Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERJANJIAN KEMITRAAN COFFEE TOFFEE DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENGENAI WARALABA
SKRIPSI
YUSUF SULISTIAWAN
0606081242
FAKULTAS HUKUM PROGRAM
SARJANA REGULER DEPOK
DESEMBER 2010
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERJANJIAN KEMITRAAN COFFEE TOFFEE DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENGENAI WARALABA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
YUSUF SULISTIAWAN
0606081242
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTARA SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT
DESEMBER 2010
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Yusuf Sulistiawan
NPM : 0606081242
Tanda tangan :
Tanggal : 3 Januari 2011
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Yusuf Sulistiawan
NPM : 0606081242
Program Studi : Sarjana
Judul Skripsi : Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Prof.Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. (.......................)
Pembimbing II : Suharnoko, S.H., MLI. (.......................)
Penguji : Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. (.......................)
Penguji : Abdul Salam, S.H., M.H. (.......................)
Penguji : Endah Hartati, S.H., M.H. (.......................)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 5 Januari 2011
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dengan baik. Penulisan ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semoga penulisan ini
dapat membawa kemudahan dan pemahaman bagi para pembaca dalam
menginterpretasikan materi yang disajikan. Penulis menyadari bahwa sejak masa perkuliahan hingga penulisan ini selesai bukanlah
proses yang dilalui tanpa hambatan dan rintangan, oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada: (1) Allah SWT, Sang Penentu dan Pemegang Kuasa di atas segalanya, terima kasih Ya
Allah, Engkau jawab doa-doaku. Engkau hantarkan kebaikan kepadaku. Izinkan aku
mengukir cita-cita yang lebih tinggi dan berkahi langkahku untuk menjalani niat ini; (2) Ibu, Bapak, dan Adik atas segala kasih dan sayangnya yang diberikan tanpa henti.
Terima kasih ada kesabaran menunggu ananda yang berjuang mengejar asa
meskipun harus lulus bukan pada waktu umumnya; (3) Kedua pembimbing skripsi, Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Bapak
Suharnoko, S.H., MLI. atas segala bimbingan dan arahannya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang diberikan di tengah
padatnya jadwal beliau untuk membimbing penulisan skripsi ini; (4) Kepada pembimbing akademis, Ibu Nathalina Naibaho, S.H., M.H., yang telah
membimbing dan membantu penulis hingga dapat menyelesaikan studinya di FHUI; (5) Pihak PT. Coffee Toffee Indonesia, khususnya kepada Bapak Zainudin Ahmad
selaku Operational Manager yang telah banyak membantu penulis untuk
mendapatkan bahan yang diperlukan; (6) Teman-teman terdekat Aditya Andy Syahputra, Rachmad Firmansyah, Dhany
Arlan, Gerry Rama Geni, Radityas Megha, Aji Agung Nugroho, Zulhami Rizki,
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
v
Randitya Adiguna, Asih Pawitra Winasis, Adhiem Widigdo, Lebdo Dwi Paripurno,
M. Insan Akbar, Adi Lazuardi, Arini Septiana, Gulardi Nurbintoro, Adila Oktora,
Dea Merisa Putri, dan Arindra Maharany yang telah memberikan bantuan dan
inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsinya; (7) Keluarga besar OSUI Mahawaditra, Ruth Diarina, Elisabeth Ermuliana, Alicia
Nevriana, Kara Toruan, Ariana, Nara Brahma, Kirana, Rafika, Syifa, Rifky, Leonard
Reza, Yoga, dan Mas Bowie yang telah memberikan motivasi bagi penulis; (8) Teman-teman K2N UI 2010 Pulau Selaru, Tsania, Petra, Lany, Zuni, Soekarno,
Indah, Dea, Aghnes, dan Dintan atas pengalaman hidup yang menjadi pelajaran
berharga yang turut membantu terselesaikannya tulisan ini. (9) Kepada Pak Jon, Ibu Sri Maendari, Ibu Umi Hikmawati, dan Bang Indra Birpen
yang turut memberikan bantuan demi selesai penulisan skripsi ini; Semoga harapan yang kita punya bisa terus dikejar dan diwujudkan. Pantang bagi
seorang pejuang untuk berkata lelah dan menyerah. Semoga Allah SWT meridhoi kita
semua. Amin.
Depok, 5 Januari 2011
Penulis
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Yusuf Sulistiawan
NPM : 0606081242
Program Studi : Sarjana Hukum
Departemen : Program Kekhususan I (Hukum Keperdataan)
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya saya yang berjudul :
Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee
Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 5 Januari 2011
Yang menyatakan,
Yusuf Sulistiawan
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
vii
ABSTRAK
Nama : Yusuf Sulistiawan Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee Ditinjau dari
Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba Skripsi ini membahas penerapan peraturan perundang-undangan mengenai waralaba, hak dan kewajiban para pihak, dan bentuk penyelesaian sengketa di dalam Perjanjian Franchise Coffee Toffee. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang pada umumnya hanya dilakukan melalui studi dokumen. Hasil penelitian menyarankan bahwa Pemerintah sebaiknya lebih memberikan kemudahan hukum kepada usaha waralaba lokal yang telah menunjukan berkembang pesat; perjanjian Franchise Coffee Toffee sebaiknya mencantumkan clausul of no agency dan force majeure; mengganti penggunaan istilah arbitrator dalam perjanjian dengan istilah arbiter.
Kata kunci : Perjanjian, Kemitraan, Franchise.
ABSTRACT Name : Yusuf Sulistiawan Study Program : Law Title : Analysis of Partnership Agreement of Coffee Toffee Based on
Laws and Regulations on Franchise The focus of this study is the implementation of the law regarding the franchise agreement, the rights and obligations of the parties, and forms of dispute resolution in the Franchise Agreement of Coffee Toffee. This legal research using a normative juridical research based on literature. The results of research suggest that the Government should give more convenience to the law of the local franchisor which has shown growing rapidly; the franchise agreement of Toffee Coffee should include clausal of no agency and force majeure; replace the use of the arbitrator word in the agreement with the arbiter word.
Key word: Agreement, Partnership, Franchise.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………. ii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...... iii KATA PENGANTAR……………………………………………………………....... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………………. vi ABSTRAK……………………………………………………………………………. vii DAFTAR ISI…………………………………………….……………………………viii 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………………. 1 1.2 Pokok permasalahan………………………………………………………….. 6 1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………… 7 1.4 Definisi Operasional…………………………………………………………... 7 1.5 Metode penelitian………………………………………………………………9 1.6 Sistematika penulisan…………………………………………………………11
2. ASPEK HUKUM PERJANJIAN
2.1 Pengertian perjanjian………………………………………………………..…13 2.2 Syarat sahnya perjanjian ……………………………………………………… 16 2.3 Asas hukum perjanjian…………………………………………………………. 19 2.4 Hapusnya perikatan……………………………………………………………. 24 2.5 Wanprestasi…………………………………………………………………….. 25
3. TINJAUAN UMUM MENGENAI FRANCHISE
3.1 Pengertian mengenai franchise………………………………………………… 27 3.2 Sejarah franchise……………………………………………………………….33
3.2.1. Cikal bakal franchise……………………………………………………..33 3.2.2. Perkembangan franchise modern…………………………………………34 3.2.3. Perkembangan franchise di Indonesia………………………………….....36
3.3 Keuntungan dan kerugian franchise………………………………………….....38 3.4 Pengaturan franchise di Indonesia…………………………………………….. 42
3.4.1. Sebelum berlakunya PP No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba………….43 3.4.2. PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba……………...……….………...44 3.4.3. PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba………………………………...49 3.4.4. Permendag No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba…….….………….52 3.5 Hubungan hukum antara franchisor dengan franchisee…...……………….………56 3.6 Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise.………………………..58 3.7 Tipe-tipe franchise…………………..…………………………………………….. 60
4. ANALISIS PERJANJIAN COFFEE TOFFEE
4.1. Isi akta perjanjian……………………………………………………………….64 4.1.1 Hubungan hukum para pihak………………………………………....…….69 4.1.2 Hak dan kewajiban para pihak….…………………………………………. 69 4.1.3 Bentuk dan besarnya imbalan…………….……………………………….. 74 4.1.4 Bentuk penyelesaian sengketa…………….……………………………..…75
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
ix
4.2 Penerapan syarat sah perjanjian………………………………………………….. 78 4.3 Penerapan asas-asas perjanjian dalam perjanjian franchise………………………..81 4.4 Penerapan syarat-syarat dalam perjanjian franchise ……………………………..85
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..89 5.2 Saran……………………………………………………………………………….91
DAFTAR REFERENSI……………………………………………………………….94
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Perekonomian merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan
bangsa. Bahkan perekonomian dipandang sebagai cita-cita suatu bangsa, hal ini
dapat dirasakan dari munculnya kata-kata “masyarakat yang adil dan makmur.”
Kata-kata tersebut mengandung makna bahwa keberhasilan pembangunan
perekonomian suatu bangsa terlihat dari kesejahteraan masyarakatnya.
Perekonomian juga merupakan tulang punggung suatu bangsa, keberhasilan
pembangunan ekonomi akan membantu pembangunan di sektor lainnya seperti
politik, hukum, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Perekonomian yang kuat akan mampu membawa suatu bangsa menjadi
bangsa yang terpandang, hal ini terlihat dari munculnya istilah “negara maju” dan
“negara berkembang”. Kedua istilah tersebut merupakan penggolongan negara-
negara di dunia berdasarkan tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup rakyatnya.
Negara maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas
hidup yang tinggi. Sedangkan negara berkembang adalah negara yang rakyatnya
memiliki tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau dalam
perkembangan. Negara Maju selalu dikaitkan dengan pendapatan nasional
perkapita yang tinggi, sedangkan Negara Berkembang selalu dikaitkan dengan
pendapatan nasional perkapita yang rendah atau menengah.1 Negara yang
digolongkan sebagai negara maju umumnya terdapat di benua Eropa terutama
kawasan Eropa Barat serta Amerika Utara misalnya Belanda, Perancis, Inggris,
Amerika Serikat, dan lain-lain. Sedangkan yang digolongkan sebagai negara
berkembang terdapat di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Latin).
1 “How We Classify Countries” diakses 5 September 2010 pukul 19.45
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
2
Universitas Indonesia
Saat ini perekonomian dunia telah mengarah pada persaingan global
dimana seorang pelaku ekonomi tidak hanya bersaing dengan orang-orang di
negaranya tetapi juga dengan pelaku ekonomi dari negara lain. Dalam memasuki
era globalisasi, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Ratifikasi terhadap perjanjian
internasional tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia untuk melakukan
penyesuaian atas seluruh hukum nasional yang ada terhadap kebijakan yang
bersifat internasional.
Dalam era persaingan global tidaklah mudah untuk mencapai tingkat
kesejahteraan ekonomi yang ideal, setiap pelaku ekonomi harus bersaing dengan
banyak pihak. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan
ekonomi yang diinginkan adalah dengan membuka usaha sendiri atau yang biasa
disebut sebagai wirausaha. Menurut Joseph Schumeter, wirausahawan adalah
orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang
dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah
bahan baku baru.2 Dalam definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah
orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi
untuk memanfaatkan peluang tersebut. Wirausaha dapat meningkatkan
kemandirian ekonomi karena seorang wirausahawan tidak hanya mencari peluang
tetapi juga menciptakan peluang yang dapat memajukan ekonomi masyarakatnya.
Oleh karena itu wirausaha sangat dianjurkan oleh pemerintah karena akan
membantu memperkuat kemandirian perekonomian bangsa.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk berwirausaha, diantaranya yaitu
dengan memulai usaha baru atau membeli usaha yang telah ada atau berjalan. Dari
dua cara tersebut pasti terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Memulai suatu usaha baru memberikan keuntungan dalam membuat aturan dan
menjalankan usahanya, namun usaha yang baru memiliki resiko karena belum
teruji dan belum pasti diterima di pasar. Sebaliknya, membeli suatu bisnis yang
2 Erni Unggul, Modul Pengantar Kewirausahaan, diakses 5 September 2010 pukul 20.05, hal. 5.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
3
Universitas Indonesia
telah berjalan memberikan kemudahan dalam memulai usaha, dan tentunya usaha
yang dibeli tersebut telah teruji, namun pengusaha tidak memiliki kewenangan
dalam menjalankan usaha karena telah ada aturan-aturan yang diciptakan oleh
pemilik usaha sebelumnya.
Salah satu cara yang banyak diminati saat ini untuk menjalankan usaha
adalah dengan membeli sistem bisnis yang telah ada atau biasa disebut sebagai
franchise yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai waralaba. Waralaba
berasal dari kata Wara yang beararti lebih dan Laba yang berarti untung.3 Secara
harafiah waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan keuntungan
lebih. Waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode
pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen.4 Waralaba dapat menjadi
alternatif usaha selain mendirikan usaha sendiri.
Jenis usaha franchise atau waralaba banyak diminati masyarakat karena
produk dan jasa yang tersedia telah dikenal secara global dan telah menguasai
pasar. Keberadaan waralaba menarik perhatian banyak calon pengusaha yang
ingin memiliki usaha yang telah berkembang pesat. Berbagai jenis usaha franchise
yang telah mendunia antara lain adalah McDonald, Kentucky Fried Chicken
(KFC), Pizza Hut, Ace Hardware, Carrefour, 7-Eleven, dan Hotel Hilton.
Sedangkan usaha franchise asal Indonesia yang terkenal antara lain restoran Es
Teller 77, mini market Alfamart, dan bimbingan belajar Primagama.
Sejarah lahirnya waralaba modern bermula dari Amerika Serikat. Pada
awalnya, sistem waralaba digunakan dalam kerjasama antara pemerintah daerah
dengan suatu perusahaan untuk melakukan pekerjaan demi kepentingan
pemerintah daerah tersebut. Sistem waralaba pada pertengahan abad ke-19
digunakan untuk pembangunan rel kereta api dan kebutuhan-kebutuhan umum.
Lalu baru pada tahun 1898 usaha waralaba mulai digunakan oleh swasta, yaitu
ketika Singer Swinger Machine Company menunjuk distributor bebas untuk
3 Amir Karamoy, J.B Bikololong dan Ponco Sulistyo, Sukses Usaha Lewat Waralaba (Tanya Jawab Berbagai Aspke Waralaba), cet.pertama, (Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), Hal.15
4 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet.kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
hal.2.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
4
Universitas Indonesia
menjual produknya.5 Pada tahun 1955 lahirlah restoran cepat saji McDonald yang
telah membawa pengaruh baru pada sistem waralaba. McDonald menghadirkan
standar baru dalam konsep waralaba, yaitu dengan menstandardisasi seluruh
desain produknya, interior dan eksterior restoran, dan seragam karyawannya. Saat
ini usaha waralaba telah berkembang pesat tidak hanya pada usaha makanan tetapi
juga pompa bensin, hotel, dan bioskop.
Kehadiran waralaba juga menghadirkan suatu permasalahan hukum. Hal
ini disebabkan oleh hubungan waralaba yang didasarkan oleh suatu perjanjian,
yaitu perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan suatu pedoman hukum
yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik waralaba (franchisor) dan
pemegang waralaba (franchisee).6 Perjanjian waralaba akan menjadi dasar hukum
yang kuat untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Apabila salah
satu pihak merasa haknya telah dilanggar, maka ia dapat menuntut pihak yang
melanggar sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian waralaba (franchise
agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat
dan dikehendaki oleh franchisor dan franchisee. Di dalam perjanjian ini tercantum
ketentuan mengenai hak dan kewajiban franchisor dan franchisee, contohnya
adalah hak teritori yang dimiliki oleh franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan
pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor,
jangka waktu perjanjian waralaba dan perpanjangannya serta ketentuan lainnya
mengenai hubungan para pihak.
Hubungan hukum yang lahir dari perjanjian menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihaknya, begitupula dengan Waralaba yang dibangun dari
perjanjian waralaba, kehadiran hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada franchisor dan franchisee. Para pihak harus
mematuhi segala ketentuan yang terkait dengan waralaba baik yang terdapat
dalam perjanjian maupun dalam peraturan perundang-undangan. Jika salah satu
pihak melakukan wanprestasi maka hal tersebut akan merugikan pihak yang
5 Collins Barrows, Franchising Small Business and Enterpreneurship, (London: mac Millan Education 1989), hal. 189.
6 Hasnah Najla, Analisis Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Hukum Terhadap Perjanjian
Waralaba menurut PP No.42 tahun 2007 mengenai Waralaba (Studi Pada PT.X dan PT.Cahaya Hatindo), Skripsi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 3.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
5
Universitas Indonesia
lainnya. Perjanjian akan memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang
dirugikan sehingga ia dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang melakukan
wanprestasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam pasal 1338
mengatur asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian. Berdasarkan asas
kebebasan berkontrak maka setiap subyek hukum dapat melakukan atau membuat
perjanjian tentang hal apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat
oleh para pihak akan mengikat dan berlaku layaknya undang-undang bagi para
pihak. Pada umumnya perjanjian waralaba telah berbentuk baku, artinya hal-hal
yang diatur merupakan standar franchisor.
Perjanjian bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para
pihak. Perlindungan yang diberikan dalam bisnis waralaba dimulai melalui
perjanjian waralaba itu sendiri. Sejak awal menyusun kesepakatan haruslah diatur
mengenai kerahasiaan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba akan mengatur
hak dan kewajiban antara franchisor dan franchisee. Pengaturan hak dan
kewajiban para pihak haruslah jelas, seimbang, dan memiliki batas-batas tertentu
agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan salah satu pihak.
Selain perjanjian waralaba, franchisor dan franchisee juga harus memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan waralaba. Pengaturan mengenai waralaba terdapat dalam Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (PP No. 42 Tahun 2007).7 Franchisor dan franchisee wajib menaati segala macam ketentuan yang terkait
dengan waralaba, baik yang terdapat dalam perjanjian maupun dalam PP No. 42
Tahun 2007 agar para pihak tidak melanggar hak dan kewajiban satu sama lain.
Di Indonesia, salah satu perusahaan lokal yang turut mengembangkan
usahanya melalui sistem franchise adalah Coffee Toffee. Coffee Toffee pertama
kali didirikan di Surabaya pada akhir tahun 2005 oleh Bapak Odi Anindito. Ide
awal pendirian perusahaan ini didapat ketika Bapak Odi Anindito menjalankan
pendidikan lanjutan pada tahun 2004 di Swinburne University di Melbourne,
Australia. Pada saat itu Odi bekerja paruh waktu di coffee shop lokal di
7 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, PP No. 42, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4247
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
6
Universitas Indonesia
Melbourne. Dari sinilah ia mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai
dunia kopi. Ia juga baru mengetahui bahwa Indonesia termasuk dalam tiga besar
negara penghasil kopi di dunia. Dari situlah kemudian timbul keinginan dalam diri
Bapak Odi untuk membuka kedai kopi di Indonesia.
Pada awalnya, perusahaan ini hanyalah berupa kios kopi kecil yang hanya
diperuntukan sebagai tempat berkumpulnya kalangan sendiri dan teman-teman
dekat saja. Seiring berjalannya waktu, ternyata produk dan konsep yang dibawa
Coffee Toffee mendapat respon yang bagus dari masyarakat, maka pada tahun
2006 dibukalah gerai ke dua Coffe Toffee di Surabaya.
Coffee Toffee kemudian memperluas jaringan usahanya melalui konsep
waralaba. Konsep ini dipilih karena dianggap dapat melayani dan memberikan
produk berkualitas tinggi bagi seluruh pelanggan di Indonesia.
Pada tahun 2008, Coffee Toffee memperoleh penghargaan Indonesian
Small Medium Business Enterpreneur Award (ISMBEA) 2008 di bidang
“inspiratif bisnis” serta terpilih oleh majalah pengusaha sebagai “Bisnis Prospektif
Tahun 2007.” Di bulan Juli 2010, Coffee Toffee telah memiliki lebih dari 100
gerai di seluruh Indonesia dan terpilih sebagai trend setter industri kopi ritel di
Indonesia oleh majalah SWA.
Coffee Toffee mempunyai visi untuk menjadi kedai kopi lokal yang
menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan selalu memberikan produk dan
layanan terbaik dengan bahan-bahan baku lokal terbaik dengan harga terjangkau.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dengan ini penulis ingin
mengajukan penelitian mengenai analisa perjanjian Coffee Toffee berdasarkan
peraturan perundang-undangan mengenai waralaba di Indonesia. Karena tentunya
para pihak yang akan menjalankan bisnis waralaba memerlukan adanya jaminan
berupa perlindungan hukum dan kepastian bahwa usahanya benar-benar telah
teruji dalam memberikan suatu manfaat (financial).
1. 2. Perumusan Masalah
Ada beberapa pokok permasalahan mendasar berkaitan dengan perjanjian
waralaba yang dibahas, yaitu:
1. Bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai waralaba
dalam dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee?
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
7
Universitas Indonesia
2. Apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban franchisor dan franchisee
dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee?
3. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam Perjanjian
Kemitraan Coffee Toffee?
1. 3. Tujuan Penelitian
1. 3. 1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui tentang
perjanjian waralaba secara umum dan mengetahui permasalahan-permasalahan
yang terdapat dalam perjanjian waralaba serta bagaimana mengatasi permasalahan
itu.
1. 3. 2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undangan mengenai
waralaba dalam dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian
Kemitraan Coffee Toffee.
3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam
Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee.
1. 4. Definisi Operasional
Ada beberapa istilah yang merupakan kerangka definisi dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal.8
2. Franchise/waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas
usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti
hal. 1. 8 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke enambelas, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996),
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
8
Universitas Indonesia
berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain
berdasarkan perjanjian waralaba.9
3. Perjanjian franchise/perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis
antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba Utama.10
4. Franchisor/pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.11
5. Franchisee/penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan
dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.12
6. Franchising adalah sistem pemasaran di mana pemilik bisnis individual menjalankan bisnisnya dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh
franchisor.13 7. Area Franchise adalah hak waralaba yang diberikan kepada individu atau
perusahaan meliputi wilayah geografis yang telah ditentukan dalam
perjanjian waralaba (franchise agreement). Pada praktiknya, area
franchise dapat diberikan target dan deadline yang berkaitan dengan
jumlah outlet yang harus dibuka dalam kurun waktu tertentu. Area
franchise dapat menjula haknya kepada individual atau multiple
franchisee.14
8. Distributorship (Dealer) adalah hak yang diberikan oleh pabrikan atau
pedagang besar (wholesaler) kepada individu/perusahaan untuk menjual
produk/jasa kepada pihak lain. Distributorship merupakan cikal bakal dari
format waralaba. Pada umumnya, distributorship hanya yang menyangkut
9 Indonesia (a), Op.Cit, Pasal 1 angka 1.
10 Indonesia (b), Peraturan Menteri Perdagangan, Permendag No. 12/M- DAG/PER/3/2006 Ps. 1 angka 6.
11 Indonesia (a). Op. Cit., Pasal 1angka 2.
12 Ibid, Pasal 1 angka 3.
13 Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba, cetakan pertama, (Yogyakarta: Media
Pressinndo, 2008), hal. 209.
14 Ibid, hal. 207.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
9
Universitas Indonesia
perpindahan kepemilikan produk bukan format waralaba, tetapi hanya
sebagai jual-beli biasa. Namun demikian, distributorship yang
mencantumkan adanya disclosure dalam persyaratan kerjasamanya sudah
dapat disebut sebagai format waralaba dalam bentuk yang paling
sederhana.15
1. 5. Metode Penelitian
Penulisan ini berusaha untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dengan melakukan penelitian hukum normatif (kepustakaan), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.16
Penelitian hukum normatif pada umumnya hanya dilakukan melalui studi dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder berupa peraturan- peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori
hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka.17 Penelitian ini
adalah penelitian mono disipliner,18 sebab hanya didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan, yaitu ilmu hukum.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan
pengkajian melalui studi dokumen (documentary research) dan wawancara.
1. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan mencari peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan franchise dan mencari bahan-bahan pustaka
lainnya yang relevan dengan tujuan penulisan. Sebagai referensi
tambahan, penulis juga mengkaji pustaka-pustaka perihal disiplin ilmu
hukum perjanjian, wanprestasi serta pustaka yang berhubungan dengan
15 Ibid, hal. 208.
16 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 13.
17 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), hal 92.
18 Penelitian mono disipliner adalah penelitian yang didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan dengan menerapakan metodologi yang lazim dilaksanakan oleh yang bersangkutan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 11.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
10
Universitas Indonesia
permasalahan penelitian ini. Bahan-bahan pustaka yang digunakan antara
lain terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat19,
yang berhubungan dengan penulisan ini yaitu:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba
- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU),
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian hukum, hasil
karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.20 Bahan hukum
sekunder yang digunakan oleh penulis adalah berupa artikel yang
diperoleh dari penelusuran internet dan buku-buku yang terkait dengan
penulisan ini.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya: kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, dan
sebagainya.21
2. Wawancara
Peneliti juga melakukan wawancara untuk mengumpulkan data.
Wawancara dilakukan dengan Manajer Operasional PT. Coffee Toffee
Indonesia yaitu Bapak Zulkifli Ahmad, dan Penanggung Jawab Business
Expansion, yaitu Ibu Putri Helliyati. Wawancara ini dilakukan di Kantor
PT. Coffee Toffee Indonesia Cabang Jakarta.
19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet. 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), hal. 113
20 Ibid, hal. 114.
21 Ibid.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
11
Universitas Indonesia
1. 6. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian hukum tentang Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee
Toffee Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba, ini akan
terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut:
Bab 1 Bab ini terbagi menjadi 6 sub bab, yaitu yang membahas mengenai
latar belakang dimana dalam bagian ini akan dijelaskan alasan
mengapa dituliskannya skripsi ini, pokok permasalahan yang berisi
apa saja permasalahan-permasalahan yang menyebabkan
dituliskannya penulisan ini, tujuan penulisan yang berisi tujuan
dari penulisan skripsi, definisi operasional yang berisi definisi-
definisi dari istilah yang berhubungan dengan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan dalam skripsi ini
Bab 2 Merupakan isi penelitian yang di dalamnya akan menjelaskan
mengenai aspek hukum perjanjian yang timbul dari Perjanjian
Franchise, terbagi menjadi 5 sub bab yang terdiri dari, pengertian
perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas hukum perjanjian,
hapusnya perikatan, serta wanprestasi.
Bab 3 Pada bab yang merupakan isi penelitian ini terdapat 7 sub bab,
yang di dalamnya akan menjelaskan mengenai franchise antara lain
pengertian franchise, sejarah franchise, keuntungan dan kerugian
franchise, pengaturan franchise di Indonesia yang terbagi lagi
dalam pengaturan franchise sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba, pengaturan franchise berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba,
pengaturan franchise berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, pengaturan
franchise berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Sub bab berikutnya
menjelaskan mengenai hubungan hukum antara franchisor dengan
franchisee, hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
12
Universitas Indonesia
Franchise, dan sub bab yang terakhir akan menjelaskan mengenai
tipe-tipe franchise.
Bab 4 Bab ini terdiri dari 4 sub bab yang di dalamnya akan membahas
mengenai analisis perjanjian kemitraan Coffee Toffee yaitu terdiri
dari isi akta perjanjian, penerapan syarat sahnya perjanjian dalam
perjanjian franchise, penerapan asas-asas perjanjian dalam
perjanjian franchise, dan penerapan syarat-syarat waralaba dalam
perjanjian kemitraan Coffee Toffee.
Bab 5 Merupakan penutup yang di dalamnya berisikan kesimpulan dan
saran dari permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu
mengenai penerapan ketentuan waralaba dalam Perjanjian
Kemitraan Coffee Toffee.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
13
Universitas Indonesia
BAB 2
ASPEK HUKUM PERJANJIAN DALAM FRANCHISE
2. 1. Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.22 Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:23
1. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum,
karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang
cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut dapat berupa orang (naturlijk
person) atau badan hukum (recht person);
3. Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang
satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini para pihak terikat
kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjirosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), Ps. 1313.
23 Perjanjian, , diakses 3
November 2010.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
14
Universitas Indonesia
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini sebenarnya
kurang begitu memuaskan, karena memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-
kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Perjanjian sepihak di sini dapat diketahui dari rumusan ”satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”, kata
”mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu
pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian
itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak adanya
konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat
perjanjian.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas
tanpa kuasa dan perbuatan melawan hukum. Dari kedua hal tersebut
merupakan tindakan/perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus.
Perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud
perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian
perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, atau disebut
sebagai janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri
dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin.
Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal 1313
KUHPerdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Hubungan
antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja.
4. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan
perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas
maksudnya untuk apa.
Oleh karena itu, selain pengertian perjanjian menurut KUHPerdata terdapat juga
pengertian perjanjian menurut pendapat para ahli.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
15
Universitas Indonesia
Menurut Sri Soedewi, perjanjian itu adalah suatu peruatan hukum dimana
seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
J. Satrio membagi pengertian perjanjian menjadi dua, yaitu dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Perjanjian dalam arti luas berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak. Sementara
perjanjian dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud dalam Buku III
KUHPerdata.24
R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan
hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedankan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.
Selanjutnya perjanjian menurut pendapat A. Qirom Samsudin Meliala
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Menurut pendapat R. Wirjno Prodjodikoro, persetujuan dengan perjanjian
merupakan hal yang berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua
pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat
kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai
harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu, sedangkan pihak yang lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.
Dari hal di atas, pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil
mengenai berbagai definisi perjanjian. Adanya perbedaan tersebut hanya terletak
pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertiannya
saja, yang pasti dari perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan
antara kedua orang atau kedua pihak tersebut.
Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara kedua orang atau
kedua pihak yang membuatnya. Dalam menampakkan atau mewujudkan
hal. 1. 24 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan keenambelas, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996),
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
16
Universitas Indonesia
bentuknya, perjanjian dapat dilakukan secara tertulis atau dapat juga dilakukan
secara lisan saja.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan di kalangan para pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan
disamping sumber-sumber perikatan lainya, perjanjian disebut sebagai
persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya
menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi
tertentu.
2. 1. Syarat Sah Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,
perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata yaitu:
1. Kesepakatan;
Maksud dari kesepakatan adalah kedua subyek yang mengadakan
perjanjian itu harus setuju dengan hal-hal pokok dari perjanjian yang
dilangsungkan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki pihak yang lain.25 Kata “sepakat” tidak boleh mengandung
unsur kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut.
Menurut Subekti, kekhilafan harus sedemikian rupa, hingga seandainya
orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan
persetujuannya atau sepakat terhadap perjanjiannya,26 adanya paksaan
dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324
KUHPerdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan
tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Terhadap
perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan pembatalan.
25 Ibid.
26 Ibid, hal. 23-24.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
17
Universitas Indonesia
2. Kecakapan Para Pihak;
Pasal 1329 KUHPerdata mengatur bahwa pada dasarnya semua orang
dianggap berhak dan boleh membuat suatu perjanjian kecuali mereka yang
dikecualikan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 1330 KUHPerdata,
subjek hukum yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
Pengaturan mengenai ukuran kedewasaan seseorang diatur secara
tegas dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang mana dinyatakan bahwa
orang yang dewasa adalah setiap orang yang telah berumur dua
puluh satu tahun atau telah menikah.
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
Pengaturan lebih lanjut mengenai mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan terdapat dalam Pasal 433 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa orang yang ditaruh di bawah pengampuan
adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan:
1) Dungu;
2) Sakit otak;
3) Mata gelap; atau
4) Boros terhadap hartanya.
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat
Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,
orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai orang yang
tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa
bantuan atau izin suaminya.
Jika suatu perjanjian dibuat oleh pihak yang tidak cakap maka akibatnya
adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
18
Universitas Indonesia
3. Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak,
maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 dan Pasal 1333
KUHPerdata menyebutkan bahwa barang yang menjadi obyek perjanjian
harus:
1) Barang yang dapat diperdagangkan;
2) Barang yang dapat ditentukan jenisnya.
Pasal 1334 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa barang-barang yang
baru akan ada dikemudian hari juga dapat dijadikan obyek perjanjian.
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian itu
dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pasal 1335 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan. Hal ini kemudian oleh Pasal 1337 KUHPerdata secara tegas
dinyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
Undang-Undang, berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban
umum. Hal-hal tersebut selalu menjadi tolak ukur dari sahnya perjanjian
yang memiliki sebab yang halal. Sehingga, jika tidak melanggar ketentuan
Pasal 1337 KUHPerdata, maka para pihak bebas untuk menentukan isi
perjanjian yang mana hal ini merupakan penerapan dari asas kebebasan
berkontrak yang terkandung di dalam hukum perjanjian Indonesia.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sehingga disebut sebagai
syarat subyektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek, sehingga
disebut sebagai syarat obyektif. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
19
Universitas Indonesia
2. 3. Asas Hukum Perjanjian
Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat
normatif dan niscayaan yang memaksa. Paul Scholten27 memberikan definisi
mengenai asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.
Dalam setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu
asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan
perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan
menjadi jelas.28 Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-
asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya.
Asas-asas yang dianut dalam suatu perjanjian terdiri dari:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Arti dari asas ini adalah para pihak dapat membuat berbagai kesepakatan
dan dapat menyimpangi Undang-undang sepanjang tidak bertentangan
dengan keadilan, kepatutan, dan kesusilaan.
Hukum perjanjian memiliki perbedaan dengan hukum benda. Hukum
benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut
sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan
peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat
memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang
berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.29
27 Paul Scholten di dalam JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa oleh Arief Sidharta), (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1993), hal. 119-120.
28 Rooseno Harjowidigdo, 1993, Perspektif Peraturan Perjanjian Franchise, Makalah
disajikan pada pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franshise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi tgl 14-16 Desember, Depkeh – BPHN, Jakarta.
29 Subekti, Op. Cit, hal. 13.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
20
Universitas Indonesia
2. Asas Konsensualisme (Kesepakatan)
Menurut A. Qirom Syamsudin M, Asas konsesualisme mengandung arti
bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang
membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali
perjanjian yang bersifat formal.30 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338
KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan secara tegas
mengenai asas ini sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata dapat
ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa
setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi
kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya
baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya
dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.31
Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau
kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat
dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat
mengenai pokok perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Artinya adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat para pihak
tersebut, implikasinya adalah perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan
secara sepihak. Perjanjian yang dibuat secara sah dan tertulis itu berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sun servanda ini dapat diketahui
di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini
tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka
30 A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 20.
31 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001), hal. 87.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
21
Universitas Indonesia
sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian
mengikat para pihak seperti undang-undang.
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan
terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh
kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas
moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.32
4. Asas Itikad Baik33
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan: “perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan ini memberi wewenang
kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian supaya tidak
bertentangan dengan rasa keadilan. Itikad baik dalam perjanjian mengacu
pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian
disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan
memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan
diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua
pihakmengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai
kekuatan mengikat sebagai undang-undang.34
6. Asas Kesetaraan
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan,
jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
32 Ibid.
33 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu Pengantar, cet.1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005), hal. 146.
34 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 87.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
22
Universitas Indonesia
persamaan ini dan mengaharuskan kedua pihak untuk menghormati satu
sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan35.
7. Asas Subsideritas
Asas subsideritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menegah atau
pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka
memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai kemampuan dan kompetensi
yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan
dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.
8. Asas Unconcionability
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconscionable artinya bertentangan
dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali
digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil
(unfair) sehingga dapat mengguncangkan hati nurani Pengadilan (Hakim)
atau shock the conscience of the court.36
Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa
unconscionability atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam
ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau
dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak
tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah
satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak
yang bersangkutan.
Biasanya doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini mengacu kepada
posisi tawar menawar dalam kontrak tersebut yang sangat berat sebelah
karena tidak terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai dengan
klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan
keuntungan yang tidak wajar bagi pihak lain.
9. Asas Sukarela
Sebagai pemrakarsa atau mitra usaha dalam kemitraan usaha nasional
bukanlah suatu kewajiban yang bersifat mutlak bagi setiap perusahaan,
35 Ibid, hal. 88.
36 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 105.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
23
Universitas Indonesia
tetapi hal ini hanya dilandasi oleh rasa tanggung jawab sosial dari
perusahaan besar terhadap lingkungan tempat berusahanya.
10. Asas keuntungan timbal balik
Kemitraan usaha nasional ini dibina dan dikembangkan untuk memberikan
manfaat bagi kedua belah pihak yang bermitra. Keuntungan timbal balik
sebagai dasar untuk menjalin kemitraan yang langgeng.
11. Asas Kepribadian
Perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi pihak yang mengadakan
perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUHPerdata),
pengecualiannya menurut pasal 1317 KUHPerdata.
12. Asas Kebiasaan
Yaitu bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan,
sesuai dengan isi pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi : “hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam
dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan.”
13. Asas Desentralisasi
Pemerintah dalam hal ini memberikan wewenang dan kebebasan kepada
setiap usaha besar ataupun usaha menengah bersama mitra usahanya untuk
mendesain dan merancang sendiri pola kemitraan yang akan dilakukan
sesuai dengan kesepakatan antara masing-masing pihak yang bermitra.
Bila dalam perjanjian tidak sesuai dengan maksud para pihak maka kita
harus berpaling pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1339
KUHPerdata mengenai itikad baik agar perjanjian yang patut dan pantas sesuai
asas kepatutan yang membawa pada keadilan. Oleh karena itu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik dan kepatutan karena antara itikad baik dan
kepatutan tujuannya sama untuk mencapai keadilan yang diharapkan jadi Pasal
1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata merupakan Pasal yang artinya senafas atau
senada.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
24
Universitas Indonesia
2. 3. Hapusnya Perikatan
Berakhirnya perikatan menurut pasal 1381 KUHPerdata:
a. Karena pembayaran, yaitu setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
dan dengan itikad baik;
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsinyasi);
c. Karena pembaharuan utang (novasi), berdasarkan pasal 1413
KUHPerdata;
d. Karena perjumpaan utang (kompensasi), yang merupakan suatu cara
penghapusan utang dengan jalan memperjumpakannya atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan
debitur;
e. Karena percampuran utang, yaitu apabila kedudukan sebagai berpiutang
(kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-
piutang itu dihapuskan;
f. Karena pembebasan utangnya, yaitu perikatan yang hapus karena si
kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si
berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian;
g. Karena musnahnya barang yang terutang, yaitu objek perjanjian tidak
dapat lagi diperdagangkan, musnah, atau hilang hingga sama sekali tidak
diketahui apakah barang itu masih ada;
h. Karena batal atau pembatalan, berdasarkan pasal 1446 KUHPerdata;
i. Karena berlakunya syarat batal, yaitu perikatan dilahirkan yang justru akan
berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi;
j. Karena lewatnya waktu (daluwarsa), berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata.
Sedangkan di dalam prakteknya perikatan dapat hapus karena:
a. Jangka waktunya berakhir;
b. Dilaksanakan obyek perjanjian;
c. Kesepakatan dua belah pihak;
d. Pemutusan secara sepihak;
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
25
Universitas Indonesia
e. Adanya putusan pengadilan.
2. 5. Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian37 dan bukan dalam keadaan
memaksa. Terdapat berbagai macam bentuk wanprestasi, yaitu:38
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya
maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu39:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang
diperjanjikan.
2.21
hal. 18.
37 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet. 1, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), hal. 38 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet. 6, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), 39 Subekti, Op. Cit., hal. 31.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
26
Universitas Indonesia
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak
berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan
dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak
ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur
melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang
diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
27
Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN MENGENAI FRANCHISE
2. 1. Pengertian Franchise
Usaha waralaba atau franchise sebenarnya bukanlah suatu bentuk bisnis
baru di Indonesia, meskipun begitu legalitas yuridisnya baru dikenal pada tahun
1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.
Dari segi bahasa istilah franchise berasal dari kata kerja dalam bahasa
Perancis yakni ‘affrancir’ yang berarti ‘to free’. Sehingga ‘to franchise’ berarti
memberikan suatu kebebasan untuk berbuat sesuatu dalam konteks wirausaha
untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu pula.40 Istilah
franchise dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan waralaba. Pengertian waralaba menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kerja sama
dalam bidang usaha dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan; hak kelola dan
hak pemasaran. Selain pengertian dari segi bahasa, terdapat juga pengertian
franchise menurut peraturan perundang-undangan dan pengertian menurut
doktrin.
2. 1. 1. Pengertian Franchise Menurut PP No. 42 Tahun 2007
Pasal 1 angka 1 dari Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba mendefinisikan waralaba sebagai “hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
hal. 3. 40 Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution Sistem, (London: Longman, 1972),
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
28
Universitas Indonesia
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.”
2. 1. 2. Pengertian Franchise menurut The British Franchising Association
(BFA)41
The British Franchising Association (BFA) memperikan rumusan
franchise sebagai berikut:
A contractual license granted by one person (franchisor) to another
(franchisee) which:
a. Permits or requires the franchise to carry on, during the period of
franchise, a particular business under or using specific name belonging to
or associated with the franchisor; and
b. Entitles the franchisor to exercise continuing control during period of the
franchisor over the manner in which the franchise carries on the business
which is the subject of franchisee; and
c. Obliges the franchisor to provide the franchisee with assistance in
carrying on the business which is the subject of the franchise (in relation
to the organization of the franchisee business the training of staff,
merchandising, management or otherwise); and
d. Requires the franchise periodically, during the period of franchise, to pay
the franchisor sums of money, in considerations of franchise, or for goods
or service provide by the franchisor to the franchisee; and
e. Which is not transaction between a holding company and its subsidiary or
between subsidiaries of the same holding company, or between individual
and the company controlled by him.
Dari perumusan oleh BFA tersebut dapat diartikan bahwa waralaba merupakan
sebuah persetujuan pemberian ijin oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain
(franchisee), berupa:
a. Mengijinkan atau menghendaki franchisee dalam jangka waktu franchise
untuk melanjutkan usaha, sebuah bisnis istimewa di bawah atau
menggunakan nama khusus kepunyaan atau gabungan dengan franchisor;
41 John Adams, K.V. Prichard Jones, Franchising Practice and Precedents in Business format Franchising (London: 1987), hal. 9.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
29
Universitas Indonesia
b. Memberikan hak kepada franchisor untuk melatih dengan pengawasan
yang berkesinambungan dalam jangka waktu franchise mengenai
kebiasaan yang harus dibawa franchisee dalam menjalankan bisnis sebagai
hal yang pokok dalam franchise;
c. Mewajibkan franchisor untuk melengkapi franchisee dengan bantuan-
bantuan dalam menjalankan bisnis sebagai hal yang pokok dalam
franchise (dalam hubungannya dengan organisasi bisnis franchise, latihan
staff, perdagangan, manajemen, atau lain-lainnya;
d. Menghendaki franchisee secara berkala, dalam jangka waktu franchise,
untuk membayar sejumlah uang kepada franchisor sehubungan dalam
perjanjian franchise (dalam hubungannya dengan organisasi bisnis
franchise, latihan staff, perdagangan, manajemen, atau lain-lainnya;
e. Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk dan cabangnya
(cabang pembantunya) atau antara cabang (anak perusahaan) dalam
perusahaan induk yang sama antara perseroan dan sebuah perusahaan yang
diawasi olehnya.
2. 1. 3. Pengertian Franchise menurut International Franchise Organization
International Franchise Organization merumuskan franchise sebagai
berikut: “A franchise operation is a contractual relationship between the
franchisor and franchisee in which franchisor offers or us obliged to
maintain a continuing interest in the business of franchisor in such areas
as known-how and training: wherein the franchisee operates under a
common trade name, format or procedure owned by or controlled by the
franchisor and in which capital investment in his business from his own
resources”.
Pengoperasian franchise merupakan persetujuan antara franchisor, dengan
franchisee, dimana franchisor menawarkan atau wajib untuk memelihara secara
berkesinambungan bisnis franchisor di suatu daerah tertentu, seperti keterampilan
dan latihan, dagang bersama, bentuk atau prosedur pemilikan oleh atau
pengawasan oleh franchisor dan yang mana franchisee menggunakan modal yang
besar dari sumbernya.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
30
Universitas Indonesia
2. 1. 4. Pengertian Franchise Menurut Doktrin
Selain pengertian menurut peraturan perundang-undangan dan kamus
hukum, para ahli juga memberikan pengertian tersendiri terhadap franchise antara
sebagai berikut:
a. PH Collin
PH Collin dalam Law Dictionary mendefinisikan franchise sebagai
“License to trade using a brand name and playing a royalty for it”, dan
franchising sebagai “Act of selling a license to trade as a Franchise”. PH
Collin menekankan definisi franchise pada pentingnya peran nama dagang
dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty.
b. Pengertian Franchise menurut Henry Campbell Black42
Dalam Black’s Law Dictionary, Black mendefinisikan franchise sebagai
suatu hak istimewa yang diberikan oleh franchisor terhadap individu atau
perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari
setiap warga negara. Pengertian franchise menurut Black adalah sebagai
berikut:
A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell
products or services.
In its simple terms, a Franchise is a license form owner of a
trademark or trade name permitting another to sell a product or
service under that name or mark.
More broadly stated, a Franchise bas evolved into a elaborated
agreement under which the Franchise undertakes to conduct a
business or sell a product or service in accordance with methods
and procedures prescribed by the Franchisor, and the Franchisor
undertakes to assist the Franchisee through advertising, promotion
and other advisory services.
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa waralaba menurut Black tidak
hanya menekankan unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi,
waralaba juga menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk
658. 42 Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition (Minn West Publishing Co. 1990), hal.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
31
Universitas Indonesia
berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor,
di mana pihak franchisee berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata
cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.
Seorang franchisee memang menjalankan usahanya secara sendiri tetapi
dia menggunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan
memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan
oleh pemberi waralaba. Hal ini berakibat bahwa suatu usaha waralaba
adalah usaha yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha
lainnya (milik penerima waralaba). Ini berarti pemberian waralaba
menuntut eksklusivitas, dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan
terjadinya non-competition clause bagi franchisee, bahkan setelah
perjanjian waralabanya berakhir. Makna eksklusivitas yang dalam Black’s
Law Dictionary juga diakui dalam Kamus Keuangan dan Investasi karya
John Downes dan Jordan Elliot Goodman.
c. Pengertian Franchise menurut John Downes dan Jordan Elliot Goodman
John Downes dan Jordan Elliot Goodman memberikan arti franchise
sebagai berikut:
Suatu hak khusus yang diberikan kepada dealer oleh suatu usaha
manufaktur atau organisasi jasa waralaba, untuk menjual produk
atau jasa pemilik waralaba di suatu wilayah tertentu, dengan atau
tanpa eksklusivitas.
Pengaturan seperti itu kadangkala diresmikan dalam suatu
Franchise agreement (perjanjian hak kelola), yang merupakan
kontrak antara pemilik hak kelola dan pemegang hak kelola.
Kontrak menggariskan bahwa yang disebutkan pertama dapat
menawarkan konsultasi, bantuan promosional, pembiayaan dan
manfaat lain dalam pertukaran dengan suatu persentase dari
penjualan atau laba.
Bisnis dimiliki pemegang hak kelola yang biasanya harus
memenuhi suatu persyaratan investasi awal.
Pengertian di atas lebih menekankan pada pemberian konsultasi, bantuan
promosional, dan pembiayaan serta manfaat lain yang diberikan oleh
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
32
Universitas Indonesia
pemberi waralaba kepada franchisee dengan pertukaran dengan suatu
presentase dari penjualan, atau laba (royalty) dari franchisee kepada
franchisor.
d. Pengertian Franchise menurut Wilbur Cross
Wilbur Cross dalam Dictionary of Business Terms memiliki pengertian
yang agak berbeda dengan pendapat ahli-ahli sebelumnya, Cross
merumuskan franchise sebagai berikut:
A business enterprise that is establhised under the authority and
jurisdiction of a parent company, known as a Franchiser, and
subject to the latter’s operational policies, procedures, and
stipulations. The concept of franchising dates back to mediaeval
times when Lords of land granted the right to one of their knights
to govern part of their domain. Markets and fairs were also
conducted under Franchise, as were certain other commercial
activities. Today the terms of a Franchise contract may include
such items as rates and services to be provided by grantee,
payments to the grantor, and provisions for termination of the
Franchise. Municipalities grant Franchises to public utility
companies giving them monopolies in electrical, gas, or telephone
services but reserving the right to regulate them. Common forms of
business in which Franchises thrive are retail operations, hotels
and motels, fast food chains, printing, photocopying, mailing
services, automobile dealerships, and greeting card shops. The
Franchiser furnishes the Franchisee with its name and trademark,
architectural design, and operating procedures. Approximately one
out of every three dollars in retail field goes to a Franchise
operation.
Menurut Wilbur Cross, pada dasarnya waralaba merupakan salah satu
bentuk salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda
dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada
kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur,
metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah diberikan
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
33
Universitas Indonesia
oleh franchisor secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar atau diabaikan
oleh franchisee. Pengertian ini menunjukan bahwa waralaba cenderung
bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak franchisee tidak boleh
melakukan kegiatan lain yang sejenis atau berada dalam suatu lingkungan
yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba
yang diperolehnya dari franchisor. Hal ini menunjukan bahwa waralaba
sangat mementingkan issue non-competition.
2. 2. Sejarah Franchise
Franchising merupakan sistem bisnis yang sangat efisien, sistem ini telah
terbukti dapat dijalankan secara individual dan mampu memperluas pemasaran
franchisor. Saat ini konsep waralaba telah diterapkan di banyak negara. Konsep
waralaba berhasil memunculkan sense of belonging pada lebih banyak lapisan
pengusaha. Berbeda dengan bisnis konvensional di mana kepemilikan berpusat
pada seseorang atau segelintir pemilik, konsep bisnis waralaba membagikan
kepemilikan bisnis kepada siapa pun yang berminat. Inilah salah satu kunci sukses
waralaba.
Pada akhir abad ke-20, franchising telah mengalami kemajuan yang pesat,
bukan hanya dalam mengembangkan bisnis, tetapi juga untuk meningkatkan jasa
dan keunikan usaha. Yang patut dikagumi dari perjalanan waralaba adalah
keberanian orang-orang yang brilian dan inovatif untuk berbagi kepemilikan dan
keuntungannya sehingga dapat berperan dalam memajukan pertumbuhan ekonomi
masyarakatnya. G. Alexander Ordndorff mengatakan bahwa kalau kita ingin
menambahkan kekayaan diri sendiri, kita juga harus memperkaya orang lain.
2. 2. 1. Cikal Bakal Franchise
Jerman meurpakan negara yang banyak memproduksi anggur dan bir.
Pada tahun 1840, Jerman mencoba untuk memperlakukan dan mempraktikan
sistem franchise. Pemilik pabrik anggur dan bir mengadakan perjanjian dengan
kafe dan bar-bar untuk mendistribusikan anggur dan bir yang diproduksi. Praktik
inlah yang menjadi cikal-bakal lahirnya sistem franchising yang dikenal pada saat
ini. Konsep ini kemudian menyebar hingga benua Amerika yang dibawa oleh
pengusaha perantau.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
34
Universitas Indonesia
Konsep franchise ini kemudian diperluas oleh raja saat itu dalam satu
bentuk kegiatan, antara lain diberikannya hak khusus kepada seseorang untuk
membangun jalan hingga mencampur bir. Namun konsep ini belakangan justru
mengakibatkan hak-hak monopoli seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu.
Lalu, praktik dan kebiasaan ini menjadi bagian dari suber hukum common law di
Eropa.43
2. 2. 2. Perkembangan Franchise Modern
Pada tahun 1863, franchise mulai dikenal luas di Amerika, yaitu ketika
prdusen mesin jahit Singer mulai menjual hak waralaba atas outlet mesin jahitnya.
Singer Sewing Machine Company merupakan perusahaan pertama yang
menerapkan distribution franchise44 pada distributornya untuk menjual produk
mesin jahit. Singer company menggunakan franchise sebagai salah satu cara untuk
mendistribusikan produknya tanpa harus menanam modal pada gerai yang
dikelola oleh pihak-pihak yang bukan berasal dari dalam perusahaan. Cara ini
merupakan sebuah inovasi, karena jika menggunakan cara konvensional akan
diperlukan biaya yang besar untuk membangun gerai-gerai penjualan di wilayah
luas.
Singer company disebut sebagai pelopor perjanjian franchise modern
karena perusahaan inilah yang pertama kali membuat perjanjian distribution
franchise secara tertulis. Langkah inovatif Singer Company dalam memperluas
jaringan penjulannya tersebut kemudian disusul oleh perusahaan mobil, gas, dan
elektrik pada tahun 1880.
Pada akhir abad ke-19, konsep franchise menjadi popular dengan cepat
dalam industry otomotif. General Motor (GM) membangun kerja sama dengan
jaringan dealer pada tahun 1898 tanpa melakukan investasi langsung pada gerai
yang dimiliki dealer. Para pengguna mobil kemudian menciptakan kenaikan
permintaan bahan bakar, minyak, dan ban. Kebutuhan komoditi tersebut akan
43 Opcit. Lukman Hakim, hal. 35.
44 Distribution franchise adalah hak yang diperoleh franchisee untuk mendistribusikan atau menjual produk suatu produsen atau pemasok. Distribution franchise setara dengan pengertian product franchise. Ibid, hal. 36.
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
35
Universitas Indonesia
dipenuhi oleh pengusaha dengan membeli hak waralaba dari pemasok komoditi
tersebut.45
Sistem franchise semakin populer dengan adanya perusahaan penjual
minuman ringan dan penginapan. Pada tahun 1899, Coca Cola Company, juga
meluncurkan franchise. Dan salah satu usaha franchise rumah makan yang paling
terkenal di dunia kemudian lahir pada tahun 1955, yaitu McDonald’s.
McDonald’s mengembangkan inovasi baru dalam franchise dengan
memperkenalkan format business atau operating system franchise, yaitu konsep
waralaba berdasarkan suatu merek yang dilindungi (protected mark) dan suatu
sistem operasi khusus yang harus dimiliki pemilik waralaba.
Perkembangan franchise sedikit tersendat akibat resesi ekonomi Amerika
Serikat pada dekade 30-an, yang diikuti ambruknya perekonomian dunia. Baru
setelah usainya Perang Dunia II, konsep franchise berkembang dengan sangat
pesat dengan kembalinya para sukarelawan baik lelaki maupun perempuan dari
tanah peperangan ke Amerika Serikat. Banyak veteran perang yang berniat
membuka usaha, dan memilih sistem franchise untuk meminimalkan resiko
kebangkrutan.
Peluang lain bagi bisnis franchise di Amerika Serikat mulai terbuka pada
era baby boomers pasca Perang Dunia II, yaitu peluang di bidang makanan cepat
saji. Pada tahun 1959 sistem waralaba tidak hanya diterapkan dalam bidang
distribusi bahan bakar melalui pompa bensin, penjualan mobil, ataupun barang-
barang elektronik. Sistem ini telah merambah ke bidang jasa dan produk lain
seperti jaringan hotel, supermarket, dan restoran. Nama-nama seperti Holiday Inn,
McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Burger King, dan International House of
Pancakes, mendapatkan momentum pertumbuhan yang pesat di era ini. Bisnis
franchise kemudian diramaikan oleh kehadiran pewaralaba lainnya, seperti
Dunkin Donuts, yang saat ini telah menggurita di seluruh dunia.
Para franchisor belum merasa puas setelah jaringannya menguasai pangsa
pasar Amerika Serikat. Mereka kemudian mengembangkan jaringan penjualannya
bukan saja di seluruh penjuru negara, tetapi juga menjangkau hingga ujung dunia.
Era globalisasi setelah runtuhnya komunisme, menjadi momentum penting bagi
hal. 5-8. 45 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising: Konsep dan Kasus, (Jakarta: Harvarindo, 2005),
Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011
36