108
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PERJANJIAN KEMITRAAN COFFEE TOFFEE DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI WARALABA SKRIPSI YUSUF SULISTIAWAN 0606081242 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK DESEMBER 2010 Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

SKRIPSI YUSUF SULISTIAWANlib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20322656-S21456...ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PERJANJIAN KEMITRAAN COFFEE TOFFEE DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    MENGENAI WARALABA

    SKRIPSI

    YUSUF SULISTIAWAN

    0606081242

    FAKULTAS HUKUM PROGRAM

    SARJANA REGULER DEPOK

    DESEMBER 2010

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PERJANJIAN KEMITRAAN COFFEE TOFFEE DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    MENGENAI WARALABA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

    YUSUF SULISTIAWAN

    0606081242

    FAKULTAS HUKUM

    PROGRAM STUDI HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTARA SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT

    DESEMBER 2010

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • ii

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

    Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

    dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

    telah saya nyatakan dengan benar

    Nama : Yusuf Sulistiawan

    NPM : 0606081242

    Tanda tangan :

    Tanggal : 3 Januari 2011

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • iii

    HALAMAN PENGESAHAN

    Skripsi ini diajukan oleh :

    Nama : Yusuf Sulistiawan

    NPM : 0606081242

    Program Studi : Sarjana

    Judul Skripsi : Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba

    Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

    DEWAN PENGUJI

    Pembimbing I : Prof.Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. (.......................)

    Pembimbing II : Suharnoko, S.H., MLI. (.......................)

    Penguji : Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. (.......................)

    Penguji : Abdul Salam, S.H., M.H. (.......................)

    Penguji : Endah Hartati, S.H., M.H. (.......................)

    Ditetapkan di : Depok

    Tanggal : 5 Januari 2011

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena

    berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

    ini dengan baik. Penulisan ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semoga penulisan ini

    dapat membawa kemudahan dan pemahaman bagi para pembaca dalam

    menginterpretasikan materi yang disajikan. Penulis menyadari bahwa sejak masa perkuliahan hingga penulisan ini selesai bukanlah

    proses yang dilalui tanpa hambatan dan rintangan, oleh karena itu penulis ingin

    menyampaikan terima kasih kepada: (1) Allah SWT, Sang Penentu dan Pemegang Kuasa di atas segalanya, terima kasih Ya

    Allah, Engkau jawab doa-doaku. Engkau hantarkan kebaikan kepadaku. Izinkan aku

    mengukir cita-cita yang lebih tinggi dan berkahi langkahku untuk menjalani niat ini; (2) Ibu, Bapak, dan Adik atas segala kasih dan sayangnya yang diberikan tanpa henti.

    Terima kasih ada kesabaran menunggu ananda yang berjuang mengejar asa

    meskipun harus lulus bukan pada waktu umumnya; (3) Kedua pembimbing skripsi, Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Bapak

    Suharnoko, S.H., MLI. atas segala bimbingan dan arahannya sehingga saya dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang diberikan di tengah

    padatnya jadwal beliau untuk membimbing penulisan skripsi ini; (4) Kepada pembimbing akademis, Ibu Nathalina Naibaho, S.H., M.H., yang telah

    membimbing dan membantu penulis hingga dapat menyelesaikan studinya di FHUI; (5) Pihak PT. Coffee Toffee Indonesia, khususnya kepada Bapak Zainudin Ahmad

    selaku Operational Manager yang telah banyak membantu penulis untuk

    mendapatkan bahan yang diperlukan; (6) Teman-teman terdekat Aditya Andy Syahputra, Rachmad Firmansyah, Dhany

    Arlan, Gerry Rama Geni, Radityas Megha, Aji Agung Nugroho, Zulhami Rizki,

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • v

    Randitya Adiguna, Asih Pawitra Winasis, Adhiem Widigdo, Lebdo Dwi Paripurno,

    M. Insan Akbar, Adi Lazuardi, Arini Septiana, Gulardi Nurbintoro, Adila Oktora,

    Dea Merisa Putri, dan Arindra Maharany yang telah memberikan bantuan dan

    inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsinya; (7) Keluarga besar OSUI Mahawaditra, Ruth Diarina, Elisabeth Ermuliana, Alicia

    Nevriana, Kara Toruan, Ariana, Nara Brahma, Kirana, Rafika, Syifa, Rifky, Leonard

    Reza, Yoga, dan Mas Bowie yang telah memberikan motivasi bagi penulis; (8) Teman-teman K2N UI 2010 Pulau Selaru, Tsania, Petra, Lany, Zuni, Soekarno,

    Indah, Dea, Aghnes, dan Dintan atas pengalaman hidup yang menjadi pelajaran

    berharga yang turut membantu terselesaikannya tulisan ini. (9) Kepada Pak Jon, Ibu Sri Maendari, Ibu Umi Hikmawati, dan Bang Indra Birpen

    yang turut memberikan bantuan demi selesai penulisan skripsi ini; Semoga harapan yang kita punya bisa terus dikejar dan diwujudkan. Pantang bagi

    seorang pejuang untuk berkata lelah dan menyerah. Semoga Allah SWT meridhoi kita

    semua. Amin.

    Depok, 5 Januari 2011

    Penulis

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • vi

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

    Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

    Nama : Yusuf Sulistiawan

    NPM : 0606081242

    Program Studi : Sarjana Hukum

    Departemen : Program Kekhususan I (Hukum Keperdataan)

    Fakultas : Hukum

    Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

    Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free

    Right) atas karya saya yang berjudul :

    Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee

    Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba

    Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif

    ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola

    dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir

    saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

    penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

    Dibuat di : Depok

    Pada tanggal : 5 Januari 2011

    Yang menyatakan,

    Yusuf Sulistiawan

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • vii

    ABSTRAK

    Nama : Yusuf Sulistiawan Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee Ditinjau dari

    Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba Skripsi ini membahas penerapan peraturan perundang-undangan mengenai waralaba, hak dan kewajiban para pihak, dan bentuk penyelesaian sengketa di dalam Perjanjian Franchise Coffee Toffee. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang pada umumnya hanya dilakukan melalui studi dokumen. Hasil penelitian menyarankan bahwa Pemerintah sebaiknya lebih memberikan kemudahan hukum kepada usaha waralaba lokal yang telah menunjukan berkembang pesat; perjanjian Franchise Coffee Toffee sebaiknya mencantumkan clausul of no agency dan force majeure; mengganti penggunaan istilah arbitrator dalam perjanjian dengan istilah arbiter.

    Kata kunci : Perjanjian, Kemitraan, Franchise.

    ABSTRACT Name : Yusuf Sulistiawan Study Program : Law Title : Analysis of Partnership Agreement of Coffee Toffee Based on

    Laws and Regulations on Franchise The focus of this study is the implementation of the law regarding the franchise agreement, the rights and obligations of the parties, and forms of dispute resolution in the Franchise Agreement of Coffee Toffee. This legal research using a normative juridical research based on literature. The results of research suggest that the Government should give more convenience to the law of the local franchisor which has shown growing rapidly; the franchise agreement of Toffee Coffee should include clausal of no agency and force majeure; replace the use of the arbitrator word in the agreement with the arbiter word.

    Key word: Agreement, Partnership, Franchise.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • viii

    DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………. ii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...... iii KATA PENGANTAR……………………………………………………………....... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………………. vi ABSTRAK……………………………………………………………………………. vii DAFTAR ISI…………………………………………….……………………………viii 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang…………………………………………………………………. 1 1.2 Pokok permasalahan………………………………………………………….. 6 1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………… 7 1.4 Definisi Operasional…………………………………………………………... 7 1.5 Metode penelitian………………………………………………………………9 1.6 Sistematika penulisan…………………………………………………………11

    2. ASPEK HUKUM PERJANJIAN

    2.1 Pengertian perjanjian………………………………………………………..…13 2.2 Syarat sahnya perjanjian ……………………………………………………… 16 2.3 Asas hukum perjanjian…………………………………………………………. 19 2.4 Hapusnya perikatan……………………………………………………………. 24 2.5 Wanprestasi…………………………………………………………………….. 25

    3. TINJAUAN UMUM MENGENAI FRANCHISE

    3.1 Pengertian mengenai franchise………………………………………………… 27 3.2 Sejarah franchise……………………………………………………………….33

    3.2.1. Cikal bakal franchise……………………………………………………..33 3.2.2. Perkembangan franchise modern…………………………………………34 3.2.3. Perkembangan franchise di Indonesia………………………………….....36

    3.3 Keuntungan dan kerugian franchise………………………………………….....38 3.4 Pengaturan franchise di Indonesia…………………………………………….. 42

    3.4.1. Sebelum berlakunya PP No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba………….43 3.4.2. PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba……………...……….………...44 3.4.3. PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba………………………………...49 3.4.4. Permendag No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara

    Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba…….….………….52 3.5 Hubungan hukum antara franchisor dengan franchisee…...……………….………56 3.6 Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise.………………………..58 3.7 Tipe-tipe franchise…………………..…………………………………………….. 60

    4. ANALISIS PERJANJIAN COFFEE TOFFEE

    4.1. Isi akta perjanjian……………………………………………………………….64 4.1.1 Hubungan hukum para pihak………………………………………....…….69 4.1.2 Hak dan kewajiban para pihak….…………………………………………. 69 4.1.3 Bentuk dan besarnya imbalan…………….……………………………….. 74 4.1.4 Bentuk penyelesaian sengketa…………….……………………………..…75

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • ix

    4.2 Penerapan syarat sah perjanjian………………………………………………….. 78 4.3 Penerapan asas-asas perjanjian dalam perjanjian franchise………………………..81 4.4 Penerapan syarat-syarat dalam perjanjian franchise ……………………………..85

    5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..89 5.2 Saran……………………………………………………………………………….91

    DAFTAR REFERENSI……………………………………………………………….94

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1. 1. Latar Belakang Masalah

    Perekonomian merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan

    bangsa. Bahkan perekonomian dipandang sebagai cita-cita suatu bangsa, hal ini

    dapat dirasakan dari munculnya kata-kata “masyarakat yang adil dan makmur.”

    Kata-kata tersebut mengandung makna bahwa keberhasilan pembangunan

    perekonomian suatu bangsa terlihat dari kesejahteraan masyarakatnya.

    Perekonomian juga merupakan tulang punggung suatu bangsa, keberhasilan

    pembangunan ekonomi akan membantu pembangunan di sektor lainnya seperti

    politik, hukum, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

    Perekonomian yang kuat akan mampu membawa suatu bangsa menjadi

    bangsa yang terpandang, hal ini terlihat dari munculnya istilah “negara maju” dan

    “negara berkembang”. Kedua istilah tersebut merupakan penggolongan negara-

    negara di dunia berdasarkan tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup rakyatnya.

    Negara maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas

    hidup yang tinggi. Sedangkan negara berkembang adalah negara yang rakyatnya

    memiliki tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau dalam

    perkembangan. Negara Maju selalu dikaitkan dengan pendapatan nasional

    perkapita yang tinggi, sedangkan Negara Berkembang selalu dikaitkan dengan

    pendapatan nasional perkapita yang rendah atau menengah.1 Negara yang

    digolongkan sebagai negara maju umumnya terdapat di benua Eropa terutama

    kawasan Eropa Barat serta Amerika Utara misalnya Belanda, Perancis, Inggris,

    Amerika Serikat, dan lain-lain. Sedangkan yang digolongkan sebagai negara

    berkembang terdapat di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Latin).

    1 “How We Classify Countries” diakses 5 September 2010 pukul 19.45

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 2

    Universitas Indonesia

    Saat ini perekonomian dunia telah mengarah pada persaingan global

    dimana seorang pelaku ekonomi tidak hanya bersaing dengan orang-orang di

    negaranya tetapi juga dengan pelaku ekonomi dari negara lain. Dalam memasuki

    era globalisasi, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi

    Perdagangan Dunia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang

    Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan

    Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Ratifikasi terhadap perjanjian

    internasional tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia untuk melakukan

    penyesuaian atas seluruh hukum nasional yang ada terhadap kebijakan yang

    bersifat internasional.

    Dalam era persaingan global tidaklah mudah untuk mencapai tingkat

    kesejahteraan ekonomi yang ideal, setiap pelaku ekonomi harus bersaing dengan

    banyak pihak. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan

    ekonomi yang diinginkan adalah dengan membuka usaha sendiri atau yang biasa

    disebut sebagai wirausaha. Menurut Joseph Schumeter, wirausahawan adalah

    orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang

    dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah

    bahan baku baru.2 Dalam definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah

    orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi

    untuk memanfaatkan peluang tersebut. Wirausaha dapat meningkatkan

    kemandirian ekonomi karena seorang wirausahawan tidak hanya mencari peluang

    tetapi juga menciptakan peluang yang dapat memajukan ekonomi masyarakatnya.

    Oleh karena itu wirausaha sangat dianjurkan oleh pemerintah karena akan

    membantu memperkuat kemandirian perekonomian bangsa.

    Banyak cara yang dapat digunakan untuk berwirausaha, diantaranya yaitu

    dengan memulai usaha baru atau membeli usaha yang telah ada atau berjalan. Dari

    dua cara tersebut pasti terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

    Memulai suatu usaha baru memberikan keuntungan dalam membuat aturan dan

    menjalankan usahanya, namun usaha yang baru memiliki resiko karena belum

    teruji dan belum pasti diterima di pasar. Sebaliknya, membeli suatu bisnis yang

    2 Erni Unggul, Modul Pengantar Kewirausahaan, diakses 5 September 2010 pukul 20.05, hal. 5.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 3

    Universitas Indonesia

    telah berjalan memberikan kemudahan dalam memulai usaha, dan tentunya usaha

    yang dibeli tersebut telah teruji, namun pengusaha tidak memiliki kewenangan

    dalam menjalankan usaha karena telah ada aturan-aturan yang diciptakan oleh

    pemilik usaha sebelumnya.

    Salah satu cara yang banyak diminati saat ini untuk menjalankan usaha

    adalah dengan membeli sistem bisnis yang telah ada atau biasa disebut sebagai

    franchise yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai waralaba. Waralaba

    berasal dari kata Wara yang beararti lebih dan Laba yang berarti untung.3 Secara

    harafiah waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan keuntungan

    lebih. Waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode

    pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen.4 Waralaba dapat menjadi

    alternatif usaha selain mendirikan usaha sendiri.

    Jenis usaha franchise atau waralaba banyak diminati masyarakat karena

    produk dan jasa yang tersedia telah dikenal secara global dan telah menguasai

    pasar. Keberadaan waralaba menarik perhatian banyak calon pengusaha yang

    ingin memiliki usaha yang telah berkembang pesat. Berbagai jenis usaha franchise

    yang telah mendunia antara lain adalah McDonald, Kentucky Fried Chicken

    (KFC), Pizza Hut, Ace Hardware, Carrefour, 7-Eleven, dan Hotel Hilton.

    Sedangkan usaha franchise asal Indonesia yang terkenal antara lain restoran Es

    Teller 77, mini market Alfamart, dan bimbingan belajar Primagama.

    Sejarah lahirnya waralaba modern bermula dari Amerika Serikat. Pada

    awalnya, sistem waralaba digunakan dalam kerjasama antara pemerintah daerah

    dengan suatu perusahaan untuk melakukan pekerjaan demi kepentingan

    pemerintah daerah tersebut. Sistem waralaba pada pertengahan abad ke-19

    digunakan untuk pembangunan rel kereta api dan kebutuhan-kebutuhan umum.

    Lalu baru pada tahun 1898 usaha waralaba mulai digunakan oleh swasta, yaitu

    ketika Singer Swinger Machine Company menunjuk distributor bebas untuk

    3 Amir Karamoy, J.B Bikololong dan Ponco Sulistyo, Sukses Usaha Lewat Waralaba (Tanya Jawab Berbagai Aspke Waralaba), cet.pertama, (Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), Hal.15

    4 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet.kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),

    hal.2.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 4

    Universitas Indonesia

    menjual produknya.5 Pada tahun 1955 lahirlah restoran cepat saji McDonald yang

    telah membawa pengaruh baru pada sistem waralaba. McDonald menghadirkan

    standar baru dalam konsep waralaba, yaitu dengan menstandardisasi seluruh

    desain produknya, interior dan eksterior restoran, dan seragam karyawannya. Saat

    ini usaha waralaba telah berkembang pesat tidak hanya pada usaha makanan tetapi

    juga pompa bensin, hotel, dan bioskop.

    Kehadiran waralaba juga menghadirkan suatu permasalahan hukum. Hal

    ini disebabkan oleh hubungan waralaba yang didasarkan oleh suatu perjanjian,

    yaitu perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan suatu pedoman hukum

    yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik waralaba (franchisor) dan

    pemegang waralaba (franchisee).6 Perjanjian waralaba akan menjadi dasar hukum

    yang kuat untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Apabila salah

    satu pihak merasa haknya telah dilanggar, maka ia dapat menuntut pihak yang

    melanggar sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian waralaba (franchise

    agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat

    dan dikehendaki oleh franchisor dan franchisee. Di dalam perjanjian ini tercantum

    ketentuan mengenai hak dan kewajiban franchisor dan franchisee, contohnya

    adalah hak teritori yang dimiliki oleh franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan

    pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor,

    jangka waktu perjanjian waralaba dan perpanjangannya serta ketentuan lainnya

    mengenai hubungan para pihak.

    Hubungan hukum yang lahir dari perjanjian menimbulkan hak dan

    kewajiban bagi para pihaknya, begitupula dengan Waralaba yang dibangun dari

    perjanjian waralaba, kehadiran hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan

    perlindungan hukum kepada franchisor dan franchisee. Para pihak harus

    mematuhi segala ketentuan yang terkait dengan waralaba baik yang terdapat

    dalam perjanjian maupun dalam peraturan perundang-undangan. Jika salah satu

    pihak melakukan wanprestasi maka hal tersebut akan merugikan pihak yang

    5 Collins Barrows, Franchising Small Business and Enterpreneurship, (London: mac Millan Education 1989), hal. 189.

    6 Hasnah Najla, Analisis Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Hukum Terhadap Perjanjian

    Waralaba menurut PP No.42 tahun 2007 mengenai Waralaba (Studi Pada PT.X dan PT.Cahaya Hatindo), Skripsi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 3.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 5

    Universitas Indonesia

    lainnya. Perjanjian akan memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang

    dirugikan sehingga ia dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang melakukan

    wanprestasi.

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam pasal 1338

    mengatur asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian. Berdasarkan asas

    kebebasan berkontrak maka setiap subyek hukum dapat melakukan atau membuat

    perjanjian tentang hal apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan peraturan

    perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat

    oleh para pihak akan mengikat dan berlaku layaknya undang-undang bagi para

    pihak. Pada umumnya perjanjian waralaba telah berbentuk baku, artinya hal-hal

    yang diatur merupakan standar franchisor.

    Perjanjian bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para

    pihak. Perlindungan yang diberikan dalam bisnis waralaba dimulai melalui

    perjanjian waralaba itu sendiri. Sejak awal menyusun kesepakatan haruslah diatur

    mengenai kerahasiaan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba akan mengatur

    hak dan kewajiban antara franchisor dan franchisee. Pengaturan hak dan

    kewajiban para pihak haruslah jelas, seimbang, dan memiliki batas-batas tertentu

    agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan salah satu pihak.

    Selain perjanjian waralaba, franchisor dan franchisee juga harus memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait

    dengan waralaba. Pengaturan mengenai waralaba terdapat dalam Peraturan

    Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (PP No. 42 Tahun 2007).7 Franchisor dan franchisee wajib menaati segala macam ketentuan yang terkait

    dengan waralaba, baik yang terdapat dalam perjanjian maupun dalam PP No. 42

    Tahun 2007 agar para pihak tidak melanggar hak dan kewajiban satu sama lain.

    Di Indonesia, salah satu perusahaan lokal yang turut mengembangkan

    usahanya melalui sistem franchise adalah Coffee Toffee. Coffee Toffee pertama

    kali didirikan di Surabaya pada akhir tahun 2005 oleh Bapak Odi Anindito. Ide

    awal pendirian perusahaan ini didapat ketika Bapak Odi Anindito menjalankan

    pendidikan lanjutan pada tahun 2004 di Swinburne University di Melbourne,

    Australia. Pada saat itu Odi bekerja paruh waktu di coffee shop lokal di

    7 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, PP No. 42, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4247

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 6

    Universitas Indonesia

    Melbourne. Dari sinilah ia mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai

    dunia kopi. Ia juga baru mengetahui bahwa Indonesia termasuk dalam tiga besar

    negara penghasil kopi di dunia. Dari situlah kemudian timbul keinginan dalam diri

    Bapak Odi untuk membuka kedai kopi di Indonesia.

    Pada awalnya, perusahaan ini hanyalah berupa kios kopi kecil yang hanya

    diperuntukan sebagai tempat berkumpulnya kalangan sendiri dan teman-teman

    dekat saja. Seiring berjalannya waktu, ternyata produk dan konsep yang dibawa

    Coffee Toffee mendapat respon yang bagus dari masyarakat, maka pada tahun

    2006 dibukalah gerai ke dua Coffe Toffee di Surabaya.

    Coffee Toffee kemudian memperluas jaringan usahanya melalui konsep

    waralaba. Konsep ini dipilih karena dianggap dapat melayani dan memberikan

    produk berkualitas tinggi bagi seluruh pelanggan di Indonesia.

    Pada tahun 2008, Coffee Toffee memperoleh penghargaan Indonesian

    Small Medium Business Enterpreneur Award (ISMBEA) 2008 di bidang

    “inspiratif bisnis” serta terpilih oleh majalah pengusaha sebagai “Bisnis Prospektif

    Tahun 2007.” Di bulan Juli 2010, Coffee Toffee telah memiliki lebih dari 100

    gerai di seluruh Indonesia dan terpilih sebagai trend setter industri kopi ritel di

    Indonesia oleh majalah SWA.

    Coffee Toffee mempunyai visi untuk menjadi kedai kopi lokal yang

    menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan selalu memberikan produk dan

    layanan terbaik dengan bahan-bahan baku lokal terbaik dengan harga terjangkau.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dengan ini penulis ingin

    mengajukan penelitian mengenai analisa perjanjian Coffee Toffee berdasarkan

    peraturan perundang-undangan mengenai waralaba di Indonesia. Karena tentunya

    para pihak yang akan menjalankan bisnis waralaba memerlukan adanya jaminan

    berupa perlindungan hukum dan kepastian bahwa usahanya benar-benar telah

    teruji dalam memberikan suatu manfaat (financial).

    1. 2. Perumusan Masalah

    Ada beberapa pokok permasalahan mendasar berkaitan dengan perjanjian

    waralaba yang dibahas, yaitu:

    1. Bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai waralaba

    dalam dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee?

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 7

    Universitas Indonesia

    2. Apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban franchisor dan franchisee

    dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee?

    3. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam Perjanjian

    Kemitraan Coffee Toffee?

    1. 3. Tujuan Penelitian

    1. 3. 1. Tujuan Umum

    Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui tentang

    perjanjian waralaba secara umum dan mengetahui permasalahan-permasalahan

    yang terdapat dalam perjanjian waralaba serta bagaimana mengatasi permasalahan

    itu.

    1. 3. 2. Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undangan mengenai

    waralaba dalam dalam Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee.

    2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian

    Kemitraan Coffee Toffee.

    3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam

    Perjanjian Kemitraan Coffee Toffee.

    1. 4. Definisi Operasional

    Ada beberapa istilah yang merupakan kerangka definisi dalam penelitian

    ini, yaitu:

    1. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu

    hal.8

    2. Franchise/waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang

    perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas

    usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti

    hal. 1. 8 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke enambelas, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996),

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 8

    Universitas Indonesia

    berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain

    berdasarkan perjanjian waralaba.9

    3. Perjanjian franchise/perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis

    antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba Utama.10

    4. Franchisor/pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan

    Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.11

    5. Franchisee/penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan

    dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.12

    6. Franchising adalah sistem pemasaran di mana pemilik bisnis individual menjalankan bisnisnya dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh

    franchisor.13 7. Area Franchise adalah hak waralaba yang diberikan kepada individu atau

    perusahaan meliputi wilayah geografis yang telah ditentukan dalam

    perjanjian waralaba (franchise agreement). Pada praktiknya, area

    franchise dapat diberikan target dan deadline yang berkaitan dengan

    jumlah outlet yang harus dibuka dalam kurun waktu tertentu. Area

    franchise dapat menjula haknya kepada individual atau multiple

    franchisee.14

    8. Distributorship (Dealer) adalah hak yang diberikan oleh pabrikan atau

    pedagang besar (wholesaler) kepada individu/perusahaan untuk menjual

    produk/jasa kepada pihak lain. Distributorship merupakan cikal bakal dari

    format waralaba. Pada umumnya, distributorship hanya yang menyangkut

    9 Indonesia (a), Op.Cit, Pasal 1 angka 1.

    10 Indonesia (b), Peraturan Menteri Perdagangan, Permendag No. 12/M- DAG/PER/3/2006 Ps. 1 angka 6.

    11 Indonesia (a). Op. Cit., Pasal 1angka 2.

    12 Ibid, Pasal 1 angka 3.

    13 Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba, cetakan pertama, (Yogyakarta: Media

    Pressinndo, 2008), hal. 209.

    14 Ibid, hal. 207.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 9

    Universitas Indonesia

    perpindahan kepemilikan produk bukan format waralaba, tetapi hanya

    sebagai jual-beli biasa. Namun demikian, distributorship yang

    mencantumkan adanya disclosure dalam persyaratan kerjasamanya sudah

    dapat disebut sebagai format waralaba dalam bentuk yang paling

    sederhana.15

    1. 5. Metode Penelitian

    Penulisan ini berusaha untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dengan melakukan penelitian hukum normatif (kepustakaan), yaitu penelitian

    yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.16

    Penelitian hukum normatif pada umumnya hanya dilakukan melalui studi dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder berupa peraturan- peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori

    hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka.17 Penelitian ini

    adalah penelitian mono disipliner,18 sebab hanya didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan, yaitu ilmu hukum.

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan

    pengkajian melalui studi dokumen (documentary research) dan wawancara.

    1. Studi Dokumen

    Studi dokumen dilakukan dengan mencari peraturan perundang-

    undangan yang terkait dengan franchise dan mencari bahan-bahan pustaka

    lainnya yang relevan dengan tujuan penulisan. Sebagai referensi

    tambahan, penulis juga mengkaji pustaka-pustaka perihal disiplin ilmu

    hukum perjanjian, wanprestasi serta pustaka yang berhubungan dengan

    15 Ibid, hal. 208.

    16 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 13.

    17 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

    2004), hal 92.

    18 Penelitian mono disipliner adalah penelitian yang didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan dengan menerapakan metodologi yang lazim dilaksanakan oleh yang bersangkutan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 11.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 10

    Universitas Indonesia

    permasalahan penelitian ini. Bahan-bahan pustaka yang digunakan antara

    lain terdiri dari:

    a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat19,

    yang berhubungan dengan penulisan ini yaitu:

    - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007

    tentang Waralaba

    - Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006

    tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda

    Pendaftaran Usaha Waralaba

    b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan

    hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU),

    Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian hukum, hasil

    karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.20 Bahan hukum

    sekunder yang digunakan oleh penulis adalah berupa artikel yang

    diperoleh dari penelusuran internet dan buku-buku yang terkait dengan

    penulisan ini.

    c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk

    maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

    misalnya: kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, dan

    sebagainya.21

    2. Wawancara

    Peneliti juga melakukan wawancara untuk mengumpulkan data.

    Wawancara dilakukan dengan Manajer Operasional PT. Coffee Toffee

    Indonesia yaitu Bapak Zulkifli Ahmad, dan Penanggung Jawab Business

    Expansion, yaitu Ibu Putri Helliyati. Wawancara ini dilakukan di Kantor

    PT. Coffee Toffee Indonesia Cabang Jakarta.

    19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet. 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), hal. 113

    20 Ibid, hal. 114.

    21 Ibid.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 11

    Universitas Indonesia

    1. 6. Sistematika Penulisan

    Penulisan penelitian hukum tentang Analisis Perjanjian Kemitraan Coffee

    Toffee Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Waralaba, ini akan

    terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut:

    Bab 1 Bab ini terbagi menjadi 6 sub bab, yaitu yang membahas mengenai

    latar belakang dimana dalam bagian ini akan dijelaskan alasan

    mengapa dituliskannya skripsi ini, pokok permasalahan yang berisi

    apa saja permasalahan-permasalahan yang menyebabkan

    dituliskannya penulisan ini, tujuan penulisan yang berisi tujuan

    dari penulisan skripsi, definisi operasional yang berisi definisi-

    definisi dari istilah yang berhubungan dengan penulisan, metode

    penulisan, dan sistematika penulisan dalam skripsi ini

    Bab 2 Merupakan isi penelitian yang di dalamnya akan menjelaskan

    mengenai aspek hukum perjanjian yang timbul dari Perjanjian

    Franchise, terbagi menjadi 5 sub bab yang terdiri dari, pengertian

    perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas hukum perjanjian,

    hapusnya perikatan, serta wanprestasi.

    Bab 3 Pada bab yang merupakan isi penelitian ini terdapat 7 sub bab,

    yang di dalamnya akan menjelaskan mengenai franchise antara lain

    pengertian franchise, sejarah franchise, keuntungan dan kerugian

    franchise, pengaturan franchise di Indonesia yang terbagi lagi

    dalam pengaturan franchise sebelum berlakunya Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang

    Waralaba, pengaturan franchise berdasarkan Peraturan Pemerintah

    Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba,

    pengaturan franchise berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, pengaturan

    franchise berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

    12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan

    Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Sub bab berikutnya

    menjelaskan mengenai hubungan hukum antara franchisor dengan

    franchisee, hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 12

    Universitas Indonesia

    Franchise, dan sub bab yang terakhir akan menjelaskan mengenai

    tipe-tipe franchise.

    Bab 4 Bab ini terdiri dari 4 sub bab yang di dalamnya akan membahas

    mengenai analisis perjanjian kemitraan Coffee Toffee yaitu terdiri

    dari isi akta perjanjian, penerapan syarat sahnya perjanjian dalam

    perjanjian franchise, penerapan asas-asas perjanjian dalam

    perjanjian franchise, dan penerapan syarat-syarat waralaba dalam

    perjanjian kemitraan Coffee Toffee.

    Bab 5 Merupakan penutup yang di dalamnya berisikan kesimpulan dan

    saran dari permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu

    mengenai penerapan ketentuan waralaba dalam Perjanjian

    Kemitraan Coffee Toffee.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 13

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    ASPEK HUKUM PERJANJIAN DALAM FRANCHISE

    2. 1. Pengertian Perjanjian

    Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, suatu perjanjian adalah suatu

    perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

    orang lain atau lebih.22 Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:23

    1. Perbuatan

    Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih

    tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum,

    karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang

    memperjanjikan;

    2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih

    Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang

    saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang

    cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut dapat berupa orang (naturlijk

    person) atau badan hukum (recht person);

    3. Mengikatkan dirinya

    Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang

    satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini para pihak terikat

    kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

    22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjirosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), Ps. 1313.

    23 Perjanjian, , diakses 3

    November 2010.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 14

    Universitas Indonesia

    Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini sebenarnya

    kurang begitu memuaskan, karena memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-

    kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

    Perjanjian sepihak di sini dapat diketahui dari rumusan ”satu orang atau

    lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”, kata

    ”mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu

    pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian

    itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak adanya

    konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat

    perjanjian.

    2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan.

    Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas

    tanpa kuasa dan perbuatan melawan hukum. Dari kedua hal tersebut

    merupakan tindakan/perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus.

    Perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud

    perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum.

    3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

    Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian

    perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, atau disebut

    sebagai janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri

    dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin.

    Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal 1313

    KUHPerdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Hubungan

    antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja.

    4. Tanpa menyebut tujuan.

    Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan

    perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas

    maksudnya untuk apa.

    Oleh karena itu, selain pengertian perjanjian menurut KUHPerdata terdapat juga

    pengertian perjanjian menurut pendapat para ahli.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 15

    Universitas Indonesia

    Menurut Sri Soedewi, perjanjian itu adalah suatu peruatan hukum dimana

    seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

    J. Satrio membagi pengertian perjanjian menjadi dua, yaitu dalam arti luas

    dan dalam arti sempit. Perjanjian dalam arti luas berarti setiap perjanjian yang

    menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak. Sementara

    perjanjian dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum

    dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud dalam Buku III

    KUHPerdata.24

    R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan

    hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak

    berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

    melakukan sesuatu hal, sedankan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji

    itu.

    Selanjutnya perjanjian menurut pendapat A. Qirom Samsudin Meliala

    adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana

    seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

    Menurut pendapat R. Wirjno Prodjodikoro, persetujuan dengan perjanjian

    merupakan hal yang berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua

    pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat

    kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai

    harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau

    dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu, sedangkan pihak yang lain berhak

    menuntut pelaksanaan janji itu.

    Dari hal di atas, pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil

    mengenai berbagai definisi perjanjian. Adanya perbedaan tersebut hanya terletak

    pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertiannya

    saja, yang pasti dari perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan

    antara kedua orang atau kedua pihak tersebut.

    Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara kedua orang atau

    kedua pihak yang membuatnya. Dalam menampakkan atau mewujudkan

    hal. 1. 24 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan keenambelas, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996),

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 16

    Universitas Indonesia

    bentuknya, perjanjian dapat dilakukan secara tertulis atau dapat juga dilakukan

    secara lisan saja.

    Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah

    bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan di kalangan para pihak yang

    mengadakan perjanjian itu. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan

    disamping sumber-sumber perikatan lainya, perjanjian disebut sebagai

    persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya

    menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi

    tertentu.

    2. 1. Syarat Sah Perjanjian

    Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,

    perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

    1320 KUHPerdata yaitu:

    1. Kesepakatan;

    Maksud dari kesepakatan adalah kedua subyek yang mengadakan

    perjanjian itu harus setuju dengan hal-hal pokok dari perjanjian yang

    dilangsungkan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga

    dikehendaki pihak yang lain.25 Kata “sepakat” tidak boleh mengandung

    unsur kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok

    persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam

    persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut.

    Menurut Subekti, kekhilafan harus sedemikian rupa, hingga seandainya

    orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan

    persetujuannya atau sepakat terhadap perjanjiannya,26 adanya paksaan

    dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324

    KUHPerdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan

    tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Terhadap

    perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan

    tersebut, dapat diajukan pembatalan.

    25 Ibid.

    26 Ibid, hal. 23-24.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 17

    Universitas Indonesia

    2. Kecakapan Para Pihak;

    Pasal 1329 KUHPerdata mengatur bahwa pada dasarnya semua orang

    dianggap berhak dan boleh membuat suatu perjanjian kecuali mereka yang

    dikecualikan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 1330 KUHPerdata,

    subjek hukum yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian

    adalah:

    a. Orang-orang yang belum dewasa;

    Pengaturan mengenai ukuran kedewasaan seseorang diatur secara

    tegas dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang mana dinyatakan bahwa

    orang yang dewasa adalah setiap orang yang telah berumur dua

    puluh satu tahun atau telah menikah.

    b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

    Pengaturan lebih lanjut mengenai mereka yang ditaruh di bawah

    pengampuan terdapat dalam Pasal 433 KUHPerdata yang

    menyebutkan bahwa orang yang ditaruh di bawah pengampuan

    adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan:

    1) Dungu;

    2) Sakit otak;

    3) Mata gelap; atau

    4) Boros terhadap hartanya.

    c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

    undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

    undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian

    tertentu.

    Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat

    Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,

    orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai orang yang

    tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa

    bantuan atau izin suaminya.

    Jika suatu perjanjian dibuat oleh pihak yang tidak cakap maka akibatnya

    adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 18

    Universitas Indonesia

    3. Suatu hal tertentu;

    Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak,

    maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 dan Pasal 1333

    KUHPerdata menyebutkan bahwa barang yang menjadi obyek perjanjian

    harus:

    1) Barang yang dapat diperdagangkan;

    2) Barang yang dapat ditentukan jenisnya.

    Pasal 1334 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa barang-barang yang

    baru akan ada dikemudian hari juga dapat dijadikan obyek perjanjian.

    4. Suatu sebab atau causa yang halal.

    Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian itu

    dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum,

    kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pasal 1335 KUHPerdata

    menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat

    karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai

    kekuatan. Hal ini kemudian oleh Pasal 1337 KUHPerdata secara tegas

    dinyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh

    Undang-Undang, berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban

    umum. Hal-hal tersebut selalu menjadi tolak ukur dari sahnya perjanjian

    yang memiliki sebab yang halal. Sehingga, jika tidak melanggar ketentuan

    Pasal 1337 KUHPerdata, maka para pihak bebas untuk menentukan isi

    perjanjian yang mana hal ini merupakan penerapan dari asas kebebasan

    berkontrak yang terkandung di dalam hukum perjanjian Indonesia.

    Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sehingga disebut sebagai

    syarat subyektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek, sehingga

    disebut sebagai syarat obyektif. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,

    penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek

    mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan

    keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 19

    Universitas Indonesia

    2. 3. Asas Hukum Perjanjian

    Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat

    normatif dan niscayaan yang memaksa. Paul Scholten27 memberikan definisi

    mengenai asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di

    belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan

    perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan

    ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai

    penjabarannya.

    Dalam setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu

    asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan

    perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan

    menjadi jelas.28 Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain

    memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-

    asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya.

    Asas-asas yang dianut dalam suatu perjanjian terdiri dari:

    1. Asas Kebebasan Berkontrak

    Arti dari asas ini adalah para pihak dapat membuat berbagai kesepakatan

    dan dapat menyimpangi Undang-undang sepanjang tidak bertentangan

    dengan keadilan, kepatutan, dan kesusilaan.

    Hukum perjanjian memiliki perbedaan dengan hukum benda. Hukum

    benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut

    sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan

    peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat

    memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang

    seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang

    berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.29

    27 Paul Scholten di dalam JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa oleh Arief Sidharta), (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1993), hal. 119-120.

    28 Rooseno Harjowidigdo, 1993, Perspektif Peraturan Perjanjian Franchise, Makalah

    disajikan pada pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franshise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi tgl 14-16 Desember, Depkeh – BPHN, Jakarta.

    29 Subekti, Op. Cit, hal. 13.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 20

    Universitas Indonesia

    2. Asas Konsensualisme (Kesepakatan)

    Menurut A. Qirom Syamsudin M, Asas konsesualisme mengandung arti

    bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang

    membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali

    perjanjian yang bersifat formal.30 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338

    KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan secara tegas

    mengenai asas ini sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata dapat

    ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa

    setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi

    kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya

    baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

    dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.31

    Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau

    kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat

    dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dapat dikatakan

    bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat

    mengenai pokok perjanjian.

    3. Asas Pacta Sunt Servanda

    Artinya adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat para pihak

    tersebut, implikasinya adalah perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan

    secara sepihak. Perjanjian yang dibuat secara sah dan tertulis itu berlaku

    sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

    Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sun servanda ini dapat diketahui

    di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

    “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

    undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini

    tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka

    30 A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 20.

    31 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya

    Bakti, 2001), hal. 87.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 21

    Universitas Indonesia

    sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian

    mengikat para pihak seperti undang-undang.

    Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan

    terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada

    perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan

    tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh

    kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas

    moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.32

    4. Asas Itikad Baik33

    Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan: “perjanjian harus

    dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan ini memberi wewenang

    kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian supaya tidak

    bertentangan dengan rasa keadilan. Itikad baik dalam perjanjian mengacu

    pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian

    disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.

    5. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

    Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan

    kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan

    memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di

    belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan

    diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua

    pihakmengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai

    kekuatan mengikat sebagai undang-undang.34

    6. Asas Kesetaraan

    Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada

    perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan,

    jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya

    32 Ibid.

    33 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu Pengantar, cet.1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005), hal. 146.

    34 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 87.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 22

    Universitas Indonesia

    persamaan ini dan mengaharuskan kedua pihak untuk menghormati satu

    sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan35.

    7. Asas Subsideritas

    Asas subsideritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menegah atau

    pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka

    memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai kemampuan dan kompetensi

    yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan

    dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.

    8. Asas Unconcionability

    Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconscionable artinya bertentangan

    dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali

    digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil

    (unfair) sehingga dapat mengguncangkan hati nurani Pengadilan (Hakim)

    atau shock the conscience of the court.36

    Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa

    unconscionability atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam

    ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau

    dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak

    tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah

    satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak

    yang bersangkutan.

    Biasanya doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini mengacu kepada

    posisi tawar menawar dalam kontrak tersebut yang sangat berat sebelah

    karena tidak terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai dengan

    klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan

    keuntungan yang tidak wajar bagi pihak lain.

    9. Asas Sukarela

    Sebagai pemrakarsa atau mitra usaha dalam kemitraan usaha nasional

    bukanlah suatu kewajiban yang bersifat mutlak bagi setiap perusahaan,

    35 Ibid, hal. 88.

    36 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 105.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 23

    Universitas Indonesia

    tetapi hal ini hanya dilandasi oleh rasa tanggung jawab sosial dari

    perusahaan besar terhadap lingkungan tempat berusahanya.

    10. Asas keuntungan timbal balik

    Kemitraan usaha nasional ini dibina dan dikembangkan untuk memberikan

    manfaat bagi kedua belah pihak yang bermitra. Keuntungan timbal balik

    sebagai dasar untuk menjalin kemitraan yang langgeng.

    11. Asas Kepribadian

    Perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi pihak yang mengadakan

    perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUHPerdata),

    pengecualiannya menurut pasal 1317 KUHPerdata.

    12. Asas Kebiasaan

    Yaitu bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan,

    sesuai dengan isi pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi : “hal-hal yang

    menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam

    dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas

    dinyatakan.”

    13. Asas Desentralisasi

    Pemerintah dalam hal ini memberikan wewenang dan kebebasan kepada

    setiap usaha besar ataupun usaha menengah bersama mitra usahanya untuk

    mendesain dan merancang sendiri pola kemitraan yang akan dilakukan

    sesuai dengan kesepakatan antara masing-masing pihak yang bermitra.

    Bila dalam perjanjian tidak sesuai dengan maksud para pihak maka kita

    harus berpaling pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1339

    KUHPerdata mengenai itikad baik agar perjanjian yang patut dan pantas sesuai

    asas kepatutan yang membawa pada keadilan. Oleh karena itu perjanjian harus

    dilaksanakan dengan itikad baik dan kepatutan karena antara itikad baik dan

    kepatutan tujuannya sama untuk mencapai keadilan yang diharapkan jadi Pasal

    1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata merupakan Pasal yang artinya senafas atau

    senada.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 24

    Universitas Indonesia

    2. 3. Hapusnya Perikatan

    Berakhirnya perikatan menurut pasal 1381 KUHPerdata:

    a. Karena pembayaran, yaitu setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela

    dan dengan itikad baik;

    b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

    penitipan (konsinyasi);

    c. Karena pembaharuan utang (novasi), berdasarkan pasal 1413

    KUHPerdata;

    d. Karena perjumpaan utang (kompensasi), yang merupakan suatu cara

    penghapusan utang dengan jalan memperjumpakannya atau

    memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan

    debitur;

    e. Karena percampuran utang, yaitu apabila kedudukan sebagai berpiutang

    (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka

    terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-

    piutang itu dihapuskan;

    f. Karena pembebasan utangnya, yaitu perikatan yang hapus karena si

    kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si

    berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan

    perjanjian;

    g. Karena musnahnya barang yang terutang, yaitu objek perjanjian tidak

    dapat lagi diperdagangkan, musnah, atau hilang hingga sama sekali tidak

    diketahui apakah barang itu masih ada;

    h. Karena batal atau pembatalan, berdasarkan pasal 1446 KUHPerdata;

    i. Karena berlakunya syarat batal, yaitu perikatan dilahirkan yang justru akan

    berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi;

    j. Karena lewatnya waktu (daluwarsa), berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata.

    Sedangkan di dalam prakteknya perikatan dapat hapus karena:

    a. Jangka waktunya berakhir;

    b. Dilaksanakan obyek perjanjian;

    c. Kesepakatan dua belah pihak;

    d. Pemutusan secara sepihak;

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 25

    Universitas Indonesia

    e. Adanya putusan pengadilan.

    2. 5. Wanprestasi

    Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi

    seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian37 dan bukan dalam keadaan

    memaksa. Terdapat berbagai macam bentuk wanprestasi, yaitu:38

    1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

    Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya

    maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

    2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

    Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka

    debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

    3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

    Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru

    tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

    memenuhi prestasi sama sekali.

    Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu39:

    1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

    2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana

    dijanjikannya;

    3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

    4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

    Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu

    perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan

    dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang

    diperjanjikan.

    2.21

    hal. 18.

    37 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet. 1, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), hal. 38 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet. 6, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), 39 Subekti, Op. Cit., hal. 31.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 26

    Universitas Indonesia

    Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak

    berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan

    wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak

    diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa

    berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan

    dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap

    melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak

    ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur

    melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang

    diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 27

    Universitas Indonesia

    BAB 3

    TINJAUAN MENGENAI FRANCHISE

    2. 1. Pengertian Franchise

    Usaha waralaba atau franchise sebenarnya bukanlah suatu bentuk bisnis

    baru di Indonesia, meskipun begitu legalitas yuridisnya baru dikenal pada tahun

    1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16

    Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan

    dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.

    Dari segi bahasa istilah franchise berasal dari kata kerja dalam bahasa

    Perancis yakni ‘affrancir’ yang berarti ‘to free’. Sehingga ‘to franchise’ berarti

    memberikan suatu kebebasan untuk berbuat sesuatu dalam konteks wirausaha

    untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu pula.40 Istilah

    franchise dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan waralaba. Pengertian waralaba menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kerja sama

    dalam bidang usaha dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan; hak kelola dan

    hak pemasaran. Selain pengertian dari segi bahasa, terdapat juga pengertian

    franchise menurut peraturan perundang-undangan dan pengertian menurut

    doktrin.

    2. 1. 1. Pengertian Franchise Menurut PP No. 42 Tahun 2007

    Pasal 1 angka 1 dari Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang

    Waralaba mendefinisikan waralaba sebagai “hak khusus yang dimiliki oleh orang

    perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha

    dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan

    hal. 3. 40 Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution Sistem, (London: Longman, 1972),

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 28

    Universitas Indonesia

    dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

    waralaba.”

    2. 1. 2. Pengertian Franchise menurut The British Franchising Association

    (BFA)41

    The British Franchising Association (BFA) memperikan rumusan

    franchise sebagai berikut:

    A contractual license granted by one person (franchisor) to another

    (franchisee) which:

    a. Permits or requires the franchise to carry on, during the period of

    franchise, a particular business under or using specific name belonging to

    or associated with the franchisor; and

    b. Entitles the franchisor to exercise continuing control during period of the

    franchisor over the manner in which the franchise carries on the business

    which is the subject of franchisee; and

    c. Obliges the franchisor to provide the franchisee with assistance in

    carrying on the business which is the subject of the franchise (in relation

    to the organization of the franchisee business the training of staff,

    merchandising, management or otherwise); and

    d. Requires the franchise periodically, during the period of franchise, to pay

    the franchisor sums of money, in considerations of franchise, or for goods

    or service provide by the franchisor to the franchisee; and

    e. Which is not transaction between a holding company and its subsidiary or

    between subsidiaries of the same holding company, or between individual

    and the company controlled by him.

    Dari perumusan oleh BFA tersebut dapat diartikan bahwa waralaba merupakan

    sebuah persetujuan pemberian ijin oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain

    (franchisee), berupa:

    a. Mengijinkan atau menghendaki franchisee dalam jangka waktu franchise

    untuk melanjutkan usaha, sebuah bisnis istimewa di bawah atau

    menggunakan nama khusus kepunyaan atau gabungan dengan franchisor;

    41 John Adams, K.V. Prichard Jones, Franchising Practice and Precedents in Business format Franchising (London: 1987), hal. 9.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 29

    Universitas Indonesia

    b. Memberikan hak kepada franchisor untuk melatih dengan pengawasan

    yang berkesinambungan dalam jangka waktu franchise mengenai

    kebiasaan yang harus dibawa franchisee dalam menjalankan bisnis sebagai

    hal yang pokok dalam franchise;

    c. Mewajibkan franchisor untuk melengkapi franchisee dengan bantuan-

    bantuan dalam menjalankan bisnis sebagai hal yang pokok dalam

    franchise (dalam hubungannya dengan organisasi bisnis franchise, latihan

    staff, perdagangan, manajemen, atau lain-lainnya;

    d. Menghendaki franchisee secara berkala, dalam jangka waktu franchise,

    untuk membayar sejumlah uang kepada franchisor sehubungan dalam

    perjanjian franchise (dalam hubungannya dengan organisasi bisnis

    franchise, latihan staff, perdagangan, manajemen, atau lain-lainnya;

    e. Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk dan cabangnya

    (cabang pembantunya) atau antara cabang (anak perusahaan) dalam

    perusahaan induk yang sama antara perseroan dan sebuah perusahaan yang

    diawasi olehnya.

    2. 1. 3. Pengertian Franchise menurut International Franchise Organization

    International Franchise Organization merumuskan franchise sebagai

    berikut: “A franchise operation is a contractual relationship between the

    franchisor and franchisee in which franchisor offers or us obliged to

    maintain a continuing interest in the business of franchisor in such areas

    as known-how and training: wherein the franchisee operates under a

    common trade name, format or procedure owned by or controlled by the

    franchisor and in which capital investment in his business from his own

    resources”.

    Pengoperasian franchise merupakan persetujuan antara franchisor, dengan

    franchisee, dimana franchisor menawarkan atau wajib untuk memelihara secara

    berkesinambungan bisnis franchisor di suatu daerah tertentu, seperti keterampilan

    dan latihan, dagang bersama, bentuk atau prosedur pemilikan oleh atau

    pengawasan oleh franchisor dan yang mana franchisee menggunakan modal yang

    besar dari sumbernya.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 30

    Universitas Indonesia

    2. 1. 4. Pengertian Franchise Menurut Doktrin

    Selain pengertian menurut peraturan perundang-undangan dan kamus

    hukum, para ahli juga memberikan pengertian tersendiri terhadap franchise antara

    sebagai berikut:

    a. PH Collin

    PH Collin dalam Law Dictionary mendefinisikan franchise sebagai

    “License to trade using a brand name and playing a royalty for it”, dan

    franchising sebagai “Act of selling a license to trade as a Franchise”. PH

    Collin menekankan definisi franchise pada pentingnya peran nama dagang

    dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty.

    b. Pengertian Franchise menurut Henry Campbell Black42

    Dalam Black’s Law Dictionary, Black mendefinisikan franchise sebagai

    suatu hak istimewa yang diberikan oleh franchisor terhadap individu atau

    perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari

    setiap warga negara. Pengertian franchise menurut Black adalah sebagai

    berikut:

    A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell

    products or services.

    In its simple terms, a Franchise is a license form owner of a

    trademark or trade name permitting another to sell a product or

    service under that name or mark.

    More broadly stated, a Franchise bas evolved into a elaborated

    agreement under which the Franchise undertakes to conduct a

    business or sell a product or service in accordance with methods

    and procedures prescribed by the Franchisor, and the Franchisor

    undertakes to assist the Franchisee through advertising, promotion

    and other advisory services.

    Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa waralaba menurut Black tidak

    hanya menekankan unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi,

    waralaba juga menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk

    658. 42 Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition (Minn West Publishing Co. 1990), hal.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 31

    Universitas Indonesia

    berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor,

    di mana pihak franchisee berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata

    cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.

    Seorang franchisee memang menjalankan usahanya secara sendiri tetapi

    dia menggunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan

    memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan

    oleh pemberi waralaba. Hal ini berakibat bahwa suatu usaha waralaba

    adalah usaha yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha

    lainnya (milik penerima waralaba). Ini berarti pemberian waralaba

    menuntut eksklusivitas, dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan

    terjadinya non-competition clause bagi franchisee, bahkan setelah

    perjanjian waralabanya berakhir. Makna eksklusivitas yang dalam Black’s

    Law Dictionary juga diakui dalam Kamus Keuangan dan Investasi karya

    John Downes dan Jordan Elliot Goodman.

    c. Pengertian Franchise menurut John Downes dan Jordan Elliot Goodman

    John Downes dan Jordan Elliot Goodman memberikan arti franchise

    sebagai berikut:

    Suatu hak khusus yang diberikan kepada dealer oleh suatu usaha

    manufaktur atau organisasi jasa waralaba, untuk menjual produk

    atau jasa pemilik waralaba di suatu wilayah tertentu, dengan atau

    tanpa eksklusivitas.

    Pengaturan seperti itu kadangkala diresmikan dalam suatu

    Franchise agreement (perjanjian hak kelola), yang merupakan

    kontrak antara pemilik hak kelola dan pemegang hak kelola.

    Kontrak menggariskan bahwa yang disebutkan pertama dapat

    menawarkan konsultasi, bantuan promosional, pembiayaan dan

    manfaat lain dalam pertukaran dengan suatu persentase dari

    penjualan atau laba.

    Bisnis dimiliki pemegang hak kelola yang biasanya harus

    memenuhi suatu persyaratan investasi awal.

    Pengertian di atas lebih menekankan pada pemberian konsultasi, bantuan

    promosional, dan pembiayaan serta manfaat lain yang diberikan oleh

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 32

    Universitas Indonesia

    pemberi waralaba kepada franchisee dengan pertukaran dengan suatu

    presentase dari penjualan, atau laba (royalty) dari franchisee kepada

    franchisor.

    d. Pengertian Franchise menurut Wilbur Cross

    Wilbur Cross dalam Dictionary of Business Terms memiliki pengertian

    yang agak berbeda dengan pendapat ahli-ahli sebelumnya, Cross

    merumuskan franchise sebagai berikut:

    A business enterprise that is establhised under the authority and

    jurisdiction of a parent company, known as a Franchiser, and

    subject to the latter’s operational policies, procedures, and

    stipulations. The concept of franchising dates back to mediaeval

    times when Lords of land granted the right to one of their knights

    to govern part of their domain. Markets and fairs were also

    conducted under Franchise, as were certain other commercial

    activities. Today the terms of a Franchise contract may include

    such items as rates and services to be provided by grantee,

    payments to the grantor, and provisions for termination of the

    Franchise. Municipalities grant Franchises to public utility

    companies giving them monopolies in electrical, gas, or telephone

    services but reserving the right to regulate them. Common forms of

    business in which Franchises thrive are retail operations, hotels

    and motels, fast food chains, printing, photocopying, mailing

    services, automobile dealerships, and greeting card shops. The

    Franchiser furnishes the Franchisee with its name and trademark,

    architectural design, and operating procedures. Approximately one

    out of every three dollars in retail field goes to a Franchise

    operation.

    Menurut Wilbur Cross, pada dasarnya waralaba merupakan salah satu

    bentuk salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda

    dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada

    kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur,

    metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah diberikan

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 33

    Universitas Indonesia

    oleh franchisor secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar atau diabaikan

    oleh franchisee. Pengertian ini menunjukan bahwa waralaba cenderung

    bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak franchisee tidak boleh

    melakukan kegiatan lain yang sejenis atau berada dalam suatu lingkungan

    yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba

    yang diperolehnya dari franchisor. Hal ini menunjukan bahwa waralaba

    sangat mementingkan issue non-competition.

    2. 2. Sejarah Franchise

    Franchising merupakan sistem bisnis yang sangat efisien, sistem ini telah

    terbukti dapat dijalankan secara individual dan mampu memperluas pemasaran

    franchisor. Saat ini konsep waralaba telah diterapkan di banyak negara. Konsep

    waralaba berhasil memunculkan sense of belonging pada lebih banyak lapisan

    pengusaha. Berbeda dengan bisnis konvensional di mana kepemilikan berpusat

    pada seseorang atau segelintir pemilik, konsep bisnis waralaba membagikan

    kepemilikan bisnis kepada siapa pun yang berminat. Inilah salah satu kunci sukses

    waralaba.

    Pada akhir abad ke-20, franchising telah mengalami kemajuan yang pesat,

    bukan hanya dalam mengembangkan bisnis, tetapi juga untuk meningkatkan jasa

    dan keunikan usaha. Yang patut dikagumi dari perjalanan waralaba adalah

    keberanian orang-orang yang brilian dan inovatif untuk berbagi kepemilikan dan

    keuntungannya sehingga dapat berperan dalam memajukan pertumbuhan ekonomi

    masyarakatnya. G. Alexander Ordndorff mengatakan bahwa kalau kita ingin

    menambahkan kekayaan diri sendiri, kita juga harus memperkaya orang lain.

    2. 2. 1. Cikal Bakal Franchise

    Jerman meurpakan negara yang banyak memproduksi anggur dan bir.

    Pada tahun 1840, Jerman mencoba untuk memperlakukan dan mempraktikan

    sistem franchise. Pemilik pabrik anggur dan bir mengadakan perjanjian dengan

    kafe dan bar-bar untuk mendistribusikan anggur dan bir yang diproduksi. Praktik

    inlah yang menjadi cikal-bakal lahirnya sistem franchising yang dikenal pada saat

    ini. Konsep ini kemudian menyebar hingga benua Amerika yang dibawa oleh

    pengusaha perantau.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 34

    Universitas Indonesia

    Konsep franchise ini kemudian diperluas oleh raja saat itu dalam satu

    bentuk kegiatan, antara lain diberikannya hak khusus kepada seseorang untuk

    membangun jalan hingga mencampur bir. Namun konsep ini belakangan justru

    mengakibatkan hak-hak monopoli seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu.

    Lalu, praktik dan kebiasaan ini menjadi bagian dari suber hukum common law di

    Eropa.43

    2. 2. 2. Perkembangan Franchise Modern

    Pada tahun 1863, franchise mulai dikenal luas di Amerika, yaitu ketika

    prdusen mesin jahit Singer mulai menjual hak waralaba atas outlet mesin jahitnya.

    Singer Sewing Machine Company merupakan perusahaan pertama yang

    menerapkan distribution franchise44 pada distributornya untuk menjual produk

    mesin jahit. Singer company menggunakan franchise sebagai salah satu cara untuk

    mendistribusikan produknya tanpa harus menanam modal pada gerai yang

    dikelola oleh pihak-pihak yang bukan berasal dari dalam perusahaan. Cara ini

    merupakan sebuah inovasi, karena jika menggunakan cara konvensional akan

    diperlukan biaya yang besar untuk membangun gerai-gerai penjualan di wilayah

    luas.

    Singer company disebut sebagai pelopor perjanjian franchise modern

    karena perusahaan inilah yang pertama kali membuat perjanjian distribution

    franchise secara tertulis. Langkah inovatif Singer Company dalam memperluas

    jaringan penjulannya tersebut kemudian disusul oleh perusahaan mobil, gas, dan

    elektrik pada tahun 1880.

    Pada akhir abad ke-19, konsep franchise menjadi popular dengan cepat

    dalam industry otomotif. General Motor (GM) membangun kerja sama dengan

    jaringan dealer pada tahun 1898 tanpa melakukan investasi langsung pada gerai

    yang dimiliki dealer. Para pengguna mobil kemudian menciptakan kenaikan

    permintaan bahan bakar, minyak, dan ban. Kebutuhan komoditi tersebut akan

    43 Opcit. Lukman Hakim, hal. 35.

    44 Distribution franchise adalah hak yang diperoleh franchisee untuk mendistribusikan atau menjual produk suatu produsen atau pemasok. Distribution franchise setara dengan pengertian product franchise. Ibid, hal. 36.

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 35

    Universitas Indonesia

    dipenuhi oleh pengusaha dengan membeli hak waralaba dari pemasok komoditi

    tersebut.45

    Sistem franchise semakin populer dengan adanya perusahaan penjual

    minuman ringan dan penginapan. Pada tahun 1899, Coca Cola Company, juga

    meluncurkan franchise. Dan salah satu usaha franchise rumah makan yang paling

    terkenal di dunia kemudian lahir pada tahun 1955, yaitu McDonald’s.

    McDonald’s mengembangkan inovasi baru dalam franchise dengan

    memperkenalkan format business atau operating system franchise, yaitu konsep

    waralaba berdasarkan suatu merek yang dilindungi (protected mark) dan suatu

    sistem operasi khusus yang harus dimiliki pemilik waralaba.

    Perkembangan franchise sedikit tersendat akibat resesi ekonomi Amerika

    Serikat pada dekade 30-an, yang diikuti ambruknya perekonomian dunia. Baru

    setelah usainya Perang Dunia II, konsep franchise berkembang dengan sangat

    pesat dengan kembalinya para sukarelawan baik lelaki maupun perempuan dari

    tanah peperangan ke Amerika Serikat. Banyak veteran perang yang berniat

    membuka usaha, dan memilih sistem franchise untuk meminimalkan resiko

    kebangkrutan.

    Peluang lain bagi bisnis franchise di Amerika Serikat mulai terbuka pada

    era baby boomers pasca Perang Dunia II, yaitu peluang di bidang makanan cepat

    saji. Pada tahun 1959 sistem waralaba tidak hanya diterapkan dalam bidang

    distribusi bahan bakar melalui pompa bensin, penjualan mobil, ataupun barang-

    barang elektronik. Sistem ini telah merambah ke bidang jasa dan produk lain

    seperti jaringan hotel, supermarket, dan restoran. Nama-nama seperti Holiday Inn,

    McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Burger King, dan International House of

    Pancakes, mendapatkan momentum pertumbuhan yang pesat di era ini. Bisnis

    franchise kemudian diramaikan oleh kehadiran pewaralaba lainnya, seperti

    Dunkin Donuts, yang saat ini telah menggurita di seluruh dunia.

    Para franchisor belum merasa puas setelah jaringannya menguasai pangsa

    pasar Amerika Serikat. Mereka kemudian mengembangkan jaringan penjualannya

    bukan saja di seluruh penjuru negara, tetapi juga menjangkau hingga ujung dunia.

    Era globalisasi setelah runtuhnya komunisme, menjadi momentum penting bagi

    hal. 5-8. 45 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising: Konsep dan Kasus, (Jakarta: Harvarindo, 2005),

    Analisis perjanjian..., Yusuf Sulistiawan, FH UI, 2011

  • 36