Upload
willson-chani-simanjuntak
View
200
Download
30
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas Akhir judul : "Kontrol Struktur terhadap Mineralisasi..."
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tugas Akhir adalah mata kuliah wajib dalam pendidikan tingkat sarjana
(S1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas
Jenderal Soedirman. Tugas Akhir tersebut berupa penelitian studi khusus dan
pemetaan yang dilakukan oleh mahasiswa. Penelitian ini dilakukan di daerah
Gunung Bujang dan sekitarnya, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi, bekerjasama dengan PT.Antam Tbk. Unit Geomin (Jambi).
PT. Antam Tbk. Unit Geomin merupakan salah satu Perusahaan BUMN
yang sedang melakukan penambangan bijih emas di beberapa lokasi antara lain
tambang Jambi (Sumatera Selatan), Pongkor (Jabar), Cibaliung (Banten),
Papandayan (Jabar), dan lainnya. Endapan bijih di lokasi penelitian ditemukan
baik dalam bentuk vein, fracture filing, breksiasi.Faktor pengontrol utama
terhadap keberadaan endapan bijih tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur
rekahan (sesar, kekar). Jaringan kekar yang berkembang merupakan jalan bagi
late magmatic yang mengisi dan mengendapkan mineral-mineral bijih (Heru Sigit
P, 2000). Adanya pengaruh struktur geologi terhadap perkembangan mineralisasi
ini sangat menarik untuk diteliti, berdasarkan pertimbangan di atas maka penulis
meneliti lebih lanjut mengenai kontrol struktur geologi yang berpengaruh pada
alterasi-mineralisasi.
Kajian lapangan merupakan dasar utama dalam melakukan interpretasi
terhadap kondisi geologi suatu wilayah khususnya daerah Gunung Bujang dan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 1
sekitarnya. Dengan adanya data lapangan dapat menemukan hubungan geologi
yang ada, berdasarkan interpretasi dari konsep, teori, hipotesis, dan model yang
sudah ada. Kajian ini selanjutnya berguna dalam merekonstruksi kondisi geologi
suatu daerah secara khusus berkaitan dengan kontrol struktur terhadap
mineralisasi daerah penelitian, yang kemudian dapat diaplikasikan dalam berbagai
hal, seperti pemanfaatan sumberdaya mineral (mengenai alterasi dan
mineralisasi), energi, kerekayasaan, mitigasi kebencanaan, ataupun untuk
kepentingan riset – riset ilmiah.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang berupa analisis kesebandingan antara hasil penelitian penyusun
(menggunakan metode survei untuk memperoleh fakta dari gejala – gejala yang
ada dan mencari keterangan secara faktual di lapangan) dengan para peneliti
terdahulu.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat menyelesaikan
studi Program Sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains dan
Teknik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah
penelitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi sebagai
pengontrol penyebaran alterasi dan mineralisasi dengan melakukan pemetaan
permukaan dan analisa laboratorium.
1.3. Perumusan Masalah
Suatu penelitian yang dilakukan agar lebih fokus dan mengarah sesuai
dengan tujuan penelitian, maka diperlukan adanya perumusan masalah.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 2
Adapun pokok masalah yang diharapkan terjawab dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana kondisi geologi (geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi)
daerah penelitian?
2. Bagaimana hubungan struktur geologi terhadap penyebaran mineralisasi daerah
penelitian?
3. Bagaimanakah mineralisasi dan alterasi yang berkembang pada daerah
penelitian?
4. Bagaimana sejarah geologi daerah penelitian?
1.4. Batasan Masalah
Studi geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hal
tersebut didasarkan pada kajian lapangan berupa pemetaan satuan – satuan batuan
dan menjelaskan hubungan satu sama lainnya dalam ruang dan waktu geologi,
berdasarkan konsep litostratigrafi, dan pemetaan detil daerah penelitian, serta
didukung oleh analisa laboratorium. Ditambah lagi dengan pembahasan mengenai
hubungan struktur dan sumberdaya mineralisasi daerah penelitian.
1.5. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah Penelitian
Lokasi penelitian merupakan salah satu daerah eksplorasi PT. Aneka
Tambang Tbk. Unit Geomin, yang secara administratif berada di daerah Gunung
Bujang, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi (Gambar
1.1). Lokasi daerah penelitian memiliki luasan sebesar 5 km x 5 km. Lokasi
penelitian berjarak ± 90 menit perjalanan dari keberangkatan bandara Soekarno-
Hatta (Jakarta), daerah penelitian berada di utara kota Jambi, dapat ditempuh
dalam waktu ± 7 jam perjalanan dari kota Jambi dengan menggunakan mini bus.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 3
Gambar 1.1. Peta Lokasi daerah Penelitian sumber Bakosurtanal (BAPPEDA Prov. Jambi) skala
1 : 250.000
Gambar 1.2. Peta Lokasi daerah Penelitian
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 4
Daerah Penelitian
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Batanghari, sebelah timur
berbatasan dengan Musi Rawas, sebelah selatan berbatasan dengan Rajanglebong,
dan sebelah barat bersebelahan dengan Kabupaten Merangin.
Pada umumnya, kondisi jalan provinsi yang dilalui cukup bagus hanya
pada saat melewati jalan kecamatan kondisi jalan kurang baik dan masih rawan
terhadap bencana longsor. Sarana transportasi sampai batas desa Narso cukup
memadai, sedangkan untuk sampai ke daerah Gunung Bujang tidak terdapat
sarana transportasi karena letaknya sangat jauh dan berupa jalan-jalan setapak
dengan alas kayu-kayu. Kesampaian menuju lokasi daerah penelitian dengan
perjalanan jalan kaki mencapai 2-3 hari perjalanan dengan istirahat malam hari
pada tenda-tenda peristirahatan. Namun juga dapat dicapai dengan transportasi
helikopter dengan lama perjalanan mencapai 15-20 menit dari desa Grabak.
Lokasi daerah penelitian dengan luasan 25.000 km2 yang berada pada IUP
eksplorasi projek Jambi prospek Gunung Bujang, maka sudah semestinya penulis
tidak mencantumkan koordinat lokasi dan identitas yang ada didalamnya secara
detail baik dalam bentuk layoutmaupun yang lainnya. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kerahasiaan daerah IUP projek Jambi prospek Gunung Bujang yang
masih dalam proses eksplorasi.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 5
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. Geologi
2.1.1. Fisiografi dan Geomorfologi Regional
Fisiografi pulau Sumatera dibentuk oleh rangkaian Pegunungan Barisan di
sepanjang sisi baratnya, yang memisahkan pantai barat dan pantai timur.
Lerengnya mengarah ke Samudera Indonesia dan pada umumnya curam. Hal ini
mengakibatkan jalur pantai barat kebanyakan bergunung-gunung kecuali dua
ambang dataran rendah di Sumatera Utara (Melaboh dan Singkel/Singkil) yang
lebarnya ±20 km. Sisi timur dari pantai Sumatera ini terdiri dari lapisan tersier
yang sangat luas serta berbukit-bukit dan berupa tanah rendah aluvial.
Jalur rendah terdapat di bagian timur. Pada bagian ini banyak mengandung
biji intan tersebar di Aceh yang lebarnya 30 km. Semakin ke arah selatan semakin
melebar dan bertambah hingga 150-200 km yang terdapat di Sumatera Tengah
dan Sumatera Selatan.
1. Rangkaian Bukit Barisan.
Elemen orografis yang utama adalah Bukit Barisan yang panjangnya 1650
km dan lebarnya ±100 km (puncak tertingginya ialah Gunung Kerinci dan
Gunung Indrapura 3800 m). Bukit Barisan merupakan rangkaian sejumlah
pegunungan yang sejajar atau colisses yang setelah cabang lainnya ke luar dari
arah pokok barat laut tenggara, dikatakan bahwa arahnya lebih ke arah timur barat
dan merosot (menurun) ke arah tanah rendah di bagian timur. Di antara Sungai
Wampu dan Barumun merupakan Pegunungan Barisan yang bercorak empat
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 6
persegi panjang (sumbu barat laut tenggara 275 km panjangnya dan 150 km
lebarnya). Puncak ini disebut Batak Tumor. Pada bagian puncak yang mempunyai
7 ketinggian 2000 m (sibutan 2457 m) terdapat kawah besar Toba yang
panjangnya 31 km, serta luasnya 2269 km2, sedangkan Danau Toba panjangnya 7
km dan luasnya 1776,5 km2 (termasuk Pulau Samosir).
Sistem Barisan di Sumatera Tengah terdiri dari beberapa pegunungan
blok. Bagian yang paling sempit pada peralihan Batak Tumor (75 m) yang
kemudian melebar menjadi 175 m pada irisan penampang bukit Padang.
Perbukitan yang tertinggi terletak di bagian barat daya dengan ketinggian lebih
dari 2000 m, kemudian berangsur-angsur semakin rendah ke arah dataran rendah
Sumatera Timur (Lisun-Kuantan-Lalo 1000 m dan Suligi Lipat Kain
ketinggiannya lebih dari 500 m).
TOBLER (1971) membedakan elemen-elemen tektonis dan morfologi
Sumatera sebagai berikut:
a. Dataran aluvial terbentang di pantai timur.
b. Tanah endapan/ Foreland tersier (peneplain) dengan Pegunungan Tiga Puluh
c. Depresi sub Barisan
d. Barisan depan / fore barisandengan masa lipatan berlebihan (over thrust
masses)
e. Scheifer Barisan dengan lipatan yang hebat dan batuan metamorf.
f. Barisan tinggi/ HighBarisan dengan vulkan- vulkan muda.
g. Dataran aluvial terbentang di pantai barat.
Berdasarkan kajian perkembangan geologi, Pulau Sumatera dibedakan
menjadi: Basin Tersier di Sumatera Timur (a-c) disebut zone I, rangkaian
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 7
pegunungan berbongkah di sebelah utara Umbilin disebut zone II, Fore barisan
merupakan zone III, The Schiefer Barisan (e) tergolong zone IV kecuali zone
Schiefer Barisan di sebelah utara Padang, dan High Barisan (f) termasuk zone V.
Zone II dan III termasuk unsur luar terletak di sisi timur dari Bukit Barisan.
Lengkung geantiklin di Bukit Barisan terangkat pada zaman Pleistosen
merupakan zone IV dan V.
Elemen-elemen tektonis dan morfologi Sumatera (Verstappen) Dataran
pantai barat (pantai abrasi), merupakan daerah yang sempit, bahaya terkena erosi
dan abrasi, pantainya berpasir dan tidak cocok untuk dijadikan sebagai
permukiman.
Landas Bengkulu. Merupakan kawasan lahan rusak di sebelah barat bukit
barisan dan banyak tererosi, serta memiliki lereng yang terjal.
Deretan pegunungan vulkan muda. Daerahnya sempit dan erosinya tinggi.
Depresi sub barisan (lembah bongkah semangka). Tidak cocok sebagi
tempat hidup karena sangat sempit.
Daerah Basalt Sukadana Lampung. Irigasnya sangat sulit karena tidak
terdapat simpanan air.Landaian sebelah timur. Cocok bila dijadikan sebagai
tempat hidup karena tanahnya datar. Dimanfaatkan sebagai daerah
transmigrasi. Daerah ini berkembang menjadi daerah transmigrasi terluas di
Sumatera.
Dataran aluvial pantai timur. Merupakan daerah Rawa Payau.
2. Zone Semangko
Zone ini merupakan suatu corak permukaan yang mencerminkan
karakteristik dari Geantiklin Barisan sepanjang pulau itu secara keseluruhan, yang
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 8
dinamakan jalur depresi- menengah pada puncak yang disebut Semangko Rift
Zone. Zone Semangko ini terbentang mulai dari teluk semangko di Sumatera
Selatan dan berkembang lebih jauh ke arah Trog lembah Aceh dengan Kota Raja
sebagai ujung utaranya. Di beberapa jalur ini terisi dan tertutup oleh vulkan-
vulkan muda.
Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan
satu cekungan besar yang mempunyai sedimentasi sama dan dipisahkan oleh
Pegunungan Tigapuluh. Daerah Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi
depresi Jambi di utara, Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan
Palembang Selatan atau Depresi Lematang masing-masing dipisahkan oleh
tinggian batuan dasar (basement). Tiga antiklinorium yang dipisahkan oleh
tinggian batuan dasar adalah Antiklinorium Pendopo, Antiklinorium Palembang
dan Antiklinorium Muaraenim.
Secara rinci lagi penulis dapat menjelaskan mengenai geomorfologi daerah
Kabupaten Sarolangun yaitu pada bagian baratnya ditempati oleh pegunungan
Barisan, gunung Bangko, gunung Bujang dicirikan oleh topografi yang kasar,
tersusun dari batuan sedimen malihan dan batuan beku yang terpotong oleh
lembah-lembah yang dikontrol oleh sesar. Ketinggian berkisar antara 320 meter
sampai lebih dari 2380 meter di atas permukaan laut dengan lereng yang curam
yang tertutup rapat hutan belukar. Pola aliran yang utama adalah rektangular dan
teralis dengan bentuk lembah umumnya ‘V’ sempit dan lurus. Bagian timur
merupakan dataran rendah yang terbuka, hanya ditutupi oleh semak-belukar dan
hutan kecil sementara di beberapa tempat berupa rawa. Bagian timur dan timur
laut daerah ini terdiri dari lahan yang bergelombang, dengan ketinggian beberapa
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 9
F. Hulusimpang
F. Tmdi
puluh meter diatas permukaan laut. Sungai-sungai mempunyai bentuk ‘meander’
dan berpola ‘meranting’ sampai ‘rektangular’, kebanyakan sungai besar mengalir
kearah barat laut-tenggara, sejajar dengan arah struktur utama (Departemen
ESDM Pusat Sumber Daya Geologi, Sarolangun, 2006).
2.1.2. Stratigrafi Regional
Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu
siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase
regresi pada akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin
yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian
diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya.
Gambar 2.1. Peta Geologi Lembar Bangko provinsi Jambi (Suwarna, 1992)
Gambar 2.2. Korelasi Satuan Peta Lembar Bangko, Provinsi Jambi (Suwarna, 1992)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 10
Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar
merupakan suatu endapan kipas aluvial dan endapan sungai teranyam (braided
stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung
hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang
diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu
Raja)pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum
ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras
di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih lautdalam.Fase regresi
dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh
pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu Pasir pada
lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di
atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana
lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan
non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung
dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini
berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir
tufaan, pumice dan konglemerat.
Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks
batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan
batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap
dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas
berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang
tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna
kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 11
Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah
dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit
dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang
kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat. Menurut Simanjuntak, et. al
(1991), umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.
Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas
batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari
konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan
batupasir kuarsa.
Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :
Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan
lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.
Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota
pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding.
Butiran didominasi oleh kuarsa.
Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas
Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan
berselingan dengan endapan mirip lahar.
Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi
terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi
Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara
selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 12
kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa
perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar
antara 400m – 850m.
Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm.
Talang Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari
batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan,
serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.
Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di
Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih
gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di
bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi
ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada
lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.
Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di
atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini
terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir
abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian
atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 13
Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase
regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat
pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan
formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan
batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris
volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi
dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya
berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.
Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir
tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya
kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit
mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa
tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies
pengendapannya adalah fluvial dan aluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen
Akhir-Plistosen Awal.
Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak
terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak
selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen
konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-
basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
2.1.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi
Tektonik Sumatera dipengaruhi oleh interaksi konvergen antara dua
lempeng yang berbeda jenis (Gambar 2.3). Arah gerak kedua lempeng terhadap
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 14
jalur subduksi membentuk sudut lancip sehingga pembentukan struktur geologi di
Pulau Sumatera didominasi oleh sesar-sesar mendatar dekstral (right handed
wrench fault). Hubungan struktur geologi satu terhadap lainnya selain mengontrol
sebaran batuan di permukaan juga menjadikan daerah ini cukup kompleks secara
tektonik. Terbentuknya sejumlah struktur sesar yang cukup rapat ternyata diikuti
oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan tubuh-tubuh intrusi batuan
beku. Aktifitas magmatik inilah yang membawa cebakan mineral bijih.
Gambar 2.3. Peta pergerakan lempeng daerah Sumatera dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini
Seluruh batuan penyusuntelah mengalami deformasi yang kuat. Produk
tektonik berupa struktur lipatan, kekar dan sesar. Pembentukan kedua jenis
struktur geologi tersebut tidak terlepas dari pengaruh aktivitas tumbukan lempeng
yang menyerong antara Lempeng Eurasia yang berada di utara dengan Lempeng
India-Australia. Akibat tumbukan lempeng ini terbentuk jalur subduksi yang
sekarang posisinya berada di lepas pantai barat Sumatera, sedangkan di daratan
sumatera terbentuk daerah tinggian yang menyebabkan batuan tua tersingkap di
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 15
permukaan. Pola struktur lipatan dan umumnya berarah baratlaut-tenggara yang
terbentuk sejak Pra-Tersier hingga Kuarter. Jenis dan kedudukan struktur geologi
ini selanjutnya mempengaruhi pola sebaran batuan/formasi di permukaan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan diketahui batuan/formasi di daerah
penyelidikan menyebar dengan arah baratlaut-tenggara.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010), pulau Sumatera
memiliki pola struktur yang dominan sebanyak 3 buah yaitu arah NE–SW yang
sering disebut Pola Jambi, NW–SE yang disebut sebagai Pola Sumatera dan N–S
sebagai Pola Sunda.Urutan pola dari tua ke muda adalah pola Sumatera NW–SE
(Jurassic Awal- Kapur) yang diakibatkan oleh rezim kompresional. Akibat dari
adanya tumbukan Lempeng India dengan Lempeng Eurasia. Pola Jambi (NE-SW)
terbentuk pada zaman Pra-Tersier juga. Selanjutnya pola yang berkembang adalah
Pola Sunda dengan arah N–S ( Kapur Akhir- Tersier Awal). Pola struktur Sunda
inilah yang membuka cekungan–cekungan yang ada di daerah Sumatera dan pola
ini banyak terdapat pada Cekungan Sumatera Utara dan Sumatera Tengah,
sedangkan pada Cekungan Sumatera Selatan, pola N–S jarang ditemui. Hal ini
ditandai pula dengan batas antara cekungan–cekungan yang ada di Pulau
Sumatera yang berupa tinggian memiliki orientasi N–S. Kemudian pada zaman
Plio-Pleistosen terjadi rezim kompresif yang membuat sesar-sesar normal
mengalami inverse menjadi sesar naik dan beberapa sesar lain yang membentuk
sesar geser strike-slip seperti Sesar Semangko.
Secara umum arah struktur pokok dari Pulau Sumatera adalah:
Sisi barat Geantiklin Barisan terbentang di sebelah barat jalur Semangko
berada pada setengah Pulau Sumatera di sebelah selatan Padang tepatnya.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 16
Sisi baratnya terbentuk oleh blok kerang yang panjang dan miring ke
Samudera Hindia, dan disebut Blok Bengkulu.
Gawir sesar sepanjang jalur semangko memisahkan pantai barat dan timur.
Disebut juga Bukit Barisan Sensu stricto atau barisan tinggi.
Ujung selatan bukit barisan adalah daerah Lampung. Di antara Padang dan
Padang Sidempuan struktur geantiklinalBukit Barisantidak menentukan
Geantiklinal blok pegunungan yang memanjang di sisi timur, sama
dengan daerah di sisi barat sungai subsekuen dan cabang-cabangnya.
Batak Tumor yang merupakan lanjutan dari Bukit Barisan yang berupa
kubah geantiklinal besar yang terpotong oleh jalur Semangko.
Bukit Barisan di daerah Aceh adalah bagian teruwet pecah menjadi
sejumlah pegunungan Blok, yaitublok leuser dan pegunungan barat.
Kedudukannya searah sisi barat seperti Blok Bengkulu.
Di sebelah barat bukit Barisan terbentang palung antara sistem
pegunungan Sunda yang membentuk cekungan laut antara Sumatera dan
rangkaian pulau-pulau di baratnya.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal
dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan-endapan Paleozoik dan Mesozoik
termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi
oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 17
Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar
berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan
gerak-gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum
utara-selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil
pelapukan batuan-batuan Pra-Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk
struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra-Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio-Plistosen yang
menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam
pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi
geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang
terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar-sesar yang baru terbentuk di daerah
ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat
pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen
menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang terbentuk
berarah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara. Jenis sesar yang terdapat
pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat
laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola
struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan dan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 18
barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah barat laut-tenggara yang sejajar
dengan Pulau Sumatera .
2.2. Struktur Pengontrol dan Mineralisasi
Secara regional berdasarkan Peta Geologi Lembar Bangko oleh Suwarna,
(1992) menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat 2 garis sesar besar yang
diperkirakan (Gambar 2.2). Menurut interpretasi penulis bahwa 2 sesar besar ini
merupakan bagian penting sebagai indikasi tegasan pengontrol transportasi larutan
hidrotermal dan mineralisasi yang terjadi.
Struktur geologi di daerah Kabupaten Sarolangun adalah perlipatan tegak
berarah baratlaut-tenggara. Sesar utama berarah baratlaut-tenggara. (Departemen
ESDM Pusat Sumber Daya Geologi, Sarolangun, 2006). Dengan adanya data
struktur berdasarkan pustaka yang didapat maka dapat dilakukan interpretasi
sementara terhadap kemungkinan keberadaan tegasan pengontrol pada sebaran
urat-urat (veins) sebagai daerah distribusi minieralisasi yang berkembang.
Gambar 2.4. Kenampakan pola kelurusan sungai dan bukit pada daerah penelitian terhadap sesar semangko (NW-SE)
Berdasarkan pola kelurusan pada daerah penelitian yang dominan berarah
baratlaut-tenggara, namun terdapat kelurusan dengan arah timurlaut-baratdaya.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 19
(Gambar 2.4). Hal ini menunjukkan bahwa arah tegasan utama cenderung N-S.
Interpretasi tegasan utara-selatan (N-S) yang dilakukan dapat dihubungkan pada
arah tegasan pembentukan sesar semangko berupa strike slip (Dekstral Fault), dan
ditafsirkan pada daerah penelitian berupa sesar strike slip (Dekstral Fault) dengan
keberadaan Orde 2 sebagai perpindahan arah tegasan yang terjadi sesuai dengan
konsep analisa Moody dan Hill, 1956 dalam Asikin, 1977. Berhubungan dengan
tafsiran tegasan tersebut, kemudian dapat dilakukan penentuan terhadap
kemungkinan arah mineralisasi.
Berdasarkan data sekunder mengenai keterdapatan mineralisasi dan bahan
galian lain yang telah dikembangkan yaitu baik secara eksplorasi maupun
eksploitasi. Perusahaan yang melakukan kegiatan eksploitasi pada saat ini PT.
Antam. Tbk. Unit Geomin dan PT. SCG (Sumatera Copper Gold) yang telah
melaksanakan eksplorasi emas dan tembaga dalam beberapa tahun sebelumnya.
Wilayah bekas tambang yang ada di kabupaten Sarolangun hanya berupa
bekas-bekas tambang emas tanpa izin. Kegiatan inventarisasi bahan galian
dilaksanakan pada bekas tambang emas aluvial yang telah ditinggalkan oleh
penambang emas tanpa izin (PETI). Daerah kegiatan meliputi Kecamatan Batang
Asai, Kecamatan Limun, Kecamatan Bathin VIII dan Kecamatan Sarolangun.
Kegiatan penambangan ini telah lama dilakukan oleh beberapa keluarga
secara turun temurun. Sebelumnya masyarakat hanya menambang dengan cara
mendulang, namun kini dengan masuknya pendatang bekerjasama dengan
penduduk setempat dan seiring kemajuan teknologi, kegiatan penambangan telah
menggunakan mesin ‘Dompeng’. Kegiatan penambangan dilakukan terutama
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 20
pada daerah-daerah sekitar Sungai Batang Asai, Sungai Tembesi, Sungai
Selembau, Sungai Limun dan Sungai Batang Rebah.
2.3. Dasar Teori
2.3.1. Tinjauan Tentang Struktur Geologi
Terdapatnya suatu struktur tertentu di suatu tempat terbentuk karena suatu
deformasi tektonik tertentu. Deformasi tektonik pembentuk struktur tertentu dapat
dibedakan menjadi dua yaitu deformasi yang bersifat diskontinyu atau
rapuh(brittle) dan deformasi yang bersifat kontinyu (ductile). Perbedaan ini
terjadi karena beberapa faktor yaitu sifat fisik batuan yang mengalami deformasi,
temperatur dan tekanan yang dialami tubuh batuan selama berlangsungnya
deformasi. Deformasi tektonik diskontinyu akan membentuk struktur geologi
berupa sesar dan kekar, sedangkan struktur geologi kontinyu akan membentuk
struktur berupa lipatan.
Sesar menurut Billings (1972), merupakan rekahan pada batuan yang telah
mengalami pergesaran sehingga terjadi perpindahan dua dinding blok batuan yang
saling berhadapan, sedangkan kekar merupakan rekahan yang relatif belum
mengalami pergeseran. Sesar dan kekar merupakan bagian dari disintegrasi
mekanis batuan dan akan mengalami erosi yang cepat di permukaan bumi
sehingga membentuk bentang alam yang khas sebagai depresi topografi lokal,
lembah sungai dan gawir sesar yang lazim disebut jejak sesar (fault traces).
Kenampakan ini dapat dengan jelas nampak dari foto udara atau citra satelit
sebagai suatu bentuk kelurusan.
Struktur geologi yang umum dijumpai di lapangan dapat berupa kekar dan
sesar. Struktur yang bekerja pada suatu tubuh batuan terjadi karena adanya gaya
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 21
yang bekerja. Pola-pola kelurusan struktur yang di hasilkan dapat berupa pola
yang baru maupun pola yang berasal dari reaktifitas terhadap struktur yang terjadi
sebelumnya.
A. Sistem Bukaan Urat
Di daerah mineralisasi akan ada hubungan spasial antara struktur mayor
dengan proses mineralisasi yang terjadi. Secara regional suatu sistem struktur di
daerah magmatic arcs akan terbentuk adanya intrusi-intrusi baik yang mengisi
daerah bukaan-bukaan yang ada maupun membentuk bukaan yang baru. Sehingga
pada daerah struktur mayor akan terjadi beberapa aktivitas yang berhubungan
dengan cebakan mineral meliputi (Corbett dan Leach, 1997) : (1) Pre-
mineralization yang mengontrol pada daerah cekungan sedimentasi di batuan
induknya. (2) Pre-mineralization intrusi atau breksi. (3) Syn-mineralization pada
lokasi sistem cebakan. (4) Post-mineralization yang merupakan deformasi dari
cebakan mineral. Menurut Corbett dan Leach (1997), didasarkan pada tatanan
tektonik dan level erosi pada sistem hidrotermal, maka sistem bukaan cebakan
dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu : (Gambar 2.4)
a. Splays atau horsetail yang berkembang di sepanjang struktur sesar relatif.
Pada daerah ini merupakan agent utama terjadinya intrusi porpiri.
b. Tension Fracture, terbentuk sebagai bukaan di batuan induk yang terletak di
antara sesar strike-slip dan umumnya mempunyai orientasi yang tergantung
dengan gaya (stress) utama. Tension fracture ini merupakan faktor dominan
terjadinya sistem urat emas-perak. Karakteristiknya tercermin bahwa panjang
dari kekar tarik akan berakhir sepanjang arah sesar.
c. Jogs, terbentuk sebagai bends yang melintasi sepanjang struktur dan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 22
dipisahkan dengan kekar tarik, beberapa cebakan terjadi pada daerah jog ini.
d. Hanging wall splits, terbentuk pada kemiringan zona sesar terutama pada
sesar turun atau kemiringan perlapisan batuan yang terpotong oleh kemiringan
bidang sesar.
e. Pull-apart basin, yang terbentuk sebagai parallelogram yang terletak di antara
2 jalur sesar.
f. Domes, terbentuk pada batuan dasar yang terisi oleh larutan hidrotermal pada
suatu sistem urat mineralisasi.
g. Ore shoots, umumnya merupakan perkembangan dari penambahan lebar suatu
urat maupun bertambahnya kadar emas yang terbentuk oleh bertambahnya
bukaan pada suatu sistem urat.
h. Sheeted fracture, terbentuk pada lingkungan porpiri atau porpiri yang
berhubungan dengan lingkungan breksi.
Gambar 2.4. Sistem bukaan urat Corbett dan Leach, 1997
B. Analisa Arah Urat
Urat kuarsa pada prinsipnya terbentuk oleh larutan yang bersifat mengisi
rekahan, oleh sebab itu pola urat yang terbentuk akan mengikuti pola rekahan.
Pada cebakan yang mengisi rongga terjadi 2 proses yaitu : pembentukan rongga
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 23
dan pengisian larutan (Bateman,1981). Sesar geser yang bersifat ekstensif akan
terbentuk rekahan terbuka yang memungkinkan masuknya larutan hidrotermal
pembentuk urat, sehingga urat akan terbentuk relatif sejajar dengan arah sesar.
Heru Sigit (2002), menyatakan bahwa urat hasil tegasan dan urat hasil
tarikan di lapangan dapat dibedakan, yaitu urat kuarsa hasil tegasan memiliki ciri
pecah-pecah (breciciated), kristal tidak baik, biasanya terbentuk mineral di bagian
tengah atau tepinya dan urat hasil tarikan memiliki ciri kristal baik, membentuk
struktur sisir (comb structure), mineral terkadang berada pada struktur sisirnya.
(Gambar 2.5).
Gambar 2.5.Beda urat hasil tegasan dan urat hasil tarikan menurutHeru Sigit, 2002.
Beberapa lingkungan struktur bukaan cebakan batuan samping mengalami
proses aktivitas selama terbentuknya, mulai dari pre-sampai-syn mineralisasi dan
umumnya mengalami deformasi pada post-mineralisasi pada suatu sistem
cebakan. Model dari sistem struktur tersebut disebut sebagai Riedel Shear Model
(Riedel, dalam Corbett and Leach, 1997). Pada suatu zona sesar kemungkinan
akan terbentuk adanya kekar tarik yang mempunyai pola searah dengan gaya
utama. Pola sesar terbentuk dengan arah yang berlawanan merupakan sesar geser
(slip) dan sesar normal mempunyai arah sejajar dengan arah gaya utama. Lowell
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 24
dan Harris, (dalam Corbett and Leach, 1997) mengemukakan suatu hasil
percobaan yang dilakukan pada lempung yang diberi tekanan dari arah lateral dan
vertikal, hasil tersebut akan membentuk pola struktur menyudut lancip dengan
arah gayanya dan mempunyai pola penyebaran melingkar mengikuti bentuk kubah
(Gambar 2.6). Di bagian tepi dari arah gaya utama akan terbentuk adanya rekahan
yang kemudian mengalami depresi dengan bentuk lingkaran.
Gambar 2.6.Riedel Shear Model (a dan c) serta (b) model bentuk sesar pada Lempung (Corbett and Leach, 1997).
2.4. Alterasi dan Mineralisasi Hidrotermal
Alterasi dan mineralisasi sangat erat kaitannya, dikarenakan tipe alterasi
tertentu akan dicirikan dengan hadirnya suatu himpunan mineral yang khas
sebagi pencirinya.
2.4.1. Alterasi Hidrotermal
Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100°–500°C) sisa
pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya
dan membentuk mineral-mineral tertentu. Secara umum cairan sisa kristalisasi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 25
magma tersebut bersifat silika yang kaya alumina, alkali dan alkali tanah yang
mengandung air dan unsur-unsur volatil (Bateman, 1981).
Larutan hidrotermal terbentuk pada bagian akhir dari siklus pembekuan
magma dan umumnya terakumulasi pada litologi dengan permeabilitas tinggi atau
pada zona lemah. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang
dilaluinya (wall rocks) akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi
mineral sekunder (alteration minerals). Proses hidrotermal pada kondisi tertentu
akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan
mineral atau mineral assemblage(Corbeet dan Leach, 1996)(Tabel 2.1).
Secara umum kehadiran himpunan mineral tertentu dalam suatu ubahan
batuan akan mencerminkan tipe alterasi tertentu.
Tabel 2.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral (Corbeet dan Leach, 1996)
TIPE MINERAL
KUNCI
MINERAL
ASESORIS
KETERANGAN
Propilitik Klorit
Epidot
Karbonat
Albit
Kuarsa
Kalsit
Pirit
Lempung/illit
Oksida besi
Temperatur 200 –
300oC,Salinitas beragam,
PH mendekati netral,
Daerah dengan
permeabilitas
rendah
Argilik Smektit
Montmorilonit
Illit-smektit
Kaolinit
Pirit
Klorit
Kalsit
Kuarsa
Temperatur 100 – 300oC,
Salinitas rendah,
PH asam – netral .
Argilik lanjut
(temperatur
rendah)
Kaolinit
Alunit
Kalsedon
Kristobalit
Kuarsa
Pirit
Temperatur 180oC
PH asam
Argilik lanjut
(temperatur tinggi)
Pirofilit
Diaspor
Andalusit
Kuarsa
Tourmalin
Enargit
Temperatur 250 – 350oC,
PH asam
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 26
Luzonit
Potasik Adularia
Biotit
Kuarsa
Klorit
Epidot
Pirit
Illit-serisit
Temperatur > 300oC,
Salinitas tinggi,
Dekat dengan batuan
intrusi .
Filik Kuarsa
Serisit
Pirit
Anhidrit
Pirit
Kalsit
Rutil
Temperatur 230 –
400oC,Salinitas beragam,
PH asam – netral, Zona
tembus air pada batas urat
.
Serisitik Serisit (illit)
Kuarsa
Muskovit
Pirit
Illit-serisit
-
Silisifikasi Kuarsa Pirit
Illit-serisit
Adularia
-
Tipe Alterasi menurutCorbett dan Leach (1996) (Tabel 2.1) membagi
zona alterasi hidrotermal ke dalam lima zona alterasi berdasarkan kumpulan dan
asosiasi mineral alterasi yang muncul pada kondisi kesetimbangan yang sama
dan derajat PH.
Alterasi Argilik, terdiri dari kumpulan mineral alterasi dengan
temperatur rendah, jenis alterasi ini dicirikan dengan kehadiran anggota dari
kaolin (Halloysit, kaolinit dan dickit) dan illit (smektit, interlayer, illit-smektit,
illit), serta asosiasi mineral transisi yang terbentuk pada pH menengah dan
suhu rendah. Kelompok dari mineral temperatur rendah-transisi yaitu kelompok
klorit-illit juga hadir.
Alterasi Argilik Lanjut, jenis alterasi ini dicirikan dengan kehadiran
anggota dari kaolin (Halloysit, kaolinit dan dickit) dan illit (smektit, interlayer,
illit-smektit, illit), serta asosiasi mineral transisi yang terbentuk pada pH
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 27
menengah dan suhu rendah. Kelompok dari mineral temperatur rendah-transisi
yaitu kelompok klorit-illit juga hadir.
Alterasi Propilitik, Jenis alterasi ini umumnya dicirikan oleh
kehadiran mineral klorit-epidot-aktinolit (Corbett & Leach, 1996). Menurut
White (1996), Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral
epidot, illit/serisit, kalsit, albit, dan anhidrit terbentuk pada temperatur 200°-
300°C pada pH mendekati netral, dengan salinitas beragam, umumnya pada
daerah yang mempunyai permeabilitas rendah.Alterasi ini mempunyai
penyebaran yang terluas dan kaitannya secara langsung dengan mineralisasi
sangat kecil. Kristal plagioklas mengalami argilitisasi dengan intensitas kecil,
biotit mengalami perubahan menjadi klorit dengan atau tanpa karbonat.
Alterasi Filik, dicirikan oleh serisitasi hampir seluruh mineral silikat,
kecuali kuarsa. Plagioklas feldspar tergantikan oleh serisit dan kuarsa halus. K-
Feldspar magmatik juga mengalami serisitasi tapi lebih kecil intensitasnya dari
plagioklas.
Alterasi Potasik, Menurut Corbett & Leach (1996), mineral utama dalam
alterasi ini berupa potasik feldspar sekunder & biotit sekunder, serta aktinolit+
klinopiroksen dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-alkali
felspar-magnetit. Anhidrit sering hadir sebagai asesori, serta sejumlah kecil albit,
dan titanit (sphene) atau rutil kadang terbentuk. Alterasi potasik terbentuk pada
daerah yang dekat batuan beku intrusif yang terkait, fluida yang panas (>300°C),
salinitas tinggi, dan dengan karakter magamatik yang kuat.
2.4.2. Mineralisasi Hidrotermal
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 28
Mineralisasi adalah proses pembentukan endapan mineral logam atau non
logam yang terkonsentrasi dari satu atau lebih mineral yang dapat dimanfaatkan
(Bateman dan Jensen,1981). Emas pada mineralisasi ini umumnya berasosiasi
dengan galena, sphalerit, kalkopirit, dan sedikit pirit (Corbett dan Leach 1996).
Pola mineralisasinya yaitu mineral bijih yang mengisi rongga-rongga dan
rekah (open space & cavity filling). Zona bijih biasanya dibatasi oleh struktur,
tetapi juga bisa muncul pada litologi yang bersifat permeable.
Urat yang lebar (memiliki lebar > 1m dengan beberapa ratus meter searah
jurus) sampai urat-urat kecil dan stockworks biasanya memiliki penyebaran dan
pergantian yang lebih sedikit. Mineral penyerta yang umum dijumpai pada
epitermal sulfidasi rendah adalah: kuarsa, ametis, kalsedon, struktur kalsit yang
kemudian digantikan oleh kuarsa, kalsit, adularia, serisit, barit, fluorit,
rhodokrosit, hematit dan klorit.
Menurut Bateman, 1981 Secara umum proses mineralisasi dipengaruhi
olehbeberapa faktor pengontrol, meliputi :
a. Larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa mineral.
b. Zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat larutan hidrotermal.
c. Tersedianya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal.
d.Terjadinya reaksi kimia dari batuan induk/host rock dengan larutan hidrotermal
yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral bijih (ore).
e. Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkan mineral
bijih (ore).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 29
Menurut Lindgren, 1933 faktor yang mengontrol terkonsentrasinya
mineral-mineral logam (khususnya emas) pada suatu proses mineralisasi
dipengaruhi oleh adanya :
a. Proses diferensiasi, Pada proses ini terjadi kristalisasi secara fraksional
(fractional crystalization), yaitu pemisahan mineral-mineral berat pertama kali
dan mengakibatkan terjadinya pengendapan kristal-kristal magnetit, kromit dan
ilmenit. Pengendapan kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan
platinum. Larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa
mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt, dan Pd.
b. Aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pangkayaan dari
magma, Pada proses ini, unsur silika mempunyai peranan untuk membawa air dan
unsur-unsur volatil dari magma. Air yang bersifat asam akan naik membawa CO2,
N, senyawa S, fluorida, klorida, fosfat, arsenik, senyawa antimon, selenida dan
telurida. Pada saat yang bersamaan mineral logam seperti Au, Ag, Fe, Cu, Pb, Zn,
Bi, Sn, tungten, Hg, Mn, Ni, Co, Rd dan U akan naik terbawa larutan. Komponen-
komponen yang terbawa dalam aliran gas tersebut berupa sublimat pada erupsi
vulkanik dekat permukaan dan membentuk urat hidrotermal atau terendapkan
sebagai hasil penggantian (replacement deposits) di atas atau di dekat intrusi
batuan beku.
2.4.3. Mineralisasi pada Endapan Emas Epitermal
Sebagian besar karakteristik dasar beberapa endapan bijih terbentuk pada tubuh
bijih (Tabel 2.2) dan mineraloginya, tekstur bijih dan mineral penyerta, serta zona
alterasi. Perbandingan utama penelitian antara endapan sulfidasi rendah dengan
sulfidasi tinggi sedapat mungkin saling meliputi (sama) di dalam karakteristik.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 30
Ada beberapa ciri-ciri khusus, seperti perbedaan bentuk tipe endapan, kedua pola
biasanya dikontrol oleh struktur, meskipun pada endapan sulfidasi tinggi yang
menyebar struktur dapat diabaikan.
Endapan epitermal memiliki beragam bentuk karena tekanan rendah dan
di bawah kondisi hidrostatik di mana mereka terbentuk, sebagian besar beragam
geometri berasal dari akibat perbedaan permeabilitas (struktural, hidrotermal,
batuan) pada batuan dinding (host rock).
Tabel 2.2. Mineral ubahpetunjuk temperatur (Reyes, 1990)
Meskipun ada beberapa mineral yang muncul pada endapan sulfidasi
rendah dan sulfidasi tinggi, beberapa menunjukkan perbedaan yang jelas pada
mineralogi bijih, beberapa di antaranya mencerminkan perbedaan kondisi redoks
(reduksi-oksidasi) fluida hidrotermal. Arsenopirit dan sfalerit kaya Fe, keduanya
merupakan mineral penciri dan biasa dijumpai pada endapan sulfidasi rendah,
tetapi jarang dijumpai pada endapan sulfidasi tinggi. sebaliknya, pada endapan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 31
sulfidasi tinggi biasanya mengandung mineral Cu-As, terutama garam sulfida
(sulfosalt)sulfidasi tinggi enargit dan luzonit. Setiap sulfida, secara relatif
mengandung mineral sulfidasi tinggi tenantit yang jarang dijumpai pada endapan
sulfidasi rendah. Kelimpahan total mineral sulfida (terutama pirit) beragam, dapat
lebih banyak dijumpai pada endapan sulfidasi tinggi daripada sulfidasi rendah.
Reyes (1990), mengemukakan adanya mineral-mineral hidrotermal
petunjuk temperatur, dimana mineral tersebut merupakan mineral dasar yang
terbentuk dari hasil ubahan batuan pada kondisi asam – pH netral (Tabel 2.2).
Tabel 2.3. Himpunan mineral ubahan berdasarkan temperatur dan pH larutan(Corbett dan Leach, 1997)
Mineral penyerta yang berasosiasi dengan kedua tipe di atas menunjukkan
adanya perbedaan yang jelas yang mencerminkan pH (reaktivasi) fluida bijih.
Kuarsa dijumpai pada kedua tipe endapan. Adularia dan kalsit, keduanya
mengindikasikan kondisi pH mendekati netral yang biasa dijumpai pada endapan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 32
sulfidasi rendah (sebagian besar umum dijumpai setelah kuarsa), tetapi tidak
dijumpai pada endapan sulfidasi tinggi. Mineral-mineral yang terbentuk secara
relatif di bawah kondisi asam, seperti kaolinit dan alunit, umum dijumpai tetapi
jarang dijumpai sebagai mineral penyerta pada endapan sulfidasi tinggi. Pada
endapan sulfidasi rendah, alunit tidak dapat terbentuk dengan bijih, tetapi umum
dijumpai di daerah yang dipengaruhi oleh uap panas dan supergen yang dibentuk
oleh air permukaan.
Berdasarkan hubungan antara temperatur dan pH larutan, Corbett dan
Leach (1998) telah membuat zona ubahan yang ditunjukkan oleh himpunan
mineral tertentu dan tipe mineralisasinya (Tabel 2.3).
2.5. Sistem dan Karakteristik Endapan Epitermal
A. Endapan emas epitermal High Sulfidation
Endapan emas tipe High Sulfidationterbentuk jika gas magmatik naik
dengan cepat dari sumber magma di kedalaman tanpa interaksi dengan batuan
samping atau air permukaan dan menurun tekanannya dengan cepat hingga
membentuk fluida hidrotermal sangat asam yang akan bereaksi dengan batuan
samping (Gambar 2.7) pada level epitermal (Corbett, 2009, dalam Corbett dan
Leach, 1998).
Pada suhu di bawah 400°C kesetimbangan magmatik SO2 menjadi H2S
dan H2SO4 pada vapour plume menghasilkan fluida asam yang panas (Rye et.
Al.,1992 dalam Corbett dan Leach, 1996). Fluida asam yang panas ini bereaksi
dengan air meteorik dan bereaksi pada batuan induk dalam zona bukaan atau
batuan induk untuk membentuk endapan emas-tembaga (Rye et. Al.,1992 dalam
Corbett dan Leach, 1996). Pada awalnya Hedenquist (1987) menggunakan istilah
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 33
“high sulfidation” digunakan untuk mengidentifikasi kehadiran penciri ubahan
dan himpunan mineral seperti enargite, luzonit, dan tenantit.
Gambar 2.7. Model Konsep model untuk menggambarkan berbagai jenis mineralisasi pada busur magma porfiri dan mineralisasi Cu- Au-Mo-Ag (modifikasi dari Corbett, 2009).
2.5.2 Endapan emas epitermal Low Sulfidation
Deposit emas epitermal sulfidasi rendah terbentuk dari larutan
hidrothermal yang naik melalui zona rekahan dan bereaksi dengan batuan
samping dan air meteorik sehingga pH nya terus berkurang hingga hampir netral.
Sistem epitermal sulfidasi rendah ini dicirikan oleh sulfur yang berkurang dan
membentuk H2S (Simmons, 1995 dalam Corbett dan Leach, 1996). Pada
mulanya Hedenquist (1987) menamakannya dengan “low sulfidation” karena
belerang hadir dengan bilangan oksida-2. Namun kemudian istilah “low
sulfidation” sekarang digunakan untuk mengindikasikan ciri khas alterasi dan
himpunan mineral seperti sfalerite, galena, kalkopirit yang terbentuk pada derajat
keasaman mendekati netral (white dan Hedenquist, 1995 dalam Corbett dan
Leach, 1996). Pada kondisi reduksi ini sulfida hanya merupakan mineral
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 34
sekunder kaya belerang dengan dominasi pirhotit pada suhu lebih dari 300°C dan
pirit pada suhu rendah ( Giggenbach, 1987 dalam Corbett dan Leach, 1996).
Endapan emas epitermal low sulfidation dicirikan dengan ubahan batuan samping
oleh klorida netral yang terjadi karena interaksi antara batuan samping dengan
fluida hidrotermal hampir netral yang sering dianggap dihasilkan karena
masuknya komponen magmatik termineralisasi oleh air meteorik yang mengalir
sampai dalam. Tatanan tektonik dari epitermal sulfidasi rendah umumnya terdapat
pada volcanic island, busur magmatik pada batas lempeng dan continental
volcanic dengan rezime struktur extensional dan strike-slip.
Tabel 2.4 diterangkan perbedaan antara “high sulfidation” dan “low sulfidation”
yang meliputi bentuk, tekstur, jenis mineral bijih, mineral penyerta (gauge), jenis
logam, mineral penciri, lingkungan tektonik, sifat kimiawi dan sifat fluidanya.
Tabel 2.4. Karakteristik Alterasi Daerah Penelitian
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 35
(dalamTriadi Guruh,2011; berdasarkan Hayba,dkk 1986, Heald dkk, 1987, White & Hedequist 1990, dan Henley 1991, dalam White & Hedenquist, 1995).
Istilah sulfida tinggi digunakan untuk unsur S dalam hidrotermal vulkanik
yang mempunyai bilangan redoks mendekati +4 (misalnya senyawa SO2). Sistem
epitermal sulfida rendah, larutan magmatik yang didominasi gas H2S direduksi
pada saat bereaksi dengan batuan samping (wall rock) sehingga terjadi
pengenceran akibat adanya sirkulasi larutan meteorik (air hujan). Kondisi ini
sulfur hadir dengan bilangan oksidasi -2 yang didominasi H2S, sehingga
diistilahkan sebagai sulfida rendah. Di bawah kondisi reduksi yang cukup tinggi
ini sulfida hanya hadir sebagai sulfur sekunder.
Endapan bijih epitermal adalah endapan yang terbentuk pada lingkungan
hidrotermal dekat permukaan, mempunyai temperatur dan tekanan yang relatif
rendah berasosiasi dengan kegiatan magmatisme kalk-alkali yang sering kali
(tidak selalu) endapannya dijumpai di dalam produk vulkanik (sedimen vulkanik).
Endapan epitermal sering juga disebut endapan urat, stockwork, hot
spring, volcanic hosted dan lain-lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan parameter yang digunakan dalam menggolongkan endapan mineral.
Pada kenyataannya tidak mudah untuk membatasi ciri-ciri endapan epitermal
dengan endapan hidrotermal lainnya. Ciri-ciri endapan epitermal menurut
Lindgren, 1933 berdasarkan parameter kedalaman, temperatur, pembentukan,
zona bijih, logam bijih, mineral bijih, mineral penyerta, ubahan batuan samping,
tekstur dan struktur serta zonasi (Tabel 2.5).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 36
Tabel 2.5. Ciri-ciri umum endapan epitermal (Lindgren, 1933)
Kedalaman Permukaan hingga 1500 m.
Temperatur 50 –2000C
Pembentukan Pada batuan sedimen atau batuan beku, terutama yang
berasosiasi dengan batuan intrusi dekat permukaan atau
ekstrusi, biasanya disertai oleh sesar turun, kekar, dsb .
Zona bijih Urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan
pembentukan kantong-kantong bijih, juga seringkali
terdapat pada pipa dan stockwork .
Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan dan
sedikit kanampakan penggantian .
Logam bijih Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U
Mineral bijih Native Au, Ag, elektrum, Cu, Bi
Pirit, Markasit, Sfalerit, Galena, Kalkopirit, Cinabar,
Stibnit, Realgar, Orpiment, Rubi, Silver, Argentit,
Selenides, Tellurid.
Mineral penyerta
(gangue)
Kuarsa, Rijang, Kalsedon, Ametis, Serisit, Klorit rendah
Fe, Epidot, Karbonat, Fluorit, Barit, Adularia, Alunit,
Dickit, Rhodochrosit, Zeolit .
Ubahan batuan
samping
Sering sedikit silisifikasi, kaolinisasi, piritisasi,
dolomitisasi, kloritisasi .
Tekstur dan struktur Crustification (banding), sangat umum sering sebagai
fine banding, cockade, vugs, urat terbreksikan. Ukuran
butir (kristal) sangat bervariasi .
Zonasi Makin kedalam makin tidak beraturan, seringkali kisaran
vertikalnya sangat kecil.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 37
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan berupa metode survei. Metode survei
merupakan suatu metode untuk memperoleh fakta dari gejala – gejala yang ada
dan mencari keterangan secara faktual di lapangan (Gayatri, 2004). Metode survei
yang dilakukan berupa survey pemetaan geologi permukaan. Pemetaan geologi
yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi lapangan yang
menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi di lapangan yang dilakukan
meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan
batuan, pengamatan zona alterasi, pengukuran struktur geologi, dan pengambilan
contoh batuan.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data – data primer dari
lapangan, namun sebelumnya perlu dilakukan analisis data sekunder yang
didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan detail, selanjutnya
akan dibantu dengan pekerjaan laboratorium dan studio.
3.1.1. Tahap Pendahuluan
Tujuan dari kegiatan pendahuluan adalah untuk mendapatkan informasi –
informasi dan gambaran daerah penelitian secara umum, seperti keadaan medan,
bentang alam, stratigrafi, dan struktur geologi. Pengumpulan data tentang
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 38
hubungan struktur dan alterasi-mineralisasi di daerah penelitian juga dikumpulkan
dari berbagai sumber. Tahap pendahuluan ini meliputi:
a. Studi Pustaka
Tujuan dari studi pustaka adalah untuk mempelajari bahan – bahan
pustaka yang dapat membantu pemecahan masalah. Bahan literatur ini dapat
berupa literatur umum dan literatur khusus.
Literatur umum merupakan pustaka yang secara tidak langsung digunakan
untuk membantu dalam memecahkan permasalahan geologi yang ada, dapat
berupa teori, konsep, hipotesis, dan model geologi. Literatur khusus meliputi
bahan pustaka yang secara langsung dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan geologi daerah penelitian, berupa laporan geologi hasil penelitian
terdahulu.
b. Interpretasi Peta Topografi dan Citra Satelit
Interpretasi peta topografi dan citra ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran awal daerah penelitian, berupa keadaan bentang alam, interpretasi
penyebaran batuan, struktur geologi, proses yang mungkin terjadi, dan untuk
penentuan perencanaan lintasan pengamatan.
3.1.2. Peralatan Laboratorium
Alat-alat yang umumnya digunakan untuk analisis mikrofosil (dimiliki dan
dioperasikan oleh pihak laboratorium Teknik Geologi Universitas Soedirman
Purwokerto) adalah :
a) Lumpang besi dan mortir.
b) Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Natrium Hidroksida (NaOH).
c) Ayakan Tyler 60, 80, dan 120 mesh.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 39
d) Oven.
e) Cawan, tempat fosil, kuas, jarum, dan lem.
f) Mikroskop binokuler.
g) Alat tulis dan alat gambar.
h) Kamera.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis petrografi sayatan tipis adalah :
a) Penyayat batuan (dimiliki dan dioperasikan oleh laboratorium Teknik
Geologi Universitas Soedirman Purwokerto)
b) Mikroskop polarisasi dan lampu (dioperasikan oleh laboratorium Teknik
Geologi Universitas Soedirman Purwokerto, dianalisis oleh peneliti di
laboratorium Teknik Geologi Universitas Soedirman Purwokerto)
c) Komparator mika ataupun gips
d) Diagram klasifikasi petrografi batuan
e) Alat tulis dan alat gambar dan kamera
3.1.3. Kegiatan Lapangan
Kegiatan lapangan dilakukan untuk pengambilan data lapangan
berdasarkan lintasan pengamatan yang sudah direncanakan sebelumnya. Kegiatan
ini dalam pelaksanaannya terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang akan dilakukan,
yaitu:
Deskripsi litologi, yaitu pengamatan terhadap sifat fisik batuan secara
megaskopis,
Pengukuran unsur – unsur struktur jurus dan kemiringan sebagai struktur
bidang (misalnya bidang lapisan, sesar, kekar/rekahan, dan sebagainya), serta
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 40
arah dan penunjaman sebagai struktur garis (misalnya perlipatan mikro, gores
garis, dan sebagainya) sebagai pengontrol distribusi mineralisasi yang ada,
Menentukan keberadaan urat (vein) berdasarkan struktur pengontrol serta tipe
dan arah penyebarannya, dan
Menentukan tipe mineralisasi dengan mengetahui keberadaan mineral-mineral
ubahan (alterasi-mineralisasi) pada daerah penelitian,
Serta membuat sketsa dan/atau foto singkapan batuan, kenampakan bentang
alam, kenampakan unsur struktur, dan lain-lain.
3.1.4. Kegiatan Pengolahan Data
Kegiatan pengolahan data yang dilakukan meliputi pengolahan dengan
melakukan analisis baik studio maupun laboratorium secara mandiri berdasarkan
konsep-konsep yang ada berkaitan dengan data yang didapatkan untuk melakukan
pengklasifikasian.
a. Analisis Data Petrografi dan Alterasi (Terraspec)
Terraspec merupakan alat portable yang digunakan untuk pembacaan
mineral alterasi yang digunakan untuk penentuan zona alterasi. Dalam
penggunaanya, batuan di tembakkan sinar infra merah dan hasil dari pantulan
sinar diartikan dalam grafik panjang gelombang.
Analisis data petrografi dilakukan untuk mendeskripsi batuan secara
mikroskopis mencakup butiran, jenis butiran, bentuk butir, besar butir, matriks,
semen, dan jenis mineralnya berdasarkan sumber bacaan deskripsi petrografi oleh
Suyatno (2002), Suharwanto (1993) dan buku panduan praktikum petrografi oleh
ITB. Suatu penamanaan batuan berdasarkan karakteristik penyusun batuan
tersebut dilakukan berdasarkan klasifikasi batuan beku, menurut Wiiliams (1982)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 41
(Gambar 3.1) dan klasifikasi batuan piroklastik menurut Schmid (1981) pada
Gambar 3.2.
Gambar 3.1. Klasifikasi batuan beku menurut Williams, 1982
Gambar 3.2. Klasifikasi batuan piroklastik berdasarkan fragmen epiklastik menurut Schmid, 1981
Berdasarkan klasifikasi Williams (1982) menjelaskan bahwa secara umum
penentuan jenis batuan beku dilihat dari persentase kandungan kuarsa, jenis
plagioklas, mineral penciri, dan tekstur khusus yang ada.
b. Analisis Geomorfologi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 42
An100Ab0 – An0Ab100anortit : an100ab0 – an90ab10bytownit : an90ab10 – an70ab30labradorit : an70ab30 – n50ab50andesin : an50ab50 – an30ab70oligoklas : an30ab70 – an10ab90albit : an10ab90 – an0ab100
Analisi geomorfologi merupakan bagian dari pengolahan data untuk
mengetahui kenampakan dari bentuk muka bumi daerah penelitian yang mengacu
baik pada karakteristik fisik maupun genesanya. Dalam pengolahan ini dilakukan
pengklasifikasian terhadap cakupan dari kesamaan bentuk muka bumi dari setiap
daerah dalam wilayah penelitian. Dalam pengklasifikasian yang dilakukan juga
memperhatikan keberadaan sungai yang mengontrol terbentuknya bentuk-bentuk
geomorfologi yang ada pada daerah penelitian. Dalam hal ini terdapat pembagian
terhadap karakteristik sungai-sungai yang ada.
Analisis geomorfologi ini dilakukan dengan acuan pengklasifikasian
bentuk muka bumi berdasarkan klasifikasi geomorfik Van Zuidam (1985)
diantaranya klasifikasi bentang alam, kelerengan dan pola aliran.
Dalam penamaan dari tiap cakupan geomorfologi atau yang disebut
“penamaan satuan geomorfologi” disusun dengan tiga-empat kata dan
diklasifikasikan berdasarkan geometri atau bentuk (seperti dataran, lembah,
bukit/perbukitan, punggungan, gunung/pegunungan) kemudian genetik morfologi
sebagai hasil rekaman dari struktur geologi yang telah terjadi ataupun proses
geologi lainnya (misalnya aktivitas vulkanik) seperti ; homoklin, sinklin, antiklin,
blok sesar). Berikut merupakan bagian-bagian dari pengklasifikasian oleh Van
Zuidam (1985).
1. Morfografi
Morfografi, berasal dari dua kata yaitu morfo yang berarti bentuk dan
graphos yang berarti gambaran, sehingga memiliki arti gambaran bentuk
permukaan bumi. Aspek morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta
topografi, berupa pengenalan bentuk lahan, yang tampak dari tampilan kerapatan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 43
kontur, ketinggian absolut sehingga dapat menentukan perbukitan atau dataran.
Sedangkan perubahan pola punggungan dan pola aliran bisa mengidentifikasikan
kegiatan tektonik yang ada di daerah penelitian. Pola pengaliran adalah kumpulan
dari suatu jaringan pengaliran yang dibentuk oleh anak sungai terhadap
induknya.Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto
udara, pola pengaliran berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi,
kondisi erosi dan sejarah bentuk bumi. Howard (1967, dalam Van Zuidam, 1988)
membagi pola pengaliran menjadi dua yaitu, pola pengaliran dasar (Gambar 3.3)
dan pola genetik sungai. Dalam hal ini Davis (1875) membagi menjadi 4 tipe
genetik sungai, yaitu Konsekuen, Subsekuen, Resekuen, dan Obsekuen.
Keberadaan sungai – sungai tua yang pada saat ini memotong semua
struktur dan diduga menjadi arah kemiringan lereng pertama kali adalah sungai
Konsekuen. Selanjutnya Resekuen sama seperti konsekuen tetapi pada topografi
yang baru, Subsekuen mengikuti jurus lapisan batuan, sedangkan Obsekuen yang
berlawanan dengan kemiringan batuan maupun lereng.
Gambar 3.3.Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 44
1. Pola Dendritik : Perlapisan batuan sedimen yang relatif datar atau peket
batuan kristalin yang tak seragam dan memiliki ketahanan terhadap
pelapukan. Secara regional daerah aliran memiliki kemiringan landai, jenis
pola pengaliran membentuk percabangan menyebar seperti pohon rindang.
2. Pola Paralel : Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang
sampai agak curam dan dapat ditemukan pada daerah bentuk lahan
perbukitan yang memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola
dendritik dengan parallel atau trelis. Bentuk lahan perbukitan yang
memanjang dengan pola pengaliran parallel mencerminkan perbukitan
tersebut dipengaruhi oleh perlipatan.
3. PolaTrelis : Batuan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan (dip)
atau terlipat. Batuan vulkanik atau batuan metasedimen derajat rendah
dengan perbedaan perlapukan yang jelas. Jenis pola pengaliran biasanya
berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.
4. Pola Rektangular : Kekar atau sesar yang memiliki sudut kemiringan,
tidak memiliki perulangan lapisan batuan, dan sering memperlihatkan pola
pengaliran yang tidak menerus.
5. Pola Radial : Daerah vulkanik kerucut (kubah) intrusi dan sisa-sisa
erosi.Pola pengaliran radial pada daerah vulkanik disebut sebagai pola
pengaliran multiradial.
6. Pola Anular : Struktur kubah kerucut, cekungan dan kemungkinan retas
(stocks).
7. Pola Multibasinal : Endapan berupa gumuk hasil longsoran dengan
prbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar. Merupakan daerah
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 45
perakan tanah, vulkanisme, pelarutan batugamping dan lelehan salju
(permafrost).
1. Morfometri
Morfometri, merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan sebagai
aspek pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehinga klasifikasi kualitatif
akan semakin tegas dengan angka-angka yang jelas. Variasi nilai kemiringan
lereng yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi
kemiringan lereng menurut Van Zuidam (1985), sehingga diperoleh penamaan
kelas lerengnya (Tabel 3.1). Teknik perhitungan kemiringan lerengnya dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik grid cell berukuran 2x2 cm pada peta
topografi skala 1 : 12.500. Kemudian setiap kisi ditarik tegak lurus kontur dan
dihitung kemiringan lerengnya dengan menggunakan persamaan berikut:
Dimana,
n = jumlah kontur yang memotong diagonal jaring
Ci = interval kontur (meter)
D = diagonal grid, Skala 1 : 25.000
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 46
Tabel 3.1. Klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam (1985)
2. Morfogenetik
Morfogenetik adalah proses atau asal – usul terbentuknya permukaan
bumi, seperti bentuk lahan perbukitan/pegunungan, bentuklahan lembah atau
bentuklahan pedataran. Proses yang berkembang terhadap pembentukan
permukaan bumi tersebut yaitu proses eksogen dan proses endogen. Proses
eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh iklim dikenal sebagai proses
fisika dan proses kimia, sedangkan proses yang dipengaruhi oleh biologi biasanya
terjadi akibat dari lebatnya vegetasi, seperti hutan atau semak belukar.
Tahap perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh proses eksogen
diawali dengan permukaan bumi yang dipengaruhi oleh iklim, seperti hujan,
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 47
perubahan temperatur dan angin, sehingga merubah mineral – mineral penyusun
batuan secara fisika atau kimia, sehingga batuan menjadi lapuk dan selanjutnya
menjadi tanah. Secara garis besar proses eksogen diawali dengan pelapukan
batuan, kemudian hasil pelapukan batuan menjadi tanah dan tanah terkikis
(degradasional), tertransport dan pada akhirnya diendapkan (agradasional).
Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan/ tenaga
dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan bumi. Proses dari
dalam kerak bumi tersebut antara lain kegiatan tektonik yang menghasilkan
patahan (sesar), pengangkatan (lipatan) dan kekar. Selain kegiatan tektonik,
proses kegiatan magma dan gunung api (vulkanik) sangat berperan merubah
bentuk permukaan bumi, sehingga membentuk perbukitan intrusi dan gunung api.
Dilihat dari genesis kontrol utama pembentukannya (Tabel 3.2), bentuk lahan
dapat di bedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik, fluvial, marine, karst,
aeolian, dan denudasi. Adapun klasifikasi terhadap pewarnaan dari masing-
masing morfogenetik dapat dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.2. Pemberian kode satuan sebagai rekomendasi klasifikasi poses geomorfologiberdasarkan aspek bentuk lahan (Verstappen dan Van Zuidam, 1968/‘75)
No. Proses
geomorfologi
Bentukan
Asal
Contoh
Kode
Nama bentuk Lahan (diantaranya ada
litologi yang belum tercantum)
I Endogen
1. Volkanism
a
Volkanik
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
V8
V9
V10
V11
Kepundan volkanik piroklastik
Lereng volkanik lava
Kaki volkanik breksi
Dataran fluvial vulkanik
Dataran lava
Dataran lahar
Dataran volkanik abu, tuf, lapili
Sumbat volkanik lava
Kerucut parasite volkanik lava
Dike
Dan sebagainya
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 48
II
2. Diastropism
a
Struktural/V
olkanik
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
Gawir sesar
Perbukitan blok sesar
Bukit sembul (horst)
Lembah terban (graben)
Perbukitan antiklin
Lembah antiklin
Perbukitan sinklin
Lembah sinklin
Perbukitan monoklin homoklin
Perbukitan dome
III
Eksogen
Denudasional
D1
D2
D3
D4
D5
D6
D7
D8
D9
Dataran nyaris pada granit
Perbukitan terkikis pada satuan breksi
Bukitan breksi terisolir
Bukit sisa pada satuan breksi
Perbukitan pedimoen
Peidmont pada satuan batupasir
Kipas talus
Lereng rayapan tanah
Lereng jatuhan batu
Pelarutan
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
Dataran aluvial
Cekungan danau
Kubah karst
Bukit sisa karst terisolir
Dataran aluvial karst
Perbukitan uvala. Dolena
Lembah kering karst
Ngarai karts
Fluvial
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
Dataran aluvial
Cekungan danau
Dataran banjir
Tanggul alam
Gosong sungai
Teras fluvial
Kipas aluvial
Delta
Danau tapal kuda
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 49
Marin
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
M10
M11
M12
Rataan abrasi
Tebing terjal pantai
Gisik
Beting gisik
Tombolo
Rataan pasang surut
Dataran aluvial pantai
Teras pantai
Terumbu atol
Terumbu prnghalang
Lagun
Gosong laut
Angin A1 Gumuk pasir
Tabel 3.3. Pewarnaan sebagai rekomendasi sebagai symbol satua geomorfologi
berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985)
c. Analisis Stratigrafi
Pada daerah penelitian analisa sementara dilakukan secara
megaskopis.Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak
resmi, yaitu penamaan satuan batuan didasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat
diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi dan posisi
stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya harus memenuhi
persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 : pasal 17, yaitu :
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 50
1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang berlainan
ciri litologinya yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau
dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang yang
diperkirakan kedudukannya.
3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjemari peralihannya dapat
dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan sandi.
4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan
ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batasan
cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan
berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Berdasarkan pasal tersebut,
kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat tajam ataupun
berangsur.
Ada tiga macam batas stratigrafi, yaitu :
1. Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan dari satuan
stratigrafi yang berada di bawah lapisan tersebut.
2. Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh
pengangkatan.
3. Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh erosi atau
tidak adanya pengendapan. Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas
jenis litologi yang paling dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan
terhadap litologi di lapangan dilakukan secara megaskopis yang meliputi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 51
warna batuan baik warna segar maupun warna lapuknya, ukuran butir, bentuk
butir, kemas, pemilahan, kekerasan, mineral tambahan, struktur sedimen,
kandungan fosil dan lain-lain.
d. Analisis Struktur Geologi
Perlu dilakukan interpretasi topografi untuk melihat indikasi struktur
geologi yang meliputi interpretasi Citra Landsat, kerapatan garis kontur,
kelurusan sungai, kelurusan punggungan, pola pengaliran sungai dan sebagainya.
Semua indikasi yang telah ditemukan direkonstruksikan bersamaan dengan
rekonstruksi pola jurus batuan yang akan menghasilkan jenis, arah dan pola
struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut yang kemudian dituangkan
dalam Peta Pola Jurus. Untuk umurnya ditarik berdasarkan kesebandingan
regional atau berdasarkan umur satuan litologi yang dilaluinya.
1. Lipatan
Perlipatan merupakan hasil dari deformasi atau perubahan bentuk dan atau
volume dari suatu batuan yang ditunjukan sebagai suatu lengkungan atau
himpunan lengkungan pada unsur garis atau bidang-bidang dalam batuan.Unsur
garis atau bidang yang dimaksud adalah bidang perlapisan. Berdasarkan
bentuknya, maka lipatan dibagi atas :
1. Antiklin : lipatan dimana bagian cembungnya mengarah ke atas. Dalam hal ini
semakin tua batuannya semakin dalam letaknya. Jika batuannya telah
mengalami pembalikan maka lipatan itu dinamakan Synantiklin.
2. Sinklin : lipatan dimana bagian cekungannya mengarah keatas. Dimana
semakin muda batuannya semakin dalam letaknya. Jika batuannya telah
mengalami pembalikan maka lipatan itu dinamakan Antisinklin.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 52
Untuk mengamati adanya struktur perlipatan di lapangan yaitu dengan
melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan batuan, perulangan
urutan variasi litologi, pembalikan dengan menentukan top dan bottomnya yang
tidak sesuai dengan arah kemiringan lapisan.
2. Kekar
Kekar didefinisikan sebagai suatu rekahan pada kerak bumi yang belum
atau sedikit sekali mengalami pergeseran sepanjang bidangnya, akibat tekanan
yang lebih lanjut.Kekar memecahkan batuan dengan rekahan yang relatif halus
dengan panjang yang bervariasi mulai dari beberapa sentimeter sampai ratusan
meter. Secara genetik, kekar dapat dibedakan menjadi dua jenis (Hobs, 1976,
dalam Haryanto, 2003) yaitu :
1. Kekar gerus (shear joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya terbentuk
karena adanya kecenderungan untuk saling bergeser (shearing) searah bidang
rekahan.
2. Kekar tarik (Extensional joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya
terbentuk kadanya kecenderungan untuk saling menarik (meregang) atau
bergeser tegak lurus terhadap bidang rekahannya. Kekar tarikan dapat
dibedakan sebagai :
a. Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan
tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh cairan hidrothermal
yang kemudian berubah menjadi vein.
b. Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau
pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama.
Struktur ini biasa disebut dengan “stylolite”. Kekar merupakan salah satu
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 53
struktur yang sulit untuk diamati, sebab kekar dapat terbentuk pada setiap
waktu kejadian geologi, misalnya sebelum terjadinya suatu lipatan.
Kesulitan lainnya adalah tidak adanya atau relatif kecil pergeseran dari
kekar, sehingga tidak dapat ditentukan kelompok mana yang terbentuk
sebelum atau sesudahnya. Walaupun demikian, di dalam analisis, kekar
dapat dipakai untuk membantu menentukan pola tegasan, dengan
anggapan bahwa kekar-kekar tersebut pada keseluruhan daerah terbentuk
sebelum atau pada saat pembentukan sesar.
Analisa kekar digunakan dalam penentuan jenis sesar, hal ini dapat
diterapkan dengan menggunakan pemodelan Anderson (Gambar 3.4) dengan
patokan sebagai berikut :
1. σ1 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shearyang
mempunyai sudut sempit.
2. σ2 berada pada titik perpotongan antara 2 bidang Conjugate Shear
3. σ3 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shearyang
mempunyai sudut tumpul.
4. σ1 σ2 σ3.
5. Orientasi tensional joint searah dengan orientasiσ1.
6. Orientasi stylolites dengan orientasi σ1 atau searah dengan orientasi σ3
7. Bidang shear dan tensional akan membentuk sudut sempit.
8. Bidang shear dengan release joint akan membentuk sudut tumpul.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 54
Gambar 3.4.Klasifikasi sesar (Anderson, 1951 dalam Sitter, 1956) berdasarkan analisis kekar bentuk stereografi dan sistem tegasan
3. Sesar
Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan dapat
diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya dragfold (lipatan
seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar, gores-garis, breksiasi, zona-zona
hancuran, kelurusan mata air panas dan air terjun. Klasifikasi sesar telah banyak
dikemukakan oleh para ahli terdahulu, mengingat struktur sesar adalah rekahan
kekar di dalam bumi yang ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk
membuat analisis strukturnya diusahakan untuk dapat mengetahui arah dan
besarnya pergeseran tersebut.Indikasi sesar di lapangan tidak mudah untuk
ditemukan untuk itu pengolahan data kekar untuk mengetahui tegasan utamanya
dapat dilasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan orientasi tegasan utama
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 55
(Anderson, 1951 dalam Sitter, 1956) (Gambar 3.5) dan dinyatakan dalam σ1
(tegasan terbesar),σ2 (tegasan menengah), dan σ3. (tegasan terkecil) yang saling
tegak lurus satu sama lain secara triaksial. Sesar tersebut secara dinamik
diklasifikasikan menjadi :
1. Sesar normal, dimana σ1 vertikal dan σ2 serta σ3 horisontal. Besarnya sudut
kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60º.
2. Sesar mendatar, dimana σ2 vertikal dan σ1 serta σ3 horisontal.
3. Sesar naik, dimana σ3 vertikal dan σ1 dan σ2 horisontal. Kemiringan bidang
sesar mendekati 30º. Dalam hal ini, bidang sesar vertikal dan bergerak secara
horisontal.
Gambar 3.5.Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang terbentuk (Anderson, 1951 dalam Sitter, 1956)
Dalam merekonstruksi stuktur geologi dapat menggunakan pemodelan
stuktur.Pemodelan struktur yang dipakai penulis adalah berdasarkan Moody dan
Hill (1959 dalam Asikin, 1977) (Gambar 3.6). Berdasarkan percobaan yang
dilakukan oleh Moody dan Hill (1959 dalam Asikin, 1977) yang meneliti
hubungan tegasan utama terhadap unsur-unsur stuktur yang terbentuk, maka
muncul teori pemodelan sistem sesar mendatar Moody dan Hill sebagai berikut:
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 56
1. Jika suatu materi isotrofik yang homogen dikenai suatu gaya kompresi yang
menggerus (Shearing), akan membentuk lipatan, kemudian seiring
bertambahnya kompresi akan membentuk patahan naik. Selanjutnya pada
sudut 30° terhadap arah tegasan maksimum yang mengenainya, bidang
shear maksimum sejajar terhadap sumbu tegasan menengah dan berada 45°
terhadap tegasan kompresi maksimum. Rentang sudut 15° antara 45°
bidang shear maksimum dan 30° bidang shear yang terbentuk dipercaya
akibat adanya sudut geser dalam (internal friction).
2. Suatu kompresi stress yang mengenai materi isotropik yang seragam, pada
umumnya dapat dipecahkan kedalam tiga arah tegasan (maksimum,
menengah, dan minimum). Kenampakan bumi dari udara adalah suatu
permukaan yang tegasan gerusnya nol, dan sering kali berada tegak lurus
atau normal terhadap salah satu arah tegasan. Akibatnya salah satu dari arah
tegasan akan berarah vertikal.
3. Orde kedua dalam sistem tegasan ini muncul dari tegasan yang berarah 30o-
45° dari tegasan orde pertama atau tegak lurus terhadap bidang gerus
maksimum orde pertama. Bidang gerus orde kedua ini akan berpola sama
dengan pola bidang gerus yang terbentuk pada orde pertama.
4. Orde ketiga dalam sistem ini arahnya akan mulai menyerupai arah orde
pertama, sehingga tidak mungkin untuk membedakan orde keempat dan
seterusnya dari orde pertama, kedua dan orde ketiga. Akibatnya tak akan
muncul jumlah tak terhingga dari arah tegasan. Sistem ini dipecahkan
kedalam delapan arah shear utama empat antiklinal utama, dan arah
patahan naik untuk segala province tektonik. Dalam kenyataan di lapangan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 57
kenampakan orde pertama dan orde kedua dapat kita bedakan dengan
mudah, namun kenampakan orde ketiga dan orde-orde selanjutnya pada
umumnya sulit sekali untuk ditemukan.
Gambar 3.6.Pemodelan Sesar berdasarkan Moody danHill, 1959 dalam Asikin, 1977
Selain itu, analisis struktur dari data lapangan juga didukung dari teori
klasifikasi sesar menurut Rickard (1972 dalam Haryanto, 2003) yang
memperlihatkan cara penentuan nama bagi sesar translasi(Gambar 3.7).
Karakteristik penamaan oleh Rickard (1972) adalah mengkombinasikan
besar kemiringan bidang sesar dengan besar sudut pitch. Berdasarkan kombinasi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 58
tersebut yang kemudian di plot pada diagram, menghasilkan penamaan sesar
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Apabila pitch kurang atau sama dengan 10o, maka sesar dinamakan sesar
mendatar, baik dekstral (menganan) atau sinistral (mengiri). Dalam
klasifikasi ini dinamakan sebagai right slip fault atau left slip fault.
Ditunjukan pada zona sesar mendatar berwarna abu abu pada gambar 3.7.
2. Apabila pitch 80o sampai 90o, dengan memperhatikan pergerakan sesar
(naik atau normal) maka akan diberi nama normal fault atau reverse fault.
Namun apabila kemiringan bidang sesar kurang dari 45o dengan pitch yang
sama dengan ketentuan tersebut maka untuk sesar normal akan dinamakan
lag normal fault (low angel normal fault) atau sesar normal bersudut kecil,
dan untuk sesar naik dinamakan thrust fault atau sesar anjak. Ditunjukan
pada zona sesar normal dan naik dengan warna abu abu pada gambar 3.7.
3. Apabila pitch pada sesar mendatar lebih besar dari 10o dan kurang atau
sama dengan 45o, maka sesar merupakan sesar mendatar yang memiliki
pergerakan naik atau turun. Dalam penamaan, pergerakan naik atau turun
tersebut menjadi keterangan pergerakan sesar mendatar tersebut, misalnya
sesar mendatar mengiri (sinistral) normal dengan ciri pitch lebih besar
dari 10o dan kurang atau sama dengan 45o serta kemiringan bidang sesar
50o maka dinamakan normal left slip fault. Apabila kemiringan sesar
kurang dari 45o dengan pergerakan yang sama, maka disebut sebagai lag
left slip fault. Hal tersebut juga berlaku untuk pergerakan naik. Ditunjukan
pada zona sesar mendatar bagian putih pada gambar 3.7.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 59
4. Apabila pitch lebih dari 45o.dan kurang dari 80o, dengan pergerakan
normal atau naik, maka sesar tersebut juga memiliki kinematika
pergeseran mendatar (menganan atau mengiri). Apabila bidang lebih dari
45o, maka dapat dinamakan right slip normal fault, right slip reverse fault,
left slip normal fault atau left slip reverse fault. Hal tersebut juga berlaku
untuk lag fault dan reverse fault. Ditunjukan pada zona sesar naik dan
normal bagian putih pada gambar 3.7.
Gambar 3.7.Klasifikasi Sesar menurut Rickard(1972 dalam Haryanto, 2003)
e. Analisis Sejarah Geologi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 60
Klasifikasi sesar menurut Rickard, 1972
1. Thrust Slip Fault 12. Lag Slip Fault
2. Reverse Slip Fault 13. Normal Slip Fault
3. Right Thrust Slip Fault 14. Left Lag Slip Fault
4. Thrust Right Slip Fault 15. Lag Left Slip Fault
5. Reverse Right Slip Fault 16. Normal Left Slip Fault
6. Right Reverse Slip Fault 17. Left Normal Slip Fault
7. Right Slip Fault 18. Left Slip Fault
8. Lag Right Slip Fault 19. Thrust Left Slip Fault
9. Right Lag Slip Fault 20. Left Thrust Slip Fault
10. Right Normal Slip Fault 21. Left Reverse Slip Fault
11. Normal Right Slip Fault 22. Reverse Left Slip Fault
Analisis sejarah geologi bertujuan untuk menguraikan suatu seri kejadian
geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan kejadiannya, dimulai dari yang
pertama terbentuk hingga yang terakhir ataupun yang sekarang sedang terjadi.
3.1.5. Penyusunan Laporan Skripsi
Penyusunan skripsi dilakukan setelah tahapan kegiatan lapangan selesai.
Penyusunan skripsi menggunakan data – data lapangan yang dikompilasikan
dengan hasil analisa laboratorium dan pekerjaan studio. Komponen yang dibahas
dalam skripsi berupa informasi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, aspek
alterasi hidrotermal, mineralisasi, dan sejarah geologi. Pembahasan dan
pengkajian semua aspek ini secara sistematik, diharapkan kerangka geologi
daerah penelitian dapat dipahami dengan lebih baik disamping kehadiran gejala
mineralisasi.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 61
Gambar 3.8. Diagram Alir Penelitian
Tabel 3.4. Jadwal Rencana Kegiatan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 62
Analisis
Petrografi
Tahap Pendahuluan
Tahap Penelitian Lapangan
Tahap Pekerjaan Laboratorium
Administrasi
3.1.6.Diagram Alir Penelitian
ProposalKajian
Pustaka
Perlengkapan
Lapangan
Pengamatan
Singkapan
Analisis
Terraspec
Sampling Pemetaan
Geologi
Pengambilan data
Struktur dan
Mineralisasi
Sketsa
dan
Foto
Studio
Peta Lintasan
dan Lokasi
Pengamatan
Peta Struktur
dan
Mineralisasi
Peta
Geologi
Peta
Geomorfologi
Penyusunan Skripsi
Analisis
Struktur
Presentasi Hasil
Tahap Interpretasi
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 63
BAB 1V
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
4.1 Geomorfologi
4.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi
Analisis kondisi geomorfologi merupakan rangkaian penjelasan terhadap
kenampakan situasi dan kondisi morfologi sesungguhnya pada daerah penelitian
yang terekam sebagai akibat dari proses-proses geologi yang pernah terjadi pada
masa lampau ataupun sekarang.Analisis yang dilakukan berupa analisis pada peta
topografi, citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) maupun pengamatan
langsung di lapangan. Interpretasi berdasarkan kenampakan susunan kontur pada
peta topografi yang ada, didukung dengan kemampuan menganalisa karakteristik
geomorfologi daerah penelitian sehingga dapat memperoleh hasil antara lain
berupa data pola perbukitan, punggungan dan lembah, jurus dan kemiringan
lapisan, serta gejala sesar (Gambar 4.10). Selain itu, analisis yang dilakukan juga
menghasilkan informasi mengenai proses-proses geomorfik yang telah atau
sedang berlangsung seperti denudasi, erosi, pengendapan,kemudian kaitan proses-
proses tersebut terhadap bentukan asal morfologi daerah Gunung Bujang dan
sekitarnya menjadi seperti sekarang.
Analisis kondisi geomorfologi daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
berdasarkan pada pengamatan peta kontur, citra Shuttle Radar Topographic
Mission (SRTM), dan pengamatan langsung di lapangan, menunjukkan bentang
alam bergelombang yang relatif rendah, terdiri dari perbukitan dan lembah. Titik
tertinggi yaitu ± 1937,5 mdpl berada di bagian baratdaya (daerah bukit Kayu
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 64
Aro), sedangkan titik terendah yaitu ± 962,5 mdpl berada di bagian timurlaut
(daerah Hilir sungai Tangkui).
Kenampakan bentang alam berdominasi perbukitan di daerah Gunung
Bujang dan sekitarnya, umumnya dikontrol oleh struktur geologi pada daerah
penelitian dan juga pengaruh resistensi (tingkat kekerasan) dari suatu lapisan
batuan. Keberadaan batuan beku yang lebih bersifat resisten terhadap proses
erosional dengan pelamparannya hampir pada seluruh daerah penelitian menjadi
bukti pendukung terbentuknya morfologi sekarang. Pada daerah penelitian,
pengaruh struktur geologi terhadap pembentukkan morfologi sekarang relatif
intensif, hal ini terbukti dengan banyaknya didapatkan data struktur shear
fracture, tension, fracture filing atau veins, breksiasi, yang pada umumnya berada
pada satuan Lava Andesit pada bagian timur peta memanjang dari utara ke selatan
daerah penelitin. Sedangkan untuk keberagaman litologinya terdiri dari, lava
andesit, intrusi diorit dan diorite kuarsa, serta breksi vulkanik. Pola kelurusan
yang ditemukan di daerah Gunung Bujang dan sekitarnya merupakan manifestasi
untuk mengidentifikasikan keberadaan struktur geologi. Pada bentang alam
perbukitan/pegunungan yang disusun oleh lava andesit, terlihat adanya banyak air
terjun dengan elevasi relatif besar (Gambar 4.7) yang menunjukkan bahwa tingkat
resitensi lava andesit lebih besar dibandingkan batuan lainnya serta dikontrol oleh
struktur minor (rekahan) yang memungkinkan air mampu melewati bidang lemah
satuan batuan tersebut.
Bentang alam dataran rendah berupa lembah-lembah pada peta penelitian
merupakan sebagai zona struktur sesar yang mengalami deformasi batuan
sehingga menjadi jalur masuknya air meteorite yang kemudian mengikis (erosi)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 65
dan melapukan batuan yang dilewatinya. Proses pengikisan (erosi) dan pelapukan
yang lama dan menerus kemudian menjadikan zona tersebut sebagai zona
endapan aluvial dengan ukuran sampai bongkah. sebagai hasil erosi vertikal yang
masih terjadi dan tertransportasi cukup jauh melalui air sungai.
Proses eksogen yang terjadi pada saat sekarang adalah pelapukan batuan
dan erosi intensif. Tahapan geomorfik di daerah penelitian adalah muda hingga
dewasa yang ditunjukkan dengan adanya lembah sungai yang berbentuk “V” dan
“U”.Tahapan geomorfik muda dicirikan oleh bentuk sungai “V” (Gambar 4.6)
dengan lembah sungai yang relatif sempit dan erosi yang dominan berarah
vertikal. Tahapan geomorfik dewasa ditunjukkan dengan ciri-ciri lembah sungai
berbentuk “U” (Gambar 4.7) dengan erosi lateral yang lebih dominan, namun
pada daerah penelitian belum sampai pada tahap terbentuknya meander, dan
belum terbentuk dataran banjir (Gambar 4.5).
4.1.2 Analisis Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai
Analisis baik pada pola aliran sungai maupun tipe genetik sungai yang
dilakukan untuk mengetahui proses-proses geologi yang telah berperan dalam
pembentukan bentang alam pada daerah penelitian sekarang. Jenis-jenis pola
aliran dan tipe genetik seperti yang telah dijabarkan dalam bab pendahuluan
merupakan kunci dalam analisis ini. Pada daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
memiliki sungai-sungai dengan pola aliran rectangular karena jenis pola
pengaliran membentuk percabangan tegak lurus terhadap sungai utama, dan
memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.tersusun atas Kekar atau
sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan lapisan batuan,
dan sering (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, 1985). Daerah Gunung Bujang
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 66
memiliki dua daerah aliran sungai (DAS) yang pada akhirnya bermuara ke Sungai
Tangkui (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Pola aliran dan tipe genetik sungai daerahpenelitian
Terdapat dua sungai besar yang membagi dua zona pada daerah penelitian
(Gambar 4.2), yaitu sungai Tangkui dan sungai Batu Licin yang pada bertemu
menjadi satu aliran sungai yang disebut sungai Tangkui. Sungai-sungai tersebut
tergolong dalam jenis sungai menuju dewasa pada tahapan geomorfiknya, terlihat
dari bentuk sungai yang berbentuk “U”, namun erosi yang terjadi berupa erosi
vertikal sampai lateral, dan memiliki arah aliran yang searah dengan kemiringan
lereng awal dan struktur utama sehingga keduanya digolongkan ke dalam sungai
dengan tipe genetik konsekuen (Davis, 1875) (Gambar 4.2). Menurut Davis,
Keberadaan sungai – sungai tua yang pada saat ini memotong semua struktur dan
diduga menjadi arah kemiringan lereng, namun terbentuk pada topografi yang
baru adalah sungai resekuen. Namun pada daerah penelitian sungai resekuen yang
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 67
terjadi secara umum masih searah dengan struktur-struktur yang ada, menurut
interpretasi penulis, hal ini disebabkan karena karakter batuan yang resisten.
Gambar 4.2. Pertemuan sungai Tangkui dan Batu Licin yang termasuk dalam tipe genetik konsekuen memperlihatkan arah aliran sungai yang searah dengan
arah kemiringan lereng awal (Davis, 1875)
Sungai Kematus yang mengalir dari selatan ke utara ini merupakan cabang
sungai Tangkui berada di bagian selatan daerah penelitian bertipe genetik
resekuen, yaitu tipe sungai dengan arah aliran yang searah dengan kemiringan
lereng awal pada topografi baru (Davis, 1875) (Gambar 4.3), serta dengan
karakteristik erosi vertikal yang relatif masih intensif pada dinding-dinding sungai
tersebut. Berdasarkan tahapan geomorfiknya sungai ini tergolong dalam jenis
sungai stadia menuju dewasa terlihat dari bentuk dinding sungai yang masih
berbentuk relatif “V”, memiliki karakteristik arus sungai yang deras sampai
sedang, serta material bawaan atau fragmen lepasan yang relatif berukuran
bongkah sampai brangkal. Secara umun terbentuknya sungai ini hanya dikontrol
oleh proses pelapukan yang membuka rekahan sebagai jalur mengalirnya air dan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 68
N 100 E
Sungai Tangkui
Arah aliran Sungai
Sungai Batu Licin
Arah Sungai gArah Kemiringan
lereng
Sungai menuju
dewasa
proses erosi, terbukti tidak ditemukannya bukti data struktur geologi baik berupa
shear fracture, tension, maupun breksiasi disepanjang sungai ini maupun efek
resistensi batuan dasar.
Gambar 4.3. Sungai Kematusyang termasuk dalam tipe genetik resekuen yang memperlihatkan arah aliran sungai yang searah dengan arah kemiringan lereng pada
topografi baru (Davis, 1875)
Sungai Telusewu yang juga merupakan cabang sungai Tangkui berada di
bagian barat daerah penelitian mengalir dari barat ke timur, memiliki arah aliran
yang searah dengan kemiringan lereng dan struktur sehingga digolongkan juga ke
dalam sungai dengan tipe genetik resekuen (Davis, 1875) (Gambar 4.4), memiliki
tipe erosi vertikal relatif intensif. Proses pembentukan sungai ini diakibatkan oleh
proses struktural berupa sesar lokal yang membentuk jalur mengalirnya air dan
juga proses erosi, terbukti dari banyaknya ditemukan air terjun dengan elevasi
yang relatif besar (Gambar 4.5). Jenis sungai ini tergolong dalam sungai menuju
dewasa, terlihat dari bentuk dinding sungai yang juga masih berbentuk
“V”,memiliki material lepasan berukuran bongkah sampai brangkal, namun
dengan arus yang relatif kecil sampai sedang.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 69
Arah aliran sungai
Arah kemiringan lereng
N 1580 E
Gambar 4.4. Sungai Telusewu yang termasuk dalam tipe genetik resekuen dengan arah aliran searah dengan kemiringan lereng (Davis, 1875)
Gambar 4.5. Air Terjun (waterfall) di sungai Telusewu
Pada bagian utara daerah penelitian terdapat sungai Sako yang mengalir
dari barat ke timur. Sama seperti sungai sebelumnya, sungai ini memilki tipe
aliran sungai yang searah dengan arah kemiringan lereng yaitu bertipe resekuen
(Davis, 1875) (Gambar 4.6) dan tergolong dalam sungai menuju dewasa. Proses
pembentukan sungai ini juga dikontrol oleh proses struktural pada batuan
dasarnya yaitu Andesit. Sama seperti sungai Telusewu, sungai Sako juga banyak
ditemukan morfologi air terjun dengan elevasi yang juga cukup besar (Gambar
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 70
Kemiringan Lereng
Air Terjun/waterfall
N 2560 E
N 2800 E
Arah aliran sungai
Longsoran
4.7). Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
batuan dasar menyebabkan adanya keberadaan sungai yang berbelok-belok
(rectangle) karena pengaruh resistensi batuan dan juga pengaruh adanya kontrol
struktur geologi didalamnya. Pada sepanjang sungai dan anak sungai ini memilki
tipe aliran sungai yang sama.
Gambar 4.6. Sungai Sako yang termasuk dalam tipe genetikresekuen memperlihatkan arah aliran sungaiyang searah dengan arah kemiringan lereng
(Davis, 1875)
Gambar 4.7. Kenampakan air terjun (waterfall) di Sungai Sako
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 71
N 2700 E
Air Terjun/waterfall
N 2600 E
Arah kemiringan lereng
Air Terjun (Waterfall)
Arah Aliran Sungai
Pada bagian timur daerah penelitian terdapat sungai Medang yang
mengalir dari timur ke barat terdapat sungai dengan tipe aliran yang sama seperti
pada sungai Sako dan Telusewu, namun secara keseluruhan aliran sungai ini
masih berada diatas batuan dasarnya yang masih tersingkap dengan jelas. Hal ini
membuktikan bahwa erosi yang terjadi belum terlalu jauh dan diperkuat dengan
bentuk dinding sungai yang masih relatif “V” dan keberadaan morfologi air terjun
yang cukup banyak dan berteras-teras, serta arus sungai yang relatif sedang
sampai besar (Gambar 4.8). Berdasarkan penjelasan diatas telah menandakan
bahwa sungai ini terbentuk oleh proses struktural yang ada secara intensif.
Gambar 4.8.kenampakan sungai dan air terjun (waterfall) di sungai Medang.
Gambar 4.9. Sungai Medang yang termasuk dalam tipe resekuen (Davis, 1875)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 72
N 1100 E
Arah kemiringan lereng
Arah aliran sungai sungai
N 1350 E
N 960 E
Pada daerah penelitian memiliki suatu keistimewaan dengan keberadaan
sungai-sungai yang relatif sebagai bidang lemah terbentuknya kelurusan-
kelurusan struktur geologi yang terjadi. Sungai-sungai yang terbentuk berada pada
satuan batuan yang relatif homogen dan kristalin. Hal ini menjadi bukti bahwa
karakteristik satuan batuan yang dilewati kelurusan-kelurusan tersebut merupakan
jenis batuan yang memiliki tingkat britle batuan yang lebih besar dan semakin
mudah untuk sampai ke batas diskontinuitas deformasi yaitu terbentuknya kekar-
kekar dan sesar. Keberadaan sungai-sungai yang ada relatif sebagai pengontrol
geomorfologi daerah penelitian. Maka dapat disimpulkan bahwa secara dominan
geomorfologi daerah penelitian dikontrol oleh struktur geologi. Pada sungai-
sungai yang ditemui juga banyak didapat urat-urat kuarsa yang pada umumnya
berarah tegak lurus dengan arah aliran sungai. Keberadaan urat-urat tersebut
menandakan bahwa terjadi proses hidrotermal pada daerah tersebut. Secara umum
sungai-sungai yang ada pada daerah penelitian tergolong dalm sungai jenis
resekuen yaitu sungai dengan arah aliran yang searah dengan kemiringan lereng
dan struktur (Davis, 1875). Secara keseluruhan sungai yang mengalir searah
dengan kemiringan lereng bearah W-E (barat-timur) dan struktur yang ada,
misalnya ; sungai Medang, s.Banyak Telun, s. Batu Kursi, s. Jejak Kambing.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 73
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 74
Urat-urat kuarsa
Gambar 4.10.Kenampakan kelurusan sungai dan urat-urat kuarsa sebagai manifestasi struktur geologi
pengontrol geomorfologi daerah penelitian
N 3580 E
4.1.3 Satuan Geomorfologi
Suatu pembagian satuan geomorfologi yang diinterpretasikan berdasarkan
karakteristik bentuk muka bumi daerah peneliatian sebagai akibat dari proses baik
eksogen maupun endogen yang telah terjadi sampai sekarang merupakan acuan
penentu dalam penamaannya.
Gambar 4.11. Peta geomorfologi daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan penulis mengklasifikasikan
cakupan geomorfologi daerah penelitian menurut kombinasi klasifikasi Van
Zuidam (1985) berdasarkan perhitungan persen lereng (Gambar 4.12) menjadi
empat satuan geomorfologi (Gambar 4.11) berdasarkan karakteristik
morfologinya yang dikontrol oleh faktor litologi, struktur, maupun proses-proses
geomorfik seperti pelapukan, pelarutan, erosi, dan pengendapan. Keempat satuan
geomorfologi tersebut antara lain adalah Satuan Perbukitan Terjal Struktural (S2),
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 75
A
B
Satuan Perbukitan Terjal Sedang Struktural (S2), Satuan Perbukitan Terjal Sedang
Terisolir, dan Dataran Endapan Aluvial.
Gambar 4.12. Peta Persen Lereng
Tabel 4.1. Perhitungan persen lereng
4.1.3.1 Satuan Pegunungan Terjal Struktural (S2)
Penamaan morfometri “Pegunungan” satuan ini berdasarkan kenampakan
topografi berupa tinggian-tinggian dengan titik tinggi berbeda-beda (dengan
kemiringan lereng 30 – 62,5 %) pada satuan batuan dengan komposisi batuan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 76
kristalin atau homogen secara dominan berasal dari hasil aktivitas gunungapi
(produk vulkanik), walaupun juga dijumpai batuan yang heterogen seperti batuan
breksi.
Satuan ini meliputi 40% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna
ungu tua sesuai kaidah aspek genetik bentuk asal lahan struktural pada peta
geomorfologi (Van Zuidam, 1985). Satuan ini mempunyai ketinggian minimum
pada titik 962,5 mdpl pada timurlaut (N-E) satuan (Gambar 4.14) dan ketinggian
maksimum pada titik 1900 mdpl dengan kemiringan batuan berkisar 30o-35o pada
bagian baratdaya (S-W) satuan (Gambar 4.13).
Gambar 4.13. Kenampakan satuan perbukitan terjal struktural bagian barat pada daerah penelitian
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 77
B.Batu KursiB.Batu Putih
B.Sako
N 3050 E
Gambar 4.14. Kenampakan satuan perbukitan terjal struktural bagian timur pada daerah penelitian
Litologi pada satuan ini terdiri dari diorit kuarsa, breksi dan lava andesit
yang merupakan jenis batuan yang memiliki tingkat resistensi yang kuat terhadap
erosi, namun mempunyai tingkat britle batuan yang relatif rentan terhadap adanya
aktivitas tektonik. Stadia sungai pada satuan geomorfolgi ini tergolong kedalam
sungai menuju dewasa, terlihat dari sungai yang ada pada satuan geomorfologi ini
relatif masih sempit berbentuk relatif “V”(Gambar 4.16),dengan tebing relatif
agak curam sampai curam yang terdiri dari batuan dasar.
Tipe genetik sungai pada satuan ini didominasi oleh tipe resekuen karena
searah dengan kemiringan lereng (Davis, 1875) yang ada pada daerah penelitian.
Pola aliran sungai pada satuan geomorfologi ini adalah rektangulardengan
sungai-sungai yang relatif bercabang-cabang dengan pola tegak lurus terhadap
sungai utama (sungai Tangkui dan Batu Licin) yang terbentuk oleh proses
struktural yang berkembang di wilayah penelitian, dan juga bentuk sungai yang
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat kekerasan batuan (resistensi batuan). Satuan
ini ditandai dengan perbukitan-perbukitan terjal yang memanjang dari utara–
selatan pada satuan geomorfologi ini. Untuk satuan geomorfologi ini, lahan
dimanfaatkan sebagai areal IUP projek Jambi untuk kegiatan eksplorasi emas.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 78
B.MaduN 350 E
Bentukan morfologi satuan ini pada umumnya terbentuk karena adanya
aktivitas tektonik yang intensif dan mungkin masih berlangsung sampai saat ini.
Pengaruh tektonik yang cukup intensif sebagai proses awal terbentuknya aliran air
yang mengisi dan mengikis ruang retakan akibat aktifitas tektonik tersebut baik
pada struktur minor (rekahan) maupu struktur major (sesar) (Gambar 4.15).
Elevasi pada daerah pemetaan ini dengan kemiringan lereng sekitar 30-62,5%
mengidentifikasikan aktifitas tektonik terhadap karakteristik batuan sangat
berpengaruh pada satuan geomorfologi ini.
Gambar 4.15. Kenampakan rekahan-rekahan akibat aktifitas tektonik sebagai jalur erosi air
Gambar 4.16. Kenampakan dipslope pada satuan perbukitan terjal struktural pada litilogi lava andesit
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 79
N 2550 E
Dip/slope : 30-60,5%
Rekahan-rekahan
N 2740 E
Beberapa daerah pada satuan ini memiliki kemiringan lereng hingga lebih
dari 45o (Gambar 4.16). Hal ini menandakan bahwa pada satuan memiliki
morfometri hingga “sangat terjal”, namun secara dominasi tetap tergolong
morfometri “terjal”
4.1.3.2 Satuan Pegunungan Terjal Sedang Struktural (S2)
Penamaan morfometri “Pegunungan” pada satuan ini mengacu pada
kenampakan topografi berupa tinggian dengan titik tinggi yang berbeda-beda
yaitu, 14o-16o (kemiringan lereng berkisar 15% – 30%), sedangkan untuk
penamaan morfogenesanya mengacu pada batuan penyusun yang merupakan
batuan hasil aktivitas tektonik (struktural) berupa sesar-sesar mendatar. Adapun
penamaan “Struktural” secara lebih detail berdasarkan klasifikasi Van Zuidam
(1985).
Satuan ini meliputi 45% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna
ungu muda sesuai kaidah aspek genetik pada peta geomorfologi (Van Zuidam,
1985). Satuan ini mempunyai ketinggian minimum pada titik 937,5 mdpl (Gambar
4.19) dan ketinggian maksimum pada titik 1950 mdpl (Gambar 4.17).
Litologi pada satuan ini terdiri dari lava andesit pada bagian selatan satuan
diorite pada bagian utara, serta litologi breksi. Stadia sungai pada satuan
geomorfolgi ini tergolong kedalam sungai menuju muda, dimana sungai yang ada
pada satuan geomorfologi ini relatif sempit berbentuk huruf hampir “U” (Gambar
4.20), dengan tebing terjal sampai landai yang terdiri dari batuan dasar dan
memiliki ciri aliran arus yang relatif kuat sampai sedang.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 80
Gambar 4.17. Kenampakan satuan Perbukitan Terjal Sedang Struktural (S2) bagian barat
Gambar 4.18. Kenampakan satuan Perbukitan Terjal Sedang Struktural (S2) bagian timur
Gambar 4.19. Kenampakan satuan Perbukitan Terjal Sedang Struktural (S2) bagian tengah
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 81
B.Tangkui Hulu B.Batu KursiB.Sako
B.Madu
B.Janda Kincul
B.Kayu Aro
JR1
JR2
N 3050 E
N 350 E
N 3470 E
Tipe genetik sungai pada satuan ini didominasi oleh tipe resekuen yang
pola alirannya searah dengan arah kemiringan lereng. Pola aliran sungai pada
satuan geomorfologi ini adalah rektangular, terbukti adanya sungai-sungai yang
berpola tegak lurus dengan sungai utama, yang terbentuk oleh proses struktural
yang berkembang di wilayah penelitian, dan juga bentuk sungai yang dipengaruhi
oleh perbedaan tingkat resistensi batuan. Pengaruh struktur yang cukup intensif
terbukti dari banyaknya ditemukannya rekahan-rekahan (struktur minor) pada
batuan dasar penyusun satuan geomorfologi ini (Gambar 4.21). Secara umum
satuan ini ditandai dengan perbukitan dan lereng sungai yang memanjang dari
utara – selatan pada bagian tengah daerah pemetaan.
Gambar 4.20. Kenampakan sungai stadia menuju muda dengan tipe genetik sungai resekuen
Gambar 4.21. Kenampakan Struktur minor berupa kekar berpasangan (shear fracture)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 82
Kemiringan Lereng
Aliran sungai
N 1840 E
4.1.3.3 Satuan Dataran Endapan Aluvial
Satuan ini meliputi 10% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna
biru sesuai kaidah aspek genetik pada peta geomorfologi (Van Zuidam, 1985).
Satuan ini mempunyai ketinggian minimum pada titik 987,5 mdpl dan ketinggian
maksimum pada titik 1350 mdpl (Gambar 4.24).
Penamaan morfometri “dataran” berdasarkan perhitungan persen lereng
umum dengan slope yang landai yaitu sekitar 0o–2o (Van Zuidam, 1985). Elevasi
yang lebih rendah dari pada satuan sebelumnya menandakan bahwa satuan ini
memiliki tingkat resistensi yang lebih rendah terhadap proses erosi. Hal tersebut
dibuktikan dari data lapangan bahwa batuan penyusun unit satuan ini adalah
material – material lepasan yang pada umumnya merupakan material transportasi
sungai (berdasarkan kenampakan ukuran kerikil-bongkah (±0,5cm-3m) dan
bentuk material lepasan yang relatif menyudut tanggung sampai membundar
tanggung. Litologi pada satuan ini terdiri dari material lepas yang merupakan hasil
rombakan batuan alterasi yang teralterasi dan tidak jauh terbawa oleh arus air.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 83
Gambar 4.24. Kenampakan Satuan Dataran Endapan Aluvial pada daerah penelitian
Material pada satuan ini pada umumnya terdiri dari material lepasan mulai
berukuran bongkah sampai berukuran kerakal berupa batuan yang homogen yaitu
batuan lava andesit yang teralterasi yang diidentifikasi sebagai jenis batuan yang
berasal dari produk vulkanik (Gambar 4.25). Stadia sungai pada satuan
geomorfologi ini tergolong kedalam sungai menuju dewasa, dimana sungai yang
ada pada satuan geomorfologi ini relatif cukup lebar berbentuk huruf hampir “U”
(Gambar 4.25). Pada satuan ini belum terdapat dataran banjir yang cukup luas,
karena pada pinggiran sungainya masih berupa dinding-dinding batuan dasar
(Gambar 4.26).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 84
N 3490 E
Gambar 4.25. Kenampakan sungai Tangkui stadia menuju muda dengan tipe genetik sungai Konsekuen (Davis, 1875)
Gambar 4.26. Kenampakan dinding sungai yang merupakan batuan dasar pada sungai Tangkui
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 85
Kemiringan Lereng
Aliran sungai
Batuan Dasar pada dinding sungai
Ukuran material
lepasan
N 1880 E
N 2450 E
4.2 Stratigrafi
Stratigrafi merupakan salah satu cara dalam menjelaskan karakteristik
berkaitan dengan pemeriaan fisik sampai ketebalan satuan batuan, urutan
berkaitan dengan umur batuan, dan genesa atau proses pembentukan suatu batuan,
serta menafsirkan lingkungan pengendapan. Metode ini ditampilkan dalam bentuk
kolom stratigrafi yang didalamnya menampilkan seperti yang dijelaskan diatas.
Umur geologi pada suatu batuan sangat berkaitan erat dengan lingkungan
pengendapannya. Tiap lingkungan pengendapan memiliki identifikasi umur
geologi yang berbeda-beda. Hal ini berarti bahwa identifikasi atau analisa pada
lingkungan pengendapan laut (analisa fosil) akan berbeda dengan lingkungan
pengendapan darat (Dating).
Pembagian satuan batuan di daerah penelitian didasarkan pada sistem
pembagian tatanama tidak resmi, yaitu pengelompokan lapisan batuan secara
bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan ciri – ciri litologinya. Meliputi
jenis dan kombinasi batuan, serta kesamaan ciri atau gejala litologi batuan yang
dapat diamati di lapangan.
Pembagian satuan batuan juga didasarkan pada dominasi batuan yang
tersingkap di daerah penelitian. Berdasarkan ciri – ciri litologi yang dominan,
perbedaan antara batuan yang satu dengan batuan lainnya, serta posisi stratigrafi
yang diamati di lapangan, maka stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi menjadi
5 (lima) satuan batuan dan satu satuan Endapan Aluvial (Lampiran F).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 86
Secara umum semua litoligi yang didapat di daerah penelitian relatif telah
teralterasi kuat sampai lemah. Adapun pembagian satuan batuan yang ada
berdasarkan periode mineralisasi yang terjadi, maka satuan batuan dapat dibagi
menjadi Pre-mineralisasi mencakup satuan breksi vulkanik tua, lava andesit,
diorit, dan breksi vulkanik muda. Pada Post-mineralisasi yaitu satuan endapan
aluvial.
Alterasi yang terjadi pada batuan secara umum dapat berupa hasil
pelapukan atau pengaruh langsung larutan hidrotermal. Dalam proses identifikasi
terhadap kenampakan antara batuan hasil alterasi hidrotermal dan alterasi
pelapukan sering terjadi kesulitan untuk membedakannya. Oleh sebab itu, pada
beberapa sampel batuan penulis membutuhkan alat analisa berupa Terraspec
untuk mengetahuinya. Pada umumnya alat Terraspec ini digunakan hanya untuk
mendeteksi mineral alterasi berupa mineral lempung, sedangkan mineral lainnya
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 87
Gambar 4.27. Peta geologi daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
Satuan Breksi Vulkanik Tua
Satuan Lava Andesit
Satuan Diorit
Satuan Breksi Vulkanik muda
Satuan Endapan Aluvial
Satuan Diorit Kuarsa
tidak dapat dideteksi atau null. Pemilihan alat ini dalam penentuan mineral-
mineral alterasi pada daerah penelitian dikarenakan alat ini bersifat portable atau
mudah dibawa, dan efektif dalam melakukan kegiatan analisanya di lapangan.
Gambar 4.28. Kolom urutan pembentukan batuan daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 88
Berdasarkan data di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa daerah
Gunung Bujang dan sekitarnya memiliki lima satuan batuan yang
diidentifikasikan berdasarkan ciri litologinya dan selanjutnya dilakukan analisis
petrografi untuk mengetahui komposisi mineral, penamaan batuan, umur
berdasarkan kesebandingan untuk mengetahui waktu pengendapan, dan
lingkungan pengendapan.
Adapun urutan satuan batuan dari tua ke muda berturut-turut adalah satuan
breksi vulkanik tua, lava andesit, satuan diorit kuarsa, satuan breksi vulkanik
muda, satuan diorit dan satuan endapan aluvial. Kelima satuan batuantersebut
disusun dalam suatu kolom stratigrafi umum selanjutnya disetarakan dengan
formasi batuan yang telah diamati oleh peneliti sebelumnya (Gambar 4.28).
4.2.1 Satuan Breksi Vulkanik Tua
4.2.1.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan breksi vulkanik tua ini meliputi ±6% dari luas daerah penelitian
ditandai dengan warna coklat pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran satuan
ini berada di hulu sungai Tangkui sampai sungai Batu Lidah yang berada di
bagian utara daerah penelitian dalam arah utara-selatan (N-S). Satuan ini
tersingkap dengan baik terutama di sepanjang dinding tepi sungai hulu Tangkui
sampai lantai sungai Batu Lidah (Gambar 4.29). Pada umumnya satuan ini
ditentukan berdasarkan dominasi breksi vulkanik yang didapat, walaupun
sebenarnya satuan ini diselingi juga oleh litologi andesit yang cukup segar
sampailapuk sedang.
Pembentukan breksi yang terbentuk sebagai hasil rombakan batuan yang
telah terbentuk sebelumnya memiliki penyebaran yang cukup luas, namun
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 89
berbeda halnya dengan keterdapatan satuan breksi pada daerah penelitian penulis.
Hal tersebut dikarenakan, kontrol struktur kompleks mengupas satuan ini,
sehingga tersingkap secara setempat. Litologi penyusun satuan ini sangat kompak
dengan ukuran fragmen batuan yang relatif kecil (kerikil), yang telah mengalami
transportasi sungai yang cukup jauh terbukti dari bentukan fragmen penyusun
menyudut tanggung hingga membundar tanggung. Keterdapatan fragmen
penyusun hingga matriks yang berasal dari litologi yang lebih tua berupa kuarsit.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketebalan satuan ini
diperkirakan < 150 meter.Penentuan ketebalan satuan ini berdasarkan
keberadaannya yang setempat dan kontruksi penampang sayatan geologi
(Lampiran A).
Gambar 4.29.Singkapan breksi tua di sungai hulu Tangkui
4.2.1.2 Ciri Litologi
Satuan breksi polimik ini tersusun oleh fragmen andesit, kuarsit, tuf
berukuran kerakal-kerikil, matriks andesit, tuf, serta semen silika dan sedikit gelas
satuan ini diselingi litologi andesit yang teralterasi lemah, memiliki karakteristik
yang sama seperti andesit pada satuan lava andesit. Litologi penyusun pada satuan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 90
N 1150 E
batuan ini sangat unik dengan karakteristi fisik yang berbeda baik terhadap breksi
pada satuan breksi polimik maupun breksi sedimen lainnya yang biasa dijumpai.
Hal ini dibuktikan dari keberadaan breksi yang terbentuk secara setempat-
setempat dan kenampakannya yang kaya akan silika sebagai semen pengikat
matriks dengan fragmen. Hal ini menandakan bahwa pembentukan satuan batuan
ini pada saat periode vulkanisme.
Secara megaskopis breksi ini berwarna abu-abu keputihan sampai abu-abu
gelap, klastik, memiliki fragmen polimik (andesit, tuf, dasit, kuarsa masif),
berukuran kerakal hingga kerikil, kemas terbuka, sangat kompak, semen dominan
silika, teralterasi, namun tidak terdapat mineralisasi. Satuan batuan ini dilalui
struktur geologi daerah penelitian. Hal ini terbukti ditemukannya struktur minor
berupa rekahan-rekahan (Gambar 4.30).
Gambar 4.30.Singkapan breksi vulkanik di sungai hulu Tangkui (1) dan sungai Batu Lidah (2),Serta fragmen penyusun breksi vulkanik (3 dan 4)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 91
1
3
2
4
Analisis mikroskopis pada satuan breksi ini dilakukan dengan conto
sampel matriks batuan yang diambil pada stasiun pengamatan ANT.BLC
1(Gambar 4.31).
Gambar 4.31.Sayatan tipis matriks breksi vulkanik tua pada sampel ANT.BLC1di sungai hulu Tangkui
Sayatan tuf litik, tersusun oleh fragmen berukuran 0,5-1,1 mm, mencakup
butiran fragmen litik batuan andesit, fragmen kristal plagioklas dan kuarsa,
sebagian sudah terubahkan menjadi mineral lempung, epidot, klorit, dan mineral
opak.Fragmen batuan (30%), terdiri dari andesit, menyudut - menyudut tanggung,
berukuran 0,5 - 1,1 mm.Fragmen batuan sebagian sudah terubahkan menjadi
klorit, epidot, mineral lempung, dan mineral opak. Fragmen kristalterdiri dari
plagioklas(10%) dan kuarsa (20%), hadir berukuran 0,1-0,25 mm, anhedral-
subhedral, sebagian sudah terubah menjadi mineral lempung, klorit.Masagelas
(10%), berupa pecahan gelas sebagian sudah terubah menjadi mineral lempung,
serisit dan klorit.
Mineral sekunder yang hadir, yaitu Epidot (12%), berbentuk granular,
berwarna hijau, hadir merubah masadasar serta fragmen litik batuan. Klorit(13%),
hadir menggantikan fragmen dan masadasar, berwarna hijau kecoklatan, serta
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 92
opak
klorit
epidot
Frag. andesit
Urat kuarsa
plagioklas
Mineral opak (5%), tersebar pada fragmen litik batuan dan masadasar. Menurut
klasifikasi Schmid, 1981 dinamakan Tuf Litik.
4.2.1.3 Umur
Satuan breksi vulkanik ini memiliki umur yang paling tua dibandingkan
dengan semua satuan batuan pada daerah penelitian. Satuan ini termasuk kedalam
kelompok batuan Pre – mineralisasi. Umur relatif dari satuan batuan ini mengacu
pada data regional (peta geologi regional dan data – data sekunder) yang termasuk
kedalam Formasi Hulusimpang (Tomh) (Suwarna, 1992), berumur Tersier
(Oligosen – Miosen Awal). Sama halnya dengan karakteristik pada satuan breksi
lainnya yaitu walaupun satuan ini dikategorikan sebagai batuan sedimen, namun
karena sebagai produk gunungapi darat (vulkanik) sehingga tidak dapat dilakukan
analisa biostratigrafi (analisa fosil).
4.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Menurut data regional melalui peta regional lembar bangko menjelaskan
bahwa satuan batuan ini juga berada dalam formasi Hulusimpang (Tomh) yang
terbentuk sebagai produk gunungapi pada lingkungan pengendapan Darat
(Suwarna, 1992).
4.2.1.5 Hubungan Hubungan dengan satuan sebelumnya
Hubungan satuan ini dengan satuan batuan di bawahnya tidak
teridentifikan, sedangkan hubungannya dengan satuan batuan yang berada di
atasnya sebagai produk gunungapi dengan sistem pengendapan vulkanisme yaitu
lava andesit ditumpang selaras dalam formasi Hulusimpang (Tomh).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 93
4.2.2 Satuan Lava Andesit
4.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan Lava Andesitmeliputi ±60 % dari luas daerah penelitian ditandai
dengan warna merahpada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebarannya dimulai
dari bagian utara hingga bagian selatan daerah penelitian dengan pola penyebaran
berarah utara-selatan (N-S).
Singkapan batuan ini tersingkap dalam kondisi lapuk sedang hingga lapuk
kuat, dengan dimensi yang sedang hingga sangat besar berupadinding-dinding
batuan (Gambar 4.32).
Gambar 4.32.Singkapan dinding lava andesit
Satuan batuan ini berada di daerah Gunung Bujang, sungai Medang,
sungai Banyak Telun, sungai Kematus, sungai Tangka, sungai Telu Sewu, sungai
Jejak Kambing, sungai Batu Kursi, sampai Bukit Sako, dan Bukit Madu.
Penyebarannya merata di perbukitan dan sungai tersebut. Terdapat kontak pada
satuan ini yang ditemukan di sisi badan sungai Batu Licin. Batas kontak yang
ditemukan yaitu dengan diorit kuarsa yang termasuk dalam satuan diorit kuarsa
(Gambar 4.33).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 94
N 2860 E
Karakteristik sungai dengan stadia muda sampai menuju dewasa menjadi
dasar bahwa satuan ini tersingkap sepanjang lantai sungai-sungai seperti telah
disebutkan di atas. Selain itu satuan batuan ini banyak ditemukan pada tebing atau
dinding pada gawir-gawir sesar yang ada seperti pada dinding Gunung Bujang,
dinding Bukit Batu Kursi.
Gambar 4.33.Singkapan kontak lava andesit (atas) dengan intrusi dyke diorit kuarsa (bawah)
Dalam menentukan ketebalan satuan batuan ini didapat dari selisih antara
ketinggian maksimum dengan ketinggian minimum pada penampang sayatan
geologi daerah penelitian. Hal ini dilakukan karena satuan batuan bukan
merupakan batuan sedimen dengan karakteristik perlapisan batuan. Satuan ini
menumpang di atas satuan batuan di bawahnya.Berdasarkan rekonstruksi
penampang geologi, tebal satuan ini mencapai <100 meter.
4.2.2.2 Ciri Litologi
Satuan lava andesit ini tersusun atas andesit porfiritik. Kenampakan dari
batuan-batuan penyusun satuan ini relatif sulit untuk mengidentifikasinya. Hal ini
dikarenakan kondisi batuan yang telah teralterasi kuat sampai lemah, serta tingkat
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 95
Diorit Kuarsa
Lava Andesit
N 880 E
pelapukan yang intensif, sehingga cukup sulit untuk mendapatkan sampel batuan
yang segar/fresh. Namun secara megaskopis dapat dibedakan berdasarkan
bentukan dan ukuran dari mineral asalnya, khususnya pada mineral plagioklasnya.
Pada bagian selatan satuan ini memiliki karakteristik batuan yang relatif dalam
kondisi lapuk sedang sampai kuat. Hal ini dipengaruhi oleh proses alterasi
hidrotermal dan proses oksidasi yang sangat intensif.
Secara megaskopis, andesit, memiliki warna abu-abu kehijauan, koheren,
tekstur porfiritik, euhedral – hipokristalin, ekuigranular, komposisi mineral
plagioklas, piroksen, sedikit kuarsa, teralterasi, dan termineralisasi, serta
teroksidasi hematite, geotit, limonit, jarosit. Secara umum batuan ini teralterasi
silifikasi kuarsa, dikit, kaolinit, alunit, pyropilit, klorit, epidot (Gambar 4.35).
Pada batuan ini juga banyak dijumpai vuggy quartz (Gambar 4.34).
Gambar 4.34.Sampel fresh andesit dengan veinlet kuarsa (kiri) dan vuggy quartz (kanan)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 96
Kenampakan Vuggy quartz
Teralterasi Dickite – Kaolinit
Oksidasi Goetite –Jarosite
Plagioklas
Piroksen
opak
kuarsa
klorit
Gambar 4.35.Singkapan andesit teralterasi kuat
Analisis mikroskopis pada satuan lava andesit ini dilakukan dengan conto
sampel batuan yang diambil pada stasiun pengamatan WCL 10.112 (Gambar
4.36).
Gambar 4.36.Sayatan tipis Andesit
Plagioklas (45%), putih abu-abu, kembaran karlsbad-albit. Fenokris (20%)
berukuran 0,8-2,5 mm, bentuk subhedral-anhedral, An 43 (jenis andesine). Massa
dasar (25%) berukuran 0,1-0,5 mm, An 43 (jenis andesin), tersebar merata dalam
sayatan. Pada massa dasar memperlihatkan tekstur aliran. Kuarsa (10%), tidak
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 97
N 3410 E
berwarna, anhedral. Piroksen (15%), hijau muda hingga abu-abu pucat, ukuran
0,5-1 mm, besar mineral piroksen telah mengalami ubahan menjadi klorit. Hadir
merata dalam batuan. Mineral opak (10%), hitam, ukuran butir 0,05-0,1 mm.
Gelas (15%), tidak berwarna. Sebagian besar telah mengalami ubahan menjadi
lempung. Hadir juga mineral sekunder yaitu klorit (5%), hijau-hijau kekuningan,
ukuran butir 0,05-0,1 mm. Berdasarkan klasifikasi Williams (1982) dapat
dinamakan Andesit Piroksen.
Pada satuan batuan ini juga terdapat keistimewaan tersendiri yaitu,
ditemukannya litologi andesit dengan kandungan magnet sedang hingga lemah.
Keberadaan batuan ini hanya pada beberapa stasiun saja. Ditafsirkan
pembentukkan batuan ini dipengaruhi oleh adanya intrusi (mikro intrusion)
hampir menyerupai urat dengan kandungan magnetik yang cukup kuat (Gambar
4.37). Kehadiran intrusi ini mempengaruhi komposisi kimia batuan yang
dilaluinya, yaitu andesit porfiritik sehingga dapat merubah sifat magnetik batuan.
Gambar 4.37.Kenampakan singkapan (1 dan 2) dansampel kontak andesit porfiritik (3-kiri) dengan andesit magnetis (3-kanan)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 98
Andesit porfiritik Andesit magnetis
1
3
2
4.2.2.3 Umur
Satuan lava andesit ini termasuk kedalam kelompok batuan Pre –
mineralisasi. Umur relatif dari satuan batuan ini mengacu padadata regional (peta
geologi regional dan data – data sekunder) yang termasuk kedalam Formasi
Hulusimpang (Tomh) (Suwarna, 1992), berumur Tersier (Oligosen – Miosen
Awal). Hal ini dilakukan karena tidak ditemukannya fosil indeks pada batuan
beku dengan analisa fosil dan tidak dapatnya dilakukan analisa geodating untuk
penentuan umur dari jenis batuan beku ini.
4.2.2.4 Lingkungan Pengendapan
Menurut data regional melalui peta regional lembar bangko menjelaskan
bahwa satuan batuan yang berada dalam formasi Hulusimpang (Tomh) terbentuk
sebagai produk gunungapi pada lingkungan pengendapan Darat (Suwarna, 1992)
4.2.2.5 Hubungan Hubungan dengan satuan sebelumnya
Berdasarkan data geologi regional lembar Bangko menunjukan bahwa
hubungan satuan ini dengan satuan batuan yang ada di bawahnya yaitu selaras
dalam suatu sistem vulkanisme yang sama.
4.2.3 Satuan Intrusi Diorite Kuarsa
4.2.3.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan breksi yang meliputi ±13% dari luas daerah penelitian ditandai oleh
warna merah muda pucat pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran satuan ini
berada di utara daerah penelitian terbagi menjadi beberapa bagian intrusi berupa
dike, namun dengan karakteristik mineralogi yang sama. Satuan ini umumnya
tersingkap di sungai Sako, sungai Batu Kursi, sungai tangkui bagian hulu, dan
sungai batu licin. Pada umunya penyebaran batuan ini tidak terlalu luas, dan hadir
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 99
secara setempat-setempat. Hal ini dipengaruhi kontrol strukur geologi yang
intensif.Namun ditafsirkan bahwa luasan satuan ini dapat dikelompokan secara
dominanasi litologi yang didapat. Litologi pada satuan ini umunya tersingkap
dalam kondisi segar (di dinding tepi dan dasar sungai) berupa air terjun kecil
dengan dimensi yang cukup besar. Perhitungan ketebalan satuan batuan ini tidak
dilakukan, hal ini dikarenakan keberadaan intrusi berupa dike ini terbentuk secara
setempat-setempatdan diselingi oleh litologi lava andesit. Berdasarkan kondisi
tersebut, maka penulis kesulitan dalam menentukan ketebalan satuan tersebut dan
akhirnya penulis tidak menuliskan keterangan ketebalan satuan ini pada laporan
ini.
4.2.3.2 Ciri Litologi
Pada umumnya kondisi batuan yang ditemukan pada satuan batuan ini
relatif cukup segar / fresh disepanjang lantai sungai maupun dinding tepi sungai.
Satuan batuan ini terbentuk pada periode Pre – mineralisasi, dibuktikan dengan
ditemukannya mineral bijih yang hadir secara setempat-setempat.
Secara umum ciri megaskopis litologi yang diamati di lapangan terdiri
dari diorite kuarsa yaitu, warna abu-abu keputihan, koheren, tekstur
porfiritik,subhedral-anhedral, holokristalin, ekuigranular, komposisi mineral
feldspar, kuarsa, biotit, piroksen. Batuan ini relatif teralterasi klorit (Gambar
4.38), da termineralisasi pirit secara setempat (spotted).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 100
Gambar 4.38.Singkapan diorite pada lantai dasar sungai (kiri) dan sampel diorite teralterasi (kanan)
Analisis mikroskopis pada satuan diorit ini dilakukan dengan conto sampel
batuan yang diambil pada stasiun pengamatan WCL 7.84 dan WCL 8.92.
Gambar 4.39.Sayatan tipis Diorit (WCL 7.84)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 101
Teralterasi kloritTeroksidasi
goetit - jarosit
N 2550 E
Plagioklas
bijihklorit
Tersusun atas,Feldspar (50%), berupa K-Feldspar dan Plagioklas ; K-
Feldspar (5%), warna putih berkabut, berukuran 0,9–5,5mm, bentuk subhedral-
anhedral. Hampir sebagian besar mineral telah mengalami alterasi/ubahan menjadi
mineral serisit dan lempung. Plagioklas (50%), warna putih abu-abu, ukuran butir
0,5-2mm, memperlihatkan kembaran albit, klasbad albit (An25/oligoklas). Kuarsa
(15%), tidak berwarna, berukuran 0,5–3,5mm, bentuk anhedral. Piroksen(10%),
kekuningan-hijau pucat, bentuk subhedral- anhedral, ukuran 0,05-0,3mm.
Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi klorit. Biotit (10%),
coklat-hitam. Mineral bijih (5%), hitam, kedap cahaya, anhedral, berukuran 0,5 –
0,6 mm, hadir setempat – setempat dalam sayatan. Hadir juga Mineral
Sekunderklorit (5%), hijau - hijau kekuningan, ukuran butir 0,05-0,1 mm.
Berdasarkan klasifikasi William (1982) dapat dinamakan Diorit Kuarsa.
Analisis mikroskopis pada satuan diorit ini dilakukan dengan conto sampel
batuan yang diambil pada stasiun pengamatan WCL 8.92.
Gambar 4.40.Sayatan tipis Diorit Kuarsa (WCL 8.92)
Terdiri dariFeldspar (50%), berupa K-Feldspar dan Plagioklas ; K Feldspar
(5%), warna putih berkabut, berukuran 0,9–4,5mm, bentuk subhedral-anhedral.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 102
Piroksen
Plagioklas
Klorit
Klorit
opak
Hampir sebagian besar mineral telah mengalami alterasi/ubahan menjadi mineral
serisit dan lempung. Plagioklas (40%), warna putih abu-abu, ukuran butir 0,5-
2mm, memperlihatkan kembaran albit, klasbad albit (An25/oligoklas). Kuarsa
(15%), tidak berwarna, berukuran 0,5–3,5mm,bentuk anhedral. Piroksen (20%),
kekuningan-hijau pucat, bentuk subhedral- anhedral, ukuran 0,05-0,3mm.
Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi klorit. Biotit (5%),
coklat, belahan satu arah. Mineral bijih (5%), hitam, kedap cahaya, anhedral,
berukuran 0,5 – 0,6 mm, hadir setempat – setempat dalam sayatan. Terdapat
mineral sekunder, klorit (5%), hijau - hijau kekuningan, ukuran butir 0,05-0,1
mm. Berdasarkan klasifikasi William (1982) dapat dinamakan Diorit Kuarsa.
4.2.3.3 Umur
Satuan intrusi diorite kuarsa ini memiliki umur yang lebih muda
dibandingkan dengansatuan lava andesit, karena berdasarkan prinsip potong-
memotong (cross cutting relationship) yaitu batuan yang memotong lebih muda
daripada batuan yang dipotong. Umur relatif dari satuan batuan ini mengacu
padadata regional (peta geologi regional dan data – data sekunder) yang termasuk
kedalam Formasi Diorite Terkloritkan (Tmdi) (Suwarna, 1992), berumur Miosen
Tengah
4.2.3.4 Lingkungan Pengendapan
Menurut data regional melalui peta regional lembar bangko juga
menjelaskan bahwa satuan batuan yang berada dalam formasi Hulusimpangini
juga terbentuk sebagai produk gunungapi pada lingkungan pengendapan Darat
(Suwarna, 1992).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 103
4.2.3.5 Hubungan Hubungan dengan satuan sebelumnya
Hubungan satuan ini dengan satuan di bawahnya yaitu satuan lava andesit
adalah tidak selaras. Penentuan ini berdasarkan kesebandingan data regional peta
Lembar Bangko yang menunjukan adanya interval waktu geologi yang cukup jauh
terhadap satuan batuan yang ada di bawahnya.
4.2.4 Satuan Breksi Vulkanik Muda
4.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan breksi vulkanik yang meliputi ±9% dari luas daerah penelitian
ditandai dengan warna coklat kekuningan pada Peta Geologi (Lampiran A).
Penyebaran satuan ini berada di gunung bujang sampai bukit JR1 dan JR2 yang
berada di bagian selatan daerah penelitian. Satuan ini tersingkap dengan baik
terutama di sepanjang dinding Gunung bujang (wallrock) (Gambar 4.41) sampai
bukit JR 2. Satuan ini berada pada Pre-mineralisasi sampai Syn-mineralisasi. Pada
umumnya satuan ini ditentukan berdasarkan dominasi breksi polimik yang
didapat telah teralterasi baik fragmen maupun matriksnya, walaupun sebenarnya
satuan ini diselingi juga oleh litologi lava andesit yang telah tersilisifikasi.
Pembentukan satuan batuan ini berada dalam bagian maar atau kaldera suatu
tubuh gunungapi. Aktivitas vulkanik yang menyebabkan meletusnya gunungapi
dan menyisakan zona hancuran membentuk breksi monomik (Diaterm Breccia).
Seiring dengan aktivitas magmatisme yang tersebar melalui struktur geologi dan
melintasi satuan ini, maka satuan breksi ini mengalami alterasi kuat sampai
sedang dan termineralisasi. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
ketebalan satuan ini diperkirakan < 100 meter.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 104
N 1950 E
Gambar 4.41.Singkapan breksi vulkanik pada dinding Gunung Bujang
4.2.4.2 Ciri Litologi
Satuan breksi vulkanik ini tersusun oleh dominasi fragmen (class
supported), yaitu andesit berukuran boulder sampai kerakal, matriks dominan
andesit, dan semen silika. Breksi ini diselingi litologi asal yaitu andesit yang
teralterasi kuat. Pada umumnya litologi penyusun satuan ini teralterasi dengan
mineral ubahan alunit, dikit, kaolinit, piropilit, serta silisifikasi kuarsa. Satuan ini
teroksidasi hematit, goetit, limonit, dan jarosit. Karakteristik batuan yang
berkemas terbuka menjadi ruang hadirnya mineral sulfide pirit baik dalam urat
maupun tersebar (disseminated).
Pada umumnya penulis tidak melakukan analisa sayatan tipis (petrografis)
pada litologi satuan ini. Hal ni dikarenakan sifat batuan yang teralterasi kuat
sehingga tidak dapat ditentukan mineral asalnya sebelum terubah (teralterasi) dan
juga pengaruh kehadiran silika berupa kuarsa yang sangat dominan. Kehadiran
kuarsa yang sangat dominan menyebabkan terjadinya pergantian mineral
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 105
Teralterasi kaolinit, dickit
TeroksidasiHematit, Goetit, jarosit.
(displacement) terhadap mineral asalnya, sehingga identifikasi mineral yang
terkandung hanya tersusun atas silika berupa kuarsa baik pada matrik maupun
fragmennya. Hal ini menjadi dasar penulis tidak melakukan sayatan tipisdan
hanya berdasarkan interpretasi megaskopis.
4.2.4.3 Umur
Ditafsirkan satuan Breksi Vulkanik ini termasuk kedalam kelompok batuan
Pre-mineralisasi sampai Syn – mineralisasi. Umur relatif dari satuan batuan ini
mengacu pada periode tektonik daerah penelitian sebagai pengontrol
pembentukan alterasi dan mineralisasi yaitu berumur pliosen-pleistosen.
Walaupun satuan ini dikategorikan sebagai batuan rombakan, namun karena
sebagai produk gunungapi darat sehingga tidak dapat dilakukan analisa
biostratigrafi.
4.2.4.4 Lingkungan Pengendapan
Secara interpretatif satuan batuan ini terbentuk pada periode vulkanisme
darat. Hal ini menjadi dasar bahwa lingkungan pengendapan satuan ini berada di
Darat.
4.2.4.5 Hubungan Hubungan dengan satuan sebelumnya
Hubungan satuan ini dengan satuan di bawahnya yaitu satuan intrusi
diorite kuarsa adalah tidak selaras. Hal ditentukan berdasarkan interval waktu
pmbentukan yang relatif jauh. Pembentukan satuan ini pada kala Pliosen-
pleistosen.
4.2.5 Satuan Intrusi Diorit
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 106
4.2.5.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan intrusi dioritini meliputi ±2% dari luas daerah penelitian ditandai
dengan warna merah muda (Pink) pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran
satuan ini berada secara setempat di sungai Medang bagian hulu.Munculnya
intrusi ini ditafsirkan karena pengaruh struktur geologi yang hadir baik terpetakan
sebagai satuan batuan maupun sebagai retas-retas diorit pada satuan diorit kuarsa
pada daerah penelitian (LAMPIRAN A).Keberadaan batuan ini didapatkan dari
data sekunder PT. Antam Unit Geomin, Projek Jambi, Prospek Bujang, dan luasan
satuan batuan yang sangat kecil, setempat sehingga membuat penulis belum dapat
memperkirakan ketebalan dari satuan batuan ini.
4.2.5.2 Ciri Litologi
Pada umumnya kondisi batuan yang ditemukan pada satuan batuan ini
relatif cukup segar hingga lapuk sedang. Tersingkap hanya pada beberapa stasiun
pengamatan saja, yaitu bagian hulu sungai Medang.. Satuan batuan ini ditafsirkan
sebagai intrusi terakhir pada daerah penelitian, dan keberadaannya mempengaruhi
proses alterasi dan mineralisasi yang tersebar. Hal ini dibuktikan dengan tidak
ditemukannya mineral ubahan terhadap komposisi mineral awal batuan dalam
satuan batuan ini, namun mempengaruhi komposisi mineral litologi lainnya.
Secara umum ciri megaskopis litologi yang diamati di lapangan terdiri
dari diorite ini yaitu, warna abu-abu keputihan, koheren, tekstur porfiritik,
subhedral-anhedral, holokristalin, ekuigranular, komposisi mineral feldspar,
plagioklas, kuarsa, biotit.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 107
Gambar 4.42 Sayatan tipis diorit pada conto sampel ANT.BLC.2 (data sekunder menurut PT.Antam Unit Geomin)
Sayatan diorit, bertekstur porfiroafanitik tersusun oleh plagioklas, kuarsa
dan feldspar dengan ukuran 0,1-1 mm. Masadasar kasar yang tersusun oleh
kuarsa.Kuarsa(45%), hadir sebagai fenokris (10%) dengan ukuran (0,1-0.5mm),
berbentuk euhedral, sebagai masadasar (30%) tersebar
merata.Plagioklas(30%),banyak hadir sebagai fenokrisdengan ukuran 0.5 – 1,5
mm, berbentuk subhedral, dengan An 45. Feldspar (15%), hadir sebagai fenokris
berukuran (0,2-1mm) berbentuk euhedral.Opak(10%), hadir sebagai fenokris
dengan ukuran 0,1 – 1 mm, berbentuk andehdral – subhedral. Menurut klasifikasi
Williams (1982), maka dapat dinamakan Diorit.
Ditafsirkan bahwa satuan batuan ini hadir sebagai intrusi kedua setelah
intrusi pertama, yaitu intrusi diorite kuarsa. Dan kehadiran intrusi ini berfungsi
sebagai intrusi pembawa mineralisasi dalam sistem Porfiri, hal ini dibuktikan
dengan tidak ditemukannya efek ubahan (alterasi) terhadap mineral-mineral
penyusun litologi dalam satuan ini (Gambar 4.43). Akan tetapi kehadiran intrusi
ini menyebabkan terjadinya ubahan (alterasi) terhadap mineral-mineral penyusun
litologi dalam satuan intrusi diorite kuarsa.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 108
PlagioklasFeldspar
opak
kuarsa
Gambar 4.43. Kenampakan singkapan diorite (1), sampel diorite (2), dan perbesaran terhadap diorite dengan Luv perbesaran 20x (3) (data doc. Antam).
4.2.5.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan
Satuan batuan ini ditafsirkan terbentuk setelah terjadinya struktur geologi
periode kedua yang ada pada daerah penelitian berumur Pliosen - Pleistosen . Hal
ini dikarenakan hadirnya satuan ini dikontrol oleh struktur geologi daerah
penelitian.
Satuan ini terbentuk pada lingkungan darat, hal ini dibuktikan dari korelasi
terhadap satuan batuan yang lebih tua daripada satuan ini pada lingkungan darat.
4.2.5.4 Hubungan dengan satuan sebelumnya
Hubungan pembentukan satuan ini dengan satuan batuan yang berada
dibawahnya yaitu tidak selaras. Penentuan ini berdasarkan keterkaitannya dengan
struktur geologi pengontrol terhadap intrusi ini yang berumur Pliosen –
Pleistosen. Hal ini membuktikan bahwa adanya interval waktu pembentukan yang
cukup jauh dengan pembentukan satuan sebelumnya.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 109
1 2
3
4.2.6 Satuan Endapan Aluvial
4.2.6.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan endapan aluvial yang meliputi ±10% dari luas daerah penelitian
ditandai dengan warna abu-abu pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran
satuan ini berada di sepanjang sungai besar dan sebagian sungai kecil yang berada
dari bagian selatan sampai bagian utara daerah penelitian dalam arah N-S. Satuan
ini terendapkan dengan baik terutama di sepanjang S. Tangkui dan S. Batu Licin
(Gambar 4.44). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketebalan
satuan ini diperkirakan <5 meter.
Gambar 4.44. Endapan aluvial sepangjang s. Batu Licin (kiri) dan s. Tangkui (kanan)
4.2.6.2 Ciri Litologi
Satuan Endapan aluvial tersusun oleh material lepasan hasil pelapukan
batuan. Material lepas tersebut berukuran bongkah (0,5-(>)2m) sampai brangkal.
Material lepasan maupun hancuran yang terendapkan berbentuk menyudut
tanggung hingga membundartanggung. Hal ini menandakan bahwa proses
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 110
Membundar tanggung
Menyudut tanggung
N 1580 E
N 320 E
transportasi material lepasan melalui sungai tersebut telah berjalan cukup jauh
terdiri dari fragmen-fragmen yang didominasi oleh batuan andesit.
4.2.6.3 Umur
Satuan Endapan Aluvial ini memiliki umur paling muda dibandingkan
semua satuan batuan pada daerah penelitian. Satuan ini termasuk kedalam
kelompok batuan Post – mineralisasi.
Satuan Endapan Aluvial ini berumur Holosen karena proses
pengendapannya masih terus berlangsung hingga sekarang.
4.2.6.4 Lingkungan Pengendapan
Satuan Endapan aluvial ini diendapkan di lingkungan darat berupa sungai,
tepatnya pada sungai Tangkui dan Batu Licin memanjang dari utara sampai
selatan.
4.2.6.5 Hubungan Hubungan dengan satuan sebelumnya
Tidak diperolehnya data umur berkaitan dengan hubungan stratigrafi
satuan ini dengan yang lainnya, karena satuan endapan fluvial tidak memiliki
kesebandingan stratigrafi dengan satuan-satuan resmi yang telah dibuat oleh
peneliti sebelumnya.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 111
BAB V
STUDI KHUSUS
5.1. Struktur Geologi
Pola struktur geologi yang berkembang di daerah Gunung Bujang dan
sekitarnya termasuk ke dalam Pola Sumatera (NW-SE). Hal ini dapat dibuktikan
berdasarkan pola kelurusan baik kelurusan sungai maupun bukit/lereng (Gambar
5.1) yang didapat, kemudian dianalisa untuk memperoleh diagram mawar yang
mencerminkan struktur geologi regional daerah penelitian.
Gambar 5.1. Citra Landsat Daerah Gunung Bujang dan sesar semangko
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995),diperkirakan telah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 112
Derah Penelitiian
Sesar Semangko
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal
dan Orogenesa Plio – Plistosen. Berdasarkan analisa yang dilakukan menunjukkan
bahwa daerah penelitian secara umum termasuk dalam episode yang ketiga,
berupa fase kompresi pada Plio-Plistosen, periode tektonik terjadi membentuk
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar
Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan
horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi
kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar-sesar yang baru
terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar
Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio-
Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara (NW-SE) tetapi
sesar yang terbentuk berarah timur laut-barat daya (NE-SW) dan barat laut-
tenggara (NW-SE). Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik,
sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah baratlaut
– tenggara (NW-SE) sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian
pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan
(N-S) dan barat laut-tenggara (NW-SE) serta pola muda yang berarah baratlaut-
tenggara (NE-SW) yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Hal ini dibuktikan dengan pola kelurusan bukit dan lembah, serta sungai
pada citra SRTM (Gambar 5.2) yang menunjukkan bahwa pola kelurusan yang
dominan adalah baratlaut-tenggara (NW-SE) yang dapat dikategorikan sebagai
pola struktur berupa pola Sumatera yang telah terbentuk pada Jurassic Awal-
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 113
Kapur, namun juga terdapat pola kelurusan baratdaya-timurlaut berupa pola
struktur jambi menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010).
Gambar 5.2. Analisa Kelurusan SRTM (a) dengan hasil analisa berupa diagram mawar (b)
Tabel 5.1. Data orientasi arah pola kelurusan citra SRTM
Data arah orientasi pola kelurusan SRTM
No
. Azimuth (N..'E)
No
. Azimuth (N..'E)
1 48 41 43
2 309 42 302
3 310 43 303
4 288 44 316
5 309 45 286
6 267 46 293
7 249 47 312
8 271 48 307
9 272 49 2
10 270 50 347
11 273 51 339
12 321 52 340
13 323 53 293
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 114
14 13 54 64
15 354 55 65
16 322 56 87
17 321 57 10
18 314 58 95
19 5 59 45
20 42 60 48
21 43 61 31
22 44 62 41
23 45 63 343
24 43 64 55
25 65 65 75
26 6 66 331
27 7 67 323
28 334 68 330
29 335 69 87
30 323 70 79
31 280 71 72
32 308 72 345
33 306
34 305
35 304
36 336
37 294
38 326
39 283
40 298
Struktur geologi yang berkembang di daerah Gunung Bujang dan
sekitarnya relatif sulit diidentifikasi berdasarkan keberadaan kekar-kekar awal
dari suatu kelurusan garis struktur dikarenakan kekar-kekar tersebut telah
bercampur aduk. Hal ini menandakan bahwa aktivitas tektonik pada daerah
penelitian sangat kompleks dan intensif. Pada daerah penelitian terdiri dari sesar-
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 115
sesar mendatar sampai obligue berarah NW-SE sampai NE-SW. Bukti-bukti awal
yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah hasil analisis kelurusan dari peta
kontur dan citra SRTM untuk menginterpretasikan keberadaan jalur zona lemah
yang berkembang di daerah penelitian. Data lapangan yang diperoleh
menunjukkan adanya struktur-struktur tersebut antara lain berupa kekar tunggal
(Tension) atau urat kuarsa, data kekar gerus (shear fracture), breksi sesar (zona
hancuran)/kelurusan sungai.
Data-data yang diambil dari lapangan tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Dips. Penamaan sesar dilakukan berdasarkan
klasifikasi ganda (Rickard, 1973 dalam Harsolumakso, 1997). Penamaan struktur
diambil dari nama sungai, desa, atau bukit tempat ditemukannya bukti jalur sesar
tersebut.
Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan dengan pengolah data yang
ada, maka daerah Gunung Bujang dan sekitarnya memilki beberapa jenis sesar
pengontrol antara lain :
5.1.1. Sesar Menurun Kiri Tangkui dan indikasinya
Sesar menganan turun Tangkui berarah relatif N-S. Sesar Tangkui
merupakan sesar yang terbentuk pada orde pertama dan terjadi pada Pre-
mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit, Diorite, dan Breksi Vulkanik
Tua. Sesar ini ditafsirkan sebagai jalur penyebaran alterasi dan bukaan untuk jalur
fluida hidrotermal.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 116
Gambar 5.3. Kenampakan kekar gerus dan urat-uarat kuarsa
Gambar 5.4. Kenampakan breksi sesar di lantai sungai Tangkui sebagai manifestasi struktur geologi
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shearfracture), kekar
tarik (tension), dan urat-urat kuarsa (Gambar 5.3). Sesar ini diinterpretasikan
berdasarkan kelurusan Sungai Tangkui yang berarah relatif baratdaya-timurlaut
dan juga keterdapatan breksi sesar (Gambar 5.4), serta hancuran bongkah-
bongkah besar batuan yang menandakan zona hancuran.
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar dan urat kuarsa
didapatkan arah umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan
program Dips (Gambar 5.5).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 117
N 1120 E
Arah breksi sesar
Gambar5.5. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi urat daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
dilapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 2030 E/ 360SE, dengan
kedudukan netslip yaitu 310, N 2620 E dan pitch sebesar 560SW. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.6, diperoleh penamaan sesar yaitu
Left Lag Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar5.6.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972)
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan urat-urat kuarsa yang ada
dapat ditentukan bahwa orientasi urat yang terbentuk mengikuti pola kekar tarik
dan searah dengan arah tegasan sesar Tangkui yaitu N 208o E / 43o NW.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 118
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
1. Pergerakan : Lefttslip2. Besar pitch : 56o
3. Arah netslip (naik atau turun) : turun4. Besar dip sesar : 36o
Nama Sesar : Left Lag Slip Fault (14)
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Menurun Kiri Tangkui ini memiliki arah orientasi
720, N 1340 E, sehingga arah tegasan relatifutara-selatan (N-S).
5.1.2. Sesar Geser Kanan Menurun Batu Licin dan indikasinya
Sesar Geser Kanan Menurun Batu Licin berarah relatif NW-SE. Sesar
Batu Licin merupakan sesar utama yang terbentuk pada orde pertama dan terjadi
pada Pre-mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit, Diorite, dan Breksi
Vulkanik Tua. Sesar ini ditafsirkan sebagai jalur penyebaran alterasi dan bukaan
untuk jalur fluida hidrothermal.
Gambar 5.7. Kenampakan kekar berpasangan (shear fracture.kiri) dan urat kuarsa (comb.kanan)pada dinding pinggir sungai Batu Licin
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan
juga kekar tarik (tension), serta ditemukan urat-urat kuarsa berbentuk sisir (comb)
(Gambar 5.7). Selain indikasi diatas juga banyak ditemukan pembelokan sungai
yang sangat signifikan dan memperkuat dugaan bahwa ada kontrol struktur yang
berperan didalamnya. Sesar ini juga diinterpretasikan berdasarkan kelurusan
Sungai Batu Licin yang berarah relatif utara-selatan.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 119
N 2850 E N 3480 E
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar dan urat kuarsa
didapatkan arah umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan
program Dips (Gambar 5.8).
Gambar 5.8. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi urat daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
di lapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 350° E/64°NE, dengan
kedudukan netslip yaitu 420, N 1430 E dan pitch sebesar 290SW. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.9, diperoleh penamaan sesar yaitu
Normal Right Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar 5.9.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972)
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 120
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
5. Pergerakan : Righttslip6. Besar pitch : 29o
7. Arah netslip (naik atau turun) : turun8. Besar dip sesar : 64o
Nama Sesar : Normal Right Slip Fault (11)
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan urat-urat kuarsa yang ada
dapat ditentukan bahwa orientasi urat yang terbentuk mengikuti kekar tarik dan
searah dengan arah tegasan sesar Batu Licin yaitu N 350o E / 87o NE. Hasil
analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum (Ω1) yang
mempengaruhi Sesar Kanan TurunBatu Licin ini memiliki arah orientasi 520, N
1780 E, sehingga arah tegasan relatifutara-selatan (N-S).
5.1.3. Sesar Geser Kanan Menurun Gunung Bujang Timur dan indikasinya
Sesar turun menganan Gunung Bujang Timurini berarah relatif timurlaut-
baratdaya (NW-SE). Sesar Gunung Bujang Timur merupakan sesar yang
terbentuk pada orde pertama dan terjadi pada Pre-mineralisasi. Sesar ini
merupakan sesar dengan arah tegasan yang relatif dapat diteruskan hingga sesar
batulicin. Hal ini mengandung arti bahwa sesar Batu Licin dan sesar Gunung
Bujang timur terbentuk pada periode yang sama. Sesar ini memotong batuan
Andesit.
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shearfracture) dan
juga kekar tarik (tension), jalur breksi sesar, serta ditemukan jalur-jalur silisifikasi
yang dikontrol oleh hadirnya suatu rekahan. Ditafsirkan bahwa kehadiran rekahan
ini berasal dari sesar tersebut.
Kenampakan indikasi sesar di lapangan dapat pula dilihat dengan adanya
kelurusan dari dinding Gunung Bujang bagian sebelah timur (Gambar 5.10).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 121
Gambar 5.10.Kenampakan kelurusan dinding Gn. Bujang (kiri) dan breksi sesar yang teralterasi di dinding Gunung Bujang bagian timur (kanan).
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar dan urat kuarsa
didapatkan arah umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan
program Dips.
Gambar 5.11. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi urat kuarsa daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
di lapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 170°E/21°NE, dengan
kedudukan netslip yaitu 110, N 3190 E dan pitch sebesar 31oNW.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 122
N 2180 E N 3190 E
Berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.12, diperoleh
penamaan sesar yaitu Lag Right Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar5.12.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan urat-urat kuarsa yang ada
dapat ditentukan bahwa orientasi urat yang terbentuk mengikuti kekar tarik dan
searah dengan arah tegasan sesar Gn. Bujang Timur yaitu N 186o E / 71o NW.
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Turun MengananGn. Bujang Timur ini memiliki
arah orientasi 340, N 1220 E, sehingga arah tegasan relatifutara-selatan (N-S).
5.1.4. Sesar Geser Kiri Menurun Batu Kursi dan indikasinya
Sesar Geser Kiri Menurun Batu Kursi berarah relatif NE-SW. Sesar Batu
Kursi merupakan sesar yang terbentuk pada orde kedua dari sesar Tangkui dan
terjadi pada Pre-mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit. Sesar ini
diinterpretasikan berdasarkan kelurusan Sungai Batu Kursi (Gambar 5.13 kiri).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 123
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
1. Pergerakan : Rightslip2. Besar pitch : 31o
3. Arah netslip (naik atau turun) : turun4. Besar dip sesar : 21o
Nama Sesar : Lag Right Slip Fault (8)
Gambar 5.13. Kenampakan kelurusan sungai (kiri) dan breksi sesar (kanan) di sungai Batu Kursi.
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan
juga kekar tarik (tension), breksi sesar (Gambar 5.13 kanan), serta ditemukan urat-
urat kuarsa yang melimpah dengan diameter sampai ukuran veinlet.
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah
umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan program Dips.
Gambar 5.14. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi urat kuarsa daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
di lapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 79°E/34°NE, dengan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 124
N 2550 E
kedudukan netslip yaitu 110, N 1020 E dan pitch sebesar 250NW. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.15, diperoleh penamaan sesar yaitu
Lag Left Slip Fault (Rickard, 1972).
Gambar 5.15.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan urat-urat kuarsa yang ada
dapat ditentukan bahwa orientasi urat yang terbentuk mengikuti kekar tarik dan
searah dengan arah tegasan sesar Batu Kursi yaitu N 231o E / 77o NW.
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Geser Kiri Menurun Batu Kursi ini memiliki arah
orientasi 670, N 3570 E, sehingga arah tegasan relatiftimurlaut-baratdaya (NE-
SW).
5.1.5. Sesar Geser Kiri Jejak Kambing dan indikasinya
Sesar geser kiri Jejak Kambing berarah relatif NE-SW. Sesar Jejak
Kambing merupakan sesar yang terbentuk pada orde kedua yang juga terhadap
sesar Tangkui sebagai orde pertama, dan terjadi pada Pre-mineralisasi. Sesar ini
memotong batuan Andesit. Sesar ini diinterpretasikan berdasarkan kelurusan
Sungai Jejak Kambing.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 125
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
5. Pergerakan : Leftslip6. Besar pitch : 25o
7. Arah netslip (naik atau turun) : turun8. Besar dip sesar : 34o
Nama Sesar : Lag Left Slip Fault (15)
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan
juga kekar tarik (tension) (Gambar 5.16), serta ditemukan urat-urat kuarsa.
Gambar 5.16.Singkapan dengan kenampakan kekar gerus berpasangan di sungai Jejak Kambing.
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar dan urat kuarsa
didapatkan arah umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan
program Dips (Gambar 5.17).
Gambar 5.17. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi urat kuarsa daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
di lapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 232°E/81°NE, dengan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 126
N 1980 E
kedudukan netslip yaitu 360, N 440 E dan pitch sebesar 70SE. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.18, diperoleh penamaan sesar yaitu
Left Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar 5.18.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan urat-urat kuarsa yang ada
dapat ditentukan bahwa orientasi urat yang terbentuk mengikuti kekar tarik dan
searah dengan arah tegasan sesar Jejak Kambing yaitu N 49o E / 65oSE.
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Geser Kiri Jejak Kambing ini memiliki arah
orientasi 30, N 1510 E, sehingga arah tegasan relatiftimurlaut-baratdaya (NE-SW).
5.1.6. Sesar Geser Kiri Menurun Banyak Telun
Sesar Banyak Telun berarah relatif NW-SE. Sesar Banyak Telun
merupakan sesar yang terbentuk pada orde kedua terhadap sesar utama Batu Licin
dan terjadi pada Pre-mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit, Diorite.
Sesar ini diinterpretasikan berdasarkan kelurusan Sungai Banyak Telun berarah
baratlaut-tenggara.
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan
juga kekar tarik (tension), serta ditemukan breksi sesar di sungai Banyak Telun
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 127
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
9. Pergerakan : Leftslip10. Besar pitch : 7o
11. Arah netslip (naik atau turun) : turun12. Besar dip sesar : 81o
Nama Sesar : Left Slip Fault (18)
(Gambar 5.19). Berkaitan dengan nama sungai yang ada yaitu sungai Banyak
Telun, menandakan bahwa di daerah ini juga banyak ditemukan air terjun (telun)
dengan elevasi yang signifikan (terjal sampai sangat terjal) pada gambar 5.20.
Gambar 5.19.Kenampakan breksi sesar di sungai Banyak telun
Gambar 5.20.Kenampakan air terjun di sungai Banyak telun
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah
umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan program Dips.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 128
N 280 E
N 1050 E
Gambar 5.21. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi tension daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
di lapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 276°E/12°NW, dengan
kedudukan netslip yaitu 90, N 3190 E dan pitch sebesar 430SE. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.22, diperoleh penamaan sesar yaitu
Lag Left Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar 5.22.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan kekar tarik (tension) yang
ada dapat ditentukan bahwa orientasi kekar tarik yang terbentuk searah dengan
arah tegasan sesar Banyak Telun yaitu N 357o E / 43oNE.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 129
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
1. Pergerakan : leftslip2. Besar pitch : 43o
3. Arah netslip (naik atau turun) : turun4. Besar dip sesar : 12o
Nama Sesar : Left Lag Slip Fault (15)
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Turu Mengiri Banyak Telun ini memiliki arah
orientasi 760, N 1790 E, sehingga arah tegasan relatiftimurlaut-baratdaya (NE-
SW).
5.1.7. Sesar Menurun Kiri Medang dan indikasinya
Sesar Menurun Kiri Medang berarah relatif NW-SE. Sesar Medang
merupakan sesar yang terbentuk pada orde kedua terhadap sesar utama Batu Licin
dan terjadi pada Pre-mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit. Sesar ini
diinterpretasikan berdasarkan kelurusan Sungai Medang yang berarah relatif
utara-selatan dan pembelokan sungai pada sungai Batu Licin.
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan
juga kekar tarik (tension), serta keberadaan air terjun sebagai salah satu indikasi
manifestasi struktur geologi di sungai medang (Gambar 5.23).
Gambar 5.23.Kenampakan air terjun bertingkat (kiri) dan kekar gerus (kanan) sebagai manifestasi struktur geologi di sungai Medang
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah
umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan program Dips.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 130
Kekarsebagaimanifestasistruktur
N 1160 E
Gambar 5.24. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi tension pada daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
dilapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 274°E/25°NW, dengan
kedudukan netslip yaitu 190, N 3210 E dan pitch sebesar 480SE. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.25, diperoleh penamaan sesar yaitu
Left Lag Slip Fault(Rickard, 1972).
Gambar 5.25.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan kekar tarik (tension) yang
ada dapat ditentukan bahwa orientasi kekar tarik yang terbentuk searah dengan
arah tegasan sesar Banyak Telun yaitu N 242o E / 55oNW.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 131
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
5. Pergerakan : leftslip6. Besar pitch : 48o
7. Arah netslip (naik atau turun) : turun8. Besar dip sesar : 25o
Nama Sesar : Left Lag Slip Fault (14)
Hasil analisis shear fracturemenunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Turun Mengiri Medang ini memiliki arah
orientasi 730, N 2360 E, sehingga arah tegasan relatiftimurlaut-baratdaya (NE-
SW).
5.1.8. Sesar Turun mengiri Sako dan indikasinya
Sesar turun mengiri Sako berarah relatif NE-SW. Sesar Sako merupakan
sesar yang terbentuk pada orde kedua dari sesar Batu Licin dan terjadi pada Pre-
mineralisasi. Sesar ini memotong batuan Andesit, Diorite. Sesar ini
diinterpretasikan berdasarkan kelurusan Sungai Sako yang berarah relatif
timurlaut-baratdaya.
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya
struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture), kekar
tarik (tension), air terjun, serta breksi sesar di sungai Sako (Gambar 5.26).
Gambar 5.26.Kenampakan air terjun (kiri) dan Breksi Sesar (kanan) sebagai manifestasi Struktur Geologi di sungai Medang
Data dan Analisa
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah
umum yang ditentukan dengan menggunakan stereonet dan program Dips.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 132
N 3510 E
Gambar 5.27. Analisis Kinematika Struktur geologi dan orientasi tension daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kinematika dari data elemen struktur yang diperoleh
dilapangan, didapatkan kedudukan bidang sesar yaitu N 75°E/68°SE, dengan
kedudukan netslip yaitu 640, N 1270 E dan pitch sebesar 490SE. Berdasarkan
klasifikasi Rickard (1972) pada gambar 5.28, diperoleh penamaan sesar yaitu
Left Normal Slip Fault (Rickard, 1972).
Gambar 5.28.Penamaan sesar berdasarkan Klasifikasi Rickard (1972).
Berdasarkan analisis terhadap data keberadaan kekar tarik (tension) yang
ada dapat ditentukan bahwa orientasi kekar tarik yang terbentuk searah dengan
arah tegasan sesar Banyak Telun yaitu N 245o E / 51oNW.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 133
Dasar penentuan jenis sesar berdasarkan :
1. Pergerakan : Leftslip2. Besar pitch : 49o
3. Arah netslip (naik atau turun) : turun4. Besar dip sesar : 68o
Nama Sesar : Left Normal Slip Fault (17)
Sesar Normal
Klasifikasi Anderson (1951) Sesar Naik
Sesar Mendatar
Prinsip Stess
Hasil analisis shear fracture menunjukan bahwa arah tegasan maksimum
(Ω1) yang mempengaruhi Sesar Turun Mengiri Medang ini memiliki arah
orientasi 750, N 810 E, sehingga arah tegasan relatif timurlaut-baratdaya (NE-SW).
5.2. Kedudukan tegasan utama
Kedudukan tegasan utama sangat penting dalam menentukan evolusi
struktur geologi pada sebuah wilayah. Dalam klasifikasi Anderson (1951) apabila
kedudukan tegasan utama terbesar dan menengah mendatar, sedangkan
kedudukan tegasan utama menengah tegak maka akan menghasilkan sesar
menganan atau mengiri. Apabila kedudukan tegasan utama terbesar tegak maka
akan menghasilkan sesar Normal (Gambar 5.29).
Gambar 5.29. Klasifikasi sesar menurut Anderson (1951).
Kedudukan umum pada tegasan utama terbesar di daerah Gunung Bujang
ditunjukkan dan kemudian diplot pada peta sebagai peta sebaran kedudukan
tegasan utama terbesar di daerah Gunung Bujang dan sekitarnya (Terlampir).
5.3. Zona bukaan
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 134
Struktur geologi utama Daerah Gunung Bujang berupa 2 sesar utama
sebagai orde pertama dalam periode tektonik yang sama yaitu,sesar menganan
turun berjurus baratlaut-tenggara yaitu Sesar Gunung Bujang Timur (bagian
Selatan) sampai sesar Batu Licin dengan orde duanya berupa sesar Banyak Telun,
sesar Medang, serta sesar Sako berjurus relatif timurlaut-baratdaya Sesar utama
lainnya adalah sesar turun mengiri berjurus timurlaut-baratdaya yaitu sesar
Tangkui dengan orde duanya yaitu, sesar Batu Kursi dan sesar Jejak Kambing.
Interaksi delapan sesar ini menghasilkan zona bukaan yang merupakan zona
sebaran veinlet yang membawa mineral logam. Zona bukaan primer cenderung
dibatasi oleh sesar-sesar geser, veintlet, dan kekar-kekar. Zona bukaan sekunder
terutama dibatasi oleh kekar-kekar dan urat.
5.4. Hubungan Struktur Dengan Mekanisme Tektonik
Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian memiliki pola
yang relatif sama dengan pola umum struktur geologi regional sumatera.
Dengan data–data tersebut, dapat ditarik suatu hubungkan antara pola
pembentukan struktur daerah penelitian dengan struktur regional dari mekanisme
tektonik yang bekerja, dimana tegasan yang membentuk struktur geologi daerah
penelitian berhubungan langsung dengan gaya– gaya tektonik yang bekerja pada
sumatera yang secara umum berarah Utara– Selatan yang dicirikan oleh adanya
struktur sesar berpola baratlaut – tenggara.
Berdasarkan data-data lapangan dan didukung data regional maka
pembentukan pola-pola struktur geologi di daerah pemetaan disebabkan adanya
aktivitas penunjaman lempeng yang terjadi di sekitar pulau sumatera.
Pembentukan tersebut dimulai dengan pengendapan satuan batuan yang terdapat
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 135
di daerah pemetaan yang terjadi selama kurun waktu Oligosen Awal. Aktivitas
tektonik yang terjadi pada daerah penelitian menghasilkan struktur geologi baik
kekar maupun sesar. Sesar-sesar pada daerah penelitian yang mempunyai tegasan
berarah relatif utara-selatan hingga timurlaut – baratdaya, yang mengenai satuan
Breksi Vulkanik Formasi Hulusimpang (Tomh) dengan endapan-endapan
vulkanik dan Formasi Diorit Terkloritkan (Tmdi) yang berumur Oligosen-Miosen
Tengah. Maka dapat disimpulkan bahwa penbentukan struktur geologi pada
daerah penelitian terbentuk setelah pembentukan semua satuan batuan yang ada,
yaitu plio-plestosen menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995).
Periode tektonik pertama pada Miosen Tengah oleh Pulunggono, 1992.
Tabel 5.2. Klasifikasi sesar Orde Pertama
Nama Jenis Sesar Bidang Sesar Pitch Netslip
Sesar Sako Sesar Turun mengiri N 75°E/68°SE 49°SE 64°,N 127°E
Sesar Batu Kursi
Sesar Geser Kiri Menurun
N 79°E/34°SE 25°SE 11°,N 102°E
Periode tektonik pada pembentukan sesar orde pertama (Plio-Pleistosen)
Tabel 5.3. Klasifikasi sesar Orde Pertama
Nama Jenis Sesar Bidang Sesar Pitch Netslip
Sesar Tangkui Sesar Turun Mengiri N 203°E/36°NW 56°SW 31°,N 262°E
Sesar Batu LicinSesar Geser Kanan
MenurunN 350°E/64°SE 29°SE 42°,N 143°E
Sesar Gn. Bujang
Sesar Geser Kanan Menurun
N 170°E/21°NW 31°NE 11°,N 319°E
Periode tektonik pada pembentukan sesar orde pertama (Plio-Pleistosen)
Tabel 5.4. Klasifikasi sesar Orde Kedua
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 136
Nama Jenis Sesar Bidang Sesar Pitch Netslip
Sesar Jejak Kambing
Sesar Geser Kiri N 232°E/81°SE 7°SE 36°,N 44°E
Sesar Banyak Telun
Sesar Geser Kiri Menurun
N276°E/12°NW 43°NW 9°,N 319°E
Sesar Medang Sesar Turun Mengiri N 274°E/25°NE 48°NW 19°,N 321°E
Mekanisme pembentukan struktur geologi pada daerah penelitian di
dasarkan pada pendekatan teori strain elipsoid menurut Reidel yang merupakan
modifikasi dari teori (Harding, 1974) dimana dalam pembentukannya terjadi
dalam satu periode pembentukan dengan arah umum tegasan maksimum berarah
utara-selatan.
5.5. Pola Struktur Geologi Daerah Penelitian dan Mineralisasi
Berdasarkan pengamatan dan korelasi data pada daerah penelitian terjadi 2
periode tektonik pada daerah penelitian. Hal ini dikaitkan dengan tektonik
pengontrol terhadap hadirnya intrusi diorite kuarsa pada daerah penelitian. Pada
periode pertama dengan arah tegasan timurlaut-baratdaya (NE-SW) membentuk
pola struktur berarah barat-timur (W-E) yaitu, sesar Sako dan sesar Batu Kursi.
Pada Periode kedua dengan arah tegasan utara-selatan (N-S) membentuk pola
struktur berupa struktur sesar geser kanan menurun Batu Licin dan sesar turun
mengiri Tangkui dengan arah tegasan relatif utara-selatan merupakan sesar
utama yang mempengaruhi patahan pada daerah penelitian. Dari terbentuknya
patahan Batu Licin kemudian terbentuknya patahan Banyak Telun, Medang, serta
reaktivasi terhadap sesar Sako. Dari patahan Tangkui kemudian terbentuk patahan
Jejak Kambing dan rektivasi terhadap sesar Batu Kursi, sesar tersebut
mempengaruhi arah utama pola mineralisasi purba. Reaktivasi terhadap struktur
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 137
tua dibuktikan dengan ditemukannya lebih dari 2 titik puncak data kekar gerus
yang menunjukan adanya arah tegasan lain selain tegasan dominan.
Analisa kinematika dan dinamika terhadap periode tektonik pertama
sebagai struktur pengontrol penyebaran mineralisasi daerah penelitian. Pola sesar
geser utama pada orde pertama relatif berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-
baratdaya ditunjukkan oleh sesar turun mengiri tangkui, sesar turun menganan
batu licin, dan turun menganan Gn. Bujang timur. Maka dapat ditentukan bahwa
adanya tegasan utama berarah utara-selatan (N-S) sesuai dengan pola tegasan jalur
subduksi yang menyerong antara Lempeng Eurasia yang berada di utara dengan
Lempeng India-Australia. Pola sesar geser berarah timurlaut-baratdaya
ditunjukkan oleh sesar geser kiri menurun batu kursi, sesar geser kiri jejak
kambing. Sesar-sesar tersebut terbentuk pada orde kedua dari orde pertama sesar
turun mengiri Tangkui. Ditafsirkan bahwa Sesar mendatar tersebut merupakan
sesar sobekan yang dihasilkan dari perbedaan pengakomodasian gaya kompresi
dari masing-masing blok yang berbeda. Sedangkan pola lain sebagai orde kedua
dari sesar geser kanan Batu Licin dan sesar turun menganan Gn. Bujang Timur
ditunjukkan oleh sesar turun mengiri banyak telun, sesar turun mengiri medang,
dan sesar turun mengiri sako dengan arah tegasan timurlaut-baratdaya (NE-SW).
Secara interpretatif pembentukan struktur geologi dengan arah tegasan
utama utara-selatan (N-S) pada daerah penelitian telah peristiwa proses trajectory
yang dalam hal ini tegasan utama mengalami pergeseran atau pembelokan.
Dampak dari pembelokan tegasan ini membentuk sesar utama yaitu sesar turun
menganan Gn. Bujang Timur (LAMPIRAN C).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 138
Berdasarkan analisis kinematik dengan pemodelan struktur geologi lainnya
dan pola sesar geser dengan hubungan penyebaran mineralisasi pada daerah
penelitian,maka digunakan pendekatan model dari sistem struktur tersebut disebut
sebagai Riedel Shear Model (Riedel, dalam Corbett and Leach, 1997).Pada
umumnya, keberadaan mineral ubahan yang terbentuk dikontrol oleh seluruh
struktur geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dibuktikan dari penyebaran
zona alterasi yang menempati seluruh luasan daerah penelitian mengikuti
keberadaan struktur geologi yang ada. Sedangkan mineralisasi yang ada,
cenderung hadir pada bukaan (tension) berupa urat kuarsa berarah utara-selatan
(N-S) sebagai ekstensional (tarikan) dari sesar utama orde pertama dengan arah
tegasan utara-selatan. Dan Keberadaan urat kuarsa lainnya berarah timurlaut-
baratdaya (NE-SW) juga terdapat pada sesar orde kedua dengan arah tegasan
timurlaut-baratdaya (NE-SW) dari sesar utama Tangkui.
Pola mineralisasi daerah penelitian, berdasarkan korelasi mineralisasi dan
kecenderungan kekar bawah permukaan. Didapatkan bahwa mineralisasi daerah
Gunung Bujang merupakan tegasan purba yang menghasilkan dilatasi kompresi
(compression jog) dengan disertai bukaan menerus sebagai tension fracture
berarah utara-selatan hingga timurlaut-baratdaya sepanjang sesar-sesar yang ada.
BAB VI
ALTERASI DAN MINERALISASI
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 139
6.1. Alterasi Hidrotermal
Alterasi hidrotermal pada suatu daerah tertentu mempunyai karakteristik
tersendiri. Fluida hidrotermal yang mempunyai kondisi fisika - kimia tertentu
melewati suatu batuan (wall rock) yang tertentu pula melewati permeabilitas
sekunder maupun primer, menghasilkan atau merubah batuan yang ada menjadi
kumpulan/asosiasi mineral ubahan (alteration). Pengendapan mineral tertentu ada
yang bersifat pengisian dan juga pengalterasian terhadap batuan yang ada.
Alterasi itu menyangkut aspek kimiawi, mineralogi, dan tekstur. Asosiasi mineral
alterasi yang khas biasanya tercermin sebagai suatu tipe alterasi.
Secara umum alterasi di daerah telitian dibagi ke dalam 4 zona alterasi
yaitu zona filik, zona advancedargilik, zona argilik, dan zona propilitik(Peta Zona
Alterasi terlampir). Pembagian zona ini berdasarkan pengamatan megaskopis,
mikroskopis petrografi dan melalui análisis Terraspecuntuk mengetahui mineral-
mineral lempung yang dominan dalam penentuan zona.
6.2. Pengamatan Petrografi
Pengamatan petrografi dan mineralogi dilakukan dengan mikroskop
polarisasi dan mikroskop pantul. Mikroskop polarisasi ini digunakan untuk
mendeskripsikan baik mineral primer maupun mineral sekunder pada conto
batuan dari permukaan.
Hasil pengamatan petrografi menunjukkan bahwa sebagian besar mineral
primer (plagioklas, kuarsa dan piroksen) telah terubah sehingga sulit diamati.
Sebaliknya mineral ubahan mendominasi komposisi batuan sepertikuarsa, alunit,
dikit, kaolinit,klorit, epidot, muskovit, serisit.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 140
Plagioklas merupakan mineral batuan vulkanik yang masih dapat
ditemukan berupa sisa-sisa dengan tekstur dan kembarannya yang masih dapat
kita amati. Sebagian besar tubuh plagioklas telah terubah oleh serisite, klorit dan
mineral sulfide (pirit) (Gambar 6.2).
Piroksen ditemukan dalam jumlah sangat sedikit dan sudah terubah oleh,
klorit (Gambar 6.1).
Gambar 6.1. Sayatan tipis lp WCL 10.112 yang menunjukkan adanya serisite (Ser) ubahan dari K-Felspar dan klorit (chlo) yang hadir menggantikan piroksen.
Gambar 6.2.Sayatan tipis lp WCL 7.80 yang menunjukkan adanya K-Feldspar yang terubah klorit (chlo), terdapat kuarsa dan mineral sulfide dalam urat kuarsa berupa pirit
Kuarsa dapat ditemukan menggantikkan fenokris (Gambar 6.2), sebagai
masadasar maupun dalam veintlet. Veintlet kuarsa sering berasosiasi dengan
mineral lainnya seperti pirit, dan sulfida yang lain.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 141
ser
chlo
plg
px
qz
chlo
Urat kuarsa
opak
pirit
Serisit hadir berupa kumpulan lembaran tipis mika putih. Butiran halus
serisit hadir berupa penggantian fenokris dari K-felspar maupun mineral mafik.
Serisit juga hadir menggantikan masadasar (Gambar 6.1).
6.3. Analisis Terraspec
Analisis Terraspec digunakan untuk mendeteksi jenis mineral lempung
yang hadir pada conto batuan di permukaan. Langkah pertama untuk melakukan
analisis ini adalah dengan memotong batuan sehingga mempunyai permukaan
yang rata dengan diameter minimal 3 cm. Permukaan yang diharapkan dapat
memberikan data pengukuran yang lebih akurat. Kemudian semua sampel
dikeringkan dibawah sinar matahari, usahakan sampel yang ada benar-benar
kering.
Perlakuan yang dilakukan yaitu, alat pengukurannya (berupa
sensorinfrared) ditempelkan pada batuan yang telah dipotong rata. Hasil
pembacaannya berupa grafik yang direkam dengan komputer (Gambar 6.4).
Gambar 6.3.Hasil analisa Terraspec (summary) pada seluruh sampel batuan pada daerah penelitian menunjukkan mineral ubahan dominan yaitu, muskovit, epidot, alunit, kaolinit.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 142
2
Gambar 6.4.Grafik yang menunjukkan karakteristik panjang gelombang inframerah terhadap suatu batuan yang mengandung mineral lempung (clay mineral)
Hasil pembacaan alat ini kemudian dicocokkan dengan database pola
gelombang alterasi mineral yang terukur (standar). Dengan mengulang 3 kali
pengukuran, maka akan didapatkan jenis mineral lempung yang paling mirip
dengan database standar mineral yang ada. Hasil inilah yang merupakan jenis
mineral lempung yang terdapat pada conto batuan yang dianalisis. Adapun hasil
pengukuran data itu diringkas ditambahkan data petrografi (Tabel 6.1).
Tabel 6.1.Hasil analisa Terraspec pada beberapa sampel perwakilan zona alterasi pada daerah
penelitian
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 143
6.4. Zonasi Alterasi Daerah Penelitian
Pengamatan megaskopis dan pengamatan mikroskopis yang telah
dilakukan maka didapatkan jenis dan penyebaran alterasi hidrotermal di daerah
penelitian (Gambar 6.5) berdasarkan klasifikasi Corbet dan Leach (1998) dapat
diketahui tiga zona alterasi yaitu :
a. Zona alterasi Kuarsa±Klorit±Epidot (Zona Propilitik)
b. Zona alterasi Kuarsa± ±Kaolinit (Zona Argilik)
c. Zona alterasi Kuarsa±Alunit±Dikit (Zona Anvanced Argilik)
d. Zona alterasi Kuarsa±Serisit (Zona Filik)
Gambar 6.5. Peta alterasi daerah Gunung Bujang dan sekitarnya
a. Zona Alterasi Propilik
Tipe alterasi ini menyebar di hampir 55 % daerah telitian ditandai dengan
warna hijau pada peta alterasi. Menyebar di zona paling luar dari zona alterasi
filik, adv. argilik dan argilik. Alterasi ini mengubah lemah sampai kuat batuan
yang ada di daerah telitian dan merata pada semua batuan.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 144
Secara megaskopis alterasi ini umunya memberi kesan warna abu– abu
kehijaun sampai hijau tua (Gambar 6.6), terkadang hadir bersama urat. Mineral-
mineral penyerta biasanya berasosiasi dengan pirit.
Gambar 6.6. Kenampakan propilitik di lp WCL 11.123. Kesan warna hijau tua menjadi ciri khas alterasi ini secara megaskopis.
Pengamatan lapangan di lp pada batuan dasit dijumpai zona ubahan ini
berwarna kehijauan- hijauan tua, mengubah kuat, dan sebagian terdapat
disseminated– spotted mineral pirit, dan magnetit. Warna hijau diidentifikasi
karena ubahan dari klorit. Pada umumnya bentukan asal mineral asal yang terubah
telah mengalami metamorfisme (perubahan bentuk), sehingga identifikasi yang
dilakukan cukup sulit.
Hasil pegamatan mikroskopis pada lp WCL 11.123 di dapatkan mineral
sekunder yang hadir berupa serisit, klorit, mineral –mineral silika, opak, serta
mineral sulfide (pirit) dala urat kuarsa. Serisit hadir mengubah plagioklas
sedangkan klorit mengubah sebagian besar mineral piroksen (Gambar 6.7).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 145
Gambar 6.7. Analisis petrografi pada lp WCL 11.123. sebagian besar piroksen mengalami ubahan menjadi klorit (H9).
Berdasarkan hasil analisa Terraspec, daerah ini di dominasi oleh mineral
muskovit - klorit - epidot - kaolinit. pH pada zona alterasi ini 6 – 7
(Corbett&Leach,1998) dengan suhu pembentukan 240° - 270°C (Tabel 6.2).
Tabel 6.2. Suhu pembentukan zona propilitik berdasarkan Reyes, 1990.
Mineral
Ubahan
50 100 150 200 250 300
Kuarsa
Muskovit
Klorit
Epidot
b. Zona Alterasi Argilik
Tipe alterasi ini menyebar hampir 20 % daerah telitian ditandai dengan
warna kuning pucat pada peta alterasi. Menyebar di antara zona alterasi propilitik
dan adv. argilik. Alterasi ini mengubah lemah sampai kuat batuan-batuan yang
ada di daerah telitian dan merata pada semua batuan.
Secara megaskopis alterasi ini umunya memberi kesan warna abu–abu
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 146
Ch
lo
seropk
Urat kuarsa
putih sampai kehijauan, relatif lunak, terkadang seperti sabun, sering berasosiasi
dengan zona–zona lemah seperti sesar dan kekar dan terkadang juga hadir
bersama urat. Mineral-mineral penyerta biasanya berasosiasi dengan piritdan
kuarsa.
Gambar 6.8. Singkapan teralterasi kuarsa-kaolinit, kuarsa-dikit, serta teroksidasi jarosite.
Pengamatan lapangan di lp WCL 4.29 pada batuan andesit dijumpai zona
ubahan ini berwarna abu-abu, relatif keseluruhan terubahkan, dan sebagian
terdapat disseminated – spotted mineral pirit. Warna abu-abu kemungkinan
hadirnya kaolinit yang menggantikan plagioklas. (Gambar6.9).
Hasil pegamatan mikroskopis pada lp WCL 4.29 ini di dapatkan mineral
sekunder yang hadir berupa mineral lempung, klorit dan mineral –mineral silika
serta mineral opak. Secara keseluruhan terdapat silisifikasi kuarsa yang dominan.
Mineral– mineral lempung hadir mengubah sedang–kuat plagioklas yang ada,
serta mineral sulfide (Gambar 6.9).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 147
Kaolinit
Dikit
Jarosit
Gambar 6.9. Analisis petrografi pada lp WCL 4.29kandungan pirit dalam urat kuarsa, mineral lempung klorit (A7) mengubah fenokris plagioklas.
Berdasarkan hasil analisa Terraspec daerah ini di dominasi oleh mineral
muskovit – kaolinit – klorit - montmorilonit - siderit. Zona ini memiliki pH
pembentukan ini 3 – 4 (Corbett&Leach,1998) dengan suhu pembentukan 180° -
200°C (Tabel 6.3).
Tabel 6.3. Suhu pembentukan zona Argilik berdasarkan Reyes, 1990.
Mineral
Ubahan
50 100 150 200 250 300
Kuarsa
Kaolinit
Klorit
Montmorilonit
Siderite
c. Zona Alterasi Argilik Lanjut
Tipe alterasi ini menyebar hampir 15 % daerah telitian ditandai dengan
warna merah muda (pink). Menyebar di zona lebih dalam dari alterasi argilik dan
propilitik. Alterasi ini mengubah sedang sampai kuat batuan –batuan yang ada di
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 148
py
Urat
chlo
opak
daerah telitian pada batuan andesit, dasit, breksi muda. Zona ini pada umumnya
dilalui urat-urat silifikasi bertekstur vuggy quartz yang dikontrol
oleh sesar dan mineral ubahan yang terjadi terdapat pada rongga-rongga breksi
muda yang memiliki kemas terbuka. Secara megaskopis alterasi ini umunya
memberi kesan warna abu – abu sampai putih kekuningan, kilap sabun, bersifat
lunak, biladigores dengan screcer (Pen magnet) terlihat seperti tekstur gula pasir.
Mineral-mineral penyerta biasanya berasosiasi dengan piropilit, mineral lempung,
klorit, mineral opak dan oksida besi, serta hadirnya sulfide masif.
Pengamatan lapangan di lp WCL 1.8 dijumpai zona ubahan ini berwarna
abu-abu hingga putih, teralterasi kuat, dan sebagian terdapat disseminated –
spotted mineral pirit, hadir bersama urat –urat kuarsa dan tekstur vuggy quartz
(Gambar 6.10(2)).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 149
Gambar6.10. Kenampakan zona filik dan struktur rekahan (1), silisifikasi kuarsa dengan tekstur vuggy (2), singkapan yang terubah menjadi alunit (3),
serta sulfida masif yang hadir bersama mineral ubahan kaolinit (4), dikit. Batuan asal andesit teralterasi kuat.
.
1 2
3 4
Hasil pegamatan mikroskopis pada lokasi pengamatan ini didapatkan
mineral sekunder yang hadir hampir 55% berupa silika, hadir juga mineral
lempung berupa klorit, mineral bijih berupa pirit hadir secara disseminated, serta
hadirnya mineral Fe-oksida yaitu limonite mengisi rongga rekahan dan rongga
antar mineral (Gambar 6.11).
Gambar 6.11. Analisis petrografi pada lp WCL 1.8 menunjukan hadirnya silika 50 %dan tekstur vuggy berisi mineral bijih dan opak. Mineral lempung yang terbentuk berupa klorit.
Berdasarkan hasil analisa Terraspec daerah ini di dominasi oleh mineral
muskovit – paragonit – pirofilit. Zona ini memiliki pH pembentukan ini 2 – 3
(Corbett&Leach,1998) dengan suhu pembentukan 180° - 200°C (Tabel 6.4).
Tabel 6.4. Suhu pembentukan zona Argilik Lanjut berdasarkan Reyes, 1990
Mineral
Ubahan
50 100 150 200 250 300
Dickite
Kaolinit
Klorit
Montmorilonit
Diaspor
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 150
py Qz
chlo
d. Zona Alterasi Filik
Nama lain zona alterasi ini adalah serisitisasi dan kelanjutan alterasi
argilik. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral kuarsa-serisit-pirit dan
umumnya terdapat sedikit klorit, illit dan rutil. Piropilit ada pada zona ini
sedangkan karbonat dan anhidrit sangat jarang. Pada bagian dalam, zona ini
didominasi oleh serisit. Terdapatnya mineral lempung pada zona ini sangat
penting. Efek serisitisasi pada feldspar dan umumya biotit menghasilkan rutil
yang jumlahnya sedikit. Hadirnya mineral sulfide berupa pirit yang tersebar
(disseminated) hingga keterdapatan pirit dalam suatu urat kuarsa menjadi bukti
mineralisasi yang berkembang pada zona alterasi ini.
Zona filik meliputi Sungai Paku dan sebagian Sungai Napalicin. Di zona
ini sering ditemukan pirit baik menyebar ataupun urat-urat baik di Sungai Paku
ataupun Sungai Napalicin. Di daerah ini juga ditemukan intrusi diorit kuarsa.
Pengamatan lapangan di lp BY 8.8 dijumpai zona ubahan ini berwarna abu-
abu hingga abu-abu kehijauan, teralterasi kuat, dan sebagian terdapat
disseminated mineral pirit, hadir bersama urat –urat kuarsa (Gambar 6.12)
Gambar 6.12. Singkapan Batuan Andesit yang telah teralterasi serisit, klorit
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 151
N 3460 E
Hasil pegamatan mikroskopis pada lokasi pengamatan ini didapatkan
mineral ubahan berupa serisit yang merupakan ubahan dari hampir sebagian
mineral feldspar.Mineral sekunder yang hadir berupa silika (kuarsa), hadir juga
mineral lempung berupa serisit, mineral bijih berupa pirit hadir secara
disseminated, serta hadirnya mineral opak dalam massa dasar gelas litologi ini
(Gambar 6.13).
Gambar 6.13. Analisa Petrografi pad alp WCL 6.55 menunjukkan kehadiran mineral ubahan dari mineral K-feldspar berupa serisit, juga hadir sebagai mineral sekunder. Terdapat mineral opak.
Dari data Terraspec daerah ini di dominasi oleh mineral klorit –
palygorskite - muskovit. Zona ini memiliki pH pembentukan ini 4 – 5
(Corbett&Leach,1998) dengan suhu pembentukan 220° - 270°C (Tabel 6.5).
Tabel 6.5. Suhu pembentukan zona Filik berdasarkan Reyes, 1990
Mineral
Ubahan
50 100 150 200 250 300
Muskovit
Klorit
Kuarsa
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 152
opk
Qz
chlo
plg
6.5. Mineralisasi Bijih Daerah Penelitian
Mineralisasi bijih di daerah telitian terlihat dalam urat– urat kuarsa dan
disseminated dan spotted pada batuan. Pada pengamatan secara megaskopis dapat
diamati hadirnya mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, magnetit dan mineral
kuarsa sebagai mineral gangue.
a. Pirit (FeS2)
Mineral bijih ini ditemukan di semua jenis batuan pada daerah penelitian,
dijumpai berwarna kuning loyang dengan ukuran yang relatif halus,
memperlihatkan kenampakan spotted dan disseminated pada batuan, terkadang
juga hadir dalam urat kuarsa. Secara umum berbentuk euhedral – subhedral, tetapi
terkadang juga ditemukan berbentuk anhedral.
b. Kalkopirit (CuFeS2)
Secara megaskopis keberadaan kalkopirit teramati hadir berasosiasi
dengan pirit membentuk tekstur pengisian, spotted dan disseminated. Sebagian
besar mempunyai bentuk kristal subhedral – anhedral, ukuran relatif halus.
Kalkopirit sering hadir bersama alterasi argilik yang keberadaannya di sekitar
zona silisifikasi. Magnetit (Fe3O4) Magnetit umumnya hadir pada batuan diorit
baik sebagai mineral primer maupun mineral sekunder hasil oksidasi, bewarna
hitam, massif, dan memiliki sifat kemagnetan jika didekatkan dengan pensil
magnet.
Berdasarkan data sekunder (PT.Antam Unit Geomin, Projek Jambi,
Prospek Gunung Bujang) dengan hasil analisa mineralgrafi pada daerah Gunung
Bujang menunjukan bahwa pada conto sampel GB.R.65.R/0.58/<5/60118/766.FI
berupa Massive quartz, Au 0.58, Ag<5, Cu 60, Pb 118, Zn 7.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 153
6.6. Pembentukan Alterasi Berdasarkan Corbett & Leach
Tabel 6.6.Karakteristik Zona Alterasi pada daerah penelitian
Mineral Penciri
Alterasi Litologi
Kesebandingan
(Corbett & Leach,
1998)
Suhu dan pH Pembentukan
(Corbett & Leach, 1998 ;
Reyes, 1990)
Muskovit, Kaolinit,
Klorit, Epidot, Siderit,
Kuarsa
Andesit dan Intrusi
Diorit Kuarsa Zona Propilitik
Temperatur 240°C –
270°C, pH 6 - 7
Serisit, Klorit,
Muskovit, Kuarsa
Andesit dan Intrusi
Diorit Zona Filik
Temperatur 220°C - 220 C,
pH 5 - 6
Palygorskit, kaolinit,
Klorit, Epidot, KuarsaAndesit Zona Argilik
Temperatur 170°C –
200°C, pH 4 - 5
Paragonit, Alunit,
Dikit, Kaolinit,Diaspor
Andesit dan Intrusi
Diorit Zona Argilik Lanjut
Temperatur 170°C –
200°C, pH 2 - 3
Gambar 6.14. Mekanisme Pembentukan Zona Altersi pada daerah Gunung Bujang
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 154
Dari Terry & Leach terlihat bahwa perubahan suhu dari panas ke dingin
mengalami perubahan pH semakin asam dari satu zona ke zona yang lainnya.
Pembentukan zona alterasi diawali oleh propilitik yang memiliki suhu 240°-
270°C (Reyes, 1990) dengan pH 6-7, dilanjutkan dengan filik bersuhu 220°-
270°C (Reyes, 1990) dengan pH 5-6, setelah itu suhu menurun terbentuk argilik
dengan suhu 170°-220°C (Reyes, 1990) dengan pH 4-5, dan diakhiri oleh argilik
lanjut bersuhu sama dengan zona sebelumnya 170°-220°C (Reyes, 1990) dengan
pH 2-3. Mekanisme pembentukan zona alterasi berdasarkan suhu dan tingkat
keasaman larutan hidrotermal mengalami perubahan seiring jarak penyebaran
larutan hidrotermal. Dalam hal ini pengontrol terhadap penyebaran larutan
hidrotermal yang berkaitan dengan pembentukan zona alterasi merupakan struktur
geologi yang kompleks dan intensif pada daerah penelitian.
6.7. Kesebandingan Data Lapangan Dengan Karakteristik
Endapan Epitermal
Tabel 6.7.Kesebandingan data lapangan dengan karakteristik endapan epitermal
Komponen
Pendekatan Daerah Penelitian
Sulfidasi Tinggi (Acid Sulphate
atau Kaolinit-Alunit
Sulfidasi rendah
(Adularia-Serisit)
Kontrol struktur
regional
Lingkungan
Vulkanik Kaldera, kubah silisifikasi
Kaldera dan lingkungan
vulkanik yang lain.
Kontrol struktur
lokal
Sesar lokal dan
regional
Dikontrol oleh sistem sesar
regional utama dan rekahan yang
dibentuk pada beberapa generasi
(episode) .
Sesar lokal/regional
atau rekahan.
Tekstur
mineralisasi
comb, vuggy, masif
kuarsa, stockwork Vuggy dan kuarsa masif
Crustiform, comb,
colloform, quartz,
banded, cherty,
chalcedonic, vuggy,
urat stockwork dan
breksi hidrotermal .
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 155
Host rock Andesit
Batuan volkanik subaerial asam –
intermediet, umumnya riodasit
(juga riolit, trakiandesit, yang
membentuk kubah dan aliran
debu) .
Batuan volkanik
subaerial asam-
intermediet, riolit
hingga andesit serta
berasosiasi dengan
intrusi dan batuan
sedimen.
Asosiasi
mineral ubahan
Diaspor, pirofilit,,
epidot, klorit,
siderit,
montmorilonit,
kaolinit, paragonit,
alunit, palygorskit,
muskovit, illit,
dickit, serisit
Pirofilit, alunit, diaspor, kaolinit,
kristobalit, serisit, silika. Tidak
ada adularia, sedikit klorit .
Serisit, adularia, klorit,
silika, illit, epidot.
Alunit dan pirofilit
supergen.
Ubahan batu
samping
propilitik, filik,
argilik, argilik
lanjut
Advanced argillic Bagian luar
(atas) merupakan zona argilik
menengah + seritisasi maupun
zona propilitik .
Serisit (filik) hingga
argilik menengah.
Bagian luar merupakan
zona propilitik .
Temperatur
pengendapan
bijih 100 – 3000C 100 – 3200C (data terbatas)
Bijih : 150 – 3000C,
gangue 1400C, pada
kasus tertentu terjadi
boiling .
Bardasarkan table 6.7, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
endapan epitermal yang terbentuk pada daerah penelitian cenderung pada zona
HS (High Sulfidation), namun juga terdapat indikasi yang mengarah pada zona LS
(Low Sulfidation).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 156
BAB VII
SEJARAH GEOLOGI
Berdasarkan data geologi primer yang meliputi data lapangan, dan data
sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta
pola struktur dan mekanisme pembentukannya serta ditambah dengan hasil
interpretasi dan penafsiran, pada akhirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi
daerah penelitian yang menggambarkan sejarah geologi pada suatu kerangka
ruang dan waktu. Penentuan sejarah geologi daerah penelitian juga mengacu pada
sejarah geologi regional peneliti-peneliti terdahulu. Model sejarah geologi daerah
penelitian diperhitungkan sejak kala Oligosen dimana batuan tertua ditemukan di
daerah penelitian hingga kondisi saat ini.
Pada Oligosen-Miosen Awal, daerah penelitian merupakan lingkungan
darat. Pada kala ini diendapkan satuan breksi volkanik sebagai penyusun Formasi
Hulusimpang (Tomh) yang diendapkan dengan mekanisme volkanik. Hal ini
terlihat dari ditemukannya fragmen penyusun berupa andesit sebagai produk
aliran lava vulkanik. Pada lokasi tertentu terdapat fragmen hingga matriks tuf
sebagai penciri adanya aktifitas volkanik berupa letusan gunung api. Pada satuan
ini, gejala volkanisme berlangsung secara intensif. Hal ini ditunjukan oleh
kehadiran breksi dengan fragmen dominan batuan andesit, breksi dengan fragmen
kuarsa masif. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber material klastik yang
merupakan jalur magmatik yang diperkirakan berasal dari gunung api pada kala
itu. Dan keberadaan luasan satuan ini yang hanya setempat dengan karakteristik
penyebaran breksi pada umumnya menjadi alasan bahwa breksi berumur paling
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 157
tua dibandingkan dengan satuan lainnya dalam sistem vulkanik yang sama. Dalam
satuan ini juga terdapat gejala alterasi yang diperkirakan berasal dari intrusi
daerah sekitar penelitian yang turut menyuplai fluida hidrotermal.
Pada Oligosen-Miosen Awal, diendapkan secara selaras satuan lava
andesit di atas satuan Breksi Vukanik Tua. Satuan ini juga termasuk dalam
Formasi Hulusimpang (Tomh) yang merupakan lava vulkanik. Hal ini
menunjukan adanya aktivitas vulkanisme pada daerah penelitian. Satuan Lava
Andesit Formasi Hulusimpang (Tomh) ini diendapkan dengan mekanisme aliran.
Pada Miosen Tengah, terjadi terobosan intrusi Diorit Kuarsa pada Formasi
Diorit Terkloritkan (Tmdi) yang memotong satuan batuan yang ada di atasnya.
Intrusi ini ditafsirkan dikontrol oleh fase tektonik tua sebelum fase tektonik yang
ditemukan pada daerah penelitian. Fase tektonik tua ini termasuk dalam fase
kompresi sumatera selatan yang terbentuk pada Miosen Tengah (Pulonggono,
1992). Sesuai dengan hukum potong-memotong (cross cutting), bahwa batuan
yang memotong berumur lebih muda daripada batuan yang dipotong. Hal ini
menjadi dasar dan terbukti berdasarkan data regional yang menunjukan bahwa
adanya jarak waktu geologi yang cukup jauh (tidak selaras) antara Formasi
Hulusimpang (Tomh) dengan Formasi Diorit Terkloritkan (Tmdi).
Secara interpretatif pembentukan Satuan Breksi Vulkanik Muda pada kala
Plio-Plistosen, namun tidak dapat ditafsirkan periode pembentukannya pada suatu
formasi batuan. Pembentukan satuan batuan ini termasuk dalam sistem tubuh
gunungapi bagian maar (kaldera) sebagai hasil erupsi gunungapi, yang kemudian
pecahan-pecahan batuan sampingnya membentuk breksi atau diaterm breccias.
Penulis menafsirkan bahwa pembentukan satuan ini tidak jauh sebelum terjadinya
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 158
periode tektonik pada Plio-Pliosen. Hal ini dibuktikan berdasarkan mineralisasi
yang melimpah pada satuan ini dengan kontrol struktur geologi sebagai jalur
penyebaran mineralisasi tersebut.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), fase kompresi pada Plio-
Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan
berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk
konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Proses tektonik ini yang
menyebabkan pola struktur tua kembali aktif (reaktivasi) sehingga menimbulkan
pola-pola struktur tua pada satuan yang lebih muda. Hal ini membuktikan bahwa
reaktivasi ini membentuk pola struktur pada daerah penelitian, yang kemudian
mengontrol hadirnya intrusi kedua berupa Diorit sebagai intrusi pembawa
mineralisasi dalam sistem epitermal. Hal ini dibuktikan dengan tidak
ditemukannya gejala alterasi pada satuan intrusi kedua ini. Dan kemunculan
intrusi kedua inilah yang ditafsirkan sebagai pengontrol penyebaran zona alterasi
pada seluruh satuan batuan daerah penelitian. Pada daerah penelitian terekam
tegasan-tegasan yang menunjukkan adanya gejala struktur. Pada dasarnya gaya
yang berlangsung pada daerah penelitian berarah N-S (utara-selatan) yang
merupakan arah tegasan yang menghasilkan bukaan (ekstensional) masuknya
mineralisasi dalam suatu urat kuarsa. Tetapi data lapangan memiliki variasi
tegasan yaitu NE-SW. Hal ini diakibatkan intensitas gaya yang berlangsung
sehingga menghasilkan reoriented stress. Pergeseran arah tegasan tersebut
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 159
menjadi bukti ditemukannya pula keberadaan urat-urat kuarsa pada kekar-kekar
ekstensionalnya.
Pada dasarnya gaya N-S akan menghasilkan sesar –sesar normal yang
terekam di selatan daerah penelitian, dimana sesar normal ini merupakan sesar
tertua. Ketika gaya terus bekerja terjadi perubahan pergerakan struktur dimana
terjadi pergeseran dari sesar tertua tersebut menjadi sesar mendatar seperti yang
terekam pada lokasi penelitian. Deformasi yang terjadi pada daerah penelitian
berupa sesar mendatar. Kehadiran sesar geser merupakan sesar robekan (tear
fault) yang terbentuk karena adanya perbedaan akomodasi gaya sehingga
menyebabkan perbedaan kecepatan.
Keberadaan struktur geologi pada daerah penelitian kemudian menjadi
pengontrol jalur masuknya air meteorit (air permukaan). Proses erosi yang terjadi
kemudian membentuk daerah-daerah endapan dari material-material lepasan
membentuk endapan-endapan aluvial pada daerah penelitian. Keberadaan material
lepasan penyusun, ukuran, serta bentuk material lepasan menjadi bukti penentuan
jenis endapan ini adalah endapan aluvial.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 160
BAB VIII
KESIMPULAN
1. Daerah telitian dapat dibagi menjadi empat satuan geomorfologi, yaitu:
Satuan Pegunungan Terjal struktural (S2),
Satuan Pegunungan Terjal Sedang struktural (S2),
Satuan Endapan Aluvial
2. Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan berkaitan dengan
periode mineralisasi dari tua ke muda adalah : Pada Pre-mineralisasi antara
lain ; satuan Breksi Vulkanik Tua, satuan Lava Andesit, satuan Intrusi Diorit
Kuarsa, Pre-mineralisasi atau Syn-mineralisasi satuan Breksi Vulkanik Muda,
pembawa mineralisasi berupa Intrusi Diorite, dan pada Post-mineralisasi
yaitu, satuan Endapan Aluvial.
3. Berdasarkan analisa kelurusan SRTM dan data lapangan pada daerah telitian
terdapat struktur geologi kekar dan sesar. Dari kelurusan SRTM arah
dominan ialah NW-SE dengan arah tegasan utama yaitu utara-selatan (N-S).
4. Daerah penelitian memiliki 2 periode tektonik, yaitu Tegasan berarah NE-SW
pada Kala Miosen Tengah yang tereaktivasi oleh periode tektonik kedua
dengan arah gaya tegasan yaitu N-S (orde pertama) yang merupakan
reaktifasi dari tegasan purba pada pola sumatera (N-S). Dan NE-SW sebagai
orde kedua dari sesar utama (orde pertama). Periode tektonik tersebut
merupakan jalur penyebaran alterasi dan mineralisasi dengan indikasi urat /
veintlet kuarsa berarah utara-selatan (N-S).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 161
5. Zona alterasi yang terdapat di daerah penelitian dapat dikelompokkan
menjadi lima zonasi ubahan, yaitu zona propilitic, zona Argillic, zona Argilik
Lanjut, dan zona Filik.
6. Lingkungan Alterasi dalam sistem epitermal pada daerah penelitian termasuk
dalam Lingkungan HS (High Sulfidation) namun terdapat indikasi
Lingkungan LS (Low Sulfidation).
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 162
DAFTAR PUSTAKA
.
Adiwijaya, P. and De Coster, G.L., 1073. Pre-Tertiary Paleotopography and
Related Sedimentation in South Sumatra. Proceeding .Indo.Petrol.Assoc. 2rd
Ann. Conv. 77-110
Asikin, S., 1992.Diktat Struktur (tektonik) Indonesia.KelompokBidangKeahlian
(KBK) GeologiDinamis, JurusanTeknikGeologi ITB.
Anderson E.M., 1951, The Dynamics of faulting and Dyke Formation With
Application to Britania, Oliver and Boyn, London.
Badgley C.P., 1965, Structural and Tectonic Principles, Harper & Row
Publisher, New York
Barber, A.J., Crow, M.J. & Milsom, J.S. (eds) 2005, Sumatra: Geology,
Resources and Tectonic Evolution, Geological Society, London, Memoirs 31,
P. 98-119,147-233.
Bateman, A.M., 1981, Mineral Deposit 3rd edition. Jhon Wiley and Sons, New
York.
Corbett, G. J., dan Leach, T. M., 1998. Southwest Pacific Rim Gold-Copper
System: Structure, Alteration, and Mineralization. Society of Economic
Geologist, USA.
Corbett, G. J & Leach, T. M., 1996, Southwest Pasific Rim Gold / Copper System
: Structure, Alteration and Mineralization, A workshop presented for the
Society of Eksploration Geochemist, Townsville.
Darman, H., & Sidi, F.H., 2000, An Outline f The Geology of Indonesia, Ikatan
Ahli Geologi Indonesia.
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 163
Davis, G.H., dan Raynold, S.J., 1996, Structural Geology of Rock and Region, 2nd
edition. Jhon Wiley and Sons, Inc., New York.
De coster, G.L., 1974. The Geology of the Central and South Sumatra Basins.
Proceeding .Indo.Petrol.Assoc. 3rd Ann. Conv. 77-110
Guilbert, J.M. dan Park, C.F. Jr., 1986, The Geology of Ore Deposits,
W.H.Freeman and Company, New York, hal.55-209.
Hamilton, Warren, 1979, Tectonics of the Indonesian Regions, U.S.Goverment
Printing Office: Washington
Hedenquiest, J.W., Izawa,E., Arribas,A., White, N..C 1996, Epitermal Gold
Deposits: Styles, Characteristic, and Exploration, Resource Geology
Special publication Number 1, Society of Resources Geology, Tokyo
HeruSigitPurwanto.(2000),
PemineralanEmasdanKawalanStrukturPadaKawasanPenjom, Pahang Dan
LubokMandi Terengganu, Semenanjung Malaysia.DisertasiDoktor,
UniversitasKebangsaan Malaysia Hal 39-83, tidakdipublikasikan.
Howard, A.D., 1966, Drainage Analysis in Geology, A Summation,
AAPGBulletin, Vol. 51, p. 224-295.
Lindgren, W., 1933, “Mineral Deposit”, McGraw-Hill Book Company, Inc,
USA.
Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology: An Introduction to the study of Landscapes,
McGraw-Hill Book Company, Inc., Now York and London, h. 621-642.
Moody J.D., Hill M.J., 1956, Wrench fault tectonics, Bull. Geological Soc. Am.,
v.67, p. 1207-1426.
Park R.G., 1983, Foundations of Structural geology, Chapman & Hall, New York
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 164
P.T ANTAM Tbk, 2006, Mengetahuikemungkinanadanyamineralisasiemasdan
mineral pengikutnya, dengan target peninjauanmendapatkanpotensi yang
menarik. Tidak dipublikasikan.
Pulunggono, dkk, 1992, Pre-Tertiary and Tertiary fault systems as a framework of
the South Sumatra Basin : a study of SAR-maps, Proceedings of the
Indonesian Petroleum Association 21st Annual Convention, p. 338-360.
Rickard, W.H., 1972, Physical modeling of structural, pp. RH-I -RH-9 In
FederalResearch Natural Areas in Oregon and Washington.
Simanjuntak. T.O, dkk, 1991. Peta Geologi Lembar Muarobungo, skala peta 1 :
250. 000.
Suta, dan Xiaoguang, 2005 dalam Satya, 2010, “Perkembangan struktur maupun
evolusi Cekungan Sumatera Selatan”. (online,
http://ptbudie.wordpress.com/2011/10/12/kerangka-tektonik-dan-
perkembangan-struktur-cekungan-sumatra-selatan/.html, diakses tanggal
29/01/2013)
Suwarna.N,dkk.1992.MemetakangeologikabupatenSarolangun,
padaPetaGeologiLembarSarolangun, skalapeta 1 : 250.000.
Suyatno, dkk, 2002, Buku Panduan Praktikum Petrografi. ITB. Bandung.
Tim Konservasi Sarolangun, 2006. INVENTARISASI BAHAN GALIAN PADA
BEKAS TAMBANG DAERAH SAROLANGUN,JAMBI. Departemen
ESDM PusatSumberDayaGeologi. Bandung.
Verstappen, H., 1956. Dasar Fisiografis Dari Transmigrasi di Sumatera
Selatan :The Physiographic basic of pioneer settlementin Southern Sumatera,
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 165
Kementerian Pertahanan, Djawatan Topografi Angkatan Darat Balai
Geografi, Jakarta.
White, N.C. & Hedenquest, J.W., 1995, Epithermal Gold Deposits
StyleCharacteristics and Exploration, A workshop presented for the
Society ofEconomic Geologist no. 23, pp. 1, 9- 13.
Williams, H., Turner, F.J and Gilbert, C.M., 1982, Petrography. An Introduction
to The Study of Rocks in Thin Section, University of California, Berkeley,
W.H. Freeman and Company, San Fransisco.
Zuidam, R.A. Van., 1985. Aerial Photo-Interpretation Terrain Analysis and
Geomorphology Mapping. Smith Publisher The Hague, ITC
Zuidam, R.A Van and Zuidam Cancelado., 1979.Terrain Analysis and
Classification using Aerial Photographs A Geomorphological Approach ITC,
Text Book.
Sumber lain :
http://smiatmiundip.wordpress.com/2012/05/17/perkembangan-tektonik-
pulau-sumatra/.html.
http://ptbudie.wordpress.com/2011/10/12/kerangka-tektonik-dan-
perkembangan-struktur-cekungan-sumatra-selatan/.html.
http://jurnal-geologi.blogspot.com
TUGAS AKHIR (Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman)Willson Chani Simanjuntak (H1F008004) 166