Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STABIKSehimpun Puisi untuk Rejang
STABIKSehimpun Puisi untuk Rejang
Penulis: Gansu Karangnio
Penyelia Naskah: Arco Transept
Tata Letak: Arco Transept
Sampul:
Cetakan Pertama, Maret 2019
Penerbit:Sublim Pustaka AksaraJln. BrigJen H.M Dhani Effendi (Radial)No.1380 Palembang 30134HP: 088274550059Email: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Dennis RadityaMonologVIII + 86 hlm; 13x19 cmISBN:
STABIKSehimpun Puisi untuk Rejang
Gansu Karangnio
Sublim Pustaka Aksara
Prakata PenulisAku adalah Rejang
Suku bangsa Rejang adalah komunitas masyarakat yang sampai saat ini populasinya masih yang terbesar di Propin-si Bengkulu. Rejang memiliki keunikan tersendiri, baik da-lam bahasa maupun adat-istiadatnya. Kebudayaan yang diturunkan secara turun-temurun sejak dahulu. Namun de-wasa ini, anak-anak muda suku bangsa Rejang telah terce-mar kemajuan zaman. Budaya pop yang menjalar mem-bawa mereka semakin meninggalkan kebudayaan sendiri, melupakan sejarah, serta kebiasaan dalam keseharian.
Anak-anak yang hidup pada era 90an mungkin masih sempat menikmati dan mengingat bagaimana kebudayaan itu ma-sih kental di daerah (Rejang). Seperti upacara penyambutan tamu agung, upacara adat tolak bala, aksara KaGaNga, lan-tun Rejung, cerita-cerita pengantar tidur dari ibu, mitos-mi-tos, dan lain sebagainya. Tapi bagi mereka yang ditiupkan ruh saat era milenial saat ini, mungkin tidak sempat menik-mati semua itu, bisa jadi mereka tidak akan pernah tahu.
Lewat buku sehimpun puisi untuk Rejang ini, saya ingin men-jadi sebagai pengingat, setidaknya sedikit mengajak mereka yang pernah menikmati kebudayaan Rejang yang kentara dulu untuk kembali menyusuri waktu kanak-kanak. Meski ti-dak secara keseluruhan tertuangkan dalam puisi-puisi saya, tapi saya rasa sudah mewakili kerinduan serta keinginan (bila saja) untuk kembali melestarikan kebudayaan Rejang. Agar para generasi di era sekarang masih bisa merasakan kebu-dayaan mereka sendiri. Bagi masyarakat luas, buku sehimpun puisi ini bisa jadi semacam rasa penasaran untuk mencari-cari tahu apa dan seperti apa suku bangsa Rejang. Salah satu suku bangsa besar dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Bagaimana andil mereka dahulu dalam kemerdekaan. Seperti apa kebudayaan, adat-istiadat, dan sejarah Rejang itu sendiri.
vii
Tiga puluh puisi dalam buku ini adalah pengalaman-pengala-man pribadi saya yang terlahir dalam keluarga dan lingkun-gan masyarakat Rejang. Ada beberapa kata dalam puisi yang menggunakan istilah bahasa Rejang. Tapi saya rasa tidak begitu menyulitkan pembaca untuk memahaminya, karena mungkin kata-kata tersebut tidak terlalu asing di daerah-daerah lain.
Izinkan saya berucap “Stabik”. Saya tidak menggugat, hanya mengingat. Barangkali setelah ini bukan hanya mengingat, tapi kembali melestarikannya dalam bentuk apapun. Bukan hanya lewat puisi.
SalamPutra Rejang
Gansu Karangnio
viii
Daftar Isi
Prakata Penulis.................................................................. vii
Bujang Lumang.................................................................. 1Aroma Renah Sekalawi...................................................... 2Beronang............................................................................ 3Kibut................................................................................... 4Gempa................................................................................ 5Ka Ga Nga........................................................................... 7Kedurai Agung................................................................... 8Kejai................................................................................... 9Keramat.............................................................................. 10Mecah Rawang................................................................... 11Kutai................................................................................... 12Lalan................................................................................... 13Lemea................................................................................. 14Mantera dari Balik Pintu................................................... 15Muning Raib...................................................................... 16Ninik Harimau................................................................... 17Pat Petulai.......................................................................... 18Permayo............................................................................. 22Rejung................................................................................ 23Riwayat Karang Nio........................................................... 24Riwayat Renah Sekalawi.................................................... 25Riwayat Serindang Bulan................................................... 26Sabo.................................................................................... 28Segelas Kawo...................................................................... 29Serambeak.......................................................................... 30Stabik.................................................................................. 31Talang................................................................................. 32Tembo................................................................................ 33Tentang Ajir....................................................................... 34Tindung.............................................................................. 35Profil Penyair..................................................................... 37
Epilog................................................................................. ix
Bujang Lumang
pemuda itu,tak lagi disenandung ayah Rejungatawa menyimak dongeng ibu
ia sendiri di pematangninik tua penghuni talangmengajari sembahyang,dan menganyam ilalang
ia meratap nasibjauh di ujung dusun berpantun cintakepada perempuan janda
suatu hari,pemuda piatu itu matimenggali kuburnya sendiri
Bengkulu, 2016-2017
Stabik 1
Gansu Karangnio
Aroma Renah Sekalawi
seperti ini,ibukota petang harisementara dari bukit nan jauh Ninik berceritera.
aku mengendus nyengat menyan.Renah Sekalawi, baunya menancap pada puncak menara
aku cari sejarah. mengenang Rajo,menyusun ulang temboyang hilang setengah.
Jakarta, Monumen Nasional, 2016
Gansu Karangnio
Stabik2
Beronang
kau berjalan, menuju talangmenopang beban di kening.siang itu kering,dan kenangan-kenangan selalu terbentang
kau susun puntung di beronangyang kau himpun dari hutan,saat nyaring suara kumbang.kau tak peduli sunyi dan kelamsebelum Magrib harus tiba di pungguktempat mengaduk sepi tempat menyulam sendiri
kau bermalam.di tepi pondokmu, beronang itu kosonghari-hari berikut kau isi lagipakis hutan, durian, dan ikan sepat.lalu kepalamu sendiri.
Bengkulu, 2016-2018
Gansu Karangnio
Stabik 3
Kibut
setinggi apa ia di belantaramemanggil dari jauh.hutan yang tak kita kenal lagi,serasa pernah mendaki namun lupa kita telusuri
makin dekat engkau,dadamu debararoma bangkai buat kau kesasarbagai mencari kematian dan kerahasiaan
Kibut menyebut namamu sekarang hutan berkabutterbungkus embun
“silakan masuk”, agar kau lebih jauhpendakian ilalang-ilalang tajamsampai kau lebam, diam lalu jatuhterperosok ke jurang tempat ia tumbuh.
“peluk aku, kita ‘kan sama-sama jadi bangkai”
Bengkulu, 2016-2018
Gansu Karangnio
Stabik4
Gempa
1992-2000
mantera-mantera dari laut, gunung, dan hutantelah dihantarkan ke langitdi dusun ada yang mengumandang Adzan.dari belantara kelam, Ninik membakar menyansementara kota telah runtuh dengan tangis gedung tingkat, rumah ibadah, hingga halte bis
tanah tua makin sempit oleh pusaramaka tempat terakhir kau berlindung adalah ke langitjadikanlah mantera-mantera kita sebagai doa
Gansu Karangnio
Stabik 5
1833
anak kita lahir kembaliia merangkak menuju pantaidari tanah yang keramat,berjubah hitam.kepalanya dibungkus Detardi genggamnya ular jadi kerisdan bumi kerapkali tergetar.
Bengkulu, 2016-2018
Gansu Karangnio
Stabik6
Ka Ga Nga
kita mengeja“Ka Ga Nga”aksara purbakita menulis“Ca Da Ta” huruf kian terkikis
kita hidupkan lagi para Rajo,“Da Pa Ba”tetua dari tempat keramat“Na Ma Ya”lalu pahat pada batu“Ra La Wa”kemudian gurat di bambu “Sa Ha A”
demikian,ambilkan pedupaansekeping menyan, sebatang kretekkita kesurupanhuruf akhir tak datang.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 7
Kedurai Agung
kabarkan pada orang-orang dusundari Tubei hingga Keban AgungRajo turun dari gunungperingatkan,petuah dan pantangbencana serta musibah
maka para gadis menarimenadah buah pinang, kapur sirihalun Gung Kulintang di tepi,pada tampa anyaman bambuada secangkir darah ayam kumbang,benang serta bunga tiga macamruh datang, orang-orang diam
“stabik...” juru sambut merafalkan doa-doa.
Bengkulu, Desember 2016
Gansu Karangnio
Stabik8
Kejai
“ceritera orang tua di talangruh Puyang saat Magrib telah tegap di muka pintu rumahmu”
tari kaku; bujang mencari gadis, dadanya terbelah.riuh dusun malam hari usai memanen gabah
menarilah seperti kau dirasuki sesuatuKulintang, Gung masih bergaungdari bukit yang jauh
jemarimu merah,bak bibir Ninik pengunyah sirihkau hias inai, serupa bunga serta dedaundi tanah lapang lantun Rejung diiring pantun
kita sama-sama kakumelangkah satu-satukedua tanganku tergenggamjarimu lentik perawanasap menyan menyebarbersama doa yang tentram
kepit selendangmuantara telunjuk dan jari tengah‘kan kita buru kisahmenggali kubur para Rajopersilakan ia duduk silamenyetujui janjitujuh hari tujuh malam lamanya.
Bengkulu, September 2016-2017
Gansu Karangnio
Stabik 9
Keramat
jika kau selamat, jangan ingkar. ingat janji Lan,Ulu Dues atawa Bingin Kuning.bawakan seekor kambingbebungaan dan sebungkus menyan
jika tidak,malammu ‘kan terjagahari-harimu sial.
itulah ucap Ninikmu usai sembahyang di Langgar
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik10
Mecah Rawang
ucap Ninik, “simpanlah”bukan tentang mistis dan magistapi apa yang disaksikannya ratusan tahun,rahasia-rahasia serta sejarah
takkan bisa lagi,bergerak sendiri atawa menjelma ular
jaga baik-baikNinik sudah tiada jangan kau dupakan pusakahantarkan saja doa-doa dalam sembahyang
Bengkulu, 2016-2017
Gansu Karangnio
Stabik 11
Kutai
petuah ketua, kita berkumpul duduk sila menghadap Rajo
janganlah adat dilanggarkarena ialah mufakat.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik12
Lalan
“Oi Lalan kembali”“Lalan, pulanglah Nak!”
setelah kepergian Lalan ibu selalu menangis,tak henti ia menembang puitismenanti kepulangan sebelum adzan Subuh
“Lalan...” Ibu mengiba“ia tak ‘kan pulang” orang-orang menyelaseluruh dusun riuhnada Serunai, tiupan sendudisusul Gung Kulintang pengiring Kejai
dari sudut gelap Harimau datangorang-orang dusun murka, memburunamun petaka,Lalan tak lagi adatak pernah pulang.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 13
Lemea
“Hari keseratus: doa untuk Ninik”.
Ninik pulangmembawa bambu mudayang tak sempat menjulang di hutan rimba kitasementara Sepat melompat-melompatdari kantong plastik di genggam keriputnya
rumah tua panggung dapur tungku berasapoleh puntung kering
Ninik memasak rebungsisanya diperam tiga haridengan Sepat mati, lalu dibungkus dedaun
hari keempat.di bawah pondok, kita melahap ibat nasi dan lemea Ninik.
deru angin dari hutan bambu
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik14
Mantera Dari Balik Pintu
datanglah kala Magribsunyi dusun, jalan lengangSurau dan Langgar sedang jamaah
lalu kita bakar menyanmantera kau ucap kau kunyah selembar sirihpintu rumahmu diketuk
stabik!tubuh hitam suara rintihtujuh hari tujuh malamgelisahmu paling dalam.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 15
Muning Raib
sayup Serunai dari Bukit KabaMuning kita telah lama di sanaia tinggalkan dusunmenuntun jiwa, mencari damai
kau dengar? Serunai sakti itudari Muning yang hilang empat puluh harikatanya ia betarak di Bukit Kabaada juga yang bilang, ia hilang setelah ke utara.
orang-orang meminta pulang;membawa Diwo. sebelum gelap datang,dusun mengada Kejei.
namun terlanggar pantang; memasak rebung dan pakis.
tujuh hari tujuh malam, jadi gamang.Diwo raib, tak kembali.Muning pergi.
Curup, 2016
*bertapa dalam bahasa Rejang**bidadari
Gansu Karangnio
Stabik16
Ninik Harimau
di dusun listrik padamberanda rumah panggung,hanya nyala teplok dan api rokok“ada yang mengikutimu!”,
kau punya Ninik lain di belakangketika salah kau dicakarjika rajin sembahyangia berjaga di celah pagar
lima belas purnama mantera-mantera beterbangandi atap rumah kitaNinik pamit padamurupanya tampan matanya menahan tangislalu kau menikamnya dengan sebilah keristelah siap keranda menuju pekuburan Cindaku.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 17
Pat Petulai
Pintu I; Toobye
sila masukbukankah kita saudaraada silsilah pada Tembo yang usanglembarnya menguningbagai tanah kita yang keringkarena tak tercatatkan
duduklah terlebih dulu kubuatkan kopi.seruputlah, bukankah kita satu margawalau pecah duapada mulanya Puyang kita sama
Gansu Karangnio
Stabik18
Pintu II; Joorcalang
serabut kelapa, senampan kaleng menyan telah disiapkansampaikan pada Kepala Kutaikita siap memanen di Talangberjalanlah beberapa puluh kilo lagi dusun, rumah-rumah panggung muara Ketahun di bulan Novemberribuan tahun arus itu ialah saksidi antara belantara hutan
Gansu Karangnio
Stabik 19
Pintu III; Beremanni
pernah suatu ketika salah satu dari kita diutusada kabar dari Marga tetanggamenista adat tujuh hari tujuh malam tak putus
danau tertambat sampan kayuselamlah untuk bertemu ular kepala tujuh kunjungan Si Pait Lidah dahulumembuktikan,marga ini ada karena bijaksana.
Gansu Karangnio
Stabik20
Pintu IV; Selopo
adakan Kejeikarena perintah Ajei siapkan bujang gadis kita berkumpul di Balai Agung,di dusun Kesambe
kita syukuri panen rayamarga tak terpecahpara Ginde mengasapi pedupaanmenggumam doa.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 21
Permayo
ceritera ia mulai bocah itu beranjak dewasa,kenangan dusun hujan racun.lalu ia tabur menyan pada nyala api
dengar kata orangtuatak satupun anak kecilboleh main kala adzan Magrib;dari toa Surau dan Langgar dekat muka pintu hingga depan pagar
lepas Magrib ibunya mendongeng hantuia tak mengerti perihal apa-apa,kecuali bau menyan dari dapurada bisik stabik, “Ninik menguyah sirih”lafal mantera Rejang terpatah-patahia lupa jika harus ke rumah guru ngaji
ruh tiba depan pintu,langit dilintasi permayo
pagi hari usai disisiri ibu, di jalanan orang-orang dusunmenggotong reringgo
Bengkulu, September 2016
Gansu Karangnio
Stabik22
Rejung
bawakan sepucuk gitaryang telah lapuk oleh rayap,karena tak pernah lagi kita petik.akhirnya,kurindui juga jarimu yang lentik
gudang tua penuh debujejaring laba-labatersimpan album tuamasa lalu jadi belantara,ada juga Gung Kulintang pengiring tari gadis dan bujang
aku masih ingat satu dua nadamemetik Rejung, satu sampai sepuluh baris ratapannasib dan tangis,atawa mencari Lalan tak pernah pulang
kelak jika kau kembalibawa Lalan serta gitarnya dari rantauanada ratapan yang ingin ditembangkan
aku menunggumengurus gudang tua
Bengkulu, Oktober 2016
Gansu Karangnio
Stabik 23
Riwayat Karang Nio
jadilah kau pengganti Mawangtak hanya tentang gelar,tapi doa yang telah terpancang.
kau dicegat, memegang keris gemetar.tapi Rajo adalah tekad
kunyahlah sirih, buah pinang, kapursampai kau jadi sejarah yang dikubur
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik24
Riwayat Renah Sekalawi
empat orang Biku mengelanamereka tiba di ujung paling jauhmenyusuri Ketahun, lembah-lembah sunyitanah rahasia yang tersembunyi
empat pancang ditegakkandari Tubei sampai Jurukalang
“jang taneak ubet-mengubet pacok, taneak guau-mengajea pacok”
empat tiang, telah jadi lima Rajo.
Bengkulu, 2016
*Rejang tanah obat-mengobat bisa, tanah guru-mengajar pandai
Gansu Karangnio
Stabik 25
Riwayat Serindang Bulan
stabik,aku mengenangdi malam yang gamangaku membaca ulangceritera di bumi Rejang
alkisah Putri yang lara bungsu Rajo Mawangpunya rupa jelitaberujung malang
“oh Serindang Bulan”
tersiar ke luar negeri Renah Sekalawiberkabar lewat bukit barisanPutri banyak yang ingin memperistri
bulan tak lagi cantik kala gerhanajari-jari lentik Putri bernanahmenjalar ke seluruh tubuhnya kusta
“siapa meminang, pulang putus asa”
saudara-saudaranya murka Putri dibuangtapi Karang Nio punya kasih sayang
“adinda masih berhak berbahagia”
Gansu Karangnio
Stabik26
“adinda masih berhak berbahagia”
hanyut, ia bersenandung di atas rakithatinya berkecamuk, amuk yang melejitkesedihan deras aliri muara Ketahundimana ia ‘kan menepimenunggu setahun
lalu cinta,datanglah dari Indra Pura
Bimbang Besarpertemuan kembali Karang Nio hanya berdalihSerindang Bulan berdoa,“hanya satu dari para saudaraku yang berhak selamat” lalu Tuhan menghakimi, bencana datang
“oh Serindang Bulan”
siapa mampu menamatkan riwayatmuaku mohon izin kepada Ulu Dues
Bengkulu, September 2016
*tempat keramat di Kabupaten Lebongdi sana terdapat bekas telapak kaki Putri Serindang Bulan pada batu
Gansu Karangnio
Stabik 27
Sabo
dusun tua itu akhirnya tiada“bencana!”pemuda kusta berteriak ia berlari di antara ramai, ke Balai Agung saat Kulintang masih berdentangdan dengung terakhir dari Gung
hanya ada danauserta sampan tua seorang janda masih mendayungsampai ke ujung rahasia
sementara di atas gunungelang mengelik nada hewan pembawa beritapemuda terakhir dari keturunan mereka menggelar sembahyang
malam lima belas purnamaromamu berdiri, hantu masa laluserta suara sisa pesta.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik28
Segelas Kawo
musim kawopara gadis dan ibuku menumbukdengan Lumpang atawa Lesungdi laman rumah, tanah lapang, pun Balai Agung
aku senantiasa menungguimuputri sulung Ginde.katamu, saat detak suara tumbukadalah pertanda,cintamu telah jadi bubuk
tiap seruputku ialah kasih teman di Talang siang haridimana aku mencipta Rejung
suatu hari, suara tumbuk itu hilangbersama dengan detak jantungmu.
aku meratap di gelas terakhir.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 29
Serambeak
maka kata-kata apalagi yang ‘kan orang-orang tua pantunkansementara bujang gadis tak mau lagi menari
“indero dep io ba taai ne, indero gung io ba liuk ne”
kunyahlah sirihsampai bibirmu merah,kerongkongmu pedas.sebab nanti siapa tahu, tiada lagiyang pantas sebagai tamu
Bengkulu, 2016
*seperti apa bunyi redap begitulah tarinya, seperti apa bunyi gung begitulah lenggangnya
Gansu Karangnio
Stabik30
Stabik
Bismillah. kita tuturkan doa tiga hari di rumah panggungtiga malam di Balai Agung
kita gaungkan ke dusun-dusun hasrat rindu yang jauhpara bujang dan orangtua di sanamerangkai Penei;pisang emas setandan, sirih serta pinang,batang tebu panjang digantunglah beronang,tombak menyilang.bakul sirih, serta talam penyimpan beras dan gula merah.
kepada pemimpin kita serukan rindudari muara Topos hingga ulu Seblat
kita yang kerap menembangkan malam,“merayu Lalan untuk pulang”atau ratap orangtua sedang Berejung.Dusun-dusun kini,adalah tempat segala kenang kita pantunkankita lantunkan mantera sebaik-baiknya doa.
Bengkulu, November 2016
*hiasan wajib saat tarian Kejai suku Rejang
Gansu Karangnio
Stabik 31
Talang
dari dusun kau terbuangmembawa doa-doayang mengalir di nadi.sendiri kau mencari kayu, menancap pancanguntuk kau pagari pondokmu
malam ke empat belasnada-nada rimba dan nestapa rindu menguap dari dedaun talassementara kau Berejungnasibmu pada kata sepenggal
subuh hari kau susuri pematangke tepi sungai, menghanyutkan sial.
Bengkulu, 2016-2017
Gansu Karangnio
Stabik32
Tembo
“Aku genggam keris, duduk sila. ada yang mengalir dari matamu yang puitis”
entah siapa kita tak pernah tahuMuning dari manaPuyang dari desa terpisahatawa Ninik pelafal mantera.
lembar-lembar kertas lamamenguning dan keringlalu kita membacapada batas mana
esok lusatanpa sengaja kita tahu bahwa masih saudara.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 33
Tentang Ajir
matahari terbit dari balik Pabestelah tertanam pucuk-pucuk mekarharumi sudut-sudut dusunpada tanah hijau, yang sering kita kunjungi saat kicau burung
kita tanam batang kehidupan demi makan esok hari, ketika peluh sudah penuh bercampur aroma lumpur
kita berbincang, dengan segelas kawodan ubi rebus dari kebun belakang.sampai suatu ketika,kita sepakat menjadi ajir
perjumpaan di pematang yang rerumputnya berembun.kau membawa beronang, bekal makan siang.sementara aku memegang gelas kawo, hasil menumbuk di lumpang.di antara kita ada ajir menyangga pucuk-pucuk baru.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik34
Tindung
beberapa dari kitadidongengi ibu;
pada suatu waktuanak kecil tak pulang bermain sampai petang
dusun gerimis, di kebun ubianak itu menangis.orang-orang dusun mencari,diceritainya bertemu Tindungkepalanya perempuanususnya landung
beberapa dari kitaharus pulang sebelum Adzan Magrib.mandi, berpakaian rapi lagi wangilalu segeralah pergi mengaji.
Bengkulu, 2016
Gansu Karangnio
Stabik 35
Tentang Penyair
Gansu Karangnio memiliki nama lahir Ganda Sucipta, la-hir di Talang Leak, Lebong 16 September 1992. Menamatkan pendidikan di program studi Pendidikan Bahasa dan Sas-tra Indonesia, FKIP, Universitas Bengkulu. Juara 1 seleksi tingkat provinsi baca puisi putra mampu mengantarkannya menjadi wakil provinsi Bengkulu dalam ajang dua tahunan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS XI) 2012 di Mataram NTB, untuk tangkai lomba baca puisi putra. Puis-inya yang bertajuk “Laki-laki Yang Bersajak Lupa” menjadi puisi pilihan dalam antologi puisi “Di Ujung Benang” Ika-tan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII), Belistra, Jakarta, 2013. Lima puisinya juga ter-gabung dalam antologi “Kado Puisi untuk Bengkulu”, Oksa-na, Sidoarjo, 2014. Menulis esai “Anak Muda dan Semangat Bersastra” yang dimuat Harian Rakyat Bengkulu, 2014. Karya tunggalnya “Akrostik Dari Balik Jendela” Komunitas Titik Awal, Palembang, 2014. Tiga tahun bergelut di dunia teater sebagai aktor. Teater Petak Rumbia Bengkulu menjadi ru-mahnya dalam beberapa pementasan, salah satunya di “Kala Sumatera-Festival Legenda se-Sumatera” Taman Budaya Lampung, Teater Satu Lampung, 2012. Tahun 2016 lalu me-nerbitkan buku antologi puisi empat penyair muda Bengkulu “Melihat Kabut”, Ganding Pustaka, Yogyakarta.Tulisan-tu-lisan lainnya bisa dilihat di kerajaankata02.wordpress.com. Berkirim kabar di [email protected]
37
EPILOG
Melihat Rejang Melalui StabikOleh: Emong Soewandi
Menulis banyak puisi untuk sebuah obyek yang sama, berarti penyair harus mampu melihat obyek itu dari banyak sisi, bah-kan ribuan sisi. Pun sisi yang tak terlihat atau tak pernah tam-pak oleh orang lain. Gansu Karangnio telah memilih sebuah obyek yang bernama Rejang. Tetapi, bukan Rejang menurut dia. Bukan pula Rejang adalah sebuah kosa kata yang ingin dia paparkan definisinya. Melalui Stabik, bagi Gansu Ka-rangnio: Rejang adalah dirinya!
****
Ketika membaca puisi-puisi yang bertemakan lokalitas atau kedaerahan (seingat saya Mursal Esten dulu sering mem-bicarakannya di Sastra Jalur Kedua), maka kita akan ber-temu dengan diksi-diksi yang mengungkapkan perasaan penyair terhadap budaya dan tradisi daerahnya; dia memuji dan membicarakan kekecewaan bagaimana sebuah wari-san leluhur telah berjalan menuju kepunahan. Penyair akan melakukan subyektifikasi terhadap obyek di hadapannya, di mana obyek akan berbicara menurut perspektif “aku” pen-yair. Pada akhirnya, penyair mau mengajak pembaca untuk mengakui kesaksian penyair itu. Penyair membuat sebuah ruang dialog yang luas bagi pembaca untuk memahami se-buah ontologi, apa yang terjadi.
Sebaliknya, ada penyair-penyair yang tidak membuka ruang dialog dengan karya-karya semacam itu. Penyair justru ha-nya mengajak pembaca melihat, merasakan sebuah perjala-nan, tanpa diinterupsi oleh perasaan dan persepsi penyairn-ya. Jika kita menyimak perjalanan sastra Indonesia, jalur ini sangat diakrabi pada masa-masa hingga Angkatan Pujangga
ix
Sementara untuk kesusastraan hari ini, Achdiat Karta Mi-hardja, Linus Suryadi, juga Idrus Tintin adalah semisal pen-yair-penyair yang aku kira cukup setia mengambil jalan ini.
Membaca Stabik, aku menduga Gansu juga mau mengambil jalur kedua ini. Ini cukup istimewa mungkin, karena ketika banyak penyair muda yang berkutat dengan “kekinian”, di mana isu-isu modern dan kemanusiaan lebih menarik untuk digarap, justru seorang Gansu mengambil tema-tema “usang”, yang dipastikan juga akan merepotkan pembaca untuk mema-hami teks dan konteks kebudayaan dari mana dia berangkat.
****
Tanah Rejang adalah tanah yang purba penuh keramat. Dari Tanah Lebong yang agung, Suku bangsa Rejang telah memi-liki kebudayaan, sejarah dan bahasa bahkan aksara yang ber-beda dengan suku bangsa lainnya yang ada di Bengkulu yang masih berkerabat dengan kebudayaan dan bahasa Melayu.Rejang bukanlah Melayu!
Dijepit kiri-kanan oleh kebudayaan Melayu, walaupun Re-jang masih merupakan suku bangsa terbesar di Provinsi Bengkulu, yang mencakup Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengku-lu Tengah dan separuh Kabupaten Bengkulu Utara, namun pada hari ini telah cukup susah untuk mempertahankan ek-sistensinya. Selain karena memang determinisme perjalanan waktu, serangan bertubi-tubi teknologi dan juga peradaban kota lainnya membuat orang-orang Rejang sendiri bisa tan-pa sadar memunahkan kebudayaan mereka. Bahasa Rejang sendiri sudah terlalu banyak menyerap dan menyerah oleh serangan kosa kata Melayu.
Namun, masih banyak sisi yang tetap menciri-khaskan itu adalah Rejang. Logat dari seorang pengguna bahasa Rejang
x
tetap tidak bisa disembunyikan. Juga masih ada orang-orang Rejang yang setia untuk menjaga wajah Rejang mereka. Gan-su Karangniokah salah satunya itu? Entahlah!
****
Dalam Stabik, Gansu Karangnio sepertinya tidak mau “ber-cerita”. Dia tidak mau mengambil jarak dengan sebuah pen-galaman, karena dia merasa, dia memang masih hidup dan terus hidup dalam arus waktu. Tidak ada masa lalu, masa kini dan masa depan. Membaca Stabik, pembaca pun menja-di kehilangan jejak tentang “kapan”, karena pembaca diajak penyair ini untuk melihat pengalaman dalam kesewaktuan. Mengapa Gansu Karangnio tidak mau melakukan sebuah re-konstruksi sejarah?
Tentu dia sendiri yang tahu jawabannya, tetapi saya kira penghayatan atas sebuah peristiwa membuat dia tidak mau merusak sebuah struktur yang terus mensejarah baginya. Apakah ini artinya Gansu Karangnio menyerahkan segala ke-pada keputusan waktu?
Saya kira, jika memang seorang Lalan telah pergi hilang, maka seekor harimau yang dibunuh pun tak akan memberi jaminan Lalan akan pulang (Lalan). Jika memang waktu me-minta pergi, maka biarlah pergi, jika memang masa membuat kepunahan, maka biarlah punah. Yang masih ada dan hidup pada hari ini, biarkan hidup di antara orang-orang yang masih setia menjaganya dengan yang melupakannya. Lalu di mana Gansu Karangnio berdiri? Biarkan dia menjawabnya sendiri:
kelak jika kau kembali bawa Lalan serta gitarnya dari rantauan
ada ratapan yang ingin ditembangkan
xi
aku menunggumengurus gudang tua
(Rejung)
Gudang tua, sebuah gudang yang berisi mantera-mantera yang telah beku, kelintang (gamelan) pecah dan telah sum-bang bunyinya, pepatah-petitih, daun-daun sirih yang layu, semua tradisi dan adat istiadat yang mulai goyah tiang pen-ahan rumahnya. Itulah yang dijaga oleh Gansu Karangnio. Sebagai seorang seniman, seorang penyair, Gansu Karangnio telah memilih cara menjaga Rejang, yakni menghayati ke-hidupan sebagai orang Rejang itu sendiri, yang kemudian di-tuangkannya dalam Stabik.
Suatu saat gudang tua akan roboh, karena memang wak-tu yang meminta. Maka, Gansu Karangnio pun tidak akan menggugatnya. Stabik tidak memberikan interupsi terhadap arus perjalanan sejarah. Penyair sepertinya telah tegas ber-kata, bahwa Rejang masih diagungkan. Sejarah mengatakan, bahwa sebongkah emas di puncak Monas berasal dari Tanah Rejang. Orang-orang Tanah Rejang pun berbangga hati, dan cukup berbangga hati, tanpa merasa perlu menanyakan apa-kah hanya sekedar aroma kebanggaan saja yang bisa diper-oleh (Aroma Renah Sekalawi). Stabik adalah salam peng-hormatan kepada tamu agung dan leluhur yang berbaring di makam-makam tua. Stabik adalah sembah kepada waktu!
Stabik adalah sebuah kepiluan yang terbangun karena kegeli-sahan seorang penyair melihat dunianya yang diremas waktu dan sejarah. Gansu Karangnio mau mengajak kita untuk ikut merasan kepiluan itu. Dan, aku rasa dia telah berhasil!
Kepahiang, 15 Maret 2018Emong Soewandi
(Penyair, Budayawan Bengkuludan Pegiat di Teater Petak Rumbia Bengkulu)
xii