Upload
hendijulius
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Apakah mungkin Spritualitas dan Keadilan Sosial dipisahkan dalam implementasi hidup sehari hari, dengan hasil Dunia dewasa ini menderita dua jenis akhir tetap kelaparan : spiritualitas dan keadilan sosial. membahagiakan Kelaparan spiritualitas mungkin mengundang masyarakat ? pertanyaan karena gairah keberagaman ada dimana-mana. Sebaliknya kelaparan keadilan sosial lebih dipahami karena penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia masih menjadi menu sehari-hari kita. (Andreas A Yewangoe Kompas, 24 Desember 2011) Soal keberagaman memang justru menjadi pangkal persoalan. Ketika gairah dan semarak beragama terasa di mana-mana, ternyata ia minus spiritualitas. Gairah beragama kita hanyalah menyangkut kulit-kulit dan bentuk. Kita lebih mementingkan forma ketimbang isi. Keberagamaan kita masih sangat mengarah ke dalam diri sendiri. Alhasil, kendati agama diamalkan secara sangat nyata, berbagai tindakan yang bertentangan dengan hakikat agama justru marak. Di negeri kita, perbuatan korupsi masih mendominasi kehidupan sehari-hari kendati begitu banyak orang menjalankan ritual agama. Pengunjung tempattempat ibadah berjubel, tetapi begitu banyak pula perbuatan-perbuatan buruk dipraktekkan. Praktek ketidakadilan terlihat dimana-mana tanpa usaha sunggung-sungguh mengakirinya. Penindasan dan pelecehan terhadap hak asasi manusia menjadi menu keseharian. Di negeri kita tak kurang-kurang orang bertobat, hanya saja pertobatan itu bersifat ritualistis. Makna pertobatan belum diterjemahkan kedalam kehidupan sosial. Itulah kehidupan beragama tanpa spiritualitas yang selalu mengarah kedalam, bagi kepuasan diri sendiri. Keberagaman seperti ini tidak berdampak apapun bagi kehidupan bersama. Arahkan ke luar Bagaimana mengemba ng kan spiritualitas yang benar ? Spiritualitas sejati adalah justru ketika kita mengarahkan kehidupan kita keluar. Ketika kita mendambakan kebaikan bagi semua orang. Ketika kita memedulikan kesejahteraan orang lain. Ketika kita merindukan keadilan bagi siapapun. Ketika kita menganggap kepentingan orang lain jauh lebih penting dari pada kita.
Spiritualitas dan Keadilan Sosial
Maka seseorang sungguh-sungguh beragama dengan spiritualitas sejati pasti tidak akan segan-segan memperjuangkan keadilan bagi siapa saja. Ada kaitan erat 1
antara spiritualitas dan keadilan sosial sebagaimana ditegaskan para nabi ribuan tahun yang lalu. Nabi Amos mengalimatkannya dengan sangat keras : Aku (Tuhan) membenci, Aku menghinakan perayaanmu, dan Aku tidak senang dengan perkumpulan rayamu. Sungguh apabila kamu mempersembahkan kepada-KU korban bakaran dan korban sajianmu, Aku tidak suka. Tetapi biarlah keadilan bergulng-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir. Tidak kurang kerasnya. Seorang nabi lain, Yesaya, mengingatkan, Untuk apa itu korbanmu yang banyak? Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan. Jangan lagi membawa pesembahan yang tidak sungguh sebab baunya adalah kejijikkan bagi- Ku. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap. Aku benci melihatnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan mukaku , bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa. Aku tidak akan mendengarkan sebab tanganmu penuh darah. Belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang keja; belalah anak yatim perjuangkan janda-janda. Allah bukanlah Tuhan yang gampang digosok dengan persembahan kita. Ia bukan Allah yang mudah disuap dengan pemberian kita. Ia bukan Allah yang bisa dibujuk dengan doa-doa kita. Sangat jelas, keberagamaan tanpa penegakan keadilan adalah kosong. Spiritualitas tanpa memperjuangkan hak-hak mereka yang paling menderita dean disisihkan didalam masyarakat adalah hampa. Ketika Natal datang lagi menyapa kita, kita pun diajak merenungkan secara sangat mendalam makna kehausan spiritualitas dan keadilan ini bagi kemanusiaan.Benarkah kita merasakan kehausan itu? Atau kita menutupnutupinya dengan kepuasan beragama semu. Kembalikan Makna Natal Jangan-jangan perayaan-perayan Natal menjadi hampa ketika sekian banyak uang dibelanjakan bagi pesta-pesta mewah. Jangan-jangan kita begitu sibuk dengan berbagai upacara rumit dan melewatkan justru jiwa Natal itu sendiri, yaitu kesederhanaan. Jangan-jangan kita sekedar mengumandangkan lagu-lagu Natal yang merdu tanpa penghayatan terhadap isi Natal itu sendiri, yaitu ketika Allah justru mengosongkan diriNya didalam peristiwa inkarnasi. Ya jangan-jangan....
Bagaimana memaknai natal, agar inklusif bagi semua orang ?
Perseketuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konverensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam Pesan Natal Bersama tahun mengambil tema Bangsa yang berjalan didalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a). Didalam kehausan akan spiritualitas dan keadilan sesungguhnya kita sedang berjalan didalam kegelapan. Kegelapan mengindikasikan kehilangan arah, tetapi justru didalam keadaan seperti ini pengharapan diberikan kepada kita. 2
Ada terang yang besar. Terang itu berasal dari Allah sendiri.Terang yang merangkul kegelapan. Nabi Yesaya menggambarkan Sang Terang itu sebagai seorang putra, lambang pemerintahan ada dalam tangan-Nya. Dan namanya disebut orang : Penasehat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Umat beriman tidak hanya diminta meneruskan terang dari Allah itu melalui berbagai karya pelayanan mereka kepada masyarakat, melainkan juga melalui hidup dan pergaulan mereka. Ketika umat beriman mengusahakan perwujudan keadilan di dalam masyarakat, sesungguhnya mereka sedang meneruskan Terang itu. Kenyataannya, ketika kita tidak peduli dengan nasib sesama yang diperlakukan tidak adil, kita tidak hanya gagal meneruskan Terang itu, tetapi juga menghalangihalangi Terang yang sedang datang. Selamat Natal ! (Andreas A Yewangoe Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia - PGI).
3