57
3. DASAR TEORI 3.1 Analisis Kestabilan Lereng Lereng merupakan permukaan tanah (material) terbuka yang membentuk sudut tertentu dengan bidang datar (horizontal). Lereng dapat terjadi secara alamiah atau buatan yang direkayasa oleh manusia. Lereng alamiah seperti bukit dan tebingmsungai. Lereng buatan seperti galian, timbunan untuk membuat jalan raya, urugan bendungan, tanggul, dan lereng- lereng penambangan. Longsoran merupakan keruntuhan dari massa tanah (material) yang berada di bagian bawah lereng dan menunjukkan adanya ketidakstabilan dalam lereng. Dalam peristiwa tersebut, terjadi pergerakan massa tanah dari arah bawah ke arah luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan, mendadak, dan dengan ataupun tanpa provokasi yang terlihat. Analisis dan perhitungan kestabilan bukan merupakan hal mudah karena adanya ketidaksamaan yang terdeteksi dalam tanah, rembesan dan pemilihan bentuk bidang runtuh. (Terzaghi dan Peck, 1993). Analisis kestabilan lereng melibatkan perbandingan gaya- gaya penahan dalam lereng seperti gaya gesek material dan gaya-gaya penggerak massa material longsoran yang tersedia

Slope Stability (Romana,Bieniawski)

  • Upload
    zola1st

  • View
    33

  • Download
    14

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Slope

Citation preview

Page 1: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3. DASAR TEORI

3.1 Analisis Kestabilan Lereng

Lereng merupakan permukaan tanah (material) terbuka yang membentuk sudut tertentu

dengan bidang datar (horizontal). Lereng dapat terjadi secara alamiah atau buatan yang

direkayasa oleh manusia. Lereng alamiah seperti bukit dan tebingmsungai. Lereng

buatan seperti galian, timbunan untuk membuat jalan raya, urugan bendungan, tanggul,

dan lereng-lereng penambangan. Longsoran merupakan keruntuhan dari massa tanah

(material) yang berada di bagian bawah lereng dan menunjukkan adanya ketidakstabilan

dalam lereng. Dalam peristiwa tersebut, terjadi pergerakan massa tanah dari arah bawah

ke arah luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan,

mendadak, dan dengan ataupun tanpa provokasi yang terlihat. Analisis dan perhitungan

kestabilan bukan merupakan hal mudah karena adanya ketidaksamaan yang terdeteksi

dalam tanah, rembesan dan pemilihan bentuk bidang runtuh. (Terzaghi dan Peck, 1993).

Analisis kestabilan lereng melibatkan perbandingan gaya-gaya penahan dalam lereng

seperti gaya gesek material dan gaya-gaya penggerak massa material longsoran yang

tersedia seperti gaya hidrostatik dari permukaan phreatik air dalam rekahan tarik.

Metode kesetimbangan batas dapat menghitung satu atau lebih kesetimbangan

persamaan, antara lain kesetimbangan gaya pada arah horizontal, kesetimbagan gaya

pada arah vertikal, dan kesetimbangan momen. Ketersediaan teknologi dan kecepatan

komputer telah membuat penggunaan metode-metode tersebut memudahkan

perhitungan persamaan-persamaan kesetimbangan yang terjadi dalam massa material

longsoran, sehingga proses rekayasa (engineering) geometri lereng dapat dikerjakan

secara mudah dan cepat dengan bantuan program komputer.

Page 2: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3.2 Tujuan Perhitungan Kestabilan Lereng

Dalam praktek, tujuan perhitungan kestabilan lereng sebagai berikut:

1. Merupakan dasar rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran.

2. Memperkirakan kestabilan lereng selama proses konstruksi geometri dan untuk

jangka waktu yang panjang.

3. Mencari rancangan yang aman dan murah sesuai dengan spesifikasi persyaratan

keamanan sebelum pelaksanaan pembangunan geometri dilakukan.

4. Mempelajari kemungkinan terjadinya longsoran (baik pada lereng alamiah atau

lereng buatan).

5. Mempelajari pengaruh tekanan pori air berupa permukaan phreatik air tanah dalam

lereng. (Abramson, 1996; Terzaghi dan Peck, 1993).

3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Dalam analisis kestabilan lereng yang baik, dibutuhkan representasi konfigurasi dari

lereng, berupa faktor-faktor yang akan mempengaruhi kestabilan lereng, faktor-faktor

tersebut adalah :

1. Proses-proses yang menyebabkan naiknya tegangan geser, antara lain: erosi,

penggalian, pemindahan dinding penahan, penambahan beban akibat air hujan,

penambahan beban akibat adanya bangunan atau kendaraan di puncak lereng,

penambahan tekanan lateral akibat adanya air dalam rekahan tarik atau akibat

pengembangan lempung.

2. Kondisi-kondisi yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, antara lain: bidang

perlapisan, pelapukan, kenaikan tekanan pori air, beban atau guncangan berulang

(gempa), hilangnya sementasi tanah (material), pengaruh pembekuan dan pencairan.

3.4 Analisis Kinematik Untuk Evaluasi Kestabilan Lereng

Analisis kinematik adalah analisis pergerakan benda tanpa mempertimbangkan gaya-

gaya yang menyebabkannya. Pertimbangan utama dalam analisis ini yaitu kemungkinan

terjadinya keruntuhan translasional yang disebabkan oleh adanya formasi bidang planar

atau baji. Metode ini hanya berdasarkan pada evaluasi detail mengenai struktur massa

batuan dan geometri dari bidang-bidang lemah yang dapat memberikan kontribusi

Page 3: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

terhadap ketidakstabilan lereng. Analisis kinematik dapat dilakukan menggunakan

stereonet plot manual atau dengan program komputer.

Hal penting yang harus diperhatikan yaitu analisis kinematik hanya mempertimbangkan

kemungkinan terjadinya longsoran yang disebabkan oleh sebuah bidang lemah saja atau

perpotongan dari beberapa bidang lemah. Analisis tipe ini tidak mempertimbangkan

keruntuhan yang melibatkan multiple joints atau joint sets serta terjadinya deformasi

dan rekahan pada blok batuan. Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada

massa batuan di tambang terbuka, yaitu :

Longsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran Guling (Toppling Failure)

Longsoran Busur (Circular Failure)

3.4.1 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih berpotongan

sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar 3.1). Longsoran

baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal (single

sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk longsoran tunggal, luncuran

terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada

perpotongan kedua bidang. Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua bidang lemah

(ψfi > ψi).

b. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya

(ψfi > φ).

Page 4: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.1 Longsoran dengan bidang runtuhan baji (Wedge Failure)

3.4.2 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran jenis ini (Gambar 3.2) akan terjadi jika kondisi di bawah ini terpenuhi :

a. Jurus (strike) bidang luncur mendekati pararel terhadap jurus bidang permukaan

lereng (perbedaan maksimum 200).

b. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil daripada kemiringan bidang

permukaan lereng (ψf).

c. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut geser dalam (φ).

d. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah

yang longsor.

Gambar 3.2 Longsoran dengan bidang runtuhan bidang (Plane Failure)

Page 5: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3.4.3 Analisis Kinematik dari kelongsoran Guling (Toppling Failure)

Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan yang keras

di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom (Gambar 3.3). Longsoran jenis ini

terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan lereng.

Longsoran guling pada blok fleksibel terjadi jika :

a. β > 900 + φ– α, di mana β = kemiringan bidang lemah, φ= sudut geser dalam

dan α = kemiringan lereng.

b. Perbedaan maksimal jurus (strike) dari kekar (joint) dengan jurus lereng (slope)

adalah 300.

Gambar 3.3 Longsoran dengan bidang runtuhan guling

(Toppling Failure)

Kondisi untuk menggelinciratau mengguling ditentukan oleh sudut geser dalam dan

kemiringan sudut bidang gelincirnya, suatu balik dengan tinggi h dan lebar dasar balok

b terletak pada bidang miring dengan sudut kemiringan sebesar δ yang disajikan

dibawah ini (dalam dua dimensi). Dari gambar tersebut terdapat empat daerah kondisi

yaitu :

Jika δ < ϕ dan b/h > tan δ , balok tetap stabil

Jika δ > ϕ dan b/h > tan δ , balok akan menggelincir

Jika δ > ϕ dan b/h < tan δ , Balok akan menggelincir dan mengguling

Jika δ < ϕ dan b/h < tan δ , balok akan langsung mengguling

Page 6: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3.4.4 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Busur (Circular Failure)

Longsoran busur umumnya terjadi pada material yang bersifat lepas (loose material)

seperti material tanah. Sesuai dengan namanya, bidang longsorannya berbentuk busur

(Gambar 3.4). Batuan hancur yang terdapat pada suatu daerah penimbunan dengan

dimensi besar akan cenderung longsor dalam bentuk busur lingkaran (Hoek & Bray,

1981). Pada longsoran busur yang terjadi pada daerah timbunan, biasanya faktor

struktur geologi tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan lereng timbunan. Pada

umumnya, kestabilan lereng timbunan bergantung pada karakteristik material, dimensi

lereng serta kondisi air tanah yang ada serta faktor luar yang mempengaruhi kestabilan

lereng pada lereng timbunan.

Gambar 3.4 Longsoran dengan bidang runtuhan busur (Circular Failure)

3.4.5 Prinsip Dasar Analisis Kinematik

Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam

melakukan analisis kemantapan lereng sebelum melangkah ketahap perhitungan faktor

keamanan. Dengan melakukan analisis ini dapat diketahui jumlah bidang, jenis dan arah

longsoran yang mungkin terjadi (Sugiyanto, 2000).

Metode analisis stereografis (stereonet) hanya dipakai untuk batuan yang mempunyai

bidang lemah atau bidang diskontinuitas seperti perlapisan, kekar, sesar, foliasi dan

sebagainya. Hasil yang diperoleh berupa dugaan jenis longsoran atau dengan kata lain

mengetahui arah gaya – gaya yang bekerja serta arah luncuran. Sedangkan besarnya

gaya tidak dapat diketahui. Evaluasi kemantapan lereng menggunakan proyeksi

stereografis memiliki tiga hal utama yaitu (Sugiyanto, 2000) :

Page 7: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

1. Memplot sudut lereng

2. Memplot sudut geser dalam

3. Memplot orientasi bidang-bidang lemah

Salah satu hal penting dalam analisis kemantapan lereng batuan adalah pengumpulan

data geologi dan bagaimana cara penyajian data tersebut, sehungga dengan mudah dapat

dilakukan analisis dan evaluasi (Sudarsono, 1991 dalam Sugiyanto, 2000). Apabila

suatu lereng dibentuk oleh batuan yang memiliki bidang diskontinuitas, maka data –

data yang dibutuhkan dalam analisis grafis adalah sebagai berikut :

Geometri lereng (jurus dan kemiringan lereng, tinggi lereng serta arah kemiringan

lereng)

Struktur batuan (kekar, sesar, perlapisan, foliasi dan sebagainya)

Sudut geser dalam

Selanjutnya data – data yang telah diperoleh diproses dengan proyeksi stereografis sama

luas atau sering disebut sebagai jaring – jaring Lambert atau jaring – jaring Schimdt.

Langkah – langkah pengerjaan dalam analisis ini adalah sebagai berikut :

1. Pengeplotan dan penggambaran struktur bidang

Untuk penggambaran struktur bidang diperlukan data arah dan kemiringan bidang –

bidang diskontinuitas. Cara penggambaran struktur bidang tersebut diambil rata – rata

nilai arah dan kemiringan bidang diskontinuitas.

Page 8: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.5 Bidang dan kutub pada penggambaran struktur bidang

2. Arah dan penunjaman perpotongan dua bidang

Penggambaran pada tahap ini dilakukan dengan langkah yang sama seperti pada

langkah sebelumnya.

Gambar 3.6 Arah perpotongan dua bidang

3. Sudut perpotongan dua bidang

Penggambaran dua bidang pada data – data yang ada dilakukan dengan langkah yang

sama seperti pada langkah sebelumnya, sehingga diperoleh kutub kedua bidang.

Page 9: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.7 Sudut perpotongan dua bidang

4. Penggambaran sudut geser dalam

Sudut geser dalam digambarkan sebagai sebuah lingkaran pada jarring Schmidt dengan

pusatnya berhimpit dengan pusat jarring. Besar sudut tersebut diukur dari luar jarring

kearah pusat jaring sesuai dengan besarnya sudut geser dalam.

Gambar 3.8 Penggambaran sudut geser dalam

Bila pada suatu tubuh batuan dijupai bidang – bidang diskontinuitas dan setelah

dilakukan pengambilan data serta ploting atau penggambaran pada jaring – jaring

Schmidt, maka tubuh batuan dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

Page 10: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.9 Pola utama longsoran ditunjukan dengan proyeksi stereografis

Jika hasil pengeplotan bidang – bidang diskontinuitas tidak menunjukan adanya

konsentrasi kutub seperti pada gambar 3.9 gambar a, maka dapat diinterpretasikan tubuh

batuan sudah hancur atau sudah lapuk bahkan merupakan tanah. Sehingga kemungkinan

longsoran yang ada adalah longsoran busur (circular). Tetapi bila hasil pengeplotan

menunjukan adanya konsentrasi kutub yang arahnya searah dengan kemiringan lereng

seperti pada gambar 3.9 gambar b, maka kemungkinan longsoran yang terjadi adalah

longsoran bidang (planar).

Page 11: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.10 Syarat terjadinya longsoran bidang

Apabila hasil pengeplotan bidang menunjukan dua konsentrasi kutub yang arahnya

searah dengan kemiringn lereng seperti pada gambar 3.9 gambar c, maka jenis

longsoran yang terjadi adalah longsoran baji (wedge).

Gambar 3.11 Syarat terjadinya longsoran baji

Apabila terdapat konsentrasi kutub yang menunjukan bahwa di tubuh batuan tersebut

terdapat bidang diskontinuitas tegak/hampir tegak dan mempunyai arah berlawanan

dengan kemiringan lereng, maka longsoran yang kemungkinan terjadi adalah longsoran

guling (toppling).

Page 12: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3.5 Klasifikasi Massa Batuan untuk Evaluasi Kestabilan Lereng

Klasifikasi massa batuan digunakan sebagai alat dalam menganalisis kemantapan lereng

yang menghubungkan antara pengalaman di bidang massa batuan dengan kebutuhan

pemantapan di berbagai kondisi lapangan yang dibutuhkan. Namun demikian,

penggunaan klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti perancangan

rinci. Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan (Bieniawski, 1989) :

Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku massa

batuan.

Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama

menjadi kelas massa batuan.

Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa

batuan.

Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan lokasi

lainnya.

Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering)

Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para insinyur dan

geologiwan.

Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus

mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :

Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.

Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan

Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah

Pembobotan dilakukan secara relatif

Menyediakan data-data kuantitatif

Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga

keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu (Bieniawski, 1989) :

Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan minimum

sebagai parameter klasifikasi.

Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan

Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu proyek.

Page 13: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

3.5.1 Karakteristik Massa Batuan (Rock Mass Properties)

Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam geoteknik, khususnya

dalam mekanika batuan dianggap sebagai satu kesatuan massa. Oleh karena itu sifatnya

dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini berfungsi dan bekerja menyangga beban-

beban yang terdapat di atasnya dan di dalamnya. Sehingga dalam desain dan pembuatan

konstruksi harus memperhatikan kekuatan dan pola dikontinuitas pada massa batuan.

Hudson dan Harrison (1997) batuan sebagai material digunakan untuk membangun

struktur, atau suatu struktur dibangun di atas atau dalam batuan (massa batuan). Wyllie

dan Mah (2004) massa batuan merupakan material-material batuan yang mengalami

proses kerusakan (failure) yang kompleks. West (2010) sifat massa batuan meliputi

semua karakteristik suatu massa batuan yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi.

Sehingga menurut Hoek (2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan

dibutuhkan untuk estimasi dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain

lereng, fondasi dan penggalian bawah permukaan, West (2010) pekerjaan rekayasa

pemotongan jalan dan bendungan. Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit

dengan kekurangannya aplikasinya yang luas menyebabkan permasalahan dalam

rekayasa batuan dan konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan sifatnya

sebagai material konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan

pengukurannya dapat berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di

laboratorium, dan sebagai sifat massa batuan yang membutuhkan skala besar massa

batuan untuk menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat massa batuan adalah

dikontrol oleh bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya.

Sehingga menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan

batuan jarang benar-benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir, seperti

microfissure merupakan retakan planar kecil terjadi dalam batuan padu dan fissure

sebagai retakan yang lebih luas. Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok

batuan dan fragmen-fragmen yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material

dimana semua elemen saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan Holer, 1978

dalam Palmstrom, 1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi

blok batuan dan fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta

oleh karakter kekar seperti kondisi bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995).

Page 14: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.13 di bawah ini menggambarkan skematika komponen-komponen yang

membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut keberadaan

diskontinuitas di dalamnya.

Gambar 3.12 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta

diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).

3.5.2 Geological Strength Index (GSI)

Geological Strength Index (GSI), diperkenalkan oleh Hoek (1994), Hoek et al. (1995)

dan Hoek dan Brown (1998). Klasifikasi sisitem ini dapat memperkirakan reduksi

kekuatan massa batuan untuk setiap perbedaan kondisi geologi berdasarkan hasil

observasi langsung di lapangan. Karakteristik massa batuan dapat digambarkan

berdasarkan kenampakan langsung struktur pada batuan, dalam jarak dan spasi antar

bidang ketidakmenerusan (Discontinuitas) dan kondisi permukaan dari bidang

ketidakmenerusan (Discontinuitas) ditunjukkan oleh tingkat kekasaran dan alterasi.

Gabungan dari kedua parameter tersebut dapat menggambarkan secara praktis berbagai

jenis dari tipe massa batuan. Dengan keberagaman struktur mulai dari batuan yang

sangat kompak sampai massa batuan dengan tipe hancuran. Berdasarkan uraian tentang

parameter GSI tadi, nilai dari GSI dapat ditentukan menggunakan gambar 3.13.

Page 15: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.13 Penentuan nilai Geological Strength Index (GSI)

3.5.3 Klasifikasi Sistem RMR (Geomechanics Classification System)

Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu metode klasifikasi massa batuan yang

dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR). Metode

rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan pada

pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyek-proyek terowongan dangkal.

Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang

berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,

Page 16: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi ini juga sudah dimodifikasi

beberapa kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai

kepentingan dan sesuai dengan standar internasional. Sistem klasifikasi massa batuan

RMR menggunakan enam parameter berikut ini dimana rating setiap parameter

dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :

1. Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)

2. Rock Quality Designation (RQD).

3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)

4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)

5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)

a) Kuat Tekan Uniaksial Batuan

Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan

pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin

tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok

atau prisma dari satu arah (uniaksial) dengan luas perconto A dan panjang perconto l.

Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral

direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan

(Gambar 2.12). Dengan perolehan data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan

(c), modulus elastistas (E) dan Poisson Ratio (). Jika data kuat tekan hasil uji UCS

tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load

Strenght Index”, dan jika kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan

pendekatan “Standard Index Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 3.1)

Page 17: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.1 Manual indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)

Kode Diskripsi Uji LapanganUCS

(MPa)

Index Point Load

(MPa)

0 Sangat lemah Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0 -

1 Lemah

Hancur bila dipukul dengan

Palu/dapat digores dengan

pisau

5 – 25 -

2 Sedang

Tidak dapat digores dengan

pisau 25 – 50 <1

3 KuatDapat hancur dengan

Memukul lebih dari satu kali50 – 100 2 – 4

5 Sangat kuatDapat hancur dengan

Memukul berkali-kali100 – 250 4 – 10

6Sangat kuat

sekali

Sulit pecah dipukul dengan

palu>250 >10

Kemudian Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam

batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 3.2 .

Tabel 3.2 Klasifikasi teknis batuan utuh, Deere (1968)

Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan

Sangat Lemah 1 - 25 Kalk, Batugaram

Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis

Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih

Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis

Sangat kuat >200 Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt

Page 18: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

b) Rock Quality Designation (RQD)

Pada perhitungan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation (RQD) diberi bobot

berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada Tabel dibawah ini.

Tabel 3.3 Hubungan indeks RQD dengan kualitas batuan

RQD (%) Kualitas Batuan

< 25

25 – 50

50 – 75

75 – 90

90 – 100

Sangat jelek (very poor)

Jelek (poor)

Sedang (Fair)

Baik (Good)

Sangat baik (execellent)

Penentuan besarnya nilai RQD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode langsung

dan metode tidak langsung, sebagai berikut :

1. Metode Langsung

Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs tersedia.

Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere diilustrasikan pada Gambar 3.18.

Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus dilakukan sepanjang garis

tengahnya. Inti bor (core) yang pecah/retak akibat aktivitas pengeboran harus

digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian yang utuh. Ketika ada keraguan

apakah pecahan/retakan diakibatkan oleh ektivitas pengeboran atau terjadi secara alami,

pecahan itu bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami.

Semua pecahan/retakan yang bukan terjadi secara alami tidak diperhitungkan pada

perhitungan panjang inti bor (core) untuk RQD (Deere, 1967). Berdasarkan pengalaman

Deere, semua ukuran inti bor (core) dan teknik pengeboran dapat digunakan dalam

perhitungan RQD selama tidak menyebabkan inti bor (core) pecah (Deere D. U. and

Deere D.W., 1988). Menurut Deere (1988), panjang total pengeboran (core run) yang

direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m (Edelbro, 2003).

Call & Nicholas, Inc (CNI), konsultan geoteknik asal Amerika, mengembangkan

koreksi perhitungan RQD untuk panjang total pengeboran yang lebih dari 1,5 m. CNI

mengusulkan nialai RQD diperoleh dari persentase total panjang inti bor utuh yang

Page 19: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

lebih dari 2 kali diameter inti (core) terhadap panjang total pengeboran (core run).

Metode pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada Gambar 3.14.

Gambar 3.14 Metode pengukuran RQD menurut Deere dan CNI

2. Metode Tidak Langsung

Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila core logs tidak

tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung :

Menurut Priest and Hudson (1976)

RQD = 100 e−0.1 λ (0.1 λ+1 ) ........................................................................................ (1)

dimana, λ = jumlah total kekar per meter.

Menurut Palmstrom (1982)

RQD = 115 – 3,3 Jv ................................................................................................... (2)

dimana, Jv = jumlah total kekar per meter3.

Page 20: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Hubungan antara RQD dan Jv dapat dilihat pada Gambar 3.15 di bawah ini.

Gambar 3.15 Hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982)

c) Jarak Bidang Diskontinuitas

Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang lemah yang mungkin berupa

kekar, sesar, bidang perlapisan dan perlipatan atau bidang-bidang lainya yang tidak

menerus dalam massa batuan.

Suatu rekahan atau kekar yang paralel disebut set, dan set-set yang saling berpotongan

disebut “joint set system”. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan

sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang kekar (spacing of

diskontinuities). Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara

pengukuran jarak diskontuitas dapat dilihat pada Gambar 3.20 yang menunjukkan

Page 21: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

1 32 4 5 6

A B

d12d23

d34d45

d56

kekar

AB = Scan line

(a)

idealisasi pengukuran jarak kekar secara normal. Dimana jarak masing-masing kekar

ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya, yang diukur pada scan line AB.

Gambar 3.16 (a) Jarak bidang kekar dan (b) Pengukuran jarak bidang kekar di

lapangan.

Sedangkan arah strike/dip kekar yang dijumpai di lapangan tidak semudah yang

ditunjukkan oleh gambar 3.16 (a), sehingga scan line AB tidak memungkin untuk

dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka dilakukan pengukuran dan

pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 2.15 b),

kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

d i+i+1=J i+i+1cos(θ i+θi+1)

2 ............................................................................... (3)

cos = cos(n-s) cos n cos s + sin n sin s ............................................... (4)

Dimana :

s = arah dip scan line

d = arah dip kekar

1

2

A B

d14

kekarAB = Scan line

(b)

J14

normal normal

1 4

3 4

2normal

5

6

7 8

Page 22: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

s = dip garis scan line

d = dip kekar

n = 90 - d

d 180o maka n = d + 180

d > 180o maka n = d - 180

Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas

terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi kemunculan,

frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit berbanding terbalik

terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core

bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring

terhadap permukaan (Gambar ). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan

bentuk blok. Hasilnya berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan

Mah, 2004).

S = Sapp x Sin θ ........................................................................................................ (5)

S = Panjang Scanline

Jumlah Diskontinuitas ........................................................................... (6)

Dimana :

S = Jarak antar diskontinuitas

Sapp = Spasi semu diskontinuitas

Page 23: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Gambar 3.17 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam

satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)

Panjang minimum “scan-line” untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50

kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang ”scan

line” cukup sekitar 10 kali saja, tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak

diskontinuitas dan keterangannya menurut Attewell (1993) dan Deere (1968) dapat

dilihat pada tabel 3.4. dan tabel 3.5.

Jarak bidang diskontinuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang saling

berpotongan membuat massa batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah

kekuatan batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser

yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.

Tabel 3.4. Klasifikasi jarak kekar menurut Attewell (1993).

Page 24: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm)

Sangat lebar

Lebar dan luas

Lebar sedang

Dekat

Sangat dekat

Sangat dekat sekali

Perlapisan sangat tebal

Perlapisan tebal

Perlapisan sedang

Perlapisan tipis

Perlapisan sangat tipisSangat berlapisPerlaisan tipis (Batuan Metamorf & Beku)Berfoliasi, belahan aliran perlapisan, dll

Perlapisan tipis (sedimen)Sangat berfoliasi, belahan aliranPerlapisan, dll (Batuan metamorf & Beku)

> 2000

600 – 2000

200 – 600

60 – 200

20 – 606 – 206 – 206 – 20

< 20< 6< 6

Tabel 3.5. Klasifikasi jarak kekar menurut Deere (1968).

Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm)

Sangat lebar

Lebar

Cukup dekat

Dekat

Sangat rapat

Padat

Masif

Blooky/seamy

Terpecah

Hancur dan tersebar

> 3000

1000 – 3000

300 – 1000

50 – 300

< 50

d) Panjang Bidang Diskontnuitas

Menurut Wyllie dan Mah (2004) panjang bidang diskontinuitas (persistence)

merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini

menetapkan ukuran blok dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) panjang

bidang diskontinuitas (persistence) secara kasar dapat dikuantifikasi melalui observasi

panjang diskontinuitas pada permukaan batuan. Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah

(2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas, dengan asumsi panjang

merupakan distribusi

l = H' (1+m )

(1−m) .......................................................................................................... (7)

Page 25: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

H’ = L1 L2

( L1cosψ+L2 sin ψ ) ............................................................................................ (8)

m = ( N t−N c )¿¿

............................................................................................................. (9)

Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar

daerah yang dipetakan (Gambar 3.18), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area

pemetaan singkapan, N total diskontinuitas.

Gambar 3.18 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004).

Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area, dip ψ , rata-rata spasi S

e) Kondisi Bidang Diskontnuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness), regangan

(separation), pelapukan batuan samping dan material pengisi.

Kekasaran (Roughness)

Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang

mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling

mengunci dan menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan

kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.

Page 26: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Stepped

Undulating

Planar

rough

smooth

slickensided

rough

smooth

slickensided

rough

smooth

slickensided

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

IX

Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh ISRM

(1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan

horizontal sama (Gambar 3.19)

Dengan istilah diskripsi sebagai berikut.

Sangat kasar (very rough surfaces) ; terdapat banyak gelombang yang sangat

berdekatan pada permukaan kekar.

Kasar (rough surfaces) ; terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan

permukaan kekar terasa sangat abrasif.

Sedikit kasar (slightly rough surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan

dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.

Halus (smooth surfaces) ; permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.

Polesan (slickensided surfaces) ; terlihat seperti dipoles (digosok).

Gambar 3.19 Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM, 1981)

Page 27: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tertutup Separasi

Rengangan (Separation)

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh

daripengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari

bidangdiskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga

pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya hidraulic

conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.

Gambar 3.20 Ilustrasi Pengertian Separasi

Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti

pada Gambar 3.20. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan

adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan Mah (2004)

rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm)

dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh

Barton (1973) lihat tabel 3.6 Giani (1992) asal mula terbentuknya rongga dapat

merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan

cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan dan dari tarikan

diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

Page 28: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Table 3.6 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)Deskripsi Lebar Rongga

Tertutup Sangat Rapat < 0,1 mm

Rapat 0,1 – 0,25 mm

Sedikit Terbuka 0,25 – 0,5 mm

Celah (Gap) Terbuka 0,5 – 2,5 mm

Lebar Menengah 2,5 – 10 mm

Lebar > 10 mm

Terbuka Sangat Lebar 10 – 100 mm

Lebar Sekali 100 – 1000 mm

Besar > 1 m

Pelapukan Batuan Samping

Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh

air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan

hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan

agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses mekanika dan

dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004) pelapukan

berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil perubahan

lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi

menunjukkan perubahan batuan oleh agenagen kimia seperti proses oksidasi pada

batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan

karbonisasi seperti pelarutan batugamping. Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya

terbatas di permukaan saja tetapi lebih dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal,

tergantung kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan

atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan

mengurangi kuat geser diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat

geser massa batuan diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan

menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau

mekanika batuan (Giani, 1992).

Page 29: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Seringkali massa batuan di sisi bidang diskontinuitas mengalami pelapukan dan kadang

teralterasi oleh proses hidrotermal. Derajat pelapukan batuan samping dapat ditentukan

sebagai berikut.

Tidak lapuk (unweathered / fresh) : tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya

segar dan kristalnya tampak jelas, walaupun terdapat beberapa pada kekar ada

sedikit pelapukan.

Sedikit terlapukkan (slightly weathered) : pelapukan terdapat pada kekar-kekar

terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan

warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.

Terlapukkan sedang (moderately weathered) : perubahan warna mencapai bagian

yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan

penyemenan yang jelek).

Sangat terlapukkan (highly weathered) : pelapukan mencapai semua bagian massa

batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa

sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali hanya dengan palu geologi).

Terlapukkan sempurna (completely weathered) : massa batuan secara keseluruhan

sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh,

hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).

Material Pengisi

Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan

dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini

biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,

lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit,

kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material

pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan

Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku

diskontinuitas batuan. Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi

pada diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan

rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 3.21 (Pluijm dan

Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut

Page 30: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut

harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan

permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan

dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.

Gambar 3.21 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous

vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber

e) Kondisi Air tanah

Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam

liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang relatif

mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi airtanahnya

dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet), menetes

(dripping) dan mengalir (flowing).

f) Orientasi Bidang Diskontinuitas

Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat

dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut

Page 31: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

yang dibentuk antara bidang horizontal dengan bidang kekar searah dengan bidang

kemiringan. Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan

dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang

menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah

sumbu aksis terowongan, sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu

aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.

Gambar 3.22 Sketsa orientasi bidang diskontinuitas

Gambar 3.23 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan

Page 32: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.7 Parameter klasifikasi dan pembobotan, Bieniawski (1973)

Parameter Selang Nilai

1

KuatTekanBatuanUtuh

PLI (MPa) > 10 4 - 10 2 – 4 1 - 2

Untuk nilai yang kecil di pakai hasil UCS

UCS(MPa) > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 <1

Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0

2RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25

Pembobotan 20 17 13 8 3

3Jarak Diskontinuitas > 2 m 0,6 – 2 m

200 - 600 mm

60 – 200 mm

< 60 mm

Pembobotan 20 15 10 8 5

4

KondisiDiskontinuitas

Permukaan sangat kasar,

tidak menerus,

tidak renggang, tidak lapuk

Agak kasar,

separasi < 1 mm,

agak lapuk

Agak kasar,

separasi < 1 mm, sangat lapuk

Slikensided/gouge < 5 mm, atau

separasi 1 – 5 mm, menerus

Gouge lunak > 5 mm, atau separasi >

5 mm, menerus

Pembobotan 30 25 20 10 0

5 Air

tan

ah

Aliran / 10 m

panjang tunnel

(L/min)

Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125

Tekanan pori dibagi tegangan

utama

0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5

Keadaan Umum Kering Lembab Basah Menetes Mengalir

Pembobotan 15 10 7 4 0

Page 33: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.8 Klasifikasi kondisi diskontinuitas, Bieniawski (1973)

Panduan Klasifikasi Untuk Kondisi Diskontinuitas

Panjang Diskontinuitas < 1m 1 - 3 m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m

Bobot6 4 2 1 0

Lebar BukaanTidak Ada < 0.1 mm 0.1 – 1 mm 1 - 5 mm > 5 mm

Bobot6 5 4 1 0

KekasaranSangat Kasar Kasar Halus

Sangat Halus

Gores Garis

Bobot6 5 3 1 0

Material Pengisi Tidak Ada

Isian Keras < 5 mm

Isian Keras > 5 mm

Isian Lunak < 5

mm

Isian Lunak > 5

mmBobot

6 4 2 2 0Pelapukan

Tidak Lapuk Sedikit LapukLapuk Sedang

Sangat lapuk

Telah Berubah

Bobot6 5 3 1 0

Tabel 3.9 Efek jurus/kemiringan diskontinuitas di dalam Terowongan

Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan Arah jurus sejajar sumbu terowongan

MengabaikanJurusMaju Searah Kemiringan

Maju Melawan Kemiringan

Dip45o – 90o

Dip20o – 45o

Dip45o – 90o

Dip20o – 45o

Dip45o – 90o

Dip20o – 45o

Dip0o – 20o

Sangat Mengun-tungkan

Mengun- tungkan

SedangTidak

Mengun- tungkan

Sangat tidak Mengun-tungkan

Sedang Sedang

Tabel 3.10 Penyesuaian bobot dan orientasi bidang diskontinuitas, Bieniawski

(1973)

Jurus dan KemiringanOrientasi Diskontinuitas

SangatMengun-tugkan

Mengun-tungkan

SedangTidak

Mengun tungkanSangat tidak

Menguntungkan

Pembobotan

Terowongan 0 -2 -5 -10 -12

Pondasi 0 -2 -7 -15 -25

Lereng 0 -5 -25 -50 -60

Page 34: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.11 Deskripsi kelas massa batuan, Bieniawski (1973)

Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20

No. Kelas I II III IV V

DiskripsiSangat

baikBaik Sedang Jelek Sangat Jelek

Tabel 3.12 Arti kelas massa batuan

No. Kelas I II III IV V

Stand-up timeRata-rata

20 Tahun untuk span

15 m

6 Bulan untuk span

8 m

1 Minggu untuk span

5 m

10 jam untuk span

2,5 m

30 Menit untuk span 1 m

Kohesi Massa Batuan (Kpa)

> 400 300 – 400 200 – 300 100 – 200 < 100

Sudut Geser Dalam Massa Batuan (derajat)

> 45 35 – 45 25 – 35 15 – 25 < 15

3.5.3 Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR)

Beberapa ahli mengembangkan beberapa pendekatan yang lebih sistematis untuk

analisis kestabilan lereng dengan membuat klasifikasi lereng dengan cara menggunakan

pendekatan Slope Mass Rating (SMR). SMR dapat memberikan panduan awal dalam

analisis kestabilan lereng, memberikan informasi yang berguna tentang tipe keruntuhan

serta hal-hal yang diperlukan untuk perbaikan lereng. Slope Mass Rating merupakan

modifikasi dari sistem Rock Mass Rating (RMR) yang dikembangkan oleh Bieniawski.

Slope Mass Rating dihasilkan dengan melakukan beberapa faktor koreksi terhadap nilai

yang diperoleh dengan Rock Mass Rating. Nilai SMR dapat dinyatakan dengan

persamaan berikut yaitu :

SMR = RMRbasic + (F1 x F2 x F3) + F4 ................................................................. (10)

Faktor-faktor koreksi (F1, F2 dan F3) adalah faktor koreksi terhadap orientasi kekar

(joint) serta F4 adalah faktor koreksi terhadap metode penggalian lereng. Faktor-faktor

koreksi untuk kekar (joint) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.13 berikut, adalah

merupakan perkalian dari tiga faktor sebagai berikut :

Page 35: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

• F1, nilainya tergantung pada arah jurus kekar terhadap permukaan lereng.

• F2, nilainya mengacu pada sudut kemiringan kekar.

• F3, nilainya menggambarkan hubungan antara permukaan lereng dengan kemiringan

kekar seperti yang dikembangkan oleh Bieniawski (1976).

Tabel 3.13 Pembobotan F1, F2 dan F3 SMR, Romana (1985)

Kasus Keruntuhan Lereng Sangat

Menguntu

ngkan

Menguntungkan Sedang Tak

Menguntungkan

Sangat Tak

Menguntungkan

P |αj−αs|> 300 300 – 200 200 - 100 100 - 50 < 50

T |αj−αs−180|

W |αi−αs|

P/W/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0

P |βj|< 200 200 - 300 300 - 350 350 - 450 > 450

W |βi|

P/W F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0

T F2 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0

P |βj−βs|> 100 100 - 00 00 00 – (-100) < -100

W |βi−βs|T |βj+βs| < 1100 1100 - 1200 > 1200

P/W/T F3 0 -6 -25 -50 -60

Keterangan :αj = Dip direction Kekar βj = Dip Kekar P = Longsoran Bidangαs = Dip direction Lereng βs = Dip Lereng W = Longsoran Bajiαi = Arah Perpotongan Longsoran Baji βi = Dip Baji T = Longsoran Guling

Page 36: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.14 Pembobotan metode penggalian SMR, Romana (1985)

Metode Lereng Alami Peledakan Prespliting

Peledakan Smooth

Peledakan atau

Mekanisasi

Peledakan Buruk

F4 +15 +10 +8 0 -8

Tabel 3.15 Deskripsi Kelas SMR, Romana (1985)

Profil Massa Batuan

Deskripsi

No Kelas V IV III II I

Nilai SMR 0 – 20 21- 40 41 - 60 61 - 80 81 - 100

Deskripsi Massa Batuan

Sangat Buruk

Buruk Normal Baik Sangat Baik

Stabilitas

Sangat Tidak Stabil

Tidak Stabil

Setengah Stabil

Stabil Sangat Stabil

Kelongsoran

Bidang Besar Atau

Seperti Tanah

Bidang Atau Baji

Besar

Beberapa Kekar Atau Banyak Baji

Beberapa Blok

Tidak Ada

Kemungkinan Kelongsoran

0.9 0.6 0.4 0.2 0

Penyanggaan Re-excavation

Sangat Perlu

Perbaikan

Sistematis Sewaktu-waktu

Tidak Ada

Page 37: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

Tabel 3.16 Rekomendasi jenis perkuatan lereng SMR (Romana, 1985)

Kelas SMR Support

Ia 91 - 100 None

Ib 81 - 90 None atau Scalling

IIa 71 – 80 (None, Toe ditch atau fence), Spot bolting

IIb 61 – 70 Toe ditch atau fence, nets, spot atau systematic bolting

IIIa 51 – 60 Toe ditch dan atau nets, spot atau systematic bolting, spot

shotcrete

IIIb 41 – 50 (Toe ditch dan atau nets), systematic bolting. Anchors,

systematic shotcrete toe wall dan atau dental concrete

IVa 31 – 40 Anchors, systematic shotcrete, toewall dan atau concrete,

(reexcavation) drainage

IVb 21 – 30 Systematic reinforced shotcrete, toewall dan atau

concrete, rexcavation, deep drainage

Va 11 - 20 Gravity atau anchored wall atau reexcavation

3.6 Analisis Faktor Keamanan Lereng

Dalam analisis kestabilan dengan metode kesetimbangan batas, faktor keamanan

dihitung dengan satu atau lebih dari tiga kesetimbangan persamaan, yaitu,

kesetimbangan pada arah vertikal, kesetimbangan pada arah horizontal, dan

kesetimbangan momen. Faktor keamanan (FK ) didefinisikan sebagai berikut:

Page 38: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

FK = Gaya−gaya Penahan

Gaya−gaya Penggerak .................................................................................. (10)

Lereng diasumsikan berada pada kondisi kritis longsoran ketika sama dengan satu atau

gaya-gaya penahan yang tersedia seimbang dengan gaya-gaya penggerak yang terjadi.

Secara teori, lereng akan stabil jika FK > 1 , tidak stabil jika FK < 1 , dan berada dalam

kondisi kritis jika FK = 1 .

Secara umum, probabilitas longsoran kritis akan berkurang seiring dengan

meningkatnya nilai faktor keamanan. Bagaimanapun, hubungan unik antara probabilitas

longsoran dan faktor keamanan tidak dapat ditetapkan secara tepat karena bermacam-

macam ketidaktentuan kondisi lereng dari site ke site. Dalam banyak kasus,

ketidaktentuan kondisi lereng yang paling banyak digunakan adalah kekuatan material

(soil strength) dan kondisi air bawah tanah (groundwater).

Pada penelitian ini prinsip dasar yang digunakan untuk mencari faktor keamanan adalah

metode kesetimbangan batas, dengan persamaan yang dipakai adalah metode bishop

yang disederhanakan.

3.6.1 Prinsip Dasar Metode Kestimbangan Batas (Limit Equilibrium Method/LEM)

Kestabilan lereng biasanya dianalisis dengan membagi profil lereng menjadi beberapa

bagian irisan dan menghitung faktor keamanan rata-rata dari irisan tersebut dengan

metode kesetimbangan batas. Sebagai contoh, profil lereng yang tersusun atas material

tanah homogen, faktor keamanan terkadang dihitung dengan menganalisis kestabilan

lereng dengan asumsi yang lebih sederhana, seperti dengan metode busur kritis Taylor.

Analisis-analisis tersebut membutuhkan pengetahuan terhadap geometri lereng dan

perkiraan kekuatan material.

Kesetimbangan batas adalah metode yang menggunakan prinsip kesetimbangan gaya.

Metode analisis ini pertama – tama mengasumsikan bidang kelongsoran yang terjadi.

Terdapat dua asumsi bidang kelongsoran, yaitu beideng kelongsoran berbetntuk busur

(circular) dan bidang kelongsoran yang berberntu planar (non-circular) (Tjie Liong, 2012).

Metode ini mengasumsikan bahwa material bertindak sebagai sebuah massa yang kaku

atau keras dan tidak membutuhkan sifat regangan geser material tersebut. Asumsi yang

umum digunakan bahwa nilai faktor keamanan adalah sama untuk semua irisan dan

Page 39: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

tegangan geser diterapkan secara simultan pada keseluruhan bidang runtuh longsoran.

Kebanyakan longsoran bergerak secara progresif, oleh karena itu, memungkinkan tidak

adanya asumsi yang tepat bagi semua kestabilan lereng. Terlepas dari keterbatasan

tersebut, penggunaan metode ini tetap berkembang luas dan telah banyak dibuktikan

bahwa lereng dapat didesain secara aman, mudah, dan cepat dengan metode ini.

3.6.2 Perhitungan Faktor Keamanan Menggunakan Metode Bishop Sederhana

Metode bishop sederhana (Bishop Simplified Method) menggunakan prinsip-prinsip

irisan dalam penentuan faktor keamanan dari suatu massa tanah yang berpotensi

mengalami longsoran. Metode ini hanya memenuhi kesetimbangan gaya pada arah

vertikal dan kesetimbangan momen pada titik pusat lingkaran bidang runtuh kritis.

Akan tetapi, metode ini mengabaikan gaya geser antar irisan (X1 - X2 ). Persamaan yang

digunakan dalam perhitungan faktor keamanan (FK ) dengan Metode Bishop Sederhana

(Hoek dan Bray, 1981) sebagai berikut :

Gambar 3.24 Perumusan metode Bishop Sederhana

FK = ∑ n

i=1A

(1+B )

∑ ni=1

C+D ................................................................................... (11)

Rincian rumus :

A = (c’ + ( γh – γw hw ) tan ϕ ) ∆ x

cosα .......................................................................... (12)

Page 40: Slope Stability (Romana,Bieniawski)

B = tan α tan ϕ ........................................................................................................... (13)

C = γh ∆ x sin α .......................................................................................................... (14)

D = 12

γw z2 aR

............................................................................................................ (15)

Keterangan :

C’ = gaya kohesi material

γ = berat jenis material

γw = berat jenis air

h = tinggi material dalam tiap-tiap irisan

hw = tinggi air dalam tiap-tiap irisan

ϕ = sudut gesek dalam material

∆ x = lebar tiap-tiap irisan

α = sudut dasar tiap-tiap irisan

z = kedalaman rekahan tarik

a = elevasi dari titik pusat busur kritis sebesar sepertiga kedalaman rekahan tarik

R = radius busur lingkaran

Page 41: Slope Stability (Romana,Bieniawski)