Upload
greenakses
View
68
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sosekbudkesmas
Citation preview
5
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
KEPENDUDUKAN
Pendahuluan
Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam
pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari
Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa
pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali
menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa
meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun
1990. Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun
2000. Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada
tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5 - 1).1
Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat
Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang
terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas
pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat
kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan
ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam
hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun
1990-an) pada TABEL 5 - 1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan
penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat
dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah
penduduknya tetap statis.
1 Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar
459.557 jiwa (kota) dan 1.857.659 jiwa (desa). Tambahan sebesar 566.403 jiwa penduduk kota dan
1.717.478 jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.
Metropolitan di Indonesia
126
TABEL 5 - 1 Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan Kota/Desa di Indonesia Tahun 1980, 1990 dan 2000 Tahun Kota Desa Jumlah % Kota
Jumlah Penduduk
1980 32.845.829 114.485.994 147.331.823 22,3
1990 55.389.171 123.805.052 179.194.223 30,9
2000 86.406.587 119.436.609 205.843.196 42,0
Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%)
1980-1990 5,23 0,78 1,96
1990-2000 4,58 -0,37 1,43
Catatan: (1) Jumlah penduduk kota tidak memasukkan penduduk yang
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma,
penduduk yang tinggal di atas perahu, dll.) yang memiliki
jumlah sekitar 158 ribu pada tahun 1980 dan 127 ribu pada
tahun 1990. Jumlah penduduk tersebut pada tahun 2000 tidak
diketahui.
(2) Tingkat pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus P(t)=P(0)ert
Sumber: Biro Pusat Statistik (1991), Badan Pusat Statistik (2001)
Bagian ini akan menjelaskan secara singkat karakteristik urbanisasi di Indonesia
berdasarkan kependudukannya yang dipusatkan pada lima kota besar yang secara umum
didefinisikan sebagai kawasan metropolitan antara lain: (1) Mebidang yaitu Kawasan
Metropolitan Medan yang meliputi Kota Medan dan sekitar Kota Binjai dan Kabupaten
Deli Serdang; (2) Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, meliputi Ibukota Jakarta dan
kawasan sekitar Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten
Tangerang, dan Kota dan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur; (3) Kawasan
Bandung Metropolitan meliputi Kota dan Kabupaten Bandung dan sebagian dari
Kabupaten Sumedang; (4) Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila yang terdiri dari
Kota Surabaya sebagai pusat, kawasan sekitar meliputi Kabupaten Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, dan juga Kota Mojokerto; (5) Kawasan Metropolitan
Mamminasata meliputi Kota Makassar dengan Kabupaten di sekitarnya, yaitu Maros,
Takalar dan Gowa (dulunya bernama Sungguminasa). Tulisan ini akan melihat pola
urbanisasi, yang menekankan pada pengelompokan kembali2 beberapa karakteristik
sosial ekonomi penduduk dalam ruang lingkup metropolitan dan beberapa diskusi
mengenai bagaimana terjadinya perubahan pola tersebut.
Definisi Kota
Bagaimanapun juga perlu kehati-hatian dalam menganalisis pola pertumbuhan penduduk
kota. Ada dua alternatif definisi kota di Indonesia. Pertama adalah definisi secara
administratif, yaitu berdasarkan unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut
Kotamadya yang setara dengan status hukum pemerintahan kota. Kedua adalah secara
2 Pendekatan ini digunakan karena kurangnya data rinci mengenai penduduk untuk menghitung
perubahan penduduk berdasarkan demografi-pertumbuhan alami (perbedaan antara kelahiran dan
kematian) dan net-migrasi (perbedaan antara migrasi masuk dan keluar).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
127
fungsional, yaitu setiap unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan
status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya.
Ciri utama dalam definisi fungsional yang digunakan oleh BPS yaitu status
desa/kelurahan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya
penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan
kota. Pengelompokan kembali (secara jelas antara desa dan kota) menjadi faktor utama
dalam menjelaskan pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang cepat, yaitu
membandingkan 30-35 persen dari pertumbuhan kota pada tahun 1990an dengan jumlah
migrasi desa-kota sebesar 20-25 persen (World Bank 2003).
TABEL 5 - 2 Perubahan Definisi Kota Sebelum dan Sesudah Podes 2000
Kepadatan Penduduk
(per Km2)
Persentase Rumah
Tangga Pertanian
Nilai terhadap
Jumlah Fasilitas Umum
1980-
1990
2000-
Sekarang Nilai
1980–
1990
2000–
sekarang Nilai
Keter-
sediaan
Keter-
jangkauan
Nilai
<500 <500 1 >95 70,0 1 0 0 2
500-999 500-1249 2 91-95 50-69 2 1 1 3
1000-1499 1250-2499 3 86-90 30-49 3 2 2 4
1500-1999 3500-3999 4 76-85 20-29 4 3 3 5
2000-2499 4000-5999 5 66-75 15-19 5 4 4 6
2500-2999 6000-7499 6 56-65 10-14 6 5 5 7
3000-3499 7500-8499 7 46-55 5-9 7 6 6 8
3500-3999 8500+ 8 36-45 5 - 8 7 7 9
4000-4999 9 26-35 9 8 8 10
5000+ 10 25- 10 9 9
Catatan: Definisi Kota tahun 2000 berdasarkan data PODES 2000
(a) dapat digunakan dari tahun 1980 sampai 1990-an;
(b) dapat digunakan sejak tahun 2000
Tipe-tipe fasilitas publik:
(a) Skor hanya untuk ketersediaan: SD, SMP, SMA, rumah sakit, klinik ibu dan anak, pusat kesehatan, jalan yang dapat digunakan kendaraan roda 3 atau 4,
kantor pos, pasar permanen, pusat perbelanjaan, bank, pabrik, restoran, pelayanan
umum listrik dan jasa penyewaan.
(b) Skor untuk keterjangkauan (1 atau 0): TK (1 jika ≤ 2,5 Km), SMP dan SMA ((1
tiap ≤ 2,5 Km), pasar (1 jika ≤ 2Km), bioskop (1 jika ≤ 5 Km), pertokoan (1 jika
≤ 2 Km), rumah sakit (1 jika ≤ 5 Km), hotel/bilyard/diskotek/salon (1 jika
tersedia), % rumah tangga yang memiliki telepon (1 jika ≥ 8%), dan % rumah
tangga yang menggunakan listrik (1 jika ≥ 90%)
Sumber: Definisi awal berasal dari Sigit dan Sutanti 1983 dalam Peter Gardiner 1993 dan
juga pada BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 1990an. Definisi berdasarkan PODES
2000 didapatkan dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2000an.
Perubahan definisi fungsional BPS – menganggap status kota berdasarkan sistem
penilaian yang melibatkan kriteria kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pertanian
dan jumlah fasilitas kota – dapat dilihat pada TABEL 5 - 2. Definisi kota fungsional yang
dikembangkan pada dekade 1970-an diterapkan pertama kali secara nasional pada
Sensus Penduduk tahun 1980 dan dipertahankan sampai tahun 1990an. Perubahan yang
Metropolitan di Indonesia
128
signifikan diperkenalkan berdasarkan PODES (Potensi Desa) 2000.3 Definisi terkini
sangat berbeda dengan definisi sebelumnya dalam hal isi (walaupun metodologi yang
digunakan, indeks komposit dan skor masih tetap sama). Berdasarkan definisi baru
tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk desa meningkat secara signifikan dan proporsi
rumah tangga pertanian menurun. Definisi baru juga memperkenalkan perubahan pada
jenis fasilitas publik dan pada apa yang diukur. Definisi awal hanya mempertimbangkan
ketersediaan sebagai ukuran, sementara definisi terkini mempertimbangkan akses yang
kebanyakan diukur berdasarkan jarak capai.
Sebagai contoh, perhitungan berdasarkan data pada tingkat desa/ kelurahan
menunjukkan bahwa perubahan pada Jabotabek dan Metropolitan Bandung selama tahun
1980-an telah berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan jumlah penduduk di
kawasan metropolitan. Setiap tahun penduduk kota di Jabotabek dan Metro Bandung
masing-masing tumbuh sebesar 5,8 persen dan 4,8 persen dan jumlah penduduk desa
menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen. Di dalam
kawasan kota inti, pertumbuhan penduduk per tahun pada dua kawasan metropolitan
tersebut masing-masing adalah sebesar 2,3 persen dan 1,6 persen, sementara
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas meningkat lebih tinggi yaitu
sebesar 7,9 persen di Jabotabek dan 5,2 persen di Metro Bandung sehingga masing-
masing berkontribusi sebesar 41 persen dan 31 persen dari seluruh pertumbuhan
penduduk di kawasan metropolitan tersebut (Gardiner 1993).
TABEL 5 - 3 Dekomposisi Pertumbuhan Penduduk di Jabotabek dan Metropolitan
Bandung tahun 1980 – 1990 Jabotabek Metro Bandung
Jumlah Penduduk
(ribu jiwa)
Jumlah Penduduk
(ribu jiwa) Kawasan
1980 1990
Tingkat
Pertumbuhan
(%/th) 1980 1990
Tingkat
Pertumbuhan
(%/th)
Yang terdata
Kota 7.337 13.050 5,8 2.063 3.322 4,8
desa 4.558 3.946 (1,4) 2.068 1.987 (0,4)
Total 11.895 16.996 3,6 4.131 5.309 2,5
Kawasan stabil
1980 Kota 7.337 9.220 2,3 2.063 2.411 1,6
Perluasan 1.730 3.830 7,9 544 911 5,2
1990 Kota 9.067 13.050 3,6 2.607 3.322 2,4
Desa 2.828 3.946 3,3 1.524 1.987 2,7
Sumber: Peter Gardiner (1993), berdasarkan analisis dari data-data tahun 1980 dan 1990 pada
tingkat desa yang menjelaskan perubahan-perubahan nama, kode dan batas wilayah.
Pentingnya pengelompokan dalam menghitung pertumbuhan penduduk kota tidak
dapat diabaikan, khususnya di Pulau Jawa yang pemerintah dan kegiatan ekonominya
sangat berperan dalam konversi guna lahan dan untuk kepentingan pengelompokan yang
3 PODES (Potensi Desa) dilakukan untuk mempersiapkan tiga sensus utama yaitu. Sensus Penduduk
pada tahun yang berakhiran 0. Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 3. dan
Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 6.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
129
lain. Pengelompokan tersebut memberi kesan bahwa urbanisasi mempercepat peran
parameter demografi, pertumbuhan alami dan migrasi dalam pertumbuhan penduduk
metropolitan yang akan dikelompokkan dan dikembangkan kembali.
Pola Permukiman Penduduk dan Pertumbuhan Kota
Pola ekologi urbanisasi di Indonesia ditunjukkan oleh perkembangan Kawasan
Metropolitan Jabodetabek yang semakin besar. Walaupun pada awalnya terlihat seperti
pola konsentrik4, tetapi belakangan ini perkembangan pergerakan penduduk
menunjukkan fenomena seperti pada teori kombinasi antar sektor5 dan pola konsentrik
6,
sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan
pengembangan wilayah dan jalur transportasi. Secara demografis, ciri utama kota-kota
besar di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang didefinisikan untuk
kawasan inti kota yang sebagian besar proporsi guna lahan pada kawasan tersebut
dimanfaatkan terutama untuk, atau mengalami perubahan, dari permukiman menjadi
non-permukiman khususnya untuk kegiatan komersial; dan kawasan pinggiran kota
digunakan sebagai perluasan permukiman penduduk. Kawasan inti dicirikan dengan
berbagai faktor antara lain penurunan penduduk absolut, tingkat migrasi keluar yang
tinggi, sedangkan kawasan pinggiran kota dicirikan dengan tingkat migrasi ke dalam
yang tinggi dan sebagai akibatnya adalah meningkatnya jumlah penduduk absolut.
Walaupun akhir-akhir ini (khususnya setelah krisis moneter) muncul perubahan ke
arah jentrifikasi7 pada kawasan inti di beberapa kawasan metropolitan melalui
peningkatan pembangunan apartemen dan town house yang sering kali dengan standar
kenyamanan internasional, tetapi hal tersebut tidak akan menyebabkan perubahan besar
pada pertumbuhan penduduk di pusat kota karena pembangunan di pusat kota tersebut
seringkali tidak menggantikan permukiman kumuh (untuk masyarakat miskin)
sebelumnya yang lebih padat; dan karena pembangunan di kawasan pusat kota tersebut
juga memerlukan fasilitas, bukan permukiman yang cukup luas, seperti pusat
perbelanjaan dan supermarket mewah.
4 Berdasarkan Ernest Burgess tahun 1925 dengan judul the pattern of growth of American cities
(Chinoy 1967, hal. 279). 5 Dikemukakan oleh Homer Hoyt tahun 1939 yang memodifikasi rencana Burgess dengan
memfokuskan pada pergerakan-pergerakan antar sektor yang didesak dari arah luar dengan mengikuti
jaringan jalan utama (Chinoy 1967: 279) 6 Dikembangkan oleh Edward Ullman dan Chauncey Harris yang mengidentifikasi pertumbuhan
khusus di daerah inti yang mengalami perubahan karena fungsinya seperti komersial, industri ringan,
industri berat, dan perluasan kawasan permukiman. 7 jentrifikasi (gentrification) adalah perubahan sosial ekonomi kawasan pusat kota karena berpindahnya
penduduk miskin digantikan oleh penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.
Metropolitan di Indonesia
130
TABEL 5 - 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan
Metropolitan Jabotabek Tahun 1990-2000
Jumlah Penduduk
(Juta jiwa)
Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km2) Kawasan Luas
(Km2) 1990 1995 2000 1990 1995 2000
JABOTABEK 6.174,7 17,10 20,16 21,19 2,769 3,265 3,432
Core 662,0 8,22 9,11 8,35 12,421 13,765 12,609
Jakarta Selatan 145,7 2,03 2,04 1,78 13,922 14,008 12,245
Jakarta Timur 187,7 2,01 2,38 2,35 10,701 12,698 12,509
Jakarta Pusat 48,3 1,16 0,98 0,87 24,021 20,267 18,108
Jakarta Barat 126,2 1,67 2,15 1,90 13,246 17,011 15,089
Jakarta Utara 154,1 1,35 1,56 1,44 8,785 10,140 9,321
Inner Zone 2.373,8 5,43 7,28 9,44 2,289 3,065 3,975
Bogor 1.020,3 2,28 2,48 3,58 2,235 2,435 3,507
Bekasi 606,1 1,42 2,14 2,71 2,345 3,526 4,471
Tangerang 747,4 1,73 2,65 3,15 2,317 3,551 4,212
Outer Zone 3.138,9 3,44 3,77 3,41 1,097 1,201 1,085
Bogor 2.164,2 1,73 2,22 1,83 798 1,024 843
Bekasi 437,9 0,68 0,62 0,62 1,560 1,416 1,422
Tangerang 536,8 1,03 0,93 0,96 1,925 1,742 1,787
Catatan: Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan
data survey penduduk desa tahun 1995
Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)
Mamas dan Komalasari (akan datang)8 membagi Kawasan Metropolitan
Jabodetabek menjadi core, inner dan outer fringe, serta menunjukkan bahwa kawasan
fringe yang sebagian besar masih merupakan kawasan perdesaan masih berada di dalam
kawasan metropolitan yang besar dan menunjukkan bahwa perubahan ke arah kota
sedang berjalan atau baru akan dimulai9. Dinamika perubahan kawasan di core
Jabotabek yang akan datang dapat menjadi indikasi pola pertumbuhan dan penurunan
jumlah penduduk di kawasan metropolitan di Indonesia. Pertumbuhan dan penurunan
penduduk di kawasan core Jakarta menunjukkan pola konsentrik/memusat dengan
Jakarta Pusat sebagai the inner core dan kawasan lain di dalam Jakarta sebagai lapisan
8 Sangat disayangkan pekerjaan Mamas dan Komalasari ini tidak dapat diulangi untuk tulisan ini karena
memerlukan pemakaian data pada tingkat desa yang tidak bisa didapatkan. 9 Sebagai ibukota negara. yang memiliki keistimewaan dibandingkan kota-kota lain. peran Jakarta di
dalam negara maupun di dunia internasional menjadi menarik untuk diteliti seperti yang telah dilakukan
oleh T. Firman (1998. 1999 dan 2004).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
131
pertama yaitu outer zone, bergerak ke luar dari Jakarta Pusat sebagai inner core ke
daerah sekitarnya yang disebut outer zone disebabkan kepadatan permukiman yang
rendah. Di Jakarta Pusat, kepadatan penduduk mencapai 18 ribu jiwa/km2 sedangkan di
kawasan outer fringes, khususnya daerah Bogor, kepadatan penduduknya masih kurang
dari 1000 jiwa/km persegi (TABEL 5 - 4).
TABEL 5 - 5 Rata-rata dari Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Alami dan Migrasi
di Jabotabek Tahun 1990-1995 dan 1995-2000 Rata-Rata
Pertumbuhan Penduduk
(%)
Rata-rata
Pertumbuhan Alami
(per 000)
Rata-rata
Net-migrasi
(per 000) Kawasan
1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000
JABOTABEK 3,35 1,00 1,82 16,9 6,1 -7,4
Core 2,08 -1,74 16,1 16,0 3,5 -34,1
Jakarta Selatan 0,12 -0,30 15,5 15,6 -14,3 -44,4
Jakarta Timur 3,48 -2,23 17,0 16,9 14,4 -19,9
Jakarta Pusat -3,34 -2,37 13,7 14,0 -50,7 -37,8
Jakarta Barat 5,13 -1,67 15,6 15,8 28,6 -41,2
Jakarta Utara 2,91 -1,74 17,3 15,5 9,4 -33,0
Inner Zone 6,01 5,33 19,7 17,6 30,8 28,2
Bogor 1,73 7,56 15,9 17,1 0,5 44,0
Bekasi 8,50 4,86 24,9 17,8 42,0 24,4
Tangerang 8,91 3,47 19,5 17,8 50,0 13,5
Outer Zone 1,84 -2,01 22,8 18,8 - 5,4 -40,2
Bogor 5,12 -3,80 23,9 19,2 20,3 -62,0
Bekasi -1,91 0,07 18,8 16,9 -39,0 -16,1
Tangerang -1,98 0,52 23,3 19,6 -44,3 -14,5
Catatan : Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data Survey Penduduk
Tahun 1995. Tanda positif menyatakan migrasi masuk dan tanda negatif menyatakan migrasi
keluar.
Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)
Untuk mengetahui penyebab pertumbuhan penduduk, tulisan ini melihat komponen-
komponen pertumbuhan penduduk tersebut dari pertumbuhan alami dan net-migrasi
(TABEL 5 - 5). Perubahan pola pertumbuhan penduduk penting untuk dicatat. Secara
umum, tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek pelahan-lahan menurun secara
signifikan sepanjang dekade 1990-an dari 3,35 persen per tahun selama paruh pertama
menjadi hanya 1 persen selama paruh kedua sampai akhir abad ini. Penurunan tingkat
pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif
(selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara
signifikan dari 6,1persen (positif) selama paruh pertama menjadi -7,4 persen (negatif)
selama paruh kedua dekade 1990-an. Dengan kata lain, secara umum Jabotabek ditandai
Metropolitan di Indonesia
132
dengan jumlah migrasi masuk selama paruh pertama dari dekade terakhir yang kemudian
ditandai dengan migrasi keluar pada paruh akhir dekade tersebut.
Pada tingkat lokal, perubahan pertumbuhan penduduk terjadi karena beberapa
alasan. Pada kawasan core Jakarta, peningkatan harga lahan untuk kegiatan komersial
dan permukiman mewah seperti mall, bangunan-bangunan perkantoran bertingkat, dan
apartemen, menggantikan villa dan rumah tinggal yang hanya satu lantai, yang
menyebabkan pertumbuhan negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka migrasi
keluar. Dengan kata lain, pada kawasan luar kota (outer fringe) Jabotabek, khususnya
Bekasi dan Tangerang, orang-orang membangun kawasan industri pada pertengahan
pertama 1990-an yang menyebabkan angka migrasi keluar tinggi.
Di antara dua kawasan ekstrim Jabotabek yaitu kawasan core dan outer, penduduk
di inner zone akan meningkat karena banyaknya migrasi yang masuk ke kawasan
tersebut. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di inner zone perlahan-
lahan menurun, dari 6,01 persen menjadi 5,33 persen per tahun selama pertengahan awal
dan akhir tahun 1990-an. Penurunan ini diakibatkan oleh seluruh penurunan pada
pertumbuhan alami dan net-migrasi.
Gambaran pertumbuhan penduduk di Jabotabek tersebut menunjukkan bahwa
sebagai sebuah kawasan metropolitan, pertumbuhan penduduk di Jabodetabek cenderung
didorong oleh kekuatan pasar dan pemanfaatan lahan. Harga dan guna lahan
mempengaruhi tingkat migrasi yang masuk dan keluar.
Metropolitanisasi – Lima Kawasan Metropolitan
Tahun 1980-an dan paruh pertama dekade 1990-an (sampai krisis ekonomi) merupakan
periode pengembangan metropolitan secara besar-besaran, khususnya di Pulau Jawa.
Secara demografis, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk yang relatif
cepat di beberapa kota utama, lebih cepat lagi di kota-kota besar – Jabotabek (sekarang
Jabodetabekjur), Surabaya dan Bandung – jika dibandingkan dengan daerah lain (baik
desa maupun kota) yang berada di dalam kawasan tersebut. Cepatnya perluasan kawasan
perkotaan (urbanized area) ke kawasan-kawasan yang berdekatan merupakan salah satu
ciri proses tersebut, yang berarti bahwa reklasifikasi merupakan faktor yang signifikan
dalam menentukan pertumbuhan kota secara keseluruhan. Net-migrasi juga merupakan
penyebab meluasnya kawasan metropolitan ini. Bagaimanapun juga, sebagian besar
migrasi sebenarnya terjadi di dalam metropolitan itu sendiri yaitu penduduk yang
bergerak keluar dari kota induk (core) sekarang ke daerah-daerah lain di pinggiran atau
perbatasan kota.
Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek penting yang terjadi di Kawasan
Metropolitan Jabotabek menjadi ciri perubahan yang juga terjadi pada kawasan-kawasan
metropolitan lain. Perubahan Jabotabek menunjukkan sebuah kombinasi tiga pola
pertumbuhan kota – konsentrik, sektoral dan banyak pusat – dimulai dengan sebuah
pusat atau core yang terdiri dari kota utama dan dikelilingi daerah-daerah yang sedang
mengalami proses urbanisasi.
Lima Kawasan Metropolitan yang menarik untuk diteliti antara lain: (1) Mebidang.
yang terdiri dari Kota Medan dan Binjai serta Kabupaten Deli Serdang; (2)
Jabodetabekjur terdiri dari DKI Jakarta dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi,
serta Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; (3) Bandung Raya terdiri dari
Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung dan Sumedang; (4)
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
133
Gerbangkertosusila terdiri dari Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo,
Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan; (5) Mamminasata terdiri dari Kota
Makassar dan Kabupaten Takalar, Goa dan Maros.
TABEL 5 - 6 Pertumbuhan Penduduk Desa di beberapa Kawasan Metropolitan
Jumlah Jumlah Penduduk Kota (%) Kawasan
Metropolitan 1995 1999 2005 1995 1999 2005
Jumlah Penduduk Desa (ribu)
Mebidang 825 825 827 30,4 32,5 41,8
Jabodetabekjur 1,762 1,829 1,847 39,9 39,9 56,0
Bandung Raya 855 859 863 30,6 31,0 47,7
Gerbangkertosusila 1,951 1,949 1,949 22,7 22,5 40,0
Mamminasata 447 448 473 36,9 35,0 37,6
Total Penduduk (juta)
Mebidang 3,3 3,6 4,2 65,2 66,5 76,3
Jabodetabekjur 18,8 20,6 23,9 69,8 67,4 79,0
Bandung Raya 5,9 6,4 7,3 53,6 52,0 67,7
Gerbangkertosusila 7,2 7,5 8,1 48,5 48,3 63,3
Mamminasata 2,1 2,1 2,2 60,8 57,7 61,5
Catatan: Mebidang terdiri dari: Kota Medan dan Binjai; Kabupaten: Deli Serdang
Jabodetabekjur terdiri dari: Semua Kota di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok Tangerang,
dan Bekasi; Kabupaten: Bogor, Tangerang, Bekasi dan Cianjur.
Bandung Raya terdiri dari: Kota Bandung dan Cimahi; Kabupaten: Bandung dan Sumedang
Gerbangkertosusila terdiri dari: Kota Surabaya dan Mojokerto; Kabupaten: Sidoarjo,
Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan
Mamminasata terdiri dari: Kota Makassar; dan Kabupaten: Takalar, Goa dan Maros.
Jumlah Penduduk dari data Podes yang didapat dari kepala desa, unit data lebih kecil dari
penelahan khusus oleh IHS berdasarkan data dari BPS Podes (Potensi Desa) dalam beberapa
tahun.
Data Podes (Potensi desa) BPS saat ini memungkinkan untuk dianalisis dengan
memperhatikan sejarah perkembangan secara terbatas dalam memahami proses
urbanisasi dengan memfokuskan pada tiga periode terakhir, yaitu tahun 1995, 1999 dan
200510. Dengan menggunakan delineasi desa, desa-desa yang dapat dikelompokkan
sebagai kota dan penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut diidentifikasi sebagai
dasar untuk menghitung persentase desa-desa yang menjadi kota dan persentase jumlah
penduduk kota yang tinggal di desa tersebut (TABEL 5 - 6).
10 Seperti penjelasan sebelumnya. Podes dilibatkan dalam persiapan sensus utama: Podes tahun 1995
sebagai persiapan Sensus Pertanian tahun 1996. Podes tahun 1999 sebagai persiapan Sensus Penduduk
tahun 2000 dan Podes tahun 2005 untuk Sensus Ekonomi tahun 2006. Pemakaian tahun dalam Podes
oleh BPS berdasarkan tujuan tertentu. Tahun yang menjadi referensi disini menggambarkan tahun
pengumpulan data
Metropolitan di Indonesia
134
Pembahasan selanjutnya perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, tanpa
kecuali, proses urbanisasi secara ekologis di lima kawasan metropolitan jauh lebih
lambat dibandingkan dengan perkembangan demografisnya. Perluasan kawasan
metropolitan menunjukkan bahwa kecuali Jabodetabekjur, kawasan metropolitan lainnya
secara ekologis masih lebih berciri desa daripada kota. Contohnya, hanya kurang dari
setengah desa-desa tersebut sudah dikelompokkan menjadi kota. Dengan kata lain, dari
perspektif kependudukan, kecenderungan untuk mengkategorikan penduduk desa-desa
tersebut menjadi penduduk kota secara umum meningkatkan tingkat urbanisasi secara
tajam. Dari lima kawasan metropolitan tersebut, Mebidang dan Jabodetabekjur memiliki
lebih dari 3 dari 4 rumah tangga penduduk di desa yang berciri kota (urban village),
sedangkan tiga kawasan metropolitan lainnya antara 6 dan 7 dari 10 penduduk yang
tinggal di desa berciri kota.
Kedua, proses urbanisasi menjadi semakin cepat dan terlihat jelas bahkan dalam
periode pendek selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2005.
Kecenderungan ini terjadi meskipun definisi desa yang menjadi kota tersebut lebih ketat
(lihat TABEL 5 - 2). Kecenderungan ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekologi tetapi
juga dari sisi demografi. Pada lima kawasan metropolitan tersebut, wilayah desa berciri
kota serta jumlah penduduknya meningkat secara signifikan selama lima tahun terakhir
dalam abad ini dibandingkan abad sebelumnya sedangkan secara anekdot dirasakan
bahwa ketika bergerak keluar dari pusat kota dan melihat iklan-iklan untuk komplek
perumahan, dimana proses urbanisasi terjadi. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa
kecenderungan percepatan urbanisasi pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997
terus berlangsung dan tetap bertahan. Pada saat itu, krisis pertama kali mempengaruhi
dinamika sektor konstruksi yang menyebabkan pembuat kebijakan menjadi khawatir
akan dampak sosialnya berupa demonstrasi para pekerja yang di-PHK di jalan-jalan
Jakarta. Data ini menunjukkan adanya kemungkinan sektor konstruksi kembali menjadi
penggerak urbanisasi yang terjadi di semua kota-kota besar di negeri ini.
Kondisi pada tahun 2005 digambarkan oleh peta pada gambar-gambar di bawah.
Peta tersebut menunjukkan penyebaran desa berciri kota (urban village) dan desa
berpenduduk paling sedikit 2000 jiwa atau lebih di lima kawasan metropolitan.
Berdasarkan data kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kawasan
metropolitan terbesar berada di Pulau Jawa. Dari lima kawasan metropolitan yang
diteliti, terdapat tiga kawasan metropolitan besar yang terletak di Pulau Jawa–
Jabodetabekjur yang memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan metropolitan lain,
diikuti oleh Gerbangkertosusilo, dan Metropolitan Bandung – yang keempat adalah
Mebidang di Sumatera Utara, dan yang kelima adalah Mamminasata, dengan Kota
Makassar sebagai core-nya. Kawasan Metropolitan di Pulau Jawa lebih besar secara
ekologis (jumlah desa) dan secara demografis (jumlah penduduk). Jabodetabekjur
memiliki keistimewaan tidak hanya dalam cakupan wilayahnya tetapi juga dalam hal
jumlah penduduknya. Berdasarkan data Podes tahun 2005, Jabodetabekjur memiliki
jumlah penduduk sebanyak 23,9 juta jiwa11 sedangkan kawasan metropolitan terbesar
11 Angka penduduk dalam Podes didapatkan dari wawancara kepada kepala desa. Walaupun ada
kecenderungan dalam pengambilan data podes kurang sistematis. Namun hasilnya masuk akal untuk
membandingkan dengan proyeksi penduduk yang digunakan untuk SUSENAS (Survei Sosial-Ekonomi
Nasional).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
135
kedua, Gerbangkertosusila hanya memiliki 8,1 juta jiwa, yaitu kurang dari sepertiga
jumlah penduduk di Jabodetabekjur, dan Metropolitan Bandung dengan 7,3 juta jiwa.
Kawasan metropolitan di luar Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit,
dengan Penduduk Mebidang hanya sebesar 4,2 juta jiwa dan Mamminasata hanya
sebesar 2,2 juta jiwa (TABEL 5 - 6).12
Disamping itu, peta-peta tersebut juga menunjukkan koridor perkotaan, bermula
pada daerah inti yang berkembang menjadi lebih terbangun dan proses urbanisasi terus
meluas, biasanya perluasan itu mengikuti jaringan transportasi utama khususnya pada
jalan utama. Urbanisasi merupakan suatu bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan
ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya ditunjang dengan
pembangunan jalan-jalan arteri utama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Jabotabek yang
perkembangan kotanya terjadi di sepanjang koridor arteri timur – barat. Oleh karena itu,
jika pembangunan jalan arteri utama dibangun berdasarkan keputusan pemerintah maka
perkembangan perkotaan juga ditentukan secara langsung oleh pemerintah. Pihak swasta
dan pengembang merespon terhadap inisiatif-inisiatif tersebut dengan membangun
lingkungan perkotaan dan kawasan tertutup (enclave) berupa real estate baik yang
berskala besar maupun kecil. Pihak swasta membangun perumahan untuk golongan
ekonomi menengah ke atas dengan mengesampingkan masyarakat miskin. Masyarakat
miskin dengan sendirinya mengisi ruang-ruang antara yang tersisa baik yang legal
maupun ilegal.
GAMBAR 5 - 1 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan
Mebidang
12 Data SUSENAS 2004, proyeksi penduduk di lima wilayah metropolitan sebagai berikut: Mebidang
4.3 juta jiwa. Jabodetabekjur 25,3 juta jiwa. Metropolitan Bandung 7,8 juta jiwa.
Metropolitan di Indonesia
136
GAMBAR 5 - 2 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan
Metropolitan Jabodetabekjur
GAMBAR 5 - 3 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan
Metropolitan Bandung Raya
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
137
GAMBAR 5 - 4 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan
Metropolitan Gerbangkertosusila
GAMBAR 5 - 5 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan
Metropolitan Mamminasata
Metropolitan di Indonesia
138
Perbandingan pola kepadatan dan penyebaran desa-kota dan kota pada lima kota-
kota metropolitan ditunjukkan oleh TABEL 5 - 7 yang mengkombinasikan perbedaan
mencolok antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Kota-kota metropolitan di Pulau Jawa
biasanya lebih besar, seperti Jabodetabekjur, yang memiliki primacy rate13 yang besar
mengungguli kota-kota metropolitan lainnya. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak
hanya dalam arti wilayah ataupun karakteristik desa-kotanya, tetapi terutama dalam hal
penduduk. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena Pulau Jawa sejak dahulu memiliki
penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, sehingga
kota-kota metropolitan di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar.
Pembangunan di masa lalu pun cenderung terpusatkan pada wilayah barat Indonesia,
sehingga tidak mengherankan jika kota metropolitan pertama di luar Pulau Jawa adalah
Kota Medan, Pulau Sumatera. Kota metropolitan terkecil yang dibahas dalam bab ini
adalah Mamminasata yang relatif kurang terbangun.
Mengapa Tinggal di Kota-Kota Metropolitan?
Pembahasan mengenai proses urbanisasi dan metropolitanisasi serta pertumbuhan dan
penurunan penduduk di atas terlepas dari penilaian baik atau buruk. Hal ini dilakukan
dengan asumsi bahwa penilaian dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu.
Jika dilihat dari sudut pandang perencana atau pengelola kota, kedatangan penduduk,
terutama mereka yang miskin, merupakan suatu masalah. Para pendatang dituding
sebagai penyebab meningkatnya kemacetan dan mereka menggunakan fasilitas dan
pelayanan kota yang tidak direncanakan untuk mereka. Bagaimanapun mereka terlalu
menggantungkan pada kondisi fisik dan sosial infrastruktur kota yang juga menyebabkan
keterpurukan mereka. Namun, pendatang juga membayar pajak yang dapat dimanfaatkan
untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial perkotaan.
13 Angka yang menunjukkan daya tarik kota besar yang didapatkan dari perbandingan jumlah penduduk
kota besar tersebut dengan jumlah penduduk di dua kota berikutnya
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
139
TABEL 5 - 7 Sudut Pandang Ekologi dan Kependudukan Metropolitanisasi Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata
Penyebaran
Kawasan
Perkotaan
Berawal dari Kota
Medan sebagai kota
inti, secara dominan
berkembang sepanjang
koridor barat – timur .
Perkembangan ke arah
barat menghubungkan
Kota Medan dengan
Kota Binjai.
Ke arah timur
Kabupaten Deli
Serdang yang
merupakan daerah
pantai.
Lima wilayah kota di
DKI Jakarta merupakan
kawasan inti perkotaan
dengan kepadatan
tinggi yang terus
berkembang ke arah
utara – selatan dan
timur – barat hingga ke
wilayah Tangerang di
bagian barat. Bekasi di
bagian timur dan Bogor
di bagian selatan.
Perkembangan
kawasan perkotaan di
Metropolitan Bandung
berawal dari pusat
Kota Bandung ke
wilayah sekitarnya
hingga ke wilayah
Kabupaten Bandung.
Perkembangan kawasan
perkotaan di
Gerbangkertosusila
berawal dari pusat Kota
Surabaya, meliputi
sebagian besar wilayah
Sidoarjo dan desa-desa
sekitarnya hingga
terhubung dengan Kota
Mojokerto.
Mamminasata
merupakan kawasan
metropolitan yang
kurang terbangun
dibandingkan dengan
lima kota metropolitan
yang dibahas disini,
kawasan terbangun
masih terpusat pada
daerah inti dengan
beberapa kantung-
kantung pertumbuhan
disekitarnya.
Tingkat
Ekologi
Perkotaan
Mebidang bukan
merupakan kawasan
terbangun yang padat
melainkan bentuk
penyebaran desa-kota
hingga ke wilayah
kabupaten Deli Serdang
Seluruh wilayah
Jakarta merupakan
kawasan terbangun.
Tangerang dan Bekasi
pada proses terbangun
dengan tingkat yang
tinggi sedangkan Bogor
masih memiliki
wilayah pedesaan yang
lebih luas.
Diluar Kota Bandung,
daerah sekitar
Kabupaten Bandung
dan Kabupaten
Sumedang memiliki
kawasan terbangun
yang terbatas.
Tingkat desa-kota yang
tinggi tentu saja
ditemukan di Kota
Surabaya dan Kota
Mojokerto bahkan juga
di Kabupaten Sidoarjo.
Di Kabupaten Mojokerto
dan Kabupaten
Lamongan desa-kota
nya lebih tersebar.
Dibandingkan dengan
lima kota metropolitan
lain yang dibahas di
sini. Mamminasata
merupakan kawasan
metropolitan yang
kurang terbangun.
Tingkat
Urbanisasi
Penduduk
Kepadatan desa-kota
dengan populasi lebih
dari 2000 jiwa tidak
terlalu banyak dan di
wilayah luar Kota
Medan desa-desa ini
lebih tersebar.
Pola urbanisasi
ditunjukkan sebagai
desa-kota dan desa
dengan populasi 2000
jiwa atau lebih
merupakan patokan
yang dapat
Desa dengan jumlah
penduduk 2000 jiwa
atau lebih tersebar
hampir diseluruh
kawasan metropolitan
Bandung, tetapi lebih
terpusat di sekitar Kota
Gerbangkertosusila
memiliki karakteristik
tingkat urbanisasi
penduduk yang tinggi
yang dapat dilihat dari
persebaran desa-desa
dengan jumlah penduduk
Hal yang sama, angka-
angka menunjukkan
tingkat urbanisasi
penduduk di kawasan
metropolitan ini masih
rendah.
Metropolitan di Indonesia
140
Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata
dibandingkan. Bandung. 2000 jiwa atau lebih
Perluasan
Ekologi
Perkotaan
Perluasan kawasan
metropolitan ke wilayah
Kabupaten Deli
Serdang menunjukkan
tingkat kawasan
terbangun yang relatif
rendah.
Penambahan wilayah
Cianjur yang memiliki
kawasan terbangun
rendah ke dalam
kawasan metropolitan
mempengaruhi tingkat
kawasan terbangun
secara keseluruhan.
Kawasan terbangun
masih terjadi di sekitar
Kota Bandung,
sedangkan Kabupaten
Bandung dan
Kabupaten Sumedang
masih terdapat banyak
kawasan pedesaan.
Desa-kota di kawasan
metropolitan ini
cenderung untuk
mengelompok keluar
dari wilayah inti Kota
Surabaya menuju
kabupaten-kabupaten
sekitarnya.
Masih serupa dengan
Makassar dan
menyebar secara
lambat ke desa-desa
sekitarnya.
Penyebaran
Urbanisasi
Penduduk
Penyebaran desa-desa
dengan jumlah
penduduk 2000 jiwa
atau lebih menyerupai
perluasan desa-kota,
melalui Kota Medan
menuju Kota Binjai dan
ke arah selatan
sepanjang pantai.
Desa-desa di Pulau
Jawa, termasuk Bogor
dan Cianjur, memiliki
jumlah penduduk yang
lebih banyak, sebagian
besar memiliki
penduduk lebih dari
2000 jiwa.
Desa-desa dengan
jumlah penduduk 2000
jiwa atau lebih,
terpusat di sekitar Kota
Bandung, dapat juga
ditemukan pada
sebagian besar wilayah
metropolitan.
Seperti kawasan
metropolitan lainnya di
Pulau Jawa yang
penduduknya sangat
besar, dalam hal
kependudukan wilayah
ini sangat terbangun
karena desa-desa dengan
jumlah penduduk 2000
jiwa atau lebih secara
luas tersebar di seluruh
wilayah ini.
Dalam hal urbanisasi
penduduk, desa-desa
dengan jumlah
penduduk 2000 jiwa
atau lebih tidak
tersebar secara luas di
wilayah metropolitan
ini.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
141
Seringkali orang ditanya mengapa ingin tinggal di Jakarta, atau di kota-kota
metropolitan lainnya di Indonesia, padahal kota-kota metropolitan itu identik dengan
masalah kemacetan, polusi dan banyak terdapat penyakit-penyakit perkotaan lainnya.
Jawabannya sangatlah sederhana. Di kota-kota itulah terdapat banyak aktivitas,
meskipun orang tahu bahwa jalan-jalan tidak berlapis emas, tetapi disitulah tempat orang
dapat menemukan susu dan madu walaupun tidak berlimpah. Hal yang sama juga dilihat
oleh golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan lemah, pria dan wanita, muda dan
tua. Para politisi akan berada di ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan dan
keuangan. Bisnis, terutama bisnis skala besar, akan tinggal di metropolitan yang
merupakan pusat bisnis yang merupakan tempat kehidupan bagi mereka. Bahkan,
pemulung yang sangat miskin pun masih menganggap kehidupan di kota besar ‘lebih
baik’ daripada di tempat asal mereka yang memiliki peluang ekonomi terbatas atau
bahkan sama sekali tidak ada karena mereka tidak memiliki lahan. Keberuntungan masih
dapat ditemukan di kota-kota besar di kawasan metropolitan. Generasi muda dapat
memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih baik dan memperoleh ‘kebebasan’
berekspresi termasuk dalam hal berbusana, jauh dari pengawasan sosial keluarga serta
fasilitas-fasilitas hiburan yang banyak dan beragam. Kemacetan, polusi, kriminalitas dan
hal-hal negatif lainnya menjadi konsekuensi yang dapat diterima untuk mendapatkan
semua keuntungan tersebut.
TABEL 5 - 8 Daya Tarik Permukiman di Kawasan Metropolitan
Mebidang Jabodeta- bekjur
Bandung Raya
Gerbang- kertosusila
Mammina- sata Indikator
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Rasio Ketergantungan
49 60 42 63 47 54 42 49 47 59
Rasio Registrasi
Sekolah usia
16-18 tahun
72 59 65 27 59 40 72 52 66 39
% populasi
penduduk usia
di atas 15 tahun lulusan SMA
47 29 48 16 38 18 48 30 55 38
% Tenaga Kerja
di Bidang Pertanian 7 59 3 45 8 39 6 58 4 58
% Tenaga Kerja di Bidang Industri
29 17 33 17 36 27 33 17 18 13
% Tenaga Kerja
di Bidang Jasa 64 34 65 39 56 34 61 26 77 29
Tingkat Pengangguran
19 16 17 17 21 15 13 12 20 17
Catatan: Rasio Ketergantungan merupakan pembagian antara jumlah penduduk usia 0 -14 tahun
ditambah dengan usia diatas 65 tahun dengan jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun (usia produktif).
Rasio Registrasi Sekolah adalah perbandingan antara penduduk yang bersekolah dengan jumlah
penduduk pada rentang umur tertentu.
Bidang Pertanian mencakup pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan.
Bidang Industri meliputi industri manufaktur, pertambangan dan penggalian, dan konstruksi.
Bidang Jasa mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, pelayanan sosial dan lain-lain.
Sumber : Tabulasi khusus oleh IHS berdasarkan data Susenas BPS 2004
Metropolitan di Indonesia
142
Kenyataan di atas didukung oleh beberapa fakta dalam hal pendidikan dan
pekerjaan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbandingan indikator kependudukan
antara kota dan desa di beberapa metropolitan yang dibahas (TABEL 5 - 8). Secara
khusus, wilayah terbangun metropolitan dihuni oleh penduduk usia produktif yang dapat
menikmati pendidikan yang lebih baik dan menemukan pilihan pekerjaan yang beragam
meskipun di tengah-tengah ancaman pengangguran. Rasio ketergantungan
(perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 dan >65 tahun dengan jumlah
penduduk berumur 15-64 tahun) lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah perdesaan di wilayah metropolitan yang menggambarkan dinamika pola ruang.
Ini menunjukkan bahwa penduduk kota memiliki beban tanggungan lebih ringan yang
biasanya memiliki jumlah anak yang membutuhkan investasi sosial berupa kesehatan
dan pendidikan yang lebih sedikit.
Sebagaimana kita ketahui, fasilitas dan pelayanan pendidikan, dan terutama dari segi
jumlahnya, lebih banyak tersedia di daerah perkotaan daripada daerah perdesaan. Kami
telah memilih dua indikator pendidikan, yaitu tingkat registrasi penduduk usia sekolah
menengah atas dan persentase penduduk dewasa (di atas 15 tahun) yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas. Hasilnya di beberapa metropolitan
terpilih menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut lebih tinggi di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dengan kata lain, penduduk kota jauh lebih
terdidik daripada penduduk desa.
Lebih beragamnya jenis pekerjaan dan peluang penghidupan di kota dibandingkan di
desa adalah penyebab dan akibat dari kesemerawutan kota. Sebaliknya, hanya sebagian
kecil penduduk perkotaan yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor pertanian
mengingat mereka memiliki pilihan kerja yang lebih luas. Penyerapan tenaga kerja di
bidang industri, termasuk industri skala kecil dan menengah, masih merupakan
fenomena perkotaan daripada perdesaan. Ketimpangan yang lebih signifikan terjadi pada
sektor jasa, meskipun termasuk perdagangan skala kecil yang dikenal sebagai sektor
informal. Namun, mall hanya dibangun di daerah padat dimana penjual dapat
menemukan sumber penghidupannya. Sektor transportasi, termasuk angkutan kendaraan
bermotor roda dua yang dikenal dengan nama “ojek” masih lebih banyak tersedia di
daerah permukiman padat. Inovasi terbaru tentu saja berupa bus way Jakarta, yang
merupakan satu-satunya sistem transportasi yang diterapkan di negara yang membayar
sopir dengan gaji tetap dan terbuka baik bagi pria maupun wanita. Sektor keuangan atau
perbankan biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki peluang bisnis. Hal yang
sama juga terjadi pada sektor pemerintahan yang terletak di kota pusat pemerintahan.
Terdapat beberapa peluang penghidupan di perkotaan, namun, tidak semuanya
membawa sukses. Dengan harapan dapat memenuhi keinginan, menjadi pengangguran
pun tidak masalah sekalipun kemungkinannya tinggi, karena ini hanyalah sementara. Di
samping itu, seiring dengan semakin orang miskin lebih memilih tinggal di perdesaan
dan status pengangguran seringkali menjadi sesuatu yang sulit diterima, satu-satunya
perbedaan tipis antara tingkat pengangguran yang tinggi di kota dan di desa menjadi
tanda perlunya perhatian, yang biasanya menyulut gejolak sosial.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
143
TABEL 5 - 9 Ketersediaan Fasilitas dan Pelayanan Mebidang Jabodeta
bekjur Bandung Raya
Gerbang- kertosusila
Mamminasata
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
% Rumah
Tangga dengan Listrik
89 85 93 69 86 74 88 69 91 67
Fasiltas/1000 penduduk
Rumah Sakit 34 143 85 263 121 2370 73 51
Puskesmas 44 31 38 56 33 44 35 55 33 23
Praktek Dokter 3 21 4 32 3 24 3 21 4 33
% Desa-desa dengan fasilitas
Sumber air
minum/masak dari PAM.
pompa atau
sumur
99 75 98 82 88 52 90 74 99 71
Jalan beraspal 82 41 92 59 93 81 91 53 95 62
Kantor Pos 13 2 32 3 23 4 13 1 15 2
Telepon
Umum/Wartel
89 30 99 70 99 65 97 67 98 59
Pusat Perbelan- jaan
42 1 60 7 51 6 39 6 52 5
Pasar Permanen/
Semi-permanen
26 5 34 7 26 9 26 12 24 21
Hotel/guest house
20 3 24 4 23 4 13 1 29 2
Bank 30 42 1 35 2 24 2 32 4
Supermarket 30 0 64 4 48 3 32 1 19 1
Sumber : Tabulasi Khusus oleh IHS berdasarkan data PODES 2005 BPS
Penegasan mengenai keberutungan di kota secara jelas ditunjukkan pada TABEL 5 -
9. Tabel itu memperlihatkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki
akses listrik di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan di beberapa
kawasan metropolitan yang dibahas. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketersediaan
fasilitas dan pelayanan kesehatan serta fasilitas dan infrastruktur yang mempengaruhi
kualitas kehidupan. Akses terhadap air bersih, jalan dan infrastruktur ekonomi (kantor
pos, wartel, pusat perbelanjaan, pasar, hotel, bank dan supermarket) lebih besar di
perkotaan dibanding di pedesaaan.
Tantangan
Urbanisasi bukan hanya fakta kehidupan tetapi juga terus meningkat. Proyeksi BPS
menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Indonesia terus bertambah dari 206 juta
pada tahun 2000 menjadi 275 juta pada tahun 2025 (TABEL 5 - 10). Sementara 4 dari 10
orang tinggal di kota pada tahun 2000, dalam dua dekade ke depan diperkirakan bahwa
hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di kota. Yang terpenting untuk dicatat adalah, walau
bagaimanapun, tingkat urbanisasi nasional terutama dipengaruhi oleh kondisi Pulau
Jawa. Menurut sensus penduduk tahun 2000, hampir separuh (49 persen) jumlah
penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2025 hampir 8
dari 10 penduduk Pulau Jawa akan tinggal di perkotaan. Dengan perkiraan jumlah
penduduk Jawa akan mencapai 151 juta pada tahun 2025, berarti 120 juta akan tinggal di
aglomerasi perkotaan. Hal ini mengingatkan pengelola kota dan perencana tata ruang
Metropolitan di Indonesia
144
akan tantangan yang akan mereka hadapi. Peran apa yang ingin mereka mainkan?
Apakah mereka akan berperan sebagai fasilitator atau justru berupaya menghalau
kecenderungan ini?
TABEL 5 - 10 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Proporsi Penduduk
Perkotaan Indonesia Menurut Pulau-pulau Utama Tahun 2000 - 2025
2000 2005 2010 2015 2020 2025
Jumlah Penduduk (juta)
Sumatra 43 47 51 55 59 63
Jawa 121 128 134 141 147 151
Bali & Nusa Tenggara 11 12 13 14 14 15
Kalimantan 11 13 14 15 17 18
Sulawesi 15 16 17 18 19 20
Maluku & Papua 4 4 5 5 5 6
INDONESIA 206 220 234 248 262 274
Penduduk Perkotaan (juta)
Sumatra 33,7 38,8 44,1 49,3 54,4 59,3
Jawa 48,8 56,5 63,6 69,7 74,8 79,0
Bali & Nusa Tenggara 32,3 38,1 43,5 48,6 53,1 57,0
Kalimantan 35,4 40,0 44,8 49,4 54,0 58,5
Sulawesi 27,6 30,8 34,1 37,5 41,1 44,8
Maluku & Papua 24,3 24,9 25,6 26,3 27,1 28,0
INDONESIA 42,0 48,3 54,2 59,5 64,2 68,3
Sumber: BPS, BAPPENAS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia 2000–2025
Penutup
Secara jelas telah dinyatakan bahwa metropolitanisasi menguntungkan, atau bukan suatu
masalah, paling tidak bagi mereka yang gaya hidupnya terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas
dan pelayanan yang tersedia. Dengan kata lain, jika ada permasalahan yang diidentifikasi
oleh perencana dan pengelola kota, solusinya harus ditujukan untuk mereka yang
menikmati berbagai macam aktivitas kehidupan metropolitan karena mereka tidak
meninggalkan metropolitan tetapi justru terus mengajak orang lain untuk tinggal di kota.
Atau mungkin sudut pandang lain harus juga diperhatikan, perencana kota harus
merencanakan masa depan dan masa depan berarti meningkatnya kawasan terbangun
dan meluasnya kawasan metropolitan yang ada saat ini. Pembangunan infrastruktur fisik
perkotaan harus direncanakan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan
berlangsung terus menerus dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di kawasan
metropolitan.
Indikator-indikator yang ditunjukkan TABEL 5 - 8 dan TABEL 5 - 9 memunculkan
lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban. Seseorang bisa hanya
mengasumsikan mengapa desa tumbuh menjadi kota yang terus meluas kemudian
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
145
bersama-sama dengan desa disekitarnya berubah menjadi permukiman perkotaan.
Pertanyaan-pertanyaan berikut juga mengandung rekomendasi untuk diteliti lebih lanjut.
• Mengapa pola pertumbuhan kota metropolitan menjadi seperti yang selama ini
terjadi, apakah ada ‘invisible hand’ yang mengarahkan proses itu?
• Apa peran dan tanggung jawab pemerintah? Pemerintah pada tingkat mana?
• Bagaimana dengan peraturan zoning? Apakah ada dan dijalankan?
• Apakah pemerintah mengarahkan di mana seharusnya pihak swasta harus
membangun atau sebaliknya?
• Apakah proses urbanisasi dan metropolitanisasi merupakan proses ‘alami’ dengan
pasar merupakan kekuatan satu-satunya?
EKONOMI PERKOTAAN14
Pendahuluan
Pertumbuhan kota-kota selalu berbasis pada faktor ekonomi. Titik tolaknya selalu terkait
dengan keuntungan lokasi kota bersangkutan. Kota-kota yang cepat berkembang pada
dua dekade terakhir ini dapat ditengarai adanya potensi lokasi yang sangat menonjol.
Semua ini berwujud kegiatan ekonomi riil baik ekonomi formal maupun informal.
Kota-kota besar yang ada sekarang ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,
dan Makassar yang sering disebut dengan metropolitan menunjukkan kekuatan lokasi
yang strategis sehingga terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ini dapat diwakili
oleh pertumbuhan penduduk yang pesat dan sekaligus pertumbuhan ekonominya.
Dibandingkan dengan kota-kota atau daerah-daerah lain, ada beberapa kota di
Indonesia mempunyai ukuran besar dengan penduduk lebih dari 700 ribu jiwa15. Jumlah
kota-kota besar ini ada sekitar 14 kota, yang paling kecil adalah Kota Padang dengan
penduduk 702 ribu jiwa (tahun 2000).
Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, kota-kota tersebut
mengalami berbagai persoalan, utamanya dalam pelayanan. Persoalan ini semakin kronis
ketika jumlah penduduk terus meningkat yang umumnya berasal dari migrasi masuk ke
kota yang disebut dengan urbanisasi.
14 Catatan editor: Analisis ekonomi di bab ini menggunakan batasan jumlah penduduk perkotaan yang
berbeda dengan analisis kependudukan di bab sebelumnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak
mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh buku ini. 15 Hasil penelitian empiris oleh Bambang dan Ringgi (2003) dalam pengelompokan besaran kota-kota
di Indonesia ditemukan 3 kelompok, yaitu: kota besar/metropolitan mempunyai penduduk lebih dari
700 ribu jiwa. Kota sedang berpenduduk antara 200 ribu jiwa dan 700 ribu jiwa, sedangkan kota kecil
berpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa.
Metropolitan di Indonesia
146
TABEL 5 - 11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota 1980-1990 dan
1990-2000
1980-1990 (%) 1990-2000 (%)
Kota Besar (>700 ribu) 2,7 1,1*
Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 2,2 1,5
Kota Kecil (<200 ribu) 2,4 0,07
Rata-rata Kota 2,4 1,3
Sumber: Hasil Analisis *) Secara fungsional, pertumbuhan kota besar jauh lebih besar dari angka 1,1persen.
Baca penjelasan TABEL 5 - 13.
Pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990
dengan laju pertumbuhan 2,4 persen16, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen,
Lihat TABEL 5 - 11. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi
penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (hampir sama dengan laju
pertumbuhan penduduk nasional). Dengan demikian, pada periode 1990-2000 terjadi
penurunan urbanisasi. Diduga, menurunnya tingkat urbanisasi ini selain dampak
menurunnya tingkat ekonomi kota akibat krisis ekonomi 1998 yang lalu, juga karena
adanya alternatif bagi migran untuk menjadi TKI di luar negeri (menurut informasi dari
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah TKI di Luar Negeri sekitar 5 juta
jiwa). TABEL 5 - 12 di bawah ini menunjukkan kemungkinan tersebut.
TABEL 5 - 12 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota dan Nasional
Sebelum dan Pasca Krisis
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
Skala Wilayah 1996 1998 1999 2002
Kota Kecil (<200 ribu) 7,4 -5,1 -0,2 1,8
Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 9,3 -6,9 -0,0 6,4
Kota Besar + Metropolitan(>700 ribu) 11,0 -13,9 -1,5 3,1
Rata-rata Kota 8,9 -6,0 -0,4 5,1
Nasional 5,6 -13,0 3,5 4,0
Sumber: Hasil analisis. Data PDRB Kabupaten/Kota. BPS
Pada TABEL 5 - 12 di atas juga dapat dikenali karakteristik kota-kota besar yang
berbeda dengan kota-kota ukuran lebih rendah yaitu :
1. Kota-kota besar/metropolitan mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi,
tetapi bila terjadi krisis ekonomi, maka kota-kota besar/metropolitan mengalami
kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam. Seperti yang bisa disimak pada
16 Perhitungan laju pertumbuhan pada periode 1980-1990 sebesar 2,4 persen adalah hasil
penelitian oleh penulis. Selama ini laju pertumbuhan yang diakui pada periode tersebut sebesar 3,4
persen. Menurut penulis angka pertumbuhan 3,4 persen tersebut terdapat kesalahan yaitu memasukkan
desa-desa yang menjadi kota dan memasukkan daerah-daerah perluasan kota dalam perhitungan
pertumbuhan.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
147
TABEL 5 - 12, pada periode 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 11 persen, tetapi
pasca krisis tahun 1997 yang lalu, laju pertumbuhan ekonomi mendadak kontraksi
(minus) 13 persen. Namun demikian, ketika kondisi normal, maka laju pertumbuhan
ekonomi kota-kota besar/metropolitan kembali ”leading”. Ini menunjukkan bahwa
ekonomi kota-kota besar/metropolitan cukup ”vulnerable”.
2. Bandingkan dengan kota-kota kecil yaitu ketika situasi normal mempunyai laju
pertumbuhan moderat sebesar 7,4 persen dan ketika terjadi krisis hanya mengalami
kontraksi sebesar 5,1 persen. Kemudian ketika situasi normal hanya terangkat
menjadi 1,8 persen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kota-kota kecil
kelihatannya sudah steady atau mungkin terhambat.
TABEL 5 - 13 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Metropolitan
No. Nama Kota
Laju Pert.
Penddk
1980-1900
(%)
Laju Pert.
Penddk
1990-2000
(%) Keterangan
1. Jakarta 2,41 0,16 Terjadi penurunan laju
pertumbuhan karena kejenuhan
Kab. Bogor 4,13 2,25 Terjadi pengurangan wilayah
akibat pemekaran kota Bogor
dan kota Depok.
Kota Bogor 0,94 10,97 Terjadi pemekaran wilayah kota
Kota Depok - - Belum terbentuk.
Kab. Tangerang 6,10 4,12 Laju pertumbuhan tetap tinggi
Kota Tangerang - - Belum terbentuk kota, belum
ada data
Kab. Bekasi 6,29 4,70 Laju pertumbuhan tetap tinggi
Kota Bekasi - - Belum terbentuk kota,
belum ada data
2. Surabaya 2,05 0,43 Terjadi penurunan laju
pertumbuhan
karena kejenuhan.
Kab. Sidoarjo 3,17 2,97 Laju pertumbuhan tetap tinggi
3. Medan 2,30 0,97 Terjadi penurunan laju
Pertumbuhan karena kejenuhan
Kab.
Deliserdang
2,59 2,09 Laju pertumbuhan tetap tinggi
4. Bandung 3,47 0,41 Terjadi penurunan laju
Pertumbuhan karena kejenuhan.
Kab. Bandung 1,83 2,71 Kenaikan laju pertumbuhan
Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS
Berdasarkan kajian di atas memperteguh kesimpulan bahwa :
1. Kota-kota besar/metropolitan sangatlah lentur dalam menanggapi pertumbuhan,
sementara kota-kota kecil terlalu kenyal. Dengan sifat yang lentur, maka kota-kota
besar/metropolitan akan selalu menghadapi dinamika pertumbuhan dan sekaligus
menghadapi dampak pertumbuhan itu sendiri.
Metropolitan di Indonesia
148
2. Dampak dari pertumbuhan yang mulai meningkat lagi pada pasca krisis adalah
meningkatnya lagi urbanisasi pada pasca tahun 2000 walaupun tidak sedramatis
tahun sebelum 1990 yang lalu.
Angka-angka urbanisasi memang sulit diidentifikasi, tetapi bisa ditandai dari laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kota bersangkutan. Namun demikian,
perkembangan kota-kota besar/metropolitan umumnya sudah melampaui batas
administrasinya atau mengalami kejenuhan sehingga laju pertumbuhan penduduk
(dengan data penduduk sesuai dengan batas administrasi) akan terdata rendah (karena
sedikitnya pemukiman baru). Dengan demikian, pertumbuhan penduduk di kota-kota
besar/metropolitan akan terdata rendah dan kecenderungan urbanisasi itu akan terdata
pada daerah-daerah/kota-kota yang berada di sekitar kota metropolitan bersangkutan
dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat dikaji pada beberapa kota besar/
metropolitan seperti Jakarta dengan Bodetabek, Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo,
Medan dengan Deli Serdang dan Binjai, atau Bandung dengan Kabupaten Bandung
sebagaimana yang bisa diteliti pada TABEL 5 - 13.
Pertumbuhan penduduk kota-kota metropolitan tersebut akan berimplikasi pada
corak ekonomi kota-kota bersangkutan. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi daerah
diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Seberapa
jauh pertumbuhan penduduk kota-kota besar dibarengi oleh pertumbuhan ekonominya.
maka bisa dikaji bagaimana corak PDRB perkapita dengan data-data PDRB tahun 1998
dan 2002 atas dasar harga tetap (1993) dan estimasi data penduduk tahun 1998 dan
200217 sehingga dapat dihitung PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB per
kapita sebagaimana yang dapat disimak pada TABEL 5 - 14 di atas. Dengan demikian,
ada empat kategori pertumbuhan ekonomi yang dapat diberikan sebutan sebagai berikut:
a. Kota besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB per kapita juga lebih tinggi dari rata-rata. Kota seperti ini disebut sebagai kota ”star”. Hanya Jakarta
Pusat dan Jakarta Utara yang pertumbuhan “leading” dan termasuk kota “star”;
b. Kota besar dengan PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata tetapi pertumbuhan PDRB perkapitanya lebih tinggi dari rata-rata, disebut sebagai kota “growing”. Kota
Bandung, Padang, dan Palembang termasuk kota yang sedang tumbuh atau
“growing”.
c. Kota Besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB perkapitanya juga lebih rendah dari rata-rata, disebut Kota “steady”. Ada sembilan kota dari 19 kota-
kota besar/metropolitan yang termasuk dalam kota “teady” atau kota yang
pertumbuhan ekonominya terhambat.
d. Kota Besar dengan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata, tetapi pertumbuhan PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata disebut sebagai Kota ”mature”.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta
Barat, dan Surabaya.
17 Data PDRB tahun 1998 digunakan atas pertimbangan linearitas. Seperti diketahui bahwa pada tahun
1997 terjadi krisis dan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang drastis sehingga data-data
tahun 1997 dan sebelumnya tidak bisa dibandingkan atau tidak linear. Data PDRB tahun 2002
digunakan karena data ini sudah merupakan data final.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
149
TABEL 5 - 14 PDRB Per kapita dan Laju Pertumbuhannya
NAMA KOTA (0)
PDRB 1998
(juta)
(1)
JML PDDK 1998
(2)
PDRB/ KAPITA
1998 Po
(3) = (1)/(2)
PDRB 2002
(juta)
(4)
JML PDDK 2002 / 2003
(5)
PDRB/ KAPITA
Pt
(6) = (4)/(5)
LAJU PERTBH PDRB / KAPITA
1998 - 2002
α=(Pt/Po)¼ -1 (7)
Medan 4.833.911,19 1.881.080 2,570 5.799.222,07 1.993.602 2.909 0.0315
Padang 2.321.172,65 702.638 3,304 2.682.462,36 765.450 3.504 0.0149
Palembang 2.652.629,00 1.406.774 1,886 3.179.588,00 1.339.315 2.374 0.0593
Bandar Lampung 1.584.900.00 731.406 2,167 1.815.272,00 790.895 2.295 0.0145
Jakarta Selatan 12.264.754,68 1.783.298 6,878 11.644.849,21 1.707.093 6.821 -0.0020
Jakarta Timur 16.074.778,28 2.337.276 6,878 12.305.853,81 2.103.525 5.850 -0.0396
Jakarta Pusat 6.109.404,20 888.309 6,878 15.929.738,60 893.195 17.835 0.2690
Jakarta Barat 13.074.022,33 1.900.966 6,878 10.353.071,91 1.565.708 6.612 -0.0098
Jakarta Utara 9.857.557,04 1.433.291 6,878 14.050.749,60 1.182.749 11.880 0.1464
Tangerang 5.680.177,00 1.259.840 4,509 6.616.456,50 1.416.840 4.670 0.0088
Bandung 5.294.952,14 2.133.091 2,482 6.694.331,05 1.867.010 3.586 0.0963
Bekasi 3.060.637,00 1.565.698 1,955 3.732.084,00 1.809.306 2.063 0.0135
Depok 1.327.648,33 1.120.836 1,185 1.459.981,62 1.247.233 1.171 -0.0030
Bogor 915.583,00 727.118 1,259 1.279.881,96 789.423 1.621 0.0652
Semarang 4.737.732,57 1.335.042 3,549 5.626.854,73 1.350.002 4.168 0.0410
Malang 2.323.694,19 743.965 3,123 2.692.919,81 772.642 3.485 0.0278
Surabaya 15.429.196,46 2.577.732 5,986 14.565.521,28 2.659.566 5.477 -0.0220
Makassar 2.589.506,89 1.075.404 2,408 3.205.558,44 1.148.312 2.792 0.0376
Rata-rata 4.950 0.0416
Metropolitan di Indonesia
150
Berdasarkan kategori di atas maka implikasi pertumbuhan ekonomi dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Kota-kota “star” seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara merupakan kota yang
ekonominya terus berkembang dan sangat dinamis. Karena terjadi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi maka terjadi desakan-desakan pemanfaatan ruang ke arah
penggunaan yang lebih komersial. Dalam banyak kasus yang mengalami tekanan
seperti ini adalah peruntukan perumahan. Dengan demikian secara berangsur dan
cepat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara akan menjadi kawasan komersial.
2. Kota-kota “rowing” seperti Bandung, Padang, dan Palembang sedang mengalami
perkembangan yang sangat cepat, termasuk implikasinya terhadap pergeseran tata
ruang (perumahan menjadi komersial), hanya saja modal ekonominya masih rapuh.
3. Kota-kota ”steady” yang merupakan sebagian besar kota-kota besar/metropolitan ini
walaupun sedang tumbuh, tetapi masih banyak hal yang menghambat, sehingga
pertumbuhannya relatif melambat. Diperkirakan masih banyak faktor-faktor
percepatan ekonomi yang belum kondusif.
4. Kota-kota ”mature” seperti Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan
Surabaya mempunyai fenomena yang sama dengan ”star” di atas, tetapi masih
mengalami hambatan karena layanan prasarana dan fungsi perumahan yang masih
kuat. Akibat dari hambatan ini, pertumbuhannya tersendat dan berjalan tidak secepat
kota-kota ”star”.
Posisi pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan tersebut ditunjukan
dalam GAMBAR 5 - 6.
Dari kategorisasi kota-kota besar/metropolitan tersebut di atas, walaupun sebagian
besar dikategorikan sebagai ”steady”, tetapi tetap kota-kota besar/metropolitan
mempunyai posisi pertumbuhan PDRB per kapita yang rata-ratanya 4,16 persen (lihat TABEL 5 - 14) adalah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB
per kapita total kota-kota yang sebesar 2,3 persen18. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi kota-kota besar/metropolitan di Indonesia mempunyai implikasi sosial dan fisik
sebagai berikut:
1. Tetap mempunyai daya tarik ekonomi dan akan menarik kembali tingkat urbanisasi.
2. Terjadinya pergeseran peruntukan lahan kota dari perumahan menjadi kawasan komersial dengan tingkat perubahan yang berbeda-beda.
3. Kembalinya urbanisasi yang meningkat (butir 1). Karena tidak didukung oleh ketersediaan lahan yang mencukupi maka perkembangan kota akibat tekanan
pertumbuhan ekonomi ini akan berimbas pada kawasan sekitar kota besar/
metropolitan yang bersangkutan (spread development).
4. Pertumbuhan ”spread” adalah pertumbuhan kota yang tidak efisien dan menimbulkan banyak dampak antara lain: kemacetan lalu lintas, berkurangnya
18 PDRB Per Kapita dan pertumbuhannya secara nasional dari sumber: ”Kajian Pertumbuhan Kota-kota
Dalam Rangka Pembangunan Prasarana Ke-PU-an”. PUSTRA. Kegiatan TA 2005.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
151
fungsi kawasan lindung akibat dimanfaatkan untuk perumahan, dan sulitnya
mengembangkan jaringan prasarana secara terpadu.
GAMBAR 5 - 6 Kategorisasi Kota-kota Besar/Metropolitan Cat: Analisis berdasarkan TABEL 5 - 14
Bagaimanapun juga kota-kota besar/metropolitan tetap tumbuh ”leading” dibandingkan
kota-kota lain yang kesemuanya didorong oleh fungsi ekonomi dan peranan ini tentunya
juga ”leading” bagi perekonomian nasional.
Tantangan
Kota sebagai pusat aglomerasi ekonomi dengan pola pertumbuhan sebagaimana
diuraikan sebelumnya diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekonomi
kota masing-masing dan ekonomi secara nasional karena:
1. Sekitar 40-50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional disumbang oleh 90
kota19 atau sekitar 20 persen dari sekitar 430 kabupaten/ kota di Indonesia;
19 Yang dimaksud kota adalah kota otonom, tidak termasuk kota-kota kabupaten yang tidak otonom.
PDRB/Kap.
Lj. Pert.
PDRB/K
ap.
“star”
“mature”
“growing”
“steady”
Medan, Padang,
Bd.Lampung,Tangerang,
Bekasi, Depok, Semarang.
Malang, dan Makassar
Palembang,
Bandung, Bogor,
dan Makassar
Jakarta Pusat dan Jakarta
Utara
Jakarta Selatan,
Jakarta Barat,
Jakarta Timur, dan
Surabaya
Metropolitan di Indonesia
152
2. Peranan ekonomi kota ini semakin menonjol pada kota-kota besar/metropolitan.
Sekitar 14 kota-kota metropolitan atau 3 persen dari total daerah menyumbang 30
persen PDB Nasional20;
3. Selain penting dalam perekonomian nasional, kota-kota metropolitan juga
mempunyai peranan bagi sumber fiskal nasional. Seperti diketahui 80 persen APBN
berasal dari pajak dan dari 80 persen pajak ini, sekitar 70 persen berasal dari pajak
badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber dari perkotaan;
dan
4. Diperkirakan 50 persen dari APBN berasal dari pajak kota-kota besar/
metropolitan21.
Walaupun kota-kota metropolitan secara agregat merupakan sumber ekonomi dan
keuangan nasional, tetapi secara kapita kinerjanya lebih rendah dibandingkan kapita
nasional yang dapat ditunjukkan bahwa :
1. PDRB per kapita kota-kota besar/metropolitan rata-rata Rp 4,5 juta.
2. Sedangkan PDRB Nasional per kapita sebesar Rp 6,7 juta.
3. Angka-angka per kapita kota-kota besar/metropolitan ini (yaitu Rp 4,5 juta) yang
rendah ini dibandingkan dengan nasional (Rp 6,7 juta) menunjukkan 3
kemungkinan 22, yaitu:
a. Kemungkinan pertama: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan yang masih miskin dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh dan juga berarti
terdapat kesenjangan kesejahteraan yang besar di kota-kota metropolitan.
b. Kemungkinan kedua: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan bekerja di ekonomi informal sementara angka PDRB tidak memasukkan
kegiatan ekonomi informal.
c. Kemungkinan ketiga: kemungkinan butir 1 dan 2 ada semua. Ini berarti tumbuhnya kota-kota besar/metropolitan selalu diikuti dengan jumlah
kemiskinan yang besar dan berkembangnya ekonomi informal seiring dengan
besaran PDRB itu sendiri. Semakin besar PDRB sebagai indikator ekonomi
formal, semakin berkembang pula kegiatan ekonomi informalnya.
Kota-kota besar/metropolitan dengan kompleksitas dan intensitas yang demikian
tinggi serta merupakan ”focal point” ekonomi yang potensial itu, selain menjadi pusat
pertumbuhan utama, juga membawa resiko beban-beban berat yang selalu mengiringi
potensi-potensi pertumbuhannya. Potensi pertumbuhan yang sedang berlangsung itu
tampaknya sulit dihentikan dan serta-merta beban-beban yang mengiringi juga terus
menggelanjut.
20 Berdasarkan data-data PDRB 1999 – 2003. 21 Berdasarkan perkiraan perhitungan APBN 2005. 22 Data-data APBD dan PDB dari BPS.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
153
Dengan kemungkinan masalah perekonomian seperti kemiskinan dan kesenjangan
kesejahteraan serta corak ekonomi informal yang mewarnai kehidupan kota-kota besar/
metropolitan sebagaimana yang diperkirakan di atas, maka keluaran persoalan yang
muncul utamanya pada persoalan fisik klasik menyangkut soal kemacetan lalu lintas,
kawasan kumuh, persampahan, kekurangan prasarana pada umumnya, dan menurunnya
tingkat kualitas lingkungan. Semua ini menengarai bahwa perekonomian kota yang
tumbuh selama ini ditopang oleh ”tulang-tulang penyangga” yang rapuh. Dalam situasi
ini kota-kota besar/metropolitan seolah mengalami obesitas yang beresiko tinggi, atau
sensitif terhadap persoalan-persoalan yang mengiringi pertumbuhannya.
Sebagaimana telah diungkap di atas tentang adanya kemungkinan konsentrasi
kemiskinan yang tinggi dengan corak praktik ekonomi informal yang berserak maka ada
kesulitan bagi pemerintah kota-kota metropolitan untuk menanganinya. Namun
demikian, adanya kemiskinan adalah kenyataan dan menjadi tugas pemerintah daerah
bersama masyarakat untuk mengentaskannya; dan adanya ekonomi informal adalah
kenyataan lain yang harus diatur agar menjadi kekuatan ekonomi alternatif.
Cara pengentasan kemiskinan dan pengaturan ekonomi informal oleh pemerintah
daerah dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah dengan kapasitas yang
dimilikinya. Pada umumnya kapasitas fiskal kota-kota besar/metropolitan cukup
potensial yang diperoleh melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak-pajak
(BHP) yang ada (yang dikelola oleh Pemerintah), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan
bantuan Pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Penjumlahan penerimaan
tersebut terangkum dalam APBD. Adapun belanja APBD yang dikeluarkan setiap tahun
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kota. Namun bagi kota-kota besar/
metropolitan, jumlah kapasitas fiskal berupa APBD ini dibandingkan dengan kapasitas
ekonomi daerah ternyata tidaklah seberapa. Rasio APBD terhadap PDRB bagi kota-kota
besar/metropolitan rata-rata hanya 4 persen. Artinya bahwa peranan fiskal daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah hanya 4 persen dan 96 persen berasal dari sektor
riil atau ekonomi masyarakat (Lihat TABEL 5 - 15). Porsi APBD terhadap PDRB
sebesar 4 persen ini sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 23
persen23.
Mengingat bahwa porsi fiskal terhadap ekonomi kota ternyata sangat tidak
signifikan dengan rasio yang hanya 4 persen, maka sebenarnya upaya fiskal melalui
belanja langsung APBD berupa belanja barang, kenaikan gaji, bantuan tunai, dan
semacam itu kemungkinan besar tidak memberikan tambahan nilai yang berarti; yang
mungkin bermanfaat adalah belanja modal berupa prasarana yang bisa lebih memacu
ekonomi riil masyarakat serta memicu investasi langsung. Dengan demikian, tantangan
utama dalam pengelolaan kota-kota besar/metropolitan adalah strategi pembangunan
prasarana yang memberi kemungkinan tumbuhnya investasi langsung baik dalam negeri
maupun luar negeri (Foreign Direct Investment).
Dalam rangka menyongsong investasi itu, masing-masing kota haruslah
meningkatkan daya saing. Laporan penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa daya saing kota-kota besar/metropolitan secara
23 Rasio APBD/ PDRB secara nasional 23 persen, kota-kota ukuran sedang 9,8 persen, dan kota-kota
kecil sebesar 20 persen (Samiaji 2003).
Metropolitan di Indonesia
154
umum semakin meningkat. Daya saing kota-kota besar/metropolitan berdasarkan
penelitian KPPOD secara berurutan adalah disajikan pada TABEL 5 - 16.
TABEL 5 - 15 Rasio APBD terhadap PDRB (Harga Berlaku)
No. Nama Kota APBD (2003)
Dlm. Milyar
(1)
PDRB (2004)
Dlm. Milyar
(2)
Rasio
(1)/(2)
1. Medan 1.168 33.078 0,04
2. Palembang 547 14.360 0,04
3. Padang 397 11.507 0,03
4. Bd. Lampung 369 6.022 0,06
5. DKI Jakarta 9.982 375.825 0,03
6. Bandung 962 27.977 0,03
7. Bogor 342 4.051 0,08
8. Depok 390 6.314 0,06
9. Tangerang 523 20.812 0,02
10. Bekasi 542 14.399 0,04
11. Semarang 638 20.250 0,03
12. Surabaya 1.320 59.290 0,02
13. Malang 336 9.745 0,03
14. Makassar 531 13.127 0,04
Rata-rata 0,04 Sumber : Hasil Analisis dari Data Keuangan SIKD Dep. Keuangan dan Data PDRB (atas Harga
Berlaku) - BPS
TABEL 5 - 16 Peringkat Daya Tarik Investasi Kota-kota Besar/Metropolitan
Tahun 2004
No. Nama Kota
Peringkat
2003
Peringkat
2004 Keterangan
1. Malang C AAA Kenaikan
2. Jakarta C AA Kenaikan
3. Palembang C AA Kenaikan
4. Makassar - AA 2003 belum diteliti
5. Surabaya B BBB Kenaikan
6. Semarang BB BB Tetap
7. Padang B BB Kenaikan
8. Bandar Lampung C BB Kenaikan
9. Medan C BB Kenaikan
10. Tangerang C BB Kenaikan
11. Bandung BB C Penurunan
12. Bogor C C tetap
13. Bekasi D C Kenaikan
14. Depok - - Belum diteliti. Sumber: KPPOD
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
155
Peringkat di atas berbeda dengan TABEL 5 - 15 yang mengkategorikan Kota Malang
sebagai kota ”steady”. Pada tabel di atas, Kota Malang malahan mempunyai daya saing
yang paling tinggi di antara kota-kota besar/metropolitan lainnya. Perbedaan ini terjadi
karena pemantauan dan penilaian daya saing yang dilakukan oleh KPPOD adalah potret
sesaat dengan kemungkinan setiap tahun peringkatannya bisa berbeda, sementara hasil
analisis di TABEL 5 - 16 menunjukkan kualitas yang konstan. Sebagai contoh:
Semarang, di peringkat KPPOD, pada dua tahun lalu ada di peringkat pertama, namun
belum sempat menikmati datangnya investasi, pada tahun 2003 peringkatnya turun
menjadi peringkat sepuluh dan pada tahun 2006 terperosok ke peringkat sembilan belas.
Bagaimanapun juga, daya tarik investasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
prasarana dan faktor kelembagaan. Hubungan antara prasarana dan kelembagaan adalah:
1. Walaupun unsur kelembagaan juga menentukan, tanpa kelengkapan prasarana tetap
saja tidak akan mengundang investasi.
2. Walaupun prasarana suatu kota telah lengkap, tanpa pengembangan kelembagaan,
maka pemanfaatan prasarana tidaklah optimal.
3. Oleh karena itu bagi kota-kota besar/metropolitan yang memiliki prasarana yang
lebih lengkap dan kinerja ekonomi yang dinamis, apabila ada upaya peningkatan
kualitas kelembagaan, maka daya tarik terhadap investasi akan lebih nyata.
Dengan demikian, untuk meningkatkan daya tarik investasi kota-kota besar/
metropolitan diperlukan pengembangan kelembagaan yang lebih dinamis.
Sebagai kota besar/metropolitan dengan karakteristik perkembangan ”spread” dan
bergabung dengan daerah-daerah di sekitarnya maka daya saing akan lebih mantap
apabila ada sinerji antara kota besar/metropolitan dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Untuk itu, pengembangan kelembagaan melalui kerja sama antar daerah khususnya
dalam bidang pembangunan prasarana akan meningkatkan daya saing dan mampu
mengundang investor untuk menanamkan modalnya di kota-kota metropolitan dan
daerah-daerah yang berbatasan dengannya.
Implikasi Tata Ruang
Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar secara fisik telah
melampaui batas administrasi sehingga ada tanda bahwa telah terjadi dua pola
pertumbuhan fisik kota-kota besar sebagai berikut:
1. Perkembangan ke luar yang terus melebar sehingga mulai menyatu secara fisik
dengan daerah yang berbatasan.
2. Perkembangan ke dalam, yaitu pergeseran di dalam kawasan terbangun kota.
Umumnya yang terjadi adalah pergeseran atau transformasi dari kegiatan perumahan
menjadi kegiatan komersial.
Perkembangan kota yang bersifat ke luar dan ke dalam di kota-kota besar/
metropolitan ini sampai sekarang belum bisa dikendalikan baik melalui instrumen
rencana tata ruang maupun melalui pengendalian tata ruang, termasuk zoning regulation.
Kegagalan pengendalian tersebut diduga terjadi karena:
Metropolitan di Indonesia
156
1. ”Property Right” pemilik lahan lebih kuat daripada ”Development Right”
pemerintah daerah.
2. Kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan guna lahan dan kurangnya
sistem data dan informasi geografi kota yang terbaharui untuk mendukung
pengawasan.
3. Tidak adanya kerja sama antar daerah yang solid di antara kota besar/metropolitan
dan daerah yang berbatasan.
4. Persepsi terhadap nilai-nilai ekonomi jangka pendek lebih kuat daripada nilai-nilai
kelestarian yang efisien.
Sebagai akibat dari pola perubahan tata ruang dari dua sumber, yaitu ke dalam dan ke
luar tersebut, maka kota menjadi terus meluas. Berbagai kebijakan pengembangan tata
ruang malahan semakin memicu dan memacu perkembangan kota yang meluas, seperti:
1. Pengembangan struktur kota seperti:
a. Pembentukan sub-pusat sub-pusat kota mendorong munculnya permukiman-
permukiman baru;
b. Zonasi-zonasi guna lahan, terutama pemisahan zona bisnis dan zona industri
dengan permukiman semakin memperbesar jarak antara kedua fungsi sehingga
tidak efisien baik dalam pelayanan maupun pembangunan prasarana.
2. Pembangunan perumahan murah, yang harga jualnya ditentukan oleh pemerintah,
menyebabkan pengembang mencari lokasi yang harga tanahnya murah dan tentunya
lokasinya jauh dari tempat kerja;
3. Penyebaran fasilitas-fasilitas sosial-ekonomi seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar
semakin memberi kemudahan bagi lokasi perumahan yang berada di luar lota;
4. Pembangunan outer ring road akan merangsang tumbuhnya permukiman-
permukiman baru.
Penutup
Kebijakan tata ruang menyebabkan kota besar semakin membesar dan meluas semacam
Kota Obesitas. Kota yang mengalami obesitas ini merupakan akibat langsung dari
perkembangan ekonomi kota yang maju, tetapi tergambarkan dalam perkembangan tata
ruang yang justru tidak efisien. Dengan demikian, nilai-nilai tambah ekonomi yang
diciptakan oleh kota besar itu dikurangi sendiri oleh kebijakan tata ruang yang tidak
efisien itu. Jika kebijakan pengembangan tata ruang masih berkutat pada pola pikir
yang lama, tanpa berupaya reorientasi terhadap masalah melalui terobosan-terobosan
baru dan jitu, maka pada masa datang kota besar/metropolitan yang mengalami obesitas
akan selalu beresiko (seperti manusia kegemukan yang beresiko tinggi terhadap penyakit
degeneratif).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
157
GLOBALISASI DAN METROPOLITAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Walau sudah sering menjadi topik pembicaraan dalam, kurang lebih, seperempat abad
terakhir ini—bahkan cenderung menjadi jargon yang klise—istilah “globalisasi” yang
mulai dikenal pada awal 1980-an masih belum memiliki definisi yang disepakati
bersama (Centre for Developing Cities 2006). Padahal, pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan globalisasi akan mempengaruhi sikap terhadap globalisasi tersebut.
Lebih-lebih, globalisasi dalam pengertian yang luas sebagai suatu fenomena interaksi
dan proses pengaruh-mempengaruhi secara sosial-ekonomi-budaya-demografi dari
bagian bumi yang satu ke bagian yang lain pun dapat dikatakan telah berlangsung
selama berabad-abad sebagaimana yang tergambarkan dalam kisah Marco Polo atau
Admiral Cheng Ho. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang
pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir telah membuat fenomena tersebut saat ini
berlangsung jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar, dengan lingkup
yang lebih luas menjangkau berbagai bidang, serta memiliki tingkat kerumitan yang
lebih tinggi (UN-Habitat 2004).
Terlepas dari perdebatan akademik tentang arti globalisasi, fenomena intensifikasi
keterkaitan yang semakin mendunia sebenarnya dapat dirasakan oleh sebagian besar
orang, khususnya mereka yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar atau metropolitan.
Sungguh, globalisasi dan kota adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Di satu sisi kota
hampir selalu menjadi sumber, simpul dan penggerak dari berbagai perubahan, di sisi
lain kota pun merupakan bagian bumi yang paling cepat dipengaruhi oleh berbagai
perubahan global. Proses urbanisasi (baik karena migrasi desa-kota ataupun akibat
pengalihan fungsi lahan) pun menjadi atribut yang tidak terpisahkan dari globalisasi.
Implikasinya, kemampuan suatu bangsa dalam mengelola kota-kotanya sesuai dengan
tuntutan global (yang bisa bersifat eksternal maupun internal) akan mempengaruhi
kemajuan relatif bangsa tersebut di tengah-tengah masyarakat global yang semakin
kompetitif. Demikian pula, kemampuan pengelola kota dalam memahami berbagai
perubahan global—yang bersifat terus menerus—serta pengaruhnya terhadap kehidupan
kota yang dikelolanya akan sangat mempengaruhi kemampuan kota tersebut untuk
berkembang dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang semakin saling tergantung
satu sama lain. Dalam konteks inilah pembahasan globalisasi dan kota-kota metropolitan
di Indonesia masih (dan selalu akan) dianggap perlu.
Mengunjungi Kembali Globalisasi
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kunjungi kembali “globalisasi” sebagai
suatu fenomena sosial-ekonomi-budaya dan demografi, yang menyebabkan semakin hari
semakin banyak bagian dari bumi yang semakin terkait dan saling mempengaruhi. Jan
Art Scholte (2000, sebagaimana disarikan oleh Smith 2002) melihat setidaknya ada lima
jenis pemahaman tentang globalisasi:
1. Globalisasi dilihat sebagai internasionalisasi: yaitu proses meningkatnya hubungan antar-negara, pertukaran antar-negara (international exchange) serta
kesalingtergantungan. Dalam konteks inilah globalisasi dianggap telah terjadi
selama berabad-abad walaupun kecepatan, besaran, lingkup dan kompleksitas
Metropolitan di Indonesia
158
perubahannya berbeda. Namun pada kurun waktu setengah abad terakhir ini terjadi
pula proses multilateralisasi yang lebih mendasar, akibat peran penting lembaga-
lembaga seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Mahkamah Internasional dan belakangan
WTO dan terkadang bahkan dapat mendikte kebijakan suatu negara24, khususnya
yang berkaitan dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) negara-negara
berkembang terhadap sistem ekonomi neo-klasik yang dipercaya oleh lembaga-
lembaga multilateral tersebut sebagai pilihan terbaik dalam menghadapi globalisasi.
Termasuk dalam kategori pemahaman ini adalah konsep kesaling-tergantungan
(inter-dependency) yang juga merupakan ciri globalisasi.
2. Globalisasi dilihat sebagai liberalisasi; yaitu sebagai proses terhapusnya secara gradual hambatan-hambatan yang ditetapkan oleh masing-masing negara bagi
pergerakan barang, jasa, informasi dan manusia sehingga akan terbentuk suatu
ekonomi dunia yang tanpa batas. Termasuk dalam hal ini adalah penerimaan atau
imposisi model ekonomi neo-klasik sebagai paradigma dominan (kalau tidak mau
mengatakannya sebagai paradigma tunggal) untuk pembangunan ekonomi, dan oleh
karenanya sistem ekonomi nasional pun harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip
ekonomi neo-klasik.
3. Globalisasi dilihat sebagai universalisasi; yaitu sebagai proses terbentuknya kesamaan nilai-nilai, norma-norma, cara-pandang serta perilaku ke segala penjuru
dunia akibat persebaran informasi, pengalaman, barang, orang dan lain-lain. Peran
globalisasi pendidikan— semakin banyaknya orang yang bersekolah di negara-
negara lain, khususnya di negara-negara Barat yang dianggap “maju”—serta
perkembangan teknologi komputer dan internet, serta televisi dan film dilihat
sebagai sangat kuat mempengaruhi universalisasi tata-nilai ini.
4. Globalisasi dilihat sebagai modernisasi dan, secara lebih sempit, pembaratan
(westernization): yaitu sebagai dinamika, ditunjukkan oleh struktur dan atribut sosial
modern (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain-lain) yang tersebar ke
berbagai penjuru dunia. Seringkali dalam proses memoderenisasi ini menghancurkan
budaya serta atribut dan bahkan keswadayaan lokal yang ada. Karena Amerika
Serikat—beserta budaya kontemporernya—sering dilihat sangat mendominasi
proses-proses yang ada, salah satu pandangan yang masuk dalam kategori ini
melihat globalisasi secara lebih sempit lagi sebagai Amerikanisasi (sebagaimana
merebaknya model celana jeans, gerai makan cepat saji ala McDonald atau KFC,
minuman ala Coca Cola, media berita ala CNN, bisnis multi-level marketing ala
Amway dan lain-lain).
5. Globalisasi dilihat sebagai de-teritorialisasi (atau malah terbentuknya suatu supra-teritorial); yaitu proses rekonfigurasi geografis yang menyebabkan ruang-ruang
sosial tidak lagi selalu diartikan secara fisik-teritorial. Pernyataan-pernyataan yang
agak berlebih seperti terjadinya “death of distance” atau bahkan “death of
geography”25 pun muncul sebagai salah satu penekanan cerminan sudut pandang ini.
24 Sebagai salah satu contoh baca Kwik 2006. 25 Pernyataan “death of geography” sebagaimana dikutip dalam Smith 2000 tentunya terlalu
berlebihan,apalagi mengingat bahwa justru banyak ahli geografi yang menekuni persoalan globalisasi.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
159
Dengan pemahaman semacam ini, Anthony Giddens (1990, sebagaimana dikutip
oleh Smith 2002) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan-
hubungan sosial yang menyeluruh dunia dan menghubungkan tempat-tempat yang
berjauhan sedemikian sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain yang berjauhan. Lebih
lanjut lagi, perusahaan-perusahaan atau produk-produk tertentu tidak lagi dapat
diasosiasikan dengan suatu negara karena baik kepemilikan atau proses
pembuatannya tidak lagi terbatas pada pihak-pihak dari satu negara. Demikian pula
dengan timbulnya komunitas-komunitas maya (virtual) yang terbentuk melalui
media internet dan tidak mengenal batas-batas geografis. Salah satu fenomena
menarik yang terjadi akhir-akhir ini adalah apa yang disebut e-tutoring; banyak
murid-murid di Amerika Serikat mengambil semacam les dari guru-guru sekolah di
India yang bisa menawarkan jasanya jauh lebih murah daripada guru-guru di
Amerika Serikat (Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari fenomena e-sub-
contracting; perusahaan-perusahaan software di negara maju mensubkontrakkan
sebagian pekerjaannya kepada perusahaan atau individu di negara berkembang—
mungkin tanpa harus bertemu muka—demi menghemat biaya, atau bisa juga
merupakan bentuk lain dari kursus-kursus melalui internet yang ditawarkan sekolah-
sekolah di negara-negara maju kepada murid-murid di negara berkembang).
Berbagai ilustrasi di atas menggambarkan karakteristik kesaling-terkaitan (inter-
connectedness) dari globalisasi.
Walaupun Scholte lebih cenderung menggunakan pemahaman yang terakhir (de-
teritorialisasi) sebagai penjelasan globalisasi, namun sebenarnya masing-masing
pemahaman di atas memiliki kandungan kebenaran jika dikaitkan dengan apa yang
sesungguhnya terjadi, hanya berbeda aspek atau sudut pandang. Oleh karenanya tulisan
ini—dalam melihat pengaruh globalisasi kepada kota-kota—justru akan menggunakan
secara komprehensif kelima pemahaman di atas secara lebih bebas sebagai atribut dari
globalisasi, yaitu: (i) meningkatnya interaksi global. (ii) berkurangnya batas-batas bagi
mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia. (iii) merebaknya tata-nilai ‘universal’.
(iv) industrialisasi barang dan jasa, dan (v) de-teritorialisasi.
Apapun definisinya, globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi yang telah mempermudah dan mempercepat arus
informasi, barang, jasa dan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Akses ke informasi
pun semakin terbuka bagi semakin banyak orang. Orang-orang di desa, misalnya,
mungkin saja memperoleh informasi tentang pasar global komoditasnya bahkan secara
real-time melalui internet, telepon genggam atau media lainnya. Suatu unit usaha di
suatu negara bisa saja melakukan suatu sub-kontrak dengan suatu pihak dari belahan
bumi yang lain tanpa harus bertemu muka. Dan hal-hal seperti ini mempengaruhi hampir
semua aspek kehidupan manusia, baik dalam bekerja, belajar, bertinggal, berbelanja,
berlibur, bersosialisasi dan bahkan dalam berpikir.
Sebaliknya, perluasan pasar yang semakin mengglobal mengakibatkan timbulnya
perusahaan-perusahaan berskala besar yang mampu mengalokasikan anggaran yang
sangat besar untuk penelitian dan pengembangan produknya. Hal ini, dikombinasikan
dengan perkembangan pasar yang juga semakin kompetitif menyebabkan percepatan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya pada perangkat lunak
Metropolitan di Indonesia
160
maupun keras bagi komputer, telepon genggam, televisi dan lain-lain). Jadi keterkaitan
antara globalisasi dan perkembangan teknologi adalah hubungan yang bersifat timbal
balik dan saling mendorong.
Globalisasi juga dipahami tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi saja; proses
yang sangat kompleks ini juga menyangkut dimensi sosial (misalnya dengan berubahnya
struktur dan tingkat kerekatan komunitas di dalam masyarakat); budaya (misalnya
dengan kemunculan generasi MTV di kalangan generasi muda di belahan bumi mana
pun dan merasa lebih memiliki kesamaan di antara mereka dibanding dengan generasi
orang tua di negara yang sama); politik-kelembagaan (misalnya dengan semakin
diadopsinya sistem demokrasi ala Barat, yang seringkali diterapkan hanya secara
prosedural, jauh dari kultur setempat, di berbagai belahan dunia); lingkungan hidup
(misalnya polusi antar-bangsa dalam bentuk asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang
diderita warga di Singapura, Malaysia dan lainnya); dan juga spatial atau tata-ruang
(termasuk di dalamnya proses migrasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan
tumbuh dan semakin beragamnya “urban ethnic space” atau bagian-bagian kota yang
dihuni oleh berbagai suku-bangsa secara mengelompok26) (Habitat, 2004; Soegijoko,
2005). Di sini aspek multi-kulturalisme menjadi atribut yang sangat kental bahkan
menjadi ciri dari kota-kota global yang kosmopolitan.
Globalisasi pun dipengaruhi oleh perubahan atau pergeseran cara pandang atau cara
berpikir, yang kemudian mempengaruhi perilaku di berbagai bidang. Richard Norgaard
(1994) melihat, di dunia ini, setidaknya terjadi lima pergeseran cara pandang. Pertama
adalah pergeseran dari cara pandang yang bersifat atomistic (dengan mana keseluruhan
sistem dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya) ke cara pandang
holistic (dengan mana keseluruhan sistem tidak selalu dianggap sama dengan jumlah
total dari bagian-bagiannya, bisa lebih besar/kuat atau lebih kecil/lemah tergantung
bagaimana berhubungan antar-bagian yang ada). Dengan pengertian ini, konsep modal
sosial menjadi lebih mudah dipahami. Masyarakat yang memiliki modal sosial besar
walau secara individu mungkin memiliki kapasitas terbatas bisa saja lebih maju dan
berkembang daripada masyarakat yang secara individu memiliki kapasitas tinggi tetapi
secara kesuluruhan memiliki modal sosial yang lemah.
Kedua adalah pergeseran dari cara pandang yang mekanistik (Newtownian) yang
menganggap suatu sistem selalu mempunyai ekuilibrium, ke cara pandang yang lebih
mengakui kemungkinan terjadinya ketidakpastian, diskontinuitas dan bahkan chaos yang
tak terjelaskan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap eksistensi ekonomi
informal perkotaan yang seringkali sulit dijelaskan dan didekati secara formal.
Ketiga adalah dari cara pandang universal, yang melihat prinsip-prinsip universal
sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, ke cara pandang “kontekstualistik” yang
mengakui konteks lokal, waktu dan budaya sebagai faktor yang tidak hanya harus
dipertimbangkan tetapi justru harus dominan. Pergeseran dalam hal ini tidak bisa
26 “Urban ethnic space” sebagaimana yang dikemukakan dalam Habitat 2004 sebenarnya juga sudah
terjadi sejak adanya proses migrasi besar-besaran selama berabad-abad. Kota-kota besar di Nusantara
seperti Jakarta misalnya,pernah memiliki sudut-sudut kota yang dihuni oleh migran dari berbagai
tempat di Nuantara secara berkelompok-kelompok (Kampung Ambon,Kampung Bali,Kampung
Jawa,Kampung Bugis,dan lain-lain). Demikian halnya dengan kota-kota dunia (global cities) seperti
London. New York atau Paris.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
161
dikatakan tuntas karena masih banyak pelaku pembangunan dunia yang sangat percaya
dengan nilai-nilai yang sifatnya universal dan berusaha mempromosikan hal tersebut
namun di sisi lain juga cukup banyak pelaku pembangunan yang selalu menekankan
pentingnya konteks lokal.
Keempat adalah pergeseran dari cara pandang (umumnya di dunia penelitian atau
keilmuan) yang mengagung-agungkan “objektivitas positivisme” ke cara pandang yang
mengakui kemungkinan adanya subyektivitas atau keberpihakan di dalam ilmu (yang
bisa dianggap sebagai konstruksi sosial). Oleh karenanya, tuntutan akan partisipasi
masyarakat menjadi lebih tinggi, terutama untuk mengurangi bias dari si pengambil
keputusan. Pendekatan dalam penelitian maupun perencanaan yang diakui pun tidak lagi
harus yang bersifat positivistik dan bebas-nilai tetapi mencakup pendekatan penelitian
“participant-observation” dan pendekatan perencanaan melalui proses-proses
komunikasi (“planning through communication”).
Kelima, Norgaard melihat adanya pergeseran dari cara pandang yang “monistik”
yang hanya mengakui satu kebenaran atau penjelasan akan suatu fenomena ke cara
pandang yang “pluralistik” yang mengakui kemungkinan adanya beberapa kebenaran
atau penjelasan. Kini lebih banyak orang yang bisa (atau terpaksa) menerima perbedaan
pendapat dibanding di masa lalu. Terkandung di dalam pergeseran paradigma yang
kelima ini adalah multi-kulturalisme sebagai pengakuan bahwa dunia—khususnya kota-
kota besar—tidak hanya dihuni oleh manusia-manusia yang berbudaya sama. Namun
pada saat yang hampir bersamaan bisa saja terjadi pula penguasaan cara pandang
(misalnya pandangan neo-klasik sebagai paradigma dominan ekonomi dunia) atau
pemaksaan cara pandang tertentu oleh kekuasaan adidaya (misalnya dalam hal terorisme
global).
Pada tataran yang lebih praktis, di dalam pelaksanaan pembangunan dan
pengelolaan publik sehari-hari pun telah terjadi pula pergeseran yang cukup berarti. Di
masa lalu, pada umumnya pembangunan maupun pengelolaan publik sangat didominasi
oleh pemerintah (dan seringkali pemerintah pusat). Kemudian disadari bahwa
pemerintah tidak akan mampu mengerjakan semua hal. Ada hal-hal yang dikenal sebagai
“government failures” seperti ketidakefisienan, kekakuan birokrasi, kelembaman untuk
berubah dan lain-lain. Memang ada hal-hal yang lebih baik diserahkan kepada pihak-
pihak yang dapat bekerja lebih efisien, cepat dan sangat berorientasi pada hasil. Maka
timbul era yang menganggap sektor swasta lebih mampu menyediakan berbagai
pelayanan maupun melaksanakan pembangunan, sehingga tidak hanya penyediaan air
minum yang diswastakan tetapi bahkan terdapat kota-kota yang hampir sepenuhnya
dibangun oleh swasta. Terjadilah gelombang privatisasi di berbagai sektor sebagai
bagian dari perubahan pola berpikir global. Di era ini pemerintah diharapkan untuk
berperan sebagai regulator saja.
Namum pendekatan yang berorientasi swasta seperti ini pun tidak lepas dari
berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan kegagalan pasar, swasta tidak
akan pernah mampu menyediakan barang atau pelayanan yang sepenuhnya bersifat
publik (public goods) yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa harus membayar.
Swasta pun cenderung tidak mau menyediakan barang atau pelayanan bagi kaum yang
Metropolitan di Indonesia
162
sangat miskin di mana marjin keuntungan dianggap sangat tipis atau bahkan tidak ada27.
Swasta juga cenderung tidak mau melakukan investasi dengan modal yang sangat besar
dengan pengembalian modal yang berjangka sangat panjang serta beresiko tinggi. Maka
pada tahap berikutnya, pergeseran peran-peran dalam pembangunan ini,peran (atau
tuntutan akan peran) masyarakat madani semakin meningkat untuk mengimbangi baik
kegagalan pemerintah (government failures) maupun kegagalan pasar GAMBAR 5 - 7.
GAMBAR 5 - 7 Diagram Pergeseran Peran Pelaku dalam Pembangunan/
Pengelolaan Publik
Perubahan-perubahan semacam di atas terjadi di mana-mana, baik di negara maju
maupun di negara berkembang—termasuk Indonesia—baik pada tingkatan negara,
regional, lokal, komunitas maupun individu—tentunya dengan tahap dan skala maupun
intensitas yang berbeda-beda. Salah satu implikasi dari situasi seperti ini adalah
timbulnya berbagai ketegangan (tensions), baik yang bersifat global, regional maupun
lokal dan bahkan pada tataran komunitas dan keluarga. Ketegangan sendiri sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan (embedded) dalam globalisasi. Di satu sisi
globalisasi membuat batas-batas negara semakin menipis, namun di sisi lain juga terjadi
pula gelombang desentralisasi atau lokalisasi di mana timbul tuntutan agar sebanyak
mungkin keputusan publik dan pelaksanaannya di lakukan ditingkat lokal/komunitas
27 Padahal Prahalad (2004) justru melihat potensi investasi di tengah-tengah masyarakat yang paling
miskin sekalipun.
tahap 1 tahap2 tahap 3
Sistem pasar dianggap paling efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
pemerintah
swasta
Masya-
rakat
Terjadi “kegagalan pasar”; penurunan kualitas ruang publik
Kemitraan yang setara dianggap sebagai cara terbaik
pemerintah
swasta
Masya-
rakat
?
Pemerintah dianggap paling mengetahui apa yang dikehendaki rakyat
pemerintah
swasta
Masya-
rakat
Terjadi “kegagalan pemerintah”; masyarakat kehilangan kepercayaan
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
163
(atau bahkan primordialisme; “putra daerah” dianggap punya hak lebih dalam banyak
hal daripada “pendatang”).
Timbul fenomena “globalization” yang penuh ketegangan atau tarik ulur antara
kekuatan-kekuatan global dan kekuatan-kekuatan lokal. Ketegangan (tension) juga
timbul manakala produk-produk import yang bisa masuk secara lebih mudah ternyata
mematikan atau melemahkan usaha lokal/domestik yang menghasilkan produk-produk
sejenis. Simbol-simbol globalisasi seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Walmart
atau Carrefour sering mendapat tentangan dari komunitas lokal yang tidak menghendaki
bisnis-bisnis kecil dan khas tergusur oleh perusahaan global tersebut. Bahkan tentangan
terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF sudah merupakan berita
sehari-hari. Lembaga-lembaga global ini sering dilihat sebagai simbol neo-kolonialisme,
baik melalui pemaksaan perubahan cara berpikir, kebijakan sosial-ekonomi dan lain-lain
melalui persyaratan-persyaratan hutang yang seringkali dibutuhkan oleh negara yang
sedang berkembang.
Ketegangan juga timbul akibat dari semakin menguatnya proses privatisasi yang
bahkan masuk ke ruang-ruang yang selama ini merupakan domain publik: taman-taman,
ruang kota untuk bersosialisasi, penyediaan rumah-rumah, prasarana air minum, jalan
utama bahkan pembangunan seluruh kota. Salah satu implikasi dari privatisasi adalah
sulitnya dipenuhi kebutuhan kaum miskin karena pihak swasta tentunya lebih memberi
perhatian kepada mereka yang mampu membeli layanan atau barang komoditasnya.
Selanjutnya, banyak pengusaha-pengusaha kecil yang tidak terlindungi oleh
pemerintah lokal terpaksa tergusur oleh toko-toko wholesale global seperti Walmart atau
Carrefour. Demikian pula dengan bertumbangannya tingkat keswadayaan lokal dan
meningkatnya ketergantungan pada faktor-faktor eksternal yang lebih jauh dapat
dianggap mengancam keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Pada intinya, selama
akses kepada sumberdaya (termasuk teknologi dan informasi) masih belum merata—dan
prospek untuk terjadi pemerataan belum terlihat jelas—maka distribusi manfaat dan
biaya dari globalisasi masih akan selalu timpang28. Terdapat pihak-pihak yang harus
turut menanggung biaya tetapi tidak menikmati manfaat dari proses yang sedang
berlangsung. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian timbul gerakan anti-globalisasi
yang kemudian berubah menjadi “globalisasi dari bawah” dan menuntut adanya keadilan
global.
Karena hal tersebut di ataslah globalisasi tidak selalu dianggap sebagai suatu yang
positif. Bagi mereka yang memiliki akses kepada teknologi dan informasi serta
sumberdaya finansial atau lainnya untuk berkompetisi maka globalisasi dapat dianggap
sebagai menguntungkan (beneficial) secara ekonomi. Demikian pula bagi mereka yang
ingin memajukan nilai-nilai seperti demokratisasi, maka proses globalisasi dianggap
dapat menyebarkan tata-nilai yang dianggap baik tersebut. Namun proses-proses ini
terjadi tidak tanpa ongkos, yang seringkali harus dipikul oleh pihak-pihak yang tidak
menikmati, sehingga timbul penentangan-penentangan sebagaimana diilustrasikan di
atas. Memang, ketegangan atau bahkan konflik sudah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari globalisasi—dengan skala, intensitas dan kompleksitas konflik yang
28 Kenyataan ironis di era yang sangat berorientasi kepada teknologi informasi adalah angka yang
menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk dunia belum pernah menggunakan sarana telepon
(lihat misalnya Jakarta Post. September 21. 2006. hal. 17).
Metropolitan di Indonesia
164
lebih tinggi dibanding dengan apa yang terjadi di era pra-kontemporer. Upaya
mengantisipasi dan merespon pun perlu memasukkan pertimbangan adanya ketegangan-
ketegangan atau konflik ini.
Implikasi bagi Kota-kota Metropolitan
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, globalisasi dan urbanisasi merupakan dua
konsep yang tidak terpisahkan. Kota-kota, khususnya kawasan metropolitan, merupakan
sumber, simpul dan penggerak berbagai perubahan yang kemudian menggelinding
menjadi apa yang disebut globalisasi. Sebaliknya pengaruh globalisasi paling cepat dan
paling besar dirasakan di kota-kota (oleh masyarakat kota). Dan karena seringkali kota-
kota besar atau metropolitan memiliki keunggulan infrastruktur dibanding kota-kota
yang lebih kecil, maka terjadi proses pelebaran kesenjangan penerimaan manfaat
globalisasi antara kota-kota besar dan kota-kota yang lebih kecil atau kawasan
perdesaan.
Pengusaha-pengusaha global cenderung memilih kota-kota besar sebagai pusat dan
simpul operasinya, terutama karena keunggulan dalam ketersediaan sarana dan prasarana
yang bersifat global (misalnya jaringan telekomunikasi global), tempat berkumpulnya
berbagai bisnis sejenis atau terkait yang dapat menciptakan apa yang agglomeration of
economies (pengumpulan berbagai ekonomi terkait). Kota-kota besar umumnya juga
menawarkan pasar—atau akses ke pasar—yang relatif lebih besar daripada yang ada
pada kota-kota yang lebih kecil. Demikian pula, kota-kota besar juga cenderung
memiliki pool yang lebih besar akan tenaga ahli dengan pendidikan atau keterampilan
yang sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh lagi, Manuel Castells menekankan pentingnya suatu milleu of innovation
atau suatu kumpulan komunitas manusia yang berorientasi ke inovasi bagi perusahaan-
perusahaan yang berorientasi teknologi informasi untuk dapat selalu memiliki
keunggulan komparatif di era globalisasi ini (Castells 1986). Milleu of innovation
semacam ini cenderung terbentuk di sekitar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga
risetnya; dan umumnya perguruan tinggi tersebut berada di dekat kota besar. Contoh
yang sering dirujuk adalah kota San Francisco dengan Bay Area-nya (tempat Silicon
Valley berada) yang merupakan tempat bagi Stanford University, University of
California at Berkeley dan berbagai universitas lain, atau Boston Metropolitan Area
(tempat Route 128 berada) dengan Harvard University dan Massachussett Institute of
Technology dan berbagai universitas terpandang lainnya. Berbagai inovasi yang
kemudian mendunia sering muncul dari kedua kawasan perkotaan tersebut maupun dari
tempat-tempat lain yang sejenis.
Namun dalam perkembangan paling akhir, sebagaimana dilaporkan dalam
Newsweek July 3-10, 2006, telah terjadi pergeseran pilihan lokasi investasi (khususnya
di sektor jasa dan industri informasi-telekomunikasi) dengan adanya kecenderungan
untuk memilih kota-kota kedua (secondary cities) yang dianggap lebih nyaman
ditinggali daripada kota-kota metropolitan yang ditandai dengan harga properti yang
semakin mahal, kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, polusi yang semakin
menyesakkan serta kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan. Namun pergeseran
seperti ini hanya terjadi pada secondary cities yang memiliki akses teknologi komunikasi
informasi serta amenities (atribut untuk kenyamanan, baik secara fisik maupun sosio-
kultural) yang baik dan tidak kalah dengan kota-kota besar. Dengan perkembangan
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
165
terakhir seperti ini, kota-kota metropolitan pun bersaing dengan kota-kota yang lebih
kecil dalam upaya mendatangkan investasi yang lebih memiliki nilai tambah relatif lebih
besar yang ada pada sektor-sektor yang terkait dengan teknologi-telekomunikasi-
informasi (dibanding pada sektor-sektor manufaktur konvesional yang sering lebih
mengandalkan tenaga buruh murah sebagai basis pilihan lokasi).
Globalisasi pun dapat mempengaruhi struktur tata ruang internal kawasan
metropolitan. Walaupun pola aktifitas ekonomi yang berpusat pada kawasan pusat kota
masih tetap mendominasi kegiatan sehari-hari di berbagai kota metropolitan di dunia
(sehingga menimbulkan arus penglaju yang sangat besar dari pinggiran kota ke pusat
kota di pagi hari dan sebaliknya di sore hari), namun perkembangan teknologi-informasi
telah sedikit-banyak mengurangi ketergantungan untuk aktifitas tatap-muka sehingga
timbul pusat-pusat baru di pinggiran kota, baik yang berskala kota-baru atau kota satelit
maupun yang hanya berupa warung-warung telekomunikasi di kawasan-kawasan
permukiman pinggiran.
Di banyak kota-kota besar dunia, misalnya, perusahaan-perusahaan tertentu
membolehkan karyawannya untuk datang ke kantor pusat hanya dua atau tiga hari
seminggu, sisanya mereka dapat berkantor di kantor-kantor cabang di pinggiran kota
atau di fasilitas semacam warung telekomunikasi di dekat mereka tinggal, atau bahkan
dari rumah mereka masing-masing. Toh mereka tetap bisa mengerjakan banyak hal,
termasuk berkomunikasi dengan mitra usaha di mancanegara dari rumah atau kantor di
pinggiran atau warung telekomunikasi terdekat. Hal seperti ini tentunya dapat
mengurangi biaya transportasi dan jumlah penglaju harian di kawasan kota metropolitan
sekaligus mempengaruhi tata-ruang yang ada. Kecenderungan yang terjadi di banyak
kawasan metropolitan di dunia—khususnya di negara-negara maju—adalah
terbentuknya apa yang sering disebut sebagai decentralized concentration atau
konsentrasi yang terdesentralisasi. Sementara di kota-kota besar di negara berkembang
yang berpenduduk besar tetapi memiliki keterbatasan infrastruktur seperti Indonesia
yang umumnya terjadi justru suatu mega urban sprawl; kawasan perkotaan
menyambung menjadi satu (walaupun mungkin saja masih terdapat kawasan berkarakter
perdesaan di dalamnya), yang seringkali tumbuh tidak teratur.
Secara terstruktur, pengaruh globalisasi terhadap kota-kota, khususnya kota
metropolitan dapat dilihat sebagai memiliki tiga tataran atau aras:
[1] Pengaruh globalisasi pada sistem perkotaan global; menurut Sassen (1994),
terdapat kota-kota global tingkatan pertama seperti New York, London dan Tokyo, serta
tingkatan-tingkatan di bawahnya yang menunjukkan besarnya/luasnya cakupan pengaruh
kota-kota tersebut—khususnya di bidang ekonomi-finansial—baik di tingkat global
maupun regional. Walau di tingkat teratas sistem perkotaan global mungkin tidak banyak
terjadi perubahan (ketiga kota yang disebut di atas masih belum tergoyahkan oleh kota-
kota lainnya), namun pada tingkatan-tingkatan di bawahnya susunan kota-kota lebih
mudah berubah. Tersirat di sini adalah adanya kompetisi antar-kota untuk menjadi
semacam “pusat” atau “hub” (simpul) kegiatan ekonomi dari suatu region—kalau bukan
dunia—sebagaimana yang terlihat pada persaingan yang cukup ketat antara Singapura
dan Bangkok dalam upaya mereka menjadi hub bagi lalu-lintas udara di Asia Tenggara.
[2] Pengaruh globalisasi pada hubungan yang juga dinamis (selalu berubah) antara
kota-kota utama atau metropolitan dan kota-kota sekunder di sekitarnya. Kalau di masa
lalu kota-kota sekunder sering dilihat hanya sebagai pendukung bagi kota-kota
Metropolitan di Indonesia
166
metropolitan, khususnya dalam penyediaan hunian yang murah dan nyaman, atau
setidaknya sebagai kota-kota pinggiran (edge cities), maka dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informasi banyak kota-kota sekunder yang kemudian berkembang
menjadi kota-kota yang lebih mandiri (self-sustained) dan mempunyai aktifitas-aktifitas
yang berhubungan langsung ke bagian dunia yang lain tanpa harus tergantung pada atau
melalui kota metropolitan terdekat. Sebagaimana yang diuraikan di atas, terdapat pula
kecenderungan pelaku dunia usaha global justru untuk memilih kota-kota sekunder yang
memiliki amenities yang baik namun terbebas dari kemacetan dan polusi kota-kota
metropolitan. Namun pergeseran semacam ini tidak bisa dibilang permanen.
Perkembangan ke depan akan sangat tergantung pada perkembangan teknologi
telekomunikasi-informasi dan pola aktifitas sosial-ekonomi.
[3] Pengaruh globalisasi pada tata-ruang internal suatu kawasan metropolitan.
Dalam hal ini, yang terjadi di suatu kota metropolitan tidak sama dengan yang terjadi di
kawasan metroplitan lain, sangat tergantung kepada seberapa jauh kota metropolitan
tersebut terbuka (exposed) terhadap globalisasi serta faktor-faktor sosial, ekonomi,
politik, budaya dan geografis yang ada serta seberapa jauh pemerintah dan warga kota
metropolitan tersebut mampu mempertahankan ciri-ciri khasnya. Namun secara umum
terdapat pola perubahan tata-ruang yang sangat dipengaruhi oleh berubahnya sistem
ekonomi-bisnis dunia. Sebagai contoh, dengan banyaknya industri manufaktur yang
pindah dari negara-negara dengan biaya buruh tinggi (umumnya di negara maju) ke
negara-negara dengan biaya buruh rendah (umumnya di negara berkembang)—
seringkali masih menyisakan kantor pusatnya di kota asal, tetapi banyak pula yang
memindahkan kantor pusatnya ke kota lain yang lebih strategis. Akibatnya, banyak kota-
kota di negara maju yang harus berjuang untuk “mengisi kekosongan sosial-ekonomi”
yang diakibatkan oleh perginya tempat-tempat usaha (dan sumber-sumber pekerjaan)
tersebut; ada yang berhasil mendapatkan basis ekonomi baru namun banyak juga yang
masih struggling hingga kini. Sementara kota-kota di negara berkembang pun tidak luput
dari ancaman yang sama dari apa yang disebut footloose industries tersebut, karena
seiring dengan kemajuan ekonomi negara berkembang tersebut, maka ongkos buruh
akan semakin meningkat dan selalu ada saja negara atau kota lain yang dapat
menawarkan lingkungan usaha dengan ongkos yang lebih murah.
Dari sudut berbagai dimensi yang ada, pengaruh globalisasi pada kota-kota
metropolitan dapat disusun ke dalam suatu matriks atau kerangka analisis sebagai
ditunjukan dalam tabel TABEL 5 - 17 berikut:
TABEL 5 - 17 Pengaruh Globalisasi Pada Umumnya dan Terhadap Tata Ruang Kota
Dimensi Pengaruh Umum
Pengaruh pada Tata Ruang Kota
(Dimensi Spasial)
Dimensi
Ekonomi-
Finansial
Paradigma neo-klasik sebagai
paradigma tunggal/dominan. Pasar
bebas diagung-agungkan, hambatan
dan tarif perdagangan dikurangi.
Tumbuh dan tersebarnya perusahaan
global seperti McDonald, Walmart,
Carrefour, dll. yang mendesak atau
mematikan usaha-usaha lokal yang
Privatisasi ruang-ruang publik
serta berbagai pelayanan umum—
seperti penyediaan air,
pengelolaan sampah, pendidikan
dan kesehatan—yang di masa lalu
lebih banyak diasosiasikan
sebagai pelayanan publik.
Konflik keruangan antara tekanan
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
167
Dimensi Pengaruh Umum
Pengaruh pada Tata Ruang Kota
(Dimensi Spasial)
kecil.
Pembagian kerja yang bersifat
global (komponen-komponen bisa
dibuat terpisah, tergantung
pengaturan mana yang paling
menguntungkan).
Banyak pula perusahaan-perusahaan
global yang bersifat footloose atau
mudah berpindah tempat usaha
(biasanya meninggalkan mitra lokal
begitu saja).
Arus aliran modal, barang dan jasa
(serta manusia) yang semakin deras
meningkat
Kesenjangan ekonomi cenderung
melebar (lebih terasa di kota-kota
negara berkembang, tetapi juga
terjadi di kota-kota negara maju).
ekonomi global dan keinginan
untuk mempertahankan usaha-
usaha yang bersifat lokal.
Berkembangnya kegiatan-
kegiatan usaha di tempat-tempat
tinggal (banyak yang bekerja dari
rumah) atau di “warung
telekomunikasi” terdekat. Salah
satu akibatnya adalah pola
commuting menjadi tidak sejelas
pada tatanan yang konvensional
(pagi berangkat sore pulang, sama
setiap hari kerja).
Kontras yang semakin lebar
antara kawasan bagi orang-orang
yang berpenghasilan
menengah/tinggi (punya akses ke
jaringan global) dan kawasan bagi
mereka yang tidak punya akses ke
jaringan global atau yang terdesak
oleh globalisasi ekonomi.
Di sisi lain terdapat pula
pengakuan (secara parsial)
terhadap aktifitas ekonomi
perkotaan informal, termasuk
akomodasi spasialnya.
Dimensi Sosial-
Budaya
Demografis
Tumbuhnya budaya-budaya dan
nilai-nilai sosial yang bersifat
mendunia (diakui dan diadopsi di
berbagai tempat di dunia),baik yang
bersifat positif (saling memahami
perbedaan, demokratis, dll.) maupun
yang bersifat negatif (hilangnya atau
berkurangnya ke-khasan lokal)
Arus migrasi yang semakin pesat
dan semakin menglobal (semakin
banyak orang yang tidak hanya
berpindah dari desa ke kota tapi juga
dari suatu negara ke negara lain).
Tumbuhnya multikulturalisme, tapi
juga disertai dengan konflik antar
budaya.
Wajah kota “moderen” yang
hampir sama di mana-mana
(termasuk dalam wujud shopping
mall atau pusat belanja yang tidak
berbeda secara signifikan antara
mall di Jakarta atau mal di
Bangkok atau di Buenos Aires).
Tumbuhnya ruang-ruang kota
yang terkait dengan etnik atau
bangsa-bangsa tertentu dalam satu
kota metropolitan (sesuai dengan
negara atau tempat asal-usul dari
para migran kota tersebut).
Dimensi Politik-
Kelembagaan
Peran atau pengaruh negara semakin
berkurang seiring dengan
menguatnya peran dan pengaruh
lembaga-lembaga multi-lateral dan
MNCs.
Peran negara dalam pengelolaan
kota semakin berkurang, diambil
alih oleh peran pemerintah kota,
masyarakat kota dan swasta
(termasuk swasta yang bersifat
Metropolitan di Indonesia
168
Dimensi Pengaruh Umum
Pengaruh pada Tata Ruang Kota
(Dimensi Spasial)
Namun pada saat yang sama juga
terjadi desentralisasi; peran
pemerintah dan masyarakat
daerah/kota semakin besar.
Peran partisipasi masyarakat yang
semakin penting (atau tuntutan akan
partisipasi yang semakin besar),
namun pada saat yang bersamaan,
pendidikan yang umumnya belum
merata di masyarakat juga
menyebabkan proses demokratisasi
yang lebih “prosedural” daripada
substantif.
global).
Tumbuhnya kerekatan komunitas
yang tidak sepenuhnya
berdasarkan kesamaan tempat,
tetapi lebih berdasarkan kesamaan
profesi, hobby atau lainnya.
Tuntutan akan pengelolaan kota
yang demokratik dan
terbentuknya wujud kota yang
berkeadilan (pada saat yang
bersamaan dengan semakin
melebarnya kesenjangan sosial-
ekonomi).
Dimensi Ling-
kungan (Ekologis)
Dampak lingkungan suatu kegiatan
yang bisa bersifat antar-negara
seperti dalam pembuangan sampah
baik yang bersifat berbahaya
maupun yang tidak (umumnya dari
negara lebih maju ke negara
berkembang—seringkali tidak
terbatas pada yang bertetangga).
Secara umum “ecological
footprints” (tapak ekologis) yang
semakin meluas dan bahkan
mengglobal.
Berkembangnya kesadaran akan
pentingnya lingkungan alam
(termasuk taman-taman dan
kehijauan) dalam mendukung
keberlanjutan lingkungan binaan.
Tuntutan akan kerjasama antar-
kota (tidak terbatas pada kota-
kota yang berada dalam suatu
region) semakin meningkat.
Tuntutan akan perhatian
pemerintah kota kepada aspek-
aspek lingkungan dalam tata
ruang kota seperti jumlah ruang
hijau, kebun kota dan lain-lain.
Pemerintah kota tidak lagi dapat
dengan mudah mengurangi ruang
hijau tanpa mendapat resistensi
dari masyarakat.
Investor global pun turut
memperhatikan kualitas
lingkungan kota yang ada
(terutama dalam kaitannya dengan
kompetisi antar-kota yang
sejenis).
Implikasi dan Tantangan bagi Kota-kota Metropolitan di Indonesia
Di Indonesia, karena tingkat ketersediaan infrastruktur yang terkait dengan berbagai
aspek globalisasi di atas sangat timpang antara kawasan metropolitan Jabodetabek
dengan kawasan-kawasan metropolitan lainnya (Surabaya, Bandung, Semarang, Medan,
masing-masing dengan kota dan kabupaten di sekitarnya) dan apalagi dengan sekian
banyak kota-kota kecil yang ada, maka tingkat keterbukaan (exposure) dan saling
pengaruh-mempengaruhi antara kota dan globalisasi pun sangat berbeda. Bahkan di
dalam kawasan Jabodetabek pun, tingkat keterbukaan terhadap globalisasi tidak
merata—ada bagian-bagian kawasan yang sangat mencerminkan kota global (misalnya
di Jakarta; kawasan Kemang, Thamrin-Sudirman-Kuningan, atau bahkan Jalan Jaksa),
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
169
namun masih banyak pula bagian-bagian kawasan yang seolah-olah tidak atau sangat
sedikit tersentuh oleh globalisasi (misalnya di beberapa perkampungan-perkampungan
kumuh)29. Ketimpangan tersebut membuat generalisasi menjadi sesuatu hal yang sulit.
Ketika membicarakan pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan di Indonesia,
apa yang dialami oleh Jakarta dan sekitarnya tidak sama dengan apa yang dialami oleh
kota-kota metropolitan lainnya.
Jakarta—beserta wilayah di sekitarnya—dapat dikatakan merupakan kawasan
metropolitan yang paling mendalam dan langsung bersinggungan (exposed) oleh
globalisasi30. Hampir seluruh pusat perwakilan badan usaha internasional (perusahaan
multinasional, bank internasional, perwakilan kamar dagang asing dll.) di Indonesia
berlokasi di Jakarta; demikian pula untuk aspek-aspek non-ekonomi seperti pusat
kebudayaan asing, perpustakaan asing dan lain-lain. Kawasan industri yang menampung
berbagai industri yang bersifat internasional—kalau belum bisa dikatakan global—pun
lebih banyak berada di sekitar Jakarta daripada di sekitar kota-kota metropolitan lain di
Indonesia. Bagi Indonesia, bandar udara Soekarno-Hatta pun merupakan bandara yang
paling banyak melayani penerbangan internasional.
Namun demikian, di tingkat global atau bahkan regional peran Jakarta masih sangat
terbatas. Di Asia Tenggara saja, Jakarta bisa dikatakan masih kalah dari Singapura dan
Bangkok sebagai pusat aktifitas internasional—baik yang bersifat ekonomi-finansial,
politik-kelembagaan (tempat lembaga-lembaga internasional dengan salah satu
perkecualian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta), budaya, pendidikan maupun
sebagai hub lalu-lintas udara dan laut. Apalagi kalau diangkat ke tingkat Asia di mana
terdapat Tokyo, Hong Kong dan Shanghai maupun Mumbai (khususnya untuk Asia
Selatan). Kota-kota metropolitan Indonesia lain tentunya punya peran dan
ketersinggungan dengan globalisasi yang jauh lebih kecil daripada Jakarta.
Sementara itu, sebagaimana yang sudah ditulis di atas, pada tataran nasional Jakarta
masih merupakan kawasan perkotaan yang paling berpengaruh, jauh melampaui kota-
kota dengan pengaruh besar berikutnya, yaitu Surabaya, Bandung dan Medan. Fenomena
global di mana kota-kota sekunder (bukan metropolitan) mulai bersinggungan dengan
globalisasi belum cukup terasa di Indonesia, terutama karena ketersediaan infrastruktur
yang masih sangat terbatas. Kawasan perkotaan Denpasar-Kuta-Nusa Dua di Bali dan
kota Yogyakarta mungkin secara nyata juga memiliki exposure internasional yang sangat
besar, namun terkonsentrasi pada satu sektor utama yaitu pariwisata, dan dalam taraf
tertentu pendidikan (khusus untuk Yogyakarta). Sehingga boleh dikatakan bahwa
globalisasi belum mempengaruhi, apalagi mengubah, sistem kota-kota yang ada di
Indonesia.
Dengan tingkat exposure yang masih sangat terbatas tersebut, dapat dikatakan
bahwa globalisasi juga belum secara signifikan mempengaruhi tata ruang perkotaan
metropolitan di Indonesia, masih terbatas pada tumbuhnya—secara sporadis—kawasan-
29 Dapat pula kita cermati bahwa di beberapa perkampungan kumuh pun terdapat berbagai aktivitas
yang memiliki “nuansa globalisasi” seperti produksi kerajinan dari fiberglass di kawasan Prumpung
yang sudah menjual produksi hingga ke Malaysia dan Timur Tengah. 30 Sebenarnya Balipun merupakan bagian Indonesia yang sangat terimbas dan bersinggungan langsung
dengan globalisasi (dalam arti “internasionalisasi” maupun lainnya), namun sangat spesifik berkaitan
dengan satu sektor ekonomi-budaya yaitu pariwisata.
Metropolitan di Indonesia
170
kawasan industri yang melayani unit-unit usaha internasional atau melakukan sub-
kontrak dari jaringan usaha internasional. Seringkali jenis usaha dan sistem
kerjasamanya memudahkan pemilik jaringan usaha internasional untuk memindahkan
usahanya kemanapun mereka ingin lakukan (umumnya bargaining position pihak
Indonesia—atau tuan rumah di mana pun di negara berkembang lainnya—dalam hal ini
relatif rendah).
Hal di atas dapat disimpulkan kalau kita hanya melihat globalisasi dari sudut
pandang “internasionalisasi” saja. Dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa
mendapatkan gambaran yang agak berbeda. Dalam konteks “liberalisasi” misalnya,
secara keseluruhan Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka. Kita dapat menemui
gerai-gerai internasional seperti McDonalds atau KFC tidak hanya di Jakarta tetapi
bahkan hingga di kota-kota sekunder (sebagai perbandingan, Hanoi hingga tulisan ini
dibuat masih belum mengijinkan adanya gerai-gerai internasional semacam itu).
Wholesale retailers seperti Carrefour pun memiliki cukup banyak outlets di Jakarta.
Berbagai merek internasional mewarnai pusat-pusat perdagangan baik di Jakarta maupun
di kota-kota besar lain. Privatisasi pun telah berjalan cukup lama. Bahkan sejumlah kota
baru seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Bukit Sentul, Kota
Wisata dan lain-lain hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Di kota-kota
metropolitan lain pun terdapat kawasan hunian cukup luas—kalau belum bisa disebut
kota—yang hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta.
Sudut pandang bernuansa “universalisasi” dan “modernisasi” pun sudah banyak
merasuk ke dalam pola berpikir masyarakat kota, baik di pejabat pemerintah maupun
pelaku swasta. Proses pergeseran peran dari situasi pemerintah mendominasi ke situasi
swasta mengambil peran cukup signifikan dalam pembangunan hingga situasi di mana
tuntutan akan peran masyarakat yang semakin besar pun terjadi di kota-kota di
Indonesia. Implikasi peran besar swasta dalam tata ruang kota dapat dilihat dari
banyaknya bagian-bagian kota yang mengalami proses “urban renewal” seperti misalnya
kawasan Segitiga Emas (Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto) yang kemudian diikuti oleh
proses jentrifikasi masyarakat berpenghasilan rendah ke daerah-daerah pinggiran
(GAMBAR 5 - 8).
GAMBAR 5 - 8 Kawasan “Segitiga Emas” di Jakarta
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
171
Atribut “de-teritorialisasi” dari globalisasi pun dalam skala yang relatif kecil dan
terpisah-pisah telah terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, lebih
khusus lagi pada segmen-segmen masyarakat yang memiliki akses ke jaringan global
secara mudah. Ada saja—walaupun mungkin belum tersebar luas—kegiatan-kegiatan
yang mencerminkan ketiadaan batas-batas negara atau kota seperti terlihat pada
kegiatan-kegiatan sub-kontrak pembuatan software, animasi, gambar rancang-bangun
dan lain-lain yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar di negara maju untuk
proyek-proyek yang mungkin di negara lainnya.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang lain, kota-kota besar di
Indonesia juga mencerminkan kontras yang sangat tajam. Ada bagian-bagian kota atau
anggota masyarakat kota yang sudah sangat ter-exposed oleh globalisasi, dan sebagian
dari kelompok ini mampu memanfaatkan exposure ini secara baik, namun ada pula
bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sama sekali belum “tersentuh”
oleh globalisasi. Demikian pula dengan cara berfikir, cara pandang, terhadap berbagai
persoalan. Ada yang sudah membuka wawasannya dengan cara-pandang yang “baru”
seperti yang bersifat holistik, kontekstual dan pluralistik, sementara tidak sedikit yang
masih berfikir dengan cara-pandang yang atomistik, Newtonian, positivistik dan
monistik. Hal ini tentunya mengakibatkan berbagai ketegangan yang semakin terasa
dengan semakin besar dan terbukanya suatu kota.
Penutup
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya
sudah mulai bersinggungan dengan globalisasi dengan derajat yang berbeda-beda.
Namun kecuali kawasan metropolitan Jakarta, persinggungan dengan globalisasi masih
sangat terbatas. Di dalam suatu kawasan metropolitanpun—termasuk Jakarta—
ketimpangan globalisasi sangat besar. Seringkali, mereka yang tidak turut mendapat
manfaat dari globalisasi harus turut menanggung biaya atau beban yang ditimbulkan
oleh globalisasi.
Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana mengambil manfaat sebesar
mungkin dan secara merata dari proses-proses globalisasi dan mengurangi sejauh
mungkin dampak negatifnya, termasuk implikasinya dalam tata-ruang. Jika Indonesia
tidak mau ketinggalan di era globalisasi yang semakin kompetitif, konsentrasi
pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta harus dikurangi. Kawasan-kawasan
metropolitan lainnya harus mendapat dukungan infrastruktur secara lebih memadai
sehingga tidak terlalu ketinggalan dan dapat turut berkompetisi di tingkat internasional.
Peran kota-kota sekunder pun tidak dapat diabaikan, apalagi jika dikaitkan dengan
keinginan untuk memajukan sektor pertanian—kota-kota sekunder tersebut dapat
menjadi pusat koleksi dan distribusi komoditas pertanian (konsep agropolitan)—namun
tidak harus terbatas pada konsep itu. Persebaran pusat-pusat kegiatan pun menjadi sangat
penting, tanpa mengurangi kecenderungan pasar untuk membentuk apa yang disebut
agglomeration of economies. Secara internal, tata ruang kawasan metropolitan pun harus
mampu mengikuti dinamika globalisasi tanpa harus mengabaikan kepentingan konteks
dan kekhasan lokal.
Metropolitan di Indonesia
172
SOSIO-KULTURAL
Sudah semenjak beberapa abad yang silam sastrawan Inggris Shakespeare menyatakan
“What is a city but its people”, apalah artinya kota tanpa penduduknya? Kota dan warga
dapat diibaratkan seperti cangkang dengan kerangnya yang tumbuh kembang bersama-
sama. Ditilik dari segi etimologi pun, city dekat sekali kaitannya dengan citizen. Dalam
buku terbarunya berjudul “Recombinant Urbanism” (2005 : 19). David Graham Shane
mengutip pendapat Louis Wirth bahwa “A city is a relatively large. dense. and
permanent settlement of socially heterogenous individuals”.
Kota merupakan produk sosio-kultural, perilaku dan gaya hidup manusia yang selalu
berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi
penduduknya, Meminjam kata – kata Malcolm Miles et al dalam bukunya “The City
Cultures Reader” (2000 : 2): “Cities are sites of constant flux. their built form mediated
by successive acts of destruction and creation … affected by social factors such as
gender, class and ethnicity.”
Semakin besar kotanya semakin kompleks penduduknya semakin rumit masalahnya
dan semakin banyak konflik yang dihadapinya. Saat ini kita sudah memasuki era
perkotaan abad ke-21 atau milenium ketiga. Ditilik dari sisi positifnya, kota metropolitan
merupakan mesin pertumbuhan dan inkubator peradaban, sebagai pusat persilangan ide
dan wadah inovasi. Namun, seperti pernyataan Kofi Annan selaku Sekjen PBB yang
dikutip oleh Girarde (2004: 86) “Cities can also be places of exploitation. disease
violent crime, unemployment, and extreme poverty”. Hampir seluruh metropolis atau
mega-cities di dunia menghadapi masalah infrastruktur, kemiskinan, disilusi politik,
ketidakadilan dan keterasingan sosio-budaya atau socio-cultural alienation (baca tulisan
Badshah & Parlman berjudul “Mega-cities and The Urban Future” dalam buku
suntingan Bridge & Watson “The Blackwell City Reader” 2004: 549).
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kota – kota yang sudah termasuk kategori
metropolitan di tanah air kita (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar)
cenderung semakin tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk
kehidupan manusia yang berbudaya. Fenomena dehumanisasi metropolitan di Indonesia
merebak antara lain karena perhatian para pengelola dan aktor – aktor pembangunannya
terlalu tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi.
Dimensi sosio-kultural di hampir seluruh kota metropolitan di segenap pelosok tanah air
nyaris terabaikan. Banyak yang tidak memahami betul bahwa berbeda dengan
metropolitan di negara maju yang sudah affluent, kota – kota metropolitan di tanah air
kita yang sedang berkembang ini merupakan kota – kota yang bersifat dualistik.
Di satu sisi, sebagian warganya sudah mulai berubah menjadi modern, di sisi lain
sebagian besar warganya masih berperilaku tradisional. Pembangunan shopping centres,
department stores, malls, super-malls marak di segenap penjuru kota, namun pasar
tradisional, toko – toko kecil, warung, pedagang kaki lima juga tidak berkurang.
Apartemen, flats atau rumah susun sudah mulai digalakkan pembangunannya, namun
perumahan kampung juga masih terus bertahan.
Sektor formal dan sektor informal berkembang terus, kendati tokoh – tokoh di
puncak kekuasaan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan sektor formal yang
modern. Tidak heran bila sampai saat ini selalu saja terjadi kisah-kisah penggusuran atau
pembongkaran permukiman kumuh dan kios-kios pedagang kaki lima.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
173
Sebagai kota yang dualistik, mestinya sikap yang diambil oleh penentu kebijakan
pembangunan kota metropolitan adalah sikap Yin-Yang atau Both-And. Keduanya mesti
dirangkul dan dikembangkan bersama – sama, jadi tidak Either-Or atau mementingkan
salah satu pihak saja. Dari sebutannya, sektor informal mengandung konotasi tidak sah,
tidak layak berada di kota metropolitan yang serba formal. Selain itu, gagasan, ide, dan
upaya-upaya untuk memadukan kota-kota metropolitan dengan daerah di sekitarnya
dalam wujud conurbation (lihat pembahasan mengenai kependudukan dan bagian 1 buku
ini), seperti Jabodetabek, Gerbang Kertasusilo, Kedungsepur, dan lain-lain masih sulit
diimplementasikan karena masih kentalnya sikap primordial dan sektoral dari para
pimpinan daerah atau penentu kebijakan. Itu pula sebabnya metropolis di Indonesia
lantas diledek dan dipelesetkan menjadi metropolost alias kota ibu yang hilang.
Kebijakan pembangunan kota metropolitan yang keliru, elitis, dan tidak pro-poor itu
akan menjadikan metropolitan kita menjadi kota yang menyengsarakan warga kotanya.
Itu pula sebabnya muncul tudingan bahwa kota metropolitan negara berkembang, seperti
Indonesia, di masa depan akan menjadi miseropolitan atau kota yang menyengsarakan.
City of tomorrow pun jangan – jangan akan menjadi City of sorrow alias kota yang sarat
dengan kesedihan.
Kota – kota metropolitan di era globalisasi yang tidak memperhatikan dimensi
sosio-kultural dari warganya, diduga akan terlanda arus McWorld, McDonaldization,
atau Manhattanization. Memang, aneka pengaruh globalisasi akan sulit ditangkal
sehingga seperti dikatakan Manuel Castells: “Globalization must be understood in
relation to an historical, processual analysis of labour in relation to the state and the
regulation of the variable incursions, inclusions, or exclusions of the global networks”.
(Susser 2002: 11). Pernik-pernik tata nilai, norma, perilaku, dan artefak bersejarah yang
amat kaya dan beragam di kota – kota metropolitan di tanah air kita bila tidak dijaga
akan tergerus, luntur, dan hilang.
Padahal bila diingat kembali bahwa kota merupakan karya seni sosial (a social work
of art), model – model penyeragaman, apalagi yang bercitra Barat, pasti akan
meluluhlantakkan identitas, jati diri, kekhasan, atau karakter dari kota – kota
metropolitan. Memang perkembangan teknologi abad 20 dan 21 seperti yang terwujud
dalam bentuk mobil, pendingin ruangan, televisi, komputer, dan lain – lain tak akan bisa
dihambat. Pasti akan besar pengaruhnya terhadap pola habitat manusia, tak terkecuali di
kota metropolitan.
Namun, jangan sampai kekhawatiran Daniel Solomon (Global City Blues. 2003: xi)
mengejawantah menjadi kenyataan: “We obliterate the distinctiveness of places and
create new forms of metropolitan confusion”. Jangan sampai obsesi terhadap modernitas
dan teknologi lantas melunturkan atau bahkan menghancurkan kearifan tradisional dan
budaya lokal yang ikut mewarnai wajah metropolitan kita. Martin Heidegger sebagai
seorang filsuf kelas dunia menyebutnya dengan istilah “cultural malaise” dan “loss of
nearness”, yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan bahkan
teror.
Sedangkan Rem Koolhas sebagai arsitek dan perencana kota mengungkapkannya
dengan frasa “globalizing modernism” dan ”cultural homogenization” yang secara
sistematik menghancurkan pusaka budaya atau warisan budaya yang unik. Rasa tempat
atau sense of place yang tercipta dari keunikan budaya setempat mesti dipertahankan,
jangan sampai punah atau lenyap.
Metropolitan di Indonesia
174
Kota – kota metropolitan yang berkembang tak terkendali, memarjinalkan manusia
dengan mengabaikan dimensi sosial-budayanya, akan menjadikannya sebagai monster
yang mengerikan. Dalam kiprah pembangunan kota – kota metropolitan di Indonesia
seyogianya segenap pihak mengambil pelajaran dari kisah-sukses maupun kegagalan
dari pembangunan kota – kota di negara maju. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan
yang sama, yang telah disesali di negara maju.
Misalnya di kota Houston yang angka kriminalitasnya meningkat sehingga orang –
orang kaya di Houston sampai ketakutan dan membuat jalur khusus di bawah tanah yang
diberi nama Connexion yang menghubungkan kawasan pemukiman mewah dengan
down-town. Houston pun lantas memperoleh nick name ‘Ghost-town’. Kita juga jangan
mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi di kota Chicago ketika bangunan kuno
bersejarah dihancurkan untuk memberi tempat pada bangunan pencakar langit yang
modern, sampai muncul ledekan dengan nama paraban Sickago alias kota yang sakit.
Dalam buku terbarunya berjudul “Sociopolis: Project for a City for the Future”
(2004:9), Vicente Guallart dkk mengungkapkan tentang kota metropolitan masa depan di
Eropa dan Amerika yang selalu saja menghadapi persaingan antara The Old dengan The
New, pertempuran kepentingan antara The Rich melawan The Poor, tarik-menarik antara
city centre dengan urban agglomerations. Muncullah gagasan tentang Sociopolis yang
disebutkannya sebagai “A truly integrative and hybrid version of the metropolis for the
future … setting new standards by realizing a dream of social balance. where all citizens
potentially have the same opportunities”.
Aneka bencana perkotaan yang telah terjadi di masa silam akibat kurangnya
perhatian terhadap isu-isu sosio-kultural, keadilan, demokratisasi, keberlanjutan, dan
lain-lain tak seyogianya terulang di masa depan sebagaimana disebutkan oleh Raffacle
Poloscia dalam bukunya “The Contested Metropolis” (2004: 14), bahwa bagaimana pun
juga “Metropolises are containers of dreams, desires, and hopes”.
Ke depan, ada baiknya kita merenungkan kaidah – kaidah pembangunan kota
termasuk kota metropolitan yang antara lain dikemukakan oleh tokoh – tokoh garda
depan gerakan New Urbanism yang berupaya menangkal kecenderungan social-cultural
disintegration, urban sprawl, dan placelessness. Sebetulnya keseluruhannya ada 27
butir, tapi saya peras menjadi 10 saja sehingga bisa disebut sebagai ‘The Ten
Commandments’ atau ‘Sepuluh Perintah Tuhan’ dalam pembangunan kota metropolitan
abad ke-21 atau di era milenium ketiga yang berwajah manusia dan berkelanjutan.
Pertama, dengan prinsip change without loss mengakomodasi evolusi dan
kesinambungan kehidupan warga metropolitan yang multikultur. Konservasi dan
pembangunan, struktur dan kultur, pusat dan periferi merupakan dua muka dari keping
uang yang sama. Kedua, tanpa henti mencoba menciptakan progressive identity dari
kota metropolitan, melepaskan diri dari telikungan regressive identity melalui
pengembangan budaya demokrasi, transportasi, akuntabilitas, dan partisipasi segenap
pemangku kepentingan sesuai tuntutan zaman. Ketiga, mengupayakan pusat – pusat
pertumbuhan jamak (multiple centres atau polynuclei) untuk mencegah kecenderungan
centremania agar terjadi penyebaran aktivitas pada berbagai pelosok kota metropolitan
secara lebih merata dengan keunikan sendiri-sendiri sehingga tercipta mosaik perkotaan
yang indah. Keempat, menjaga eksistensi pusaka budaya sebagai historical precedents,
dilandasi prinsip kota sebagai panggung kenangan. Mesti selalu ditanamkan di benak
kepala bahwa kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
175
ingatan alias gila. Membongkar warisan budaya bukanlah dosa kecil. Kelima,
memelihara taman dan ruang terbuka dalam berbagai level sebagai shared public spaces
yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa aman. Perlu dicamkan bahwa taman
adalah sorganya perkotaan. Keenam, penyediaan affordable housing pada lokasi yang
tepat untuk mencegah konsentrasi kemiskinan. Perumahan jangan sekadar dilihat sebagai
komoditas ekonomi, melainkan lebih merupakan fenomena sosio-kultural sebagai
instrumen pembangunan manusia. Ketujuh, mengupayakan interconnected networks of
streets yang menghargai pedestrian dan memberikan rasa nyaman serta arah yang jelas.
Perhatian pada public transport, terutama mass rapid transit, mesti lebih ditingkatkan.
Kedelapan, menyediakan fasilitas sosial dan infrastruktur atau prasarana umum yang
memadai untuk segenap lapisan warga metropolitan tanpa terkecuali. Segenap agen
pembangunan kota metropolitan dituntut untuk menyediakan fasilitas dan prasarana
umum sesuai standar pelayanan minimum. Kesembilan, menata kawasan pinggiran
secara dini untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkendali. Kawasan pinggiran
mesti disiapkan dengan prinsip kemandirian agar bisa self sufficient, tidak tergantung
pada pusat kota dan tidak sekadar sebagai bedroom community. Kesepuluh, pelibatan
masyarakat dan segenap pemangku kepentingan dalam pembangunan untuk menciptakan
kota metropolitan yang otentik dan rasa paguyuban (sense of community) yang kental.
Tanpa rasa memiliki kota metropolitan, tidak dapat diharapkan tumbuh kembangnya
secara berkelanjutan. Melalui penerapan dan pengejawantahan sepuluh butir panduan
pembangunan seperti tersebut di atas, diharapkan bahwa penduduk atau warga kota
metropolitan di masa depan akan termotivasi untuk ikut aktif berkiprah secara kreatif,
inovatif, dan bertanggung jawab atas keberlanjutan pembangunan kota metropolitan
tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, bersantai, dan beraktivitas budaya sebagai
cerminan masyarakat yang beradab.
KETERKAITAN DESA – KOTA
Pendahuluan
Kinerja kota-kota di abad 21 akan menjadi perhatian global karena pesatnya peningkatan
penduduk perkotaan. Pada tahun 2030, minimal 61persen penduduk dunia akan tinggal
di kota-kota. Pada tahun 2060, lebih dari 80 persen penduduk dunia akan tinggal di kota-
kota (Cities Alliance 2006). Kawasan perkotaan akan menjadi lebih penting karena lebih
dari 80 persen pertumbuhan ekonomi global terjadi di kota-kota. Selain itu, kota-kota
mempunyai produktivitas yang tinggi karena kepadatan penduduknya menciptakan
lingkungan transaksi yang tinggi. Hal ini meningkatkan pendapatan rumah tangga, lebih
dari di kawasan-kawasan non-urban. Kota-kota juga menggunakan energi lebih rendah
per unit output ekonomi, dan biaya per kapita pembangunan infrastruktur lingkungan
juga lebih rendah.
Kawasan perkotaan merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur
dan jasa, yang akan meningkatkan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan.
Perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi arus transformasi, yaitu meningkatnya
jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri
manufaktur dan jasa. Perkembangan kawasan perkotaan terutama akan terjadi di kota-
kota besar dan metropolitan, yang selanjutnya akan memicu pemanfaatan kawasan-
Metropolitan di Indonesia
176
kawasan di sekitarnya. Meluasnya pemanfaatan ruang di sekitar kota-kota besar dan
metropolitan akan mewujudkan keterhubungan dari kota inti dengan kawasan-kawasan
baru dan kota-kota satelit di sekitarnya. Terjadilah penyatuan kawasan-kawasan
terbangun tersebut.
Perkembangan kawasan perkotaan juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade
terakhir, jumlah penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat31.
Sebagaimana halnya di dunia, di Indonesia, pertambahan penduduk perkotaan yang
terjadi tidak tersebar secara merata, terjadi pemusatan di beberapa lokasi, cenderung di
kota-kota besar dan metropolitan, mengakibatkan meningkatnya perkembangan kota-
kota ini, meluap ke kawasan pinggirannya. Secara lebih khusus di Indonesia akan
berkonsentrasi di Jawa, terutama di Jabodetabek.
Kawasan pinggiran ini perlu mendapat perhatian karena di sana telah terjadi
perkembangan yang campur aduk dan tidak terkendali. Guna lahan juga berubah – dari
yang tadinya bersifat desa menjadi bersifat kota. Hilanglah lahan-lahan pertanian,
perkebunan, empang-empang, permukiman berkepadatan rendah menjadi perumahan
berkepadatan tinggi memenuhi kebutuhan kota inti dan untuk pembangunan-
pembangunan industri yang membutuhkan lokasi mendekati kota inti. Ini semua terjadi
secara acak, sendiri, dan terpisah-pisah. Tidak mengacu pada suatu rencana tata ruang
yang disepakati. Akibatnya, kawasan-kawasan perdesaan mengalami transformasi yang
tidak terarah dan terkendali.
Tata guna lahan, pola hidup penduduknya, perekonomian, dan lapangan kerja dapat
memicu pengangguran yang pada gilirannya memicu penduduk masuk ke kota inti.
Kawasan yang baru terbentuk, yaitu dari yang bersifat desa menjadi bersifat kota, juga
akan mengalami kondisi yang jauh dari ideal. Antara lain karena tak tersedianya
perumahan dan infrastruktur yang memadai.
Kepadatan tinggi, keterbatasan infrastruktur lingkungan dasar, keterbatasan akses ke
kota inti membebani jaringan transportasi yang telah ada serta membebani fasilitas-
fasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya hal ini akan menambah
beban kota inti, membebani jaringan transportasi dan membebani biaya hidup penghuni
kawasan pinggiran. Belum lagi dampak pada lingkungan alamnya – polusi udara (karena
transportasi), polusi sungai (karena pembuangan limbah dan sampah), polusi air –
tercemarnya air bersih oleh limbah cair permukiman, perusakan ruang-ruang terbuka
hijau, dan sebagainya. Diperlukan program dan intervensi untuk menangani kawasan
pinggiran kota, baik yang berkarakteristik desa maupun kota.
Kawasan pinggiran dikelompokkan dalam tiga tipologi untuk dapat
mengembangkan program intervensi penanganan kawasan pinggiran. Tipologi ini
dirumuskan berdasarkan karakteristik ke’kota’annya karena akan dapat menggambarkan
isu atau masalah yang dihadapi. Berdasarkan itu dapat diperkirakan program dan
intervensi yang sesuai. Ketiga tipologi tersebut adalah: (a) kawasan pre dominantly
urban; (b) kawasan semi urban; (c) kawasan potential urban. Program intervensi dan
keterkaitan dengan kota inti dapat diturunkan berdasarkan ketiga tipologi tersebut. Di
kawasan pinggiran ini dapat diobservasi desa dan kota serta peranannya di kawasan
metropolitan.
31 Lihat uraian di Bab 5
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
177
Kawasan Metropolitan
Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri dari kota inti dengan kawasan di
sekitarnya yang mempunyai keterkaitan erat dengan kota inti dan berfungsi menerima
luapan kegiatan atau kebutuhan permukiman dan kegiatan dari kota inti. Kawasan
sekitarnya ini dapat meliputi kawasan permukiman skala besar atau skala menengah,
permukiman baru yang tersebar, kota-kota baru, atau kota-kota kecil lainnya. Kawasan
ini sering disebut sebagai ”urban fringe”.
Untuk menggambarkan karakteristik kawasan metropolitan ini akan digunakan
kawasan metropolitan Jabodetabek sebagai contoh. Sebagai tambahan dari analisis
kependudukan yang telah dijelaskan di bagian depan bab ini, akan dibahas di sini
mengenai guna lahan: dominasi, persebaran, serta pola perubahannya. Selanjutnya,
dibahas pola pengembangan kawasan-kawasan permukiman: pembangunan baru
berskala besar, kota-kota baru, dan kota-kota kecil sekitarnya yang tumbuh dengan pesat.
Ini semua akan membangkitkan pola pergerakan ulang alik ke kota inti (dalam hal ini
DKI Jakarta) dan menggunakan jaringan transportasi yang ada. Kesenjangan antara
kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur biasanya merupakan permasalahan utama
kawasan pinggiran.
Struktur Ruang dan Pergerakan Penduduk
Struktur ruang kawasan Jabodetabek dibentuk oleh jaringan jalan dan kereta api serta
pusat-pusat permukiman, seperti kota baru atau permukiman skala besar.
a. Sampai paruh kedua dekade 1990-an (+ 1996) ratusan kawasan permukiman baru dibangun di wilayah Jabodetabek, yaitu 103 kawasan di DKI Jakarta, 130 di
Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Kabupaten dan Kodya Bekasi, dan 152 di
Kabupaten dan Kodya Tangerang (Uguy 2006).
Kawasan permukiman baru ini kebanyakan bukan merupakan kawasan permukiman
skala besar. Baru mulai akhir tahun 1900-an mulai dibangun permukiman skala
besar (> 500 ha) dan kota-kota baru oleh pengembang swasta. Pembangunan kota
baru dimulai sekitar tahun 1989 dengan Kota Baru Mandiri BSD (Bumi Serpong
Damai), diikuti dengan Bintaro Jaya, Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Tiga Raksa,
Kota Legenda (Bekasi 2000), dan sebagainya. Selanjutnya, di Kabupaten Bogor ada
lima wilayah baru, yaitu Rancamaya (550 ha). Royal Sentul (2000 ha), Kota
Cileungsi (2000 ha). ditambah dengan Lido Lake Resort dan Jonggol. Di Tangerang,
selain Bumi Serpong Damai (6000 ha) dan Tiga Raksa (3000 ha), banyak
perumahan lain, seperti Citra Karya, Bintaro Jaya, Gading Serpong, Pantai Indah
Kapuk, Lippo Karawaci, Alam Sutra, dan Perumahan Modern. Di Bekasi ada Lippo
Cikarang (5000 ha), Kota Legenda, Cikarang Baru, dan lain-lain. Tabel 4
memberikan luas kawasan-kawasan permukiman skala besar ini (> 500 ha).
b. Kawasan Jabodetabek dilayani jaringan jalan dan jaringan kereta api. Panjang jaringan jalan yang ada di wilayah Jabodetabek adalah 11.344 km, lebih dari 50
persen jaringan jalan berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sisanya tersebar
merata di seluruh kota/kabupaten di sekitarnya (1.450 km di Kabupaten/Kota
Bekasi, 1.358 km di Kota/Kabupaten Tangerang, 1.763 km di Kota/Kabupaten
Metropolitan di Indonesia
178
Bogor, dan 245 km di Depok). Panjang jalan tol di DKI Jakarta juga mencapai lebih
dari 50 km dari total panjang jalan tol (lihat TABEL 5 - 19).
TABEL 5 - 18 Kawasan Permukiman Skala Besar (>500 ha) di Jabotabek
No. Nama Luas (ha) Lokasi
1 Milik PT Pembangunan Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi
2 Milik PT Lippo City Development 780 Kab. Bekasi
3 Milik PT Pura Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi
4 Cikarang Baru 1.400 Kab. Bekasi
5 Bekasi Matra Real Estate 500 Kab. Bekasi
6 Milik PT Dwigunatama Rintisprima 850 Kab. Bekasi
7 Kota Legenda (Bekasi 2000) 2.000 Kab & Kot. Bekasi
8 Milik PT Sinar Bahana Mulia 800 Kab. Bekasi
9 Pantai Modern 500 Kab. Bekasi
10 Lippo Cikarang 3.000 Kab. Bekasi
11 Harapan Indah 800 Kab. Bekasi
12 Bukit Jonggol Asri 30.000 Kab. Bogor
13 Citra Indah 1.000 Kab. Bogor
14 Kota Taman Metropolitan 600 Kab. Bogor
15 Kota Wisata 1.000 Kab. Bogor
16 Bukit Sentul 2.000 Kab. Bogor
17 Rancamaya 500 Kab. Bogor
18 Resort Danau Lido 1.700 Kab. Bogor
19 Taruma Resort 1.100 Kab. Bogor
20 Talaga Kahuripan 750 Kab. Bogor
21 Kota Tenjo 3.000 Kab. Bogor
22 Milik PT Bangun Jaya Triperkasa 500 Kab. Bogor
23 Maharani Citra Pertiwi 1.679 Kab. Bogor
24 Milik PT Banyu Buana Adhi Lestari 500 Kab. Bogor
25 Kotabaru Tigaraksa 3.000 Kab. Tangerang
26 Puri Jaya 7.145 Kab. Tangerang
27 Citra Raya 3.000 Kab. Tangerang
28 Lippo Karawaci 2.000 Kab. Tangerang
29 Gading Serpong 1.500 Kab. Tangerang
30 Alam Sutera 700 Kab. Tangerang
31 Bumi Serpong Damai 6.000 Kab. Tangerang
32 Bintaro Jaya 2.321 Kab. Tangerang
33 Kota Modern 770 Kab. Tangerang
34 Kota Wisata Teluk Naga 8.000 Kab. Tangerang
35 Kota Jaya 1.745 Kab. Tangerang
36 Pantai Indah Kapuk 800 DKI Jakarta
Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 1997
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
179
TABEL 5 - 19 Panjang Jalan di Kawasan Jabodetabek
Panjang Jalan Jalan Tol
No. Kota/Kabupaten Km % Km %
1 DKI Jakarta 6.548.4 58% 113.0 52%
2 Kota/Kabupaten
Bogor 1.762.7 16% 23.9 11%
3 Kota/Kabupaten
Bekasi 1.450.1 13% 34.2 16%
4 Kota/Kabupaten
Tangerang 1.357.7 12% 36.4 17%
5 Kota Depok 245.0 2% 7.8 4%
6 TOTAL 11.363.9 100% 215.3 100%
Sumber : SITRAMP II. 2006
TABEL 5 - 20 Perkapita Jalan dan Jalan Tol
Panjang Jalan Jalan Tol
Kota/Kabupaten
Jumlah
Penduduk Km %
Perkapita
(km/1000
penduduk) Km %
Perkapita
(km/1000
penduduk)
DKI Jakarta 7.610.349 6.548.4 58% 0.9 113.0 52% 0.02
Kota/Kab. Bogor 4.212.605 1.762.7 16% 0.4 23.9 11% 0.01
Kota/Kab. Bekasi 3.280.810 1.450.1 13% 0.4 34.2 16% 0.01
Kota/Kab. Tangerang 4.093.174 1.357.7 12% 0.3 36.4 17% 0.01
Kota Depok n.a 245.0 2% n.a 7.8 4% n.a
TOTAL 19.196.938 11.363.9 100% 2.0 215.3 100% 0.05
GAMBAR 5 - 9 memberikan gambaran persebaran jaringan jalan dan jalan tol.
Panjang jalan tol di DKI juga mencapai hampir 50 persen dari total panjang jalan tol
di Jabodetabek. Dari panjang jalan dan jalan tol, DKI Jakarta paling terlayani
dengan baik dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Perkapita (panjang jalan per
jumlah penduduk) jalan dan jalan tol DKI Jakarta masih mendominasi (Lihat
TABEL 5 - 20).
Jaringan jalan kereta api dapat dilihat pada GAMBAR 5 - 10. Dari DKI Jakarta ada 3
jalur utama yaitu menghubungkan dengan Kabupaten/Kota Tangerang dengan
Kabupaten/Kota Bogor dan Kabupaten/Kota Bekasi, menggunakan KRL atau KRD.
GAMBAR 5 - 11 menunjukkan stasiun yang dilalui kereta api dengan jumlah
penumpangnya per hari. Terpadat adalah jalur dari Jakarta Kota (di Utara) ke Bogor
(Selatan) terutama jalur tengah. Jaringan jalan dan jaringan kereta api saling
melengkapi menghubungkan DKI Jakarta dengan pusat-pusat permukiman di
sekitarnya.
Metropolitan di Indonesia
180
GAMBAR 5 - 9 Jaringan Jalan Jabodetabek Sumber : SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master
Plan for Jabodetabek II) Railway Passenger Survey 2000 Legenda : - jaringan jalan
----- jaringan jalan tol
GAMBAR 5 - 10 Jaringan Jalan Kereta Api Jabodetabek
Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey 2000
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
181
GAMBAR 5 - 11 Peta Volume Penumpang Jalur Kereta
Api Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey. 2000
c. Jaringan jalan dan jalan kereta api tersebut di atas melayani pergerakan ulang alik dari kawasan Botabek ke DKI Jakarta (URDI 2006). Meskipun jumlah penduduk
DKI Jakarta sebagai kota inti mengalami penurunan, namun daya tariknya masih
kuat sebagai penyedia lapangan kerja serta pelayanan sosial-ekonomi-budaya.
Fasilitas-fasilitas dan peluang kerja yang ditawarkan masih besar sehingga menarik
pendatang-pendatang baru ataupun pekerja/karyawan yang tinggal di kawasan
pinggirannya, di Bodetabek. Ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penglaju baik
dengan angkutan umum, angkutan dari kantor, maupun kendaraan pribadi (Lihat
TABEL 5 - 21).
Pejalan ulang alik terbanyak adalah dari Kabupaten Tangerang (241.570) diikuti
Kota Bekasi (129.020) dan Kota Depok (99.413). Ini terutama dari kawasan-
kawasan permukiman yang langsung berbatasan atau dekat dengan DKI Jakarta.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar komuter ke Jakarta adalah
dari golongan pendapatan Rp 1,2 juta – Rp 2 juta (+ 45 persen) dan dari golongan
pendapatan Rp 2,0 juta – Rp 3,8 juta (+ 30 persen). Golongan pendapatan > Rp 3,8
Metropolitan di Indonesia
182
paling sedikit (+ 4 persen). Ini dapat disebabkan mereka bertempat tinggal di DKI
Jakarta.
TABEL 5 - 21 Pekerja Komuter Usia 15 Tahun Ke Atas
Golongan Pendapatan (Rp 000)
Kab/Kot 100-1999 1200-1999 2000-3799 > 3799
Jumlah
(100%)
Kab Bogor
27.385
(38.56%)
26.640
(37.51%)
15.311
(21.56%)
1.690
(2.38%) 71.026
Kab Bekasi
9.871
(22.48%)
15.839
(36.07%)
16.602
(37.81%)
1.595
(3.63%) 43.907
Kota Bogor
1.927
(17.68%)
4.575
(41.98%)
3.762
(34.52%)
635
(5.83%) 10.899
Kota Bekasi
18.528
(14.36%)
67.537
(52.35%)
37.790
(29.29%)
5.165
(4.00%) 129.020
Kota Depok
19.691
(19.81%)
42.934
(43.19%)
32.504
(32.70%)
4.284
(4.31%) 99.413
Kab Tangerang
52.000
(21.53%)
106.906
44.25%)
72.088
(29.84%)
10.576
(4.38%) 241.570
Kota
Tangerang
12.334
(16.04%)
37.921
(49.31%)
24.111
(31.35%)
2.534
(3.30%) 76.900
Jumlah 141.736
(21.07%)
302.352
(44.94%)
202.168
(30.05%)
26.479
(3.94%) 672.735
Sumber: diolah dari LP3E Unpad. 2006
Guna Lahan
Dari studi SITRAMP II sebagaimana disebutkan dalam URDI (2006) pada tahun 2000,
klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota meliputi 14 penggunaan. Untuk
menyederhanakan, maka penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4
kelompok yaitu permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas publik, dan ruang terbuka
(Lihat TABEL 5 - 22).
GAMBAR 5 - 12 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tahun 2000, yang
terbesar adalah untuk pertanian dan ruang terbuka (51 persen) diikuti dengan kampung
berkepadatan rendah (20 persen) serta semak dan hutan (10 persen). Luas penggunaan
lahan lain (perumahan terencana, kampung kepadatan tinggi, industri dan gudang,
komersial dan bisnis) relatif rendah, kurang dari 10 persen.
Penggunaan terbesar di Jabodetabek adalah untuk pertanian dan ruang terbuka di
Kabupaten Bogor (+ 111.000 ha), di Kabupaten Bekasi (+ 84.000 ha), dan di Kabupaten
Tangerang (+ 67.000 ha). Sedangkan semak dan hutan banyak terdapat di Kabupaten
Bogor (+ 60.000 ha) dan Kota Depok (+ 304 ha). Hal tersebut berarti bahwa masih
cukup banyak kawasan/kampung yang bersifat perdesaan. Namun, dengan berjalannya
waktu, telah terjadi perubahan guna lahan yang sangat pesat dalam kurun waktu + 1,5
tahun (1985-2002) (Lihat TABEL 5 - 23).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
183
TABEL 5 - 22 Penggunaan Lahan per Kab/Kota Jabodetabek. tahun 2000 Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002
Penggunaan Lahan
No Kab/Kota Luas (ha)
Perumahan
Terencana
Kampung
Kep.Tinggi
Kampung
Kep.Rendah
Industri &
Gudang
Komersial &
Bisnis
Pendidikan &
Fas.Publik Pemerintahan
1 Jakarta Selatan 14.573 3.341.6 6.152.7 836.5 37.9 1.190.6 505.7 196.7
2 Jakarta Timur 18.773 3.221.4 6.262.7 1.873.5 1.184.6 580.1 475.0 118.3
3 Jakarta Pusat 4.790 743.9 1.727.8 94.8 24.4 1.081.6 213.6 198.3
4 Jakarta Barat 12.615 3.370.7 3.832.4 880.5 691.3 830.1 282.6 53.0
5 Jakarta Utara 15.401 3.228.0 2.006.8 857.8 2.957.0 679.2 195.6 38.5
6 Kota Tangerang 16.455 1.872.6 1.359.2 5.107.6 1.688.3 133.3 29.6 1.6
7 Kab. Tangerang 111.038 5.629.6 1.376.9 26.049.5 2.720.4 344.2 33.3 11.1
8 Kota Depok 20.029 2.866.1 699.0 8.993.0 326.5 88.1 394.6 6.0
9 Kota Bogor 11.850 1.800.0 0.0 5.359.8 406.5 124.4 0.0 0.0
10 Kab. Bogor 206.327 1.671.2 0.0 30.185.6 1.052.3 61.9 165.1 0.0
11 Kota Bekasi 21.049 4.258.2 585.2 10.772.9 791.4 122.1 29.5 8.4
12 Kab. Bekasi 127.954 2.047.3 0.0 23.812.2 3.633.9 89.6 0.0 0.0
13 Jakarta Selatan 14.573 182.2 1.509.8 266.7 37.9 2.9 0.0 311.9
14 Jakarta Timur 18.773 107.0 3.955.5 268.5 319.1 1.9 0.0 403.6
15 Jakarta Pusat 4.790 148.5 298.4 88.6 13.9 0.0 0.0 156.6
16 Jakarta Barat 12.615 49.2 2.340.1 251.0 16.4 1.3 0.0 16.4
17 Jakarta Utara 15.401 98.6 3.454.4 1.640.2 12.3 1.5 3.1 229.5
18 Kota Tangerang 16.455 16.5 5.505.8 314.3 383.4 41.1 0.0 0.0
19 Kab. Tangerang 111.038 55.5 66.967.0 6.962.1 299.8 88.8 11.1 499.7
20 Kota Depok 20.029 38.1 5.479.9 368.5 6.0 304.4 0.0 460.7
21 Kota Bogor 11.850 0.0 3.902.2 181.3 0.0 75.8 0.0 0.0
22 Kab. Bogor 206.327 0.0 111.561.0 1.774.4 227.0 59.546.0 0.0 41.3
23 Kota Bekasi 21.049 2.1 4.336.1 130.5 2.1 6.3 0.0 0.0
24 Kab. Bekasi 127.954 0.0 83.963.4 14.049.3 0.0 38.4 230.3 0.0
Metropolitan di Indonesia
184
GAMBAR 5 - 12 Rasio Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2000
Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002
TABEL 5 - 23 Konversi Lahan Pertanian
Prosentase Hasil Konversi (%)
Wilayah
Luas Total
Wilayah
(ribu ha)
Total Luas
Konversi
(ribu ha)
Peru-
mahan Industri
Perkan-
toran
Lain-
Lain
Kota Bekasi 148.44 5.62 30.7 67.4 1.4 0.4
Kab. Tangerang 123.53 4.18 36.9 37.1 2.5 23.5
Kota Tangerang 18.38 3.28 62.1 35.8 1.9 0.2
Total 290.35 13.08 40.6 49.8 1.9 7.7
Sumber: BPS Jawa Barat. 1998 dalam Yulinawati 2005
TABEL 5 - 24 Perubahan Guna Lahan
Guna Lahan Tahun 1985 (ha) Tahun 2002 (ha)
Perumahan Formal 10.816 11.11% 20.900 22.02%
Perumahan Informal 37.865 38.89% 43.167 44.33%
Industri 4.621 4.75% 7.346 7.54%
Pertanian 44.074 45.26% 23.501 24.13%
Sumber : SITRAMP 2. 2004
Perumahan, baik formal maupun informal, menunjukkan perubahan yang besar,
hampir 15.000 ha. Industri mengalami peningkatan hampir 3.000 ha. Pertanian
mengalami pengurangan yang cukup besar yakni sekitar 11.000 ha. Konversi lahan
pertanian dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada TABEL 5 - 24.
Dari Kabupaten/Kota Bekasi dan Tangerang, dari total wilayah 13.08 ribu ha, 40,6
persen terkonversi menjadi perumahan, 49,8 persen menjadi industri, dan 9,6 persen
menjadi perkantoran dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa banyak lahan dan kegiatan
yang mencirikan perdesaan terkonversikan menjadi kegiatan yang berciri urban –
perumahan dan industri. Dari kelompok perumahan, paling tinggi menjadi kampung
berkepadatan rendah (20 persen), sedangkan penggunaan untuk perumahan terencana
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
185
dan kampung berkepadatan tinggi mencapai 10 persen. Jelas ini sudah merupakan
kawasan berkarakteristik perkotaan.
Dinamika Kawasan Pinggiran Metropolitan
Kawasan Pinggiran di sini diartikan urban fringe, yaitu kawasan yang terdapat di sekitar
kota besar atau metropolitan. Bersama sebuah atau lebih kota inti membentuk kawasan
metropolitan. Pada umumnya kawasan pinggiran ini terdiri dari penggunaan lahan yang
campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Secara
teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan
perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Lihat GAMBAR 5 - 13).
Sumber mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal
menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota.
Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota
akan bergeser menjauhi pusat kota (Lihat GAMBAR 5 - 14).
Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis
mengelilingi pusat kota. Namun, pada kenyataannya merupakan suatu kawasan dengan
lebar yang bervariasi. Ini yang diartikan sebagai kawasan pinggiran metropolitan.
GAMBAR 5 - 13 Lokasi Urban Fringe Secara Teoretis
Metropolitan di Indonesia
186
GAMBAR 5 - 14 Pergeseran Urban Fringe
Tipologi Kawasan Pinggiran
Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan
serta fungsi kegiatan ekonominya, kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam
tiga kategori atau tipologi:
a. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi,
penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri
ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke
kota inti relatif baik. Kawasan predominantly urban ini kemungkinan besar tercipta
karena telah ada kota-kota atau permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti kota
Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan
permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan
sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau
sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan
arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini adalah yang kita kenal sebagai
”suburbanisasi” dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti.
b. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke perkotaan. Ciri utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah,
baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana,
kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya
juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang
terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa
pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor oriented
industries). Guna lahannya campur aduk, antara untuk kegiatan rural dan kegiatan
perkotaan (perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, jasa pelayanan,
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
187
dan sebagainya). Akses ke kota inti terbatas; ini merupakan kawasan periurbanisasi
atau awal proses suburbanisasi.
c. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural – berkarakteristik desa tapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadi
urban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan
kawasan semi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan
perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya aksesibilitas berupa jaringan jalan atau
kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga
adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan
perkotaan (URDI. 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke
pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun.
Akses ke kota inti sangat terbatas. hampir tidak ada.
Untuk kawasan metropolitan Jabodetabek ketiganya dapat dilihat dari GAMBAR 5 - 15.
Terkait dengan kepadatan penduduk dan guna lahan serta aktivitas penduduknya,
maka desa-desa di kawasan pinggiran ini ada yang masih bersifat rural, ada yang sudah
menunjukkan gejala-gejala menuju urban, dan ada yang sudah bersifat urban.
Dari GAMBAR 5 - 15 maka terlihat bahwa kebanyakan kecamatan-kecamatan yang
langsung berbatasan dengan DKI Jakarta berkarakteristik predominantly urban atau semi
urban. Dikaitkan dengan jaringan transportasi, kedua tipe kawasan ini dilalui jaringan
jalan atau jalan kereta api. Lihat juga pada peta 1 dan peta 2 (jaringan jalan dan kereta
api); peta 4 (penggunaan lahan 2000) serta peta 5 dan peta 6 (jumlah penduduk
Jabodetabek 2000 dan 2004 per kecamatan).
Pola Perubahan
Ketiga tipologi kawasan pinggiran akan turut mengalami perubahan dengan adanya
perkembangan di kawasan metropolitan Jabodetabek dan di kota inti DKI Jakarta.
Perkembangan global akan mempengaruhi kawasan metropolitan Jabodetabek terutama
dalam bidang perekonomian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kependudukan
(jumlah dan struktur) dan perubahan tata guna lahan.
a. Ekonomi dan konversi lahan
Sebagaimana telah disampaikan di muka, peranan kawasan metropolitan
Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan masih
akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan/manufaktur dan sektor jasa, yang
secara nasional meningkat pangsanya – dari 23.8 persen menjadi 26.8 persen - akan
meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek.
Lokasi peningkatan kegiatan ekonomi tersebut akan menyebar sebagai berikut:
- industri jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan
metropolitan yakni di kota inti DKI Jakarta (GAMBAR 5 - 19), tetapi mulai
menyebar mengikuti jaringan transport dan konsentrasi permukiman terutama
ke arah Selatan. Kegiatan ini terjadi di tipe kawasan predominantly urban.
Metropolitan di Indonesia
188
GAMBAR 5 - 15 Peta Urban Fringe Jabodetabek Berdasarkan Tipologinya
GAMBAR 5 - 16 Pengunaan Lahan Jabodetabek 2000
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
189
GAMBAR 5 - 17 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2000 per Kecamatan
GAMBAR 5 - 18 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2004 per Kecamatan
Metropolitan di Indonesia
190
GAMBAR 5 - 19 Sebaran Lokasi Fasilitas Komersial dan Bisnis di
Jabodetabek Sumber: SITRAMP2. 2004
GAMBAR 5 - 20 Sebaran Kawasan Industri dan Pergudangan Jabodetabek
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
191
- industri manufaktur dan pergudangan (GAMBAR 5 - 20) terkonsentrasi di
kawasan pelabuhan kota inti DKI Jakarta, mengikuti jaringan transport ke Barat
ke arah Tangerang; Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi di tipe
kawasan semi urban dan potential urban. Persebaran ini terjadi di kawasan
predominantly urban dekat Kota Depok.
- pertanian (lihat TABEL 5 - 23) mengalami penyusutan luas dari sekitar 44 ha di
tahun 1985 menjadi sekitar 23,5 H di tahun 2002. Konversi ini (lihatTABEL 5 -
22) terjadi di Kabupaten/Kota Tangerang dan Bekasi terutama untuk
penggunaan perumahan dan industri (sekitar 13 ribu ha dari total 290,4 ha lahan
pertanian). Konversi lahan pertanian ini paling agresif terjadi di Kabupaten
Bekasi terutama untuk mewadahi kegiatan industri yang merupakan sektor
utama di daerah tersebut. Perubahan tersebut terjadi di kawasan-kawasan
sebagai berikut:
TABEL 5 - 25 Perubahan Kegiatan
- peningkatan industri jasa dan perdagangan Predominantly Urban
- peningkatan industri manufaktur
- peningkatan industri manufaktur Semi Urban
- peningkatan permukiman
- peningkatan industri manufaktur Potential Urban
- konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri
b. Kependudukan
Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir
meningkat di Jabodetabek, kecuali di DKI Jakarta yang relatif stabil bahkan di
Jakarta Pusat yang mengalami penyusutan. Secara spasial peningkatan jumlah
penduduk terdapat di kecamatan-kecamatan yang berdekatan atau berbatasan dengan
DKI terutama di Kota Tangerang dan Kota Depok (kawasan predominantly urban).
Walaupun ada juga di beberapa kecamatan di pinggiran Kabupaten-kabupaten
Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang relatif jauh dari DKI Jakarta. Kecamatan-
kecamatan di atas berdasarkan jumlah penduduknya berubah dari tipologi semi
urban dan potential urban menjadi predominantly urban dan semi urban.
Terkait dengan kepadatan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2004) telah
terjadi juga kenaikan kepadatan penduduk. Paling tinggi kepadatan masih tetap di
DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan Jabodetabek. Di luar DKI Jakarta peningkatan
kepadatan tinggi terjadi di kota-kota sekitar, seperti Kota Bekasi, Kota Tangerang,
Kota Bogor, dan Kota Depok. Kota-kota ini meningkat perannya sebagai sub pusat
kegiatan dengan fungsi permukiman atau pendidikan. Kota-kota ini termasuk tipe
kawasan predominantly urban dan di sekelilingnya adalah kebanyakan tipe kawasan
semi urban. Kemungkinan besar kawasan-kawasan ini akan menjadi predominantly
urban dan kawasan yang potential urban akan menjadi semi urban.
Metropolitan di Indonesia
192
Strategi dan Kebijakan
Perubahan atau perkembangan tipologi kawasan dari predominantly urban menjadi fully
urban – dalam arti kecamatan-kecamatannya mengalami transformasi menyatu dengan
kota inti; dari semi urban menjadi predominantly urban dan dari potential urban menjadi
semi urban atau bahkan predominantly urban akan dipengaruhi oleh beberapa kebijakan
atau intervensi dari pemerintah maupun dari masyarakat/dunia usaha. Pada saat ini
strategi yang ingin digunakan di Kawasan Metropolitan Jabodetabek adalah mendorong
pengembangan poros Timur – Barat dan membatasi pengembangan ke arah Selatan yang
merupakan resapan air.
Bila dilihat GAMBAR 5 - 15 (tipologi urban fringe) maka poros Timur – Barat
masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama di kawasan-kawasan semi urban,
potential urban, dan predominantly rural. Hal ini terkait pada kebijakan makro untuk
Kawasan Metropolitan Jabodetabek – seberapa luas lahan yang akan dipertahankan dan
di mana lokasinya untuk tetap menjadi kawasan perdesaan/pertanian (predominantly
rural) yang saat ini masih cukup banyak yakni 51 persen. Pembatasan ke arah selatan
memerlukan regulasi yang cukup ketat dan diawasi pelaksanaannya secara konsisten.
Pengembangan saat ini banyak yang mengarah ke selatan. Masyarakat perlu dilibatkan
dalam pengawasan ini.
Kebijakan umum dan khusus berupa program dan instrumen bagi ketiga tipologi
dapat dilihat dari TABEL 5 - 26 dan TABEL 5 - 27. Kebijakan-kebijakan ini pada
ujungnya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan makro nasional
dan sektoral seperti antara lain:
- Keputusan pembangunan jaringan transportasi baru – jalan tol, jalan kereta api, dan
jalan raya (arteri nasional).
- Keputusan pengembangan permukiman baru – antara lain dengan meningkatkan
kepadatan (KLB tinggi, KLB rendah).
Keputusan-keputusan ini penting untuk menetapkan di mana akan dilaksanakan.
Kedua kegiatan tersebut akan menarik kegiatan-kegiatan terkait seperti pusat-pusat
kegiatan dan pelayanan serta membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana
pendukung. Seyogianya itu semua mengacu pada satu tata ruang Kawasan Metropolitan
yang disepakati semua pihak – Pemerintah Pusat, Pemerintah-pemerintah Daerah, serta
masyarakat dan dunia usaha terkait di sektor-sektor terkait (seperti jaringan jalan raya,
jalan kereta api, jaringan air bersih dan pembuangan, industri dan perdagangan, dan
sebagainya).
Penutup
Bagaimana implikasi perkembangan metropolitan pada desa dan kota yang berada dalam
Kawasan Metropolitan serta kebijakan dan kelembagaan seperti apa yang dapat
mengelola/menanganinya merupakan isu yang akan dibahas dalam bagian ini.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
193
TABEL 5 - 26 Kebijakan Umum dan Usulan Program per Tipologi Urban Fringe
No Jenis Kebijakan
Predominantly Urban Semi Urban Potential Urban
1 Pemanfaatan
lahan untuk kegiatan budi
daya
Pengembangan mixed
use; Pembangunan secara vertikal (KLB
tinggi. KDB rendah)
Pengembangan lahan
terbangun yang menunjang kegiatan
perkotaan
Dipertahankan
sebagai lahan tidak terbangun;
Mempertahankan
fungsi ekologis / lindung kawasan.
2 Pengembangan
pusat-pusat
kegiatan baru
Pengembangan pusat-
pusat kegiatan
regional
Pengembangan urban
agriculture dan industri
padat karya
Pengembangan urban
agriculture
Kegiatan eknomi yang tidak
merugikan fungsi ekologis (eco-
tourism. dll)
3 Mengefisienkan dan
mengefektifkan
lokasi pusat-pusat kegiatan ekonomi
Pengembangan kegiatan perkotaan
Pengembangan urban agriculture dan industri
yang berorientasi
tenaga kerja
Pengembangan urban agriculture
4 Peningkatan
penyediaan prasarana
Penyediaan prasarana
yang mendukung kegiatan perkotaan
untuk skala regional
Penyediaan prasarana
yang mendukung urban agriculture dan industri
Penyediaan
prasarana yang mendukung urban
agriculture
Sumber : URDI 2006
TABEL 5 - 27 Contoh Instrumen untuk Kebijakan-kebijakan Khusus
No Jenis Kebijakan Predominantly
Urban Semi Urban Potential Urban
Kebijakan
Khusus
1 Pengembangan Yang Ada
Dibatasi
Menaikkan Beban Pajak Untuk Kegiatan
Perkotaan: Bisnis Dan
Komersial; Mengurangi Ijin-Ijin
Pembangunan;
Mengembalikan Fungsi Ruang
Terbuka Hijau
Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol;
Membatasi Ijin-Ijin
Untuk Kegiatan Yang Menyebabkan
Degradasi Lingkungan
Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non
Tol;
Meningkatkan Fungsi Lindung
Kawasan Untuk
Bagian Selatan Jabodetabek
2 Pengembangan Yang Ada
Didorong
Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan
Prasarana Perkotaan
Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan
Prasarana Perkotaan; Meningkatkan
Pemanfaatan Lahan
Terbangun
Meningkatkan Penyediaan Sarana
Dan Prasarana Kota; Meningkatkan
Pembangunan Jalan
Baru Untuk Pergerakan Internal
Dan Eksternal
Jabodetabek
Sumber : URDI 2006
Metropolitan di Indonesia
194
Hubungan Desa dan Kota
Dari gambaran di atas terlihat bahwa desa dan kota sangat erat kaitannya dan dengan
mudah terjadi perubahan dari desa menjadi kota. Dari yang predominantly rural atau
potential urban dapat menjadi semi urban dan predominantly urban.
Suatu studi kasus (Uguy 2006) di suatu kecamatan (Cimanggis) memberikan hasil
sebagai berikut: Kecamatan Cimanggis merupakan kawasan peri urban yaitu
mempunyai tata guna lahan campuran rural dan urban yang tak tertata. Perubahan
peruntukan lahan yang sangat cepat untuk pembangunan permukiman. Kecamatan ini
juga membangkitkan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan lingkungan, jalan
arteri, dan jalan tol. Kepadatan penduduknya 75 jiwa/ha lebih tinggi dari kepadatan
kabupaten tapi belum setinggi kepadatan kota. Tetapi peningkatan kepadatan ini sangat
tinggi (6,3 persen per tahun). Kompleks perumahan bertambah dari 32 kompleks (1992)
menjadi 57 kompleks (2002) hampir dua kalinya (Uguy 2006: hal. 127). Pertambahan
penduduk terjadi terutama karena perpindahan dari DKI Jakarta. Sebanyak 84 persen
dari penghuni di kompleks perumahan dan 54 persen dari penghuni non perumahan
(kampung) sebelumnya tinggal di DKI Jakarta.
Kegiatan utama Cimanggis sebagian masih berupa pertanian (sawah, ladang, kebun
campuran dengan rumah) sebesar 73 persen. Namun, sekitar 27 persen telah berubah
menjadi perumahan, industri, jalan, dan lain-lain. Hal ini semua menunjukkan bahwa
kecamatan Cimanggis yang sekitar 5 tahun yang lalu masih berciri desa, kini telah
mengalami transformasi dalam transisi menjadi kecamatan berciri kota. Ini merupakan
fenomena yang umum terjadi di kecamatan-kecamatan sekitar DKI Jakarta,. yaitu di
kawasan pinggiran yang semula hanya tipe potential urban menjadi predominantly
urban. Desa-desa yang dilalui atau dekat dengan jaringan transportasi ke Jakarta akan
mengalami transformasi menjadi kota yang lebih cepat. Jika tidak ada intervensi dari
pemerintah, hal ini akan menerus terjadi dan akan menimbulkan urban sprawl.
Intervensi Strategi dan Kebijakan
Intervensi yang dapat dilakukan perlu secara menyeluruh dari tingkat nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota, meliputi intervensi dalam aspek kelembagaan dan keuangan, aspek
pembangunan fisik dan lingkungan, serta dalam aspek pelayanan publik. (URDI. 2006).
Dalam hal ini intervensi kelembagaan dan keuangan antara lain dapat dilakukan melalui:
- membentuk wadah kerja sama (baru atau revitalisasi/perluasan wadah yang sudah
ada);
- merumuskan mekanisme kerja sama dan pembuatan keputusan;
- koordinasi perencanaan dan pendanaan pembangunan secara terpadu (lintas sektor
dan lintas wilayah).
Dalam hal intervensi aspek pembangunan fisik dan lingkungan dapat dilakukan antara
lain :
- penyusunan rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan terpadu secara
bersama-sama;
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan
195
- perencanaan pengembangan jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan secara
bersama (spasial maupun temporal);
- perencanaan pemanfaatan sumber daya alam, seperti sumber air baku, sungai dan
danau, dan sebagainya.
Dalam hal intervensi aspek pelayanan publik antara lain dapat dilakukan melalui
pengembangan program-program :
- pelayanan transportasi terpadu multimoda.
- pelayanan penyediaan air bersih, pembuangan, dan persampahan (disarikan dari
URDI 2006).
Beberapa intervensi itu harus dilakukan dari tingkat pusat, seperti mekanisme
perencanaan yang melibatkan propinsi-propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten),
pembangunan skala besar dan banyak daerah seperti jaringan transportasi multimoda
yang melayani ketiga propinsi, dan sebagainya.
Metropolitan di Indonesia
196