22
1 Fenomena Konglomerasi pada Masa Pemerintahan Soeharto dari Tahun 1966 - 1998 disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Sistem Sosial Politik Indonesia Dosen Pengampu : Prof. Dr. Jahja Muhaimin Ahmad Hanafi Rais, MPP Oleh: Faelasufa 09/ 280657/ SP/ 23228/ PS JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

1

Fenomena Konglomerasi pada Masa Pemerintahan Soeharto

dari Tahun 1966 - 1998

disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah

Sistem Sosial Politik Indonesia

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Jahja Muhaimin

Ahmad Hanafi Rais, MPP

Oleh:

Faelasufa

09/ 280657/ SP/ 23228/ PS

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2010

Page 2: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

2

DAFTAR ISI

Halaman Sampul i

Halaman Persembahan ii

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Landasan Konseptual 3

Argumentasi Utama 4

BAB II PEMBAHASAN

Konglomerasi di Masa Soeharto 5

Dampak Konglomerasi terhadap Perekonomian Indonesia dan

Sistem Sosial Politik Indonesia 6

Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai Konglomerat Terbesar

di Asia Tenggara pada era Orde Baru dan Kaitannya dengan Soeharto 8

BAB III KESIMPULAN 10

Lampiran A 11

Daftar Pustaka 12

Page 3: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

3

Untuk,

Allah SWTAyah dan Ibu

KakakkuBapak Jahja Muhaimin

Serta,Impian, Harapan dan Cita-cita...

Terima kasih.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Page 4: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

4

Fenomena konglomerasi1 di Indonesia memang sesuatu yang menarik untuk diamati,

terutama ketika masa Orde Baru. Di interval tahun 1960-an hingga 1998, banyak sekali grup

bisnis dengan skala besar yang lahir. Seperti tipikal konglomerat lain, mereka mengumpulkan

berbagai perusahaan yang bergerak di banyak bidang. Dan grup-grup bisnis tersebut tidak

berkembang hanya karena keahlian pengusaha dalam menjalankan usahanya. Kedekatan

mereka dengan penguasa, ketika itu Soeharto, berimplikasi pada perlakuan eksklusif yang

mereka peroleh sehingga dapat membangun imperium bisnis raksasa.

Pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama tiga puluh dua tahun kental dengan

unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Lahirnya banyak konglomerat instan ketika itu adalah

salah satu bukti adanya hubungan yang sarat dengan kolusi antara pengusaha dengan

Soeharto serta keluarganya. Beberapa pengusaha-pengusaha pribumi yang berhasil

mengembangkan bisnis mereka di masa Soeharto antara lain adalah Ibnu Sutowo, Ginanjar

Kartasasmita, Radius Prawiro dan Akbar Tanjung.2

Membicarakan konglomerasi di masa Orde Baru tidak akan lepas dari nama The Kian

Seng atau Bob Hasan dan tentunya Liem Siong Liong atau Sadono Salim. Kedua orang

tersebut adalah pengusaha Tionghoa yang terkenal sangat dekat dengan Soeharto. Bahkan,

nama yang terakhir (Liem) telah menjalin hubungan kerja sama dengan Soeharto sejak

sebelum beliau menjabat menjadi presiden kedua Republik Indonesia.

Memang tidak semua hubungan antara pengusaha dengan politisi berkonotasi negatif.

Konsep ersatz capitalist3 Yoshihara Kunio tidak sepenuhnya sesuai, karena terdapat

pengusaha yang sukses karena produktivitas, kreativitas dan kerja keras mereka. Namun yang

sering terjadi ketika itu adalah korelasi yang kolutif antara pengusaha dengan pihak-pihak

yang memegang kekuasaan, seperti dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah yang berpihak

pada golongan tertentu. Dalam konteks ini, yakni golongan pengusaha ataupun kerabat

1 Secara teoritis (Douglas Greenwald, The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics, 1973), konglomerat dapat didefinisikan sebagai suatu korporasi yang berselang-seling (diversified) yang mengalami pertumbuhan melalui merger yang bukan horizontal dan bukan vertikal. Maka menurut Bob Widyahartono dalam buku Sepak Terjang Konglomerat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990) konglomerasi adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan yang tidak memiliki hubungan bisnis sebagai kompetitor maupun pembeli-penjual dan hasilnya disebut ‘konglomerat’.

2 Junus, George Aditjondro, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga (Yogyakarta: LKiS), hlm.3.

3 Ersatz capitalist atau kapitalisme semu adalah suatu bentuk kapitalisme pengganti yang bersifat inferior karena negara memiliki campur tangan yang besar dalam sektor perekonomian. Dampaknya adalah berkembangnya praktek kolusi, korupsi, nepotisme dan monopoli. Banyak sekali pencari rente dalam lingkungan birokrasi pemerintah. Selain diungkapkan oleh Yoshihara Kunio, hal yang sama juga pernah diungkapkan oleh Richard Robison dari Australia. Beliau mengatakan bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia adalah state-led capitalism atau kapitalisme yang memiliki interdependensi yang sangat kuat terhadap sektor negara.

Page 5: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

5

penguasa. Misalkan saja kebijakan tentang ‘mobil nasional’4 yang pada akhirnya

menguntungkan PT. Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto).

Kebijakan yang sangat kental dengan unsur favoritisme tersebut memang tetap pro-rakyat,

namun rakyat secara minoritas, bukan rakyat secara mayoritas. Selain banyak mengandung

unsur favoritisme, mekanisme pasar juga banyak mengandung perburuan rente, blokade pasar

menggunakan kekuasaan, captive market dan faktor-faktor lainnya.5

Paper ini akan berkonsentrasi pada para pemimpin dan grup bisnis yang berskala

besar, mengingat keadaan ekonomi dan politik sendiri sangat dipengaruhi peran dan prilaku

grup-grup bisnis berskala besar atau yang lazim kita sebut dengan konglomerat.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, pertanyaan riset yang penulis ajukan adalah “Bagaimana

konglomerasi berlangsung di masa pemerintahan Soeharto dari tahun 1966 hingga 1998?”

Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa variabel yang perlu dibahas yaitu:

1. Konglomerasi di masa Soeharto sebagai implikasi dari hubungan Soeharto dengan

para pengusaha.

2. Dampak konglomerasi terhadap perekonomian Indonesia pada khususnya, dan

terhadap sistem sosial politik Indonesia pada umumnya.

3. Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai konglomerat terbesar di Asia

Tenggara pada era Orde Baru dan kaitannya dengan Soeharto.

1.3 Landasan Konseptual

Untuk membatasi permasalahan agar lebih sistematis dan fokus, serta untuk

membantu saya menganalisis paper yang saya angkat, saya akan menggunakan konsep

behavioural approach dan konsep neo-patrimonialisme.

Behavioural Approach

4 Kebijakan mobil nasional dikemukakan Soeharto pada Februari 1996. Seseorang yang memproduksi kendaraan mobil nasional dapat dibebaskan dari pajak barang mewah 35%. Kabar baik bagi kalangan industri Indonesia ini langsung berubah menjadi kabar buruk ketika menteri perdagangan dan perindustrian mengatakan bahwa hanyalah PT. Timor Putra Nasional yang mula-mula akan diberi kelonggaran ini. Borsuk, Richard, Indonesia beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.260.

5 J.R. Didik, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.13.

Page 6: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

6

Konsep ini digunakan agar obyek penelitian menjadi lebih terspesialisasi. Maka dari

itu, saya memilih konsep ini untuk membantu membatasi permasalahan agar lebih sistematis

dan fokus.

Pendekatan ini menekankan pada pola-pola yang dibentuk oleh individu, dalam

konteks ini yakni prilaku Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Karakter dan

kepercayaan Soeharto sangat mempengaruhi sistem sosial dan politik Indonesia saat itu,

termasuk mempengaruhi perekonomian Indonesia. Karena hal inilah, penulis memilih

behavioiral approach sebagai salah satu landasan konseptual untuk menganalisis paper ini.

Konsep Neo-Patrimonialisme

Max Weber, yang pertama kali mengemukakan konsep ini, merumuskan bahwa dalam

birokrasi patrimonial, individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan

otoritas jabatan untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Investasi-investasi yang

mengalir masuk akan mendapatkan jaminan keamanan dengan perlindungan dari patron-

patron yang berkuasa di kalangan elit pemerintah.6 Pada hakikatnya patrimonialisme bukan

suatu hambatan, namun apabila patrimonialisme berlangsung dalam periode yang lama,

birokrasi patrimonial ini dapat menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi. Karena

struktur ini penuh dengan ketidakpastian, sementara kapitalis industri menginginkan adanya

hukum yang bersih dan struktur yang dapat diramalkan.7

Richard Robison adalah salah satu pakar ekonomi dari Australia yang turut

menguatkan opini beberapa ahli lainnya bahwa jenis birokrasi yang berjalan di Indonesia

ketika itu adalah birokrasi patrimonial. Beliau mengungkapkan bahwa fenomena korupsi

yang terjadi di Indonesia pada dasarnya memang berakar dari birokrasi patrimonial.

Bagaimana bisa?

Misalkan saja, Soeharto sebagai patron memberikan perlindungan kepada pengusaha,

bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Tentu hubungan ini adalah simbiosis

mutualisme. Pengusaha, bawahan dan orang-orang yang mendapat perlindungan dari

Soeharto tersebut juga akan memberikan dukungan mereka kepada Soeharto. Sehingga,

bahkan bukan hanya praktek korupsi yang terjadi, namun juga praktek kolusi, nepotisme dan

monopoli di negeri ini.

6 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.9.

7 Contoh patrimonialisme sebagai hambatan dapat kita temukan dalam kebijakan mobil nasional yang dikeluarkan Soeharto pada 1996. General Motors saat itu baru menginvestasikan $110juta untuk merakit kendaraan di Indonesia merasa dirugikan dengan keputusan Soeharto yang begitu memihak bisnis mobil Tommy.

Page 7: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

7

1.4 Argumentasi Utama

Soeharto, dengan kekuasaan dan otoritasnya ketika itu berhasil membantu

perkembangan beberapa pengusaha dan anak-anak serta kerabatnya hingga menjadi

konglomerat. Banyak pihak yang diuntungkan, namun tentu saja lebih banyak pihak yang

dirugikan. Salah satunya adalah rakyat. Memang dari kulit luarnya, konglomerasi yang

berlangsung pada era Orde Baru memang terlihat menguntungkan bagi bangsa Indonesia.

Sektor pertanian, perkebunan, dan industri kita maju pesat. Kita bangga karena ketika itu

telah memiliki perusahaan-perusahaan raksasa sendiri, seperti Indofood, Astra Internasional,

Nusamba, Barito Pacific dan lain sebagainya. Namun kita juga perlu berpikir ulang, apakah

kita masih patut berbangga apabila proses pertumbuhan perusahaan-perusahaan raksasa itu

banyak merugikan rakyat Indonesia, termasuk kita?

Apabila kita mau dan dapat mendata, sebenarnya banyak kerugian yang kita peroleh

ketika itu. Misalkan saja, bantuan-bantuan dana yang diberikan pemerintah kepada beberapa

perusahaan konglomerasi itu. Bantuan dana sebesar $320 juta yang diberikan pemerintah

kepada Indosemen adalah uang rakyat. Begitu pun mayoritas bantuan-bantuan dana lainnya.

Titik kulminasinya adalah krisis ekonomi pada tahun 1997. Meskipun bukan satu-

satunya sebab, fenomena konglomerasi selama Orde Baru adalah salah satu faktor yang

mengakibatkan krisis tersebut dapat terjadi. Para pengusaha ingin mengembangkan usaha

mereka dalam waktu yang instan, sehingga mereka banyak meminjam modal dari luar negeri.

Implikasinya, ketika rupiah terus melemah, mereka kesulitan untuk membayar hutang

mereka. Hal tersebut adalah salah satu sebab krisis 1997.

Begitulah kondisi perkembangan bisnis di Indonesia pada masa Soeharto. Nepotisme

yang terjadi selama tiga puluh dua tahun memungkinkan monopoli dan konglomerasi oleh

pengusaha-pengusaha dengan dukungan dari aktor-aktor pemegang kekuasaan politik

(dengan Soeharto sebagai aktor utama karena beliaulah yang memiliki kekuasaan paling

besar).

BAB II

ISI

2.1 Konglomerasi di Masa Soeharto

Sebenarnya terdapat korelasi antara konglomerasi yang berkembang di masa Orde

Page 8: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

8

Baru dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi rezim Orde Lama. Pada masa

pemerintahannya, Soekarno menerapkan beberapa kebijaksanaan ekonomi yang terkesan

sangat mendukung pengusaha pribumi dan merugikan pengusaha Tionghoa. Salah satu

kebijaksanaan itu adalah Program Benteng. Tujuan program ini adalah untuk menumbuhkan

dan membina kewiraswastaan Indonesia sambil menumbuhkan nasionalisme ekonomi atau

‘Indonesianisasi’ dengan memberikan kredit, modal serta perlakuan-perlakuan khusus untuk

pengusaha dari kalangan pribumi. 8

Sejak awal mula menjabat sebagai presiden, Soeharto telah berusaha untuk

membebaskan ekonomi Indonesia dari kebijakan Soekarno yang cenderung tidak adil bagi

kalangan pengusaha Tionghoa. Namun dalam implementasinya, yang kemudian terjadi

adalah sebuah paradoks. Sampai pada pertengahan 1980-an, mekanisme pasar sangat kental

dengan unsur favoritisme, di mana muncul pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang memiliki

akses lebih terhadap sumber-sumber ekonomi. Selain itu, pada masa tersebut banyak terjadi

perburuan rente, blokade pasar menggunakan kekuasaan dan juga adanya fenomena pasar

yang terkurung (captive market).9

Misalkan saja pada sektor plastik, pemerintah telah memberikan monopoli impor

kepada pengusaha-pengusaha yang memiliki koneksi dengan penguasa, termasuk anggota

keluarga presiden. Di sektor lainnya seperti perbankan, pemerintah membekukan jumlah

lisensi yang dikeluarkan untuk beroperasi. Hal ini tentu mengakibatkan pasar menjadi tidak

kompetitif sehingga terciptalah gejala monopoli.

Selain menciptakan gejala monopoli, campur tangan pemerintah dalam bidang

perekonomian tersebut mengakibatkan praktek korupsi dan kolusi dalam lingkungan

birokrasi. Tindakan pemerintah tersebut memudahkan pertumbuhan perusahaan-perusahaan

konglomerasi di Indonesia. Yang patut digarisbawahi, tidak semua perusahaan mendapatkan

keuntungan karena tindakan pemerintah tersebut. Hanyalah pengusaha yang memiliki akses

ke dalam birokrasi yang dapat dengan mudah mengembangkan perusahaannya hingga

menjadi grup bisnis berskala besar.10

Selain dari kalangan keluarga Cendana, Liem Siong Liong dan Bob Hasan adalah dua

8 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.75.

9 J.R. Didik, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.13.

10 Lihat Lampiran A untuk mengetahui dua puluh lima konglomerat terbesar di Indonesia tahun 1996. Mayoritas dari mereka adalah pengusaha yang memiliki koneksi langsung dengan Soeharto. Misalkan saja, Salim, Bob Hasan, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Indra Rukmana, The Ning King, Prajogo Pangestu, Murdaya Poo, Hutomo Mandala Putra, dan lainnya.

Page 9: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

9

dari beberapa pengusaha yang mampu memetik keuntungan dari kedekatannya dengan

Soeharto. Pemerintahan Soeharto selama tiga puluh dua tahun telah membantu mereka

menjadi konglomerat dengan usaha bisnis yang berkembang sedemikian pesat. Namun sesuai

dengan konsep neo-patrimonialisme, hubungan ini bukan hanya hubungan satu arah saja.

Maksudnya, para pengusaha kroni Soeharto pun seringkali memberikan dukungan kepada

Soeharto. Sehingga terciptalah suatu simbiosis mutualisme11 antara mereka.

Begitulah yang terjadi, selama tiga puluh dua tahun, KKN telah memungkinkan

perkembangan fenomena konglomerasi dan monopoli di Indonesia. Para pejabat pemegang

kekuasaan politik (terutama Soeharto karena beliau-lah yang memiliki kekuasaan yang paling

besar) memberikan dukungan kepada beberapa pengusaha ‘kroni’ mereka. Saat itu, lembaga

perwakilan rakyat sudah tidak dapat menjalankan fungsi check and balances lagi. Kekuasaan

Soeharto yang nyaris tidak terbatas mengakibatkan hampir semua lembaga politik tidak

berani berbeda pendapat dengannya.

2.2 Dampak Konglomerasi terhadap Perekonomian Indonesia dan Sistem Sosial

Politik Indonesia

Dalam memandang suatu fenomena, kita harus membiasakan diri untuk melihatnya

dari dua perspektif yang berbeda. Karena setiap hal tentu memiliki dua dampak yang

berbeda, dampak negatif dan dampak positif. Begitu pula dalam memandang fenomena

konglomerasi di Indonesia pada era Orde Baru.

Ketersediaan fasilitas dan modal yang cukup membantu grup-grup bisnis skala besar

untuk bersaing di pasar global. Ini adalah salah satu kelebihan mereka yang menguntungkan

negara dan tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan menengah atau kecil. Namun,

konglomerasi yang tidak sehat tersebut lebih banyak mendatangkan dampak negatif daripada

dampak positif.

Pengusaha yang memiliki koneksi dengan penguasa tentu mendapatkan keuntungan

tersendiri, seperti perlakuan-perlakuan eksklusif berupa mendapatkan lisensi ekspor dan

dapat memonopoli pasar. Kondisi pasar yang tidak kompetitif ini tentu mendatangkan

keuntungan bagi beberapa kelompok orang, walaupun jumlah mereka jelas lebih sedikit

apabila dibandingkan dengan pihak-pihak yang merugi akibat monopoli pasar tersebut.

11 Contoh dari simbiosis mutualisme ini dapat kita amati dari hubungan Soeharto dengan Liem (pendiri Grup Salim). Saat Indosemen (perusahaan semen milik Liem Siong Liong) mengalami kesulitan dana selama resesi di pertengahan tahun 1980-an, pemerintah memberikan suntikan dana sebesar $320 juta. Sebaliknya, saat Bank Duta (yakni bank milik salah satu yayasan yang dikontrol oleh Soeharto) mengalami krisis finansial mereka, Liem pun membantu Soeharto untuk menyelamatkan Bank Duta. Jadi antara pengusaha dan penguasa ketika itu lahirlah semacam simbiosis mutualisme.

Page 10: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

10

Masyarakat sebagai konsumen dan pengusaha yang mandiri adalah beberapa pihak yang

merugi akibat praktek monopoli. Masyarakat harus membayar lebih tinggi dari harga normal

produk tersebut di pasaran. Kemudian pengusaha mandiri, yang tidak berada di bawah

lindungan patron-patron yang berkuasa di kalangan pemerintahan saat itu, juga menjadi sukar

untuk berkembang. Merupakan hal yang sulit bagi mereka untuk bersaing dengan kekuatan

gabungan antara pengusaha dan kekuasaan politik.

Terlepas dari hal itu, keinginan pengusaha untuk mengembangkan usahanya dalam

waktu singkat telah mendorong mereka untuk berutang. Pada mulanya, mereka meminjam

uang rakyat. Dengan cara mendirikan bank, mereka dengan leluasa dapat meminjam uang

tabungan rakyat itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa suku bunga di Indonesia terlalu

tinggi. Yakni sekitar 15% sementara di luar negeri berkisar antara 5 hingga 10%. Lalu apa

yang terjadi? Ya, pada akhirnya mereka meminjam uang dari luar negeri, dalam bentuk valuta

asing.12

Hal inilah yang kemudian menjadi titik kulminasi dari dampak-dampak negatif

konglomerasi semu di Indonesia, yakni krisis 1997. Memang konglomerat bukanlah aktor

utama dan satu-satunya yang mengakibatkan krisis ini. Namun sedikit banyak mereka

memiliki peran di sini. Pada akhirnya hutang-hutang dalam bentuk valuta asing grup bisnis

ini menjadi salah satu faktor esensial hancurnya perekonomian Indonesia pada tahun 1997.

Rakyat Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke bawah, adalah pihak yang

paling merasakan implikasi dari krisis 1997. Harga kebutuhan pokok terus naik hingga tidak

dapat mereka jangkau, bahkan sebagian dari merekapun kehilangan pekerjaan karena aksi

PHK yang dilakukan perusahaan mereka. Pada akhirnya, krisis 1997 memicu amarah rakyat

dan menuntut agar Soeharto mundur dari jabatannya. Dan memang benar, pada 21 Mei 1998

Soeharto mundur dari jabatannya. Semua hal itu adalah beberapa dampak konglomerasi

terhadap perekonomian Indonesia, bahkan juga pada sistem sosial politik Indonesia.

2.3 Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai Konglomerat terbasar di Asia

Tenggara pada Era Orde Baru dan Kaitannya dengan Soeharto

Liem Sioe Liong atau Sudono Salim adalah seorang imigran Cina yang kemudian

menjadi salah satu pengusaha yang terkenal sangat dekat dengan Soeharto. Pada 16 Juli 1916,

12 Konglomerat lebih memilih valuta asing karena suku bunga luar negeri yang lebih rendah. Konglomerat-konglomerat Indonesia kemudian diketahui telah meminjam dalam valuta asing sejumlah $80milyar hingga $100milyar. Akhirnya mereka kesulitan untuk mengembalikan pinjaman karena nilai rupiah yang terus merosot. Investor asing dan domestik mulai menjual saham perusahaan yang diprediksi rentan terhadap kurs tukar. Implikasinya, permintaan akan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997. Ahmad D. Habir, Indonesia beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.350. Lihat juga Baswir, Revrisond, Dilema Kapitalisme Perkoncoan (Yogyakarta: IDEA, 1991), hlm. 32.

Page 11: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

11

Liem lahir di daerah Fuqing, sebelah selatan provinsi Fujian. Di tahun 1937, Liem tiba di

Kudus, salah satu kota kecil di Jawa Tengah.13

Hubungan antara Soeharto dengan pendiri Grup Salim ini pada dasarnya telah terjalin

sejak tahun 1950-an, yakni sejak Soeharto ditempatkan di Divisi Diponegoro Jawa Tengah

dan terlibat dalam perdagangan dan aktivitas penyelundupan.14 Selanjutnya, Soeharto dan

Liem menjadi partner bisnis. Korelasi yang erat antara Liem

dengan Soeharto telah membuatnya mendapatkan monopoli dan

hak-hak eksklusif dari pemerintah saat Soeharto menjabat menjadi

presiden, hingga Liem berhasil membangun grup Salim menjadi

imperium bisnis yang besar dan menjadi konglomerat terbesar di

Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

Liem memulai bisnis profesionalnya dengan mendirikan

PT. Waringin15 yang bergerak di bidang ekspor-impor komoditi

primer seperti kopi, karet dan kopra. Di tahun 1968, Liem

mendapatkan lisensi untuk mengimpor cengkeh bersama dengan

PT. Mercu Buana milik adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Harga impor cengkeh dan harga

jualnya di pasar domestik telah ditentukan oleh pemerintah sehingga lebih mahal daripada

standar jual di pasar dunia, hal ini mengakibatkan Liem mendapatkan untung yang signifikan

dari PT. Waringin. Di interval tahun 1968-1970 saja misalnya, Liem memperoleh pendapatan

U.S $340,000. 16

Selanjutnya Liem mulai memperluas bisnisnya ke bidang manufaktur pada periode

1968-1974. Mulai dari tahun 1975-1978, Liem mulai memasuki bidang perbankan.

Selanjutnya mengembangkan bisnis semen pada 1877-1981. Pada akhirnya di tahun 1981-

1985, diversifikasi yang dijalankan Grup Salim telah memasuki bisnis-bisnis yang tidak

memiliki kaitan sama sekali. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan proses diversifikasi

Grup Bisnis Salim di interval 1968-1985.

13 Riès, Philippe, The Asian Storm: Asia’s Economic Crisis Examined (Boston: Tuttle Publishing, 2000), hlm.145.

14 Studwell, Joe, Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009), hlm.313.

15 Waringin yang merupakan cikal bakal dari Grup Salim ini berdiri pada tahun 1953 dalam bentuk C.V. (commanditaire vennootschap). Di tahun 1968, berubah menjadi PT, selanjutnya menjadi PT. Waringin Kencana pada tahun 1969.

16 Sato, Yuri, The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia (The Developing Economies XXXI-4, 1993), hlm.411.

Tabel ini penulis peroleh dari tulisan Yuri Sato, The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia. Yuri Sato memperoleh data dari hasil kalkulasi artikel-artikel yang ada di TBN (Tambahan Berita Negara).

Page 12: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

12

PT. Bogasari Flour Mills didirikan oleh Liem pada dekade 1970-an. Perusahaan yang

nantinya akan menjadi perusahaan manufaktur mie instan terbesar di dunia ini adalah awal

mula bisnis produksi makanan oleh Grup Salim. Selain Bogasari sebagai sebuah perusahaan

flour milling, Grup Salim juga memiliki Indofood Sukses Makmur yang menjadi perusahaan

mie instan terbesar di dunia saat itu.

Berdasarkan riwayat perkembangannya, maka Grup Salim dapat dinilai sebagai

pengusaha klien. Definisi dari Pengusaha klien adalah individu dan perusahaan yang

tergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya.17

Kita dapat menganalisisnya dari pola-pola berikut. PT. Bogasari Flour Mills

mendapatkan kontrak eksklusif untuk menyuplai tepung ke Bulog. Selain itu, PT. Sarpindo

Soybean Industri juga mendapatkan hak eksklusif dari pemerintah untuk menghancurkan

kedelai. Saat itu di seluruh Indonesia, notabenenya hanya perusahaan milik Liem yang

diizinkan beroperasi. Dan Bulog harus membayar jasa penghancuran kedelai ke Sarpindo

lebih mahal daripada standar harga dunia.

Maka bukanlah hal yang mengherankan bila Grup Salim selalu menduduki posisi

pertama dalam daftar konglomerat Indonesia di era Orde Baru. Lengsernya Soeharto turut

mempengaruhi Grup Salim. Dapat kita lihat dari posisi Grup Salim yang sekarang turun

hingga nomor 9 di daftar konglomerat Indonesia versi majalah Forbes tahun 2009.

BAB III

KESIMPULAN

Konglomerasi memang tidak selamanya berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha

mandiri di Indonesia yang dapat mengembangkan usahanya sendiri seperti Haji Abdul Ghani

17 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.265.

Page 13: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

13

Aziz dan A.Rahman Tamin. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam

beberapa kasus, bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya.

Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi di era Soeharto, sedikit banyak

adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan

patrimonial seperti itu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat

dihindari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia,

menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan

orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, aktor-aktor yang telah dilindungi

Soeharto memberikan dukungan kepadanya.

Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada

pertumbuhan konglomerasi di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun. Sebagai pengusaha

yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup

Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di Asia Tenggara.

Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya

juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka

mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup.

Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari konglomerasi yang tidak sehat ini.

Salah satunya, para konglomerat adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis

1997. Karena ingin mengembangkan imperium bisnis mereka dengan cara yang instan,

beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan.

Dampak dari kecerobohan para konglomerat itu terjadi pada tahun 1997, ketika Indonesia

diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan mereka kesulitan

mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaan akan

valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997.

Manusia memang makhluk yang tidak akan pernah puas. Akan tetapi, sebagai

makhluk yang dikaruniai rasa, apakah sedemikian tega kita terus mengeruk untung sementara

di sisi lain mereka yang lebih ‘kecil’ daripada kita terkena kerugian akibat tindakan kita?

LAMPIRAN A

Page 14: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

14

DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Literatur

Aditjondro, George Junus. Korupsi Kepresidenan, Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan

Partai Penguasa.

Yogyakarta: LKiS,

2006.

Tabel ini penulis peroleh dari buku Indonesia beyond Soeharto (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), halaman 308-309.

Page 15: SSPI - Fenomena Konglomerasi Di Era Soeharto

15

Baswir, Revrisond. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: IDEA (Institut of

Development and Economic Analysis), 1991.

Emmerson, Donald K., dkk. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat,

Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Gie, Kwik Kian, dkk. Sepak Terjang Konglomerat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.

J.R. Didik. Ekonomi di Era Transisi Demokrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001.

Muhaimin, Jahja A. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.

Jakarta: LP3ES, 1990.

Prof. Komaruddin. Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Riès, Philippe. The Asian Storm: Asia’s Economic Crisis Examined. Boston: Tuttle

Publishing, 2000.

Sato, Yuri. The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest

Conglomerate in Southeast Asia. The Developing Economies Vol. XXXI-4, 1993.

Studwell, Joe. Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa.

Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009.