Upload
others
View
10
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
SANKSI PENGULANGAN (RESIDIVIE) TINDAK PIDANA PEREDARAN
NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 145. PK/PID.SUS/2016)
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Nabila Salsabila
NIM: 1113043000034
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Desember 2017
Nabila Salsabila
NIM: 1113043000034
v
ABSTRAK
Nabila Salsabila. NIM: 1113043000034. Judul Skripsi ini adalah "Sanksi
Pengulangan (Resdivis) Tindak Pidana Peredaran Narkotika Golongan I Dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia (Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 145. PK/PID.SUS/2016)." Fokus utama studi ini adalah
bagaimana menganalisis penjatuhan sanksi bagi pelaku pengulangan (residivie)
tindak pidana peredaran narkotika golongan I dan ditinjau dari aspek hukum pidana
Islam dan hukum pidana Indonesia serta menganalisis dalam putusan Mahkamah
Agung No. 145/PK.PID.SUS/2016. Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2017 M. x + 98 Halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai: pertama,
penjatuhan sanksi bagi pelaku pengulangan (residivie) tindak pidana narkotika
golongan I dalam dua perspektif, yaitu hukum pidana Islam dan hukum pidana
Indonesia; kedua, analisis putusan dengan kasus yang terkait tindak pidana
pengulangan (residivis) peredaran narkotika golongan I dalam putusan Mahkamah
Agung No. 145. PK/PID.SUS/2016.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif
(penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. Sesuai dengan karakteristik kajiannya,
maka penelitian ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan)
dengan jenis penelitian kualitatif.
Studi ini menyimpulkan bahwa penjatuhan sanksi bagi pelaku pengulanganan
tindak pidana peredaran narkotika golongan I ditinjau dari aspek hukum pidana Islam
ialah dijatuhkannya sanksi had dan takzir, dan ditinjau dari aspek hukum pidana
Indonesia adalah berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dan pidana mati),
lalu dengan jumlah/lamanya pidana bervariasi, untuk pidana penjara minimal 4
sampai 20 tahun dan seumur hidup dan juga adanya pemberatan pidana apabila tindak
pidana didahului dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir, dilakukan
oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak di bawah umur serta apabila
adanya pengulangan (residivie). Adapun untuk sanksi pengulangan (residivie) dalam
KUHP pada pasal 486 dan Pasal 144 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika bahwasanya sanksi pada residivis tindak pidana dapat ditambah
1/3 dari maksimum pidana yang diancamkan.
Kata Kunci : Residivis, Narkotika Golongan I
Pembimbing : 1. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag.
2. Muhammad Ainul Syamsu, SH, MH.
Daftar Pustaka: 1976 s/d 2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat semoga selalu
tercurahkan pada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi
ini, baik berupa dorongan moril maupun materiil. Tanpa bantuan dan
dukungan tersebut, sulit dan berat rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis secara khusus ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc., MA., selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab;
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik
Penulis;
4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag., dan Bapak Ainul Syamsu, SH, MH.,
selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, saran
dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan
„Ilmu dan Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
vii
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda serta kakak dan adik, yang
telah mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun
dukungan sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik
seperti saat ini;
8. Sahabat penulis Suci Rahmawati, S. IP, Anya Kurniadi Putri, S. Sos,
Wayan Sri Fitriani, Sayidatu Syarifah, S. Sos, Miftahul Jannah, yang
selalu menemani dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
9. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 dan Ladies PMH 2013 yang telah
menemani serta memberi dukungan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan
balasan yang berlimpah atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga semoga apa yang telah
kalian berikan menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Jakarta, 05 Desember 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 9
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 10
F. Metode dan Teknik Penelitian ......................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II SANKSI PIDANA DAN PENGULANGAN (RESIDIVIE) DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana
Indonesia .......................................................................................... 16
1. Sanksi Pidana Dalam Hukum Islam ............................................ 16
2. Sanksi Pidana Dalam Hukum Indonesia ..................................... 20
B. Pengulangan (Residivie) Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia .............................................................................. 32
1. Pengulangan (Residivie) Dalam Hukum Pidana Islam ................ 32
ix
2. Pengulangan (Residivie) Dalam Hukum Pidana Indonesia ......... 35
BAB III TINDAK PIDANA PEREDARAN NARKOTIKA GOLONGAN I
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
A. Hukum Pidana Islam ........................................................................ 41
1. Pengertian Jarimah ...................................................................... 41
2. Macam-Macam Jarimah .............................................................. 43
3. Jarimah Pengedaran Narkotika .................................................... 47
B. Hukum Pidana di Indonesia ............................................................. 52
1. Pengertian Tindak Pidana .......................................................... 52
2. Tindak Pidana Khusus ............................................................... 57
3. Tindak Pidana Pengedaran Narkotika Golongan I ..................... 60
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 145.
PK/PID.SUS/2016
A. Isi Putusan Pengadilan Mahkamah Agung No. 145.PK/PID.SUS/2016
.......................................................................................................... 65
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pengulangan Tindak Pidana
Pengedaran Narkotika Golongan I Putusan Mahkamah Agung No.
145.PK/PID.SUS/2016 ...................................................................... 77
C. Analisis Hukum Pidana Di Indonesia Terhadap Pengulangan Tindak
Pidana Pengedaran Narkotika Golongan I Putusan Mahkamah Agung
No. 145.PK/PID.SUS/2016 ............................................................... 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 92
B. Saran ................................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................... 99
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan
terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia
atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
بb
Be
تt
Te
ثts
te dan es
جj
Je
حh
ha dengan garis bawah
خkh
ka dan ha
دd
De
ذdz
de dan zet
رr
Er
زz
Zet
xi
سs
es
شsy
es dan ye
صs
es dengan garis bawah
ضd
de dengan garis bawah
طt
te dengan garis bawah
ظz
zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
غgh
ge dan ha
فf
Ef
قq
Qo
كk
Ka
لl
El
مm
Em
نn
En
وw
We
هh
Ha
ء
Apostrop
يy
Ya
xii
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ــــــــــ
i Kasrah ــــــــــ
u Dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
_ي__ ai
a dan i
_و__ au
a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â ـــــاa dengan topi diatas
î ـــــىi dengan topi atas
xiii
û ـــــوu dengan topi diatas
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd الإجثهاد =
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلامية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
xiv
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-
Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar
kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-
Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah الأصل في الأشياء الإباحة 4
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu
banyak berita, baik dari media cetak maupun elektronik yang memberikan informasi
tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia
berjatuhan akibat penggunaannya.1
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997, pengertian
narkotika adalah:
Pasal 1
Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam undang- undang (UU No. 22 Tahun
1997) atau kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Ketersediaan narkotika di satu sisi merupakan obat yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan namun
di sisi lain menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan. Untuk melakukan pencegahan dan penyediaan narkotika demi
kepentingan pengobatan dan pelayanan kesehatan, maka salah satu upaya pemerintah
ialah dengan melakukan pengaturan secara hukum tentang pengedaran, impor,
ekspor, menanam, penggunaan narkotika secara terkendali dan dilakukan pengawasan
yang ketat.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara, maka diperlukan perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang
1AR. Sujono, Komentar dan Pembahasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 1
2
Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika
melalui ancaman sanksi pidana, yaitu berupa: pidana penjara, pidana seumur hidup,
atau pidana mati. Di samping itu, UU Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur
mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta
mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.2
Sebagaimana diketahui kejahatan narkotika sudah sedemikian rupa sehingga
perlu pengaturan yang sangat ketat bahkan cenderung keras. Perumusan ketentuan
pidana yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika telah dirumuskan sedemikian rupa dengan harapan akan efektif serta
mencapai tujuan yang dikehendaki, oleh karena itu penerapan ketentuan pidana
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika haruslah pula dilakukan
secara ekstra hati-hati. Pemahaman yang benar atas setiap ketentuan pidana yang
telah dirumuskan akan menghindari kesalahan dalam praktik.
Setidaknya ada dua hal pokok yang dapat ditemukan dari rumusan pidana
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu adanya
semangat memberantas peredaran tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika
serta perlindungan terhadap pengguna narkotika. Konsekuensi kedua semangat
tersebut adalah peredaran tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika diberikan
sanksi keras, sedangkan pengguna narkotika didorong memperoleh perawatan melalui
rehabilitasi. Semangat memberantas peredaran tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika serta melindungi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
dengan mendorong menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial tidak
hanya merupakan slogan semata, bahkan dirumuskan sebagai tujuan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana Pasal 4 huruf c dan d sebagai
berikut:
2 Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: PT Rineka Cipta
2012), h. 1
3
Pasal 4
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasimedis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu Narkotika.
Itu berarti bahwa ada pemisahan besar berkaitan dengan pengaturan ketentuan
Pidana UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:
1. Mengenai pemberantasan peredaran narkotika dan;
2. Mengenai penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika.
Pemberantasan peredaran narkotika ditemukan antara lain dalam ketentuan
Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 UU No. 35 Tahun 2009, hanya dapat dikenakan
kepada seorang dalam kerangka "peredaran" baik dalam perdagangan bukan
perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (Pasal 35), sehingga tidak boleh
begitu saja secara serampangan misalnya seorang penyalahguna narkotika diajukan
ke persidangan dan dikenakan ketentuan-ketentuan tersebut. Disadari dan diperlukan
ketelitian dan kehati-hatian dalam menentukan apakah penyalahguna narkotika atau
pengedar narkotika. Penegak hukum khususnya para hakim harus berhati-hati dalam
menjatuhkan pidana yang didasarkan ketentuan Pasal 111 sampai Pasal 126,
pemeriksaan haruslah dilakukan dengan teliti dan cermat. Jumlah narkotika sebagai
barang bukti serta keterangan para saksi juga ahli setidak-tidaknya dapat dijadikan
acuan apakah benar-benar sebagai penyalahguna atau memang ada motif berkaitan
dengan "peredaran" narkotika dan prekursor narkotika.Bisa jadi dalam jumlah yang
menurut penilaian rasional sedikit, namun apabila dengan pemeriksaan yang teliti
oleh saksi ahli dinyatakan jumlah yang sedikit bukanlah merupakan jumlah yang
wajar untuk dipakai/digunakan sendiri. Sehingga jumlah yang menurut penilaian
rasional sedikit bukanlah jaminan akan dikonsumsi sendiri, bisa terjadi dari jumlah
4
yang sedikit terbukti sebagian dari peredaran. Pembahasan unsur-unsur dari pasal
ketentuan pidana Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat
dikemukkan sebagai berikut3:
Pasal 111
(1) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara,memiliki,menyimpan, menguasai, atau menyediakan
NarkotikaGolongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana paling sedikit Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 800.000.000.000 (delapan miliar rupiah).
(2) dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tambah
1/3 (sepertiga).
Dalam Islam hukum tentang Narkotika memang tidak secara tersurat
membahas hukum persoalan ini tetapi jelas terdapat keharaman Narkotika dengan
cara menqiyaskan dengan perbuatan lain yakni, Syurbu Al-khamr (Meminum
Khamr).Terdapat illat yang dapat menyamakan keduanya, ialah sama-sama
menyebabkan mabuk. Setiap jenis dan bentuk obat-obatan terlarang yang terus
bermunculan setelah enam abad pertama adalah haram sama seperti minuman keras.
Karena semuanya memiliki efek mengacaukan kesadaran akal.Semua bahaya dan
dampak buruk minuman keras ada pada semua jenis narkotika dan obat-obatan
terlarang.Bisnis narkotika dan obat-obatan terlarang baik membeli, menjual,
menyelendupkan, mengedarkan dan memasarkan adalah haram.4
3AR. Sujono, Komentar dan Pembahasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, h. 226
4Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Damaskus: Darul Fikr 2007), h. 457
5
Dijelaskan dari pengqiyasan antara khamr dan narkotika di Al-Qur‟an dan
Hadits sebagai berikut:
(
09)
(09)
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah5, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.(Qs.
Al-Maidah / 5: 90-91)
Dalam hadits Ibnu „Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan:
وكل مسكر حرام كل مسكر خر
Artinya: “Setiap yang memabukan adalah khamr dan setiap khamr adalah
haram.” (HR. Muslim no. 2003)
5Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan
anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu
perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu.
setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak
ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak
melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu.
Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan
anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian
diulang sekali lagi.
6
حمولة ن انس قال: لعن رسول الله ص ف الخمر عشرة: عاصرىا و معتصرىا و شارب ها و حاملها و ع
الد
شت راة لو. )رواه التمذى و ابن ما
شتي لذا و الد
جو ف نيل اليو و ساقي ها و بائعها و آكل ثنها و الد
(471: 5الاوطار
Artinya: Dari Anas ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat tentang khamr
sepuluh golongan : 1.yang memerasnya, 2.pemiliknya (produsennya), 3.yang
meminumnya, 4. yang membawanya (pengedar), 5. yang minta diantarinya, 6.
yang menuangkannya, 7. yang menjualnya, 8. yang makan harganya, 9. Yang
membelinya, 10. yang minta dibelikannya”.(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
(dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174).
Para ulama sepakat para pelaku khamr ditetapkan sanksi hukum had, yaitu
hukum dera sesuai dengan berat ringannya tindak pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang. Terhadap pelaku pidana yang mengonsumsi minuman memabukkan
dan/atau obat-obat yang membahayakan, sampai batas yang membuat gangguan
kesadaran, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik akan dijatuhkan
hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Menurut Imam Syafii hukumannya hanya 40
kali. Namun pada riwayat yang menegaskan bahwa jika pemakai setelah dikenai
sanksi masih melakukan beberapa kali (empat kali) maka hukumannya adalah
hukuman mati. Sanksi tersebut dikenakan kepada para pemakai yang telah mencapai
usia dewasa dan berakal sehat, bukan atas keterpaksaan, dan mengetahui kalau benda
yang di konsumsinya memabukkan.6
Namun di sini penulis akan lebih menspesifikasikan tentang inti penulisan
skripsi ini, bukan tentang tindak pidana narkotika semata melainkan tentang residivie
(pengulangan) pada tindak pidana Narkotika khususnya untuk pengedar gelap
narkotika golongan I mengingat betapa sangat berkembangnya bisnis
pengkontribusian narkotika yang sehingga kerap kali didapat para pelaku tindak
6 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika 2007), h. 101
7
pidana ini melakukan kembali pelanggaran tersebut. Dalam UU Narkotika di atur
pada Pasal 144 tentang residivie narkotika yaitu:
Pasal 144
(1) setiap orang yang dalam jangka waktu3 tahunmelakukanpengulangan
tindak pidana sebagaimana di maksud dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal
119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana
maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga).
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
20 (dua puluh) tahun.
Tindak pidana peredaran gelap narkotika khususnya pada golongan I ini akan
di bahas beserta sanksinya melalui dua sudut pandang kacamata, yaitu dari sisi
hukum positif Indonesia dan Hukum Islam dalam perspektif Fiqh Jinayah. Untuk itu
penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini dan menuangkannya dalam
bentuk Skripsi yang berjudul "Sanksi Pengulangan (Residivie) Tindak Pidana
PeredaranNarkotika Golongan I dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 145.
PK/PID.SUS/2016)".
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, beberapa masalah
yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana proses hukum perkara pidana dalam hukum pidana Islam dan hukum
pidana di Indonesia dalam pengulangan tindak pidana?
2. Apakah persamaan dan keterkaitan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana
di Indonesia dalam pengulangan tindak pidana?
8
3. Bagaimana tindak pidana atau jarimah pengedaran narkotika golongan I?
4. Bagaimana penjatuhan sanksi pengulangan tindak pidana dalam hukum pidana
Islam dan hukum pidana di Indonesia?
5. Bagaimana penjatuhan sanksi pengulangan tindak pidana pengedaran narkotika
dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana di Indonesia?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan
tentang pengulangan tindak pidana pengedar narkotika golongan I serta bagaimana
penjatuhan sanksi hukum dari apa yang telah terkandung didalam hukum pidana
Islam dan hukum pidana di Indonesia
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini
penulis membatasi, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pengulangan yang penulis maksud terdapat dalam hal seseorang telah di
pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan.7
2. Tindak pidana peredaran narkotika yang penulis maksud adalah orang
yang melakukan kegiatan penyaluran narkotika. Narkotika golongan I
adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Antara lain : Tanaman koka, tanaman ganja, opium, MDMA, Amfetamin,
ekstasi, selanjutnya ada 65 Jenis (Lampiran I UU Narkotika).8
7 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2010), h.191
8http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2015/10/makalah-tentang-narkoba-menurut-
hukum.html
9
3. Hukum pidana Islam yang penulis maksud, adalah Fiqh Jinayah yang
membahas tentang sanksi pengulangan, khususnya tindak pidana
peredaran narkotika golongan I.
4. Hukum Pidana Indonesia yang penulis maksud, adalah peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dari pembahasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap penjatuhan sanksi yang
diberikan kepada pelaku pengulangan tindak pidana peredaran narkotika
golongan I dalam putusan Mahkamah Agung No. 145.
PK/PID.SUS/2016?
2. Bagaimana analisis hukum pidana Indonesia terhadap penjatuhan sanksi
yang diberikan kepada pelaku pengulangan tindak pidana peredaran
narkotika golongan I dalam putusan Mahkamah Agung No. 145.
PK/PID.SUS/2016?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas akademik guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata I Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, juga didorong beberapa
tujuan yang berkaitan dengan isi pembahasan di dalamnya::
a. Untuk mengetahui penjatuhan sanksi pengulangan tindak pidana
peredaran narkotika golongan I.
b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum pidana
Islam dan hukum pidana Indonesia terhadap sanksi pengulangan
tindak pidana peredaran narkotika golongan I.
10
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi
Perbandingan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Memberi sumbangan pemikiran dan menambah literatur mengenai
sanksi pengulangan tindak pidana pengedar narkotika dan juga
sumbangan pemikiran bagi khazanah ilmu pengetahuan dan literasi
pada Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran atau informasi awal bagi penelitian
selanjutnya.
d. Manfaat Praktis, dengan adanya penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan acuan atau pertimbangan bagi hakim atau pihak-pihak
yang terkait dalam mempertimbangkan suatu perkata yang
berkenaan dengan pengaruh maaf bagi pelaku tindak pidana serta
solusi hukum yang tepat dan bisa diterapkan di pengadilan.
E. Tinjauan Pustaka
Berbicara mengenai pengulangan tindak pidana, sudah ada skripsi dan buku-
buku atau penelitian yang membahas tentang pengulangan dan sanksinya. Misalnya,
pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan ilmiah Mahasiswa (skripsi) di Fakultas
Hukum Universitas Andalas tahun 2008 terdapat skripsi yang ditulis oleh Bobby
Arneldi, yang berjudul "Pengulangan Tindak Pidana (Residivie) Sebagai
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Padang"dalam skripsinya
membahas tentang pengulangan kejahatan berupa narkotika yang di tekankan pada
praktik lapangan pada pengadilan Negeri Kelas I A Padang dan membahas
11
tentangpertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku pidana
narkotika (residivie). 9
Skripsi selanjutnya berjudul "Analisis Yuridis Sosiologis Tentang
Penyelesaian Pengulangan Tindak Pidana Oleh Anak Pasca Disahkannya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus
Perkara Nomor 12/Pid.Sus/2014/PN.Smg)"oleh Dewi Arifah dari Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang tahun 2015.Dalam penelitian ini yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana penyelesaian perkara anak dalam kasus Nomor
12/Pid.Sus/2014/PN.Smg dan bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam
memutuskan perkara recidive dengan nomor perkara 12/Pid.Sus/2014/PN.Smg.10
Dari uraian di atas, sudah ada literatur yang membahas tentang pengulangan
(residive) secara umum. Untuk itu di sini penulis membedakan serta lebih
memfokuskan penulisan skripsi mengenai "Sanksi Pengulangan (Residivie) Tindak
Pidana Peredaran Narkotika Golongan I dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
dan Hukum Pidana Indonesia (Analisis PutusanMahkamah Agung No. 145.
PK/PID.SUS/2016)"
F. Metode dan Teknik Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
suatu strategi inquiri yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep,
9Bobby Arneldi, Pengulangan Tindak Pidana(Residivis) Sebagai Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Kelas
1 A Padang, (Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2008)
10Dewi Arifah, Analisis Yuridis Sosiologis Tentang Penyelesaian Pengulangan Tindak
Pidana Oleh Anak Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak (Studi Kasus Perkara Nomor 12/Pid.Sus/2014/PN.Smg), (Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang, 2005)
12
karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan
multimetode, bersifat alami dan holistik; mengutamakan kualitas, menggunakan
beberapa cara, serta disajikan secara narratif. Dapat dikatakan pula penelitian
kualitatif adalah untuk menemukan jawaban terhadap suatu fenomena atau
pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah secara sistematis.11Penelitian ini
merupakan penggabungan dari penelitian normatif dan penelitian empiris.
Penelitian normative dilakukan dengan cara mempelajari data-data sekunder
berupa buku-buku dan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang
dibahas. Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan menganalisa penetapan
Mahkamah Agung.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini
penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif (penelitian hukum
normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka
atau data sekunder belaka.12
Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka
penelitian ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan) dengan
pendekatan kualitatif.
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin dalam bukunya yang
berjudul metode penelitian hukum menjelaskan bahwa pada penelitian hukum
normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber
data primer dalam penelitian yang dilakukan.13
Maka dalam skripsi ini penulis
mengkaji ketentuan-ketentuan yang termuat dalam berbagai aturan pidana dalam
hukum pidana Islam dan KUHP atau Undang-Undang.
11
Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Kencana, 2014), h.329.
12Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta: Rajawali Perss,2001), h.13.
13 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian, 2010), h. 38.
13
3. Sumber Data
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
yaitu dengan menggunakan study pustaka (library research). Studi pustaka dalam
penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi teori-teori tentang konsep dan
pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian yakni sistem pemrosesan
perkara pidana dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana di Indonesia, dan
mengulas penetapan perkara yang dikeluarkan Mahkamah Agung dalam perkara
peredaran narkotika.
4. Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
a. Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,dalam hal ini adalah
kitab-kitab, buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan hukum pidana
Islam dan hukum pidana Indonesia dalam penjatuhan sanksi pengulangan
(residivie) tindak pidana peredaran narkotika golongan I. Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan putusan Mahkamah Agung terkait
kasus peredaran narkotika yang penulis teliti,
b. Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti misalnya, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, serta beberapa pendapat yang bisa mendukung penelitian ini dan
seterusnya.
c. Tersier, yakni bahwa yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya kamus,
ensiklopedia, dan media elektronik yang berkaitan dengan pembahasan.
14
5. Analisis Data
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder penulis klasifikasikan.Setelah itu penulis
menganalisis menggunakan metode kualitatif,14
yaitu menggunakan penafsiran
hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.Kemudian data tersebut
penulis uraikan dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan
dapat dipahami. Metode analisis data dugunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Content Analysis (Analisis Isi) yaitu dengan menganalisis putusan
Pengadilan Negeri Jakarta dan Mahkamah Agung dalam perkara
peredaran narkotika.
b. Komparasi yaitu dengan membandingkan penetapan penjatuhan sanksi
pada pelaku pengulangan tindak pidana peredaran narkotika golongan I
dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.
6. Teknis Penulisan
Teknik penulisan dalam pembuatan skrips ini mengacu kepada buku
pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.15
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan
pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan
dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk
lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan
14
Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,h. 400.
15 Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017, Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, (Jakarta:Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017).
15
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan teknik
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan umum sanksi dan pengulangan (residivie), terbagi
menjadi dua sub bab, yang pertama tinjauan umum tentang
sanksi menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana di
Indonesia dan yang kedua tinjauan umum tentang pengulangan
(residivie) menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana di
Indonesia.
BAB III Tindak pidana pengedaran narkotika golongan I yang terdiri
dari dua sub bab, yang pertama tentang pengertian
Jarimahyang kedua tentang macam-macam jarimah dan
jarimah pengedar narkotika, yang ketiga dan keempat tindak
pidana pengedar narkotika menurut hukum pidana Islam dan
yang sub bab kedua, tentang pengertian tindak pidana, tindak
pidana khusus dan tindak pidana peredaran narkotika
golongan I menurut hukum pidana di Indonesia.
BAB IV merupakan pembahasan inti, yaitu tinjauan hukum pidana
Islam dalam putusan Mahkamah Agung No. 145.
PK/PID.SUS/2016. meliputi; analisis penjatuhan sanksi
pengulangan tindak pidana pengedaran narkotika dalam hukum
pidana Islam dan hukum pidana di Indonesia
BAB V Penutup, yang terdiri dari dua sub bab, yang pertama
kesimpulan dan yang kedua saran-saran.
16
BAB II
SANKSI PIDANA DAN PENGULANGAN (RESIDIVIE) DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana di Indonesia
1. Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Hukuman dalam bahasa Arab disebut 'uqubah. Lafaz 'uqubah menurut
bahasa berasal dari kata عقب yang sinomimnya خلفهو جاء بعقبةartinya
mengiringnya dan datang dibelakangnya.16
Dalam pengertian yang agak
mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil
dari lafaz عاقب yang sinonimnya جزاه سواء بما فعل, artinya membalasnya sesuai
dengan apa yang dilakukannya.17
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah
perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat
dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan
terhadap perbuatan menyimpang yang telah dilakukannya.
Tujuan dijatuhkannya hukuman adalah untuk memperbaiki keadaan
manusia, menjaga dari kerusakan, menyelamatkan dari kebodohan, menuntun
dan memberikan petunjuk dari kesesatan, mencegah dari kemaksiatan, serta
merangsang untuk berlaku taat.18
16
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat (Jakarta:
Sinar grafika, 2004), h. 13
17W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976),
h. 364
18Abdul Qadir Audah, At-Tasyri' al-Jina'I al-Islamiy Muqaranan bil Qanun Wad'iy,
Penerjemah TimTsalisah.Hukum Pidana Islam ( Bogor: PT Kharisma Ilmu), hlm.19
17
Kaidah dasar yang menjadi asas hukuman dalam hukum Islam
dipertalikan kepada dua dasar pokok19
:
a. Sebagian bertujuan untuk memerangi tindak pidana tanpa
memedulikan si pelaku tindak pidana.
b. Sebagian yang lain bertujuan untuk memerhatikam si pelaku tanpa
melalaikan tujuan untu memerangi tindak pidana.
Maksud pokok hukuman atau sanksi adalah untuk memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang
mafsadah,karena Islam itu sebagai rahmatan lil' alamin, untuk memberi
petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman atau sanksi ditetapkan
demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial.
Bagi Allah sendiri tidaklah akan mendharatkan kepada-Nya apabila manusia di
muka bumi ini melakukan kejahatan dan tidak akan memberi manfaat kepada
Allah apabila manusia di muka bumi taat kepada-Nya.20
Terakhir hukuman itu
harus bersifat umum: maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua
manusia sama dihadapkan hukum.21
a. Tujuan dan Macam-Macam Hukum
1) Tujuan Hukuman
Hukuman diterapkan meskipun tidak disenangi dengan
mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan
demikian, hukuman yang baik adalah22
:
(a) Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat.
Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul Qadir bahwa
19
Ibid, h. 20
20Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, h. 137
21Ibid,. h. 138
22A. Dzajuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 26
18
hukuman atau sanksi itu untuk mencegah sebelum
terjadinya perbuatan (preventif) dan menjeratkan setelah
terjadinya perbuatan (represif).23
(b) Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat
tergantung kepada kebutuhan masyarakat maka hukuman
diperberat. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan
kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya
hukuman, maka hukumannya diperingan.24
(c) Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan
kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan
sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan
oleh ibn Taimiyah bahwa sanksi atau hukuman itu
disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan
sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada
hamba-Nya. Oleh karena itu sepantasnyalah bagi orang
yang memberikan hukuman kepada orang lain atas
kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan
memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang
memberi pelajaran kepada anaknya dan seperti seorang
dokter yang mengobati pasiennya.
(d) Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang
supaya tidak jatuh ke dalam maksiat. Sebab dalam konsep
Islam seorang manusia akan terjaga dari berbuat jahat.
2) Macam-macam Hukuman
23
Imam As-Syawkani, Fathul Qadir, IV, (Beirut-Libanon, 2007), cet-4, h. 12.
24Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, (Maktabah Ibn Dar Qutaibah-Kuwait, 1989), h. 206
19
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan
tindak pidananya.
(a) Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya
dalam al-Quran dan al-Hadits. Maka hukuman dapat menjadi dua:
1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan
kafarah , misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok,
pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebutkan
dengan hukuman takzir, seperti percobaan melakukan tindak
pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, dan melanggar
aturan lalu lintas.25
(b) Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman
lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat:
1. Hukuman pokok (al-'uqubah al-ashliyah), yaitu hukuman yang
asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh
dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
2. Hukuman pengganti (al-'uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman
yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok
itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti
hukuman diyat/denda bagi pembunuh sengaja yang di maafkan
qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman takzir apabila
karena suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat
dilaksanakan.
3. Hukuman tambahan (al-'uqubat al-taba'iyah), yaitu hukuman
yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman
pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat
waris dari harta terbunuh.
25
Ibid, h. 27
20
4. Hukuman pelengkap (al-'uqubat al-takmiliyah), yaitu hukuman
yang di jatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah di
potong lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan hakim
tersendiri.
(c) Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman,
maka hukuman dapat dibagi dua:
1. Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, dimana hakim
tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti
hukuman had.
2. Hukuman yang memiliki dua batas , yaitu batas tertinggi dan
batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang
paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus-
kasus maksiat yang di ancam dengan takzir.
(d) Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
1. Hukuman badan, yaitu hukuman yang di kenakan kepada badan
manusia, seperti hukuman jilid.
2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan menusia,
seperti hukuman penjara atau pengasingan.
4. Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta,
seperti diyat, denda, dan perampasan.26
2. SanksiPidana Dalam Hukum Pidana Indonesia
26
Ibid, h. 28-30
21
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga
tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam
pendapat Sudarto yang menyatakan bahwa pemberian pidana in abstracto
adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut
pembentuk undang-undang. Sedangkan pemberian pidana in concerto
menyangkut berbagi badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan
stelsel sanksi hukum pidana itu.27
Biladihubungkan dengan keseluruhan sistem pemidanaan, penetapan
sanksi yang pada hakikatnya merupakan kewenangan beberapa instansi,
maka dapat dianalogikan bahwa jatuhnya tahap pemidanaan itu dari instansi
ke instansi yang lain harus seperti air pegunungan yang mengalir tertib dan
indah meskipun terdapat getaran-getaran. Dalam konteks penerapan sanksi
"getaran-getaran" di sini sebagai contoh tentang kemungkinan terjadinya apa
yang disebut dengan disparitas pidana (disparity of sentencing).28
Pengertian sederhana dari hukuman ialah ancaman yang bersifat
penderitaan dan siksaan.Sanksi atau hukuman bersifat penderitaan karena
hukuman itu di maksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi
hukum pidana.29
Disebut juga bahwa sanksi pidana adalah suatu hukuman sebab akibat,
sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena
akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun jenis sanksi lain
yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan
27
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Alumni Bandung, 1986), h. 42
28Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media 2010), h.
34
29 Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Prenadamedia Group
2014), h. 65
22
atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menganggu atau
membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan
suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut,
namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman
dari kebebabasan manusia itu sendiri.Sedangkan Roslan Saleh menegaskan
bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja dilimpahkan negara kepada pembuat delik.30
Dalam terminologi sanksi adalah akibat hukum bagi ketentuan
undang-undang.Ada sanksi administratif, ada sanksi perdata dan ada sanksi
pidana.31
Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman
yang dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana,
dimana hukuman yang akan dijatuhkan itu dapat berupa:32
A. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
a. Pengaturan Pidana Mati di Indonesia
Penerapan pidana mati dalam praktik sering menimbulkan
perdebatan di antara yang setuju dan yang tidak setuju.Bagaimanapun
pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan
yuridis formal pidana mati memang dibenarkan.Ada beberapa pasal di
dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar
30
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I , (Jakarta: Grafindo Persada 2011), h. 81
31 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2007), h. 138
32Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.117
23
pembunuhan terhadap presiden (Pasal 104), pembunuhan berencana
(Pasal 340), dan sebagainya.33
Di Indonesia pidana mati dicantumkan dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang di luar KUHP
juga masih merumuskan ancaman pidana mati dalam sanksi
pidananya.Pasal-pasal mengenai pidana mati di dalam seluruh KUHP
sebenarnya merupakan terjemahan dari Wetboek Strafrecht voor
Nederlandch-Indie yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda di
Hindia-Belanda (Indonesia) sejak tahun 1918. Padahal, di Belanda
sendiri pidana mati sudah dihapus sejak tahun 1870 dan setelah di
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, melalui pasal II Aturan
peralihan UUD 1945 pidana mati tetap dipertahankan sampai kini,
bahkan dalam rancangan KUHP yang baru juga masih dikenal pidana
mati, walaupun tidak disebutkan sebagai salah satu pidana dalam
kelompok pidana pokok, melainkan dikategorikan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan selalu alternatif.34
b. Pengaturan Pidana Mati dalam Perundang-undangan
Indonesia35
1) Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP
Perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati oleh KUHP antara lain: Pasal 104, Pasal 111 ayat
(2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal
365 (4), Pasal 444 KUHP, Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479
o ayat (2).
33
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika 2000), h. 13 34
Nata Sukam Bangun, "Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia" Jurnal
Ilmiah (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014), h. 4
35Ibid, h. 6
24
2) Pengaturan Pidana Mati di luar KUHP antara lain:
(a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika Pasal 59 ayat (2)
(b) Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
(c) Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(d) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
(e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika:
1. Pasal 113 ayat (2)
2. Pasal 114 ayat (2)
3. Pasal 118 ayat (2)
4. Pasal 119 ayat (2)
5. Pasal 121 ayat (2)
6. Pasal 144 ayat (2)
2. Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa "pidana penjara
merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan". Pidana
penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk
pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.36
36
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita,
1993), h. 85-86
25
Dalam Pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan
bergerak, yakni pidana penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya
menghilangkan dan membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti
menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan)
dimana terpidana tidak bebas keluar masuk dan di dalamnya wajib untuk
tunduk, menaati dan menjalankaan semua peraturan tata tertib yang berlaku,
maka kedua jenis pidana itu tampaknya sama. Akan tetapi, dua jenis pidana
itu sesungguhnya berbeda jauh, adapun perbedaannya yaitu sebagai berikut.37
1. Pidana kurungan mengancam pada tindak pidana yang lebih ringan
dari pada pidana penjara. Pidana kurungan banyak diancam pada
jenis pelanggaran. Sementara pidana penjara banyak diancamkan
pada jenis kejahatan.
2. Ancaman hukuman maksimum umum dari pidana penjara (yakni
15 tahun) lebih tinggi dari pada ancaman maksimum umum pidana
kurungan (yakni 1 tahun). Pada keadaan pemberatan pidana
kurungan dapat diperberat namun tidak lebih dari 1 tahun 4 bulan
(Pasal 18 ayat (2)), sedangkan untuk pidana penjara dapat
diperberat, misalnya dalam perbarengan dan pengulangan dapat
dijatuhi pidana penjara dengan ditambah sepertiganya, oleh karena
itu pidana penjara maksimum 15 tahun bisa menjadi 20 tahun.
3. Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat berpindah-pindah).
Pidana kurungan dilaksanakan di Lembaga Pamsyarakatan dimana
ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan.
4. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekadar
meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut
aturan yang ditetapkan (hak pistole).
37
Ibid
26
5. Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan
pidana penjara, namun bisa diganti dengan pidana kurungan
disebut kurungan pengganti denda.
Stelsel pidana penjara, menurut Pasal 12 ayat (1), dibedakan
menjadi pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara sementara
waktu. Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-
kejahatan yang sangat berat, yakni sebagai pidana alternatif dari
pidana mati, seperti pada Pasal 104, 365 ayat (4), 368 ayat (2) dan
berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai aternatif pidana mati tetapi
sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-
tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, 108 ayat (2). Pada pidana
penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi 15
tahun. Pidana penjara sementara waktu dapat (mungkin) dijatuhkan
melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang
ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3) yakni sebagai berikut38
:
1) Dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih: (a)
apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20
tahun, atau (b) dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang
memang diancam dengan pidana penjara maksimum 20 tahun
sebagai alternatif dari pidana penjata seumur hidup.
2) Dalam hal terjadinya: (a) perbarengan, atau (b) pengulangan
atau (c) kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan pasal 52
pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
sementara maksimum 15 tahun.
Sejak tahun 1964, istilah penjara bagi suatu tempat untuk
menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah
Lembaga Pemasyarakatan walaupun pelaksanaannya tetap
memakai dasar peraturan kepenjaraan lama. Perubahan nama
menjadi Lemabaga Pemasyarakatan (LAPAS) itu mempunyai
hubungan dengan gagasan Dr. Saharjo (Menteri Kehakiman
waktu itu) untuk menjadikan LAPAS bukan sebagai suatu
38
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, h. 32-38
27
tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan
orang, tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik
orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar setelah
menjalani pembinaan di dalam LAPAS dapat menjadi orang-
orang baik dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat.
3. Pidana Kurungan dan Kurungan Pengganti
Dalam beberapa hal pidana pidana kurungan adalah sama dengan
pidana penjara, yaitu sebagai berikut39
:
1. Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum
umum. Maksimum umum pidana penjara 15 Tahun dalam keadaan
tertentu bisa diperberat maksimum 20 Tahun, dan pidana kurungan
maksimum umum 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1
tahun 4 bulan. Minimum umum sama-sama 1 hari. Sementara
maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana
tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi setiap tindak pidana,
bergantung dari pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang
bersangkutan.
2. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan
untuk menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu walaupun
narapidana kurungan lebih ringan dari narapidana penjara.
3. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila
terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah
mempunyai kekuatan tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat
pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan caara melakukan tindakan
paksa memasukan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
39
Ibid, h. 38-39
28
1) Pidana Kurungan Pengganti
Pidana kurungan pengganti adalah pidana denda yang tidak
dibayar oleh terpidana.Dapat juga dijatuhi pidana kurungan pengganti,
apabilaa terpidana tidak membayar harga taksiranyang ditentukan dari
barang rampasan yang tidak diserahkan oleh terpidana. Dalam hal ini
sebelum pemidanaan, barang-barang tersebut belum disita, atau
dengan perkataan lain masih dalam penguasaan tersangka. Bahkan
dapat juga dijatuhkan apabila biaya pengumuman hakim yang
dibebankan kepada terpidana tidak dibayar.Dalam perkembangan
penjatuhan pidana denda dan kewajiban membayar harga tafsiran
barang rampasan yang tidak diserahkan oleh terpidana atau kewajiban
ganti rugi oleh terpidana, umumnya kepada terpidana tidak dijatuhkan
pidana kurungan pengganti. Kalaupun terpidana ditahan bukan
merupakan kurungan pengganti, melainkan alat pemaksa agar
terpidana memenuhhi kewajibannya, bahkan dalam rangka penemuan
kewajiban ini dapat dilakukan seperti acara juru sita dalam hukuman
pidana.40
2) Pidana Denda41
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang
untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya
dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda
adalah Rp. 0,25 (dua puluh lima sen) x 15, meskipun tidak di tentukan
secara umum melainkan dalam pasal-pasal tindak pidana yang
bersangkutan dalam Buku I dan Buku II KUHP. Diluar KUHP biasanya
40
Ibid, h. 122
41Ibid, h. 123
29
ditentukan adakalanya dalam 1atau 2 pasal bagian terakhir tindak
pidana yang ditentukan dalam pasal yang mendahuluinya.
Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya, maka dapat diganti dengan pidana kurungan.
Pidana ini kemudian disebut pidana kurungan pengganti, maksimal
pidana kurungan pengganti adalah 6 bulan, dan boleh menjadi 8 bulan
dalam hal terjadi pengulangan, perbarengan atau penerapan Pasal 52
atau Pasal 52a KUHP.
Untuk beberapa perundang-undangan hukum pidana ketentuan
dalam Pasal 30 ayat 2 tidak ditetapkan.Hal ini ditentukan terutama
kepada penyelesaian tindak pidana di mana titik berat penyelesaiannya
diharapkan untuk kelancaran pengisisan kas negara (Pasal 14 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi).
B. Pidana Tambahan
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi diatur mengenai pidana tambahan pencabutan hak-hak
tertentu seperti yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d
"Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau
dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana"
Lebih jelasnya dalam KUHP diatur mengenai hak-hak tertentu
yang dapat dicabut dalam putusan hakim diatur dalam Pasal 35 ayat (1)
menyebutkan:
30
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut
dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini,
atau dalam aturan umum lainnya ialah:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
yang tertentu;
b. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang
bukan anak sendiri;
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
f. Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara
tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan
tindakan, dalam perampasan barang-barang tertentru diatur dalam
Pasal 39 KUHP, adapun barang-barang yang dirampas adalah42
:
1. Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau
sebagian besar diperoleh dari tindak pidana.
2. Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak
pidana.
3. Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau
mempersiapkan tindak pidana.
4. Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana.
5. Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya
tindak pidana.
42
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, h. 22
31
Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu, ialah43
:
1. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap dua jenis
barang tersebut dalam pasal 39 KUHP itu saja;
2. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim ada
kejahatan saja, dan tidak ada pada pelanggaran
3. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas
barang-barang milik terpidana saja. Kecuali ada beberapa
ketentuan:
(a) Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan
milik terpidana;
(b) Tidak secara tegas menyebutkan terhadap barang, baik
barang milik terpidana atau bukan.
3. Pengumuman Putusan Hakim
Dalam sistem pemidanaan di Indonesia, pengumuman putusan
hakim diatur sebagai salah satu pidana tambahan yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP.Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa salah satu
pidana tambahan disamping pidana pokok adalah Pengumuman
Putusan Hakim. Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 43
KUHP yang menyatakan apabila hakim memerintahkan suatu putusan
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau iuran lain,
maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan
perintah itu atas biaya terpidana. Pengaturan pengumuman putusan
hakim ini dalam Pasal 43 KUHP dapat dikatakan dipengaruhi Article
36 WvS Belanda dimana pengumuman putusan termasuk sanksi
tambahan yang telah ditentukan tindak pidananya dan biaya publikasi
43
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, hal. 49-50
32
ditanggung oleh terpidana. Sebagai sebuah pidana tambahan,
pengumuman putusan hakim ini tidak dapat dijatuhkan pada semua
tindak pidana. Menurut Mardjono Reksodiputro, karena tujuannya
yang dapat menganggu atau merusak nama baik seseorang dalam
masyarakat, maka pidana tambahan ini hanya dapat dipertimbangkan
oleh hakim apabila memang hal tersebut diancamkan dalam rumusan
tindak pidana.44
B. Pengulangan (Residivie) Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana di
Indonesia
1. Pengulangan (Residivie) Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam istilah hukum konvensional mutakhir, pengertian pengulangan
tindak pidana (al-'aud) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh
seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat
keputusan akhir. Artinya, pengulangan tindak pidana harus timbul dalam
berulang-ulangnya tindak pidana dari orang tertentu setelah ia mendapat
keputusan terakhir atas dirinya pada salah satu atau pada sebagiannya.
Perbedaan antara pengulangan tindak pidana (al-'aud) dan gabungan tindak
pidana (ta'adud al-jara'im) adalah sebagai berikut, dalam gabungan tindak
pidana, ketika pelaku melakukan tindak pidana terakhir-dari beberapa tindak
pidana yang diperbuatnya tindak pidana tindak pidana yang dilakukan
sebelumnya belum mendapat keputusan akhir. 45
Pengulangan kejahatan menurut hukum pidana Islam yaitu sama
dengan hukum pidana Indonesia namun dalam hal syarat-syarat seseorang
dikatakan melakukan kejahatan ulang (residivie) dan masalah hukumannya
44
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Buku
Keempat, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007), h. 64
45Abdul Qadir Audah, At-Tasyri' al-Jina'I al-Islamiy Muqaranan bil Qanun Wad'iy,Juz III,
Penerjemah TimTsalisah. Hukum Pidana Islam ( Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008), h. 163
33
berbeda dengan hukum pidana Indonesia. Kalau menurut hukum pidana
Islam, apabila seorang dianggap telah melakukan pengulangan jarimah ada
tiga syarat yaitu46
:
1. Orang yang telah dijatuhi hukuman jinayah kemudian ia melakukan
jarimah jinayah lagi.
2. Orang yang dijatuhi hukuman penjara satu tahun atau lebih, dan
ternyata ia melakukan sesuatu jarimah sebelum lewat lima tahun dari
masa berakhir hukuman atau dari masa hapusnya hukuman karena
daluwarsa.
3. Orang yang dijatuhi hukuman karena jinayat dengan hukuman
kurungan atau kurungan kurang dari satu tahun atau dengan hukuman
denda, dan ternyata dia melakukan jinayat lagi sebelum lewat lima
tahun maka, hukumannya sama dengan jinayah-jinayah sebelumnya.
Hal ini sudah jelas, bahwasanya syarat seseorang dikatakan melakukan
pengulangan kejahatan menurut hukum pidana Indonesia sama namun hukum
pidana Islam tidak memberikan tambahan hukuman jika pelaku kejahatan
mengulanginya lagi. Tetapi memberikan hukuman sesuai dengan jinayah
sebelumnya.
Hukum pidana Islam tidak menerangkan ada tambahan hukuman
ketika seorang melakukan jarimah ulang.Namun ada salah satu hadits yang
menerangkan apabila seorang melakukan jarimah berulang-ulang maka
hukumannya adalah dibunuh. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahli Sunan dari Nabi
Muhammad saw. Dari berbagai riwayat, salah satunya riwayat dari Imam Nasa'i
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
46
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet-IV, h.
325
34
شرب فاجلدوه, إن ث شرب فاجلدوه, إن ث شرب الرابعة ف قت لوه من شرب الخمر فاجلدوه, إن ث
Artinya: "barang siapa yang minum khamr, maka cambuklah! Kemudian jika ia
minum lagi, cambuklah, kemudian jika ia minum lagi, maka cambuklah! Dan
jika ia minum keempat kalinya, maka dihukum mati". (HR. Imam Nasa'i)47
Seorang pelaku tindak pidana peminum khamr harus dijatuhi hukuman
yang telah ditetapkan sebelumnya untuk tindak pidana tersebut, tetapi bila pelaku
kembali mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukannya, hukuman
yang dijatuhkan kepadanya adalahsama sampai ia megulang tindak pidana
sebanyak tiga kai. Apabila ia terus mengulangi tindak pidana tersebut sampai
empat kali, ia dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.
Kewenangan untuk menentukan hukuman tersebut diserahkan kepada penguasa
dengan memandang kondisi tindak pidana dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.48
Kesimpulannya, hukum Islam telah menetapkan aturan-aturan pokok
pengulangan tindak pidana secara keseluruhan.Meskipun demikian, para fuqaha
tidak membedakan antara pengulangan umum dan pengulangan khsusus, juga
antara pengulangan sepanjang masa dan pengulangan berselang waktu.Perincian
mengenai pengulangan tindak pidana ini bisa diatur oleh diatur oleh penguasa
dengan memerhatikan hal-hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan umum.49
47
Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar'iyah Fi Islahir Raa'I wa Ra'iyyah, terjemah, Rofi'
Munawar, Etika Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 100
48Ibid
49Ibid, h. 164
35
2. Pengulangan (Residivie) Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana
Indonesia
Residivie atau pengulangan tindak pidana berasal dari bahasa Perancis
yaitu Re dan Cado.Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara
umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan
kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan
menjalani penghukumannya.50
Atau apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri yang atas satu atau
lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.51
Budiono menyatakan bahwa residivie adalah:
"Kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi
perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan
perbuatan itu."52
Pengulangan atau residivie terdapat dalam hal seseorang telah
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan.Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan
dari beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai
arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman.
Dalam hukum pidana di Indonesia khususnya dalam hal pidana yang
merujuk pada KUHP, dijelaskan pada pasal 486 bahwasanya pemberatan
50
Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court,
(Australian Institute of Criminology, 199), h. 8. Lihat Muhammad Hafiluddin Khaeril, Tinjauan
KriminologisTerhadap Anak Sebagai Residivis di Kota Makassar, (Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, 2014), h. 36
51Sathocid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur
Mahasiswa, h. 233
52Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Agung ) h. 416. . Lihat
Muhammad Hafiluddin Khaeril, Tinjauan KriminologisTerhadap Anak Sebagai Residivis di Kota
Makassar, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2014), h. 36
36
pidana pada residivie dapat ditambah 1/3 dari maksimum pidana yang di
ancamkan.53
Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukuman
ini adalah bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulangi
lagi melakukan kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat
buruk. Jahat karenanya di anggap sangat membahayakan bagi keamanan dan
ketertiban masyarakat.54
Pengulangan diatur dalam:
1) Pasal 486 KUHP
2) Pasal 487 KUHP
3) Pasal 488 KUHP
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan
dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau residivie, yaitu55
:
a. Pelakunya adalah orang yang sama.
b. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah
dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
c. Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebagian
hukuman penjara yang di jatuhkan terhadapnya atau dibebaskan
sama sekali dari hukuman tersebut.
d. Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah
berkekuatan hukum tetap.
e. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan
kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakuti-takuti
53
Moeljatno, Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
h. 204-205
54Ibid
55Muhammad Hafiluddin Khaeril, Tinjauan KriminologisTerhadap Anak Sebagai Residivis di
Kota Makassar, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2014), h.37
37
lagi.Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivie di anggap
kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah
tidak takut lagi untuk menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman
yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu juga akan takut
untuk melakukan sesuatu kejahatan.56
Pengulangan atau residive secara umum ialah apabila seseorang
melakukan sesuatu tindak pidana dan untuk di jatuhkan pidana padanya,
akan tetapi dalam jangka waktu tertentu57
:
a. Sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau
sebagian, atau
b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan, atau apabila
kewajiban menjalankan/melaksanakan pidana itu belum
kadaluwarsa, ia kemudian melakukan tinda pidana lagi.
Dari pembatasan tersebut diatas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus
dipenuhi yaitu58
:
a. Pelakunya sama,
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu
telah dijatuhi pidana (yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap)
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
2. Jenis-Jenis Pengulangan Residivie
Ada beberapa jenis residivie apabila ditinjau dari sudut penempatan
ketentuan pidana untuk pengulangan (residivive, dapat diperbedakan
antara59
:
56
Ibid
57Ibid
58Ibid
59Ibid, h. 38
38
a. Ketentuan umum mengenai pengulangan. Penempatanya di dalam
ketentuan umum (di KUHP tidak diatur).
b. Ketentuan khusus mengenai pengulangan. Penempatanya di suatu
bab atau beberapa pasal akhir dari suatu buku (di KUHP pada buku
ke II) atau disuatu pasal dari suatu bab tindak pidana.
c. Ketentuan yang lebih khusus lagi mengenai pengulangan. Ia hanya
berlaku untuk pasal yang bersangkutan, atau untuk beberapa pasal
yang mendahuluinya (di KUHP pada buku ke III).
Apabila ditinjau dari sudut jenis tindak pidana yang diulangi maka
dapat diperbedakan antara60
:
a. Pengulangan (residivie) umum, yaitu tidak dipersoalkan
jenis/macam tindak pidana yang terdahulu yang telah dijatuhi
pidana, dalam perbandingannya dengan tindak pidana yang
diulangi, misalnya pada tahun 1973 A melakukan pembunuhan.
Ia dipidana 3 tahun dan telah menjalaninya, setelah itu pada tahun
1977 ia melakukan pencurian. Hal ini adalah merupakan
pengulangan, dalam hal ini melakukan pengulangan tindak
pidana.
b. Pengulangan khusus, yaitu apabila tindak pidana yang diulangi
sama atau sejenis. Kesejenisannya itu misalnya:
4. Kejahatan terhadap keamanan negara: makar untuk
membunuh presiden, penggulingan pemerintahan,
pemberontakan dan lain sebagainya:
5. Kejahatan terhadap tubuh/nyawa orang: penganiayaan,
perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain
sebagainya:
60
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
(Jakarta: Storia Grafika, 2001), h. 410
39
6. Kejahatan terhadap kehormatan: penghinaan, penistaan dan
lain sebagainya
7. Kejahatan terhadap kesusilaan: pemerkosaan, perzinahan dan
lain sebagainya:
8. Kejahatan terhadap harta benda: pemerasan, pencurian
penggelapan, penipuan dan lain sebagainya.
Apabila penulis mengambil kesimpulan, maka dapat disimpulkan
bahwasanya sanksi adalah bagian dari pemidanaan, dimana sanksi atau yang
disebut dengan hukuman adalah suatu balasan yang bersifat penyiksaan atau
penderitaan bagi siapa saja yang telah melakukan kejahatan atau tindak
pidana.Adapun pengaturan tentang jenis dan berat ringannya diatur pada Kitab
Undang-Undang atau Undang-Undang tindak pidana tertentu dan terkadang
penjatuhan sanksi dapat dijatuhkan oleh wewenang hakim yang disebut
dengan yurisprudensi. Mengenai sanksi dalam hukum pidana Islam tidak jauh
berbeda dalam definisinya, Al-Quran dan Sunnah juga sudah diatur dalam
jarimah had dan qishash, dan adapun tindak pidana yang tidak dipaparkan
dalam Al-Quran akan dijatuhkan sanksi berupa takzir. Tujuan dijatuhkannya
sanksi kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan tidak lain adalah
untuk memberikan efek jera serta memberikan kemaslahatan untuk
masyarakat luas.
Pengulangan atau residivie adalah pengulangan tindak pidana. Di
mana seseorang telah melakukan tindak pidana lalu sedang menjalani masa
hukuman, ia kembali mengulangi tindak pidana yang sama ataupun pada
tindak pidana yang berbeda. Hukuman pada pengulangan tindak pidana dalam
KUHP diatur pada Pasal 486 bahwasanya pemberatan pidana pada
residiviedapat ditambah 1/3 dari maksimum pidana yang di ancamkan.
Namun, pengulangan tindak pidana bisa menjadi salah satu hal pemberat
40
pidana pada tindak pidana tertentu yang akan membuat penjatuhan hukuman
akan lebih berat daripada yang diatur pada KUHP.
41
BAB III
TINDAK PIDANA PENGEDARAN NARKOTIKA GOLONGAN I TINJAUAN
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Tindak Pidana dalam Islam
1. Pengertian Jarimah
Secara etimologis, tindak pidana dalam hukum Islam disebut jarimah
:Secara etimologi jarimah adalah .(الجناية) atau jinayah (الجريمة)
الجريمة ىي الجرم و الذنب والخطأ
Artinya: "Jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan"61
Secara terminologis pengertian jarimah adalah:
الجريمة في الشريعة الإ سلامية بانها محظورات شرعية زجر الله عنها بحد أو تعزير
Artinya:"Jarimah dalam syariah Islam yaitu larangan-larangan syara' yang
diancam oleh Allah swt. Dengan hukuman had atau takzir."62
Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-
Mawardi adalah sebagai berikut:
ها بحد أو ت عزير الجرائم محظورات شرعية زجر الله ت عالى عن
Artinya:"Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir"63
61
Lowis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughoh wa al I'lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), h. 518
62 Abd. Al-Qadir Audah, al Fiqh al-Jina'i al- Islami, (Qathirah: Dar al-Turats, T,Th), Jilid I,
h. 67, lihat Al-Mawardi. Al-Ahkam Al-Sulthaninyyah. Lihat Pula Mardani, Penyalahgunaan Narkoba
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional.
63 Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-
Halaby, cet III, 1975), h. 219
42
Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut.
فالجناية اسم لفعل محرم شرعا, سواء وقع الفعل على ن فس أو مال أو غي ذالك
Artinya:"Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh
syara' baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya."64
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan
yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.Dengan
perkataan syara' pada pengertian tersebut, yang dimaksud bahwa sesuatu
perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara'.Juga perbuatan
atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam
hukuman terhadapnya.65
Kata al-Jinayat merupakan bentuk jamak dari jinayah.Kata itu berasal
dari jana-yajni yang berarti mengambil. Istilah jana ast-tsamrah (mengambil
buah) digunakan jika seseorang memetik langsung dari pohon. Istilah jana
'ala qaumihi jinayatan digunakan jika seseorang berbuat dosa terhadap
kaumnya, jika ia membuat kesalahan atau dosa yang wajib atas sanksi.66
Jinayat dalam definisi syar'i bermakna setiap pekerjaan yang
diharamkan.Makna pekerjaan yang diharamkan adalah setiap pekerjaan yang
dilarang syar'i karena adanya dampak negatif; karena bertentangan dengan
agama, membahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.67
Dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa pengertian jarimah adalah
sebagai bentuk ancaman uqubah (hukuman) dari perbuatan dosa atau
64
Abd Qadir Audah, At-Tasyri' Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-'Arabi),
h. 67
65 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 13
66 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 323
67 Ibid
43
perbuatan yang dilarang oleh syara' baik melukai badan dan jiwa atau
mengambil harta orang lain.
2. Macam-Macam Jarimah
Jarimah dilihat dari berat ringannya terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Qishash
Secara etimologi qishash berasal dari kata قصصا –ي قص –قص yang
berarti تتبعه mengikuti; menelusuri jejak atau langkah. Hal ini
sebagaimana firman Allah:
لك ما كنا نب اٱر ف غ قال ذ اءاثارها قصص على تدArtinya: "Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula"(QS. Al-Kahfi (18): 64)
Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh
Al-Jurjani, yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada
pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut
(terhadap korban).68
Sementara itu dalam Al-Mu'jam Al-Wasit,qishash
diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana
sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa
dan anggota tubuh.69
Dengan demikian penghilangan nyawa pelaku
adalah akibat dari perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain terlebih
dahulu.
68
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al-Ta'rifat, (Jakarta: Dar Al-Hikmah), hl. 176 Lihat
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013)
69 Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu'jam Al-Wasit, (Mesir: Majma' Al-Lughah Al-Arabiyyah, 1972),
cet.ke-2, h. 740. Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 4
44
b. Jarimah Hudud
Secara etimologis, hudud merupakan bentuk jamak dari kata had
yang berarti الدنع (larangan, pencegahan). Adapun secara terminologis, Al-
Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan yang wajib
dilakasanakan secara haq karena Allah swt.70
Sementara itu, sebagian ahli fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdul
Qadir Audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi yang telah ditentukan
secara syara'.71
Lebih lengkap dari kedua definisi di atas, Nawawi Al-Bantani
mendefinisikan hudud, yaitu sanksi yang telah ditentukan dan wajib
diberlakukan kepada seseorang yang melanggar suatu pelanggran yang
akibatnya sanksi itu dituntut baik dalam rangka memberikan peringatan
pelaku maupun dalam rangka memaksanya.72
Dengan lebih mendetail.Al-Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
hudud secara bahasa berarti pencegahan.Sanksi-sanksi kemaksiatan
disebut dengan hudud, karena pada umumnya dapat mencegah pelaku dari
tindakan mengulang pelanggaran. Adapun arti kata had mengacu kepada
pelanggaran sebagaimana firman Allah (QS. Al-Baqarah (2): 187),
"Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya."73
70
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al-Ta'rifat, (Jakarta: Dar Al-Hikmah), h. 88. Lihat M.
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 14
71Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri' Al-Jina'I Al-Islami, h. 343
72 Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi, Qut Al-Habib Al-Gharib Tausyikh 'ala
Fath Al-Qarib Al-Mujib, (Semarang: Toha Putera), h. 245. . Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh
Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 14
73 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah,jilid II, h. 228
45
Lebih lanjut Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa had (hudud)
secara terminologis ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan
hak Allah. Dengan demikian, takzir tidak termasuk ke dalam cakupan
definisi ini karena penentuannya diserahkan menurut pendapat hakim
setempat.Demikian halnya qishash yang tidak termasuk dalam cakupan
hudud karena merupakan hak sesama manusia untuk menuntut balas dan
keadilan.74
Ditinjau dari dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu hudud
yang termasuk hak Allah dan hudud yang termasuk hak manusia. Menurut
Abu Ya'la, hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang wajib
diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang
diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Adapun hudud dalam
kategori kedua adalah jenis sanksi yang diberlakukan kepada seseorang
karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan
meminum khamr.75
Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, hududyang
minuman keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua, hudud yang
merupakan hak manusia, seperti had qadzaf dan qishash.76
Kemudian jika ditinjau dari segi materi jarimah, hudud terbagi
menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzaf, meminum minuman
keras, pembrontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.77
74
Ibid
75 Abu Ya'la, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), h. 260.
Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 16
76 Ibid
77 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, h. 17
46
c. Jarimah Takzir
Takzir berasal dari kata at-Ta'zir (menurut bahasa) yang bermakna
permuliaan dan pertolongan. Hal ini sesuai firman Allah swt.,
وتسبحوىبكرةوأصيلا وت عزروه وت وق روه ۦبٱللو ورسولو منوا لتؤ
Artinya: "supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang"(QS. Al-Fath (48): 9)
Maksud takzir di dalam ayat itu adalah mengagungkan dan
menolong agama Allah.Ia juga bermakna celaan. Misalnya, jika dikatakan
'azzara fulanun fulanan, berarti si fulan telah mencela si fulan sebagai
peringatan dan pelajaran atas kesalahan yang dilakukannya. Namun,
definisi takzir menurut syara' adalah hukuman yang bersifat mendidik atas
dosa yang tidak dijelaskan oleh had (sanksi) dan kafaratnya
(penebusnya).78
Menurut Abdul Qadir Audah, takzir adalah pengajaran yang tidak
ada aturannya oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan
karena melakukan beberapa tindak pidana yang di mana oleh syariat tidak
ditentukan dengan sanksi hukuman tertentu.79
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, sanksi-sanksi dalam takzir
adalah hukuman-hukuman yang secara syara' tidak ditegaskan mengenai
ukurannya.Syariat hukum Islam memberikan wewenang kepada penguasa
negara untuk memutuskan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang
sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukannya. Sanksi-sanksi takzir
78
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 375
79 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islamiyyah, h. 52
47
ini sangat beragam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, taraf
pendidikan masyarakat, dan berbagai keadaan lain manusia dalam berbagai
masa dan tempat.80
Menurut M. Nurul Irfan dalam bukunya Fiqh Jinayah,
mendefinisikan takzir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku
jarimah yang melakukan pelanggaran-baik berkaitan dengan hak Allah
maupun hak manusia dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman
hudud atau kafarat. Karena takzir tidak ditentukan secara langsung oleh
Al-Quran dan hadits, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat.
Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi takzir, harus tetap
memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut
kemaslahatan umum.81
Semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh Al-
Quran atau hadits.Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh
penguasa setempat.Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas,
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri
manusia.82
3. Jarimah Pengedaran Narkotika
Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya) tidak dijelaskan secara
gamblang dalam Islam.Al-Quran hanya menyebutkan istilah
80
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), cet. Ke-4,
jilid VII, h. 5300
81 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 140
82 Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Isslami, Al-Jarimah. Lihat
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013)
48
khamr.Meskipun demikian, jika suatu hukum belum ditentukan statusnya,
dapat diselesaikan melalui metode qiyas.83
Dalam Kamus Al-Munjid fil Lughah wal I'lam, narkotika
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata رات خد
yang berasal dariالد
akar kata ر خ ر –د تدي ر –يد yang berarti hilang rasa, bingung, membius,
menutup, gelap, atau mabuk.84
Sementara itu secara terminologis narkoba ialah:
الدخدرات عرفها البعض بأنها ىي كل مادة يتتب على تناولذا ىالك للجسم وتأثي على العقل
تكون عادة الادمان التى تحرمها القوانين الوضعية واشهر انواعها الحشيش والافيون حتى تكاد تذىب و
والدورفين والذوريين والكوكايين والكات
Artinya: "Narkotika adalah setiap zat yang apabila dikonsumsi akan merusak
fisik dan akal, bahkan terkadang membuat orang menjadi gila atau mabuk.
Hal yang demikian dilarang oleh undang-undang positif yang popular seperti:
ganja, opium, morpin, heroin, kokain, dan kat"85
Pertama kali narkoba digunakan untuk kepentingan pengobatan dan
menolong orang sakit. Sejak zaman prasejarah, manusia sudah mengenal zat
psikoaktif berupa dedaunan, buah-buahan, akar-akaran, dan bunga dari
berbagai jenis tanaman yang sudah lama diketahui manusia purba akan efek
farmatologinya. Sejarah mencatat, ganja sudah digunakan orang sejak tahun
83
Muhammah Khudori Bik, Ushul, Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), h. 334. Lihat M.
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 172
84 Luis Ma'luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A'lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1975), h. 170.
Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013)
85 Azat Husnain, al- Muskirat wa al-Mukhaddirat baina al-Syari'ah wa al-Qanun, (Riyad:
1984), h. 187. Lihat Mardani, Penyalahgunaan Narkobba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional.
49
2700 SM. Opium pun telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk menenangkan
orang yang sedang menangis.Meskipun demikian, di samping zat-zat tersebut
digunakan untuk pengobatan, tidak jarang pula digunakan untuk
kenikmatan.86
Dalam kehidupan Arab jahiliah, tradisi meminum minuman keras
sangat kental sehingga tidak dipisahkan.Budaya itu dianggap sebagai
kenikmatan tertinggi dan merupakan prestasi tersendiri ketika seseorang
sedang mabuk.87
Sementara itu, hasyis (ganja) telah disalahgunakan oleh Hasyasyin88
(salah satu sekte Syiah Isma'iliyah). Nizar Al-Muntasir, putra sulung Al-
Muntasir (Khalifah Fatimiyah, 427-428) H/1036-1094 M), memanfaatkan
sekte ini untuk membentuk negara Isma'iliyah Nizariyah. Pemimpin
Hasyasyin menuntut kesetiaan pengikutnya dengan membuat mereka mabuk.
Dengan cara ini merasakan kenikmatan, sehingga mereka bersedia mati untuk
memperoleh kembali kenikmatan "surgawi" itu. Ketika pemimpin hasyasyin
memerintahkan pengikutnya untuk membunuh seorang pejabat, ia berjanji
akan membawa si pengikut kembali ke surga jika berhasil melaksanakannya.89
Seiring dengan peralihan zaman yang ditandai dengan kemajuan
teknologi, maka manusia dapat mengolah zat-zat psikoaktif tersebut dengan
86
Danny I. Yatim, Kepribadian, Keluarga, dan Narkotika: Tinjauan Sosial-
Psikologis,(Jakarta: Arcan, 1989), cet. Ke-1, h. 51. Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah,
(Jakarta: AMZAH, 2013),
87 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba; Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, h. 90
88 Kata hasyasyin berasal dari kata Arab hasyasyiyyun atau hasyasiyyin yang artinya para
pengguna hasyis (sejenis tumbuhan pembius dan pengantar mabuk). Lihat M. Nurul Irfan dan
Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013)
89 Hasan Muarif Ambari, et.al., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996),
jilid I, h. 185-187. Lihat M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013)
50
cara yang canggih pula. Pada tahun 800-an manusia telah dapat menemukan
proses penyulingan. Sebelumnya minuman keras hanya memiliki kadal
alkohol kurang dari 15% karena dibuat dengan fermentasi alamiah.Sementara
itu hubungan antarbangsa di dunia yang juga bertambah pesat.Berawal dari
bangsa Barat yang berhasil menemukan zat psikoaktif di wilayah Asia, Afrika,
dan Amerika menyebabkan tersebarnya zat tersebut ke seluruh penjuru dunia.
Begitu pula dengan kemajuan di bidang teknologi telekomunikasi dan media
massa, berimplikasi pada tersebarnya zat psikoaktif dan semakin
bertambahnya sebagai yang terbaru terkait narkoba ini.90
a. Status Hukum Penyalahgunaan Narkoba
(1) Status Hukum Pemakai, Produsen, dan Pengedar Narkoba
Menurut Hukum Pidana Islam
Status hukum narkoba dalam konteks fiqh memang tidak
disebutkan secara langsung, baik dalam al-Quran maupun sunnah,91
karena belum dikenal pada masa Nabi. Al-Quran hanya berbicara tentang
pengharaman khamr yang dilakukan secara gradual (al-tadri fi al-
tasyri').Meskipun demikian, ulama telah sepakat bahwa menyalahgunakan
narkoba itu haram, karena dapat merusak jasmani dan rohani umat
manusia. Oleh karena itu, menurut Ibnu Taimiyah dan Ahmad Al-Hasary,
jika memang belum ditemukan status hukum penyalahgunaannarkoba
90
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 176
91 Hikmah di haramkannya khamr adalah karena khamr induk kejahatan, dapat melalaikan
dari mengingat Tuhan, menutup hati merusak jasmani dan harta, serta menyebabkan timbulnya
permusuhan sesama manusia. Sementara itu, hikmah diharamkannya khamr secara gradual adalah
karena mengonsumsi khamr sudah menjadi kebiasaan orang-orang jahiliah. Seandainya diharamkan
sekaligus maka akan memberatkan mereka. Lihat Mardani Penyalahgunaan Narkoba Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional.
51
dalam Al-Quran dan sunnah,92
maka para ulama mujtahid
menyelesaikannya dengan pendekatan qiyas.93
Menurut Ahmad Muhammad Assaf, telah terjadi kesepakatan
ulama tentang keharaman khamr dan pelbagai jenis minuman yang
memabukkan. Sementara itu menurut Ahmad Al-Syarbasi, tanpa
diqiyaskan dengan khamr pun, ganja dan narkotika dapat dikategorikan
sebagai khamr karena dapat menutupi akal.
Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa memakai, menjual,
membeli, memproduksi, dan semua aktivitas yang berkenaan dengan
narkoba adalah haram. Hal ini disebabkan narkoba lebih berbahaya
banding khamr94
Seperti hadits yang Anas Bin Malik riwayatkan:
حمولة ن انس قال: لعن رسول الله ص ف الخمر عشرة: عاصرىا و معتصرىا و شار ع
ب ها و حاملها و الد
شت راة لو. )رواه التمذى و ابن ما
شتي لذا و الد
جو ف نيل اليو و ساقي ها و بائعها و آكل ثنها و الد
(471: 5الاوطار
Artinya: Dari Anas ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat tentang khamr
sepuluh golongan : 1.yang memerasnya, 2.pemiliknya (produsennya), 3.yang
meminumnya, 4. yang membawanya (pengedar), 5. yang minta diantarinya, 6.
92
Menurut Ibnu Taimiyah yang disadurkan oleh Ahmad Al-Hasary, komentar reaksi ulama
pertama kali berkenaan dengan penyalahgunaan narkoba, yaitu pada akhir tahun 600 Hijriah. Pada
masa itu kekuasaan di bawah kendali bangsa Tartar di bawah kepemimpinan Raja Genghis Khan.
Lihat Ahmad Al-Hasary, Al-Siyasah Al-Jazariyyah, (Beirut: Dar Al-Jail), jilid II, hlm. 39
93 Qiyas Jali yaitu menyamakan sesuatu hukum yang lebih tinggi kepada sesuatu hukum yang
lebih rendah disebabkan persamaan illat hukumnya. Narkoba Dianalogikan dengan khamr. Lihat
Muhammad Khudari Bik, Ushul Fiqh (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), h. 334. Lihat pula Sayyid Sabiq,
Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Arabiyyah, 1978), cet III juz, h. 330.
94M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 177
52
yang menuangkannya, 7. yang menjualnya, 8. yang makan harganya, 9. Yang
membelinya, 10. yang minta dibelikannya”.(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
(dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174).
(2) Metode Istinbath Hukum Qiyas
Secara bahasa qiyasberarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.
Membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Pengertian qiyas dalam terminologi erdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda
tetapi mengandung pengertian yang sama. Menurut Saifuddin al-
Amidi mendefinisikan qiyasdengan:
"mempersamakan'illat yang ada pada furu' dengan 'illat yang
ada pada asal yang diistinbathkan dari hukum asal".
Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan:
"menyatakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam
nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebabkan kesatuan 'illat hukum antara keduanya".95
Para ulama ushul fiqh menetapkan Qiyas memiliki empat
rukun, yaitu96
:
1. Ashl )الأصل(
2. Far'u )الفرع(
3. 'Illat )العلة(
4. Hukm al-Ashl )حكم الأصل(
Dalam kasus yang penulis teliti yaitu peredaran narkotika
golongan I yang tidak terdapat pada nash dapat di-qiyas-kan seperti
uraian di bawah ini:
95
Wahbah Zuhaili, Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu, Jilid III, h. 170
96Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Publishinh House, 1996), h. 65
53
1. Ashl )الأصل(, menurut para ahli ushul fiqh, merupakan objek
yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat al-Quran, hadits
Rasulullah saw. Atau ijma' misalnya pengharaman
narkotika dengan meng-qiyas-kannya kepada khamryang
telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut para ahli
ushul fiqh yang dikatakan al-Ashl itu adalah nash yang
menentukan hukum, karena nash inilah yang akan
dijadikan patokan penentuan hukum furu'. Dalam kasus
narkotika yang di-qiyas-kan pada khamr , maka menjadi
ashl menurut ayat 90-91 surat al-Maidah.
2. Far'u)الفرع(, adalah objek yang akan ditentukan hukumnya,
yang tidak ada nash atau 'ijma yang tegas dalam
menentukan hukumnya, seperti narkotika.
3. 'Illat )العلة(, adalah sifat yang menjadi penyebab terjadinya
hukum, dalam kasus khamr yang menjadi 'illat-nya adalah
memabukkan.
4. Hukm al-Ashl )حكم الأصل(, adalah hukum syara' yang
ditentukanoleh nashatau ijma'. Adapun hukum yang
ditetapkan pada far'u pada dasarnya merupakan hasil dari
qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
Hukum narkotika, dari hasil pembahasan dan penelitiaannya,
narkotika adalah sesutau yang mengandung zat yang memabukkan atau
merusak badan, seperti halnya dengan khamr. Zat yang memabukkan
inilah yang menjadi penyebab diharamkannya khamr. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam suratal-Maidah ayat 5. Dengan demikian
telah ditemukan hukum untuk narkotika sendiri, karena 'illat-nya
keduanya sama yakni memmabukkan.Kesamaan 'illat antara kasus
54
yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya dalam Al-
Quran atau hadits.Menyebabkan adanya kesatuan hukum.
b. Sanksi terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkotika Menurut
Hukum Pidana Islam
Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi terhadappelaku
penyalahgunaan narkoba jika dilihat menurut hukum pidana Islam. Ada
yang berpendapat sanksinya adalah had dan ada pula yang berpendapat
sanksinya adalah takzir. Berikut ini penjelasannya97
:
(1) Ibnu Taimiyah dan Azat Husnain berpendapat bahwa pelaku
penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi had, karena narkoba
dianalogikan dengan khamr.98 Yaitu hukum dera sesuai dengan
berat ringannya tindak pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang. Terhadap pelaku pidana mengonsumsi minuman
memabukkan atau obat-obat yang membahayakan, sampai batas
yang membuat gangguan kesadaran, menurut pendapat Hanafi
dan Malik akan dijatuhkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
Menurut Syafi'i hukumannya hanya 40 kali.99
(2) Wahbah Zuhaili dan Ahmad Al-Hasari berpendapat bahwa
pelaku penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi ta'zir karena:
1) Narkoba tidak ada pada masa Rasulullah saw;
97
Ibid, h. 178
98 Harus dikemukakan bahwa menganalogikan narkoba dengan khamr memang perlu
dikaitkan dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Asas ini melahirkan kaidah turunan berupa
adanya larangan analogi dalam hukum pidana. Andi Hamzah berpendapat bahwa korupsi tidak bisa
diqiyaskan dengan mencuri, sehingga koruptor tidak boleh dihukum potong tangan. Namun dalam
hukum pidana Islam, larangan penggunaan qiyas justru sebagai bentuk kejumudan hukum pidana
Islam. Lihat M. Nurul Irfan dalam "Revitalisasi kias dalam Hukum Pidana Islam", al-Manahij, jurnal
kajian Hukum Islam, vol.2 2 Juli 2011, h. 223, STAIN Purwokerto
99 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 101
55
2) Narkoba lebih berbahaya dibandingkan dengan khamr; dan
3) Narkoba tidak diminum, seperti halnya khamr.
Menurut pendapat penulis, bahwasanya narkotika berstatus haram
karena zatnya yang dapat memabukkan dan dapat diqiyaskan keharamannya
dengan khamr. Lalu, dalam hukum penyalahgunaan narkotika dalam hukum
pidana Islam adalah lebih mengarah kepada penjatuhan sanksi takzir, karena
selain yang dijabarkan oleh Wahbah Zuhaili dan Ahmad Al-Hasari bahwa
narkotika tidak ada pada masa Rasulullah saw dan tidak secara gamblang
dijabarkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
B. Hukum Pidana di Indonesia
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana disebut juga delik, delik berasal dari bahasa Latin, yakni
delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa prancis disebut
delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delict.100
Dalam Kamus Besar Bahas
Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.101
"Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana."
Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia ialah
"tindak pidana", suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu
dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan
(Belanda: nalaten; Inggris, negligence) perbuatan yang diharuskan.102
100
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 7
101 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka,
2001). Lihat Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 7
102 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 48
56
Dalam hukum pidana Belanda tindak pidana memakai istilah
Strafbaar Feit, kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin "delictum"
oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wetboek Van Strafrect Belanda,
maka istilahnyapun sama yaitu Strafbaar Feit. Dan sekarang timbul masalah
dalam menerjemahkan arti dari Strafbaar Feit itu sendiri ke dalam bahasa
Indonesia.Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah "perbuatan pidana",
meskipun tidak untuk menerjemahkan Strafbaar Feit itu.Sedangkan Utrecht
menerjemahkan Strafbaar Feit menjadi peristiwa pidana. Menurut van der
Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan
perbuatannya tetapi manusianya. Moeljatno memakai istilah "perbuatan
pidana" untuk kata "delik".Menurut beliau, kata "tindak" lebih sempit
cakupannya daripada "perbuatan".Kata "tindak" tidak menunjukkan pada hal
yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang
kongkret. Tetapi A.Z Abidin menambahkan bahwa lebih baik memakai istilah
umum yang digunakan oleh para sarjana, yaitu "delik" (dan bahasa latin,
delictum) dan istilah delik juga dipakai oleh hampir semua penulis seperti
Roeslan Saleh dan Oemar Seno Adji.103
Menurut G.A van Hamel, sebagaimana yang diterjemahkan oleh
Moeljatno, Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.104
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja,
sebagaimana dikatakannya bahwa:
103
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni
Ahaem-Petehaem,1996), h. 203
104 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), cetakan ke-2, h. 56.
Lihat Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, h. 58
57
"perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja,
yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar"105
Dapat disimpulkan bahwa istilah (term) "Strafbaar Feit" yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu106
:
1) Perbuatan Pidana
2) Peristiwa Pidana
3) Tindak Pidana
4) Perbuatan Pidana
5) Delik
Dalam bukunya, Sathocid Kartanegara mengutip pendapat Simons
tentang unsur-unsur delik, yaitu107
:
a. Suatu perbuatan manusia (menselijk hendelingen) dengan
hendeling dimaksudkan tidak saja perbuatan (een doen), akan
tetapi juga mengakibatkan (een nalat ten).
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang.
c. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena
melakukan perbuatan tersebut
Dan juga berdasarkan aliran Monistis108
, Simons mengemukakan
adanya unsur subjektif dan objektif dari Strafbaar Feit antara lain109
:
105
Ibid, h. 59
106 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 172
107 Sathocid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu: Balai Lektur
Mahasiswa, h. 65
108 Aliran ini tidak ada pemisah antara criminal act dengan criminal responsibility
58
a. Subjektif
1) Orangnya mampu bertanggung jawab
2) Adanya kesalahan (dolusdan culpa)
b. Objektif
1) Perbuatan orang
2) Akibat dari perbuatan
3) Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan seperti
dalam Pasal 281 KUHP yang sifatnya openbaar atau di muka umum.
Moeljatno dalam aliran Dualistis110
mengemukakan unsur-unsur
Strafbaar Feit yang harus dipenuhi ialah:
a. Perbuatan
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
c. Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi nullum
delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada
suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya
undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
Dapat disimpulkan, bahwa Strafbaar Feit atau bisa disebut juga delik,
peristiwa pidana, adalah perbuatan yang dilarang undang-undang, yang
diancam dengan hukuman apabila terpenuhi unsur-unsurnya.
Setelah unsur-unsur tindak pidana, terdapat beberapa jenis tindak
pidana, di antaranya111
:
109
Sudarto, Hukum Pidana 1A-1B, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990), h. 3. Lihat
Lihat Nandang Alamsah Deliarnoor dan Sigid Suseno, Modul I, Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak
Pidana Khusus.h. 10. Website: http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/HKUM4309-M1.pdf
110 Aliran ini memisahkan criminal act dengan criminal responsibility.
59
1. kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Kejahatan
diatur dalam buku II KUHP, sedangkan pelanggaran diatur dalam
buku III KUHP. Tetapi, dalam KUHP tidak ada penjelasan
pengertian dari kejahatan maupun pelanggaran. Kejahatan adalah
delik-deik yang melanggar kepentingan hukum dan juga
membahayakan secara konkrit atau nyata, sedangkan pelanggaran
merupakan wets delict atau delik undang-undang yang hanya
membahayakan in abstracto saja.112
2. Terdapat delik formil dan delik materiil. Delik formil adalah tindak
pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan
arti bahwa inti dari larangan itu adalah melakukan suatu perbuatan
tertentu. Pada delik formil disebut hanya suatu perbuatan tertentu
yang dapat dipidana. Misalnya, sumpah palsu atau Keterangan
Palsu, diatur dalam Pasal 242 KUHP. Lalu delik materiil, terdapat
akibat tertentu dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu,
maka dari itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
tersebut yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.113
3. Delik Dolus dan delik Culpa. Delik dolus memliki unsur
kesengajaan, sedangkan delik culpa memuat unsur kealpaan dalam
tindakannya.
4. Terdapat juga delik commissionis (aktif) dan delik ommisionis
(pasif). Yang dimaksud dengan delik aktif yaitu perbuatan fisik,
dapat berupa suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari bagian tubuh
111
Nandang Alamsah Deliarnoor dan Sigid Suseno, Modul I, Pengertian dan Ruang Lingkup
Tindak Pidana Khusus.h. 10. Website: http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/HKUM4309-M1.pdf
112 Andi Hamzah, Asas-asas HukumPidana,(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 99
113 Ibid
60
manusia misalnya pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP
dan penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 KUHP.
5. Delik aduan dan delik biasa. Delik aduan merupakan tindak pidana
yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu
adanya pengaduan oleh berhak yang mengajukan pengaduan, yaitu
korban atau wakilnya atau keluarga atau orang diberi kuasa khusus
untuk melakukan pengaduan. Sedangkan delik Biasa adalah tindak
pidana yang dilakukannya penuntutan terhadap pelakunya tidak
diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.
2. Tindak Pidana Khusus
Tidak ada pendefinisian tindak pidana khusus secara baku. Akan
tetapi, berdasarkan Memori Penjelasan (Memori van Toelichting/MvT) dari
Pasal 103 KUHP, istilah "Pidana Khusus" dapat diartikan sebagai perbuatan
pidana yang ditentukan dalam perundangan tertentu di luar KUHP.114
Sebagaimana dikemukakan oleh K. Wantjik Saleh Ihwal latar
belakang timbulnya tindak pidana khusus:
"Apa yang tercantum dalam KUH Pidana pasti tidak dapat mengikuti
perkembangan zaman.Selalu timbul berbagai perbuatan yang tidak disebut
oleh KUH Pidana sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat dan
melawan hukum, maka Penguasa/Pemerintah dapat mengeluarkan suatu
peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan
menjadi tindak pidana. Berhubung tindak pidana tersebut tidak berada di
dalam KUH Pidana, maka disebut Tindak Pidana di luar KUH Pidana"115
Rochmat Soemitro (1991), mendefinisikan tindak pidana khusus
sebagai tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khusus,
114
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),h. 13
115Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 13
61
yang memberikan peraturan khusus tetntang cara penyidikannya, tuntutannya,
pemeriksannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang
dimuat dalam KUHP.116
Namun, T.N Syamsah berpendapat bahwa pengertian tindak pidana
khusus harus dibedakan dari pengertian ketentuan pidana khusus.Pidana
khusus pada umumnya mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan dalam
bidang tertentu atau khusus (di luar KUHP) seperti di bidang perpajakan,
imigrasi, perbankan yang tidak diatur secara umum dalam KUHP atau yang
diatur menyimpang dari ketentuan pidana umum. Sedangkan, tindak pidana
khusus adalah tindak pidana yang diatur sendiri oleh undang-undang khusus,
yang memberikan peraturan khusus tentang cara penyidikannya, tuntutannya,
pemerikasaannya maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang
dimuat dalam KUHP yang lebih ketat atau lebih berat. Tetapi, jika tidak
diberikan ketentuan yang menyimpang, ketentuan KUHP umum tetap
berlaku.117
Tindak pidana khusus itu sangat merugikan masyarakat dan negara,
maka perlu diadakan tindakan cepat dan perlu diberi wewenang yang lebih
luas kepada penyidik dan penuntut umum, hal ini agar dapat mencegah
kerugian yang lebih besar.Macam-macam tindak pidana khusus misalnya
tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika serta
tindak pidana HAM berat.118
116
Ibid
117 T.N Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan, (Bandung: Alumni, 2011), h. 51. Lihat
Nandang Alamsah Deliarnoor dan Sigid Suseno, Modul I, Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak
Pidana Khusus.h. 19. Website: http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/HKUM4309-M1.pdf
118 Ibid, h. 52
62
Titik tolak kekhususan suatu peraturan perundang-undangan khusus
dapat dilihat dari perbuatan yang diatur, masalah subjek tindak pidana, pidana
dan pemidanaannya.Subjek hukum tindak pidana khusus diperluas, tidak saja
meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum (korporasi).Sedangkan
dari aspek masalah pemidanaan, dilihat dari pola perumusan ataupun pola
ancaman sanksi, tindak pidana khusus menyangkut 3 (tiga) permasalahan
yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan
pemidanaan.119
Ruang lingkup tindak pidana khusus tidak bersifat tetap, tetapi dapat
berubah sesuai dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri
ketentuan khusus dari Undang-undang pudana yang mengatur substansi
tersebut.120
3. Tindak Pidana Pengedaran Narkotika Golongan I
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.
35 Tahun 2009.121
Pembentukan Undang-Undang Narkotika memliki empat tujuan,
yakni122
:
119
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, h. 13
120 Ibid
121Ibid, h. 90
122 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
(Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. 121
63
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalanhgunaan narkotika.
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Dalam undang-undang ini diatur rumusan unsur-unsur tindak pidana
narkotika dan sanksi pidana yang dikenakan, sebagai berikut123
:
Pasal 111 ayat (1)
"Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 800.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)"
Pasal 111 ayat (2)
"Dalam hal ini perbuatan menanam, memelihara, memliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon Pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ditambah 1/3 (sepertiga)"
Pasal 112 ayat (1)
"Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
123
Ibid, h. 125
64
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah)"
Pasal 112 ayat (2)
"Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)"
Pasal 113 ayat (1)
"Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)"
Pasal 113 ayat (2)
"Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, Pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)"124
Didalam bukunya, Ridha Ma'roef mengatakan bahwa Narkotika ialah
Candu, Ganja, Cocaine, dan Zat-zat yang mentahnya diambil dari benda-
benda termasuk yakni Morphine, Heroin, Codein Hashisch, Coccaine. Dan
termasuk juga Narkotika sintetis yang menghasiljan zat-zat, obat yang
tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulan.125
124
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
125 Ridha Ma'roef, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h.
15
65
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Narkotika pengertian Narkotika adalah:
"Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan."
Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa kimia yang berbahaya
apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat.Bahaya itu berupa candu dan
ketagihan yang tidak bisa berhenti.Hal ini dikarenakan di dalam narkotika
terkandung senyawa adiktif yang bersifat adiksi bagi pemakainya.Penggunaan
narkotika dapat menyebabkan hilangnnya kesadaran dan si pengguna dapat
dengan mudah melupakan segala permasalahan yang di hadapi.Pemakai
dibuat seperti diatas awan dan selalu merasa bahagia.Inilah yang kemudian
mendorong banyak orang yang sedang diliputi masalah beralih mencari
kesenangan dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang ini.126
Adapun penggolongan dan jenis narkotika digolongkan sebagai berikut:127
1. Golongan I
Dalam penggolongan narkotika, zat atau obat golongan I
mempunai potensi ang sangat tinggi dan mengakibatkan
ketergantungan.Oleh karena itu di dalam penggunaanna hana
diperuntukkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
dipergunakan dalam terapi.Pengertian pengembangan ilmu pengetahuan,
termasuk di dalamna untuk kepentingan medis ang sangat terbatas. Jenis
golongan I ada 65 macam, antara lain:
126
Arya Fitri, "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Peredaran Narkotika (Studi Kasus
Putusan No. 61/Pid.Sus/2013/PN. Jo)." (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, 2014),
h. 13
127Ibid, h. 20
66
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk
buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari:
a.candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian
dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b.j jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah
candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c.jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceaetermasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung
atau melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua
bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman
ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo
kimianya.
67
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-
metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
12. Acetil - alfa - metil fentanyl : N-[1-(a-metilfenetil)-4-piperidil]
asetanilida
13. Alfa-metilfentanil : N-[1-(a-metilfenetil)-4-piperidil]
propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-]1-metil-2-(2-tienil)etil]-4-
piperidil] priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil]
propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-
fentanil
: N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-
4piperidil] propionanilida
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina : tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-
6,14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4-
propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil)
propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil)etil]-4-
piperidil] propionanilida/td>
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat
(ester)
24. Para-fluorofentanil : 4'-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil)
propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat
68
(ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]
propionanilida
27. BROLAMFETAMINA,
nama lain DOB
: (±)-4-bromo-2, 5-dimetoksi-a-
metilfenetilamina
28. DET : 3-[2-(dietilamino) etil] indol
29. DMA : (+)-2, 5-dimetoksi-a-metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-
tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-
dibenzo[b,d] piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-(dimetilamino) etil] indol
32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi-a-
metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA,
nama lain PCE
: N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)-2-aminopropiofenon
36. (+)-LISERGIDA,
nama lain LSD, LSD-25
: 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-
metilergolina-8 β-karboksamida
37. MDMA : (±)-N, a-dimetil-3,4-(metilendioksi)
fenetilamina
38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1-fenilpropan-1-on
40. 4-metilaminoreks : (±)-sis-2-amino-4-metil-5-fenil-2-
oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi-a-metil-3, 4-(metilendioksi)
fenetilamina
42. N-etil MDA : (±)-N-etil- a -metil-3, 4-(metilendioksi)
69
fenetilamina
43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[a -metil-3, 4-(metilendioksi)
fenetil]hidroksilamina
44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-
trimetil-6H-dibenzo [b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- a –metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-(dimetilamino) etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino) etil]indol-4-il
dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA,
nama lain PHP,PCPY
: 1-(1-fenilsikloheksil) pirolidina
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- a, 4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA,
nama lain MDA
: a -metil-3,4-(metilendioksi)
fenetilamina
51. TENOSIKLIDINA,
nama lain TCP
: 1-[1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- a –
metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (±)- a –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : (+)- a –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[(a -metilfenetil)
amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA,
nama lain PCP
: 1-(1-fenilsikloheksil) piperidina
58. LEVAMFETAMINA,
nama lain levamfetamina
: (-)-(R)- a –metilfenetilamina
59. Levometamfetamina : (-)- N, a –dimetilfenetilamina
70
60. MEKLOKUALON : 3-(o-klorofenil)- 2-metil-4 (3H)-
kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+)-(S)-N, a –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4 (3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : a - (a metoksibenzil)-4-(β-
metoksifenetil)-1-piperazinetano
64. Opium Obat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
2. Narkotika Golongan II
Narkotika pada golongan ini adalah yang berkhasiat terhadap
pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
dipergunakan dalam terapi dan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan.Narkotika golongan ini mempunyai potensi tinggi
megakibatkan ketergantungan. Daftar narkotika golongan II antara lain:
1. Alfasetilmetadol : alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-
difenilheptana
2. Alfameprodina : alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-
propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-
1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-piperidinil]-
Nfenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-
karboksilat etil ester
71
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-
propionoksipiperidina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-
difenilheptana
15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-
propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-
pirolidinil) butil]-morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di (2'-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-
4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-
fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24. Dimetiltiambuten
a
: 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
72
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina
dan kokaina
29. Etilmetiltiambute
na
: 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-
4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-
nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil) 4
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : Dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : Dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-
heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-
benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-Nfenetilmorfinan
42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-
nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
73
46. Levofenasilmorfa
n
: (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)
butil] morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona
intermediat
: 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfi
na
: 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida
intermediat
: asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana
karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya
termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-
oksida
61. Morfina
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-
difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
74
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina
intermediat A
: 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina
intermediat B
: asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina
intermediat C
: Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-(3-fenilaminopropil)- piperidina-
4-karboksilat etil ester
75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4 (1-
piperidino)-piperdina-4-karboksilat amida
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
isopropil ester
78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-
pirolidinil)-butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-
piperidil] propionanilida
82. Tebaina
83. Tebakon : Asetildihidrokodeinona
75
84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-
sikloheksena-1-karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.
3. Narkotika Golongan III
Narkotika Golongan ini adalah narkotika yang berkhasiat dalam
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
menyebabkan ketergantungan. Golongan narkotika untuk golongan III
antara lain:
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : a-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-
butanol propionate
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina : N-demetilkodeina:
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-
piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-±-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-
trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14-
tetrahidrooripavina
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
76
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
Kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah pidana yang diancamkan
kepada pelaku penyalahgunaan narkotika untuk dirinya sendiri tidak dianggap
sebagai sebuah tindakan pidana karena berstatus tidak membahayakan orang
lain, namun walaupun kejahatan ini termasuk dalam Undang-Undang sebagai
ancaman pidana, tentu saja hukuman ini tidak menyiksa dan bersifat
penyembuhan (treatment) dan menjalani rehabilitasi bagi si pelaku. Namun,
untuk pelaku penyalahgunaan narkotika bagi orang yang memproduksi,
mentrasito, mengekspor, mengimpor, mengedarkan narkotika, hukumannya
adalah lebih berat dari pelaku yang hanya menyalahgunakan bagi dirinya
sendiri, karena ini adalah dapat disebut sebagai tindak pidana yang dapat
membahayakan dirinya sendiri dan juga dapat membahayakan orang lain.
77
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 145. PK/PID.SUS/2016
A. Putusan Pengadilan Mahkamah Agung No. 145. PK/PID.SUS/2016.128
a. Kronologi Kasus
Awal mula perbuatan Fredi Budiman sang Pengedar Narkoba ini
dimulai pada Maret tahun 2009 lalu. Fredi Budiman didapat pada
kediamannya di Apartemen Taman Surya, Cengkareng, Jakarta Barat sebuah
barang sabu-sabu seberat 500 gram, dari penggeledahan itu Fredi Budiman
diganjar hukuman 3 tahun 4 bulan penjara.
Setelah terbebas dari hukuman penjara tersebut, Fredi kembali
melakukan tindak pidana pada tahun 2011, penangkapan itu dimulai saat
polisi menggeledah mobilnya dan didapatkan barang bukti berupa 300 gram
heroin dan 450 gram bahan pembuat ekstasi. Terkait kasus itu Fredi Budiman
divonis 9 tahun penjara.
Namun, baru setahun mendekam di balik jeruji besi Lembaga
Pemasyarakan Cipinang, ia kembali berulah menjadi residiviedengan
mendatangkan pil ekstasi dalam jumlah yang besar dari Cina, ia masih bisa
mengorganisasi penyendupan sebanyak 1.412.475 pil ekstasi dari Cina.129
Pada surat dakwaan Primair Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Jakarta Barat dijelaskan sebagai berikut:
128
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 145 145/PK/PID.SUS/2016
www.putusan.mahkamahagung.go.id
129http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/27/1145459/Freddy.Budiman.Bandar.Narkoti
ka.sejak.2009
78
Peristiwa pidana ini melibatkan terdakwa Fredi Budiman Alias Budi
Bin H.Nanang Hidayat bersama-sama:
1. Hani Sapta Pribowo Bin H.M Gatot Edi,
2. Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong,
3. Muhamad Muhtar Alias Muhamad Moektar,
4. Abdul Syukur Alias Ukung Bin Meiji,
5. Achmadi Alias Madi Bin Samin130
Pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 sekira pukul 19.00 WIB
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2012, bertempat di Jalan Kamal
Raya Kelurahan Cengkareng Timur Jakarta Barat, atau setidak-tidaknya di
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, yang tanpa hak atau melawan hukum dalam hal perbuatan
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika golongan I,
sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dalam bentuk bukan tanaman, percobaan
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika jenis Ekstasi sebanyak 1.412.476 (satu juta empat ratus
dua belas ribu empat ratus tujuh puluh enam) butir atau setara dengan lebih
kurang 380.996,9 (tiga ratus delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan
puluh sembilan koma sembilan) gram. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
dengan cara sebagai berikut:
Bahwa awalnya sekitar tahun 2009 Chandra Halim Alias Akiong Bin
Tingtong kenal dengan Wang Chang Shui (Warga Negara Hongkong) di
Hong kong dalam perkenalan tersebut terdakwa Chandra Halim Alias Akiong
Bin Tingtong minta bantuan untuk menagih hutang uang kepada 4 (empat)
130
Disidangkan terpisah di Peradilan Militer
79
orang warga Negara Cina dan mulai dari saat itulah hubungan Chandra Halim
alias Akiong Bin Tingtong dengan Wang Chang Shui sangat dekat.
Bahwa pada mulanya perkenalan Chandra Halim Alias Akiong Bin
Tingtong dengan terdakwa Fredi Budiman di dalam RUTAN Cipinang satu
kamar dengan Hani Sapta Pribowo Alias Bowo yang saat itu terdakwa Fredi
Budiman menyampaikan kalau ada kiriman narkotika dari luar negeri yang
melalui pelabuhan Tanjung Priok agar melalui terdakwa Fredi Budiman
karena dia dianggap orang yang bisa mengurus di pelabuhan dan kemudian
hal tersebut Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong ceritakan kepada
Wang Chang Shui, kemudian juga terdakwa Fredi Budiman sudah pernah
berbisnis narkotika dengan Chandra Halim Alias Akiong yang masih tersisa
hutang yang belum dibayar oleh terdakwa Fredi Budiman sebesar Rp.
5.000.000.000,- (Lima Miliyar Rupiah).
Sebelumnya Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong juga pernah
dikirimi narkotika jenis shabu sebanyak 6 (enam) kilogram oleh Wang Chang
Shui yang saat itu terdakwa terima melalui hotel Ibis Jakarta Pusat dan saat itu
juga Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong kerjasama dengan terdakwa
Fredi Budiman, karena pada saat itu juga terdakwa Fredi Budiman
menyanggupi untuk ambil shabu tersebut dengan kesepakatan terdakwa
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong dan mendapat Rp.
35.000.000.000,- (Tiga Puluh Lima Juta Rupiah) perkilonya.
Bahwa selain terdakwa Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong
kenal dengan Fredi Budiman di dalam penjara juga mengenal dengan Hani
Sapta Pribowo Alias Bowo yang satu kamar tahanan dengan terdakwa Fredi
Budiman yang dikenalkan oleh terdakwa Fredi Budiman, dalam perkenalan
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong tersebut terdakwa Fredi Budiman
80
jelaskan bahwa Hani Sapta Pribowo Alias Bowo adalah penguasa pelabuhan
Tanjung Priok dan punya usaha di sana.
Bahwa setelah Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong kenal
dengan Hani Sapta Pribowo Alias Bowo mulai saat itu sering banyak
petermuan keduanya termasuk juga Terdakwa Fredi Budiman, dalam
pertemuan tersebut Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong menanyakan
kepada Hani Sapta Pribowo Alias Bowo tentang pengiriman barang dari luar
negeri melalui jalur yang aman yang dimaksudnya jalur yang tidak diperiksa
oleh bea dan cukai, lalu Hani Sapta Pribowo Alias Bowo menelepon Abdul
Syukur Alias Ukung dari situlah awalnya Hani Sapta Pribowo Alias Bowo
memperkenalkan Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong dengan Abdul
Syukir Alias Ukung melalui handphone.
Kemudian sekitar tahun 2011 ada pertemuan antara Chandra Halm
Alias Akiong Bin Tingtong, Hani Sapta Pribowo dan Terdakwa Fredi
Budiman bertempat di kamar (Terdakwa Fredi Budiman yang satu kamar
dengan Hani Sapta Pribowo Alias Bowo) di penjara dalam pertemuan tersebut
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong bermaksud akan mengirim
dispenser dari Cina melalui jalurnya Hani Sapta Pribowo Alias Bowo telah
menyanggupi apa saja yang akan dikirim oleh Chandra Halim Alias Akiong
Bin Tingtong dan juga Hani Sapta Pribowo Alias Bowo telah memberikan
alamat PRIMKOP KALTA kepada Chandra Halim Alias Akiong Bin
Tingtong.
Bahwa mulanya teman Chandra Halim Alias Akiong yang bernama
Whang Chang Shui mau mengimpor barang dari Cina berupa dispenser
sekitar tahun 2011, dengan adanya impor dispenser Hani Sapta Pribowo Alias
Bowo menghubungi Abdul Syukur Alias Ukung dengan menyuruh anak
buahnya bernama Sani untuk meminta kop surat PRIMKOP KALTA lalu
81
Abdul Syukur Alias Ukung menghubungi Supriadi yang kemudian Supriadi
memberikan kop asli PRIMKOP KALTA namun Supriadi berpesan kepada
Abdul Syukur Alias Ukung yang mengatakan supaya fotokopinya saja
diberikan kepada Hani Sapta Pribowo Alias Bowo namun pengiriman
dispenser batal.
Lalu Hani Sapta Pribowo Alias Bowo menghubungi Abdul Syukur
Alias Ukung lagi yang menyampaikan bahwa order kali ini adalah impor
barang berupa aquarium, lalu pada tanggal 26 Maret 2012 sekira pukul 15.00
WIB Abdul Syukur Alias Ukung mengirim sms kepada Hani Sapta Pribowo
Alias Bowo yang isinya memberitahukan alamat PT. PRIMER KOPERASI
KALTAS (Bais TNI) di Jalan Kalibata Raya No. 24 Jakarta Selatan. Karena
ada permintaan Hani Sapta Pribowo Alias Bowo minta alamat tersebut untuk
pengiriman barang impor berupa aquarium (Fish Tank) dari Cina.
Bahwa sebelum bulan Mei 2012 Terdakwa Fredi Budiman sepakat
dengan Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong akan mengirim ekstasi
berupa sampel 500.000 (lima ratus ribu) butir, setelah itu awal Mei 2012
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong datang ke kamar (Terdakwa Fredi
Budiman satu kamar dengan Hani Sapta Pribowo Alias Bowo) kedatangan
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong menanyakan alamat PRIMKOP
KALTA yang saat itu Hani Sapta Pribowo Alias Bowo memberikan alamat
PRIMKOP KALTA dan memastikan aman 1000% untuk impor barang karena
ada jalur kuning dan saat itu juga Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong
mengatakan kepada Hani Sapta Pribowo Alias Bowo akan ada kiriman
container TGHU 0683898 yang berisikan aquarium yang di dalamnya berisi
ekstasi sebanyak 12 (dua belas) karton/dus yang di dalamnya berisi narkotika
jenis ekstasi sebanyak 1.412.476 (satu juta empat ratus dua belas ribu emapat
ratus tujuh puluh enam) butir atau setara dengan kurang lebih 380.996,9 (tiga
82
ratus delapan puluh ribu sembilan ratus sembilah puluh enam koma sembilan)
gram.
Bahwa terdakwa Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong datang ke
kamar atau sel Fredi Budiman yang mengatakan bahwa narkotika jenis ekstasi
berasal dari Cina dengan menggunakan kontainer TGHU 0683898 harga di
Cina seharga Rp. 800,00 (delapan ratus rupiah) perbutir dengan biaya
seluruhnya berikut ongkos kirim Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah)
perbutir, Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong juga mengatakan kepada
terdakwa Fredi Budiman kalau mau berpartisipasi harus membayar uang
muka sebanyak Rp. 625.000.000,- (enam ratus dua puluh lima juta rupiah)
karena terdakwa Fredi Budiman tidak ada uang sejumlah itu lalu Terdakwa
Fredi Budiman minta bantuan kepada Babe Alias Edi Kuncir sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dikirim melalui transfer internet
banking BCA rekening atas nama Lina sedangkan sisa uang Rp.
125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) adalah uang milik Fredi
Budiman langsung dibayarkan kepada Yu Tang sehingga uang yang dikirim
kepada Wang Chang Shui sebesar Rp. 625.000.000,- (enam ratus dua puluh
lima juta rupiah) dan narkotika jenis ekstasi tersebut dijual di Indonesia
dengan harga Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) perbutir.
Bahwa jika narkotika jenis ekstasi tersebut sudah di gudang di
Indonesia, Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong mendapat fee dari
Wang Chang Shui sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan
selain itu juga Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong menjanjikan dari
jumlah narkotika jenis ekstasi tersebut;
- Terdakwa Fredi Budiman menerima upah sebesar 10%
- Hani Sapta Pribowo Alias Bowo menerima upah sebesar 10%
- Yu Tang mendapat upah sebesar 30%
83
- Abdul Syukur Alias Ukung dan Supriyadi mendapat upah dari
Terdakwa Hani Sapta Pribowo Alias Bowo;
Bahwa kemudian sekitar tanggal 4 Mei 2012 Yu Tang kembali
membesuk Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong dengan menyerahkan
Bill of Lading, Packing List dan Invoice asli dan dokumen asli tersebut kepada
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong serahkan langsung kepada
terdakwa Fredi Budiman serta Yu Tang rencana akan menyerahkan sendiri
sampel atau contoh ekstasi kepada terdakwa Fredi Budiman selanjutnya
menyuruh Hani Sapta Pribowo Alias Bowo mengirim dokumen tersebut
melalui fax kepada Adbul Syukur Alias Ukung yang selanjutnya terdakwa
Fredi Budiman menyuruh Hani Sapta Pribowo Alias Bowo untuk memberikan
nomor telepon Abdul Syukur Alias Ukung kepada Chandra Halim Alias
Akiong Bin Tingtong.
Kemudian terdakwa Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong
setelah mendapat nomor telepon Abdul Syukur Alias Ukung dari Hani Sapta
Pribowo Alias Bowo lalu menelepon Abdul Syukur Alias Ukung menanyakan
fax sudah terima atau belum juga menanyakan biaya pengeluaran barang
tersebut lalu dijawab oleh Abdul Syukur Alias Ukung fax sudah diterima dan
mengenai harga akan dibicarakan terlebih dahulu dengan pengurus PT.
PRIMER KOPERASI KALTA.
Bahwa nomor handphone yang biasa Chandra Halim Alias Akiong
Bin Tingtong pakai adalah 021-83818119 dengan HP merk Esia warna biru
saat sebelum ditangkap tanggal 30 Juni 2012 disembunyikan di gudang mesin
air yang tidak jauh dari kamar Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong dan
satu lagi handphone merk Esia warna oren dengan nomor 021-95939562 yang
Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong gunakan komunikasi dengan
Abdul Syukur Alias Ukung, Supriadi dan Yu Tang namun handphone tersebut
sudah dibuang oleh Chandra Halim Alias Akiong Bin Tingtong dan nomor
84
handphone milik Abdul Syukur yang biasa Chandra Halim Alias Akiong Bin
Tingtong hubungi seputar perihal fax dan besar biaya yang akan dikeluarkan.
Kemudian container TGHU 0683898 20 fit tiba di pelabuhan Tanjung
Priuk sekitar tanggal 10 Mei 2012, selanjutnya pada tanggal 22 Mei 2012
disegel oleh pihak Bea dan Cukai ternyata di dalam kontainer tersebut
berisikan 12 (dua belas) karton yang di dalamnya ada narkotika jenis ekstasi
sebanyak 1.412.476 (satu juta empar ratus dua belas ribu empat ratus tujuh
puluh enam) butir atau setara dengan kurang lebih 380.996,9 (tiga ratus
delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan puluh enam koma sembilan) gram
dan ada aquarium serta berisikan makanan ikan sedangkan biaya pengeluaran
melalui PRIMKOP KALTA untuk kontainer 20 fit yang normal biayanya Rp.
60.000.000-, (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 65.000.000,- (enam
puluh lima juta rupiah) akan tetapi kontainer TGHU 0683898 yang menjadi
barang bukti dalam perkara ini dibayar Rp. 90.000.000,- (Sembilan puluh juta
rupiah).
Bahwa kemudian pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 sekira jam
19.00 WIB bertempat di Jalan Kayu Besar Raya Kapuk Kamal Cengkareng
Jakarta Barat tertangkap Muhamad Mukhtar Alias Muhamad Moektar yang
sedang memandu truk trailer yang membawa kontainer yang berisikan
Narkotika jenis ekstasi sebanyak 1.412.476 (satu juta empat ratus dua belas
ribu empat ratus tujuh puluh enam) butir atau setara dengan kurang lebih
380.996,9 (tiga ratus delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan puluh enam
koma sembilan) gram berikut yang lainnya termasuk terdakwa yang dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut hingga disidangkan.
Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa percobaan atau
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
85
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
ayat (1) yang dalam bentuk bukan tanaman, Narkotika jenis ekstasi sebanyak
1.412.476 (satu juga empat ratus dua belas ribu empat ratus tujuh puluh enam)
butir atau setara dengan kurang lebih 380,996,9 (tiga ratus delapan puluh ribu
sembilan ratus sembilan puluh enam koma sembilan) gram dan tidak ada izin
dari yang berwenang;
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada amar putusan nya No.
2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR tanggal 15 Juli 2013. Menyatakan terdakwa
Fredi Budiman Alias Budi Bin H. Nanang Hidayat terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana tanpa hak dan melawan hukum membeli, menjual,
dan menjadi perantara dalam jual beli narkotika Golongan I bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram", menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
dengan Pidana "MATI", dan denda sebanyak RP. 10.000.000.000,- (sepuluh
miliyar rupiah), menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-haknya
untuk mempergunakan alat komunikasi segera setelah putusan ini diucap.
Lalu, terhadap Pengadilan Tinggi Jakarta pada amar putusan nya No.
389/PID/2013/PT.DKI tanggal 25 November 2013. Menerima permintaan
banding dari terdakwa dan Penuntut Umum, serta menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR
tanggal 15 Juli 2013 yang dimohonkan banding, membebankan terdakwa
untuk membayar biaya perkara.
Membaca putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1093
K/Pid.Sus/2014 tanggal 04 September 2014 yang amar putusan nya menolak
86
permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: Fredi Budiman Alias Budi Bin H.
Nanang Hidayat, serta membebankan biaya perkara kepada Terdakwa.
Lalu setelah dirasa tidak adil dengan putusan pada Mahkamah
Agung yang menolak pemohonan Kasasi oleh Pemohon Kasasi yaitu Fredi
Budiman Alias Budi H. Nanang Hidayat, terpidana melalui Penasehat Hukum
nya mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan Surat Kuasa No.
001/PK/PID.SUS/UBR/XII/2015 tanggal 02 Desember 2015. Alasan-alasan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana pada pokoknya adalah:
"Alasan terdapat kedaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa yang
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung
hasilnya akan berupa putusan bebas ataupun putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntun umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan"
Keadaan baru yang dimaksud adalah dengan ditemukannya Bukti
Novum PK berupa, putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta atas nama
Supriadi dengan Perkara No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013, yang mana
putusan Bukti Novum PK perkara a quo tersebut diperoleh dari website
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan ditemukannya Bukti Novum
PK, alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Terhadap putusan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung No. 1093
K/Pid.Sus/2014, jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.
389/Pid/2013/PT.DKI, jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat No. 2267/PID.SUS/2012/PN.JKT.BAR khususnya di dalam
dictum putusannya telah khilaf memutus Pemohon Peninjauan
Kembali/Terdakwa bersalah dengan hukuman Pidana Mati.
87
b. Bahwa dengan adanya Bukti Novum PK menyangkut Putusan atas
nama Supriadi yang mana peran di dalamnya turut membantu Sdr.
Fredi Budiman dalam prekursor narkotika sebagaimana yang telah
dijelaskan kronologinya di atas.
c. Peran Supriadi yang ada di dalam Bukti Novum PK tersebut
adalah tidak jauh berbeda dengan peran Pemohon Peninjuan
Kembali/Terdakwa seperti yang dituangkan dalam Pertimbangan
Majelis Hakim Agung tingkat Kasasi No. 1093 K/Pid.Sus/2014
telah mempertimbangkan bahwa Pemohon Peninjauan
Kembali/Terdakwa mempunyai peran yang besar dan signifikan
yaitu kurang lebih sama dengan peran saksi Chandra Halim, Wang
Chang Shui, Abdul Syukur, Supriadi dan Yu Tang.
d. Dalam penjatuhan vonis pidananya adalah sangat jauh berbeda
yang mana Terdakwa Fredi Budiman divonis dengan pidana mati
sedangkan Supriadi divonis dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun
penjara. Maka, penjatuhan vonis tersebut perbandingannya antara
langit dan bumi (sangat jauh berbeda).
e. Dengan pertimbangan Majelis Hakim Agung tingkat Kasasi
berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa Fredi Budiman (Pemohon
Peninjauan Kembali) sama dengan perbuatan Terdakwa lain salah
satu di antaranya Terdakwa Supriadi, maka seharusnya hukuman
pidana yang diberikan kepada Pemohon Peninjauan Kembali juga
kurang lebihnya tidak jauh berbeda dengan Terdakwa Supriadi.
f. Bukti Novum PK selain membuktikan adanya perbedaan vonis di
antara Terdakwa Fredi Budiman dengan Terdakwa Supriadi akan
tetapi juga membuktikan adanya pertentangan antara putusan
dalam perkara Fredi Budiman dengan putusan perkara lain yaitu
perkara Supriadi di antaranya adalah menyangkut pasal-pasal serta
unsur-unsur yang dinyatakan terbukti terhadap diri Terpidana
88
Fredi Budiman dan Supriadi telah terjadi adanya perbedaan serta
pertentangan.
g. Bahwa oleh sebab itu dengan ditemukannya Bukti Novum PK ini,
Pemohon Peninjauan Kembali harapkan bisa diterima dan dipakai
sebagai bahan pertimbangan agar bisa merubah hukuman pidana
mati Terdakwa Fredi Budiman setidak-tidaknya merubahnya
menjadi hukuman pidana lebih ringan lagi, atau setidak-tidaknya
bisa merubahnya dari hukuman pidana mati menjadi pidana
penjara seumur hidup atau pidana sementara dalam waktu tertentu.
b. Pertimbangan Hukum Hakim
Terhadap alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali adanya novum dengan mengajukan bukti PK tidak dapat dibenarkan,
sebab membandingkan pidana yang dijatuhkan terhadap pemohon Peninjauan
Kembali dengan yang dijatuhkan Supriadi dalam perkara di Pengadilan
Militer Tinggi II Jakarta, No. 88 – K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 tanggal 20
September 2013 bukan merupakan fakta dan keadaan baru, dimana masing-
masing terpidana mempunyai peran dan tanggungjawab yang berbeda
sebagaimana telah disebutkan dengan pertimbangan yang cukup dan benar
menurut hukum dalam putusan Judex Facti dan Judex Juris.
Bahwa alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana adanya putusan yang saling bertentangan dengan cara
membandingkan pidana yang dijatuhkan terhadap Supriadi tidak dapat
dibenarkan sebab walaupun kedua perkara tersebut dalam kasus yang sama,
akan tetapi peran dan tanggungjawab masing-masing Terpidana berbeda.
Untuk Terpidana Fredi Budiman Alias Budi Bin H. Nanang peran dan
tanggungjawabnya telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar dalam
putusan Judex Facti dan Judex Juris.
89
Terhadap alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata
dalam putusan Judex Facti dan Judex Juris tersebut telah dipertimbangkan
dengan tepat dan benar bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair melanggar Pasal 114 ayat
(2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Menimbang, bahwa oleh karena alasan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak memenuhi ketentuan Pasal
263 ayat (2) dan (3) KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (2)
huruf a KUHAP permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana harus ditolak dan menetapkan putusan yang dimohonkan
peninjauan kembali tetap berlaku.
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana ditolak, dan Terpidana tetap dijatuhi
Pidana Mati, maka biaya perkara pada pemeriksaan peninjauan kembali
dibebankan kepada Negara.
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pengulangan Tindak Pidana
Pengedaran Narkotika Golongan I Putusan Mahkamah Agung No.
145.PK/PID.SUS/2016
Narkotika memang tidak dijelaskan secara gamblang dalam hukum Islam,
Al-Quran hanya menerangkan istilah khamr serta status hukum tentang
pengharaman khamr itu sendiri. Karena narkotika belum dikenal pada masa
Rasulullah Saw, namun meskipun demikian, ulama telah sepakat bahwa
narkotika sama dengan status pengaharamannya dengan khamr, begitupula
90
peminum khamr dan juga penyalahguna narkotika itu sendiri, karena dirasa dapat
memabukkan dan merusak jasmani dan rohani umat manusia.
Ibnu Taimiyah dan Ahmad Al-Hasary berpendapat, jika memang belum
ditemukan status hukum penyalahgunaan narkotika dalam Al-Quran dan Sunnah,
maka para ulama mujtahid menyelesaikannya dengan pendekatan qiyas.131
Menurut Ahmad Muhammad Assaf, telah terjadi kesepakatan ulama
tentang keharaman khamr dan pelbagai jenis minuman yang memabukkan.
Sementara itu menurut Ahmad Al-Syarbasi, tanpa diqiyaskan dengan khamr pun,
ganja atau narkotika dapat dikategorikan sebagai khamr karena dapat
memabukkan.132
Dalam hadits Ibnu „Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan:
كل مسكر خر وكل مسكر حرام
Artinya: “Setiap yang memabukan adalah khamr dan setiap memabukkan
adalah haram.” (HR. Muslim no. 2003)
Memakai, menjual, membeli, memproduksi, dan aktivitas yang berkenaan
dengan narkotika adalah haram, hal ini disebabkan narkotika jauh lebih berbahaya
dari khamr itu sendiri.133
Seperti hadits yang menerangkan di bawah ini:
131
Muhammad Khudari Bik, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), h. 334. Lihat Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Arabiyyah,1978), cet III, h. 330
132M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), H. 177
133Ibid
91
حمولة ن انس قال: لعن رسول الله ع
ص ف الخمر عشرة: عاصرىا و معتصرىا و شارب ها و حاملها و الد
شت راة لو. )رواه التمذى و ابن ما
شتي لذا و الد
جو ف نيل اليو و ساقي ها و بائعها و آكل ثنها و الد
(471: 5الاوطار
Artinya: Dari Anas ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat tentang khamr
sepuluh golongan : 1.yang memerasnya, 2.pemiliknya (produsennya), 3.yang
meminumnya, 4. yang membawanya (pengedar), 5. yang minta diantarinya, 6.
yang menuangkannya, 7. yang menjualnya, 8. yang makan harganya, 9. Yang
membelinya, 10. yang minta dibelikannya”.(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
(dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174).
Lalu tentang sanksi pelaku pengedaran narkotika menurut hukum pidana
Islam ada yang berpendapat dijatuhkan sanksi had dan adapula yang berpendapat
bahwa sanksi pelaku penyalahgunaan narkotika harus dijatuhkan sanksi takzir.
Dijatuhkannya sanksi had menurut Ibnu Taimiyah dan Azat Husnain adalah
karena narkotika itu sendiri dianalogikan dengan khamr. Sedangkan Wahbah
Zuhaili dan Ahmad Al-Hasari berpendapat dijatuhkannya sanksi takzir
mempunyai alasan karena narkotika tidak ada pada masa Rasulullah Saw,
narkotika lebih berbahaya dibanding dengan khamr dan narkotika belum tentu
diminum, seperti halnya khamr.134
Yaitu hukum dera sesuai dengan berat
ringannya tindak pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap pelaku
pidana mengonsumsi minuman memabukkan atau obat-obat yang
membahayakan, sampai batas yang membuat gangguan kesadaran, menurut
pendapat Hanafi dan Malik akan dijatuhkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
Menurut Syafi'i hukumannya hanya 40 kali.135
Terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada Sdr. Fredi Budiman karena
perbuatan melawan hukumnya mengedarkan narkotika golongan I berupa 300
134 Ibid, h. 178
135 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 101
92
gram heroin, 27 gram, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi. Terkait perbuatan itu
Sdr. Fredi Budiman divonis 9 tahun penjara. Dalam hal ini, apabila ditinjau dari
penjatuhan sanksi pada aturan hukum pidana Islam, bisa dikategorikan pada
penjatuhan sanksi jenis takzir.
Menurut Abdul Qadir Audah, takzir adalah pengajaran yang tidak ada
aturannya oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena
melakukan beberapa tindak pidana yang di mana oleh syariat tidak ditentukan
dengan sanksi hukuman tertentu.136
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, sanksi-sanksi dalam takzir adalah
hukuman-hukuman yang secara syara' tidak ditegaskan mengenai
ukurannya.Syariat hukum Islam memberikan wewenang kepada penguasa negara
untuk memutuskan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan
perbuatan pidana yang dilakukannya. Sanksi-sanksi takzir ini sangat beragam
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, taraf pendidikan masyarakat, dan
berbagai keadaan lain manusia dalam berbagai masa dan tempat.137
Karena dalam
aturan hukum pidana Islam, jarimah penyalahgunaan narkotika bisa dibilang
tindak pidana kontemporer yang belum ada pada masa Rasulullah, maka
penjatuhan sanksi terhadap Sdr. Fredi Budiman pun bisa disimpulkan sesuai
dengan aturan hukum pidana Islam yang pertama (sebelum melakukan residivie).
Namun, baru setahun mendekam di balik jeruji besi Lembaga
Pemasyarakan Cipinang, ia kembali menjadi residivie dengan mendatangkan pil
ekstasi dalam jumlah yang besar dari Cina, ia masih bisa mengorganisasi
136
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islamiyyah, h. 52
137 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), cet. Ke-4,
jilid VII, h. 5300
93
penyendupan sebanyak 1.412.475 pil ekstasi dari Cina.138
Kasus yang diperbuat
oleh Sdr. Fredi Budiman ini bisa disebut dengan pengulangan tindak pidana
(residivie).
Istilah pengulangan tindak pidana dalam hukum pidana Islam disebut al-
'aud. Pengulangan tindak pidana dapat didefinisikan sama dengan definisi hukum
pidana di Indonesia, yaitu dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang
sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan atau
sedang menjalani hukuman. pengulangan kejahatan menurut hukum pidana Islam
sama dengan hukum pidana di Indonesia namun dalam hal syarat-syarat seorang
dikatakan melakukan kejahatan ulang (residivie) dan masalah hukumannya
berbeda dengan hukum pidana Indonesia, kalau menurut hukum pidana Islam,
seseorang dianggap telah melakukan pengulangan jarimah apabila memenuhi tiga
syarat yaitu139
:
1. Orang yang telah dijatuhi hukuman jinayah kemudian ia
melakukan jarimah jinayah lagi.
2. Orang yang dijatuhi hukuman penjara satu tahun atau lebih, dan
ternyata ia melakukan sesuatu jarimah sebelum lewat lima tahun
dari masa berakhir hukuman atau dari masa hapusnya hukuman
karena daluwarsa.
3. Orang yang dijatuhi hukuman karena jinayat dengan hukuman
kurungan atau kurungan kurang dari satu tahun atau dengan
hukuman denda, dan ternyata dia melakukan jinayat lagi sebelum
lewat lima tahun, maka hukumannya sama dengan jinayah-jinayah
sebelumnya.
138
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/27/1145459/Freddy.Budiman.Bandar.Narkoti
ka.sejak.2009 139
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet- IV, h. 325
94
Dalam pengulangan tindak pidana sudah jelas, bahwasanya syarat
seseorang dikatakan melakukan pengulangan kejahatan menurut hukum
pidana Indonesia sama namun hukum pidana Islam tidak memberikan
tambahan hukuman jika pelaku kejahatan mengulanginya lagi.
Dalam hadits tindak pidana pengulangan meminum khamr, pelaku
dijatuhkan sanksi serupa yaitu jilid dan apabila ia mengulang jarimah syurbu
al-khamrkembali sebanyak tiga kali, apabila sudah keempat kali maka sanksi
nya adalah hukuman mati.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat kepada Sdr. Fredi
Budiman yang memvonis pidana mati terkait perbuatannya yang diputus pada
tanggal 15 Juli 2013, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana "pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tanpa hak
dan melawan hukum membeli, menjual, dan menjadi perantara dalam jual beli
Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram",
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan Pidana Mati, dan denda
sebanyak RP. 10.000.000.000,- (sepuluh miliyar rupiah), dan menjatuhkan
pidana tambahan berupa pencabutan hak-haknya untuk mempergunakan alat
komunikasi. Walaupun proses litigasi tindak pidana yang dilakukan Sdr. Fredi
Budiman sampai ke tingkat Banding, namun Pengadilan Tinggi Jakarta tetap
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dilihat pada amar
putusannya No. 389/PID/2013/PT.DKI yang diputus pada tanggal 25
November 2013.
Begitu pula terhadap putusan Mahkamah Agung pada permohonan
Kasasi yang tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim pada amar
putusannya No. 1093 K/Pid.Sus/2014 tanggal 04 September 2014. Lalu, pada
upaya hukum terakhir yang diupayakan melalui Penasehat Hukum Sdr. Fredi
Budiman yaitu Peninjauan Kembali dengan ditemukannya Bukti Novum
95
berupa putusan Pengadilan Tinggi Militer terhadap Terdakwa Supriadi pada
putusan No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 yang tidak lain adalah salah satu
partner pemufakatan tindak pidana pengedaran narkotika golongan I jenis
ekstasi, dalam amar putusannya tersebut Pengadilan Tinggi Militer hanya
memvonis Terdakwa Supriadi dengan hukuman 7 (tujuh) tahun penjara, dan
inilah yang digunakan sebagai temuan baru berupa Bukti Novum oleh
Penasehat Hukum Sdr. Fredi Budiman untuk mengajukan Peninjauan
Kembali.
Namun, Majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan Pemohon melalui Penasehat Hukum nya, dengan dalih
bahwasanya Bukti Novum berupa putusan Pengadilan Tinggi Militer pada
putusan No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 terhadap Terdakwa Supriadi
tidak dapat disebut dengan temuan baru atau Bukti Novum sebagai salah satu
syarat mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
pada amar putusannyaNo. 145. PK/PID.SUS/2016 menolak Pemohon
Peninjauan Kembali dan tetap menjatuhkan vonis berupa pidana mati kepada
Sdr. Fredi Budiman.
Apabila ditinjau dari aturan hukum pidana Islam, terhadap kasus
penyelundupan narkotika, maka yang memproduksi, memakainya,
mengerdarkannya, menjual dan membelinyaadalah sama haramnya dan
diberikan sanksi serupa seperti meminum khamr.
حمولة ن انس قال: لعن رسول الله ص ف الخمر عشرة: عاصرىا و معتصرىا و شارب ها و حاملها و ا ع
لد
شت راة لو. )رواه التمذى و ابن ماجو ف نيل اليو و ساقي ها و بائعها و آكل ثن
شتي لذا و الد
ها و الد
(471: 5الاوطار
96
Artinya: Dari Anas ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat tentang khamr
sepuluh golongan : 1.yang memerasnya, 2.pemiliknya (produsennya), 3.yang
meminumnya, 4. yang membawanya (pengedar), 5. yang minta diantarinya, 6.
yang menuangkannya, 7. yang menjualnya, 8. yang makanharganya, 9. Yang
membelinya, 10. yang minta dibelikannya”.(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
(dalam Nailul Authar juz 5 hal. 174).
Dari sini dapat disimpulkan, bahwasanya penjatuhan sanksi
pengulangan tindak pidana pengedaran narkotika antara aturan penjatuhan
sanksi pidana Islam terhadap putusan Mahkamah Agung pada putusan No.
145. PK/PID.SUS/2016 terhadap terdakwa Sdr. Fredi Budiman adalahtidak
sama pada praktiknya. Adapun hal yang membedakannya adalah Sdr. Fredi
Budiman dalam kasus tersebut baru melakukan pengulangan tindak pidana
kedua kalinya, dalam hukum pidana Islam pelaku pengulangan tindak pidana
syurbu al-khamr dijatuhkan hukuman mati apabila ia telah melakukannya
sebanyak empat kali.
C. Analisis Hukum Pidana Di Indonesia Terhadap Pengulangan Tindak
Pidana Pengedaran Narkotika Golongan I Putusan Mahkamah Agung No.
145.PK/PID.SUS/2016
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No. 35
Tahun 2009.140
140
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, h. 90
97
Pengaturan tentang narkotika memang tidak terdapat pada KUHP,
narkotika adalah salah satu dari banyak permasalahan yang telah diatur oleh
undang-undang khusus, maka dari itu narkotika bisa disebut dengan tindak pidana
khusus.
Rochmat Soemitro (1991) mendefinisikan tindak pidana khusus sebagai
tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yang
memberikan peraturan khusus tentang cara penyidikannya, tuntutannya,
pemeriksannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat
dalam KUHP.141
Mengenai perbuatan tindak pidana dan penjatuhan sanksi yang telah diatur
pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, perbuatan-
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut142
:
a. Menanam, memelihara, menyimpan, menguasai, menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (Pasal 111);
b. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
Golongan I bukan tanaman (Pasal 112);
c. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I (Pasal 113);
d. Menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I
(Pasal 114);
e. Membawa, mengirim, mengangkut, mentrasito Narkotika Golongan I
(Pasal 115);
141
Ibid
142 Tri Fajar Nugroho, Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Pengedar Narkotika,
(Skripsi S1, Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2016), h. 26
98
f. Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan
I untuk digunakan orang lain (Pasal 116).
Adapun untuk penjatuhan sanksi pidana dan pemidanaan terhadap tindak
pidana Narkotika adalah sebagai berikut143
:
a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam
waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan
(pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu).
b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana narkotika, untuk pidana
penjara minimal 4 sampai 20 tahun dan seumur hidup.
c. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan
pemufakan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi,
dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur dan apabila ada
pengulangan (residivie).
Terhadap putusan yang telah diputus terhadap Terdakwa Fredi
Budiman terkait perbuatannya melawan hukum telah pada awalnya
mengedarkan narkotika golongan I berupa 300 gram heroin, dan 450 gram
bahan pembuat ekstasi. Terkait perbuatan itu Sdr. Fredi Budiman divonis 9
tahun penjara, kemudian terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
kepada Sdr. Fredi Budiman yang memvonis pidana mati terkait perbuatannya
yang diputus pada tanggal 15 Juli 2013, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana "pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana tanpa hak dan melawan hukum membeli, menjual, dan menjadi
perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram", menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan
143
Ibid, h. 28
99
Pidana Mati, dan denda sebanyak RP. 10.000.000.000,- (sepuluh miliyar
rupiah), dan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-haknya
untuk mempergunakan alat komunikasi. Walaupun proses litigasi tindak
pidana yang dilakukan Sdr. Fredi Budiman sampai ke tingkat Banding, namun
Pengadilan Tinggi Jakarta tetap menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, dilihat pada amar putusannya No. 389/PID/2013/PT.DKI yang
diputus pada tanggal 25 November 2013.
Begitu pula terhadap putusan Mahkamah Agung pada permohonan
Kasasi yang tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim pada amar
putusannya No. 1093 K/Pid.Sus/2014 tanggal 04 September 2014. Lalu, pada
upaya hukum terakhir yang diupayakan melalui Penasehat Hukum Sdr. Fredi
Budiman yaitu Peninjauan Kembali dengan ditemukannya Bukti Novum
berupa putusan Pengadilan Tinggi Militer terhadap Terdakwa Supriadi pada
putusan No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 yang tidak lain adalah salah satu
partner pemufakatan tindak pidana pengedaran narkotika golongan I jenis
ekstasi, dalam amar putusannya tersebut Pengadilan Tinggi Militer hanya
memvonis Terdakwa Supriadi dengan hukuman 7 (tujuh) tahun penjara, dan
inilah yang digunakan sebagai temuan baru berupa Bukti Novum oleh
Penasehat Hukum Sdr. Fredi Budiman untuk mengajukan Peninjauan
Kembali.
Namun, Majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan Pemohon melalui Penasehat Hukum nya, dengan dalih
bahwasanya Bukti Novum berupa putusan Pengadilan Tinggi Militer pada
putusan No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 terhadap Terdakwa Supriadi
tidak dapat disebut dengan temuan baru atau Bukti Novum sebagai salah satu
syarat mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
pada amar putusannyaNo. 145. PK/PID.SUS/2016 menolak Pemohon
100
Peninjauan Kembali dan tetap menjatuhkan vonis berupa pidana mati kepada
Sdr. Fredi Budiman.
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwasanya
Terdakwa Fredi Budiman bisa dikategorikan melakukan pengulangan tindak
pidana pemufakatan jahat dan terorganisir melakukan penyelundupan
sebanyak 1.412.475 pil ekstasi dari Cina.
Dalam hukum pidana di Indonesia khususnya dalam hal pidana yang
merujuk pada KUHP, dijelaskan pada pasal 486 dan juga pada Pasal 144 ayat
(1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwasanya
pemberatan pidana pada residivie dapat ditambah 1/3 dari maksimum pidana
yang di ancamkan.144
Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukuman
ini adalah bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulangi lagi
melakukan kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat buruk.
Jahat karenanya di anggap sangat membahayakan bagi keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Apabila ditinjau dari sudut kacamata Undang-undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika Pasal 144 ayat (1) menyebutkan:
Pasal 144 ayat (1) UU Narkotika
Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3
(sepertiga).
144
Moeljatno, Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
h. 204-205
101
Maka menurut analisis penulis, penjatuhan sanksi terhadap Sdr. Fredi
Budiman setelah dijatuhkannya sanksi pada tindak pidana pengedaran
narkotika yang pertama yaitu pidana 9 (sembilan) tahun penjara, dimana baru
setahun mendekam di balik jeruji, Sdr. Fredi Budiman telah melakukan
kembali tindak pidana yang sama atau bisa disebut juga dengan tindak pidana
pengulangan khusus, yaitu tindak pidana yang diulangi sama atau sejenis,
seharusnya sanksi hanya ditambah 1/3 dari maksimum pidana yang
diancankam dan jumlah masa kurungan sebagai sanksi pidana menjadi 12
(dua belas) tahun penjara.
Namun pada faktanya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada amar
putusannya No. 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR tanggal 15 Juli 2013 telah
menjatuhkan pidana mati atas Terdakwa Fredi Budiman. Kemudian, setelah
ditelaah kembali hal-hal pemberat yang menjadi pertimbangan hukum hakim
pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
No.2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah
Republik Indonesia yang sedang giat-giatnya memberantas
peredaran gelap narkotika dan penyalahguna narkotika.
b. Bahwa jumlah barang bukti narkotika berupa ekstasi tersebut
sangat banyak yaitu 1.412.476 butir dengan berat 380.996,9 gram
yang dapat merusak banyak bangsa Indonesia.
c. Perbuatan Terdakwa merupakan bagian dari jaringan narkotika
internasional yang berada di Indonesia.
d. Perbuatan terdakwa telah dilakukan berulang kali dan masih
menjalani hukuman dalam perkara narkotika sebelumnya.
e. Perbuatan terdakwa dilakukan dari Rumah Tahanan
Negara/Lembaga Pemasyarakatan, tempat di mana terdakwa
seharusnya sadar dan merenungi diri untuk berbuat baik di masa
102
yang akan datang, tetapi terdakwa justru melakukan tindak
pidana narkotika.
Oleh karena itu, penjatuhan sanksi pidana mati terhadap Sdr. Fredi
Budiman dirasa menjadi keputusan yang tepat oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dan dikuatkan pula pada putusan tingkat Banding, dilihat
pada amar putusannya No. 389/PID/2013/PT.DKI yang diputus pada tanggal
25 November 2013.
Dari sini dapat disimpulkan, bahwasanya penjatuhan sanksi
pengulangan tindak pidana pengedaran narkotika antara aturan penjatuhan
sanksi pidana Indonesia terhadap putusan Mahkamah Agung pada putusan
No. 145. PK/PID.SUS/2016 terhadap terdakwa Sdr. Fredi Budiman dapat
dikatakan berbeda dengan ketentuan KUHP, dimana penjatuhan sanksi untuk
Residivie hanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari jumlah masa kurungan penjara
yang dijatuhkan pengadilan sebelumnya.Di mana sanksi kurungan penjara
sebelumnya 9 (sembilan) tahun penjara dan seharusnya ditambah 1/3
(sepertiga) nya menjadi 12 (dua belas) tahun penjara.Namun adapun alasan
perbedaannya karena adanya pertimbangan hukum hakim yang diyakini
menjadi alasan pemberat terhadap penjatuhan sanksi terdakwa.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan dan menganalisis pembahasan skripsi yang
berfokus tentang penjatuhan sanksi pengulangan tindak pidana peredaran narkotika
golongan I berdasarkan hukum pidana Islam dan hukum pidana di Indonesia putusan
Mahkamah Agung No. 145. PK/PID.SUS/2016, maka penulis menyimpulkan bahwa:
a. Dalam hukum pidana Islam penjatuhan sanksi untuk tindak pidana
peredaran narkotika adalah dengan dijatuhkannya sanksi had atau sanksi
takzir. Sanksi had disebabkan narkotika sendiri telah diqiyaskan dengan
khamr secara illat hukumnya dan sanksi takzir beralasan karena narkotika
sendiri adalah sesuatu yang baru dan belum ada pada zaman Rasulullah
Saw.Yaitu hukum dera sesuai dengan berat ringannya tindak pelanggaran
yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap pelaku pidana mengonsumsi
khamr atau obat-obat yang membahayakan, sampai batas yang membuat
gangguan kesadaran, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik akan dijatuhkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Menurut Imam
Syafi'i hukumannya hanya 40 kali. Adapun untuk penjatuhan sanksi untuk
pengulangan (residivie) peredaran narkotika golongan I adalah sama
seperti sanksi jarimah sebelumnya. Apabila dijatuhkan sanksi had maka
sanksi pengulangan (residivie) tindak pidana setelahnya akan diberatkan
dengan cara ditambah dengan jenis sanksi yang sama, begipula dengan
sanksi takzir, maka sanksi pengulangan (residivie) tindak pidana
setelahnya adalah juga diberatkan dengan ditambah dengan jenis sanksi
yang sama. Terhadap putusan Mahkamah Agung No. 145
PK/PID.SUS/2016 atas nama terdakwa Sdr. Fredi Budiman yang telah
dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak
104
samapraktiknya pada aturan hukum pidana Islam, yang mana pelaku
pengedaran narkotika golongan I ini baru mengulang tindak pidana nya
dua kali, dalam hukum pidaa Islam seseorang dijatuhi hukuman mati
dalam kasus peredaran narkotika yang di-qiyas-kan pada jarimah syurbu
al-khamr adalah ketika telah mengulanginya sebanyak empat kali.
b. Dalam hukum pidana di Indonesia, penjatuhan sanksi pada peredaran
narkotika telah diatur pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, di mana penjatuhan sanksi berupa pidana pokok
(denda, kurungan, penjara dan pidana mati), lalu dengan jumlah/lamanya
pidana bervariasi. Untuk denda berkisar antara Rp. 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) sampai Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah), untuk pidana penjara minimal 4 sampai 20 tahun dan seumur
hidup dan juga adanya pemberatan pidana apabila tindak pidana didahului
dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir, dilakukan oleh
korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak di bawah umur serta
apabila adanya pengulangan (residivie). Adapun untuk sanksi pengulangan
(residivie) dalam KUHP pada pasal 486 dan Pasal 144 ayat (1) Undang-
undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwasanya sanksi pada
residivie tindak pidana dapat ditambah 1/3 dari maksimum pidana yang
diancamkan. Apabila Sdr Fredi Budiman pada putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat telah melakukan tindak pidana peredaran narkotika dan telah
divonis 9 tahun kurungan penjara, maka seharusnya pada tindak pidana
peredaran narkotika yang diulanginya hanya dijatuhi masa hukuman
penjara 9 tahun dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari masa hukuman pertama,
yaitu 12 tahun kurungan penjara. Dalam putusan Mahkamah Agung No.
145. PK/PID.SUS/2016 pada pertimbangan hukum menyatakan bahwa
temuan baru atau bukti Novum yang berupa putusan Pengadilan Tinggi
Militer pada putusan No. 88-K/BDG/PMT-II/AU/IX/2013 terhadap
Terdakwa Supriadi tidak dibenarkan dan disebut sebagai temuan baru atau
105
bukti Novum oleh Majelis Hakim sebagai salah satu syarat untuk
mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
pada amar putusannya telah menolak Peninjauan Kembali dan tetap
menjatuhkan vonis berupa pidana mati kepada Terdakwa Fredi Budiman
dengan alasan pemberatan pidana salah satunya berupa pengulangan
(residivie) tindak pidana dalam kasus peredaran narkotika golongan I yang
telah menjadi pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat No. 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR. Adapun pemberatan
pidana yang dimaksud adalah perbuatan terdakwa telah dilakukan
berulang kali dan masih menjalani hukuman dalam perkara narkotika
sebelumnya dan perbuatan terdakwa dilakukan dari Rumah Tahanan
Negara/LembagaPemasyarakatan, tempat di mana terdakwa seharusnya
sadar dan merenungi diri untuk berbuat baik di masa yang akan datang,
tetapi terdakwa justru melakukan tindak pidana narkotika.
B. Saran
Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
beberapa buah pikiran sebagai saran, yang memungkinkan bermanfaat bagi
masyarakat atau aparat penegak hukum dalam menghadapi masalah tindak pidana
pengulangan peredaran narkotika. Saran-saran tersebut adalah:
1. dalam konsep penjatuhan sanksi pada tindak pidana, konsep penegakan
hukum bahwasanya semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan
hukum (equality before the law). Artinya tidak ada lagi pengecualian bagi
siapapun pelaku yang melanggarnya, termasuk dalam tindak pidana
pemufakatan jahat dalam mengorganisir tindak pidana peredaran
narkotika, dimana seharusnya apabila terdakwa satu menjalani pidana
mati, terdakwa yang lain juga harus menjalani pidana yang sama. Karena
apabila dalam tindak pidana ini terdakwa yang lain hanya menjalani
106
pidana penjara sebagaimana majelis hakim putuskan, akan memungkinkan
bahwasanya pengulangan (Residivie) tindak pidana akan kembali
diperbuat.
2. Untuk penegak hukum pidana (polisi, jaksa, hakim, terutama lapas) agar
lebih tanggap dalam mengawasi kegiatan-kegiatan yang dianggap
melanggar aturan hukum di dalam lapas oleh narapidana yang sedang
menjalani masa hukuman, agar pengorganisiran kejahatan di dalam lapas
bisa dapat dicegah segera mungkin.
3. Kepada masyarakat hendaknya lebih sadar akan hukum dan
jugamengetahui hak serta kewajibannya di mata hukum yang berlaku di
Indonesia agar dapat menghindari kejadian seperti kasus yang penulis
teliti.
107
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Al-Kahlani, Muh Ibn Ismail, Subul As-Salam, Mesir, Syarikah Maktabah Wa
Mataba'ah Musthafa Al-Baby Al-Halaby.
Al-Mawardi, Abu Al-Hasan,Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Maktabah Ibn Dar Qutaibah-
Kuwait, 1989.
Al-Quran Al-Karim
As-Syawkani, Imam, Fathul QadirIV, cet-4, Beirut-Libanon, 2007.
Audah, Abd Al-Qadir, At-Tasyri Al-Jinai Al-islami. Juz 1, Dar Al-Kitab Al-Arabi,
Beirut.
__________________, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jilid I, Bogor: PT.
Kharisma Ilmu.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Damaskus: Darul Fikr
2007.
Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Grafindo Persada 2011.
Dzajuli, Ahmad, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Gunadi, Ismu, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Prenadamedia
Group 2014.
Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika 2007.
______________Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
______________Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya
Paramita, 1993.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet ke-4, Jakarta: Bulan Bintang,
1990.
108
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Hendra Purwaka, Tommy, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PUAJ,2007.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. ke-2,
Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006.
Kanter, E.Y, dan Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
Jakarta: Storia Grafika, 2001.
Kartanegara, Sathochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur
Mahasiswa.
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1997.
Ma'luf, Lowis, al-Munjid fi al-Lughoh wa al I'lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1975.
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2013.
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Ma'roef, Ridha, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Moeljatno, Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara,
1994.
Munawar, Rofi', Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Nurul Irfan, Muhammad, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2013.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976.
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media 2010.
______________Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 2011
Reksodiputro,Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Buku
Keempat, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI,
2007.
Renggong, Ruslan, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
109
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, cet ke-3, juz III, Beirut: Dar al-Arabiyyah, 1978.
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni
Ahaem-Petehaem,1996.
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika. Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2012.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Cet. ke-3, Jakarta:UI,Press, 1986.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1986.
Sujono, AR, Komentar dan Pembahasan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika 2000.
Wardi Muslich, Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, cet ke-4, jilid VII, Beirut: Dar Al-
Fikr, 1997.
Undang-undang/Putusan
Putusan Mahkamah Agung No.145 PK/PID.SUS/2016.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undnag-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP & KUHAP)
Kitab Undang-undang Psikotropika Narkotika dan Zat Adiktif lainnya.
Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012,Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Jakarta:Fakultas Syariahdan Hukum Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun, 2012.
110
Skripsi
Arifah, Dewi, Analisis Yuridis Sosiologis Tentang Penyelesaian Pengulangan Tindak
Pidana Oleh Anak Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Perkara Nomor
12/Pid.Sus/2014/PN.Smg), (Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,
2005).
Arneldi, Bobby, Pengulangan Tindak Pidana(Residivie) Sebagai Pertimbangan
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Padang, Fakultas Hukum
Universitas Andalas, 2008.
Fitri, Arya, "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Peredaran narkotika (Studi
Kasus Putusan No. 61/Pid.Sus/2013/PN. Jo)." (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Hasanuddin, 2014.
Hafiluddin Khaeril, Muhamad, Tinjauan KriminologisTerhadap Anak Sebagai
Residivie di Kota Makassar, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, 2014.
Website/Jurnal Online
Bangun, Nata Sukam, "Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia"
Jurnal Ilmiah, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014.
http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2015/10/makalah-tentang-narkoba-
Delianoor, Nandang Alamsah, dan Suseno, Sigid, Modul I, Pengertian dan Ruang
LingkupTindak Pidana Khusus. http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/HKUM4309-M1.pdf
www.putusan.mahkamahagung.go.id
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/27/1145459/Freddy.Budiman.Bandar.N
arkotika.sejak.2009