Upload
amy-antariksawati
View
17
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
okiii
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat
dicegah dengan substitusi iodium. Diluar daerah endemik, struma nodosa ditemukan
secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umum nya multifaktorial.
Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut,
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai
bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.
Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan struma nya tanpa gangguan (De Jong. W,
Sjamsuhidajat. R)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
struma?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
struma.
1.4 MANFAAT
1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya struma.
1
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.
2
BAB II
STATUS PENDERITA
A. Identitas
Nama : Nn.F
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Gedangan
Agama : Islam
Register : 378658
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Terdapat benjolan pada leher sebelah kiri sejak 2
tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD Kanjuruhan dengan keluhan
benjolan pada leher sebelah kiri sejak ± 2 tahun yang lalu, menurut pasien
awalnya benjolan tersebut kecil, tetapi semakin lama pasien merasakan
benjolan tersebut semakin membesar dan tidak ada keluhan apa – apa yang
berkaitan dengan benjolan tersebut, dan pasien mengatakan tidak
mengkonsumsi obat apapun sebelum terjadinya benjolan maupun sudah
timbul benjolan untuk mengatasi benjolan tersebut. Perubahan suara (-), nyeri
saat menelan (-), susah menelan (-), sesak nafas sewaktu tidur (-), demam (-),
benjolan di tempat lain (-), jantung berdebar-debar (-), tangan gemetar (-),
tangan berkeringat (-).
Riwayat Penyakit Terdahulu/Lainnya :
Maag (-), DM (-), Hipertensi (-), Asma (-), DHF (-), Thypiod fever (-)
Riwayat Penyakit dalam Keluarga : Riwayat penyakit yang sama (-)
3
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis . GCS 456
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Pernafasan : 18x/menit
Nadi : 68x/menit
Suhu : 36 ºC
Pupil : Isokor, Refleks cahaya (+/+)
Mata : Exophtalmus (-)
Kepala : Konjungtiva (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : lihat status lokalis
Thorax : murmur (-), gallop (-),
Paru : vesikuler (+) / N, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, BU (+) / N
Ekstremitas Atas : tidak ada kelainan
Status Lokalis
Regio colli sinistra
Inspeksi: Tampak benjolan, warna kulit sama dengan sekitar.
Palpasi : Teraba sebuah massa, ukuran diameter 3 cm. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut bergerak saat
menelan (+).
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Hb : 11,8 g/dl (N : 14-18 g/dl)
Hematokrit : 34,5 % (N : 35-47 %)
Hitung Eritrosit : 4,01 juta/cmm (N : 3,0-4,0 juta/cmm)
Leukosit : 7.070 sel/cmm (N : 4000-11000/mm³)
Trombosit : 267.000 sel/cmm (N : 150.000-450.000 sel/cmm)
Masa perdarahan : 1’30” menit (N : < 5)
4
Masa pembekuan : 11’00” menit (N : < 15)
Pemeriksaan Kimia Klinik
GDS : 93 mg/dL (N :< 140 mg/dL)
Natrium : 142 mmol/L (N : 136-145 mmol/L)
Kalium : 4,4 mmol/L (N : 3,5-5,1 mmol/L)
Chlorida : 107 mmol/L (N : 97-107 mmol/L)
Pemeriksaan Seroimunologi
HbsAg (RPHA) : Non Reaktif (Negatif)
E. Resume
Nn.F 17 tahun datang ke poliklinik bedah RSUD Kanjuruhan dengan
keluhan benjolan pada leher sebelah kiri sejak ± 2 tahun yang lalu, menurut
pasien awalnya benjolan tersebut kecil, tetapi semakin lama pasien merasakan
benjolan tersebut semakin membesar dan tidak ada keluhan apa – apa yang
berkaitan dengan benjolan tersebut, dan pasien mengatakan tidak
mengkonsumsi obat apapun sebelum terjadinya benjolan maupun sudah
timbul benjolan untuk mengatasi benjolan tersebut.
Pada pemeriksaan lokalis regio coli didapatkan tampak benjolan, warna
kulit sama dengan sekitarnya, permukaan rata (+), bergerak saat menelan (+).
Pada palpasi teraba sebuah massa, ukuran diameter 3 cm. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut bergerak saat
menelan (+).
F. Diagnosis Banding
Struma Nodusa Non Toksik
Struma Nodusa Toksik
Tiroiditis
Karsinoma Tiroid
5
G. Diagnosis Kerja
Struma Nodusa Non Toksik
H. Planning Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rontgen Leher AP/Lateral
Foto Thorax PA
FNAB
I. Penatalaksanaan
Pro :
Tiroidektomy
Terapi medikamentosa
Cefotaxime 3x1 gram
Infus RL
Terapi non medikamentosa
Bed rest
J. Prognosis
Dubia ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi
karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun
sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar
tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran
kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme.
B. Embriologi
Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan
endodermal pada garis tengah dasar pharynx, diantara tuberculum impar dan
copula. Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut
ductus thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, duktus ini
memanjang dan ujung distalnya menjadi berlobus dua. Duktus ini merubah
menjadi tali padat dan bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior,
atau posterior terhadap os hyoideum yang sedang berkembang.
7
Pada minggu ke tujuh, tiba pada posisi akhirnya di dekat larynx dan
trachea. Sementara itu tali padat yang menghubungkan glandula thyroidea
dengan lidah, terputus dan lenyap. Tempat asal ductus tyroglossalis pada lidah
menetap sebagai suatu sumur yang disebut foramen caecum linquae.
Kemudian, dua lobus pada ujung terminal ductus thyroglossalis akan
membesar sebagai akibat proliferasi epitel dan membentuk glandula thyroidea.
C. Anatomi
Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah avokad, dengan
puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan basisnya
terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5. Glandula thyroidea
merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus oleh selubung yang berasal
dari lamina pretrachealis. Selubung ini melekatkan kelenjar ini ke larynx dan
trachea. Juga sering didapatkan lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari
isthmus, biasanya ke kiri garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian
anterior di hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai pole atas dari
kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole bawah. Suatu pita
fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os
hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai m. levator glandulae thyroidea.
8
Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung
kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus
sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole
superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 20-39
mm. Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah
besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis
dan melingkari 2/3 bahkan sampai 3/4 lingkaran.
A. carotis communis, v. jugularis interna, dan n. vagus terletak
bersama di dalam suatu ruang tertutup di laterodorsal tiroid. N. recurrens
terletak di dorsal sebelum masuk ke laring. N. phrenicus dan truncus
symphaticus tidak masuk ke dalam ruang antara fascia media dan
prevertebralis. Limfe dari kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke
dalam nl. cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nl.
paratracheales. Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu lapisan jaringan
yang dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fascia
servicalis profundus yang mengelilingi tiroid dinamakan false capsule atau
surgical capsule. Seluruh arteri dan vena, plexus limphaticus dan kelenjar
paratiroid terletak antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi
penghubung di bagian posterior antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum
Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua lobus tiroid. Aa.
carotis superior dextra et sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior dextra et
sinistra memberikan vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala dijumpai a. ima,
cabang truncus brachiocephalica. Sistem vena berjalan bersama arterinya,
persarafan diatur oleh n. recurrens dan cabang dari n. laryngeus superior,
sedangkan sistem limfatik yang penting menerima aliran limfe tiroid terdiri
dari pembuluh limfe superior yang menerima cairan limfe dari pinggir atas
isthmus, sebagian besar permukaan medial lobus lateral, dan permukaan
ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral dan pembuluh limfe inferior yang
menerima cairan limfe dari sebagian besar isthmus dan bagian bawah lobus
lateral.
9
Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool
atas kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat mencederai
n. laryngeus superior, kerusakan nervus ini dapat mengakibatkan perubahan
suara menjadi parau yang bersifat sementara namun dapat pula permanen.
D. Fisiologi
Sel tiroid adalah satu-satunya sel dalam tubuh manusia yang dapat
menyerap iodin atau yodium yang diambil melalui pencernaan makanan. Iodin
ini akan bergabung dengan asam amino tirosin yang kemudian akan diubah
menjadi T3 (triiodotironin) dan T4 (triiodotiroksin). Dalam keadaan normal
pengeluaran T4 sekitar 80% dan T3 15%. Sedangkan yang 5% adalah
hormon-hormon lain seperti T2.
T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi tenaga
(ATP = adenosin tri fosfat). T3 bersifat lebih aktif daripada T4. T4 yang tidak
aktif itu diubah menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada di dalam hati
dan ginjal. Proses ini juga berlaku di organ-organ lain seperti hipotalamus
yang berada di otak tengah.
Hormon-hormon lain yang berkaitan dengan fungsi tiroid ialah TRH
(thyroid releasing hormon) dan TSH (thyroid stimulating hormon). Hormon-
hormon ini membentuk satu sistem aksis otak (hipotalamus dan pituitari)-
kelenjar tiroid. TRH dikeluarkan oleh hipotalamus yang kemudian
merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan TSH. TSH yang dihasilkan akan
merangasang tiroid untuk mengeluarkan T3 dan T4. Oleh kerena itu hal yang
mengganggu jalur di atas akan menyebabkan produksi T3 dan T4
Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam
pengeluaran hormone tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat
adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk
mengatur metabolism kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum
terhadap tulang.
10
E. Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam.
Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses
monodeiodonasi menjadi T3. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3
(reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan
mengatur metabolisme pada tingkat seluler
Pengaturan faal tiroid : Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-
reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
T4 ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon
bebas. T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
11
F. Histologi
Kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-
folikel kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat.
Folikel-folikel tiroid dibatasi oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh
koloid. Kelenjar tiroid mengandung 2 tipe sel utama yaitu thyroid follicular
cells dan C cells (parafollicular cells).
12
Sel folikular menggunakan iodine dari darah untuk membuat hormone,
yang membantu meregulasi metabolisme tubuh. Sel parafolikular membuat
calcitonin, suatu hormone yang membantu meregulasikan bagaimana tubuh
menggunakan kalsium
G. Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak
diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala
tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan
hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari
bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan
mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar
tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat tiroiditis. Adanya gangguan
fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab
pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium,
misalnya daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon
tyroid.
13
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuhan, puberitas, menstruasi,
kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana
menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang dapat
bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut. Akhirnya,
ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik yakni
makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai aktifitas
antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid akibat
rangsangan TSH.
H. Klasifikasi
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
a. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
b. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila
kepala ditegakkan.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
1. Nontoxic diffuse goiter
2. Endemic
3. Iodine deficiency
14
4. Iodine excess
5. Dietary goitrogenic
6. Sporadic
7. Conngenital defect in thyroid hormone biosynthesis
8. Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
9. Iodine deficiency
10. Compensatory following thyroidectomy
11. Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
12. Uninodular or multinodular
13. Functional, nonfunctional, or both.
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon
tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada
penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah nodul;
a. bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa)
b. bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk
nodul tiroid yaitu :
a. nodul dingin
b. nodul hangat
c. nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya
a. nodul lunak
b. nodul kistik
c. nodul keras
15
d. nodul sangat keras.
I. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3)
merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
J. Gambaran Klinis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan
lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika
struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan
gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi
gangguan menelan. Pasien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo
atau hipertirodisme. Peningkatan metabolism karena pasien hiperaktif dengan
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi
berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar,
dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
16
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
K. Diagnosis
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan
penunjang. Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat
dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun
sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspirator. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat
jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah
kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan. Pada struma yang besar
dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea dan pole bawah tiroid.
Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut
bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah
lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila
17
sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah
ada jaringan fibrosis setelah operasi.Untuk memeriksa struma yang berasal
dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari
tangan kiri diletakkan di mediall di bawah kartilago tiroid, lalu dorong
benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di
permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi
belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar
tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.
Gambar. Palpasi pada tiroid
Inspeksi : leher dibatasi di cranial oleh tepi rahang bawah, di kaudal
oleh kedua tulang selangka dan tepi cranial sternum, di lateral oleh pinggir
depan m. trapezius kiri dan kanan. Kedua m. sternocleidomastoideus selalu
18
jelas terlihat, dan pada garis tengah dari cranial ke kaudal terdapat tulang
hyoid serta kartilago tiroid, krikoid, dan trakea. palpasi : palpasi dapat
dilakukan pada pasien dalam sikap duduk atau berbaring, dengan kepala
dalam sikap fleksi ringan supaya regangan otot pita leher tidak mengganggu
palpasi. Pada sikap duduk dilakukan pemeriksaan dari belakang penderita
maupun dari depan. Sedangkan pada sikap berbaring digunakan bantal tipis di
bawah kepala. Tulang hyoid, kartilago tiroid dan krikoid sampai cincin kedua
trakaea biasanya mudah diraba di garis tengah. Cincin trakea yang lebih
kaudal makin sukar diraba karena trakea mengarah ke dorsal. Pada gerakan
menelan, seluruh trakea bergerak naik turun. Satu-satunya struktur lain yang
turut dengan gerakan ini adalah kelenjar tiroid atau sesuatu yang berasal dari
kelenjar tiroid. Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan.
Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang
memiliki karakteristik:
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi
kistik dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda
infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
19
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido
mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry¶s sign)
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit
tiroid terbagi atas:
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA)
dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada
semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150
nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme,
kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7
ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di
mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3
kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
a. antibodi tiroglobulin
b. antibodi mikrosomal
c. antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
d. antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
e. thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas
adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi
AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan
dengan intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi
diagnostik tersebut sampai memelukan CT-scan leher. USG bermanfaat
pada pemeriksaan tiroid untuk:
1. Dapat menentukan jumlah nodul
20
2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya
pembesaran tiroid.
6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah . Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut
hasil pengobatan.
Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan
memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan kinerja
tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan karena adanya sistem
transport pada membran sel tiroid yang menangkap iodida dan anion lain.
Iodida selain mengalami proses trapping juga ikut dalam proses
organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut dalam proses
trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan
sekaligus membedakan berbagaii penyebab hipertiroidisme dan juga
menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.
Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan
kadar hormon tiroid. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji
angkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif
akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi. Pemerikasaan
histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy
FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
Pemeriksaan Sidik Tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi
21
NaCl per oral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium
radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3
bentuk seperti telah disinggung diatas:
1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
3. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Dari hasil pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dibedakan apakah yang kita
hadapi itu suatu keganasan atau sesuatu yang jinak. Keganasan biasanya terekam
sebagai nodul dingin dan soliter tetapi tidak berarti bahwa semua nodul dingin
adalah keganasan. Liecthy mendapatkan bahwa 90% dari nodul dingin adalah
jinak dan 70 % dari semua nodul jinak adalah juga nodul dingin.
Nodul yang hangat biasanya bukan keganasan. Namun Alves dkk pada
penelitiannya mendapatkan 2 keganasan di antara 24 nodul hangat. Apabila
ditemukan nodul yang panas ini hampir pasti bukan suatu keganasan.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan abtara yang padat dan cair.
Selain itu dengan berbagai penyempurnaan sekaran USG dapat membedakan
beberapa bentuk kelainan tetapi belum dapat membedakan dengan pasti apakah
suatu nodul itu ganas atau jinak. Pemeriksaan ini mudah dilakukan tetapi
interpretasinya agak lebih sukar dari sidik tiroid.
Gambran USG yang didapat dibedakan atas dasar kelainan yang difus atau
fokal yang kemudian juga dibedakan atas dasar derajat ekonya yaitu hipoekoik,
isoekoik atau campuran. Kelainan- kelainan yang dapat didiagnosis secar USG
ialah:
22
Kista; kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dindingnya
tipis.
Adenoma/ nodul padat; iso atau hiperekoik, kadang-kadang disertai hal
yaitu suatu lingkaran hipoekoik disekelilingnya.
Kemungkinan karsinoma; nodul padat, biasanya tanpa halo.
Tiroditis; hipoekoik, difus, meliputi seluruh kelenjar.
Adanya halo dikaitkan dengan sesuatu yang jinak (adenoma) tetapi sekarang
ternyata bahwa halo dapat pula ditemukan keganasan.
Dibandingkan sidik tiroid dengan radioisotop,USG dalam beberapa hal lebih
menguntungkan karena dapat dilakukan tanpa persiapan dan kapan saja.
Pemeriksaan ini lebih aman dapat dilakukan pada orang hamil atau anak-anak dan
lebih dapat membedakan antar yang jinak dan ganas.
Pemeriksaan Lain Pada Kecurigaan Keganasan Tiroid
Khusus pada keadaan-keadaan yang mencurigakan suatu keganasan,
pemeriksaan-pemeriksaan penting lain yang dapat dilakukan ialah:
1.Biopsi aspirasi jarum halus
Pada masa sekarang dilakukan dengan jarum halus biasa yitu Biopsi
Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) atau Fine Needle Aspiration (FNA)
mempergunakan jarum suntik no.22-27. Cara ini mudah aman dapat dilakukan
dengan berobat jalan. Dibandingkan dengan biopsi cara lama (jarum besar) ,
biopsi jarum halus tidak nyeri tidak menyebabkan dan hampir tidak ada bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Ada beberapa kerugian pada biopsi, jarum ini yaitu
dapat memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Negatif palsu biasanya
karena lokasi biopsi yang kurang tepat , teknik biopsi yang kurang benar atau
preparat yang kurang baik dibuatnya. Hasil positif palsu dapat terjadi karena
salah interpretasi oleh ahli sitologi.
23
2. Termografi
Termografi adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran
suhu kulit pada suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Tele-Thermography.
Hasilnya disebut n panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9°C dan
dingin apabila <0,9°C. Pada penelitian Alves dkk didapatkan bahwa yang ganas
semua hasilnya panas. Dibandingkan dengan cara pemeriksaan yang lain ternyata
termografi ini adalah paling sensitif dan spesifik.
Petanda Tumor ( Tumor Maker)
Sejak tahun 1985 telah dikembangkan pemakaian antibodi monoklonal
sebagai petanda tumor. Dari semua petanda tumor yang telah diuji hanya
peninggian tiroglobulin (Tg) serum yang mempunyai nilai yang bermakna.
Hashimoto dkk mendapatkan bhwa 58,6% kasus keganasan tiroid memberikan
kadar Tg yang tinggi. Kadar Tg serum normal ialah antara 1,5-30 ng/ml.
Tampaknya tidak ada korelasi yang jelas antara kelainan histopatologik dan kadar
Tg serum.
L. Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
2. Pembedahan
3. Iodium radioaktif
4. Suntikan etanol
5. US Guided Laser Therapy
6. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
24
Kontraindikasi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya.
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya
sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea
ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi,
tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan
eksisi yang baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi
dan sering hasilnya tidak radikal.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul
tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek
maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau inoperabel. Bila
kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan
pemeriksaan histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau khemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan
potong beku (VC ).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
1. Lesi jinak. Maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare. Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah
berdasarkan klasifikasi
AMES.
a. Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi.
b. Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
25
3. Karsinoma folikulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma medulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma anaplastik.
a. Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total.
b. Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan
dengan radiasi eksterna atau khemoradioterapi.
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB
( Biopsi Jarum Halus). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu :
1. Hasil FNAB suspek maligna, ³foliculare Pattern´ dan ³Hurthle Cell´. Dilakukan
tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.
2. Hasil FNAB benigna. Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax
selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti
dengan tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau
bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan
pemeriksaan potong beku seperti diatas.
Indikasi untuk eksplorasi bedah glandula thyroidea meliputi :
1. Terapi. Pengurangan massa fungsional dalam keadaan hipertiroid,
tiroidektomi subtotal pada penyakit grave atau struma multinodular
toksik atau eksisi adenoma toksik.
2. Terapi. Pengurangan massa menekan, tiroidektomi subtotal dalam struma
multinodular non toksik atau lobektomi untuk kista tiroid atau nodulus
tunggal (misal nodulusus koloid) yang menimbulkan penekanan trakea
atau esofagus.
3. Ekstirpasi penyakit keganasan. Biasanya tiroidektomi total dengan
pengupasan kelenjar limfe; untuk sejumlah tumor diindikasikan lobektomi
unilateral.
4. Paliasi. Eksisi massa tumor yang tak dapat disembuhkan, yang
menimbulkan gejala penekanan mengganggu: anaplastik, metaplastik atau
tumor limfedematosa.
26
Teknik pembedahan
a. Reseksi Subtotal
Reseksi subtotal akan dilakukan identik untuk lobus kanan dan kiri,
dengan mobilitas sama pada tiap sisi. Reseksi subtotal dilakukan dalam kasus
struma multinodular toksik, struma multinodular nontoksik atau penyakit grave.
Prinsip reseksi untuk mengeksisi sebagian besar tiap lobus yang memotong
pembuluh darah thyroidea superior ,vena thyroidea media dan vena thyroidea
inferior yang meninggalkan arteria thyroidea inferior utuh. Bagian kelenjar yang
dieksisi merupakan sisi anterolateral tiap lobus, isthmus dan lobus pyramidalis.
Pada beberapa pasien dengan peningkatan sangat jelas dalam penyediaan darah ke
kelenjar, arteria thyroides inferior dapat diligasi kontinu atau ditutup sementara
dengan klem kecil sampai reseksi dilengkapi. Tujuan lazim untuk melindungi dan
mengawetkan nernus laryngeus recurrens dan glandula paratiroid. Telah
ditekankan bahwa dalam ligasi pembuluh darah thyroidea superior harus hati-hati
untuk tidak mencederai ramus externus nervus laryngeus superior, ia
menimbulkan perubahan suara yang bermakna. Selama tindakan operasi,
perhatian cermat diberikan pada hemostasis.
b. Lobektomi Total
Lobektomi total dilakukan untuk tumor ganas glandula tiroid dan bila
penyakit unilobaris yang mendasari tak pasti. Beberapa ahli bedah juga lebih
senang melakukan tindakan ini pada satu sisi bagi penyakit mulinodularis dan
meninggalkan sisa agak lebih besar dalam lobus yang lain.
Bila dilakukan pengupasan suatu lobus untuk tumor ganas, maka
pembuluh darah thyroidea media dan vena thyroidea inferior perlu dipotong.
Glandula paratiroid dan nervus laryngeus recurrens diidentifikasi dan dilindungi.
Jika glandula paratiroid pada permukaan tiroid, maka ia mula-mula bisa diangkat
bersama tiroid dan kemudian ditransplantasi. Lobus tiroid diretraksi ke medial
dengan dua glandula paratiroid terlihat dekat cabang terminal arteria thyroidea
inferior dan nervus laryngeus recurrens ditutupi oleh ligamentum fasia
27
(ligamentum Berry). Nervus ini diidentifikasi sebagai struktur putih tipis yang
berjalan di bawah ligemntum dan biasaynya di bawah cabang terminal arteria
thyroidea inferior.
Setelah menyelesaikan eksisi kelenjar ini dan kelenjar limfe, maka
hemostasis dinilai dan luka ditutup dalam lapisan. Drainase tidak diperlukan,
asalkan hemostasis diamankan.
Komplikasi Tiroidektomi
1. Perdarahan. Resiko ini minimum tetapi harus hati-hati dalam
mengamankan hemostasis dengan penggunaan diam yang bijaksana.
Perdarahan selau mungkin terjadi setelah tiroidektomi. Bila ia timbul
biasanya ia suatu kedaruratan bedah, tempat diperlu secepat mungkin
dekompresi leher segera dan mengembalikan pasien ke kamar operasi.
2. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara.
Dengan tindakan anestesi mutakhir, ventilasi tekanan positif intermiten
dan teknik bedah yang cermat, bahaya ini harus minimum dan cukup
jarang terjadi.
3. Trauma pada nervus laryngeus recurrens. Ia menimbulkan paralisis
sebagian atau total (jika bilateral) laring. Pengetahuan anatomi bedah yang
adekuat dan kehati-hatian pada operasi seharusnya mencegah cedera pada
saraf ini atau pada nervus laryngeus superior.
4. Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi
dengan tekanan. Hal ini dirujuk pada ‘throtoxic storm’, yang sekarang
jarang terlihat karena persiapan pasien yang adekuat menghambat glandula
tiroid overaktif dalam pasien yang dioperasi karena tirotoksikosis.
5. Sepsis yang meluas ke mediastinum. Juga komplikasi ini tidak boleh
terlihat dalam klinik bedah saat ini. Antibiotika tidak diperlukan sebagai
profilaksis. Perhatian bagi hemostasis adekuat saat operasi dilakukan
dalam kamar operasi berventilasi tepat dengan peralatan yang baik dan
ligasi harus disertai dengan infeksi yang dapat diabaikan.
28
6. Hipotiroidisme pasca bedah. Perkembangan hiptroidisme setelah reseksi
bedah tiroid jarang terlihat saat ini. Ian dihati-hatikan dengan pemeriksaan
klinik dan biokimia yang tepat pasca bedah.
Bagan 1. Penatalaksanaan nodul tiroid
M. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perubahan kearah keganasan ( Ca tiroid)
N. Prognosis
Tergantung jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras, nyeri pada penekanan,
29
perlekatan dengan sekitarnya, pembesaran kelenjar getah bening di sekitar
tiroid.
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis struma nodusa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang. Pada
umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan.
Pada kasus, Nn.F 17 tahun datang ke poliklinik bedah RSUD Kanjuruhan
dengan keluhan benjolan pada leher sebelah kiri sejak ± 2 tahun yang lalu,
menurut pasien awalnya benjolan tersebut kecil, tetapi semakin lama pasien
merasakan benjolan tersebut semakin membesar dan tidak ada keluhan apa – apa
yang berkaitan dengan benjolan tersebut, dan pasien mengatakan tidak
mengkonsumsi obat apapun sebelum terjadinya benjolan maupun sudah timbul
benjolan untuk mengatasi benjolan tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.
Pada pemeriksaan lokalis regio coli didapatkan tampak benjolan, warna
kulit sama dengan sekitarnya, permukaan rata (+), bergerak saat menelan (+).
Pada palpasi teraba sebuah massa, ukuran diameter 3 cm. Konsistensi kenyal,
31
permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut bergerak saat
menelan (+).
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosa Struma
Nodusa Non Toksik, diusulkan pemeriksaan penunjang FNAB.
32
BAB V
KESIMPULAN
Nn.F 17 tahun datang ke poliklinik bedah RSUD Kanjuruhan dengan
keluhan benjolan pada leher sebelah kiri sejak ± 2 tahun yang lalu, menurut pasien
awalnya benjolan tersebut kecil, tetapi semakin lama pasien merasakan benjolan
tersebut semakin membesar dan tidak ada keluhan apa – apa yang berkaitan
dengan benjolan tersebut, dan pasien mengatakan tidak mengkonsumsi obat
apapun sebelum terjadinya benjolan maupun sudah timbul benjolan untuk
mengatasi benjolan tersebut.
Pada pemeriksaan lokalis regio coli didapatkan tampak benjolan, warna
kulit sama dengan sekitarnya, permukaan rata (+), bergerak saat menelan (+).
Pada palpasi teraba sebuah massa, ukuran diameter 3 cm. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut bergerak saat
menelan (+).
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosa Struma
Nodusa Non Toksik, diusulkan pemeriksaan penunjang FNAB.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Barrett, E.J. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical physiology.A
cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders. Philadelphia. 2003 : 1035- 1048.
2. Magner JA : Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and bioactivity.
ndocr Rev 1990; 11:354
3. Glinoer D. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J Clin Endocrinol Metab
1990;71: 276
4. Wall JR. Autoimmune thyroid disease. Endocrinol Metab Clin North Am 1987;229:1
5. Wilkin TJ. Mechanism of disease : receptor autoimmunity in endocrine disorders. N
Eng J Med 1990; 323: 1318
6. Surks MI. American thyroid association guidelines for use of laboratory test in thyroid
disorders. JAMA 1990; 263:1529
7. Solomon B. Current trend in the management of Graves disease. J Clin Endocrinol
Metab 1990 ; 70:1518
8. Fenzi G. Clinical approach to goiter. Clin Endocrinol Metab 1988 ; 2: 671
34