Upload
others
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PULAU-PULAU KECIL
TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS
(Studi Kasus Pulau Badi dan Pajenekang,
Kabupaten Pangkep)
ADAPTATION STRATEGY OF SMALL ISLANDS
FISHERMAN TO ECOLOGICAL CHANGES
(Case Study Badi and Pajenekang Islands,
Pangkep Regency)
HENDRI STENLI LEKATOMPESSY
P0201211404
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PULAU-PULAU
KECIL TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS
(Studi Kasus Pulau Badi dan Pajenekang,
Kabupaten Pangkep)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Disusun dan diajukan oleh
HENDRI STENLI LEKATOMPESSY
P0201211404
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
TESIS
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PULAU-PULAU KECIL
TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS
(Studi Kasus Pulau Badi dan Pajenekang,
Kabupaten Pangkep)
Disusun dan diajukan oleh
HENDRI STENLI LEKATOMPESSY Nomor Pokok P0201211404
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 24 September 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasehat,
Prof. Dr.Ir. M. Natsir Nessa, MS Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin,
Dr. Ir. Roland A. Barkey Prof. Dr. Ir. Mursalim
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hendri Stenli Lekatompessy
Nomor Mahasiswa : P0201211404
Program Studi : Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar,
Yang menyatakan
Hendri Stenli Lekatompessy
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
pemilik segala kesempurnaan yang telah memberikan kesehatan, berkat,
dan rahmat yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik. Penelitian ini membahas mengenai strategi
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pulau-pulau kecil untuk menyiasati
berbagai dampak perubahan ekologis yang terjadi.
Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada istri tercinta
Abriyanti Christina Martha Pattiruhu,Amd.Kep, anak-anak tersayang Juan
Felix Lekatompesssy dan Joy Elizabeth Lekatompessy yang telah
memberikan dukungan dan perhatiannya selama penulis menyelesaikan
tesis ini serta segenap doa dan restunya yang senantiasa menemani
langkah penulis.
Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik berkat arahan, dukungan
dan partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. M. Natsir Nessa, MS selaku Ketua Komisi Penasehat dan
Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si selaku Anggota Komisi Penasehat yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan
penelitian dan penulisan tesis.
2. Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA, Dr. Rijal Idrus,M.Sc dan Dr. Munsi
Lampe, M.Si atas sarannya selama penyelesaian tesis.
vi
3. Camat Liukang Tupabiring, Kepala desa Mattiro Deceng yang telah
memberikan ijin penelitian, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pangkep, Kepala BPS Kabupaten Pangkep, Dg.Santa,
Raro dan Aldi yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin terima kasih atas segala bantuannya selama ini.
5. Teman-teman mahasiswa konsentrasi Manajemen Kelautan angkatan
2010, 2011 dan 2012 atas kebersamaan, bantuan dan masukannya
dalam penyelesaian tesis ini.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu tetapi tidak
dapat disebutkan satu persatu, dengan segala ketulusan hati yang paling
dalam penulis ucapkan terima kasih. Semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pembaca dan Tuhan yang Maha Kuasa memberikan
anugerah dan berkat kepada kita semua. Amin
.
Penulis
Hendri Stenli Lekatompessy
vii
ABSTRAK
Hendri Stenli Lekatompessy. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis (Studi Kasus Pulau Badi dan Pajenekang, Kabupaten Pangkep)(dibimbing oleh M. Natsir Nessa dan Andi Adri Arief). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi bentuk-bentuk perubahan ekologis Pulau Badi dan Pajenekang, (2) menganalisa dampak perubahan ekologis terhadap kegiatan nelayan (3) menganalisa strategi adaptasi nelayan Pulau Badi dan Pajenekang terhadap perubahan ekologis.
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Badi dan Pajenekang, Kabupaten Pangkep sejak Mei-Juli 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan penelitian adalah deskriptif dan strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Hasil penelitian menemukan bahwa perubahan ekologis di lokasi penelitian diakibatkan oleh berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya laut yang cenderung eksploitatif dan perubahan iklim. Bentuk-bentuk perubahan ekologis di lokasi penelitian berupa kerusakan terumbu karang dan peningkatan intensitas gelombang dan badai.
Berbagai bentuk perubahan ekologis tersebut menimbulkan dampak bagi kehidupan nelayan. Dampak yang ditimbulkan perubahan ekologis tersebut berupa abrasi di pemukiman penduduk, sulitnya menentukan daerah penangkapan, menurunnya hasil tangkapan, daerah penangkapan semakin jauh dan meningkatnya resiko melaut.
Strategi adaptasi yang diterapkan oleh nelayan Pulau Badi dan Pajenekang yaitu, menganekaragamkan alat dan teknik penangkapan, menganekaragamkan sumber pendapatan, memperluas daerah penangkapan, memobilisasi anggota rumah tangga serta memanfaatkan hubungan sosial. Kata Kunci : Strategi adaptasi, Perubahan ekologis, Nelayan
viii
ABSTRACT
Hendri Stenli Lekatompessy. Adaptation Strategy Of Small Islands
Fisherman To Ecological Changes (Case Study Badi and Pajenekang
Islands, Pangkep Regency)(supervised by M. Natsir Nessa and Andi
Adri Arief).
The aims of this research are (1) to identify forms of ecological change in Badi and Pajenekang Islands, (2) to analyze impact of ecological changes to fisherman activity (3) to analyze adaptation strategy of Badi and Pajenekang islands fisherman to ecological changes.
This research was conducted in Badi and Pajenekang islands, Pangkep Regency since Mei-Juli 2013. The research method used is quantitative and qualitative. Research is a descriptive approach and strategy used in this study is a case study.
The research result shows that there are ecological changes caused by The exploitative use of marine resources and climate change. Forms of ecological change at study sites are damage of coral reefs and increase in intensity wave and storm. The impact of ecological change are abrasion in residential areas, difficulty of determining fishing ground, declining catches, fishing ground further and increasing the risk of going to sea.
The Badi and Pajenekang islands fisherman adaptation strategies include diversification in fishing technique and equipment, diversification in economic source, expanding fishing ground, family members mobilization and social network utilization. Keywords : Adaptation strategy, Ecological change, Fisherman.
ix
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ........................................................................................ iii
ABSTRAK ......................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xiii
I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ............................................................. 5
E. Ruang Lingkup ....................................................................... 6
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7
A. Perubahan Ekologis ............................................................... 7
B. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis ...................................... 9
C. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Ekologis ..................... 12
D. Dampak Ekologis Perubahan Iklim .............. ........................ 16
E. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Ekologis.................. .... 18
F. Karakteristik Masyarakat Nelayan ......................................... 20
G. Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi
Nelayan ...... .......................................................................... 24
H. Konsep Adaptasi ............................................................... 28
I. Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi Nelayan ........................... 31
J. Kerangka Pikir Penelitian ..................................... ................. 43
x
K. Defenisi Operasional .............................................................. 46
III METODE PENELITIAN .............................................................. 49
A. Lokasi dan Waktu .................................................................. 49
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...................................... 50
C. Populasi dan Sampel ................................................... 51
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 52
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................... 53
IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ........................................ 55
A. Gambaran Umum Pulau Badi ................................................ 55
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam .................................. 55
2. Penduduk dan Mata Pencaharian .................................... 57
3. Sarana dan Prasarana ..................................................... 58
4. Armada dan Peralatan Tangkap Nelayan ........................ 60
5. Wilayah Penagkapan........................................................ 64
B. Gambaran Umum Pulau Pajenekang ................................. 66
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam .................................. 66
2. Penduduk dan Mata Pencaharian .................................... 67
3. Sarana dan Prasarana ..................................................... 68
4. Armada dan Peralatan Tangkap ...................................... 70
5. Wilayah Penagkapan........................................................ 74
C. Karakteristik Responden ..................................................... 76
1. Usia Responden .................................. ............................ 76
2. Pengalaman Responden Sebagai Nelayan ..................... 77
3. Lamanya Tinggal di Pulau ................................................ 78
4. Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden .................. 79
5. Jenis Armada Penangkapan ............................................ 81
V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 83
A. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis ................................... 83
1. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis Pulau Badi .............. 84
xi
2. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis
Pulau Pajenekang .......................................................... 91
B. Dampak Perubahan Ekologis ............................................. 97
1. Dampak Perubahan Ekologis Pulau Badi ........................ 97
2. Dampak Perubahan Ekologis Pulau Pajenekang ............ 108
C. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap
Perubahan Ekologis ............................................................... 116
1. Stratategi Adaptasi Nelayan Pulau Badi .......................... 116
2. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau Pajenekang ................. 137
V PENUTUP .................................................................................. 152
A. Kesimpulan ............................................................................ 152
B. Saran ...................................................................................... 153
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 154
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Interaksi Manusia dan Alam .................................................... 8
2. Kerangka Pikir Penelitian ........................................................ 45
3. Peta Lokasi Penelitian .............................................................. 49
4. Jenis Armada Penangkapan Nelayan Pulau Badi.................... 61
5. Jenis Alat Tangkap Nelayan Pulau Badi .................................. 63
6. Jenis Alat Tangkap Nelayan Pulau Pajenekang ...................... 73
7. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Badi
Tentang Kondisi Tutupan Karang Hidup .................................. 85
8. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Badi
Tentang Intensitas Gelombang dan Badai ............................... 90
9. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau
Pajenekang Tentang Kondisi Tutupan Karang
Hidup ........................................................................................ 92
10. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau
Pajenekang Tentang Intensitas Gelombang dan
Badai ........................................................................................ 95
11. Wawancara Nelayan Pulau Badi dan Pajenekang ................. 165
12. Hasil Tangkapan Nelayan ........................................................ 166
13. Pemukiman Penduduk yang Terkena Abrasi ........................... 167
14. Sarana dan Prasarana Pulau Pajenekang ............................... 168
15. Sarana dan Prasarana PulauBadi ............................................ 169
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Rincian Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ................. 52
2. Jumlah Penduduk Pulau Badi Berdasarkan Jenis
Kelamin .................................................................................. 57
3. Jenis Alat Tangkap dan Ikan Hasil Tangkapan
Nelayan Pulau Badi ................................................................ 64
4. Jumlah Penduduk Pulau Pajenekang
Berdasarkan Jenis Kelamin ................................................... 67
5. Jenis Alat Tangkap dan Ikan Hasil Tangkapan
Nelayan Pulau Pajenekang .................................................... 74
6. Jumlah dan Persentase Responden
Berdasarkan Usia ................................................................... 76
7. Jumlah dan Persentase Responden
Berdasarkan Pengalaman Sebagai Nelayan ......................... 77
8. Jumlah dan Persentase Responden
Berdasarkan Lamanya Tinggal di Pulau ................................ 78
9. Jumlah dan Persentase Responden
Berdasarkan Banyaknya Anggota Rumah
Tangga ................................................................................... 80
10. Jumlah dan Persentase Responden
Berdasarkan Jenis Armada Penangkapan ............................ 81
11. Persepsi Nelayan Pulau Badi Terhadap
Penyebab Kerusakan Terumbu Karang................................. 86
xiv
12. Matriks Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis
Pulau Badi .............................................................................. 91
13. Persepsi Nelayan Pulau Pajenekang Terhadap
Penyebab Kerusakan Terumbu Karang................................. 93
14. Matriks Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis
Pulau Pajenekang .................................................................. 97
15. Rata-Rata Hasil Tangkapan Nelayan Pulau Badi
Per Trip (Sebelum dan Sesudah Perubahan
Ekologis) ................................................................................. 101
16. Produksi Perikanan Tangkap Per Kecamatan di
Kabupaten Pangkep ............................................................... 102
17. Matriks Daerah Tangkapan Nelayan Pulau Badi
Setelah Perubahan Ekologis .................................................. 104
18. Jumlah Rumah Penduduk Pulau Badi Yang
Rusak Akibat Abrasi ............................................................... 105
19. Matriks Dampak Perubahan Ekologis Terhadap
Nelayan Pulau Badi ................................................................ 108
20. Rata-Rata Hasil Tangkapan Nelayan Pulau
Pajenekang Per Trip (Sebelum dan Sesudah
Perubahan Ekologis) .............................................................. 110
21. Matriks Daerah Tangkapan Nelayan Pulau
Pajenekang Setelah Perubahan Ekologis ............................. 112
22. Jumlah Rumah Penduduk Pulau Pajenekang
Yang Rusak Akibat Abrasi ..................................................... 114
xv
23. Matriks Dampak Perubahan Ekologis Terhadap
Nelayan Pulau Pajenekang .................................................... 116
24. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Alat
dan Teknik Penangkapan Nelayan Pulau Badi ..................... 120
25. Matriks Bentuk-Bentuk Perluasan Daerah
Penangkapan Nelayan Pulau Badi ........................................ 122
26. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman
Sumber Pendapatan Nelayan Pulau Badi ............................. 126
27. Matriks Bentuk-Bentuk Mobilisasi Anggota
Rumah Tangga Nelayan Pulau Badi Dalam
Mencari Nafkah ...................................................................... 128
28. Matriks Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi
Nelayan Pulau Badi Terhadap Perubahan
Ekologis .................................................................................. 135
29. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Alat
dan Teknik Penangkapan Nelayan Pulau
Pajenekang ............................................................................ 138
30. Matriks Bentuk-Bentuk Perluasan Daerah
Penangkapan Nelayan Pulau Pajenekang ............................ 140
31. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman
Sumber Pendapatan Nelayan Pulau Pajenekang ................. 144
32. Matriks Bentuk-Bentuk Mobilisasi Anggota
Rumah Tangga Nelayan Pulau Pajenekang
Dalam Mencari Nafkah ........................................................... 145
xvi
33. Matriks Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi
Nelayan Pulau Pajenekang Terhadap
Perubahan Ekologis ............................................................... 150
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Kebutuhan,Metode, Jenis dan Sumber Data ........................... 159
2. Lembar Kuesioner Penelitian ................................................... 160
3. Pedoman Wawancara Mendalam ............................................ 164
4. Dokumentasi Penelitian ........................................................... 165
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian
integral dari pembangunan kelautan dan perikanan perlu mendapat
perhatian dengan skala prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari
orientasi kebijakan perencanaan pembangunan nasional. Mengingat
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan tempat bermukim
sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir),
juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar karena
didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non hayati, sehingga
dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil
memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan ekologi, adminsitasi,
perencanaan, sosial, budaya dan hukum (Dahuri et al. 1996).
Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya
dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan
sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini memberikan dampak
yang cukup serius bagi kelangsungan hidup nelayan, terutama nelayan-
nelayan skala kecil. Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari
ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya pesisir dan laut
(Satria 2009).
Selain masalah degradasi lingkungan, nelayan juga dihadapkan
pada dampak perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan
2
nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang
tidak menentu dan hal ini beresiko mengubah stabilitas ekosistem, sosial
ekonomi masyarakat dan merusak fungsi planet bumi sebagai penunjang
kehidupan (Kusnadi, 2009; Satria, 2009).
Kepulauan Spermonde memiliki tingkat keragaman karang yang
cukup tinggi karena terdapat 78 genera dan sub genera, dengan total
spesies 262, seperti yang pernah dicatat oleh Moll (1983). Dilihat dari
tingkat penyebaran karang, sekitar 80 - 87% terdapat di daerah terumbu
terluar. Namun demikian, Jompa (1996) mencatat adanya pengurangan
tingkat penutupan karang hidup dan keragaman jenis (diversity) sebanyak
20 % dalam kurun waktu 12 tahun dibandingkan dengan yang dicatat oleh
Moll (1983), untuk beberapa lokasi yang sama.
Dari data COREMAP 2010, dilaporkan kondisi terumbu karang di
Kabupaten Pangkep 74,26% dalam kondisi rusak dan hanya 25,74%
dalam kondisi baik dari total luas keseluruhan terumbu karang sebesar
27.027,71 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena itu diperlukan
upaya maksimal dan secepat mungkin dalam mengatasi masalah
sehingga tidak akan kehilangan sumber keanekaragaman plasma nutfah,
ekosistem pendukung kehidupan dan penyangga sumberdaya pangan.
Dilihat dari perkembangan produksi perikanan tangkap Kabupaten
Pangkep, terjadi penurunan hasil yang signifikan dari tahun ke tahun
dengan besar laju penurunan produksi dalam kurun waktu lima tahun
(2007- 2011) sebesar tiga persen per tahun (BPS Kabupaten Pangkep,
3
2012). Penurunan produksi ini sejalan dengan penurunan kualitas
terumbu karang di perairan Kabupaten Pangkep.
Kemiskinan masyarakat nelayan diduga sangat berkaitan erat
dengan menurunnya hasil tangkapannya. Menurunnya hasil tangkapan
nelayan di Kabupaten Pangkep, khususnya di Pulau Badi dan Pajenekang
diduga disebabkan oleh kerusakan terumbu karang sebagai akibat dari
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yakni bahan
peledak (bom), bahan beracun (bius) dan pukat harimau (trawl).
Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan tersebut diduga
kuat telah merusak ekosistem terumbu karang dan organisme lain yang
bukan merupakan target penangkapan, sehingga hasil tangkapan
dirasakan menurun, baik dari ukuran ikan maupun jumlah tangkapan.
Komersialisasi jenis ikan tertentu dan meningkatnya permintaan terhadap
ikan telah mendorong berkembangnya usaha kenelayanan destruktif.
Disamping itu pula, terjadi kegiatan penambangan karang dan pasir
sebagai bahan bangunan menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu
karang.
Perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu air laut dan
tingkat keasaman air laut, berdampak terhadap pemutihan terumbu
karang atau coral bleaching. Kondisi terumbu karang yang buruk ini
menyebabkan berkurangnya jumlah dan jenis ikan yang dulu berlimpah di
perairan kedua pulau tersebut. Di wilayah Pulau Badi dan Pajenekang
gejala perubahan ekologis di wilayah laut yang dirasakan secara langsung
4
oleh para nelayan dan mempengaruhi aktivitas dan produksi perikanan
tangkap.
Menurunnya hasil tangkapan nelayan tersebut akan berdampak
terhadap berkurangnya penghasilan atau pendapatan nelayan, yang
diperkirakan akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarga.
Masyarakat nelayan Pulau Badi dan Pajenekang yang memiliki
kedekatan fisik, teritorial dan emosional terhadap sumberdaya laut diduga
melakukan strategi adaptasi menghadapi dampak perubahan ekologis
tersebut.
Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait
dengan kemampuan respon masyarakat nelayan terhadap perubahan
ekologis sangat penting untuk dipelajari, karena strategi adaptasi yang
dilakukan oleh nelayan memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya
terhadap persoalan-persoalan spesifik seperti ketidakpastian/fluktuasi
hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan. Strategi
adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan
perekonomian nelayan tetapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir
melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana bentuk-bentuk perubahan ekologis Pulau Badi dan
Pajenekang?
2. Bagaimana dampak perubahan ekologis terhadap kegiatan
nelayan?
3. Bagaimana strategi adaptasi nelayan Pulau Badi dan Pajenekang
terhadap perubahan ekologis?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk perubahan ekologis Pulau Badi
dan Pajenekang.
2. Menganalisa dampak perubahan ekologis terhadap kegiatan
nelayan.
3. Menganalisa strategi adaptasi nelayan Pulau Badi dan
Pajenekang terhadap perubahan ekologis.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai
pihak, diantaranya:
1. Bagi akademisi, dapat memberikan tambahan pustaka mengenai
perubahan ekologis di pulau-pulau kecil, dampak perubahan
ekologis terhadap nelayan dan strategi adaptasi nelayan terhadap
perubahan tersebut.
6
2. Bagi masyarakat luas, hasil dari penelitian ini dapat menjadi satu
model strategi adaptasi yang dapat bermanfaat bagi
pengembangan adaptasi perikanan tangkap di berbagai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di dunia serta persiapan/antisipasi
terhadap perubahan iklim.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan informasi yang
diharapkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang
menentukan kebijakan pembangunan, terutama pembangunan di
pesisir dan pulau-pulau kecil.
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan terhadap analisis tentang
bentuk-bentuk perubahan ekologis (perubahan kondisi terumbu karang
dan perubahan intensitas gelombang dan badai, dampak perubahan
ekologis terhadap aktivitas nelayan perikanan tangkap serta strategi
adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Ekologis
Pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keunikan fisik yang terdiri
dari daratan dan perairan (payau dan asin) dengan segala dinamikanya,
yakni yang didalamnya mengandung sumberdaya alam hayati (ikan,
mangrove, terumbu karang, padang lamun) dan non hayati (migas,
tambang, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya (transportasi laut,
pariwisata, batas negara, dan lain-lain). Seiring meningkatnya populasi
manusia serta kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya
perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Menurut Satria
(2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif,
baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari laut
tersebut.
Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari
interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran
(exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan
informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem
yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling
memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang
berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007). Ilustrasi dari interaksi
manusia dengan alam dapat dilihat pada gambar 1.
8
Gambar 1. Interaksi Manusia dan Alam (Marten, 2001)
Hubungan tersebut sering menimbulkan berbagai kerugian.
Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka
pemenuhan kebutuhan hidupnya (pangan, sandang dan papan).
Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi dan
informasi dari manusia dalam bentuk limbah yang lebih banyak
mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya yang ada di
bumi. Hal ini menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan yang
mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan.
Pertukaran materi, energi dan informasi sebagaimana digambarkan
di atas dapat menghasilkan kearifan lokal. Namun, tidak selamanya
proses pertukaran energi dan materi antara sistem sosial dan ekologi
berlangsung dan menghasilkan pengetahuan dalam suasana kearifan.
Pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat
mengantarkan manusia pada suatu fase, dimana manusia terdorong
9
untuk mengembangkan tindakan-tindakan manipulatif berbentuk complex
adaptive mechanism yang rumit.
B. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis
Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain:
1. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan sekumpulan biota karang hidup atau
mati sebagai tempat berlindung ikan dan daerah asuhan ikan. Total luas
terumbu karang di Indonesia mencapai 50.000 km2 yang merupakan
seperdelapan dari luas areal terumbu karang di dunia (Dahuri, 2003).
Terumbu karang mengalami banyak tekanan sebagai akibat dari pola
pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan.
Berdasarkan data Departemen Perikanan dan Kelautan, sekitar
70 % terumbu karang di laut Indonesia berada dalam kondisi rusak parah
dan hanya 30 % yang masih relatif bagus. Khusus di Sulawesi Selatan,
terumbu karang telah mengalami kerusakan yang lebih buruk, mencapai
sekitar 75 % yang umumnya disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak.
Nilai ekonomi ikan karang yang tinggi memicu masyarakat nelayan
untuk melakukan penangkapan ikan karang dalam jumlah besar dengan
menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang,
seperti pengeboman dan penggunaan racun sianida. Aktivitas
penangkapan ikan secara besar-besaran dapat menyebabkan
ketidakseimbangan jaring makanan pada ekosistem terumbu karang.
10
Selain ancaman antropogenik, ekosistem terumbu karang juga
mendapat tekanan secara alami. Jenis gangguan alami berupa penyakit,
acanthaster, coral bleaching dan perubahan iklim global.
Pemutihan karang (coral bleaching) adalah suatu fenomena dimana
hewan karang yang umumnya nampak berwarna kecoklatan atau
kekuningan tiba-tiba kehilangan warna atau memutih. Sebenarnya warna
putih ini adalah warna tulang yang terbentuk dari kalsium karbonat
(CaCO3). Jaringan dari hewan karang itu sendiri adalah transparan
sehingga warna hewan karang berasal dari pigmen alga bersel satu
(zooxanthella) yang bersimbiosis dengan dalam jaringan epidermis
karang. Oeh karena itu, gejala pemutihan karang merupakan proses
keluarnya zooxanthella meninggalkan hewan karang yang diakibatkan
oleh berbagai faktor, terutama peningkatan suhu air laut, rata-rata di atas
2oC selama beberapa hari. Karena zooxanthella pada umumnya
mensuplai sampai 90 % sumber energi (dari hasil fotosintesa) kepada
hewan karang, maka implikasi dari gejala pemutihan ini adalah hewan
karang tersebut mengalami kelaparan (Nessa dkk, 2012). Banyak hewan
karang tidak dapat bertahan hidup jika tingkat intensitas pemutihannya
sangat serius. Jika hewan karang yang mengalami pertumbuhan tersebut
dapat bertahan hidup, maka lambat laun akan kembali membangun
simbiosenya. Potensi dampak ekologis dari pemutihan karang dapat
menjadi sangat serius jika terjadi dalam skala yang sangat luas, seperti
yang terjadi pada pertengahan tahun 2010 di beberapa wilayah perairan
11
Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT,
NTB, Bali, Sumatera,dll (Nessa dkk, 2012).
Perubahan iklim dapat berdampak buruk pada ekosistem karang.
Menurut Chen (2008), lima faktor kunci yang dapat mempengaruhi
terumbu karang selama periode perubahan iklim, yaitu naiknya
permukaan laut, peningkatan suhu air laut, perubahan kelarutan mineral
karbonat, bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan menguatnya
badai dan arus.
2. Kerusakan Ekosistem Lamun
Keberadaan ekosistem lamun tidak terlepas dari gangguan dan
ancaman, baik berupa ancaman alami maupun dampak dari aktivitas
manusia. Ancaman alamiah dapat berupa meletusnya gunung berapi
yang dapat menghasilkan debu dan sedimen yang berpengaruh terhadap
kecerahan perairan, siklon, tsunami yang dapat merusak dasar perairan,
kompetisi dengan jenis lain dan pemangsaan oleh organisme herbivora.
Bencana alam seperti tsunami dapat menimbulkan gelombang
dahsyat yang menghantam dan memporakporandakan lingkungan pesisir,
seperti yang terjadi dalam tsunami Aceh pada tahun 2004. Debu letusan
gunung berapi seperti letusan gunung Tambora tahun 1815 dan Krakatau
pada tahun 1883 menyebabkan terselimutinya perairan pesisir dan
sekitarnya dengan debu tebal, hingga melenyapkan padang lamun di
sekitarnya (Nontji, 2010).
Nontji (2010) menguraikan empat penyebab utama kerusakan
ekosistem lamun yang berasal dari aktivitas manusia, yaitu : (1) kerusakan
12
fisik; (2) pencemaran; (3) penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan; (4) penangkapan secara berlebihan.
C. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Ekologis
Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil antara lain disebabkan oleh:
1) Pertumbuhan penduduk (WRI, 2002; Satria, 2009b)
Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap
tahunnya dan sebagian hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil mengakibatkan meningkatnya aktivitas manusia terutama
dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil. Meledaknya populasi penduduk 50 tahun
terakhir ini mendorong munculnya tekanan-tekanan dan
peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi akan sumberdaya yang
berasal dari darat maupun laut.
Pertumbuhan penduduk berdampak pada:
a. Meningkatnya kebutuhan terhadap konsumsi ikan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi ikan menyebabkan
terjadinya peningkatan intensitas penangkapan ikan secara
signifikan (Satria, 2009a; WRI, 2002). Peningkatan intensitas
penangkapan ikan secara signifikan menyebabkan munculnya
praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak yang berdampak
pada keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (WRI,
2002). Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan
pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang
13
memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang dan
ekosistem lainnya. Penangkapan ikan dengan racun akan
melepaskan racun sianida ke daerah terumbu karang, yang
kemudian akan membunuh atau membius ikan-ikan. Pengeboman
ikan dengan dinamit atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat
menghancurkan struktur terumbu karang dan membunuh banyak
sekali ikan yang ada di sekelilingnya (WRI, 2002).
b. Penambahan Jumlah Areal Pemukiman (Marzuki, 2002)
Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah
maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan
akan areal pemukiman (Marzuki, 2002).
c. Peningkatan volume pembuangan sampah cair/padat baik oleh
industri maupun rumah tangga (Dahuri et al., 1996) .
Pembuangan sampah rumah tangga dan pencemaran oleh limbah
pertanian menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut,
eutrofikasi, kekeruhan, dan matinya hewan-hewan air yang
berasosiasi dengan padang lamun. Selain itu, kemungkinan
terlapisinya pneumatofora dengan sampah akan mengakibatkan
kematian pohon-pohon mangrove. Pembuangan sampah padat
mengakibatkan perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan
sampah. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan
organisme lainnya.
14
2) Perubahan iklim (Satria, 2009b; WRI, 2002; Bengen, 2004)
Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam
ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur
(suhu) dan keasaman akibat penyerapan CO2 oleh lautan.
Peningkatan suhu permukaan laut telah menyebabkan pemutihan
karang yang lebih parah dan lebih sering (WRI, 2002). Perubahan
iklim berdampak pada:
a. Peningkatan suhu permukaan laut telah mengakibatkan
lebih seringnya terjadi pemutihan karang (coral bleaching)
dengan tingkat kerusakan lebih besar (WRI, 2002);
b. Kenaikan permukaan air laut berdampak pada kondisi sosial
ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (Satria,
2009b). Kenaikan air laut satu meter akan berdampak
pada 1,3 persen penduduk dunia dan merugikan senilai
1,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, satu
persen wilayah kota dan 0,4 persen lahan pertanian
(Dasgupta et al., 2007 dalam Satria, 2009b);
c. Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena
cuaca yang tidak menentu (Satria, 2009b).
3) Pengelolaan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil (Dahuri
et al., 1996; WRI, 2002).
Pengelolaan kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil dilakukan secara sektoral dan berorientasi
15
keuntungan jangka pendek secara maksimal. Selain itu, rendahnya
kualitas sumberdaya manusia dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga ikut memperparah kerusakan
yang terjadi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
4) Pencemaran dari laut (WRI, 2002; Dahuri et al., 1996)
Pencemaran dari laut disebabkan oleh aktivitas manusia yang
terjadi di laut. Adapun aktivitas yang mengancam ekosistem pesisir
dan pulau-pulau kecil antara lain:
a. Pencemaran dari pelabuhan
b. Pencemaran minyak
Pencemaran minyak di laut dapat berasal dari beberapa
sumber (DKP, 2005), yang meliputi: (i) tumpahan minyak
karena operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal,
(ii) pelimpasan minyak dari darat, (iii) terbawa asap, (iv)
eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi
minyak, (vi) tank cleaning, dan (vii) perembesan alami.
c. Pembuangan bangkai kapal
d. Pembuangan sampah dari atas kapal
e. Pelemparan jangkar kapal
Pelemparan jangkar kapal akan menghancurkan batu-
batu karang. Hal ini mengakibatkan hilangnya daerah
penangkapan ikan (fishing ground).
16
5) Bencana alam (Dahuri et al., 1996)
Bencana alam merupakan fenomena alami baik secara langsung
maupun tidak langsung yang mempengaruhi perubahan pada
lingkungan pesisir dan lautan.
D. Dampak Ekologis Perubahan Iklim
Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada
keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan
pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas
manusia maupun karena proses perubahan iklim (UNEP, 2009; Chen,
2008). Dampak-dampak ekologis yang ditimbulkan antara lain :
1. Naiknya permukaan air laut akibat meningkatnya suhu atmosfer
dan mencairkan lapisan gletser dan es abadi di kutub utara
(Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; IPCC, 2007; Chen, 2008; Tauli-
Corpuz, 2009; Satria, 2009). Kenaikan permukaan air laut ini
kemudian menyebabkan berbagai dampak sebagai berikut:
a. Kerusakan ekosistem mangrove akibat naiknya permukaan
air laut (Satria, 2009; Diposaptono, 2009; UNEP, 2009;
Tauli-Corpuz, 2009) yang kemudian menyebabkan
meningkatnya erosi pantai karena hilangnya peredam
ombak, arus serta penahan sedimen (Dipsaptono, 2009;
UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009).
b. Banjir, badai dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009).
17
c. Intrusi air laut ke daratan yang menyebabkan meningkatnya
salinitas air di sumber-sumber air tawar penduduk
(Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009).
2. Kenaikan suhu permukaan air laut (UNEP, 2009; Diposaptono,
2009; Chen, 2008) yang kemudian menyebabkan:
a. Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan
terumbu karang atau coral bleaching (Chen, 2008; UNEP,
2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz, 2009).
b. Perubahan upwelling, gerombolan ikan dan wilayah
tangkapan ikan (Chen, 2008; Diposaptono, 2009).
c. Perpindahan berbagai spesies hewan karena
ketidaksesuaian kondisi tempat hidup yang berubah akibat
meningkatnya suhu (Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-
Corpuz, 2009).
3. Menurunnya salinitas air laut (Chen, 2008; Satria, 2009) yang
kemudian menyebabkan perpindahan berbagai spesies hewan
karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidup yang berubah (Chen,
2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009).
4. Perubahan curah hujan, pola hidrologi dan pola angin (Chen, 2008;
Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Hal ini
kemudian menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas
badai di lautan (Chen, 2008; Diposaptono 2009).
5. Meningkatnya keasaman air laut (menurunnya pH lautan),
menyebabkan:
18
a. Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan
terumbu karang (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-
Corpuz, 2009) yang kemudian menyebabkan terganggunya
rantai makanan di lautan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009;
Chen, 2008; Tauli-Corpuz, 2009).
b. Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidupnya yang berubah, baik akibat kerusakan
terumbu karang, perubahan suplai nutrisi, serta menurunnya pH
(Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009).
E. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Ekologis
Berbagai kerusakan ekosistem menandakan telah terjadi
perubahan ekologis. Perubahan tersebut menyebabkan terganggunya
aktivitas masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan
kehidupannya kepada sumberdaya laut, baik secara ekonomi maupun
sosial. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan ekologis
antara lain:
1. Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat,
perubahan ekologis menyebabkan:
a. Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi
air laut ke daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007;
Diposaptono, 2009: Tauli-Corpuz, 2009).
b. Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa
oleh vektor dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan
demam berdarah (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009).
19
c. Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir
akibat banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai serta abrasi
(IPCC, 2007; Diposaptono, 2009). Dampak yang lebih buruk
akan dialami oleh masyarakat di pulau-pulau kecil.
2. Pada perikanan, perubahan ekologis berdampak terhadap :
a. Hilangnya/berkurangnya substrat yang menjadi sumber pakan,
rusaknya habitat terbaik, tempat mengasuh dan membesarkan
anak ikan serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut
di kawasan tersebut dan sekitarnya (Purwoko, 2005);
b. Penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan secara
signifikan (Purwoko, 2005);
c. Berkurangnya stok ikan karang yang kemudian akan
mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia
yang bergantung pada ketersediaan ikan-ikan karang (Bengen,
2004; Satria, 2009b);
d. Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai akibat
dari perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu
permukaan laut, stratifikasi kolom air yang menyebabkan
perubahan proses upwelling dan kerusakan terumbu karang
(Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).
3. Pada kegiatan usaha nelayan, perubahan ekologis berdampak
pada:
a. Menurunnya hasil tangkapan para nelayan dan berkorelasi
dengan pendapatan nelayan (Marzuki, 2002; Purwoko, 2005);
20
b. Hilangnya potensi wisata bahari (Dahuri et al.., 1996; Anwar
dan Gunawan, 2006);
c. Menurunnya kesempatan berusaha dan bekerja masyarakat
nelayan, yang disebabkan oleh berkurangnya bahan baku
industri pengolahan, berkurangnya bahan/komoditi
perdagangan, berkurangnya benih untuk budidaya dan
berkurangnya potensi tangkapan (Purwoko, 2005);
d. Terancamnya lokasi pemukiman dan tata guna lahan setempat
sebagai akibat dari kerusakan terumbu karang yang
menyebabkan erosi di pantai (Dahuri et al.., 1996);
e. Hilang/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan,
nipah, dan bahan baku obat-obatan (Anwar dan Gunawan,
2006).
F. Karakteristik Masyarakat Nelayan
Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu
kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil
laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya.
Nelayan pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan
pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.
Menurut Kusumastanto (2000) nelayan memiliki sifat unik yang
berkaitan dengan usaha perikanan tersebut. Hal ini dikarenakan usaha
perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar maka
21
sebagian besar karakteristik nelayan tergantung pada faktor-faktor
dibawah ini:
a. Ketergantungan pada kondisi lingkungan
Salah satu sifat usaha yang ada di wilayah pesisir (seperti
perikanan tangkap dan budidaya) yang sangat menonjol adalah
bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat
tergantung pada kondisi lingkungan khususnya perairan dan sangat
rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi
kualitas lingkungan.
b. Ketergantungan pada musim
Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar khususnya
pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan nelayan sangat
sibuk, sementara pada musim paceklik nelayan mencari kegiatan
ekonomi lain atau menganggur.
c. Ketergantungan pada pasar
Karakteristik usaha nelayan adalah tergantung pada pasar. Hal ini
disebabkan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum
laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi yang sangat
penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi
harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi
kondisi sosial masyarakat nelayan.
22
Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat
pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi,
dari berbagai aspek:
a. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh
secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya
pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab
terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan
lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan
intelektual yang hingga kini terus dipertahankan.
b. Sistem Kepercayaan
Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat
bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas
penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin
terjamin. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai tradisi
dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial
dalam komunitas nelayan.
c. Peran Wanita
Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah
tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam
kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan,
maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga
dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari
sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri nelayan tersebut
23
menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program
pemberdayaan.
d. Struktur Sosial
Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar)
pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya, umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien.
Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian.
Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para
nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Dengan konsekuensi,
hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih
murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk stratifikasi
masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring moderninasi
akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin
bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus
terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial
tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan
berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise atau kekuasaan.
e. Posisi Sosial Nelayan
Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif
rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari
keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak
mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat
sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi
24
dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk
kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan
masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif
jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam
posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang
dimilikinya sangatlah terbatas.
G. Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Nelayan
Acheson (1981) menemukan bahwa meskipun laut menyediakan
sumber ekonomi yang potensial bagi keberlangsungan hidup manusia,
seperti ikan dan biotik laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi, namun
pekerjaan untuk memperolehnya berlangsung dalam suatu lingkungan
yang berbahaya dan tidak menentu. Bahaya dan ketidakmenentuan ini,
bukan hanya disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan biotik laut serta
terjadinya perubahan-perubahan lingkungan fisik tersebut, tetapi juga oleh
kondisi-kondisi sosial budaya yang dianggap ditimbulkan oleh kondisi-
kondisi lingkungan, diantaranya:
Pertama, laut penuh resiko bahaya dan ketidak-menentuan.
Acheson (cf. Smith, 1977:02) dalam Lampe (1989) menggambarkan laut
sebagai suatu lingkungan yang sulit dimasuki orang untuk bertahan hidup
(survival). Untuk memasuki laut dan memperoleh sumberdaya yang
terkandung di dalamnya, tidak hanya menggunakan perlengkapan seperti
kapal dan perahu serta peralatan penangkapan ikan. Ternyata menurut
Acheson (1981), bahwa memasuki laut dengan peralatan tangkap hanya
dapat dilakukan ketika kondisi cuaca di laut mengizinkan. Hilangnya jiwa
25
manusia, perahu dan perlatan penangkapan merupakan resiko-resiko
aktual yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan fisik laut tersebut. Di
daerah-daerah perikanan laut dalam sekitar Massachusetts dan
Gloucester (Smith 1977: 08) telah tercatat beribu-ribu nelayan hilang di
laut, sedangkan di Noordzee korban jiwa nelayan Urk (Belanda) tidak
kurang dari 300 orang.
Kedua, adanya berbagai macam jenis dan pola kebiasaan ikan
dan biota lainnya. Laut dengan berbagai macam kadar air dan keadaan
dasarnya mengandung banyak jenis biota yang tidak tersedia secara
musiman karena mempunyai pola migrasi, tetapi juga tersedia populasi-
populasi ikan yang meningkat atau merosot secara tiba-tiba yang sulit
diramalkan oleh nelayan. Kondisi-kondisi sumber laut yang demikian
menyebabkan para nelayan sulit mengontrol binatang buruannya di laut
seperti halnya para pemburu di darat yang secara relatif dapat mengontrol
binatang-binatang buruannya karena diketahui dengan pasti kebiasaan-
kebiasaan dan atau kemana binatang-binatang buruannya tersebut
bergerak. Itulah sebabnya menurut Acheson (1981) dalam Lampe (1989)
mengatakan bahwa alat tangkap para nelayan haruslah sesuai dengan
kondisi-kondisi alam dan biota laut dan bukannya perlengkapan dan alat-
alat yang begitu saja diambil dari darat seperti yang digunakan para
pemburu binatang di darat.
Ketiga, lingkungan laut yang tampaknya homogen tetapi
sebenarnya bersifat mendua. Salah satu sifat yang mempersulit operasi
para nelayan adalah karena seluruh bagian permukaannya tampak sama,
26
tetapi sebetulnya menurut Smith (1977) dalam Lampe (1989), lingkungan
laut mempunyai sifat mendua (ambiguity). Sifat mendua seperti ada air
laut yang kadar garamnya tinggi, tawar; ada yang bening dan ada yang
keruh; ada yang dasarnya rata dan berbatu-batu; ada yang dalam dan ada
yang dangkal; dan lain-lain. Sifat laut demikian membuat para nelayan
tidak dapat mengetahui keadaan meningkat atau merosotnya populasi-
populasi dari jenis-jenis ikan tertentu di suatu lokasi. Sifat laut demikian
juga menimbulkan resiko-resiko besar berupa hilang atau rusaknya alat
tangkap.
Keempat, sumber ikan dan biotik laut lainnya merupakan milik
bersama masyarakat nelayan di sekitarnya. Suatu gejala umum yang
menurut Acheson (1981) dalam Lampe (1989), menjadi suatu masalah
khusus dalam sektor ekonomi perikanan laut ialah; karena laut merupakan
suatu lingkungan terbuka dan sumber biotik yang dikandungnya
merupakan kekayaan bersama manusia (Gordon, 1954; Hardin, 1977:16-
156); McCay hlm. 398-399; Lofgren, 1982:87; Andersen dan Wadel,
1982:154-156; Christy, 1982). Sifat laut yang demikian menimbulkan
persaingan-persaingan dan pertentangan-pertentangan diantara para
kelompok nelayan dalam memperebutkan sumberdaya. Persaingan-
persaingan seperti ini mengarah kepada pengrusakan sumberdaya ikan
dan kerusakan ekologi di suatu perairan tertentu.
Kelima, hasil produksi ikan yang cepat membusuk. Masalah yang
timbul dari kondisi tangkapan ikan yang cepat membusuk juga umum
dihadapi oleh masyarakat nelayan yang belum menggunakan teknik
27
pengawetan modern (McCay, 1978 dalam Lampe 1989). Kondisi
tangkapan ikan yang demikian menyebabkan kualitas komoditi ikan
seringkali menurun dan pemasarannya tidak dapat ditunda.
Keenam, harga ikan di pasaran yang biasanya mengalami
fluktuasi. Meskipun misalnya tangkapan nelayan secara berturut-turut
baik, tidak selamanya berarti bahwa pendapatan mereka juga demikian
keadaannya, melainkan justru bisa terjadi hal sebaliknya. Hal ini
disebabkan oleh faktor turun naiknya harga di pasaran dan karena para
nelayan tidak selamanya mengetahui informasi tentang pasar yang
dikuasai para pedagang dan tengkulak.
Ketujuh, ketidakmampuan nelayan menghadapi eksploitasi dari
para pedagang atau tengkulak dan pemilik kapal atau perahu. Menurut
Acheson (1981) dalam Lampe (1989), bahwa nelayan menghabiskan
sebagian besar waktunya di laut dan seringkali tidak melibatkan diri
dalam situasi-situasi yang bersifat politis. Hal ini menyebabkan nelayan
banyak bergantung kepada para pedagang dan pemilik kapal atau perahu
yang sering mengeksploitasi mereka. Mengenai kasus-kasus eksploitasi
para pedagang terhadap para nelayan banyak ditunjukkan, seperti yang
terjadi di Sri Lanka, Cat Harbour (New Found Land) yang dilaporkan oleh
Faris; Hong Kong dilaporkan oleh Ward; dan Swedia yang dilaporkan oleh
Lofgren (Acheson, 1981: 284); masyarakat nelayan suku Fanti-Gana dan
kasus-kasus di Indoensia yang banyak diketahui lewat media massa.
Kedelapan, masalah-masalah psikologis dan penyimpangan
budaya. Adalah suatu fakta bahwa pekerjaan menangkap ikan di laut
28
menyebabkan kaum laki-laki (nelayan) terpisah secara fisik dari keluarga-
keluarga mereka. Keterpisahan dalam jangka waktu yang lama menurut
Acheson (1981), menimbulkan masalah-masalah psikologis dan
penyimpangan budaya diantara kedua belah pihak. Masalah psikologis
yang timbul berupa gejala kesepian atau perasaan kuatir akan nasib
masing-masing, sedangkan penyimpangan budaya menggejala berupa
penyimpangan dalam peranan. Para nelayan memusatkan kegiatannya
pada pengaturan kelompok-kelompok kerja mereka secara efektif dan
mempertahankan keleluasaan serta rahasia pribadi yang terbentuk dalam
kapal atau perahu, sedangkan para keluarga mereka harus mengambil
alih peranan-peranan pengasuhan keluarga dan rumah tangga yang
dalam struktur sosial menurut kebudayaan mereka boleh jadi tugas dan
tanggung jawab kaum laki-laki juga.
H. Konsep Adaptasi
Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk
hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa
berubah. Terdapat beberapa pengertian yang berusaha menjelaskan
konsep adaptasi, diantaranya yaitu:
1) Adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada konsep proses
penyesuaian pada keadaan yang berubah (Hansen, 1979 dalam
Saharudin, 2007).
2) Adaptasi adalah kapasitas manusia untuk menjalankan tujuan-
tujuan individu (self-objectification), belajar dan mengantisipasi
29
(Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007). Adaptasi bukan hanya
persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan
tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya
lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang
umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat
nasional.
3) Adaptasi merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan
efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, ekonomi, politik
dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup (Barlet, 1993 dalam
Kusnadi, 2000). Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual
tersebut bertujuan untuk mengalokasikan sumberdaya yang
tersedia di lingkungannya guna mengatasi tekanan-tekanan sosial-
ekonomi.
Terdapat tiga konsep kunci mengenai adaptasi (Bennett, 1976
dalam Saharudin, 2007), yaitu:
1) Adaptasi perilaku (adaptive bahavior)
Konsep ini menunjuk pada cara-cara aktual masyarakat
menemukan/merencanakan untuk memperoleh sumberdaya untuk
mencapai tujuan dan memecahkan masalah. Adaptasi perilaku
(adaptive behavior) merupakan suatu pilihan tindakan dengan
mempertimbangkan biaya yang harus dikembangkan dan hasil
yang akan dicapai.
30
2) Adaptasi proses (adaptive process)
Adaptasi proses (adaptive process) adalah perubahan-perubahan
yang ditunjukan melalui proses yang panjang dengan cara
menyesuaikan strategi yang dipilihnya.
3) Strategi adaptasi (adaptive strategies)
Strategi adaptasi (adaptive strategies) merupakan pola umum yang
terbentuk melalui banyak proses penyesuaian pemikiran
masyarakat secara terpisah. Dalam hal ini masyarakat merespon
permasalahan yang dihadapi dengan melakukan evaluasi terhadap
alternatif yang mungkin dan konsekuensinya serta berusaha
menempatkan permasalahan tersebut dalam suatu desain strategi
yang lebih luas untuk mengimbangi konflik kepentingan dari banyak
pihak.
Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi
kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha
manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap
perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal
(Mulyadi, 2007). Dalam merespon setiap perubahan yang terjadi Bogardus
(1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada
manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang,
pendidikan, kegiatan bermasyarakat, suasana dalam rumah tangga dan
terakhir adalah agama dan kepercayaan. Sementara itu, dalam kaitannya
dengan lingkungan, adaptasi dibentuk dari tindakan yang berulang-ulang
31
sebagai proses penyesuaian terhadap lingkungan tersebut (Bennett, 1976
dalam Saharudin, 2007).
Dalam konteks ekonomi masyarakat nelayan, adaptasi dikatakan
sebagai tingkah laku strategis dalam memaksimalkan kesempatan hidup.
Adaptasi bagi suatu kelompok dapat memberikan kesempatan untuk
bertahan hidup, walaupun bagi kelompok lain kemungkinan akan dapat
menghancurkannya (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).
I. Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi Nelayan
Dalam menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
kondisi-kondisi lingkungannya, masyarakat nelayan menggunakan
berbagai macam respons yang dapat dipandang sebagai strategi adaptif.
Berikut ini dikemukakan delapan macam strategi adaptif, yang umum
digunakan oleh masyarakat nelayan di dunia (Acheson, 1981 dalam
Lampe, 1989). Kedelapan macam strategi adaptif itu adalah :
1. Kerjasama dan Pengerahan Tenaga Kerja
Menurut Smith (1977) dalam Lampe (1989), terdapat persepsi
budaya yang kuat bahwa pekerjaan sebagai nelayan penuh resiko yang
mengancam keselamatan jiwa manusia dan alat-alat yang digunakannya.
Dengan persepsi budaya seperti ini, pola kerja nelayan pada umumnya
dijalankan dengan kerjasama. Dalam pengerahan anggota kerjasama
tersebut, diadakan secara selektif menurut kondisi fisik. Demikianlah
sehingga timbul polarisasi kerjasama menurut jenis kelamin yang lebih
tajam pada masyarakat nelayan bila dibandingkan dengan yang ada pada
masyarakat tani atau industri, dimana kaum laki-laki (yang dianggap kuat
32
fisiknya) ke laut, sedangkan pada umumnya kaum wanita (yang dianggap
lemah fisiknya) tinggal mengurus rumah tangga atau melakukan
pekerjaan-pekerjaan lainnya, misalnya memproses atau berdagang ikan
( Acheson,1981 : 296-299; Bailey, Cycon dan Moris, 1983:1271)
Kemudian seleksi dalam perekrutan diantara kaum laki-laki itu
sendiri berbeda-beda diantara kebudayaan. Terdapat kelompok-
kelompok kerjasama nelayan yang anggotanya terdiri dari orang
sekerabat, seperti antara lain ditemukan di Urk – Belanda (Langstraat,
1967; Lips, 1982; Lampe, 1985), Bua – Swedia bagian barat (Lofgren hlm.
93), St. Shotts – New Found Land (Nemec, 1982:25), Suku Fanti – Ghana
(Christensen, 1954;1957), desa-desa nelayan di Malaysia (Frederics dan
Lampe, 1979). Terdapat kelompok-kelompok kerjasama nelayan yang
anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang berteman atau
sekampung (Acheson, 1981). Adapun kelompok-kelompok awak perahu-
perahu nelayan di pantai utara Sumenep – Madura (Indonesia) tidak
ditandai dengan hubungan-hubungan kekerabatan (Jordaan dan Niehof,
1980:82).
Menurut Noor dan Noor (1974) dalam Lampe (1989), bahwa
penyebab saling ketergantungan dalam kerja nelayan adalah kombinasi
dari kedua faktor ekologi dan sifat dari teknologi yang digunakan
(misalnya karena alat-alat penangkapan ikan yang digunakan berat dan
rumit). Sedangkan menurut Acheson (1981), bahwa kerjasama dan
seleksi anggota dikaitkan pada tujuan; untuk menyembuhkan tekanan-
tekanan psikologis para anggota di laut dan menemukan anggota-anggota
33
yang bisa saling rukun, sehingga keselamatan dan efektivitas kerja dalam
sebuah perahu atau kapal dicapai dan dipertahankan.
2. Penekanan Sifat Egalitarian
Acheson (1981) dalam Lampe (1989) menemukan bahwa pada
umumnya hubungan-hubungan antara para anggota awak perahu atau
kapal nelayan menunjukkan sifat egalitarian (keselarasan) yang sangat
mencolok. Gejala ini menurutnya ditemukan mulai dari Eropa, Amerika
Latin hingga Asia. Sifat keselarasan terwujud dalam masa hubungan-
hubungan diantara para nelayan biasa dengan juru mudi atau pemilik,
alat-alat produksi yang juga ikut aktif, tidaklah menunjukkan status yang
tajam. Pendapat ini sesuai dengan dugaan Durk (1986:04), bahwa sangat
mungkin kebudayaan masyarakat nelayan merupakan kebudayaan yang
kurang kalau bukan sama sekali tidak berstratifikasi.
Tujuan dari penekanan sifat egalitarian adalah untuk mendapatkan
anggota-anggota kelompok yang bisa bekerja dengan terampil. Bilamana
keterampilan itu sudah meningkat menurutnya, maka juru mudi dan
anggota-anggota biasa menjadi relatif sama kedudukannya. Sedangkan
menurut Norr dan Norr (1974 : 221-223), bahwa sifat egalitarian langsung
dikaitkan dengan faktor resiko. Dalam hal ini, keperluan keselarasan
diantara para anggota kerjasama nelayan untuk menghindari bahaya-
bahaya dan meningkatkan efektivitas kerja dalam perikanan.
3. Penerapan Aturan Bagi Hasil
Dalam perusahaan perikanan laut menurut Acheson (1981) dalam
Lampe (1992), jarang sekali ditemukan pengupahan atau penggajian tetap
34
terhadap para anggota perusahaan. Yang dimaksudkan dengan aturan
pengupahan tetap dalam perikanan ialah; bahwa setiap anggota
memperoleh sejumlah bagian pendapatan (berupa uang) yang sudah
ditetapkan sebelumnya untuk setiap kali per hari, per minggu atau
per bulannya. Besar upah bagi setiap anggota adalah tetap, tidak
dipengaruhi oleh keadaan fluktuasi jumlah tangkapan dan harga-harga di
pasar. Istilah yang umum yang ditujukan kepada para pekerja biasanya
bukan para anggota, melainkan buruh nelayan. Penerapan aturan
pengupahan tetap dalam perikanan laut memiliki korelasi dengan
perbedaan status dan pendapatan yang tajam antara para buruh nelayan
dan pemilik alat-alat produksi.
Sebaliknya dalam perikanan laut, aturan bagi hasil merupakan
aturan yang umum, yang ditemukan baik dalam perikanan-perikanan
tradisional berskala kecil, maupun di dalam perikanan modern. Secara
umum aturan bagi hasil menetapkan aturan bahwa setiap anggota
memperoleh satu bagian pendapatan dari jumlah keseluruhan pendapatan
per hari, per minggu dan per bulannya. Dalam perikanan-perikanan yang
sudah modern, pada umumnya pembagian pendapatan diadakan setelah
dikeluarkan biaya-biaya untuk perbaikan alat-alat penangkapan yang
rusak, bahan bakar, oli, perawatan mesin dan makanan. Jumlah bagian
setiap anggota tidak tetap, melainkan berfluktuasi menurut keadaan
penangkapan dan harga-harga ikan di pasar. Setiap anggota
mendapatkan bagian yang relatif sama.
35
Salah satu ciri umum yang ditemukan oleh para ahli antropologi
dalam perikanan laut dalam aturan bagi hasil ialah; bahwa setiap bagian
pendapatan menunjukkan suatu fungsi kerja. Hal yang umum terjadi
bahwa, pemilik juga mendapatkan suatu bagian yang sama dengan
bagian-bagian nelayan biasa, tetapi itu bukan bagiannya sebagai pemilik
melainkan sebagai anggota karena ikut aktif di laut. Aturan bagi hasil
dengan istilah-istilah bagian yang fungsional itu, menunjukkan secara
logis bahwa semua anggota awak merupakan orang-orang yang
bekerjasama, yang berhak mendapatkan hasil atau nilai kerjanya masing-
masing; bahwa keadaan pendapat setiap anggota yang berfluktuasi juga
adalah logis, karena pendapatan yang dibagikan merupakan hasil atau
nilai langsung kerja mereka yang keadaannya memang berfluktuasi.
Kemudian aturan bagi hasil yang menetapkan kebersamaan relatif
mengaburkan adanya perbedaan-perbedaan status diantara para anggota
kerjasama.
Breton (1977) dalam Lampe (1989) yang pernah mengadakan
penelitian pada masyarakat di pantai Venezuela, menemukan bahwa
aturan bagi hasil sangat umum berlaku dalam perikanan-perikanan
tradisional berskala kecil, sedang aturan pengupahan tetap terdapat
dalam perikanan modern berskala besar yang kapitalistis.
Aturan bagi hasil dalam perikanan laut tidaklah semata dianggap
sebagai yang membawa kepuasan konsumtif bagi kaum nelayan, tetapi
juga merupakan satu strategi adaptif nelayan dalam menghadapi resiko
dan mencapai aktivitas kerja dalam proses-proses produksi.
36
4. Pengaturan Hak-hak Pemilikan Atas Daerah-daerah Perikanan Laut
Menurut Gordon (1954:124) dalam Lampe (1989), bahwa
sumberdaya laut mempunyai sifat dan kedudukan sebagai kekayaan milik
bersama umat manusia. Laut sebagai suatu daerah terbuka, artinya
bahwa para nelayan dari daerah manapun bebas mencari ikan di laut,
karena tidak ada satu pihak yang memiliki daerah-daerah atau lokasi-
lokasi perikanan tertentu. Sifat kedudukan laut yang demikian
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif berupa; pengerusakan
sumber-sumber biotik laut, pemborosan secara ekonomi, menyebabkan
skala pendapatan nelayan di negara-negara sedang berkembang tetap
tidak meningkat dan terjadinya konflik.
Berdasarkan pada hasil penelitian dari para ahlir antropologi,
ternyata bahwa masyarakat nelayan di berbagai tempat di dunia telah
merubah kedudukan laut sebagai daerah terbuka menjadi daerah-daerah
yang dimiliki secara komunal kelompok dan bahkan secara individual
(Forman, 1967:417-426; Gordel, 1978:02-03; Acheson,1981:280-281,
Bavinck, 1984:04). Pengaturan pemilikan atas daerah-daerah perikanan di
laut seperti ini bertujuan menghindari konsekuensi-konsekuensi negatif
dari kedudukan laut sebagai daerah terbuka.
5. Penggunaan Berbagai Macam Alat dan Teknik Penangkapan
Strategi adaptif yang menjadi sangat umum digunakan oleh
masyarakat nelayan, ialah penggunaan berbagai macam alat dan teknik
penangkapan. Strategi yang sangat umum ini disusun berdasarkan
pengetahuan nelayan mengenai berbagai jenis dan pola kebiasaan ikan
37
dan kondisi-kondisi dasar laut. Pengetahuan yang diperoleh melalui
pengalaman dan proses pembelajaran yang lama (Barness,
1976:181;Fredericks dan Lampe,1976:12; Acheson, 1981:276).
6. Strategi-strategi Yang Digunakan Secara Perorangan
Acheson (1981) menemukan empat strategi yang dianggapnya
sebagai strategi-strategi perorangan. Keempat macam strategi yang
sifatnya situasional, kombinasi beberapa macam pekerjaan, pengelolaan
modal dan penemuan atau perubahan teknik.
a. Strategi Yang Sifatnya Situasional.
Terdapat empat macam strategi nelayan yang digunakan
berdasarkan pengetahuannya mengenai situasi-situasi tertentu. Pertama,
strategi dalam menempatkan alat-alat penangkapan pada konsentrasi-
konsentrasi ikan di suatu lokasi yang diketahui sebelumnya. Strategi
semacam ini dapat dimiliki oleh setiap nelayan yang mempunyai
pengetahuan dan peka melihat kelompok-kelompok ikan di suatu lokasi.
Kedua, strategi menghindari bahaya rusak atau hilangnya alat-alat
penangkapan. Strategi ini disusun berdasarkan pengetahuan nelayan
tentang dalamnya laut, keadaan arus, landaian dan tipe-tipe dasar laut.
Ketiga, para nelayan dapat menyusun strategi tentang penentuan dimana
dan kapan penangkapan dilakukan serta jenis alat tangkap yang cocok
digunakan. Strategi seperti ini dapat disusun bilamana nelayan
mempunyai pengetahuan mendetail tentang jenis-jenis ikan yang
dicarinya, seperti pola kebiasaan, siklus perkembangbiakan, musuh-
musuh atau makanan ikan, pola-pola migrasi dan tempat tinggal ikan.
38
Keempat, strategi-strategi pengelolaan informasi tentang lokasi-lokasi dan
lain-lain, sehingga nelayan bisa membuat keputusan.
Pengetahuan mendetail tentang lingkungan fisik dan biotik laut
yang dimiliki oleh nelayan dalam rangka menyusun strategi-strategi yang
sifatnya situasional di atas, diperoleh nelayan melalui pengalaman, proses
belajar dan informasi budaya.
b. Kombinasi Beberapa Macam Pekerjaan
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagian besar
masyarakat dunia yang mengandalkan lebih dari satu macam sumber
pendapatan. Khusus bagi masyarakat nelayan, kombinasi beberapa
macam pekerjaan menurut hasil penelitian oleh para ahli antropologi
merupakan suatu strategi yang umum digunakan. Misalnya seseorang
disamping sebagai nelayan, selama waktu-waktu tertentu dia juga aktif
sebagai petani atau dalam sektor perdagangan laut. Bagi nelayan, sektor-
sektor ekonomi non perikanan menjadi demikian penting bilamana musim
angin dan gelombang sedang berlangsung yang tidak memungkinkan
sama sekali aktivitas perikanan dijalankan. Dalam sektor perikanan itu
sendiri, menjalankan lebih satu bentuk pekerjaan tidak memungkinkan
digunakan karena cuaca buruk, atau karena terjadi perubahan
musim,serta kemunculan jenis-jenis ikan yang menjadi tangkapan pokok.
Strategi berupa penggabungan pekerjaan seperti di atas, antara
lain dilaporkan oleh Leap (1977:253-259) dalam hasil penelitian
komparatifnya mengenai sebanyak 24 masyarakat nelayan non-industri
dan 34 masyarakat nelayan di dunia industri (Andersen dan Wadel
39
1982:02-03); mengenai masyarakat nelayan Manta – Equador;
Koentjaraningrat (1981:34-36) mengenai desa-desa nelayan di Asia
tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya; Mubyarto,
Loekman Soetrisno dan Dove (1984) dua desa nelayan pantai utara Jawa
tengah; Jordaan dan Niehof (1980) mengenai sebuah desa nelayan pantai
utara Sumenep (Madura); dan Nirbito (1980) dalam Lampe (1989)
mengenai masyarakat nelayan Kabupaten Bangkalan – Madura.
c. Pengelolaan Modal
Kesuksesan perikanan laut sangat ditentukan oleh kemampuan
pemilik mengelola modal perusahaannya. Terutama untuk perikanan laut
dalam, modal menjadi salah satu syarat mutlak bagi nelayan untuk
mempunyai akses ke laut. Dengan kondisi lingkungan laut yang keras,
modal perusahaan nelayan yang kebanyakan dalam bentuk perusahaan
itu sendiri (kapal atau perahu dan alat-alat penangkapan) menanggung
resiko besar.
Pengelolaan modal perusahaan perikanan laut menurut
McCay (1978), dikelola pemiliknya dengan „diversifikasi‟ dan „intensifikasi.‟
Diversifikasi diacukan pada penggunaan berbagai macam bentuk
perikanan atau juga ke sektor usaha di luar perikanan (model tradisional).
Mengenai model diversifikasi yang mencirikan usaha dan aktivitas
penduduk nelayan dan pulau-pulau di Indonesia, terdapat dua strategi
utama, yakni strategi diversifikasi usaha yang difokuskan ke laut dan
strategi diversifikasi yang difokuskan di darat. Strategi diversifikasi
pertama berupa saling mempergantikan beberapa sub sektor perikanan
40
(dengan pemilikan beberapa jenis teknologi tangkap) atau bahkan
sewaktu-waktu nelayan bergeser ke usaha transportasi laut, kemudian
dalam situasi dan kondisi tertentu kembali lagi ke usaha penangkapan
ikan. Dimungkinkan pertimbangan kemudahan penguasaan keterampilan
dan perolehan modal seadanya serta sulitnya memperoleh akses pada
alternatif pekerjaan di darat, maka strategi pertama inilah yang umumnya
diterapkan oleh penduduk pesisir dan pulau-pulau (Lampe, 1989)
Strategi diversifikasi kedua berupa kombinasi beberapa jenis
pekerjaan sekaligus kalau bukan saling mempergantikan diantara
pekerjaan kenelayanan, perhubungan dan kegiatan-kegiatan yang
diperluas di sektor-sektor perdagangan (misalnya, membangun kios,
menjual bahan kebutuhan pokok di pulau), pertanian , tambak, beternak
unggas, menjadi kuli bangunan dan sebagainya. Dikarenakan semakin
berkurangnya sumberdaya dan sulitnya peluang-peluang kerja alternatif di
darat, mempengaruhi semakin berkurangnya penduduk nelayan pesisir
dan pulau-pulau kecil yang dapat melakukan strategi diversifikasi usaha
kedua tersebut. Diperkirakan bahwa, strategi semacam ini tidak akan
menghabiskan banyak biaya.
Sebagai kebalikan dari model diversifikasi usaha perikanan yakni
model intensifikasi, berupa strategi pemusatan faktor-faktor modal,
pengetahuan dan keterampilan, tenaga kerja dan proses-proses kerja
pada satu jenis usaha tunggal secara intensif. Misalnya, perikanan
tongkol, usaha bagang rambo, usaha gae, usaha teripang, usaha ikan dan
41
lobster hidup yang dikelola masyarakat nelayan Sulawesi Selatan
(Lampe, 1989).
Kedua model ini sesuai dengan teori ekonomi fleksibiliti. Terdapat
banyak perusahaan perikanan pengelolaan modalnya dapat diusahakan
dengan baik oleh para pemiliknya dengan membangun dan
mempertahankan jaringan sosial ke luar. Strategi ini dilaporkan oleh
Acheson (1981 : 293).
d. Penemuan dan Perubahan Teknik
Menurut Acheson (1981) dalam Lampe (1989), salah satu strategi
yang dianggap efektif bagi nelayan untuk dapat bersaing dengan yang
lainnya dan untuk menemukan lokasi-lokasi perikanan yang baru, yang
lebih unggul yang muncul melalui inovasi atau difusi. Suatu alasan
prinsipil dari para nelayan untuk menerima dan menggunakan suatu unsur
teknologi baru, yaitu bilamana unsur tersebut secara ekonomi dapat
menguntungkan.
7. Penggunaan Agama, Magis dan Ritual
Bagi banyak masyarakat nelayan di dunia, agama dan magis yang
dapat terwujud dalam ritual, dipandang sebagai suatu elemen dalam
sistem ekonominya. Suatu elemen yang fungsinya lebih banyak terkait
pada usaha-usaha nelayan untuk memperoleh keselamatan dan
keberuntungan serta menghindari malapetaka dalam proses produksi.
Pelaksanaan ritual dengan fungsinya yang demikian banyak dilaporkan
oleh para ahli antropologi antara lain; Johnson mengenai masyarakat
nelayan Portugis; Prins dan Watanabe mengenai masyarakat nelayan
42
Kenya dan Ainu; Poggie dan Gersuny mengenai masyarakat nelayan New
England dalam (Acheson, 1981:287-288); Christensen (1977:90)
mengenai masyarakat nelayan Fanti – Ghana; dan Firth (1966: 122-125)
mengenai masyarakat nelayan Kelantan dan Trengganu – Malaysia.
Kaum nelayan dari desa-desa pantai Sulawesi Selatan juga
menggunakan upacara-upacara keselamatan dan magis ini, bersumber
dari ajaran agama Islam dan kepercayaan-kepercayaan lama yang dianut
.Ritual-ritual dan magis ini menurut kepercayaan nelayan berfungsi untuk
memperoleh keselamatan dan keberuntungan serta menghindari
malapetaka dalam proses produksi. (Ujianto, 1984:38-40).
8. Menjalin Hubungan Kuat dan Lama Dengan Pihak Lain
Suatu gejala umum yang ditemukan oleh para ahli anrtropologi
yang meneliti tentang sistem ekonomi nelayan khususnya yang berkaitan
dengan usaha-usaha perolehan modal dan pemasaran ikan, ialah adanya
suatu hubungan yang kuat dan lama dengan pihak luar , yang terpenting
adalah para pedagang atau pemilik modal. Acheson (1981:281-283)
menemukan dua alasan pokok hubungan seperti itu terbentuk yaitu untuk
memperoleh pinjaman modal dan pemasaran hasil tangkapan yang cepat
membusuk.
Disamping terhadap para pedagang atau pemilik modal, sebagian
besar nelayan pemilik juga menemukan sumber bantuan permodalan dan
pemasaran melalui bantuan pemerintah setempat (seperti di Indonesia),
yang disalurkan lewat pendirian koperasi seperti; KUD, BUUD, kredit
melalui bank, dan sebagainya. Menurut laporan penelitian para ahli
43
antropologi, bahwa bentuk perolehan modal atau pemasaran belum
mampu meningkatkan pendapatan nelayan secara merata, dan karena itu
belum mampu menggeser sepenuhnya kedudukan para pedagang dan
para tengkulak (Lampe, 1989).
J. Kerangka Pikir Penelitian
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang cenderung
eksploitatif ditambah tekanan akibat perubahan iklim sangat
mempengaruhi terjadinya perubahan ekologis berupa kerusakan
ekosistem terumbu karang dan meningkatnya intensitas gelombang dan
badai di laut.
Secara teoritis, berbagai perubahan yang terjadi pada ekosistem
laut dan pesisir ini dapat mempengaruhi berbagai aktivitas nelayan dalam
mencari ikan dengan dampak yang sangat mungkin terjadi adalah
penurunan produksi perikanan tangkap.
Pulau Badi dan Pajenekang merupakan pulau kecil yang memiliki
kompleksitas permasalahan di dalamnya. Pulau-pulau ini juga sangat
rentan terhadap dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya laut yang
dilakukan oleh manusia. Di wilayah Pulau Badi dan Pajenekang gejala
perubahan ekologis di wilayah laut berdampak secara langsung terhadap
nelayan dan mempengaruhi aktivitas dan produksi perikanan tangkap.
Dampak dari perubahan ekologis dapat dibagi menjadi dampak
ekologis dan terhadap kegiatan ekonomi. Dampak ekologis adalah akibat
yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir
dan pulau-pulau kecil yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas
44
sumberdaya laut. Sedangkan dampak ekonomi berkaitan dengan akibat
yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian
masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
laut.
Dampak dari perubahan ekosistem tersebut tidak ditanggapi
secara negatif oleh nelayan. Nelayan di Pulau Badi dan Pajenekang
diduga melakukan strategi adaptasi melalui beragam kegiatan dalam
menghadapi dampak perubahan ekologis tersebut.
Hal ini perlu dilakukan mengingat nelayan merupakan bagian
masyarakat yang paling rentan terhadap dampak buruk perubahan
ekologis karena kehidupan ekonominya sebagian besar ditunjang dari
produksi perikanan tangkap. Alur kerangka pemikiran ini digambarkan
pada gambar 2.
45
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
PEMANFAATAN SUMBERDAYA
LAUT SECARA EKSPLOITATIF,
FAKTOR ALAMIAH DAN
PERUBAHAN IKLIM
PERUBAHAN EKOLOGIS
DAMPAK EKOLOGI DAMPAK EKONOMI
KARAKTERISTIK
NELAYAN :
- Usia
- Pengalaman
Sebagai Nelayan
- Jumlah Anggota
Rumah Tangga
- Jenis Armada
Tangkap
- Lama Tinggal
AKTIVITAS MATA PENCAHARIAN DAN KONDISI EKONOMI
NELAYAN MENURUN
STRATEGI ADAPTASI
46
K. Definisi Operasional
Guna menghindari terjadinya kesalahan pemahaman tentang
beberapa hal dalam penelitian ini, maka penulis membuat batasan
pengertian dalam defenisi operasional, berikut ini:
1. Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada
keseluruhan komponen biotik dan abiotik sebagai akibat langsung
maupun tidak langsung dari aktivitas manusia maupun proses
alamiah, khususnya perubahan ekosistem terumbu karang dan
lamun maupun kondisi perairan.
2. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya
tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan
penangkapan ataupun budidaya.
3. Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan
ekologis terhadap lingkungan pesisir dan laut yang mempengaruhi
kualitas dan kuantitas sumberdaya alam.
4. Dampak ekonomi adalah akibat yang ditimbulkan perubahan
ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut.
5. Strategi adaptasi merupakan tindakan yang dilakukan nelayan
dalam menyiasati dampak negatif perubahan ekologis.
6. Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu
(Havighurst dan Acherman dalam Sugiah, 2008) meliputi :
47
a. Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga
tahun pada saat dilaksanakan penelitian. membagi usia menjadi
tiga kategori:
i) Muda (22-30 tahun)
ii) Dewasa (31-40 tahun)
iii) Tua (> 40 tahun)
b. Pengalaman sebagai nelayan adalah lama responden menjadi
nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak
pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini
dilakukan yang dinyatakan dalam kategori :
i) Rendah (10-15 tahun)
ii) Sedang (16-21 tahun)
iii) Tinggi (lebih dari 21 tahun)
c. Lamanya tinggal adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh
responden menempati tempat tinggalnya, dinyatakan dalam
kategori :
i) Rendah (22-30 tahun)
ii) Sedang (31-40 tahun)
iii) Tinggi (> 40 tahun)
48
d. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang
menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah
anggota rumah tangga dibedakan menjadi:
i) Kecil (jika anggota rumah tangga berjumlah 1-3 orang)
ii) Menengah (jika anggota rumah tangga berjumlah 4-6
orang)
iii) Besar (jika anggota rumah tangga berjumlah lebih dari 6
orang).
e. Tingkat teknologi penangkapan adalah ukuran lokal mengenai
jenis armada yang digunakan nelayan dalam kegiatan
penangkapan, yang meliputi:
i) Tradisional (jika armada yang digunakan jenis lepa-lepa)
ii) Semi modern (jika armada yang digunakan berupa jolloro)
iii) Modern (jika armada yang digunakan berupa kapal gae)
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2013 di
Pulau Badi dan Pajenekang, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang
Tupabiring, Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 3).
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja),
dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan desa nelayan
yang sebagian besar adalah nelayan tradisional, sementara tantangan
yang dihadapi cukup besar mengingat kondisi ekosistem kedua pulau ini
sangat rentan terhadap perubahan ekologis serta sebagai representasi
dari pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkep.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
50
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode kuantitatif yang digunakan adalah metode survei dengan
instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik rumah tangga nelayan
dan karakteristik usaha nelayan. (usia, pengalaman sebagai nelayan,
lama tinggal, jumlah anggota rumah tangga) dan karakteristik usaha
nelayan yakni jenis armada tangkap serta bentuk strategi adaptasi .
Teknik survei perlu diperluas dengan pengamatan (observation)
wawancara mendalam (indepth interview) dan studi literatur.
Pengamatan (observation) dilakukan untuk memahami keadan
lingkungan pulau dan perairannya. Lingkungan pulau meliputi flora dan
faunanya, pemukimannya, infrastruktur dan fasilitas publik yang ada
serta kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung terhadap lingkungan.
Observasi terhadap perairan dilakukan dengan ikut perahu nelayan,
melihat kondisi terumbu karang dan hasil tangkapan ikan, walaupun
memang observasi ini sangat terbatas.
Wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan
pedoman wawancara diterapkan untuk menggali informasi mengenai
lingkungan dan bentuk-bentuk perubahan ekologis dari waktu ke waktu,
baik menyangkut kondisi lingkungan pulau, kondisi perairannya dan juga
kondisi perairan yang menjadi daerah tangkapan (fishing ground), dampak
perubahan ekologis terhadap hasil tangkapan nelayan serta bentuk-
bentuk strategi adaptasi yang dilakukan menghadapi dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan ekologis.
51
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau daerah tertentu. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu strategi penelitian
multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara dan
analisis dokumen (Sitorus, 1998). Menurut Stake (2009) studi kasus dapat
berciri kualitatif, kuantitatif atau kombinasi keduanya.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dari kegiatan penelitian adalah Kepala Keluarga (KK)
nelayan pancing, nelayan jaring/pukat dan nelayan gae (purse seine)
yang telah bekerja sebagai nelayan minimal 10 tahun. Menurut Arikunto
(2000) bahwa jika subyek penelitian kurang dari 100, lebih baik
mengambil semua populasi sehingga penelitiannya merupakan penelitian
populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar, dapat diambil antara
5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% atau lebih sebagai sampel penelitian.
Jumlah sampel penelitian sebanyak 10 persen dari jumlah populasi
Kepala Keluarga (KK) nelayan. Populasi diambil berdasarkan informasi
yang diperoleh dari kantor desa tentang jumlah penduduk tiap Rukun
Tetangga (RT). Berdasarkan data yang ada, jumlah populasi nelayan
pancing, pukat/jaring dan nelayan gae (purse seine) di Pulau Badi
sebanyak 442 orang sedangkan di Pulau Pajenekang sebanyak 253
orang. Jumlah responden untuk Pulau Badi sebanyak 44 nelayan dan di
Pulau Pajenekang sebanyak 25 nelayan. Nelayan yang menjadi
52
responden adalah mereka tergolong nelayan tetap yaitu nelayan yang
melakukan kegiatan penangkapan di daerah terumbu karang dan
sekitarnya. Rincian jumlah populasi dan sampel penelitian dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rincian Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
No.
Jenis Populasi
Nelayan Jumlah Populasi (Orang)
Jumlah Sampel
(Orang)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Nelayan pancing 310 31
2 Nelayan jaring/pukat 81 8
3 Nelayan purse
seine/gae 51 5
Jumlah 442 44
Pulau Pajenekang
1 Nelayan pancing 142 14
2 Nelayan jaring/pukat 71 7
3 Nelayan purse
seine/gae 40 4
Jumlah 253 25
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2013
Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan
untuk memperkaya informasi dengan menggunakan teknik bola salju
yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan
lainnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik survei
dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan
pengumpulan data dari informan (nelayan, tokoh masyarakat dan aparat
53
desa) dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman
wawancara.
Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga
menggunakan data sekunder. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari
Kantor Desa Matiro Deceng, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Pangkep, Biro Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, buku, internet, jurnal-
jurnal penelitian, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang berkaitan
dengan penelitian ini.
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data
yang terkumpul (editing). Kemudian pengkodean (coding) dengan tujuan
untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya
adalah perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam
bentuk tabulasi deskriptif. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan
cara mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten serta
informasi-informasi yang penting lainnya yang datang dari responden
maupun informan.
Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal
pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan
disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali
datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data
kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan
data, analisis data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat
54
Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah
dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
melalui verifikasi data. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil
interpretasi data kuantitatif.
55
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pulau Badi
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam
Pulau Badi merupakan sebuah pulau kecil dari gugusan kepulauan
Spermonde. Secara administratif Pulau Badi masuk ke dalam desa
Mattiro Deceng, kecamatan Liukang Tupabiring. Pulau ini memiliki luas
daratan 7,41 ha. Secara geografis Pulau Badi terletak antara 0457‟11.7”
LS dan 11916‟55.8” BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Pulau Sarappo
Sebelah Selatan : Pulau Bonetambung
Sebelah Timur : Pulau Pajenekang
Sebelah Barat : Pulau Lumu-Lumu
Untuk mencapai Pulau Badi dapat melalui kanal Paotere kota
Makassar dan dermaga Maccini Baji kota Pangkajene (ibukota kabupaten
Pangkep). Waktu tempuh dari kota Makassar kurang lebih 1 jam 10
menit, waktu tempuh dari ibukota kabupaten Pangkep (Pangkajene)
kurang lebih 2 jam 30 menit, sedangkan waktu tempuh dari ibukota
kecamatan (Ballang Lompo) kurang lebih 25 menit menggunakan perahu
Jolloro, mesin berkekuatan 35 PK.
Kondisi tutupan lahan Pulau Badi hanya ditumbuhi sedikit
pepohonan, jenis pohon sukun, pohon waru dan pohon kelor.
Pepohonan yang agak padat terdapat di bagian barat pulau, dimana
56
terdapat lapangan kecil. Jalan setapak di Pulau Badi terbuat dari paving
block menyusuri sepanjang pantai dan tengah pulau. Pemukiman
penduduk terlihat cukup padat. Paparan terumbu karang yang cukup
luas mengelilingi Pulau Badi, melebar ke arah barat. Paparan ini juga
berlanjut ke beberapa gusung dan taka di sekitarnya. Kumpulan karang
yang luas yang berada di sisi barat Pulau Badi, terdapat daerah terumbu
yang sangat potensial dijadikan obyek wisata penyelaman karena
topografinya yang berbentuk seperti gobah. Daerah ini disebut pula
dengan istilah Gusung Batua, dengan posisi geografis 04o56'74.2" LS dan
119o15'11.0". Di lokasi ini terdapat penandaan berupa patok sebagai
peringatan adanya taka yang luas dan terlalu dangkal bagi kapal-kapal
yang melintas (PPTK Unhas, 2006).
Pulau Badi terbagi dalam dua buah dusun. Keunikannya terletak
pada warga penghuni dusun, yaitu dusun utara rata-rata dihuni oleh
nelayan yang menggunakan purse seine (gae) sebagai alat tangkap.
Nelayan gae ini melakukan penangkapan disekitar Pulau Langkai,
perairan Jeneponto, Kendari hingga ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pengoperasian alat tangkap gae dilakukan secara berkelompok dengan
jumlah anggota 8 sampai 14 orang. Dilain pihak, dusun selatan lebih
banyak dihuni oleh nelayan pemancing ikan sunu. Untuk menangkap ikan
sunu, jenis pancing yang digunakan nelayan Pulau Badi yaitu pancing
kedo-kedo dan pancing tomba/tomba-tomba.
Berdasarkan keadaaan angin dan gelombang laut, Pulau Badi
memiliki dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Kedua musim ini
57
sangat mempengaruhi kehidupan dan aktivitas penduduk di pulau ini.
Musim angin barat antara bulan November sampai Februari. Adapun
antara bulan Maret sampai April merupakan transisi ke musim angin
timur. Sementara itu musim angin timur sekitar bulan Juni, Juli dan
Agustus. Periode transisi ke angin barat adalah bulan September dan
Oktober. Musim angin barat menjadi kendala bagi nelayan dan musim
angin timur adalah saat yang tepat untuk melakukan aktivitas
penangkapan ikan.
2. Penduduk dan Mata Pencaharian
Pulau Badi termasuk pulau yang padat penduduknya dengan 518
Kepala Keluarga. Jumlah penduduk Pulau Badi sebanyak 1944 jiwa.
Jumlah penduduk laki-laki sebesar 964 jiwa atau sekitar 49 persen.
Sedangkan penduduk perempuan sebesar 977 jiwa atau sekitar
51 persen dari jumlah total penduduk Pulau Badi. Jumlah penduduk
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Pulau Badi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
Jiwa Persen (%)
Laki-laki 964 49
Perempuan 977 51
Jumlah 1944 100 Sumber : Data Sekunder Monografi Desa Mattiro Deceng, 2012
Dengan jumlah penduduk 1944 jiwa, Pulau Badi dihuni lebih
banyak oleh kaum wanita daripada penduduk pria, meskipun selisih
jumlah diantara kedua jenis kelamin ini tidak terlalu jauh.
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai
nelayan, sementara penduduk lainnya berprofesi sebagai pedagang hasil
58
laut, pedagang bahan pokok, tukang dan pegawai negeri. Penduduk
yang berprofesi sebagai nelayan, memanfaatkan sumberdaya laut dengan
melakukan penangkapan jenis biota bernilai ekonomi. Penduduk yang
berprofesi sebagai pedagang laut mendistribusikan hasil tangkapan
nelayan ke berbagai konsumer, serta menjadikan laut sebagai sarana
transportasi. Umumnya sektor perdagangan hasil laut ini dilakukan oleh
pedagang pengumpul (pabalolang). Selain itu, aktivitas penjualan karang
dan perahu juga dapat dimasukkan ke dalam kategori pedagang.
Aktifitas perdagangan di Pulau Badi, tidak terbatas pada
perdagangan hasil laut berupa ikan, namun juga penjualan karang untuk
bahan pondasi rumah. Penambangan karang sebagai bahan bangunan
dilakukan secara terang-terangan sesuai pesanan dan dijual dengan
harga Rp. 200.000,-/jolloro atau ditukar dengan mesin bekas. Aktivitas
penambangan karang dilakukan di kawasan gusung batua karena sejak
lima tahun terakhir aktivitas penambangan karang di sekitar pulau telah
dilarang oleh pemerintah karena berdampak pada daratan pulau yang
setiap tahun terkena abrasi.
3. Sarana dan Prasarana
Sebagai pusat pemerintahan desa, Pulau Badi memiliki beberapa
sarana umum mencakup bidang keagamaan, pendidikan kesehatan dan
transportasi. Di bidang keagaman, dengan jumlah penduduk mayoritas
beragama Islam, maka sarana keagamaan yang ada hanyalah sarana
yang berhubungan dengan agama Islam, yakni Masjid. Secara umum,
masjid merupakan tempat anggota masyarakat mengadakan kegiatan
59
keagamaan seperti: sholat, pengajian, upacara keagamaan dan
merupakan tempat penyebaran informasi (penyebaran berita kematian
dan undangan untuk berkumpul).
Di bidang pendidikan, Pulau Badi memiliki dua SD (Sekolah Dasar)
yaitu SD Negeri 27 di RT 03 dan SD Negeri 12 di RT 08 serta sebuah
SMP (Sekolah Menengah Pertama) terbuka. Fungsi SD ini sangat penting
untuk memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat Pulau Badi, seperti
pemahaman membaca dan menulis, kemampuan berhitung dan
pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Selain di bidang pendidikan,
terdapat juga sarana di bidang kesehatan berupa 1 unit puskesmas
pembantu dan 1 unit posyandu. Sedangkan untuk sarana olahraga,
Pulau Badi memiliki sebuah lapangan sepak bola, sebuah lapangan volly
dan sebuah lapangan bulutangkis.
Sarana lainnya yang terdapat di Pulau Badi adalah instalasi listrik
milik PT. PLN. Sarana penerangan ini digerakkan oleh generator yang
beroperasi selama 6 jam, mulai jam 18.00 hingga jam 24.00. Sarana
penerangan ini dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Pulau Badi.
Untuk keperluan mandi dan mencuci, masyarakat Pulau Badi
memanfaatkan beberapa sumur umum yang terdapat di beberapa lokasi
di tengah pulau.
Sarana transportasi bagi masyarakat Pulau Badi berupa kapal
penumpang reguler yang melayani rute Makassar-Badi setiap harinya
sebanyak 3 unit. Fungsi kapal angkutan ini sangat vital karena
merupakan sarana efektif bagi penyaluran hasil tangkapan dan suplai
60
bahan kebutuhan pokok dari dan keluar pulau, terutama ke kota
Makassar. Terdapat dua dermaga Pulau Badi yang terletak di sebelah
timur dan utara pulau. Kedua dermaga ini lebih banyak dimanfaatkan oleh
kapal penumpang untuk bongkar muat barang dan penumpang.
4. Armada dan Peralatan Tangkap Nelayan
Sebagian besar armada yang digunakan oleh nelayan Pulau Badi
untuk penangkapan ikan hingga saat ini berupa kecil bercadik (lepa-lepa)
dengan ukuran panjang sekitar tujuh meter dan lebar sekitar
60 sentimenter. Sebagai sumber tenaga digunakan mesin ketinting
berkekuatan 6,5 PK dengan bahan bakar bensin. Jenis armada yang
berikut berupa perahu jolloro/kapal motor ukuran panjang 10 meter dan
lebar 1 meter, berkapasitas 3 - 7 ton dengan kekuatan mesin 10 - 15 PK.
Sedangkan jenis armada lainnya berukuran lebih besar yaitu kapal gae
yang digunakan oleh nelayan gae (purse seine). Jenis aemada
penangkapan dapat dilihat pada Gambar 4.
61
a) Lepa-lepa b) Jolloro
c) Kapal gae
Gambar 4. Jenis Armada Penangkapan Nelayan Pulau Badi
Pemanfaatan sumberdaya laut oleh nelayan Pulau Badi dilakukan
dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Setiap nelayan paling
tidak memiliki 2 sampai 3 jenis alat tangkap yang penggunaannya
disesuaikan dengan kondisi tangkapan dan musim. Penggunaan alat-alat
tangkap tersebut dilakukan baik secara berkelompok maupun perorangan.
Jenis alat tangkap yang dominan digunakan adalah jenis jaring dan
pancing.
Dusun utara rata-rata dihuni oleh nelayan yang menggunakan
purse seine (gae), pukat udang dan pukat kepiting sebagai alat tangkap.
62
Nelayan gae ini melakukan penangkapan disekitar Pulau Langkai,
perairan Jeneponto, Kendari bahkan hingga ke NTT. Pengoperasian alat
tangkap gae dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota 8
sampai 14 orang.
Dusun selatan lebih banyak dihuni oleh nelayan pemancing. Jenis
pancing yang digunakan nelayan Pulau Badi ada yaitu pancing kedo-
kedo, pancing tomba/tomba-tomba untuk menangkap ikan sunu. Dalam
pengoperasiannya pancing tomba sangat berbeda dengan pancing kedo-
kedo atau jenis pancing pada umumnya karena setelah pancing dipasang
pada suatu daerah yang diduga oleh nelayan terdapat ikan sunu, maka
pancing itu ditinggalkan dan akan diperiksa kembali satu jam kemudian.
Biasanya nelayan memasang 20 sampai 30 pancing sekaligus agar lebih
besar peluang untuk mendapatkan ikan. Jumlah pancing tomba yang
dipasang tergantung pada banyaknya umpan (jenis ikan seppa) yang
didapatkan. Umpan tersebut juga didapatkan dengan cara dipancing.
Disamping kedo-kedo dan pancing tomba, nelayan Pulau Badi
menggunakan pancing rawe untuk menangkap ikan katamba,
bambangan, sunu, kakap merah, sibula, cepa dan banyara. Alat pancing
lainnya adalah pancing cumi-cumi (doang-doang) yang digunakan untuk
menangkap cumi-cumi. Pancing jenis ini dioperasikan pada malam hari
pada saat terang bulan. Selain itu, nelayan Pulau Badi juga menggunakan
pancing gurita untuk memancing gurita. Penangkapan gurita biasanya
dilakukan saat musim angin barat di sekitar Pulau Bonetambung (Batu
63
Labua) dan taka-taka di sekitar Pulau Lumu-Lumu. Gambar jenis alat
tangkap nelayan Pulau Badi dapat dilihat pada Gambar 5.
a. Doang-doang c. Pancing tomba
b. Rawe d. Pancing gurita
Gambar 5. Jenis Alat Tangkap Nelayan Pulau Badi
64
Jenis alat tangkap dan hasil tangkapan nelayan Pulau Badi dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Alat Tangkap dan Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Pulau Badi
Jenis Alat Tangkap Jenis Ikan Hasil Tangkapan
Pancing rawe Ikan bambangan (Lutjanus rivulatus), ikan kakap merah (Lutjanus capprchanus) dan ikan banyara (Rastrelliger kanagurta)
Pancing kedo-kedo Ikan sunu (Plectrocopomus leopardus)
Pancing gurita Gurita (Octopus sp)
Pancing cumi-cumi Cumi-cumi (Loligo pealii)
Pukat udang Udang lobster (Panulirus penicillatus)
Pukat kepiting Kepiting karang (Portunus pelagicus)
Pancing tomba Ikan sunu (Plectrocopomus leopardus)
Purse seine (jaring gae) Ikan banyara (Rastrelliger kanagurta), ikan layang (Decapterus sp), ikan tembang (Sardinella gibosa)
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
5. Wilayah Penangkapan
Komunitas nelayan yang menempati satu lokasi pada suatu daerah
umumnya memiliki wilayah penangkapan ikan (fishing ground) tertentu.
Wilayah penangkapan ini merupakan daerah jelajah atau area tetap bagi
nelayan dalam usahanya mencari ikan. Di Pulau Badi sendiri terdapat
wilayah penangkapan yang telah dijelajahi nelayan selama bertahun-
tahun. Hal ini terjadi sebagai suatu proses adaptasi yang dilakukan
nelayan dalam menghadapi kondisi ekologi wilayah perairan tersebut.
Selain banyaknya tangkapan yang dapat dihasilkan, penentuan wilayah
tangkapan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya yaitu
gelombang dan arah angin yang sangat mempengaruhi keamanan
nelayan dalam aktivitas penangkapan ikan.
65
Nelayan Pulau Badi masih menggunakan cara-cara tradisional
dalam menentukan wilayah penangkapan, seperti melihat kumpulan ikan-
ikan kecil di permukaan air untuk memperkirakan banyaknya ikan-ikan
besar yang ada di bawahnya. Penggunaan teknik-teknik yang lebih
modern, seperti memanfaatkan informasi dari satelit oseanografi sama
sekali belum dilakukan oleh nelayan.
Wilayah penangkapan ikan nelayan gae di sekitar Pulau Langkai
dan perairan Jeneponto di saat musim timur, sedangkan di saat musim
barat lokasi penangkapan nelayan gae di wilayah Kendari (Sulawesi
Tenggara), Banjarmasin (Kalimantan) dan Flores (NTT).
Nelayan pancing ikan sunu yang menggunakan alat tangkap kedo-
kedo dan tomba di saat musim timur mempunyai daerah penangkapan di
sekitar Pulau Lanyukang dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam, Pulau
Jangangjangang, Pulau Tombakulu dan Pulau Gondongbali dengan waktu
tempuh sekitar 2,5 jam dari Pulau Badi.
Selain lokasi tersebut, pada musim barat nelayan Pulau Badi
berangkat ke perairan Kabaena, Kolaka dan Kendari (Sulawesi
Tenggara) yang juga merupakan daerah yang memiliki banyak ikan sunu.
Untuk dapat berangkat ke daerah-daerah itu, punggawa akan menyewa
lambo untuk mengangkut perahu nelayan (jenis lepa-lepa) ke daerah
tujuan dengan membayar Rp. 200.000,-/perahu (lepa-lepa) hingga tiba di
tempat tujuan. Selain itu, punggawa juga mengeluarkan ongkos
transportasi bagi para nelayannya. Penangkapan gurita biasanya
66
dilakukan saat musim angin barat di sekitar Pulau Bonetambung (Batu
Labua) dan taka-taka di sekitar Pulau Lumu-Lumu.
Nelayan pancing Pulau Badi yang menggunakan pancing rawe
mempunyai daerah penangkapan di sekitar taka-taka perairan pulau
Lanyukang dan sekitar taka gussea, dengan hasil tangkapan berupa ikan
katamba, bambangan, sunu, kakap merah, sibula, cepa dan banyara.
Sedangkan pemancing cumi-cumi, yang menggunakan alat tangkap
doang-doang serta nelayan pengguna pukat udang dan kepiting memiliki
wilayah tangkapan di sekitar perairan Pulau Bonetambung dan Pulau
Lumu-lumu.
B. Gambaran Umum Pulau Pajenekang
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam Pulau Pajenekang
Pulau Pajenekang termasuk dalam wilayah administratif kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), terletak di desa Mattiro Deceng,
kecamatan Liukang Tuppabiring. Secara geografis, Pulau Pajenekang
terletak pada titik 119o19‟30”BB - 119o20‟00”BT dan 04o58‟30”LU -
04o58‟00” LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Pulau Bontosua dan Pulau Sanane
Sebelah Selatan : Pulau Ballang Lompo
Sebelah Timur : Pulau Barrang Lompo
Sebelah Barat : Pulau Badi
Untuk mencapai Pulau Pajenekang dapat ditempuh melalui kanal
Paotere kota Makassar dan dermaga Maccini Baji kota Pangkajene.
Waktu tempuh dari kota Makassar kurang lebih 1 jam, waktu tempuh dari
67
ibukota kabupaten Pangkep (Pangkajene) kurang lebih 2 jam 20 menit,
sedangkan waktu tempuh dari ibukota kecamatan (Ballang Lompo) kurang
lebih 20 menit menggunakan perahu Jolloro, mesin berkekuatan 35 PK.
Seperti halnya degan nelayan Pulau Badi, aktivitas nelayan Pulau
Pajenekang dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim barat dan musim
timur. Musim angin barat antara bulan November sampai Februari.
Adapun antara bulan Maret sampai April merupakan transisi ke musim
angin timur. Sementara itu musim angin timur sekitar bulan Juni, Juli dan
Agustus. Periode transisi ke angin barat adalah bulan September dan
Oktober. Musim angin barat menjadi kendala bagi nelayan dan musim
angin timur adalah saat yang dimanfaatkan nelayan untuk melakukan
aktivitas penangkapan ikan.
2. Penduduk dan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk Pulau Pajenekang sebanyak 1530 jiwa dengan
jumlah KK (Kepala Keluarga) sebanyak 315. Jumlah penduduk laki-laki
sebesar 714 jiwa atau sekitar 47 persen. Sedangkan penduduk
perempuan sebesar 816 jiwa atau sekitar 53 persen dari jumlah total
penduduk Pulau Pajenekang. Jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut :
Tabel 4. Jumlah Penduduk Pulau Pajenekang Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
Jiwa Persen (%)
Laki-laki 714 47
Perempuan 816 53
Jumlah 1530 100 Sumber : Data Sekunder Monografi Desa Mattiro Deceng, 2012
68
Penduduk Pulau Pajenekang dihuni lebih banyak oleh kaum wanita
daripada penduduk pria, meskipun selisih jumlah diantara kedua jenis
kelamin ini tidak terlalu jauh.
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai
nelayan, sementara penduduk lain berprofesi sebagai pedagang hasil
laut, pedagang bahan pokok, tukang kayu (pembuat perahu), guru
mengaji dan pegawai negeri. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan,
memanfaatkan sumberdaya laut dengan melakukan penangkapan jenis
biota bernilai ekonomi. Penduduk yang berprofesi sebagai pedagang laut
mendistribusikan hasil tangkapan nelayan ke berbagai konsumen.
Umumnya sektor perdagangan hasil laut ini dilakukan oleh pedagang
pengumpul (pabalolang).
Aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut di pulau ini memiliki
kemiripan dengan jenis usaha yang dikelola oleh penduduk Pulau Badi,
yaitu sektor kenelayanan dan pedagang. Nelayan terdiri dari kelompok
pengguna gae dan pancing. Dari segi teknologi yang digunakan pada
usaha gae dan pabalolang di pulau ini tidak jauh berbeda dengan usaha
sejenis di pulau lainnya.
3. Sarana dan Prasarana
Pulau Pajenekang memiliki beberapa sarana dan prasarana umum
mencakup bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Di bidang keagamaan, dengan jumlah penduduk mayoritas beragama
Islam Pulau Pajenekang memiliki sebuah masjid yang digunakan sebagai
sarana beribadah seperti sholat, pengajian, upacara keagamaan dan
69
merupakan tempat penyebaran informasi (penyebaran berita kematian
dan undangan untuk berkumpul).
Di bidang pendidikan, Pulau Pajenekang memiliki sebuah SD
(Sekolah Dasar) yaitu SD Negeri 16 Pajenekang serta sebuah SMP
(Sekolah Menengah Pertama) Negeri 3 satu atap. Fungsi Sekolah Dasar
ini sangat penting untuk memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat
Pulau Pajenekang. Belum tersedia Sekolah Menengah Atas (SMA) di
Pulau ini, sehingga masyarakat yang ingin melanjutkan sekolah ke
Sekolah Menengah Atas (SMA) harus pergi ke Pulau Ballang Lompo
(ibukota kecamatan), kota Pangkajene (ibukota kabupaten Pangkep) atau
ke kota Makassar.
Selain di bidang pendidikan, terdapat juga sarana di bidang
kesehatan berupa 1 unit puskesmas desa (puskesdes) dan 1 unit
posyandu. Sedangkan untuk sarana olahraga, Pulau Pajenekang
memiliki sebuah lapangan sepak bola. Sarana lainnya yang terdapat di
Pulau Pajenekang adalah sarana penerangan Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) yang beroperasi selama 6 jam, mulai jam 18.00 hingga jam
24.00. Sarana penerangan ini telah dapat diakses oleh sebagian besar
penduduk Pulau ini. Namun menurut informasi dari penduduk setempat,
sudah sejak setahun yang lalu instalasi listrik ini mengalami kerusakan
dan belum diperbaiki sehingga kebutuhan listrik penduduk pulau ini
diperoleh dari generator pribadi milik setiap keluarga.
Sarana transportasi bagi masyarakat Pulau Pajenekang berupa
kapal penumpang reguler yang melayani rute Makassar-Pajenekang
70
setiap harinya sebanyak 2 unit. Kapal angkutan ini sangat membantu
penduduk Pulau Pangkajene karena merupakan sarana efektif bagi
penyaluran hasil tangkapan dan suplai bahan kebutuhan pokok dari dan
keluar pulau, terutama ke kota Makassar. Terdapat sebuah dermaga di
Pulau Pajenekang yang terletak di sebelah timur Pulau. Dermaga ini lebih
banyak dimanfaatkan oleh kapal penumpang untuk bongkar muat barang
dan penumpang.
4. Armada dan Peralatan Tangkap
Aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut di pulau ini memiliki
kemiripan dengan jenis usaha yang dikelola oleh penduduk Pulau Badi,
yaitu sektor kenelayanan dan pedagang. Nelayan terdiri dari kelompok
pengguna gae dan pancing.
Armada yang digunakan oleh nelayan Pulau Pajenekang untuk
penangkapan ikan hingga saat ini didominasi oleh perahu kecil bercadik
(lepa-lepa) dengan ukuran panjang sekitar tujuh meter dan lebar sekitar
60 sentimenter. Sebagai sumber tenaga digunakan mesin ketinting
berkekuatan 6,5 PK dengan bahan bakar bensin. Jenis armada yang
berikut berupa perahu jolloro/kapal motor ukuran panjang 10 meter dan
lebar 1 meter, berkapasitas 3 - 7 ton dengan kekuatan mesin 10 - 15 PK,
yang biasanya digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan
menggunakan pancing rawe atau digunakan oleh pedagang pengumpul
(pabalolang). Sedangkan jenis armada lainnya berukuran lebih besar
yaitu kapal gae yang digunakan oleh nelayan gae (purse seine).
71
Dalam melakukan aktivitas penangkapannya, nelayan pancing
Pulau ini menggunakan pancing rawe untuk menangkap ikan katamba,
bambangan, sunu dan kakap merah. Wilayah operasi penangkapan
mereka meliputi taka diang-diangang dan perairan sekitar Pulau
Kapoposang.
Jenis pancing rawe diakui oleh nelayan sebagai jenis pancing yang
menghabiskan banyak biaya karena membutuhkan bahan (berupa mata
pancing dan tasi) yang banyak. Biasanya nelayan membutuhkan 120
sampai 170 buah mata pancing serta tasi dari dua ukuran yang masing-
masing dibutuhkan masing-masing 3 - 4 gulung untuk membuat satu set
pancing rawe. Dalam aktifitas penangkapannya, biasanya nelayan
membawa dua pancing rawe yang dioperasikan secara bersamaan agar
lebih besar peluang untuk menangkap ikan.
Menurut nelayan Pulau Pajenekang, penangkapan ikan dengan
pancing rawe dilakukan hanya jika harga ikan relatif stabil, karena jika
harga ikan turun (saat tangkapan nelayan melimpah), nelayan merugi
karena hasil penjualan tangkapan tidak sebanding dengan biaya
operasianal. Saat keadaan seperti itu, nelayan memilih mengubah usaha
mereka dari penangkap ikan menjadi pembeli ikan (pabalolang) dengan
memanfaatkan jolloro yang dimiliki. Nelayan akan membeli ikan dari
nelayan pengguna pukat dan pancing yang melakukan penangkapan di
wilayah perairan Makassar. Kegiatan usaha seperti ini dikenal oleh
penduduk lokal sebagai “pabalolang patula”.
72
Jenis alat tangkap lainnya yang digunakan oleh nelayan Pulau
Pajenekang yaitu pancing tinumbu. Nelayan pemancing tinumbu
menggunakan dua alat tangkap dalam sekali melaut yaitu: pancing rinta
dan pancing tinumbu. Pancing rinta digunakan untuk menangkap ikan
umpan seperti: ikan tembang dan ikan ruma-ruma. Ikan-ikan tersebut
dibiarkan hidup agar dapat digunakan sebagai umpan. Sedangkan
pancing tinumbu yang digunakan adalah kail No. 02 (dulu No. 8) dengan
tasi berwarna (pambo) No. 80/90. Karena gigi ikan tinumbu sangat tajam,
maka mata kail diikat dengan menggunakan kawat perak dan
disambungkan dengan ujung tasi. Waktu penangkapan ikan tinumbu
berkisar antara bulan April sampai Agustus dengan puncak penangkapan
biasanya pada bulan Juli sampai Agustus.
Alat tangkap lainnya adalah doang-doang yang digunakan untuk
menangkap cumi-cumi. Pancing jenis ini dioperasikan pada malam hari
pada saat terang bulan. Selain itu ditemukan nelayan menggunakan
pukat untuk menangkap ikan mairo, dengan daerah penangkapan sekitar
taka-taka pulau Lanyukang. Nelayan Pulau Pajenekang juga
menggunakan alat pancing berupa kedo-kedo dan tomba untuk
menangkap jenis ikan sunu.
Selain itu sebagian kecil nelayan Pulau Pajenekang menggunakan
purse seine (gae) sebagai alat tangkap. Pengoperasian alat tangkap gae
dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota 8 sampai 14
orang. Terdapat 4 orang punggawa atau pengusaha perikanan tangkap
menggunakan alat tangkap gae di pulau ini.
73
Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan Pulau Pajenekang
diperlihatkan pada Gambar 6.
a. Pancing tinumbu c. Pukat kepiting
b. Rinta d. Jaring gae
Gambar 6. Jenis Alat Tangkap Nelayan Pulau Pajenekang
74
Sedangkan jenis alat tangkap dan jenis ikan hasil tangkapan dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis Alat Tangkap dan Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Pulau Pajenekang
Jenis Alat Tangkap Jenis Ikan Hasil Tangkapan
Pancing rawe Ikan layang (Decapterus sp), ikan bambangan (Lutjanus rivulatus) dan ikan kakap merah (Lutjanus capprchanus)
Pancing rinta Ikan tembang (Sardinella gibbosa) dan ikan banyara (Rastrelliger kanagurta).
Pancing tinumbu Ikan tinumbu (Acanthocybium solandri)
Pancing kedo-kedo Ikan sunu (Plectrocopomus leopardus)
Pancing gurita Gurita (Octopus sp)
Pancing cumi-cumi Cumi-cumi (Loligo pealii)
Pukat/jaring udang Udang lobster (Panulirus penicillatus)
Pukat/jaring kepiting Kepiting karang (Portunus pelagicus)
Pukat mairo Ikan mairo (Stolephorus sp)
Pancing tomba Ikan sunu (Plectrocopomus leopardus)
Purse seine (jaring gae) Ikan banyara (Rastrelliger kanagurta), ikan layang (Decapterus sp) dan ikan tembang (Sardinella gibbosa),
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
5. Wilayah Penangkapan
Wilayah tangkap nelayan Pulau Pajenekang terbatas pada perairan
Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar. Wilayah penangkapan ikan
tergantung dari target tangkapan dan musim serta alat tangkap yang
digunakan. Nelayan yang menggunakan pancing rawe untuk menangkap
ikan katamba, bambangan, sunu dan kakap merah memiliki wilayah
operasi penangkapan meliputi taka diang-diangang dan perairan sekitar
Pulau Kapoposang. Lokasi-lokasi di mana nelayan pemancing tinumbu
beroperasi adalah di sekitar perairan Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang.
75
Lokasi-lokasi tersebut merupakan daerah karang yang oleh nelayan
disebut dengan taka.
Pada musim barat, ketika gelombang dan angin kencang, hasil
tangkapan nelayan Pulau Pajenekang adalah cumi-cumi dan kepiting. Hal
ini disebabkan nelayan tidak berani melaut terlalu jauh dari pulau. Selain
itu, nelayan pancing ikan sunu yang menggunakan alat tangkap kedo-
kedo dan tomba di saat musim timur mempunyai daerah penangkapan di
sekitar Pulau Lanyukang dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam, Pulau
Jangangjangang, Pulau Samatelu, Pulau Salemo dan Pulau Gondongbali
dengan waktu tempuh sekitar 2 - 2,5 jam dari Pulau Pajenekang.
Nelayan yang menggunakan alat tangkap doang-doang yang
digunakan untuk menangkap cumi-cumi memiliki wilayah penangkapan di
sekitar perairan Pulau Bonetambung dan Pulau Lumu-Lumu. Selain itu
ditemukan nelayan menggunakan pukat untuk menangkap ikan mairo,
dengan daerah penangkapan sekitar taka-taka pulau Lanyukang.
Wilayah/daerah penangkapan ikan nelayan Pulau Pajenekang
yang menggunakan alat tangkap purse seine (gae) meliputi perairan
sekitar Pulau Langkai dan perairan Jeneponto. Di saat musim barat,
nelayan purse seine (gae) memperluas daerah tangkapan ke wilayah
perairan Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Flores (NTT).
76
C. Karakteristik Responden
1. Usia Responden
Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan
saat dilakukannya penelitian. Jumlah dan persentase usia responden
berdasarkan survei dapat dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia
No. Golongan Usia (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Muda ( 22 -30 ) 2 4,6
2 Dewasa ( 31 – 40 ) 36 81,8
3 Tua ( > 40 ) 6 13,6
Jumlah 44 100
Pulau Pajenekang
1 Muda ( 22 -30 ) 1 4
2 Dewasa ( 31 – 40 ) 19 76
3 Tua ( > 40 ) 5 20
Jumlah 25 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Usia responden dibagi kedalam tiga kategori, yakni usia muda
(22-30 tahun), dewasa (31-40 tahun) dan tua (lebih dari 40 tahun).
Dengan demikian, usia responden Pulau Badi yang tergolong usia muda
sebanyak 2 orang (4,6 %), golongan dewasa sebanyak 36 orang (81,8 %),
dan golongan tua sebanyak 6 orang (13,6 %). Sedangkan usia responden
Pulau Pajenekang yang tergolong usia muda sebanyak 1 orang (4 %),
dewasa sebanyak 19 orang (76 %), dan golongan tua sebanyak 5 orang
(20 %).
77
2. Pengalaman Responden Sebagai Nelayan
Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai
nelayan. Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga
mempengaruhi pengetahuannya mengenai kondisi ekosistem laut serta
perubahannya yang mempengaruhi aktivitas pencarian hasil tangkapan.
Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalamannya sebagai
nelayan dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Sebagai Nelayan
No. Pengalaman (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Rendah ( 10 – 15) 3 6,8
2 Sedang ( 16 – 21 ) 31 70,5
3 Tinggi ( > 21) 10 22,7
Jumlah 44 100
Pulau Pajenekang
1 Rendah ( 10 – 15) 1 4
2 Sedang ( 16 – 21 ) 17 68
3 Tinggi ( > 21) 7 28
Jumlah 25 100
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2013
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 44 responden
Pulau Badi, diperoleh sebanyak 10 orang atau 22,7 persen responden
bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 21 tahun. Sebanyak 31 orang
atau 70,5 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 16 – 20
tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 3 orang nelayan atau 6,8 persen
responden bekerja sebagai nelayan selama 10 - 15 tahun. Sedangkan
hasil survei yang dilakukan terhadap 25 orang nelayan Pulau Pajenekang,
diperoleh sebanyak 7 orang atau 28 persen responden bekerja sebagai
78
nelayan selama lebih dari 21 tahun. Sebanyak 17 orang atau 68 persen
responden bekerja sebagai nelayan selama 16 - 21 tahun. Sedangkan
sisanya sebanyak 1 orang nelayan atau 4 persen responden bekerja
sebagai nelayan selama 10 – 15 tahun.
Hal ini menunjukkan pengalaman nelayan cukup untuk mengetahui
kondisi ekosistem serta perubahan ekologis yang terjadi di wilayah
perairan yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan.
3. Lamanya Tinggal di Pulau
Lama tinggal di Pulau adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh
responden menempati tempat tinggalnya. Seberapa jauh seseorang
mengetahui kondisi wilayah tempat tinggal serta perubahan-perubahan
yang terjadi di dalamnya dipengaruhi oleh lamanya waktu tinggal yang
telah dilaluinya di wilayah tersebut. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan lamanya waktu tinggal dapat dilihat dalam Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di Pulau
No.
Lama Tinggal
(Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Rendah ( 22 – 30) 4 9,1
2 Sedang ( 31 – 40 ) 34 77,3
3 Tinggi ( > 40) 6 13,6
Jumlah 44 100
Pulau Pajenekang
1 Rendah ( 22 – 30) 2 8
2 Sedang ( 31 – 40 ) 18 72
3 Tinggi ( > 40) 5 20
Jumlah 25 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
79
Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 44 orang nelayan
Pulau Badi, diketahui 4 orang nelayan atau 9,1 persen responden tinggal
di wilayah Pulau Badi antara 22 – 30 tahun, sebanyak 34 orang nelayan
atau 77,3 persen tinggal antara 31 – 40 tahun dan sisanya sebanyak 6
orang atau 13,6 persen tinggal lebih dari 40 tahun. Sedangkan hasil survei
untuk Pulau Pajenekang terhadap 25 orang nelayan diperoleh 2 orang
nelayan atau 8 persen responden tinggal di wilayah Pulau Pajenekang
antara 22 – 30 tahun, sebanyak 18 orang nelayan atau 72 persen tinggal
antara 31 – 40 tahun dan sisanya sebanyak 5 orang atau 20 persen
tinggal lebih dari 40 tahun. Hal ini sekaligus merepresentasikan
masyarakat nelayan Pulau Badi dan Pajenekang yang sebagian besar
merupakan penduduk asli setempat.
4. Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden
Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang
menetap dalam satu rumah tangga dimana nelayan itu tinggal. Jumlah
anggota rumah tangga nelayan ini diduga mempengaruhi pilihan-pilihan
adaptasinya terhadap perubahan ekologis. Jumlah dan persentase
responden berdasarkan banyaknya anggota rumah tangga nelayan dapat
dilihat dalam Tabel 9.
80
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Banyaknya Anggota Rumah Tangga
No.
Jumlah Anggota
Rumah Tangga
(Orang)
Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Sedikit ( 1 – 3 ) 11 25
2 Sedang ( 4 – 6 ) 31 70,5
3 Banyak ( > 6 ) 2 4,5
Jumlah 44 100
Pulau Pajenekang
1 Sedikit ( 1 – 3 ) 8 32
2 Sedang ( 4 – 6 ) 14 56
3 Banyak ( > 6 ) 3 12
Jumlah 25 100
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2013
Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 44 orang nelayan
Pulau Badi, diketahui sebanyak 31 orang nelayan atau 70,5 persen
responden memiliki anggota rumah tangga 4-6 orang. Sebanyak 11 orang
nelayan atau 25 persen responden memiliki anggota rumah tangga 1-3
orang dan sebanyak 2 orang nelayan atau 4,5 persen responden memiliki
anggota rumah tangga lebih dari 6 orang. Rata-rata anggota rumah
tangga nelayan yang ada di Pulau Badi adalah 4 orang. Artinya, jumlah
anggota rumah tangga nelayan di Pulau Badi tergolong kedalam rumah
tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sedang.
Sedangkan Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 25 orang
nelayan Pulau Pajenekang, diketahui sebanyak 14 orang nelayan atau
56 persen responden memiliki anggota rumah tangga 4-6 orang.
Sebanyak 8 orang nelayan atau 32 persen responden memiliki anggota
rumah tangga 1-3 orang dan sebanyak 3 orang nelayan atau 12 persen
81
responden memiliki anggota rumah tangga lebih dari 6 orang. Rata-rata
anggota rumah tangga nelayan yang ada di Pulau Pajenekang adalah 4
orang. Artinya, jumlah anggota rumah tangga nelayan di Pulau
Pajenekang juga tergolong rumah tangga dengan jumlah anggota rumah
tangga sedang.
5. Jenis Armada Penangkapan
Armada penangkapan adalah jenis perahu yang digunakan nelayan
dalam kegiatan penangkapan. Adapun jenis-jenis perahu yang ada di
Pulau Badi dan Pajenekang, diantaranya: Lepa-lepa, Jolloro dan Kapal
Gae. Adapun jumlah dan persentase responden berdasarkan armada
penangkapannya dapat dilihat dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Armada Penangkapan
No.
Jenis Armada
Penangkapan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)
1 2 3 4
Pulau Badi
1 Tradisional (Lepa-
lepa) 31 70,5
2 Semi modern (Jolloro) 8 18,1
3 Modern ( Kapal Gae) 5 11,4
Jumlah 44 100
Pulau Pajenekang
1 Tradisional (Lepa-
lepa) 16 64
2 Semi modern (Jolloro) 7 28
3 Modern ( Kapal Gae) 2 8
Jumlah 25 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Terlihat pada tabel 10, nelayan Pulau Badi lebih didominasi oleh
armada tangkap jenis lepa-lepa. Sebanyak 31 responden atau
82
70,5 persen menggunakan lepa-lepa. Sedangkan sisanya sebanyak
8 responden atau 18,1 persen menggunakan armada jolloro dan
sebanyak 5 responden atau 11,4 persen menggunakan armada tangkap
jenis kapal gae. Sedangkan berdasarkan hasil survei untuk Pulau
Pajenekang, diperoleh sebanyak 16 responden atau 64 persen
menggunakan armada lepa-lepa, 7 responden atau 28 persen responden
menggunakan armada jolloro dan sebanyak 2 orang responden atau
8 persen menggunakan armada tangkap jenis kapal gae.
Ukuran dan kekuatan armada tangkap yang ada, serta tingkat
efektivitas dan kualitas alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Pulau Badi
dan Pulau Pajenekang diduga mempengaruhi usaha penangkapan ikan di
kawasan tersebut. Kapasitas armada tangkap yang digunakan nelayan
sangat menentukan daya jangkau nelayan ke daerah penangkapan.
Semakin besar kapasitas armada penangkapan, semakin jauh atau
semakin luas daerah tangkapan.
83
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis
Perubahan ekologis merupakan perubahan yang terjadi pada
keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan
pesisir sebagai akibat dari aktivitas manusia maupun proses perubahan
iklim. Perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dihindari
dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks
pertukaran (exchange). Sistem alam dan sistem manusia saling
memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang
berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007). Manusia meminta materi,
energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi
dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah dan polutan yang lebih
banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya.
Pertambahan penduduk yang pesat dan kegiatan kenelayanan
serta kegiatan-kegiatan pendukungnya sangat mempengaruhi terjadinya
perubahan ekologis. Pertambahan penduduk membutuhkan perumahan
yang berpengaruh pada penebangan pohon-pohon dan penambangan
terumbu karang sebagai bahan bangunan. Pertambahan penduduk juga
mendorong berkembangnya usaha kenelayanan destruktif, karena
perlunya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Komersialisasi jenis ikan
84
tertentu dan meningkatnya permintaan terhadap ikan telah mendorong
berkembangnya usaha kenelayanan destruktif.
Di wilayah Pulau Badi gejala perubahan ekologis di wilayah laut
yang dirasakan secara langsung oleh para nelayan dan mempengaruhi
aktivitas dan produksi perikanan tangkap.
1. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis Pulau Badi
Berdasarkan persepsi nelayan Pulau Badi, perubahan ekologis
yang terjadi meliputi :
a. Kerusakan Terumbu Karang
Keberadaan terumbu karang diakui oleh para nelayan sangat
penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan
karang-karang tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan untuk
menentukan daerah penangkapan, khususnya oleh para nelayan dengan
alat tangkap berupa pancing. Sebelum memancing, para nelayan
tersebut mencari karang terlebih dahulu agar usahanya dalam mencari
ikan tidak sia-sia.
Kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Badi saat ini menurut
persepsi nelayan sudah jauh berbeda dengan beberapa tahun
belakangan. Berdasarkan hasil survei terhadap 44 responden tentang
persepsi nelayan mengenai kondisi tutupan karang hidup yang berada di
wilayah Pulau Badi saat ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,
sebanyak 36 responden (81,8%) mengatakan menurun, 5 responden
(11,4 %) mengatakan tetap/tidak berubah dan hanya 3 responden (6,8 %)
85
mengatakan kondisi tutupan karang semakin meningkat. Adapun persepsi
nelayan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 7.
Gambar 7. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Badi Tentang Kondisi Tutupan Karang Hidup Penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Badi umumnya
masih didominasi oleh aktivitas manusia, terutama oleh nelayan yang
menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing), terutama
penggunaan bahan peledak dan bius. Berdasarkan hasil survei terhadap
44 responden tentang penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Badi,
sebanyak 27 responden (61.4 %) mengatakan destructive fishing sebagai
penyebab kerusakan terumbu karang, 9 responden (20.4 %) mengatakan
disebabkan oleh aktivitas penambangan karang, 5 responden (11.4 %)
mengatakan karena aktivitas penangkapan abalone/mata tujuh dan
sebanyak 3 responden (6.8 %) mengatakan bahwa pembuangan jangkar
kapal menjadi penyebab kerusakan terumbu karang. Secara kuantifikasi
persepsi nelayan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 11.
81.8%
11.4% 6.8%
Menurun Tetap Meningkat
86
Tabel 11. Persepsi Nelayan Pulau Badi Terhadap Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
No.
Penyebab
Frekuensi Responden
( Orang)
Persentase (%)
1. Penangkapan ikan menggunakan bom dan bius
27 61.4
2. Penambangan karang dan pasir untuk pembangunan rumah
9 20.4
3. Penangkapan abalone/ mata tujuh
5 11.4
4. Pembuangan jangkar kapal atau perahu.
3 6.8
Jumlah 44 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
informan, diperoleh informasi bahwa ekosistem terumbu karang di Pulau
Badi mengalami kerusakan karena teknik dan penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan di masa lalu yakni bahan peledak (bom) dan
bahan beracun (bius). Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan
tersebut diduga kuat telah merusak ekosistem terumbu karang dan
organisme lain yang bukan merupakan target penangkapan, sehingga
hasil tangkapan dirasakan menurun, baik dari ukuran ikan maupun jumlah
tangkapan.
Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil penelitian PPTK Unhas
(2006) yang menunjukkan bahwa tekanan fisik terhadap kondisi terumbu
karang berupa kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan
87
seperti penggunaan bom, bius (sianida) dan cara-cara merusak lainnya.
Nilai ekonomi ikan karang yang tinggi memicu masyarakat untuk
melakukan penangkapan ikan karang dalam jumlah besar dengan
menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem karang, seperti
pengeboman dan penggunaan racun sianida.
Hasil yang melimpah jika menggunakan bahan peledak ataupun
potasium lebih menggoda ketimbang menangkap ikan dengan memancing
ataupun jaring, membuat pelaku tetap melakukannya, umumnya pelaku
menggunakan kapal-kapal motor dengan kerja berkelompok. Satu buah
botol bahan peledak diperkirakan memiliki daya ledak radius sekitar 7-10
meter. Jika ingin mendapatkan hasil yang banyak, diledakkan di sekitar
karang yang merupakan tempat berlindungan ikan-ikan mulai dari yang
kecil hingga ikan dewasa.
Disamping itu, terjadi kegiatan penambangan karang sebagai
bahan bangunan. Aktivitas penambangan karang dilakukan di kawasan
gusung batua karena sejak lima tahun terakhir aktivitas penambangan
karang di sekitar pulau telah dilarang oleh pemerintah karena berdampak
pada daratan pulau yang setiap tahun terkena abrasi.
Menurut penelitian PPTK Unhas (2007) kerusakan fisik terumbu
karang di Pulau Badi juga disebabkan oleh penangkapan abalone/mata
tujuh. Cara penangkapan abalone/mata tujuh adalah dengan cara
membongkar terumbu karang. Pembuangan jangkar kapal/perahu juga
menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang
(PPTK, 2006).
88
Monitoring pada tahun 2010 yang merupakan kelanjutan dari
transek permanen dari tahun 2007, 2008 dan 2009 yang dipasang oleh
PPTK dan CRITC-LIPI menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir ini
terjadi peningkatan tutupan karang hidup terutama pada komponen non
Acropora, namun khusus kelompok Acropora cenderung menurun tahun
2007- 2010 (PPTK Unhas, 2010).
Pada kedalaman 3 meter, tutupan karang hidup tahun 2007-2009
mengalami perkembangan, yaitu 33 % pada tahun 2007, tahun 2008
mengalami peningkatan persentase tutupan menjadi 45 %, pada tahun
2009 mengalami penurunan sebesar 2% menjadi 43 % dan pada tahun
2010 kembali mengalami penurunan persentase tutupan menjadi 42 %.
Sedangkan pada kedalaman 10 meter persentase tutupan karang hidup
mengalami peningkatan persentase tutupan dari tahun 2007 sampai tahun
2009 yaitu 26 % pada tahun 2007, 36 % pada tahun 2009 dan meningkat
menjadi 47 % pada tahun 2009 tapi tahun 2010 kembali mengalami
persentase tutupan sebesar 13 % menjadi 34 % (PPTK Unhas, 2010).
Jika dibandingkan dengan hasil survei PPTK-Unhas (2006), kondisi
terumbu di Pulau Badi mengalami peningkatan penutupan karang hidup
hingga tahun 2009, walaupun kondisi terumbu karangnya masih tergolong
“sedang”. Namun demikian, peristiwa alam pemanasan suhu permukaan
air menyebabkan bleaching karang yang berakhir dengan kematian pada
karang umumnya Acropora (Coremap, 2010).
Dominansi kerusakan lebih banyak disebabkan oleh kegiatan atau
aktivitas manusia seperti pemboman dan pembiusan, sehingga dikuatirkan
89
pada periode tertentu dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah
jika tidak dilakukan upaya pengelolaan melalui keterlibatan semua pihak.
Kerusakan akibat sianida dapat ditandai oleh adanya karang yang mati
secara utuh di beberapa titik secara meluas. Hal ini terjadi di Kepulauan
Spermonde dan perlu menjadi perhatian bagi masyarakat dan pemerintah
serta swasta untuk mencegah terjadinya kerusakan terumbu karang yang
lebih parah.
Selain ancaman antropogenik, ekosistem terumbu karang juga
mendapat tekanan secara alamiah. Jenis gangguan alamiah adalah
penyakit, acanthaster (pemakan polip karang) dan pemutihan karang
(coral bleaching).
b. Peningkatan Intensitas Gelombang dan Badai
Salah satu dampak dari perubahan iklim berupa perubahan pola
angin, menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di beberapa
kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya berhembus angin
timur menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi gelombang
badai di lautan dan pesisir (Rahmasari, 2011). Hal ini merupakan kendala
bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan karena resiko
melaut akan semakin besar yang tentunya berpengaruh terhadap jumlah
hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil survei terhadap 44 responden tentang
persepsinya terhadap intensitas gelombang dan badai saat ini
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sebanyak 32 responden ( 72.7 %)
mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin meningkat,
90
7 responden (15.9 %) mengatakan tidak berubah/tetap dan sebanyak
5 responden (11.4 %) mengatakan intensitas gelombang dan badai
semakin menurun. Adapun persentase sebaran persepsi nelayan tentang
intensitas badai dan gelombang dapat dilihat dalam Gambar 8.
Gambar 8. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Badi Tentang Intensitas Gelombang dan Badai Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut
tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan Pulau
Badi yang menggantungkan kehidupan terhadap kegiatan penangkapan
ikan di laut. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara
daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan
sumberdaya alam menjadi semakin besar.
Selama sepuluh tahun terakhir tampak terjadi peningkatan
intensitas gelombang dan arus yang berdampak pada meningkatnya
proses abrasi dan jumlah angkutan sedimen dari tahun ke tahun di Pulau
Badi dan Pajenekang (Sirajuddin dkk, 2008). Matriks bentuk-bentuk
perubahan ekologis Pulau Badi dapat dilihat pada Tabel 12.
11.4%
15.9%
72.7%
Menurun Tetap Meningkat
91
Tabel 12. Matriks Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis Pulau Badi
No. Perubahan Ekologis
Penyebab
Keterangan
1. Kerusakan terumbu karang
Penangkapan ikan menggunakan bom dan bius
Aktivitas penambangan karang
Penangkapan abalone/ mata tujuh
Pembuangan jangkar kapal atau perahu.
Pemutihan karang
Penyakit karang.
Acanthaster (pemakan polip karang)
Degradasi karang dapat disebabkan oleh gangguan antropogenik(aktivitas manusia) maupun gangguan alamiah.
2. Meningkatnya intensitas gelombang dan badai
Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola angin
Frekuensi melaut nelayan berkurang karena resiko melaut semakin meningkat
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
2. Bentuk-Bentuk Perubahan Ekologis Pulau Pajenekang
Seperti halnya dengan Pulau Badi, di wilayah Pulau Pajenekang
gejala perubahan ekologis di wilayah laut juga dirasakan secara
langsung oleh para nelayan dan mempengaruhi aktivitas dan produksi
perikanan tangkap. Berdasarkan persepsi nelayan Pulau Pajenekang
perubahan ekologis yang terjadi meliputi :
a. Kerusakan Terumbu Karang
Walaupun secara alamiah, ekosistem terumbu karang memiliki
tingkat ketahanan yang tinggi, ternyata ekosistem ini tidak mampu
92
menerima tekanan dari berbagai aktivitas manusia yang berpotensi
merusak keberadaan terumbu karang (Dahuri, 2003).
Berdasarkan hasil survei di Pulau Pajenekang terhadap
25 responden mengenai persepsi nelayan terhadap kondisi tutupan
karang hidup yang berada di wilayahnya saat ini dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya, sebanyak 20 responden (80 %) mengatakan
menurun, 3 responden (12 %) mengatakan tetap/tidak berubah dan
hanya 2 responden (8 %) mengatakan kondisi tutupan karang semakin
meningkat. Sebaran persepsi nelayan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Pajenekang Tentang Kondisi Tutupan Karang Hidup
Penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Pajenekang masih
didominasi oleh aktivitas nelayan yang menggunakan alat tangkap yang
merusak (destructive fishing), terutama penggunaan bius untuk
menangkap ikan hidup. Penangkapan ikan hidup ini mulai marak setelah
permintaan ikan kerapu hidup dan ikan hias laut yang berasal dari
terumbu karang semakin meningkat. Berdasarkan hasil survei terhadap
80%
12% 8%
Menurun Tetap Meningkat
93
25 responden tentang penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau
Pajenekang, sebanyak 17 responden (68 %) mengatakan destructive
fishing sebagai penyebab kerusakan terumbu karang, 5 responden
(20 %) mengatakan disebabkan oleh aktivitas penambangan karang dan
sebanyak 3 responden (12 %) mengatakan bahwa pembuangan jangkar
kapal menjadi penyebab kerusakan terumbu karang. Secara kuantifikasi,
persepsi nelayan dapat dilihat dalam Tabel 13.
Tabel 13. Persepsi Nelayan Pulau Pajenekang Terhadap Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
No.
Penyebab
Frekuensi Responden
( Orang)
Persentase (%)
1. Penangkapan ikan menggunakan bom dan bius
17 68
2. Penambangan karang dan pasir untuk pembangunan rumah
5 20
3. Pembuangan jangkar kapal atau perahu.
3 12
Jumlah 25 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Ancaman terhadap terumbu karang dibagi menjadi dua kategori
yaitu ancaman alamiah dan ancaman yang ditimbulkan oleh manusia
(antropogenik). Ancaman yang ditimbulkan oleh alam termasuk
kerusakan akibat badai dan perubahan suhu. Sedangkan ancaman yag
disebabkan oleh aktivitas manusia adalah praktek penangkapan dengan
racun, dengan peledak, sedimentasi , polusi dan sampah.
94
Berdasarkan hasil penelitian PPTK Unhas (2010), kondisi terumbu
karang digolongkan baik pada kedalaman 3 m karena tutupan karang
hidup yang tercatat sebagai AC ( Acropora) dan NA (Non Acropora) lebih
dari 50 %. Sementara tutupan komponen abiotik seperti S (Sand), DCA
(Dead Coral Algae) dan DC (Dead Coral) lebih dari 40 %.
Pada kedalaman 10 m lebih didominasi oleh pecahan karang mati
(Rubble). Artinya terumbu karang di Pulau Pajenekang pernah mengalami
degradasi yang luar biasa akibat ulah manusia. Dampak dari semua ini
ketika karang sangat sulit untuk recovery secara alami karena substrat
rubble kurang stabil. Salah satu indikator kerusakan terumbu karang
adalah keberadaan karang jamur (Coral mushroom).
Menurut penelitian PPTK Unhas (2006) kerusakan fisik terumbu
karang di Pulau Pajenekang disebabkan oleh penangkapan ikan dengan
menggunakan bom dan bius, aktivitas penambangan karang untuk
pembangunan rumah dan pembuangan jangkar kapal.
Selanjutnya Supriharyono (2000) dalam Rahmawaty (2004)
menyatakan, sebenarnya akar permasalahan kerusakan terumbu karang
meliputi empat hal, yaitu kemiskinan masyarakat dan ketiadaan mata
pencaharian alternatif, ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat
dan pengguna, lemahnya penegakan hukum serta kebijakan pemerintah
yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem
alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya
terumbu karang.
95
b. Peningkatan Intensitas Gelombang dan Badai
Berdasarkan hasil survei terhadap 25 responden tentang
persepsinya terhadap intensitas gelombang dan badai saat ini
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sebanyak 16 responden ( 64 %)
mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin meningkat,
6 responden (24 %) mengatakan tidak berubah/tetap dan sebanyak
3 responden (12 %) mengatakan intensitas gelombang dan badai semakin
menurun. Adapun persentase sebaran persepsi nelayan tentang
intensitas badai dan gelombang dapat dilihat dalam Gambar 10.
Gambar 10. Sebaran Persentase Persepsi Nelayan Pulau Pajenekang Tentang Intensitas Gelombang dan Badai Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan pola angin
sehingga meningkatkan intensitas dan frekuensi gelombang serta badai
di lautan dan pesisir (Rahmasari, 2011). Hal ini tentunya menyebabkan
terganggunya aktivitas melaut para nelayan karena resiko melaut akan
semakin besar yang akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan.
12%
24%
64%
Menurun Tetap Meningkat
96
Perubahan insensitas gelombang dan arus telah diteliti oleh Rasyid
(2011) yang menyimpulkan bahwa di Pulau Badi dan Pajenekang pada
musim barat yang jatuh pada bulan Desember hingga Februari, pola arus
pada saat pasang dan surut menggambarkan pola arus yang sama dari
barat ke timur, ini disebabkan oleh faktor angin yang dominan dan
ditambah dengan kecepatan angin yang cukup besar dengan kecepatan
maksimum 12,24 m/s (24 knot) mengarah ke barat.
Sementara itu menurut hasil penelitian Sirajuddin, dkk (2008),
selama sepuluh tahun terakhir tampak terjadi peningkatan aktifitas
gelombang dan arus yang berdampak pada meningkatnya proses abrasi
dan jumlah angkutan sedimen dari tahun ke tahun di Pulau Badi dan
Pajenekang.
Perubahan intensitas gelombang dan badai yang semakin besar
akan mengganggu ekosistem laut, tentunya dapat memperburuk
kehidupan ekonomi para nelayan Pulau Pajenekang yang
menggantungkan kehidupan terhadap kegiatan penangkapan ikan di laut.
Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung
alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam
menjadi semakin besar. Matriks bentuk-bentuk perubahan ekologis di
Pulau Pajenekang dapat dilhat pada Tabel 14.
97
Tabel 14. Matriks Bentuk Perubahan Ekologis Pulau Pajenekang
No. Perubahan Ekologis
Penyebab
Keterangan
1 Kerusakan terumbu karang
Penangkapan ikan menggunakan bom dan bius
Aktivitas penambangan karang
Pembuangan jamgkar kapal
Pemutihan karang
Penyakit karang.
Acanthaster (pemakan polip karang)
Meningkatnya permintaan pasar terhadap ikan karang bernilai ekonomi tinggi menyebabkan potensi kerusakan terumbu karang menjadi semakin besar.
2 Meningkatnya intensitas gelombang dan badai
Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola angin
Frekuensi melaut nelayan berkurang karena resiko melaut semakin meningkat
B. Dampak Perubahan Ekologis
1. Dampak Perubahan Ekologis Pulau Badi
Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan Pulau
Badi seperti yang telah sebelumnya, tentu akan mempengaruhi kehidupan
nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan bagian dari masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidupnya pada
ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh perubahan ekologis tersebut
semakin besar karena nelayan Pulau Badi merupakan nelayan dengan
pola penangkapan ikan tradisional yang melakukan kegiatan pencarian
ikan dengan alat tangkap sederhana.
98
Berbagai tekanan ekonomi yang terus menerus terjadi serta
dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya
degradasi dan kerusakan terumbu karang di wilayah Pulau Badi.
Terganggu atau rusaknya ekosistem tersebut jelas akan mempengaruhi
kegiatan melaut nelayan yang bermuara pada jumlah dan variasi hasil
tangkapannya.
Dampak yang ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut
tidak hanya mempengaruhi kondisi ekologis namun juga berdampak
terhadap kondisi ekonomi nelayan.
1) Dampak Kerusakan Terumbu Karang
a. Sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan.
Kerusakan atau degradasi terumbu karang menyebabkan hilangnya
substrat yang menjadi sumber pakan ikan, hilangnya tempat mengasuh
dan membesarkan ikan serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota
laut di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini berakibat terhadap
berkurangnya stok ikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan
ekonomi nelayan.
Nelayan Pulau Badi telah memiliki wilayah penangkapan tertentu
yang menjadi area mencari ikan selama bertahun-tahun. Keberadaan
terumbu karang diakui oleh para nelayan memiliki peran yang sangat
penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan
terumbu karang dimanfaatkan oleh nelayan untuk menentukan daerah
penangkapan, khususnya oleh nelayan pancing. Sebelum memancing,
99
nelayan mencari karang terlebih dahulu agar usaha dalam mencari ikan
tidak sia-sia.
Perubahan ekologis juga menyebabkan perubahan pola migrasi
ikan. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan
tradisional yang masih mengandalkan pengetahuan lokal dan pengalaman
dalam mencari ikan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Dg.S (54 tahun) :
“ ..biasanya kita mancing di taka (karang) yang menjadi rumah ikan di
sekitar pulau saja. Banyak ikan di situ ji. Sekarang rumahnya dihancurkan
oleh pabom dan pabius. Akhirnya sekarang semakin susah tentukan
daerah menangkap karena taka-taka yang jadi petunjuk banyaknya ikan
sudah hancur dan hilang kodong..” (Wawancara, 2 Juni 2013).
Maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom
dan bius serta kegiatan penambangan karang menyebabkan kerusakan
dan kamatian karang sehingga nelayan menjadi sulit untuk menentukan
wilayah penangkapan ikan yang berdampak terhadap menurunnya jumlah
hasil tangkapan.
Kegiatan penangkapan ikan secara destructive dilakukan karena
nelayan pelaku tidak menyadari bahwa etika kepada makhluk hidup
maupun alam sangat perlu diperhatikan. Bagi mereka yang penting
adalah kebutuhannya terpenuhi, tidak peduli dengan dampak yang
merusak terumbu karang dan sumberdaya ikan lainnya. Fenomena
destructive fishing tidak semata persoalan etika, tetapi juga ekonomi
politik. Nelayan umumnya terikat dengan elit pemodal lokal. Ada nelayan
yang secara etika sudah sadar, namun tidak dapat berbuat apa-apa
100
karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Selain itu, rantai
jaringan pemilik modal dengan pihak di luar komunitas juga cukup kuat.
Secara mikro, langkah-langkah seperti pendidikan lingkungan,
pengembangan mata pencaharian alternatif dan penguatan modal melalui
lembaga ekonomi lokal sangat diperlukan. Langkah tersebut sekaligus
untuk mengatasi relasi patron-klien yang destuctive tersebut. Disamping
itu, diperlukan langkah makro untuk mengatasi persoalan tidak
berdayanya instrumen hukum. Desain makro diperlukan untuk
memayungi fenomena ini dengan mengharmonisasi antara hukum positif
dan hukum adat. Pembentukan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah menjawab sebagian persoalan
desain tersebut.
b. Menurunnya jumlah hasil tangkapan nelayan
Kerusakan atau degradasi terumbu karang menyebabkan
hilangnya substrat yang menjadi sumber pakan ikan, rusaknya habitat
terbiak, hilangnya tempat mengasuh dan membesarkan ikan serta
rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil (Purwoko, 2005). Hal ini berakibat pada berkurangnya
stok ikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan ekonomi nelayan.
Berdasarkan hasil survei terhadap 44 responden mengenai jumlah
hasil tangkapan, sebanyak 38 responden (86.4 %) mengatakan jumlah
hasil tangkapan menurun, 6 responden (13.6 %) mengatakan tidak
berubah/tetap dan tidak ada responden (0 %) yang mengatakan hasil
101
tangkapan meningkat. Data perbandingan hasil tangkapan sebelum dan
sesudah terjadi perubahan ekologis dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Rata-rata Hasil Tangkapan Nelayan Pulau Badi Per Trip (Sebelum dan Sesudah Perubahan Ekologis)
Jenis Alat Tangkap
Jenis Ikan
Jumlah Hasil Tangkapan Per Trip (Kg)
Sebelum Sesudah
Pancing rawe Ikan katamba, bambangan, kakap merah, sibula, cepa dan banyara.
60 - 90 15 - 30
Pancing kedo-kedo dan pancing tomba
Ikan sunu 5 -10 1- 4
Pancing gurita Gurita 4 - 15 3 - 8
Pancing cumi-cumi/doang-doang
Cumi-cumi 5 - 12 3 - 5
Pukat udang Udang lobster 5 - 8 2 - 3
Pukat kepiting Kepiting 6-12 3-5
Purse seine (jaring gae)
Ikan banyara, ikan katamba,ikan putih, ikan tembang.
225-300 90-150
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Menurut informasi yang diperoleh melalui wawancara terhadap
beberapa informan, penyebab utama menurunnya hasil tangkapan adalah
kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan
tidak ramah lingkungan menggunakan bahan peledak (bom) dan bius
serta kondisi cuaca dan gelombang yang semakin ekstrim yang
menyebabkan resiko melaut semakin besar.
Penurunan hasil tangkapan nelayan di Pulau Badi yang berada di
wilayah kecamatan Liukang Tupabiring, Kabupaten Pangkep juga
ditunjukkan lewat data hasil survei Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pangkep yang ditunjukkan pada Tabel 16.
102
Tabel 16. Produksi Perikanan Tangkap Per Kecamatan di Kabupaten
Pangkep
No Nama Kecamatan
Tahun Produksi (Dalam satuan ton)
2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Minasa tene 40,2 28,5 28,8 28,9 29,1 28.0
2 Pangkajene 281,1 197,0 199,8 200,0 201.2 189.3
3 Bungoro 743,0 587,8 295,0 595,6 596.5 560.0
4 Labakkang 602,4 429,7 452,6 453,4 454.6 434.6
5 Ma'rang 903,7 641,0 640,1 641,1 610 525.7
6 Segeri 833,4 591,2 590,0 590,6 580 518.7
7 Mandalle 933,8 602,4 610,0 610,8 603 511.7
8 Liukang Tupabbiring
2.158,7 1.642 1.553,0 1.532,0 1.551,20 1.022.3
9 Liukang Tupabbiring Utara
- - - - - 1.019.9
10 Liukang Tangaya
1.777,2 1.260,0 1.275,7 1.276,4 1.279.10 1.106.8
11 Liukang kalmas
1.767,2 1.252,8 1.268,5 1.270,0 1,273,2 1.092.8
Jumlah 10.040,7 7.268,7 7.219,8 7.211,7 7.122,4 7.009.8
Sumber : Data Sekunder Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, 2011
Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi perikanan
tangkap Kabupaten Pangkep mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Penurunan produksi ini sejalan dengan berkurangnya variasi ikan yang
ditangkap. Berkurangnya produksi dan jenis tangkapan merupakan akibat
dari penggunaan alat tangkap yang tidak ramah dengan
perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya. Penurunan kuantitas dan
jenis ikan sangat dirasakan oleh nelayan sehingga untuk dapat
meningkatkan kuantitas dan jenis ikan nelayan harus memperluas wilayah
tangkapannya. Perluasan wilayah tangkapan tentu saja akan berkaitan
erat dengan biaya operasional yang semakin meningkat.
c. Daerah penangkapan semakin jauh.
Nelayan tradisional Pulau Badi merupakan nelayan tradisional
dengan akses teknologi dan informasi yang relatif terbatas. Perubahan
103
ekologis yang telah terjadi di kawasan tersebut, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, menyebabkan hilangnya tempat atau daerah
penangkapan ikan (fishing ground).
Berdasarkan hasil survei terhadap responden dan wawancara
dengan beberapa informan, menunjukkan bahwa nelayan Pulau Badi
saat ini harus menangkap ikan ke lokasi yang semakin jauh dari pulau.
Sebelum terjadi perubahan ekologis, nelayan Pulau Badi menangkap ikan
hanya di sekitar pulau dan pulau-pulau terdekat.
Nelayan pancing dan nelayan pukat/jaring mempunyai daerah
penangkapan terjauh di sekitar Pulau Langkai dan Lanyukang dengan
waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Setelah terjadi degradasi ekosistem
terumbu karang, nelayan harus menangkap ke lokasi yang lebih jauh
(Pulau Gondongbali, Pulau Tambakulu, Pulau Papandangan, Pulau
Jangangjangan dan Pulau Kapoposang) dengan waktu tempuh sekitar
2,5 jam sampai 3 jam. Selain lokasi tersebut, pada musim barat nelayan
Pulau Badi berangkat ke perairan Kabaena, Kolaka dan Kendari
(Sulawesi Tenggara).
Wilayah penangkapan ikan nelayan purse seine (gae) di sekitar
Pulau Langkai dan perairan Jeneponto di saat musim timur, sedangkan di
saat musim barat lokasi penangkapan nelayan gae di wilayah Kendari
(Sulawesi Tenggara), Banjarmasin (Kalimantan) dan Flores (NTT). Data
wilayah tangkapan dan waktu tempuh nelayan Pulau Badi setelah terjadi
perubahan ekologis dapat dilihat pada Tabel 17.
104
Tabel 17. Matriks Daerah Tangkapan Nelayan Pulau Badi Setelah Perubahan Ekologis
Daerah
Penangkapan
Waktu tempuh berdasarkan jenis armada yang digunakan (jam)
Lepa-lepa Jolloro Kapal Gae
Pulau Gondongbali 2,5 2 2
Pulau Jangangjangan 2,5 2 2
Pulau Papandangan 2,5 2 2
Pulau Tambakulu 2,5 2 2
Pulau Kapoposang 3,5 2,5 2
Perairan Sulawesi Tenggara (Kabaena, Kolaka dan Kendari
-
20 24
Perairan Kalimantan (Banjarmasin)
-
28 24
Perairan NTT (Flores) - 36 30 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Waktu melaut yang digunakan nelayan juga semakin bertambah.
Sebelumnya hanya membutuhkan waktu 4 – 5 jam, sekarang nelayan
harus menghabiskan waktu sekitar 9 – 12 jam untuk melakukan aktivitas
melaut dalam satu trip.
Kondisi lingkungan perairan yang mengalami perubahan ekologis
serta iklim yang makin ekstrim menggeser area penangkapan ikan (fishing
ground) ke daerah yang lebih jauh. Hal ini akan menyebabkan waktu
melaut dan biaya produksi akan bertambah yang pada akhirnya akan
berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan (Rahmasari, 2011).
2) Dampak meningkatnya intensitas gelombang dan badai
a. Terjadi erosi pantai/abrasi di kawasan pemukiman penduduk.
Perubahan iklim global diperkirakan akan mempengaruhi
masyarakat pesisir di berbagai belahan dunia (IPCC, 2001; Dolan &
Walker, 2004). Salah satu hal yang akan berubah adalah akselerasi
terhadap kenaikan muka laut yang akan menimbulkan dampak lanjutan
105
seperti perendaman daratan pulau- pulau kecil, peningkatan banjir, erosi
pantai, intrusi air laut dan perubahan proses-proses ekologi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-
fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat
di wilayah pesisir dan pulau-pulau seperti hilangnya infrastruktur,
penurunan nilai-nilai ekologi dan nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan
laut (Klein & Nicholls, 1999). Selain itu, perkembangan daerah
pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang cepat di wilayah pesisir
dan pulau-pulau juga merupakan salah satu hal yang akan mengalami
perubahan secara fundamental karena perubahan iklim (Nicholls, 1995).
Hasil observasi dan informasi yang diperoleh dari kantor desa
Mattiro Deceng, menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas gelombang
dan badai menyebabkan terjadinya abrasi/erosi pantai yang merusak
pemukiman penduduk Pulau Badi. Data jumlah penduduk Pulau Badi
yang rusak akibat abrasi dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Jumlah Rumah Penduduk Pulau Badi Yang Rusak Akibat Abrasi
Tipe Kerusakan Jumlah Per Tahun Total
2007 2008 2009 2010 2011
Rusak ringan (masih dapat ditempati)
2 3 7 2 2 16
Rusak berat (tidak dapat ditempati)
1 2 4 5 3 15
Sumber : Data Sekunder Desa Mattiro Deceng, 2012
Berdasarkan tabel diatas , tercatat sebanyak 31 rumah yang rusak
akibat terkena erosi pantai/abrasi di Pulau Badi sejak tahun 2007 sampai
tahun 2011, dimana sebanyak 16 rumah mengalami kerusakan ringan dan
106
sebanyak 15 rumah mengalami kerusakan berat sehingga rumahnya tidak
dapat ditempati. Erosi pantai/ abrasi terjadi di sebelah barat dan selatan
dari Pulau Badi.
Hal tersebut di atas disebabkan oleh manusia. Masyarakat di
Pulau Badi membangun rumah dengan menggunakan material dari laut
sehingga melakukan penambangan batu karang dan pasir laut untuk
pondasi rumah serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan. Kegiatan tersebut menyebabkan terganggunya
keseimbangan transport sedimen sejajar pantai, rusaknya ekosistem
terumbu karang sehingga tidak ada lagi peredam energi gelombang yang
pada gilirannya akan mengakibatkan erosi pantai. Terumbu karang,
khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang
berasal dari laut (Bengen, 2002).
Apabila mundurnya garis pantai akibat kenaikan paras muka air laut
bersuperposisi dengan kecenderungan erosi pantai akibat ulah manusia
maka intensitas erosi pantai akan semakin meningkat (Diposaptono 2009).
Sangat tidak ekonomis untuk menghilangkan atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat abrasi melalui teknologi tertentu seperti
pembuatan tembok penahan ombak, juga tidak mungkin memindahkan
seluruh penduduk dan bangunannya dari daerah yang berbahaya.
Diperlukan program-program jangka panjang seperti konservasi
sumberdaya laut dan menciptakan pekerjaan-pekerjaan alternatif
(budidaya rumput laut) bagi nelayan.
107
b. Meningkatnya Resiko Melaut
Salah satu dampak perubahan ekologis akibat perubahan iklim
yang mengancam kondisi ekonomi nelayan diungkapkan oleh
Diposaptono (2009) berupa resiko melaut yang semakin tinggi akibat
ancaman meningkatnya intensitas badai dan gelombang ekstrim. Pada
wilayah perairan Kepulauan Spermonde, gelombang ekstrim serta badai
merupakan ancaman yang kerap kali datang ketika tiba musim angin barat
serta musim penghujan. Sementara perahu dan sarana penangkapan ikan
nelayan Pulau Badi masih tradisional dan belum dalam kapasitas
menghadapi badai ataupun gelombang besar.
Apabila datang musim dimana resiko melaut berada dalam kondisi
yang tinggi, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk tidak melaut. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat terjadi apabila
nelayan memaksakan untuk tetap melaut. Namun salah satu dampak dari
perubahan iklim berupa perubahan pola angin, di wilayah Kepulauan
Spermonde menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di
beberapa kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya
berhembus angin timur. Hal ini merupakan kendala yang beresiko cukup
besar bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Perubahan ekologis menimbulkan dampak ekologis dan ekonomi
bagi nelayan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bedjeck et al. (2010) yang
mengungkapkan bahwa perubahan ekologis yang terjadi di laut dapat
menyebabkan perubahan terhadap ketersediaan produk perikanan
sebagai modal utama nelayan. Selain itu juga dapat mempengaruhi
108
pendapatan nelayan dan berujung pada peningkatkan biaya dalam
mengakses sumberdaya. Matriks dampak perubahan ekologis terhadap
nelayan Pulau Badi dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Matriks Dampak Perubahan Ekologis Terhadap Nelayan Pulau Badi
No Bentuk Perubahan
Ekologis Dampak Perubahan
Ekologis Keterangan
1. Kerusakan terumbu karang
Hilangnya daerah penangkapan ikan
Daerah penangkapan ikan semakin jauh.
Hasil tangkapan nelayan menurun
Berkurangnya stok ikan
Sulit dijangkau oleh jenis armada tradisional
Kondisi ekonomi nelayan semakin sulit
2. Meningkatnya intensitas badai dan gelombang
Abrasi/erosi pantai di pemukiman penduduk (bagian barat dan selatan pulau).
Meningkatnya resiko melaut
Pemukiman penduduk semakin terancam
Frekuensi melaut semakin berkurang
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
2. Dampak Perubahan Ekologis Pulau Pajenekang.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di Pulau Pajenekang
tentang dampak perubahan ekologis, menunjukkan bahwa dampak yang
ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut tidak hanya
109
mempengaruhi kondisi ekologis namun juga berdampak terhadap kondisi
sosial ekonomi nelayan.
1) Dampak Kerusakan Terumbu Karang
a. Menurunnya jumlah hasil tangkapan nelayan
Berdasarkan hasil survei terhadap 25 responden mengenai jumlah
hasil tangkapan, sebanyak 20 responden (80 %) mengatakan jumlah
hasil tangkapan menurun, 5 responden (20 %) mengatakan tidak
berubah/tetap dan tidak ada responden (0 %) yang mengatakan hasil
tangkapan meningkat.
Penyebab utama menurunnya hasil tangkapan adalah kerusakan
terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan tidak ramah
lingkungan (destructive fishing) serta kondisi cuaca dan gelombang yang
semakin ekstrim yang menyebabkan resiko melaut semakin besar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil
tangkapan sebelum dan sesudah perubahan ekologis, dimana setelah
terjadi perubahan ekologis, hasil tangkapan nelayan cenderung menurun.
Data perbandingan hasil tangkapan sebelum dan sesudah terjadi
perubahan ekologis dapat dilihat pada Tabel 20.
110
Tabel 20. Rata-rata Hasil Tangkapan Nelayan P. Pajenekang Per Trip (Sebelum dan Sesudah Perubahan Ekologis)
Jenis Alat Tangkap Target
Tangkapan Jumlah Hasil Tangkapan
Per Trip (Kg)
Sebelum Sesudah
Pancing rawe Ikan katamba, bambangan, ikan tembang dan kakap merah
45 - 60 15 - 30
Pancing rinta Ikan tembang dan ikan ruma-ruma
15 - 45 10 - 20
Pancing tinumbu Ikan tinumbu 4 - 9 1 - 4
Pancing kedo-kedo Ikan sunu 5 - 8 2 - 4
Pancing gurita Gurita 5 - 15 2 - 6
Pancing cumi-cumi/doang-doang
Cumi-cumi 5 - 15 3 - 6
Pukat/jaring udang Udang lobster 3 - 5 1 - 3
Pukat/jaring kepiting Kepiting 4 - 8 2- 4
Pukat mairo Ikan mairo 60 - 90 15 - 30
Pancing tomba Ikan sunu 4 - 8 2 - 3
Purse seine (jaring gae)
Ikan banyara, ikan katamba,ikan putih, ikan tembang.
240 - 270 75 - 120
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang yang sangat
lambat dan sensitifitas terhadap lingkungan yang sangat tinggi membuat
terumbu karang mudah mengalami kerusakan atau kepunahan.
Keberadaan terumbu karang juga merupakan jaminan keberadaan ikan-
ikan karang baik ikan hias maupun ikan konsumsi dengan nilai ekonomi
tinggi.
Menurunnya keberadaan terumbu karang secara otomatis akan
mengurangi keberadaan ikan-ikan karang tersebut. Berkurangnya jumlah
ikan pada terumbu karang yang rusak akan mengurangi pendapatan para
nelayan, karena kerusakan tersebut mengakibatkan ikan-ikan akan
111
meninggalkan terumbu karang tersebut dan sebagian lagi akan mati
apabila daya tahan tubuh mereka tidak mampu mengatasi perubahan
ekosistem tempat tinggal mereka. Perkiraan produksi perikanan
tergantung pada kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi
yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton ikan per km2 per
tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton
ikan per km2 per tahun dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup
baik mampu menghasilkan 8 ton ikan per km2 per tahun (Suharsono,
1996).
b. Daerah penangkapan ikan semakin jauh.
Nelayan Pulau Pajenekang merupakan nelayan tradisional dengan
armada penangkapan dan akses teknologi informasi yang relatif terbatas.
Perubahan ekologis yang telah terjadi di kawasan tersebut, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, menyebabkan hilangnya tempat atau daerah
penangkapan ikan (fishing ground) sehingga nelayan harus memperluas
daerah penangkapan.
Hasil survei terhadap responden dan wawancara dengan beberapa
informan, menunjukkan bahwa nelayan Pulau Pajenekang saat ini harus
menangkap ikan ke lokasi yang semakin jauh dari pulau. Sebelum terjadi
perubahan ekologis, nelayan Pulau Pajenekang menangkap ikan hanya di
sekitar pulau. Lokasi penangkapan terjauh di Pulau Sanane dengan
waktu tempuh sekitar 30 menit atau Pulau Lanyukang dan Langkai
dengan waktu tempuh sekitar 1 - 1,5 jam. Setelah terjadi degradasi
ekosistem terumbu karang, nelayan harus menangkap ke lokasi yang
112
lebih jauh (Pulau Gondongbali, Pulau Samatelu, Pulau Papandangan,
Pulau Jangangjangan, Pulau Salemo dan Pulau Kapoposang) dengan
waktu tempuh sekitar 2,5 jam sampai 3 jam. Di saat musim barat nelayan
Pulau Pajenekang memperluas daerah penangkapan sampai ke perairan
Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Flores (NTT). Data daerah tangkapan
nelayan Pulau Pajenekang setelah perubahan ekologis ditunjukkan pada
Tabel 21.
Tabel 21. Matriks Daerah Tangkapan Nelayan Pulau Pajenekang Setelah Perubahan Ekologis
Daerah
Penangkapan
Waktu tempuh berdasarkan jenis armada (jam)
Lepa-lepa Jolloro Kapal Gae
Pulau Gondongbali 2,5 2 2
Pulau Samatelu 2 1,5 1,5
Pulau Papandangan 2,5 2 2
Pulau Salemo 2,5 2 2
Pulau Kapoposang 3 2,5 2
Pulau Jangangjangan 3 2,5 2
Perairan Kendari (Sulawesi Tenggara)
-
28 24
Perairan Flores (NTT) - 36 30 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Disamping daerah tangkapan yang semakin jauh, waktu yang
digunakan nelayan untuk melaut juga semakin bertambah. Jika
sebelumnya hanya membutuhkan waktu 3 – 4 jam, sekarang nelayan
harus menghabiskan waktu sekitar 7 – 12 jam untuk melakukan aktivitas
melaut.
Dengan demikian nelayan yang biasanya hanya membutuhkan
waktu yang singkat untuk memperoleh hasil tangkapan yang banyak akan
menjadi lebih sulit karena terumbu karang yang berada di daerah yang
dekat dengan tempat tinggal mereka telah rusak sehingga mereka
113
membutuhkan waktu yang lama untuk menuju ke daerah penangkapan
(fishing ground). Dengan kondisi yang demikian biaya operasional yang
dibutuhkan juga bertambah sehingga pendapatan yang biasa terima akan
berkurang serta kondisi sosial dan ekonomi nelayan semakin sulit.
2) Dampak meningkatnya intensitas gelombang dan badai
a. Terjadi erosi pantai/abrasi di kawasan pemukiman penduduk.
Perubahan yang terjadi pada aspek ekologi akan berdampak
terhadap aspek ekonomi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau
seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi dan nilai
ekonomi sumberdaya pesisir dan laut (Klein & Nicholls, 1999). Selain itu,
perkembangan daerah pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang
cepat di wilayah pesisir dan pulau-pulau juga merupakan salah satu hal
yang akan mengalami perubahan secara fundamental karena perubahan
iklim (Nicholls, 1995).
Data yang diperoleh dari kantor desa Matiro Deceng, di Pulau
Pajenekang menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas gelombang dan
badai berdampak terhadap kerusakan rumah penduduk. Sejak tahun
2007 sampai 2011 tercatat jumlah rumah penduduk yang mengalami
kerusakan akibat abrasi sebanyak 21 rumah dengan rincian sebanyak
9 rumah mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 12 rumah
mengalami kerusakan berat sehingga tidak dapat ditempati. Data rumah
penduduk Pulau Pajenekang yang rusak akibat abrasi dapat dilihat pada
Tabel 22.
114
Tabel 22. Jumlah Rumah Penduduk Pulau Pajenekang Yang Rusak Akibat Abrasi
Tipe Kerusakan Jumlah Per Tahun Total
2007 2008 2009 2010 2011
Rusak Ringan (Masih dapat
ditempati
1 2 3 1 2 9
Rusak Berat (Tidak dapat
ditempati)
1 3 4 3 1 12
Sumber : Data Sekunder Desa Mattiro Deceng, 2012
Sedangkan berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan
beberapa informan, menunjukkan bahwa abrasi/erosi pantai yang terjadi
di Pulau Pajenekang tersebut disebabkan oleh manusia. Masyarakat di
Pulau Pajenekang membangun rumah dengan menggunakan material
dari laut sehingga melakukan penambangan batu karang dan pasir laut
untuk pondasi rumah serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan. Kegiatan tersebut menyebabkan terganggunya
keseimbangan transport sedimen sejajar pantai, rusaknya ekosistem
terumbu karang sehingga tidak ada lagi peredam energi gelombang yang
pada gilirannya akan mengakibatkan erosi pantai.
Apabila kondisi terumbu karang telah rusak, maka kemampuan
terumbu karang untuk menahan gelombang akan berkurang dan bahkan
tidak dapat berfungsi lagi untuk menahan gelombang yang akhirnya dapat
mengakibatkan abrasi pantai. Terumbu karang, khususnya terumbu
karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai
dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut
(Bengen, 2002).
115
b. Meningkatnya Resiko Melaut
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan di Pulau
Pajenekang, menunjukkan bahwa wilayah perairan Kepulauan
Spermonde yang menjadi wilayah tangkapan utama nelayan Pulau
Pajenekang mengalami ancaman berupa gelombang ekstrim serta badai
yang seringkali datang ketika tiba musim angin barat serta musim
penghujan. Sementara armada dan sarana penangkapan ikan nelayan
Pulau Pajenekang masih tradisional sulit menghadapi badai ataupun
gelombang besar. Hal ini merupakan kendala yang beresiko cukup besar
bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Apabila datang musim dimana resiko melaut berada dalam kondisi
yang tinggi, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk tidak melaut. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat terjadi apabila
nelayan memaksakan untuk tetap melaut. Namun salah satu dampak dari
perubahan iklim berupa perubahan pola angin, di wilayah Kepulauan
Spermonde menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di
beberapa kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya
berhembus angin timur. Hal ini merupakan kendala yang beresiko cukup
besar bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Perubahan iklim merupakan fenomena yang tidak hanya
berdimensi lingkungan namun juga ekonomi. Di sektor perikanan,
kerugian dari perubahan ini berupa menurunnya hasil tangkapan ikan dan
kerusakan ekosistem laut. Dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh
nelayan tengkap berupa berubahnya pola melaut dan tingginya intensitas
116
badai dan ketidakpastian cuaca (Diposaptono, 2009). Matriks dampak
perubahan ekologis terhadap nelayan Pulau Pajenekang dapat dilihat
pada Tabel 23.
Tabel 23. Matriks Dampak Perubahan Ekologis Terhadap Nelayan Pulau Pajenekang
No Bentuk Perubahan
Ekologis Dampak Perubahan
Ekologis Keterangan
1 Kerusakan terumbu karang
Daerah penangkapan ikan semakin jauh.
Hasil tangkapan nelayan menurun
Biaya operasional meningkat
Kondisi ekonomi nelayan semakin sulit
2 Meningkatnya intensitas badai dan gelombang
Abrasi/erosi pantai di pemukiman penduduk (bagian barat pulau).
Meningkatnya resiko melaut
Pemukiman penduduk semakin terancam
Frekuensi melaut semakin berkurang
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
C. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis
1. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau Badi
Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan Pulau Badi telah
menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kegiatan nelayan. Hal ini
mengharuskan nelayan untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup di
kawasan tersebut. Strategi adaptasi yang dimaksud dalam bahasan ini
adalah bagaimana nelayan di Pulau Badi melakukan tindakan-tindakan
117
dalam merespon berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di
wilayahnya.
Berdasarkan hasil observasi, survei dan wawancara dengan
nelayan, baik responden maupun beberapa informan yang
merepresentasikan keberadaan nelayan di Pulau Badi, diperoleh bahwa
terdapat beberapa bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan di
dalam merespon perubahan ekologis yang berdampak terhadap kegiatan
nelayan. Adapun bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan,
diantaranya :
1) Strategi adaptasi terhadap kerusakan terumbu karang
a. Menganekaragaman alat dan teknik penangkapan
Sebelum terjadinya perubahan ekologis di kawasan ini, idealnya
nelayan hanya memiliki satu alat tangkap. Saat ini nelayan harus
menambah menjadi dua sampai tiga jenis alat tangkap agar bisa
bersahabat dengan kondisi lingkungan perairan yang sudah mengalami
perubahan, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal
ini diungkapkan oleh Bapak HT (53 tahun):
“...Kalau dulu kita pake rinta atau pukat mami (red. saja) sudah dapat
ikan mih. Sekarang, tidak bisa pake satu jenis alat tangkap ji. Kita harus
pake yang lain, seperti rawe, kedo-kedo, tomba dan doang-doang. Itupun
kalau punya uang untuk membelinya...”(Wawancara, 28 Mei 2013).
Strategi adaptasi yang menjadi sangat umum digunakan oleh
masyarakat nelayan, ialah penggunaan berbagai macam alat dan teknik
penangkapan. Strategi yang sangat umum ini disusun berdasarkan
pengetahuan nelayan mengenai berbagai jenis dan pola kebiasaan ikan
118
dan kondisi-kondisi dasar laut. Pengetahuan yang diperoleh melalui
pengalaman dan proses pembelajaran yang lama ( Lampe, 1986).
Berdasarkan hasil survei terhadap 44 responden di Pulau Badi,
diketahui strategi penganekaragaman alat tangkap dilakukan oleh
72,7 persen responden atau 32 orang nelayan.
Penganekaragaman alat tangkap ini dilakukan karena beberapa
jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, sehingga nelayan memutuskan
untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan
saja. Dengan begitu maka otomatis penggunaan alat tangkap nelayan
juga bertambah. Nelayan harus mencari alternatif sendiri jenis alat
tangkap yang paling efektif digunakan disaat ketidakpastian sumberdaya
ikan yang ditangkapnya.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di Pulau Badi dalam
menghadapi perubahan musim dengan cara mengganti jenis alat tangkap
berdasarkan jenis hasil tangkap sesuai musim dan memiliki lebih dari satu
jenis alat tangkap untuk masing-masing musim.
Berdasarkan hasil survei terhadap 32 responden yang memilih
strategi adaptasi pengeanekaragaman alat tangkap dan teknik
penangkapan, sebanyak 10 responden (31,3 %) melakukan adaptasi
dengan cara menambah jenis alat tangkap. Bentuk adaptasi ini dilakukan
karena beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, sehingga nelayan
memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada
satu jenis ikan saja. Dengan demikian maka penggunaan alat tangkap
119
nelayan juga bertambah. Saat melaut, nelayan membawa dua sampai
tiga jenis alat tangkap sekaligus.
Strategi kedua yang dilakukan yaitu merubah jenis alat tangkap
sesuai musim. Berdasarkan hasil survei terhadap 32 responden,
sebanyak 7 responden (21,8 %) melakukan adaptasi dengan cara
merubah jenis alat tangkap sesuai musim. Di saat musim timur nelayan
pancing menggunakan rawe, rinta, kedo-kedo dan tomba, sedangkan
musim barat nelayan menggunakan pancing gurita dan jaring/pukat
kepiting. Hal ini dilakukan karena di saat musim barat nelayan tidak dapat
melaut jauh dari pulau. Nelayan hanya melakukan penangkapan di pulau-
pulau terdekat untuk menangkap gurita dan kepiting. Nelayan mengakui
bahwa di saat musim barat, saat kerasnya gelombang banyak gurita
maupun kepiting keluar dari rumahnya, sehingga mudah untuk ditangkap.
Strategi ketiga yang dilakukan yaitu merubah alat tangkap karena
target tangkapan berubah. Berdasarkan hasil survei terhadap
32 responden yang memilih strategi adaptasi pengeanekaragaman alat
tangkap dan teknik penangkapan, sebanyak 15 responden (46,9 %)
melakukan adaptasi dengan cara merubah alat tangkap karena target
tangkapan berubah. Nelayan merubah target tangkapan dari jenis ikan
lelong (ikan yang dijual untuk konsumsi rumah tangga/lokal) ke jenis ikan
bernilai ekonomi tinggi dan jenis-jenis ikan yang diekspor (ikan sunu dan
ikan tinumbu). Matriks bentuk-bentuk penganekaragaman alat dan teknik
penangkapan nelayan Pulau Badi dapat dilihat pada Tabel 24.
120
Tabel 24. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Alat dan Teknik Penangkapan Nelayan Pulau Badi
No
Bentuk Penganekaragaman
Alat dan Teknik Penangkapan
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Menambah jenis alat tangkap.
10 31.3
2. Merubah jenis alat tangkap sesuai musim.
7 21.8
3. Merubah alat tangkap karena target tangkapan berubah.
15 46.9
Jumlah 32 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Beragamnya jenis alat penangkapan dan ukurannnya akan
menyebabkan bervariasi pula teknik operasi yang digunakan untuk
menangkap ikan. Minimnya teknologi penangkapan dan akses informasi
mengenai jenis alat tangkap yang ideal digunakan pada saat-saat tertentu
menyebabkan nelayan biasanya mengganti alat tangkapnya hanya
berdasarkan informasi dari sesama nelayan (yang belum tentu benar).
Konsekuensi yang harus diterima apabila nelayan merubah alat tangkap
yaitu sumber modal, keterampilan dan waktu.
Kemampuan untuk meningkatkan peralatan tangkap sangat
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi nelayan. Sesuai dengan kondisi
ekonominya, peralatan yang mampu dibeli adalah peralatan yang
sederhana, atau bahkan tidak mampu membeli peralatan tangkap sama
sekali sehingga menempatkan kedudukannya tetap sebagai buruh
nelayan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan variasi alat dan teknik
penangkapan bukan hal yang mudah dilakukan. Akibatnya, kemampuan
121
untuk meningkatkan hasil tangkapan menjadi sangat terbatas. Kondisi ini
mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk dapat melepaskan diri
dari kemiskinan.
Menurut Badjeck et al. (2010), kapasitas untuk cepat beradaptasi
terhadap perubahan ekologis melalui penggunaan teknik tangkap dan
alat-alat baru ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
mata pencaharian nelayan.
b. Memperluas daerah penangkapan
Nelayan tradisional Pulau Badi merupakan nelayan tradisional
dengan akses teknologi dan informasi yang relatif terbatas. Perubahan
ekologis yang telah terjadi di kawasan tersebut, seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, menyebabkan hilangnya tempat atau
daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kondisi ekologis yang
mengalami perubahan serta iklim yang makin ekstrim bisa menggeser
area penangkapan ikan (fishing ground) ke daerah yang lebih jauh. Hal ini
akan menyebabkan biaya produksi untuk mencari ikan yang dilakukan
nelayan akan naik yang pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan
ekonomi nelayan.
Berdasarkan hasil survei di Pulau Badi terhadap 44 responden,
sebanyak 20 responden atau sebanyak 45,5 persen melakukan adaptasi
dengan memperluas daerah penangkapan. Diantara 20 responden yang
melakukan strategi adaptasi memperluas daerah penangkapan, sebanyak
10 responden (50 %) memperluas wilayah tangkapan ke pulau lain yang
masih berada di perairan Pangkep, 6 responden (30 %) memperluas
122
wilayah tangkapan ke pulau-pulau lain di luar wilayah perairan Pangkep
dan 4 responden (20 %) memperluas wilayah penangkapan di luar
perairan Sulawesi Selatan (Tabel 25).
Tabel 25. Matriks Bentuk-Bentuk Perluasan Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Badi
No Daerah Penangkapan
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Pulau-pulau lain di wilayah perairan Pangkep
10 50
2. Pulau-pulau lain di luar perairan Pangkep(Masih di Kepulauan Spermonde)
6 30
3. Pulau-pulau di luar perairan Sulawesi Selatan
4 20
Jumlah 20 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Strategi adaptasi memperluas daerah penangkapan merupakan
kegiatan mengubah lokasi penangkapan ikan sesudah terjadinya
perubahan ekologis. Adaptasi dengan mengubah daerah penangkapan
ikan dilakukan oleh para nelayan hanya mengandalkan naluri dan
pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Para
nelayan yang melakukan tindakan tersebut tidak memiliki kemampuan
yang lebih sistematis dan terencana untuk mendeteksi ikan. Dengan
demikian, adaptasi seperti ini menyebabkan inefisiensi energi (bahan
bakar dan tenaga), pemborosan waktu dan hasil tangkapan yang relatif
rendah.
Penurunan kuantitas dan jenis ikan sangat dirasakan oleh nelayan
sehingga untuk dapat meningkatkan kuantitas dan jenis ikan nelayan
harus memperluas wilayah tangkapannya. Wilayah tangkapan yang
123
dulunya hanya berada di sekitar pulau, sekarang menjangkau wilayah
pulau lain yang masih berada di wilayah perairan Pangkep, wilayah pulau
lain di luar perairan Pangkep namun masih di wilayah Kepulauan
Spermonde dan wilayah tangkapan di luar perairan Sulawesi Selatan.
Hal ini senada dengan apa yang ditemukan oleh Ledee et al.
(2012), bahwa perubahan daerah tangkapan dapat mengindikasikan
beberapa hal diantaranya, penurunan pendapatan, penurunan
keuntungan dalam bisnis perikanan, penurunan akses terhadap area
tangkap yang produktif dan penurunan jumlah tangkapan produk
perikanan.
Strategi adaptasi seperti ini sebenarnya akan efektif jika disertai
oleh adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan penerapan teknologi
dalam memprediksi ikan. Namun demikian, masyarakat nelayan terutama
nelayan-nelayan tradisional di Pulau Badi banyak yang tidak memiliki
pengetahuan geografi ataupun perikanan, dan biasanya hanya
mengandalkan pengalaman untuk mencari atau menentukan daerah-
daerah penangkapan ikan. Terkadang nelayan juga hanya mengandalkan
tanda-tanda dari alam seperti keberadaan burung disekitar laut, atau
bahkan hanya mengandalkan peruntungan yang belum pasti terjadi.
Menurut Bennett (1976) sebagaimana dikutip Wahyono et al.
(2001), adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang diulang-
ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tindakan
yang diulang-ulang tersebut akan membentuk dua kemungkinan, yaitu
tindakan penyesuaian yang berhasil sebagaimana diharapkan, atau
124
sebaliknya tindakan yang tidak memenuhi harapan. Gagalnya suatu
tindakan akan menyebabkan frustrasi yang berlanjutan, yang berpengaruh
terhadap respon atau tanggapan individu terhadap lingkungan.
Adaptasi nelayan dengan mengubah daerah penangkapan ikan
dapat dikatakan sebagai tindakan penyesuaian (adaptasi) yang gagal jika
tidak diimbangi oleh kemampuan dalam memperkirakan keberadaan ikan,
pola migrasi ikan, dan peralatan teknologi yang memadai untuk
menangkap ikan tersebut. Hal ini dapat berpotensi memunculkan
kerawanan sosial di masyarakat nelayan, ketika kondisi sumberdaya laut
sudah tidak bisa lagi diandalkan dan adaptasi yang dilakukan nelayan
dengan mengubah daerah tangkapan ternyata gagal.
2) Strategi adaptasi terhadap meningkatnya intensitas gelombang dan
badai
a. Menganekaragaman sumber pendapatan
Bagi masyarakat nelayan, kombinasi/penganekaragaman beberapa
macam pekerjaan menurut hasil penelitian oleh para ahli antropologi
merupakan suatu strategi yang umum digunakan. Misalnya seseorang
disamping sebagai nelayan, selama waktu-waktu tertentu juga aktif
sebagai petani atau dalam sektor perdagangan laut. Bagi nelayan, sektor-
sektor ekonomi non perikanan menjadi demikian penting bilamana
musim angin dan gelombang sedang berlangsung yang tidak
memungkinkan sama sekali aktivitas perikanan dijalankan. Dalam sektor
perikanan itu sendiri, menjalankan lebih satu bentuk pekerjaan tidak
memungkinkan digunakan karena cuaca buruk, atau karena terjadi
125
perubahan musim, kemunculan jenis-jenis ikan yang menjadi tangkapan
pokok (Lampe, 1986).
Berdasarkan hasil survei terhadap 44 responden di Pulau Badi,
menunjukkan bahwa jumlah responden yang melakukan strategi adaptasi
dengan menganekaragamkan sumber pendapatan sebanyak 34,1 persen
atau sebanyak 15 responden.
Menurut Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara
berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi
ekonomi akan mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber
pekerjaan daripada hanya bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari
ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan tersebut merupakan salah
satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan nelayan. Dalam
kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih lanjut
Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah
ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan.
Berdasarkan hasil survei terhadap 15 responden yang melakukan
strategi adaptasi penganekaragaman sumber pendapatan, sebanyak
10 responden (66,7 %) melakukan kegiatan nafkah ganda di bidang
perikanan dengan membudidayakan karang hias, sedangkan 5 responden
(33,3 %) melakukan starategi nafkah ganda di bidang non perikanan
dengan memelihara unggas dan kambing (Tabel 26).
126
Tabel 26. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Sumber Pendapatan Nelayan Pulau Badi
No
Bentuk Penganekaragaman
Sumber Pendapatan
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Membudidayakan karang hias
10 66.7
2. Memelihara unggas dan kambing
5 33.3
Jumlah 15 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Menurut Ellis (1998) pengenekaragaman mata pencaharian
merupakan atribut yang penting bagi masyarakat pedesaan di negara-
negara berkembang. Lebih lanjut, Allison dan Ellis (2001)
mengemukakan bahwa penganekaragaman sumber pendapatan
(diversifikasi) merupakan pilihan yang rasional ditengah tingginya resiko
nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim ikan dan cuaca yang tidak
menentu.
Hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan,
kegiatan pembudidayaan karang hias menggunakan transplantasi karang
saat ini merupakan pekerjaan alternatif dan menjadi primadona bagi para
nelayan Pulau Badi. Beberapa jenis karang hias yang dibudidayakan di
Pulau Badi antara lain Montipora dan Acropora. Karang hias tersebut
dijual kepada pedagang pengumpul dan selanjutnya akan diekspor ke luar
negeri.
Kegiatan di bidang non-perikanan yang dilakukan nelayan Pulau
Badi dalam kaitannya untuk menambah pendapatan adalah dengan
memelihara ternak kambing, itik dan ayam. Hasil dari kegiatan
127
peternakan ini ini biasanya dipasarkan ke pulau tetangga (Pulau Sanane,
Lumu-lumu dan Bontosua) atau ke Makassar.
Pengembangan strategi nafkah ganda ini bertujuan agar nelayan
tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Hal ini perlu dilakukan
terutama pada nelayan lapisan bawah dimana keterbatasan sarana yang
dimiliki menyebabkan nelayan tidak selalu dapat melaut sepanjang tahun.
Namun hal ini tidak berlaku untuk semua keluarga nelayan yang menjadi
responden penelitian, hanya sebagian kecil keluarga nelayan yang
menjadi responden yang memiliki pekerjaan sampingan, sisanya hanya
bergantung dari hasil tangkapan dalam melaut. Keterbatasan modal
menjadi faktor penghambat dalam upya pengembangan strategi nafkah
ganda.
b. Memobilisasi anggota rumah tangga
Hasil survei di Pulau Badi terhadap 44 responden, sebanyak
12 responden atau 27,3 persen melakukan strategi adaptasi dengan cara
memobilisasi anggota keluarga. Bentuk-bentuk mobilisasi anggota rumah
tangga yang dilakukan oleh 12 responden yang melakukan strategi
adaptasi mobilisasi anggota rumah tangga ditunjukkan pada Tabel 27.
128
Tabel 27. Matriks Bentuk-Bentuk Mobilisasi Anggota Rumah Tangga Nelayan Pulau Badi Dalam Mencari Nafkah
No Bentuk Mobilisasi
Anggota Rumah Tangga
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang sayur keliling
2 16.7
2. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang bakso
1 8.3
3. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang sembako dan jajanan anak-anak.
6 50
4. Anak-anak dilibatkan dalam kegiatan penangkapan ikan
3 25
Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Istri-istri nelayan di Pulau Badi tidak hanya melakukan kegiatan-
kegiatan domestik, akan tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan
sampingan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga. Beberapa
istri nelayan mendirikan warung kecil-kecilan yang menyediakan
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, seperti sembako dan jajanan anak-
anak, menjadi penjual bakso maupun penjual sayur keliling di pulau.
Selain itu, istri-istri nelayan juga kreatif menciptakan pranata-
pranata tradisional, seperti pembentukan kelompok arisan. Masyarakat di
Pulau Badi telah memanfaatkan pranata-pranata tersebut untuk berbagai
aktivitas sehingga bisa berfungsi ganda, yakni mempererat hubungan
sosial budaya serta membatu mengatasi ketidakpastian penghasilan
ekonomi.
Selain istri, anak-anak nelayan juga terlibat dalam beberapa
pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Anak laki-laki akan mengikuti
orang tuanya atau kerabatnya untuk mencari ikan ke tengah laut atau
129
membersihkan perahu yang baru tiba melaut atau membenarkan jaring-
jaring yang rusak.
Kusnadi (2000) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi
adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk
ikut mencari nafkah. Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat
signifikan bagi para nelayan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam
aktivitas mencari nafkah merupakan pelaku aktif perubahan sosial-
ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan Susilowati, 1992 dalam Kusnadi
2000).
Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota
rumah tangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi
adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsunghan hidupnya
ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan yang ada di kawasan
Pulau Badi. Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau
Badi, memaksa anak-anak nelayan ini untuk membantu kedua orang
tuanya untuk menambah penghasilan.
c. Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain
Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan
pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan
bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan
merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaanya.
Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga
banyak individu. Hubungan antar individu tersebut akan membentuk
130
jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan
sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Kusnadi, 2000).
Strategi memanfaatkan hubungan sosial merupakan salah satu
strategi adaptasi masyarakat nelayan Pulau Badi. Hasil survei terhadap
44 responden di Pulau Badi, sebanyak 30 responden atau 68,2 persen
melakukan strategi adaptasi dengan memanfaatkan hubungan sosial.
Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau
spesifik yang terbentuk diantara sekelompok orang. Karakteristik
hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi
motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan
pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan di bidang
kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan,
memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan
kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001).
Berdasarkan status sosial ekonomi rumah tangga nelayan yang
terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu
hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000).
Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat
didalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya,
dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang
terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan,
baik kewajiban maupun sumberdaya yang dipertukarkan. Hubungan
131
sosial yang bersifat vertikal, sebagiannya terwujud dalam bentuk
hubungan punggawa-sawi.
Punggawa diperankan oleh para pemilik modal dan pengepul
hasil-hasil tangkapan nelayan, sedangkan sawi diperankan oleh nelayan
itu sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan punggawa-sawi
yang dijalankan nelayan Pulau Badi dibentuk oleh adanya jaringan
kepentingan, yakni hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau
tujuan khusus. Tujuan kedua belah pihak menjalani hubungan pungawa-
sawi adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang dan jasa,
atau sumberdaya lain yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain atas
pengorbanan yang telah diberikannya. Punggawa memiliki kepentingan
untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan
memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan sawi
atau nelayan-nelayan Pulau Badi berkepentingan untuk mendapatkan
jaminan sosial ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit,
bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan
yang terbukti tidak menjual hasil tangkapan ke punggawa tersebut maka
suatu saat ketika nelayan (sawi) membutuhkan bantuan tidak akan
dilayani lagi.
Hubungan punggawa-sawi ini telah berlangsung lama. Awalnya
hubungan punggawa-sawi yang dijalankan intensitas kejadiannya sangat
jarang. Artinya, nelayan-nelayan Pulau Badi membutuhkan bantuan-
bantuan dari punggawa hanya pada saat-saat tertentu dan kegiatan
kegiatan insidental saja. Akan tetapi, sejak terjadinya perubahan ekologis
132
dimana menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan, maka jalinan
punggawa-sawi tersebut semakin sering dimanfaatkan nelayan untuk
menjamin kelangsungan hidupnya.
Nelayan secara umum menunjukkan kecenderungan untuk memilih
opsi hubungan patronase dalam menghadapi ketidakpastian pendapatan.
Resiko pekerjaan dan ketidakpastian pendapatan yang tinggi diduga telah
mendorong nelayan untuk mengutamakan hubungan patronase antara
nelayan buruh dengan pemilik modal. Pihak pemilik modal sebagai patron
memberikan modal untuk usaha penangkapan kepada nelayan buruh
sebagai client dengan kompensasi berupa penyerahan hasil tangkapan.
Meskipun sering “dirugikan”, hubungan patronase menjadi pilihan untuk
beradaptasi menangani krisis ekonomi (karena kenaikan harga kebutuhan
pokok seiring kenaikan harga BBM atau pada masa paceklik) karena
sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Institusi formal
seperti bank dan koperasi tidak menjadi alternatif pilihan, karena
hambatan birokrasi atau besarnya resiko yang harus ditanggung lembaga
formal tersebut (Mulyadi, 2007).
Permasalahan yang terkait dengan produksi merupakan
permasalahan utama yang dihadapi nelayan, selain masalah pemasaran.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, nelayan berusaha melakukan
terobosan untuk meningkatkan pendapatan dengan cara mengandalkan
tengkulak untuk memasarkan hasil tangkapan dan meminjam uang
kepada pemilik modal untuk pengadaan alat tangkap. Berbagai upaya
yang dilakukan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan telah
133
menjebak mereka dalam ketergantungan dengan pihak lain, sekaligus
menempatkan pada posisi yang lemah.
Hubungan patronase di dalam komunitas masyarakat nelayan
diharapkan dapat menanggulangi kesulitan yang dihadapi nelayan
terutama saat paceklik (musim angin barat/tidak melaut). Hal ini
disebabkan lembaga ekonomi formal seperti bank dan koperasi tidak
terjangkau oleh nelayan pulau-pulau kecil. Gagalnya peranan lembaga ini
disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural dan kondisi sosial
budaya masyarakat nelayan. Disamping itu, sistem yang berjalan ternyata
lebih banyak menguntungkan golongan yang telah mempunyai modal
besar.
Untuk mengatasi kesulitan modal, masyarakat nelayan dapat
mengembangkan suatu mekanisme tersendiri, yaitu sistem modal
bersama. Sistem ini memungkinkan terjadinya kerjasama diantara
nelayan dalam pengadaan modal, juga menunjukkan terjadinya
pemerataan resiko karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat
seperti hilangnya perahu dan alat tangkap dapat ditanggung bersama.
Pemerataan resiko juga akan terjadi melalui pemberian upah dengan cara
bagi hasil. Hal ini memungkinkan kelompok nelayan dapat menikmati
keuntungan atau kerugian secara bersama-sama. Pada masyarakat
nelayan yang mengembangkan pola pemilikan individu, sistem bagi hasil
dapat mendorong terjadinya akumulasi modal hanya pada kelompok kecil
tertentu. Sebaliknya, masyarakat nelayan yang mengembangkan pola
pemilikan kolektif, memungkinkan lebih besarnya perolehan pendapatan.
134
Meskipun demikian, pola pembagian resiko akan tetap tumbuh dan
berkembang dalam organisasi kenelayanan, terutama ketika pendapatan
nelayan masih mengalami fluktuasi.
Matriks bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau
Badi terhadap dampak perubahan ekologis dapat dilihat pada Tabel 28.
135
Tabel 28. Matriks Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi Nelayan Pulau Badi Terhadap Perubahan Ekologis.
Strategi Adaptasi
Karakteristik
Responden
Keterangan n %
Menganekaragaman alat dan teknik penangkapan.
Dilakukan karena beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja.
Nelayan merubah alat dan teknik penangkapan sesuai dengan musim.
Nelayan merubah alat tangkap disebabkan target penangkapan berubah.
32 72.7 Cukup efektif untuk meningkatkan jumlah dan jenis tangkapan. Konsekuensi yang harus diterima bila nelayan merubah alat tangkap yaitu sumber modal, keterampilan dan waktu.
Memperluas daerah penangkapan.
Adaptasi ini dilakukan hanya dengan mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Hal ini menyebabkan inefisiensi energi, pemborosan waktu dan hasil tangkapan yang rendah.
Memperluas wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain.
20 45.5 Kurang efektif, dapat efektif jika didukung dengan teknologi informasi dan armada penangkapan yang memadai.
Menganekaragaman sumber pendapatan
Nelayan mengombinasikan mata pencahariannya untuk menambah pendapatan rumah tangganya.
Ragam mata pencaharian yang dimasuki oleh para nelayan baik di bidang perikanan maupun non perikanan.
15 34.1 Cukup efektif untuk menambah pendapatan keluarga ditengah tingginya resiko nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim ikan dan cuaca yang tidak menentu.
136
Strategi Adaptasi
Karakteristik
Responden
Keterangan n %
Memobilisasi anggota rumah tangga.
Mendorong para istri dan anak-anak nelayan untuk ikut mencari nafkah.
Ragam pekerjaan yang bisa dimasuki oleh para istri diantaranya adalah pedangang sembako, penjual sayur keliling dan penjual bakso.
Peran anak-anak nelayan selain membantu memperbaiki jaring atau membersihkan perahu, juga ikut melaut bersama orang tua.
12 27.3 Cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan. Kendala ketersediaan modal menjadi hambatan untuk mengembangkan usaha.
Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain.
Hubungan sosial yang bersifat kekerabatan (keluarga luas). Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu yang kemudian akan membentuk jaringan sosial.
Dua jenis jaringan sosial, yakni jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial vertikal terwujud dalam bentuk ikatan punggawa-sawi
30 68.2 Cukup efektif untuk mendapatkan jaminan sosial ekonomi, berupa modal usaha, pinjaman uang disaat situasi sulit dan bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Konsekuensi bagi nelayan yaitu hasil tangkapan nelayan dijual dengan harga murah dan mendapatkan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
137
2. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau Pajenekang
Berdasarkan hasil observasi, survei dan wawancara dengan
nelayan, baik responden maupun beberapa informan yang
merepresentasikan keberadaan nelayan di Pulau Pajenekang, diperoleh
bahwa terdapat beberapa bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan
dalam merespon perubahan ekologis yang berdampak terhadap kegiatan
nelayan. Adapun bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan,
diantaranya :
1) Strategi adaptasi terhadap kerusakan terumbu karang
a. Menganekaragaman alat dan teknik penangkapan
Berdasarkan hasil survei terhadap 25 responden di Pulau
Pajenekang, menunjukkan bahwa sebanyak 16 orang nelayan atau
64 persen melakukan strategi menganekaragamkan alat dan teknik
penangkapan.
Strategi adaptasi penggunaaan berbagai macam alat dan teknik
penangkapan sangat umum digunakan oleh masyarakat nelayan. Strategi
yang sangat umum ini dilakukan berdasarkan pengetahuan nelayan
mengenai berbagai jenis dan pola kebiasaan ikan dan kondisi-kondisi
dasar laut. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan proses
pembelajaran yang lama ( Lampe, 1986).
Strategi adaptasi dengan cara menganekaragamkan alat dan teknik
penangkapan yang dilakukan nelayan Pulau Pajenekang dalam bentuk
menambah jenis alat tangkap, merubah jenis alat tangkap karena
merubah target tangkapan dan merubah alat tangkap berdasarkan musim
138
angin. Adapun bentuk-bentuk penganekaragaman alat dan teknik
penangkapan nelayan Pulau Pajenekang dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Alat dan Teknik Penangkapan Nelayan Pulau Pajenekang.
No
Bentuk Penganekaragaman
Alat dan Teknik Penangkapan
Jumlah Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Menambah jenis alat tangkap.
4 25
2. Merubah alat tangkap karena target tangkapan berubah
7 43.8
3. Merubah jenis alat tangkap sesuai musim.
5 31.2
Jumlah 16 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Berdasarkan hasil survei terhadap 16 responden yang memilih
strategi adaptasi pengeanekaragaman alat tangkap dan teknik
penangkapan, sebanyak 4 responden (25 %) melakukan adaptasi dengan
cara menambah jenis alat tangkap. Bentuk adaptasi ini dilakukan karena
beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, sehingga nelayan
memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada
satu jenis ikan saja. Dengan demikian maka penggunaan alat tangkap
nelayan juga bertambah. Saat melaut, nelayan membawa dua sampai
tiga jenis alat tangkap sekaligus.
Strategi kedua yang dilakukan yaitu merubah alat tangkap karena
target tangkapan berubah. Berdasarkan hasil survei terhadap
16 responden yang memilih strategi adaptasi pengeanekaragaman alat
tangkap dan teknik penangkapan, sebanyak 7 responden (43,8 %)
139
melakukan adaptasi dengan cara merubah alat tangkap karena target
tangkapan berubah. Nelayan merubah target tangkapan dari jenis ikan
lelong (ikan yang dijual untuk konsumsi rumah tangga/lokal) ke jenis ikan
bernilai ekonomi tinggi dan jenis-jenis ikan yang diekspor (ikan sunu dan
ikan tinumbu). Nelayan melakukan strategi ini karena semakin meningkat
permintaan ikan-ikan yang bernilai ekonomi tinggi tersebut.
Strategi ketiga yang dilakukan yaitu merubah jenis alat tangkap
sesuai musim. Berdasarkan hasil survei terhadap 16 responden,
sebanyak 5 responden (31,2 %) melakukan adaptasi dengan cara
merubah jenis alat tangkap sesuai musim. Di saat musim timur nelayan
pancing menggunakan, rinta, kedo-kedo, pancing tinumbu dan pukat
mairo, sedangkan musim barat nelayan menggunakan pancing gurita dan
jaring/pukat kepiting. Hal ini dilakukan karena di saat musim barat
nelayan tidak dapat melaut jauh dari pulau. Nelayan hanya melakukan
penangkapan di pulau-pulau terdekat untuk menangkap gurita dan
kepiting. Nelayan mengakui bahwa di saat musim barat, saat kerasnya
gelombang banyak gurita maupun kepiting keluar dari rumahnya,
sehingga mudah untuk ditangkap.
Beragamnya jenis alat penangkapan dan ukurannnya akan
menyebabkan bervariasi pula teknik operasi yang digunakan untuk
menangkap ikan. Menurut Badjeck et al. (2010), kapasitas untuk cepat
beradaptasi terhadap perubahan ekologis melalui penggunaan teknik
penangkapan dan alat-alat baru merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap mata pencaharian nelayan.
140
b. Memperluas daerah penangkapan
Perubahan ekologis serta iklim yang makin ekstrim dapat
menggeser area penangkapan ikan (fishing ground) ke daerah yang lebih
jauh. Hal ini akan menyebabkan biaya produksi untuk mencari ikan yang
dilakukan nelayan akan naik yang pada akhirnya akan berdampak pada
kehidupan ekonomi nelayan. Berdasarkan hasil survei di Pulau
Pajenekang terhadap 25 responden, sebanyak 11 responden atau
44 persen melakukan adaptasi dengan memperluas daerah penangkapan.
Bentuk-bentuk perluasan daerah penangkapan nelayan Pulau Pajenekang
dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Matriks Bentuk-Bentuk Perluasan Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Pajenekang
No Daerah Penangkapan
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Pulau-pulau lain di wilayah perairan Pangkep
5 45.4
2. Pulau-pulau lain di luar perairan Pangkep (Masih di Kepulauan Spermonde)
4 36.4
3. Pulau-pulau di luar perairan Sulawesi Selatan
2 18.2
Jumlah 11 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Tabel 29 menunjukkan bahwa, dari 11 responden yang melakukan
strategi adaptasi dengan memperluas daerah penangkapan, sebanyak
5 responden ( 45,4 %) memperluas wilayah tangkapan ke pulau lain yang
masih berada di perairan Pangkep, 4 responden (36,4 %) memperluas
wilayah tangkapan ke pulau-pulau lain di luar wilayah perairan Pangkep
141
dan 2 responden (18,2 %) memperluas wilayah penangkapan di luar
perairan Sulawesi Selatan.
Penurunan kuantitas dan jenis ikan sebagai dampak perubahan
ekologis sangat dirasakan oleh nelayan, sehingga untuk dapat
meningkatkan kuantitas dan jenis ikan nelayan harus memperluas wilayah
tangkapannya. Wilayah tangkapan yang dulunya hanya berada di sekitar
pulau, sekarang menjangkau wilayah pulau lain bahkan sampai pulau
yang berada di luar perairan Sulawesi Selatan.
Hal tersebut di atas sejalan hasil penelitian Ledee et al. (2012),
bahwa perubahan daerah tangkapan dapat mengindikasikan beberapa hal
diantaranya, penurunan pendapatan, penurunan keuntungan dalam bisnis
perikanan, penurunan akses terhadap area tangkap yang produktif dan
penurunan jumlah tangkapan produk perikanan.
Strategi adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika
disertai adaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam
memprediksi lokasi ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat
diakses dengan mudah melalui situs resmi KKP. Peta ini dikeluarkan
langsung oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan, Puslitbang
Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan dan merupakan hasil dari analisis
data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus
permukaan laut, serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini
142
dikeluarkan dengan tujuan membantu nelayan memprediksikan wilayah-
wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu. Namun
pada kenyataannya, hanya nelayan modern saja yang memanfaatkan
informasi ini. Sementara nelayan tradisional masih memanfaatkan
pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak relevan lagi untuk
diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara ekstrim seperi
saat ini (Wahyono et al., 2001).
Menurut Bennett (1976) dalam Wahyono et al. (2001), adaptasi
terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang diulang-ulang dan
merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tindakan yang
diulang-ulang tersebut akan membentuk dua kemungkinan, yaitu tindakan
penyesuaian yang berhasil sebagaimana diharapkan, atau sebaliknya
tindakan yang tidak memenuhi harapan. Gagalnya suatu tindakan akan
menyebabkan frustasi yang berlanjut, yang berpengaruh pada respon
atau tanggapan individu terhadap lingkungan.
2) Strategi adaptasi terhadap meningkatnya intensitas gelombang
dan badai
a. Penganekaragaman sumber pendapatan
Hasil survei terhadap 25 responden di Pulau Pajenekang
menunjukkan sebanyak 9 responden atau 36 persen memilih melakukan
strategi penganekaragaman sumber pendapatan/mengkombinasi
beberapa macam pekerjaan di bidang perikanan maupun non perikanan.
Di bidang perikanan, nelayan Pulau Pajenekang memiliki pekerjaan
alternatif sebagai pembudidaya ikan hias. Ikan hias tersebut dijual kepada
143
pedagang pengumpul dan selanjutnya dijual di dalam negeri atau diekspor
ke luar negeri. Disamping itu, nelayan Pulau Pajenekang memiliki
pekerjaan alternatif sebagai pembeli ikan (pabalolang) dengan
memanfaatkan jolloro yang dimiliki. Hal ini biasanya dilakukan karena jika
harga ikan turun (saat tangkapan nelayan melimpah), nelayan merugi
karena hasil penjualan tangkapan tidak sebanding dengan biaya
operasianal. Pabalolang membeli ikan dari nelayan pengguna pukat dan
pancing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan Makassar.
Kegiatan usaha seperti ini dikenal oleh penduduk lokal sebagai
“pabalolang patula”.
Kegiatan di bidang non-perikanan yang dilakukan nelayan Pulau
Pajenekang dalam kaitannya untuk menambah pendapatan adalah
dengan memelihara ternak kambing, itik dan ayam. Hasil dari kegiatan
peternakan ini ini biasanya dipasarkan ke pulau tetangga (Pulau Sanane,
Bontusua dan Ballang Lompo) atau ke Pangkep maupun Makassar.
Berdasarkan hasil survei terhadap 9 responden yang melakukan
strategi adaptasi penganekaragaman sumber pendapatan, sebanyak
4 responden ( 44,4 %) melakukan pekerjaan alternatif sebagai pabalolang
(pedagang pengumpul), 3 responden ( 33,3 %) melakukan pekerjaan
alternatif sebagai peternak unggas dan kambing serta 2 responden
(22,3 %) melakukan pekerjaan alternatif sebagai pembudidaya ikan hias.
Matriks bentuk-bentuk penganekaragaman sumber pendapatan nelayan
Pulau Pajenekang diperlihatkan pada Tabel 31.
144
Tabel 31. Matriks Bentuk-Bentuk Penganekaragaman Sumber Pendapatan Nelayan Pulau Pajenekang
No
Bentuk Penganekaragaman
Sumber Pendapatan
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Menjadi pabalolang (pedagang pengumpul)
4 44.4
2. Memelihara unggas dan kambing
3 33.3
3. Membudidayakan ikan hias
2 22.3
Jumlah 9 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
Dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan
pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong
nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya
bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman
sumber pekerjaan tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah
ganda yang dikembangkan nelayan (Kusnadi, 2000).
Strategi penganekaragaman sumber pendapatan dilakukan kaum
nelayan di berbagai lapisan dengan tujuan yang berbeda. Lapisan atas
umumnya mengembangkan strategi ini untuk akumulasi kapital,
sedangkan nelayan lapisan bawah umumnya melakukan strategi ini untuk
mempertahankan hidup saja. Strategi adaptasi nafkah ganda ini dapat
dikembangkan dalam bidang perikanan maupun non perikanan. Kegiatan
alternatif perikanan berupa usaha budidaya, pengolahan ikan tradisional
dan bakul ikan. Dalam kegiatan ini istri nelayan memiliki peran yang
sangat besar, khususnya pengolahan ikan gradisional dan bakul ikan.
Hanya saja, merubah nelayan menjadi pembudidaya ikan bukan hal yang
145
mudah. Kebijakan pemberian modal untuk nelayan dapat diarahkan untuk
startegi nafkah ganda tersebut.
b. Memobilisasi anggota rumah tangga
Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota
rumah tangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi
adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsunghan hidupnya
ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan. Perubahan ekologis
yang berdampak terhadap menurunnya hasil tangkapan dan pendapatan
nelayan Pulau Pajenekang mendorong istri dan anak-anak nelayan
melakukan usaha untuk membantu menambah pendapatan keluarga.
Hasil survei terhadap 25 responden di Pulau Pajenekang, diperoleh
sebanyak 8 responden atau 32 persen melakukan strategi dengan cara
memobilisasi anggota keluarganya untuk menambah penghasilan
keluarganya. Matriks bentuk mobilisasi anggota rumah tangga dalam
menambah penghasilan keluarga dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Matriks Bentuk-Bentuk Mobilisasi Anggota Rumah Tangga Nelayan Pulau Pajenekang Dalam Mencari Nafkah
No Bentuk Mobilisasi
Anggota Rumah Tangga
Frekuensi Responden
(Orang)
Persentase (%)
1. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang kue keliling
3 37.5
2. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang bakso
1 12.5
3. Istri nelayan bekerja sebagai pedagang sembako dan mainan anak-anak.
2 25
4. Anak-anak dilibatkan dalam kegiatan penangkapan ikan
2 25
Jumlah 8 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
146
Istri-istri nelayan di Pulau Pajenekang tidak hanya melakukan
kegiatan-kegiatan rutin dalam rumah tangga (memasak dan mencuci) ,
akan tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat
menambah penghasilan rumah tangganya. Beberapa istri nelayan
mendirikan warung kecil-kecilan yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan
rumah tangga, seperti sembako dan mainan anak-anak, menjadi penjual
bakso maupun penjual kue keliling di pulau.
Selain istri, anak-anak nelayan juga terlibat dalam beberapa
pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Anak laki-laki akan mengikuti
orang tuanya atau kerabatnya untuk mencari ikan ke tengah laut atau
membersihkan perahu yang baru tiba melaut atau membenarkan jaring-
jaring yang rusak.
Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi
adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk
ikut mencari nafkah. Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat
signifikan bagi para nelayan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam
aktivitas mencari nafkah merupakan pelaku aktif perubahan sosial-
ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan Susilowati, 1992 dalam Kusnadi
2000).
Dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, isu
substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga atau rumah tangga adalah
bagaimana individu-individu yang ada di dalamnya harus berusaha
maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
147
sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (Nye, 1982 dalam Kusnadi,
2000).
c. Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain
Strategi memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain
merupakan salah satu strategi adaptasi masyarakat nelayan Pulau
Pajenekang. Berdasarkan hasil survei di Pulau Pajenekang terhadap
25 responden, sebanyak 13 responden atau 52 persen melakukan strategi
adaptasi dengan memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan sosial yang dimiliki
rumah tangga nelayan dengan rumah tangga lain di lokasi penelitian
merupakan hubungan sosial yang basisnya adalah hubungan keluarga
(genealogis). Namun, terdapat basis lain yaitu kekerabatan (keluarga
luas) dan pertetanggaan yang disebabkan oleh letak tempat tinggal para
nelayan dengan saudara-saudaranya yang saling berdekatan.
Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan
pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan
bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan
merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaanya.
Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga
banyak individu. Hubungan antarindividu tersebut akan membentuk
jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
(Wahyono et al., 2001), mengatakan jaringan sosial merupakan
seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara
148
sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan
sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-
orang yang terlibat di dalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan
corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan di bidang kenelayanan (misalnya penguasaan
sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil,
maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok).
Berdasarkan status sosial ekonomi rumah tangga nelayan yang
terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu
hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000).
Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat
didalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya,
di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang
terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan,
baik kewajiban maupun sumberdaya yang dipertukarkan. Hubungan
sosial yang bersifat vertikal nelayan Pulau Pajenekang terwujud dalam
bentuk hubungan punggawa-sawi.
Punggawa diperankan oleh para pemilik modal dan pengepul
hasil-hasil tangkapan nelayan. Punggawa memiliki kepentingan untuk
mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan
memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan sawi
diperankan oleh nelayan itu sendiri, berkepentingan untuk mendapatkan
jaminan sosial ekonomi, berupa pinjaman uang di saat situasi sulit,
bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Tujuan kedua belah
149
pihak menjalani hubungan pungawa-sawi adalah untuk mendapatkan
keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak
dapat diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah
diberikannya.
Meskipun sering “dirugikan”, hubungan patronase menjadi pilihan
untuk beradaptasi menangani krisis ekonomi (karena kenaikan harga
kebutuhan pokok seiring kenaikan harga BBM atau pada masa paceklik)
karena sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Institusi
formal seperti bank dan koperasi tidak menjadi alternatif pilihan, karena
hambatan birokrasi atau besarnya resiko yang harus ditanggung lembaga
formal tersebut (Mulyadi, 2007). Menurut laporan penelitian para ahli
antropologi, bahwa bentuk perolehan modal atau pemasaran belum
mampu meningkatkan pendapatan nelayan secara merata dan karena itu
belum mampu menggeser sepenuhnya kedudukan para pedagang dan
para tengkulak (Lampe, 1989). Matriks bentuk-bentuk strategi adaptasi
nelayan Pulau Pajenekang terhadap perubahan ekologis dapat dilihat
pada Tabel 33.
150
Tabel 33. Matriks Bentuk-Bentuk Strategi Adaptasi Nelayan Pulau Pajenekang Terhadap Perubahan Ekologis.
Strategi Adaptasi
Karakteristik
Responden
Keterangan n %
Menganekaragaman alat dan teknik penangkapan.
Dilakukan karena beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja.
Nelayan merubah alat dan teknik penangkapan sesuai dengan musim.
Nelayan merubah alat tangkap disebabkan perubahan target tangkapan karena permintaan pasar.
16 64 Cukup efektif untuk meningkatkan jumlah dan jenis tangkapan. Konsekuensi yang harus diterima bila nelayan merubah alat tangkap yaitu sumber modal, keterampilan dan waktu.
Menganekaragaman sumber pendapatan
Nelayan mengombinasikan mata pencahariannya untuk menambah pendapatan rumah tangganya.
Ragam mata pencaharian yang dimasuki oleh para nelayan baik di bidang perikanan maupun non perikanan.
9 36 Cukup efektif untuk menambah pendapatan keluarga ditengah tingginya resiko nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim ikan dan cuaca yang tidak menentu.
Memperluas daerah penangkapan.
Adaptasi ini dilakukan hanya dengan mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Hal ini menyebabkan inefisiensi energi, pemborosan waktu dan hasil tangkapan yang rendah.
Memperluas wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain.
11 44 Kurang efektif, dapat efektif jika didukung dengan teknologi informasi yang memadai.
151
Strategi Adaptasi
Karakteristik
Responden
Keterangan n %
Memobilisasi anggota rumah tangga.
Mendorong para istri dan anak-anak nelayan untuk ikut mencari nafkah.
Ragam pekerjaan yang bisa dimasuki oleh para istri diantaranya adalah pedangang sembako, penjual kue keliling dan penjual bakso.
Peran anak-anak nelayan selain membantu memperbaiki jaring atau membersihkan perahu, juga ikut melaut bersama orang tua.
8 32 Cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan. Kendala ketersediaan modal menjadi hambatan untuk mengembangkan usaha.
Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain.
Hubungan sosial yang bersifat kekerabatan (keluarga luas). Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu yang kemudian akan membentuk jaringan sosial.
Dua jenis jaringan sosial, yakni jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial vertikal terwujud dalam bentuk ikatan punggawa-sawi
13 52 Cukup efektif untuk mendapatkan jaminan sosial ekonomi, berupa modal usaha, pinjaman uang disaat situasi sulit dan bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Konsekuensi bagi nelayan yaitu hasil tangkapan nelayan dijual dengan harga murah dan mendapatkan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2013
152
BAB VI
PENUTUP
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari tujuan penelitian ini dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bentuk perubahan ekologis yang dirasakan oleh nelayan di lokasi
penelitian meliputi kerusakan terumbu karang dan peningkatan
intensitas gelombang dan badai.
2. Perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Badi dan Pajenekang
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Dampak
ekologis dan ekonomi yang dirasakan oleh nelayan Pulau Badi dan
Pajenekang adalah sebagai berikut:
a. Abrasi/erosi pantai di pemukiman penduduk.
b. Sulitnya menentukan daerah penangkapan.
c. Menurunnya jumlah hasil tangkapan nelayan
d. Meningkatnya resiko melaut.
e. Daerah penangkapan ikan semakin jauh.
3. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Badi dan
Pajenekang terhadap perubahan ekologis meliputi :
a. Menganekaragaman alat dan teknik penangkapan.
b. Memperluas daerah tangkapan.
c. Menganekaragaman sumber pendapatan.
d. Mobilisasi anggota rumah tangga.
e. Memanfaatkan hubungan sosial dengan pihak lain.
153
G. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang
dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan sistem informasi penting untuk dilakukan
mengingat strategi adaptasi yang sifatnya lebih antisipatif masih
belum dapat dilakukan oleh masyarakat akibat keterbatasan
informasi yang mereka peroleh. Hal ini juga sangat mendukung
strategi adaptasi memperluas daerah tangkapan agar usaha yang
dilakukan oleh nelayan dapat memberikan hasil yang optimal.
2. Kebijakan permodalan diperlukan untuk mendukung strategi
adaptasi pola nafkah ganda/penganekaragaman sumber
pendapatan, agar nelayan tidak hanya menggantungkan
pendapatan dari hasil penangkapan ikan saja.
3. Penelitian lintas disiplin ilmu dibutuhkan agar pengelolaan
sumberdaya alam ini dapat berjalan maksimal tanpa menimbulkan
kerusakan-kerusakan baru akibat pola ekstraksi yang tidak lestari.
154
DAFTAR PUSTAKA
Acheson, J.M. 1981. Anthropology of Fishing. Annual Review Anthropology Inc. No. 10: 275-316.
Allison, E.H., Ellis, F. (2001). The livelihoods approach and management of small-scale fishers. Marine policy, 25, 377-388. Anwar C, Gunawan H. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis
Hutan Mngrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.[internet]. [diunduh pada 24 Januari 2013]. Padang [ID]: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hal 23-34.
Arikunto, Suharsami. 2000. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Penerbit Rineka Cipta. Yogyakarta. Badjeck, M.C., et al. (2010). Impacts of climate variability and change on fishery-based livelihood. Journal of Marine Policy, 34, 375-383. Bengen DG. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
berbasis Eko-Sosiosistem. Jakarta [ID]: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.
Bengen, G. D dan Retraubun, S. W. A. 2006. Menguak Realitas dan
Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio Departemen Biology and Environmental Science,Kalmar University. Sweden. Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheries for Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K.Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser, Eds.). Tokyo: TERRAPUB. Coremap II. 2010. Status Data Base Terumbu Karang Sulawesi Selatan.
Regional Cordination Unit (RCU), Coral reef rehabilitation and
management program II dan CV Wahana Bahari.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta [ID]: PT. Pradnya Paramitha.
155
Dahuri R. 2003. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri). Jakarta [ID]: Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LIPSI).
Dharmawan AH. 2007. Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan
Ekologi Politik. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Pencemaran Minyak
dan Valuasi Nilai Ganti Rugi Akibat Pencemaran. Jakarta [ID]: DKP ______. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2009.Jakarta
[ID]: DKP. Ellis, F. (1998). Household Strategies and Rural Livelihood Diversification. Journal of Developmen Studies, 35, 1-38. Foman, S. 1967. Cognition and Catch: The Location of Fishing Spots in a
Coastal Brazilian Village. Ethnology, Vol. 06, No. 04: 417-426. Gordon, H. Scott. 1954. The Economic Theory of a Common-Property
Recourse: The Fishery. Journal Political Economy, 62:124-142. Hak, Durk. 1984. Dr. A.H.J Prins as a Maritime Anthropologist. Watching
The Seaside: Essays on Maritime Anthropology. Durk Hak, Ybetje Kreos, Hans Schneymann (eds.). Feschrift for Dr. A.H.J. Prins. Groningen.
Hardin, Garrett. 1977. The Tragedy of The Commons. Dalam Managing
Commons, Garrett Hardin dan John Baden (eds.). San Francisco: W.H. Freeman and Company.
IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: The
Physical Science Basis. Contribution of Working Group 1 to the Fourth Assesment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change [Solomon, S.,D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, USA.
Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs On
Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Thesis. MC Master – Canada.
156
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2002. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.
______. 2009. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Buku Statistik
Perikanan tahun 2008. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi. Cetakan Kelima.
Jakarta. Dian Rakyat Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung
[ID]: Humaniora Utama Press. ______. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir.
Jogjakarta [ID]: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media
Kusumastanto T. 2000. Sistem Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir. Makalah disampaikan dalam Diseminasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat. Bandung. Lampe, Munsi. 1985. De Role Van Het Verwantschap in de Economische
en Familieleven van de Urker Vissergemeenschap. Hasil latihan penelitian untuk program studi S-2. UI – Universitas Leiden.
.1986. Produktie-Wijze in de Kano-Visseij van Fantivisers
Ghana. Hasil penelitian untuk studi antropologi ekonomi.
.1989 Strategi-strategi Adaptif Nelayan. Suatu Studi
Tentang Antropologi Perikanan. Disajikan dalam Forum Informasi
Ilmiah Kontemporer Fisipol-Unhas tanggal 14 Juni 1989.
Leap, William L. 1977. Maritime Subsistance in Anthropological Perspective : A Statement of Priorities. Dalam Those Who Live From The Sea; A Study in Maritime Anthropology. M. Estellie Smith (ed.). monograph 62, St. Paul, New York, Boston, Los Angeles, San Francisco; West Publishing CO
Ledee E.J.I, et al. (2012). Responses and adaptation strategies of commercial and charter fishers to zoning changes in the Great Barrier Reeef Marine Park. Journal of Marine Policy, 36, 226-234. McCay, B.M. 1978. System Ecology, People Ecology and The
Anthropology of Fishing Communitites. Human Ecology Vol. 06, No. 04:397-442.
157
Marzuki M. 2002. Perubahan Pola Adaptasi Etnik Kaili dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus: Etnik Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah). [tesis]. Depok [ID]: Universitas Indonesia. Moll, H, 1983. Zonation and Diversity of Scleractina On Reffs Off South Sulawesi Indonesia. Thesis. Leiden University, Netherland. Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo
Persada. Nessa, N.,Jompa J, Hamzah H, 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem
Terumbu Karang. Penerbit Al-Zikra. Makassar. Nontji, A. 2010. Pengelolaan dan Rehabilitasi Lamun. Program Trismades.
xa.yimg.com. PPTK Unhas. 2006. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di
Kepulauan Spermonde. . 2007. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di
Kepulauan Spermonde. . 2010. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di
Kepulauan Spermonde. Purwoko A. 2005. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau
(Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Rahmasari,L. 2011. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir. Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM (ISSN : 1412-6828). Volume X, Nomor 1 September 2011 (Halaman 1-11). Rahmawaty. 2004. Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Melalui Pemberdayaan ekonomi Masyarakat Pesisir dan Kelautan.USU,Medan. Rasyid, A.J. 2011. Dinamika Massa Air Terkait Dengan Lokasi Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Spermonde. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar. (Tidak dipublikasikan). Saharuddin. 2007. Antropologi Ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi
Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB.
158
Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta [ID]: Cidesindo.
Satria A. 2007. Ekologi Politik. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia.
Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB. Satria A. 2009a. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia. Bogor [ID]:
IPB Press. ______. 2009b. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif. Bogor [ID]: Kelompok
Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB. Smith, M. Estellie. 1977. Those Who Live From The Sea: A Study in
Maritime Anthropology. Monograph 62. St. Paul, New York, Boston, Los Angeles, San Francisco: West Publishing CO.
Stake, Robert E. 2009. “Studi Kasus,” Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tauli-Corpuz, V., E. Baldo-Soriano, H. Magata, C. Golocan, M.V. Bugtong, R. de Chaves, L. Enkiwe-Abayao, J. Cariño. 2008. Panduan Tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Philippines: Tebtebba Foundation. Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut : Pendekatan
Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Sidoarjo, Jawa Timur.
Ujianto. 1984. Ekonomi Masyarakat Pulau: Studi Tentang Pola Kegiatan
Ekonomi di Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Ujung Tanah, Kotamadya Ujung Pandang. PLPIIS – UNHAS. Ujung Pandang.
UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P. McMullen, Jason Jabbour, Eds. Wahyono A, Antariksa IGP, Masyhuri I, Indrawasih R, Sudiyono. 2001.
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta [ID]: Media Pressindo.
159
Lampiran 1. Kebutuhan, Metode, Jenis dan Sumber Data
No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data
1. Kondisi Umum Lokasi
Studi literatur, wawancara
dan observasi.
Primer, sekunder
Pemerintah desa, tokoh
masyarakat, nelayan dan
literatur
2. Penggolongan karakteristik rumah
tangga dan karakteristik usaha
nelayan
Observasi dan survei
Primer Nelayan
3. Bentuk-bentuk Perubahan
Ekologis
Studi literatur, wawancara, pengamatan
berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah
Desa, Literatur
4. Dampak Perubahan
Ekologis Terhadap
Aktivitas Nelayan
Wawancara, pengamatan
berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah
Desa, Literatur
5. Strategi Adaptasi Nelayan
Terhadap Perubahan
Ekologis
Wawancara, pengamatan
berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat,
Literatur
160
Lampiran 2. Lembar Kuesioner Penelitian
DAFTAR PERTANYAAN
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PULAU-PULAU KECIL TERHADAP
PERUBAHAN EKOLOGIS
(Studi Kasus Pulau Badi dan Pajenekang, Kabupaten Pangkep)
Oleh :
Hendri Stenli Lekatompessy (P0201211404)
Manajemen Kelautan
Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Nomor Kuesioner : ......................................
Tanggal Wawancara : ......................................
Waktu : ......................................
Nama Pulau : ......................................
I. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama : ................................................
2. Umur : ................................................
3. Lamanya tinggal di Pulau ini : ...............................................
4. Pengalaman sebagai : .................................................
Nelayan (tahun)
5. Jumlah anggota rumah : a. Istri ..................
tangga b. Anak kandung .................
c. Anak angkat ..................
d. Lainnya ..................
6. Jenis Armada Penangkapan : a. Lepa-lepa
b. Jolloro
c. Kapal gae
161
II. PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS
1. Bagaimana penilaian Anda terhadap persentasi tutupan karang
hidup saat ini, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?
Menurun Tetap/tidak berubah Meningkat
Jika menurun, apa saja yang menjadi penyebab?
..............................................................................................................
..............................................................................................................
2. Bagaimana penilaian Anda terhadap intensitas gelombang dan badai
saat ini, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?
Menurun Tetap/tidak berubah Meningkat
3. Apakah perubahan yang terjadi di lingkungan perairan berdampak
terhadap aktivitas penangkapan ikan?
Ya Tidak
Jika Ya, dalam hal apa?
1........................................
2.........................................
3.........................................
III. AKTIVITAS PENANGKAPAN DAN ALAT TANGKAP
4. Di mana lokasi penangkapan Anda saat ini?
a. Musim barat : .............................................
b. Musim timur : .............................................
5. Jenis alat tangkap apa yang Anda gunakan?
a........................................................................
b........................................................................
c........................................................................
6. Jenis-jenis ikan apa saja yang menjadi target tangkapan Anda?
a........................................................................
b........................................................................
c........................................................................
162
7. Dibandingkan 10 atau 20 tahun lalu, bagaimana jumlah hasil
tangkapan saat ini?
............................................................................................................
......................
8. Berapa rata-rata hasil tangkapan Anda per trip, sebelum dan
sesudah terjadi perubahan ekologis?
Jenis Alat Tangkap
Jenis Ikan
Jumlah Hasil Tangkapan Per Trip (Kg)
Sebelum Sesudah
9. Jika hasil tangkapan Anda menurun, apa strategi/upaya yang Anda
lakukan?
............................................................................................................
............................................................................................................
...................................................................................................
10. Selama menjadi nelayan, apakah Anda pernah merubah alat
tangkap?
Ya Tidak
Jika Ya, mengapa Anda melakukan hal tersebut?
............................................................................................................
11. Selama menjadi nelayan, apakah Anda pernah merubah target
tangkapan?
............................................................................................................
..................................................................................................
12. Apakah Anda pernah memindahkan lokasi penangkapan?
Ya Tidak
Apabila Ya, dimana lokasinya?
Apabila Ya, kenapa Anda melakukan itu?
163
13. Apakah kegiatan yang Anda lakukan di saat musim paceklik atau
saat kondisi cuaca buruk?
............................................................................................................
..................................................................................................
14. Jika hasil tangkapan Anda menurun, apakah Anda melibatkan istri
dan anak untuk menambah penghasilan keluarga?
............................................................................................................
..................................................................................................
164
Lampiran 3. Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
KEPADA INFORMAN
Hari/Tanggal Wawancara : .........................................................................
Lokasi Wawancara : .........................................................................
Nama Informan : .........................................................................
Usia Informan : .........................................................................
Pertanyaan-Pertanyaan Mengenai Dampak Perubahan Ekologis dan
Strategi Adaptasi.
1. Menurut Anda, bagaimana kondisi lingkungan perairan wilayah
pulau ini dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu?
2. Perubahan apa saja yang terjadi?
3. Bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi kondisi
pemukiman?
4. Bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas Anda
dalam melaut?
5. Apakah terjadi penurunan produksi perikanan akibat perubahan
tersebut?
6. Jika hasil tangkapan menurun, apa tindakan yang Anda lakukan?
7. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kegiatan Anda dalam
mencari ikan di laut?
8. Apa saja kendala yang mempengaruhi kegiatan Anda dalam
mencari ikan di laut?
9. Kegiatan apa yang Anda lakukan ketika tidak dapat pergi melaut
karena cuaca buruk atau saat musim kurang ikan/paceklik?
10. Apakah Anda pernah memindahkan lokasi penangkapan?
11. Dimana lokasi penangkapan Anda sebelumnya?
12. Dimana lokasi penangkapan Anda sekarang?
13. Kenapa Anda pindah lokasi?
14. Apakah terdapat metode/cara tradisional nelayan dalam
memperkirakan cuaca (kapan kira-kira akan terjadi badai,dsb)?
15. Apakah terdapat pengetahuan tradisional dalam menentukan
daerah tangkapan?
165
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Gambar 11. Wawancara Masyarakat Nelayan Pulau Badi dan
Pajenekang
166
Gambar 12. Hasil Tangkapan Nelayan
167
Gambar 13. Pemukiman Penduduk Yang Terkena Abrasi
168
Gambar 14. Sarana dan Prasarana Pulau Pajenekang
169
Gambar 15. Sarana dan Prasarana Pulau Badi