Upload
rusdi-ariawan
View
495
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Solar Power Satellite (Sps) Sebagai Alternatif Sumber Energi Listrik
Citation preview
SOLAR POWER SATELLITE (SPS)
SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER ENERGI LISTRIK
OLEH :
PUTU RUSDI ARIAWAN
0804405050
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2010
PUTU RUSDI ARIAWAN ii
ABSTRAKSI
Sangat terbatasnya sumber daya alam sebagai sumber primer (air, bahan
bakar fossil, gas alam, panas bumi, dll.) untuk pembangkitan energi listrik telah
memacu diversifikasi pemanfaatan sumber primer lainnya, antara lain energi nuklir
dan energi matahari. Kontroversi yang ditimbulkan oleh pembangkit bertenaga nuklir
akibat tingkat resiko yang tinggi menyebabkan pembangunan pembangkit jenis ini
mengalami pro-kontra dimana-mana. Energi matahari yang bebas pencemaran dan
bersifat eternal tidak bisa memberikan kontribusi yang cukup di permukaan bumi
karena ketergantungannya pada cuaca dan adanya siklus siang-malam. Sumber energi
primer yang eternal dan bebas pencemaran ini kini sedang diusahakan untuk
dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan cara menampungnya di angkasa luar dan
mengirimkannya ke bumi. Inilah konsep dasar sistem SPS.
Konsep yang ditemukan oleh Dr. P. E. Glaser pada tahun 1968 ini telah
membuka cakrawala baru di bidang pemanfaatan maksimal energi matahari. Prinsip
dasarnya adalah pengumpulan energi matahari oleh satelit di angkasa luar (pada orbit
sinkron bumi), mengirimkan energi tersebut dalam bentuk gelombang radio ke bumi,
dan kemudian mengubahnya menjadi energi listrik. Karena pengumpulan energi
matahari (dengan sel fotovoltaic) dilakukan di luar angkasa maka pengaruh cuaca
dihilangkan dan siklus siang-malam nyaris tak terjadi. Bahkan unjuk kerjanya
meningkat tajam karena di orbit Geosynchronous Earth Orbit (di GEO) panel sel
surya akan menerima iluminasi cahaya lebih dari 22 jam untuk setiap harinya. Secara
teoritis kapasitas daya yang mampu dibangkitkan oleh sebuah satelit jenis ini cukup
besar (5-10 GW) dan dampak lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih kecil
dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh pembangkit berbahan bakar
fosil/nuklir.
PUTU RUSDI ARIAWAN iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat Beliaulah penulis dapat menyelesaikan paper ini yang berjudul
“SOLAR POWER SATELLITE (SPS) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
ENERGI LISTRIK”
Penyusunan paper ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu, terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan paper ini. Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun
dalam paper ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang penulis miliki. Maka
dari itu, kritik, saran, bimbingan, dan petunjuk–petunjuk dari semua pihak sangat
penulis harapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan paper ini.
Akhir kata, penulis harapkan paper ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
khususnya mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Universitas Udayana.
Denpasar, Juli 2010
Penulis
PUTU RUSDI ARIAWAN iv
DAFTAR ISI
Abstraksi ........................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iii
Daftar Isi .......................................................................................................... iv
Daftar Gambar.................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup.................................................................................. 3
1.5 Penjelasan Istilah .............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 4
2.1 Pengertian Sel Surya ......................................................................... 4
2.2 Cara Kerja Sel Surya......................................................................... 4
2.3 Desain dan Karakterisasi Sel Surya .................................................. 4
BAB III METODE PENULISAN ................................................................... 7
3.1 Penentuan Onjek ............................................................................... 7
3.2 Metode Pengambilan Data ................................................................ 7
3.3 Pengolahan Data ............................................................................... 7
3.4 Prosedur Mengambil Simpulan......................................................... 8
BAB IV PEMBAHAS
4.1 Konsep Dasar SPS (Solar Power Satellite) ....................................... 9
4.1.1 Spacetenna ............................................................................... 9
4.1.2 Rectenna................................................................................. 11
4.1.2.1 Stasiun Rectenna di Gurun Pasir.............................. 11
4.1.2.2 Stasiun Rectenna di Tengah Hutan .......................... 12
4.1.2.3 Stasiun Rectenna di Lepas Pantai ............................ 12
PUTU RUSDI ARIAWAN v
4.1.2.4 Stasiun Rectenna di Pulau Kosong .......................... 12
4.2 Dampak Lingkungan SPS .............................................................. 13
4.2.1 Dampak Mikrogelombang Terhadap Makhluk Hidup........... 13
4.2.2 Dampak Atmosfir................................................................... 14
4.2.3 Dampak Pemanasan Ionosfir ................................................. 14
4.2.3 Dampak Astronomi................................................................ 15
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 16
5.2 Saran .............................................................................................. 16
Daftar Pustaka................................................................................................. 17
PUTU RUSDI ARIAWAN vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Spectrum serapan bahan x-H2Pc,PVA terhadap perubahan panjang
gelombang ....................................................................................... ..........5
Gambar 2. Skema desain Sel Surya dengan struktur NESA / x-H2Pc,PVA/Al……...6
Gambar 3 Hubungan kerapatan arus-tegangan (J-V) SEl Surya pada keadaan
(a) gelap dan (b) sewaktu ada sinaran….....................................................6
PUTU RUSDI ARIAWAN 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan energi dunia akhir-akhir ini sangat meningkat tajam, terutama
dengan munculnya negara-negara industri raksasa. Peningkatan ini akan sangat terasa
pada dekade-dekade awal abad ke-21. Sebagai contoh, pada tahun 2000 kebutuhan
energi listrik dunia mencapai 7-8 trilyun KWH dan pada tahun 2020 akan mencapai
14,5 trilyun KWH[3]. Pada dekade ini, bahan bakar fosil dan gas bumi sebagai sumber
primer hanya akan mampu menyumbang 5 trilyun KWH saja. Padahal sumber primer
jenis ini amat sangat terbatas, dan pada suatu saat kelak benar-benar akan habis.
Tenaga nuklir sebagai alternatif diversifikasi sumber energi listrik hingga saat ini
masih dibayangi masalah bahaya pencemaran radioaktif dan penanganan limbah yang
rumit serta mahal sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat tidak menghendaki
kehadirannya karena tingkat resiko yang relatif sangat tinggi. Walaupun demikian,
hingga saat ini energi nuklir sudah menyumbang 1,65 trilyun KWH dan akan
mencapai puncaknya pada tahun 2000 (3,5 trilyun KWH)[3]. Dengan ditemukannya
teknologi pemrosesan ulang limbah nuklir, sumbangan dari sektor nuklir bisa
ditingkatkan menjadi maksimum 6 trilyun KWH pada tahun 2010. Karena bahan
uranium yang digunakan juga terbatas, maka titik tertinggi ini sulit sekali dilampaui,
dan bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi penurunan. Jika pada
dasawarsa ini pemrosesan limbah nuklir bisa lebih berhasil dan memungkinkan
pengoperasian "breeder reator" (LMFBR-Liquid Metal Fast Breeder Reactor), maka
bisa diharapkan penambahan energi hingga 2 trilyun KWH (maksimum). Dengan
demikian maka di tahun 2020 kekurangan energi listrik dunia adalah sejumlah 4,5
trilyun KWH[3].
Pemanfaatan energi matahari di permukaan bumi sebagai sumber energi listrik
diperkirakan hanya akan mampu menyumbang kurang dari 1 trilyun KWH saja
karena adanya ketergantungan pada kondisi cuaca dan siklus siang-malam, dan sangat
sulit untuk ditingkatkan kapasitasnya karena masih rendahnya efisiensi sel
PUTU RUSDI ARIAWAN 2
fotovoltaic. Keadaan ini diperburuk dengan pendeknya periode iluminasi sinar
matahari yang hanya sekitar 6-8 jam saja setiap harinya. Lebih jauh lagi, energi
matahari yang sampai ke permukaaan bumi sudah jauh menyusut dibandingkan
semasa masih di angkasa luar. Sebagai contoh, di orbit sinkron bumi Geosynchronous
Earth Orbit (GEO), sekitar 36.000 km di atas khatulistiwa kerapatan energi matahari
masih sekitar 1360 W/m22. Setelah mengalami banyak penyerapan/pantulan selama
perjalannya ke permukaan bumi, hanya tersisa sekitar 120 W/m2 (pada sudut latitude
50o).[3]
Di GEO, perioda iluminasi sinar matahari bisa mencapai 22 jam 48 menit
tanpa gangguan cuaca sama sekali. Jika ditempatkan di GEO, panel sel surya akan
menghasilkan daya 11,25 kali lebih besar dan waktu kerja hampir 3,8 kali lebih lama
jika dibandingkan dengan panel yang sama di permukaan bumi. Dari kenyataan ini
dapatlah dimengerti bahwa pengumpulan energi matahari di luar angkasa merupakan
satu-satunya cara terbaik untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi matahari.
Konsep inilah yang mendasari sistem Solar Power Satellite (SPS).
1.2 Rumusan masalah
Beranjak dari pengantar diatas maka penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Apa sebenarnya Solar Power Satellite (SPS) itu ?
2. Mengapa teknologi sistem Solar Power Satellite (SPS) lebih diprioritaskan
untuk dikembangkan daripada alternatif sumber energi yang lain ?
3. Apa dampak-dampak yang ditimbulkan oleh SPS terhadap lingkungan ?
PUTU RUSDI ARIAWAN 3
1.3 Tujuan Penulisan
Adapaun tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis setelah penulisan
paper ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum
1. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai teknologi Solar Power
Satellite (SPS).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui apa itu Solar Power Satellite (SPS).
2. Mengetahui mengapa teknologi system Solar Power Satellite atau SPS
lebih diprioritaskan untuk dikembangkan daripada alternatif sumber
energi yang lain.
3. Pembaca mengetahui apa dampak-dampak yang diakibatkan SPS
terhadap lingkungan.
1.4 Ruang Lingkup
Dengan melihat permasalahan yang ada dan menghindari terjadinya perluasan
masalah, maka perlu adanya pembatasan dimana pada penulisan paper ini hanya
akan membahas permasalahan tentang pengertian Solar Power Satellite (SPS), aspek
kontruksi spacetenna, rectenna, dan dampak lingkungan akibat pembangunan Solar
Power Satellite.
1.5 Penjelasan Istilah
Fotovoltaic : Bahan yang peka terhadap cahaya.
Semikonduktor : Bahan yang memiliki sifat kelistrikan lebih rendah dari
konduktor.
Elektromagnetik : Enegi listrik yang tiombul akibat medan magnet.
Konversi : Perubahan bentuk.
PUTU RUSDI ARIAWAN 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sel Surya
Sel surya ( solar cells ) adalah sebuah fotovoltaic yaitu bahan semi konduktor
yang mengubah secara langsung energi cahaya menjadi energi listrik. Pada awalnya
sel surya dirancang hanya untuk keperluan pengadaan listrik pada satelit. Sekarang,
karena kemajuan pabrikasi tentang sel surya, maka dapat dihasilkan sel surya yang
lebih murah sehingga pemakaiannya lebih luas lagi, misalnya catu daya untuk
televisi, penerangan, pelindung katodik dan sebagainya.
Sel surya silikon dengan efisiensi yang tinggi pertama kali didemonstrasikan
oleh Belltelepon pada tahun 1954[2]-
2.2 Cara Kerja Sel Surya
Sel surya terdiri dari semikonduktor sambungan P-N, sehingga menghasilkan
akumulasi muatan yang berbeda pada kedua sisi sambungan yaitu positif pada posisi
N dan negatif pada posisi P. Pada saat cahaya menembus bahan semi konduktor
tersebut maka elektron dipaksakan keluar dari tempatnya dan hal ini menimbulkan
lubang elektron yang muatannya positif. Dengan adanya batas lapisan antara P dan N
maka elektron dihalangi berkombinasi kembali dengan demikian maka terdapat beda
tegangan antara sisi P dan N.
2.3 Desain dan Karakterisasi Sel Surya
Banyak bahan organik yang memungkinkan untuk dibuat sel surya dengan
beberapa kelebihan dan kekurangannya yang perlu dikembangkan dari waktu ke
waktu sebagai contoh adalah desain sel menggunakan bahan Metal-free
Phtalocyanine (Pc), yaitu bahan organik phtalocyanine yang memiliki struktur
molekul tanpa ada ikatan logam yang dicampur dengan bahan Polyvinylacetate (PVA)
menjadi senyawa baru yang mudahnya diberi istilah x-H2Pc,PVA. Bahan tersebut
dibuat film dan dimendapkan diatas substrat dengan cara meratakannya menggunakan
PUTU RUSDI ARIAWAN 5
pisau tipis atau dengan teknik spin-coating. Bahan x-H2Pc sendiri merupakan bahan
semikonduktor jenis P, sedangkan bahan PVA dalam desain sel ini berfungsi sebagai
pengikat antara substrat dengan bahan x-H2Pc. Spektrum serapan untuk perubahan
panjang gelombang dari bahan x-H2Pc,PVA dengan ketebalan 2 mm seperti
ditunjukkan pada Gambar 1. Dari spektrum tersebut dapat dilihat intensitas serapan
maksimum cahaya tampak oleh bahan pada panjang gelombang sekitar 670 nm [1].
Desain sel surya biasanya dilakukan dengan teknik pemendapan bahan thin
film (lapisan tipis) seperti Metal Organic Chemical Vapour Deposition (MOCVD),
Molecular Beam Epitaxy (MBE), Screen-printing, dll [1]. Teknik menggunakan
pemendapan lapisan thin film adalah menggunakan teknik yang relatif sederhana dan
tidak memerlukan teknologi yang rumit. Dalam membuat desain sel surya, bahan x-
H2Pc,PVA dimendapkan diatas substrat yang terbuat dari bahan SnO2/Sb (disebut
dengan NESA), sementara itu lapisan elektrode transparan (dengan persentase
transmisi optik sebesar 10% - 15%) dibuat dengan memendapkan bahan aluminium
(Al) diatas bahan sel menggunakan teknik evaporation. Skema desain sel surya
adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
PUTU RUSDI ARIAWAN 6
Karakterisasi sel dalam keadaan gelap (tidak ada sinar) dan sewaktu ada sinar
ditunjukkan seperti pada Gambar 3 (a dan b). Selama penyinaran berlangsung,
elektrode aluminium menjadi bermuatan negatif terhadap elektrode NESA. Cahaya
dengan panjang gelombang 670 nm dan kerapatan tenaga sebesar 6 u W/cm2 yang
disinarkan ke sel akan diperoleh tegangan open circuit (VOC) sebesar 0.86 V dengan
kerapatan arus short circuit (JSC) sebesar 1.4 u A/cm2. Nilai fill-factor (ff) Sel
diperoleh sekitar 0.33. Sehingga dari karakterisasi tersebut diperoleh nilai koefisien
konversi tenaga sebesar 6.6%. Karakterisasi Sel dengan struktur NESA / (x-
H2Pc,PVA) / Al bergantung pada konsentrasi bahan x-H2Pc di dalam polimer PVA,
juga ketebalan film yang dibuatnya [1].
PUTU RUSDI ARIAWAN 7
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Penentuan Objek.
Kebutuhan energi dunia akhir-akhir ini sangat meningkat tajam, terutama
dengan munculnya negara-negara industri raksasa. Peningkatan ini akan sangat terasa
pada dekade-dekade awal abad ke-21. Sebagai contoh, pada tahun 2000 kebutuhan
energi listrik dunia akan mencapai 7-8 trilyun KWH dan pada tahun 2020 akan
mencapai 14,5 trilyun KWH[3]. Sehingga perlu alternatif energi baru yang relatif
murah namun dapat menghasilkan energi listrik yang cukup besar dan ramah terhadap
lingkungan.
Penulisan paper ini adalah mengenai pemanfaatan energi alternatif yaitu
pemanfaatan Solar Power Satellite (SPS).
3.2 Metode Pengambilan Data.
Dalam penulisan paper ini, data yang dipergunakan adalah :
1. Data Kuantitatif : yaitu data yang berupa angka-angka atau, gambar, atau
tabel yang ada hubungannya dengan permasalahan yang
diangkat yaitu mengenai SPS.
2. Data Kualitatif : yaitu data yang berupa uraian atau keterangan yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
3.3 Pengolahan Data.
Data-data yang telah terkumpul dan berhubungan dengan pembahasan yaitu
mengenai SPS kemudian diolah dan disusun secara sistematik dan terurut, dimulai
dari pengertian SPS, kemudian dilanjutkan dengan dampak lingkungan yang
diakibatkan oleh SPS.
PUTU RUSDI ARIAWAN 8
Prosedur Mengambil Simpulan
Simpulan yang diambil merupakan jawaban dari permasalahan dan tidak
menyimpang dari rumusan masalah.
PUTU RUSDI ARIAWAN 9
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Konsep Dasar SPS (Solar Power Satellite)
Dr. Peter E. Glaser pada tahun 1968 telah mencetuskan konsep dasar SPS
(Solar Power Satellite). Di dalam konsep ini, energi matahari dihimpun oleh sebuah
satelit yang ditempatkan di orbit sinkron bumi dan lazim disebut dengan spacetenna
(space antenna). Energi yang terhimpun dalam bentuk energi listrik dikirimkan ke
bumi dalam bentuk energi elektromagnetik (gelombang radio). Menggunakan sebuah
pemancar berdaya ultra tinggi, energi radio ini dikirimkan ke bumi, dan diterima oleh
sebuah sistem antena penerima (rectifying antenna, rectenna) yang akan
mengubahnya menjadi energi listrik kembali dan didistribusikan ke pemakai. Karena
pengumpulan energi matahari (dengan menggunakan sel fotovoltaik) dilakukan di
luar angkasa maka pengaruh cuaca dihilangkan dan siklus siang-malam nyaris tak
terjadi. Bahkan unjuk kerjanya meningkat tajam karena di luar angkasa (di GEO)
panel sel surya akan menerima iluminasi cahaya lebih dari 22 jam untuk setiap
harinya. Secara teoritis kapasitas daya yang mampu dibangkitkan oleh sebuah satelit
jenis ini cukup besar (5~10 GW). Prinsip yang sangat sederhana ini ternyata
memerlukan pertimbangan, perhitungan dan evaluasi banyak aspek dengan cermat
dan mendalam, karena sistem ini boleh dikatakan baru sama sekali dan menuntut
penggunaan teknologi sangat tinggi.
4.1.1 Spacetenna
Yang menjadi masalah paling utama adalah pembangunan satelit penampung
energi matahari di orbit sinkron bumi. Satelit ini harus berukuran raksasa karena
harus menghimpun energi matahari yang sanggup menghasilkan energi listrik yang
optimal. Sebagai contoh, dengan tingkat teknologi masa ini, agar mampu
menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW diperlukan jajaran sel fotovoltaic
berukuran 5x10x0,5 km. Teknologi pembuatan sel surya ini hingga saat ini masih
terus disempurnakan agar mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dari yang
PUTU RUSDI ARIAWAN 10
mampu dicapai pada 1 dekade terakhir ini (18% untuk silikon dan 21% untuk gallium
arsenide), antara lain dengan penyempurnaan sel silikon celah pita-ganda (multiband
gap) dan sel silikon nir-bentuk (amorphous silicon cells).
Konversi arus listrik searah yang dihasilkan sel surya ke gelombang radio
(dalam hal ini mikrogelombang) dilakukan dengan tabung klystron, magnetron, atau
solid state amplifier berdaya tinggi. Frekuensi kerja yang dipilih adalah sebesar 2,45
GHz dengan alternatif frekuensi 5,8 GHz. Pemilihan frekuensi ini erat kaitannya
dengan pertimbangan karakteristik peredaman mikrogelombang oleh atmosfir,
efisiensi dan masalah efek pemanasan ionosfir oleh mikrogelombang. Sistem dan
diameter antena pengirim yang digunakan untuk mengirimkan energi
mikrogelombang ke bumi akan mempengaruhi kemampuan daya yang dipancarkan,
kerapatan daya di ionosfir, diameter antena penerima, dan daya listrik arus searah
yang akan dihasilkan oleh rectenna. Daya sebesar 5 GW per satelit ini diperkirakan
sebagai daya optimum, baik dipandang dari segi teknis maupun ekonomis. Daya ini
bisa ditingkatkan hingga 10 GW bila penyempurnaan efisiensi sel surya berhasil
dengan baik.
Dimensi fisik satelit yang sangat besar ini menuntut teknologi dan biaya yang
sangat tinggi. Dengan telah dikuasainya teknologi pengiriman awak dan peralatan ke
luar angkasa dengan menggunakan pesawat ulang-alik, maka masalah transportasi
pada dasarnya bisa diatasi. Panel-panel sel surya bagian demi bagian diangkut ke
orbit rendah (low earth orbit/LEO) dengan pesawat ulang-alik, dan dirakit di orbit ini.
Jadi harus disediakan sebuah stasiun perakitan di orbit ini. Pada tahapan kerja
tertentu, hasil rakitan komponen satelit ini dikirim ke GEO dengan menggunakan
mesin pendorong bertenaga listrik. Efisiensi total dari sistem SPS ini diperkirakan
sebesar 7,5%. Umur hidup (life time) sebuah SPS diperkirakan tidak kurang dari 30
tahun dengan periode perawatan setiap 5 tahun. Grumman Aerospace Corporation]
memproyeksikan bahwa tingkat produksi yang mampu dihasilkan dengan teknologi
tahun 2000-an adalah 7 satelit (maksimum) per-tahun. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa pembangunan sebuah sistem SPS memakan waktu yang relatif
sangan pendek dibandingkan pembangunan jenis pembangkit energi listrik lainnya.
PUTU RUSDI ARIAWAN 11
4.1.2 Rectenna
Dengan daya keluaran yang diharapkan sebesar 5 GW per satelit, maka
rectenna yang ditempatkan di permukaan bumi harus berdiameter 10 km. Antena ini
akan terdiri dari 10 milyar komponen dipole yang berfungsi menerima berkas
mikrogelombang dan mengubahnya ke energi listrik (arus searah). Efisiensi yang
diharapkan adalah sebesar 84%. Seluruh konstruksi antena beserta bangunan
pendukungnya diperkirakan akan menempati daerah seluas 200 Km2, termasuk zona
penyangga seluah 100 km2.
Lokasi stasiun rectenna ditentukan dengan mempertimbangkan aspek
lingkungan, yakni diusahakan dampak lingkungan yang sekecil mungkin. Ada
beberapa alternatif yang mungkin dipilih sebagai lokasi stasiun rectenna, antara lain:
1. Di gurun pasir
2. Di tengah hutan
3. Di lepas pantai
4. Di pulau kosong
Selain di gurun pasir yang praktis tidak berpenghuni sehingga masalah
dampak kesehatan akibat energi mikrogelombang pada mahkluk hidup praktis tak
ada, maka di lokasi-lokasi lainnya masalah ini harus diperhitungkan pada satwa yang
menghuni lokasi tersebut.
4.1.2.1 Stasiun Rectenna di Gurun Pasir
Stasiun ini di bangun di tengah-tengah gurun pasir di sekitar katulistiwa.
Keuntungannya adalah, dengan adanya sumber energi listrik yang sangat besar ini
maka daerah gurun di sekitar stasiun akan dengan mudah dihijaukan karena pompa-
pompa air raksasa bertenaga listrik bisa dioperasikan. Gurun pasir dalam waktu yang
relatif singkat akan berpotensi sebagai lahan pertanian dan daerah perindustrian.
Dengan demikian secara tidak langsung SPS bisa membatasi meluasnya gurun,
bahkan bisa mengurangi luasnya. Stasiun penerima di gurun pasir merupakan pilihan
PUTU RUSDI ARIAWAN 12
yang terbaik. Hanya saja, tidak setiap negara memiliki gurun dan tidak setiap gurun
yang ada terletak di khatulistiwa.
4.1.2.2 Stasiun Rectenna di Tengah Hutan
Pembangunan stasiun rectenna di tengah hutan harus memperhatikan habitat
binatang dan tumbuhan yang ada. Dari semua jenis stasiun di tengah hutan ini yang
paling tidak menguntungkan karena dengan adanya pembangkit energi listrik yang
besar akan menimbulkan kerusakan hutan, walau secara tidak langsung. Dengan
adanya sumber energi yang besar, dengan sendirinya industri yang besar akan muncul
dan kerusakan lingkungan (betapapun terbatasnya) akan terjadi.
4.1.2.3 Stasiun Rectenna di Lepas Pantai
Stasiun ini ditempatkan jauh di lepas pantai (misalnya pada zona ekonomi
khusus 200 mil dari pantai) yang bebas dari gempa tektonik, relatif sepi dari lau-
lintas laut dan nelayan, serta sebisa mungkin berada di sekitar garis khatulistiwa. Ada
empat jenis struktur konstruksi stasiun rectenna yang saat ini dikenal : struktur tiang
pancang, struktur dongkrak, struktur mengambang, dan struktur semi-tenggelam. Dari
ke empat jenis struktur ini, maka struktur semi-tenggelam (semi-submersible)
memiliki karakteristik yang terbaik.
4.1.2.4 Stasiun Rectenna di Pulau Kosong
Pulau kosong yang terbaik adalah pulau karang (kosong) dengan luas minimal
15x15 km dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Dengan tiadanya tumbuhan maka
diperkirakan populasi burung/satwa lainnya juga rendah. Yang harus diperhatikan
adalah lalu-lintas laut yang ada di sekitar pulau yang dijadikan stasiun. Semakin
jarang lalu-lintas yang ada tentu semakin baik. Lokasi rectenna di pulau kosong
merupakan pilihan yang terbaik bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia.
PUTU RUSDI ARIAWAN 13
4.2 Dampak Lingkungan SPS
Aspek lingkungan yang akan dibahas di sini adalah dampak yang berkaitan
dengan penggunaan gelombang elektromagnetik (mikrogelombang) berdaya tinggi
terhadap ekosistem dan kesehatan. Secara umum, ada empat aspek lingkungan
dominan yang harus dipertimbangkan dampaknya akibat penggunaan mikro
gelombang, yaitu :
1. Dampak mikrogelombang terhadap mahluk hidup.
2. Dampak atmosfir.
3. Dampak pemanasan ionosfir.
4. Dampak pada astronomi.
4.2.1 Dampak Mikrogelombang Terhadap Mahkluk Hidup
Radio mikrogelombang tidak memiliki cukup energi untuk mengionisasi
molekul (tidak seperti radiasi sinar-X dan emisi radioaktif lainnya), tetapi memiliki
kemampuan agitasi. Jika intensitas radiasi mikrogelombang yang digunakan cukup
tinggi (dalam tingkat mW/cm2) maka gelombang ini akan menyebabkan kenaikan
suhu molekul. Tubuh mahkluk hidup akan mulai meningkat suhunya bila dikenai
radiasi sebesar 4~30 mW/cm2. Sebuah studi menyebutkan bahwa batas ambang aman
bagi mahkluk hidup (terutama manusia) adalah 5 m/cm2 pada daerah frekuensi
1,5~100 GHz. Banyak studi telah dilakukan untuk mempelajari dampak yang
ditimbulkan oleh mikrogelombang terhadap mahkluk hidup, namun sejauh ini belum
ada kesepakatan untuk merumuskan secara pasti besarnya energi yang aman bagi
mahkluk hidup serta dampak apa saja yang mungkin timbul jika batas aman ini
dilewati. Namun demikian, mengambil dari kenyataan sehari-hari tentang
penggunaan energi pengulang telekomunikasi terrestrial / TV, dan radar dengan
aman, maka bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kerapatan energi
mikrogelombang sebesar 5 mW/cm2 bisa dianggap memadai.
Dengan mengambil jarak minimum 25 km dari daerah zona penyangga
rectenna, akan diperoleh kerapatan energi yang hampir sama dengan bilangan ini.
Artinya, pada jarak yang relatif dekat dengan rectenna bisa diperoleh zona yang
PUTU RUSDI ARIAWAN 14
benar- benar aman bagi mahluk hidup. Yang sulit untuk dihindari adalah bila ada
sekawan burung yang mungkin terbang tepat di pusat berkas mikrogelombang.
Dampak Atmosfir
Ini adalah dampak yang timbul pada saat perakitan spacetenna. Pada lapisan
terrendah atmosfir bumi tempat segala macam kehidupan berlangsung, dampak
paling serius yang ditimbulkan adalah pencemaran akibat semburan gas buang roket
peluncur (HLLV - high lift launch vehicle) selama peluncuran berlangsung. Efek ini
memang bisa mengakibatkan perubahan cuaca lokal dan penurunan kualitas udara
bersih. Derajat perubahan cuaca ini memang sangat tergantung pada kondisi
meteorologis, ukuran dari pesawat peluncur dan frekuensi peluncuran. Inilah efek tak
langsung dari sistem SPS terhadap lingkungan atmosfir bumi. Efek ini akan menurun
tajam bila penyempurnaan mesin-mesin roket pendorong berhasil dengan baik, atau
sampai ditemukannya bahan bakar roket berbahan pencemaran rendah. Namun
demikian, secara global efek ini diperkirakan masih jauh lebih rendah dibandingkan
efek serupa yang ditimbulkan oleh mesin-mesin pembangkit konvensional berbahan
bakar fossil, yang terus menerus menghasilkan polutan selama masa hidupnya.
Dampak Pemanasan Ionosfir
Energi mikrogelombang yang menembus ionosfir dapat meningkatkan aras
energi ambient dan suhu elektron yang membentuk lapisan D, E, dan F, yakni pada
daerah yang terkena lintasan energi. Efek yang terjadi mirip dengan efek pemanasan
ohmis, yakni meningkatnya suhu fisik. Peningkatan suhu pada lapisan F dapat
menyebabkan mengumpulnya energi mikrogelombang dan menyebabkan
penyimpangan pada garis magnetik bumi. Secara langsung efek ini menyebabkan
penurunan kualitas telekomunikasi. Pada beberapa kasus juga diperkirakan timbulnya
interferensi pada komunikasi satelit yang menggunakan frekuensi kerja yang
berdekatan. Dengan demikian pemilihan lokasi stasiun rectenna di daerah terpencil
atau di lepas pantai akan sangat membantu menghindari timbulnya interferensi.
PUTU RUSDI ARIAWAN 15
Dampak Astronomi
Sebagian besar komponen SPS, yakni panel-panel fotovoltaik, dihadapkan
mengarah ke matahari, dan sebagian yang lain (antena, rangka, dll) tidak menghadap
ke matahari sehingga memungkinkan timbulnya pantulan sinar matahari ke bumi.
Jika pantulan yang dihasilkan oleh keseluruhan sistem satelit cukup besar, maka ada
kemungkinan timbulnya efek cahaya yang cukup terang di waktu malam yang tampak
dengan jelas dari bumi (night sky brightness effect). Efek ini tentu tidak
menguntungkan bagi dunia astronomi. Cahaya yang dihasilkan oleh sebuah SPS
diperkirakan seterang cahaya planet Venus dan bisa mengganggu astronomi optis.
Efek nihgt sky brightness bisa ditekan dengan pemakaian sesedikit mungkin bahan-
bahan yang mudah memantulkan cahaya matahari. Sedangkan astronomi radio yang
menggunakan panjang gelombang sentimeter pada teleskop radionya hanya akan
terganggu bila lokasinya berdekatan dengan lokasi rectenna atau bila teleskopnya
mengarah langsung ke SPS. Belum ditemukan cara yang tepat untuk mengatasi efek
ini.
PUTU RUSDI ARIAWAN 16
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari deskripsi kajian tentang sistem Solar Power Satellite (SPS) diatas, maka
penulis dapat menarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut :
1. Dari pertimbangan aspek teknologi, sistem SPS sangat mungkin diwujudkan
dalam waktu dekat.
2. Dampak lingkungan dari sistem ini relatif rendah, walau untuk beberapa kasus
masih diperlukan studi yang lebih intensif.
3. SPS sangat layak digunakan sebagai alternatif diversifikasi sumber energi di
masa depan, bahkan ada kemungkinan akan menjadi satu-satunya alternatif
sumber energi terbarukan.
5.2 Saran
Setelah mengkaji bahasan-bahasan di atas maka penulis dapat memberikan
beberapa saran, diantaranya adalah pemanfaatan perangkat pengubah energi secara
langsung perlu mendapat prioritas tinggi dalam pengembangannya, sebab akan
berguna untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di masa yang akan datang, serta
diharapkan pemerintah bersedia ikut serta dalam pengembangan teknologi SPS
khususnya di Indonesia.
PUTU RUSDI ARIAWAN 17
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bayuwati, Dewi. copy right 22 November 2004. “Pembuatan Panel Surya”.
http://www.Fisika LIPI.com. accessed : 14 Juli 2006.
[2] Muhaimin, Drs. 1991. “Bahan-Bahan LIstrik Untuk Politeknik”. hal : 94. PT
Pradnya Paramita. Jakarta.
[3] Purwanto, Yuliman. “Solar Power Satellite (SPS) : Alternatif Baru Sumber
Energi Listrik Untuk Masa Depan”. Makalah pada Seminar dan Kongres XX
PPI-Jepang. Kyoto. 1991.
[4] Walery Wenas, Wilson. Last update 2004. “Teknologi Sel Surya :
Perkembangan Dewasa Ini Dan Akan Datang”. http://www.Energi.LIPI.go.id.
accessed : 14 Juli 2006.
PUTU RUSDI ARIAWAN 18
BIODATA PENULIS
Nama : Putu Rusdi Ariawan
TTL : Denpasar. 19 April 1990
Agama : Hindu
Mahasiswa Teknik Elektro Unv. Udayana
Email : [email protected]
www.facebook.com/turusdi