Click here to load reader
Upload
lediep
View
280
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
V
PERBAND
DA
VELOFAR
Diajukan s
PROGRAM
DINGAN SE
AN SEFALO
RINGEAL P
DI R
sebagai sala
FA
M PENDID
P
UNIVERS
ENSITIVIT
OMETRI D
PASCA REK
RSAB HAR
ah satu syara
Ilmu
LOLITA
0
AKULTAS
DIKAN DOK
J
OK
PERNYATA
ii
SITAS INDO
TAS DAN S
DALAM ME
KONSTRUK
RAPAN KIT
TESIS
at untuk me
u Bedah Mu
A DIAN EVA
0806390383
KEDOKTE
KTER GIG
JAKARTA
KTOBER 20
AAN ORISI
ONESIA
PESIFISIT
ENILAI INS
KSI CELAH
TA JAKART
emperoleh g
ulut
AYANI
ERAN GIG
GI SPESIAL
014
INALITAS
TAS MIRRO
SUFISIENS
H LANGIT
TA
gelar Spesia
I
LIS BEDAH
OR TEST
SI
T-LANGIT
alis dalam
H MULUT
iv
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan
rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan Program Pendidikan
Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak,
sangat sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
ini. Oleh sebab itiu saya memberikan ucapan terimakasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof.Iwan Tofani, drg., PhD., SpBM selaku Pembimbing Utama dari
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia yang telah memberikan
bimbingannya selama penelitian dan penulisan tesis ini.
2. drg. Muhammad Syafrudin Hak, PhD., SpBM(K) selaku Pembimbing II
dari Program SEHATI Unit Celah Bibir dan Langit-langit Rumah Sakit
Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta yang telah memberikan bimbingan,
waktu, ide-ide penelitian, membuka wawasan tentang celah bibir dan
langit-langit sehingga memungkinkan penelitian ini bisa diselenggarakan
di UCBL RSAB Harapan Kita Jakarta.
3. Prof.Dr. Benny S. Latief, drg., SpBM (K) selaku Guru Besar Departemen
Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia yang telah memberikan inspirasi, motivasi dan dorongan terus
menerus kepada penulis untuk menjadi dokter spesialis bedah mulut.
4. Dr.drg.Pradono., SpBM selaku Kepala Departemen Bedah Mulut dan
Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
5. Dr.drg.Lilies Dwi Sulistyani., SpBM selaku Koordinator Program
Pendidikan Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia.
6. Para staf Pengajar di lingkungan Departemen Bedah Mulut dan
Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia : Dr.drg.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
vi
Chusnul Chotimah, SpBM(K), drg. HRM Zulkarnain Moertolo, SpBM (K)
dan drg. Teguh Imam Santoso, SpBM (K) (alm) yang telah membimbing
dengan penuh kesabaran dan menanamkan nilai-nilai kebijaksanaan
selama menjalani masa pendidikan, Dr.drg. Corputty Johan, SpBM, drg.
Abdul Latif, SpBM, drg. Evy Eida Safitri, SpBM, drg. Vera Julia, SpBM,
drg.Dwi Ariawan, MARS., SpBM, pembimbing klinik yang saya hormati,
drg. Rachmita Anne, SpBM yang mengajari nilai disiplin dan kerja keras.
7. Para pengajar rumah sakit jejaring : Dr.drg. C Rini Suprapti, SpBM, drg.
Deddy S. Sukardi, SpBM, drg. Retnowati SpBM, drg. Etty Soenartini,
SpBM, drg. Eny Tyas, Sp.Ort atas kesediaannya berbagi ilmu pengetahuan
dan pengalaman kepada penulis selama masa pendidikan.
8. Ayahanda H.Yusli, ibunda Aimalaily Yusli (alm), mama Hj.Sulastri Yusli
S.Pd yang melahirkan, membesarkan dan mengasuh dengan penuh cinta
dan kasih sayang. Tidak pernah satu ujian dan satu operasi pun yang kami
jalankan tanpa doa Ayah dan Mama yang mengiringi. Gelar spesialis ini
penulis persembahkan untuk Ayah,Bunda dan Mama. Terima kasih atas
segalanya.
9. Kakak-kakak dan adik-adik saya, Amelia Dian Fitriani S.Pd, Imelda Dian
Rachmayani S.E, Frida Dian Dewi Putri, dr.Panca Eka Saputra, Arizka
S.T, abang ipar, H.Asep, Abdul Hakim SE, keponakan-keponakan saya
tersayang, Anissa, Fakhri, Rafid, Syauqy, Shaquille, Ayesha, Khaula yang
turut mendoakan keberhasilan selama pendidikan.
10. Ibu Rita Rahmawati yang telah sangat membantu pengumpulan data dan
diskusi pasien selama penelitian di Unit Celah Bibir dan Langit-langit
RSAB Harapan Kita Jakarta
11. dr. Abdilah Hasbi Sp THT yang sangat membantu dalam pemeriksaan
nasoendoskopi.
12. Tim Radiologi dan Tim Endoskopi RSAB Harapan Kita yang telah
memberikan motivasi dan banyak kemudahan kepada penulis dalam
melakukan pemeriksaan radiografi sefalometri dan pemeriksaan
nasoendoskopi di unit yang bersangkutan.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
vii
13. Mba Ririz dan tim CEEBM yang sangat membantu dalam pengolahan data
statistik penelitian ini
14. Rekan-rekan residen Bedah Mulut FKG UI angkatan 2008 yang saya
sayangi dan hormati; Eky, Marik, Agung, Refalina, Hetty, Semi, Bayu,
Kadri, Dhani. Adik-adik angkatan 2009 (mba Jeny, bg Rum dkk),
angkatan 2010 (Adit, Muti dkk), angkatan 2011 (Bambang, Uji dkk),
angkatan 2012 (Reggy, Ista dkk), angkatan 2013 (Putri, Tarman dkk),
angkatan 2014 (Fredy, Fajar dkk)
15. Para karyawan di lingkungan Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, pak Sahir, Mba Supri,
mba Rani, mba Yuni yang turut membantu memudahkan saya dalam
menjalani pendidikan.
16. Para karyawan perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia, pak Yanto, pak Asep, pak Noe yang turut membantu penulis
dalam melakukan pencarian sumber pustaka selama masa pendidikan.
17. Para karyawan di liingkungan Unit Celah Bibir dan Langit-langit RSAB
Harapan Kita; pak Somari, bu Tio, mas Afif dan kawan-kawan yang telah
sangat membantu dalam pengumpulan data selama penelitian.
18. Para pasien dan orang tua pasien yang telah sabar dan ikhlas menerima
perawatan selama saya menjalani pendidikan. Ilmu di buku referensi dan
jurnal tidak aka nada artinya tanpa ada Bapak/Ibu pasien yang bersedia
menerima perawatan dalam bidang Bedah Mulut dan Maksilofasial.
Semoga Allah SWT melimpahkan berkah dan rahmatNya kepada seluruh
pihak yang telah membantu saya baik langsung maupun tidak langsung dalam
menempuh pendidikan Bedah Mulut dan Maksilofasial di FKG UI.
Akhir kata saya berharap agar penelitian ini dapat memberi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Bedah Mulut dan
Maksilofasial.
Jakarta, Oktober 2014
Penulis
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
ix
ABSTRAK
Nama : Lolita Dian Evayani Program Studi : Spesialis Bedah Mulut Judul : Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Mirror
Testdan Sefalometri Dalam Menilai Insufisiensi Velofaringeal Pada Pasien Pasca Rekonstruksi Celah Langit-langit di RSAB Harapan Kita Jakarta
Latar Belakang : Katup velofaringeal memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara saat pasien berbicara. Penutupan katup velofaringeal yang tidak sempurna menimbulkan masalah pada saat pasien berbicara. Terdapat beberapa modalitas dalam menilai insufisiensi velofaringeal, antara lain menggunakan mirror test dan radiografi sefalometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri sebagai modalitas pemeriksaan adanya insufisiensi velofaringeal pada pasien celah langit-langit pasca dilakukannya rekonstruksi celah langit-langit. Metode : Merupakan penelitian cross-sectional analitik dengan desain khusus untuk suatu uji diagnostik dan dikelompokan dalam tabel 2x2 dengan pemeriksaan gold standard nasoendoskopi. Data diambil dari pasien berusia 5 – 11 tahun pasca rekonstruksi celah langit-langit dan mengikuti terapi bicara di Program SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta. Hasil : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas lebih tinggi (100%) dibandingkan mirror test, namun demikian nilai spesifitas sefalometri lebih rendah (33.3 %) dibandingkan mirror test. Sedangkan false negative dari radiografi sefalometri adalah 66.66 %. Kesimpulan : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan mirror test. Sehingga radiografi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas pemeriksaan insufisiensi velofaringeal bersama dengan mirror test yang selama ini telah digunakan sebagai modalitas awal pemeriksaan insufisiensi velofaringeal.
Kata Kunci : Insufisiensi velofaringeal; mirror test; radiografi sefalometri.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
x
ABSTRACT Name : Lolita Dian Evayani Study Program : Oral and Maxillofacial Surgery Title : Sensitivity and Specificity Comparison Between
Mirror Test and Cephalometric Radiographic : Assessment of Insufficiency Velopharyngeal in Patient Post Reconstruction Cleft Palate at Harapan Kita Hospital Jakarta
Background :Velopharyngeal valvehasan important rolein controllingthe flow of airwhen thepatientis speaking. Incomplete velopharyngeal closure cause problems when patient is speaking. There are several modalities in assessing velofaringeal insufficiency, among others, using the mirror test and cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the sensitivity and specificity of the test mirror and cephalometric radiographic as the modality of the insufficiencyvelopharyngeal examination in patients with cleft palate after performing cleft palate reconstruction. Methods: A cross-sectional analytic study with a specific design for a diagnostic test and grouped in a 2x2 table with the gold standard endoscopic examination. Data taken from patients aged 5-11 years post-reconstruction of cleft palate and speech therapy in SEHATI Programin Harapan Kita Hospital Jakarta. Results:Cephalometric radiographs have higher sensitivity (100%) compared to the mirror test, however cephalometric values lower specificity (33.3%) compared to the mirror test.While the false negative of cephalometric radiographs was 66.66%. Conclusion: Cephalometric radiographs have a higher sensitivity than the mirror test. Cephalometric radiographs can be used as a modality examination velopharyngeal insufficiency along with mirror test which has been used as the initial modality examination velofaringeal insufficiency. Keywords: Cephalometric radiography; mirror test; velopharyngeal insufficiency.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bicara merupakan suatu mekanisme yang diawali keluarnya udara dari paru-
paru, berjalan melalui trakea dan masuk ke rongga mulut. Proses bicara terdiri dari
empat tahap, yaitu inisiasi, fonasi, oro-nasal dan artikulasi. 1, 2
Untuk menghasilkan suara yang jelas diperlukan kontrol aliran udara yang
baik dari orofaring ke nasofaring. Dinding posterior faring dan velum (langit-langit
lunak) memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara tersebut.
Mekanisme pengontrolan ini disebut mekanisme velofaringeal. 2, 3
Keadaan dimana katup velofaringeal tidak dapat menutup dengan sempurna
sehingga menyebabkan udara masuk ke dalam rongga hidung saat pasien berbicara
disebut disfungsi velofaringeal. Terdapat beberapa terminologi mengenai
disfungsi velofaringeal, yaitu insufisiensi velofaringeal (suatu keadaan dimana
terdapat defek pada struktur atau anatomi dari organ velofaringeal), inkompetensi
velofaringeal (kelainan neurologis yang menyebabkan gangguan organ
velofaringeal), velopharyngeal mislearning (pola artikulasi kompensasi yang
terjadi akibat pola penutupan katup velofaringeal yang tidak tepat). 4, 5
Insufisiensi velofaringeal disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya
kelainan kongenital berupa celah langit-langit, baik yang disertai dengan celah bibir
maupun tanpa disertai celah bibir. Celah langit-langit yang terjadi dapat bervariasi
dalam ukuran lebar celah, komplit atau tidak komplit, bilateral atau unilateral.
Kelainan bawaan ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi bicara, menelan,
mengunyah, gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang, erupsi dan oklusi
gigi, serta gangguan pendengaran. Pada penderita celah bibir terdapat
ketidakmampuan membendung udara yang diproduksi sehingga kualitas suaranya
tidak sempurna. Sedangkan pada penderita celah langit-langit, ketidakmampuan
sistem velofaringeal menutup nasofaring mengakibatkan pengeluaran udara
melalui rongga hidung menjadi berlebihan pada waktu memproduksi suara. Hal ini
mengakibatkan beberapa kelainan bicara, antara lain hipernasaliti, nasal emisi dan
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
2
Universitas Indonesia
kompensasi artikulasi. Prevalensi kelahiran dengan celah langit-langit berkisar
antara 1;750 – 1:1000 kelahiran pada ras Kaukasian. 1, 6, 7, 8, 9
Untuk mengatasi keadaan tersebut, perlu dilakukan rekonstruksi celah langit-
langit dengan tindakan pembedahan. Palatoplasti dimaksudkan agar dapat dicapai
bentuk anatomi dan fungsi palatum durum dan velum yang mendekati normal,
tindakan pembedahan ini diharapkan akan memperbaiki fungsi velum sebagai
bagian dari sistem velofaringeal. 8
Program Sehati Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita telah melakukan
penanganan secara terpadu penderita celah bibir dan langit-langit sejak tahun 1995.
Rekonstruksi celah langit-langit, menggunakan teknik pushback palatoplasty
mengusahakan agar mukoperiosteal flap dari sisi kiri dan kanan dapat sejauh
mungkin digeser ke posterior (maximal pushback), dikombinasikan dengan z-plasty
pada mukosa nasal diharapkan menghasilkan velum yang panjang ke arah posterior
yang berfungsi untuk penutupan velofaringeal yang adekuat. Sesuai dengan
protokol rencana perawatan pada klinik Celah Bibir dan Langit-langit di RSAB
Harapan Kita, rekonstruksi celah langit-langit dilakukan saat pasien berusia 1.5
tahun. Satu bulan pasca palatoplasti pasien mulai menjalani terapi wicara. Tujuan
terapi bicara adalah untuk melatih velum yang telah terbentuk agar dapat berfungsi
sebagai bagian sistem velofaringeal.
Keadaan bicara yang jelas merupakan salah satu tujuan dilakukannya tindakan
rekonstruksi pada pasien dengan celah langit-langit agar dapat melakukan
komunikasi sebaik mungkin di dalam kehidupan sosialnya. Namun demikian, ada
kalanya terjadi komplikasi pasca tindakan pembedahan, antara lain timbulnya nasal
emisi. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh pada seluruh komponen
katup velofaringeal. Beberapa penulis membagi prosedur pemeriksaan berdasarkan
penggunaan instrumen. Sedangkan penulis yang lain membagi prosedur
pemeriksaan berdasarkan visualisasi pada saat pemeriksaan. Kuehn membagi
prosedur pemeriksaan fungsi velofaringeal menjadi non-instrumental procedure
dan instrumental test. Mirror test merupakan salah satu prosedur non-instrumental
test. Sefalometri, nasoendoskopi dan videofluoroscopy merupakan instrumental
procedure. 10
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
3
Universitas Indonesia
Kummer membagi prosedur pemeriksaan berdasarkan visualisasi saat
pemeriksaan. Perceptual assessment merupakan prosedur pemeriksaan tidak
langsung. Perceptual assessment dapat menggunakan beberapa peralatan
pendukung seperti mirror test. Sedangkan nasoendoskopi dan videofluoroscopy
dikategorikan sebagai pemeriksaan secara langsung. 11, 12
Walaupun melalui pemeriksaan perceptual assessment dapat diduga adanya
disfungsi velofaringeal, namun penting untuk mengetahui penyebab dari terjadinya
insufisiensi velofaringeal tersebut, besarnya celah velofaringeal yang terbentuk dan
pola penutupan velofaringeal yang terjadi. Beberapa penulis menyarankan untuk
menggabungkan prosedur pemeriksaan perceptual assessment dengan prosedur
pemeriksaan secara tidak langsung (tanpa menggunakan instrumen) dan prosedur
pemeriksaan secara langsung (menggunakan instrumen) agar didapat hasil
pemeriksaan yang tepat sebelum diputuskan rencana terapi selanjutnya dalam
menangani insufisiensi velofaringeal. 10, 11, 13
Mirror test merupakan suatu lempengan berskala yang dapat digunakan untuk
mendeteksi ada atau tidaknya udara yang lolos dari rongga hidung saat pasien
berbicara. Modalitas ini dapat digunakan pada anak-anak dan dewasa, selain itu
mirror test dapat digunakan pada pasien dengan keterbelakangan mental. 9
Penggunaan radiografi sefalometri sebagai modalitas untuk menilai fungsi
velofaringeal pertama kali dipublikasikan pada tahun 1909. Walaupun berupa
gambaran dua dimensi, pada masanya radiografi sefalometri merupakan standar
baku (gold standard) penilaian fungsi velofaringeal, hingga ditemukannya
penggunaan nasal endoskopi. 14
Terdapat empat pola penutupan velofaringeal pada populasi manusia dengan
atau tanpa celah langit-langit yang disertai atau tanpa disertai celah bibir, pola
penutupan ini dapat diamati dengan menggunakan nasoendoskopi. 2, 13, 15
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis bermaksud untuk membandingkan
sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri dalam mendeteksi
adanya celah velofaringeal pada pasien pasca rekonstruksi celah langit-langit
dengan menggunakan teknik pushback palatoplasty dengan modified z-plasty di
RSAB Harapan Kita.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
4
Universitas Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasikan masalah
sebagai berikut :
Apakah mirror test dan radiografi sefalometri memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang sama dalam mendeteksi adanya celah velofaringeal pada pasien
pasca rekonstruksi celah langit-langit dengan teknik pushback palatoplasty dengan
modified z-plasty.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
Mengetahui sensitivitas dan spesifitas mirror test dan radiografi sefalometri
dalam mendeteksi adanya celah pada katup velofaringeal pada pasien pasca
rekonstruksi celah langit-langit dengan teknik pushback palatoplasty dengan
modified z-plasty.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Mengetahui sensitivitas dan spesifsiitas mirror test dan radiografi
sefalometri dalam mendeteksi adanya celah pada katup velofaringeal.
1.4.2. Dapat mengetahui hasil operasi pasien celah langit-langit yang
dilakukan rekonstruksi dengan menggunakan teknik pushback
palatoplasty dengan modified z-plasty dan hasil terapi bicara.
1.4.3. Penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan landasan penelitian
selanjutnya dalam evaluasi keberhasilan operasi celah langit-langit di
masa yang akan datang.
1.4.4. Menilai apakah protokol tata laksana yang telah dilakukan sudah
mampu memberikan hasil yang optimal pada pasien celah langit-
langit.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
5
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi, Fisiologi Langit-langit Mulut dan Struktur Velofaringeal
Pada beberapa literatur mengenai struktur anatomi manusia saat ini
memiliki anggapan bahwa faring dan langit-langit lunak suatu struktur
yang sama. Selama ini faring digambarkan sebagai suatu jaringan otot yang
berbentuk tabung dimana pada bagian anterior berhubungan dengan
rongga hidung dan mulut. Bagian atas dari faring terbagi menjadi dua
bagian, satu bagian berhubungan dengan rongga hidung (nasofaring), dan
bagian yang lain berhubungan dengan rongga mulut (orofaring). 16
Gambar 2.1 Gambaran lateral struktur faring
Langit-langit lunak (velum, soft palate, palatum molle) merupakan
suatu flap musculomembranous yang memiliki kontribusi pada penutupan
daerah diantara nasofaring dan orofaring. Velum melekat pada batas
posterior langit-langit keras (palatum durum). Velum merupakan bagian
yang menghubungkan rongga mulut dengan faring, isthmus orofaringeal
dikelilingi oleh suatu jaringan ikat berbentuk lingkaran yang terdiri dari
dorsal dari sisi inferior lidah, pilar anterior dan posterior (arkus
palatoglossal dan palatopharyngeal). (gambar2. 2). 2, 16
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
6
Universitas Indonesia
Gambar 2.2 Struktur rongga mulut
Velofaringeal merupakan suatu struktur yang terdiri dari pilar anterior
dan posterior, langit-langit lunak (velum) dan bagian posterior dinding
faring (orofaring) (gambar 2.2). Velofaringeal menyerupai suatu katup
(valve) yang berperan untuk membuka atau menutup saluran pernafasan
pada saat bernafas atau menelan makanan. Secara mekanis, velofaringeal
menyerupai suatu sfingter yang berfungsi pada saat bernafas, menelan dan
bicara (fonasi). Velofaringeal memiliki dua fungsi utama yaitu mengangkat
(mengelevasi) kemudian menyentuh menekan velum ke arah dinding
posterior faring serta menekan lidah pada saat bernafas (gambar 2.3). 2, 16
Gambar 2.3 Gambaran lateral velum dan dinding posterior faring. A. Velum bergerak turun dan
menekan lidah saat bernafas sehingga aliran udara masuk ke dalam rongga hidung. B. Velum
bergerak naik dan menyentuh dinding posterior faring dan menyebabkan aliran udara masuk ke
dalam rongga mulut.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
7
Universitas Indonesia
2.1.1. Jaringan Keras Sebagai Komponen Langit-langit dan
Velofaringeal
Walaupun hanya terdiri dari jaringan lunak, velofaring melekat
pada jaringan keras basis cranii, khususnya langit-langit keras dan
bagian inferior dari tulang sphenoid dan tulang temporal. Bentuk
lengkung dari langit-langit keras memiliki pengaruh terhadap
karakteristik resonansi yang dihasilkan pada saat bicara. Tiga
perempat anterior langit-langit keras dibentuk oleh prosesus palatinus
maksilaris sedangkan satu perempat bagian dibentuk oleh horizontal
plate of the palatine bone. Prosesus palatinus kanan dan kiri bersatu
pada daerah median dan membentuk sutura palatinus intermaksilaris
(gambar 2.4). 2, 16
Gambar 2.4 Struktur jaringan keras yang berhubungan dengan struktur velofaringeal. IF (foramen
insisivus), PPM (prosesus palatinus maksilaris), HPP(prosesus horizontal palatinus), PPS
(prosesus pterigoideus sphenoidalis)
Tulang Sphenoidalis dan tulang Temporalis
Walaupun kedua tulang ini tidak memberi kontribusi secara
langsung membentuk langit-langit keras, aspek inferior dari kedua
tulang ini merupakan tempat perlekatan dari m.levator dan m.tensor
veli palatini. Batas antara os.sphenoid dan os.temporalis merupakan
tempat perlekatan m.levator veli palatine. Sisi medial dari prosesus
pterygoid os.sphenoid merupakan bagian bagian penting tempat
melekatnya otot-otot velofaringeal. Sisi medial dari prosesus
pterygoid os.sphenoid merupakan tulang berbentuk vertikal, tepi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
8
Universitas Indonesia
inferior tulang ini menyerupai tonjolan pterigoideus hamulus
merupakan tempat perlekatan sebagian otot m.superior constrictor
dan m.tensor veli palatine (gambar 2.5). 16
Gambar 2.5 Tempat perlekatan otot-otot velofaringeal pada basis cranii LP (m.levator veli
palatini), TVP (m.tensor veli palatini), AT (tuba auditorius), ICA (arteri karotis internal)
2.1.2. Otot-otot Velofaringeal
M. Levator Veli Palatini
Merupakan otot yang berbentuk silinder yang bundel bagian
posteriornya berasal dari petrosus tulang temporal. Bundel bagian
anterior berasal dari sisi medial kartilago tuba eustachius. Otot ini
berorigo tepat di sebelah ventral foramen karotikus eksternus pada
fasia kaudalis piramid os.temporalis, lalu pada lamina cartilaginea
medialis tuba auditivae. Jurusan serabut otot ini ke arah
ventromedicaudal dan berakhir pada velum. Otot ini menyebabkan
penonjolan pada dinding nasofaring di sebelah caudal ventral torus
tubarius. Kontraksi otot ini mempengaruhi ukuran lebar tuba
auditivae. Otot ini dipersarafi oleh plexus faringeal N IX dan X dan
otot ini menarik velum ke arah posterosuperior, otot ini mempunyai
peran penting untuk mengelevasi velum. 2, 16
M. Tensor Veli Palatini
Merupakan otot yang berbentuk pipih. Berasal dari fossa
scapoid (medial pterigoid plate), spina sphenoid, sisi lateral tuba
eucstachius. Otot ini berjalan ke arah antero-inferior menyempit dan
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
9
Universitas Indonesia
sebagian melekat pada hamulus. Sebagian besar bundel mengitari
hamulus dan menyebar seperti kipas menuju medial dari langit-
langit. Otot ini berorigo pada fossa schapoidea os sphenoidale pada
lamina lateralis cartilago tuba auditivae, lamina membranasea tuba
auditivae dan spina angularis os sphenoidale. Semua serabut otot-
otot ini berinsersi pada velum ke arah ventral, medial dan kaudal
kemudian membelok ke arah medial. Belokan ini disebabkan otot
ini harus melewati hamulus processus pterygoideus dari lateral dan
kaudal, sehingga tepat pada belokan ini jaringan otot sementara
diganti oleh jaringan ikat yang berfungsi sebagai katrol. Otot ini
dipersarafi oleh cabang mandibular N V dan otot ini meregangkan
velum juga membuka tuba eustachius saat menelan. 2, 16
Gambar 2.6 Mekanisme otot-otot velofaringeal
M. Palatofaringeus
Otot ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
a. Bagian Palatina, komponen ini berasal dari kartilago tyroid
dan bagian terdekat dari dinding faring melewati lengkung
palatopharyngeal dan berinsersi pada raphae. 2, 16
b. Bagian Pterygopharyngeal, bagian ini berasal dari sisi
posterior dan lateral faring dan berinsersi pada hamulus dan
aponeurosis palatina. 2, 16
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
10
Universitas Indonesia
c. Bagian Salpingopharyngeus, merupakan bagian terlemah.
Bundel otot ini terpisah sejak awal dan berinsersi pada tepi
bawah cartilago tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh
plexus pharyngeal dan berfungsi mempersempit isthmus
pharyngonasal dengan menarik lengkung palatopharyngeal
secara bersamaan menarik velum ke arah posteroinferior
pada proses penelanan. 2, 16
M. Palatoglossus
Merupakan otot yang timbul dari bundel yang melintang lidah
dan melewati lengkung palatoglossus dan berinsersi pada otot-otot
velum. Otot ini dipersarafi oleh plexus pharyngeal dan secara
berkesinambungan menurunkan velum ke bawah, serta mengelevasi
lidah ke atas. 2, 16
Uvula
Merupakan sepasang otot silinder yang berasal dari
aponeurosis posterior palatina dan spina nasalis posterior serta
melewati otot-otot palatinus yang lain menuju ujung uvulae. Otot
ini dipersarafi oleh plexus pharyngeal, otot ini berperan mengangkat
dan melekukan uvulae ke belakang serta memendekannya. Terletak
di dalam uvulae dan berhubungan erat dengan insersi otot tensor
velli palatini. 2, 16
Konstriktor Faringeal Superior
Merupakan otot quadrangular yang berasal dari samping dan
lateral sepertiga atas dinding faring. Merupakan otot konstriksi
faring yang terdalam. Menurut tempat insersinya dibagi menjadi
pterygopharyngeal, bucopharyngeal, mylopharyngeal, dan
glossopharyngeal. Otot ini dipersarafi oleh plexus pharyngeal dan
menyebabkan pergerakan medial dinding faring dan membantu
menarik velum ke arah posterior. 2, 16
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
11
Universitas Indonesia
2.2. Fisiologi Katup Velofaringeal
Fungsi penting dari otot velofaringeal adalah penutupan istmus
velofaringeal dengan cara mengangkat (mengelevasi) velum dan
pergerakan dari dinding faring. 15
Berdasarkan pergerakan velum, dinding posterior faring dan dinding
lateral faring, terdapat 4 (empat) pola penutupan velofaringeal. Menurut
Witzel dan Posnick, prevalensi pola penutupan velofaringeal pada keadaan
dengan atau tanpa celah langit-langit ini tidak jauh berbeda. Hanya terdapat
sedikit perbedaan kontribusi otot-otot dinding lateral dan posterior faring
pada saat terjadinya penutupan velofaringeal. Di bawah ini merupakan pola
dasar penutupan velofaringeal secara normal. 17
Gambar 2.7 Empat pola penutupan velofaringeal
Keempat (4) pola dasar penutupan velofaringeal, yaitu :
a. Koronal
Penutupan koronal merupakan pola penutupan velofaringeal
yang sering terjadi dan pola penutupan ini terjadi dimana velum
menutup seluruh dinding posterior faring. Pada pola penutupan ini,
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
12
Universitas Indonesia
terdapat juga pergerakan yang ke arah anterior dari dinding
posterior faring. Pada penelitian yang dilakukan Witzel dan
Posnick dengan menggunakan endoskopik, dari 246 subyek
penelitian, 68% subyek penelitian menunjukkan pola penutupan
velofaringeal secara koronal. 17
b. Sirkuler
Pola penutupan sirkuler terjadi pada saat velum bergerak ke
arah posterior, dinding posterior faring bergerak ke arah anterior
dan dinding lateral faring bergerak ke arah medial. Pada pola
penutupan sirkuler ini seluruh struktur dinding faring memberikan
kontribusi pada proses penutupan velofaringeal. Pola penutupan
ini menyerupai proses penutupan yang sebenarnya pada suatu
sfingter. Pada penelitian yang dilakukan Witzel dan Posnick
terdapat 23% subyek penelitian memiliki pola penutupan sirkuler.
17
c. Sirkuler dengan Passavant Ridge
Pada penelitian yang dilakukan Witzel dan Posnick terdapat
23% subyek penelitian memiliki pola penutupan sirkuler dengan
5% diantaranya terdapat Passavant ridge. Walaupun Passavant
ridge merupakan ciri khas yang ditemukan pada pola penutupan
sirkuler, Passavant ridge juga dapat ditemukan pada pola
penutupan velofaringeal yang lain. 17
d. Sagital
Pola penutupan velofaringeal selanjutnya adalah sagital, pada
pola penutupan ini, dinding faring di kedua sisi bergerak ke arah
medial dan bertemu pada midline di belakang velum. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pergerakan minimal dari velum. Pada
penelitian yang dilakukan Witzel dan Posnick hanya terdapat 4%
subyek penelitian memiliki pola penutupan sagital. 17
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
13
Universitas Indonesia
Selama terjadi proses penutupan katup velofaringeal, diperlukan
koordinasi yang baik dari setiap komponen yang terlibat (velum, dinding
posterior faring dan dinding lateral faring), sehingga pergerakan penutupan
katup velofaringeal dapat menyerupai penutupan sebuah sfingter. 18
Pemeriksaan organ velofaringeal secara menyeluruh dan langsung,
sangat disarankan untuk dilakukan, agar dapat ditentukan tindakan
intervensi selanjutnya yang akan dilakukan untuk menangani insufisiensi
velofaringeal. 17
2.3. Anatomi Velofaringeal Pada Gambaran Endoskopi
Gambar 2.8 Anatomi Velofaringeal Normal
2.3.1. Tuba Eustakhi dari ostium faringeal
Bagian anterior ostium berbatasan dengan salphingopalatine
fold dan pada sisi posterior berbatasan dengan cartilaginous torus
tubarius. Pharyngeal reses terletak di bagian posterior dari torus
tubarius, salphingopalatine fold meluas ke arah inferior dari torus
tubarius dan di atasnya terletak otot salphingopharyngeal. Bagian
pterygopharyngeal dari otot konstriktor faringeal superior yang
menjadi dinding lateral nasofaring terletak inferior dari ostium dan
torus. 3
2.3.2. Tonsil faringeal (adenoid)
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
14
Universitas Indonesia
Berada tepat di bagian posterior dari nasofaring dan di atasnya
terletak bagian basilar sphenoid dan tulang occipital. Adenoid
sangat berdekatan dengan sekumpulan nodul limfoid, adenoid
berada tepat di antara torus tubarius dan pada sisi lainnya dapat
meluas ke arah lateral ke dalam pharyngeal reses yang umumnya
dikenal dengan eustachi atau tonsil Gerlach. Pada bagian superior,
adenoid dapat meluas ke atas masuk ke dalam koana nasal dan di
bagian inferior adenoid ini akan berada pada level lengkung anterior
atlas. Spasi prervetebral dan membran atlanto occipital terletak di
dalam tonsil faringeal. 3
2.3.3. Dinding posterior faring
Berada di dekat tonsil faringeal di bagian inferior, bagian utama
dinding posterior adalah otot konstriktor faringeal superior.
Kontraksi dari otot ini pada bidang aksial pada level penutupan
velofaringeal merupakan sebuah struktur yaitu Passavant Ridge. 3
2.3.4. Permukaan faringeal dari velum
Struktur ini dibentuk oleh aponeurosis beberapa otot termasuk
otot konstriktor faringeal superior, otot levator velli platini, otot
salphingoharyngeus, otot palatopharyngeus, dan otot uvular. 3
2.4. Mekanisme bicara normal
Bicara adalah suatu sistem komunikasi yang merupakan pernyataan
dari buah pikiran dan pengertian dengan menggunakan lambang atau
simbol akustik. Bicara dihasilkan oleh adanya getaran pita suara dalam
laring. Getaran ini terjadi karena adanya aliran udara respirasi yang
memberikan bentuk akhir berupa gerak bibir, lidah dan langit-langit. Bicara
menghasilkan ucapan yang melibatkan proses organ neurologis, respirasi,
fonasi, resonansi dan artikulasi. 1, 2
Pada keadaan normal, bicara terjadi melalui suatu mekanisme.
Prosesnya adalah udara yang keluar dari paru-paru akan melewati pita
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
15
Universitas Indonesia
suara dan memasuki rongga mulut. Posisi dari lidah, bibir, rahang bawah
dan velum, bekerja bersama-sama yang akan menghasilkan suara. Untuk
menghasilkan suara yang jelas, diperlukan kontrol aliran udara yang baik
dari orofaring ke nasofaring. Langit-langit keras berfungsi sebagai
pembatas antara rongga hidung dan rongga mulut. Velum berfungsi sebagai
katup yang penting untuk mengontrol distribusi udara yang lolos antara
orofaring dan nasofaring. Mekanisme ini disebut mekanisme velofaringeal.
Di bawah ini merupakan gambaran vocal track yang menyebabkan
terjadinya proses bicara. 1, 2, 19
Gambar 2.9 Vocal track
Dalam mekanisme ini terdapat dua komponen yaitu velum (langit-
langit lunak) dan dinding faring. Posisi velum pada saat tidak berfungsi,
berada rendah di dalam faring dan menyentuh pangkal lidah (gambar 2.4
A). Posisi ini membantu faring mencegah masuknya udara ke paru-paru
selama proses bernafas normal terjadi. Selama aktifitas bicara terjadi,
velum bergerak ke arah superior dan posterior menyebabkan terjadinya
kontak antara velum dan dinding posterior faring, pada beberapa kasus
velum menyentuh dinding lateral faring. (gambar 2.4 B) 2
Pada proses resonansi meliputi organ faring, rongga mulut, rongga
hidung dan sinus paranasalis. Organ resonansi berfungsi memodifikasi
suara hasil proses fonasi di laring. Suara laring masih merupakan bunyi
mentah, yaitu bunyi yang masih lemah intensitasnya, tidak jelas warna
suaranya dan sulit diidentifikasi. Bunyi yang keluar dari laring bergerak ke
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
16
Universitas Indonesia
atas, masuk dan melewati rongga organ resonansi. Struktur organ resonansi
tersebut mengubah suara laring dengan cara meningkatkan frekuensi,
intensitas, kualitas, warna suara dan ciri nada sehingga bunyi mentah
diubah sesuai dengan keperluan pengucapan tertentu. 6
2.5. Insufisiensi Velofaringeal
Disfungsi velofaringeal merupakan suatu keadaan dimana katup
velofaringeal tidak dapat menutup dengan sempurna pada saat pasien
berbicara.
Terdapat beberapa terminologi mengenai disfungsi velofaringeal,
yaitu insufisiensi velofaringeal (suatu keadaan dimana terdapat defek pada
struktur atau anatomi dari organ velofaringeal), velopharyngeal
incompetence (kelainan neurologis yang menyebabkan gangguan organ
velofaringeal), velopharyngeal mislearning (pola artikulasi kompensasi
yang terjadi akibat pola penutupan katup velofaringeal yang tidak tepat). 6
Insufisiensi velofaringeal adalah suatu keadaan dimana terjadi
ketidaktepatan penutupan sfingter velofaringeal (otot-otot velum) pada saat
berbicara yang ditandai dengan adanya nasal emisi yang dapat disertai atau
tanpa adanya hipernasaliti. 1
Nasal emisi (nasal air emission atau nasal escape) merupakan suatu
keadaan dimana terdapat udara yang keluar melalui rongga hidung selama
pasien berbicara, dimana seharusnya udara tersebut keluar melalui rongga
mulut. Gambaran klinis nasal emisi adalah hilangnya suara (voiceless
consonants) pada saat pasien mengucapkan huruf konsonan dengan
tekanan tinggi. 1, 12
Emisi nasal dan hipernasaliti merupakan dua hal yang berbeda,
walaupun pada kenyataannya kedua keadaan tersebut sering ditemukan
pada keadaan klinis. Hipernasaliti dapat ditemukan pada pasien dengan
submucous cleft palate, pada keadaan ini, katup velofaringeal menutup
dengan sempurna, namun ketebalan velum sangat tipis. 1
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
17
Universitas Indonesia
Gambaran klinis insufisiensi velofaringeal antara lain adalah adanya
nasal emisi, hipernasal, misartikulasi dan wajah yang mengerut atau
menyeringai. 1, 12
2.6. Patofisiologi Insufisiensi Velofaringeal
Komponen utama mekanisme velofaringeal adalah velum, dinding
posterior faring, dinding lateral faring dan otot-otot yang berhubungan
dengan velum, dinding faring dan massa adenoid. (Gambar 2.10)
Gambar 2.10 Struktur anatomi yang membentuk suara
Muskulus levator palatini merupakan otot utama yang terlibat dalam
proses bicara. Otot ini berada di tengah dan sepertiga posterior dari velum.
Pada saat otot ini memanjang dan menyentuh dinding lateral faring, otot
ini akan naik ke dasar kepala dan membentuk sudut 45° terhadap bidang
palatal, menyentuh petrous dari tulang temporal. Selama terjadi proses
bicara, otot ini akan meninggikan velum ke arah superior dan posterior
untuk menyentuh permukaan dinding posterior faring. Hal ini
menyebabkan dinding lateral faring bergerak ke arah medial. Pada keadaan
insufisiensi velofaringeal, struktur velofaringeal tidak dapat melakukan
penutupan dengan adekuat. Insufisiensi velofaringeal dapat terjadi pada
pasien dengan dan tanpa celah langit-langit. 2
Pada pasien dengan celah pada langit-langit, mekanisme penutupan
tidak dapat berfungsi karena tidak adanya hubungan otot antara satu sisi
dengan sisi yang lain. Velum tidak dapat berelevasi untuk menyentuh
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
18
Universitas Indonesia
permukaan dinding posterior faring, sehingga udara lolos masuk ke rongga
hidung secara terus menerus dan menyebabkan terjadinya suara nasal. 1, 11
Pasien dengan celah langit-langit akan membentuk keseimbangan
mekanisme pola penutupan velofaringeal, rongga hidung dan lidah untuk
mencoba menghasilkan suara yang dapat dimengerti dan jelas terdengar.
Dinding posterior dan lateral faring menghasilkan gerakan yang kuat dan
mencoba membatasi jalan antara orofaring dan nasofaring saat berbicara.
Tonjolan otot dinding faring terbentuk saat adanya usaha menutup jalan
antara orofaring dan nasofaring saat berbicara, tonjolan ini disebut
Passavant ridge. Pada saat yang bersamaan, otot-otot superfisial di sekitar
hidung yang terlibat dalam ekspresi wajah diikut sertakan untuk membantu
membatasi jumlah udara yang lolos dari rongga hidung. 1, 2, 5
Secara potensial, gangguan bicara dapat merusak kualitas hidup anak.
Anak dengan gangguan bicara cenderung kurang cerdas, kurang
menyenangkan dan kurang menarik bila dibandingkan dengan orang yang
berbicara normal. Persepsi seperti ini dapat mempengaruhi kehidupan
social dan rasa percaya diri, di masa yang akan datang dapat mengurangi
kesempatan kerja. 8
2.7. Etiologi Insufisiensi Velofaringeal
Ada empat hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya insufisiensi
velofaringeal, yaitu :
2.7.1. Kelainan kongenital, celah langit-langit, submucous cleft yang
merupakan kelainan kongenital. Terdapatnya celah pada langit-langit
memungkinkan udara bebas masuk ke dalam rongga mulut selama
pasien berbicara. 6, 9
2.7.2. Pasca tindakan rekonstruksi celah langit-langit. Komplikasi tersebut
antara lain, velum yang memendek, jaringan parut (scar) pada velum
dapat menyebabkan terhalangnya gerakan velum. Fistula baik pada
velum ataupun langit-langit keras. 5, 6, 9
2.7.3. Irregular adenoid, walaupun keadaan ini jarang terjadi, bentuk dan
ukuran adenoid yang tidak beraturan dapat menghalangi velum
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
19
Universitas Indonesia
menyentuh dinding posterior faring. Ukuran adenoid yang
membesar, berhubungan dengan hiponasaliti, karena dapat
menghalangi masuknya udara ke dalam rongga hidung. 6
2.7.4. Bedah orthognatik, tindakan maxillary advancement dapat
mengurangi efektivitas katup velofaringeal. 6
2.8. Klasifikasi Insufisiensi Velofaringeal
Berdasarkan pemeriksaan menggunakan nasometri, Jones dan Morris
mengklasifikasikan insufisiensi velofaringeal menjadi dua, yaitu : 20
2.8.1. ABNQ (Almost but Not Quite) suatu keadaan dimana pasien
menunjukkan suara nasal yang menetap. Pada pemeriksaan fisik,
tampak celah velofaringeal dengan ukuran yang kecil.
2.8.2. SBNA (Sometime but Not Always), pada keadaan ini pasien
menunjukan suara nasal yang tidak konsisten. Pada pemeriksaan
fisik, terlihat celah velofaringeal namun tidak konsisten.
2.9. Prosedur Pemeriksaan Insufisiensi Velofaringeal
Dua hal yang menjadi masalah utama dan memerlukan pemeriksaan
secara mendalam serta menyeluruh pada saat mengevaluasi insufisiensi
velofaringeal yaitu; pertama adalah katup velofaringeal, setiap individu
memiliki pola penutupan yang berbeda-beda, baik pada pasien normal
maupun pasien dengan insufisiensi velofaringeal, dugaan mengenai
insufisiensi velofarigeal tidak dapat ditegakkan berdasarkan “rata-rata
pergerakan katup velofaringeal” pada umumnya. 3
Kedua, insufisiensi velofaringeal dapat timbul pada kondisi yang
berbeda-beda, karena keadaan ini mencakup kelainan struktur anatomi
velofaringeal, maka tidak dianjurkan untuk menegakkan diagnosis
insufisiensi velovaringeal hanya dengan berdasarkan pemeriksaan intra
oral secara langsung. 3
Secara garis besar, prosedur pemeriksaan velofaringeal terbagi
menjadi dua kategori, secara tidak langsung dan langsung. Pemeriksaan
tidak langsung (indirect assessment) termasuk di dalamnya adalah
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
20
Universitas Indonesia
pemeriksaan non-instrumen, sedangkan pemeriksaan langsung (direct
assessment) merupakan pemeriksaan menggunakan alat, termasuk di
dalamnya sefalometri, videofluoroskopi dan nasoendoskopi. 3, 10
Evaluasi awal insufisiensi velofaringeal dilakukan oleh terapi bicara.
Evaluasi ini dikenal dengan istilah perceptual assessment (penilaian
persepsi). Perceptual assessment ini mencakup resonansi (normal atau
abnormal), resonansi dapat dikatakan tidak normal apabila terdapat kualitas
atau adanya tekanan udara yang jelas pada vocal track. Walaupun tidak
ditemukan resonansi yang abnormal pada saat pemeriksaan awal, dapat
dilakukan pemeriksaan selanjutnya menggunakan instrumen.
2.9.1. Pemeriksaan Non-Instrumental
Terdapat tiga pemeriksaan pendukung yang dapat dilakukan
oleh terapi bicara untuk mengetahui ada atau tidaknya emisi nasal,
yaitu auditory detection, visual detection, tactile detection. 3, 11
Auditory detection
a. Cul-de-Sac test pertama kali diperkenalkan tahun 1979. Pada
pemeriksaan ini salah satu lubang hidung pasien ditutup,
kemudian pasien diminta untuk mengucapkan beberapa kata.
Kemudian dilakukan penutupan hidung berlawanan dan pasien
diminta untuk mengucapkan kalimat yang sama. Apabila
terdapat penekanan pada lubang hidung yang ditutup, diduga
terdapat insufisiensi velofaringeal. 10, 11
b. Stetoskop, dengan cara menempatkan stetoskop tepat di bawah
nostril. Apabila terdapat emisi nasal, terdengar suara berdesir
(rustle sound). 10, 11
Visual detection
a. Kaca dental, diletakan tepat di bawah nostril. Pasien diminta
mengucapkan beberapa kata. Apabila permukaan kaca mulut
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
21
Universitas Indonesia
tertutup kabut, dapat diduga adanya emisi nasal pada pasien
tersebut. 10, 11
b. Air paddle dengan menggunakan sepotong kertas yang
diletakan tepat di bawah hidung. Apabila air paddle bergerak
selama pasien berbicara, diduga terdapat emisi nasal pada
pasien tersebut. 10, 11
Tactile detection
a. Feel the side of the nose, pemeriksaan ini menggunakan jari
terapi bicara yang menekan salah satu lubang hidung pasien
dengan tekanan ringan. Apabila diduga adanya emisi nasal,
dapat dirasakan adanya vibrasi atau getaran saat pasien
mengulang kata-kata yang diperintahkan oleh terapi
bicara.dengan tekanan ringan di bawah. 11
Pemeriksaan selanjutnya adalah penilaian organ artikulasi
pasien. Pemeriksaan ini mencakup penilaian mengenai pengelihatan
(mata), pendengaran (telinga), hidung dan jalan nafas, profil wajah
dan tulang wajah, bibir, rongga mulut (langit-langit keras, velum dan
uvula serta susunan gigi geligi).11, 21
2.9.2. Pemeriksaan Instrumental
Sefalometri Lateral
Penggunaan radiografi kepala dan leher untuk menilai fungsi
velofaringeal pertama kali dipublikasikan pada tahun 1909. Teknik
ini dapat memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap
mekanisme sistem velofaringeal, sehingga pada saat itu digunakan
sebagai baku emas (gold standard) walaupun gambaran yang
disajikan hanya berupa gambaran dua dimensi. Sedangkan
nasoendoskopi menjadi baku emas (gold standard) pemeriksaan
fungsi velofaringeal setelah berkembangnya teknik multiview
videofluoroscopy yang kemudian digabungkan dengan penggunaan
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
22
Universitas Indonesia
fiber optic yang tipis untuk melihat mekanisme katup velofaringeal
secara langsung. 10, 14
Sefalometri digunakan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan velum untuk berelevasi saat menghasilkan suara
konsonan non-nasal, sehingga sangat penting untuk mengingatkan
pasien agar mempertahan produksi suara konsonan non-nasal
tersebut selama proses radiografi dilakukan. 15
Pada hasil sefalometri, tampak velum berkontak dengan
dinding posterior faring selama pasien memproduksi suara
konsonan non-nasal. Celah yang terbentuk antara velum dan
dinding posterior faring merupakan suatu keadaan abnormal dan
merupakan suatu indikasi bahwa velum tidak terangkat dengan
sempurna atau faring terlalu dalam (gambar 2.11). Semakin besar
jarak celah yang ditunjukkan, semakin besar kemungkinan
timbulnya nasal emisi pada pasien tersebut. 10, 22
Gambar 2.11 Ilustrasi klasifikasi kompetensi velofaringeal Enenmark’s (Van Demark, Kuehn &
Tarp, 1975). (a) menunjukkan penutupan velum yang tepat, (b) velum berkontak dengan dinding
posterior faring + 2 mm, (c) velum hanya menyentuh dinding posterior faring, (d) velum tidak
berkontak dengan dinding posterior faring dan memiliki celah kurang dari 2 mm, (e) celah antara
velum dan dinding posterior faring lebih besar dari 2 mm
Nasoendoskopi
Walaupun hipernasaliti atau nasal emisi dapat diketahui
melalui perceptual assessment, pemeriksaan selanjutnya diperlukan
untuk mengetahui penyebab dari keadaan tersebut. 11
Disfungsi velofaringeal dapat diidentifikasikan melalui
evaluasi wicara berdasarkan karakteristik ucapan yang dihasilkan
pasien, namun demikian, penting untuk mengetahui penyebab,
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
23
Universitas Indonesia
ukuran serta lokasi penutupan velofaringeal agar terapi yang tepat
selanjutnya dapat diberikan. 12
Nasoendoskopi merupakan prosedur endoskopi minimal yang
memungkinkan melihat dan menganalisa mekanisme velofaringeal
selama pasien berbicara. 3, 13, 23
Keuntungan pemeriksaan menggunakan nasoendoskopi
dibandingkan videofluoroskopi adalah tidak terdapatnya bahan
radiasi yang digunakan, sehingga tidak membahayakan pasien.
Karena tidak adanya efek radiasi, pemeriksaan menggunakan
endoskopi dapat dilakukan lebih dari satu kali. 23
Nasoendoskopi dapat juga digunakan untuk melakukan
penilaian struktur adenoid, ada atau tidaknya defek pada mukosa
nasal velum dan ada atau tidaknya oronasal fistula. Selain itu,
nasoendoskopi dapat digunakan selama proses terapi, antara lain
pada saat pembuatan disain peranti bicara. 13, 23
Pemeriksaan endoskopi hanya dapat dilakukan apabila terapis
wicara (speech pathologist) telah melakukan pemeriksaan lengkap
sehingga dapat diinformasikan karakteristik bicara yang dinilai
mengalami gangguan. 23
Sebelum dilakukan pemeriksaan menggunakan nasoendoskopi,
diperlukan beberapa persiapan seperti kontrol infeksi, anastesia
rongga nasal dan mempersiapkan pasien supaya pada saat dilakukan
pemeriksaan, pasien dalam keadaan tenang. 3, 13, 23
Pada saat dilakukan pemeriksaan, gambar yang tampak pada
layar merupakan posisi antagonis dari keadaan sebenarnya. Pada
saat endoskopi ditempatkan pada nasofaring, akan tampak struktur
velofaringeal dengan velum terletak di sisi sebelah bawah layar
sedangkan dinding posterior faring terletak pada sisi layar sebelah
atas. Pada keadaan defisiensi velofaringeal tampak katup
velofaringeal yang terbuka pada saat pasien bicara (Shprintzen
1995). 13
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
24
Universitas Indonesia
Gambar 2.12 Prosedur pemeriksaan menggunakan endoskopi
2.10. Terapi Insufisiensi Velofaringeal
Terapi yang dilakukan pada kasus insufisiensi velofaringeal
adalah kombinasi terapi bedah dengan terapi bicara. Tujuan terapi ini
adalah sebagai berikut : (1) menghindari jaringan parut dan masalah
pertumbuhan maksila (waktu pembedahan yang tepat dan teknik
dengan trauma yang minimal), (2) menghindari masalah bicara (waktu
pembedahan yang tepat, memperpanjang velum, terapi wicara pasca
operasi), (3) mengurangi komplikasi seperti perdarahan atau
terbentuknya fistula. 21
2.10.1. Terapi Pembedahan
Pharyngoplasty merupakan teknik pembedahan faring yang
didisain untuk memperbaiki disfungsi velofaringeal. Saat ini terdapat
dua teknik pharyngoplasty yang sering digunakan, yaitu pharyngeal
flap dan sphincter pharyngoplasty. Kedua teknik ini didisain untuk
mengurangi ukuran diameter faring sehingga pada saat pasien
berbicara, dapat terjadi penutupan yang sempurna. 24
Gambar 2.13 Desain pharyngeal flap
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
25
Universitas Indonesia
Pharyngeal flap merupakan suatu disain pasif, sebuah flap
jaringan lunak ditempatkan sebagai suatu obturator pada pertengahan
katup velofaringeal. Saat bicara, dinding lateral faring bergerak ke arah
medial dan menyentuh flap, sehingga terjadi penutupan yang sempurna
dari selurh katup velofaringeal. (gambar 2.13) 24
Gambar 2.14 Sphincter pharyngoplasty. A. Disain musculomucosal flap pada sisi superior. B. Flap
dielevasi dan direorientasi arah posterior. CA. Dilakukan pembuatan penonjolan dinding posterior
faring secara horizontal 25
Teknik kedua adalah sphincter pharyngoplasty dikenal juga
dengan istilah sphincteroplasty. Teknik ini bertujuan agar gerakan
katup velofaringeal sebagai suatu sfingter lebih dinamis. Pada prosedur
ini, dibuat flap myocutaneus bilateral dari pilar fausial posterior.
Kemudian kedua flap ini dirotasi dan dilakukan penjahitan transversal
pada level penutupan velofaringeal. Pada sisi superior katup
velofaringeal flap terangkat dan melekat pada dinding lateral faring.
Flap ini akan menyebabkan diameter faring menyempit. Saat pasien
berbicara, m.palatopharyngeus dan m.levator veli palatini bekerja
bersama menutup sfingter. 24
2.10.2. Terapi Non-bedah
a. Terapi wicara, untuk memperbaiki insufisiensi yang disebabkan
masalah artikulasi. 12
b. Peranti protesa, berfungsi untuk menutup celah antara velum,
dinding lateral faring dan dinding posterior faring yaitu bila celah
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
26
Universitas Indonesia
terlalu besar untuk dilakukan perbaikan secara bedah atau pada
pasien yang mengalami paralisis velum (gambar 2.15). 12, 26, 27
Gambar 2.15 Piranti bicara (speech aid) A. bagian anterior, I. bagian tengah, P. bagian posterior
2.11. Tatalaksana Celah Langit-langit
Penatalaksanaan holistik dan komprehensif pada pasien celah
langit-langit hanya dapat tercapai dengan dukungan berbagai bidang
praktisi kesehatan yang terdiri dari : (1) spesialis gigi (bedah mulut,
ortodontik, pedodontik dan prostodontik), (2) spesialis di bidang
medik (ahli genetika, THT, pediatrik, bedah plastik dan psikiater),
(3) serta tenaga kesehatan lain (audiolog, perawat, psikolog dan
terapi wicara). 28
Meskipun tatalaksana untuk kasus-kasus celah langit-langit
menunjukan perbedaan antar pusat perawatan (cleft centre), pada
prinsipnya tindakan yang dilakukan adalah ortopedi pra-bedah
(infant orthopedics), labioplasti (pada pasien celah bibir),
palatoplasti, tandur tulang untuk celah alveolar (bone grafting),
perawatan ortodontik, koreksi sekunder pada bibir dan hidung serta
osteotomi pada struktur wajah. 28
Penatalaksanaan pasien dengan celah langit-langit pada
program Sehati RSAB yang telah dilaksanakan sejak tahun 1995,
memiliki rencana perawatan sebagaimana terdapat pada gambar
2.16 di bawah ini.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
27
Universitas Indonesia
Gambar 2.16 Rencana Perawatan (treatment protocol) pasien celah bibir dan langit-langit Program
SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta
2.12. Terapi Wicara di Program Sehati RSAB Harapan Kita Jakarta
Sebagaimana telah dilaporkan pada banyak penelitian, pada pasien
dengan celah bibir, celah langit-langit ataupun kombinasi keduanya yang
tidak dilakukan perawatan memiliki pengaruh negatif pada kehidupan
sosialnya. Namun masalah-masalah tersebut juga dapat timbul pada
pasien-pasien celah bibir, celah langit-langit dan kombinasi keduanya
yang telah dilakukan perawatan. Oleh karena itu rehabilitasi bicara
merupakan strategi perawatan selanjutnya setelah dilakukan tindakan
pembedahan penutupan celah langit-langit.
Terapi wicara merupakan ilmu yang mempelajari dan menangani
masalah bahasa, bicara, suara dan irama kelancaran. Pada kasus celah
bibir dan langit-langit sering terjadi masalah pada suara dan bicara
(artikulasi).
Masalah suara adalah kualitas suara hipernasal akibat adanya udara
yang bocor ke rongga mulut. Masalah artikulasi adalah kegagalan
penempatan titik artikulasi, waktu, tekanan udara dari paru-paru,
kecepatan dalam integrasi pergerakan bibir, lidah, velum dan faring.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
28
Universitas Indonesia
Tujuan kunjungan ke terapi wicara pada pasien celah langit-langit
adalah untuk menghilangkan atau mengurangi sengau (hipernasal) dan
memperbaiki gangguan artikulasi sehingga pasien mampu
berkomunikasi verbal dengan baik.
Penatalaksanaan kunjungan pasien pasca rekonstruksi celah langit-
langit pada program Sehati RSAB memiliki rencana perawatan
sebagaimana terdapat pada gambar 2.17 di bawah ini.
Gambar 2.17 Rencana terapi (treatment protocol) terapi wicara RSAB Harapan Kita Jakarta
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
29
Universitas Indonesia
2.13. Kerangka Teori
Gambar 2.18 Skema Kerangka Teori
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
30
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Skema kerangka konsep
3.2. Hipotesis
Mirror test dan radiografi sefalometri memiliki sensitivitas dan spesifitas
yang sama dalam mendeteksi adanya celah velofaringeal pada katup
velofaringeal.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
31
Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan disain
potong lintang (cross sectional), pada hasil pengukuran nasal emisi
menggunakan mirror test, radiografi sefalometri dan pemeriksaan
nasoendoskopi pada pasien berusia 5 – 11 tahun, yang telah dilakukan
tindakan rekonstruksi celah langit-langit dan telah mengikuti terapi bicara
sesuai dengan rencana perawatan di RSAB Harapan Kita.
4.2. Alur Penelitian
Gambar 4.1 Skema alur penelitian
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Unit Celah Bibir dan Langit-langit RSAB
Harapan Kita Jakarta Unit Celah Bibir dan Langit-Langit selama bulan Juni
2014 – Juli 2014.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
32
Universitas Indonesia
4.4. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah pasien dengan celah langit-langit komplit non
sindromik di RSAB Harapan Kita pasca rekonstruksi celah langit-langit
dengan teknik pushback z-plasty pada mukosa nasal pada tahun 2007 -
2008. Usia pasien adalah 5 – 11 tahun pada tahun 2014.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi subyek penelitian
Kriteria Inklusi :
1. Pasien berusia 5 – 11 tahun
2. Pasien laki-laki atau perempuan dengan celah langit-langit komplit
non-sindromik yang telah menjalani rekonstruksi palatoplasti dengan
teknik pushback z-plasty pada mukosa nasal saat berusia 1.5 tahun
sesuai rencana terapi celah langit-langit dan rencana terapi bicara di
RSAB Harapan Kita.
3. Tidak terdapat fistula oronasal pasca rekonstruksi celah langit-langit.
4. Pasien dalam keadaan sehat saat dilakukan pemeriksaan menggunakan
nasoendoskopi.
Kriteria Eksklusi
1. Pasien sub mucous cleft palate
2. Pasien pasca repushback palatoplasty
3. Pasien menggunakan piranti bicara
4.5. Jumlah Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus : 29
N =Zα2PQ
𝑑²
N =1.962. 0,863.0,137
0,1²
N = 45
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
33
Universitas Indonesia
Keterangan :
N : besar sampel
Zα : nilai sebaran normal baku, besarnya tergantung tingkat
kepercayaan yaitu TK 95% = 1,96
P : sensitivitas uji diagnostik = 86.3 % 30
Q : (1-P)
d : besar penyimpangan sebesar 10% = 0,1
4.6. Variabel Penelitian
4.6.1. Variable Bebas
4.6.1.1. Usia pasien saat dilakukan rekonstruksi celah langit-langit
(sesuai dengan rencana terapi RSAB Harapan Kita)
4.6.1.2. Jumlah kunjungan latihan terapi wicara
4.6.2. Variable Terikat
4.6.2.1. Insufisiensi velofaringeal (didapat dari hasil pemeriksaan nasal
emisi menggunakan mirror test, radiografi sefalometri dan
nasoendoskopi)
4.6.3. Variable yang Dikendalikan
4.6.3.1. Teknik rekonstruksi celah langit-langit (pushback palatoplasty
dengan modified z-plasty)
4.6.3.2. Operator (ahli Bedah Mulut) yang sama pada semua tindakan
rekonstruksi celah langit-langit
4.6.3.3. Operator (terapi wicara) yang sama pada saat dilakukan sesi
terapi bicara
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
34
Universitas Indonesia
4.7. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Tabel 4.1 Definisi Operasional
Variabel Batasan Operasional Cara Pengukuran Skala
Sentivitas Kemungkinan bahwa hasil uji
akan positif bila uji itu
dilakukan pada orang yang
sesungguhnya mempunyai
penyakit.
Menggunakan tabel
2x2
Rumus sensitivitas
adalah a / (a+c).
Spesifisitas Kemungkinan bahwa hasil uji
akan negatif bila uji itu
dilakukan pada orang yang
sesungguhnya bebas penyakit.
Menggunakan tabel
2x2
Rumus sensitivitas
adalah d / (b+d).
Disfungsi
Velofaringeal
Suatu keadaan dimana katup
velofaringeal tidak dapat
berfungsi sebagaimana
mestinya. Keadaan ini
menyebabkan masuknya udara
ke dalam rongga hidung saat
pasien berbicara.
Tidak dilakukan
pengukuran
Mirror test Suatu lempeng logam persegi
berskala yang digunakan untuk
mengetahui adanya udara
bebas yang masuk ke rongga
hidung saat velofaringeal
berfungsi.
Kriteria penilaian :
a. Baik (1) :
udara yang keluar
dari hidug saat
mengucapkan
huruf “i” adalah 0
cm.
b. Sedang (2) :
udara yang keluar
dari hidung saat
mengucapkan
Ordinal
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
35
Universitas Indonesia
Variabel Batasan Operasional Cara Pengukuran Skala
huruf “i” adalah 1
– 2 cm.
c. Buruk (3) :
udara yang keluar
dari hidung saat
mengucapkan
huruf “i” adalah 3
– 4 cm.
d. Sangat
buruk (4) : udara
yang keluar dari
hidung saat
mengucapkan
huruf “i’ adalah >
5 cm.
Sefalometri
lateral
Salah satu teknik radiografi
yang biasa digunakan oleh
Orthodontis untuk melihat
hubungan rahang atas dan
bawah. Satoh et al (1999)
menggunakan radiografi ini
untuk mengetahui ukuran
velum dan posisi velum saat
velofaringeal berfungsi.
Kriteria penilaian :
a. Baik (1) :
velum memanjang
ke arah superior
dan posterior,
menyentuh 3 titik
pada dinding
posterior faring.
b. Sedang (2) :
velum memanjang
ke arah superior
dan posterior,
menyentuh 2 titik
pada dinding
posterior faring.
Ordinal
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Variabel Batasan Operasional Cara Pengukuran Skala
c. Buruk (3) :
velum memanjang
ke arah superior
dan posterior,
menyentuh 2 titik
pada dinding
posterior faring.
d. Sangat
buruk (4) : velum
memanjang ke
arah superior dan
posterior tetapi
tidak menyentuh
dinding faring.
Nasoendos-
kopi
Suatu prosedur minimal
invasive yang digunakan untuk
menilai struktur dan fungsi
organ velofaringeal.
Kriteria penilaian
a. Baik (1) :
tidak terbentuk
celah
velofaringeal
b. Sedang (2) :
celah
velofaringeal
yang terbentuk
berukuran 1 – 2
mm.
c. Buruk (3):
celah
velofaringeal
yang terbentuk
berukuran 3 – 4
mm.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
37
Universitas Indonesia
Variabel Batasan Operasional Cara Pengukuran Skala
d. Sangat
buruk (4) : celah
velofaringeal
yang terbentuk
berukuran > 5
mm.
4.8. Alat dan Bahan Penelitian
1. Informed Consent (Formulir Persetujuan Ikut Penelitian)
2. Lembar pemeriksaan mirror test
3. Hasil nasoendoskopi
4. Hasil sefalometri radiografi
5. Radiograph viewer
6. Cephalometric tracing paper
7. Pensil 2H
8. Alat ukur (caliper)
9. Buku dan alat tulis
4.9. Cara Kerja Penelitian
4.9.1. Penetapan Sampel
1. Data pasien diambil dari catatan buku besar pasien Unit
Celah Bibir dan Langit-langit RSAB Harapan Kita tahun
2006 dan 2007.
2. Data pasien tersebut diklasifikasikan sesuai usia pasien saat
dilakukan tindakan rekonstruksi celah langit-langit sesuai
dengan rencana terapi di RSAB Harapan Kita.
3. Kemudian dari rekam medis pasien diambil sesuai dengan
kriteria
4. Dari sejumlah data tersebut dilakukan randomisasi dengan
sistem simple random sampling sebanyak sampel yang
dibutuhkan.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
38
Universitas Indonesia
5. Dari data hasil randomisasi dilakukan pemanggilan pasien.
6. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasal emisi, radiografi
sefalometri lateral dan nasoendoskopi setelah mendapatkan
informed consent.
4.9.2. Pemeriksaan Nasal Emisi
1. Pemeriksaan dilakukan di ruang terapi bicara di klinik Celah
Bibir dan Langit-langit RSAB Harapan Kita
2. Pasien duduk di kursi yang telah disediakan
3. Pasien diminta mengucapkan huruf vokal /i:/, pada saat
pasien mengucapkan huruf tersebut, diletakan mirror test di
bawah hidung.
4. Kemudian dilihat apakah terdapat embun pada mirror test
tersebut.
5. Dilakukan 3 kali pemeriksaan oleh terapi bicara yang sama
6. Hasil pengukuran dicatat pada kertas duplikasi mirror
test.(gambar 4.2)
Gambar 4.2 Mirror test merupakan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk
melihat ada tidaknya nasal emisi saat mengucapkan huruf /i:/.
7. Kriteria penilaian berdasarkan Pedoman Standar Tata Cara
Kegiatan Keuangan dan Medik RSAB Harapan Kita, Terapi
Wicara Program Sehati.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
39
Universitas Indonesia
4.9.3. Pemeriksaan Radiografi Sefalometri Lateral
1. Pemeriksaan dilakukan di ruang radiologi RSAB Harapan
Kita
2. Saat dilakukan pengambilan sefalometri pasien diminta
mengucapkan huruf /i:/.
3. Dilakukan tracing menggunakan tracing paper dan pinsil
2H
4. Hasil pengukuran sesuai landmark dicatat dalam bentuk
tabel
Gambar 4.3 Landmark sefalometri yang digunakan pada penelitian ini : N-nasion, titik paling
anterior antara os.frontalis dan os.nasal; S-sella titik pusat dari sella turcica; PPW-titik dimana
perpanjangan bidang palatal berpotongan dengan dinding posterior faringeal; VPCs-titik superior
dari kontak velofaringeal; VPCm-titik tengah dari kontak velofaringeal; VPCi-titik inferior dari
kontak velofaringeal 22
4.9.4. Pemeriksaan Nasoendoskopi
1. Pemeriksaan dilakukan oleh ahli Bedah Mulut dan ahli THT
RSAB Harapan Kita.
2. Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien diberikan anestesi
lokal.
3. Pada saat gambar di monitor menunjukkan dinding posterior
faring dan velum, pasien diminta mengucapkan huruf “i”.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
40
Universitas Indonesia
4. Dilakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya celah
velofaringeal dan dilakukan pengukuran besarnya celah
tersebut. sesuai standarisasi International Working Group. 31
4.9.5. Manajemen dan Analisis Data
1. Jenis Data
Digunakan data primer
2. Pengolahan Data
Setelah didapatkan hasil pengukuran dari ketiga modalitas,
dilakukan pengolahan data dengan menggunakan tabel 2x2.
3. Analisis Data
Dari hasil pengolahan data kemudian dilakukan analisis
untuk membandingkan sensitifitas dan spesifisitas mirror
test dan radiografi sefalometri berdasarkan pemeriksaan
pada pasien pasca rekonstruksi celah langit-langit usia 5 – 11
tahun.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
41
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Unit Celah Bibir dan Langit-langit Rumah Sakit
Anak dan Bunda Harapan Kita selama bulan Juni dan Juli 2014, untuk
membandingkan sensitivitas dan spesifitas mirror test dan sefalometri pada pasien
pasca palatoplasti di RSAB Harapan Kita Jakarta.
Seluruh subyek penelitian menjalani operasi rekonstruksi celah langit-langit
pada usia 18 bulan dan telah mengikuti sesi terapi bicara sesuai dengan rencana
terapi pasien celah bibir dan langit-langit Program SEHATI RSAB Harapan Kita
Jakarta.
Evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini, melibatkan 10 orang pasien
sebagai subyek penelitian, dari 45 orang jumlah sampel yang direncanakan. Hal ini
dikarenakan sampel penelitian ini dibatasi oleh kriteria eksklusi dan inklusi,
beberapa orang tua dari subyek penelitian menolak untuk dilakukan pemeriksaan
dengan alasan orang tua subyek penelitian merasa kualitas suara subyek penelitian
baik dan tidak terdapat gangguan berkomunikasi, pemeriksaan radiografi
sefalometri dan nasoendoskopi belum terdapat pada treatment protocol RSAB
Harapan Kita.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan diagnosis pasien hampir berimbang
yaitu 5 orang (50%) dengan palatoschizis unilateral (CLP), 4 orang (40%) dengan
labiognathopalatoschizis unilateral (UCLP), 1 orang (10%) dengan
labiognathopalatoschizis bilateral (BCLP).
Dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi, didapatkan distribusi pola penutupan
velofaringeal adalah sebagai berikut koronal (4%), sirkuler (1%), sirkuler dengan
Passavant Rdge (2%) dan sagital (3%).
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
42
Universitas Indonesia
Grarik 5.1 Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Mayoritas subyek penelitian adalah laki-laki (90%) (grafik 5.1). Rata-rata usia
subyek penelitian adalah 8.1. Rentang usia subyek penelitian adalah 5 – 11 tahun
(grafik 5.2).
Grafik 5.2 Distribusi subyek penelitian berdasarkan usia
Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan desain khusus untuk suatu uji
diagnostik dan dikelompokkan dalam tabel 2x2. Karena penelitian ini merupakan
suatu uji diagnostik, maka dapat ditentukan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi
positif, nilai prediksi negatif, prevalensi, rasio kemungkinan positif, dan rasio
kemungkinan negatif berdasarkan hasil tabulasi silang dari dua faktor pengamatan,
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
43
Universitas Indonesia
faktor I merupakan hasil pemeriksan pertama dan faktor II merupakan hasil
pemeriksaan kedua.
Yang dimaksud penelitian pertama adalah pasien yang dilakukan pemeriksaan
menggunakan mirror test atau radiografi sefalometri. Pemeriksaan kedua adalah
gold standard yaitu pemeriksaan nasoendoskopi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan
untuk melihat fungsi velofaringeal secara langsung. 14
Tabel 5.1
PEMERIKSAAN II (NASOENDOSKOPI)
PEMERIKSAAN I
(sistem scoring)
Dari tabel diatas dapat dihitung :
Sensitifitas : a / (a+c)
Spesifisitas : d / (b+d)
Nilai Prediktif Positif : a / (a+b)
Nilai Prediktif Negatif : d / (c+d)
Prevalensi : (a+c) / (a+b+c+d)
Rasio Kemungkinan Positif : Sensitifitas / (1 – spesifisitas)
Rasio Kemungkinan Negatif : (1 – sensitifitas) / spesifisitas
Dari 10 subyek penelitian yang diduga tidak memiliki celah velofaringeal saat
berbicara, seluruh subyek penelitian menunjukkan hasil yang baik (nasal emisi = 0
cm). Sedangkan dari hasil pemeriksaan menggunakan endoskopi menunjukkan 2
subyek penelitian tidak memiliki celah velofaringeal, 1 orang subyek penelitian
memiliki celah sebesar < 2 mm, 3 orang subyek penelitian memiliki celah
velofaringeal < 4 mm dan 3 orang memiliki celah velofaringeal > 5 mm. Seluruh
data disusun dengan tabel 2 x 2 untuk mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas,
prevalensi, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif.
Positif Negatif Jumlah
Positif a b a+b
Negatif c d c+d
a+c b+d a+b+c+d
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
44
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 Uji Diagnostik Mirror Test
Nasoendoskopi
Mirror test
Dari tabel diatas dapat dihitung :
Sensitifitas : 0 %
Spesifisitas : 100 %
Nilai Prediktif Positif : 0 %
Nilai Prediktif Negatif : 30 %
Prevalensi : 70 %
Rasio Kemungkinan Positif : 0
Rasio Kemungkinan Negatif : 1
Berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan radiografi sefalometri,
didapatkan hasil velum pada 1 orang subyek penelitian menyentuh 2 titik pada
dinding posterior faring, velum pada 1 orang subyek penelitian menyentuh 1 titik
pada dinding posterior faring sedangkan velum pada 8 orang subyek penelitian tidak
menyentuh dinding posterior faring. Seluruh data disusun dengan tabel 2 x 2 untuk
mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, prevalensi, rasio kemungkinan positif
dan rasio kemungkinan negatif.
Ada Tidak Jumlah
Ada 0 0 0
Tidak 7 3 10
7 3 10
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
45
Universitas Indonesia
Tabel 5.3 Uji Diagnostik Sefalometri
Nasoendoskopi
Sefalometri
Dari tabel diatas dapat dihitung :
Sensitifitas : 100 %
Spesifisitas : 33.3 %
Nilai Prediktif Positif : 77.7 %
Nilai Prediktif Negatif : 100 %
Prevalensi : 70 %
Rasio Kemungkinan Positif : 3.09
Rasio Kemungkinan Negatif : 0
Selanjutnya untuk melihat modalitas pemeriksaan mana yang lebih baik antara
mirror test dengan sefalometri, maka berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian
statistik dibuat tabel perbandingan sebagai berikut :
Tabel 5.4 Perbandingan Hasil Mirror Test dan Radiografi Sefalometri
Hasil Uji Mirror Test Sefalometri
Sensitivitas 0 % 100 %
Spesifisitas 100 % 33.3 %
Nilai Prediktif Positif 0 % 77.7 %
Nilai Prediktif Negatif 30 % 100 %
Prevalensi 70 % 70 %
Rasio Kemungkinan Positif 0 3.09
Rasio Kemungkinan Negatif 1 0
Ada Tidak Jumlah
Ada 7 2 9
Tidak 0 1 1
7 3 10
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
46
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
Tujuan utama dari penatalaksanaan celah langit-langit adalah pasien dapat
berbicara dengan jelas. Namun demikian, penatalaksanaan tersebut tidak selalu
mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Gangguan fungsi bicara, disebabkan
lolosnya udara masuk ke dalam rongga hidung saat pasien berbicara, keadaan ini
diakibatkan insufisiensi velofaringeal. Gambaran klinis insufisiensi velofaringeal
ditandai dengan timbulnya suara hipernasaliti dan nasal emisi. 9
Insufisiensi velofaringeal dapat timbul pada kondisi yang berbeda-beda baik
sebelum atau sesudah tindakan pembedahan. Beberapa komplikasi penatalaksanaan
celah langit-langit antara lain velum yang menjadi lebih pendek, pergerakan velum
yang terbatas dan fistula oro-nasal. Jones dan Morris mengklasifikasikan
insufisiensi velofaringeal menjadi dua, yaitu ABNQ (Almost but Not Quite) dan
SBNA (Sometimes but Not Always). Terapi bicara yang dilakukan berdasarkan
tingkat keparahan insufisiensi velofaringeal tidaklah dianjurkan. Disarankan untuk
melakukan pemeriksaan anatomi dan fungsi velofaringeal yang menyebabkan
terjadinya insufisiensi velofaringeal. 3, 9, 20
Keputusan dalam menegakan diagnosis insufisiensi velofaringeal
berdasarkan anamnesis, perceptual assessment, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang sangatlah penting untuk dilakukan. Dianjurkan untuk melakukan
beberapa modalitas pemeriksaan sehingga kesalahan diagnosis dapat dihindarkan
dan rencana perawatan selanjutnya yang tepat dapat ditentukan. 11, 12
Secara garis besar prosedur pemeriksaan velofaringeal terbagi menjadi dua
kategori, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan tidak langsung
(indirect assessment) termasuk di dalamnya adalah pemeriksaan non-instrumen,
sedangkan pemeriksaan langsung (direct assessment) merupakan pemeriksaan alat,
termasuk radiografi sefalometri, videofluoroskopi dan nasoendoskopi. 3, 10
Evaluasi fungsi velofaringeal pertama kali dilakukan oleh terapi bicara,
yang akan melakukan penilaian terhadap resonansi suara pasien. Penilaian tersebut
mencakup ada tidaknya tekanan udara yang jelas pada vocal track. Pemeriksaan
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
47
Universitas Indonesia
yang dilakukan oleh terapi bicara merupakan indirect assessment tanpa
menggunakan instrumen pemeriksaan. Pemeriksaan tahap selanjutnya merupakan
direct assessment, dianjurkan untuk menggunakan modalitas awal yang sederhana
sebelum dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan modalitas invasif.
Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan fungsi velofaringeal dengan
menggunakan 2 modalitas yaitu mirror test dan radiografi sefalometri. Mirror test
merupakan modalitas yang mudah digunakan baik pada pasien anak-anak, dewasa
dan pasien dengan keterbelakangan mental (mental retardation). Namun Ogata dan
kawan-kawan menyarankan untuk mengkonfirmasi keakuratan mirror test dengan
pemeriksaan nasometer dan blowing test ratio. 9
Hasil pemeriksaan nasal emisi pada penelitian ini menunjukkan tidak
terdapatnya nasal emisi pada seluruh subyek penelitian, dengan demikian
berdasarkan pemeriksaan menggunakan mirror test, seluruh subyek penelitian
dinyatakan memiliki fungsi velofaringeal yang baik. Namun demikian ditemukan
hasil yang berbeda pada pemeriksaan menggunakan radiografi sefalometri, dimana
hanya 1 orang subyek penelitian (10%) yang memiliki fungsi velofaringeal yang
baik.
Hasil pemeriksaan nasal emisi dengan menggunakan mirror test
menunjukkan sistem velofaringeal berfungsi dengan baik. Hal ini sesuai dengan
teori mengenai compensatory articulation atau maladaptive articulation yaitu suatu
keadaan dimana lidah akan bergerak menutupi celah yang ada dengan tujuan
mencegah masuknya udara ke dalam rongga hidung pada saat pasien berbicara.
Rencana perawatan pada pasien celah langit-langit di RSAB Harapan Kita
bertujuan untuk menutup celah langit-langit sehingga katup velofaringeal dapat
berfungsi dengan baik. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai pengaruh z-
plasty pada teknik pushback palatoplasty disimpulkan bahwa z-plasty dapat
memberikan efek perpanjangan velum sebesar 30%. Terapi bicara merupakan ilmu
yang menangani masalah bahasa, bicara suara dan irama kelancaran. Pada kasus
celah langit-langit dengan atau tanpa celah bibir, masalah sering terjadi pada suara
dan bicara (artikulasi). Masalah suara adalah kualitas suara hipernasal akibat
adanya udara bocor ke rongga mulut. Terapi bicara dapat memperbaiki fungsi
velofaringeal bila insufisiensi velofaringeal minimal. Pada pasien pasca
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
48
Universitas Indonesia
rekonstruksi celah langit-langit, mengikuti sesi terapi bicara untuk menghilangkan
atau mengurangi sengau (hipernasal), sehingga pasien mampu berkomunikasi
verbal dengan baik. Latihan tahap pertama yang dilakukan pada sesi terapi bicara
adalah latihan pada velum, bertujuan untuk memaksimalkan fungsi otot pada
velum. Sedangkan latihan nasalitas bertujuan memaksimalkan komponen
velofaringeal untuk mengurangi udara lolos hidung dan hipernasaliti pada pasien.
5, 8
Pada penelitian ini, sensitivitas radiografi sefalometri menunjukkan hasil
lebih tinggi (100%) dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Rubinsky dan
kawan-kawan. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sefalometri sebesar
86.3 %. Namun spesifisitas sefalometri pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rubinsky dan kawan-kawan,
yaitu sebesar 75 %. 30
Namun demikian, penelitian ini mempunyai banyak keterbatasan,
diantaranya jumlah subyek penelitian yang tidak mencapai jumlah yang
direncanakan. Hal ini disebabkan antara lain subyek pada penelitian ini merupakan
purposive sample dimana dibatasi oleh kriteria eksklusi dan inklusi (antara lain
subyek penelitian harus mengikuti prosedur rencana perawatan pasien celah langit-
langit RSAB Harapan Kita), beberapa orang tua subyek penelitian yang menolak
untuk dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi hal ini dikarenakan pemeriksaan
sefalometri dan nasoendoskopi belum termasuk dalam rencana perawatan
(treatment protocol) RSAB Harapan Kita, keterbatasan alat, pasien masih berusia
sekolah, sehingga orang tua pasien mengkhawatirkan terganggunya proses belajar
pasien. Dengan jumlah sampel yang lebih banyak, diharapkan dapat memberikan
gambaran lebih baik mengenai tata cara pemeriksaan insufisiensi velofaringeal.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
49
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah :
1. Keputusan dalam menegakan diagnosis insufisiensi
velofaringeal berdasarkan anamnesis, perceptual assessment,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sangatlah penting
untuk dilakukan.
2. Pemilihan modalitas untuk pemeriksaan fungsi velofaringeal
dianjurkan untuk dilakukan secara bertahap, dimulai dengan
menggunakan instrumen yang mudah dan murah, namun
demikian hasil pemeriksaan haruslah dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan dengan modalitas lanjutan sebelum rencana terapi
insufisiensi velofaringeal dilakukan.
3. Mirror test digunakan sebagai screening awal pemeriksaan
fungsi velofaringeal, namun demikian diperlukan pemeriksaan
lanjutan untuk mengetahui fungsi velofaringeal secara
menyeluruh sebelum diagnosis insufisiensi velofaringeal
ditegakan.
4. Radiologi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas
pemeriksaan fungsi velofaringeal lanjutan dan untuk menilai
ukuran dan bentuk velum.
7.2. Saran
1. Dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah subyek yang lebih
banyak, supaya hasil yang didapat lebih bervariasi dan akurat,
sehingga didapatkan gambaran yang lebih menyeluruh apakah
protokol dan tata laksana yang selama ini dijalankan sudah
memberikan hasil yang maksimal.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
50
Universitas Indonesia
2. Dilakukan penilaian hasil perawatan pasca rekonstruksi celah
langit-langit dan pasca terapi bicara untuk jangka waktu yang
lebih panjang dengan menggunakan beberapa modalitas, agar
tujuan dari rencana perawatan dapat dicapai dengan hasil yang
maksimal.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
51
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Witzel MA. Communicative Impairment Associated with Clefting. In:
Sasser M, ed. Cleft Palate Speech Management A Multidisciplinary
Approach. 1st ed. St. Louis, Missouri: Mosby; 1995:137 – 166.
2. Kummer AW. Anatomy and Physiology : The Orofacial Sturctures and
Velopharyngeal Valve. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and Craniofacial
Anomalies Effects on Speech and Resonance. 1st ed. Canada: Singular;
2001:3 – 32.
3. Shprintzen RJ. The Velopharyngeal Mechanism. In: Berkowitz S, ed. Cleft
Lip and Palate Diagnosis and Management. 3th ed. Chicago: Springer;
2013:741 – 757.
4. Kummer AW. Developmental Aspects : Language, Cognition and
Phonology. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and Craniofacial Anomalies
Effects on Speech and Resonance. 1st ed. Canada: Singular; 2001:129 –
144.
5. Woo AS. Velopharyngeal Dysfunction. Semin. Plast. Surg.
2012;26(4):170 – 177.
6. Kummer AW. Velopharyngeal Dysfunction (VPD) and Resonance
Disorders. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and Craniofacial Anomalies
Effects on Speech and Resonance. 1st ed. Canada: Singular; 2001:145 –
176.
7. Riski JE. Speech, Language, and Velopharyngeal Dysfunction :
Management Throught the Life of an Individual with Cleft Palate. In:
Berkowitz S, ed. Cleft Lip and Palate Diagnosis and Management. 3th
ed. Chicago: Springer; 2013:803 – 820.
8. Hanafiah OA. Pengaruh Z-Plasty Pada Teknik Pushback Terhadap Fungsi
Artikulasi Bicara Dari Penderita Pasca Rekonstruksi Celah Langit-langit
di RSAB Harapan Kita Jakarta. 2004:24 – 96.
9. Ogata Y, Tezuka M, Matsunaga K, Nakamura N. A Trial For
Characterizing Velopharyngeal Closure Insufficiency Under Various
Oral Pressure Conditios In Cleft Palate. In: Jaso N, D’cruz AM, eds. Cleft
Lip and Palate: Etiology, Surgery & Repair and Sociopsychological
Consequences (Congenital Disorders - Laboratory and Clinical
Research).Vol 82. 1st ed. New York: Nova Publisher; 2013:145 – 158.
10. Kuehn DP, Henne LJ. Speech Evaluation and Treatment for Patients With
Cleft Palate. Am. J. Speech. Lang. Pathol. 2003;12:103 – 109.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
52
Universitas Indonesia
11. Kummer AW. Perceptual Assessment. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and
Craniofacial Anomalies Effects on Speech and Resonance. 1st ed.
Canada: Singular; 2001:265 – 292.
12. Kummer AW, Lee L. Evaluation and Treatment of Resonance Disorders.
Am. J. Speech. Lang. Pathol. 1996;27:271 – 281.
13. Shprintzen RJ. Instrumental Assessment of Velopharyngeal Valving. In:
Sasser M, ed. Cleft Palate Speech Management A Multidisciplinary
Approach. 1st ed. St. Louis, Missouri: Mosby; 1995:221 – 256.
14. Shprintzen RJ, Marrinan E. Velopharyngeal Insufficiency : Diagnosis and
Management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2009;17(4):302 –
307.
15. Berkowitz S. Variations in Nasopharyngeal Skeletal Architecture. In:
Berkowitz S, ed. Cleft Lip and Palate Diagnosis and Management. 3th
ed. Chicago: Springer; 2013:715 – 739.
16. Casell MD, Elkadi H. Anatomy and Physiology of the Palate and
Velopharyngeal Structures. In: Sasser M, ed. Cleft Palate Speech
Management A Multidisciplinary Approach. 1st ed. St.Louis, Missouri:
Mosby; 1995:45 – 62.
17. Witzel MA, Posnick JC. Patterns and Location of Velopharyngeal
Valving Problems : Atypical Findings on Video Nasopharyngoscopy.
Cleft Palate J. 1989;26(1):63 – 67.
18. Ma L, Shi B, Li Y, Zheng Q. Velopharyngeal Function Assessment in
Patients With Cleft Palate : Perceptual Speech Assessment Versus
Nasopharyngoscopy. J. Craniofac. Surg. 2013;24(4):1229 – 1231.
19. D’Antonio LL, Scherer NJ. The Evaluation of Speech Disorders
Associated with Clefting. In: Sasser Ma, ed. Cleft Palate Speech
Management A Multidisciplinary Approach. 1st ed. St. Louis, Missouri:
Mosby; 1995:176 – 220.
20. Jones DL, Morris HL, Demark DR Van. A Comparison of Oral Nasal
Balance Patterns in Speakers Who Are Categorized as “Almost but Not
Quite” and “Sometimes but Not Always.” Cleft Palate-Craniofacial J.
2004;41(526 - 534).
21. Kirschner RE, Baylis AL. Surgical management of Velopharyngeal
Dysfunction. In: Berkowitz S, ed. Cleft Lip and Palate Diagnosis and
Management. 3th ed. New York: Springer Heidelberg; 2013:759 – 776.
22. Satoh K, Wada T, Tachimura T, Sakoda S, Shiba R. A Cephalometric
Study of the Relationship Between the Level of Velopharyngeal Closure
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
53
Universitas Indonesia
and the Palatal Plane in Patients With Repaired Cleft Palate and Controls
Without Clefts. Br. J. Oral Maxillofac. Surg. 1999;37:486 – 489.
23. Kummer AW. Nasopharyngoscopy. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and
Craniofacial Anomalies Effects on Speech and Resonance. 1st ed.
Canada: Singular; 2001:377 – 398.
24. Billmire DA. Surgical Management of Clefts and Velopharyngeal
Dysfunction. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and Craniofacial Anomalies
Effects on Speech and Resonance. 1st ed. Canada: Singular; 2001:401 –
424.
25. Hassib AA. Comparative Study Between Superiorly Based Pharyngeal
Flap and Sphincteoplasty in Treatment of Velopharyngeal Insufficiency
after Cleft Palate Repair. Egypt, J.Plast.Reconstr.Surg. 2005;29(2):149 –
156.
26. Marsh JL. Velopharyngeal Dysfunction Management Algorithms. In:
Berkowitz S, ed. Cleft Lip and Palate Diagnosis and Management. 3th
ed. Chicago: Springer; 2013:777 – 785.
27. Kummer AW. Prosthetic Management. In: Doyle S, ed. Cleft Palate and
Craniofacial Anomalies Effects on Speech and Resonance. 1st ed.
Canada: Singular; 2001:425 – 442.
28. Kummer AW. The Team Approach to Assessment and Treatment. In:
Doyle S, ed. Cleft Palate and Craniofacial Anomalies Effects on Speech
and Resonance. 1st ed. Canada: Singular; 2001:247 – 261.
29. Jones SR, Carley S, Harrison M. An Introduction To Power and Sample
Size Estimation. emj.bmj journals. 2005;6(8):453 – 458.
30. Rubinsky SY, Eslava-Schmalbach J. Experts’ clinical Diagnosis Test as
a Gold Standard for Cephalometric Evaluation of Vertical Facial Excess.
Rev. Salud Publica. 2007;9(3):399 – 407.
31. J.Goding-Kushner K, Argamaso R V., Cotton RT, Grames LM.
Standardization for the Reporting of Nasopharyngoscopy and Multiview
Videofluoroscopy : A Report From an International Working Group.
Cleft Palate J. 1990;27(4):337 – 348.
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
54
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Grafik Pemeriksaan Nasal Emisi, Radiografi Sefalometri dan
Nasoendoskopi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
55
Universitas Indonesia
Lampiran 2
LEMBAR INFORMASI UNTUK CALON RELAWAN PENELITIAN
Yth Bapak/Ibu/Sdr
Dengan hormat,
Bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berkenan menjadi
relawan penelitian saya yang berjudul :
“PERBANDINGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS MIRROR
TEST DAN SEFALOMETRI DALAM MENILAI INSUFISIENSI
VELOFARINGEAL PADA PASIEN PASCA REKONSTRUKSI
PALATOPLASTI DI RSAB HARAPAN KITA “
Tujuan penelitian ini adalah tujuan untuk mengevaluasi hasil operasi
palatoplasti dengan menggunakan nasoendoskopi dan sefalometri lateral
sehingga rencana terapi selanjutnya dapat dilakukan.
Dalam penelitian ini, Saudara akan dilakukan :
1. Wawancara / tanya jawab untuk pengisian data pribadi.
2. Pemeriksaan radiologi sefalometri lateral.
3. Pemeriksaan nasoendoskopi.
Adapun ketidaknyamanan yang dialami dalam prosedur penelitian
tersebut adalah :
1. Saudara akan diwawancara beberapa hal mengenai data yang sifatnya
pribadi.
2. Saudara akan dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi, di mana akan
dimasukan suatu alat yang berbentuk selang kecil, di ujungnya terdapat
kamera yang berfungsi untuk melihat apakah masih terdapat celah pada
langit-langit saudara.
3. Kemungkinan terjadi muntah pada saat fiber endoskopi di masukan ke
dalam rongga hidung
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
56
Universitas Indonesia
Keuntungan menjadi relawan penelitian :
1. Saudara dapat mengetahui hasil tindakan palatoplasti yang telah
dilakukan.
2. Saudara dapat berkonsultasi dan mendapatkan informasi mengenai
rencana perawatan lebih lanjut berkenaan dengan kualitas suara dan
kemampuan bicara saudara pasca dilakukan tindakan palatoplasti
3. Berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
bidang penanganan bibir sumbing dan langitan di Indonesia.
Jika Saudara bersedia, surat pernyataan kesediaan menjadi relawan
penelitian terlampir. Harap ditanda tangani dan diberikan kembali kepada
peneliti (drg.Lolita Dian Evayani). Perlu Saudara ketahui bahwa surat
kesediaan tersebut tidak mengikat dan Saudara dapat mengundurkan diri dari
penelitian ini kapan saja selama penelitian ini berlangsung.
Identitas relawan penelitian terkait hasil penelitian terkait hasil
penelitian akan disimpan secara rahasia, sehingga hanya diketahui oleh saya
sebagai peneliti dan Saudara sebagai relawan penelitian.
Demikian, informasi ini saya sampaikan.Mudah-mudahan keterangan
saya tersebut di atas dapat dimengerti dan atas kesediaan Saudara untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, saya ucapkan banyak terima kasih.
Apabila Saudara membutuhkan informasi lebih lanjut, dapat
menghubungi peneliti.
Hormat saya,
Drg.Lolita Dian Evayani
Peserta Program Pendidikan Bedah Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
HP 0813 80007692
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
57
Universitas Indonesia
Lampiran 3
SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SUBYEK
PENELITIAN
Setelah membaca dan memahami semua keterangan tentang resiko,
keuntungan dan hak-hak saya/anak saya sebagai subyek penelitian yang
berjudul :
“PERBANDINGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS MIRROR
TEST DAN SEFALOMETRI DALAM MENILAI INSUFISIENSI
VELOFARINGEAL PADA PASIEN PASCA REKONSTRUKSI
PALATOPLASTI DI RSAB HARAPAN KITA”
Atas nama : drg.Lolita Dian Evayani
Dengan ini saya,
Nama : ________________________________
Umur : ________________________________
Jenis Kelamin : laki-laki / perempuan* (*pilih salah satu)
Alamat : ________________________________
________________________________
No.telp : ________________________________
Dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia untuk berpartisipasi dalam
penelitian tersebut di atas
Jakarta, Mei 2014
Yang berpartisipasi,
(nama/____________________)
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Lampiran 4
Delfiana Nur A.A, 7 th. Pasca palatoplasti ai.Palatoschizis Unilateral
Sefalometri
Nasal Emisi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Lampiran 5
Nasoendoskopi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
60
Universitas Indonesia
Lampiran 6
Radaffa Fazle M, 8 th. Pasca palatoplasti ai.Palatoschizis Unilateral
Sefalometri
Nasal Emisi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
61
Universitas Indonesia
Lampiran 7
Nasoendoskopi
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
62
Universitas Indonesia
Lampiran 8
Surat Keterangan Lolos Etik
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014
63
Universitas Indonesia
Lampiran 9
Surat Izin Penelitian di RSAB Harapan Kita
Perbandingan sensitivitas…, Lolita Dian Evayani, FKG UI, 2014