37
STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN, SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya 1. Kredit dan Fungsi Kredit Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan. 1

Strategi Bank Mega

  • Upload
    arya

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ekonomi

Citation preview

Page 1: Strategi Bank Mega

STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET

SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN,

SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI

SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI

A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya

1. Kredit dan Fungsi Kredit 

Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11,

adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga”.

Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian

kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit

oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank

hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika

ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai

dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal

tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga

tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan.

Unsur kredit yang paling esensial adalah “kepercayaan” dari bank/kreditor terhadap

nasabah peminjam/debitu. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan

dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur, antara lain, jelasnya tujuan

peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Unsur-unsur kredit

terdiri atas :

a. Kepercayaan.

b. Tenggang Waktu.

c. Degree of risk (tingkat resiko).

d. Prestasi atau objek kredit.

Dalam sektor perbankan yang lebih luas, unsur-unsur kredit juga meliputi: organisasi

dan manajemen perkreditan, dokumen dan administrasi kredit, perjanjian kredit, agunan,

penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya. Dalam perkreditan ditemukan banyak

ketentuan yang mengatur dan membatasinya, hal itu karena memang bidang perbankan

1

Page 2: Strategi Bank Mega

merupakan kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan dibatasi ketentuan perundang-

undangan. Dengan kondisi seperti itu maka peraturan perundang-undangan merupakan salah

satu unsur utama dari kegiatan perkreditan.

2. Hukum Jaminan Pada Umumnya

Pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUHPer, yaitu Buku II

KUHPer, melainkan juga terdapat di luar KUHPer. Di dalam buku II KUHPer mengatur

mengenai jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (BAB

XIX), tentang gadai (BAB XX), dan tentang hipotek (BAB XXI). Adapun buku III KUHPer

mengatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang(Borgtocht) (BAB

XVII). Di luar KUHper, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai dalam :

1. KUHD.

2. UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

3. UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun

2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 10 Tahun 1998.

5. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

B. Penyelesaian Kredit Macet

Penyelesaian Kredit Macet, jika kreditur memegang jaminan kebendaan berupa

jaminan hak tanggungan atau jaminan fidusia maka kreditur tersebut memiliki hak untuk

mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika

debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut

dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan

2

Page 3: Strategi Bank Mega

yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual

barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah

dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan

jangka waktu yang pasti.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk

mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan

hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera

janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat

pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"

(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok,

perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk

prestasi, yaitu:

1.    Untuk memberikan sesuatu;

2.    Untuk berbuat sesuatu; dan

3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa

wujud wanprestasi bisa berupa:

1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.    Debitur keliru berprestasi;

3.    Debitur terlambat berprestasi.

Biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum,

dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H.,

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana

kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian

secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas

macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih

bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

3

Page 4: Strategi Bank Mega

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai

berikut:

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang

menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang,

baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-

syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,

dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum

saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan

bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa

penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga

menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit

menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran

kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada

baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan

kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang

jaminan.

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang

diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

4. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual

barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah

dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan

jangka waktu yang pasti.

5. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk

mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

6. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan

hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera

janji (wanprestasi).

4

Page 5: Strategi Bank Mega

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat

pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"

(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok,

perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk

prestasi, yaitu:

1.    Untuk memberikan sesuatu;

2.    Untuk berbuat sesuatu; dan

3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa

wujud wanprestasi bisa berupa:

1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.    Debitur keliru berprestasi;

3.    Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya

sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang

jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui

putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan

tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang

isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya,

maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila

pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan

eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.

Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada

apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur

melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk

wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan

dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum,

dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H.,

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana

kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian

secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas

5

Page 6: Strategi Bank Mega

macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih

bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai

berikut:

4. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut

jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi

perubahan besarnya angsuran maupun tidak;

5. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-

syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,

dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum

saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan

bank;

6. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa

penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga

menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit

menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran

kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada

baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan

kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang

jaminan.

Menurut Penulis ada 3 langkah yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan kredit

macet yakni :

1. Penyelesaian kredit macet melalui penjualan jaminan secara sukarela (penjualan

dibawah tangan.

2. Penyelesaian kredit macet melalui Parate Executie.

3. Penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di Pengadilan.

1. Penyelesaian Kredit Macet melalui Penjualan Jaminan Secara Sukarela

(Penjualan Dibawah Tangan)

Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat

(2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah

yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak tanggungan oleh kreditor sendiri

6

Page 7: Strategi Bank Mega

secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik

tanah dan bangunan dimaksud.

Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek hak tanggungan hanya dapat

dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka bank

tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek hak tanggungan atau

agunan kredit apabila debitor tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit

macet, debitor tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh

persetujuan dari nasabah debitor. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan

obyek hak tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan

pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual

dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan

bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelengan umum.

Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk

membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan

pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang

terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan berada. Hal ini

dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari

pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek hak tanggunganadalah

adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar

diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh

persetujuan dari nasabah debitor dapat terjadi karena, misal :

a. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit

ditemui atau tidak kooperatif;

b. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.

Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami

kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam

perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri

agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitor untuk memberikan surat

kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan

tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-

7

Page 8: Strategi Bank Mega

jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitor membayar utangnya dengan lancar. Alasan

lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shocktherapy” bagi

debitor, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi.

Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain

oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek

tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak

penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena

alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai

kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792

KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan kekuasaan

kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu

urusan”

Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa

adalah:

a. Persetujuan;

b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan

c. Atas nama pemberi kuasa.

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatau perikatan;

c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk

menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak,

baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan

atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa.

Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum

dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum

tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas

8

Page 9: Strategi Bank Mega

nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama

pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu

justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut,

misalnya :

a. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas tagihan

dari debitor, yang untuk keperluan mana debitor memberi kuasa kepada bank untuk

menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan dengan utang debitor;

b. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama

diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan

apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:

“Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada

waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi

semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang

tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.”

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996

tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah

(UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdatatersebut tidak berlaku untuk jaminan

berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan

Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk

menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan

melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi).

Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli

bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi

syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat

tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya).

Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian. pendahuluan (perjanjian pengikatan

jual-beli). Dalam perjanjian tersebut penjual memberi kuasa kepada pembeli apabila syarat-

syarat tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual,

9

Page 10: Strategi Bank Mega

harga jual beli telah dilunasi seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak tersebut

guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.

Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja

mempunyai kekuasaan mewakili. (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili

(vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan

mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata,

di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur

pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat

menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan

mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditor atau bakal pembeli dalam contoh di

atas) sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian,

dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

perjanjian tersebut (integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan

penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat

bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau

disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa

sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang

Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang

telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas

tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu:

“Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya

mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa

mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan

menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum

hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”

2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Kredit Melalui Parate Eksekusi

Permasalahan parate eksekusi jaminan kredit bagi bank sangat penting karena sesuai

dengan fungsi hak jaminan berkaitan dengan pemberian kredit adalah sebagai pengaman

terakhir kredit yang diberikan oleh bank tersebut dapat kembali dan menguntungkan, yaitu

dengan cara eksekusi/menjual agunan kredit tersebut dan hasilnya diperuntukan bagi

10

Page 11: Strategi Bank Mega

pelunasan utang debitur, sedangkan apabila dari hasil penjualan terdapat sisa setelah

digunakan pembayaran utangnya, maka sisa itu dikembalikan kepada debitu. Jika dari hasil

penjualan terdapat kekurangan, maka kekurangannya wajib dibayar debitur, berdasarkan

pasal 1131 KUHPer.

Dalam kenyataannya, hak-hak yang melekat pada agunan kredit tersebut tidak

sepenuhnya mudah untuk dilaksanakan. Sekalipun jelas sekali undang-undang mengatur

mengenai kemudahan bagi kreditor untuk melakukan penjualan objek jaminan kredit, baik

yang dilakukan melalui kantor lelang maupun penjualan di bawah tangan, tetapi dalam

praktik, hal tersebut masih terdapat kendala, yaitu masih diperlukannya fiat eksekusi dari

Pengadilan. Berdasarkan penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak

Tanggungan, bahwa terdapat kata-kata “melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga

parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.” Ini berarti, sekalipun debitur

telah cidera janji, penjualan objek hak jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan.

Dalam praktik, pihak kantor lelang akan meminta adanya fiat pengadilan mengenai eksekusi

jaminan kredit. Tanpa adanya penetapan pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit,

pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih terdapat permasalahan hukum.

Sering terjadi, walaupun pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek jaminan

kredit, pihak debitur mengadakan upaya bantahan mengenai penetapan eksekusi tersebut

dengan alasan-alasan yang dapat diterima hakim. Hal demikian juga akan memperpanjang

pelaksanaan eksekusi jaminana kredit.

Dasar dilakukannya lelang terdapat dalam undang-undang yang mengatur mengenai

hak jaminan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, penjualan melalui lelang

atas hak tanggungan berdasarkan janji, yang diatur dalam Pasal 6, yang intinya adalah apabila

debitur cidera janji, kreditor (pemegang hak tanggungan) atas kekuasaan sendiri menjual

melalui lelang umum serta mengambil pelunasan piutangnya.

Berdasarkan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, sertifikat hak

tanggungan disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap. Namun, dalam penjelasan tersebut antara lain dinyatakan tata cara pelaksanannya

dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.

3. Penyelesaian Kredit Macet Melalui Gugatan Perdata di Pengadilan

Mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN) atas dasar wanprestasi

(ingkar janji/cedera janji) dapat dijadikan opsi oleh Bank untuk menyelesaikan portfolio

kredit macet. Opsi ini dapat ditempuh manakala pihak bank tidak dapat melakukan eksekusi

11

Page 12: Strategi Bank Mega

grosse akta melalui Pengadilan Negeri disebabkan antara lain perjanjian kreditnya tidak

diiringi pembuatan grosse akta pengakuan utang yang dibuat secara notarial.

Penyelesaian kredit macet melalui gugatan di Pengadilan Negeri, dalam teorinya, asas

peradilan adalah asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Keuasaan Kehakiman. Namun demikian

dalam praktiknya bersengketa di Pengadilan bisa memakan waktu bertahun-tahun dan dengan

biaya tidak sedikit.

Proses mediasi harus terlebih dahulu dilalui yang jangka waktunya paling lama 40

hari, sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008. Setelah mediasi dilalui

sebenarnya dalam melakukan pemeriksaan dan memutus perkara perdata apabila berjalan

lancar dapat diselesaikan selama delapan minggu atau delapan kali persidangan.

Adapun rincian acara persidangan dimaksud, apabila dapat berjalan lancar setiap

sekali seminggu sebagai berikut :

1. Sidang pertama : Pemeriksaan identitas para pihak bersengketa dan penunjukan

Mediator.

2. Mediasi dengan mediator paling lama selama 40 (empat puluh) hari

3. Sidang kedua : Jawaban tergugat.

4. Sidang ketiga : Replik.

5. Sidang keempat : Duplik.

6. Sidang kelima : Pembuktian oleh penggugat.

7. Sidang keenam : Pembuktian oleh tergugat.

8. Sidang ketujuh : Kesimpulan masing-masing pihak.

9. Sidang kedelapan : Putusan.

Hambatan dalam memeriksa perkara dengan cepat dalam perkara perdata

sebagaimana dimaksud diatas, pada umumnya berasal dari para pihak yang berperkara itu

sendiri. Salah satu yang sering ditemui dalam persidangan antara lain salah satu pihak

berhalangan hadir, belum siap jawaban/replik/duplik, belum siap bukti dan saksi, yang

kesemuanya menyebabkan sidang ditunda paling cepat satu minggu dan bisa lebih lama dari

itu.

Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang tidak puas terhadap putusan

tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang perlu

diperhatikan adalah tata cara pengajuan banding sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Banding dengan membuat akta pernyataan banding di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dalam waktu paling

12

Page 13: Strategi Bank Mega

lambat 14 hari sejak putusan dibacakan (jika prinsipal atau kuasanya hadir di

persidangan) atau sejak relaas putusan diterima jika putusan dibacakan secara verstek.

Jika lewat waktu maka berakibat permohonan banding tidak dapat diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat permohonan banding dan

membuat memori banding dengan surat kuasa khusus untuk itu.

3. Penyerahan memori banding tidak harus dilakukan secara bersamaan dengan

pembuatan akta banding, penyerahan memori banding dapat dilakukan kapan saja

asalkan selama perkara banding tersebut belum diputus pengadilan tinggi. Hal ini

didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973 yang menyatakan undang-undang

tidak menentukan batas waktu penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu,

memori banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam tingkat banding

belum memutus perkara tersebut.

4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama perkara banding tersebut

belum diputus di Pengadilan Tinggi.

5. Membayar biaya perkara banding.

Setelah diputus di tingkat banding yakni di Pengadilan Tinggi, maka apabila ada dari

pihak yang bersengketa tidak puas dengan putusan tingkat banding maka dapat mengajukan

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal-hal yang perlu untuk diperhatikan adalah

sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Kasasi dengan membuat akta pernyataan kasasi di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama,

tenggang waktunya adalah paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat pemohonan kasasi dan

membuat memori kasasi dengan surat kuasa khusus untuk itu.

3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan tenggang waktu 14 hari

setelah permohonannya didaftar.

4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari

setelah Salinan memori kasasi diterima.

5. Membayar biaya perkara kasasi.

Terhadap putusan tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung dapat diajukan Peninjauan

Kembali (PK) dengan ketentuan Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah

UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :

13

Page 14: Strategi Bank Mega

”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak

lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-

bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang

dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas

dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah

diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.”

Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :

“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :

a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau

sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah

diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta

tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh

pejabat yang berwenang;

c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum

tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu

memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang

berperkara.”

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka hal penting yang harus diperhatikan

dalam pengajuan permohonan PK adalah :

14

Page 15: Strategi Bank Mega

1. Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK) ini terbatas hanya

pada bentuk Alat Bukti Surat.

2. Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali

(PK) ini, harus bersifat menentukan.

3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah

sumpah dan disahkan pejabat yang berwenang.1

4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.

Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan tanggal ditemukan alat bukti

surat itu, pemohon PK harus menyatakan di bawah sumpah dimana :

1. Pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan

tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun

Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor dimana alat bukti surat itu

ditemukan.

2. Selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu

tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat

pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu

tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah

saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat

bukti surat tersebut tidak sah sebagai alasan permohonan PK.

Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dalam praktiknya memakan waktu lama.

Debitur sering memanfaatkan lamanya waktu penyelesaian perkara di Pengadilan. Bahkan

adakalanya debitor sengaja menggugat kreditor dengan tujuan untuk mengulur-ulur waktu

pembayaran dan menggunakan dalih “masih dalam sengketa” untuk menghalang-halangi

eksekusi jaminan. Oleh karena itu bank dalam menghadapi debitor semacam itu memerlukan

strategi khusus.

1 Catatan Penulis : Pengakuan tersumpah Dikenal juga Affidafit. Adapun terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebut tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, maka tidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukan pengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan dan oleh pejabat tersebut. Dikaitkan dengan perkara, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

15

Page 16: Strategi Bank Mega

Namun demikian Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004,

ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan

pelaksanaan putusan Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya

yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya Peninjauan

Kembali (“PK”) tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi.

4. Eksekusi Putusan Pengadilan

Sebuah perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap,

maka eksekusinya tidak dilaksanakan secara otomatis oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan

Negeri dalam perkara perdata bersikap pasif, karena eksekusi putusannya harus diminta oleh

pihak yang menang dalam berperkara yang disebut disebut pemohon eksekusi. Sikap

pengadilan yang demikian, sejalan dengan hukum perdata adalah hukum pribadi, sehingga

terserah kepada pihak yang berperkara itu sendiri, apakah akan dieksekusi atau tidak putusan

pengadilan.

Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat beberapa jenis sebagaimana

diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H. yakni :

1. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis, condemnatory verdict).

2. Putusan Deklarator (declaratoir vonnis, declaratory verdict).

3. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis, constitutive verdict).

Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil dan eksekusi pembayaran. M.

Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :

“Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak

dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya

sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan,

yaitu melakukan suatu “tindakan nyata” atau “tindakan riil”, sehingga eksekusi semacam

ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan

amar putusan, melakukan “pembayaran sejumlah uang”. Eksekusi yang seperti ini disebut

“pembayaran uang”.

Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata dimana putusan hakim yang

telah mempunyai putusan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua

jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat dieksekusi.

Lilik Mulyadi, S.H. berpendapat :

16

Page 17: Strategi Bank Mega

“Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan amar berisi

penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti: penghukuman berisi penyerahan sesuatu

barang, mengosongkan sebidang tanah, membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu

perbuatan tertentu dan lain-lain. Sedangkan terhadap putusan hakim dengan sifat amar

“deklaratoir” atau “konstitutif” tidak memerlukan eksekusi oleh karena pada putusan

tersebut mengandung sifat dan dan keadaan dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai

berlaku/tercipta sejak putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.”

Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang bersifat

menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau konstitutif tidak perlu

dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan oleh hakim,

maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan

kondemnator bisa berupa putusan untuk:

a. Menyerahkan suatu barang.

b. Mengosongkan sebidang tanah.

c. Melakukan suatu perbuatan tertentu.

d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.

e. Membayar sejumlah uang.

Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari point a sampai dengan point d adalah

penghukuman untuk bentuk eksekusi riil, sedangkan pada point e adalah eksekusi

pembayaran uang.

Ada tiga hal yang membedakan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran. M.

Yahya Harahap S.H. menyebutkan yang membedakaan itu adalah sebagai berikut:

1. Eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang

memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi.

Jika diperhatikan dengan seksama, menjalankan eksekusi riil sangat mudah dan

sederhana. Ambil contoh penghukuman pengosongan tanah. Cara eksekusinya sederhana.

Prosesnya pun sangat mudah dengan jalan memaksa tergugat keluar meninggalkan tanah

tersebut. Begitu pula pada bentuk eskekusi riil yang lain. Pada dasarnya secara teoritis sangat

mudah dan sederhana. Lain halnya mengenai eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Adakalanya terhukum sama sekali tidak mempunyai uang tunai. Yang ada hanya harta benda.

Diperlukan syarat dan tata tertib yang terinci. Secara garis besarnya tahapannya adalah

melalui proses sita jaminan (esxecutorial beslag) dan kemudian dilanjutkan dengan penjualan

lelang yang melibatkan jawatan lelang.

17

Page 18: Strategi Bank Mega

Penahapan proses itu tidak perlu dalam menjalankan eskesusi riil. Pada eksekusi riil,

Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan

eksekusi. Berdasarkan penetapan itu, panitera atau juru sita pergi ke lapangan melaksanakan

penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran,

eksekusi sudah dianggap terlaksana. Berbeda halnya dengan ekskusi pembayaran sejumlah

uang. Untuk mendapatkan uang itu, harta tergugat harus lebih dahulu dilelang dan untuk

sampai pada tahap lelang terdapat tata cara tersendiri.

2. Eksekusi riil terbatas putusan pengadilan, sedang eksekusi pembayaran uang meliputi

akta yang disamakan dengan putusan pengadilan .

Eksekusi riil hanya terjadi dan mungkin diterapakan berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memunyai kekuatan hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dahulu, berbentuk

provisi dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengdilan. Eksekusi pembayaran sejumlah

uang tidak hanya didasarkan atas putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta

tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap yang terdiri dari grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek,

crediet verband, hak tanggungan, jaminan fidusia.

Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse akta. Sebab grosse akta

pengakuan utang, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan

hukum utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran sejumlah uang. Jadi,

bentuk kelahiran terjadinya grosse akta itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi

pembayaran sejumlah uang.

3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan.

Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau

persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa

atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembyaran sejumlah uang,

dasar hubungan hukumnya hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan

ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal

225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang

dihukumkan pada waktu tertentu.

Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan eksekusi pembayaran sejumlah

uang. Pada dasarnya eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah untuk melaksanakan

putusan pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh putusan

pengadilan. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan putusan berupa pembayaran

sejumlah uang sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan berwenang

18

Page 19: Strategi Bank Mega

untuk melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara penjualan lelang harta

kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak

yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam

amar putusan.

Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat langsung dilakukan dan

hasilnya langsung diperoleh oleh penerima hak dari pihak yang dihukum. Terdapat tahapan-

tahapan yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan penyerahan hasil lelang

kepada penerima hak atas pihak yang dihukum adalah tahapan terakhir dalam eksekusi.

Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut :

1. Peringatan (aanmaning).

Peringatan (aanmaning) merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan

merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil

maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Peringatan (aanmaning) baru dapat dilakukan setelah diterimanya pengajuan

permohonan eksekusi dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk pengajuan eksekusi dapat

dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Selama belum ada permohonan eksekusi,

proses peringatan tidak dapat dilakukan. Namun demikian, ketika sudah diajukan

permohonan eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan

(aanmaning). Batas waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua Pengadilan

Negeri maksimal adalah 8 (delapan) hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 196 HIR.

Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak tergugat tidak hadir

memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan

dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu

Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera

atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi (executoriale beslag).

2. Sita Eksekusi (executorial beslag)

Sita eksekusi atau (executorial beslag) merupakan tahap lanjutan dari peringatan

dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari

ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR.

Mengenai sita eksekusi (executorial beslag) ada beberapa hal yang perlu dijelaskan

oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, surat perintah dilakukan setelah surat

19

Page 20: Strategi Bank Mega

peringatan (aanmaning). Penahapan proses sita eksekusi harus disusul dengan

penahapan surat perintah penjualan lelang. Setelah penahapan proses perintah

penjualan lelang baru kemudian dilakukan proses penahapan penjualan lelang oleh

jawatan lelang. Mengenai penahapan penjualan lelang akan dibahas lebih lanjut dalam

pemabahasan tersendiri.

b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi, surat perintah eksekusi berisi

perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta

kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan batas yang ditentukan

pasal 197 ayat (1) HIR.

c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi dibantu dan

disaksikan oleh dua orang saksi. Ketentuan ini adalah syarat formil yang ditentukan

Pasal 197 ayat (6) HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan dua orang

saksi menurut hukum dianggap tidak memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi

dianggap tidak sah.

d. Tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan

pelaksanaan sita eksekusi dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita.

Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 197 ayat (5) dan ayat (9) HIR. Maksudnya

adalah panitera atau juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak disita

terletak untuk melihat sendiri jenis barang maupun ukuran dan letak barang yang

hendak disita eksekusi bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.

e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita eksekusi. Autentikasi sita

eksekusi sebagai tindakan hukum dituangkan dalam berita acara. Berita acara

merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa berita acara sita eksekusi

dianggap tidak pernah terjadi. Hal inilah yang disinggung Pasal 197 ayat (5) dan (6)

HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang dilakukan panitera atau juru

sita mesti dilengkapi dengan pembuatan berita acara.

f. Pasal 197 ayat (5) HIR menentukan berita Acara eksekusi diberikan kepada tersita

eksekusi jika tersita hadir pada waktu pelaksanaan eksekusi. Walaupun undang-

undang menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap diberikan kepada

tereksekusi walapun dia tidak hadir.

g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak tersita.

Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak tersita. Hadir atau

tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.

20

Page 21: Strategi Bank Mega

h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan pihak tersita. Penjagaan

dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan kepada pemohon eksekusi.

Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik tereksekusi atas barang yang

disita. Selama barang yang disita eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita masih

tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini berdasarkan dengan hak penjagaan dan

penguasaan barang yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (9)

HIR.

3. Lelang Eksekusi (executoriale verkoop).

Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang (executorial verkoop). Hal ini

ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR yang berbunyi :

“penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut

keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau

orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan

dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana

penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.”

Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang

sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang. Penjualannya disebut penjualan

lelang (executorial verkoop).

5. Perlawanan Terhadap Eksekusi

Menurut pasal 195 ayat (6) HIR diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk

mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan. Tidak selamanya

perlawanan dapat menunda eksekusi. Bank perlu cermat dalam menyikapi dan mengambil

langkah hukum apabila berhadapan dengan “debitor nakal” yang sengaja menunda-nunda

eksekusi dengan alasan masih ada “perlawanan” terhadap eksekusi putusan pengadilan.

Syarat agar perlawanan yang dapat menunda eksekusi adalah sebagai berikut :

a. Perlawanan diajukan sebelum eksekusi dijalankan.

b. Pihak yang mengajukan perlawanan adalah pihak ketiga yang tidak ikut dalam

perkara dimana pihak ketiga tersebut memiliki hak terhadap objek eksekusi.

c. Terdapat perdamaian antara para pihak yang bersengketa mengenai pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

d. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah dijalankan secara

sukarela.

21

Page 22: Strategi Bank Mega

DAFTAR PUSTAKA

Sumber BukuAbdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2000.Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan penegakannya,

Akademika Pressindo, Jakarta, 1987. Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

22

Page 23: Strategi Bank Mega

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja

PressindoYogyakarta, 2013.Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta,

2010.J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia,

Djambatan, Jakarta, 1997.Moh.Taufik Makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta,

Jakarta, 2004.M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika,

Jakarta, 2006.M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.Ropaun Ranbe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001.Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Herziene Indonesich Reglement (HIR)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011

tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor

10 Tahun 1998.UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

Benda yang Berkaitan dengan Tanah.Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan FidusiaKep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 tanngal 13 Juni 2002 jo. Kep. Menkeu No. 450/KMK

01/2002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

23

Page 24: Strategi Bank Mega

24