Upload
puspita-mahaelani
View
1.465
Download
21
Embed Size (px)
2.1.1 Pembersihan
Pembersihan dalam penanganan bahan hasil pertanian adalah mengeluarkan
atau memindahkan benda asing (kotoran) dan bahan-bahan yang tidak diinginkan
dari bahan utama (produk yang diinginkan). Perbersihan bertujuan untuk
menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada hasil pertanian. Kebersihan
sangat mempengaruhi kenampakan. Oleh karena itu sebelum dipasarkan, hasil
pertanian harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan bagian-bagian yang tidak
diperlukan. Kotoran pada hasil pertanian sering dianggap sebagai sumber
kontaminasi, karena kotoran dapat mengandung mikroorganisme yang dapat
merusak hasil panen. Secara umum, pembersihan dapat dilakukan dengan dua
cara:
1. Dry method yang diantaranya meliputi:
Penyaringan (screening)
Pemungutan dengan tangan (hand picking)
2. Wet method yang diantaranya adalah:
Perendaman (soaking)
Water sprays
Rotary Drum
Brush Washer
Shuffle or Shaker Washer
2.1.1.1 Jenis Kotoran Pada Bahan Hasil Pertanian
Jenis kotoran pada bahan hasil pertanian, berdasarkan wujudnya dapat
dikelompokkan menjadi :
a. Kotoran Berupa Tanah
b. Kotoran Berupa Sisa Pemungutan Hasil
c. Kotoran Berupa Benda-Benda Asing
d. Kotoran Berupa Serangga Atau Kotoran Biologis Lain
e. Kotoran Berupa Sisa Bahan Kimia
2.1.2 Sortasi
Sortasi adalah proses pemisahan bahan-bahan yang sudah dibersihkan ke
dalam fraksi kualitas berdasarkan karakteristik fisik (kadar air, bentuk, ukuran,
berat jenis, tekstur, warna, benda asing/kotoran), kimia (komposisi bahan, baud an
rasa ketengikan), dan biologis (jenis dan jumlah kerusakan oleh serangga, jumlah
mikroba, dan daya tumbuh khususnya pada bahan pertanian berbentuk bijian).
Sebagai contoh, pada penanganan pasca panen padi, dimana gabah tercampur
dengan kotoran berupa butir pasir, serpihan jerami dan daun. Gabah sebagai
produk utama dari proses penanganan pasca panen padi harus bebas dari kotoran
tersebut.
Sortasi biasanya dilakukan untuk memisahkan produk luka, busuk, atau cacat
sebelum penanganan selanjutnya dilakukan. Sortasi akan menghemat tenaga
dimana bahan-bahan rusak tersebut tidak akan ikut lagi pada penanganan
selanjutnya. Memisahkan bahan-bahan busuk akan membatasi penyebaran infeksi
kepada unit-unit produk lainnya, khususnya bila pestisida pasca panen tidak
digunakan. Perlakuan sesegera mungkin dalam sortasi dapat membatasi
kerusakan/kehilangan hasil panen, juga penularan mikroba ataupun benda asing
lainnya.
Ada dua macam proses sortasi, yaitu sortasi basah dan sortasi kering.
Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan pada saat bahan masih segar. Proses ini untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan
hasil pertanian tersebut. Misalnya dari akar suatu tanaman, maka bahan-
bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah
rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Hal tersebut dikarenakan
tanah merupakan salah satu sumber mikroba yang potensial. Sehingga,
pembersihan tanah dapat mengurangi kontaminasi mikroba pada hasil
pertanian.
Sortasi kering
Sortasi kering pada dasarnya merupakan tahap akhir. Tujuannya untuk
memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotoran lain yang masih tertinggal pada barang hasil
pertanian. Sortasi dapat dilakukan dengan manual atau secara mekanik.
Tidak semua tanaman atau bagian tanaman yang dipanen layak untuk
dipasarkan, karena itu perlu dilakukan sortasi. Sortasi dilakukan dengan tujuan
untuk memisahkan hasil panen yang baik (tidak mengalami kerusakan fisik dan
terlihat menarik) dengan yang jelek (hasil yang telah mengalami
kebusukan/kerusakan fisik akibat penguapan atau serangan hama dan penyakit
serta benda asing yang tidak dikehendaki. Sortasi yang dilakukan ditingkat petani
berbeda dengan yang dilakukan ditingkat pedagang dan industri.
a. Sortasi di tingkat petani
Hasil panen dipisahkan secara sederhana antara yang cacatdengan yang
bai, hasil panen yang tidak lolos sortasi tidak dibuang tetapi dikonsumsi
sendiri kecuali yang busuk. Hasilpanen yang dinilai bagus dijual ke
pedagang atau supermarketsedangkan hasil yang agak jelek dijual ke
pedagang pengeceratau pasar tradisional.
b. Sortasi di tingkat pedagang
Sesampainya ditempat pedagang hasil panen segeradikeluarkan dari wadah
untuk segera disortir, pengeluaran dan penyortiran dilakukan dengan cepat
tetapi hati-hati supaya kerusakan yang terjadi akibat benturan dapat
dicegah. Penyortiran yang dilakukan oleh pedagang pada umumnya tidak
terlalu ketat, biasanya seluruh hasil sortiran yang rusak maupun yang baik
tetap dipasarkan meskipun dengan harga yang berbeda, hasil sortiran yang
dibuang adalah yang telah busuk. Untuk dipasarkan kepasar khusus
(supermarket, hotel dan restauratn) harus dilakukan sortasi secara ketat,
hasilpanen tidak hanya harus baik tetapi juga memenuhi kriteria tertentu
saat diterima konsumen. Hasil panen yang tidak memenuhi standar mutu
biasanya dijual kepasar tradisionalatau dikonsumsi sendiri.
c. Sortasi ditingkat industri
Hasil panen segar sebagai bahan baku industri diperlukan dengan kriteria-
kriteria tertentu, namun hasil panen petanimasih sangat beragam sehingga
tidak memenuhi kriteria industri, karenanya perlu dilakukan sortasi pada
hasil panen supaya didapat produk yang lebih seragam dengan demikian
akan memudahkan pembuatan standar pada tahap-tahap industri. Kegiatan
sortasi tidak berakhir ditempat penerimaan dan penampungan hasil panen
sebelum diolah, proses ini berlangsung terus selama periode proses
penyiapan bahan baku, proses sortasi yang dilakukan berdasarkan tingkat
kematangan, ukuran dan kecacatan.
2.1.2.1 Tujuan Sortasi
a. Untuk memperoleh bahan hasil pertanian yang dikehendaki, baik
kemurnian maupun kebersihannya
b. Memilih dan memisahkan bahan hasil pertanian yang baik dan tidak cacat.
c. Memisahkan bahan yang masih baik dengan bahan yang rusak akibat
kesalahan panen atau serangan patogen, serta kotoran berupa bahan asing
yang mencemari bahan hasil pertanian
2.1.2.2 Peraturan Sortasi
Menurut WHO Guidelines on Good Agricultural and Collection Practice
(GACP) for Madicinal Plants :
1. Pemeriksaan visual terhadap kontaminan yang berupa bagian-bagian
tanaman yang tidak dikehendaki/digunakan.
2. Pemeriksaan visual terhadap materi asing.
3. Evaluasi organoleptik, meliputi : penampilan, kerusakan, ukuran, warna,
bau, dan mungkin rasa.
2.1.3 Grading
Grading adalah proses pemilihan bahan berdasarkan permintaan konsumen
atau berdasarkan nilai komersilnya. Grading berkaitan erat dengan tingkat selera
konsumen suatu produk atau segmen pasar yang akan dituju dalam pemasaran
suatu produk. Terlebih apabila yang akan dituju adalah segmen pasar tingkat
menengah ke atas dan atau segmen pasar luar negeri. Kegiatan grading sangat
menentukan apakah suatu produk laku pasar atau tidak.
Dalam grading dilakukan pengelompokkan pada produk utama kedalam
berbagai kelas mutu. Biasanya dibagi dalam kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan
seterusnya, atau kelas A, kelas B, kelas C dan seterusnya. Pada beberapa
komoditas ada kelas super-nya.
Pada kegiatan grading, penentuan mutu hasil panen biasanya didasarkan pada
kebersihan produk, aspek kesehatan, ukuran, bobot, warna, bentuk, kematangan,
kesegaran, ada atau tidak adanya serangan/kerusakan oleh penyakit, adanya
kerusakan oleh serangga, dan luka/lecet oleh mekanis. Pada usaha budidaya
tanaman, penyortiran produk hasil panenan dilakukan secara manual, yaitu
menggunakan tangan. Sedang grading dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan mesin penyortir. Grading secara manual memerlukan tenaga yang
terampil dan terlatih, dan bila hasil panen dalam jumlah besar akan memerlukan
lebih banyak tenaga kerja.
Contoh hasil dari grading dari penangan beras adalah beras utuh, beras
kepala, beras patah dan menir. Secara umum, grading dalam penanganan pasca
panen bahan hasil pertanian merupakan lanjutan dari proses sortasi. Dalam
penerapannya, spesifikasi yang digunakan untuk menilai dan mengelompokkan
kelas mutu suatu bahan dapat lebih dari satu. Antara lain adalah derajat sosoh,
persentase beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir, tingkat kadar air beras,
persentase beras, persentase butir kapur, butir kuning, dan butir merah.
Grading memberikan manfaat untuk keseluruhan industri, dari petani,
pedagang besar dan pengecer karena;
Ukurannya seragam untuk dijual
Kematangan seragam
Didapatkan buah yang tidak lecet atau tidak rusak
Tercapai keuntungan lebih baik karena keseragaman produk, dan
Menghemat biaya dalam transport dan pemasarannya karena bahan-bahan
rusak disisihkan.
2.1.5 Standar Mutu Beras
Standar merupakan salah satu penentu dari keberhasilan pembangunan
pertanian dan memiliki peranan penting dalam upaya optimalisasi sumberdaya
sektor pertanian. Dalam hal ini, perangkat standardisasi memiliki peranan dalam
mendukung kemampuan berproduksi dan dalam meningkatkan produktivitas.
Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2008 mengenai beras merupakan
revisi dari SNI 01-6128-1999, Beras giling berdasarkan usulan dari seluruh
stakeholder beras dengan memperhatikan kondisi mutu beras Indonesia di pasaran
dan standar mutu beras yang digunakan oleh negara-negara produsen beras
lainnya. Standar ini bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi mutu
beras di pasaran, terutama pencampuran/pengoplosan antar kualitas atau antar
varietas. Oleh karena itu dilakukan beberapa perubahan/penyempurnaan pada
beberapa bagian yaitu pada bagian syarat mutu, cara uji dan penandaan.
SNI untuk beras giling telah tersusun dan disahkan oleh Badan Standardisasi
Nasional, namun demikian penerapannya belum optimal. Secara umum beras
giling harus memenuhi persyaratan bebas hama dan penyakit, bebas bau
(apek/asam) ataupun bau asam lainnya, bebas dari campuran bekatul, dan bebas
dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan. Dalam SNI yang telah
direvisi, beras giling dikelompokkan menjadi lima kelas mutu.
Standar menetapkan ketentuan tentang persyaratan mutu, penandaan dan
pengemasan pada semua jenis beras yang beredar di pasar. Sebagai acuan
normatif digunakan SNI 19-0428-1998 yang berisi tentang petunjuk pengambilan
contoh padatan serta SNI 7313:2008 tentang batas maksimum residu pestisida
pada hasil pertanian.
Komponen Beras
Butir kepala :
Butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau
sama dengan 0,75 bagian dari butir beras utuh
Butir patah :
Butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar dari
0,25 sampai dengan lebih kecil 0,75 dari butir beras utuh
Butir menir :
Butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil dari
0,25 bagian butir beras utuh
Butir merah :
Butir beras utuh, beras kepala, patah maupun menir yang berwarna merah
akibat faktor genetis
Butir kuning :
Butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir yang berwarna kuning,
kuning kecoklat-coklatan, dan kuning semu akibat proses fisik atau aktivitas
mikroorganisme
Butir mengapur :
Butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna putih seperti kapur
(chalky) dan bertekstur lunak yang disebabkan oleh faktor fisiologis
Butir rusak :
Butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir berwarna putih/bening,
putih mengapur, kuning dan berwarna merah yang mempunyai lebih dari satu
bintik yang merupakan noktah disebabkan proses fisik, kimiawi, dan biologi.
Beras yang berbintik kecil tunggal tidak termasuk butir rusak
Benda asing :
Benda-benda yang tidak tergolong beras, misalnya jerami, malai, batu kerikil,
butir tanah, pasir, logam, potongan kayu, potongan kaca, biji-bijian lain
serangga mati, dan lain sebagainya
Butir gabah :
Butir padi yang sekamnya belum terkelupas atau hanya terkelupas sebagian
Contoh primer :
Contoh beras yang diambil secara acak dengan alat trier/sample probe dan
langsung dari populasi
Contoh Analisis :
Contoh terkecil yang diambil dari contoh kerja dengan menggunakan sample
devider atau dengan sistem quartering untuk keperluan analisis komponen
kualitas beras, dengan berat minimum 100 gram
Syarat Mutu Beras
a. Syarat Kualitatif
bebas hama dan penyakit;
bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya;
bebas dari campuran dedak dan bekatul;
bebas dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen.
b. Syarat Kuantitatif
Tabel. 1 Spesifikasi persyaratan mutu beras SNI 2008
N
O
Komponen Mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 85
2 Kadar air (maks) (%) 14 14 14 14 15
3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60
4 Butir patah (maks) (%) 5 10 20 25 35
5 Butir menir (maks) (%) 0 1 2 2 5
6 Butir merah (maks) (%) 0 1 2 3 3
7 Butir kuning/rusak (maks) (%) 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (maks) (%) 0 1 2 3 5
9 Benda asing (maks) (%) 0 0,02 0,02 0,05 0,20
10 Butir gabah (maks) Butir
(100gr)
0 1 1 2 3
Sumber : Badan Standardisasi Indonesia 2008
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Alat:
1. Pinset
2. Wadah plastik
3. Moisture tester
4. Timbangan
5. Sampling homogenizer
6. Rice Standard Chart
Bahan:
Beras
3.2 Prosedur Percobaan
1. Menyiapkan bahan dan ditimbang seberat 100 gram.
2. Memisahkan bahan ke dalam fraksi kualitas berdasarkan karakteristik fisik
(bentuk, ukuran, warna, benda asing dan kotoran).
3. Menimbang masing-masing bahan yang sudah dipisahkan.
4. Mengukur berat sosoh dari bahan dan mengukur kadar airnya
menggunakan moisture tester dengan tiga sampel.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
4.1 Kelompok 1
Tabel 2. Hasil pengamatan kelompok 1
No Pengamatan Bobot (gr) Persentase (%) Standard
1 Derajat sosoh 86,2 Min. 95%
2 Beras utuh 62,42 62,42 Min. 35%
3 Beras patah (2
10− 6
10¿ 22,50 22,50 Min. 25%
4 Beras menir (≤2
10) 0,18 0,18 Min. 2%
5 Beras hijau mengapur 8,84 8,84 Min 3%
6 Beras kuning / rusak 4,96 4,96 Min 3%
7 Benda asing 0 0 Min. 0,05 %
8 Gabah 0 0 Max. 2
Total 98,9
Bahan berat awal 100 gr
Kadar air : 1. 12,8 %
2. 12.8 % x=12,8 %+12,8 %+13,6 %3
=13,06 %
3. 13,6 %
*Max. 14%
Derajat sosoh: = [ 100 gr−(8,84+4,96+0+0 ) gr100 gr ]x 100 %
= 86,2 %
Beras hilang: = 100 gr – bobot total gr
= 100 gr – 98,9gr
= 1,1 gr
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam praktikum kali ini, dilakukan percobaan dengan mengukur dan
mengamati proses sortasi dan grading bahan hasil pertanian, melakukan
perhitungan kualitas dan variabel kualitas. Pada praktikum ini bahan hasil
pertanian yang diamati adalah beras sebanyak 100 gr.
Proses sortasi pada beras, yaitu memisahkan beras yang baik (beras utuh)
dengan yang telah mengalami kebusukan/kerusakan fisik (butir patah, butir menir,
butir mengapur dan butir rusak) akibat penguapan atau serangan hama dan
penyakit serta benda asing yang tidak dikehendaki. Pengetahuan tentang sortasi
tersebut sangat diperlukan untuk memasukkan beras yang diuji pada kriteria/grade
yang telah ditentukan.
Percobaan yang dilakukan pada praktikum adalah menghitung kadar air,
derajat sosoh, beras utuh, beras patah, beras menir, beras mengapur, beras rusak,
benda asing dan gabah. Dari perhitungan tersebut diketahui termasuk mutu berapa
beras yang kita uji tersebut.
Menurut standar yang ada, nilai minimal derajat sosoh adalah 95%. Dari hasil
praktikum yang dilakukan oleh kelompok 1, diperoleh nilai derajat sosoh sebesar
86,2% yang artinya beras yang disortir kelompok 1 tidak memenuhi standar.
Sementara dilihat dari persentase butir utuh, persentase hasil percobaan sebesar
62,42% sedangkan berdasarkan standar minimalnya adalah 35% yang artinya
sampel beras memenuhi standar. Kadar air yang diperoleh adalah 13,06% dengan
standar maksimum kadar air adalah 14%. Untuk beras patah, persentase standar
minimumnya adalah 25% sedangkan hasil percobaan memiliki nilai dibawah
standar yaitu 22,5%. Standar beras hijau mengapur adalah maksimal 3%
sementara dari hasil percobaan diperoleh 8,84% melebihi standar. Presentase
beras menguning dari hasil percobaan lebih besar dari standar yaitu 4,96%
sedangkan standar maksimal adalah 3%. Namun dari hasil percobaan tidak
ditemukan benda asing atau gabah sama sekali. Dari perbandingan dengan standar
yang telah ada, beras pada hasil percobaan kelompok 1 termasuk ke dalam beras
dengan kualitas/mutu yang kurang baik.
Jika dibandingkan dengan standar SNI pada tabel 1, derajat sosoh beras yang
diuji memenuhi syarat mutu V, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah
mutu 3, butir menir mutu I, butir mengapur mutu V, butir kuning mutu 4, benda
asing dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji kelompok
1 adalah beras dengan kualitas tidak bagus dan termasuk pada mutu V.
Selanjutnya, hasil percobaan kelompok 2 yang dapat dilihat pada tabel 3,
derajat sosoh, beras utuh, beras patah, beras menir, juga pada beras kuning/rusak
memenuhi standar yang ada. Derajat sosoh 95,58% > 95%, beras utuh 60,82% >
35%, beras patah 33,18% > 25%, beras menir 0,80% < 2%, beras kuning/rusak
0,80% < 3%. Namun dari hasil percobaan, persentase beras hijau mengapur diluar
standar, standar maksimum adalah 3% sedangkan hasil percobaan 3,60%.
Sedangkan untuk benda asing memenuhi standar yaitu 0,02% dari batas
maksimum sebesar 0,05%. Tidak ditemukan gabah dari hasil percobaan. Dari
hasil percobaan dengan membandingkan dengan standar yang ada, beras hasil
percobaan kelompok 2 termasuk ke dalam beras dengan kualitas bagus.
Bila dibandingkan dengan standar SNI, derajat sosoh beras yang diuji
memenuhi syarat mutu III, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah mutu
IV, butir menir mutu I, butir mengapur mutu IV, butir kuning mutu I, benda asing
mutu II dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji
kelompok 2 adalah beras cukup bagus dan termasuk pada mutu III dilihat dari
spesifikasinya.
Selanjutnya percobaan yang dilakukan oleh kelompok 3 yang hasilnya dapat
dilihat pada tabel 4. Dari hasil percobaan, hampir semua spesifikasi memenuhi
standar kecuali beras hijau mengapur, yaitu sebesar 3,33% dari standar maksimum
3%. Derajat sosoh > 95% yaitu 96,65%, beras utuh > 35% yaitu 25,68%, beras
menir <2% yaitu 0,37%, beras kuning/rusak <3% yaitu 0,99%, benda asing
<0,05% yaitu 0%, dan gabah < 2, yaitu 0,03. Dari hasil percobaan dengan
membandingkan dengan standar yang sudah ada, beras hasil percobaan kelompok
3 termasuk ke dalam beras yang memiliki kualitas baik.
Jika dibandingkan dengan standar SNI, derajat sosoh beras yang diuji
memenuhi syarat mutu III, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah mutu
IV, butir menir mutu I, butir mengapur mutu V, butir kuning mutu I, benda asing
mutu I dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji
kelompok 3 adalah beras kurang bagus dan termasuk pada mutu IV dilihat dari
spesifikasinya.
Hasil percobaan kelompok 4 dapat dilihat dari tabel 5, persentase derajat
sosoh, beras patah, dan beras hijau mengapur tidak memenuhi standar, yaitu
derajat sosoh 94,85% < 95%, beras patah 20,84% < 25%, beras hijau mengapur
4,31% > 3%. Sedangkan untuk spesifikasi lainnya memenuhi standar, yaitu beras
utuh 71,60% > 35%, beras menir 0,77% < 2%, beras kuning/rusak 0,84% < 3%,
benda asing 0% < 0,005%, dan gabah 0 < 2. Dari hasil percobaan dengan
membandingkan dengan standar yang ada, beras hasil percobaan kelompok 4
termasuk ke dalam beras dengan kualitas cukup bagus.
Jika dibandingkan dengan standar SNI, derajat sosoh beras yang diuji
memenuhi syarat mutu IV, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah mutu
IV, butir menir mutu I, butir mengapur mutu IV, butir kuning mutu I, benda asing
mutu I dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji
kelompok 4 adalah beras kurang bagus dan termasuk pada mutu IV dilihat dari
spesifikasinya.
Lalu pada hasil percobaan kelompok 5 yang dapat dilihat dari tabel.6,
persentase derajat sosoh, beras patah, dan beras hijau mengapur tidak memenuhi
standar, yaitu derajat sosoh 92,62% < 95%, beras patah 23,36% < 25%, beras
hijau mengapur 6,21% > 3%. Sedangkan untuk spesifikasi lainnya memenuhi
standar, yaitu beras utuh 68% > 35%, beras menir 0,11% < 2%, beras
kuning/rusak 1,26% < 3%, benda asing 0% < 0,005%, dan gabah 0 < 2. Dari hasil
percobaan dengan membandingkan dengan standar yang ada, beras hasil
percobaan kelompok 5 termasuk ke dalam beras dengan kualitas kurang bagus.
Jika dibandingkan dengan standar SNI, derajat sosoh beras yang diuji
memenuhi syarat mutu V, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah mutu
IV, butir menir mutu I, butir mengapur mutu V, butir kuning mutu III, benda asing
mutu I dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji
kelompok 4 adalah beras tidak bagus dan termasuk pada mutu V dilihat dari
spesifikasinya.
Selanjutnya hasil percobaan kelompok 6 yang dapat dilihat pada tabel. 7,
persentase derajat sosoh, beras patah, dan beras hijau mengapur tidak memenuhi
standar, yaitu derajat sosoh 90,7% < 95%, beras patah 26,42% < 25%, beras hijau
mengapur 8,54% > 3%. Sedangkan untuk spesifikasi lainnya memenuhi standar,
yaitu beras utuh 63,01% > 35%, beras menir 0,25% < 2%, beras kuning/rusak
0,72% < 3%, benda asing 0,01% < 0,005%, dan gabah 0,03 < 2. Dari hasil
percobaan dengan membandingkan dengan standar yang ada, beras hasil
percobaan kelompok 6 termasuk ke dalam beras dengan kualitas kurang bagus.
Jika dibandingkan dengan standar SNI, derajat sosoh beras yang diuji
memenuhi syarat mutu V, kadar air mutu I, butir utuh mutu V, butir patah mutu
IV, butir menir mutu I, butir mengapur mutu V, butir kuning mutu I, benda asing
mutu I dan gabah mutu I. Jadi dapat disimpulkan bahwa beras yang diuji
kelompok 6 adalah beras tidak bagus dan termasuk pada mutu V dilihat dari
spesifikasinya.
Dari hasil percobaan keenam kelompok tersebut, mutu yang diperoleh
berbeda-beda. Berdasarkan standar mutu beras SNI, beras kelompok 1 termasuk
ke dalam V, kelompok 2 mutu III, kelompok 4 mutu IV, kelompok 5 mutu V, dan
kelompok 6 mutu V. Dengan melihat mutu beras dari setiap kelompok, dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar mutu beras yang telah dipraktikumkan
termasuk ke dalam beras mutu V.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan mutu ini,
salah satunya adalah ketelitian praktikan pada saat proses sortasi. Bisa saja terjadi
salah pengklasifikasian gradenya.
Sortasi dan grading merupakan hal penting dalam pengelolaan lebih lanjut
terhadap bahan hasil pertanian. Karena sortasi dan grading akan menentukan nilai
jual terhadap sebuah komoditas pertanian. Maka dari itu sortasi dan grading perlu
dilakukan dengan tepat dan teliti agar hasil dari komoditas tersebut dapat memiliki
nilai jual yang tinggi serta sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).