1
]]) i penghujung tahun, kita sering diajak meninjau kilas balik peristiwa-pe- ristiwa terpenting di sepanjang tahun yang baru lewat. Berba- gai bidang kehidupan diamati: pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, internasional, ke- sehatan, industri, teknologi, dan sebagainya. Seakan-akan se- mua bidang itu dapat diamati dalam suatu kerangka bahasan yang kurang lebih seragam, se- hingga dapat dibandingkan. Pa- dahal kenyataannya tak demi- kian. Misalnya, kilas balik ekono- mi sangat berbeda dengan apa yang dapat dibahas dalam bi- dang kebudayaan. Bidang eko- , nomi mempunyai ukuran mate- matik yang bersifat tunggal. Dengan ukuran itu dapat dibi'- kin kilas balik yang menjelas- kan naik turunnya dinamika , pertumbuhan ekonomi. Hal ini dimudahkan oleh adanya uku- ran moneter yang berlaku sera- gam untuk hampir seluruh ke- giatan transaksi ekonomi di berbagai pelosok negeri. Ukuran yang seragam dan tunggal seperti itu tak ada pada '. bidang kebudayaan atau kese- 'nian. Dinamika kebudayaan terlalu kompleks dan majemuk. Karena itu kilas balik tahunan ; untuk bidang ini tak selalu dap- , at dibuat rutin setahun sekali · secara wajar berdasarkan per- hitungan atau pergantian ka- ; lender. Tahun 1993, telah menjadi · Sjbuah tahun yang agak istime- , VIa bagi para peminat kilas ba- lik di bidang kebudayaan. Sulit menyangkal, tahun 1993 ini, ! khususnya pada kuartal terak- hir, merupakan tahun meledak- i nya perbincangan tentang post- Post, Kamis, 16 Desember 1993 6 .. Postmodernisme dan Kelas Menengah Indonesia modernisme (Posmo). Hingga pertengahan tahurt ini, masih banyak yang mem- perdebatkan "apa itu postmo- dernisme". Di akhir tahun ini, pembahasan telah memperta- nyakan kedudukan sejarah ge- jala "demam postmodernisme" ini. Mengapa postmodernisme menjadi demam di Indonesia? Mengapa baru 1993 ini? Posmo Anti-Sejarah Dalam seminar Pascamoder- nisme: Relevansinya bagi Hak- hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir, (Salatiga, 8-9 Okto- ber 1993), AriefBudiman meru- muskan pertanyaan sejarah bangkitnya postmodernisme di Indonesia secara tajam. Secara khusus ia mempertanyakan apa "basis material" dari gejala kon- temporer ini. Tommy F. Awuy, salah seo- rang perintis postmodernisme di Indonesia menganggap, lang- kanya uraian historis tentang "latar belakang" postmodernis- me sebagai "kekurangan besar". la pemah mencoba menebus ke- kurangan itu dengan memba- has jasa para pemikir yang mempengaruhi "teori" postmo- dernisme: Nietzsche, Kuhn, Mill, McLuhan. Tommy menulis sebuah artikel di sebuah hari- an ibu kota denganjudul. "Latar Belakang Teoretis Postmoder- nisme." Mungkin ada yang setuju a- tau ingin berbantah dengan Tommy mengenai kurangnya ulasan historis postmodernisme atau detail tentang siapa yang berpengaruh apa dalam sejarah itu. Atau mengenai sebutan "teori" bagi postmodernisme. Ki- ta tak akan mempersoalkannya hal-hal itu di sini. Yang lebih mendasar dan perlu diperta- nyakan, simpa- ti Tommy bagi dua hal yang biasanya berten- tangan: sejarah dan postmoder- nisme. Apakah pembahasan postmodernisme memang mem- butuhkan "sejarah"? Dalam berbagai ragamnya, Posmo memusuhi sejarah, kare- na sejarah merupakan narasi yang cenderung bersifat total, universal, rasional, dan linier. Telah sering kita dengar, Posmo menolak narasi demikian. Seja- rahjuga ditolak karena berwa- tak erosentrik. Erosentrisme itu muncul dalam pertanyaan se- jumlah orang Indonesia: apa- kah sudah saatnya bagi Indone- sia untuk mempersoalkan Pos- mo? Asumsinya, Indonesia belum cukup modern. Indonesia harus lebih modern dulu sebelum mempersoalkan Posmo. Jika cara berpikir itu dilanjutkan, kita diminta agar lebih banyak kena wabah AIDS dulu sebelum takut pada AIDS. Berbagai pan- dangan ilmu sosial sebelum bangkitnya Posmo telah meno- lak pandangan sejarah sebagai sebuah evolusi universal yang linier: Barat di depan, Indone- sia di belakang. Foucault, yang selalu disebut dalam pembahasan tentang Posmo, bersikap anti-sejarah, termasuk sejarah gagasan. Ia menolak dasar-dasar sejarah: kesinambungan, hubungan se- bab-akibat, asal-usul, bukti- bukti empirik, dan metodologi ilmiah. Tommy sendiri men- catat kegandrungan Foucault dan Bachelard pada "diskonti- nuitas". Ironisnya, Tommy memberikan catatan itu sambil oleh Ariel Heryanto mencari kesinambungan Posmo dengan sebuah sumber penga- ruh tokoh-tokoh, asal-usul, latar belakang, dan sejarah. Robert Young kurang dikenal di Indonesia. Pada 1990 ia me- nulis buku yang menyentak perhatian akademik Barat. Se- cara gencar ia menelanjangi se- jarah sebagai tahayul Barat. Dipers Chakrabarty, sejarah- wan berdarah India yang hidup di Australia, adalah postmoder- nis lain yang kini menggulati soal "Matinya Sejarah" dengan cara yang berbeda daripada Fu- kuyama. Berbagai kritik terhadap se- jarah itujitu dan sulit dibantah. Tapi tragisnya para pengkritik sadar, mereka tak bisa sepenuh- nya keluar dari sejarah. Persis nasib Posmo yang tak mampu dan tak berharap bisa keluar dari jaring-jaring ilmu, filsafat, metafisika barat yang digem- purnya. Sejarah Material Sejarah gagasan untuk men- jelaskan seluk-beluk Posmo mungkin berguna dan memuas- kan mereka yang ingin menge- nal "sejarah" Posmo ,lari kaca- mata modernisme. Sayang, memperkenalkan Posmo dalam kerangka sejarah berarti me- nguburnya hidup-hidup dalam kerangkeng modern. Ibarat me- masukkan ikan laut ke dalam akuarium air tawar. Sejarah gagasan juga sulit memuaskan seorang positivis, atau strukturalis Marxian se- perti AriefBudiman. Yang ingin mereka ketahui, apa sejarah yang berbasis material bagi bangkitnya Posmo. Bukan ide-ide apa dan siapa yang mempengaruhi kelahirannya. isme tak dipercayai timbul tenggelam di antara is- me-isme lain di suatujagad ga- gasan yang bebas dari pijakan material. Apakah Posmo di- lahirkan oleh perubahan dalam kapitalisme mutakhir, seperti yang dibahas Frederick Ja- meson atau Davids Harvey? Di sini Posmo dipertanyakan bukan sebagai karya budaya, wawasan intelektual, atau me- tode kritik. Bukanlah sebuah gaya hidup yang dengan iseng atau bebas dapat dipilih, atau ditampik individu. Tapi sebagai kondisi sosial yang struktural. Di sini perbedaan kondisi negeri industrial "barat" dan semi-in- dustrial "Timur" lebih pantas diperhitungkan. Menurut Harvey, sejak 1970- an kapitalisme mutakhir me- ngalami perubahan besar. Pro- duksi menjadi luwes, mengan- dalkan satuan produksi berska- la kecil. Tenaga kerja maupun proses produksi bersifat menye- bar dan menjangkau dunia se- cara global. Sub-kontrak diper- banyak. lni mendorong bangkit- nya kembali pembagian keIja berdasarkan ras, suku,jenis ke- lamin atau agama. Juga kete- gangan primordial. Kontrol dan organisasi produksi mengalami desentralisasi. Semua ini cocok dengan Posmo yang gandrung pluralitas, anti-pusat, fragmen- tasi, lokalitas. Tak hanya itu! Akumulasi modal makin ditentukan oleh penguasaan informasi. Kecepat- an dan citra suatu informasi Ie- bih penting ketimbang ketepat- an atau kedalaman informasi. Keputusan besar dalam politik atau ekonomi sering dibuat se- cara spektulatif, tanpa peluang adanya kepastian dan perhi- tungan matang. Lihat, apa yang teIjadi di pasar bursa, kampa- nye pemilu, atau jumpa pers. Informasi bukan lagi sekadar "alat" yang "berfungsi" melan- carkan produksi komoditas. In- formasi menjadi komoditas itu sendiri! Seakan-akan ia berni- lai secara mandiri. Gelar, ijazah, dokumen berharga, kartu kred- it, iklan atau merek dagang le- bih penting ketimbang "barang" yang diacunya. Bagaikan tanda (signifier) yang dianggap lebih penting daripada makna (sig- nified) dalam wawasan post- strukturalisme. Bagaimanapun semua itu tak cukup menjelaskan kebangki- tan Posmo. Tak ada hubungan mekanis, determinis atau sear- ah anatara kondisi material dan dinamika budayalintelektual. Pertanyaan tentang sejarah Posmo tak sepenuhnya bisa dia- baikan. Tapijuga tak sepenuh- nya teIjawab! Ketidakpastian itu sendiri menjadi ciri Posmo. Kasus Indonesia Mempertanyakan sejarah (material ataupun ideal) bang- kitnya Posmo di Indonesia me- mang penting. Tapi mungkinju- ga ambisius. Jawabnya bisa ba- nyak. Sebagian bersifat global. Yang lain lokal. Mungkin juga sejumlah faktor kebetulan. Sulit mempercayai adanya penjelas- an yang memuaskan. Tapi satu faktor yang tak dapat diabaikan ialah terbentuknya kembali in- telektual muda Indonesia yang mahir berbahasa asing. lni ber- kait dengan bangkitnya kapita- lisme dan kelas menengah. Seperti modernisme, Posmo tak bisa dibahas secara mema- dai melulu dalam bahasa Indo- nesia. Siapa pun yang terlibat aktif dalam perdebatan Posmo perlu menyimak buku-buu acu- an berbahasa asing. Sejak per- tengahan dekade 1980-anjum- lah intelektual Indonesia yang menekuni buku-buku asing itu ternyata luar bias"a. Bukan ha- nya kursus bahasa asing menja- mur. PeIjalanan dan komunika- si antar-bangsa meningkat se- cara dramatis. Sejak awal abad ini hingga Perang Dunia II intelektual In- donesia fasih berbahasa asing. Perdebatan intelektual mereka menunjukkan lausnya bacaan generasi yang dididik sekolah kolonial ini. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Chairil Anwar adalah beberapa contohnya. Intelek- tual sesudah masa kemerdeka- an, tak banyak berbahasa asing. Mereka sibuk menggali warna lokal dan kebudayaan pribumi yang dianggap "asli". Barn sesu- dah bangkitnya kapitalisme 1980-an kita saksikan kembali sosok intelektual Indonesia ber- wawasan kosmopolitan. Nasionalisme bagi generasi Soekarno mirip Posmo bagi ge- nerasi mutakhir. Keduanya menjadi discourse radikal yang mempertemukan intelektual muda di kota dari berbagai un- sur SARA. Daya tarik nasiona- lisme dibentuk oleh konteks ko- lonialisme, daya tarik Posmo bersumber dari hegemoni Pem- bangunan. Penulis adalah Dosen Univer- sitas Kristen Satya Wacana Sa- latiga. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

S!lr~baya .. Postmodernisme dan Kelas Menengah Indonesia · nal "sejarah" Posmo ,lari kaca mata modernisme. Sayang, memperkenalkan Posmo dalam kerangka sejarah berarti me nguburnya

Embed Size (px)

Citation preview

]])i penghujung tahun, kita sering diajak meninjau kilas balik peristiwa-pe­

ristiwa terpenting di sepanjang tahun yang baru lewat. Berba­gai bidang kehidupan diamati: pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, internasional, ke­sehatan, industri, teknologi, dan sebagainya. Seakan-akan se­mua bidang itu dapat diamati dalam suatu kerangka bahasan yang kurang lebih seragam, se­hingga dapat dibandingkan. Pa­dahal kenyataannya tak demi­kian.

Misalnya, kilas balik ekono­mi sangat berbeda dengan apa yang dapat dibahas dalam bi­dang kebudayaan. Bidang eko-

, nomi mempunyai ukuran mate­matik yang bersifat tunggal. Dengan ukuran itu dapat dibi'­kin kilas balik yang menjelas­kan naik turunnya dinamika

, pertumbuhan ekonomi. Hal ini dimudahkan oleh adanya uku­ran moneter yang berlaku sera­gam untuk hampir seluruh ke­giatan transaksi ekonomi di berbagai pelosok negeri.

Ukuran yang seragam dan tunggal seperti itu tak ada pada

'. bidang kebudayaan atau kese­'nian. Dinamika kebudayaan

terlalu kompleks dan majemuk. Karena itu kilas balik tahunan

; untuk bidang ini tak selalu dap-, at dibuat rutin setahun sekali · secara wajar berdasarkan per­• hitungan atau pergantian ka­; lender.

Tahun 1993, telah menjadi · Sjbuah tahun yang agak istime­, VIa bagi para peminat kilas ba­lik di bidang kebudayaan. Sulit menyangkal, tahun 1993 ini,

! khususnya pada kuartal terak-hir, merupakan tahun meledak­

i nya perbincangan tentang post-

S!lr~baya Post, Kamis, 16 Desember 1993 6

.. Postmodernisme dan Kelas Menengah Indonesia

modernisme (Posmo). Hingga pertengahan tahurt

ini, masih banyak yang mem­perdebatkan "apa itu postmo­dernisme". Di akhir tahun ini, pembahasan telah memperta­nyakan kedudukan sejarah ge­jala "demam postmodernisme" ini. Mengapa postmodernisme menjadi demam di Indonesia? Mengapa baru 1993 ini?

Posmo Anti-Sejarah Dalam seminar Pascamoder­

nisme: Relevansinya bagi Hak­hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir, (Salatiga, 8-9 Okto­ber 1993), AriefBudiman meru­muskan pertanyaan sejarah bangkitnya postmodernisme di Indonesia secara tajam. Secara khusus ia mempertanyakan apa "basis material" dari gejala kon­temporer ini.

Tommy F. Awuy, salah seo­rang perintis postmodernisme di Indonesia menganggap, lang­kanya uraian historis tentang "latar belakang" postmodernis­me sebagai "kekurangan besar". la pemah mencoba menebus ke­kurangan itu dengan memba­has jasa para pemikir yang mempengaruhi "teori" postmo­dernisme: Nietzsche, Kuhn, Mill, McLuhan. Tommy menulis sebuah artikel di sebuah hari­an ibu kota denganjudul. "Latar Belakang Teoretis Postmoder­nisme."

Mungkin ada yang setuju a­tau ingin berbantah dengan Tommy mengenai kurangnya ulasan historis postmodernisme atau detail tentang siapa yang berpengaruh apa dalam sejarah itu. Atau mengenai sebutan "teori" bagi postmodernisme. Ki­ta tak akan mempersoalkannya hal-hal itu di sini. Yang lebih

mendasar dan perlu diperta­nyakan, simpa­ti Tommy bagi dua hal yang biasanya berten­tangan: sejarah dan postmoder­nisme. Apakah pembahasan postmodernisme memang mem­butuhkan "sejarah"?

Dalam berbagai ragamnya, Posmo memusuhi sejarah, kare­na sejarah merupakan narasi yang cenderung bersifat total, universal, rasional, dan linier. Telah sering kita dengar, Posmo menolak narasi demikian. Seja­rahjuga ditolak karena berwa­tak erosentrik. Erosentrisme itu muncul dalam pertanyaan se­jumlah orang Indonesia: apa­kah sudah saatnya bagi Indone­sia untuk mempersoalkan Pos­mo?

Asumsinya, Indonesia belum cukup modern. Indonesia harus lebih modern dulu sebelum mempersoalkan Posmo. Jika cara berpikir itu dilanjutkan, kita diminta agar lebih banyak kena wabah AIDS dulu sebelum takut pada AIDS. Berbagai pan­dangan ilmu sosial sebelum bangkitnya Posmo telah meno­lak pandangan sejarah sebagai sebuah evolusi universal yang linier: Barat di depan, Indone­sia di belakang.

Foucault, yang selalu disebut dalam pembahasan tentang Posmo, bersikap anti-sejarah, termasuk sejarah gagasan. Ia menolak dasar-dasar sejarah: kesinambungan, hubungan se­bab-akibat, asal-usul, bukti­bukti empirik, dan metodologi ilmiah. Tommy sendiri men­catat kegandrungan Foucault dan Bachelard pada "diskonti­nuitas". Ironisnya, Tommy memberikan catatan itu sambil

oleh Ariel Heryanto

mencari kesinambungan Posmo dengan sebuah sumber penga­ruh tokoh-tokoh, asal-usul, latar belakang, dan sejarah.

Robert Young kurang dikenal di Indonesia. Pada 1990 ia me­nulis buku yang menyentak perhatian akademik Barat. Se­cara gencar ia menelanjangi se­jarah sebagai tahayul Barat. Dipers Chakrabarty, sejarah­wan berdarah India yang hidup di Australia, adalah postmoder­nis lain yang kini menggulati soal "Matinya Sejarah" dengan cara yang berbeda daripada Fu­kuyama.

Berbagai kritik terhadap se­jarah itujitu dan sulit dibantah. Tapi tragisnya para pengkritik sadar, mereka tak bisa sepenuh­nya keluar dari sejarah. Persis nasib Posmo yang tak mampu dan tak berharap bisa keluar dari jaring-jaring ilmu, filsafat, metafisika barat yang digem­purnya.

Sejarah Material Sejarah gagasan untuk men­

jelaskan seluk-beluk Posmo mungkin berguna dan memuas­kan mereka yang ingin menge­nal "sejarah" Posmo ,lari kaca­mata modernisme. Sayang, memperkenalkan Posmo dalam kerangka sejarah berarti me­nguburnya hidup-hidup dalam kerangkeng modern. Ibarat me­masukkan ikan laut ke dalam akuarium air tawar.

Sejarah gagasan juga sulit memuaskan seorang positivis, atau strukturalis Marxian se­perti AriefBudiman. Yang ingin mereka ketahui, apa sejarah

yang berbasis material bagi bangkitnya Posmo. Bukan

ide-ide apa dan siapa yang mempengaruhi kelahirannya.

SebU!~h isme tak dipercayai timbul tenggelam di antara is­me-isme lain di suatujagad ga­gasan yang bebas dari pijakan material. Apakah Posmo di­lahirkan oleh perubahan dalam kapitalisme mutakhir, seperti yang dibahas Frederick Ja­meson atau Davids Harvey?

Di sini Posmo dipertanyakan bukan sebagai karya budaya, wawasan intelektual, atau me­tode kritik. Bukanlah sebuah gaya hidup yang dengan iseng atau bebas dapat dipilih, atau ditampik individu. Tapi sebagai kondisi sosial yang struktural. Di sini perbedaan kondisi negeri industrial "barat" dan semi-in­dustrial "Timur" lebih pantas diperhitungkan.

Menurut Harvey, sejak 1970-an kapitalisme mutakhir me­ngalami perubahan besar. Pro­duksi menjadi luwes, mengan­dalkan satuan produksi berska­la kecil. Tenaga kerja maupun proses produksi bersifat menye­bar dan menjangkau dunia se­cara global. Sub-kontrak diper­banyak. lni mendorong bangkit­nya kembali pembagian keIja berdasarkan ras, suku,jenis ke­lamin atau agama. Juga kete­gangan primordial. Kontrol dan organisasi produksi mengalami desentralisasi. Semua ini cocok dengan Posmo yang gandrung pluralitas, anti-pusat, fragmen­tasi, lokalitas.

Tak hanya itu! Akumulasi modal makin ditentukan oleh penguasaan informasi. Kecepat­an dan citra suatu informasi Ie-

bih penting ketimbang ketepat­an atau kedalaman informasi. Keputusan besar dalam politik atau ekonomi sering dibuat se­cara spektulatif, tanpa peluang adanya kepastian dan perhi­tungan matang. Lihat, apa yang teIjadi di pasar bursa, kampa­nye pemilu, atau jumpa pers.

Informasi bukan lagi sekadar "alat" yang "berfungsi" melan­carkan produksi komoditas. In­formasi menjadi komoditas itu sendiri! Seakan-akan ia berni­lai secara mandiri. Gelar, ijazah, dokumen berharga, kartu kred­it, iklan atau merek dagang le­bih penting ketimbang "barang" yang diacunya. Bagaikan tanda (signifier) yang dianggap lebih penting daripada makna (sig­nified) dalam wawasan post­strukturalisme.

Bagaimanapun semua itu tak cukup menjelaskan kebangki­tan Posmo. Tak ada hubungan mekanis, determinis atau sear­ah anatara kondisi material dan dinamika budayalintelektual. Pertanyaan tentang sejarah Posmo tak sepenuhnya bisa dia­baikan. Tapijuga tak sepenuh­nya teIjawab! Ketidakpastian itu sendiri menjadi ciri Posmo.

Kasus Indonesia Mempertanyakan sejarah

(material ataupun ideal) bang­kitnya Posmo di Indonesia me­mang penting. Tapi mungkinju­ga ambisius. Jawabnya bisa ba­nyak. Sebagian bersifat global. Yang lain lokal. Mungkin juga sejumlah faktor kebetulan. Sulit mempercayai adanya penjelas­an yang memuaskan. Tapi satu faktor yang tak dapat diabaikan ialah terbentuknya kembali in­telektual muda Indonesia yang mahir berbahasa asing. lni ber-

kait dengan bangkitnya kapita­lisme dan kelas menengah.

Seperti modernisme, Posmo tak bisa dibahas secara mema­dai melulu dalam bahasa Indo­nesia. Siapa pun yang terlibat aktif dalam perdebatan Posmo perlu menyimak buku-buu acu­an berbahasa asing. Sejak per­tengahan dekade 1980-anjum­lah intelektual Indonesia yang menekuni buku-buku asing itu ternyata luar bias"a. Bukan ha­nya kursus bahasa asing menja­mur. PeIjalanan dan komunika­si antar-bangsa meningkat se­cara dramatis.

Sejak awal abad ini hingga Perang Dunia II intelektual In­donesia fasih berbahasa asing. Perdebatan intelektual mereka menunjukkan lausnya bacaan generasi yang dididik sekolah kolonial ini. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Chairil Anwar adalah beberapa contohnya. Intelek­tual sesudah masa kemerdeka­an, tak banyak berbahasa asing. Mereka sibuk menggali warna lokal dan kebudayaan pribumi yang dianggap "asli". Barn sesu­dah bangkitnya kapitalisme 1980-an kita saksikan kembali sosok intelektual Indonesia ber­wawasan kosmopolitan.

Nasionalisme bagi generasi Soekarno mirip Posmo bagi ge­nerasi mutakhir. Keduanya menjadi discourse radikal yang mempertemukan intelektual muda di kota dari berbagai un­sur SARA. Daya tarik nasiona­lisme dibentuk oleh konteks ko­lonialisme, daya tarik Posmo bersumber dari hegemoni Pem­bangunan.

Penulis adalah Dosen Univer­sitas Kristen Satya Wacana Sa­latiga.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>