Upload
nzm251190
View
14
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SP
Citation preview
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau
pecah, dan frenia yang artinya jiwa, dengan demikian, seseorang yang menderita
skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan
kepribadian (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima
dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta
berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
3.2 Etiologi Skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti
mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.Ternyata
dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal.
Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain : (Yosep, 2010)
Faktor genetik;
Virus;
Autoantibodi;
Malnutrisi.
Dari penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut : (Yosep, 2010)
1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara
kandung 10,1%; anak-anak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan
0,9%.
2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik
59,20%; sedangkan kembar fraternal 15,2%. Penelitian lain
menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga
mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari.
Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi,
trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir
menyebutkan bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia
tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut
epigenetik faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara
abnormal gen dengan : (Yosep, 2010)
a. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu
perkembangan otak janin;
b. Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama
kehamilan;
c. Komplikasi kandungan; dan
d. Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester
kehamilan.
Seseorang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila
mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya lebih besar
untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik
sebelumnya. (Yosep, 2010)
3.3 Gejala
Ada banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh
berbagai sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder
IV-TR, gejala khas skizofrenia berupa adanya:
1. Waham atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksi
yang tidak sesuai dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama,
dan budaya pasien atau masyarakat umum)
2. Halusinasi (persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari
luar)
3. Pembicaraan kacau
4. Perilaku kacau
5. Gejala negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikan
emosi, kehilangan minat, penarikan diri dari pergaulan sosial)
Selain itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR
(2008) adalah munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6
bulan, tidak termasuk gangguan perasaan (mood), tidak termasuk gangguan
karena zat atau karena kondisi medis, dan bila ada riwayat Autistic Disorder atau
gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat
ditegakkan bila ditemui halusinasi dan delusi yang menonjol selama paling tidak
1 bulan.
Menurut Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu:
1. Gejala Primer, yang meliputi:
a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada
skizofrenia inti, gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
b. Gangguan afek dan emosi. Gangguan ini pada skizofren berupa:
1) Parathimi, yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa
senang dan gembira, pada penderita malah menimbulkan
rasa sedih atau marah.
2) Paramimi, yaitu penderita merasa senang tetapi menangis
c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan di mana banyak penderita
skizofrenia memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat
mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam sebuah
situasi menekan. Gangguan kemauan yang timbul antara lain:
1) Negativisme, yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau
berlawanan terhadap suatu permintaan.
2) Ambivalensi, yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang
berlawanan pada waktu yang bersamaan.
3) Otomatisme, yaitu penderita merasa kemauannya
dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar,
sehingga dia melakukannya secara otomatis.
d. Gejala psikomotor, disebut juga dengan gejala-gejala katatonik.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan
kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat
gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku.
2. Gejala Sekunder, yang meliputi:
a. Waham.
Pada penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali
dan sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan
untuk dia wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh
siapapun.
b. Halusinasi.
Pada penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak
dijumpai pada keadaan lain.
Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila
terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur
kepribadian yang diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Menurut Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2
kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok A, halusinasi pendengaran, yaitu:
a. Pikirannya dapat didengar sendiri
b. Suara-suara yang sedang bertengkar
c. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita
2. Kelompok B, gangguan batas ego, yang meliputi:
a. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar
b. Pikirannya diambil keluar
c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain
d. Pikirannya diketahui oleh orang lain
e. Perasaannya dibuat oleh orang lain
f. Kemauannya dipengaruhi orang lain
g. Dorongannya dikuasai orang lain
h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham
Menurut Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia
bila ada gejala dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran
penderita tidak menurun.
Gejala lain yang diungkap adalah:
1. Gejala-Gejala Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal,
meliputi:
a. Delusi.
Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap
misinterpretasi terhadap realitas. Delusi memiliki bermacam-
macam bentuk, yaitu delusion of grandeur (waham kebesaran)
yaitu keyakinan irasional mengenai nilai dirinya, delusion of
persecution yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat
dengannya diperlakukan dengan buruk oleh orang lain dengan
cara tertentu, delusion of erotomanic yaitu keyakinan irasional
bahwa penderita dicintai oleh seseorang yang lebih tinggi
statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya
tidak setia, dan delusion of somatic yaitu merasa menderita cacat
fisik atau kondisi medis tertentu.
b. Halusinasi
Gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai
hal dilihat didengar, atau diindera meskipun hal-hal itu tidak real
(benar-benar ada).
2. Gejala-Gejala Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal,
meliputi:
a. Avolisi
Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau
mempertahankan kegiatan-kegiatan penting.
b. Alogia
Yaitu pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan.
c. Anhedonia
Yaitu ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang
terkaitu dengan beberapa gangguan suasana perasaan dan
gangguan skizofrenik.
d. Afek Datar
Yaitu tingkah laku yang tampak tanpa emosi.
3. Gejala Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi:
a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech)
Gaya bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia
termasuk inkoherensi dan ketiadaan pola logika yang wajar.
b. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang
disorganisasi
Afek yang tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai
dengan aslinya. Perilaku yang disorganisasi adalah perilaku yang
tidak lazim.
Untuk mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus
menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan
porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan.
3.3 Penegakkan diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai
berikut (Maslim, 2003).:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought
insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy”
merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas
merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang
merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
e. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas :
Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor;
Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua
hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
f. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal)
g. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah (Tomb,
2003):
Berlangsung minimal dalam enam bulan
Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri
sendiri
Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama
berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan
skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan
organik.
3.4 Jenis-jenis Skizofrenia
Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita
digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala
dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai berikut :(Maramis, 2009). Gejala
klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai
berikut :
Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam
jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama kelamaan
menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-gejala hebefrenik dan
katatonik bercampuran. Skizofrenia paranoid memiliki perkembangan gejala yang
konstan. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga
didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya
mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit
sering dapat digolongkan skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan
kurang percaya pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia
paranoid dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar
tentang diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejalakatatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa preokupasi satu
atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya gejala pertama kali muncul
pada usia lebih tua daripada pasien skizofrenik hebefrenik atau katatonik.
Kekuatan ego pada pasien skizofrenia paranoid cenderung lebih besar dari
pasien katatonik dan hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan
regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan
perilakunya dibandingkan tipe skizofrenik lain.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga, berhati-
hati, dan tak ramah.Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.Pasien
skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara
adekuat didalam situasi sosial.Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
gangguan psikosis mereka dan cenderung tetap intak.
Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa
remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses
berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double
personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku
kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan
halusinasi banyak sekali.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions
and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe
terdisorganisasi.
Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik
atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya. Gejala paling penting adalah
gejala psikomotor seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam mulut
dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor ini
dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat
hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan
tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan stereotipi,
manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan minum
sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang kematian
(karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit lain seperti
jantung, paru, dan sebagainya)
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut :
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara):
o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakkan kearah yang berlawanan);
o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya);
o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain.
o Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah satu
dari dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan excited
katatatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat diam dalam postur
tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak melakukan gerakan spontan,
hampir tidak bereaksi sama sekali dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat
defekasi maupun buang air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut
pasien karena tidak ada gerakan mulut, bila diberi makan melalui mulut akan
tetap berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan mengunyah, pasien
tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien dicoba digerakkan pasien
seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk, kemudian secara perlahan kembali
lagi ke posisi awal. Bisa juga didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam
posisi berdoa dan berguman sangat halus berulang-ulang.
Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa tujuan,
stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak, meraung,
membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat, mondar mandir maju
mundur.Pasien dapat menyerang orang disekitarnya secara tiba-tiba tanpa
alasan lalu kembali ke sudut ruangan, pasien biasanya meneriakka kata atau
frase yang aneh berulang-ulang dengan suara yang keras, meraung, atau
berceramah seperti pemuka agama atau pejabat.Pasien hampir tidak pernah
berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik sendiri dengan
kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat tidurnya.
Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah satu
dari kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa bergantian pada
pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak dapat diprediksi.Seorang
pasien dengan stupor katatonik dapat secara tiba-tiba berteriak, meloncat dari
tempat tidurnya, lalu membantingkan badannya ke dinding, dan akhirnya dalam
waktu kurang dari satu jam kemudian kembali lagi ke posisi stupornya.
Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau
orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi,
kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Permulaan gejala mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis
apabila terdapat butir-butir berikut :
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan
perlahan dan progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan
perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan
subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa
pubertas.Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali.Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur
dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur,
atau penjahat.
Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya
satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala
negatif yang lebuh menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor,
penurunan aktivitas, penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri
dan fungsi sosial.
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau
isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia;
Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus
menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala
aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.Penumpulan
emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan
pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika
waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak
disertai afek yang kuat.
Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated).
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe.PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut
sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.
Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
Skizofrenia lainnya
Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3
bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien
yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya
mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada
pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan
mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan
dengan retardasi mental dan autisme
Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi
pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.
3.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan
pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba
beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat
antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama
diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama
yang efektif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 2 kategori obat antipsikotik
yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional dan newer atypical
antipsycotics.
a. Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering
menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional
antara lain :
1. Haldol (haloperidol)
2. Mellaril (thioridazine)
3. Navane (thiothixene)
4. Prolixin (fluphenazine)
5. Stelazine (trifluoperazine)
6. Thorazine (chlorpromazine)
7. Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik
konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotik konvensional).
Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat
menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti.
Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik
konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler.
Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama ( long acting)
dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot
formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan
secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada
newer atypic antipsycotic.
b. Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan
dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic
yang tersedia, antara lain :
Risperdal (risperidone)
Seroquel (quetiapine)
Zyprexa (olanzepine)
Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani
pasien-pasien dengan Skizofrenia.
Cara penggunaan
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek
klnis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
samping sekunder.
Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.
Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat
diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak
sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu
sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis
obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
o Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu
o Kualitas hidup pasien
Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2
minggu dosis maintanance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan
tiap 2-4 minggu) stop.
Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi
pemeliharaan dapat diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda
sama sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara
bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic
rebound yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar
dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic
agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2
mg/hari)
Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien
yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu
pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap kasus skizofrenia.
Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada
waktu perubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan
mengatasinya dengan injeksi noradrenalin (effortil IM).
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya
dengan tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama
Newer atypical antipsycotic merupakan terapi pilihan untuk penderita
Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal.
Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk
mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti
dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6
minggu
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat.
Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan
oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis
menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang
efek sampingnya lebih rendah.
Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat
mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4
minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat
sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya
dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti
dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti
dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang
dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun
setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti
minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli
merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat
obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya.
Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh
total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu
diingat, bahwapenghentian pengobatan merupakan penyebab tersering
kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang
lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-
otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini
pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita
harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat
beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau
mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana
terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial
grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita
yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia,
dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik
atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi
seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-
obatan tersebut. Untuk
mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau
mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih
sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia
yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant
syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga
dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-
gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.
Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling
percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak
boleh mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus
membicarakan tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan
membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah
hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang
berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena
disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu
menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan
diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-
ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal
klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya
dengan berkata : "Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda
lalui, "tanpa menyetujui setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya
ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki
keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan
kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat
klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan
terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.
Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien,
sebagai sekutu dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat
dalam membantu ahli terapi dan membantu perawatan klien.
Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan
medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku
yang sangat
kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah
ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan
penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumah sakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien
tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit
tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis
ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat
pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan
dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki
kualitas hidup.
ECT
Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang
dilakukan di rumah sakit yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini
diperkenalkan oleh Ugo Cerleti (1887-1963). Mekanisme penyembuhan
penderita dengan terapi ini belum diketahui secara pasti. Alat yang digunakan
adalah alat yang mengeluarkan aliran listrik sinusoid sehingga penderita
menerima aliran listrik yang terputus putus. Tegangan yang digunakan 100-150
Volt dan waktu yang digunakan 2-3 detik.
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi
pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau
tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik. Kontra indikasi Elektro
konvulsiv terapi adalah dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit tulang
dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada pasien
dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor
otak. Sebagai komplikasi terapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang, fraktur
pada vertebra, robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnea, amnesia dan terjadi
degenerasi sel-sel otak.
Prognosis
Untuk menetapkan prognosa kita harus mempertimbangkan semua faktor
di bawah ini ;
1. Kepribadian prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar-manusia
memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa lebih baik daripada
bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Jenis : Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke
kepribadian prepsikoti. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari
penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan
skizofrenia simplex mempunyai prognosa yang sama jelek. Biasanya
penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran
mental.
4. Umur : Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosa.
5. Pengobatan : Makin lekas diberi pengobatan, makin baik prognosanya.
Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah
atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.
6. Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila di dalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.