Upload
siswanto-ayahnya-nuhahana
View
12
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hubin
Citation preview
SMK: Sekolah Mencetak Kuli?http://www.kompasiana.com/agussaefudin/smk-sekolah-mencetak-kuli_55c818f5187b6183048b4567
Pendahuluan
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara
ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan
ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta
penduduknya. Persaingan global di segala bidang ini tidak hanya melanda negara-
negara ASEAN tetapi juga negara-negara di seluruh penjuru dunia. Bagi negara maju,
mungkin adanya persaingan global hanya menuntut mereka untuk menyesuaikan diri
dengan negara-negara yang lain. Tetapi bagi negara berkembang seperti Indonesia,
adanya persaingan global menuntut untuk meningkatkan segala sektor negara, baik
politik, ekonomi, pendidikan, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peningkatan semua sektor tentunya dilaksanakan melalui pembangunan bangsa. Dalam
upaya pembangunan bangsa, tampaknya pengembangan sumber daya manusia adalah
yang paling penting dan utama jika dibandingkan dengan pengembangan sumber daya
alam. Masalah SDM tidak bisa lepas dari masalah tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja
sangat bergantung pada kualitas SDM. Oleh karena itu, kualitas SDM harus
mendapatkan prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan guna mendapatkan
kualitas tenaga kerja yang baik.
Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda calon tenaga kerja
merupakan tanggung jawab dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun
nonformal. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari
proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Dengan kata lain,
melalui pendidikan akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas sehingga lebih
produktif dan mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain.
Dalam hal ini, pertambahan penduduk yang tidak memiliki keterampilan kerja akan
mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu pasar utama bagi produk-produk asing
dan pasar lapangan kerja bagi tenaga asing. Pertumbuhan penduduk yang tidak dikelola
dengan baik akan menjadi bencana bagi Indonesia jika tidak diikuti dengan peningkatan
kulitas SDM. Pertumbuhan penduduk tahun 2010 sampai pada tahun 2035 merupakan
bonus demografi bagi indonesia.
Bonus demografi ini merupakan suatu fenomena di mana struktur penduduk sangat
menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat
besar, sedangkan proporsi usia muda sudah semakin kecil dan yang berusia lanjut
belum banyak. Diperkirakan oleh pemerintah tahun 2035 working age mencapai 70%
dan dependency rasio mencapai 40% artinya pada tahun 2035 sekitar 7 orang
produktivitas dengan 4 orang tidak produktivitas mampu menopang perekonomian
Indonesia menjadi lebih baik.
Peningkatan kualitas SDM adalah jawaban atas tuntutan dan tantangan perubahan
jaman. Pengelolaan pendidikan terutama yang berkaitan dengan penyiapan tenaga
kerja harus menjadi titik perhatian utama agar mampu mengubah struktur dan kualitas
tenaga kerja yang memiliki daya saing dan produktivitas tinggi dalam membangun
ekonomi masyarakat. Pendidikan memegang peranan penting bagi peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
Trilling dan Fadel (2011) menyatakan bahwa pada era global ini yang terpenting adalah
bagaimana memfungsikan pendidikan sebagai sebuah proses menyiapkan peserta didik
agar sukses menempuh kehidupannya di masa depan. Kemampuan untuk menghadapi
masa depan itulah yang perlu ditumbuhkembangkan dalam proses pendidikan.
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional
memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja
nasional yang terampil. Lulusan SMK diharapkan menjadi sumber daya manusia yang
siap pakai, dalam arti ketika mereka telah menyelesaikan sekolahnya dapat
menerapkan ilmu yang telah mereka dapat sewaktu di sekolah.
Kenyataan di lapangan kerja menunjukkan bahwa daya serap lulusan SMK masih
rendah. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang
menyatakan bahwa Jumlah tenaga kerja Indonesia per Agustus 2014 mencapai 182,99
juta orang. Dari jumlah itu, 7,24 juta orang di antaranya berstatus pengangguran
terbuka. Tingkat pengangguran terbuka paling banyak adalah lulusan sekolah
menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Jumlah pengangguran lulusan
SMK adalah 11,24 persen dari total jumlah pengangguran. Pengangguran lulusan SMK
ini naik tipis dibandingkan Agustus 2013 yang mencapai 11,21 persen. Jumlah lulusan
SMK yang menganggur ini persentasenya lebih besar dibanding persentase lulusan
SMA biasa yang mencapai 9,55 persen. Berturut-turut kemudian lulusan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebesar 7,15%, dan lulusan Diploma sebesar 6,14%.
Kepala BPS Suryamin (dalam tempo.com, Rabu (5/11/2014)) menengarai, belum
adanya link and match antara pendidikan kejuruan dengan industri menyebabkan
lulusan SMK yang paling banyak menganggur. Lulusan SMK seharusnya langsung
dapat kerja karena memiliki keahlian sesai dengan kompetensi keahlian. Salah satu
penyebab daya serap rendah ini adalah belum ada link and match antara kompetensi
lulusan SMK dengan kualifikasi keahlian yng dibutuhkan unia industri. Link and
match adalah kebijakan sejak zaman Orde Baru, yang dibuat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan saat itu Wardiman Djojonegoro. Salah satu upaya yang dilakukan SMK
dalam kebijakan ini adalah penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). PSG dalam
Kurikulun Pendidikan Berbasis Kompetensi siswa dapat beriteraksi baik di dalam
maupun diluar, yaitu di dalam berarti di sekolah melalui praktek di bengkel dan di luar
artinya belajar di perusahan atau dunia industri melalui magang atau praktek kerja
industri (prakerin). Siswa diharapkan mengetahui lingkungan kerja berdasarkan bidang
yang dia kuasai, selain itu juga akan mengerti tata cara kerja yang baik dan mengerti
akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sekolah dengan dunia industri. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar SMK memiliki peralatan praktik yang jauh
tertinggal dibandingkan dengan peralatan dan teknologi yang diterapkan dunia industri
sehingga ilmu yang dipelajari oleh siswa SMK hari ini tidak sinkron dengan tuntutan
dunia industri. Praktik kerja indstri (prakerin) yang dilaksanakan dalam tiga sampai
dengan enam bulan di dunia industri kadang menjadi sia-sia ketika siswa magang pada
perusahaan atau industri kecil sebagai akibat dari keterbatasan kuota dari perusahaan
besar dalam menerima siswa magang. Hal ini terjadi karena jumlah siswa yang belajar
di SMK dengan jumlah industri yang bersedia menerima siswa melaksankan praktik
kerja industri tidak seimbang dimana jumlah siswa jauh lebih banyak dibandingkan
dengan kuota yang disediakan industri untuk siswa magang.
Guru produktif sebagai instruktur yang mengajar mata pelajaran kejuruan juga
mempunyai peran dalam kesenjangan lulusan SMK dengan tuntutan dan kebutuhan
dunia industri. Hal ini terjadi dikarenakan sebagian besar guru produktif
mandek (stagnan) dalam keilmuan mutakhir sebagaimana yang diterapkan oleh dunia
industri. Guru produktif yang merupakan produk LPTK seringkali memiliki keterbatasan
pengetahuan akan teknologi mutakhir, banyak guru produktif yang tidak mampu
mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disebabkan banyak
keterbatasan dari guru sendiri. Dengan demikian faktor guru produktif dan
profesionalisme juga merupakan variabel yang perlu diperhatikan ketika membahas link
and match lulusan SMK dengan dunia kerja.
Kritik atas Kegagalan SMK?
Secara konseptual sesungguhnya tidak ada yang salah dengan SMK. Direktorat
Pendidikan Mengah Kejuruan (2003) menyatakan bahwa tujuan Sekolah Menengah
Kejuruan memiliki tujuan umum, yaitu: (1) menyiapkan peserta didik agar dapat
menjalani kehidupan secara layak, (2) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta
didik, (3) menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan
bertanggung jawab, (4) menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai
keanekaragaman budaya bangsa Indonesia, dan (5) menyiapkan peserta didik agar
menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan
dan seni. Tujuan khusus SMK, adalah: (1) menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja,
baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan
industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program
keahlian yang diminati, (2) membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan
gigih dalam berkompetensi dan mampu mengembangkan sikap profesional dalam
bidang keahlian yang diminati, dan (3) membekali peserta didik dengan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kenyataan di lapangan saat ini menunjukkan bahwa slogan SMK yang santer terdengar
“SMK Bisa!” mulai nampak loyo dan kuyu melihat fakta BPS menyoal jumlah
pengangguran. SMK yang sejatinya mempersiapkan generasi sekolah menengah untuk
siap terjun ke dunia kerja nampaknya ironi semata. Sloga di atas sepertinya hanya
membara saat generasi muda menempuh di jenjang sekolah. Sedang di dunia kerja,
penyerapan baik yang diharapkan nampak belum optimal. Seperti termaktub dalam
salah satu poin Sekolah Menengah Kejuruan dalam
website www.ditpsmk.net yaitu Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai
etos kerja dan kompetensi berstandar internasional belum terwujud. Etos kerja yang
digadang-gadang mampu mempersiapkan siswa di dunia kerja nampaknya belum
optimal. Hal ini terkendala pengelolaan setengah hati SMK. Pemerintah memberikan
keleluasaan dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan. Namun, saat ini belum
ada peningkatan mutu pendidikan SMK dan pemetaan mobilisasi lulusan SMK.
Kebijakan pemerintah ini justru ditanggapi dengan euforia, yaitu munculnya SMK-SMK
baru. Apabila tidak ada peningkatan kualitas SMK, maka industri akan kesulitan
menyerap lulusan SMK yang jumlahnya cukup besar.
Kegagalan pendidikan SMK selama ini yang berimplikasi terhadap rendahnya daya
serap lulusan dan dicapnya SMK sebagai sekolah yang mencetak pengangguran dan
kuli tidak lepas dari banyak faktor yang saling terkait, baik menyangkut kebijakan
pemerintah, pengelola SMK termasuk kepala sekolah dan guru, sarana dan prasarana,
serta dunia usaha/industri selaku mitra SMK. Penulis menginventarisasi kegagalan
pendidikan SMK, sebagai berikut:
1. Kebijakan Setengah Hati Pemerintah
Pemerintah dalam kebijakan pendidikan menengah kejuruan melalui Provinsi Vokasi,
Kabupaten Vokasi bahkan sampai dengan Kelurahan/Desa Vokasi menekankan
keberpihakannya pada Sekolah Menengah Kejuruan. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa melalui SMK para siswa dibekali keterampilan. Kelebihan sekolah di SMK
sebelum lulus para siswa diberi kesempatan praktk kerja industri (prakerin). Umumnya
para siswa akan dilepas di dunia kerja rata-rata antara 3 sampai 6 bulan. Siswa di SMK
diharuskan membuat sebuah karya disebut Tugas Akhir (TA) dan uji kompetensi yang
menilai sampai sejauh mana penguasaan keahlian setelah selama 3 tahun belajar
sebagai persyaratan kelulusan. Lulusan siswa SMK dikatakan setelah lulusan siap
masuk di dunia kerja.
Kebijakan hebat ini mendapatkan respons yang luar biasa dari masyarakat yang
diitunjukkan dengan semakin bertambahnya jumlah-jumlah SMK dan juga minat orang
tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke SMK. Banyak SMK swasta yang didirikan
menyambut antusiasme masyarakat atas kebijakan pemerintah ini. Selanjutnya yang
terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya pendirian SMK ini tidak diimbangi
dengan penyediaan sarana dan prasarana praktik yang memadai dan guru-guru yang
kompeten. SMK negeri dan swasta yang ada selama ini ada belum secara optimal
mendapatkan bantuanupgrading alat-alat praktik maupun pelatihan kompetensi bagi
guru produktif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mutakhir. Kuantitas SMK yang semakin besar yang tidak diimbangi dengan kualitas baik
sarana dan prasarana, guru yang kompeten, dan nihil mendapatkan mitra dunia
usaha/industri menjadkan semakin banyaknya SMK sastra yang kurang praktik
sehingga lulusanpun menjadi tidak berkualitas dan akibatnya sulit untuk masuk dunia
kerja.
Salah satu penyebab terjadinya kondisi ironis dalam implementasi pendidikan SMK
disebabkan ketidakseimbangan antara produk hukum dengan perencanaan dan
implementasi kebijakan yang ditetapkan. Sebagai contoh dalam pelaksanaan
pendidikan sistem ganda dan kemitraan sekolah dengan industri, pemerintah
seharusnya tidak setengah-setengah dalam membantu SMK dalam meningkatkan
kualitas lulusannya. Perlu langkah konkrit bagaimana mengatur dunia usaha dan industri
agar membantu SMK dalam melaksanakan program bersama dalam upaya menyiapkan
tenaga kerja siap pakai. Penyiapan aturan atau bahkan undang-undang yang mengikat
semua dunia usaha dan industri dalam merealisasikan kerjasama ini. Nasionalisme
DUDI dibangun dengan dimulai dari membuat aturan dan undang-undang dan aturan
yang mengikat mereka menuju ke arah pembangunan bangsa yang kuat.
2. Rendahnya Visi Kepala SMK
Kepala SMK hendaknya memiliki visi jauh ke depan karena lulusannya berhubungan
langsung dengan masalah ketenagakerjaan dan kebutuhan dunia usaha serta industri.
Kebanyakan kepala SMK yang memandang bahwa SMK tidak ubahnya dengan
sekolah-sekolah lain menyebabkan proses pembelajaran yang berlangsung juga sama
dengan sekolah-sekolah menengah yang lain dengan orientasi pada tingginya persetase
kelulusan dan nilai ujian nasional semata. UN dan penilaian-penilaian normatif dan
kognitif menjadi panglima dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga lulusan yang
dihasilkan hanya memiliki selembar ijazah dan pengakuan-pengakuan normatif formal
saja tanpa dimbangi dengan soft skill sebagai kecakapan hidup (life skill)saat terjun di
masyarakat.
3. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Kejuruan/Produktif
Guru pengampu mata pelajaran kejuruan/produktif mempunyai peran yang stategis
dalam menghasilkan lulusan SMK yang kompeten dan siap kerja. Lulusan SMK yang
berkualitas hanya akan terwujud jika guru yang mengajar dan memfasilitasi kegiatan
pembelajaran termasuk praktik keterampilan kejuruan sesuai dengan kompetensi
keahlian adalah guru profesional yang kompeten. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar guru kejuruan/produktif yang merupakan lulusan LPTK telah
tertinggal dalam penguasaaan ilmu pengetahuan dan tenologi. Banyak ilmu
pengetahuan dan tenologi terbaru dan mutakhir yang tidak dikuasai oleh guru
dikarenakan keterbatasan guru dalam mengakses informasi dan tidak
mendapat upgrading keilmuan dan kompetensi dalam pendidikan dan pelatihan yang
memadai. Hasil penilaian uji kompetensi guru yang diumumkan oleh pemerintah
menunjukkan bahwa nilai kompetensi guru sebagian besar adalah rendah dan dilihat
dari sisi kualitasnya banyak keilmuan yang telah tertinggal dibandingkan dengan
kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat.
4. Sarana dan Prasarana Praktik yang Tertinggal
Dunia industri berkembang pesat seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Perkembangan ini tidak mampu diimbangi oleh sebagian besar SMK. Sarana
dan prasarana praktik SMK banyak yang sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai lagi
dengan perkembangan teknologi yang diterapkan dunia industri. SMK yang kurang atau
tidak memiliki fasilitas praktik, membuat lulusannya tidak terampil. Masyarakat sering
menyebut dengan SMK Sastra. Lulusan seperti itu kalah dalam persaingan masuk
dunia kerja. Tes akademik kalah dengan lulusan SMA, sementara tes keterampilan
selalu gagal. Mereka juga sulit memilih pekerjaan di luar jurusannya di SMK.
Lengkaplah kemeranaan lulusan SMK Sastra itu.
5. Kurikulum SMK yang Membingungkan
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional.
Kurikulum berfungsi sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran. Kurikulum diperlukan untuk membantu guru dalam
mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan dari berbagai berbahan
kajian. Kurikulum yang dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran disusun melalui proses yang komprehensif dan sistematis.
Dengan demikian, dalam pengembangan kurikulum perlu diterapkan pedekatan
menyeluruh secara sistematik dan sistemik.
Sekolah Menengah Kejuruan mempunyai kekhususan. Kekhususan tersebut terletak
pada mata pelajaran produktif. Seperti halnya mata pelajaran lain, standar isi (SI) dan
standar kompetensi lulusan (SKL) mata pelajaran produktif juga perlu dikaji. Kegiatan
kajian diusulkan agar dilakukan dengan melibatkan para guru dan dosen
berpengalaman industri, para profesional DU/DI dalam bidangnya serta asosiasi profesi
terkait. Pelibatan mantan anggota Kelompok Bidang Keahlian (KBK) pada Majelis
Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) sangat disarankan. Buram final perlu disebar-
luaskan secara terbuka kepada para pemangku kepentingan untuk mendapat masukan.
Mengingat KTSP SMK harus mengacu pula pada Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia (SKKNI), sedangkan belum semua program keahlian memiliki SKKNI, perlu
upaya sinergis dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) untuk penyusunan
SKKNI terkait yang belum terbit.
Berdasarkan analisis pelaksanaan di lapangan, penambahan mata pelajaran pada
kelompok normatif (Seni Budaya) dan pada kelompok adaptif (Ilmu Pengetahuan Sosial
dan Ilmu Pengetahuan Alam) berdampak pada beban belajar peserta didik di sekolah
menengah kejuruan di satu sisi, di sisi lain berkurangnya alokasi waktu untuk mata
pelajaran produktif. Sehingga beban jumlah jam belajar dengan perbandingan alokasi
waktu tatap muka, praktik sekolah dan praktik industri (1:2:4) berimplikasi pada
penyediaan waktu lebih banyak dari yang diamanatkan pada standar isi
(mengakomodasi jumlah jam perminggu maksimum 40 jam). Oleh karena itu jam real
praktik disekolah dan industri harus dihitung serta melakukan penambahan jumlah jam
pelajaran lebih dari 4 jam pelajaran untuk memenuhi pencapaian standar kompetensi
lulusan.
6. Produk SMK yang Tak Didukung
Kegiatan pembelajaran SMK yang efektif adalah berbasis kompetensi dan berbasis
produksi. Dengan demikian siswa SMK diharapkan mampu menghasilkan proyek yang
berupa produk atau jasa sesuai dengan kompetensi keahlian yang dipelajari. Unit
poduksi yang merupakan elemen penting SMK yang menjadi ciri khusus dan
membedakan dengan pendidikan menengah lainnya mempunyai peran yang strategis
dalam memperkenalkan dan memasarkan produk SMK.
Contoh paling nyata berkaitan dengan Esemka yang merupakan salah satu produk
siswa SMK yang dibanggakan. Esemka adalah produk mobil nasional hasil rakitan
siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan yang bekerja sama dengan institusi dalam
negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional. Kandungan komponen lokal
(dalam negeri) berkisar antara 50%-90%. Namun faktanya, mobnas Esemka terengah-
engah mencoba menghirup nafas dalam gempuran mobil Jepang. Esemka yang
digadang-gadang oleh Jokowi menjadi serupa Timor nampak mangkrak. Lebih lagi
pemerintah nampak masa bodoh. Dengan dikeluarkannya kebijakan mobil murah,
seperti menikam mati produksi hasil tangan-tangan siswa SMK. Sudah empat hari mobil
Esemka buatan PT Solo Manufaktur Kreasi dipamerkan di Jakarta Convention Center
(JCC), Senayan, Jakarta Pusat. Hingga hari ini baru 3 unit mobil Esemka yang berhasil
terjual di acara Pameran Produk Dalam Negeri 2013. Marketing PT Solo Manufaktur
Kreasi Tri Yuli Puspitarini mengatakan sejak mengikuti pameran di JCC, 4 hari lalu
sampai saat ini baru 3 unit mobil Esemka yang laku terjual (berita: finance.detik.com).
Menuju SMK Bisa! yang Unggul
Membangun sekolah unggul sebagaimana slogan SMK Bisa ! dan unggul dalam segala
hal termasuk menghasilkan lulusan yang kompeten yang kompetetif dalam persaingan
global dan dunia kerja bahkan mencetak wirausahawa muda adalah sebuah kalimat
yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dicapai. Tetapi kata sulit belum tentu tidak bisa
bahkan sangat mungkin dicapai jika direncanakan secara matang dan direalisasikan
dengan penuh dedikasi dan loyalitas demi mewujudkan generasi penerus yang tangguh.
Sesuai dengan pengertian dasarnya, sekolah unggul (effective school) berarti sekolah
yang memiliki kelebihan, kebaikan, keutamaan jika dibandingkan dengan yang lain,
maka dalam konteks ini sekolah unggul mengandung makna sekolah model yang dapat
dirujuk sebagai contoh bagi kebanyakan sekolah lain karena kelebihan, kebaikan dan
keutamaan serta kualtas yang dimilikinya baik secara akademik maupun non akademik.
Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dimiliki
sekolah unggul. Kesembilan kriteria tersebut menjadi rambu-rambu yang harus dipenuhi
oleh SMK untuk menjadi sekolah yang unggul, yaitu:
1. Masukan (input), yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria
tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang
dimaksud adalah : (1) prestasi belajar superior dengan indikator angka rapor dan
nilai UN, serta hasil tes prestasi akademik, (2) skor psikotes yang meliputi
intelgensi dan kreativitas, (3) tes fisik, jika diperlukan.
2. Sarana dan prasarana yang menunajang unutk memenuhi kebutuhan belajar
siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam kegiatan kurikuler
maupun ekstra kurikuler.
3. Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan
menjadi keunggulan yang nyata baik lingkung fisik maupun social-psikologis.
4. Guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul baik dari segi
penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komitmen dalam
melaksanakan tugas.
5. Kurikulum dipercaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal
sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar
yang lebih tinggi.
6. Kurun waktu belajar lebih lama dibandingkan sekolah lain. Karena itu perlu ada
asrama untuk memaksimalkan pembinaan dan menampung para siswa dari
berbagai lokasi. Di kompleks asrama perlu adanya sarana yang bisa
menyalurkan minat dan bakat siswa seperti perpustakaan, alat-alat olah raga,
kesenian dan lain yang diperlukan. Alokasi waktu untuk pengembangan soft
skill dalam kerangka kecakapan hidup sangat ditekankan termasuk di dalamnya
kompetensi kerja produktif dan praktik kewirausahaan
7. Proses belajar mengajar harus berkulitas dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan (accountable) baik kepada siswa, lembaga maupun
masyarakat.
8. Sekolah unggul tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik di
sekolah tersebut, tetapi harus memiliki resonansi sosial kepada lingkungan
sekitarnya. Dalam kaitannya dengan produk yang dihasilkan diharapkan berbasis
pada kebutuhan dan permintaan pasar/masarakat sekitar sehingga produk yang
dihasilkan akan diterima dan dapat berkembang semakin baik yang berimplikasi
pada pengembangan diri siswa.
9. Nilai lebih sekolah unggul terletak pada perlakuan tamban di luar kurikulum
nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan,
pengajaran remedial, pelayanan bimbingan dan konseling yang berkualitas,
pembinaan kreatifitas dan disiplin.
Di samping kesembilan kriteria sekolah unggul dari Departemen Pendidikan Nasional
yang menjadi acuan maka SMK Bisa yang benar-benar unggul juga harus mempunyai
nilai lebih yang ditunjukkan dalam integrasi kecerdasan inteletual, emosional, dan
spiriual, serta bagaimana membangun paradigma pembelajaran unggul, pembelajaran
berbasis kewirausahaan sebaai dasar mencetak wirausahawan, menjajadkan UPJ
sebagai perusahaan sekolah, dan membangun secara kuat jaringan mitra industi yang
handal. Masing-masing aspek untuk mewujudkan SMK Bisa yang unggul dijelaskan
sebagai berikut.
1. Integrasi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual
Mencermati sekolah unggul yang diajukan di atas, secara eksplisit masih mengarah
pada aspek-aspek bersifat tangible, atau berada pada ranah kognitif sehingga sulit
diharapkan mampu menciptakan manusia utuh yang sesungguhnya (insan kamil).
Manusia utuh yang diharapkan lahir dari sekolah unggul adalah manusia yang
menampilkan citra sebagai sosok makhluk tuhan yang di dalam dirinya terdapat potensi
rasional (nalar), potensi (emosi) dan potensi spiritual. Tiga dimensi keunggulan (cerdas
intelek, cerdas emosional dan serdas spiritual)dalamperspektif Islam mencitrakan sosok
manusia utuh.
Lembaga pendidikan yang terlalu banyak menekankan pentingnya nilai akademik,
kecerdasan otak atau IQ saja, mengabaikan kecerdasan emosi yanga mengajarkan:
integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan,
keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi menjadikan pendidikan
kehilangan ruhnya.
Aspek emosional sebagai salah satu unsur yang menandai ke- diri-an manusia
tidakbisadiabaikan, karena ia akan membentuk karakter kepribadian manusia, terutama
ketika iamenghadapi berbagai kerumitan dan keruwetan kenyataan hidup. Secara
esensi kecerdasan emosional (EQ) adalah hatiyang mengaktifkan nilai-nilai kita yang
terdalam, mengubahnya dari suatu yangkita piker menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati
mampu mengetahui hal-hal mana yang tidakboleh, atau tidak dapat diketahui oleh
pikiran kita. Kedua aspek tersebut, dalam perspektif pendidikan ideal belumlah cukup
untuk menggambarkan kebutuhan sosok manusia. Sebab dalam diri manusia terdapat
satu asek penting lainnya yaitu potensi spiritual. Pemanduan ketiga potensi ini
menggambarkan keutuhan manusia yang sesungguhnya. Sebab bukanlah manusia jika
hanya memiliki rasio, tetapi tumpul rasa. Juga ukanlah manusia jika iamenggambarkan
sosok dirinya sebagai makhluk yangterus menrus berzikir tanpa memiliki kepekaan
terhadap aspek-aspek lain (sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya).
Karena itu, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat
kebaikan, kebenaran,keindahan, dan kasih saying dalam hidup kita, kecerdasan untuk
menghadapi persoalanmakna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dengan lain
pernyataan, pendidikan adalah kemampuan merasakan hubungan yang
tersembunyi (the hidden connection) antar berbagai fenomena dalam hidup manusia.
Dengan mengorientasikan tiga unsur tersebut berarti sekolah unggul telah
mengakomodasi sisi kemanusiaan peserta didik secara komprehensif, tidak hanya
berkutat pada persoalan nilai UN, atau pengetahuan kognitif saja, tetapi hal ini juga
menekankan semua segi kehidupan manusia seperti spiritualitas,moralitas, sosialitas,
rsadan rasionalitas. Sebab, menentukan kriteria keunggulan sekolah dari sisi kognitif
saja tidak hanya mereduksi keluasan makna dan fungsi pendidikan, tetapi juga sekolah
akan menjadi semacam ajang pemaksaan budaya dominan, yaitu prestise dan
popularitas sesaat parashateholders sehingga siswanya tidak lagi dipandang sebagai
“people who can transform knowledge and society”, tetapi sebagi makhluk semi mati
yang bisa direkayasa untuk kepentingan-kepentingan pragmatis pula.
Sekolah yang idealnya merupakan sebuah proses humanisasi dan liberalisasi (amr bil
ma’ruf wa hany ‘an almungkar) menjadi keilangan relevansi dan jati dirinya bagi
pemecahan permasalahan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Lembaga
pendidikan unggul idealnya berkepentingan untuk menempatkan manusia sebagai
makhluk yang memiliki potensi multidimensi seperti dikemukakaan di atas, tidak untuk
menjadikan manusiasebagai makhluk tuna dimensi. Dengan demikian output lembaga
pendidikan unggul mampu hidup serasi bukan hanya dengan habitat ekologinya
(lingkungan keluarga, manusia dengan anggota masyarakat, manusia dengan alam)
tetapi juga manusia dengan Tuhan.
2. Paradigma Pembelajaran SMK Unggul
Pembelajaran pada SMK unggul memandang bahwa semua siswa mempunyai potensi
untuk berkembang sehingga kata kunci yang dipegang adalah tidak ada produk gagal.
Hal ini berarti bahwa semua siswa dididik dengan berorientasi pada tujuan SMK dengan
berbasis kompetensi kerja sesuai kebutuhan tenaga kerja dan berbasis proyek. Dengan
demikian lulusan SMK diharapkan merupakan tenaga kerja terampil yang siap pakai.
Pembelajaran SMK unggul dapat dicapai dengan baik jika didukung oleh beberapa
faktor, diantaranya:
1. Kepemimpinan kepala sekolah visioner dan berwawasan luas;
2. Guru profesional dan kompeten;
3. Sarana dan prasarana serta peralatan praktik yang memadai sesuai dengan
dunia usaha/industri;
4. Pendekatan pembelajaran yang digunakan berpusat pada siswa(student
centered learning);
5. Pembelajaran mata pelajaran kejuruan/produktif berbasis kompetensi dan proyek
sesui dengan standar industri dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik;
6. Pembiasaan budaya kerja unggul baik disiplin, kejujuran, ketertiban, kerja sama
dan tanggung jawab;
7. Pelaksanaan praktik kerja industri (prakerin)/pendidikan sistem ganda yang
efektif pada dunia usaha/industri yang relevan dengan kompetensi keahlian yang
dipelajari untuk memberikan gambaran nyata dunia kerja;
8. Dukungan profesonal/praktisi dunia usaha/industri dalam pembelajaran sebagai
guru tamu yang memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir sesuai
tuntutan dan kebutuhan dunia kerja.
Ada 5 (lima) indikator yang menunjukkan pembelajaran pada SMK unggul, yaitu:
1. Pembentukan Karakter (Charater Building)
Manusia pada hakikatnya terdiri dari 2 sisi, yaitu; jasmani & rohani. Kedua sisi tersebut,
selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi
pendidikan terhadap 2 sisi tersebut tidak seimbang (terutama pada sisi rohani), maka
akan terjadi krisis akhlak yang didalamnya tidak ada lagi kejujuran, kepedulian,
tanggung jawab, saling menghargai dll.Character Building adalah bidang studi yang
memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Tapi pada saat ini, kenyataannya
pendidikan/materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah, yaitu dalam bidang studi
agama.
2. Agen Perubahan (Agent of Change)
Sekolah semestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya telah luntur, bahkan
sudah merasuk keparadigma masyarakat. Bahwa sekolah unggulan adalah sekolah
yang murid-muridnya pandai dan baik, serta untuk masuk kesekolah tersebut butuh
biaya yang mahal. Sekolah jeblok adalah sekolah yang murid-muridnya bodoh dan
nakal atau anak buangan (yang tidak diterima masuk sekolah unggulan).Dalam hal ini,
Bukankah sebuah sekolah dibangun untuk mencerdaskan anak yang bodoh, serta
membuat baik anak yang nakal. Dengan menerapkan Multiple Intelegence
Research kepada setiap siswa pada tiap tahun, ternyata tidak semua siswa bodoh.
Setiap siswa memiliki kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan
patut dihargai.
3. Proses Terbaik (The Best Process)
Konsekuensi Agent of Change adalah proses pembelajaran yang terbaik. Proses
pembelajaran ini harus mengandung kekuatan emosi positif dari proses awal hingga
akhir pembelajaran harus benar-benar menyentuh perasaan siswa. Jika hal ini terjadi,
maka akan menimbulkan penjiwaan dari siswa tersebut dan pelajaran tersebut akan
terekam dalam memory jangka panjang.
4. Guru Terbaik (The Best Teacher)
Ada 3 hal yang menentukan untuk menjadi guru terbaik yang dapat memberikan
pembelajaran optimal bagi siswanya sehingga dihasilkan lulusan berkualitas dan
paripurna, yaitu: (1) guru sebagai fasilitator, memfasilitasi dengan memberi porsi yang
besar kepada siswa dalam proses pembelajaran sehingga pemikiran siswa dapat
tumbuh kembang dengan optimal; (2) guru sebagai katalisator, akan terus memantik
kemampuan siswa termasuk bakatnya, terutama pada siswa yang lamban dalam
memahami pelajaran; dan (3) guru harus dapat menyesuaikan gaya mengajarnya
dengan gaya belajar siswa, apabila proses teaching style dengan learning style sesuai
maka akan muncul kondisi sebenarnya dimana tidak ada pelajaran yang sulit dan
semua siswa dapat menerima pelajaran dari guru.
5. Manajamen Sekolah (School Management)
Manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan SDM tingkat tinggi, sangat
kompleks dan dibutuhkan orang-orang profesional untuk mengelolanya. Manajemen
sekolah ibarat kedua kaki kita yang melangkah menuju satu tujuan kehidupan yang
mulia. Kaki kanan ibaratcontext system, yaitu penyelenggara pendidikan dan kaki kiri
ibaratcontent system, yaitu kepala sekolah dan guru. Jadi alangkah padunya bila
langkah kedua kaki ini melangkah dengan harmonis.
3. Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan sebagai Dasar Mencetak Wirausahawan
Pembelajaran pada SMK unggul di samping berbasis kompetensi dan proyek yang
menunjukkan keutuhan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berbasis
kewirusahaan sebagai dasar mencetak wirausahawan muda. Lulusan SMK seharusnya
mampu menciptakan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri bahkan pada
tataran yang lebih luas dapat membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain. Nilai-nilai
dan jiwa kewirausahaan dapat ditanamkan sejak dini dan yang paling efektif adalah
melalui pendidikan. Dengan demikian pembelajaran produktif sangat strategis jika
dilakukan dengan berbasis kewirausahaan. Pembelajaran produktif merupakan mata
pelajaran yang mengajarkan kompetensi keahlian sesuai bakat dan minat peserta didik
sesuai dengan kejuruan (vokasional) yang dipilih dan membekali peserta didik dengan
pengetahuan, keterampilan dan sikap (attitude)untuk memasuki dunia kerja. Perlu dikaji
dan diteliti secara mendalam dengan pendekatan kualitatif tentang model implementasi
pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan pada SMK yang dapat menanamkan
dan menginternalisasi nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan bagi siswa SMK sehingga pada
saatnya nanti lulusan SMK dapat menjadi wirausahawan-wirausahawan muda yang
dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bagi diri, keluarga dan
masyarakatnya.
Wibowo (2011) menyatakan bahwa pembelajaran produktif akan lebih bermakna jika
diajarkan dengan berbasis kewirausahaan karena dapat menginternalisasikan jiwa dan
mental kewirausahaan kepada peserta didik. Pendidikan berbasis kewirausahaan akan
membentuk kurikulum berbasis kewirausahaan yang sangat sesuai dengan karakter
Sekolah Menengah Kejuruan yang lulusannya dipersiapkan memasuki dunia kerja.
Pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan dalam praktiknya dapat dilakukan
dengan menanamkan nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan pada peserta didik yang dapat
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya dengan cara
mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dalam proses pembelajaran produktif.
Melalui integrasi ini diharapkan peserta didik akan memperoleh kesadaran betapa
pentingnya nilai-nilai kewirausahaan. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran bukan
lagi sekedar menjadikan peserta didik menguasai kompetensi produktif yang ditargetkan
tetapi juga mengenal, menyadari dan peduli, serta menginternalisasi nilai-nilai
kewirausahaan dan menjadikannya perilaku dalam kehidupannya.
Hasil penelitian Samsudi (2014) tentang pengembangan model pembelajaran program
produktif SMK untuk membentuk karakter kewirausahaan lulusan menunjukkan hasil
bahwa pembelajaran program produktif SMK memiliki posisi strategis dalam
pengembangan kompetensi siswa, baik kompetensi teknis (hard competence) maupun
kecakapan kewirausahaan (soft competence). Materi pembelajaran perlu didesain
dengan memfokuskan pada kegiatan produktif (membuat atau menciptakan produk baik
barang maupun jasa) yang menekankan karakter kewirausahaan, metode pembelajaran
bersifat penugasan atauproject work, dan evaluasi hasil pembelajaran perlu
menerapkan teknik evaluasi unjuk kerja dengan menekankan evaluasi proses dan
produk.
Pembelajaran produktif berbasis kewiarusahaan sangat efektif diterapkan pada SMK
agar lulusan siap memasuki dunia kerja bukan hanya sebagai pencari kerja tetapi juga
sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Pendidikan produktif berbasis kewirausahaan
akan efektif jika materi pembelajaran produktif didesain dengan baik memuat nilai-nilai
kewirausahaan dengan pendekatan yang tepat dan evaluasi unjuk kerja maka siswa
akan lebih termotivasi untuk belajar lebih baik dan nilai-nilai kewirausahaan
terinternalisasi secara lebih bermakna.
4. UPJ sebagai Dunia Usaha/Industri di Sekolah
Unit produksi adalah unit usaha yang memiliki keseimbangan antara aspek komersial
dan aspek akademik, yang diselenggarakan dalam lingkup organisasi sekolah dengan
memanfaatkan fasilitas yang dimiliki sekolah yang bersangkutan. Keuntungan itu
dimanfaatkan untuk membantu pembiayaan pendidikan dan meningkatkan
kesejahteraan bagi warga sekolah, termasuk siswa dan pengelola yang bersangkutan.
Unit produksi pada umumnya bekerja dalam lingkup unit usaha sekolah, aktivitasnya
tidak mengganggu program intrakurikuler.
Berdasarkan pedoman pelaksanaan unit produksi (Dikmenjur, 2007), tujuan
penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah: (1) wahana pelatihan berbasis produksi/jasa
bagi siswa; (2) wahana menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wirausaha guru dan
siswa pada SMK/MAK; (3) sarana praktik produktif secara langsung bagi siswa; (4)
membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan biaya-biaya
operasional pendidikan lainnya; (5) menambah semangat kebersamaan, karena dapat
menjadi wahana peningkatan aktivitas produktif guru dan siswa serta
memberikan income dan peningkatan kesejahteraan warga sekolah; dan (6)
mengembangkan sikap mandiri dan percaya diri dalam pelaksanaan kegiatan praktik
siswa.
Unit produksi SMK sejak awal diharapkan menjadi salah satu alternatif dan pendekatan
melahirkan dunia usaha di lingkungan SMK, dengan memberdayakan seluruh aset dan
potensi yang dimiliki SMK. Profil unit produksi SMK meliputi: (1) struktur organisasi:
adanya struktur organisasi yang terintegrasi dengan struktur organisasi sekolah;
(2)sumber permodalan: sistem permodalan melibatkan warga sekolah/stake
holder termasuk siswa; (3) program: perencanaan kegiatan unit produksi dengan: (a)
menerapkan konsep-konsep manajemen produksi, manajemen SDM, akuntansi
keuangan, dan pemasaran, (b) kegiatan produksi terintegrasi dengan proses belajar
mengajar, (c) kegiatan unit produksi menjadi alternatif pelaksanaan praktik kerja industri
dan sebagai proses pelatihan kewirausahaan, (d) pemasaran produk melibatkan seluruh
warga sekolah dan stake holder, termasuk alumni; (4) pengelolaan profit: profit
terdistribusi dengan persentase yang disepakati bersama warga sekolah, mendukung
dana operasional sekolah, pengembangan SDM, kegiatan sosial kemasyarakatan; (5)
pembukuan dan pertanggungjawaban keuangan dilakukan mengikuti Standar Akuntansi
Keuangan. Audit keuangan minimal satu kali dalam 3 bulan oleh tim audit yang dibentuk
bersama warga sekolah, laporan pertanggungjawaban keuangan unit produksi dilakukan
minimal setiap akhir tahun akademik.
5. Jaringan Mitra Industri yang Handal
Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar (2007:1295-1297) adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk
menyiapkan penyediaan tenaga kerja. Oleh karena itu orientasi pendidikannya
tertuju pada lulusan yang dapat dipasarkan di pasar kerja.
2. Justifikasi pendidikan kejuruan adalah adanya kebutuhan nyata tenaga kerja di
dunia usaha dan industri.
3. Pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup
domain afektif, kognitif, dan psikomotorik yang diaplikasikan baik pada situasi
kerja yang tersimulasi lewat proses belajar mengajar, maupun situasi kerja yang
sebenarnya.
4. Keberhasilan pendidikan kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan
siswa di sekolah (in-school success), dan keberhasilan siswa di luar sekolah
(out-of school success). Kriteria pertama meliputi keberhasilan siswa dalam
memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua diindikasikan oleh
keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang
sebenarnya.
5. Pendidikan kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap
perkembangan dunia kerja. Oleh karena itu pendidikan kejuruan harus bersifat
responsif dan proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan
menekankan kepada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi
prospek karir anak didik dalam jangka panjang.
6. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan kelengkapan utama dalam
pendidikan kejuruan, untuk dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat
mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif.
7. Hubungan kerjasama antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha
dan industri merupakan suatu keharusan, seiring dengan tingginya tuntutan
relevansi program pendidikan kejuruan dengan tuntutan dunia usaha dan
industri.
Dengan memperhatikan karakteristik SMK di atas maka jaringan kemitraan antara SMK
dengan dunia usaha/industri menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan.
Peran industri semakin penting bagi SMK karena perkembangan teori pendidikan dan
pembelajaran kejuruan lebih banyak menempatkan DUDI sebagai tempat belajar cara
kerja yang efektif. Ada dua teori belajar di tempat kerja yang pokok yang terkait dengan
DUDI, yaitusituated learning dan work-based learning (belajar berbasis tempat kerja).
Kerjasama sekolah dan industri harus dibangun berdasarkan kemauan dan saling
membutuhkan. Pihak dunia kerja dan industri seharusnya menyadari bahwa pihak
industri tidak akan mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang mereka perlukan dengan
persyaratan yang dikehendaki, tanpa membangun program pendidikan bersama.
Perencanaan kurikulum dan praktiknya bisa disusun dengan pihak industri.
SMK unggul membangun jaringan yang luas dengan dunia usaha/industri sebagai mitra
dalam menyelenggarakan pembelajaran agar dihasilkan lulusan yang berkualitas dan
siap kerja. Sebagaimana amanah Undang-undang bahwa SMK diberi kepercayaan
untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja dan menjadi
tenaga kerja yang produktif. Lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja yang siap
pakai, dalam arti langsung bisa bekerja di dunia usaha dan industri.
Fungsi dunia usaha/industri dalam proses pembelajaran, di antaranya:
(1) sebagai tempat praktik kerja industri yang diharapkan apat memberikan gambaran
nyata kepada siswa SMK tentang dunia kerja sebenarnya;
(2) dunia usaha/industri sebagai tempat magang kerja. Sistem magang merupakan
sistem yang cukup efektif untuk mendidik dan menyiapkan seseorang untuk
memperdalam dan menguasai keterampilan yang lebih rumit yang tidak mungkin atau
tidak pernah dilakukan melalui pendidikan massal di sekolah. Dalam sistem magang
seorang yang belum ahli (novices) belajar dengan orang yang telah ahli (expert) dalam
bidang kejuruan tertentu. Sistem magang juga dapat membantu siswa SMK memahami
budaya kerja, sikap profesional yang diperlukan, budaya mutu, dan pelayanan
konsumen; dan
(3) industri sebagai tempat belajar manajemen industri dan wawasan dunia kerja. Dunia
usaha/industri dimanfaatkan oleh sekolah sebagai tempat pembelajaran tentang
manajemen dan organisasi produksi. Siswa SMK kadang-kadang melakukan
pengamatan cara kerja mesin dan produk yang dihasilkan dengan secara tidak langsung
belajar tentang mutu dan efisiensi produk. Selain itu siswa juga belajar tentang
manajemen dan organisasi industri untuk belajar tentang dunia usaha dan cara
pengelolaan usaha, sehingga mereka memiliki wawasan dan pengetahuan tentang
dunia usaha. Melalui belajar manajemen dan organisasi ini juga bisa menambah
wawasan siswa pada dunia wirausaha.
Penutup
SMK sudah saatnya menjawab tantangan globalisasi dan AFTA serta menjawab cap
negarif masarakat sebagai Sekolah Mencetak Kuli dan pengangguran dengan bukti
nyata, yaitu menghasilkan lulusan paripurna yang berkualitas dan kompetiif dalam dunia
kerja dapat terserap secara signifikan sehingga tidak ada lagi berita lulusan SMK
menjadi pengangguran. SMK Unggul bukan hanya menghasilkan lulusan yang
kompeten dan siap kerja tetapi juga wirausahawan yang mampu menciptakan lapangan
kerja bagi dirinya dan bagi orang lain sehingga harapan melalui SMK dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Konsep sekolah unggul bagi SMK
bukanlah hal yang sulit direalisasikan jika segenap komponen penyelenggara
pendidikan SMK dan stakeholder bekerja secara serius memberikan layanan
pembelajaran yang berkualitas dan mendapat dukungan dari masyarakat dan dunia
usaha/industri sehingga ke depan SMK bukan lagi sekolah pilihan kedua tetapi sekolah
utama dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, kompeten dan
kompetitif serta mampu mengatasi tantangan jaman yang selalu berubah.
Pengembangan kelembagaan SMK di arahkan melalui jalan: (1) memasukkan
pendidikan kejuruan ke dalam perencanaan pembangunan ekonomi, sosial, dan
pengembangan industri; (2) meningkatkan investasi dalam pendidikan kejuruan; (3)
mendukung mekanisme multichannel investasi SMK; (4) memfasilitasi pelatihan dan
kualitas guru; (5) meningkatkan standar kualifikasi berbasis KKNI; (6) membangun
sistem penjaminan mutu lulusan SMK; dan (7) menggandeng industri yang dapat terlibat
dalam evaluasi kualitas pendidikan kejuruan.
Pendidikan kejuruan akan efektif jika: (a) tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara,
alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja, (b) melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir, dan bekerja seperti yang diperlukan dalam
pekerjaan itu sendiri, dan (c) sekolah sebagai lingkungan dimana siswa dilatih
merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja. SMK dapat membangun
kemitraan (partnership) dengan dunia usaha/industri melalui beberapa jalan, di
antaranya: (1) membuat mekanisme pembelajaran di SMK yang didukung oleh dunia
usaha/industri; (2) mempromosikan kerja sama skeolah dengan dunia usaha/industri
dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan; (3) mendorong dunia
usaha/indsutri menjalankan SMK; dan (4) mendorong SMK terlibat dalam pelatihan bagi
calon tenaga kerja dan teknisi di dunia usaha/industri.
PUSTAKA
Brown, L. B. 1998. Applyng Constructivism in Vocational and Career Education.
Columbus: ERIC.
Djohar, A. (2007). Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Dalam Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press. Hal. 1285-1300.
Djojonegoro, Wardiman.1998. Pengembangan Sumberdaya Manusia Melalui
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Balai Pustaka.
Hamalik, O. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional: Kejuruan,Kewirausahaan dan
Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Helmut Nolker & Eberhard Schoenfeldt. 1983.Pendidikan Kejuruan. Jakarta : PT
Gramedia.
Herminarto Sofyan, dkk.2013.Paradigma Baru Pendidikan Vokasi. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Raelin, J. A. 2008. Work-Based Learning: Bridging knowledge and action in the
worksplace. San Francisco: Jossey-Bass.
Stein, D. 1998. Situated Learning and Adult Education. ERIC Digest No. 195. Columbus:
ERIC Clearinghouse on Adult, Career, and Vocational Education, Center on Education
and Training for Employment, the Ohio State University. ERIC No. EJ. 461 126).
Tedjasutisna, Ating. 2004. Memahami Kewirausahaan SMK. Bandung: CV. Armico.
Trilling, Bernie. and Fadel, Charles. 2009. 21st Century Skill: Learning for Life in Our
Times. San Faransisco: Jossey Bass Pub.
Inilah Penyebab Utama Lulusan SMK Sulit Terserap di Dunia IndustriSiswa SMK asal Kabupaten Karawang kalah bersaing di dunia industri otomotif. Padahal, wilayah dengan sebutan lumbung padi tersebut merupakan surga bagi investor. Akan tetapi, serapan tenaga kerja asli lulusan sekolah Karawang masih rendah.
Kepala Sekolah SMK Sunan Gunung Jati Karawang, Mizaq Setiawan, mengatakan, masih rendahnya daya serap lulusan SMK terhadap dunia industri otomotif, salah satunya peralatan praktik yang minim.
Dengan kata lain, sampai saat ini sekolah hanya memiliki peralatan apa adanya. Bahkan, alat yang ada seperti mesin mobil masih menggunakan produk lama. Padahal, setiap tahunnya industri otomotif selalu berkembang. Termasuk soal perubahan mesin kendaraan.
"Siswa kami sulit keterima perusahaan otomotif, karena minimnya pengetahuan tentang komponen kendaraan yang terbaru," kata Mizaq, kepada Republika.
Saat ini saja, lanjut Mizaq, siswa SMK Sunan Gunung Jati mencapai 733 orang. Mereka, seluruhnya tercatat sebagai siswa jurusan teknik kendaraan ringan. Peralatan yang digunakan praktik, sudah tak sesuai dengan perkembangan teknologi kendaraan produk perusahaan otomotif.
Untuk membeli alat baru, lanjut dia, sekolah sangat kesulitan. Karena, bantuan pemerintah sangat minim. Bahkan, ke sekolah swasta bantuan peralatan sangat jarang. Sehingga, satu-satunya cara untuk membeli alat baru hasil swadaya orang tua siswa. Itupun, kalau tidak ada yang komplain.
Diakui dia, lulusan SMK Sunan Gunung Jati yang keterima di salah satu perusahaan otomotif, seperti Toyota sangat jarang. Prosentasinya, satu berbanding 100. Jadi, dari 100 lulusan paling juga hanya seorang yang keterima. Itupun, benar-benar lulusan terbaik.
Sementara itu, Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Edward Otto Karen, mengakui, sampai saat ini lulusan SMK asal Karawang masih sedikit yang keterima di Toyota. Padahal, pabrik Toyota berada di kawasan ini. Setelah ditelusuri, ternyata yang menjadi salah satu penyebabnya karena keterbatasan peralatan praktik yang dimiliki SMK.
"Karena itu, kami berupaya membantu SMK yang ada di Karawang," kata
Edward.
Salah satunya, dengan memberikan bantuan. Seperti mobil, knalpot, dan axel mobil, link assy dan sub assy exhaust pipe. Semua peralatan itu, khusus untuk praktik para siswa.
Dengan peralatan tersebut, diharapkan para siswa SMK terutama jurusan teknik otomotif bisa mengenal peralatan yang sesuai standar perusahaan. Jadi, ketika mereka lulus dan mengikuti ujian, tidak akan kaget lagi dengan peralatan tersebut.
"Saat ini, jumlah karyawan Toyota asli Karawang baru 60 persen. Tapi, yang lulusan SMK masih sedikit," kata dia.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang, Agus Supriatman, mengatakan, jumlah SMK yang ada di wilayahnya mencapai 69 sekolah. Lulusan SMK tersebut, memang masih sangat sedikit yang diserap di perusahaan otomotif. Paling juga hanya 10 persen dari rata-rata kelulusan.
"Kita akui lulusan SMK Karawang masih minim yang keterima di perusahaan besar," kata Agus.
Salah satu penyebabnya, karena minimnya peralatan praktik. Pemerintah daerah, lanjut Agus, berupaya membantu sekolah. Namun, bantuannya masih minim, yakni Rp 1,2 juta per SMK per tahun. Padahal, idealnya biaya untuk kegiatan praktik jurusan teknik otomotif sebesar Rp 2,4 juta.
Karena anggaran dari pemerintah minim, sambung Agus, pihaknya meminta partisipasi dari pihak swasta. Pasalnya, jika tak dibantu pihak swasta, keberhasilan di dunia pendidikan sulit terealisasi.
www.republika.co.id