55

Status Ekosistem Terumbu Karang

  • Upload
    others

  • View
    30

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Status Ekosistem Terumbu Karang
Page 2: Status Ekosistem Terumbu Karang
Page 3: Status Ekosistem Terumbu Karang

Status Ekosistem Terumbu Karang

Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan

2018

Karizma Fahlevy

Indra Sundara Alhusna

Dwi Atmaja Margiono

M. Abdul Lathif Al-Anshary

Status Ekosistem Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan, 2018.

Indocarbon Nusantara, 2018

Komposisi dan Layout : Karizma Fahlevy dan M. Abdul Lathif

Peta : Karizma Fahlevy

Foto : Karizma Fahlevy dan Indra Sundara

Atas dukungan :

Page 4: Status Ekosistem Terumbu Karang

Kata Pengantar

Puji syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatnya kami dapat

menyelesaikan laporan berjudul ‘Status Ekosistem Terumbu Karang di Daerah Perlindungan

Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan’ ini. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi

masukan kepada para pengelola dan pihak terkait dalam melakukan upaya pengelolaan

daerah perlindungan laut setempat. Laporan kajian ini berisi informasi mengenai kondisi dan

status ekosistem terumbu karang yang berada di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi,

Lampung Selatan. Pada laporan ini difokuskan pembahasan mengenai komunitas terumbu

karang dan ikan terumbu serta keterkaitan antara ikan terumbu dengan terumbu karang yang

terdapat di ekosistem terumbu karang.

Semoga kajian ini bermanfaat bagi berbagai pihak, terutama pihak pengelola kawasan. Kami

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam kajian ini, juga dalam penyusunan

laporan ini. Oleh karena itu, setiap masukan dan saran bagi kemajuan dan kebaikan isi

laporan ini sangat kami hargai.

Bogor, Mei 2018

Page 5: Status Ekosistem Terumbu Karang

Daftar Isi

Pendahuluan 2

Metode Penelitian 7

Hasil & Pembahasan 11

Kesimpulan 28

Implementasi Program

Konservasi 29

Daftar Pustaka 35

Page 6: Status Ekosistem Terumbu Karang

Daftar Gambar

Gambar 1. Lokasi pengamatan di daerah perlindungan laut Pulau Sebesi 7

Gambar 2. Rekrutmen karang keras di DPL Pulau Umang 11

Gambar 3. Tren (kecenderungan) peningkatan persentase tutupan karang keras (HC) dari

tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi. 12

Gambar 4. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di DPL Pulau Sebesi. 14

Gambar 5. Karang Acropora dengan bentuk pertumbuhan bercabang (Acropora branching) 15

Gambar 6. Genus karang Echinopora di DPL Sianas 16

Gambar 7. Kelimpahan ikan terumbu pada tahun 2007 (Alimudin 2008) dan 2018 17

Gambar 8. Tren (kecenderungan) peningkatan kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007 ke

2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi. 18

Gambar 9. Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) ikan

terumbu 19

Gambar 10. Persentase kelimpahan trofik level ikan terumbu 20

Gambar 11. Pomacentrus mollucensis merupakan ikan dari kelompok trofik omnivora 21

Gambar 12. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu pada masing-masing DPL Sebesi 21

Gambar 13. Jenis ikan dengan selang kelas ukuran 0-5 dan 5-10 cm 22

Gambar 14. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan selang kelas ukuran (cm) 22

Gambar 15. Persentase biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan tipe pemanfaatan 23

Gambar 16. Hubungan linear antara tutupan karang keras (%) dengan kelimpahan ikan

terumbu (Ind/ha) 24

Gambar 17. Ikan terumbu yang hidup di sekitar terumbu karang d DPL Pulau Umang 25

Gambar 18. MoU kerja sama pengelolaan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut

dengan lembaga masyarakat BP DPL 30

Gambar 19. Partisipasi pemerintah (Loka PSPL Serang) dalam melaksanakan pemantauan

ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi 31

Gambar 20. Persiapan plot transek yang mewakili populasi DPL Sebesi 32

Gambar 21. Pencatatan substrat dasar 32

Gambar 21. Monitoring keanekaragaman hayati laut bersama masyarakat 33

Gambar 22. Transplantasi terumbu karang bersama masyarakat 33

Gambar 23. Fish Agregation Device 34

Gambar 24. Pelaksanaan pemasangan FAD 34

Gambar 25. Patroli pengamanan kawasan konservasi laut 35

Page 7: Status Ekosistem Terumbu Karang
Page 8: Status Ekosistem Terumbu Karang

2

BAB 1

PENDAHULUAN

Terumbu karang sebagai ekosistem esensial di perairan laut mempunyai peran

penting bagi kelangsungan hidup biota laut seperti ikan dan biota lainnya (Oktarina et

al. 2014). Terumbu karang juga merupakan komponen pelindung pantai dari arus,

terpaan ombak, dan gelombang (Thamrin 2006; Estradivari et al. 2009). Peranan

biofisik ekosistem terumbu karang sangat beragam, di antaranya sebagai tempat

tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi

beragam biota laut, termasuk salah satu di dalamnya adalah ikan terumbu (Mardasin

et al. 2011). Komunitas ikan terumbu dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu

karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keanekaragaman spesies

sebanding dengan keanekaragaman spesies karang keras (Rembet et al. 2011).

Ikan Terumbu merupakan ikan yang hidup pada daerah terumbu karang sejak

juvenil sampai dewasa, ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu karang karena

tersedianya makanan dan tempat perlindungan (Madduppa 2014). Berdasarkan

kelompok kategori fungsionalnya ikan terumbu dikelompokkan ke dalam 3 kelompok

yaitu ikan target, ikan mayor, dan ikan indikator (Giyanto et al. 2014). Keberadaan

terumbu karang sangat penting bagi keberlangsungan hidup ikan terumbu (Madduppa

et al. 2012b; Madduppa 2014). Selain keberadaan terumbu karang, ketersediaan

makanan juga berperan penting bagi komunitas ikan terumbu (Fahlevy et al. 2017b).

Subhan et al. (2011) menjelaskan bahwa kondisi terumbu karang sudah semakin

terdegradasi. Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan salah satu upaya

pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efektif untuk di kembangkan, yaitu

mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi

ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik.

Ekosistem terumbu karang berperan 25 % sebagai tempat tinggal dari seluruh biota

laut dan merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah punah (KEPMEN LH No.4

2001).

PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Tarahan atau yang biasa disebut PLTU

Tarahan merupakan unit pembangkit listrik tenaga uap berkapasitas 2 x 100 MW

dengan bahan bakar batu bara terletak di Desa Rangai Tri Tunggal, Kabupaten

Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Sebagai wujud komitmen PLTU Tarahan untuk

terlibat dalam perlindungan keanekaragaman hayati, maka PLTU Tarahan bekerja

sama dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi untuk

menguatkan program-program perlindungan ekosistem terumbu karang di pulau

tersebut.

Page 9: Status Ekosistem Terumbu Karang

3

Terumbu Karang di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.466 pulau dengan

luas perairan 3.257.483 km2 (Giyanto et al. 2017). Berdasarkan kebijakan satu peta

(one map policy) dalam UU No.4 tahun 2011, mengatakan bahwa luas terumbu

karang di Indonesia adalah sekitar 2,5 juta hektar berdasarkan analisis dari citra

satelit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Giyanto et al. (2017),

Secara umum dari 1064 stasiun kondisi terumbu karang yang dalam kondisi sangat

baik sebesar 6,39%, kondisi baik sebesar 23,40%, kondisi cukup sebesar 35,06% dan

kondisi buruk sebesar 35.15% di 108 lokasi yang menyebar di seluruh perairan

Indonesia. Kondisi perairan dan lingkungan dari setiap wilayah Indonesia yang

berbeda, menjadi salah satu alasan dari perbedaan kondisi terumbu karang di

Indonesia.

Kabupaten Lampung merupakan salah satu lokasi dengan tingkat penduduk

yang meningkat pesat. Pulau Sebesi merupakan salah satu Pulau yang terletak di

Teluk Lampung berdekatan dengan Gunung Krakatau (Pemda Provinsi Lampung

2000). Pulau Sebesi juga merupakan satu-satunya pulau yang berpenduduk di

kawasan Gunung Krakatau. Pulau dengan luas kurang lebih 2620 Ha dengan panjang

garis pantai 9,55 Km (Johan 2016). Peningkatan jumlah penduduk dapat memberikan

ancaman dan kelemahan terhadap sumber daya alam khususnya ekosistem pesisir.

Salah satu upaya untuk mencegah penurunan ekosistem terumbu karang adalah

dengan membangun kawasan konservasi perairan atau Daerah Perlindungan Laut

(DPL) (Noble et al. 2013). Pulau Sebesi memiliki DPL yang merupakan daerah

tertutup bagi aktivitas pemanfaatan yang ekstraktif (Wiryawan et al. 2002). DPL

dibentuk untuk memperbaiki dan menjaga ekosistem laut yang terdegradasi (Alva et

al. 2015). DPL merupakan salah satu bagian dari kawasan konservasi perairan yang

berfungsi sebagai area perlindungan laut (Syarif 2009). Kawasan konservasi

ditetapkan sebagai daerah yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk

mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungan secara

berkelanjutan (PERMENKPRI No. 2 2009). Dengan membatasi atau mencegah

kegiatan yang memanfaatkan ekosistem laut, DPL cukup efektif memperbaiki dan

mengembalikan ekosistem pesisir (Halpem 2003).

Kebijakan Pengelolaan ekosistem terumbu karang

Berbagai faktor telah menyebabkan kerusakan dan kematian pada ekosistem

terumbu karang di daerah tropis (Bruno dan Selig 2007). Kerusakan terumbu karang

tersebut berdampak pada menurunnya kelimpahan ikan terumbu pada perairan

tersebut (Jones et al. 2004). Menurut KEPMENLH no.4 (2001) beberapa hal yang

menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah sedimentasi, penangkapan

menggunakan bahan peledak, aliran drainase, penangkapan ikan dengan sianida,

pengumpulan dan pengerukan, pencemaran air, pengelolaan tempat rekreasi yang

tidak efektif, dan pemanasan global. Selain hal tersebut penyakit karang (Subhan et

al. 2011), aktivitas kapal (Dinsdale dan Harriot 2004), dan penambangan karang

(Hariri 2012) juga menjadi penyebab rusaknya terumbu karang. Kerusakan terumbu

Page 10: Status Ekosistem Terumbu Karang

4

karang paling banyak disebabkan oleh faktor manusia, oleh karena itu diperlukan

peraturan tentang pengelolaan terumbu karang (Tabel 1.), sebagai berikut :

Tabel 1. Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan terumbu karang

No Jenis Peraturan Unsur Kajian

1 Undang-Undang

(UU)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004

Tentang Perikanan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009

Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

2 Peraturan

Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007

Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

3 Peraturan Menteri

(PERMEN)

Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep.38/Men/2004

Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008

Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2009

Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.03/Men/2010

Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis kan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/2010

Tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan .

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.30/Men/2010

Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.59/Men/2011

Tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Jenis Ikan Terumbu (Tenualosa Macrura)

4 Peraturan Daerah

Peraturan Daerah berdasarkan kebijakan kabupaten dan Provinsi

Pengelolaan terumbu karang

Pengendalian dan pengelolaan kerusakan terumbu karang sangat diperlukan

untuk menjaga kelestarian ekosistem yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir.

Pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem terumbu karang di

Page 11: Status Ekosistem Terumbu Karang

5

kemukakan berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2001 (Tabel 1.),

sebagai berikut :

Tabel 1. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang

No Strategi pencegahan dan penanggulangan Unsur

1. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat

Upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peran terumbu karang dan mengajak untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari, seperti mengingatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan kosmetika, bahan makanan dan lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak masa kanak-kanak.

2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat.

a. Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat. b. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

3. Kelembagaan

a. Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaatan sumber daya dan pemerhati lingkungan.

b. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang.

4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang . Dalam kaitan ini akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa provinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok.

Page 12: Status Ekosistem Terumbu Karang

6

5. Penegakan hukum

Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, di mana mereka berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang di daerahnya.

Salah satu upaya untuk pencegahan dan penanggulangan dari strategi

tersebut adalah penelitian, monitoring, dan evaluasi. Penelitian ekosistem terumbu

karang di DPL Pulau Sebesi dibutuhkan untuk mendapatkan baseline data sebagai

acuan dasar dengan harapan dari hasilnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi

instansi pemerintah, perusahaan, LSM, akademisi dan kelompok masyarakat dalam

memanfaatkan dan mengelola kawasan laut sebagai sumber kehidupan. Penelitian,

monitoring, dan evaluasi yang dilaksanakan secara rutin dalam jangka waktu yang

telah ditentukan akan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan di mana hasil dari

pemantauan tersebut akan dibandingkan dengan data dari baseline.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas terumbu karang

dan ikan terumbu serta menilai status kondisi tutupan terumbu karang di Daerah

Perlindungan Laut (DPL) Pulau Sebesi, Lampung Selatan.

Page 13: Status Ekosistem Terumbu Karang

7

BAB 2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Pulau Sebesi, Lampung sebanyak 4

stasiun pengamatan yaitu DPL Kayu Duri, Pulau Umang, Gosong Sawo, dan Sianas

(Gambar 1) pada tanggal 20 – 21 April 2018.

Gambar 1. Lokasi pengamatan di daerah perlindungan laut Pulau Sebesi

Page 14: Status Ekosistem Terumbu Karang

8

Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan adalah peralatan selam (SCUBA), alat tulis bawah

air, kamera bawah air dan meteran tali (roll meter).

Metode

Pengamatan ikan dan karang dilakukan pada kedalaman 2-10 m dengan

transek yang dibentangkan sejajar garis pantai. Metode pengamatan tutupan karang

hidup menggunakan Line Intercept Transect (LIT) dengan prinsip pencatatan substrat

dasar yang menyinggung transek (English et al.1994). Pencatatan jenis substrat

dilakukan berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan (lifeform) karang dan genus

karang. Untuk jenis biota lainnya dimasukkan berdasarkan kategori: karang lunak (soft

coral), alga, spons (sponge), pasir, patahan karang (rubble) dan lain-lain (others).

Pengamatan dilakukan dengan transek sepanjang 50 m.

Pengamatan ikan terumbu menggunakan metode Underwater Visual Census

(Hill dan Wilkinson 2004) yang dilakukan bersamaan dengan setiap transek LIT. Saat

melakukan pengamatan, pengamat menunggu selama 5 sampai 10 menit sebelum

memulai pengamatan sepanjang transek untuk memungkinkan ikan melanjutkan

aktivitas normal mereka (Halford dan Thompson 1994). Pengamat hanya mencatat

individu ikan dalam 2,5 m di kedua sisi dan 5 m di atas sepanjang transek. Setiap

individu ikan dicatat hingga tingkat spesies.

Analisis Data

Terumbu Karang

Analisis data karang meliputi persen penutupan (percent cover) dan indeks

mortalitas karang (IMK). Percent cover digunakan untuk menduga kondisi terumbu

karang pada suatu lingkungan perairan (Setyawan et al. 2011). Persen penutupan

karang hidup menurut English et al. (1997) dapat dihitung dengan rumus:

Percent Cover = Total Panjang setiap Kategori(cm)

Panjang Transek Garis (cm) x 100%

Kondisi terumbu karang dinilai dengan mengikuti kriteria baku kerusakan

terumbu karang yang dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup No.Kep-

04/MENLH/02/2001, sebagai berikut :

Tabel 3. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

Kategori Tutupan Karang Hidup Persentase Tutupan Karang Hidup

Buruk 0% - 24,9%

Sedang 25% - 49,9%

Baik 50% - 74,9%

Sangat baik 75% - 100%

Page 15: Status Ekosistem Terumbu Karang

9

Indeks mortalitas karang (IMK) digunakan untuk menghitung tingkat kematian

karang pada masing-masing daerah penelitian yang menunjukkan adanya perubahan

dari karang hidup ke karang mati. Indeks mortalitas memiliki kisaran antara 0-1. Indeks

mortalitas karang yang bernilai mendekati angka nol mengindikasikan perubahan

karang hidup menjadi karang mati sedikit. Sedangkan apabila nilai indeksnya

mendekati angka satu, maka mengindikasikan terjadi kematian yang sangat signifikan

pada karang hidup. Rasio kematian karang dapat diketahui melalui indeks kematian

karang dengan perhitungan menurut English et al. (1997):

IMK = 𝐀

𝐀+𝐁

Keterangan :

IMK = Indeks mortalitas karang,

A = Persentase karang mati,

B = Persentase karang keras yang hidup.

Ikan Terumbu

Kelimpahan Ikan Terumbu

Kelimpahan ikan terumbu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Odum 1971):

𝑫 =𝑵𝒊

𝑨 X 10000

Keterangan :

D = Kelimpahan (ind/ha),

Ni = Jumlah individu,

A = Luas area pengamatan (hektar)

Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan banyak atau

tidaknya jenis individu dalam suatu komunitas. Rumus menghitung Indeks

Keanekaragaman (H’) menurut Odum (1971):

𝐇′ = ∑ 𝐏𝐢 𝐋𝐧 𝐏𝐢

𝐍

𝐢=𝟎

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman jenis

Pi = Perbandingan jumlah individu jenis ke-i (Ni) dengan jumlah total individu (N)

Ni = Jumlah individu jenis ke-i

Page 16: Status Ekosistem Terumbu Karang

10

N = Jumlah total individu

I = 1,2,3,…,n

Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan distribusi jumlah individu

dalam setiap spesies yang ada. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks

keseragaman (E) yang dikemukakan oleh Odum (1971) adalah sebagai berikut :

𝐄 = 𝐇′

𝐇′ 𝐦𝐚𝐤𝐬

Keterangan :

E = Indeks Keseragaman

H’ = Indeks Keanekaragaman

H max = Ln S

S = Jumlah Spesies

Indeks Dominansi (C)

Indeks dominansi adalah indeks yang menunjukkan dominansi suatu spesies

terhadap spesies lainnya. Nilai indeks keseragaman dan keanekaragaman yang kecil

menandakan adanya dominansi yang tinggi suatu spesies terhadap spesies-spesies

lainnya. Rumus indeks dominansi Simpson sebagai berikut (Odum 1971):

C = ∑ 𝒑𝒊𝟐𝒏𝒊=𝟏

Keterangan :

C = Indeks Dominansi

pi = Proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang

i = 1, 2, 3, …, n

Biomassa Ikan Terumbu

Menghitung biomassa ikan terumbu dapat dilakukan dengan cara mencari nilai

indeks spesifik spesies dan nilai tengah (mean) dari ukuran ikan. Menurut Effendi

(1997) untuk menentukan biomassa menggunakan persamaan rumus sebagai berikut

:

W = a . Lb

Keterangan :

L = Nilai tengah dari panjang ikan W = Berat (kg)

a, b = Nilai indeks spesifik spesies dari fishbase

Page 17: Status Ekosistem Terumbu Karang

11

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR KOMUNITAS TERUMBU KARANG

Tutupan substrat dasar terumbu karang

Secara umum kondisi substrat didominasi oleh karang keras (hard coral).

Tutupan karang keras yang memiliki nilai tertinggi dari semua stasiun pengamatan

berada di DPL Pulau Umang yang mencapai 82,34% (Tabel 4.). DPL Sianas

menempati urutan kedua dengan persentase mencapai 79,66% sedangkan Kondisi

ekstrem di mana ditemukan hanya 14.96% penutupan karang keras ditemukan di DPL

Kayu Duri. Pada lokasi ini, komponen substrat yang mendominasi adalah hamparan

patahan karang (rubble) yang termasuk ke dalam kategori abiotik (Tabel 5.). Saat

pengamatan, ditemukan beberapa rekrutmen karang yang mulai tumbuh di stasiun

DPL (Gambar 2). Rekrutmen karang adalah masuknya individu karang baru ke

populasi terumbu karang (Prasetia 2012). Menurut Mumby et al. (2007) DPL

memberikan fasilitas bagi rekrutmen karang untuk bertahan hidup. Rekrutmen karang

merupakan bagian penting untuk proses perkembangan dalam suatu ekosistem

terumbu karang. Kondisi terumbu karang pada mayoritas lokasi survei terbilang baik

(Tabel 3.), dominasi karang keras ditemui di tiga lokasi dari empat lokasi DPL. DPL

merupakan suatu alat utama untuk mengelola suatu ekosistem (Noble et al. 2013).

Namun perlindungan dari DPL belum tentu menghasilkan efek positif pada penutupan

karang (Selig dan Bruno 2010). Pengawasan masyarakat lokal sangat penting bagi

pengelolaan DPL (Graham et al. 2008). Salah satu fungsi dari DPL adalah menjadi

tempat perlindungan bagi biota karang dan asosiasinya.

Gambar 2. Rekrutmen karang keras di DPL Pulau Umang

Page 18: Status Ekosistem Terumbu Karang

12

Berdasarkan pengamatan di lapang, DPL kayu duri terletak di daerah dengan

celah antara dua pulau yaitu Pulau Sebesi dan Sebuku. Kerusakan terumbu karang

di lokasi dapat disebabkan oleh arus dan gelombang yang kencang. Saat survei,

lokasi Kayu Duri merupakan daerah dengan kondisi dasar perairan yang datar (flat),

menurut Lowe et al. (2009) kecepatan gelombang dan arus meningkat secara linear

dengan tinggi gelombang pada daerah reef flat. Hal tersebut berdampak kepada

keberadaan terumbu karang di sekitar lokasi. Patahan karang biasa ditemukan pada

perairan terumbu karang dangkal (Tanzil et al. 2004). Penyebab dari patahan karang

sulit diidentifikasi, hal tersebut dapat disebabkan oleh hasil penggunaan bom ikan atau

kondisi fisika perairan seperti badai (Waheed et al. 2015). Patahan karang merupakan

bentuk umum dari karang rusak yang telah terdegradasi yang dapat disebabkan oleh

faktor alami maupun faktor manusia (Clark dan Edwards 1995). Tingginya nilai abiotik

di DPL Kayu Duri juga dapat disebabkan oleh tingginya sedimentasi di perairan

tersebut. Menurut Erftemeijer et al (2012) persen tutupan dan keanekaragaman

karang dapat berkurang secara signifikan pada wilayah dengan masukan sedimen

batuan dan daerah limpasan sungai.

Tabel 4. Persentase tutupan karang keras (HC) tahun 2008 dan 2018 di stasiun DPL

Pulau Sebesi

Stasiun DPL 2007* 2016** 2018*** Kategori

Gosong Sawo 39,56 51,73 57,10 Sedang - Baik

Kayu Duri 6,88 50.12 14,96 Buruk – Sedang

Pulau Umang 15,8 82,30 82,34 Buruk - Sangat Baik

Sianas 39,84 65,52 79,66 Buruk - Sangat Baik Keterangan : *Alimudin (2008), ** Yar Johan (2016) ***Penelitian saat ini

Gambar 3. Tren (kecenderungan) peningkatan persentase tutupan karang keras

(HC) dari tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2007 2016 2018

Gosong Sawo

Kayu Duri

Pulau Umang

Sianas

Per

sen

tase

Tu

tup

an K

aran

g K

eras

(%

)

Page 19: Status Ekosistem Terumbu Karang

13

Tutupan karang keras yang tinggi di DPL Sianas, Pulau Umang, ini dapat

disebabkan rendahnya tutupan makro alga. Nilai Alga tertinggi terletak di DPL Gosong

Sawo dan Kayu Duri (Tabel 4.). Kematian karang akibat tutupan alga yang tergolong

rendah juga menjadi salah faktor karang keras dapat tumbuh dengan baik.. Sebagian

makro alga dapat secara aktif menyerang jaringan karang di dalam kompetisi

memperebutkan ruang. Menurut Lirman (2001), laju kehidupan koloni karang dapat

tumbuh rendah dengan adanya makro alga yang tumbuh di dekatnya. Pada awalnya

McCook (2001) meragukan apakah makro alga dapat menyerang karang secara

agresif, atau hanya sekedar menutupi karang dari cahaya matahari.

Dari kajian pustaka hingga tahun 2001 tersebut, makro alga dianggap tidak

dapat menyebabkan kematian karang melainkan secara tidak langsung menurunkan

kemampuan hidup karang. Kecepatan tumbuh makro alga yang dapat memberikan

dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi kondisi

nutrien tinggi. Pengaruh utama nutrien organik terhadap lingkungan laut adalah

penurunan oksigen (Mukhtasor 2006). Menurut Thamrin (2006) organisme yang

pertama kali hadir pada skeleton karang yang mati bukan dari kelompok karang,

melainkan dari kelompok algae. Kelompok mikro-algae biasanya akan hadir pada

skeleton karang yang telah mati sekitar dua hari setelah tissue terpisah dari

skeletonnya.

Tabel 5. Persentase tutupan substrat dasar di stasiun DPL Pulau Sebesi

Stasiun DPL Abiotik

(%)

Algae

(%)

DCA

(%)

SC

(%)

SP

(%)

OT

(%)

Gosong

Sawo 19,26 10,96 12,18 0,00 0,26 0,24

Kayu Duri 71,92 9,18 3,94 0,00 0,00 0,00

Pulau Umang 7,80 2,88 6,12 0,86 0,00 0,00

Sianas 6,00 3,96 10,38 0,00 0,00 0,00

Nilai IMK yang didapatkan dari setiap stasiun DPL, mendapatkan hasil dengan

kisaran 0,13–0,79 (Gambar 4.). Nilai IMK tertinggi terletak pada DPL Kayu Duri (0,79)

sedangkan nilai IMK terendah terletak di DPL Pulau Umang (0,13). Nilai IMK yang

mendekati angka 1 mengindikasikan karang hidup mengalami kematian yang sangat

signifikan. Menurut Gomez dan Yap (1994), nilai mortalitas yang tinggi menunjukkan

kondisi karang keras sudah mendapat tekanan yang cukup besar. Hal tersebut dapat

mengindikasikan bahwa di DPL Kayu Duri mendapatkan tekanan yang besar. Banyak

hal yang mempengaruhi tingkat kematian karang keras. Sedimentasi merupakan

salah satu penyebab major rusaknya terumbu karang (Burke et al. 2002). Selain

sedimentasi, penyakit karang (Subhan et al. 2011), pemutihan karang (McClanahan

2004), aktivitas manusia (Riegl et al. 2012). pertumbuhan alga, dan sponge (Nugues

dan roberts 2002) juga menjadi beberapa hal yang menyebabkan kematian pada

karang.

Page 20: Status Ekosistem Terumbu Karang

14

Gambar 4. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di DPL Pulau Sebesi.

Persentase bentuk pertumbuhan (life form) karang keras

Bentuk pertumbuhan karang atau lifeform yang ditemukan di seluruh stasiun

penyelaman cukup beragam. Dari seluruh stasiun DPL, bentuk pertumbuhan ACT

(Acropora tabulate) di Pulau Umang (49,82%), ACB (Acropora branching) di Gosong

Sawo, dan CF (Coral foliose) di DPL Sianas memiliki persentase tertinggi daripada

bentuk pertumbuhan lainnya (Tabel 6.). Meskipun bentuk pertumbuhan bercabang

(branching), dan lembaran (foliose) memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah

daripada karang dengan bentuk pertumbuhan massive (Piquero et al. 2015), menurut

Graham et al. (2014) karang bercabang , dan lembaran memiliki tingkat pertumbuhan

yang cepat. Bentuk pertumbuhan karang dapat disebabkan oleh kondisi fisika dan

faktor alami lingkungan (Saptarini et al. 2017). Perbedaan kedalaman dan karakteristik

lokasi juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang keras (Fahlevy et al.

2017a). Kondisi arus yang kuat dan keberadaan predator dapat mempengaruhi

pertumbuhan karang bercabang (Lenihan et al. 2015).

Bentuk pertumbuhan karang dapat dijadikan sebuah indikator dalam penilaian

kondisi lingkungan perairan terumbu karang (Guzman et al. 1994). Namun, hal

tersebut berbeda bagi karang dengan pertumbuhan karang massive. Tingkat

ketahanan karang yang kuat dari bentuk pertumbuhan karang massive, menjadikan

karang tersebut sebagai indikator yang buruk untuk menilai apakah suatu daerah

mengalami eutrofikasi dan sedimentasi, karena keberadaan karang massive pada

lingkungan yang tercemar dan tidak tercemar tidak terlalu berbeda signifikan (Edinger

et al. 2000). Karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang sering dijadikan lokasi

bagi ikan terumbu untuk berlindung dan mencari makan. Beberapa spesies ikan

terumbu memiliki ketergantungan hidup dengan bentuk pertumbuhan karang.

0,36

0,79

0,130,17

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas

Ind

eks M

ort

alita

s K

ara

ng

Stasiun DPL

Page 21: Status Ekosistem Terumbu Karang

15

Gambar 5. Karang Acropora dengan bentuk pertumbuhan bercabang (Acropora branching)

Tabel 6. Bentuk pertumbuhan (life form) karang di stasiun DPL Pulau Sebesi

Life Form Gosong Sawo (%)

Kayu Duri (%)

Pulau Umang (%)

Sianas (%)

ACB 49,24 1,86 22,72 4,5

ACD 0,24 2,36 0 0,22

ACT 0 1,74 49,82 0

CB 5,52 2,18 2,22 1,2

CE 0 0,9 0,8 0

CF 1,16 0 1,3 73,74

CHE 0 0 3,68 0

CM 0 5,58 1,52 0

CM 0 0,34 0 0

CMR 0,94 0 0 0

CS 0 0 0,28 0

Persentase genera karang keras

Terdapat sepuluh genera karang keras yang ditemukan sepanjang transek

pengamatan. Genus karang Acropora dan Montipora selalu ditemukan di empat

stasiun DPL. Genus karang Acropora memiliki persentase tertinggi di Gosong Sawo

(49,48%), Kayu Duri (5,96%), dan Pulau Umang (72,54%), sedangkan di stasiun DPL

Sianas persentase genus tertinggi adalah Echinopora (73,36%), seperti yang

dijelaskan pada Tabel 7. Genus Acropora merupakan salah satu genus karang yang

dominan di perairan Indonesia (Suharsono 2008). Acropora memiliki dua jenis koralit

Page 22: Status Ekosistem Terumbu Karang

16

yaitu koralit dengan pertumbuhan ke arah atas atau aksial, dan koralit dengan

pertumbuhan ke arah samping atau radial (Subhan et al. 2016). Karang dengan genus

Acropora dan Montipora merupakan genus yang kurang resisten terhadap perubahan

suhu lingkungan (McClanahan et al. 2007). Selain rentan terhadap tekanan, Acropora

juga menjadi tempat bagi ikan-ikan herbivora untuk mencari makan. Pada spesies

ikan tertentu seperti jenis ikan Dischistodus sp. memiliki karakteristik saat mencari

makan yaitu dengan menggigit koloni karang Acropora bercabang sampai mati,

karang Acropora yang mati akan ditumbuhi oleh alga dan menjadi lokasi ikan tersebut

untuk makan (Beeden et al. 2008).

Tabel 7. Genera karang keras di stasiun DPL Pulau Sebesi

Genera Karang Gosong Sawo (%)

Kayu Duri (%)

Pulau Umang (%)

Sianas (%)

Acropora 49,48 5,96 72,54 4,72

Ctenactis 0,22 0 0 0

Echinopora 0 0 0,32 73,36

Favia 0 0,16 0 0

Fungia 0,28 0 0 0

Heliopora 0 0 3,68 0

Montipora 1,68 0,54 0,98 1,58

Pocillopora 0 1,64 0 0

Porites 1,42 6,66 4,82 0

Seriatopora 4,02 0 0 0

Gambar 6. Genus karang Echinopora di DPL Sianas

Karang dengan genus Echinopora sangat mendominasi di DPL Sianas

(Gambar 6). Setiap genera karang memiliki tingkat ketahanan dan kerentanan yang

berbeda (McClanahan et al. 2007). Echinopora merupakan salah satu genera karang

Page 23: Status Ekosistem Terumbu Karang

17

yang dengan resistensi yang tinggi (Bruckner dan Dempsey 2015). Bentuk

pertumbuhan koloni karang Echinopora pada umumnya ditemukan bercabang atau

berbentuk lembaran. Bentuk pertumbuhan dari genus Echinopora yang telah

ditemukan adalah Coral Foliose (CF) atau karang berbentuk lembaran. Echinopora

memiliki koralit yang relatif kecil (Subhan et al. 2016). Genus karang dengan ukuran

polyp yang relatif kecil memiliki waktu pertumbuhan yang relatif lebih cepat

(Suharsono 2008).

STRUKTUR KOMUNITAS IKAN TERUMBU

Kelimpahan ikan terumbu

Kelimpahan ikan terumbu adalah banyaknya jumlah individu ikan yang

ditemukan dalam satu area pengamatan. Hasil pengamatan mengenai komunitas ikan

terumbu pada 4 stasiun penelitian telah ditemukan sebanyak 45 spesies yang

termasuk ke dalam 28 genus dan 16 famili ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi. Nilai

Kelimpahan ikan terumbu pada 4 stasiun penelitian menunjukkan nilai tertinggi di DPL

Sianas yaitu sebesar 14.480 Ind/ha, kemudian yang terendah terdapat di DPL Kayu

Duri sebesar 6.640 ind/ha (Gambar 7.). Daerah perlindungan laut (DPL)

mempengaruhi kelimpahan ikan terumbu di suatu ekosistem terumbu karang (Soler

et al. 2015). Menurut Walters dan Holling. (1990) DPL memberikan perlindungan

terhadap ekosistem di sekitar dengan cara membuat sistem zonasi penangkapan dan

zona perlindungan (non-penangkapan). Daerah perlindungan tersebut membantu

pemulihan ikan dan invertebrata lainnya (Hastings et al. 2017). Kebutuhan masyarakat

pesisir sekitar DPL yang membutuhkan hasil laut sebagai pendapatan terkadang

menimbulkan konflik dengan sistem zonasi DPL (Martinez et al. 2007). Oleh karena

itu dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dalam mengelola kawasan DPL agar

mendapatkan keseimbangan dalam memanfaatkan sumber daya perairan. (Hicks et

al. 2009).

Gambar 7. Kelimpahan ikan terumbu pada tahun 2007 (Alimudin 2008) dan 2018

8320

3040

19520

4560

10960

6640

1344014480

0

5000

10000

15000

20000

25000

Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas

Kelim

pah

an

Ikan

Teu

mb

u (

Ind

/ha)

Stasiun DPL

2007

2018

Page 24: Status Ekosistem Terumbu Karang

18

Dari Gambar 8, menjelaskan bahwa kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007

hingga tahun 2018 hampir seluruhnya mengalami kenaikan. kelimpahan ikan ini

sangat erat korelasinya dengan peningkatan persen tutupan karang (r = 0,98). Artinya

program konservasi karang yang selama ini diterapkan di DPL Sebesi berdampak

nyata dan positif bagi kelimpahan ikan karang.

Pada tahun 2007 kelimpahan ikan terumbu di stasiun DPL Pulau Umang adalah

19,520 (Ind/ha) sedangkan pada tahun 2018 menurun menjadi 13,340 (Ind/ha). Hal

tersebut, dapat disebabkan oleh waktu perbedaan waktu pengamatan yang dilakukan.

Ikan terumbu memiliki karakteristik mencari makan pada waktu yang berbeda, selain

itu perbedaan musim juga mempengaruhi keberadaan ikan terumbu (Madduppa et al.

2012). Secara keseluruhan DPL di Pulau Sebesi memberikan perlindungan terhadap

terumbu karang yang juga menyebabkan tingginya nilai kelimpahan ikan terumbu di

lokasi tersebut.

Gambar 8. Tren (kecenderungan) peningkatan kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi.

Indeks ekologi ikan terumbu

Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi ada di DPL Sianas dengan nilai H’

sebesar 3,05. Kemudian untuk nilai H’ terkecil terdapat di DPL Kayu Duri sebesar

2,27. Menurut Odum (1971) nilai H’≥3 berarti keanekaragaman tinggi, penyebaran

tinggi, kestabilan komunitas tinggi, sedangkan untuk nilai 1 < H’ < 3, dapat dikatakan

tingkat keanekaragaman sedang, penyebaran sedang dan kestabilan komunitas

sedang. Untuk indeks keseragaman (E) yang tertinggi berada di DPL Sianas dan Kayu

Duri sebesar 0,91, sedangkan yang terkecil terletak di DPL Pulau Umang sebesar

0,82. Magurran (2004) mengatakan bahwa nilai keseragaman berkisar 0,75 < E ≤ 1,0

maka Keseragaman tinggi, komunitas stabil. Nilai indeks dominansi (C) tertinggi

berada di DPL Gosong Sawo sebesar 0,22 dan yang terkecil terletak di DPL Sianas

0

5000

10000

15000

20000

25000

2007 2018

Kelim

pah

an

Ikan

teru

mb

u (

Ind

/ha)

Tahun pengamatan

Gosong Sawo

Kayu Duri

Pulau Umang

Sianas

Page 25: Status Ekosistem Terumbu Karang

19

yaitu sebesar 0,06 (Gambar 9.). Odum (1971) menujukan bahwa nilai dominansi

berkisar 0 < C < 0,5 dapat berarti dominansi rendah.

Indeks keanekaragaman (H’) adalah nilai yang dapat menunjukkan

keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis

(Madduppa et al. 2012a). Banyak atau sedikitnya keanekaragaman spesies dapat

dilihat dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Keanekaragaman mempunyai

nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda.

Sedangkan nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu genus atau satu

spesies saja. Nilai keanekaragaman dapat dijadikan alat ukur seberapa besar ikan

mendapatkan tekanan dari lingkungan (Lardicci et al. 1997). Pendugaan indeks

keseragaman (E) dilakukan untuk melihat sebaran jenis ikan apakah merata antar

jenis. Indeks dominansi (C) memberikan gambaran dominansi jenis dalam suatu

komunitas ekologi (Odum 1983).

Gambar 9. Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) ikan terumbu

Komposisi kelompok trofik ikan terumbu

Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan (Froese dan

Pauly 2000). Trofik level menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang

masing-masing berperan dalam jaring makanan. Komunitas ikan terumbu yang

mendominasi DPL Sebesi adalah dari kelompok trofik omnivora (29%) planktivora

(35%, Gambar 10). Kelompok ikan omnivora yang paling sering dijumpai di DPL

Sebesi dalam kelompok besar adalah Pomacentrus mollucensis dari famili

Pomacentridae yang biasa dikenal dengan sebutan ikan betok (Gambar 9.). Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat et al. (2003), yang menyebabkan dominasi

ikan dari famili Pomacentridae disebabkan oleh sifat mereka yang teritorial

2,70

2,27

2,47

3,05

0,87 0,910,82

0,91

0,220,12 0,13 0,06

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas

Ind

eks E

ko

log

i

Stasiun DPL

H'

E

C

Page 26: Status Ekosistem Terumbu Karang

20

(mempertahankan daerah kekuasaan). Kelompok ikan planktivora yang paling banyak

dijumpai adalah Neoglyphidodon nigroris.

Trofik level ikan terumbu merupakan hal yang penting dalam mempelajari

karakteristik ikan terumbu. Perilaku makan pada ikan terumbu dibagi menjadi

herbivora, karnivora, detrivora, benthic invertivora, planktivora, koralivora, dan

omnivora (Madduppa 2014). Perilaku makan ikan terumbu akan memberi pengaruh

terhadap kondisi ekosistem terumbu karang dan juga sebaliknya. Omnivora

merupakan kelompok ikan yang memakan apa saja, seperti alga, plankton, hewan

bentik, dan ikan kecil. Planktivora adalah ikan yang mengonsumsi plankton dalam

siklus makannya. Keberadaan ikan planktivora yang melimpah berkorelasi secara

signifikan dengan kelimpahan plankton di suatu perairan (Kelble et al. 2005).

Gambar 10. Persentase kelimpahan trofik level ikan terumbu

9%

5%

7%2%

3%

39%

35%

benthic invertivore

carnivore

coralivore

detritivore

herbivore

omnivore

planktivore

Page 27: Status Ekosistem Terumbu Karang

21

Gambar 11. Pomacentrus mollucensis merupakan ikan dari kelompok trofik omnivora

Biomassa ikan terumbu

Biomassa merupakan konversi bobot ikan per satuan luas wilayah (kg/ha).

Lokasi DPL dengan biomassa tertinggi adalah Sianas dengan nilai biomassa

73.454,90 kg/ha. Sementara lokasi dengan nilai biomassa terendah adalah DPL Kayu

Duri, di mana nilai biomassa ikan terumbunya adalah sebesar 3.144,28 kg/ha

(Gambar 12). Fungsi dari daerah perlindungan laut memberikan hasil yang positif

terhadap biomassa ikan (Soler et al. 2015). Daerah luar DPL memiliki biomassa ikan

yang lebih rendah jika dibandingkan DPL akibat adanya kegiatan penangkapan oleh

nelayan lokal (Chirico et al. 2017).

Gambar 12. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu pada masing-masing DPL Sebesi

54298,01

3144,28

42282,42

73454,90

0,00

10000,00

20000,00

30000,00

40000,00

50000,00

60000,00

70000,00

80000,00

Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas

Bio

massa (

kg

/ha)

Stasiun DPL

Page 28: Status Ekosistem Terumbu Karang

22

Gambar 13. Jenis ikan dengan selang kelas ukuran 0-5 dan 5-10 cm

Pada stasiun DPL Sianas, ikan yang memiliki biomassa tertinggi memiliki

ukuran 15-20 cm dan 20-25 cm. Stasiun pengamatan DPL Kayu Duri hanya ditemukan

dua kelas ukuran ikan yaitu ikan dengan selang 0-5 dan 5-10 cm (Gambar 14). Jumlah

kelimpahan ikan yang ditemukan di stasiun DPL Kayu Duri dapat menjadi salah satu

indikasi stasiun tersebut tidak memiliki selang ukuran yang beragam seperti stasiun

DPL lain. Selain itu, bentuk terumbu karang juga mempengaruhi ukuran ikan terumbu

(Madduppa et al. 2012b). Substrat dasar dari DPL Kayu Duri di dominasi oleh patahan

karang, sehingga ikan terumbu tidak memiliki tempat untuk berlindung dan mencari

makan.

Gambar 14. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan selang kelas ukuran (cm)

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

0-5 5-10 10-15 15-20 20-25

Bio

massa (

Kg

/ha)

Selang ukuran ikan terumbu (cm)

Gosong Sawo

Kayu Duri

Pulau Umang

Sianas

Page 29: Status Ekosistem Terumbu Karang

23

Dari Gambar 15. dapat dilihat bahwa nilai tertinggi persentase biomassa ikan

terumbu berdasarkan tipe pemanfaatannya adalah ikan target sebesar 60%

(103.885,40 kg/ha) diikuti dengan ikan mayor sebesar 29% (50.612,51 kg/ha), dan

ikan indikator sebesar 11% (18.681, 70 kg/ha). Ikan target adalah kelompok jenis-jenis

ikan yang dapat dikonsumsi dan biasanya diburu oleh nelayan. Ikan terumbu

dimanfaatkan sebagai sumber makanan yang banyak mengandung sumber protein

hewani (Madduppa 2014). Ikan indikator adalah ikan-ikan yang memiliki hubungan

yang sangat erat sekali terhadap habitat karang. Ikan mayor adalah kelompok yang

tidak termasuk ke dalam kelompok ikan target dan ikan indikator dan umumnya belum

banyak diketahui peranannya di alam, kecuali sebagai suplai makanan bagi

pemangsa (karnivora), namun beberapa jenis di antaranya memiliki keindahan warna

tubuh sehingga berpotensi sebagai ikan hias. Pada umumnya ikan mayor banyak

dijumpai dalam ekosistem terumbu karang di suatu perairan.

Gambar 15. Persentase biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan tipe pemanfaatan

Menurut English et al. (1997), kelompok ikan target adalah jenis-jenis ikan

konsumsi/pangan atau ikan ekonomis penting yang hidup berasosiasi dengan

terumbu karang. Jenis-jenis ikan yang tergolong dalam kelompok ini yaitu dari suku

Serranidae (ikan kerapu dan sunu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lencam),

Haemulidae (raja bao), Carangidae (bubara), Labridae (napoleon), Scombridae

(tenggiri), Siganidae (baronang), Scaridae (kakatua), Caesionidae (lalosi/ekor

kuning), Acanthuridae (bobara laut dan kuli pasir), dan lain-lain. Daerah perlindungan

laut membantu tingkat pertumbuhan biomassa ikan (McClanahan et al. 2016). Ikan

target atau biasa disebut dengan ikan konsumsi sangat bermanfaat bagi

perekonomian masyarakat pesisir. Kehadiran atau ketidakhadiran kelompok ikan

11%

29%

60%

Indikator

Mayor

Target

Page 30: Status Ekosistem Terumbu Karang

24

target dapat menjadi indikator yang baik terhadap tingkat gangguan dan tekanan yang

berasal dari antropogenik (Obura dan Grimsdith 2009). Jumlah kelimpahan ikan target

yang rendah dapat mengakibatkan oleh penangkapan yang intensif oleh nelayan

sekitar. Oleh karena itu DPL berfungsi sebagai zona atau daerah terlarang bagi

aktivitas yang bersifat mengambil hasil laut.

Keterkaitan ikan terumbu dengan tutupan karang keras

Madduppa et al. (2012b) mengatakan bahwa perubahan struktur komunitas

ikan terumbu dapat menunjukkan variasi faktor lingkungan karena ikan terumbu

memiliki sifat yang terintegrasi dengan kondisi terumbu karang di suatu perairan.

Gambar 16 memperlihatkan hubungan dari tutupan karang keras dengan kelimpahan

ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi. Kedua variabel memiliki korelasi positif yang

sangat tinggi (r = 0,98). Korelasi yang mendekati angka satu menandakan bahwa nilai

keterkaitan tersebut sangat kuat (Sugiyono 2006). Korelasi bernilai positif yang berarti

apabila persentase tutupan karang meningkat, maka akan mempengaruhi kelimpahan

ikan terumbu. Sungkawa (2013) menjelaskan bahwa nilai positif kedua faktor

memperlihatkan adanya hubungan searah.

Gambar 16. Hubungan linear antara tutupan karang keras (%) dengan kelimpahan ikan terumbu (Ind/ha)

Jenis dan kelimpahan ikan terumbu sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan

perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi

dengan organisme bentik sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan

perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan makanan, maka

keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi, hal ini juga yang

memperjelas tingginya potensi keanekaragaman hayati khususnya pada ekosistem

terumbu karang. Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan terumbu,

y = 110,4x + 4920,1r = 0,98 R² = 0,973

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00

Kelim

pah

an

ikan

teru

mb

u (

Ind

/ha)

Persentase tutupan karang keras (%)

Page 31: Status Ekosistem Terumbu Karang

25

karena sebagian besar populasi ikan terumbu mengadakan rekruit secara langsung

dalam terumbu karang (Madduppa 2014).

Stadia planktonik ikan terumbu selalu berada pada substrat karang, seperti ikan-

ikan Scaridae, Acanthuridae, Siganidae, Chaetodontidae, Pomacantidae dan banyak

jenis dari ikan Labridae dan Pamacentridae. Walaupun banyak yang tidak berasosiasi

langsung dengan karang, tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan

struktur khusus dan keadaan biotik dari karang. Keberadaan ikan terumbu dipengaruhi

oleh kondisi atau kualitas karang sebagai habitatnya (Choat 1991). Keberadaan DPL

yang efektif dan pengelolaan baik akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem

terumbu karang di wilayah pesisir (Aburto-oropeza 2011). Kondisi terumbu karang

yang baik akan berdampak baik bagi komunitas ikan terumbu (Madduppa et al.

2012b). Tidak dilakukannya penangkapan yang tidak ramah lingkungan dengan

menggunakan bom ikan juga akan membantu untuk mengurangi kerusakan terumbu

karang (Fahlevy et al. 2017a).

Gambar 17. Ikan terumbu yang hidup di sekitar terumbu karang d DPL Pulau Umang

STATUS EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Salah satu fungsi dari DPL adalah menjadi daerah perlindungan bagi

keberadaan biota tersebut. Jenis-jenis biota laut yang dilindungi mengacu pada

Peraturan Pemerintah N0 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan

Satwa dan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi seperti Convention on

International Trade in Endangered Species (CITES). CITES atau yang biasa disebut

konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies

terancam adalah perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang

anggota World Conservation Union. Fungsi utama dari CITES adalah memberikan

perlindungan pada spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan

Page 32: Status Ekosistem Terumbu Karang

26

internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan

membahayakan kelestarian spesies tersebut.

Perlindungan tersebut berupaya untuk menjaga dan menjamin keberadaan,

ketersediaan, dan kesinambungan jenis-jenis hewan yang dilindungi. Perlindungan

juga berfungsi untuk mencegah keberadaan suatu spesies dari kepunahan. Selain

kedua hal tersebut setiap jenis terumbu karang dan ikan terumbu memiliki status

spesies terhadap tren dan ancaman untuk memberitahu dan mempercepat tindakan

dalam upaya konservasi. Status tersebut digagas oleh International Union for

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang merupakan organisasi

internasional yang bergerak di konservasi alam. Tabel 8. Menjelaskan status biota

laut yang ditemukan di DPL Pulau Sebesi.

Tabel 8. Status Biota Laut di DPL Pulau Sebesi

Jenis Biota CITES PP No. 7/1999

Kima sisik (Tridacna squamosa) II D

Penyu hijau (Chelonia mydas) I D

Genera Karang CITES PP No. 7/1999

Acropora II TD

Ctenactis II TD

Echinopora II TD

Favia II TD

Fungia II TD

Heliopora II TD

Montipora II TD

Pocillopora II TD

Porites II TD

Seriatopora II TD

Spesies Ikan Terumbu CITES PP No. 7/1999

Abudefduf sexfasciatus None TD

Abudefduf vaigiensis None TD

Acanthurus leucosternon None TD

Acanthurus nigrofuscus None TD

Amblyglyphidodon curacao None TD

Caesio teres None TD

Canthigaster valentini None TD

Cephalopholis argus None TD

Chaetodon auriga None TD

Chaetodon lunulatus None TD

Chaetodon octofasciatus None TD

Chromis viridis None TD

Dascyllus aruanus None TD

Dascyllus trimaculatus None TD

Dischistodus fasciatus None TD

Dischistodus perscipillatus None TD

Dischistodus prosopotaenia None TD

Epinephelus fasciatus None TD

Page 33: Status Ekosistem Terumbu Karang

27

Halichoeres hortulanus None TD

Halichoeres melanurus None TD

Halichoeres richmondi None TD

Heniochus pleurotaenia None TD

Heniochus varius None TD

Hipposcarus harid None TD

Labroides dimidiatus None TD

Lutjanus bengalensis None TD

Lutjanus fulviflamma None TD

Lutjanus kasmira None TD

Myripristis berndti None TD

Naso lituratus None TD

Ptereleotris evides None TD

Neoglyphidodon nigroris None TD

Neoglyphidodon oxyodon None TD

Parupeneus macronema None TD

Pempheris vanicolensis None TD

Plectorhinchus vittatus None TD

Pomacentrus alexanderae None TD

Pomacentrus brachialis None TD

Pomacentrus moluccensis None TD

Pomacentrus nagasakiensis None TD

Scolopsis bilineata None TD

Scolopsis lineatus None TD

Thalassoma lunare None TD

Zanclus cornutus None TD

Zebrasoma scopas None TD

Keterangan: D = Dilindungi, TD= Tidak di Lindungi NA= Not Assessed, LC= Least Concern,

None= Belum terevaluasi

Kima sisik (Tridacna squamosa) ditemukan di DPL Pulau Umang dengan ukuran

35 cm. Kima sisik merupakan biota laut yang dilindungi berdasarkan PP No. 9 Tahun

2009. Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam

sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan manusia (Ambariyanto,

2007). Kima berasal dari kelas Bivalvia/Pelecypda yang ditandai dengan adanya dua

cangkang yang saling berpasangan simetris. Cangkang Kima terbuat dari zat kapur

yang terdiri dari tiga jenis kristal; kalsit, aragonit, dan vaterit. Bagian dalam insang

adalah otot-otot dan jaringan yang lunak, sehingga di jaha dengan cangkang yang

keras. Otot-otot kima yang terbesar berfungsi untuk membuka dan menutup

cangkang. Kima meliliki lapisan pembungkus daging yang berwarna-warni dan jika

terkena sinar matahari atau lampu akan terlihat menarik. Berdasarkan penuturan

pengurus BP DPL Pulau Sebesi, di DPL Gosong Sawo dan Pulau Umang juga sering

dijumpai jenis penyu hijau (Chelonia mydas). Jenis ini juga termasuk biota laut yang

dilindungi berdasarkan PP No. 9 Tahun 2009. Ekosistem terumbu karang di DPL

Page 34: Status Ekosistem Terumbu Karang

28

Gosong Sawo dan Pulau Umang yang relatif terjaga ditengarai telah menjadi daya

tarik bagi penyu hijau untuk mencari sumber makanan.

Gambar 18. Kima Sisik yang ditemukan di DPL Pulau Umang

Dari seluruh genera karang yang ditemukan termasuk ke dalam Apendiks-II, dan

tidak ada genera karang yang di lindungi dalam PP No. 9 Tahun 1999. Status

perlindungan di Appendix-II CITES menunjukkan bahwa jenis-jenis karang ini

memang belum tentu terancam punah tetapi cukup rentan sehingga perdagangan

karang-karang ini perlu dikontrol secara ketat. Perdagangan internasional dalam

spesimen spesies Appendix-II dapat disahkan dengan pemberian izin ekspor atau

sertifikat ekspor di bawah otoritas CITES. Izin atau sertifikat hanya boleh diberikan

jika pihak yang bersangkutan dapat menunjukkan bahwa perdagangan tersebut tidak

akan mengancam kelangsungan hidup jenis-jenis ini di alam liar dan kondisi-kondisi

tertentu terpenuhi.

Pada penelitian yang dilakukan saat ini, taksonomi terumbu karang hanya

mencapai tingkat genus, sedangkan status dari IUCN terdiri dari spesies, sehingga

status tersebut tidak dimunculkan pada terumbu karang. Dari total seluruh ikan

terumbu yang ditemukan terdapat 29 spesies ikan yang masuk ke daftar LC atau least

concern, dan 16 spesies ikan belum di nilai oleh IUCN, sedangkan tidak ada spesies

ikan yang masuk ke dalam CITES. Apendiks-II adalah daftar spesies yang tidak

terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut

tanpa adanya pengaturan. Least concern atau risiko rendah merupakan kategori jika

telah dievaluasi berdasarkan kriteria risiko, dan tidak memenuhi syarat sebagai

kategori kritis, genting, rentan, maupun hampir terancam.

Page 35: Status Ekosistem Terumbu Karang

29

BAB 4

KESIMPULAN

Persentase karang keras dari seluruh stasiun DPL sebagian besar masih

tergolong kategori baik kecuali stasiun DPL Kayu Duri. Karang dengan bentuk

pertumbuhan ACB (Acropora branching) ditemukan paling mendominasi di seluruh

stasiun DPL Sebesi, begitu pula dengan genus karang Acropora yang ditemukan di

semua stasiun DPL. Indeks kematian karang di seluruh stasiun masih tergolong kecil

kecuali DPL Kayu Duri. Kerusakan karang di DPL Kayu Duri dapat disebabkan oleh

kondisi arus, gelombang yang kuat serta kecerahan perairan tersebut. Persentase

tutupan karang keras memiliki peningkatan dari data pengamatan sebelumnya

Kelimpahan, dan biomassa ikan terumbu tertinggi ditemukan di lokasi DPL

Sianas, selain itu selang ukuran ikan terumbu di DPL Sianas lebih beragam

dibandingkan stasiun DPL Lainnya. Begitu pula dengan indeks keanekaragaman, dan

keseragaman tertinggi ditemukan di DPL Sianas, dengan nilai indeks dominansi paling

rendah daripada stasiun DPL Lainnya. Dari seluruh kelimpahan ikan terumbu di DPL

Sebesi, Ikan target merupakan ikan dengan biomassa tertinggi berdasarkan tipe

pemanfaatannya. Keberadaan ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi berketerkaitan

dengan persentase tutupan karang keras.

Di DPL Pulau Sebesi ditemukan jenis hewan yang dilindungi berdasarkan PP

No. 7/1999 yaitu kima sisik (Tridacna squamosa) dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Secara keseluruhan, ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang

dilindungi mengingat manfaat dan fungsinya terhadap sumberdaya pesisir dan lautan.

Page 36: Status Ekosistem Terumbu Karang

30

BAB 5

IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI

Penyusunan rencana program konservasi

Kegiatan konservasi di Pulau Sebesi berorientasi pada pemulihan dan

peningkatan kualitas ekosistem laut sekaligus penumbuhan kepedulian, peningkatan

kemampuan SDM, serta perubahan paradigma konservasi alam bagi masyarakat

sekitar yang bersentuhan langsung dengan sumber daya laut di Pulau Sebesi.

Gambar 18. MoU kerja sama pengelolaan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut dengan lembaga masyarakat BP DPL

Pelibatan masyarakat dan sinergitas dengan stakeholder pemerintah selalu

dipertimbangkan dalam setiap tahap kegiatan konservasi, dari penyusunan rencana

program konservasi hingga pelaksanaan dan monitoring. Salah satu kegiatan

pemerintah yang dilakukan di Pulau Sebesi adalah pemantauan terumbu karang. Hal

tersebut telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loka PSPL

Serang (Gambar 19). PLTU Tarahan bersama masyarakat dan bersinergi dengan

pemerintah menyusun Rencana Strategis 2017-2022 dan Rencana Kerja 2017-2018

konservasi keanekaragaman hayati sebagai mana terlampir di lampiran 2 dan

lampiran 3.

Manfaat yang dirasakan masyarakat oleh kegiatan konservasi tersebut salah

satunya adalah di sektor wisata. Hingga saat ini wisata yang datang ke Pulau Sebesi

cukup meningkat, setiap minggu dalam satu bulan Pulau Sebesi selalu kedatangan

tamu baik dalam negeri atau turis asing. Kegiatan wisata lebih banyak dilakukan

Page 37: Status Ekosistem Terumbu Karang

31

berupa snorkling sekitar kawasan konservasi, dampak dari wisata tersebut

mempengaruhi pendapatan masyarakat Pulau Sebesi.

Gambar 20. Partisipasi pemerintah (Loka PSPL Serang) dalam melaksanakan pemantauan ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi

Pemantauan dan pengelolaan ekosistem

Pemantauan tutupan karang keras dilakukan dengan membentangkan transek

sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai (Gambar 20). Pencatatan substrat

dasar terumbu dilakukan pada setiap cm transek tersebut. Substrat terumbu karang

dicatat berupa tipe pertumbuhan dan jenis karang pada tingkat taksonomi genus

(Gambar 21). Kegiatan pengamatan terumbu karang, ikan terumbu (Gambar 22)

dilakukan bersama dengan masyarakat sekitar. Selain itu beberapa kegiatan seperti

transplantasi karang (Gambar 23) dan pemasangan fish aggregating device (Gambar

24) juga dilakukan dengan partisipasi masyarakat Pulau Sebesi

Page 38: Status Ekosistem Terumbu Karang

32

Gambar 19. Persiapan plot transek yang mewakili populasi DPL Sebesi

Gambar 20. Pencatatan substrat dasar

Page 39: Status Ekosistem Terumbu Karang

33

Gambar 21. Monitoring keanekaragaman hayati laut bersama masyarakat

Gambar 22. Transplantasi terumbu karang bersama masyarakat

Page 40: Status Ekosistem Terumbu Karang

34

Gambar 23. Fish Agregation Device

Gambar 24. Pelaksanaan pemasangan FAD

Page 41: Status Ekosistem Terumbu Karang

35

Pengamanan kawasan

Kegiatan pengamanan kawasan berupa patroli dengan menggunakan kapal yang

dilakukan dengan cara mengelilingi wilayah DPL Pulau Sebesi. Pengawasan tersebut

dilakukan untuk mencegah kegiatan yang memasuki kawasan DPL. Kawasan DPL merupakan

kawasan yang tidak boleh dilakukannya kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan patroli biasa

dilakukan oleh badan pengurus DPL Sebesi dengan partisipasi masyarakat sekitar. Patroli juga

melakukan pengawasan terhadap kegiatan perikanan yang merusak seperti penggunaan bom

yang dilakukan oleh nelayan saat menangkap ikan.

.

Gambar 25. Patroli pengamanan kawasan konservasi laut

Page 42: Status Ekosistem Terumbu Karang

36

DAFTAR PUSTAKA

Alimudin. 2008. Kondisi substrat dasar dan ikan karang di daerah perlindungan laut

Pulau Sebesi, Lampung. [Skripsi] Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Alva S, Johnson K, Jacob A, D’Agnes H, Mantovani R, Evans T. 2015. Marine

protected areas and children’s dietary diversity in the Phillipines. Popul Environ.

DOI 10.1007/s11111-015-0240-9.

Beeden R, Willis BL, Raymundo IJ, Page CA, Weil E. 2008. Underwater cards for

assessing coral health on Indo-Pacific Reefs. Coral Reef Targeted Research and

Capacity Building for Management Program. 26p.

Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reefs at Risk In Southeast Asia. Cambridge (UK):

World Resources Institute. 72 pp.

Bruckner AW, Dempsey AC. 2015. The Status, Threats, And Resilience Of Reef-

Building Corals Of The Saudi Arabian Red Sea. In: Rasul NMA, Stewart ICF.

(Eds.), The Red Sea. Springer, Berlin Heidelberg, pp. 471–486.

Chirico AAD, McClanahan TR, Eklo¨f JS. 2017. Community- and government-

managed

marine protected areas increase fish size, biomass and potential value. PLoS

ONE. 12(8): e0182342. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0182342

Choat JH. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. In: The Ecology of Fishes on Coral Reef, Sale PF. San Diego: Academic Press.

Clark S, Edwards A J. 1995. Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation:

evaluation of a case study in the Maldive Islands. Coral Reefs. 14: 201–213.

Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H.2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah

Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu . Jurnal Iktiologi Indonesia.

3(2).

Dinsdale EA, VJ. Harriott. 2004. Assessing anchor damage on coral reefs: a case

study in the selection of environmental indicators. Environmental Management,

33: 126-139.

Edinger EN, Limmon GV, Jompa J, Widjatmoko W, Heikoop JM, Risk MJ. 2000.

Normal coral growth rates on dying reefs: are coral growth rates good indicators

of reef health?. Marine Pollution Bulletin. 40(5): 404-425.

English S, Wilkinson C, Baker, V. 1997. Survey manual for Tropical Marine Resources.

Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science (AIMS).

Erftemeijer PLA, Riegl B, Hoeksema BW and Todd PA. 2012. Environmental impacts

of dredging ang other sediment disturbances on corals:a review. Marine Pollution

Bulletin. 64:1737-1765.

Estradivari, Mardesyawati A, Santoso B, Setyawan E, Fadila .2009. Terumbu Karang

Jakarta. Jakarta (ID): Yayasan TERANGI.

Fahlevy K, Khodijah S, Nasrullah IA, Fathihatunnisa R, Subhan B, Madduppa HH.

2017a. Site and depth influence on reef structure and composition in Seribu

Islands, Jakarta. AJAS, 2(1):28-38. Doi:10.13170/ajas2.1.8212.

Page 43: Status Ekosistem Terumbu Karang

37

Fahlevy K, Prabowo B, Santoso P, Subhan B, Madduppa H. 2017b. Penilaian struktur

komunitas dan keterkaitan ikan terumbu pada terumbu karang di Pulau Tunda,

Banten. Prosiding seminar nasional ekosistem perairan Teluk Lada dan Pulau

Tunda, Banten Juli 2017.

Giyanto, Manuputty AEW, Abrar M, Siringoringo RM, Suharti SR, Wibowo K, Arbi

INEUYA, Cappenberg HAW, Sihaloho HF, Tuti Y, Anita DZ. 2014. Panduan

Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. Jakarta (ID): COREMAP CTI LIPI

Giyanto, Abrar M, Hadi TA, Budiyanto A, Hafizt M, Salatalohy, Iswari MY. 2017. Status

Terumbu Karang Indonesia 2017. Jakarta (ID): Puslit Oseanografi - LIPI. ix + 30

hlm.

Guzman HM, Burns KA, Jackson JBC. 1994. Injury, regeneration and growth of

Caribbean reef corals after a major oil spill in Panama. Marine Ecology Progress

Series. 105, 231–241.

Gomez ED, Yap HT. 1994. Monitoring Reef Conditions. In: Kenchington, R.A and B.

E. T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office

for Science and Technology for South-East Asia.

Graham NAJ, McClanahan TR, MacNeil MA, Wilson SK, Polunin NVC, et al. 2008.

Climate warming, marine protected areas and the ocean-scale integrity of coral

reef ecosystems. PLoS ONE 3(8): e3039. doi:10.1371/journal.pone.0003039.

Halford AR, Thompson AA. 1994. Visual census surveys of reef fish. Long-term

monitoring of the Great Barrier Reef. Townsville (AU): Australian Institute of

Marine Science (AIMS).

Halpern BS. 2003. The impact of marine reserves: do reserves work and does

reserve size matter?. Ecological Applications. 13: S117–S137.

Hariri MSB. 2012. The Present Status of the Red Sea Coral Reefs between Haql and

Yanbu, Saudi Aarabia. Life Science Journal, 9(4): 3852-2859.

Hastings A, Gaines SD, Costello C. Marine reserves solve an important bycatch

problem in fisheries. Proc Natl Acad Sci USA.114(34):8927–8934.

Hicks CC, McClanahan TR, Cinner J, Hills JM. 2009. Trade-offs in values assigned to

ecological goods and services associated with different coral reef management

strategies. Ecology and Society. 14.

Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods For Ecological Monitoring of Coral Reefs. A

Resource For Managers. Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science.

p. 123.

Johan Y. 2016. Analisis kesesuaian dan daya dukung ekowisata bahari Pulau Sebesi,

Provinsi Lampung. DEPIK. 5(2): 41-47.

Kelble CR, Ortner PB, Hitchcock GL, Boyer JN. 2005. Attenuation of

photosynthetically available radiation (PAR) in Florida Bay: Potential for light

limitation of primary producers. Estuaries. 28(4):560–71.

[KEPMENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Penilaian Kondisi

Terumbu Karang. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Lenihan HS, Hench JL, Holbrook SJ, Schmitt RJ, Potoski M. 2015. Hydrodynamics

influence coral performance through simultaneous direct and indirect effects.

Ecology. 96: 1540–1549.

Page 44: Status Ekosistem Terumbu Karang

38

Lowe RJ, Falter JL, Monismith SG, Atkinson MJ. 2009. Wave-driven circulation of a

coastal reef–lagoon system. Journal Of Physical Oceanography. 39(4): 873-893

Madduppa HH, Agus SB, Farhan AR, Suhendra D, Subhan B. 2012a. Fish biodiversity

in coral reefs and lagoon at the Maratua Island, East Kalimantan. Biodiversitas.

13 (3): 145-150.

Madduppa HH, Ferse SCA, Aktani U, Palm HW. 2012b. Seasonal trends and fish-habitat associations around Pari Island, Indonesia: setting a baseline for environmental monitoring. Environmental Biology of Fishes, 95:383-398.

Madduppa H. 2014. Bioekologi dan Biosistematika Ikan Terumbu. Bogor (ID): IPB Press.

Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden: Blackwell Publishing.

Mardasin W, Ulqodry TZ, Fauziya.2011. Studi keterkaitan komunitas ikan karang

dengan kondisi karang tipe acropora di perairan Sidodadi dan Pulau Tegal, Teluk

Lampung Kab. Pesawaran, Provinsi Lampung. Mas Jour.03(2011):42-50.

Martı´nez ML, Intralawan A, Va´zquez G, Pe´rez-Maqueo O, Sutton P, Landgrave R.

2007. The coasts of our world: ecological, economic and social importance.

Ecological Economics. 63(2–3):254–72.

https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2006.10.022

McClanahan TR .2004. The relationship between bleaching and mortality of common

corals. Mar Biol. 144: 1239–1245.

McClanahan TR, Ateweberhan M, Graham NAJ, Wilson SK, Sebastian CR,

Guillaume MMM, Bruggemann JH. 2007. Western Indian Ocean coral

communities: bleaching responses and susceptibility to extinction. Mar Ecol Prog

Ser. 337: 1213.

McClanahan TR, Maina JM, Graham NAJ, Jones KR. 2016. Modeling reef fish

biomass,

recovery potential, and management priorities in the Western Indian Ocean.

PLoS ONE 11(5): e0154585. doi:10.1371/journal.pone.0154585.

Mukhtasor M. 2006. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita

Mumby PJ, Harborne AR, Williams J, Kappel CV, Brumbaugh DR, Micheli F, Holmes

KE, Dahlgren CP, Paris CB, Blackwel PG. 2007. Trophic cascade facilitates coral

recruitment in a marine reserve. Proc Natl Acad Sci USA 104: 8362–8367.

Noble MM, van Laake G, Berumen ML, Fulton CJ. 2013. Community Change

within a Caribbean Coral Reef Marine Protected Area following Two Decades of

Local Management. PloS ONE. 8(1): e54069.

doi:10.1371/journal.pone.0054069.

Nugues MM, Roberts CM. 2003. Coral mortality and interaction with algae in relation

to sedimentation. Coral Reefs. 22: 507–516.

Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of coral reefs – Assessment

protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress.

Switzerland : IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN,

Gland. 70 hlm.

Page 45: Status Ekosistem Terumbu Karang

39

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology (3rd Eds). Philadelphia: Saundres Co

Odum EP. 1983. Basic Ecology. New York : Saunders College Publishing. Oktarina A, Kamal E, Suparno. 2014. Study of coral reefs condition and their

management strategies in Panjang island, Air Bangis, West Pasaman district.

J Nat In. 16(1):23-3.

Rembet UNWJ, Boer M, Bengen DG, Fahrudin A.2011. Struktur komunitas ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Putus-Putus Sulawesi Utara. Jur Per dan Kel Trop.

Riegl BM, Sheppard CRC, Purkis SJ. 2012. Human Impact on Atolls Leads to Coral

Loss and Community Homogenisation: A Modeling Study. PLoSONE. 7(6):

e36921.

doi:10.1371/journal.pone.0036921.

Selig ER, Bruno JF. 2010. A Global analysis of the effectiveness of marine protected

areas in preventing coral loss. PLoS ONE. 5(2): e9278.

doi:10.1371/journal.pone.0009278.

Setyawan E, Yusri S, Timotius S (ed.). 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan

Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009). Jakarta (ID):

Yayasan TERANGI. vi+102 pp.

Soler GA, Edgar GJ, Thomson RJ, Kininmonth S, Campbell SJ, Dawson TP, et al.

2015. Reef fishes at all trophic levels respond positively to effective marine

protected areas. PLoS ONE. 10(10): e0140270.

doi:10.1371/journal.pone.0140270

Subhan B, Rahmawati F, Arafat D, Bayu NA. 2011. Coral health condition of family

Fungiidae on Pramuka Island, Seribu Islands. JTPK. 2 (1) : 41-50.

Subhan B, Khair M, Madduppa H, Nurjaya IW, Ardiwijaya RL, Prabuning D, Anggoro

AW, Arafat D. 2016. Terumbu Karang Tulamben. Bogor (ID): IPB PRESS. 170

hlm.

Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): CV Alfabeta.

Suharsono .2008.Bercocok Tanam Karang dengan Transplantasi. LIPI press, Jakarta

(ID).

Syarif LM. 2009.Promotion and management of marine fisheries in Indonesia. In:

Winter G, editor. Towards Sustainable fisheries law: a comparative analysis.

Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature (IUCN):31–

82.

Tanzil JTI, Chou LM. 2004. The status of coral reefs of Pulau Banggi, Pulau Malawali

and the vicinity, Sabah, based on surveys in June 2004. REST technical report

no. 6 2004. Singapore (SG): National University of Singapore.

Thamrin.2006. Karang Biologi Reproduksi & Ekologi. Pekanbaru (ID): Minamandiri

Press..

Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology (3rd Eds). Philadelphia: Saundres Co.

Pemda Provinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir

Lampung. Kerja sama Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dengan Proyek

Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung (ID): Pemda Provinsi

Lampung .96 pp.

Page 46: Status Ekosistem Terumbu Karang

40

[PERMENKPRI] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

2009. Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Jakarta (ID): Menteri

Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Piquero AS, Delan GG, Rica RLV, Corrales CM, Monte IA. 2015. Coral lifeform

structure in selected Marine Protected Areas in Southern Cebu, Philippines.

Tropical Technology Journal, 19(1): 1-4.

Prasetia IND. 2012. Rekrutmen karang di kawasan wisata Lovina. JST. 1(2): 61-72

Waheed Z, van Mil HGJ, Syed Hussein MA, Jumin R, Golam Ahad B, Hoeksema BW.

2015. Coral reefs at the northern most tip of borneo: an assessment of

scleractinian species richness patterns and benthic reef assemblages. PLoS

ONE. 10(12): e0146006. doi:10.1371/journal.pone.0146006.

Walters CJ, Holling CS.1990. Large-scale management experiments and learning by

doing. Ecology. 71:2060–8.

Wiryawan B, Bengen DG, Yulianto I, Susanto HA, Mahi AK, Ahmad M. 2002. Profil

Sumber daya Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.

Penerbitan Khusus Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of

Rhode Island.Narraganset, Rhode Island. 49 halaman.

Page 47: Status Ekosistem Terumbu Karang

41

Page 48: Status Ekosistem Terumbu Karang
Page 49: Status Ekosistem Terumbu Karang

Lampiran

Lampiran 1. Biota Laut di DPL Sebesi

Chaetodon octofasciatus

Family : Chaetodontidae

Length : 5 – 10 cm

Diet : Coralivore

Group : Indicator

Pomacentrus mollucensis

Family : Pomacentridae

Length : 5 – 10 cm

Diet : Omnivore

Group : Mayor

Labroides dimidiatus

Family : Labridae

Length : 5 – 10 cm

Diet : Carnivore

Group : Mayor

Amblyglyphidodon curacao

Family : Pomacentridae

Length : 5 – 10 cm

Diet : Planktivore

Group : Mayor

Page 50: Status Ekosistem Terumbu Karang

Acropora sp.

Family : Acroporidae

Ordo : Scleractinia

Genus : Acropora

Echinopora sp.

Family : Meruliniidae

Ordo : Scleractinia

Genus : Echinopora

Porites sp.

Family : Poritiidae

Ordo : Scleractinia

Genus : Porites

Xenia sp.

Family : Xeniidae

Ordo : Alcyonacea

Genus : Xenia

Page 51: Status Ekosistem Terumbu Karang

Lampiran 2. Rencana Strategis Konservasi Keanekaragaman Hayati 2017-2022 di DPL Sebesi

Nama Program

Metode PIC Tujuan

Program

Target

2017-2018 2018-2019 2019-2020 2020-2021 2021-2022

Pengembangan Sumberdaya Manusia & Organisasi

Awareness, InHouse Training, Coaching

Meily Priliani

Penumbuhan kepedulian, peningkatan kemampuan SDM, perubahan paradigma

Satu kali inhouse training KEHATI Terbentuk Tim KEHATI Lintas Departemen

Satu kali inhouse training KEHATI dan sosialisasi untuk peningkatan kesadaran

Pengamanan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi

Patroli - Seksi Patroli BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan

Menurunkan angka pelanggaran di Daerah Perlindungan Laut

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Menyusun Basis Data Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Pengamatan langsung ekosistem terumbu karang

- Seksi Perencanaan BP DPL - Hayyu Dini - PLTU Tarahan

Mengetahui dan memutakhirkan informasi kondisi ekosistem terumbu karang

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Page 52: Status Ekosistem Terumbu Karang

Nama Program

Metode PIC Tujuan

Program

Target

2017-2018 2018-2019 2019-2020 2020-2021 2021-2022

Kerja sama dengan Institusi Pendidikan dan penelitian

Penawaran kerja sama, diskusi, publikasi

Meily Priliani

1) melibatkan perguruan tinggi dalam penelitian kehati 2) Publikasi hasil kegiatan kehati melalui jurnal, koran, dll

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi

Peningkatan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Pembuatan dan penempatan Fish Agregation Devices

- Seksi Perencanaan BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan

Menyediakan ruang hidup untuk ekosistem terumbu karang

Penempatan 50 set FAD

Penempatan 50 set FAD

Penempatan 100 set FAD

Pengelolaan Ekowisata di Daerah Perlindungan Laut

- Forum Diskusi, Focus Discussion groups, rapat

- Kepala BP DPL - Meily Priliani

Menyusun aturan pemanfaatan DPL untuk ekowisata

- Kajian terhadap Pasal 6 SK Kepala Desa Tejang No 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002

Terbit peraturan terkait kegiatan ekowisata di DPL

Implementasi pengelolaan Ekowisata

Implementasi pengelolaan Ekowisata

Implementasi pengelolaan Ekowisata

Page 53: Status Ekosistem Terumbu Karang

Lampiran 3. Rencana Kerja Konservasi Keanekaragaman Hayati 2017-2018 di DPL Sebesi

Program Tujuan Sasaran Kegiatan Indikator Program

PiC Due Dat

e

Schedule

Semester II 2017 Semester I 2018

7 8 9 10

11

12

1 2 3 4 5 6

Pengembangan Sumber daya Manusia & Organisasi

Penumbuhan kepedulian, peningkatan kemampuan SDM, perubahan paradigma

Satu kali inhouse training KEHATI Terbentuk Tim KEHATI Lintas Departemen

Inhouse Training Keanekaragaman Hayati

70% pegawai mengikuti training

Meily Priliani

Pengamanan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi

Menurunkan angka pelanggaran di Daerah Perlindungan Laut

Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan

Melakukan patroli bersama

Patroli terlaksana sesuai jadwal

- Seksi Patroli BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan

Menyusun Basis Data Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Mengetahui dan memutakhirkan informasi kondisi ekosistem terumbu karang

Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali

Pengamatan ekosistem terumbu karang

Laporan hasil pengamatan

- Seksi Perencanaan BP DPL - Hayyu Dini - PLTU Tarahan

Page 54: Status Ekosistem Terumbu Karang

Kerja sama dengan Institusi Pendidikan dan penelitian

1) melibatkan perguruan tinggi dalam penelitian kehati 2) Publikasi hasil kegiatan kehati melalui jurnal, koran, dll

1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku

Penerbitan karya tulis ilmiah di Koran, Jurnal, atau buku

DPL sebesi dimuat di koran, jurnal atau buku

Meily Priliani

Peningkatan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Menyediakan ruang hidup untuk ekosistem terumbu karang

Penempatan 50 set FAD/Transplantasi karang

Pembuatan dan Penempatan 50 set FAD/ Transplantasi karang

terdapat planula dan/atau komunitas ikan karang di sekitar FAD/ Transplantasi karang

- Seksi Perencanaan BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan

Pengelolaan Ekowisata di Daerah Perlindungan Laut

Menyusun aturan pemanfaatan DPL untuk ekowisata

- Kajian terhadap Pasal 6 SK Kepala Desa Tejang No 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002

- Kepala BP DPL - Meily Priliani

Page 55: Status Ekosistem Terumbu Karang