dan rasio
pertumbuhan.
4. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, dalam hal mencukupi kebutuhan
pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan sosial masyarakat masih rendah dan bahkan cenderung
menurun setelah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja dilaksanakan.
Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kota Medan masih
tergantung pada bantuan pusat/provinsi dan pinjaman serta kurang
meningkatkan nilai pendapatan asli daerahnya.
5. Pada Rasio Desentralisasi fiskal dapat dilihat bahwa rata-rata nilai rasio
pada penerapan anggaran berbasis kinerja tergolong kategori cukup. Ini
menunjukkan bahwa proporsi PAD pada APBD Kota Medan masih kecil
82
dan ketergantungan pada dana perimbangan dan transfer pemerintah masih
besar.
6. Rasio Tingkat Kemampuan Pembiayaan, pada tingkat PAD/BRNP
mengalami peningkatan dari tahun 2005 yang hanya sebesar 67,33 persen
menjadi 80,47 persen pada tahun 2009. Ini menunjukkan tren positif
dimana peningkatan tersebut berarti pendapatan asli daerah telah dapat
memenuhi atau membiayai belanja daerah walaupun belum sepenuhnya.
Sedangkan pada bagian TPjD/PAD tingkat rasio selama masa penerapan
anggaran berbasis kinerja masih dibawah 60 persen dan rata-rata
nyaadalah 57,44 persen. Kenaikan sejak tahun 2005 hingga 2009 hanya
sebesar 0,67 persen. Ini berarti anggaran berbasis kinerja tidak begitu
berpengaruh pada kontribusi pendapatan pajak dalam struktur pendapatan
asli daerah.
7. Rasio Efisiensi Belanja dan Efektivitas Pendapatan Asli Daerah. Pada
rasio efisiensi belanja daerah dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kota
pada masa penerapan anggaran berbasis kinerja telah melakukan efisiensi
belanja yang dibuktikan dengan rasio efisiensi konsisten dibawah 100
persen selama lima tahun berturut-turut. Sementara pada tingkat
efektivitas selama lima tahun pelaksanaan anggaran berbasis kinerja,
kinerja keuangan pemerintah Kota Medan dapat dikatakan efektif dalam
realisasi pendapatan yang dimana rata-rata nya selama lima tahun sebesar
98,82 persen.
83
8. Sebagian besar pendapatan Kota Medan dialokasikan ke belanja rutin
yakni rata-rata selama lima tahun pelaksanaan anggaran berbasis kinerja
sebesar 80,09 persen. Namun selama lima tahun tersebut terjadi
peningkatan alokasi belanja pembangunan walaupun masih dalam
persentase kecil sehingga meningkatkan belanja pembangunannya secara
rata-rata.
9. Rasio pertumbuhan dalam hal ini terlihat bahwa tingkat pertumbuhan
pendapatan asli daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin dan
total belanja pembangunan memiliki hasil yang berbeda. Pada total
pendapatan daerah mengalami penurunan selama kurun lima tahun
penerapan anggaran berbasis kinerja. Namun pemerintah Kota Medan
telah berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan
proporsi belanja pembangunan, sehingga bias disimpulkan bahwa kondisi
pertumbuhan APBD Kota Medan selama pelaksanaan Anggaran Berbasis
Kinerja menunjukkan pertumbuhan yang positif dimana pertumbuhan nilai
PAD dan total pendapatan daerah juga diikuti oleh pertumbuhan belanja
pembangunan.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat peneliti coba berikan berdasarkan hasil
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Kota Medan:
84
Agar lebih memaksimalkan pendapatan asli daerah dengan cara
menambah dan menelusuri potensi daerah yang dapat menghasilkan
penerimaan baik berupa pajak daerah maupun retribusi daerah
Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi daerah
sesuai dengan potensi objektif berdasarkan peraturan yang berlaku serta
melakukan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan pemungutan
PAD.
Pemerintah Kota Medan harus terus berupaya memaksimalkan alokasi
pendapatan terhadap belanja pembangunan, karena belanja pembangunan
inilah yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.
Perlunya upaya yang konkrit agar ketergantungan kepada dana
perimbangan serta pinjaman dapat dikurangi. Ini peneliti tekankan karena
melihat hasil rasio kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi fiskal
yang masih tergolong kecil.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian mengenai Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja
masih belum banyak dilakukan sehingga masih memerlukan penelitian
lanjutan. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar untuk menambah tahun
penelitian sehingga dapat diketahui lebih jelas dampak dari penerapan
anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja pemerintah daerah serta juga agar
menambah jumlah rasio yang diperhitungkan untuk menganalisis kinerja
pemerintah daerah.
5.3. Keterbatasan Penelitian
85
Secara keseluruhan penelitian ini belumlah sempurna dan masih
terdapat banyak kelemahan.Diantaranya adalah penelitian ini merupakan studi
kasus yang hanya memiliki satu objek penelitian yakni Pemerintah Kota
Medan, sehingga kesimpulan yang dapat diambil hanya berlaku pada
Pemerintah Kota Medan saja.Selain itu juga rasio yang digunakan untuk
mengukur kinerja keuangan APBD masih sedikit sehingga sangat disarankan
bagi penelitian selanjutnya untuk menambah jumlah rasio yang digunakan
untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta.
Bastian, Indra. 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta
Budiono. 1985. Pengantar Ilmu Ekonomi, BPFE,Yogyakarta.
Erlina, 2008.Metode Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen, Cetakan Pertama, USU Press, Medan.
Halim, Abdul. 2002. Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 2011. Buku
Pedoman Penulisan Skripsi dan Ujian Komprehensif.Medan : Universitas Sumatera Utara.
86
Lubis, Hijrani Putri. 2009. Analisis Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang.Skripsi Akuntansi, Universitas Sumatera Utara.
Marizka, Addina. 2009. Analisis Kinerja Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Pemerintah Kota Medan.Skripsi Akuntansi, Universitas Sumatera Utara.
Mahmudi. 2010. Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik: Analisis
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Panduan bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.Yogyakarta.
Mardiasmo, 2002.Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.ANDI,
Yogyakarta. Mardiasmo, 2004.Akuntansi Sektor Publik.ANDI.Yogyakarta. Mamesah, D.J. 1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Nordiawan, Deddy. 2006. Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000
Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 2000. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara .2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah..
2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
2005. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
87
2005. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun
2006 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007 Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
www.bps-sumut.go.id
www.djpk.depkeu.go.id
www.wikipedia.org
www.pemkomedan.go.id
88
LAMPIRAN
I. Laporan Realisasi APBD Kota Medan Tahun 2005
89
II. Laporan Realisasi APBD Kota Medan Tahun 2006
90
91
III. Laporan Realisasi APBD Kota Medan Tahun 2007
92
93
IV. Laporan Realisasi APBD Kota Medan Tahun 2008
94
95
V. Laporan Realisasi APBD Kota Medan Tahun 2009
96
VI. Surat Izin Penelitian