skripsi perbankan syariah

Embed Size (px)

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah. Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah perbankan syariah. Atas dasar ini pula maka terwujud Undang-Undang Indonesia, yakni Perbankan

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan Undang-

Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini memberikan pengakuan terhadap keberadaan prinsip syariah dalam dunia perbankan

Indonesia. Dengan undang-undang ini perbankan syariah mempunyai panduan dan pedoman operasional dalam menjalanakan usahanya, sehingga mempunyai kesempatan lebih baik untuk mengoptimalkan kinerjanya. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menjelaskan beberapa hal terkait dengan operasional perbankan syariah. Termasuk di dalamnya adalah penjelasan tentang penyaluran pembiayaan kepada masyarakat. Penyaluran pembiayaan ini terdiri dari beberapa skema transaksi yaitu transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.

2

Skema-skema tersebut merupakan instrumen utama perbankan syariah dalam mendapatkan keuntungan yang optimal. Semakin besar jumlah pembiayaan yang mampu disalurkan perbankan syariah, semakin besar pula kemungkinan keuntungan yang diperoleh. Muhammad (2004:117) menjelaskan bahwa kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga kinerja bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah akan baik. Segala kualitas penanaman dana yang buruk akan membawa pengaruh menurunya kinerja bank yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah. Sehingga tingkat pengembalian yang optimal akan tercapai jika perbankan syariah mampu melaksanakan kinerja yang berkualitas yaitu dengan melaksanakan penyaluran secara efektif dari dana yang berhasil dihimpun. Dalam perjalanannya, jumlah pembiayaan perbankan syariah dengan skema-skema sebagaimana dijelaskan sebelumnya terus bertambah. Gambaran perkembangan pembiayaan ini dijelaskan dalam laporan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia tentang Statistik Perbankan. Pada bulan Desember 2006 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan sejumlah Rp 20,45 triliun,-. Dua tahun kemudian pada bulan Desember tahun 2008 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan 53,52% lebih tinggi, yaitu sejumlah Rp 38,19 triliun,-. Namun demikian, sebaran pembiayaan tidak tersebar secara merata. Pada bulan Desember 2008 pembiayaan murabahah mempunyai proporsi pembiayaan terbesar, dengan persentase sebesar 58,87% atau Rp 22,49 triliun, sedangkan untuk pembiayaan lainnya masih mempunyai proporsi yang jauh lebih kecil dari

3

pembiayaan murabahah. Untuk pembiayaan dengan skema musyarakah pada saat yang sama hanya sebesar 19,4 % atau sebesar Rp 7,41 triliun, pembiayaan dengan skema mudharabah hanya sebesar 16,25 % atau sebesar Rp 6,20riliun, dan untuk pembiayaan istishna hanya sebesar 0,97% atau sejumlah Rp 368,76 milyar. Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa jumlah pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah semakin betambah dari waktu ke waktu. Perkembangan jumlah pembiayaan ini mampu meningkatkan keuntungan perbankan syariah. Sebagai gambaran, dengan jumlah pembiayaan sejumlah Rp 20,44 triliun,- pada bulan Desember 2006 perbankan syariah mampu menghasilkan laba setelah pajak sebesar Rp 355.05 miliyar. Pada bulan Desember 2008 laba setelah pajak perbankan syariah meningkat sebesar 20,92% menjadi sebesar Rp 432,50 milyar. Terkait dengan kinerja perbankan syariah, keuntungan bank syariah dapat dijadikan sebagai salah satu parameter keberhasilan perbankan dalam mengelola pembiayaannya. Keberhasilan perbankan syariah dalam usaha meningkatkan produktifitasnya dapat diukur salah satunya dengan kinerjanya yang terefleksi dari keuntungan bersih yang diperolehnya. Dalam perhitungannya, kinerja bank syariah dapat diukur dengan menggunakan rasio tertentu. Muhammad (2002:245) menjelaskan bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank yaitu return on asset (ROA) dan return on equity (ROE). Lebih lanjut Muhammad (2002:245) menjelaskan bahwa dari pandangan para pemilik, return on equity (ROE) adalah ukuran yang lebih penting karena merefleksikan kepentingan kepemilikan mereka.

4

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan topik Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia.

B. Perumusan Masalah Penelitian Gambaran perkembangan pembiayaan ini dijelaskan dalam laporan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia tentang Statistik Perbankan. Pada bulan Desember 2006 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan sejumlah Rp 20,44 triliun,-. Dua tahun kemudian pada bulan Desember tahun 2008 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan 53,52% lebih tinggi, yaitu sejumlah Rp 38,19 triliun. Namun demikian, sebaran pembiayaan tidak tersebar secara merata. Pada bulan Desember 2008 pembiayaan murabahah mempunyai proporsi pembiayaan terbesar, dengan persentase sebesar 58,87% atau Rp 22,48 triliun. Sedangkan untuk pembiayaan lainnya masih mempunyai proporsi yang jauh lebih kecil dari pembiayaan murabahah. Untuk pembiayaan dengan skema musyarakah pada saat yang sama hanya sebesar 19,4 % atau sebesar Rp 7,41 triliun juta rupiah, pembiayaan dengan skema mudharabah hanya sebesar 16,25 % atau sebesar Rp 6,20 triliun dan untuk pembiayaan istishna hanya sebesar 0,97% atau sejumlah Rp 368,76 milyar. Proporsi pembiayaan perbankan syariah yang belum terdistribusi secara merata sebagaimana dijelaskan di atas menunjukan bahwa perbankan syariah belum menemukan bentuk yang ideal. Namun demikian, seluruh pembiayaan yang diberikan perbankan syariah kepada masyarakat terus mengalami

5

pertumbuhan yang diikuti pula dengan pertambahan jumlah keuntungan. Pada akhir tahun 2006 dengan jumlah pembiayaan sejumlah Rp 20,44 triliyunperbankan syariah mampu menghasilkan laba setelah pajak sebesar Rp 355,05 milyar,-. Pada bulan Desember 2008 laba setelah pajak perbankan syariah meningkat sebesar 20,92% menjadi sebesar Rp 432,49 milyar. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh penyaluran pembiayaan mudharabah,

musyarakah, murabahah, dan istishna secara bersama-sama terhadap return on equity? 2. Apakah pembiayaan musyarakah berpengaruh terhadap return on

equity pada perbankan syariah di Indonesia? 3. Apakah pembiayaan mudharabah berpengaruh terhadap return on

equity pada perbankan syariah di Indonesia? 4. Apakah pembiayaan murabahah berpengaruh terhadap return on

equity pada perbankan syariah di Indonesia? 5. Apakah pembiayaan istishna berpengaruh terhadap return on

equity pada perbankan syariah di Indonesia? 6. Jenis produk pembiayaan manakah dari pembiayaan mudharabah,

musyarakah, murabahah, dan istishna yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap return on equity?

C. Tujuan Penelitian

6

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: 1. Pengaruh penyaluran pembiayaan

mudharabah, musyarakah, murabahah, dan istishna secara bersamasama terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. 2. Pengaruh penyaluran pembiayaan

mudharabah terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. 3. Pengaruh penyaluran pembiayaan

musyarakah terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. 4. Pengaruh penyaluran pembiayaan

murabahah terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. 5. Pengaruh penyaluran pembiayaan

istishna terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. 6. Produk pembiayaan manakah yang

berpengaruh paling besar terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian Beberapa kegunaan penelitian ini, antara lain: 1. Bagi pihak perbankan syariah, penelitian

ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumbangan pemikiran dan dasar kajian empiris mengenai pembiayaan perbankan syariah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan perbankan syariah.

7

2.

Bagi kalangan akademis, penelitian ini

diharapkan bisa menjadi sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis diharapkan dapat

menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan disiplin ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di perkuliahan.

8

II. TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN A. Telaah Pustaka 1. Pengertian Bank Syariah Muhammad (2005:1) mendefinisikan bank syariah sebagai bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga, dimana operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan pada Al Quran dan Hadits Nabi SAW. Sedangkan Syafii Antonio (dalam Muhammad, 2005:1)

membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu bank Islam dan bank yang beroprasi dengan prinsip Syariah. Bank Islam menurut beliau adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam, sedangkan bank yang beroperasi dengan prinsip syariah adalah bank yang tata cara beroprasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al Quran dan Hadits. Definisi yang lebih rinci dijelaskan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 1. Dalam undang-undang ini dijelaskan pengertian dari Perbankan Syariah, Bank Syariah, dan Bank Umum Syariah. Adapun pengertian masing-masing adalah sebagai berikut: 1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 2. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya

berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

9

3.

Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Tinjauan pembiayaan perbankan syariah 1. Pengertian pembiayaan Muhhamad (2005:196) menjelaskan bahwa pembiayaan dalam perbankan syariah adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 poin 25 pembiayaan didefinisikan sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 2. Fungsi pembiayaan Ada beberapa fungsi dari pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada masyarakat penerima, diantaranya (Muchdarsyah

Sinungan, dalam Muhammad 2005:197):

10

a.

Meningkatkan daya guna uang Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk

giro, tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam prosentase tertentu ditingkatkan kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan produktifitas. Dengan demikian dana yang mengendap di bank tidaklah diam tetapi disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat, baik kemanfaatan masyarakat. b. barang 1) Produsen dengan bantuan Meningkatkan daya guna untuk pengusaha maupun kemanfaatan untuk

pembiayaan bank dapat memproduksi bahan mentah menjadi barang jadi sehingga kegunaan dari barang tersebut meningkat. 2) Produsen dengan bantuan

pembiayaan dapat memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat yang lebih bermanfaat. c. Meningkatkan peredaran uang Pembiayaan yang dilakukan via rekening-rekening koran pengusaha menciptakan pertambahan uang giral dan sejenisnya seperi cek, bilyet, giro, wesel, promes dan sebagainya. Melalui pembiayaan, pembiayaan uang kartal maupun giral akan lebih berkembang karena

11

pembiayaan menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik. d. berusaha Ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran maka terhadap segala macam usaha, permintaan akan terus bertambah bila mana masyarakat telah melakukan penawaran. Kemudian timbulah efek kumulatif karena semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian menimbulkan kegairahan yang meluas di kalangan masyarakat untuk meningkatkan produktifitas. e. Stabilitas ekonomi Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah Menimbulkan kegairahan

stabilisasi pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha untuk pengendalian inflasi, peningkatan ekspor, rehabilitasi prasarana, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat. f. meningkatkan pendapatan nasional Apabila rata-rata pengusaha, pemilik tanah, pemilik modal, dan buruh mengalami peningkatan pendapatan, maka pendapatan negara via pajak akan bertambah, penghasilan devisa bertambah dan penggunaan devisa untuk urusan konsumsi berkurang, sehingga langsung atau tidak, melalui pembiayaan pendapatan nasional akan bertambah. Sebagai jembatan untuk

12

g. internasional

Sebagai

alat

hubungan

Melalui bantuan kredit antar negara, maka hubungan antar negara pemberi dan penerima kredit akan bertambah erat terutama yang menyangkut hubungan perekonomian dan perdagangan. 3. Tujuan pembiayaan Pembiayaan merupakan sumber pendapatan bagi bank syariah. Tujuan pembiayaan yang dilaksanakan perbankan syariah terkait dengan stake holder adalah (Muhammad, 2005:196): a. Pemilik

Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengarapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut. b. Pegawai

Para pegawai mengharap dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolannya. c. 1) Masyarakat Pemilik dana

Sebagaimana pemillik, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil. 2) Debitur yang bersangkutan

13

Para debitur, dengan penyediaan dana baginya, mereka terbantu dalam menjalankan usahanya atau terbantu untuk pengadaan barang yang diinginkan. 3) Masyarakat umumnya-konsumen

Mereka dapat memperoleh barang-barang yang diinginkan.

d.

Pemerintah Akibat penyediaan pembiayaan, pemerintah terbantu dalam

pembiayaan pembangunan negara, di samping itu akan diperoleh pajak (berupa pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan) e. Bank Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari pembiayaan yang bersangkutan pembiayaan, diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usahannya agar tetap bertahan dan meluas jaringan usahanya, dilayaninya. 4. Jenis-jenis pembiayaan Perbankan syariah menerapkan beberapa jenis pembiayaan dengan berbagai prinsip dalam operasionalnya. Berikut adalah pembiayaan yang diterapkan dalam operasional perbankan syariah: a. Pembiayaan dengan skema bagi hasil sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat

14

1)

Mudharabah Pembiayaan mudharabah adalah akad kerja sama suatu

usaha antara pihak pertama

(malik, shahibul mal, atau Bank

Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan

kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian (Undang-Undang No. 21 Tahun 2008) Adapun ketentuan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000): a) Ketentuan tentang pembayaran: 1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. 2. Dalam pembiayaan ini Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

15

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. 7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan

mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). 9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10.Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap

16

kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. b) Rukun dan Syarat Pembiayaan: 1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum. 2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam

mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit

menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat

kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui

korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang dan atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

17

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh

menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran

kesepakatan. 5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

18

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia

mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. c) 1. tertentu. 2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (muallaq) Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan: Mudharabah boleh dibatasi pada periode

dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. 3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada

ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan

kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan

19

Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Musyarakah Pembiayaan musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masingmasing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008) Adapun ketentuan pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000): a) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh

para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1. Penawaran dan penerimaan harus secara

eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). 2. Penerimaan dari penawaran dilakukan

pada saat kontrak. 3. korespondensi, Akad dituangkan secara tertulis, melalui atau dengan menggunakan cara-cara

komunikasi modern.

20

b)

Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum,

dan memperhatikan hal-hal berikut: 1. Kompeten dalam memberikan atau

diberikan kekuasaan perwakilan. 2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan

pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. 3. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur

aset musyarakah dalam proses bisnis normal. 4. Setiap mitra memberi wewenang kepada

mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. 5. mencairkan Seorang mitra tidak diizinkan untuk atau menginvestasikan dana untuk

kepentingannya sendiri. c) 1. a. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian Modal Modal yang diberikan harus uang tunai,

emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal

21

berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. b. Para pihak tidak boleh meminjam,

meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. c. Pada prinsipnya, ada dalam pembiayaan namun untuk

musyarakah

tidak

jaminan,

menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. 2. a. Kerja Partisipasi para mitra dalam pekerjaan

merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. b. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam

musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. 3. Keuntungan

22

a.

Keuntungan harus dikuantifikasi dengan

jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. b. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan

secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. c. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa

jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. d. Sistem pembagian keuntungan harus

tertuang dengan jelas dalam akad. 4. Kerugian

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. d) 1. bersama. 2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan Biaya Operasional dan Persengketaan Biaya operasional dibebankan pada modal

kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan

23

Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. b. Pembiayaan dengan skema jual beli 1) Murabahah Pembiayaan murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai

keuntungan yang disepakati (Undang-Undang No. 21 Tahun 2008) Adapun ketentuan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000): a) 1. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah: Bank dan nasabah harus melakukan akad

murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak

diharamkan oleh syariah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau

seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan

nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

24

5. yang berkaitan

Bank harus menyampaikan semua hal dengan pembelian, misalnya jika

pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut

kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus

memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang

telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada

nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. b) 1. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah: Nasabah mengajukan permohonan dan

perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

25

2.

Jika

bank

menerima

permohonan

tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset

tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya) disepakatinya, sesuai karena dengan perjanjian yang telah

secara hukum perjanjian tersebut

mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan

meminta nasabah

untuk membayar uang muka saat

menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli

barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dari

kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak

urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka a. membeli harga. jika nasabah memutuskan untuk barang tersebut, ia tinggal membayar sisa

26

b.

jika nasabah batal membeli, uang

muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung tersebut; dan oleh jika bank akibat pembatalan

uang muka

tidak mencukupi,

nasabah wajib melunasi kekurangannya. c) 1. Jaminan dalam Murabahah: Jaminan dalam

murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta

nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. d) 1. Hutang dalam Murabahah: Secara prinsip,

penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan

nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan

keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank. 2. Jika nasabah menjual

barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

27

3. tersebut menyebabkan

Jika kerugian,

penjualan tetap

barang harus

nasabah

menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. e) 1. kemampuan hutangnya. 2. Jika nasabah menundatidak dibenarkan Penundaan Pembayaran dalam Murabahah: Nasabah yang memiliki menunda penyelesaian

nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. f) Bangkrut dalam Murabahah:

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. 2) Salam Pembiayaan salam adalah pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati (UndangUndang No. 21 Tahun 2008).

28

Adapun ketentuan pembiayaan salam adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000): a) 1. Ketentuan tentang Pembayaran: Alat bayar harus

diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran harus

dilakukan pada saat kontrak disepakati. 3. dalam bentuk pembebasan hutang. b) Ketentuan tentang Barang: Pembayaran tidak boleh

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3. Penyerahannya dilakukan kemudian. 4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. c) Ketentuan tentang Salam Paralel

Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat: 1. 2. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

29

d)

Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:

1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. 2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. 3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon). 4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga. 5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan: a. membatalkan uangnya, b. menunggu sampai barang tersedia. e) Pembatalan Kontrak: kontrak dan meminta kembali

Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak. f) Perselisihan:

30

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 3) Istishna Pembiayaan istishna adalah pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni) dan penjual atau pembuat (shani)

(Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008) Adapun ketentuan pembiayaan istishna adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000): a) Ketentuan tentang Pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. b) Ketentuan tentang Barang: 1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3. Penyerahannya dilakukan kemudian. 4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

31

5. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. 7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. c) Ketentuan Lain: 1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. 2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna. 3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah. c. Pembiayaan dengan skema sewa 1) Ijarah Ijarah adalah penyediaan dana dalam rangka

memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan

32

pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (Undang-Undang No. 21 Tahun 2008). Adapun ketentuan pembiayaan ijarah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000): a) Rukun dan Syarat Ijarah:

1. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain. 2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa, dan penyewa/pengguna jasa. 3. Obyek akad Ijarah, yaitu: a. manfaat barang dan sewa; atau b. manfaat jasa dan upah. b) Ketentuan Obyek Ijarah: 1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. 2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. 3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat

dibolehkan (tidak diharamkan). 4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

33

5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. 6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. 7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah. 8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak. 9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. c) Ijarah: 1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan

atau jasa: a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa

yang diberikan b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.

34

c.

Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang

disewakan. 2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat

barang atau jasa: a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab

untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak). b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang

sifatnya ringan (tidak materiil). c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena

pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. d) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya

atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

3. Permodalan dan Laba Perbankan Syariah 1. Modal Bank Syariah a. Pengertian Modal

35

Modal kepentingan

didefinisikan dalam

sebagai suatu

sesuatu

yang

mewakili dalam

pemilik

perusahaan

(Arifin

Muhammad, 2005:102). Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, Muhammad (2005:102) menjelaskan bahwa untuk mendirikan bank syariah perlu didukung dengan aspek permodalan yang kuat untuk membangun kondisi bank yang dipercaya masyarakat. b. Fungsi Modal Menurut Johnson dan Johnson (dalam Muhammad, 2005:103), modal bank mempunyai tiga fungsi, yaitu: 1) Pertama, sebagai penyangga untuk menyerap kerugian

operasional dan kerugian lainnya. Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan. 2) Kedua, sebagai dasar dalam penetapan batas maksimum

pemberian kredit. Hal ini merupakan pertimbangan operasional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. 3) Ketiga, modal menjadi dasar perhitungan bagi para

partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relatif untuk menghasilkan keuntungan. Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan

keuntungan bersih dengan ekuitas.

36

Sementara itu, Brenton C. Leavitt, staff Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika dalam kaitannya dengan fungsi modal bank, menekankan empat hal, yaitu (Muhammad, 2005:103): 1. diasuransikan 2. Untuk menyerap kerugian yang tidak Untuk melindungi deposan yang tidak

diharapkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi 3. Untuk memperoleh sarana fisik dan kebutuhan

dasar lainya yang diperlukan untuk menawarkan pelayanan bank 4. Sebagai alat pelaksanaan peraturan

pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat. Dalam perbankan syariah sumber utama modalnya adalah modal inti dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari pemilik bank, yang terdiri dari modal disetor, cadangan, dan laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil (Muhammad, 2005:105). 2. Laba Bank Syariah a. Pengertian laba Laba didefinisikan sebagai berikut (Harahab dalam Wibowo, 2007): 1) Laba adalah jumlah yang berasal dari pengurangan harga pokok produksi, biaya lain, dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi (Commite of Terminology)

37

2) Laba adalah kelebiahan penghasilan diatas biaya selama satu periode akuntansi (APB Statement) b. Penentuan laba bersih bank syariah Laba bersih perbankan syariah ditentukan oleh faktor-faktor berikut (Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, 2003): 1) Pendapatan operasi utama Pendapatan operasi utama bank syariah adalah

pendapatan dari penyaluran dana pada investasi yang dibenarkan secara syariah yaitu dari pendapatan penyaluran dana dengan prinsip jual beli, pendapatan penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil, pendapatan penyaluran dana dengan prinsip sewa, serta pendapatan penyaluran dana lain sesuai dengan prinsip syariah. 2) Hak pihak ketiga atas dana investasi tidak terikat Merupakan porsi bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan oleh perbankan syariah kepada pemilik dana mudharabah mutlaqoh. Penentuan besarnya dana bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan kepada pemilik dana investasi tidak terikat tersebut diakukan dalam perhitungan distribusi hasil usaha yang disebut dengan profit distribution. 3) Pendapatan operasi lainya. Beberapa pendapatan yang termasuk dalam pendapatan ini antara lain:

38

a) b)

Fee administrasi atas penyaluran dana bank syariah Pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam

memberikan layanan usaha keuangan dan kegiatan lain berbasis imbalan. Pendapatan tersebut sepenuhnya menjadi milik bank syariah sehingga bukan sebagai unsur pendapatan pada distribusi hasil usaha. 4) Beban operasi Beban operasi bank syariah adalah beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah sebagai institusi keuangan syariah dalam melaksanakan operasional harianya. Beban-beban tersebut misalnya beban bonus wadiah, beban penyisihan kerugian aktiva produktif, beban tenaga kerja dan sebagainya. 5) Pendapatan non operasi Pendapatan non operasi merupakan pendapatan bank syariah di luar operasioal perusahaan. Pendapatan non operasi antara lain terdiri dari: a) Keuntungan pelepasan aktiva tetap b) Pendapatan hibah c) Pendapatan lainya 6) Beban non operasi Beban non operasi merupakan beban bank syariah di luar operasional perusahaan. Beban non operasi antara lain terdiri dari:

39

a) Kerugian pelepasan aktiva tetap b) Pendapatan lainya 7) Zakat Pos zakat dalam laporan laba rugi bank syariah merupakan zakat milik pemegang saham yang memberikan kuasa kepada bank syariah untuk memotong zakatnya atas dividen yang diterimanya.

B. Penelitian Terdahulu 1. Arif Wibowo (2007) meneliti tentang pengaruh penyaluran produk

pembiayaan terhadap laba bersih dan Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah di Indonesia dari tahun 2002-2006. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penyaluran produk pembiayaan secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap laba bersih perbankan syariah di Indonesia; Penyaluran produk pembiayaan secara parsial tidak

berpengaruh terhadap laba bersih perbankan syariah di Indonesia; dan variabel mudharabah adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap laba bersih perbankan syariah di Indonesia. 2. Anonim (2009) melaksanakan penelitian dengan judul

permbiayaan murabahah pada bank syariah. Peneliti menyimpulkan bahwa murabahah sejauh ini masih mendominasi portofolio pembiayaan bank syariah. Fakta ini didasarkan pada beberapa faktor, antara lain bahwa murabahah adalah pembiayaan jangka pendek dan relatif mudah jika dibandingkan dengan musyarakah dan mudharabah; mark up yang

40

menjadi ciri khas murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat dipastikan bank syariah mendapat keuntungan yang sebanding dengan keuntungan yang diperoleh bank konvensional; keuntungan murabahah pasti sebab murabahah merupakan natural certainty contracs, tentunya ini berbeda dengan bisnis dengan system profit and loss sharing yang menganut natural uncertainty contracs; dalam murabahah bank syariah sebagai pemberi pembiayaan tidak mencampuri manajemen bisnis sebab hubungan dalam murabahah adalah kreditur dengan debitur. 3. Eva Avriah Kirni (2007) meneliti tentang pengaruh tingkat bagi

hasil, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Non Performing Financing (NPF) terhadap volume pembiayaan mudharabah pada kantor perbankan syariah di Indonesia. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa tingkat bagi hasil Dana Pihak Ketiga (DPK), tingkat bagi hasil, dan Non Performing Financing (NPF) secara bersama-sama berpengaruh terhadap volume pembiayaan mudharabah pada kantor pusat perbankan syariah; Tingkat bagi hasil dan Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh signifikan terhadap perkembangan volume pembiayaan mudharabah pada kantor pusat perbankan syariah; Non Performing Financing (NPF) tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan volume pembiayaan mudharabah pada kantor pusat perbankan syariah; dan Dana Pihak Ketiga berpengaruh paling bersar terhadap volume pembiayaan mudharabah pada kantor pusat perbankan syariah. 4. Mira Meirina (2005) menganalisis tentang perbandingan dan

perkembangan profitabilitas bank konvensional dan bank syariah.

41

Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara profitabiltas bank syariah dengan bank konvensional, dimana Return on Equity (ROE) bank konvensional lebih besar atau kemampuan mengelola modalnya untuk mencapai laba bersih lebih baik daripada bank syariah; Perkembangan profitabilitas bank syariah cenderung meningkat rata-rata sebesar 0,006 selama periode penelitian yaitu selama tahun 2000-2003.

C. Perumusan Model Penelitian dan Perumusan Hipotesis 1. Perumusan Model Penelitian Fungsi utama dari bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan adalah menghimpun dana dan menyalurkannya. Besarnya pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tergantung kepada besarnya dana pihak ketiga dari masyarakat umum dan dana inti (core capital) yang berasal dari pemilik bank (Kirni, 2007:10). Semakin besar jumlah dana pihak ketiga dan dana inti (core capital) yang berhasil dikumpulkan akan semakin besar pula jumlah pembiayaan yang bisa disalurkan. Dalam kaitannya dengan pembiayaan, semua produk

pembiayaan mempunyai kontribusi terhadap pendapatan bank syariah. Termasuk pembiayaan dengan skema bagi hasil seperti musyarakah dan mudharabah, dan pembiayaan dengan skema jual beli seperti murabahah dan istishna, mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan bank syariah. Hanya saja dalam pelaksanaannya tidak semua

42

produk pembiayaan mempunyai proporsi yang cukup besar. Bahkan ada yang relatif kecil untuk pembiayaan tertentu seperti istishna. Namun disisi lain ada juga pembiayaan yang mempunyai proporsi yang relatif besar seperti pembiayaan murabahah. Pada mempunyai bulan Desember pembiayaan 2008 pembiayaan murabahah dengan

proporsi

terbesar

dibandingkan

penyaluran pembiayaan lainya, dengan persentase sebesar 58,87% atau Rp 22,47 triliun. Sedangkan untuk pembiayaan lainnya masih mempunyai proporsi yang jauh lebih kecil dari pembiayaan murabahah. Untuk pembiayaan dengan skema musyarakah pada saat yang sama hanya sebesar 19,4 % atau sebesar Rp 7,41 triliun, pembiayaan dengan skema mudharabah hanya sebesar 16,25 % atau sebesar Rp 6,20 triliun, dan untuk pembiayaan istishna hanya sebesar 0,97% atau sejumlah Rp 368,76 milyar. Sehingga dalam hubungan kausalitas, peningkatan pembiayaan berhubungan secara positif dengan keuntungan yang akan didapat oleh bank syariah. Namun demikian, hubungan tadi hanya bisa terlaksana jika bank syariah mampu menunjukan kualitas penanaman dana yang baik yang akan menghasilkan keuntungan (Muhammad, 2004:117). Keberhasilan bank syariah dalam usaha meningkatkan

produktifitasnya dapat diukur salah satunya dengan kinerjanya yang terefleksi dari keuntungan bersih yang diperolehnya. Muhammad

(2002:245) menjelaskan bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank yaitu return on asset (ROA) dan return on equity

43

(ROE). Hanya saja dalam penelitian ini rasio yang dipakai adalah return on equity (ROE). Penjelasan di atas dapat digambarkan dalam skema perumusan model penelitian sebagai berikut: Musyarakah Produk pembiayaan Mudharabah ROE Murabahah Istishna Gambar 1: Skema Perumusan Model Penelitian

2.

Perumusan Hipotesis Muhammad (2004:117) menjelaskan bahwa kualitas

penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga kinerja bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah akan baik. Segala kualitas penanaman dana yang buruk akan membawa pengaruh menurunya kinerja bank yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah. Sehingga tingkat pengembalian yang optimal akan tercapai jika perbankan syariah mampu melaksanakan kinerja yang berkualitas yaitu dengan melaksanakan penyaluran secara efektif dari dana yang berhasil dihimpun. Dalam perjalanannya, jumlah pembiayaan perbankan syariah dengan skema-skema sebagaimana dijelaskan sebelumnya terus

44

bertambah. Gambaran perkembangan pembiayaan ini dijelaskan dalam laporan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia tentang Statistik Perbankan. Pada bulan Desember 2006 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan sejumlah Rp 20,44 triliun. Dua tahun kemudian pada bulan Desember tahun 2008 perbankan syariah mampu menyalurkan pembiayaan 53,52% lebih tinggi, yaitu sejumlah Rp 38,19 triliun. Namun demikian, sebaran pembiayaan tidak tersebar secara merata. Pada bulan Desember 2008 pembiayaan murabahah mempunyai proporsi pembiayaan terbesar, dengan persentase sebesar 58,87% atau Rp 22,49. Sedangkan untuk pembiayaan lainnya masih mempunyai proporsi yang jauh lebih kecil dari pembiayaan murabahah. Untuk pembiayaan dengan skema musyarakah pada saat yang sama hanya sebesar 19,4 % atau sebesar Rp 7,41 triliun, pembiayaan dengan skema mudharabah hanya sebesar 16,25 % atau sebesar Rp 6,20 triliun,-, dan untuk pembiayaan istishna hanya sebesar 0,97% atau sejumlah Rp 368,76 milyar. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan murabahah mempunyai proporsi yang paling besar. Dengan pengelolaan yang efektif, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad (2004:117), bahwa kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan. Oleh karenanya pembiayaan murabahah berpotensi memberikan proporsi yang besar terhadap tingkat profitabilitas. Perkembangan jumlah pembiayaan perbankan syariah

sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya semakin meningkat dari periode ke periode. Perkembangan jumlah pembiayaan ini mampu meningkatkan keuntungan perbankan syariah. Sebagai gambaran, dengan

45

jumlah pembiayaan sejumlah Rp 20,44 triliun pada bulan Desember 2006 perbankan syariah mampu menghasilkan laba setelah pajak sebesar Rp 355,05 milyar. Pada bulan Desember 2008 laba setelah pajak perbankan syariah meningkat sebesar 20,92% menjadi sebesar Rp 432,56 milyar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan jumlah pembiayaan, baik pembiayaan dengan skema bagi hasil maupun skema jual beli, mempengaruhi tingkat profitabilitas perbankan syariah. Dari uraian di atas peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Pembiayaan musyarakah, mudharabah, murabahah, dan istishna secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia. 2. Pembiayaan musyarakah berpengaruh signifikan terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia. 3. Pembiayaan mudharabah berpengaruh signifikan terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia. 4. Pembiayaan murabahah berpengaruh signifikan terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia. 5. Pembiayaan istishna berpengaruh signifikan terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia. 6. Pembiayaan murabahah mempunyai pengaruh paling besar terhadap return on equity pada perbankan syariah di Indonesia.

46

III. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK ANALISIS DATA A. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan explanatory research (penelitian penjelasan) dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan mengenai pengaruh variabel produk pembiayaan, yaitu: mudharabah, musyarakah, murabahah, dan istishna terhadap return on equity perbankan syariah di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga dikategorikan sebagai development research (penelitian pengembangan) yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk melengkapi pengetahuan yang sudah ada atau diketahui (Supardi, 2005:24). 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Bank Indonesia berupa Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia yang terdiri dari laporan laba rugi dan neraca untuk mengetahui besaran pembiayaan dan return on equity perbankan syariah di Indonesia dan ditunjang dengan studi kepustakaan yang berhubungan dengan topik penelitian dan juga melalui akses internet. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu pengumpulan data yang dibutuhkan dari seluruh populasi yang ada. Populasi dalam penelitian ini adalah produk pembiayaan dan return on equity perbankan syariah di Indonesia, yang

47

meliputi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Umum Syariah (BUS), yang diperoleh dari Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. periode 2004-2008. 4. Data Yang Dibutuhkan

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: a. Volume pembiayaan musyarakah, mudharabah,

murabahah, dan istishna pada perbankan syariah di Indonesia periode 2004-2008. b. Jumlah modal inti dan laba bersih setelah pajak

perbankan syariah di Indonesia setiap bulan dari tahun 2004-2008. 5. Definisi Operasional Variabel a. Pembiayaan musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai sesuai dengan dengan kesepakatan, sedangkan kerugian

ditanggung

porsi dana masing-masing (Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pembiayaan musyarakah perbankan syariah secara bulanan dalam Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. b. Pembiayaan mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang

48

menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pembiayaan mudharabah perbankan syariah secara bulanan dalam Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. c. Pembiayaan murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pembiayaan murabahah perbankan syariah secara bulanan dalam Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. d. Pembiayaan istishna adalah akad pembiayaan barang dalam

bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni) dan penjual atau pembuat (shani) (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008).

49

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pembiayaan istishna perbankan syariah secara bulanan dalam Laporan Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. e. Return on equity merupakan salah satu rasio dalam profitabilitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba dari setiap modal yang ditanamkan pemilik perusahaan. Semakin besar rasio ini mengindikasikan kemampuan modal dalam menghasilkan laba pemegang saham semakin baik. Rasio ini dihitung dengan rumus sebagai berikut (Surat Edaran BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004): ROE: laba setelah pajak rata-rata modal inti Adapun perhitungan laba setelah pajak dan rata-rata modal inti berdasarkan Surat Edaran BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 adalah sebagai berikut: 1) Perhitungan laba setelah pajak dengan cara disetahunkan. Sebagai contoh: perhitungan laba setelah pajak untuk posisi Juni = (akumulasi laba dari Januari sampai Juni / 6) x 12.

2) Perhitungan rata-rata modal inti dihitung dengan cara sebagai berikut. Misalkan untuk rata-rata modal inti bulan Juni, maka

50

perhitungannya adalah dengan menjumlahkan modal inti dari bulan Januari hingga bulan Juni dibagi enam. Rata-rata modal inti bulan Juni = penjumlahan modal inti dari Januari hingga Juni / 6 B. Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik dilakukan sebagai ujian pendahuluan karena dalam penelitian ini digunakan analisis linier berganda. Model analisis ini dipilih karena penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Sebelum dilakukan regresi, model regresi tersebut harus memenuhi beberapa syarat asumsi klasik, yaitu data harus terdistribusi normal, tidak terjadi gejala multikolinearitas,

heteroskedastisitas, dan autokorelasi. a. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan analisis KolmogorovSmirnov dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menghitung nilai Kolmogorov-Smirnov dengan rumus

(Djarwanto, 1999:50): D hitung = Max | Fa(X)-Fe(X)|

51

Keterangan: D hitung Fa(X) Fe(X) normal) 2) Membandingkan nilai D hitung dengan D tabel . : nilai absolut tertinggi Fa(X) dikurangi Fe(X) : frekuensi kumulatif relatif : frekuensi kumulatif teoritis (berdasarkan area kurva

3) Menarik kesimpulan dengan kriteria: Jika D hitung Jika D hitung b. D tabel maka data terdistribusi normal > D tabel maka data tidak terdistribusi normal. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui adanya hubungan linier yang sempurna diantara variabel bebas dalam model regresi. Model regresi yang baik adalah model regresi yang tidak terjadi multikolinearitas. Untuk mengetahui adanya multikolineritas dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengetahui nilai VIF dengan rumus (Chatterjee dan Price, 1991:191): VIF = 1 r 2 y,x r x, y =1

X Y X Yi 2 i

2

X i = X i - X1 Yi = y- Y1

52

Keterangan: VIF r x, y : Variance Inflation Factor : koefisien korelasi parsial variabel bebas ke-i dengan variabel dependen XiX1

: variabel bebas ke-i : nilai rata-rata variabel bebas ke-i : variabel terikat : nilai rata-rata variabel terikat

YY1

2) Melihat nilai VIF dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya. 3) Menarik kesimpulan dengan kriteria: Jika nilai VIF < 10 maka bisa disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas. Sedangkan jika nilai VIF 10 maka dapat disimpulkan terjadi multikolinearitas. c. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain. Diagnosa adanya heteroskedastisitas dalam regresi dugunakan uji Rank Spearman dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menghitung korelasi ranking spearman (r s ) dengan formula (Algifari, 1997:76):

53

rs

d 2i = 1-6 N (N 2 1

Keterangan : di : selisih ranking sandar deviasi dan ranking nilai i mutlak error (e). Nilai e = Y- N : banyaknya sampel dengan t tabel . Nilai t hitung dapat

2) Membangingkan nilai t hitung ditentukan dengan formula: t=rs N 2 1 rs

Dengan degree of freedom (d.f.) = N-2 3) Menarik kesimpulan dengan criteria: Jika nilai t hitung t tabel maka dapat disimpulkan terdapat

heteroskedastisitas pada model regresi. Jika nilai t hitung < t tabel maka dapat disimpulkan tidak terdapat

heteroskedastisitas pada model regresi.

d.

Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah dalam

model regresi linear ada korelasi antara kesalahan penggangu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi digunakan uji Durbin-Watson (D-W) dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:

54

1) Menentukan nilai d-Durbin-Watson dengan formula (Supranto, 2001:270):

d=

(e e e )n i =2 i n i =2 i 1

i 1 2

)2

Keterangan: d ei n : nilai uji statistik d-Durbin-Watson : nilai residual : jumlah sampel

2) Membandingkan nilai d dengan batas bawah nilai statistik d (dL

/tabel statistik d-Durbin-Watson) dan batas atas nilai statistik d(d /tabel statistik d-Durbin-Watson).

u

3) Menarik kesimpulan dengan kriteria: d< d L d>4- d L d u t tabel atau t hitung < - t tabel = H o ditolak atau H a diterima jika - t tabel t hitung t tabel = H o diterima atau H a ditolak

6.

Analisis Koefisien Elastisitas Untuk mengetahui variabel bebas yang memberikan pengaruh

paling besar, digunakan analisa koofisien elastisitas (Pindyck and Rubinfield dalam Suliyanto, 2005:91) E j =bXjj j

Y

60

Keterangan: E b X Yj

: elastisitas produk pembiayaan : koofisien regresi nilai produk pembiayaan : rata-rata nilai produk pembiayaan : rata-rata nilai produk pembiayaan

j

j

j

Perumusan hipotesis: H o : b 3 > b 2 , b 3 , b 4 , artinya pembiayaan murabahah tidak mempunyai pengaruh paling besar terhadap return on equity H a : b 3 < b 2 , b 3 , b 4 , artinya pembiayaan murabahah mempunyai pengaruh paling besar terhadap return on equity Kriteria penilaian: Jika E pembiayaan murabahah > E pembiayaan musyarakah, E pembiayaan mudharabah, E pembiayaan istishna, maka H a diterima. Jika E pembiayaan murabahah < E pembiayaan musyarakah, E pembiayaan mudharabah, E pembiayaan istishna, maka H a ditolak.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Perbankan Syariah di Indonesia

Pada tahun 1998 diberlakukan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-undang No.7 tahun 1992. Dengan adanya Undang-undang tersebut perbankan syariah di Indonesia mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang, menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk

61

membuka kantor cabang yang melaksanakan operasional perbankan berdasarkan prinsip syariah. Jika pada tahun 1992 1998 hanya ada satu bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, maka pada Desember 2008 menjadi sejumlah lima Bank Umum Syariah, dua puluh delapan Unit Usaha Syariah (UUS), dan 128 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor bank, industri perbankan syariah mampu meningkatkan pangsa total aset perbankan syariah dalam industri perbankan nasional dari 1,84% pada akhir tahun 2007 menjadi 2,05% pada akhir 2008. Di sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun 2007 DPK Perbankan Syariah sebesar Rp 25,65 triliun dan meningkat menjadi Rp 36,85 triliun pada akhir tahun 2008. Sementara itu, kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan yang diberikan juga menunjukan peningkatan. Pembiayaan yang diberikan pada akhir tahun 2007 adalah sebesar Rp 20,44 triliun dan meningkat menjadi Rp 38,19 triliun pada akhir tahun 2008. Peningkatan tersebut mampu menaikan pangsa pembiayaan perbankan syariah terhadap total kredit perbankan nasional 2,79% pada akhir tahun 2007 menjadi dari

2,91% pada akhir 2008. Dari segi

profitabilitas, pada tahun 2008 perbankan syariah mampu mencatat tingkat keuntungan sebesar Rp 49,55 triliun meningkat sebesar Rp 16,26 triliun atau 48,84% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2006, secara umum kondisi industri perbankan nasional masih relatif baik. Industri perbankan secara umum memiliki kualitas aset dan tingkat keuntungan yang cukup baik. Pencapaian LDR lebih mendorong perbankan untuk meningkatkan ekspansi penyaluran dana, meskipun dengan tetap

62

memperhatikan prinsip

kehati-hatian, terutama ditunjang dengan penerapan

manajemen risiko bank yang lebih baik. Perkembangan Asset Perkembangan aset perbankan syariah pada kurun waktu tahun 2004 2008 dapat dilihat pada tabel 1. Perkembangan aset perbankan syariah mempunyai kecenderungan yang terus meningkat. Perkembangan ini bisa dilihat pada tabel yang menggambarkan peningkatan jumlah aset dari semester pertama tahun 2004 hingga semester kedua tahun 2008, dimana tidak terjadi penurunan aset sekalipun. Hingga Desember 2008 sebagaimana terlihat dalam tabel, jumlah aset Perbankan Syariah adalah sebesar Rp 49.555.122 juta, lebih besar Rp 34,23 triliun pada bulan yang sama tahun 2004 atau meningkat sebanyak 30,93%. Perkembangan aset dari waktu ke waktu merupakan salah satu indikasi optimalnya kinerja perbankan syariah.

Tabel 1. Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah Tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Aset (juta rupiah) Juni 11.023.317 17.743.050 22.700.820 28.447.352 42.981.116 Desember 15.325.997 20.879.849 25.488.349 36.537.637 49.555.122

63

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Tabel 2 menunjukkan perkembangan dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah pada tahun 2004 2008. Jumlah nominal Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan Syariah semakin meningkat dari periode ke periode. Perkembangan ini bisa dilihat pada tabel dua yang menggambarkan peningkatan jumlah DPK dari semester pertama tahun 2004 hingga semester kedua tahun 2008. Pada periode tersebut bisa diketahui bahwa tidak ada satupun periode dimana jumlah DPK yang lebih rendah dari periode sebelumnya. Pada semester pertama tahun 2004 DPK Perbankan Syariah masih sebesar Rp 8,31 triliun, namun hingga semester kedua tahun 2008 jumlah ini tumbuh sebesar 22,56% menjadi Rp 36,85 triliun. Gambaran pertumbuhan ini merupakan indikasi semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah yang relatif baru ini. Untuk lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat maka perbankan syariah harus terus melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat tentang manfaat yang diperoleh dari jasa perbankan syariah, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan ini terus meningkat. Tabel 2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan Syariah Tahun 2004-2008 Tahun Juni 2004 2005 2006 8.315.850 13.357.524 16.432.728 Jumlah DPK (juta rupiah) Desember 11.862.117 15.582.329 20.672.181

64

2007

22.714.256

28.011.670

2008 33.048.523 36.852.148 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Tabel 3. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Tahun 2004-2008 Tahun Bagi Hasil (juta rupiah) Jual Beli (juta rupiah) Juni 2004 2005 2006 2007 2008 2.403.690 4.532.386 5.659.970 7.976.162 12.634.671 Desember 3.231.939 5.022.148 6.396.951 9.984.272 13.616.177 Juni 5.725.419 9.457.487 12.071.692 14.269.779 20.177.563 Desember 7.953.261 9.768.994 12.961.211 16.903.864 22.854.944

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Selaras dengan perkembangan aset dan DPK, pembiayaan Perbankan Syariah juga mengalami peningkatan yang berkelanjutan. Pada tabel 3 di atas bisa diketahui perkembangan jumlah pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada semester akhir tahun 2008 pembiayaan dengan skema bagi hasil sebesar Rp 13,62 triliun, jauh lebih besar dari pada jumlah pembiayaan dengan skema bagi hasil yang diberikan pada semester pertama tahun 2004 yang hanya sebesar Rp 2,40 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar 17,65%. Pembiayaan dengan skema jual beli juga demikian, bahkan jauh melebihi jumlah pembiayaan dengan skema bagi hasil. pada semester kedua tahun

65

2008 Perbankan Syariah mampu memberikan pembiayaan dengan skema jual beli sejumlah Rp 22,85 triliun, meningkat sebesar 25,05% dari semester pertama tahun 2004 yang hanya sebesar Rp 5,72 riliun. Namun demikian, dalam tinjauan kondisi ideal, kondisi ini belum ideal karena pembiayaan dengan skema jual beli masih mendominasi pembiayaan. Pada semester kedua tahun 2008 pembiayaan yang diberikan dengan skema jual beli adalah sebesar Rp 22,85 triliun dan pembiayaan yang diberikan dengan skema bagi hasil sejumlah Rp 13,61 triliun lebih kecil sebesar 40,42% dari pembiayaan dengan skema jual beli. Oleh karenanya perbankan syariah harus mampu meningkatkan jumlah pembiayaan dengan skema bagi hasil dengan menjalankan strategi manajemen yang efektif agar tercipta kondisi yang ideal.

B. a.

Hasil Analisis dan Pembahasan

Uji Normalitas

Tabel 4. Uji NormalitasOne-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardiz ed Residual 60 ,0000000 9,38035238 ,121 ,121 -,053 ,936 ,345

N a,b Normal Parameters Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

66

Dari hasil perhitungan Kolmogorov-Semirnov di atas diketahui bahwa nilai asympotic significant (two tailed) sebesar 0,345 . Nilai ini lebih besar dari = 0,05, sehingga bisa disimpulkan bahwa residual terdistribusi secara normal. b. Uji Multikolinearitas Dari hasil pengujian SPSS, nilai tolerance dan lawanya yaitu Variance Inflation Factor (VIF) dapat diketahui pada tabel. Masing-masing nilainya adalah sebagai berikut: Tabel 5. Nilai tolerance dan Lawanya yaitu Variance Inflation Factor (VIF) Dalam Uji Multikolinearitas tahap 1 Variabel Independen Tolerance VIF Musyarakah 0,041 24,189 Mudharabah 0,029 34,349 Murabahah 0,014 72,697 Istishna 0,227 4,405 Dari tabel terlihat bahwa nilai Tolerance

untuk variabel

musyarakah, mudharabah, dan murabahah kurang dari 0,1. Hanya nilai Tolerance variabel istishna yang bernilai lebih dari 0,1. Begitu juga dengan perhitungan VIF, hanya variabel istishna yang bernilai kurang dari 10, sedangkan variabel independen lainya bernilai lebih dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi. Gujarati (1999;170) menjelaskan bahwa satu alasan untuk multikolinearitas yang tinggi antar variabel adalah bahwa dengan berjalanya waktu variabel-variabel independen cenderung bergerak dalam

67

arah yang sama. Cara mengatasi masalah ini adalah dengan metode transformasi variabel first different (Gujarati, 1999:170). Hasil transformasi variabel first different dapat dilihat pada lampiran 10. Setelah variabel ditransformasi kemudian diuji

multikolinearitas ulang. Hasil Uji multikolinearitas tahap 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Nilai tolerance dan Lawanya yaitu Variance Inflation Factor (VIF) Dalam Uji Multikolinearitas tahap 2 Variabel Independen Tolerance VIF Musyarakah 0,801 1,248 Mudharabah 0,742 1,348 Murabahah 0,656 1,524 Istishna 0,971 1,029 Sumber: Hasil olahan data uji multikolinearitas Dari tabel terlihat bahwa nilai Tolerance untuk semua variabel bebas tidak kurang dari 0,1. Begitu juga dengan perhitungan VIF, semua variabel bebas bernilai tidak kurang dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi. c. Uji Autokorelasi Berdasarkan perhitungan SPSS diketahui nilai DW sebesar 2,444. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan menggunakan signifikansi 5%, jumlah sampel (N=60) dan jumlah varibel independen (k=4), didapatkan nilai DW tabel dengan dl = 1,283 dan du = 1,558. Sedangkan 4 - dU = 4 1,558= 2,442, dan 4 dL = 4 1,283 = 2,717. Karena DW berada diantara 4-du dan 4-dl maka tidak dapat disimpulkan terdapat otokorelasi atau tidak terdapat otokorelasi, sehingga penelitian dapat

68

diteruskan dan tidak melanggar asumsi autokorelasi dan pengujiannya tidak terganggu (Ghozali, 2009). d. Uji Heteroskedastisitas Dari hasil uji Glejser dapat diketahui bahwa tidak semua variabel mempunyai signifikansi di atas 5%, yaitu variabel mudharabah, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi mengandung heteroskedastisitas.

Tabel 7. Hasil Uji Heteroskedastisitas Tahap 1a Coefficients

Model 1

Unstandardized Coefficients B Std. Error (Constant) 8,884 1,409 Musyarakah 3,34E-006 ,000 Mudharabah -2,2E-005 ,000 Murabahah -5,4E-006 ,000 Istishna -9,9E-006 ,000

Standardized Coefficients Beta ,058 -,294 -,239 -,023

t 6,303 ,425 -2,080 -1,587 -,189

Sig. ,000 ,673 ,042 ,118 ,851

a. Dependent Variable: Abres

Cara

yang

digunakan

untuk

mengatasi

masalah

heteroskedastisitas ini adalah dengan menggunakan transformasi logaritma natural (Gujarati, 1999:193). Hasil transformasi logaritma natural dapat dilihat pada lampiran 9. Setelah ditransformasikan kemudian data diuji heteroskedastisitas ulang. Hasil perhitungan uji heteroskedastisitas tahap 2 adalah sebagai berikut:

69

Tabel 8. Hasil Uji Heteroskedastisitas Tahap 2a Coefficients

Model 1

(Constant) Musyarakah Mudharabah Murabahah Istishna

Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,104 1,624 ,007 ,042 -,090 ,052 -,017 ,065 -,057 ,129

Standardized Coefficients Beta ,023 -,246 -,038 -,059

t 1,296 ,166 -1,750 -,268 -,442

Sig. ,201 ,869 ,086 ,789 ,660

a. Dependent Variable: Abres2

Dari hasil uji heteroskedastisitas tahap 2 di atas dapat diketahui bahwa semua variabel mempunyai signifikansi di atas 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengandung heteroskedastisitas.

e.

Hasil Persamaan Regresi Linier Berganda Dengan menggunakan metode regresi berganda dan pengolahan

dibantu dengan SPSS 16.0 for Windows sebagai berikut:

memberikan hasil perhitungan

Tabel 9. Hasil Persamaan Regresi Linier Bergandaa C o e f fic ie n t s

U n s ta n d a rd iz e d S ta n d a rd iz e d C o e ffic ie n ts C o e ffic ie n ts M odel B S td . E r r o r B e ta 1 ( C o n s ta n t) 2 ,5 7 4 2 ,1 9 1 M usyarakah -,1 3 5 ,0 5 6 - ,2 6 3 M u d h a ra b a h ,3 2 7 ,0 7 0 ,5 2 7 M u ra b a h a h -,2 9 9 ,0 8 8 - ,3 8 5 Is tis h n a ,2 1 9 ,1 7 5 ,1 3 4 a . D e p e n d e n t V a r ia b le : R O E

t 1 ,1 7 5 - 2 ,4 0 6 4 ,6 9 7 - 3 ,4 0 4 1 ,2 5 6

C o llin e a rity S ig . T o le r a n c e ,2 4 5 ,0 2 0 ,9 1 5 ,0 0 0 ,8 6 8 ,0 0 1 ,8 5 7 ,2 1 4 ,9 5 7

S ta tis tic s V IF 1 ,0 9 2 1 ,1 5 1 1 ,1 6 6 1 ,0 4 5

Dari ke empat variabel independen yang dimasukan kedalam model regresi, hanya variabel istishna yang tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas signifikansi untuk istishna sebesar 0,214 yang bernilai di atas

70

0,05. Sedangkan musyarakah, mudharabah, dan murabahah signifikan pada 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel perubahah ROE dipengaruhi oleh perubahahan musyarakah, perubahahan mudharabah, dan perubahahan murabahah dengan persamaan matematis sebagai berikut: Ln Y=2,574-0,135 Ln X1+ 0,327 Ln X2-0,299 Ln X3 + 0,219 Ln

X4Keterangan: Ln Y Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4 : Perubahan Return on Equity (ROE) : Perubahan Musyarakah : Perubahan Mudharabah : Perubahan Murabahah : Perubahan Istishna

Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut: 1. Konstanta 2,574 menyatakan bahwa jika variabel bebas dianggap konstan, maka rata-rata peningkatan ROE perbankan syariah sebesar 2,574%. 2. Koefisien regresi musyarakah sebesar -0,135 menyatakan bahwa setiap pertumbuhan pembiayaan musyarakah sebesar 1%, maka peningkatan ROE akan berkurang sebesar 0,135%. 3. Koefisien regresi mudharabah sebesar 0,327 menyatakan bahwa setiap pertumbuhan pembiayaan mudharabah sebesar 1%, maka ROE akan meningkat sebesar 0,327%.

71

4. Koefisien regresi murabahah sebesar -0,299 menyatakan bahwa setiap pertumbuhan pembiayaan murabahah sebesar 1%, maka peningkatan ROE akan berkurang sebesar 0,299%. f. Koefisien Determinasi

Tabel 10. Hasil Perhitungan Koefisien Determinasib Model Summary

Model 1

R R Square ,639 a ,408

Adjusted R Square ,365

Std. Error of the Estimate ,25356

DurbinWatson 2,444

a. Predictors: (Constant), Istishna, Murabahah, Musyarakah, Mudharabah b. Dependent Variable: ROE

Berdasar hasil perhitungan regresi linear berganda diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,408. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat dapat dijelaskan dengan model regresi sebesar 40,8%, sedangkan sisanya yaitu 59,2% dijelaskan oleh variabel lain selain variabel yang digunakan pada penelitian ini. g. 1. Pengujian Hipotesis Uji Hipotesis Pertama Uji pengaruh simultan digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama atau simultan mempengaruhi variabel independen. Tabel 11. Hasil Uji F

72

b A N O VA

Su m o f M odel S q u a re s 1 R e g re ssio n 2 ,3 9 8 R e sid u a l 3 ,4 7 2 T o ta l 5 ,8 6 9 b . D e p e n d e n t Va ria b le : R O E

df 4 54 58

M e a n Sq u a re ,5 9 9 ,0 6 4

F 9 ,3 2 3

Sig . ,0 0 0a

a . Pre d icto rs: (C o n sta n t), Istish n a , M u ra b a h a h , M u sya ra ka h , M u d h a ra b a h

Berdasarkan hasil perhitungan ANOVA atau F test SPSS 16,0 di atas diperoleh nilai F test sebesar 57,978 dan signifikan pada 0,000, sedangkan untuk alpha 0,05 dan derajat kebebasan (k-1), (n-k) sebesar (5-1), (60-5) diperoleh F tabel sebesar 2,54. Sehingga F hitung 9,323 > F tabel 2,54 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti variabel bebas musyarakah, mudharabah, murabahah, dan istishna secara simultan mempengaruhi variabel ROE. 2. a) Uji Hipotesis Kedua Musyarakah Besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel musyarakah adalah -0,135 dan nilai sig. = 0,02 dan t hitung = -2,406. Pada tingkat signifikansi 0,05 maka koefisien tersebut signifikan karena p = 0,02t tabel 2,01 yang berarti signifikan. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas maka dapat disimpulkan musyarakah berpengaruh signifikan terhadap ROE perbankan syariah di Indonesia. b) Mudharabah

73

Besarnya

nilai

koefisien

regresi

untuk

variabel

mudharabah adalah 0,327 dan nilai sig. = 0,001 dan t hitung = 4,697. Pada tingkat signifikansi 0,05 maka koefisien tersebut signifikan karena p = 0,000t tabel 2,01 yang berarti signifikan. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas maka dapat disimpulkan mudharabah berpengaruh signifikan terhadap ROE perbankan syariah di Indonesia. c) Besarnya nilai Murabahah koefisien regresi untuk variabel

murabahah adalah - 0,299 dan nilai sig. = 0,000 dan t hitung = -3,404. Pada tingkat signifikansi 0,05 maka koefisien tersebut signifikan karena p = 0,001t tabel 2,01 yang berarti signifikan. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas maka dapat disimpulkan murabahah berpengaruh signifikan terhadap ROE perbankan syariah di Indonesia.

d)

Istishna Besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel istishna

adalah 0,219 dan nilai sig. = 0,214 dan t hitung = 1,256. Pada tingkat signifikansi 0,05 maka koefisien tersebut tidak signifikan karena p = 0,214>0,05, dan t hitung 1,256