16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai bangsa yang luhur. Memiliki keragaman budaya yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara. Dari kesenian, adat-istiadat hingga makanan melekat mewarnai keragaman bangsa ini. Tidak heran jika begitu banyaknya budaya yang kita miliki, justru membuat kita tidak mengetahui apa saja budaya yang ada Indonesia. Bahkan kita sendiri pun sebagai generasi muda terkadang melupakan budaya daerah kita. Ironis memang, orang Indonesia tetapi tak tahu ciri khas bangsanya sendiri. Lihat diri kita masing-masing, sebetulnya kita jugalah yang tidak mau tahu akan keluhuran budaya sendiri. Ketertarikan budaya yang semakin meluntur juga sangat nampak pada diri generasi muda saat ini. Salah satunya karena globalisasi. Menyinggung era globalisasi, tentu juga akan berpengaruh pada dinamika budaya di setiap negara. Khususnya di Indonesia, hal ini bisa dirasakan dan sangat menonjol nampaknya. Begitu bebas budaya yang masuk dari berbagai arus kehidupan. Pribadi yang ramah-tamah juga sangat mendukung masuknya berbagai budaya tersebut. Ditambah lagi generasi muda kita yang terkesan bosan dengan budaya yang mereka anggap kuno. Namun, masuknya budaya dari luar justru kerap berimbas buruk bagi bangsa ini. Misalnya budaya berpakaian, gaya hidup (life style), segi iptek, maupun

sosbud

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ISBD

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai bangsa yang luhur. Memiliki keragaman budaya yang tersebar

di pelosok-pelosok nusantara. Dari kesenian, adat-istiadat hingga makanan melekat mewarnai

keragaman bangsa ini. Tidak heran jika begitu banyaknya budaya yang kita miliki, justru

membuat kita tidak mengetahui apa saja budaya yang ada Indonesia. Bahkan kita sendiri pun

sebagai generasi muda terkadang melupakan budaya daerah kita. Ironis memang,

orang Indonesia tetapi tak tahu ciri khas bangsanya sendiri. Lihat diri kita masing-masing,

sebetulnya kita jugalah yang tidak mau tahu akan keluhuran budaya sendiri. Ketertarikan budaya

yang semakin meluntur juga sangat nampak pada diri generasi muda saat ini. Salah satunya

karena globalisasi.

Menyinggung era globalisasi, tentu juga akan berpengaruh pada dinamika budaya di

setiap negara. Khususnya di Indonesia, hal ini bisa dirasakan dan sangat menonjol nampaknya.

Begitu bebas budaya yang masuk dari berbagai arus kehidupan. Pribadi yang ramah-tamah juga

sangat mendukung masuknya berbagai budaya tersebut. Ditambah lagi generasi muda kita yang

terkesan bosan dengan budaya yang mereka anggap kuno. Namun, masuknya budaya dari luar

justru kerap berimbas buruk bagi bangsa ini. Misalnya budaya berpakaian, gaya hidup (life

style), segi iptek, maupun adat-istiadat. Kesemua itu berdampak sangat buruk dan dengan mudah

dapat menggeser budaya asli Indonesia.

Kita sebenarnya belum siap menerima era globalisasi. Gaya hidup kita semakin menjurus

ke arah barat yang individual dan liberal. Budaya gotong-royong pun semakin memudar. Dari

segi iptek, sebagian besar juga berdampak buruk bagi kita. Yakni penyalahgunaan teknologi

kerap kali terjadi. Kemudian, belum ada filterisasi budaya yang masuk. Begitu mudah budaya

masuk tanpa ada penyaringan kesesuaian dengan budaya asli kita. Akibatnya kita seperti berjalan

mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Tetapi sayangnya budaya luhur yang

dulu melekat dalam diri, perlahan semakin menghilang. Parahnya, budaya daerah yang ada dan

kita junjung tinggi justru semakin kita abaikan.

1.2  Pokok Permasalahan

Pada zaman era presiden soekarno, pengklaiman beberapa wilayah indonesiayaitu

Sipadan Ligitan juga Blok Ambalat oleh Malaysia pernah membuat hubungan antar kedua

negara ini menjadi cukup tegang hingga muncul istilah “GanyangMalaysia”. Seiring dengan

redanya isu tersebut, muncul kembali kasus yang membuat negara indonesia terusik dan

teganggu dengan pengklaiman berbagai kebudayaan indonesia oleh negara tetangga Malaysia.

Dahulu kasus pengklaiman wilayah indonesia tak cukup menjadikan kedua negara ini

bermasalah dan beritanya hilang seiring berjalannya waktu.

Namun, beberapa waktu yang lalu kembali terdengar mengenai pengklaiman beberapa

kebudayaan asli indonesia oleh Malaysia diantaranya adalah batik tulis, wayang kulit, lagu rasa

sayange, angklung, reog ponorogo hingga makanan khas minang dari salah satu wilayah

indonesia yaitu rendang di klaim berasal dari Malaysia. Sungguh mengherankan bukan, dari

mulai wilayah hingga menu makanan khasIndonesia diklaim sebagai kebudayaan Malaysia.

Apakah Malaysia tidak memiliki kebudayaan, sampai-sampai dalam berbagai aspek

kebudayaan indonesia diklaim sebagai miliknya!!

Lalu kasus Reog Ponorogo, yang waktu itu mengakibatkan terjadinya berbagai

demonstrasi di Indonesia. Salah satunya yaitu demonstrasi yang dilakukan di depan kedubes

malaysia oleh para “warok” dan para budayawan reog ponorogo yang tidak terima dengan

pengklaiman Malaysia atas Reog Ponorogo dengan nama Barongan. Kasus ini cukup menarik

perhatian dari berbagai pihak dan masyarakat, khususnya dari pemerintah kabupaten Ponorogo

yang tidak terima dengan pengklaiman tersebut. Karena pemerintah kabupaten Ponorogo

sebenarnya telah mendaftarkan tarian reog ponorogo sebagai hak cipta milik Kabupaten

Ponorogo yang tercatac dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan disaksikan

langsung oleh Menteri Hukum dan HAM RI.

Konon awal mulanya isu ini, kesenian Reog Ponorogo dibawa oleh TKI yang bekerja di

Malaysia yang sering mengadakan pertunjukan tarian Reog Ponorogo untuk memperkenalkan

kebudayaan Indonesia tetapi polisi Malaysia memberikan syarat jika reog tetap ingin dimainkan

maka namanya harus diubah menjadi “Singa Barongan UMNO”.

Kasus lain yang cukup menghebohkan, yaitu diklaimnya Batik Tulis kita sebagai karya

seni yang berasal dari Malaysia. Seni batik ini sudah diwariskan oleh nenek moyang kita dari

mulai kerajaan Majapahit dan hingga di gunakan sebagai pakaian untuk para Raja di dalam

kerajaan. Dan Malaysia pun mungkin iri dan ingin memiliki batik indonesia untuk diperkenalkan

kepada dunia bahwa Batik merupakan karya seni yang berasal dari Malaysia. Hingga pada

akhirnya pemerintah indonesia menetapkan tanggal 02 oktober sebagai hari Batik Indonesia..

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Tentang Kebudayaan Indonesia

Sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian Indonesia yang diklaim oleh Malaysia.

Sebut saja Reog Ponorogo, Jaran kepang, Angklung, Gamelan, Rendang, Rasa Sayange, dan

masih banyak lagi hingga terakhir, Batik dari Jawa dan Tari Pendet yang jelas-jelas produk

budaya local rakyat Bali ikut pula diklaim. Klaim Malaysia terhadap budaya dan kesenian

Indonesia sudah terjadi sejak awal kemerdekaan Malaysia dan menjadi salah satu pemicu konflik

antara kedua negara serumpun. Kita tidak bisa menerima pernyataan seorang budayawan

Malaysia, yang mengatakan bahwa klaim yang dilakukan oleh Malaysia merupakan usaha untuk

melindungi khasanah budaya Melayu dari klaim barat. Negara-negara Eropa memang sangat

tertarik dengan eksotika budaya Indonesia. Namun tidak berarti seni dan budaya Indonesia

diklaim menjadi milik Malaysia.  Tentu saja kita tidak setuju dengan pernyataan itu. Batik dan

Tari pendet misalnya. Jelas merupakan produk yang berasal dari Indonesia. Maka pemerintah

wajib melindungi dari klaim negara manapun. Apa bedanya direbut Malaysia atau negara

Eropa?. Untungnya Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf

atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery

Chanel.

Dibidang politik, Indonesia-Malaysia negara serumpun tetangga paling dekat yang

seharusnya saling mendukung dan mengisi kekurangan justru tidak pernah luput dari

konflik. Lihat saja sejak Soekarno menjadi Presiden, aksi ganyang Malaysia menjadi salah satu

bukti sejarah ketidak harmonisan hubungan kedua negara. Indonesia beranggapan bahwa negara

boneka bentukan Inggris itu adalah sebatas semenanjung Malaya (bekas jajahan Inggris) tidak

meliputi negeri Sabah yang berada di Kalimantan bagian utara.

Sektor Seni dan Budaya menjadi saasaran empuk potensi konflik. Konflik yang

pemicunya dari sektor tersebut muncul karena keragaman budaya leluhur kedua negara.

Mengingat Malaysia adalah negara dengan budaya luhur melayu, begitupun Indonesia,

khususnya di Indonesia bagian barat. Karena budaya ini dimiliki oleh kedua negara yang

berbeda, maka kebudayaan yang berada di wilayah ini disebut budaya daerah abu-abu ; gray

area. Budaya yang berada di wilayah ini bisa dimiliki oleh kedua belah pihak, tapi tidak boleh

diklaim secara sepihak.

Yang kerap terjadi, khususnya akhir-akhir ini adalah seringanya terjadi klaim di satu

pihak saja. Tidak hanya itu, seringkali juga Malaysia mengklaim budaya-budaya yang tidak

berada di daerah abu-abu atau yang secara sangat jelas merupakan milik Indonesia, misalnya saja

Tari pendet dan Batik Indonesia. Sangat banyak hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam hal

budaya ini karena jika kita bicara tentang budaya suatu negara, maka secara tidak langsung kita

tengah berbicara tentang identitas negara tersebut yang jelas berhubungan langsung dengan

kedaulatan negara yang bersangkutan.

Klaim Malaysia terhadap Batik dan Tari pendet seharusnya bisa menjadi pelajaran dan

peringatan bagi kita semua. Sepertinya kita kurang bersyukur, kita punya begitu banyak kesenian

dan tarian yang mempesona, namun tak banyak dari kita yang mau mempelajari dan

melestarikan. Bahkan kita sepertinya bangga kalau seni dan budaya kita dipelajari dan kemudian

ditampilkan/dipertontonkan oleh bangsa lain. Papan-papan penunjuk jalan di Jogja khususnya

dan dikota-kota di Jawa pada umumnya banyak yang dituliskan dalam aksara Jawa, tapi berapa

banyak anak muda sekarang yang bisa membaca dengan huruf Jawa?.

Pemerintah sudah tentu harus bertindak cepat, tegas, namun juga smart. Berbagai produk

kesenian dan budaya kita musti didata dan didaftarkan hak miliknya agar tak perlu lagi

kecolongan di kemudian hari. Selanjutny kita juga tidak boleh kalah dalam memasarkan

Indonesia di luar negeri. Harapannya, tentu saja agar orang asing lebih tertananm dengan seni

dan budaya kita. Kalau seni dan budaya itu sudah dikenal bangsa asing, maka sulit bagi bangsa

lain untuk mengklaim seni dan budaya tersebut sebagai miliknya.

Dari kasus tersebut tentu kita sebagai bangsa religi harus selalu mengambil hikmahnya.

Dari kasus pencurian budaya semacam ini ternyata juga mampu menggugah semangat untuk

mempertahannkan seni dan budaya kita. Sejak batik diklaim negara Malaysia, sekarang banyak

instansi yang mewajibkan penggunaan seragam batik di hari-hari tertentu. Anak muda pun tak

lagi canggung mengenakan batik karena desain dan motifnya terus berkembang menyesuaikan

zaman. Bangsa Indonesia yang di luar negeri pun kian bersemangat dalam mempromosikan

budaya Indonesia kepada orang asing. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya cuek dengan

budaya Indonesia, kini menjadi lebih peduli terhadap nasionalisme dan identitas bangsa ini. Apa

yang ditunjukkan Malaysia seharusnya bukan hanya membuat rasa nasionalisme kita tersentil.

Tapi nasionalisme yang produktif, seperti digagas mendiang Nurcholish Madjid. Menurut Cak

Nur, kita harus menjadi bangsa yang lebih kompetitif dengan karya-karya nyata yang

mengharumkan bangsa. Menurutnya, SDM kita misalnya, harus terus dibenahi sehingga

setidaknya bisa melebihi Malaysia. Dulu mereka mengimpor guru, kini kita hanya mampu

mengekspor tenaga kasar sehingga telah terjadi perbudakan di zaman modern. Kita harus marah,

tetapi setelah marah reda, kita harus bekerja keras untuk mengatasi ketertinggalan kita dari

Malaysia.

Batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam

Daftar Representatif sebagai Budaya Tak  Benda Warisan Manusia (representative list of the

intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth

session of the intergovernmental committee)tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi.

Sedangkan Tari Pendet seperti yang penulis utarakan diatas bahwa Malaysia telah mengakui Tari

Pendit milik bangsa Indonesia. Selanjutnya bagai mana bangsa Indonesia mampu

mempertahankan seni budaya tersebut?. Dibawah ini akan penulis sampaikan beberapa strategi

yang dapat dipakai sebagai acuan untuk mempertahankan senibudaya adiluhung bangsa

Indonesia.

  

2.2  Mempertahankan Identitas Budaya Bangsa

UUD 1945 amandemen ke empat, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi:

"Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai

budayanya." 

Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama,

"Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua berbunyi,"…

di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari

kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan

masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya"  merupakan cerminan

pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-

masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah

sebagai  kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan

sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa. 

Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi

kekuatan dan semangat bagi anak bangsa untuk tetap mau mempelajari, menghayati,

mengamalkan, dan mempertahankan seni budaya bangsa, khususnya pemerintah secara

institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk menyelamatkan dan

mempertahankan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan

semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi

jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya, termasuk budaya, bahasa dan

sejarahnya. Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan selanjutnya publikasi

identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga

saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah.

Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia

secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang paling parah

Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun

permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, belum tentu

permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,

misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan.

Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.

Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam bentuk langkah

khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong pemanfaatanteknologi informasi

dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh

khazanah kebudayaan nasional. Itu dengan melibatkan semua pihak se-nusantara, serta

membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi untuk

keperluan yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi senibudaya nasional Indonesia. Strategi

lainnya dapat berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-

inspirasi dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia

atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi kemajuan peradaban

dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif. Mengingat

bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan

upaya penyaringan budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.

Salah satu dimensi lain yang tidak bisa diabaikan dalam upaya mengusung kembali

khasanah identitas senibudaya bangsa adalah dunia pendidikan. Karena ancaman globalisasi

yang paling mendasar adalah globalisasi budaya yang berdampingan dengan globalisasi

ekonomi, maka strategi yang harus diutamakan adalah strategi budaya yang berbasis penguatan

pendidikan. Sumberdaya manusia yang peka terhadap identitas budaya, serta berdaya saing tiggi

juga berwawasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dibangun melalui pendidikan.

Pendidikan, baik formal maupun non-formal adalah bagian dari kebudayaan dan

kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati. Dalam pandangan Daoed Joesoef kegiatan

pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah diperbarui ini, masyarakat

dibantu untuk tidak hanya menjadi sekadar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan

sebagai pengembang budaya. Dalam hubungannyadengan meneguhkan identitas kebudayaan,

pendidikan merupakan wahana sentral dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi

kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda.

Wacana tersebut dalam tahap implementasinya mengharuskan pendidikan yang

diterapkan bersumber dari bentuk kurikulum yang sarat muatan atau nilai penguatan identitas

budaya nasional. Ini berarti kurikulum yang bermuatan budaya nasional akan sama antara satu

daerah yang satu dengan daerah yang lain, tetapi akan berbeda ketika menyangkut identitas

budaya lokal masing-masing. Selain membagi dan berbagi pengetahuan mengenai adat istiadat

lokal dan nasional, nilai-nilai budaya bersama juga harus disampaikan dalam proses pendidikan

yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional. Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal

maupun nasional dan pemahaman mengenai nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses

pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia

yang bangga terhadap tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada

tanah airnya yang kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga

kedaulatan, kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya, dalam hal ini adalah

identitas kebudayaan nasional.

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Dari uraian penulis diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana yang mungkin tidak

akan dapat diuraikan dengan kalimat yang panjang. Namun, ada baiknya kita sedikit menyadari

bahwa kebijakan konkrit sebagaimana yang telah dijelaskan di atas medesak untuk dilakukan

agar bangsa Indonesia tidak terjerembab ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya, seni dan

budaya kita diklaim oleh Malaysia atau bahkan negara lain. Strategi kebudayaan yang monolitik

mesti dipudarkan oleh upaya pemerintah memfasilitasi serta mengadvokasi setiap hak sosial-

budaya yang dimiliki kebudayaan lokal. Jika ingin menyelamatkan/mempertahankan 'jati diri

bangsa', maka strategi kebudayaan yang usang perlu dibuang, karenanya, politik kebudayaan

perlu direartikulasi dan revitalisasi dalam nuansa baru yang lebih memberdayakan, bukan

menentukan, tidak jatuh pada logika hasrat materialistik-kapitalistik semata.

Terkait dengan pendidikan, pemerintah hendaknya merancang sebuah kurikulum yang

sarat muatan budaya lokal dan nasional yang diakui dan dijadikan identitas bangsa.

Pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari

kurikulum sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada, mulai dari tingkat

pendidikan yang paling rendah sampai dengan perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”.  Sinar Harapan.  27 Mei 2004.

Dewantara, K.H.   Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.

Husamah. “Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia, 12 Juli 2008.

Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.

Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.  2002.

Kompas,  31 Agustus 2009.

Mahayana, MS. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia.

Magelang: Indonesiatera. 2001.

Rahayu, A. Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata. 2006.

Sugiarti, dan Trisakti Handayani.  Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press.

1999.

Suseno, FM.  Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Swasono, MFH.  Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi: makalah Kongres

Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.

Rochaeti, E. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.