Upload
opick-gamalama
View
189
Download
35
Embed Size (px)
Citation preview
i
GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN, DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)
SKRIPSI TIPE I
Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Oleh : Sofyan Samsudin
08. 10.0520
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)
SKRIPSI TIPE I
Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)
SKRIPSI TIPE I
Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
perna diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetathuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
perna ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka ini.
Yogyakarta, 2015
Sofyan Samsudin
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk kedua Orang Tua dan Kaka saya; terimakasih atas dukungan moril maupun do’a
selama ini.
Untuk teman-teman saya; semoga perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak sia-sia dan semoga
kita semua menjadi generasi penerus bangsa yang takwa terhadap Tuhan YME, mencintai Negeri ini, serta selalu bersatu dalam setiap kesusahan
maupun kesenangan. Amin
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kemudahan dan kelancaran sehingga
dapat menyelesaikan Skripsi Tipe I dengan judul Geologi dan Petrologi Batuan
Gunung api Daerah Melikan Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul
Daerah Istimewa Yogyakarta ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan dan penyelesaian laporan Skripsi Tipe I ini tidak akan
dapat penulis selesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Samsudin Hi Rauf (ayah), Munira Gandahur (Ibu), Nurjana Buamona
(kaka), Amirudin Buamona (kaka) dan Jubaida Buamona (kaka)
Tidak ada kata-kata selain ucapan terima kasih untuk cinta, perhatian,
doa, pengorbanan, nasehat, dukungan dan semua yang telah diberikan
buat saya selama ini. Terima kasih karena telah hadir bersama saya
baik disaat susah maupun senang, Semangat dan dorongan yang
kalian berikan sungguh menjadi cambuk buat saya.
2. Ibu Dr. Sri Mulyaningsih, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing I dan
selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi. serta sebagai orang tua saya
selama di kampus IST Akprind yang telah memberikan motifasi,
bimbingan dan ilmu kegunungapian, selama kuliah sampai sekarang
menempuh skripsi.
3. Bapak Arie Noor Rakhman, S .T., M. T. Selaku dosen pembimbing II
yang telah membimbin, dan memberikan semangat selama di
perkuliahan, seminar dan sampai sekarang menempuh skripsi
4. Sahabat pemetaan Zona Pegunungan Selatan Stiwinder, Inonk, Erwin,
Karam, adik Yoli, Nur Aisah, Jose, Roby, dan teman teman Zona
Kendeng Bill, Yorim, Carla, Kristo, Fali, Didik dan teman-teman
seperjuangan 08 Teknik Geologi IST AKPRIND, dan semua pihak
vii
yang tidak dapat disebutkan semuanya yang selalu bersedia
membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan tugas
akhir ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala kritik , saran dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan tugas akhir ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 2015
Sofyan Samsudin
viii
INTISARI
Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada koordinat 07°50’00” LS - 07°55’300” LS dan 110°40’00” BT - 110°45’00” BT. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan geologi daerah penelitian, yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur, sejarah geologi, dan geologi lingkungannya, serta petrologi batuan gunung api yang berada pada daerah tersebut.
Metode yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir adalah dengan pemetaan geologi permukaan yang meliputi beberapa tahapan, antara lain tahap persiapan, tahap pemetaan geologi permukaan, tahap analisis laboratorium, dan tahap penyusunan laporan.
Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi enam subsatuan geomorfologi, yaitu: subsatuan geomorfologi dataran aluvial, tubuh sungai, perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2), perbukitan bergelombang sedang- kuat (D3) dan perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4). Pola pengaliran berupa subdendritik, denritik, multibasinal, serta kontorted, dengan stadia daerah dewasa. Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari enam satuan batuan dari yang tua sampai muda adalah satuan breksi pumis, satuan tuff, satuan breksi polimik,breksi andesit, satuan batugamping, dan satuan endapan aluvial. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan kekar. Di daerah penelitian terdapat terdapat sesar mendatar kiri bending, dengan arah timur barat. Sesumber geologi daerah penelitian berupa air, lahan, bahan galian (breksi pumis dan tuf dan batugamping). Bahaya geologi berupa banjir, dan tanah longsor. Hasil identifikasi morfologi, stratigrafi, serta struktur geologi membuktikan bahwa daerah penelitian merupakan daerah busur kepulauan gunung api pada masa lampau. Kegiatan vulkanisme dimulai dari fase pembentukan tubuh komposit (konstruktif) yang penyusunnya berupa lava andesit-basaltis - lava andesit-dasitis serta material piroklastik dan koloni gamping yang hidup di sekitar lereng gunung api pada saat itu. setelah itu mengalami fase penghancuran tubuh (destruktif) menghasilkan breksi polimik (campuran fragmen batuan sebelumnya), tuf, serta breksi pumis. Selanjutnya kontrol eksogen seperti pelapukan dan erosi berperan dan menghasilkan bentang alam seperti yang terlihat saat ini.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iii
PRAKATA .......................................................................................................... vi
INTISARI ............................................................................................................ .vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
I.1. Latar belakang......................................................................................... 1
I.2. Maksud dan tujuan .................................................................................. 1
I.3. Letak, luas dan kesampaian daerah ......................................................... 2
I.4. Permasalahan ........................................................................................... 4
I.4.1 Pemetaan geologi ........................................................................... 4
I.4.2 Analisis batuan gunung api ............................................................ 5
I.5. Metode penelitian .................................................................................... 5
I.5.1 Tahap persiapan ............................................................................. 5
I.5.2 Penilitian lapangan ......................................................................... 6
I.5.3 Analisis laboratorium dan studio ................................................... 9
I.5.4 Pembuatan peta dan laporan .......................................................... 9
I.6. Alat dan bahan ....................................................................................... 10
I.7. Penelitian terdahulu ............................................................................... 11
x
BAB II. GEOMORFOLOGI .............................................................................. 13
II.1 Geomorfologi Regional ...................................................................... 13
II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian ........................................................ 15
II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial .................................. 17
II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai ..................................... 18
II.2.3 . Satuan geomorfik asal denudasional (D2) ............................... 19
II.2.4 Satuan geomorfik asal denudasional (D3)……………………..20
II.2.5 Satuan geomorfik asal denudasional (D4) ............................... 21
II.3. Pola pengaliran sungai ........................................................................ 22
II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian ..................................................... 25
II.4. Stadia daerah penelitian ...................................................................... 28
BAB III. STRATIGRAFI ................................................................................... 31
III.1. Stratigrafi Regional ............................................................................ 31
III.1.1. Batuan metamorf ..................................................................... 31
III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping .................................................... 32
III.1.3. Formasi Kebo-Butak ............................................................... 32
III.1.4. Formasi Semilir ....................................................................... 32
III.1.5. Formasi Nglanggran ................................................................ 33
III.1.6. Formasi Mambipitu ................................................................. 33
III.1.7. Formasi Oyo ............................................................................ 34
III.1.8. Formasi Wonosari .................................................................. 35
III.1.9. Formasi Kpek .......................................................................... 35
III.1.10. Endapan Aluvium ................................................................. 35
III.2 Stratigrafi daerah penelitian ................................................................ 37
III.2.1. Satuan breksi pumis ................................................................... 40
III.2.1.1. Dasar penamaan ................................................................... 40
xi
III.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan .................................................... 40
III.2.1.3. Ciri litologi ........................................................................... 41
III.2.1.4. Umur dan hubungan stratigrafi ............................................ 42
III.2.2. Satuan tuf .................................................................................. 42
III.2.2.1 Dasar penamaan .................................................................... 42
III.2.2.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 43
III.2.2.3 Ciri litologi ............................................................................ 43
III.2.2.4 Umur dan hubungan stratigrafi ............................................. 44
III.2.3 Satuan breksi polimik .................................................................. 45
III.2.3.1 Dasar penamaan .................................................................... 45
III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 45
III.2.3.3 Ciri Litologi ........................................................................... 45
III.2.3.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 46
III.2.4 Satuan Breksi Andesit ................................................................. 46
III.2.4.1 Dasar penamaan .................................................................... 46
III.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 47
III.2.4.3 Ciri Litologi ........................................................................... 47
III.2.4.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 48
III.2.5 Satuan Batugampig klastik .......................................................... 48
III.2.5.1 Dasar Penamaan .................................................................... 48
III.2.5.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 49
III.2.5.3 Ciri Litologi ........................................................................... 49
III.2.5.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 50
III.2.6 Endapan Aluvial ......................................................................... 51
III.2.6.1 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 51
III.2.6.2 Ciri Litologi ........................................................................... 51
xii
III.2.6.3 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 52
BAB. IV STRUKTUR GEOLOGI..................................................................... 53
IV.1 Struktur Geologi Regional.................................................................. 53
IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian .................................................. 56
IV.2.1. Struktur kekar.......................................................................... 56
IV.2.2. Struktur sesar ........................................................................... 57
IV.2.2.1 Sesar mendatar kiri Bendung ............................................ 58
IV. 2.3. Struktur antiklin Ngampon ...................................................... 59
IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi Daerah Penelitian ................ 59
BAB V. SEJARAH GEOLOGI .......................................................................... 61
V.I Sejarah Geologi Daerah Penelitian ....................................................... 61
V.I.1. Kala Miosen Awal – Miosen Akhir ....................................... 61
V.I.2 Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir ....................................... 63
V.I.3. Kala Pliosen Akhir ................................................................. 63
BAB VI. GEOLOGI LINGKUNGAN ............................................................... 65
VI.1. Potensi Sumber Daya Alam .............................................................. 65
VI.1.1. Air ....................................................................................... 65
VI.1.2. Bahan galian......................................................................... 66
VI.1.2.1. Breksi pumis dan tuf .................................................. 67
VI.1.2.1. Batugamping ............................................................. 68
VI.1.3. Sumber daya lahan ............................................................... 68
VI.2 Bencana Alam .................................................................................... 70
BAB VII. PETROLOGI BATUAN GUNUNG API…………………………..71
VII.1 Latar Belakang .................................................................................. 71
VII.2 Dasar Teori ........................................................................................ 73
VII.2.1 Pengertian gunung api ........................................................... 73
xiii
VII.2.2 Volkanisme dan batuan gunung api ...................................... 74
VII.2.2.1 Lava koheren ............................................................... .76
VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api.......................................... .77
VII.2.2.3 Jenis endapan piroklastik................. ………………....82
VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan stratigrafi gunung api.........................................………………...83
VII.3 Metode Pendekatan ......................................................................... .85
VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api ......................................................... .86
VII.4.1 Analisis profil dan litofasies pada LP 44 .............................. 87
VII.4.1.1 Analisis profil satuan breksi polimik ........................... 87
VII.4.1.2 Breksi pumis ................................................................ 88
VII.4.1.3 Tuf kasar ...................................................................... 90
VII.4.1.4 Tuf halus ...................................................................... 93
VII.4.1.5 Breksi polimik .............................................................. 94
VII.4.1.6 Mekanisme pengendapan ............................................. 97
VII.4.2 Analisis profil dan litofasies pada LP 62 .............................. 99
VII.4.2.1 Analisis profil .............................................................. 99
VII.4.2.2 Breksi pumis…………………………………………101
VII.4.2.3 Tuf lapilli…………………………………………….103
VII.4.2.4 Tuf halus……………………………………………..105
VII.4.2.4 Mekanisme pengendapan…………………..………..107
VII.4.3 Analisis profil dan litofasies pada LP 35………………….108
VII.4.3.1 Analisis profil………………………………………..108
VII.4.3.2 Tuf halus……………………………………………..110
VII.4.3.3 Tuf kasar……………………………………………..111
VII.4.3.4 Breksi pumis…………………………………………113
xiv
VII.4.3.4 Mekanisme pengendapan……………………………116
BAB VIII. KESIMPULAN …………………………………………………...118
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ANALISIS PETROGRAFI
ANALISIS PALEONTOLOGI
LAMPIRAN LEPAS
PETA LINTASAN
PETA GEOLOGI
PETA GEOMORFOLOGI
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna hitam adalah daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013) ................................................. 4
Gambar 1.2. Peta topografi daerah penelitian (Modifikasi dari peta
RBI,2014) .................................................................................... 6 Gambar 1.3. Bagian alir penelitian (Penulis 2013) .......................................... 11 Gambar 2.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur
(Bemmelen, 1949) ....................................................................... 15 Gamba2.2. Subsatuan gemorfik dataran aluvial, foto di ambil pada desa
Watusigar 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan ensah kamera menghadap ke Tenggara (foto penulis 2013) .... 18
Gambar 2.3. Morfologi tubuh sungai dengan pola tapal kuda (meander)
garis hijau menunjukan arah aliran berkelok-kelok sebagai pencirisungai tapal kuda Foto berada pada kali Oyo dusun Radusari dengan kondisi cuaca cerah dan lensa kamera menghadap ke timur laut (foto penulis 2013) .......................... 19
Gambar 2.4. Perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2) foto di ambil pada
desa Bulurejo dengan arah kamera menghadap ke ketenggara .. 20 Gambar 2.5. Perbukitan bergelombang sedang-kuat, terdiri dari litologi
batugambing klastik dan tuf (D3) foto di ambil pada desa Tapansari cuaca cerah, dan arah lensa kamera menghadap ke selatan (foto penulis 2013) .......................................................... 21
Gambar 2.6. Perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4) tersusun dari
litologi tuf dan napal,foto di ambil pada dusun Bendungan, dengan cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke Timurlaut (foto penulis 2013) ..................................................... 22
Gambar 2.7. Klasifikasi pola aliran (Howard, 1967). ................................... 23 Gambar 2.8. Kenampakan pola aliran pada daerah penelitian (penulis,
2013) .......................................................................................... 27
xvi
Gambar 2.9. Sungai dengan stadia muda, dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang “V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa menghadap ke selatan. (foto penulis, 2013). ........................................................................... 28
gambar 2.10. Penampang sungai stadia dewasa. Pola lembah huruf “U”
pada kali Oyo lensah kamera menghadap ke barat laut. (foto penulis, 2013) ............................................................................ 29
Gambar 3.1. Stratigrafi Pegunungan selatan menurut Surono, dkk., (1992).. 36 Gambar 3.2. Letak formasi di daerah penelitian dan posisi litostratigrafi
berdasarkan peta regional Surakarta-Giritontro oleh Surono, dkk (1992) ................................................................................. 37
Gambar 3.3. Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013) ............................ 39
Gambar 3.4. Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi
pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-dayat. (foto penulis, 2013). ...................... 41
Gambar 3.5. Ciri fisik Breksi Pumis di lapangan pada LP 42 di dusun jeruken (foto penulis, 2013) ...................................................... 42
Gambar 3.6. Tuf dengan struktur berlapis, Foto diambil pada LP 33 dengan
arah lensah kamera mnghadap ke barat. (foto penulis, 2013) .. 44 Gambar 3.7. Satuan breksi polimik dan hubungannya di lapangan dengan
anggota litologi yang lainnya. Foto diambil pada LP 44 dengan arah kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) 46
Gambar 3.8. Foto Inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh
singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013. (foto penulis, 2013).......................... 48
xvii
Gambar 3.9. Kenampakan kontak di lapangan antara satuan Tuf dan satuan Batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono (foto penulis, 2013 ............. 49
Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi
Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan soil berada di atas dengan kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013) ............ 50
Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword, dkk
(1966) dan Ingle (1980) ............................................................. 51 Gambar 3.12. Endapan Aluvial. Foto diambil pada LP 132. dengan arah
kamera menghadap ke tenggara, foto penulis, 2013) ................ 52 Gambar 3.13. Satuan endapan Aluvial pada LP 131 timurlaut, besar terdiri
dari atas pasir, kerikil. Bongkah dan lempung (foto penulis, 2013) ......................................................................................... 52
Gambar 4.1. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya
(modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007) ...................................................................... 53
Gambar 4.2. Pola struktur geologi regional daerah penelitian (Surono, dkk.,
1992) .......................................................................................... 55 Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada satuan breksi pumis.
Foto diambil Pada LP 103, di Desa Bendung, lensa kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) ................................. 56
Gambar 4.4. Sesar mendatar kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf,
pada satuan tuf di temukan bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri, arah lensah kamera menghadap ke barat laut (penulis,2013) ..... 58
Gambar 4.5. Antiklin Ngampon pada singkapan tuf, di satuan tuf, di
dapatkan antiklin dengan arah umum barat-timur di interprestasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi di daerah penelitian dikarenakan adanya proses kompresi, lensa kamera menghadap barat (foto penulis 2013) 59
xviii
Gambar 4.6. Pola struktur pada daerah vulkanik beserta struktur penyertanya (Penulis 2013) ...................................................... 57
Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi,
magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen Tengah Terjadi ledakan sangat eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen Akhir fase tektonik berupa pengangkatan. .................................................. 64
Gambar 6.1. Kali Oyo sebagai salah satu sumber daya air daerah penelitian.
Kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) .................... 66 Gambar 6.2. Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada
LP 45 (foto penulis 2013) ......................................................... 67 Gambar 6.3. Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada
LP 35 (foto penulis 2013) ......................................................... 67 Gambar 6.4. Penambangan batugamping yang dilakukan oleh warga
setempat. Lensa kamera menghadap ke Barat-daya (foto penulis, 2013) ........................................................................... 68
Gambar 6.5. Perkebunan kayu putih pada geomorfik bergelombang sedang
di desa Kedongdowo kecamatan Karangmojo, di bagian barat daya daerah penelitian (foto penulis 2013) ............................... 69
Gambar 6.6. Daerah persawaan yang berada di dataran renda (alluvial), di
desa Randusari, kecamatan Ngawen berada di bagian tengah daerah penelitian (foto penulis 2013) ....................................... 69
Gambar 6.7. Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto
menghadap ke tenggara (foto penulis 2013) ............................. 70 Gambar 7.1. Peta Geologi Regional daerah penelitian. ( modifikasi dari
Surono,dkk., 1992) ................................................................... 72 Gambar 7.2. (a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya
yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam Bronto,2009) ............................................................................. 81
xix
Gambar 7.3. Skema penampang kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C. Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003) ................................................................. 81
Gambar 7.4. Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and
Hazlet,2010) ............................................................................. 82 Gambar 7.5. Jenis-jenis endapan piroklastik (Colin and Bruce, 2000) ......... 83 Gambar 7.6. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies
poksimal, fasies medial dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusun nya Bogie & Mackenzie, 1998) ..................... 85
Gambar 7.7. Foto singkapan Breksi Polimik pada LP 44 cuaca cerah dan
arah kamera menghadap ke barat (foto penulis 2013) .............. 88 Gambar 7.8. Kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan
didominasi oleh pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto (foto penulis 2013) ................... 89
Gambar 7.9. Singkapan tuf kasar dengan struktur berlapis di LP 44 (foto
penulis 2013) ............................................................................. 91 Gambar 7.10. Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44
(foto penulis 2013)..................................................................... 93 Gambar 7.11. Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44.
Fragmen batuan di dominasi oleh batuan beku berupa andesit dan basalt, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensa kamera menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013). ........................... 95
Gambar 7.12. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis
perlapisan pada LP 44, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) .......................................................................................... 99
xx
Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93 E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013) ......... 100
Gambar 7.14. Foto singkapan breksi pumis pada LP 62, di mana fragmen
batuan didominasi oleh pumis, (foto penulis 2013) .................. 101
Gambar 7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada
di LP 62, Desa Kepek, kecamatan Semin (foto penulis 2013). . 103 Gambar 7.16. Singkapan tuf halus pada LP 62 (foto penulis, 2013) ................ 106 Gambar 7.17. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adadlah jenis
perlapisan pada LP 62, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) .......................................................................................... 108
Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun
Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013). ....................... 109
Gambar 7.19. Kenampakan megaskopis tuf halus. Foto diambil pada LP 35
(foto penulis, 2013).................................................................... 110 Gambar 7.20. Kenampakan megaskopis tuf kasar dengan struktur berlapis
pada LP 35, Desa Sorodadi, Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubang-lubang, foto penulis (2013) ........................................................ 112
Gambar 7.21. Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang
didominan, pada LP 35, cuaca cerah, (foto penulis, 2013) ...... 114
xxi
Gambar 7.19. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah
adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984) ................................................................ 103
xxii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983) ..................................................... 16
Tabel 7.1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984) ................................................. 80
Tabel 7.2. Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala) .................................. 87
Tabel 7.3. Kolom Profil LP 62 Desa Semin (tanpa skala) .................................. 100
Tabel 7.4. Kolom profil LP 35 (tanpa skala) ....................................................... 109
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran Terikat
Lampiran I : Analisis Petrografi
Lampiran II : Analisis Paleontologi
B. Lampiran Lepas
Peta Lintasan
Peta Geomorfologi
Peta Geologi
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan gunungapi, namun ternyata
ilmu tentang gunungapi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-
negara lain yang bahkan tidak memiliki gunung api sekalipun.
Kutipan di atas merupakan pemikiran awal yang melatar belakangi penulis
untuk mengambil judul “Geologi dan Petrologi Batuan Gunung api ” dimana
yang penulis akan pelajari batuan gunung api tapi bukanlah gunung api yang
muda seperti kutipan di atas, melainkan gunungapi yang berumur Tersier (purba)
dan telah tererosi lanjut dan kemungkinan besar bentang alamnya tidak kelihatan
lagi seperti gunung api masa sekarang, bahkan litologi maupun strukturnya
mungkin tidak “insitu” dan beraturan lagi seperti keadaan semula.
Namun dengan adanya literatur yang cukup mendukung penulis, dan
keinginan tahuan yang tinggi dari yang belum penulis ketahui, walaupun dengan
bekal “ the present is the key to the past” penulis memberanikan diri untuk
mengambil judul ini.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari pemetaan geologi di daerah Melikan dan sekitarnya,Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta, adalah untuk memenuhi persyaratan
kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
2
Tujuan pemetaan geologi ini adalah untuk mengetahui dan memetakan
daerah penelitian, sehingga diperoleh data geologi yang meliputi geomorfologi,
stratigrafi, struktur geologi, geologi lingkungan, dan memberikan informasi
tentang keadaan geologi khususnya petrologi batuan gunung api di daerah
tersebut.
I.3 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah
Lokasi daerah penelitian kurang lebih 65 kilometer dari Kota Yogyakarta
(Gambar 1.1), secara administrasi daerah penelitian berlokasi di beberapa desa,
antara lain Desa Bendung, Desa Kalitekuk, Desa Watusigar Desa Jatiayu dan
Desa Melikan. Selain itu, daerah penelitian termasuk dalam empat kecamatan,
yakni Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin. Kecamatan Krangmojo dan
Kecamatan Ponjong Yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Secara geografi daerah penelitian terletak pada koordinat
07 50 00 - 07 55 00 LS dan 110 40 00 - 110 45 00 BT Luas daerah penelitian
adalah 9 x 9 km atau jika di bentangkan memanjang sama dengan 81 km2. Skala
yang digunakan yaitu skala semi detail dengan besaran 1:25.000 yang artinya 1
cm di peta topografi sama dengan 250 meter di lapangan.
Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Digital skala
1: 25.000 Lembar 1408-314 Cawas dan Lembar 1408-312 Karangmojo. Batas
administratif daerah penelitian, daerah utara berbatasan dengan Kecamatan Bayat
Kabupaten Klaten, daerah selatan berbatasan dengan Desa Umbulrejo Kecamatan
Ponjong, barat berbatasan dengan Kecamatan Nglipar, dan bagian Timur
berbatasan dengan Kecamatan Manyaran.
3
Akses jalan menuju lokasi penelitian dari Kota Yogyakarta relatif mudah
diakses, karena untuk menuju ke daerah penelitian dapat ditempuh dengan
mengunakan sepeda motor, mobil serta bus. Perjalanan dari Yogyakarta ke daerah
penelitian kurang lebih 1,5 jam, melalui jalan Jogja - Wonosari, kemudian sampai
di persimpangan arah ke Nglipar, kearah timur hingga sampai di Kecamatan
Semin, atau dapat juga melalui jalan lain yaitu dari Yogyakarta, ke arah jalan Solo
- Klaten, Setelah sampai di daerah Srowot kemudian menuju Kecamatan Wedi –
Kecamatan Bayat dan dilanjutkan kearah selatan menuju Kecamatan Ngawen dan
dilanjutkan ke timur menuju Kecamatan Semin. Namun, beberapa akses jalan di
lokasi penelitian tidak dapat dilalui dengan kendaraan, karena tidak semua jalan
beraspal, sehingga untuk melakukan pengamatan lapangan dilakukan dengan
berjalan kaki dan mengendarai sepeda motor apabila jalan memungkinkan untuk
dilalui. Jalan di daerah penelitian didominasi oleh jalan aspal, semen dan jalan
setapak.
Akses jalan yang menghubungkan antara kecamatan satu dengan lainnya
adalah jalan beraspal. Jalan yang menghubungkan antar kecamatan yang satu
dengan yang lain relative mudah diakses, dapat dilalui oleh mobil, truk dan bus
namun ada beberapa lokasi yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor. Selama
penelitian di lapangan, basecamp (pangkalan kerja) berada di Desa Gendangan
Tiga, Kecamatan Karangmojo terletak 1 kmdari kota Kecamatan Karangmojo,
mengingat akses yang mudah dijangkau sehingga lokasi basecamp yang dipilih
adalah di Desa Gendangan Tiga.
4
Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna
merah menunjukan letak daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013).
I.4. Permasalahan
Permasalahan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu permasalahan
dalam pemetaan geologi dan permasalahan petrologi batuan gunung api di daerah
penelitian.
I.4.1. Pemetaan geologi
Permasalahan yang harus diselesaikan dalam pemetaan geologi
diantaranya adalah :
a. Geomorfologi
b. Litologi dan stratigrafi
5
c. Struktur geologi
d. Sejarah geologi
1. Geologi lingkungan, meliputi potensi sumber daya alam dan potensi bencana.
I.4.2. Analisis batuan gunung api
Permasalahan yang harus diselesaikan dalam petrologi batuan gunung api
diantaranya adalah :
a. anlisis profil
b. analisis litofasies
c. Mekanisme pengendapan
I.5 Metode Penelitian
Tahap penelitian dibagi atas 4 bagian besar, yaitu tahap persiapan,
penelitian lapangan, penelitian laboratorium, dan pembuatan peta dan laporan
akhir. Tahap-tahap tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya
dan susunannya saling melengkapi.
I.5.1 Tahap Persiapan
Persiapan awal dilakukan untuk mempersiapkan semua kebutuhan yang
akan menjadi bekal sebelum melakukan penelitian, diantaranya studi geologi
regional daerah penelitian, interpretasi peta topografi, interprestasi kondisi
geomorfologi daerah telitian, interprestasi jalan dan perencanaan lintasan,
persiapan alat yang nantinya di gunakan di lapangan, persiapan biaya yang di
butuhkan dan rencana waktu lamanya penelitian. Dengan persiapan awal
6
diharapkan penelitian ini dapat lebih mudah didalam melaksanakan pemetaan
geologi secara cepat dan tepat.
I.5.2 Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dibagi menjadi enam urutan pelaksanaan, yaitu
perencanaan lintasan, jalur jalan atau sungai, kemudian di lanjutkan dengan
7
pemetaan detail, pembuatan lintasan stratigrafi terukur, interpolasi batas satuan
batuan dan pembuatan sayatan geologi.
1. Perencanaan lintasan
Perencanaan ini dilakukan dengan mengadakan pengenalan medan
(recognize) sambil mencari segala singkapan yang dapat digunakan
dalam penelitian lebih lanjut. Tujuan lain dari recognize yaitu untuk
memilih jalur penampang stratigrafi terukur (measuring section)
dengan singkapan yang baik dan dengan jalur yang tidak terlalu
berbahaya. Persyaratan dalam merencanakan stratigrafi terukur yaitu:
a. Struktur sedimen harus dapat terlihat dan terekam dengan jelas
b. Batas-batas litologi terlihat dengan sangat baik
c. Satuan batuan secara umum dapat diketahui
2. Jalur jalan atau jalur sungai
Lintasan tersebut dapat melalui jalur jalan yang telah tersedia
dan apabila memungkinkan untuk melalui jalur sungai, maka hal itu
akan lebih baik dilakukan karena singkapan yang terdapat di sungai
merupakan singkapan hasil dari pengelupasan soil oleh air. Tahap ini
disertai dengan pengeplotan jalur yang akan digunakan untuk
stratigrafi terukur.
3. Penampang stratigrafi terukur (measuring section)
Pembuatan stratigrafi terukur bertujuan untuk mengetahui
susunan setiap batuan, ketebalan masing-masing satuan batuan, urutan
batuan, lokasi kontak antar satuan batuan, penentuan proses
8
sedimentasi, interpretasi sejarah geologi, penentuan lingkungan
pengendapan, dan membantu dalam memecahkan masalah-masalah
geologi.
4. Pemetaan detail
Pelaksanaan pemetaan detil dilakukan dengan pencarian data
litologi, struktur geologi, mataair dan pengeplotan lokasi pada peta
topografi. Pencarian data tersebut disertai dengan pengeplotan data
litologi, dan pengambilan sampel batuan yang akan dianalisis di
laboratorium sesuai kebutuhan, pengambilan foto penampakan
struktur geologi, struktur sedimen, litologi, bentang alam, bahan-
bahan galian, sesumber, bencana alam, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan penelitian.
5. Interpolasi batas satuan batuan
Dari hasil pemetaan detil, dengan pengeplotan data pada setiap
stasiun pengamatan dan lokasi pengamatan, selanjutnya dibuat
interpolasi batas satuan batuan dengan menghubungkan setiap titik
yang mempunyai ciri-ciri satuan batuan yang sama dengan
berpedoman pada stratigrafi terukur yang telah dibuat dan atau dengan
menggunakan metode three point problem. Selain pembuatan peta
geologi, dibuat juga peta geomorfologi berdasarkan data bentangalam
yang digabungkan dengan data yang terdapat pada peta geologi.
6. Pembuatan sayatan geologi
9
Pembuatan sayatan geologi bertujuan untuk membuat
interpretasi lapisan batuan serta struktur geologi yang terdapat pada
permukaan dan bawah permukaan. Selain itu, sayatan juga bertujuan
untuk mengetahui urutan batuan dari tua ke muda dan ketebalan
lapisan batuan, sehingga dapat dibuat legenda pada peta geologi dan
secara geologi yang tercermin pada sayatan geologi dapat mendukung
penjelasan lebih baik.
I.5.3. Analisis Laboratorium dan Studio
Penelitian laboratorium dilakukan selama dan setelah penelitian lapangan
selesai. Penelitian ini berupa analisis paleontologi, analisis petrografi. Analisis
paleontologi dilakukan untuk mengetahui kandungan fosil, menentukan jenis fosil
dan nama fosil sehingga dapat dipakai untuk menentukan umur dan lingkungan
pengendapan masing-masing satuan batuan. Analisis petrografi dilakukan untuk
mengetahui tekstur batuan, struktur batuan, dan mineral-mineral penyusunnya.
Hasil analisis petrografi dapat dipakai sebagai data pendukung untuk selanjutnya
dilakukan penginterpretasian terhadap batuan vulkanik yang ada di daerah
penelitian.
I.5.4. Pembuatan Peta dan Laporan Akhir
Penyusunan laporan ini berdasarkan atas data lapangan dan data
laboratorium. Draft laporan tersebut disajikan dalam bentuk peta lintasan dan
lokasi pengamatan, peta geomorfologi, dan peta geologi, serta dalam bentuk
uraian disertai dengan hasil pembahasan studi khusus yang diambil.
10
I.6 Alat dan Bahan
Peralatan yang akan digunakan selama mengadakan penelitian di lapangan
adalah:
1. Peta topografi skala 1 : 25.000
2. Kompas geologi tipe Brunton sistem azimut 0°-360°
3. Palu geologi batuan sedimen merk Estwing
4. Loupe dengan pembesaran 10x dan 20x
5. Larutan HCI 0,1 N
6. Kamera digital
7. Pita ukur 50 m
8. Alat tulis
9. Kantong sampel batuan
Peralatan yang digunakan dalam analisis laboratorium terdiri dari:
1. Mikroskop binokuler fosil dengan pembesaran 10x dan 20x untuk
determinasi
2. Mikroskop polarisasi batuan merk Olympus dengan pembesaran 40x
untuk determinasi
3. Mesh ukuran 40, 60, 80, 100, 150, dan 200 serta kuas cat, untuk
mengayak fosil
Proses penelitian geologi ini secara garis besar dari pra-penelitian hingga
pembuatan laporan dapat dilihat pada bagan berikut:
11
Gambar 1.3. Bagan alir penelitian (Penulis, 2013) I.7 Peneliti Terdahulu
Daerah penelitian termasuk dalam fisiografi zona pegunungan selatan
(Bemmelen, 1949), dimana daerah tersebut telah menjadi bagian dari penelitian
oleh banyak ahli diantaranya:
1. Bemmelen (1949), mengelompokan wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur kedalam lima zona dari selatan ke utara: Zona Pegunungan
12
Selatan, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, dan Zona
Rembang.
2. Surono, dkk., (1992), menyusun Peta Geologi Lembar Surakarta dan
Giritontro, Jawa, sekal 1:100.000. Daerah penelitian stratigrafi masuk
dalam formasi Semilir, formasi Ngalanggrang, formasi Oyo dan
formasih Wonosari
3. Bronto, dkk., (1998), membahas sebagian wilayah Pegunungan Selatan
di Kali Ngalang, Kali Putat dan Jentir sebagai batuan longsoran tubuh
gunungapi Tersier.
4. Lokier, (1999), membahas perkembangan sedimentasi volkaniklastik
primer dan sekunder di wilayah Pegunungan Selatan
5. Bronto, dkk., (2009), menentukan Waduk Parangjoho dan Songputri
sebagai alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di daerah Eromoko,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
6. Hartono, (2009), Melakukan penelitian tentang analisis stratigrafi awal
kegiatan gunung api Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo;
implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan
Selatan, Jawa Tengah.
7. Hartono, (2008), melakukan penelitian gumuk gunung api purba
bawah laut di Tawangsari-Jomboran, Sukoharjo-Wonogiri, Jawa
Tengah.
13
BAB II
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang mempelajari
tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya untuk mengetahui
genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah ketidakteraturan
permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi
suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama
adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu
skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep
tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan
guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang
normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi
tersebut.
II.1. Geomorfologi Regional
Daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan di bagian
selatan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebut sebagai Pegunungan Selatan
Jawa Timur Bagian Barat, secara regional daerah ini dibagian barat dibatasi oleh
Pantai Parangtriris di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di bagian timur dibatasi
oleh Teluk Pacitan di Jawa Timur. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan
Selatan termasuk ke dalam satuan fisiografi regional di bagian selatan Pulau
Jawa, cakupan wilayah Pegunungan Selatan ini mulai dari Pantai Selatan di
Propinsi Jawa Barat hingga bagian selatan pulau-pulau utama di Nusa Tenggara
14
(Lesser Sunda). Zona Pegunungan Selatan secara umum merupakan suatu blok
yang relatif miring ke arah selatan-tenggara dengan topografi yang relatif terjal
dan dengan pola aliran meranting, serta disusun oleh dua kelompok batuan, yaitu
batuan vulkanik dan batuan karbonat yang tercermin dari litologinya.
Menurut Husein dan Srijono (2007), secara fisiografi Pegunungan Selatan
diduga mulai terangkat pada Plistosen Tengah, menghasilkan lajur-lajur
pegunungan dengan penyusun utama batuan vulkanik berumur Oligosen-Miosen,
yang membatasi bagian utara dan barat kawasan tersebut terhadap Zona Depresi
Solo dan Cekungan Yogyakarta. Di bagian selatan Pegunungan Selatan, proses
pengangkatan tersebut menghasilkan topografi karst Gunung Sewu. Menurut
Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta
tektoniknya, daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dibagi menjadi tujuh zona.
Berturut-turut dari utara ke selatan adalah sebagai berikut (Gambar 2.1) :
1. Zona Komplek Muria
2. Zona Dataran Aluvium Jawa Utara
3. Zona Rembang Madura
4. Zona Depresi Randublatung
5. Zona Kendeng
6. Zona Solo
7. Zona Pegunungan Selatan
15
Gambar 2.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949)
II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian
Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada
topografi, litologi, dan fasies gunung api serta proses-proses lain yang
berpengaruh membentuk geomorfologi pada daerah penelitian. Klasifikasi
geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari
klasifikasi Zuidam (1983) dengan modifikasi seperlunya sesuai dengan kondisi
morfologi pada daerah penelitian. Berdasarkan klasifikasi Zuidam (1983), aspek-
aspek geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor pemerian morfologi adalah:
1. Morfologi, yaitu faktor relief secara umum yang meliputi aspek:
a. Morfografi, yaitu aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah,
seperti bukit, punggungan, lembah dan dataran.
16
b. Morfometri, yaitu aspek penggolongan kenampakan geomorfik yang
didasarkan pada segi kuantitatif, dengan melihat ketinggian dan
kemiringan lereng.
Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983)
No. Relief Kemiringan Lereng (%)
Kemiringan Lereng ( °)
1 Datar atau hampi datar 0 - 2 0 – 2 2 Miring landai 2 - 7 2 – 4 3 Miring 7 -15 4 - 8 4 Curam menengah 15 - 30 8 – 16 5 Curam 30 - 70 16 – 35 6 Sangat curam 70 - 140 35 – 55 7 Amat sangat curam > 140 > 55
2. Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya
perubahan bentuk lahan, meliputi aspek :
a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan
vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses
endogenik antara lain : pegunungan lipatan, pegunungan blok atau
patahan dan gunungapi.
b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan
struktur geologinya.
c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya
eksogen; seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi,
pantai, angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor
topografi, batuan, iklim, vegetasi, organism, dan waktu, serta
kaitannya dengan umur bentuk lahan secara relatif dan absolut
(morfokronologi).
17
Atas dasar-dasar klasifikasi yang telah disebutkan diatas, maka daerah
penelitian dikelompokan berdasarkan aspek topografi dan litologi, dan menjadi
dua bentuk asal yang terbagi ke dalam enam sub satuan geomorfologi yaitu :
1. Subsatuan geomorfologi endapan aluvial
2. Subsatuan geomorfologi dataran tubu sungai
3. Subsatuan geomorfologi perbukitan breksi andesit dan pumis
bergelombang sedang-kuat
4. Subsatuan geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang
sedang-kuat
5. Subsatuan geomorfologi perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang
II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial ((F2)
Subsatuan geomorfik dataran aluvial yang menempati luasan (2%) dari
seluruh daerah penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir
datar (0-2%) , mempunyai kisaran elevasi antara 162,5 - 163,5 meter dari
permukaan laut. Satuan geomorfik ini tersusun dari material lepas hasil erosi dan
pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir, kerikil, hingga bongkah.
Subsatuan geomorfik ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, dataran yang
berada dekat sepanjang Sungai Oyo, dan pada bagian dataran aluvial ini umumnya
digunakan warga sebagai lahan pertanian, sawah, dan pemukiman.
18
Gambar 2.2. Subsatuan geomorfik dataran aluvial Foto diambil pada Desa Watusigar, 173 meter
dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis, 2013)
II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai (F1)
Subsatuan geomorfologi tubuh sungai adalah satuan jenis morfologi yang
erat hubungannya dengan aliran sungai. Sedangkan pengertian sungai di sini tidak
termasuk di dalamnya alur-alur yang mengalir di lereng bukit dan gunung
(ephemeral stream). Morfologi fluvial hanya mungkin dijumpai pada suatu daerah
berstadia erosi dewasa-tua atau telah mengalami peremajaan.
Subsatuan geomorfologi tubuh sungai menempati ± 1% luas daerah
penelitian, meliputi sepanjang aliran Kali Oyo yang melalui subsatuan
geomorfologi dataran di daerah penelitian (Gambar 5), dalam subsatuan ini
termasuk juga chanel bar, point bar, dan dataran limpah banjir. Tubuh sungai ini
berair sepanjang tahun dan sangat berperan dalam proses sedimentasi di daerah
tersebut. Bentuk topografi hampir rata (nearly flat) dan mempunyai bentuk
19
lembah dominan “U”. mengalir dari arah timur ke barat. Bentuk tubuh sungai
relatif berkelok-kelok, mempunyai ketinggian ± 159 meter dari permukaan air
laut.
Gambar 2.3
Subsatuan geomorfologi tubuh sungai.dengan pola tapal kuda (meander), arah garis hijau menunjukan aliran sungai berkelok-kelok Foto diambil dari Kali Oyo, Dusun Randusari
Bawuran, lensa kamera menghadap ke Timur (foto penulis 2013)
II.2.3 Subsatuan perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang sedang-kuat (D2)
Subsatuan geomorfik perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang
sedang-kuat (D2).Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan
bergelombang sedang-kuat dengan kemiringan lereng 15°-35°, tersusun dari
breksi andesit, breksi pumis, tuf dan breksi polimik. Subsatuan geomorfik ini
menempati ± 23% dari total luas daerah penelitian, sebaran subsatuan ini di
bagian selatan daerah penelitian mulai dari Desa Ngadiloko sampeai dengan
20
daerah Melikan, seangkan pada bagian utara-barat laut, subsatuan ini
hanya menempati 2% dari lokasi daerah penelitian yang berada pada Desa Duren.
Gambar 2.4. Subsatuan perbukitan bergelombang sedang-kuat (atas) dan dataran aluvial (bawah).
Foto diambil pada Desa Bulurejo, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke Tenggara. (foto penulis, 2013).
II.2.4 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang-
kuat (D3)
Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang
sedang-kuat (D3) dengan kemiringan lereng 8°-16°, terdiri dari batuan Tuf,
Peckstone, dan breksi polimik. Subsatuan ini menempati ± 43% dari total luas
daerah penelitian,sebaran supsatuan ini pada daearh penelitian bagian selatan-
barat daya yang meliputi daerah, Jatiayu, Prebutan dan Kedonglowo, sedangkan
pada bagian utara-barat laut yang meliputi daerah Desa Bendung, Beji dan
Sumberejo.
21
Gambar 2.5. Subsatuan geomorfik perbukitan bergelombang sedang-kuat Foto diambil pada Desa
Tapansari, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke selatan. (foto penulis 2013).
II.2.5 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang lemah-sedang (D4)
Subsatuan geomorfik ini menempati ± 8 % dari total luas daerah
penelitian, dengan penyebaran yang terletak pada bagian timur-laut daerah
penelitian, dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4)
dengan kemiringan lereng (4°-8°).
Pada peta topografi subsatuan ini dicirikan oleh kenampakan pola kontur
yang renggang dan tersusun dari batugamping, tuf dan material lepas berupa
krikil-lempung, seabaran subsatuan ini pada bagian utara daerah penelitian yang
meliputi daerah Desa Kemejing, Bulurejo dan sampai dengan Dusun Banaran
bagian timur laut daerah penelitian.
22
Gambar 2.6. Subsatuan perbukitan bergelombang lemah-sedang Foto diambil pada Desa
Bendung 183 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke timur laut. (foto penulis 2013).
II.3. Pola Pengaliran Sungai
Menurut Howard (1967), pola pengaliran didefinisikan sebagai suatu
kumpulan dari alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa mempedulikan apakah
alur-alur tersebut merupakan alur yang permanen (permanent stream). Menurut
Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi
oleh kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang
bersangkutan.
Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air memegang
peranan yang sangat penting karena mempunyai kemampuan sebagai agen atau
media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi. Dalam
hal ini proses erosi oleh air tersebut yang pada umumnya dominan melalui tubuh
sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga
23
membentuk pola sungai (stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola
pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola
pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai
karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola
aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar
yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional (Gambar 2.8).
2. Pola ubahan (modified basic pattern): merupakan sebuah pola pengaliran yang
berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan
biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 2.9).
Gambar 2.7. Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami perubahan (modified basic pattern) (Howard, 1967).
24
Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan
ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:
1. Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang
sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk
sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang
homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur,maupun
dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan
beku atau lapisan horisontal.
2. Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini
mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.
Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang
sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan
daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai
yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor
kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari
satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.
25
6. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang
tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe
subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan
atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst
topografi.
8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang
terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang
bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki
resistensi yang sama.
II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian
Dalam pembahasan mengenai pola pengaliran di daerah penelitian,
pendekatan yang digunakan adalah analisis peta topografi dan pengamatan
lapangan. Berdasarkan sifat alirannya, aliran sungai induk bersifat permanen,
yaitu mengalirannya sepanjang tahun. Sedang dan sifat mengalir pada anak-anak
sungai ada yang yang bersifat permanen dan periodik, yaitu ada aliran air pada
musim hujan saja.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi,
yang kemudian dilakukan pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari
Howard (1967), maka daerah penelitian (Gambar 2.8) termasuk dalam pola
sebagai berikut
26
a) Subdendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang
sungai berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-s
b) udut yang agak tumpul, merupakan pola ubahan dari pola aliran denritik,
pola ini terbentuk pada satuan batuan relatif lunak, atau dengan batuan
dasar yang keras. Diantaranya breksi polimik, dan tuf, pola aliran ini
hanya di temukan di daerah dataran tinggi yang di identifikasi berdasarkan
pengamatan peta topografi.
c) Subparalel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini
mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.
Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
28
II.4. Stadia Daerah Penelitian
Sungai di daerah penelitian digolongkan dalam sungai berstadia muda
dewasa, hingga tua. Sungai stadia muda (Gambar 2.10) dicirikan dengan
kemampuan mengikis alur secara vertikal dengan penampang sungai berbentuk
“V”, erosi vertikal yang dominan ditunjukan oleh banyaknya singkapan batuan
dasar, sungai sempit dalam, aliran cepat, serta tidak dijumpai adanya dataran
banjir. Sungai dengan stadia muda ini di daerah penelitian dijumpai pada sungai-
sungai kecil di daerah penelitian.
Gambar 2.9. Sungai dengan stadia muda dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang
“V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke selatan
Sungai stadia dewasa dapat terlihat pada Sungai Oyo (gambar 12) dengan
penampang sungai berbentuk “U” dijumpai adanya dataran banjir yang lebar,
tedapat endapan tengah sungai (point bar) dan tepi sungai (chanel bar).
29
.
Gambar 2.12. Penampang sungai stadia dewasa dengan pola lembah huruf ”U” pada Kali Oyo, kamera menghadap ke barat laut
II.5. Morfogenesa
Morfogenesa pada daerah penelitian dipengaruhi oleh jenis litologi,
struktur geologi yang dibentuk oleh proses endogenik-vulkanisme, dan proses
eksogenik. Interaksi antara ketiga faktor ini terus berlangsung dalam tahapan
ruang dan waktu geologi, yang pada akhirnya menghasilkan bentang alam seperti
sekarang ini.
Proses pembentukan morfologi daerah penelitian diawali dengan adanya
dominasi proses endogenik yang sifatnya membangun, menghasilkan lingkungan
geologi gunungapi. Kegiatan vulkanisme di daerah penelitian ini ditunjukkan oleh
adanya satuan breksi pumis, satuan tuf dan satuan breksi polimik. Proses ini
kemudian berkembang dan terus berlanjut dengan adanya tenaga endogen berupa
30
gaya kompresif sehingga menghasilkan struktur-struktur geologi, seperti kekar
dan sesar yang banyak dijumpai di daerah penelitian.
Perbedaan jenis litologi memberikan suatu kenampakan morfologi yang
berbeda. Morfologi daerah penelitian dengan topografi tinggi tersusun oleh batuan
yang memiliki tingkat resistensi tinggi pula, berupa satuan breksi andesit dan
breksi pumis, sedangkan morfologi yang bertopografi rendah tersusun atas
batuan-batuan yang relatif lebih kurang resisten maupun yang berasal dari hasil
pelapukan batuan di sekitarnya, yaitu satuan tuf dan endapan aluvial. Namun
morfologi-morfologi tersebut masih tetap dipengaruhi pula oleh bentuk bentang
alam asal yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanisme dan tektonik sebelum dan
setelahnya.
31
BAB III
STRATIGRAFI
Stratigrafi secara umum membahas tentang semua jenis batuan dalam
hubungan mula jadi dan sejarah pembentukanya dalam ruang dan waktu geologi.
Urutan pembahasannya meliputi unsur-unsur stratigrafi, yaitu pemerian litologi,
penamaan batuan, unsur perlapisan, struktur sedimen, hubungan antara batuan
yang satu dengan yang lain, penyebarannya secara vertikal dan lateral, serta
dinamika pengendapan dan lingkungan pengendapannya.
III.1. Stratigrafi Regional
Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan
Selatan Yogyakarta - Jawa Tengah yang merupakan bagian dari jalur Pegunungan
Selatan Jawa. Satuan batuan yang tertua di daerah ini berupa batuan metamorf
yang tersingkap di Pegunungan Jiwo, Bayat, dan Klaten, sedangkan batuan yang
termuda adalah Endapan Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Endapan Aluvium.
Untuk Pegunungan Selatan bagian barat, menurut Surono dkk (1992), pembagian
satuan batuan berumur Tersier dari tua ke muda adalah Formasi Kebo-Butak,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi
Wonosari dan Formasi Kepek (Tabel 2). Urut-urutan formasi batuan di
Pegunungan Selatan bagian barat adalah sebagai berikut (Surono dkk, 1992).
III.1.1. Batuan Metamorf
Merupakan batuan tertua yang berumur Kapur-Paleosen Awal terdiri
dari, pilit, sekis, marmer dan kuarsit.
32
III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi ini berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir, terdiri atas batupasir,
napal pasiran, batulempung dan batugamping. Bagian bawahnya berupa
perselingan antara batupasir dan batulanau, serta batugamping. Bagian atasnya
berupa napal pasiran dan batugamping.
III.1.3. Formasi Kebo-Butak
Formasi Kebo-Butak ini berumur Miosen Awal yang disusun oleh
batupasir, batulempung, dan serpih. Litologi tersebut terletak di bagian bawah,
sedangkan bagian atas tersusun oleh batulanau, batupasir kerikilan, dan batupasir
tufan. Sebagian tempat di bagian tengahnya dijumpai retas andesit-basal dan di
bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Batuan penyusun utama formasi ini adalah
endapan piroklastik yang berasal dari hasil erupsi gunungapi bawah laut. Pada
formasi ini disisipi oleh sill dan lava andesitik basaltik dengan ketebalan
diperkirakan 500-1000 m (Surono dkk, 1992).
III.1.4. Formasi Semilir
Formasi ini berumur Miosen Awal dengan ketebalan kurang lebih 1000 m
yang terletak selaras di atas Formasi Kebo-Butak. Formasi Semilir tersusun atas
batuan gunungapi yang terdiri dari tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan
dan serpih. Bagian bawah dari satuan ini berlapis baik, berstruktur sedimen
perairan, silang siur berskala menengah dan berpermukaan erosi. Di bagian
tengahnya dijumpai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan
kepingan koral pada breksi gunungapi. Di bagian atasnya ditemukan batulempung
dan serpih dengan tebal lapisan sampai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah
33
laut. Lingkungan pengendapannya berkisar dari laut dangkal yang berarus kuat
hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbid (Surono dkk, 1992).
III.1.5. Formasi Nglanggran
Formasi Nglanggran berumur Miosen Bawah bagian atas hingga Miosen
Tengah bagian bawah yang terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, lava andesit-
basal dan tuf. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi Formasi
Nglanggran umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit
basal, berukuran butir 2-50 cm. Di bagian tengah formasi pada breksi gunungapi
ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau kepingan. Setempat
satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Struktur sedimen yang dijumpai berupa perlapisan sejajar, perlapisan bersusun,
dan cetakan beban (load cast) menunjukkan adanya aliran longsor (debris flow).
Pada bagian atasnya ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya
pengaruh arus kuat pada waktu pengendapan. Adanya batugamping koral
menunjukkan lingkungan laut. Sehingga secara umum lingkungan
pengendapannya adalah laut yang disertai longsoran bawah laut. Formasi ini
terletak selaras diatas Formasi Semilir, dan ketebalannya kurang lebih 300 meter
(Surono dkk, 1992).
III.1.6. Formasi Sambipitu
Formasi ini berumur Miosen Tengah, tersusun atas tuf, batulanau,
batupasir, dan serpih berfosil Lepidocyclina, Myogipsina, dan Cicloclypeus.
Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Nglanggran dan diendapkan pada
cekungan laut yang tidak stabil pada kedalaman antara outer sublitoral sampai
34
bathyal dan terdapat pengaruh yang cukup kuat dari pengendapan arus turbidit,
ketebalannya kurang lebih 1000 m.
Di bagian bawah Formasi Sambipitu terdiri dari batupasir kasar, terutama
batupasir sela yang tidak berlapis dan batupasir halus yang setempat diselingi
serpih dan batulanau gampingan. Setempat dijumpai lensa breksi andesit klastika,
lempung, dan kepingan arang kayu. Struktur sedimen yang ditemukan berupa
perlapisan bersusun, perlapisan sejajar dan gelembur gelombang (current ripple),
yang menunjukkan adanya arus turbid. Bagian atasnya terbentuk oleh batupasir
feldspar yang berlapis baik dan bersisipan serpih, batulempung dan batulanau
dengan struktur perlapisan bersusun, perlapisan sejajar, silangsiur, gelembur
gelombang, longsoran, dan jejak binatang yang menunjukkan adanya longsaran
bawah laut yang berkembang menjadi arus turbid.
III.1.7. Formasi Oyo
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sambipitu.
Formasi ini tersusun atas batugamping, konglomerat, tuf andesitan, dan napal
tufan. Formasi Oyo umumnya berlapis, kandungan fosil Foraminifera cukup
banyak, yaitu Cycloclypeus (Katacyccloclypeus) annulatus MARTIN, dan
Lepidoclyna (Nephrolepidina) rutteni v.d. VLERK. Formasi ini dibedakan
menjadi dua fasies, yaitu fasies napal yang merupakan sedimen klastik dan fasies
tuf yang merupakan fasies piroklastik. Hubungan kedua fasies ini saling menjari,
umur formasi ini diperkirakan Miosen Tengah dan mempunyai ketebalan kurang
lebih 350 m, dengan lingkungan pengendapan laut dangkal (neritik) yang
dipengaruhi kegiatan gunungapi (Surono dkk, 1992).
35
III.1.8. Formasi Wonosari
Formasi ini tersusun atas batugamping, batugamping tufan, napal,
batugamping konglomeratan, batupasir tufan, dan batulanau. Batugamping yang
mendominasi satuan ini berupa batugamping berlapis baik dan batugamping
terumbu. Formasi ini mengandung foram kecil dan besar yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp, L. sumantrensis (BRADY), Miogypsina,
Operculina, Spiroclypeus dan Orbulina universa. Lingkungan pengendapan
formasi ini adalah laut dangkal yang mendangkal ke arah selatan. Ketebalan
formasi ini lebih dari 800 m (Surono dkk, 1992).
III.1.9. Formasi Kepek
Formasi ini berumur Miosen Bawah-Pliosen bawah yang litologinya terdiri
dari napal dan batugamping. Formasi ini terletak selaras diatas Formasi Wonosari
dan mempunyai ketebalan diperkirakan mencapai 200 m (Surono dkk, 1992).
III.1.10. Endapan Aluvium
Material penyusunnya berupa sedimen lepas yang berukuran pasir-
kerakalan yang terbawa oleh aliran sungai. Hal ini dibuktikan oleh adanya
endapan pada tepi-tepi sungai maupun pada tubuh sungai. Membentuk morfologi
aluvial, gosong sungai dan dataran limpah banjir (Surono dkk, 1992).
36
Gambar 3.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Surono, dkk., (1992)
Stratigrafi daerah penelitian sendiri yaitu daerah Melikan dan sekitarnya
terdapat enam formasi yang mengacu pada Surono, dkk (1992) termasuk ke dalam
Formasi Semilir dan Nglanggrang yang merupakan formasi paling tua di daerah
penelitian, Formasi Oyo dan Formasi Wonosari (gambar 3.2).
37
III.2 Stratigrafi daerah penelitian
Penyusunan stratigrafi daerah penelitian didasarkan atas konsep
litostratigrafi yang dikembangkan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) tahun
38
1973 dan tahun 1996 (Martodjojo dan Djuheini, 1996). Penamaan dan
pengelompokan satuan batuan mengikuti kaidah penamaan satuan litostratigrafi
tidak resmi yang bersendikan ciri litologi, meliputi kombinasi jenis batuan, sifat
fisik batuan, kandungan fosil, keseragaman gejala atau genesa, dan kenampakan
khas pada tubuh batuan di lapangan yang dipetakan pada skala 1 : 25.000.
Satuan litostratigrafi daerah penelitian didasarkan pada pengamatan fisik
litologi di lapangan, analisis petrografi untuk penentuan nama batuan, analisis
paleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapannya, analisis
petrografi untuk mengetahui tipe magma pada batuan vulkanik, serta studi pustaka
regional daerah penelitian. Urutan stratigrafi daerah penelitian disusun secara
sistematis berdasarkan data pengukuran di lapangan dan analisis dalam peta
geologi, meliputi jenis dan urutan perlapisan, ketebalan, hubungan stratigrafi,
umur dan lingkungan pengendapannya.
Dalam menentukan umur, penulis menggunakan kesebandingan dengan
stratigrafi regional daerah penelitian dari sifat-sifat fisik litologinya dan
berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik, setelah diketahui nama
fosilnya kemudian dicari kisaran umurnya dengan menggunakan Zonasi Blow
(1969). Sedangkan untuk penentuan lingkungan pengendapan, berdasarkan hasil
analisis fosil Foraminifera bentonik, dan menggunakan kisaran kedalaman
menurut Bandy (1967).
39
Berdasarkan uraian diatas serta pengamatan langsung di lapangan serta
analisis studio maka penulis membagi litostratigrafi daerah penelitian kedalam
enam (6) satuan batuan (gambar 3.3) dari yang tua ke yang muda sebagai berikut:
1. Satuan Breksi Pumis
2. Satuan Tuf
3. Satuan Breksi Polimik
4. Satuan Breksi Andesit
5. Satuan Batugamping
6. Satuan Aluvial
Gambar 3.3. Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013)
40
III.2.1. Satuan breksi pumis
III.2.1.1. Dasar penamaan
Penamaan satuan breksi pumis dikarenakan batuan penyusun yang
dominan berupa breksi pumis dan mempunyai ciri kenampakan litologi berwarna
abu-abu - putih, bersifat masif dan sebagian perlapisan, berbutir sedang-halus,
subangular-Angular, sortasi baik, kemas terbuka, fragmen pumis, matrik tuf gelas
dan pumis, semen silika. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan
berupa gelas (15%), lithic (30%), kuarsa (5%), opak (3%), feldspar (6%) dan tuf
sebagai masa dasar (41%).Nama Petrografi: Litik Tuf (Klasifikasi Schmid, 1981)
Lampiran I análisis petrografi.
III.2.1.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 10,5 % dari total luas daerah penelitian dan
tersebar pada dataran tinggi Desa Melikan, Sorodadi, dan Bukit Grudo pada
bagian timur. Satuan ini mempunyai batas dengan satuan tuf, di lapangan ada
kontak langsung yang di temukan antara kedua satuan ini maupun dengan satuan
lainnya. Satuan ini tersusun oleh breksi pumis, tuf, breksi polimik. Berdasarkan
pengukuran pada penampang geologi (G-H), di dapatkan ketebalan satuan ini ±
730 meter.
41
Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda.
Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95
E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke bara-dayat. (foto penulis, 2013).
III.2.1.3 Ciri litologi
Kenampakan satuan ini merupakan material piroklastik yang di hasilkan
oleh gunung api secara eksplosif dengan ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu
terang sampai putih keabuan, struktur masif-perlapisan dengan pemilahan baik,
bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut, kemas terbuka, ukuran butir tuf –
lapili (1/16 – 64 mm), matrik; tuf-lapili sebagian mengandung kristal kuarsa dan
feldspar yang banyak, fragmen pumis. semen silika.
42
Gambar 3.5. Ciri fisik breksi pumis di lapangan pada LP 42 di dusun Jeruken (foto penulis, 2013)
III.2.1.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur
satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-
Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur
yaitu Miosen Bawah. Satuan ini mempunyai hubungan selaras menjari dengan
satuan tuf.
III.2.2 Satuan tuf
III.2.2.1. Dasar penamaan
Penamaan satuan tuf dikarenakan litologi penyusun utama berupa tuf yang
memiliki ciri di lapangan berwarna putih – putih kekuningan, tuf ini terdiri dari
tuf gelas dan tuf kristal. Tuf gelas memiliki penyebaran lebih luas dibanding
dengan tuf kristal dan umumnya tuf ini memiliki asosiasi dengan breksi pumis,
dan breksi polimik. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan berupa
43
gelas (45 %), kuarsa (5%), tuf (50%). Nama petrografis: Vitrik Tuf (klasifikasi
Schmid, 1981), Terlampir I anlisis petrografi.
III.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini mempunyai penyebaran ± 42 % dari total luas daerah penelitian
dan menempati hampir semua bagian dari daerah penelitian, kecuali pada bagian
barat daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh; tuf, tuf kasar, breksi pumis dan
breksi polimik,. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi (G-H), di
dapatkan ketebalan satuan ini ± 325 meter.
III.2.2.3. Ciri litologi
Satuan ini merupakan material piroklastik yang dihasilkan oleh gunung api
secara eksplosif yang terdiri dari material halus dengan genesa berupa endapan
jatuhan piroklastik (fall deposit). Satuan ini memiliki ciri-ciri di lapangan
berwarna putih kekuningan, struktur perlapisan dengan pemilahan sangat baik,
kemas tertutup, ukuran butir tuf halus-kasar (1/16 – 2 mm), matrik; tuf, semen
silika.
44
Gambar 3.6. Tuf dengan struktur perlapisan, foto diambil pada LP 33. dengan arah kamera menghadap ke barat,( foto penulis 2013)
III.2.2.4. Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur
satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-
Giritontro oleh Surono, dkk. (1992) serta kontak antara satuan ini dengan
batugamping yang ditemukan di lapangan, sehingga satuan ini mempunyai kisaran
umur yaitu Miosen Awal. Di lapangan, terutama pada Dusun Beji, satuan ini
sering di jumpai bersamaan dengan breksi polimik dengan batas berupa
perselingan, perlapisan bersusun, ada pula yang memiliki batas tidak jelas. Dari
data yang di dapatkan di lapangan bahwa hampir sebagian matrik dari breksi
polimik terdiri dari tuf ini maka di pastikan satuan tuf ini terjadi hampir
bersamaan dengan satuan breksi polimik, sedangkan hubungannya dilapangan
dengan breksi polimik dan breksi pumis adalah menjari, hal ini karena sering
ditemukan perselingan antara ketiga litologi tersebut.
45
III.2.3 Satuan breksi polimik
III.2.3.1 Dasar penamaan
Satuan ini dinamakan satuan breksi polimik karena tersusun oleh litologi
breksi dengan fragmen yang beragam pada batuan tersebut diantaranya andesit,
tuf, basalt dan setempat ditemukan fragmen dasit maupun fragmen asesoris,
namun secara keseluruhan fragmen penyusun yang paling dominan adalah
andesit.
III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini memiliki penyebaran sangat luas pada bagian timur, dan
sebelah timur bagian tengah pada daerah penelitian dan menempati ± 11 % dari
total luas daerah penelitian. Tersusun oleh breksi aneka bahan (breksi polimik),
pumis dan tuff. Berdasarkan pengukuran ketebalan pada penampang (A-B), di
dapat ketebalan satuan ini ± 570 meter
III.2.3.3 Ciri litologi
Satuan ini merupakan endapan vulkanoklastik secara eksplosif dengan
ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu gelap - coklat, struktur masif-bergradasi
dengan pemilahan buruk-sedang, bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut,
kemas terbuka, ukuran butir dari kerikil 24 mm – > 256 mm, matrik, tuf pumis-
dan lapili pumis, fragmen terdiri dari andesit, basal, tuf pumis dan fragmen
asesoris. semen silika-oksida besi.
46
Gambar 3.7.Singkapan breksi polimik dengan beberapa fragmen yang berbeda berupa tuf, andesit,
pumis dan fragmen asesoris lain nya, singkapan ini berada pada LP 79, cuaca cera dan arah lensah kamerah menghadap ke utara. (foto penulis, 2013)
III.2.3.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur
satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-
Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur
yaitu Miosen Bawah – Miosen Tengah.
III.2.4. Satuan breksi andesit
III.2.4.1 Dasar penamaan
Satuan ini merupakan hasil dari kegiatan gunung api dengan tipe erupsi
efusif dimana sifat nya lebih cenderung ke konstruksi di karenakan sifat magma
nya berkomposisi intermediet-basal, di namakan breksi andesit (Lihat Foto 3.9)
terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil – bongkah,
terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi fragmen:
47
batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur massif.
Secara petrografi, berwarna abu-abu keputih-putihanan, tekstur porfiritik, ukuran
pada fenokris 0,5 mm – 2 mm, bentuk subhedral, komposisinya terdiri dari
mineral plagioklas (50%) terutama andesin, hornblenda (15%), piroksin (5%),
opak (10%), dan gelas (20%). (Nama petrografi Andesit Hornblende) Lampiran I
analisis perografi.
III.2.4.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan Breksi Nglanggran tersebar kurang lebih meliputi ± 2% dari daerah
penelitian, meliputi dusun Duren, sebelah barat laut lokasi penelitian .
Berdasarkan penampang sayatan geologi (G-H), ketebalan total dari Satuan Breksi
Andesit yaitu kurang lebih dari 200m.
III.2.4.3 Ciri-ciri litologi
terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil –
bongkah, terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi
fragmen: batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur
massif
48
Gambar 3.8. Foto inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013)
III.2.4.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur
satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-
Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur
yaitu (Miosen Awal ).
III.2.5 Satuan batugamping klastik
III.2.5.1 Dasar penamaan
Satuan Batugamping klastik terdiri dari perselinngan antara peckstone dan
weckstone, ketebalan 10-15 cm, putih (kondisi fresh) arenit buruk, membundar
tanggung-menyudut tanggung, komposisi : kalsit, pecahan cangkang dan sedikit
kuarsa, di beberapa tempat di temukan juga peckston dengan komposisi tuf,
Satuan ini merupakan litologi penyusun terbesar pada bagian barat tengah dan
barat bagian selatan daerah penelitian.
49
III.2.5.2 Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini mempunyai penyebaran ± 38 % dari total luas daerah penelitian
dan mendominasi di selatan barat pada daerah penelitian. Tersusun oleh;
batugamping, tuf dan endapan aluvial. Berdasarkan pengukuran pada penampang
geologi (C-D), di dapatkan ketebalan satuan ini ± 230 meter. Satuan ini
mempunyai hubungan tidak selaras dengan satuan tuf, di LP 110 terdapat kontak
satuan batugamping klastik dengan tuf dan ke dua satuan tersebut adanya
konglomerat basalt dengan komposisi karbonat yang mengindifikasi ke tidak
selarasan suatu satuan.
Gambar 3.9.Kenampakan kontak satuan di lapangan antara satuan tuf dan satuan batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono
(foto penulis, 2013)
III.2.5.3 Ciri litologi
Satuan ini merupakan material sedimen laut dangkal yang tersusun oleh
batugamping klastik terdiri dari Peckstone, weckstone dan tuf. Ciri-ciri di
lapangan yaitu: batugamping klastik; warna putih-putih kekuningan, struktur
50
masif-perlapisan, ukuran butir pasir sedang-halus, bentuk butir menyudut-
tanggung, sortasi baik, kemas tertutup. Matrik pasir dan semen karbonat.
Setempat terdapat matrik yang mengandung tuf. Hubungan satuan ini adalah tidak
selaras dengan satuan tuf.
Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan soil berada di atas dengan
kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013)
III.2.5.4 Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan fosil yang di temukan pada satuan batuan ini, dengan analisis
fosil maka di dapatkan umur (N 11 – N 15) atau sekitar Miosen Tengah bagian
atas – Miosen Akhir bagian bawah dan lingkungan pengendapan adalah neritik
tepi. Penetuan umur lingkungan pengendapan satuan batugamping klastik
berdasrkan fosil planktonik berada di lampiran II.
51
Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword,dkk (1966) dan Ingle (1980)
III.2.6 Endapan aluvial
III.2.6.1 Penyebaran dan ketebalan
Endapan alluvial merupakan material lepas hasil rombakan dari batuan
yang lebih tua dengan ukuran lempung-bongkah, material ini tersebar kurang
lebih meliputi ± 2 % dari daerah telitian, dan sebagian besar telah menjadi lahan
pertanian dan pemukiman penduduk, terletak pada bagian barat laut peta, dan
berada di daerah Randusari, Desa Watusigar
III.2.6.2 Ciri di lapangan
Satuan ini merupakan material lepas yang belum terlithifikasi dengan ciri-
ciri berupa endapan lepas hasil rombakan batuan yang lebih tua baik dari batuan
beku, piroklastik, maupun batugamping yang berada pada daerah penelitian.
Satuan ini terdiri dari lempung hitam dominan, sampai material dengan ukuran
kerikil-bongkah.
52
Gambar 3.14. Endapan Aluvial berada pada LP 132, di Desa Watusigar, arah foto menghadap ke Ttenggara
Gambar 3.15 Satuan endapan aluvial pada LP 131 yang sebagian besar terdiri atas pasir, kerikil, bongkah dan lempung
III.2.6.3 Umur dan hubungan stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara Pasir Lepas ini dengan satuan batuan yang
berada di bawahnya adalah tidak selaras, yaitu angular unconformity. Dimana
terdapat perbedaan umur yang jauh antara satuan pasir lepas dengan satuan batuan
di bawahnya.
53
BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi adalah bentuk arsitektur kulit bumi yang disebebkan oleh
deformasi serta gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit
bumi dari gaya endogen. Pembahasan struktur geologi di sini lebih ditekankan
pada struktur sekunder, yaitu struktur kekar, sesar, dan lipatan.
IV.1. Struktur Geologi Regional
Terbentuknya struktur geologi regional daerah penelitian tidak lepas dari
tatanan tektonik Indonesia sejak Zaman Neogen, yaitu dengan adanya pergerakan
antara Lempeng Hindia-Australia yang reletif bergerak ke arah utara dan
menumbuk Lempeng Eurasia, sehingga membentuk sistem busur kepulauan dan
jalur gunungapi aktif, serta pola-pola kelurusan. Gambaran umum arah kelurusan-
kelurusan struktur geologi Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :
Gambar 4.1. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan
Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007)
54
Secara regional, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan
Selatan Jawa Timur Bagian Barat. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan
Selatan merupakan sayap geantiklin Jawa yang berarah barat-timur. Pada Kala
Pleistosen Tengah, geantiklin Jawa ini terangkat sehingga menghancurkan
Perbukitan Jiwo dan ambles ke Utara. Jalur Solo dan Pegunungan Selatan
dipisahkan oleh sesar bertingkat yang kemudian tererosi dan memberikan
kenampakan gawir-gawir sesar.
Pada Kala Pleistosen Atas, blok yang terdapat di bawah cekungan
Wonosari memisahkan diri dari sayap selatan. Pada tahap ini gawir sesar
Baturagung menjadi antiklin satu sisi dan Perbukitan Jiwo terletak di atasnya.
Blok-blok miring yang terletak di antara Pegunungan Selatan dan Jalur Solo
sebagai contohnya ditemukan dekat Wonogiri dan Tirtomoyo. Blok sesar
terpisahkan dari blok utama Pegunungan Selatan oleh depresi (Surono dkk, 1992).
Struktur geologi di Pegunungan Selatan berupa kekar, sesar, dan lipatan.
Lipatan terdiri atas sinklin dan antiklin, mempunyai arah umum timurlaut-
baratdaya dan beberapa baratlaut-tenggara. Sayap lipatan bersudut kecil yaitu 3º-
15° dan umumnya berbentuk agak setangkup. Sesar pada umumnya berupa sesar
turun. Sesar utama berarah timurlaut yang dikenal dengan Sesar Opak dan berarah
baratlaut-tenggara yang memotong Gunung Gajahmungkur.
Zona Pegunungan Selatan telah mengalami beberapa fase orogenesa
antara lain: fase orogenesa Mesozoik, Tersier dan Kuarter. Proses ini mengontrol
pembentukan struktur geologi di Pegunungan Selatan. Fase pertama terjadi pada
Masa Mesozoikum, berupa terbentuknya sinklin berarah barat-timur. Proses
55
orogenesa pada akhir Zaman Kapur sampai awal Eosen mengakibatkan
terangkatnya Cekungan Pegunungan Selatan, sehingga menyebabkan fasies
batuan yang berumur Kapur mengalami gangguan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan ditemukannya batuan yang berumur Pra-Tersier, kemudian pada Miosen
Tengah terjadi pengangkatan yang relatif lemah dan mengakibatkan Formasi
Wonosari mempunyai kemiringan yang landai ke arah selatan. Fase orogenesa
terakhir terjadi pada Kala Pleistosen Tengah, pada fase ini bagian dari puncak
Geantiklin Jawa mengalami keruntuhan ke arah utara membentuk gawir berarah
barat-timur dan sesar yang memiliki pola sama, kemudian pengendapan dari
proses vulkanisme dan aluvial mulai berlangsung.
Daerah penelitian menurut Surono dkk (1992), memiliki struktur yang
umumnya berupa struktur sesar (patahan), struktur ini mempunyai arah Timurlaut-
Baratdaya, Baratlaut-Tenggara dan Timur-Barat. Secara umum struktur yang
terbentuk di daerah penelitian tidak terlepas dari pengaruh tektonik dan sejarah
geologi yang terjadi di pulau Jawa (gambar 4.3 ).
Gambar 4.2. Pola struktur geologi regional daerah penelitian (modifikasi dari Surono, dkk., 1992)
56
IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan data pengamatan, pengukuran dan pencatatan data struktur di
lapangan, interpretasi peta topografi dan citra aster maupun landsat SRTM
(Shuttle Radar Topographical Map), maka disimpulkan bahwa pada daerah
penelitian berkembang struktur geologi berupa kekar, lipatan dan sesar.
IV.2.1. Struktur Kekar
Kekar merupakan suatu struktur rekahan pada batuan yang relatif belum
mengalami pergeseran. Struktur kekar yang dijumpai di daerah penelitian
dibedakan atas struktur kekar primer dan struktur kekar sekunder. Struktur kekar
primer terbentuk bersama terbentuknya batuan biasanya di temukan pada batuan
beku, sedangkan struktur kekar sekunder terbentuk setelah proses terbentuknya
batuan yang diakibatkan karena gaya-gaya endogen. Struktur kekar di lapangan di
temukan pada batuan piroklastik maupun pada batugamping.
Penentuan jenis struktur kekar pada daerah penelitian ditentukan
berdasarkan bentuk, ukuran, kerapatan, dan genesanya. Struktur kekar yang
dijumpai pada daerah penelitian adalah kekar gerus (gambar 4.4) dan kekar tarik.
Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada LP 103.arah umum dari kekar ini N358⁰E/76⁰ dan N060⁰E/62⁰,lokasi di tepi sungai , kekar pada tuf
57
Pengukuran kekar untuk mengetahui arah gaya yang bekerja pada daerah
penelitian pada dusun LP 103, hal ini karena selain di tempat ini hampir semua
kekar yang ditemukan pada daerah penelitian sangat tidak ideal dan tidak
mungkin untuk di ambil karena posisi struktur yang sudah berantakan dan hancur.
IV.2.2. Struktur sesar
Sesar adalah suatu zona rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran dan sejajar terhadap bidang rekahan yang terbentuk sepanjang garis
lurus (translasi) atau berputar (rotasi). Unsur-unsur atau tanda-tanda geologi yang
mengindikasikan adanya sesar antara lain :
a. Bidang sesar
b. Gawir
c. Kelurusan topografi
d. Kelurusan sungai
e. Perbedaan offset litologi
Sesar yang terbentuk pada daerah penelitan berupa sesar turun dan sesar
mendatar kiri. Sesar-sesar ini membentuk pola garis lurus ataupun sedikit berotasi.
Sesar yang tergambar di peta geologi adalah sesar turun yang terindikasi
dilapangan berupa blok yang bergerak turun dan adanya kenampakan gawir sesar,
penarikan kelurusan pada peta topografi mengikuti kelurusan sungai di daerah
penelitian yang dimana sungai tersebut penulis indikasi dibuat pada zona
kelurusan sesar. Selain itu ada juga sesar-sesar kecil yang ditemukan di lapangan.
Sesar di lapangan ini di temukan dengan ciri-ciri adanya salah satu, bidang sesar
dan adanya offset pada batuan yang tersesarkan. Sesar-sesar ini memotong satuan
58
batuan breksi andesit, dan tuf yang kelurusannya hanya setempat-setempat pada
daerah penelitian. Selanjutnya untuk mengetahui setiap jenis sesar, mekanisme
dan daerah sebenarnya, maka sesar-sesar di sini diberi nama sesuai dengan nama
daerah yang dilalui sesar tersebut, sehingga memudahkan dalam pembahasannya.
IV.2.2.1 Sesar Mendatar Kiri Bendung
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat indikasi sesar
mendatar kiri pada Daerah Banyukendil memanjang hingga ke arah timur laut di
sekitar Daerah Surobayan, Desa Bendung. Hal ini dapat disimpulkan karena
dilapangan ditemui offset akibat dari adanya sesar mendatar kiri . Pada daerah ini
litologi berupa tuf dan breksi andesit yang merupakan Satuan Tuf. Kemudian data
lain yang menguatkan bahwa pada daerah ini terdapat sesar mendatar kiri adalah
karena dilapangan ditemukannya zona sesar, pada daerah Banyukendil LP-96
yang apabila ditarik kemenerusannya, maka sampai pada Daerah Duwet. Pada
lokasi zona sesar, dijumpai bidang sesar dan dilakukan pengukuran bidang sesar
yaitu N021°E/67°
Gambar 4.4. Sesar Mendatar Kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf, Satuan Tuf, ditemukan
bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri. Foto diambil pada Desa Bendung Lp-98.
59
IV.2.2.2 Struktur Antiklin Ngampon
Struktur lipatan yang berkembang pada daerah telitian yaitu sinklin dan
antiklin yang relatif berarah Barat – Timur. Indikasi adanya struktur lipatan
ditemukan di Daerah Tapansari, Desa Watusigar. Pada Lp-5 yaitu bagian sayap
utara lipatan, memiliki kedudukan N235°E/20°, N234°E/19° sedangkan pada LP-
109 bagian sayap selatan lipatan adalah memiliki kedudukan N086°E/30°,
N089°E/34° (Foto 3.28). Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan
yang terjadi pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi.
Gambar 4.5. Antiklin Ngampon pada singkapan tuf , Satuan tuf, di dapatkan antiklin dengan arah umum barat –timur. Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi
pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi. Foto diambil pada Desa ngampon LP 5
IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi di Daerah Penelitian
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian diduga merupakan
hasil dari aktivitas vulkanisme dan tektonisme masa lampau. Struktur yang
berkembang pada umumnya merupakan kombinasi keduannya, dimana dari hasil
vulkanisme menyebabkan terbentuknya pola struktur radial, hal ini di perkuat
60
dengan adanya struktur-struktur sesar turun minor konsentris yang di temukan di
daerah penelitian, struktur ini diduga merupakan struktur mayor purba yang telah
tererosi sehingga tidak tampak kemenerusan di lapangan. Kemudian pembentukan
struktur geologi daerah penelitian berlanjut akibat adanya aktivitas tektonik pada.
Proses tektonik ini mengakibatkan terbentuknya struktur-struktur kekar dan sesar-
sesar mendatar yang memotong satuan-satuan batuan vulkanik dan satuan
batugamping yang telah terbentuk sebelumnya.
61
BAB V
SEJARAH GEOLOGI
V.I. Sejarah Geologi Daerah Penelitian
Sebelum Kala Miosen aktivitas tektonik yang global telah terjadi. Posisi
zona subduksi pertemuan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-
Australia telah mengalami pergeseran dan berada memanjang dari barat Sumatra
menerus sampai bagian selatan Pulau Jawa, ke timur sampai Nusa Tenggara
(Asikin,1974). Sehingga dengan adanya pergerakan lempeng yang bersifat
konvergen akan membentuk suatu jajaran gunungapi sebagai akibat pelelehan
(partial melting) dari gesekan keduanya.
V.I.1. Kala Miosen Awal-Miosen Akhir
Sejarah geologi di daerah penelitian diperkirakan dimulai pada Kala
Miosen Bawah, yang ditandai dengan aktivitas vulkanisme pada daerah ini.
Vulkanisme ini menghasilkan lava yang bersifat basaltik-andesitik, batuan gunung
api seperti tuf, dan breksi andesitik-basaltik, Diduga periode ini berlangsung pada
laut dangkal – laut dalam. Selama perkembangannya, aktivitas vulkanisme ini
mengalami suatu evolusi magma akibat adanya pemisahan gas dari cairan magma
selama proses diferensiasi dimulai dari basal menjadi andesit basal, andesit dan
dasit atau bahkan riolit. Pada fase ini terbentuk lava andesit-dasitik.
Tidak berlangsung lama pada kala Miosen Bawah perubahan magma ini
juga menyebapkan ledakan eksplosif yang sangat merusak sehingga membentuk
62
kaldera pada pusat erupsi tersebut. Letusan besar pembentukan kaldera gunung
api yang berada di luar lokasi bagian timur dan selatan, ini disebabkan oleh
tekanan gas di dalam magma yang sangat kuat. Kemungkinan lain terbentuknya
tekanan sangat kuat adalah karena terjadinya percampuran magma basal dengan
magma asam (magma mixing). Ciri khas batuan gunung api produk letusan sangat
besar ini banyak mengandung pumis dalam berbagai ukuran dan berkomposisi
asam.
Pada fase ini kemudian di endapkan satuan breksi polimik (breksi aneka
bahan) dimana fragmen pada breksi ini merupakan batuan yang lebih tua yang
terbentuk terlebih dahulu diantaranya basalt, andesit, serta fragmen tuf yang
terbentuk bersamaan dengan batuan breksi polimik ini. Fragmen beragam tersebut
tidak menutup kemungkinan bahwa fragmen-fragmen batuan tua dapat berasal
dari gunung api lain yang berada di sekitar daerah penelitian. Selain breksi
polimik, satuan tuf dan satuan breksi pumis juga terendapkan pada fase ini dengan
hubungan menjemari satu sama lainnya. Ketiga satuan ini diperkirakan
diendapkan pada lingkungan darat - laut dangkal dimana dari data dilapangan hal
ini di dukung oleh struktur sedimen yang terlihat pada litologi tersebut. Hal ini di
bahas secar rinci pada bab pembahasan selanjutnya.
Selanjutnya masih pada Kala Miosen Tengah secara selaras di atasnya
diendapkan satuan batuan breksi andesit, yang ditandai dengan aktivitas
vulkanisme pada satuan ini. Vulkanisme ini menghasilkan lava basaltik-andesitik
yang bersifat konstruktif
63
V.I.2. Kala Miosen Tengah – Miosen Akhir
Pada kala Miosen Tengah di duga kegiatan vulkanisme tersebut berhenti
yang kemudian dilanjutkan dengan pengendapan sedimen asal laut dangkal di
antaranya batugamping klastik di sebelah selatan dan tengah bagian barat daerah
penelitian yang di duga merupakan lingkungan laut dangkal pada saat itu.
Disamping proses pengendapan sedimen laut, proses eksogen juga berpengaruh
pada batuan vulkanik yang berada pada lingkungan darat. Sehingga sebagian
material tersebut mengalami pengerjaan ulang melalui proses sedimentasi
(epiklastik) kemudian mengendap pada kaki maupun danau bekas gunung api dan
terlithifikasi. Litotologi hasil pengerjaan ulang batuan gunung api ini yaitu
batupasir tufan yang terdapat pada daerah penelitian yang merupakan anggota dari
satuan tuf.
V.I.3 Kala pliosen Akhir
Pada akhir Pliosen terjadi fase tektonik berupa pengangkatan. Prosesnya di
tandai oleh berakhirnya pengendapan satuan batugamping di laut dan di gantikan
oleh sedimen darat berupa endapan alluvial maupun endapan asal gunung api
Kuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah penelitian dari lingkungan
laut menjadi darat
64
Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi, magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen Tengah Terjadi ledakan sangat
eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen
Akhir fase tektonik berupa pengangkatan.
2
1
3
65
BAB VI
GEOLOGI LINGKUNGAN
Geologi lingkungan merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang
mempelajari tentang interaksi antara manusia dengan alam lingkungannya, serta
pelestarian dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Pembahasan geologi lingkungan
adalah untuk mengetahui potensi geologi di daerah penelitian. Potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam hal ini adalah
sumber daya alam, sedangkan potensi yang merugikan adalah bencana alam.
VI.1. PotensiSumberDayaAlam
Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang terdapat di
lautmaupun di darat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sumber
daya alam yang dapat ditemukan pada daerah penelitian diantaranya: sumberdaya
air, lahan, bahan galian dan sumber daya kayu.
VI.1.1. Air
Secara umum kondisi perairan di daerah penelitian cukup baik, dengan
curah hujan yang hamper merata setiap tahun, serta kondisi vegetasi yang lebat
dan masih terjaga sebagai media penahan air hujan yang meresap kedalam tanah.
Potensi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar daerah penelitian berasal
dari air permukaan, yaitu pada air sungai yang berada di sekitar pemukiman
penduduk dan airtanah pada air sumur. Besarnya debit air sungai yang ada di
daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Masyarakat yang berada di
66
sekitar aliran sungai umumnya memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-
hari, seperti mencuci, mandi, dan irigasi. Sedangkan untuk air minum, masyarakat
menggunakan airtanah (air sumur).
Sungai-sungai di daerah penelitian merupakan sungai yang bersumber dari
air hujan, hal ini dapat diketahui dari tidak tetapnya air sungai. Pada musim hujan
air mengalir sangat deras dan melimpah, sedangkan pada musin kemarau air
sungai sangat dangkal dan ada beberapa sungai yang menjadi kering
Gambar6.1.Air sungai sebagai sumber daya air pada Kali Oyo. Foto diambil dari
LP 25, di Desa watusigar, lensa kamera menghadap ke barat
VI.1.2. Bahangalian
Bahan galian sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Bahan galian merupakan salah satu aspek geologi yang sangat berguna bagi
masyarakat, bahan galian ini sering dimanfaatkan sebagai bahan dasar bangunan,
jalan, jembatan, perabotan rumah, dan juga sebagai mata pencarian warga di
daerah penelitian maupun di luar daerah penelitian. Potensi bahan galian yang ada
67
di daerah penelitian termasuk dalam bahan galian golongan C berupa breksi
pumis, tuf, batugamping,serta pasir dan batu (sirtu).
VI.1.2.1. BreksiPumisdanTuf Breksi pumis pada daerah penelitian sering di jadikan masyarakat sebagai
bahan bangunan dimana kegiatan penambangan ini dilakukan secara tradisional
dengan menggunakan alat sederhana seperti linggis dan palu untuk mengupas
batuan tersebut.
Gambar6.2.TempatpenambanganbreksipumispadaDesaSurodadi LP
45.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)
Gambar 6.3.TempatpenambanganbreksipumispadadesaSurodadi LP
35.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)
68
VI.1.2.2. Batugamping Batugamping terdapat di sebelah Selatan bagian barat daerah penelitian,
dimana penyebarannya dari Desa Kedongdowo pada bagian selatan sampai Desa
Beji di bagian utara. Potensi batugamping di daerah penelitian sebenarnya cukup
baik untuk ditambang, namun kegiatan penambangan tidak secara besar-besaran
melainkan hanya setempat-setempat kecil oleh beberapa orang yang tinggal
didekat daerah penambangan tersebut. Batugamping ini sering dimanfaatkan
masyarakat sekitar sebagai bahan bangunan dan pengerasan jalan.
Gambar 6.4.Penambanganbatugamping yang
dilakukanolehwargasetempat.LensakameramenghadapkeBaratdaya VI.1.3. Sumber daya Lahan
Tanah di daerah penelitian mengandung unsure hara yang sangat baik bagi
tanaman, sehingga pemanfaatan lahan ini digunakan untuk bercocok tanam, yaitu
sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan. Daerah yang landai dan dekat
dengan tubuh sungai maupun dataran alluvial sering dimanfaatkan untuk lahan
pertanian dimana umunya di jadikan lahan persawahan, sedangkan tempat yang
69
tinggi sering dimanfaatkan untuk lahan perkebunan misalnya kebun kayuputi,
jagung, kebun kacang dan kebun singkong.
Gambar 6.5 Perkebunan kayuputi pada perbukitan bergelombang sedang, di desa kedong
dowo kecamatan karangmojo ,di barat daya lokasi daerah penelitian. Lensa kamera menghadap barat-laut (fotopenulis 2013)
Gambar 6.6.daearah persawaan yang berada di dataran rendah (aluvial), di desa randusari,
kecamatan ngawen, dibagian tengah lokasi daerah penelitian, lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis 2013)
70
VI.2 BencanaAlam
Bencana alam adalah suatu proses yang dapat menimbulkan kerugian bagi
makhluk hidup baik yang terjadi secara alamiah maupun yang di sebabkan oleh
aktifitas manusia. Bencana alam oleh proses almiah yang sering terjadi pada
daerah penelitian adalah tanah longsor hal ini dikarenakan derah penelitian
merupakan daerah perbukitan dengan kelerengan yang terjal sehingga berpotensi
longsor jika terjadi nya cura hujan yang
Gambar6.7. Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto menghadap ke tenggara
(foto penulis 2013)
71
BAB VII PETROLOGI BATUAN GUNUNG API
Bronto (2009), Batuan gunung api adalah batuan yang terbentuk sebagai
hasil dari kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api diartikan sebagai proses
keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan
VII.1 Latar Belakang
Pegunungan Selatan merupakan bagian dari pembelajaran busur gunung
api berumur Tersier, selain yang tersebar luas di kepulauan Indonesia. Secara
umum, produk gunung api tersebut dikenal sebagai Old Andesite Formation
(Bemmelen, 1949) yang kemudian menjadi acuan para ahli geologi saat
menjumpai batuan gunung api berumur tua (Bronto, 2010).
Daerah penelitian merupakan Zona Pegunungan Selatan bagian barat.
Menurut Surono, dkk. (1992) dalam Peta Geologi Regional Surakarta-Giritontro
daerah Melikan Gunungkidul, disusun oleh beberapa kelompok batuan, di
antaranya: Breksi Pumis, Tuf dan Breksi Polimik yang di kelompokan kedalam
formasi Semilir. Secara stratigrafis, kelompok batuan tersebut adalah batuan
tertua berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Selaras-menjari di bagian atasnya
terdapat litologi Breksi Andesit yang di masukan kedalam Formasi Ngalanggrang
berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi tersebut menjari dengan breksi
gunung api, aglomerat, lava andesit-basal dan tuf yang dimasukan ke dalam
Formasi Nglanggeran. Sedangkan pada formasi Oyo di bagian utara daerah
72
penelitian tidak selaras dengan formasi Nglanggrang, sedangkan pada bagian
selatan formasi Oyo selaras menjari dengan formasi Wonosari. Di daerah ini, ke
empat formasi tersebut dilingkupi oleh lempung hitam endapan lakustrin yang
oleh Surono, drr.,(1992) disebut Formasi Baturetno (gambar 7.1).
Gambar 7.1. Peta geologi regional daerah penelitian. ( modifikasi dari Surono,dkk., 1992)
Dari pembahasan diatas di terangkan secara jelas bahwasanya daerah
penelitian disusun oleh kelompok batuan gunung api selain batuan sedimen,
seperti breksi, aglomerat, braksi pumis, polimik dan tuf , sehingga penulis
berpendapat bahwa di daerah penelitian pernah berlangsung kegiatan gunung api
pada masa lampau. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti daerah ini dengan
pembahasan mengenai petrologi gunung api daerah melikan dan sekitarnya
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
73
VII.2 Dasar Teori
VII.2.1 Pengertian Gunung Api
Schieferdecker (1959 dalam Hartono, 2000) menyatakan bahwa gunung
api yaitu tempat di permukaan bumi di mana magma dari dalam bumi
keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk sebuah
gunung berupa kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya.
MacDonald (1972), menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau
bukaan dari mana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari
dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang
kemudian membentuk bukit atau gunung.
Dari kedua batasan tersebut dinyatakan bahwa setiap tempat keluarnya
magma ke permukaan bumi adalah gunung api Bronto (2010). Dalam
perkembangannya, gunung api tidak selalu menunjukkan bentuk timbul seperti
bukit atau gunung, namun dapat pula berbentuk cekung, seperti gunung api tipe
perisai.
Tempat atau bukaan keluarnya batuan bijar atau gas tersebut disebut
kawah atau kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma. Batuan atau
endapan gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang
terbentuk akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Wilson (1989), menyatakan bahwa gunung api dapat terjadi di
lingkungan tektonik dalam lempeng (samudra dan benua), dan atau di batas
lempeng (konstruktif dan destruktif). Gunung api yang terbentuk di kedua tatanan
74
tektonik tersebut mempunyai karakteristik tertentu di dalam kisaran kandungan
SiO2, afinitas magma, dan bentang alam gunung apinya. Sebagai contohnya,
gunung api yang terbentuk pada lingkungan tektonik konvergen menunjukkan
bentang alam sebagai busur kepulauan, afinitas magma toleit-alkalin, dan
menghasilkan batuan beku berkomposisi basa sampai asam. Secara umum,
memiliki bentang alam gunung api tipe komposit (strato), terdiri atas perselingan
lava dan batuan piroklastika, retas dan sill, kelerengan terjal, dan umumnya
membentuk kerucut simetris.
VII.2.2 Volkanisme dan Batuan Gunung api
Vulkanisme adalah proses alam yang berhubungan dengan kegiatan
gunung api, dimulai dari asal – usul pembentukan magma di dalam bumi hingga
kemunculannya ke permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatan (Bronto
,2004).
Batuan gunung api merupakan hasil kegiatan gunung api secara langsung
(primer) maupun tidak langsung (sekunder). Kegiatan secara langsung merupakan
proses keluarnya magma ke permukaan bumi (erupsi) berupa letusan (eksplosi)
dan lelehan (efusi) atau proses yang berhubungan. Kegiatan tidak langsung
(sekunder) adalah proses yang mengikuti kejadian primer (Sandi Stratigrafi
Indonesia, 1996).
Penggunaan kata batuan di dalam penamaan batuan gunung api ini
diartikan secara luas, yaitu bahan hasil dari aktivitas gunung api baik secara
langsung maupun tidak langsung, mulai dari bahan lepas (loose material) sampai
dengan yang sudah membatu (lithified material). Pengertian langsung
75
dimaksudkan bahwa bahan erupsi gunung api itu setelah mendingin/mengendap
kemudian membatu di tempat itu juga (insitu), sedangkan pengertian tidak
langsung menunjukkan bahwa endapan/batuan gunung api tersebut sudah
mengalami pengerjaan ulang atau deformasi, baik oleh aktivitas vulkanisme
muda, proses – proses sedimentasi kembali, maupun aktivitas tektonik (Bronto,
2004). Umumnya dikenal ada dua jenis erupsi gunung api yaitu: erupsi lelehan
(efusie), dan erupsi letusan (eksplosif). Erupsi lelehan berupa lelehan lava yang
bila sudah membeku membentuk batuan beku luar. Berhubung mempunyai
kesamaan tekstur, batuan beku intrusi dangkal dan batuan beku luar dipandang
sebagai hasil kegiatan vulkanisme. Erupsi kedua yaitu erupsi letusan (eksplosif)
dimana material hasil erupsi letusan ini selalu bertekstur klastika sehingga
dimasukan ke dalam kelompok batuan klastika (piroklastik) gunung api (Bronto,
2004).
Menurut Cas dan Wright (1987) McPhie, dkk. (1993) dan Bronto (2004),
batuan hasil erupsi gunung api dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu lava
koheren (coherent lavas) dan batuan klastika gunung api (volcaniclastic rocks).
Mengenai struktur batuan gunung api, untuk lava koheren mengikuti hukum-
hukum yang berlaku di dalam batuan beku, seperti halnya struktur masif,
berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan rekahan radier
yang mencerminkan proses pendinginan. Pembentukan struktur di dalam endapan/
batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih mengikuti
hukum batuan sedimen (proses pengendapan), misalnya struktur perlapisan/
laminasi, silang-siur, perlapisan, melensa, membaji, antidunes dan lain-lain. Itulah
76
sebabnya batuan gunung api sebaiknya tidak dipaksakan untuk masuk ke dalam
jenis batuan beku atau batuan sedimen tetapi lebih baik dipandang sebagai
kelompok batuan tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis
batuan utama tersebut (Bronto 2004).
VII.2.2.1 Lava Koheren Lava koheren pada hakekatnya adalah lava erupsi lelehan (efusif), yaitu
magma yang keluar dari dalam bumi melalui lubang kepundan gunung api dan
membeku di permukaan bumi, (Bronto, 2004), menyatakan bahwa pembekuan
magma di dekat permukaan ini dimungkinkan karena :
1. Magma sudah mengkristal terlebih dahulu sebelum pergerakannya
mencapai ke permukaan bumi.
2. Tidak semua magma keluar ke permukaan bumi sewaktu gunung api
bererupsi atau meletus, tetapi juga tidak kembali ke dapurnya jauh di
dalam bumi setelah erupsi gunung api berhenti. Sebagian magma itu
tersisa dan membeku di sepanjang perjalanan dari dapur magma ke
permukaan bumi yang dalam hal ini adalah kawah atau kaldera gunung
api. Kelompok batuan sub-gunung api ini antara lain membentuk retas,
sill, leher gunung api atau kubah bawah permukaan. Magma yang
membeku di pipa kepundan sehingga bagian atasnya menyembul ke
permukaan sedangkan bagian bawahnya berada di bawah permukaan
disebut leher gunung api atau sumbat lava
77
VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api
Batuan klastika gunung api adalah batuan gunung api yang bertekstur
klastika (disarikan dari Fisher, 1961, Fisher, 1966 Fisher dan Smith, 1991
Pettijohn, 1975, Walker dan James, 1992, Mathisen & McPherson, 1991 dalam
Bronto, 2004). Secara deskripsi, terutama tekstur (bentuk dan ukuran butir),
batuan klastika gunung api dapat berupa breksi gunung api (volcanic breccias),
konglomerat gunung api (volcanic conglomerate), batupasir gunung api (volcanic
sandstones), batulanau gunung api (volcanic siltstones) dan batulempung gunung
api (volcanic claystones). Perlu ditegaskan disini bahwa penggunaan kata pasir,
lanau dan lempung hanyalah untuk menunjukkan ukuran butir, tidak secara
langsung mencerminkan sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama - nama
tersebut dapat ditambah dengan parameter warna, struktur dan atau komposisi
tergantung aspek mana yang menonjol dan mudah dikenali.
Berdasarkan asal-usul proses fragmentasi dan genesanya maka batuan
klastika gunung api dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu batuan autoklastika, batuan
piroklastika, batuan kataklastika dan batuan epiklastika (Bronto 2004).
Batuan autoklastika (breksi autoklastika/ autoclastic breccias) yaitu lava
yang karena pendinginan yang sangat cepat dan bersentuhan dengan batuan dasar
atau batuan samping yang dingin sehingga terjadi fragmentasi di bagian tepi atau
luar dari tubuh magma/ lava tersebut merupakan batuan beku luar. Berhubung
yang sering dijumpai adalah fragmentasi berukuran kasar dan berbentuk
meruncing maka batuannya disebut breksi autoklastika. Ciri-ciri batuan ini
78
bertekstur klastika tetapi komposisi fragmen dan matriks homogen, berupa batuan
beku berasal dari magma yang sama.
Batuan piroklastika yaitu batuan gunung api bertekstur klastika sebagai
hasil letusan gunung api atau guguran lava secara langsung. Sebanding dengan
batuan piroklastika adalah batuan hidroklastika, yakni batuan gunung api
bertekstur klastika sebagai hasil letusan uap air (letusan freatik, hidrotermal) yang
membongkar batuan tua di atasnya. Uap air berasal dari air bawah tanah
bercampur dengan uap magma yang terpancarkan, namun dalam hal-hal tertentu
uap air itu berasal dari air permukaan (air hujan, sungai, danau, es atau air laut).
Dalam hal ini bahan padat atau cairan dari magma tidak ikut terlontarkan. Letusan
transisi diantara letusan magmatik dengan letusan freatik adalah letusan
freatomagmatik.
Dikarenakan gunung api sangat erat hubungannya dengan batuan
piroklastik selain batuan beku ekstrusif seperti lava, penulis lebih tekankan akan
pengetahuan tentang batuan piroklastik.
Batuan piroklastik adalah batuan volkanik klastik yang dihasilkan
oleh serangkaian proses yang berkaitan langsung dengan letusan gunung api
(Cas & Wright, 1987). Hirokawa (1980) mendefinisikan batuan piroklastik
secara umum sebagai batuan yang tersusun oleh material-material fragmental
hasil lontaran (keluar) akibat letusan gunung api. Menurut Williams et
all.,(1982), batuan piroklastik yaitu batuan bertekstur klastik sebagai hasil
pengendapan fragmen bentukan kegiatan gunung api secara langsung, umumnya
berupa erupsi eksplosif. Sedangkan Fisher (1961) diikuti Pettijohn (1975), men
79
yatakan bahwa piroklastik merupakan kata sifat untuk batuan hasil letusan atau
lontaran material dari suatu lubang gunung api yang terakumulasi baik di
daratan maupun di bawah air laut.
Secara umum batuan piroklastik dapat dibagi menjadi beberapa litologi
diantaranya: breksi, aglomerat, lapili dan tuf (Fisher & Schminke 1984).
1. Breksi piroklastik a d a l a h batuan yang tersusun atas aglomerat dan
fragmen tuf. Batuan ini terbentuk akibat konsolidasi dari block-block
gunung api dan tuf. Berukuran lebih dari 64 mm, dengan bentuk butir
yang meruncing, grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan
hubungan antar butir yang terbuka. Breksi Piroklastik adalah penamaan
batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke,
(1984).
2. Aglomerat adalah batuan yang dibentuk oleh konsolidasi material-material
dengan kandungannya didominasi oleh bomb gunungapi dimana
kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan bentuk butir yang
membundar, dan berukuran lebih dari 64mm. Agglomerat adalah
penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher &
Schminke (1984).
3. Lapili berasal dari bahasa latin yaitu lapillus, nama untuk hasil
erupsi eksplosif gunung api yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain
itu fragmen batuan kadang- kadang terdiri dari mineral-mineral augit,
olivin dan plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan
80
fragmen lapili pada masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan
piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke (1984).
4. Tuf adalah batuan piroklastik yang berukuran 2 mm - 1/256 mm yang
dihasilkan oleh pelemparan dari magma akibat erupsi eksplosif. tuf
sudah mengalami konsolidasi, dengan kandungan abu mencapai 75%.
Tuf adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut
Fisher & Schminke (1984).
Tabel 7.1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984)
81
Gambar 7.2. (a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam
Bronto,2009)
Gambar 7.3. Skema penampang kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C.
Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003)
82
Gambar 7.4. Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and Hazlet,2010)
VII.2.2.3 Jenis Endapan Piroklastik
Sukhyar (1982) merinci hasil kegiatan hasil suatu gunung api, selain gas
yang tidak terekam ujudnya, maka dapat di bedakan tiga macam hasil kegiatan,
yaitu :
1. Endapan piroklastik jatuhan merupakan hasil endapan ekplosif dari
gunung api yang diendapkan melalui udara.Ciri-ciri: Memperlihatkan
struktur butiran bersusun dan endapan berlapis naik.
2. Endapan piroklastik aliran merupakan endapan piroklastik yang mana
material langsung teronggokan di suatu tempat.Ciri-ciri: Sebarannya
sangat dipengaruhi oleh morfologi, Batas bawah dibatasi oleh area dan
pada bagian atasnya relative datar dan umumnya mempunyai struktur
masif.
3. Endapan piroklatik surge merupakan endapan piroklastik yang berasal dari
suatu awan panas dengan kepadatan rendah, campuran dari unsure-unsur
83
padat, uap air, gas yang bergolak di atas permukaan dengan kecepatan
tinggi.Ciri-ciri: Perlapisan yang baik, adanya penjajaran butiran pipih dan
adanya perlapisan bergelombang.
Gambar 7.5..Jenis-jenis endapan piroklastik.(Colin and Bruce, 2000)
VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan stratigrafi gunung api.
Identifikasi Fasies gunung api menurut modifikasi yang mengacu ke
dalam model fasies gunung api menurut (Bogie & Mackinzie, 1998, dalam
Bronto, 2006) (Gambar 7.6) model fasies gunung api ini dapat dipakai ke dalam
tipe gunung api strato. Seperti gunung api purba yang terdapat di daerah
penelitian peneliti. berdasarkan stratigrafi gunung api dibagi menjadi 4 Fasies
gunung api, yaitu:
84
1. Fasies Sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke
permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku
yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi
gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api
(volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes).
Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah
atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah
tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau
diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fluida
hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya mineral ubahan
atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies ini sangat lanjut, batuan
berumur tua yang mendasari gunung api juga dapat tersingkap.
2. Fasies Proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan
lokasi sumber atau Fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api
komposit sangat dipengaruhi oleh perselingan aliran lava dengan breksi
piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga
biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba.
3. Fasies Medial merupakan lokasi yang menjauhi sumber, aliran lava dan
aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika sangat dominan, dan
breksi lahar juga sudah mulai berkembang.
4. Fasies Distal merupakan daerah pengendapan terjauh dari sumber, Fasies
distal oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar,
85
breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer
gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf.
Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada perkecualian, apabila terjadi
letusan besar sehingga menghasilkan endapan piroklastika atau endapan longsoran
gunung api yang melampar jauh dari sumbernya.
Gambar 7.6. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial,
dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie,1998)
VII.3 Metode Pendekatan
Metode yang dipakai untuk memecahkan masalah tentang petrologi batuan
gunung api yaitu dengan menggunakan analisis, sifat fisik yang meliputi tekstur,
struktur dan komposisi, yang diamati di lapangan serta penamaan batuan
berdasarkan klasifikasi Fisher & Schmincke, (1984), dan berdasarkan sifat optis
86
yang diamati di bawah mikroskop polarisasi serta penamaan berdasarkan
klasifikasi Schmid (1981) Gilbert (1982) dan Pettijohn, (1975).
Di samping metode di atas, indikasi gunung api purba mengacu pada
prinsip geologi “the present is the key to the past” (Hutton, 1788), Artinya,
bentuk bentang alam, jenis batuan, struktur geologi dan stratigrafi gunungapi, dan
tipe letusan yang terjadi pada masa sekarang dapat diterapkan untuk mengetahui
kondisi geologi diantaranya petrologi batuan gunung api yang terdapat pada
daerah penelitian saat ini.
VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api
Daerah Melikan dan sekitarnya penulis interpretasikan sebagai suatu
bentang alam yang disusun oleh produk gunung api dalam jalur gunung api
Tersier Pegunungan Selatan Jawa Tengah selain bentang alam lain yang ada
disekitarnya. Hal ini didukung oleh morfologi dan terutama oleh litologi yang
tersusun oleh satuan-satuan stratigrafi tidak resmi yang terdiri dari breksi vulkanik
polimik, breksi pumis, dan tuf. Parameter yang digunakan peneliti dalam
identifikasi batuan gunung api di daerah penelitian mengacu pada metode
pendekatan oleh Bronto (1997 dan 2006).
Bronto (2006), secara deskriptif (pemerian) batuan gunungapi mempunyai
ciri-ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut:
1. tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren
maupun sebagai komponen bahan piroklastika,
87
2. komposisi selalu mengandung gelas gunung api; kristal yang terbentuk
pada umumnya menunjukkan tekstur dan struktur pendinginan magma
sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen
batuan beku (luar), seperti basal, andesit, dasit atau riolit.
VII.4.1. Analisis profil dan litofasies pada LP 44
Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran suatu satuan Dalam
penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,
tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.
VII.4.1.1 Analisis profil
Anlisis profil pada LP 44 ini di dapatkan litologi berupa, breksi polimik,
tuf, dan breksi pumis. Profil di lapangan pada LP 44 ini dari bawah ke atas dapat
di jelaskan sebagai berikut :
Tabel 7.2. Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala)
88
Gambar.7.7. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Jirak, Kecamatan Semin,
singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi polimik, kemudian lapisan tuf dan paling bawah berupa breksi
pumis. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).
VII.4.1.2 Breksi pumis
A. Penamaan lapangan
secara megaskopis breksi pumis mempunyai ciri-ciri warna segar abu-abu
gelap – putih dan warna lapuk hitam ke abu-abuan struktur massif, kenampakan
tekstur pada breksi pumis ini, di mana bentuk butir menyudut sampai menyudut
tanggung dengan ukuruan butir (2-64 mm) lapilli-bomb, pemilahan tepilah buruk,
komposisi pada breksi pumis berupa fragmen pumis dan tuf, sedang bahan litik
hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.
89
Gambar .7.8. kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan didominasi oleh
pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto penulis (2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini
urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.
1 Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan
belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
90
b. Ukuran butir: fragmen berukuran (2-64 mm) berupa lapilli-bomb/bolk
tuf dan litik yang tertanam pada masa dasar matrik (1/2- 2 mm).
c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.
Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari
ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.
d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas
ukuran lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa
dasar tuf dan litik.
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku dan fragmen piroklastik
pada masa dasar tuf halus dan litik dengan jenis semen silica maka dapat
disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertical. Kesimpulan dengan dijumpai breksi piroklastik
termasuk kedalam produk dari endapan piroklastika aliran (flow deposit).
VII.4.1.3 Tuf kasar
A. Penamaan lapangan
secara megaskopis kenampakan tuf kasar mempunyai ciri-ciri warna segar
abu-abu kekuningan dan warna lapuk kuning kecoklatan struktur berlapis dan
gradasi, kenampakan tekstur pada tuf kasar ini, di mana bentuk butir membulat
sampai menyudut dengan ukuruan butir (1/16-2 mm) berupa abu-lapilli,
pemilahan tepilah baik, komposisi pada tuf kasar tersusun oleh bahan litik dan tuf
hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.
91
Gambar .7.9 Singkapan tuf kasar degnan struktur berlapis di LP 44 foto penulis (2013)
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian
ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri
1 Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat diinterpretasikan
bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber gunung api, karena
fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari
sumber.
92
b. Ukuran butir: berupa abu kasar dan lapili (1/16-2 mm) yang terdapat di
dalam matrik pada masa dasar tuf, menceritakan bahwa tuf kasar ini
merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silika. Derajat
pemilahan: terpilah sedang menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran akibat dari gravitasi
bumi.
2. Struktur batuan: gradded bedding sehingga dapat diceritakan bahwa pada
paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran dikarenakan butiran-butiran
yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu
karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran
yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa
penghalusan kearah atas.
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan berupa tuf kristal dan fragmen
litik pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan
bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai struktur batuan
gradded bedding, keterdapatan litik maka tuf kasar termasuk kedalam
produk dari endapan piroklastika jatuhan (fall deposit).
93
VII.4.1.4 Tuf halus
A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu
kekuningan dan warna lapuk hitam kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran
butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat
tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan
semen silika.
Gambar 7.10 Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44 foto penulis
(2013)
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur
klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik,
plagioklas (32%), hornblende (10%), kwarsa (14%), mineral opak (4%) dan gelas
vulkanik (58%) Nama Batuan Crystal tuff (Pettijohn, 1975) : Lampiran I
analisis petrografi.
94
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini
urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.
1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, abu halus (< 0,04 mm).
2. Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika
jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah
angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk
morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang
luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.
VII.4.1.5 Breksi Polimik
A. Penamaan lapangan
Kenampakan breksi polimik di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-
abi kehitaman dan warna lapuk hitam ke abu-abuan, tekstur kasar meliputi,
ukuran butir blok-lapili, bentuk butir menyudut sampai menyudut tanggung,
sortasi terlihat buruk dengan kemas terbuka, komposisi pada breksi polimik terdiri
dari beberapa fragmen berupa andesit, basalt, pumis, dan fragmen asesoris lain
95
nya, masa dasar litik dan tuf yang tertanam pada matrik, semen silika, struktur
masif.
Gambar.7.11 Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44. Fragmen batuan di
dominasih oleh batuan beku berupa andesit dan basal, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensah kamera
menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013).
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan beku andesit, warna abu-abu kecokelat-cokelatan,
tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral,
komposisi terdiri dari mineral plagioklas (50%), hornblende (15%), piroksin (5%),
dan opak (10%), mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral
plagioklas, opak, dan gelas, penamaan petrografi Andesit hornblende (Williams
et. al., 1954). Lampiran I analisis petrografi.
C. Analisis lithofasies breksi polimik
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
96
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian
ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan
belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
b. Ukuran butir: fragmen berukuran berupa blok-bomb (64-256 mm), litik dan
tuf yang tertanam pada masa dasar breksi polimik (1/2- 2 mm).
c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.
Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran
yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.
d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah di atas ukuran
lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar
breksi polimik.
2. Struktur massif.
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku berupa andesit dan basalt,
serta fragmen pumis dan asesoris pada masa dasar litik dan tuff dengan jenis
semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam
batuan piroklastik.
97
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dimana di jumpai fragmen andesit
yang dominan pada breksi polimik ini termasuk kedalam produk dari
endapan piroklastik aliran (flow deposit).
VII.4.1.6. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses
jatuhan dan aliran, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan berangsur
dari pada masing-masing lapisan
Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan
dari pada pelamparan secara vertikal dan merupakan produk endapan piroklastika
jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara
lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya
gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir. Tekstur pada pada
LP ini ukuran butir blok, lapilli dan tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses
pengendapan terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran
lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari
gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil
diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas
(normal grading) pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang
ditutupinya dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi
sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti
bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang
luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.
98
Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan litik pada masa dasar tuf
dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini hasil dari
letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada pengamatan dan
analisa profil pada LP 44, dengan keterdapatan asosiasi dengan tuf lapilli dan
breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah ini terendapkan pada fasies
gunung api proksimal-Medial (didasarkan modifikasi model fasies gunung api
menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).
Kemudian pada fase berikut nya terjadi erupsi dengan mekanisme
pengendapan aliran piroklastik (debris flow) didasarkan oleh tekstur yang meliputi
bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan ini belum
mengalami transportasi yang jauh dari sumber, fragmen berupa batuan beku yang
didominasi oleh andesit dan basal, sedangkan pada fragmen batuan piroklastik
antara lain tuf, pumis dan frgamen asesoris lain nya hanya terdapat 20%, maka
fragmen ini adalah hasil dari penghancuran tubu gunung api yang terfragmenkan
dengan masa dasar litik dan tuf, secara megaskopis fragmen ini dicirikan oleh
pada bagian luar sangat berongga dan makin ke dalam makin masif, derajat
pemilahan terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan
tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini
terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil
sebagai masa dasar matrik, sehingga dapat dimasukkan kedalam produk endapan
piroklastika aliran, dimana strutktur pengendapannya symmetric grading sehingga
dapat menceritakan bahwa ada dua mekanisme pengendapannya yang berada pada
99
profil LP 44 ini yaitu jatuhan piroklastik (fall deposit).dan aliran piroklastik
(debris flow).
Gambar 7.12. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan
pada LP 44, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)
VII.4.2. Analisis profil dan litofasies pada LP 62
Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran satuan. Dalam
penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,
tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
VII.4.2.1 Analisis profil
Analisis profil pada LP 62 ini di dapatkan litologi antara lain breksi pumis,
tuf kasar dan tuf, profil dilapangan pada LP 62 ini dari bawah ke atas dapat di
jelaskan sebagai berikut
100
Tabel 7.3. Kolom Profil LP 62 (tanpa skala)
Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas
tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93
E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).
101
VII.4.2.2. Breksi pumis
A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna
segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi
pumis ini meliputi ukuran butir (2-64 mm) berupa lapilli-blok/bomb dan bentuk
butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan
kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan
matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.
Gambar .7.14. Foto singkapan breksi pumis di LP 62, di mana fragmen batuan didominasi oleh
pumis, (foto penulis 2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian
ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
102
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: membundar-membundar tanggung dapat diinterpretasikan
bahwa pengendapan batuan jauh dengan sumber gunung api, karena
fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari
sumber.
b. Ukuran butir: fragmen berukuran lapili-bomb/bolk (2-64 mm), litik yang
tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa
fragmen tidak hanya fragmen pumis, tetapi terdapat juga fragmen litik
dan tuf sehingga breksi pumis ini merupakan produk piroklastik, dengan
komposisi silika.
c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan terjadi percampuran butiran.
2. Struktur batuan pada breksi pumis yaitu struktur gradasi-berlapis .
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis pada masa dasar tuf halus dengan
jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk
kedalam batuan piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. maka breksi pumis termasuk kedalam produk
dari piroklastik jatuhan.
103
VII.4.2.3. Tuf lapili
A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih
keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada tuf lapili ini
meliputi ukuran butir (1/16-2 mm) berupa abu kasar-lapili dan bentuk butir
membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan
sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar litik, pumis dan tuf, semen
silika.
Gambar .7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada di LP 62, Desa Kepek,
kecamatan semin (foto penulis 2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian
ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
104
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: membulat - menyudut dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena matrik pada batuan
belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) yang tertanam pada
masa dasar abu halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa tuf ini
merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan
c. Derajat pemilahan: terpilah halus-sedang menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran dimana ukuran butir lapilli
jatu lebih dulu dari pada abu hal ini yana mengakibatkan akibat gaya
gravitasi bumi
d. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus
2. Struktur pengendapan graded beding normal (lihat di gambar 7.14) sehingga
dapat diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran
dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat
mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian
disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga
membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas.
105
3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian
nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat
disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf lapili merupakan produk
piroklastika jatuhan (fall deposit). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh
arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti
bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran
yang luas sesuai dengan tipe letusan nya, jika letusan nya sedang akan
mengendap dari sentral-medial, tetapi jika indeks letusan nya cukup besar
maka material ini akan mngendap mulai dari sentral-distal dan bahkan biasa
mencapi beberapa ribuan kilo meter.
VII.4.2.4. Tuf
A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar putih abu-
abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan struktur berlapis, tekstur meliputi
ukuran butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai
membulat tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa
dasar tuf dan semen silika.
106
Gambar .7.16. Singkapan tuf di LP 62 foto penulis (2013)
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian
ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda,
dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, berupa abu halus (< 0,04
mm). dan pemilahan sangat baik.
2. Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika
jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah
angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk
107
morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang
luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.
VII.4.2.5. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses
jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan
berangsur dari pada masing-masing lapisan
Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan
dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika
jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara
lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya
gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada
LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan
terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar
dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi
bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya
sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal
grading). Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya
dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi
dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti bentuk morfologi
dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya
dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.
Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen litik pada masa
dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini
108
hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada
pengamatan dan analisa profil pada LP 62 di Dusun Kepek, dengan keterdapatan
asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah
ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api
menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).
Gambar 7.17. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan
pada LP 62, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984). VII.4.3. Analisis profil dan litofaspies breksi pumis
Analisis profil ini untuk mengetahui penyebaran suatu satuan. Dalam
penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,
tekstur dan komposisi batuan serta geometr.
VII.4.3.1 Analisis profi
Analisis profil litologi pada LP 35 antara lain: breksi pumis, tuf kasar, dan
tuf halus tuf, dengan urutan stratigrafi dari bawah ke atas dapat di jelaskan sebagai
berikut
109
Tabel 7.4. Profil LP 35 (tanpa skala)
Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong,
singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan
ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013).
110
VII.4.3.2. Tuf halus
A. Penamaan lapangan
Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu
keputihan dan kuning-kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran butir (< 0,04
mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat tanggung,
pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan semen
silika.
Gamabar .7.19. Kenampakan megaskopis Tuf halus. Foto diambil pada LP 35
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur
klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik,
kuarsa (5%), felspar (5%), opak(5%) dan gelas vulkanik (85%) Nama Batuan
Nama mikroskopis : Vitric tuf (Williams et. al., 1954) lampiran I analisis
petrografi.
111
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini
urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstu, dan komposisi batuan serta geometri
1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, ukuran butir: berupa abu
halus (< 0,04 mm)
2. Komposisi tuf, dengan semen silika,
3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika
jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah
angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk
morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang
luas yang artinya dapat dijumpai dari Fasies Sentral- Fasies Distal.
VII.4.3.3. Tuf kasar
A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih
keabu-abuan dan warna lapuk abu-abu kekuningan, tekstur pada tuf kasar ini
meliputi ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) dan bentuk butir
membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan
sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf, semen silika.
112
Gambar .7.20 Kenampakan tuf kasar dengan struktur berlapis pada LP 35, Desa Sorodadi,
Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubang-lubang, foto penulis (2013).
B. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini
urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan
belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
113
b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm), menceritakan bahwa tuf
ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan.
c. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus.
2. Struktur pengendapan perlapisan.
3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian
nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat
disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf kasar merupakan produk
piroklastika jatuhan (fall deposit). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh
arah angin dan gravitasi bumi.
VII.4.3.4. Breksi pumis
A. Penamaan lapangan
Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna
segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi
pumis ini meliputi ukuran butir berupa lapilli-bolk/bomb (2-64 mm) dan bentuk
butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan
kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan
matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.
114
Gambar 7.21.Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang didominan, pada LP 35,
cuaca cerah, (foto penulis, 2013)
B. Penamaan petrografi
Sayatan tipis batuan piroklastik, warna abu-abu kecoklatan- keputihan,
tekstur klastik dengan ukuran butir 0,06-0,4 mm (very fine sand), bentuk butir
menyudut-membulat tanggung, komposisi terdiri dari plagioklas (32%), kuarsa
(14%), hornblende (10%), mineral opak (4%), gelas volkanik (58%). Nama
batuan : Crystal tuff (Pettijohn, 1975) Lampiran I analisis perografi.
C. Analisis litofasies
Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik
(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang
membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini
urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.
Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur
pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.
115
1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat
pemilahan.
a. Bentuk butir menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa
pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan
belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.
b. Ukuran butir fragmen berukuran berupa bomb-blok (4-64 mm) yang
tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa
breksi pumis ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi
silikaan.
c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses
pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.
Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran
yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.
d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas ukuran
lapili ke atas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar tuf
dan lapilli.
2. Struktur pengendapan reverse grading (lihat di gambar 7.14) sehingga dapat
diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi beberapa fase pengendapan
di mana material yang berukran butir halus-sedang mengendap terlebih dahulu
kumudian fase ke dua material ukuran butir yang lebih besar mengendap di
atas material yang berukuran kecil sehingga membentuk struktur batuan
berupa penghalusan ke bawah.
116
3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis matrik lapilli pada masa dasar tuf
halus sebagian nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika
maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan
piroklastik.
4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada
pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai breksi pumis
termasuk kedalam produk dari endapan piroklastik jatuhan (fall deposit) dan
piroklastika aliran (flow deposit).
VII.4.3.5. Mekanisme pengendapan
Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses
jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan
berangsur dari pada masing-masing lapisan.
Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan
dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika
jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara
lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya
gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada
LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan
terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar
dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi
bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya
sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal
grading) Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya
117
dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi
dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti bentuk morfologi
dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya
dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.
Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen lithic pada masa
dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini
hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada
pengamatan dan analisa profil pada LP 35 di Desa Sorodadi, dengan keterdapatan
asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah
ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api
menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).
Gambar 7.22. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)
118
BAB VIII
KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan dan interpretasi data lapangan dan data laboratorium
yang dilandasi konsep geologi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan
geologi daerah penelitian, yaitu Daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan
Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi 6 (enam) subsatuan
geomorfologi, yaitu : subsatuan geomorfologi dataran, alluvial (F2) subsatuan
geomorfologi tubuh sungai, menempati (F1), subsatuan geomorfologi perbukitan
breksi pumis dan breksi andesit bergelombang sedang-kuat, (D2), subsatuan
geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang kuat (D3),
perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang (D4),
Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh batuan gunung api dan batuan
sedimen terdiri dari 6 (enam) satuan batuan dan 1 (satu) satuan endapan, dengan
urutan dari yang paling tua hingga paling muda adalah satuan breksi pumis, satuan
tuft, satuan breksi polimik, satuan breksi andesit, satuan batugamping dan satuan
endapan aluvial.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan
kekar. beberapa struktur geologi yang telah diidentifikasi berdasarkan data bidang
sesar dan kekar – kekar di daerah sesar, dan adanya kenampakan offset. Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah penelitian terdapat beberapa struktur
geologi yakni Struktur Sesar Mendatar Bendung, namun pada daerah Sesar
Mendatar Kali Lunyu ini tidak ditemukan adanya bidang sesar dikarenakan erosi
119
yang bekerja cukup kuat sehingga penulis menarik sesar diperkirakan. Sesar
diperkirakan berjenis sesar mendatar kiri yang dilihat dari kelurusan sumbu
lipatan dan pembelokan sungai yang tiba-tiba yang menunjukkan sesar mendatar
kiri, pada daerah penelitian juga terdapat struktur antiklin yang dinamakan
struktur antiklin Tapansari
Sesumber geologi yang ada di daerah penelitian berupa sumber daya air,
sumber daya lahan berupa lahan pertanian dan lahan perkebunan, dan bahan
galian golongan C berupa breksi pumis dan batugamping. Bencana geologi di
daerah penelitian berupa gempabumi, gerakan tanah, yaitu tanah longsor.
Dari hasil analisis litofasies dan petrografi dapat di ketahui bahwa litologi
yang berada di daerah penelitian merupakan batuan vulkanik fragmental
(piroklastik). Sedangkan keberadaan batugamping di daerah penelitian,
memberikan kesimpulan bahwa gunung api daerah penelitian merupakan pulau
gunung api, dimana fasies distalnya pada masa lampau beraada di bawa
permukaan laut
DAFTAR PUSTAKA
Alzwar, M., Samodra H, dan Jonatan J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api, Bandung : Penerbit Nova.
Asikin, S., 1987, Geologi Struktur Indonesia, Laboratorium Geologi Dinamik,. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Bandy, O.I., 1967, Foraminiferal Indices in Paleontology, Texas W. H.
Freemanand Company. Bakosurtanal, 2001, Peta Rupa Bumi Lembar Talun (1508-111), kecamatan
Nguntoronadi,Wonogiri. Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I.A, General
Geology, Martinos Nijhoff, The Haque, Holand. Blow, 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera
Biostratigraphy – Internal Cont. Planctonic – Microfossil, First Edition, Proc. Leiden E.J. Brill, Geneva.
Bogie, I., dan Mackenzie, K.M., 1998. The application of volcanic facies models
to an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings, 20th New Zealand Geothermal Workshop.
Bronto.S, 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Jurnal Geologi
Indonesia, Pusat Survey Geologi, Bandung, Indonesia. Bronto.S., Mulyaningsih.S, 2009, Waduk Parangjoho dan Songoputri; Sumber
erupsi Formasi Semilir daerah Eromoko - Wonogiri, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol.4.No.2 juni.,79-92
Cas, R.A.F & Wright, J.V, (1987), Volcanic Successions “Modern &
Ancient”a geological approach to processes, product and successions, Allen & Unwinn, London.
Fisher, R.V., and Schmincke, H.U. (1984), Pyroclastic Rocks, Springer-
Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, Tokyo. Hamilton, W.H., 1979. Tectonics of Indonesia Region. Washington : U.S.Geology
Survey. Hartono.G., Bronto.S, 2007, Asal–usul pembentukan Gunung Batur di daerah
Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal IAGI, Vol.2.3 september., 143 – 158. Yogyakarta.
Hartono, G., 2000. Studi Gunung api Tersier: Sebaran Pusat erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta. Tesis S2, ITB, 168 h, tidak diterbitkan
Hirokawa, O., 1980, Introduction of Volcanoes and Volcanic, Mineral Tecnology
Development Centre, Bandung, Indonesia. Howard, A.D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation, AAPG
Bulletin, vol. 51, pp 2246 - 2259. Huges, C.J, 1982, Igneous Petrology, Elscvier Scientific Publishing Company
Molenverf 1, P.O. Box. 211, 1.000 Ae Amsterdam The Netherlands, 551 p.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia. Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B., 1986, A
Chemical Classification of Volcanic Rocks Based on the Total Alkali–Silica Diagram, Journal of Petrology, 27, pp.745-750.
Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An Introduction to the Study of Landscape,
Mc. Graw Hill Book Company Inc., New York .
MacDonald, G.A,. 1972, Volcanoes, Prentice – Hall, Inc., Englewoodliffs, New Jersey,510 h
Marks, P., 1957 , Stratigrapy Lexicon of Indonesia, Kementerian Perekonomian
Pusat Djawatan Geologi Bandung, Publikasi Keilmuan, No. 31 - A, seri Geologi, Hal. 233.
Martidjo. S., Djuhaeni, 1973, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi
Stratigrafi Indonesia. Mulyaningsih, 2008. Pengantar Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Ardana Media. Mulyaningsih.S, Sampurno, Zaim.Y, Puradimaja.D.J, Bronto.S, Siregar.D.A,
2006, Perkembangan Geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah di Dataran Yogyakarta, Jurnal IAGI,vol.1. 2 juni, 103-113.
Pettijohn, F. J., 1975. Sedimentary Rock, 3rd edition, Harper & Row Publisher,
New York. Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Royal Dutch/Shell
Group, The Hague, The Netherlands.
Prasetyadi.C., Sutarto., dan Pratiknyo.P., 2010, “Geologi Daerah Subduksi Zaman Kapur Tepi Tenggara Paparan Sunda”, Panduan Ekskursi Besar Geologi 2010, UPN”V”YK, Yogyakarta.
Schmid, R. 1981. Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic
deposit and fragments: recommendation of the IUGS subcommission on the systematic of Igneous Rock. Geology 9,41-3.
Soeria Atmadja, R., Maory, R.C., Bellon, H., Harsono, P. Pribadi, B., Polve, M.,
1990, The Tertiary Magmafic Belt In Java, Proceedings Symposium on The Dynamic of Subduction and Its Products, page 98 – 121, LIPI Bandung, Indonesia.
Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak
di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal IAGI, vol.3, 4 desember, 183-193.
Surono, B. Toha dan I. Sudarno, 1992, Peta geologi lembar Surakarta –
Giritontro, Jawa, skala 1:100.000, Puslitbang Geologi, Bandung. Thornbury, W.D., 1969, Principle of Geomorphology, 2nd ed., New York : John
Willey & Sons Inc. Tucker, M. E., 1981. Sedimentary Petrology An Introduction, Blackwell Scientific
Publications Oxford Univ., London. Walker,G.P.L.,1993.Basaltic-Volcano System, Magmatic Proceses and Plate
Tectonic. Dalam: Prichard, H.M., Alabaster, T., Harris, N.B.W. dan Neary, C.R. (Eds), Geol. Society Sp ecial Publication, 76, h. 3-38.
Williams, H., Turner, F.J., Gilbert., 1982, Petrography An Introduction to The
Study of Rock in Thin Section, W.H., Freemen and Company San Fransisco.
Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979. Volcanology. Freeman, Cooper & Co.,
San Francisco, 398 h. Wright, J.V. dan Walker, G.P.L., 1977. The ignimbrite source problem:
significance of a co-ignimbrite lag-fall deposit. Geology, 5, h.729-732. Zuidam, R.W., Van, 1983, Guide to Geomorphologic Aeral Photographic
Interpretation and Mapping, Section of Geology and Geomorphology, ITC, Enschede, The Netherlands.
Lampiran I: Anslisi Petrografi
Nomor sayatan/lokasi : 2/ LP 35 Perbesaran foto : 40 X Litologi/ Satuan batuan : Piroklastik/ Breksi Pumis
PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu, tekstur klastik dengan butiran berukuran 0,05–5,25 mm, terdiri dari lithic, kuarsa, feldspar, gelas dan mineral opak, bentuk menyudut tanggung, memiliki lubang gas akibat pendinginan yang cepat, Kristal tertanam dalam masa dasar piroklas. KOMPOSISI MINERAL: 1. Gelas (15%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. 2. Lithic (30%), abu-abu, kecoklatan, didominasi oleh pecahan batuan
piroklastik (pumice) sedikit batuan beku, dengan ukuran butir 0,3-5,25 mm, bentuk menyudut tanggung.
3. Kwarsa (5%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, berukuran 0,06–0,1mm, pemadaman bergelombang.
4. opak (3%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–0,1 mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan.
5. Feldspar (6%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk menyudut tanggung, berupa ortoklas.
6. Tuf (41%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut.
Nama petrografis: Lithic Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)
Lampiran I : Analisis Petrografi
Nama Petrografis: Cristal Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981) Nomor sayatan/lokasi : 6/ LP 62 Perbesaran foto : 40 X Litologi/ Satuan batuan : Piroklastik/ Tuf
PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu keputihan, tekstur klastik terdiri dari tuf dengan masa dasar gelas dan tuf. Mineral lain berupa kuarsa yang menyatu dengan masa dasar tuf gelas. KOMPOSISI MINERAL: 1. Gelas (45%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. 2. Kuarsa (5%): Warna putih bening-tak berwarna, relief rendah, indeks bias nM <
nKb, plekroisme lemah, bentuk kristal anhedral, ukuran butir 0,04-0,15 mm. Bentuk butir menyudut tanggung sampai membulat tanggung. Hadir sebagai mikrolit Kristal dan urat.
7. Tuf (50%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut.
Nama Petrografis: Vitrik Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)
Lampiran I : Analisis Petrografi
Nomor sayatan/ Lokasi : 7/ LP 44 Perbesaran foto : 10X Litologi/ Satuan breksi polimik: Fragmen Andesit
Deskripsi : Sayatan tipis batuan beku warna abu-abu kecokelat-cokelatan, tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral, terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, piroksin, dan opak, mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas. Komposisi mineral :
1. Plagioklas (50%): Warna putih bening, relief rendah sampai sedang, indeks bias nM < nKb sampai nM > nKb, kembaran karlsbad-albit, plekroisme kuat-sedang bentuk kristal euhedral-anhedral, ukuran fenokris 0,2-1 mm, pada massa dasar berukuran 0,05–0,1 mm.
2. Hornblende (15%): Warna kuning kecokelat-cokelatan , relief sedang-tinggi, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal euhedral-subhedral, ukuran mineral 0,15-1,5 mm.
3. Piroksin (5%): Warna abu-abu kekuning-kuningan, relief sedang, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal subhedral, ukuran mineral 0,15-0,3 mm.
4. Opak (10%): Warna hitam, tidak tembus cahaya, relief tinggi, bentuk kristal anhedral, ukuran mineral 0,03-0,3 mm, mineral opak diduga merupakan ubahan dari hornblende.
5. Gelas dan mineral lain yang tidak teridentifikasi (20%): Warna abu abu, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi gelap - abu-abu.
Nama mikroskopis : Andesit hornblende (Williams et. al., 1954)
2
Lampiran I : Analisis Petrografi
Deskripsi Mikroskopis : Warna abu-abu keruh, tekstur klastik, didukung oleh lumpur (mud supported) berukuran pasir sangat halus (< 0.01 -0,2)mm, pemilihan sedang, komposisi karbonat, terdiri dari kalsit ,fosil feldspar , mineral opak dan, lumpur karbonat Deskripsi mineral : Kalsit (34%) : Tidak berwarna – jernih, berukuran (0,08- 0,2) mm,
warna interferensi kuning orde IV
Fosil (38%) : Tidak berwarna, dijumpai sebagai butiran berukuran (0,08-0,2) mm, berupa fosil kecil, coral dan algae bentuk menyerupai lensa dan memanjang, sebagian telah mengalami rekristalisasi , warna interferensi kuning orde IV.
Feldspar (2%) : Tidak berwarna- putih abu-abu, hadir sebagai fragmen berukuran (0,07–0,08) mm, bentuk membulat tanggung, relief rendah, warna interferensi putih abu-abu orde I.
Min. opak (2%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,08-0,1mm, Lumpur karbonat (24%) : Warna abu-abu kotor, warna interferensi
kuning orde IV, sebagian telah mengalami rekristalisasi
Nama batuan : Packstone (Dunham, 1962)