Upload
truongxuyen
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI BERTAHAN HIDUP PENYANDANG
TUNANETRA PEDAGANG KERUPUK KELILING
(Studi Kasus di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Slamet Heri Wibowo
109032200006
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis tentang faktor yang mempengaruhi para
penyandang tunanetra lebih memilih untuk berprofesi sebagai pedagang kerupuk
keliling, berdasarkan teori pilihan rasional (rational choice), penelitian ini juga
mencoba memahami strategi bertahan hidup penyandang tunanetra pedagang
kerupuk keliling di sekitar Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif jenis studi kasus, dengan penarikan
sampel dilakukan menggunakan purposive sampling dengan jumlah informan 12
orang.
Hasil temuan peneliti menunjukan bahwa faktor penyandang tunanetra
memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling ialah faktor ekonomi,
faktor profesi lama yang tidak menguntungkan lagi, faktor pemasaran, faktor fisik
dan faktor lingkungan. Namun demikian, pilihan profesi sebagai pedagang
kerupuk keliling tersebut, ternyata hasilnya tidaklah mencukupi untuk mengcover
kebutuhan hidup mereka dalam sehari-hari. Sehingga diperlukan strategi tertentu
untuk bertahan hidup. Adapun, strategi bertahan hidup penyandang tunanetra di
sekitar Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan yaitu; melakukan
penghematan, menerima profesi sampingan yang dulunya menjadi profesi utama,
melibatkan anggota keluarga untuk membantu perekonomian keluarga. Selain itu,
penyandang tunanetra juga mengikuti kegiatan pengajian malam di Yayasan
Khasanah Kabajikan.
Di samping itu, untuk bertahan hidup penyandang tunanetra juga
memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki (pertemanan), yakni dengan cara
berhutang kepada teman ataupun kepada bank harian. Penyandang tunanetra juga
mengambil kerupuk dari teman sesama penyandang tunanetra, tidak membeli
langsung dipabriknya. Di sisi lain, penyandang tunanetra juga membentuk
kegiatan arisan sesama penyandang tunanetra, tujuannya untuk tabungan masa
depan keluarganya.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puja dan puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh
umatnya yang senantiasa istiqomah dalam menjalankan sunahnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada program studi Sosiologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Bertahan Hidup
Penyandang Tunanetra Pedagang Kerupuk Keliling (Studi Kasus di
Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan)”.
Skripsi ini, penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
arahan, bimbingan, doa, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan
keikhlasannya baik fisik, moril maupun meteril telah banyak membantu dalam
penyusunan skripsi ini hingga selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
iii
2. Prof. Dr. Zulkifly, MA., (Selaku Ketua Jurusan Sosiologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) dan Iim Halimatusa’diyah, M.Si., (Selaku Sekretaris
Jurusan Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Terima kasih atas
segala perhatian, motivasi, dan arahan kepada penulis, sehingga penulisan
skripsi ini dapat penulis selesaikan.
3. Bapak Nur Kafid, MA sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing
penulis mengerjakan skripsi dalam keadaan sibuk maupun santai dan
memberikan inspirasi bagi penulis, serta banyak memberikan perhatian dan
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skipsi ini dari awal hingga
akhir.
4. Seluruh Dosen Jurusan Sosiologi yang telah mendidik dan memberi
berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses
perkuliahan.
5. Ayahanda penulis, Bapak Moh. Tamrin, yang dengan penuh kesabaran
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk segera
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kemudian ibunda penulis, Ibu Kartini,
yang penuh dengan kesabaran mendorong dan memberikan nasihat agar
menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya.
6. Adik penulis, Anggi Rizki yang penuh dengan sabar membacakan dan
mengartikan bahan-bahan penulisan skripsi serta memberikan dukungan dan
bantuan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
iv
7. Bapak dan ibu petugas perpustakaan utama, terima kasih atas pelayanan dan
bantuan yang diberikan kepada penulis saat mencari literature dalam
penulisan skripsi ini.
8. Buat seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan penulis Sri Maryati
yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dan
memberikan inspirasi serta saran.
9. Teman-teman satu perjuangan di Sosiologi angkatan 2009: Abdillah,
Iswahyudi, Fahmi, Sandi, Ibrahim, Harsin, Rifki, Resti, dan teman-teman
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
dukungan dan segala bantuan yang diberikan.
10. Para informan penyandang tunanetra yang sudi meluangkan waktu untuk
penulis wawancarai. Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan
manfaat, baik kepada penulis maupun khalayak umum.
11. Buat teman-teman KKN Azmarizone: Burhan, Muhammadun, Udin, Fahmi,
Sandi, Abdillah, Purnomo, Adib, Aisah, Azizah, Resti, Ambarina, Alifah,
Febrita, Flori, dan Yasir. Terima kasih untuk keceriaan dan kebersamaan
kalian.
12. H. Firdaus, SH, M.Si. selaku Camat Pamulang yang telah menerima dan
mengizinkan kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan
Kecamatan yang di pimpinnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang tak bisa
penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi
v
ini. Ungkapan kata memang takkan cukup untuk kebaikan kalian semua. Semoga
Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, 28 Maret 2014
Slamet Heri Wibowo
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian…………………………………… ... 3
C. Tujuan Penelitian….. ........................................................... 3
D. Manfaat Penelitian……….……………………………....... 4
E. Tinjauan Pustaka………………………………………… .. 5
F. Kerangka Teoretis ................................................................ 9
G. Metode Penelitian ................................................................ 12
1. Pendekatan Penelitian ..................................................... 12
2. Subyek Penelitian dan Teknik Penentuan Informan ....... 12
3. Sumber Data .................................................................... 14
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 15
5. Analisis Data ................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 17
BAB II SOSIO-DEMOGRAFI KECAMATAN PAMULANG
A. Gambaran Umum Kecamatan Pamulang ............................. 19
vii
1. Kondisi Fisik Kecamatan Pamulang ............................... 19
2. Kependudukan dan Mata Pencaharian ............................ 21
B. Penyandang Tunanetra Pedagang Kerupuk Keliling ........... 24
C. Cara dan Waktu berdagang Penyandang Tunanetra……… 26
1. Cara Berdagang Kerupuk……………………………… 26
2. Waktu Berdagang Kerupuk………………………....…. 27
D. Alat Bantu Dalam Berdagang Kerupuk Keliling………….. 28
1. Pengeras Suara…………………………………………. 28
2. Kursi Plastik……………………………………………. 29
3. Gerobak………………………………………………… 29
4. Pikulan…………………………………………….……. 29
5. Tongkat Putih…………………………………………... 30
BAB III DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
A. Alasan Memilih Menjadi Pedagang Kerupuk Keliling…….. 31
1. Faktor Ekonomi………………………………….……… 31
2. Faktor Profesi Lama yang Tidak Menguntungkan Lagi... 33
3. Faktor Pemasaran………………………………………. 35
4. Faktor Fisik…………………………………………….. 39
5. Faktor Lingkungan…………………………………….. 41
B. Strategi Bertahan Hidup Penyandang Tunanetra……….… 43
1. Penghematan Kebutuhan…………………….………… 44
2. Menerima Profesi Sampingan……………………….…. 46
3. Pelibatan Anggota Keluarga………………………….... 47
viii
4. Mengikuti Kegiatan Pengajian Malam………………… 49
5. Berhutang Kepada Teman/Bank Harian……….…...…. 51
6. Mengambil Kerupuk Dari Teman Sesama Tunanetra..... 53
7. Kegiatan Arisan Penyandang Tunanetra…………...….. 54
C. Analisis Hasil Penelitian………………………………....... 55
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 62
B. Saran………………………………………………………. 64
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... x
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Bukti Bimbingan
Lampiran 2 Surat Pengantar Permohonan Wawancara/Mencari Data Skripsi
Lampiran 3 Interview Guide
Lampiran 4 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Pasar Ciputat Tahun 2013
Lampiran 5 Keputusan Gubernur Banten No. 561 Tahun 2013 Tentang Penetapan
Upah Minimum Kabupaten/Kota Se-Provinsi Banten Tahun 2014
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
ix
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Data Informan………………………………………...… 14
Tabel II.A.1 Luas Wilayah Menurut Kelurahan di Kecamatan
Pamulang Pada Tahun 2012……………………………. 20
Tabel II.A.2 Jumlah Rumah Tangga dan Rata-rata Panduduk
Per Rumah Tangga Menurut Kelurahan di Kecamatan
Pamulang Pada Tahun 2012…………………………….. 21
Tabel II.A.3 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut
Kelurahan Di Kecamatan Pamulang Pada Tahun 2012… 22
Tabel II.A.4 Mata Pencaharian Penduduk Di Kecamatan Pamulang
Pada Tahun 2012………………………………………... 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah Strategi Bertahan Hidup
Penyandang Tunanetra yang berprofesi sebagai Pedagang Kerupuk Keliling di
Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Sebenarnya dalam memenuhi
kebutuhan, manusia dihadapkan pada berbagai masalah. Hal ini dimungkinkan
karena jumlah dan macam kebutuhan manusia tidak terbatas. Suatu masyarakat
tidak akan bertahan jika kebutuhannya yang bermacam-macam tidak dipenuhi,
seperti umpamanya produksi dan pembagian makanan, perlindungan terhadap
yang muda dan tua, yang sakit dan yang mengandung, persamaan hukum,
pengembangan generasi muda dalam kehidupan sosial, dan lain sebagainya
(Goode, 2007: 3). Di sisi lain, ekonomi juga merupakan faktor yang utama bagi
kehidupan setiap manusia untuk tetap bertahan hidup. Jika perekonomian dalam
keluarga berhenti, maka akan menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi,
misalnya saja terjadinya perceraian dan ketidakharmonisan di dalam keluarga.
Untuk itu perlu pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik. Adapun yang
dimaksud dengan ekonomi dalam pengelolaan rumah tangga adalah suatu usaha
dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan
pengalokasian sumberdaya rumah tangga yang terbatas di antara anggotanya,
dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan masing-masing
(Damsar, 2009: 9).
2
Oleh karena itu, setiap manusia akan berjuang keras untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan menempuh berbagai cara. Akan tetapi manusia
sebenarnya mempunyai banyak kekurangan di dalam dirinya sendiri, karena
semua manusia yang hidup di dunia ini tidak ada yang sempurna. Dengan adanya
keterbatasan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri bukan menjadikan sebuah
halangan bagi seseorang dalam meraih apa yang ingin dicapainya. Keterbatasan
dan kekurangan yang ada pada seseorang merupakan sebuah keistimewaan
tersendiri bagi orang tersebut. Hal inilah yang terjadi pada kehidupan penyandang
tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang, yang pantang menyerah
dalam menjalani kehidupan ini. Meskipun mereka mempunyai cacat fisik tetapi
semangat hidup dan etos kerjanya sangat tinggi. Ini bisa terlihat ketika mereka itu
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling. Mereka seolah tidak mengenal
lelah, atau putus asa dalam menjalankan profesinya.
Penyandang tunanetra datang ke daerah penyangga ibukota hanya untuk
memperbaiki perekonomian keluarga. Padahal, kita ketahui bahwa biaya hidup di
daerah penyangga Ibu Kota Jakarta sangat tinggi, ditambah lagi dengan
banyaknya supermarket, minimarket, dan toko-toko yang menyediakan berbagai
jenis kerupuk. Tetapi, penyandang tunanetra mau bertahan hidup dengan berjualan
kerupuk keliling di daerah tersebut. Mereka menyewa tempat (mengontrak) untuk
menjalani kehidupan sehari-hari. Sebagian dari mereka ada yang sudah menikah
dan ada sebagian lain yang belum menikah.
Kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa profesi yang dilakukan oleh
penyandang tunanetra itu hanya sebagai tukang pijat (refleksi) saja. Akan tetapi
3
penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang kebanyakan
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling. Yang membuat kagum peneliti,
sebagian penyandang tunanetra dalam menjajakan kerupuk dagangannya, mereka
ada yang menggunakan pengeras suara.
Berdasarkan uraian di atas, akhirnya peneliti mencoba mencari tahu lebih
dalam mengenai strategi bertahan hidup penyandang tunanetra pedagang kerupuk
keliling di sekitar Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, sehingga
peneliti mengambil judul penelitian, “Strategi Bertahan Hidup Penyandang
Tunanetra Pedagang Kerupuk Keliling (Studi Kasus di Kecamatan Pamulang,
Kota Tangerang Selatan)”.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada pernyataan penelitian di atas, berikut adalah rumusan
pertanyaan penelitiannya :
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyandang tunanetra lebih memilih
profesi sebagai pedagang kerupuk keliling di Kecamatan Pamulang, Kota
Tangerang Selatan ?
2. Bagaimanakah strategi bertahan hidup penyandang tunanetra pedagang
kerupuk keliling di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan ?
C. Tujuan Penelitian
Dengan melihat pernyataan masalah dan pertanyaan penelitian yang ada,
maka tujuan dari penelitian ini, yaitu :
4
1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penyandang tunanetra lebih
memilih profesi sebagai pedagang kerupuk keliling di Kecamatan
Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
2. Untuk memahami strategi bertahan hidup penyandang tunanetra pedagang
kerupuk keliling di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Sebagai sumber informasi bagi peneliti-peneliti yang ingin mengetahui
mengenai strategi-strategi yang dilakukan penyandang tunanetra untuk
bertahan hidup sebagai pedagang kerupuk keliling.
b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi literatur yang berguna bagi
peneliti-peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tersebut.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan pada setiap orang
karena dengan adanya kekurangan yang ada pada diri kita, membuat kita
untuk tidak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai strategi-strategi
bertahan hidup penyandang tunanetra.
c. Sebagai masukan pada Instansi Pemerintah untuk lebih memperhatikan
keberadaan penyandang tunanetra, sehingga diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi para penyandang
tunanetra.
5
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum peneliti melakukan penelitian di lapangan kiranya diperlukan suatu
peninjauan literatur, yakni peninjauan terhadap berbagai penelitian-penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya, gunanya untuk menghindari plagiarisme dari
penelitian-penelitian tersebut. Berikut beberapa literatur yang peneliti dapatkan
dari penelitian sebelumnya yang terkait dengan strategi bertahan hidup.
Pertama Tesis yang ditulis oleh Widiyanto (2009) “Strategi Nafkah
Rumahtangga Petani Tembakau Di Lereng Gunung Sumbing”, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa strategi nafkah rumahtangga petani tembakau dibangun
diatas dua etika moral ekonomi yang berlawanan. Pada satu sisi berlandaskan
pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain berpijak kepada etika individual-
material. Kedua etika “dimainkan” oleh petani sebagai upaya untuk bertahan dan
memperbaiki sistem penghidupannya. Dalam membangun strategi nafkah
rumahtangga petani tembakau mengkombinasikan aset-aset (modal) yang
dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumber daya
manusia, dan modal sosial.
Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun
beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas
horizontal, berhutang, patronase, srabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas.
Sedangkan kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari
strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro.
(http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5861/2009wid.pdf?sequen
ce=4).
6
Kedua Tesis yang ditulis oleh Theophilus Yanuarto (2008) “Strategi
Bertahan Hidup Eks-Pengungsi Timor-timur Pasca Penghentian Durable
Solutions (Studi di Barak Tuapukan, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara
Timur”. Penelitian ini untuk meneliti bentuk-bentuk atau pola strategi para eks-
pengungsi Timor-timur agar dapat bertahan hidup meskipun bantuan kemanusiaan
telah dihentikan oleh Pemerintah Indonesia dan PBB. Dengan menggunakan
deskriptif kualitatif dengan metode fenomenologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka mengembangkan strategi
bertahan hidup dalam bentuk subsistensi pangan, kemandirian, dan
ketergantungan. Subsistensi pangan berasal dari kegiatan bercocok tanam di lahan
yang terbatas. Kemandirian dilakukan melalui pencarian sumber penghasilan di
sektor informal dan pemanfaatan alam meskipun pada kenyataannya mereka tidak
terlepas dari bentuk ketergantungan. Bentuk strategi bertahan hidup yang
dilakukan oleh setiap keluarga eks-pengungsi di Barak Tuapukan berbeda satu
sama lain, sedangkan keadaan yang melatarbelakangi atau mempengaruhi bentuk
strategi tersebut, antara lain motivasi dalam bekerja, sumber daya, tingkat
kekerabatan dan interaksi dengan masyarakat lokal, dan intervensi bantuan
pemerintah dan lembaga kemanusiaan.
(http://google.com/url?sa=t&rct=j&q=esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CDEQF
JAB&url=http%3A%2F2Fetd.ugm).
Ketiga Tesis yang ditulis oleh MM Sri Dwiyantari (2002) “Strategi Adaptasi
Keluarga Buruh Terputus Hubungan Kerja (ter-PHK) dalam Rangka
Mempertahankan Hidup Keluarga”, hasil penelitian menunjukan bahwa masalah
7
utama yang muncul dalam keluarga ter-PHKnya kepala keluarga adalah masalah
keuangan keluarga (financial hardship). Karena perubahan kondisi itulah keluarga
melakukan penyesuaian agar mampu bertahan hidup. Penyesuaian-penyesuaian
tersebut dilakukan dengan berbagai strategi adaptasi.
Strategi adaptasi yang dilakukan adalah (1) pada keluarga ter-PHK dengan
isteri yang bekerja di sektor formal, upaya kerja keluarga dengan mendukung
pekerjaan isteri dan pencarian pekerjaan baru bagi suami menjadi strategi efektif
bagi ketahanan jangka pendek dan jangka panjang. (2) pada keluarga dengan isteri
yang memiliki pekerjaan di sektor informal peningkatan upaya kerja keluarga
dengan mengembangkan pekerjaan sampingan isteri menjadi pekerjaan pokok
merupakan strategi efektif bagi kebertahanan keluarga jangka pendek maupun
jangka panjang. Pada keluarga ini pemulihan stabilitas keluarga relatif cepat. (3)
pada keluarga dengan isteri yang tidak memiliki pekerjaan apapun, pemanfaatan
bantuan keluarga, bantuan pemerintah, pemanfaatan uang pesangon menjadi
strategi efektif bagi kebertahanan jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang
strategi yang efektif adalah dengan upaya pencarian pekerjaan baru. Pemulihan
stabilitas keluarga ini lamban dan sangat tergantung pada ada tidaknya bantuan
pihak lain yang memberikan informasi mengenai peluang kerja.
Keempat Jurnal yang ditulis oleh Sri Endang Kornita dan Yusbar Yusuf
“Strategi Bertahan Hidup (Life Survival Strategy) Penduduk Miskin Kelurahan
Batu Tertitip Kecamatan Sungai Sembilan”, hasil penelitian menunjukan bahwa
karakteristik penduduk miskin di Kelurahan Batu Teritip ditinjau secara sosio-
demografi; sebagian besar kepala keluarga miskin (90,00 persen) di Kelurahan
8
Batu Teritip adalah tergolong ke dalam kategori produktif, memiliki tingkat
pendidikan yang rendah dimana 69,75 persen responden adalah berpendidikan
rendah (SD kebawah), sebagian besar (50 persen) responden telah tinggal dan
bertahan di Batu Teritip selama lebih 10 tahun bahkan 20 tahun.
Keluarga miskin di Kelurahan Batu Teritip mempunyai strategi bertahan
hidup antara lain strategi subsistensi, selalu digunakan oleh responden untuk
memenuhi kebutuhan dasar yaitu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan
cara pinjem tauke kayu bakau/tauke penampung penjualan ikan. Kemudian
dengan cara dicukup-cukupkan dengan apa yang ada. Sedangkan berkaitan
dengan strategi bertahan hidup menghadapi kondisi alam (angin utara dan musim
hujan) maka responden pada umumnya mempunyai cara atau strategi untuk tetap
bertahan hidup di daratan (tidak mencari ikan atau bertani) tetapi mencari kayu
bakau di pesisir pantai yang lebih kearah darat sebagai sumber nafkah.
(http://ejournal.unri.ac.id/)
Kelima Skripsi yang ditulis oleh Sita Dhini (2009) “Strategi Bertahan Buruh
Kontrak dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok (Studi Kasus Kondisi Sosial
Ekonomi Buruh Kontrak di CV. Belawan Indah)”, hasil penelitian menunjukan
bahwa keluarga buruh kontrak telah mampu melakukan strategi bertahan hidup
dengan baik. Keluarga buruh kontrak melakukan strategi aktif dimana buruh
kontrak tersebut mendayagunakan anggota keluarga mereka untuk membantu
perekonomiannya. Dengan cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan pokoknya
walaupun masih terbilang secara pas-pasan.
9
Selain itu buruh kontrak juga melakukan strategi pasif dimana keluarga
buruh kontrak mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan berusaha hidup
sehemat mungkin baik dari segi pangan dimana semenjak kenaikan BBM sangat
merasakan dampaknya sampai sekarang ini. Dan yang terakhir keluarga buruh
kontrak juga melakukan staretegi jaring pengaman. Dengan cara menjalin relasi
yang baik dengan para tetangga dan sesama pekerja, dan memanfaatkan program
anti kemiskinan dari Pemerintah, sehingga jika mereka membutuhkan pertolongan
maka buruh kontrak ini akan meminjam uang, mengutang ke warung, arisan, dan
memanfaatkan program Pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai, sembako
murah, dan lain-lain. (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14994)
Dari literatur atau penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
penulis ingin lebih jauh memahami strategi bertahan hidup penyandang tunanetra,
dan ingin mempertegas perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Strategi Bertahan
Hidup Penyandang Tunanetra Pedagang Kerupuk Keliling (Studi Kasus di
Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan).
F. Kerangka Teoretis
Seseorang dalam melakukan tindakan mempunyai motif ekonomi. Dengan
adanya motif ekonomi sendiri, mereka mempunyai strategi untuk bertahan hidup.
Strategi bisa diartikan sebagai cara seseorang dalam menghemat segala sesuatu
untuk dapat bertahan hidup. Snel dan Staring dalam Resmi Setia (2005: 6)
mengemukakan bahwa strategi bertahan hidup adalah sebagai rangkaian tindakan
yang dipilih secara standar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara
10
sosial ekonomi. Setiap individu menentukan sendiri strategi-strategi yang
dilakukannya untuk bertahan hidup. Hal ini bisa terlihat adanya kemauan yang
besar dari penyandang tunanetra untuk bertahan hidup yaitu dengan berprofesi
sebagai pedagang kerupuk keliling.
Dalam teori pilihan rasional, aktor menjadi pusat perhatiannya. Aktor
dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud.
Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk
mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan (atau nilai,
kegunaan). Teori pilihan rasional tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau
apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang penting adalah kenyataan bahwa
tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan
aktor. (Ritzer dan J. Goodman, 2009: 448)
Teori pilihan rasional berawal dari tujuan atau maksud dari aktor, tetapi
harus tetap diingat bahwa setidaknya ada dua batasan utama yang membatasi
tindakan tersebut. Pertama adalah kelangkaan resources. Aktor memiliki
resources berbeda seperti halnya memiliki akses-akses yang berbeda pula
terhadap resources lainnya. Aktor yang memiliki banyak resources, pencapaian
tujuannya mungkin menjadi relatif lebih mudah. Akan tetapi, bagi yang hanya
memiliki sedikit resources, hasil akhir yang dicapai mungkin menjadi lebih sulit
atau bahkan menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Batasan yang kedua adalah
lembaga-lembaga sosial, batasan lembaga ini memberikan sanksi negatife dan
positif yang menekankan perlunya dilakukan tindakan-tindakan tertentu dan
sebaliknya. (Wirawan, 2012: 245)
11
Di dalam mencapai tujuan, aktor harus tetap memusatkan perhatian mereka
pada biaya-biaya dari tindakan paling menarik sebelumnya. Seorang aktor dapat
menentukan untuk tidak mengejar nilai yang dianggap paling tinggi jika
resources-nya dianggap terlalu kecil, di mana hasil yang akan dicapai mungkin
tidak akan memuaskan. (Wirawan, 2012: 245) Menurut Coleman, teori pilihan
rasional memiliki dasar bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu
tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan
(prefensi). Dan untuk maksud yang sangat teoritis, Coleman menyatakan perlunya
konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi
yang melihat aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau
yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. (Ritzer dan J. Goodman,
2009: 480)
Sedangkan Friedman dan Hechter dalam Wirawan (2012: 245-246)
menjelaskan tentang dua ide/konsep dasar dari rational choice theory. Pertama
adalah mekanisme agregat, atau proses yang dengannya “tindakan individu yang
terpisah-pisah dikombinasikan untuk menghasilkan hasil sosial (social outcome)”.
Kedua adalah tumbuhnya konsep tentang pentingnya informasi di dalam membuat
pilihan-pilihan rasional. Dalam satu sisi, diasumsikan bahwa para pelaku memiliki
informasi yang lengkap, atau setidaknya mencukupi, untuk membentuk pilihan-
pilihan purposif di antara alternatif tindakan.
Dalam perspektif sosiologi ekonomi, teori pilihan rasional yaitu aktor
melakukan perhitungan dari pemanfaatan atau preferensi dalam pemilihan suatu
bentuk tindakan, aktor juga menghitung biaya bagi setiap jalur perilaku, dan aktor
12
berusaha memaksimalkan pemanfaatan untuk mencapai pilihan tertentu. (Damsar,
2009: 153) Aktor dalam menghitung biaya bagi setiap jalur perilaku akan
mempertimbangkan kepercayaan dan jaringan sosial di lingkungan sekitarnya.
Setiap orang memiliki keterbatasan dalam memperkirakan sesuatu, untuk
mengatasi ketidakpastian tersebut maka dia harus menjalin hubungan kepercayaan
dengan orang lain (Damsar, 2009: 201). Sedangkan jaringan sosial menurut
Suparlan dalam Kusnadi (2000: 13) merupakan proses pengelompokan yang
terdiri dari sejumlah orang (setidaknya tiga orang) yang masing-masing
mempunyai identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang
ada.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian memiliki peranan penting, maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian
studi kasus merupakan model penelitian yang penelaahanya difokuskan kepada
satu kasus dan dilakukan secara insentif, mendalam, mendetail, dan komperhensif
(Syamsir dan Jaenal, 2006). Dalam penggunaan pendekatan kualitatif ini juga
memusatkan pada studi gejala dalam keadaan alamiah dan berusaha membentuk
pengertian terhadap fenomena sesuai dengan makna dari gejala-gejala sosial di
dalam masyarakat (Burhan Bugin, 2009: 30).
2. Subyek Penelitian dan Teknik Penentuan Informan
Adapun teknik penentuan informan dalam penelitian kualitatif ini yang
dijelaskan oleh Sugiono (2007: 52), yaitu orang yang dapat mengetahui situasi
13
sosial dengan mengobservasi dan wawancara. Adapun mereka yang menjadi
informan ditentukan dengan metode purposive sampling, dipilih berdasarkan atas
pertimbangan sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu. Maksud pertimbangan di
sini menurut Sugiono (2007: 54) bahwa orang tersebut yang dianggap paling tahu
tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga
memudahkan peneliti menjelajah objek atau situasi sosial yang diteliti. Dengan
kata lain, penentuan subyek penelitian dilakukan dengan teknik purposive
sampling dengan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud antara lain :
a. Penyandang tunanetra yang sudah menekuni sebagai pedagang kerupuk
keliling selama 1 tahun.
b. Bertempat tinggal (sewa kontrakan) di sekitar Kecamatan Pamulang,
Kota Tangerang Selatan.
c. Dalam satu Kelurahan, penyandang tunanetra tidak memiliki saudara
yang profesinya sama sebagai pedagang kerupuk keliling.
Dari kriteria tersebut, maka penyandang tunanetra yang menjadi informan
dalam penelitian ini berjumlah 12 orang. Mereka semua tinggal di enam
Kelurahan (Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Bambu Apus, Kedaung, Pamulang Barat,
Pamulang Timur, dan Benda Baru) di Kecamatan Pamulang. Untuk lebih jelasnya
mengenai Data informan yang peneliti lakukan, sebagaimana digambarkan dalam
tabel I.1
14
Tabel I.1
Data Informan
No Informan Jenis
Kelamin
Usia Daerah
Bertahan Hidup
Tgl Wawancara
1 Suhadi Lk 40 Th Benda Baru 18 Desember 2013
2 Edy Maryadi Lk 44 Th Pondok Cabe Ilir 19 Desember 2013
3 Jamal Lk 63 Th Pamulang Timur 23 Desember 2013
4 Nasilah Pr 60 Th Pamulang Barat 24 Desember 2013
5 Anas Binalik Lk 36 Th Kedaung 27 Desember 2013
6 Suparlan Lk 47 Th Pondok Cabe Ilir 1 Januari 2014
7 Muslikha Pr 43 Th Pondok Cabe Ilir 1 Januari 2014
8 Abdul Rouf Lk 27 Th Pondok Cabe Ilir 1 Januari 2014
9 Sunoto Lk 29 Th Pondok Cabe Ilir 1 Januari 2014
10 Didi Lk 36 Th Bambu Apus 2 Januari 2014
11 Edi Ks Lk 38 Th Kedaung 2 Januari 2014
12 Abdul Haiq Lk 36 Th Kedaung 3 Januari 2014
Sumber: Hasil Observasi
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data terbagi menjadi 2 (dua), yakni :
1. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari informan atau suatu
obyek yang akan diteliti melalui wawancara dan observasi, yang ada
hubungannya dengan apa yang akan diteliti. Seperti faktor yang
mempengaruhi penyandang tunanetra lebih memilih profesi sebagai
pedagang kerupuk keliling dan juga strategi-strategi bertahan hidup
penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling.
15
2. Data sekunder, data yang diperoleh dari kajian pustaka dan sebagai
pendukung dari data primer seperti artikel, Koran, majalah, sebagai
sumber tertulis lainnya yang dibahas dalam penelitian. (Moleong, 2010:
224-225).
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengambil data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan
melalui pengamatan langsung dari tempat penelitian, dan untuk melengkapi data
yang dilakukan, yaitu menggunakan wawancara mendalam kepada informan
dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang erat kaitannya dengan
permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan data sekunder adalah data
kepustakaan.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Wawancara-Mendalam (In-depth interview)
Wawancara Mendalam atau In-Depth Interview adalah pengumpulan
data dengan menggunakan teknik wawancara antara peneliti dan informan
untuk mendapatkan keterangan dengan jelas (Moleong, 2007: 186).
Pengumpulan data jenis ini dibimbing oleh pedoman wawancara yang sudah
dipersiapkan. Teknik ini disertai pencatatan konsep, gagasan, pengetahuan
informan yang diungkapkan lewat tatap muka.
b. Observasi
16
Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan secara langsung
terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi yang dilakukan adalah
observasi langsung ke tempat penelitian dengan melihat keadaan sekitar,
kegiatan, tindakan-tindakan informan dan proses penataan yang merupakan
bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati. Observasi menjadi
salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian,
direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol keandalan
(reliabilitas) dan kesahihanya (validitasnya). (Husaini dan Purnomo, 2009:
52)
c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah sumber data
yang dapat dimanfaatkan dengan banyak hal, dokumentasi itu sendiri adalah
bagian penting dalam penelitian (Moleong, 2010: 217). Dokumentasi dalam
penelitian ini berupa buku-buku literatur, karangan ilmiah, mengabadikan
gambar dilokasi penelitian dan dokumentasi resmi yang dikeluarkan oleh
Instansi Pemerintah ataupun Swasta.
5. Analisis Data
Data yang berwujud kata-kata dari hasil penelitian akan dianalisis
secara kualitatif, di mana data yang diperoleh dari lapangan seperti wawancara
dan observasi akan diolah kemudian disajikan dalam bentuk tulisan. Menyangkut
analisis data kualitatif, berikut adalah tahapan-tahapannya (Husaini dan Purnomo,
2009: 85-87) :
a. Reduksi data
17
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data,
dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat
gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya, dengan maksud
menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
b. Penyajian data
Merupakan pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Merupakan kegiatan akhir penelitian, peneliti harus sampai pada
kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun
kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subyek tempat penelitian itu
dilaksanakan.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi ke dalam 4 (empat) bab. Setiap babnya terdiri atas sub-
sub bab pembahasan yang mempunyai keterkaitan antara bab dan sub-sub bab
yang satu dengan yang lainnya.
Bab I Pendahuluan, akan membahas mengenai pernyataan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoretis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
18
Bab II Sosio-Demografi Kecamatan Pamulang, merupakan gambaran umum
mengenai Kecamatan Pamulang yang terdiri dari kondisi fisik Kecamatan
Pamulang, kependudukan dan mata pencaharian, serta mengenai penyandang
tunanetra pedagang kerupuk keliling; mulai dari cara dan waktu berdagang
kerupuk penyandang tunanetra serta alat bantu dalam berdagang kerupuk keliling.
Bab III Deskripsi dan Analisis Data, yaitu bab yang memaparkan mengenai
hasil penelitian, mulai dari faktor yang mempengaruhi penyandang tunanetra lebih
memilih profesi sebagai pedagang kerupuk keliling sampai dengan strategi
bertahan hidup penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling di Kecamatan
Pamulang, Kota Tangerang Selatan dan analisis hasil penelitian.
Bab VI Penutup, bab yang memaparkan tentang kesimpulan dan saran dari
hasil penelitian.
19
BAB II
SOSIO-DEMOGRAFI KECAMATAN PAMULANG
Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum Kecamatan Pamulang yang
terdiri dari; kondisi fisik Kecamatan Pamulang, kependudukan dan mata
pencaharian, serta mengenai penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling;
mulai dari cara dan waktu berdagang kerupuk penyandang tunanetra serta alat
bantu dalam berdagang kerupuk keliling.
A. Gambaran Umum Kecamatan Pamulang
1. Kondisi Fisik Kecamatan Pamulang
Kecamatan Pamulang termasuk dalam wilayah Kota Tangerang Selatan,
Provinsi Banten. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 26,82 km2
, yang terdiri
dari 78. 151 RT (Rukun Tangga) (BPS Kota Tangerang Selatan 2013). Kecamatan
Pamulang merupakan pusat Perkantoran Pemerintah daerah Tangerang Selatan,
hal ini bisa terlihat dengan letak Kecamatan Pamulang berdampingan dengan
kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan.
Secara geografis Kecamatan Pamulang memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut (BPS Kota Tangerang Selatan 2013) :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Provinsi Jawa Barat.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan Provinsi DKI
Jakarta.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Serpong.
20
Sedangkan secara administratif, Kecamatan Pamulang terdiri dari 8
Kelurahan, yaitu Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat,
Kelurahan Pamulang Timur, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Kelurahan Pondok
Cabe Ilir, Kelurahan Kedaung, Kelurahan Bambu Apus, dan Kelurahan Benda
Baru.
Tabel II.A.1
Luas Wilayah Menurut Kelurahan di Kecamatan Pamulang pada
tahun 2012
No Kelurahan Luas Wilayah (km2
) Persentase (%
)
1
2
3
4
5
6
7
8
Pondok Benda
Pamulang Barat
Pamulang Timur
Pondok Cabe Udik
Pondok Cabe Ilir
Kedaung
Bambu Apus
Benda Baru
Kec. Pamulang
3,86
4,16
2,59
4,83
3,96
2,56
2,20
2,66
26,82
14,39
15,51
9,65
18,00
14,77
9,56
8,20
9,92
100
Sumber : Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan dalam
(http://tangselkota.bps.go.id)
21
Tabel II.A.2.
Jumlah Rumah Tangga dan Rata-rata Penduduk Per Rumah Tangga
Menurut Kelurahan di Kecamatan pamulang tahun 2012
No Kelurahan Rumah
Tangga
Rata-rata Penduduk Per
Rumah Tangga
1
2
3
4
5
6
7
8
Pondok Benda
Pamulang Barat
Pamulang Timur
Pondok Cabe Udik
Pondok Cabe Ilir
Kedaung
Bambu Apus
Benda Baru
Kec. Pamulang
12.447
13.795
9.265
5.808
8.795
11.525
6.928
9.589
78.151
3,75
4,68
4,41
4,89
4,18
4,22
3,89
3,74
1,95
Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan 2013 dalam
(http://tangselkota.bps.go.id)
2. Kependudukan dan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk di Kecamatan Pamulang adalah sebanyak 308.272 jiwa.
Proporsi antara penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah
seimbang, yakni terdiri dari 155.700 jiwa penduduk dengan jenis kelamin laki-laki
dan 152.572 jiwa penduduk dengan jenis kelamin perempuan. Kelurahan Pondok
Cabe Udik merupakan Kelurahan yang memiliki jumlah penduduk yang sedikit
sebesar 22.856 jiwa sedangkan Kelurahan Pamulang Barat memiliki penduduk
terbanyak sebesar 53.210 jiwa.
22
Tabel II.A.3.
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Kelurahan di
Kecamatan Pamulang pada tahun 2012
No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis
kelamin
1
2
3
4
5
6
7
8
Pondok Benda
Pamulang Barat
Pamulang Timur
Pondok Cabe Udik
Pondok Cabe Ilir
Kedaung
Bambu Apus
Benda Baru
Kec. Pamulang
24.677
26.958
17.772
11.512
17.834
23.206
13.884
19.857
155.700
24.332
26.252
17.825
11.344
17.253
22.489
13.494
19.583
152.572
49.009
53.210
35.597
22.856
35.087
45.695
27.378
39.440
308.272
1,01
1,02
1,99
1,01
1,03
1,03
1,02
1,01
1,02
Sumber : BPS Kota Tangerang Selatan 2013 dalam (http://tangselkota.bps.go.id)
Mata pencaharian penduduk merupakan bagian dari kondisi demografi,
dengan adanya data mata pencaharian penduduk pada suatu wilayah berarti dapat
dilihat besar kecilnya jumlah penduduk usia kerja. Jumlah penduduk usia kerja
yang dominan dalam mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pamulang adalah
profesi Lain-lain, jumlahnya 227.126 jiwa. Sedangkan profesi sebagai Pedagang,
jumlanya 26.228 jiwa. Karena adanya anggapan bahwa dengan berprofesi sebagai
pedagang berarti bisa mendapatkan penghasilan setiap hari. Data selengkapnya
mengenai sebaran penduduk usia kerja yang bekerja, berdasarkan mata
pencaharian penduduk di Kecamatan Pamulang dapat dilihat pada Tabel II.A.4.
23
Tabel II.A.4.
Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Pamulang pada tahun
2012
No Mata Pencaharian Banyaknya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
PNS
TNI/POLRI
Pensiunan TNI/POLRI/PNS
Pedagang
Angkutan/Supir
Buruh Industri
Buruh Bangunan
Industri Kecil/Pengrajin
Pengusaha Besar/Sedang
Petani Penggarap/Buruh Tani
Petani Pemilik
Lain-lain
Jumlah
7.156
1.178
1.368
26.228
14.296
17.668
6.785
815
308
226
188
227.126
303.272
Sumber : Kantor Kecamatan Pamulang dalam
(http://tangselkota.bps.go.id)
Berdasarkan tabel di atas, mata pencaharian penduduk yang berada di
Kecamatan Pamulang adalah PNS sebanyak 7.156 jiwa, TNI/POLRI sebanyak
1.178 jiwa, Pensiunan TNI/POLRI/PNS sebanyak 1.368 jiwa, Pedagang sebanyak
26.228 jiwa, Angkutan/Supir sebanyak 14.296 jiwa, Buruh Industri sebanyak
17.668 jiwa, Buruh Bangunan sebanyak 6.785 jiwa, Industri Besar/Sedang 308
24
jiwa, Petani Penggarap/ Buruh Tani sebanyak 226 jiwa, Petani Pemilik sebanyak
188 jiwa, dan lain-lain sebanyak 227.126 jiwa.
Hasil Survei Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi Kota
Tangerang Selatan di pasar Ciputat tahun 2013 bahwa kebutuhan hidup layak
(KHL) keluarga dalam satu bulan mencapai Rp. 1.052.155. Dalam hal ini peneliti
mengambil hasil survei Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi
mengenai kebutuhan hidup layak (KHL) tahun 2013 di pasar Ciputat, dikarenakan
yang terdekat dengan tempat lokasi penelitian. Di samping itu, UMK (Upah
Minimum Kabupaten/Kota) Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014, sebesar Rp.
2.442.000 perbulan (Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi Kota
Tangerang Selatan).
B. Penyandang Tunanetra Pedagang Kerupuk Keliling
Setiap manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan pasti akan
menggunakan alat indra yang dimilikinya. Akan tetapi yang terjadi pada
penyandang tunanetra hanya bisa menggunakan alat indra pendengaran, perabaan,
pembau, dan pengecap saja, sedangkan alat indra penglihatan tidak berfungsi. Hal
ini dapat mempengaruhi pandangan penyadang tunanetra terhadap suatu peristiwa
atau objek yang ada di lingkungan sekitar. Sebenarnya alat indra penglihataan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Dengan terjadinya kelainan penglihatan (tunanetra) pada seseorang, praktis akan
mengakibatkan hambatan terhadap kemampuannya untuk bergerak secara bebas
di lingkungannya (Efendi, 2008: 45).
25
Kebutuhan bergerak bagi setiap makhluk hidup merupakan bagian dari
kehidupan yang paling esensial, sebab dengan bergerak makhluk hidup khususnya
manusia dapat melakukan banyak hal. Hasil gerakannya baik yang mempunyai
efek pada diri sendiri maupun orang lain. (Efendi, 2008: 45)
Sebenarnya, apa yang dirasakan orang normal tidak jauh berbeda dengan
apa yang dirasakan penyandang tunanetra. Dalam hal ini orang normal dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya perlu pemenuhan kebutuhan dasar, seperti
kebutuhan sandang dan pangan, kebutuhan untuk diakui keberadaannya, dan
kebutuhan untuk mencapai sesuatu, hal tersebut juga menjadi kebutuhan bagi
penyandang tunanetra. Bagi penyandang tunanetra dalam memenuhi kebutuhan
hidup seringkali terdapat banyak hambatan, ini di karenakan adanya masalah pada
alat penglihatannya.
Dengan adanya permasalahan pada alat penglihatannya, penyandang
tunanetra dalam memenuhi kebutuhan hidup akan menjalani profesi semampunya.
Ini bisa terlihat dari beberapa penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar
Kecamatan Pamulang, yang berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling.
Mereka datang dari beberapa daerah antara lain: Solo, Cirebon, Flores, Lampung,
Jakarta, dan Temanggung. Sebagian besar mereka berasal dari Jawa Tengah.
Kedatangan penyandang tunanetra sebenarnya hanya untuk mencari
peruntungan di sekitar Kecamatan Pamulang dengan menjajakan kerupuk.
Apalagi di Kecamatan Pamulang merupakan pusat Kota Tangerang Selatan, yang
dianggap sebagai pusat kemajuan dan pembangunan, tempat berkembangnya
suatu masyarakat yang saling ketergantungan satu sama lain, dan merupakan pusat
26
penjualan barang. Penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk selalu
berusaha menjual kerupuknya sampai habis walaupun terlihat kelelahan, karena
menjajakan kerupuknya dengan berjalan kaki, dan dengan cakupan area keliling
yang cukup luas.
Dengan adanya cuaca yang tidak menentu, penyandang tunanetra tidak
mudah untuk menyerah begitu saja, penyandang tunanetra mempunyai tekad yang
kuat bahwa mereka jika tidak berjualan kerupuk berarti tidak bisa memenuhi
kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan keluarganya. Dengan kegigihannya, kerja
keras, dan usaha yang tidak pernah habis-habisnya mereka dapat bertahan hidup.
Pedagang kerupuk keliling merupakan jenis perdagangan kecil, perdagangan
kecil terdiri dari pedagang yang membuka tempat berjualan sederhana yang
didatangi oleh konsumen atau pedagang keliling yang mendatangi sendiri
konsumennya. Penyandang tunanetra tidak memproduksi sendiri kerupuk yang
dijualnya, mereka mengambil dari orang lain untuk dijajakan kepada konsumen.
Mereka hanya mengandalkan tenaga dan modal awal dalam menjajakan kerupuk.
C. Cara dan Waktu Berdagang Kerupuk Penyandang Tunanetra
1. Cara Berdagang Kerupuk
Cara yang dilakukan penyandang tunanetra dalam berjualan kerupuk yaitu
dengan berjalan kaki melewati gang-gang kecil yang dekat dengan kontrakannya,
terkadang juga melintas sampai ke Jalan Raya. Menurut para informan, merasakan
risih jika melewati Jalan Raya, hal ini disebabkan pernah di caci maki dengan
sesama pengguna jalan dan takut tertabrak motor ataupun mobil. Dengan kejadian
27
seperti itu maka lebih memilih untuk melintas Jalan Raya hanya sebatas
menyebrang saja, biasanya mereka membawa barang dagangannya di gerobak,
ada pula yang di letakan dipundak, dan ada juga yang di letakan dipikulan.
Penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk dengan berkeliling di
gang-gang kecil sambil berteriak “kerupuk-kerupuk”, dengan cara tersebut maka
mereka bisa berinteraksi dengan para konsumennya. Pada awalnya dalam
berdagang kerupuk hanya berkeliling di gang-gang kecil tidak berteriak “kerupuk-
kerupuk”, hal ini disebabkan karena masih memiliki perasaan kebingungan dalam
berdagang kerupuk dan juga masih kebingungan dalam menentukan arah untuk
berdagang kerupuk. Di samping itu ada juga warga sekitar Kecamatan Pamulang
yang menganggap bahwa kerupuk yang dibawanya tidak untuk dijual melainkan
untuk dikonsumsi sendiri. Hal tersebut merupakan pengalaman baru yang
didapatkan penyandang tunanetra dalam beralih profesi menjadi pedagang
kerupuk keliling, hanya untuk bertahan hidup dengan tidak meminta bantuan
orang lain.
2. Waktu Berdagang Kerupuk
Penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk memanfaatkan waktu-
waktu tertentu saja, hal ini dilakukannya karena mereka melihat aktivitas yang
dilakukan masyarakat sekitar. Umumnya yang dilakukan penyandang tunanetra
dalam berjualan kerupuk mulai pagi hari sekitar pukul 08.00 sampai pukul 11.00,
siang dan sore hari sekitar pukul 15.00 sampai pukul 17.30.
Penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk biasanya dalam sehari itu
dua kali berdagang kerupuk. Mereka berdagang kerupuk dari pagi sampai siang
28
hari sebelum sholat Zuhur, hal ini disebabkan jika berdagang kerupuk sudah
melewati jam dua belas siang terik matahari sudah semakin panas dan tidak
efisien lagi untuk berdagang kerupuk keliling. Kemudian dilanjutkan berdagang
pada sore hari sampai menjelang sholat Magrib, hal ini dilakukan mereka karena
waktu-waktu sore merupakan waktunya orang-orang pulang kerja, setidaknya
dapat memanfaatkan barang yang dijajakannya. Tetapi jika lagi musim penghujan
mereka hanya berjualan kerupuk pagi sampai siang hari saja sedangkan sore
harinya dipergunakan untuk istirahat. Biasanya jika dari rumah kontrakannya
sudah hujan, mereka tidak melakukan aktivitas berdagang kerupuk kelililing.
D. Alat Bantu dalam Berdagang Kerupuk Keliling
Penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk menggunakan alat bantu
untuk memasarkan barang dagangannya kepada para konsumen. Bagi mereka, alat
bantu yang digunakan tersebut sangat berarti terhadap keberlangsungan hidupnya.
1. Pengeras Suara
Pengeras suara itu berbentuk bulat, seperti mainan anak-anak. Biasanya
nada dari alat pengeras suara itu disesuaikan dengan penyandang tunanetra dalam
berdagang kerupuk, ada yang menggunakan nada “kerupuk-kerupuk”, ada juga
yang menggunakan nada “lagu-lagu pop Indonesia” kesenangan anak muda, dan
ada juga yang menggunakan nada “lagu-lagu dangdut”. Sebenarnya yang
dilakukan para penyandang tunanetra dalam menggunakan alat pengeras suara itu
sebagai media untuk mempromosikan barang dagangannya, dan ingin
menunjukan barang apa yang diperdagangkan. Di samping itu alat tersebut juga
29
dipergunakan, jika sewaktu-waktu tenggorokan mereka sakit kemudian tidak bisa
berteriak “kerupuk-kerupuk”, sehingga bisa menggunakan alat pengeras tersebut.
2. Kursi Plastik
Kursi plastik fungsinya juga tidak jauh berbeda dengan alat pengeras suara.
Penyandang tunanetra membawa kursi plastik setiap hari, fungsi alat tersebut
untuk beristirahat setelah mereka berjalan jauh mengelilingi gang-gang kecil.
Mereka membawa kursi plastik dikarenakan merasakan kebingungan saat mencari
lokasi-lokasi untuk beristirahat. Dengan membawa kursi plastik, mereka tidak
kebingungan mencari tempat-tempat untuk istirahat, di samping itu jika jalannya
merasakan kelelahan mereka bisa istirahat di tempat-tempat tertentu.
3. Gerobak
Penyandang tunanetra juga ada yang membawa gerobak dalam berjualan
kerupuk. Gerobak sendiri berfungsi untuk membawa kerupuk dagangannya
dengan jumlah yang banyak dan mereka menganggap bahwa dengan adanya
gerobak bisa memudahkan untuk menentukan arah jalan dalam berjualan kerupuk.
4. Pikulan
Pikulan dipergunakan penyandang tunanetra untuk menggantungkan
kerupuk-kerupuk yang dijualnya, dengan adanya pikulan maka dapat mengurangi
beban yang dibawa penyandang tunanetra dan juga bisa membawa kerupuk
dengan jumlah yang banyak. Kira-kira bisa membawa kerupuk sampai 50-60 biji.
5. Tongkat Putih
30
Setiap penyandang tunanetra sudah pasti tidak akan terlepas dengan yang
namanya dengan tongkat putih. Alat tersebut digunakan sebagai petunjuk untuk
mereka beraktivitas sehari-harinya. Dengan tongkat putih mereka bisa bergerak
kemana saja. Di samping itu tongkat putih juga berfungsi untuk memberitahu
kepada orang lain, bahwa pemakainya adalah penderita tunanetra, dan dapat juga
berfungsi untuk menambah rasa percaya diri (Efendi, 2008: 46-47).
31
BAB III
DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA
Bab berikut ini memaparkan tentang hasil-hasil temuan penelitian beserta
analisisnya. Mulai dari faktor yang mempengaruhi penyandang tunanetra lebih
memilih profesi sebagai pedagang kerupuk keliling, sampai pada strategi bertahan
hidup mereka.
A. Alasan Memilih Menjadi Pedagang Kerupuk Keliling
Meski memiliki keterbatasan fisik, tetapi para penyandang tunanetra tidak
kemudian berpangku tangan atau menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Mereka tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya
adalah dengan berdagang kerupuk secara berkeliling, sebagaimana yang dijalani
penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang, Kota
Tangerang Selatan. Menjatuhkan pilihan pada profesi sebagai pedagang kerupuk
keliling, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagaimana di bawah ini :
1. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan setiap
manusia termasuk juga dengan kehidupan penyandang tunanetra. Tindakan atau
perilaku ekonomi yang dijalankan oleh penyandang tunanetra dalam berdagang
kerupuk keliling mengarah kepada tujuan ekonomi, yakni agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup dirinya sendiri dan keluarganya. Kebutuhan ekonomi yang
dimaksud adalah pemenuhan Sandang, Pangan, dan Papan. Sebagaimana Bapak
Suhadi (40 th) dan Bapak Abdul Haiq (36 th) menjelaskan kepada peneliti;
32
Kebutuhan yang paling penting menurut bapa kebutuhan sandang dan
pangan buat anak dan istri di kampung. Bapa mah semangat terus buat
mencari uang, yang penting buat bapa dalam mencari uang itu halal.
(Wawancara Pribadi dengan Bapak Suhadi, 18 Desember 2013).
Kebutuhan primer si dicukup-cukupin ya, kemungkinan kebutuhan yang
papan ini ya! Kebetulan spitangk saya udah mampet ya, perencanaannya si
dah matang ya. Saya udah serahkan ke tukang, kirain dah beres tapi
kenyataannya kaya gini. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Haiq, 3
Januari 2014).
Sedang Bapak Jamal (63 th) menyampaikan kepada peneliti, bahwa
kebutuhan yang paling penting buat keluarganya yaitu pemenuhan papan saja. Hal
ini dikarenakan dari beberapa penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar
Kecamatan Pamulang, dalam mencari rumah sewa tidak mudah dibandingkan
dengan orang normal yang mencari rumah sewa lebih mudah. Kebanyakan
pemilik rumah sewa tidak memperbolehkan rumahnya untuk disewa oleh para
penyandang tunanetra, alasannya bahwa jika disewakan pada penyandang
tunanetra akan mendapat banyak masalah, diantaranya tidak bisa merawat rumah
sewanya, terjadinya kebakaran dan lain sebagainya. Bapak Jamal (63 th) yang
menyewa rumah di Kelurahan Pamulang Timur menyampaikan kepada peneliti;
Kebutuhan yang paling penting, itu jelas papan. Kalau sandang si udah
lumayanlah. Papannya ini yang susah, soalnya orang buta nyari kontrakan
kan susah. Kebanyakan orang yang punya kontrakan ga mau dikontrakin
sama orang buta, mereka pada keberatan pada bilang nanti kebakaran lah,
apalah…padahal selama ini kan di TV-TV belum ada berita mengenai
tunanetra yang mengontrak terus terjadi kebakaran. Kan musibah itu
datengnya dari mana aja ya de, ini yang susah. Orang bayar kontrakan aja
yang punya pada keberatan apalagi yang ga bayar, inilah salah besar orang
buta. Kalau nyari kontrakan lama, nanya-nanya dulu buat siapa-buat siapa
kontrakan dibilang tunanetra aja pada ga mau. (Wawancara Pribadi dengan
Bapak Jamal, 23 Desember 2013).
33
Dari hasil wawancara dengan informan di atas dapat disimpulkan bahwa
semua tindakan yang dilakukan para penyandang tunanetra hanya untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Mereka berusaha untuk dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga seperti kebutuhan sandang, pangan dan
papan. Kebutuhan sandang dan pangan, menurut mereka sudah tercukupi dalam
kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, kebutuhan papan yang susah untuk
mencapainya. Hal ini bisa terlihat ketika penyandang tunanetra dalam mencari
rumah sewa itu kesulitan, kebanyakan pemilik rumah sewa menolak jika yang
mengontrak rumah sewanya adalah penyandang tunanetra. Pemilik rumah sewa
beralasan jika yang menyewa rumah sewanya penyandang tunanetra, maka akan
beresiko terjadinya kebakaran, tidak bisa merawat rumah sewanya dan lain
sebagainya.
2. Faktor Profesi Lama yang Tidak Menguntungkan Lagi
Menjadi pedagang kerupuk keliling merupakan pekerjaan sehari-hari
penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang, Kota
Tangerang Selatan. Dalam menjalani profesi sebagai pedagang mereka tidak bisa
memproduksi barang dagangannya sendiri, karena cacat fisik yang dialaminya.
Menurut Watson dalam Iqbal Djajadi (2008 : 3.5) kerja sebagai aktivitas-aktivitas
yang dapat membantu manusia bertahan hidup (make a living) dalam suatu
lingkungan masyarakat. Istilah “bertahan hidup” dalam definisi Watson bukan
hanya menunjuk pada usaha untuk memproduksi barang-barang material, tetapi
34
juga meliputi ketahanan fisik (physical survival) dan aspek budaya tentang
eksistensi manusia.
Sebenarnya profesi yang dilakukan penyandang tunanetra sebelum menjadi
pedagang kerupuk keliling adalah sebagai tukang pijit panggilan. Akan tetapi
seiring dengan semakin majunya teknologi, keahlian yang dimilikinya sudah tidak
begitu diminati lagi oleh masyarakat. Hanya sebagian orang saja yang mau dipijit
dengan penyandang tunanetra, masyarakat lebih memilih kepada panti pijit yang
mempunyai alat-alat canggih. Berikut petikan wawancara peneliti dengan para
informan;
Ibu Nasilah (60 th) yang beralih profesi setelah profesi lamanya tidak
menguntungkan lagi, menuturkan kepada peneliti;
Jualan kerupuk kan mendingan, kalau mijit kan jarang. Terus mijit banyak
saingan itu mas bisa liat sendiri di depan kontrakan saya buka panti pijit
juga kan, pakenya juga alat-alat wis (sudah) canggih-canggih. Gawa (bawa)
kerupuk kan enteng(ringan) mboten abot (tidak berat), pisik (fisik) ibu kan
ora weruh (tidak melihat). Ya seadanya aja lah. (Wawancara Pribadi dengan
Ibu Nasilah, 24 Desember 2013).
Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Suparlan (47 th) bahwa menjalani
profesi menjadi tukang pijit tidak bisa mencukupi semua kebutuhan ekonomi
keluarganya sehingga beralih profesi menjadi pedagang kerupuk keliling, berikut
penuturannya kepada peneliti;
Ya menekuni jadi pedagang kan buat tambahan juga, kalau mijit kan ga
mencukupi apalagi ekonomi sekarang ini, apa-apa aja sekarang serba naik
bukan cuma bahan-bahan kebutuhan pokok aja. Mau tidak mau ya dijalani
aja, semampu fisik saya aja. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Suparlan, 1
Januari 2014).
35
Data yang peneliti dapatkan dari informan di atas, dapat disimpulkan bahwa
profesi menjadi pedagang kerupuk keliling merupakan pilihan yang tepat bagi
mereka untuk dapat bertahan hidup di sekitar Kecamatan Pamulang. Dengan
banyaknya bermunculan panti-panti pijit yang modern, penyandang tunanetra
kalah bersaing dengan panti-panti yang menggunakan alat-alat canggih. Dengan
sepinya pasien yang dipijit, maka mereka mulai memikirkan bagaimana untuk
mendapatkan penghasilan tetap. profesi menjadi tukang pijit dirasakannya tidak
memperoleh penghasilan tetap, sehingga lebih memilih untuk menjalani profesi
sebagai pedagang kerupuk keliling.
3. Faktor Pemasaran
Pemasaran sendiri juga mempengaruhi penyandang tunanetra dalam
memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling, hal ini dikarenakan dari
beberapa penyandang tunanetra memiliki pengalaman baru dalam bidang
berdagang. Dalam memasarkan kerupuk saja mereka harus memakai alat
pengeras, di mana alat pengeras itu digunakan sebagai media untuk
mempromosikan barang dagangannya. Dengan keterbatasan kemampuan yang
ada, mereka memikirkan bagaimana supaya masyarakat banyak yang tersentuh
untuk membeli kerupuk dagangannya. Penyandang tunanetra dalam melakukan
aktivitasnya sebagai pedagang kerupuk keliling, mempunyai cara untuk
memasarkan barang dagangannya, antara lain mereka selalu menawarkan barang
dagangannya dengan ramah dan terkadang juga mengajak bercanda dengan para
konsumennya. Hal tersebut digunakan hanya sekedar untuk menghibur diri dan
36
juga menghilangkan rasa jenuh saat berdagang kerupuk keliling. Dari hasil
wawancara dengan para informan, faktor pemasaran sendiri mempengaruhi
mereka dalam memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling, karena
sebelumnya ada penyandang tunanetra yang mencoba berdagang selain berdagang
kerupuk akan tetapi tidak bisa memasarkan barang dagangannya. Seperti
berdagang pulsa dan berdagang sandal. Karena kesulitan dalam pemasaran, maka
mereka pun merasa bahwa berdagang pulsa dan sandal tidak bisa mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Berikut penuturan Bapak Anas Binalik (36 th) kepada
peneliti ;
Ya karena rezekinya di jualan kerupuk kali ya! Kalau jualan sandal ma
jualan pulsa kan itu ga mencukupi bener, paling ngga cuma ngambil untung
Rp. 500 aja. Menurut saya si asal mau keluar aja ya pasti dapetlah tambahan
buat makan. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Anas Binalik, 27 Desember
2013).
Sementara menurut Bapak Edy (44 th) berdagang kerupuk itu ringan dan
mudah dipasarkan :
Maksudnya kalau kerupuk dibungkus kan ringan ga masalahkan, disamping
itu kebanyakan orang kan suka makan kerupuk terus mudah untuk
dipasarkan. Kalau di bilang keahlian bukan keahlian ya jualan kerupuk,
yang bisa saya lakukan untuk mencari uang yang kaya (seperti) begini,
kalau tukang pijit kan saya ga bisa mijit. (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Edy, 19 Desember 2013).
Data di atas menunjukan bahwa penyandang tunanetra tidak merasakan
kerepotan dalam berdagang kerupuk, karena kerupuk itu ringan dan kebanyakan
orang suka makan kerupuk sehingga mudah untuk dipasarkan. Di samping itu,
mereka pernah merasakan sebagai pedagang, selain berdagang kerupuk keliling.
Mereka pernah mencoba untuk berdagang sandal dan berdagang pulsa keliling,
37
akan tetapi modal dalam berdagang tersebut tidak kembali dan tidak bisa untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya sehingga mereka lebih memilih untuk
berdagang kerupuk keliling. Sebenarnya mereka sendiri dalam memasarkan
barang dagangannya juga dipengaruhi oleh alat-alat yang membantu dalam
berdagang kerupuk. Alat-alat yang biasa digunakan yaitu seperti pengeras suara,
kursi plastik, gerobak, dan lain-lain. Alat seperti pengeras suara sendiri
dipergunakan oleh penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling untuk
memberitahukan kepada masyarakat bahwa mereka menjajakan kerupuk. Di
samping itu alat pengeras suara tersebut juga dipergunakan untuk
mempromosikan kerupuk dagangannya kepada para konsumen.
Kursi plastik dipergunakan penyandang tunanetra untuk beristirahat, hal ini
dikarenakan dalam berdagang kerupuk menempuh jarak jauh dengan berjalan
kaki. Sedangkan gerobak dipergunakan penyadang tunanetra untuk menghindari
benturan dengan sepeda motor dan untuk membawa kerupuk dalam jumlah besar.
Berikut petikan wawancara peneliti dengan beberapa penyandang tunanetra yang
menggunakan alat bantu pengeras suara, kursi kecil, dan gerobak dalam
berdagang kerupuk:
Suhadi (40 th) yang sudah tiga bulan memakai alat bantu pengeras suara
dalam berdagang kerupuk, menyampaikan kepada peneliti;
Awalnya bapa pake alat pengeras, tapi cuman (hanya) 3 bulan aja. kalau
bawa alat pengeras terus, bapa kerepotan bawanya. Lagian buat bapa alat
pengerasnya hanya buat awal-awal jualan aja. (Wawancara Pribadi dengan
Bapak Suhadi, 18 Desember 2013).
38
Jamal (63 th) dan Abdul Rouf (27 th) yang sudah lama memakai alat bantu
pengeras suara dan gerobak dalam berdagang kerupuk, menuturkan hal serupa;
Saya bawa alat pengeras, karena jualan kerupuk ini promosi juga perlu ya
de. Musik-musik kaya gini disesuaikan dengan anak-anak mudalah, kalau
pake pengeras kan ada perhatian dari pengemudi jalan juga ya. Kadang
ngasih tau “awas pa da lubang-lubang, minggir dikit”. Sebenarnya untuk
memudahkan jalan juga si fungsi alat pengeras, namanya orang buta kan
jalan ga stabil kadang jalannya ketengah kalau pake pengeras kan ada
perhatian dari masyarakat. Kalau ada musik kan bisa menarik perhatian
masyarakat, jadi pada beli kerupuk bapa. Selain itu bapa juga bawa kursi
sewaktu-waktu cape bapa bisa duduk. (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Jamal, 23 Desember 2013).
Ya saya pake alat pengeras, kalau teriak cape saya pake alat pengeras. Kan
jadi peminatnya banyak, terus saya juga bawa gerobak buat hindarin tadi
kesempret motor. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Rouf, 1 Januari
2014).
Edi Ks (38 th) yang tidak memakai bantu alat pengeras suara tetapi
membawa kursi plastik dalam berdagang kerupuk, mengatakan kepada peneliti :
Ngga, kursi baru bawa. Ya buat istirahat aja... (Wawancara pribadi dengan
Bapak Edi Ks, 2 Januari 2014).
Uraian informan di atas, menunjukan bahwa sebagian penyandang tunanetra
sangat membutuhkan alat-alat tertentu, seperti pengeras suara, kursi plastik, dan
gerobak dalam memasarkan kerupuk dagangannya. Alat-alat yang digunakan
seperti alat pengeras suara difungsikan sebagai media untuk mempromosikan
dagangannya dan juga sangat membantu penyandang tunanetra dalam
memasarkan kerupuk dagangannya, sedangkan kursi plastik dan gerobak
digunakan para penyandang tunanetra sebagai alat bawaan dalam berdagang
kerupuk.
39
4. Faktor Fisik
Fisik yang dimiliki penyandang tunanetra memang membatasi mereka untuk
bekerja di segala bidang, tetapi dengan kondisi seperti itu mereka tetap berusaha
untuk bertahan hidup. Fisik yang dialaminya menjadikan mereka lebih memilih
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling dibandingkan dengan profesi yang
lainnya, hal ini disampaikan hampir seluruh informan peneliti, seperti yang
dikemukakan Bapak Suhadi (40 th):
Tau sendiri lah de, kerja sekarang itu susah apalagi dengan kondisi pisik
(fisik) bapa yang kaya gini. Dulu saya dateng (datang) ke sini mah banyak
langganan buat di pijit tapi sekarang jarang ada panggilan buat mijit terus
ada temen ngajak buat jualan kerupuk dan kayanya hasil jualan lumayan.
Paling tidak sehari itu bisa dapet (dapat) uang de. (Wawancara Pribadi
dengan Bapak Suhadi, 18 Desember 2013).
Hal senada juga disampaikan Bapak Edy (44 th) bahwa memilih sebagai
pedagang kerupuk karena mereka sadar betul dengan kondisi fisiknya. Sehingga
yang mereka lakukan untuk bertahan hidup hanya mengandalkan kemampuan
yang mereka miliki. Berikut petikan wawancaranya dengan peneliti;
Sebenarnya simpel aja, dalam arti begini yang paling mudah untuk
dikerjakan ya salah satunya dengan berdagang yang ringan karena kondisi
fisik saya begini. Tujuannya membawa barang-barang yang ringan, ringan-
ringan dan tak tersentuh (yang tidak berat). (Wawancara Pribadi dengan
Bapak Edy, 19 Desember 2013).
Dalam hal ini peneliti melihat bahwa apa yang dilakukan penyandang
tunanetra dalam bertahan hidup mengetahui kondisi yang ada pada diri mereka.
Mereka pasrah terhadap kondisi fisik yang dialaminya, akan tetapi mereka terus
berusaha mencari penghasilan untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidup
40
sehari-harinya. Dapat dikatakan bahwa penyandang tunanetra lebih memilih
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling karena kondisi fisik yang
dialaminya, maka yang dilakukan penyandang tunanetra untuk bertahan hidup
hanya mengandalkan kemampuan yang mereka miliki.
Sebenarnya dalam berdagang kerupuk mempunyai banyak tantangan dan
hambatan saat menjajakan barang dagangannya, antara lain; pernah ditipu sama
konsumen dengan menggunakan uang palsu, kemudian dalam berjualan kerupuk
jalannya juga tidak stabil, yang pada akhirnya mereka terjatuh ke selokan, dan
juga mereka sering di caci maki orang karena dianggap mengganggu jalan.
Tantangan dan hambatan tersebut merupakan efek dari kondisi fisik yang
dialaminya yaitu tidak memiliki penglihatan. Akan tetapi dengan adanya
hambatan dan tatangan saat berdagang kerupuk keliling, mereka masih dapat
bertahan hidup di sekitar Kecamatan Pamulang. Bapak Didi (36 th)
menyampaikan dengan jelas kepada peneliti bahwa pernah ditipu konsumen
kerupuk dengan menggunakan uang palsu dan juga pernah dicaci maki oleh
sesama pengguna jalan, berikut petikan wawancaranya dengan peneliti;
Ya, namanya tunanetra hambatan mah banyak ya! Terutama itu perasaan
jualan ya laku atau tidak laku ya… terus arah jualan juga pengaruh juga ya!
Pertama jualan itu kan masuk gang-gang kecil yang sempit, eh malah
tembusnya gang buntu. Ya saya puter balik lagi…. Dapet uang palsu ya
pernah, 2 kali saya dapet uang palsu. Jatuh ngga pernah, kesenggol motor
sering, dicaci maki orang di jalan raya juga pernah. (Wawancara Pribadi
dengan Bapak Didi, 2 Januari 2014).
Pengalaman yang sama juga dialami Bapak Anas Binalik (36 th) bahwa
dalam berdagang kerupuk seringkali mendapatkan banyak hambatan, seperti arah
41
jalannya kebingungan, mendapatkan uang palsu dari konsumen, dan juga pernah
kesenggol sama kendaraan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Anas
Binalik (36 th) kepada peneliti;
Pertama si hambatan saya jalannya bingung gimana gitu,mungkin belum tau
medannya buat jalan. Yang kedua kalau di jalan raya agak risihlah, soalnya
saya pernah kesenggol sama kendaraan, paling yang kena kerupuknya.
Nyebur got juga pernah, tantangannya pas dapet uang palsu. Itu buat
pengalaman aja si buat saya, anak kecil juga pernah mau beli pake uang
mainan bukan uang asli. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Anas Binalik,
27 Desember 2013).
Dari hasil wawancara di atas peneliti melihat bahwa dalam berdagang
kerupuk keliling penyandang tunanetra mempunyai banyak hambatan dan
tantangan. Tetapi tantangan dan hambatan tersebut memberikan mereka semangat
untuk tetap bertahan hidup di sekitar Kecamatan Pamulang, walaupun hanya
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling.
5. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga mempengaruhi penyandang tunanetra dalam
memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling. sebagian dari mereka
beranggapan bahwa lingkungan khususnya di sekitar Kecamatan Pamulang bisa
untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Hal ini kemudian dimanfaatkannya
dengan berdagang kerupuk. Di samping itu, dalam berdagang kerupuk keliling
lebih memilih untuk berdagang di lingkungan yang berdekatan dengan
kontrakannya. Berikut petikan wawancara sebagian informan kepada peneliti;
42
Bapak Abdul Rouf (27 th) yang menuturkan kepada peneliti bahwa
berdagang kerupuk di sekitar Kecamatan Pamulang di karenakan terdapat banyak
gang-gang kecil, sehingga mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan;
Enak si ya, jalanya banyak gang-gang kecilnya jadi buat jualan muter-
muternya enak gitu. Dibandingkan di daerah lain kan ga ada gang kecil,
sekali ada gang ya ada kali (sungai). (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Abdul Rouf, 1 Januari 2014).
Ibu Nasilah (60 th) juga menuturkan hal serupa kepada peneliti bahwa jalan-
jalannya itu mudah untuk dilewatinya dan para tetangganya baik-baik;
Tinggal disini kan lumayan kan, orang-orangnya itu baik-baik. Kalau
disuruh orangnya ga minta apa-apa. Terus ibu dah tau lama daerah sini jadi
ya jualannya disini wae (aja). (Wawancara Pribadi dengan Ibu Nasilah, 24
Desember 2013).
Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh Bapak Edi Ks (38 th) bahwa
berdagang kerupuk lebih memilih lingkungan yang dekat dengan kontrakannya;
Jualan disini ya yang deket dari rumah kontrakan aja. Jauh-jauh juga
percuma, kan banyak pedagang-pedagang yang lain kan. (Wawancara
Pribadi dengan Bapak Edi Ks, 2 Januari 2014).
Dalam hal ini peneliti melihat bahwa pilihan penyandang tunanetra untuk
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling karena melihat dari lingkungan
sekitarnya yang mendukung mereka untuk beraktivitas dengan masyarakat.
Kemudian daerah sekitar kecamatan pamulang sendiri merupakan daerah yang
jalan-jalannya dirasa oleh mereka lebih mudah untuk dilalui. Selain itu, lokasinya
pun tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
43
B. Strategi Bertahan Hidup Penyandang Tunanetra
Pada awalnya para penyandang tunanetra datang di daerah sekitar
Kecamatan Pamulang hanya mancari peruntungan dengan cara menjadi tukang
pijit panggilan. Dengan menjalankan profesi tersebut, saat itu mereka merasa
mendapatkan penghasilan yang cukup untuk dapat bertahan hidup.
Akan tetapi saat ini, berprofesi sebagai tukang pijit panggilan dirasa tidak
lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para penyandang tunanetra. Hal
ini dikarenakan, profesi sebagai tukang pijit panggilan peminatnya sudah
berkurang, atau sepi peminat. Kondisi yang demikian membuat para penyandang
tunanetra mulai memikirkan untuk mencari profesi yang dianggap mudah dijalani,
yaitu sebagai pedagang kerupuk keliling. Selain itu, profesi tersebut dianggap
dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hasil observasi peneliti
menunjukan bahwa, penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan
Pamulang Kota Tangerang Selatan merupakan warga urban, bukan warga asli
daerah tersebut. Dengan keadaan serba kekurangan dan cacat fisik, mereka datang
ke daerah penyanggah Ibu Kota Jakarta hanya untuk bertahan hidup.
Dalam konteks ini, para penyandang tunanetra tersebut dapat dikategorikan
sebagai pekerja migran, yakni orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke
tempat lain, dan kemudian bekerja di tempat baru tersebut dalam jangka waktu
relatif menetap. Pekerja migran dapat dibagi ke dalam dua golongan, yakni
pekerja migran internal dan internasional. Penyandang tunanetra masuk dalam
golongan pertama. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi. Dengan
44
kata lain, pekerja migran internal merupakan orang desa yang bekerja di kota.
(Suharto, 2005: 177-178).
Aktivitas menjadi pedagang kerupuk keliling, khususnya di sekitar
Kecamatan Pamulang, merupakan mata pencaharian yang penting bagi para
penyandang tunanetra, baik sebagai mata pencaharian yang utama, maupun
sebagai mata pencaharian tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-
harinya. Keterbatasan kemampuan yang mereka miliki, justru menjadi motivasi
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka pantang menyerah dalam
menjalani kehidupan. Bagi mereka, berprofesi sebagai pedagang kerupuk adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri dan keluarganya. Meski
keuntungan yang didapatkan kecil, tetapi mereka mau menjalankan profesi itu
untuk bertahan hidup.
Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan, bahwa penyandang tunanetra
pedagang kerupuk keliling yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang
mempunyai beberapa strategi untuk dapat bertahan hidup. Strategi itulah yang
menjadi perhatian khusus bagi peneliti itu sendiri. Untuk itu, di bawah ini ada
beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukakan penyandang tunanetra di
sekitar Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
1. Penghematan Kebutuhan
Kebutuhan ekonomi pada keluarga miskin yang dibutuhkan yaitu
pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Pemenuhan sandang dan pangan
biasanya pada keluarga miskin akan melakukan penghematan. Begitu pun yang
45
dilakukan oleh para penyandang tunanetra, mereka terpaksa mengencangkan
sabuk untuk mengurangi frekuensi makan dengan hanya satu kali makan dalam
sehari, seperti yang disampaikan oleh beberapa informan bahwa kebutuhan untuk
dirinya sendiri lebih berhemat, ini dikarenakan lebih mementingkan kebutuhan
hidup istri dan anaknya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Suhadi (40
th):
Bapa kadang juga nahan lapar, ya ga apa-apalah itu semua buat anak sama
istri aja. Orang normal kan biasanya makan tiga kali sehari, bapa mah
makan sehari cuma satu kali saja. (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Suhadi, 18 Desember 2013).
Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Muslikha (43 th) bahwa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, ia pun harus berhemat, dengan tujuan agar bisa
membayar biaya sewa kontrakan. Berikut penuturannya kepada peneliti;
Kebutuhan yang penting buat bayar kontrakan kalau masalah pangan mah
yang penting hemat aja. (Wawancara Pribadi dengan Ibu Muslikha, 1
Januari 2014).
Data di atas menunjukan bahwa sebagian penyandang tunanetra mempunyai
strategi bertahan hidup dengan cara berhemat. Cara tersebut dilakukan karena
sebagian penghasilan dari berjualan kerupuk keliling dipergunakan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari, serta untuk membayar rumah kontrakan. Rumah
kontrakan sendiri bagi mereka merupakan kebutuhan papan yang sulit untuk
didapatkan, karena sebagian pemilik rumah kontrakan tidak mau menyewakan
rumah kontrakannya kepada para penyandang tunanetra.
46
2. Menerima Profesi Sampingan
Sebagian besar penyandang tunanetra mempunyai keahlian sebagai tukang
pijit panggilan. Tetapi mereka yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang
menjadikan keahlian tersebut sebagai profesi sampingan. Para informan
beranggapan bahwa pada masa seperti sekarang ini, jika hanya mengandalkan
profesi sebagai tukang pijit tidak bisa menutupi semua kebutuhan hidup sehari-
hari.
Sebenarnya menjadi tukang pijit panggilan jika mendapatkan banyak pasien,
hasilnya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Akan tetapi, dalam
sehari tidak tentu mendapatkan pasien. Atas dasar itulah, maka penyandang
tunanetra pun beralih profesi sebagai pedagang kerupuk keliling. Profesi ini
hampir dilakukan setiap hari. Mereka merasakan bahwa dengan berdagang
kerupuk berarti ada penghasilan yang didapatkan setiap hari, walaupun kecil.
Meski mereka sudah beralih profesi sebagai pedagang kerupuk keliling, tetapi
mereka tidak meninggalkan profesi lamanya. Profesi lamanya dijadikan sebagai
profesi sampingan.
Sebagaimana disampaikan Bapak Suparlan (47 th) :
Ada, mijit itu tadi. Mijit sepi ya dianggap sampingan aja lah. Paling
waktunya sore, saya mijit. Kan pagi jualan. (Wawancara Pribadi dengan
Bapak Suparlan, 1 Januari 2014).
Bapak Anas Binalik (36 th) juga menyatakan hal serupa, meskipun baginya
mijit bukanlah pekerjaan utama, tetapi dia masih memiliki keahlian tersebut dan
siap menerima panggilan;
47
Ada, buka panti pijit. Waktunya ya kalau ada panggilan bikin janjian dulu
saya bisanya kapan! Gitu aja si… Jualan kerupuk mah tetep jam segitu.
(Wawancara Pribadi dengan Bapak Anas Binalik, 27 Desember 2013).
Di samping itu, Bapak Abdul Haiq (36 th) tidak memiliki keahlian mijit.
Akan tetapi memiliki pekerjaan sampingan sebagai imam pada saat sholat jum’at
di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Cabang Pasar Minggu dan menerima panggilan
Qori. Berikut petikan wawancaranya;
Ada, ya jadi imam masjid di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Cabang Pasar
Minggu pas sholat jum’at aja. Selain itu kalau acara maulud nabi saya ada
panggilan buat Qori. Ngatur waktunya ya jumat ga jualan kalau (jika) Qori
kan malem ya jadi ga mengganggu. (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Abdul Haiq, 3 Januari 2014).
Dari hasil wawancara para informan di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling masih menerima
profesi sampingan, seperti halnya menjadi tukang pijit panggilan, menjadi imam
di masjid KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Cabang Pasar Minggu, dan menerima
panggilan Qori. Meskipun profesi sampingan ini dulunya adalah profesi utama
bagi mereka.
3. Pelibatan Anggota Keluarga
Penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang,
sebagian besar sudah menikah dan mempunyai anak. Keluarga penyandang
tunanetra termasuk dalam golongan berpenghasilan rendah, hal ini bisa terlihat
dari penghasilan berdagang kerupuk dalam satu bulan hanya Rp. 750.000. Mereka
dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dari pendapatan yang didapatkan dari hasil
berdagang kerupuk setiap hari. Jika keadaan tidak menentu, seperti kendala cuaca
48
atau kendala yang dialami penyandang tunanetra misalnya sakit, maka mereka
pun tidak bisa berjualan dan tidak mendapatkan penghasilan. Kondisi yang
demikian itulah yang menyebabkan anggota keluarga yang lain terlibat atau turut
serta dalam membantu perekonomian keluarga.
Dalam kehidupan penyandang tunanetra, anggota keluarga yang berperan
dalam membantu perekonomian keluarga adalah istrinya. Sedangkan anaknya
tidak bisa membantu perekonomian keluarga, karena kebanyakan mereka masih
berada pada usia sekolah. Para penyandang tunanetra tidak memperbolehkan
anaknya untuk bekerja, mereka hanya diperbolehkan untuk fokus sekolah saja.
Namun demikian, ada juga anak dari penyandang tunanetra yang membantu
perekonomian keluarga.
Peneliti sendiri melihat bahwa peran yang dilakukan seorang istri dalam
membantu perekonomian keluarga cukup signifikan, ini bisa terlihat dari sebagian
istri penyandang tunanetra yang membantu perekonomian keluarga. Sebenarnya
kondisi fisik istri penyandang tunanetra itu tidak jauh beda, tetapi ada juga yang
menikah dengan kondisi fisik yang normal, dalam arti mempunyai penglihatan
yang normal. Berdasarkan pengamatan peneliti peran istri dalam membantu
perekonomian keluarga yaitu dengan berjualan kecil-kecilan di depan rumah
(kontrakan), dan ada juga yang berdagang kerupuk keliling. Berikut petikan
wawancara peneliti dengan Bapak Edy (44 th) yang menuturkan bahwa sang istri
juga membantu perekonomian keluarga;
Strategi keluarga saya salah satunya istri saya juga membantu dengan cara
berdagang kecil-kecilan di depan kontrakan, kan depan kontrakan itu ada
sekolah TK. Hasilnya lumayan lah, di sisi lain saya juga ada uang sisa buat
ditabungin. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Edy, 19 Desember 2013).
49
Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Muslikha (43 th) bahwa sterategi
untuk bertahan hidup dibantu dengan peran dari suami dan juga anaknya, berikut
penuturannya kepada peneliti;
Ga cukup, paling hasil jualan kerupuk itu buat makan sehari-hari aja. Suami
juga jualan kerupuk bareng ma saya. Kalau anak juga bantu-bantu keluarga
dengan kerja seadanya. (Wawancara Pribadi dengan Ibu Muslikha, 1 Januari
2014).
Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu strategi bertahan hidup
penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling adalah dengan peran serta
anggota keluarga, baik itu suami, istri, ataupun anak yang sudah tidak lagi sekolah
untuk membantu perekonomian keluarga.
4. Mengikuti Kegiatan Pengajian Malam
Sebagian besar para penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar
Kecamatan Pamulang beragama Islam. Bagi mereka, agama yang dianutnya itu
memiliki tempat tersendiri melebihi apa yang dimilikinya, dan merupakan
keyakinan turun-temurun yang telah diajarkan dan dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Untuk itu sebagian penyandang tunanetra mengikuti pengajian
malam yang diadakan oleh Yayasan Khasanah Kabajikan di Kelurahan Pondok
Cabe Ilir. Pengajian biasanya diadakan mulai pukul 03.00 pagi, diawali dengan
sholat Tahajud kemudian dilanjutkan dengan pengajian malam. Para penyandang
tunanetra yang tempat tinggalnya dekat dengan Yayasan biasanya datang mulai
pukul 02.30 pagi. Sedangkan mereka yang bertempat tinggal di luar Kelurahan
50
Pondok Cabe Ilir datangnya mulai pukul 21.30 malam. Penyandang tunanetra
yang bertempat tinggal di luar Kelurahan Pondok Cabe Ilir datang lebih awal,
dikarenakan tidak ada kendaraan yang beroperasi pada pukul 02.30 pagi yang
menuju kearah Kelurahan Pondok Cabe Ilir.
Semula, pengajian malam yang diadakan di Yayasan mendapat perhatian
yang serius dan cukup banyak peminatnya bagi para penyandang tunanetra untuk
datang. Tetapi belakangan ini, minat untuk mengikuti pengajian menurun, mulai
dari waktu kegiatan sholat Tahajud sampai pada ketidakhadiran diantara mereka
karena beberapa kendala. Biasanya yang tidak hadir dikarenakan jarak tempat
tinggal yang jauh dari Yayasan Khasanah Kabajikan. Di samping itu yang
tinggalnya jauh dari Yayasan tersebut lebih memilih untuk beristirahat pada
malam hari. Bagi penyandang tunanetra yang datang ke pengajian biasanya
diberikan ongkos untuk pulang-pergi serta uang untuk makan. Memang nilainya
tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk makan anak dan istrinya di rumah,
sebagaimanan diutarakan Bapak Edy (44 th) :
Kalau kegiatan ada mas. Kegiatan pengajian sama sholat Tahajud. Kalau
kegiatan pengajian kan malem (malam) mas jadi saya bisa mengaturnya.
Kegiatan pengajian itu di yayasan khasanah kabajikan mulai jam 3 sampai
jam 6 pagi mas. Ya buat tambahan. (Wawancara Pribadi dengan Bapak
Edy, 19 Desember 2013).
Ibu Nasilah (60 th) dan Bapak Sunoto (29 th) juga menyatakan hal serupa,
bahwa kegiatan pengajian yang dilakukan Yayasan tersebut dulunya masih
dijalani untuk membantu biaya kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi karena
tenaganya tidak kuat untuk berpergian jauh maka mereka memutuskan untuk
51
mengurangi intensitas untuk mengikuti kegiatan tersebut. Berikut petikan
wawancara mereka dengan peneliti ;
Dulu pengajian ikut tapi sekarang tenaganya ga kuat dan jaraknya itu yang
jauh dari kontrakan. Biasa dapet ongkos sama uang buat makan, itu si buat
tambahan biaya hidup aja. (Wawancara Pribadi dengan Ibu Nasilah, 24
Desember 2013).
Kalau kegiatan da, di Yayasan Khasanah Kabajikan. Dapat ongkos sama
dapet uang makan juga. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Sunoto, 1
Januari 2014).
Dengan demikian yang dilakukan penyandang tunanetra sendiri dalam
bertahan hidup juga masih menggantungkan pada kegiatan pengajian yang
diadakan oleh Yayasan Khasanah Kabajikan. Di samping mereka melakukan
ibadah kepada agama yang dianutnya juga untuk mendapatkan uang tambahan
dan sembako untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya. Hal ini bisa
terlihat dari sebagian penyandang tunanetra yang masih datang ke Yayasan
tersebut. Uang tambahan yang diberikan pihak Yayasan dalam bentuk ongkos
pulang pergi dan uang untuk makan, kurang lebih sebesar Rp. 30.000 setiap hari.
5. Berhutang Kepada Teman/Bank Harian
Para penyandang tunanetra memanfaatkan jaringan-jaringan sosial untuk
dapat bertahan hidup. Cara yang efektif untuk dapat membantu perekonomian
keluarga yaitu dengan cara berhutang, mereka biasanya berhutang kepada teman
sesama penyandang tunanetra hanya untuk membayar rumah sewanya dan untuk
modal berdagang kerupuk. Seperti yang dijelaskan oleh Bapak Edy (44 th) dan
Ibu Nasilah (60 th) kepada peneliti;
52
Kalau hutang saya pernah sama temen itu buat bayar kontrakan. Bayarnya
dari jualan kerupuk, sehari disisain Rp. 5000 buat bayar, paling cuma 3
bulanan mas lunasnya. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Edy, 19
Desember 2013).
Kalau hutang ibu juga berhutang. Tapi itu cuma buat bayar kontrakan aja,
bayar kontrakan kan tahunan itu nyampe 4.800.000 ribu. (Wawancara
Pribadi dengan Ibu Nasilah, 24 Desember 2013).
Senada dengan Ibu Muslikha (43 th) yang menjelaskan kepada peneliti
bahwa terpaksa berhutang kepada bank harian untuk modal berjualan;
Kalau modal buat beli kerupuk habis ya saya minjem. Terus terang aja ya de
saya itu minjem di bank, ya bayarnya harian Rp. 20000. Terpaksa de mau
pinjem dimana lagi, ibu kan disini ga punya saudara buat di pinjemin.
(Wawancara Pribadi dengan Ibu Muslikha, 1 Januari 2014).
Dari data penelitian di atas bisa dilihat sebagian besar penyandang tunanetra
pedagang kerupuk keliling berhutang untuk dapat bertahan hidup. Bagi
penyandang tunanetra dengan berhutang, mereka dapat mengatasi permasalahan
yang dihadapi keluarganya. Biasanya mereka berhutang dengan sesama
penyandang tunanetra ataupun kepada bank harian, hasil hutangannya itu
dipergunakan untuk membayar biaya sewa kontrakan dan untuk tambahan modal
dalam berdagang kerupuk. Penyandang tunanetra dalam berhutang tidak dengan
tetangga ataupun kepada saudaranya, mereka lebih memilih dengan sesama
penyandang tunanerta dalam berhutang. Hal tersebut dikarenakan adanya rasa
senasib dan ikatan saling tolong-menolong diantara mereka. Rasa itulah yang
kemudian membentuk sebuah keepercayaan diantara mereka.
53
6. Mengambil Kerupuk dari Sesama Penyandang Tunanetra
Solidaritas yang dijalin dalam kehidupan penyandang tunanetra untuk dapat
bertahan hidup, yaitu dengan membeli kerupuk dengan sesama penyandang
tunanetra. Biasanya para penyandang tunanetra mengambil kerupuk kepada teman
sesama penyandang tunanetra yang mempunyai modal besar. Ini bisa terlihat dari
sebagian informan yang setiap minggunya mengambil kerupuk kepada teman
penyandang tunanetra yang mempunyai modal besar. Mereka tidak mengambil
langsung di pabrik kerupuknya, karena jika membeli langsung dipabriknya harus
membeli banyak dan membutuhkan modal yang besar untuk membelinya.
Sedangkan yang terjadi pada sebagian penyandang tunanetra hanya mempunyai
modal yang kecil. Berikut petikan wawancara dari beberapa penyandang tunanetra
kepada peneliti;
Bapak Sunoto (29 th) yang membeli kerupuk kepada teman sesama
penyandang tunanetra:
Kalau kerupuk saya ngambil ma temen tuh samping kontrakan, yang punya
modal besar. Saya sendiri kan modalnya kecil, jadi ga bisa beli dipabriknya
langsung. Kan beli di pabrik itu dibatesin, harus beli banyak. Lagian saya
kan beli kerupuk buat dijual ga banyak-banyak. (Wawancara Pribadi dengan
Bapak Sunoto, 1 Januari 2014).
Hal senada juga dikatakan oleh Bapak Didi (36 th) dan Bapak Suparlan (47
th) yang membeli kerupuk kepada temen sesama penyandang tunanetra dan harga
kerupuk dagangannya disamakan dengan teman penyandang tunanetra:
54
Kerupuk yang dijual saya juga ngambil sama temen penyandang tunanetra
yang punya modal gede. Kan kalau ngambil di pabrik harus banyak
ngambilnya, modal saya kan kecil. Jualin kerupuknya juga saya samain
sama temen penyandang tunanetra. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Didi,
2 Januari 2014).
Kerupuk bapa ambil di temen ga dipabrik, harga jualan kerupuk bapa
samain sama temen. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Suparlan, 1 Januari
2014).
Dari hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa solidaritas yang
dijalin para penyandang tunanatera pedagang kerupuk keliling yang terlihat ialah
membeli kerupuk kepada teman sesama penyandang tunanetra yang mempunyai
modal besar. Sebagian besar para informan tidak mempunyai modal besar dalam
berjualan kerupuk, sehingga lebih memilih membeli kerupuk ke teman
penyandang tunanetra. Jika membeli kerupuk di pabrik, harus membeli kerupuk
dengan jumlah yang cukup besar.
7. Kegiatan Arisan Penyandang Tunanetra
Cara lain yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi
keluarga para penyandang tunanetra yaitu dengan membentuk kegiatan arisan
sesama penyandang tunanetra, kegiatan arisan tersebut beranggotakan para
penyandang tunanetra. Kegiatan arisan penyandang tunanetra berfungsi untuk
tabungan masa depan keluarganya dan jika terdapat kebutuhan yang tidak terduga
mereka bisa meminta uang arisan tersebut. Berikut petikan para informan dengan
peneliti:
55
Bapak Jamal (63 th) yang mengikuti kegiatan arisan sesama penyandang
tunanetra;
Strategi bapa paling istri menabung lewat arisan buat keperluaan dadakan.
(Wawancara Pribadi dengan Bapak Jamal, 23 Desember 2013).
Begitu pun dengan Bapak Suparlan (47 th) yang menuturkan kepada peneliti
bahwa dirinya ikut serta dalam kegiatan arisan tersebut;
Ga cukuplah, tapi dicukup-cukupin. Jadi gini ya bapa selain jualan kan juga
ikut arisan. Arisan ini kan kaya tabungan, sewaktu-waktu bisa diambil.
Yang bedain kan arisan nunggu dapetnya. Sebenarnya juga buat silaturahmi
saja si, kegiatan kaya itu. (Wawancara Pribadi dengan Bapak Suparlan, 1
Januari 2014).
Berdasarkan hasil wawancara di atas terlihat bahwa sebagian para
penyandang tunanetra, menggunakan strategi bertahan hidup dengan cara
mengikuti kegiatan arisan sesama penyandang tunanetra. Kegiatan tersebut
dirasakan mereka aman dan tidak terdapat gangguan. Selain untuk tabungan masa
depan keluarga, arisan juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
terduga.
C. Analisis
Secara garis besar profesi yang dijalani penyandang tunanetra sebagai
pedagang kerupuk keliling merupakan sebuah pilihan rasional bagi mereka untuk
bertahan hidup. Menurut James C. Coleman dalam Ritzer (2009: 480), pilihan
rasional adalah tindakan perseorangan yang mengarah kepada sesuatu tujuan dan
tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Dalam
hal ini jelas bahwa penyandang tunanetra mempunyai pilihan rasional dalam
56
menjalani profesi sebagai pedagang kerupuk keliling. Pilihan penyandang
tunanetra untuk menjadi pedagang kerupuk keliling dikarenakan adanya beberapa
faktor yang mempengaruhi mereka, antara lain: faktor ekonomi, faktor pemasaran,
faktor profesi lama yang tidak menguntungkan lagi, faktor pemasaran, faktor fisik,
dan faktor lingkungan.
Penyandang tunanetra lebih memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk
keliling karena kondisi fisik yang dialaminya, maka yang dilakukan penyandang
tunanetra untuk bertahan hidup hanya mengandalkan kemampuan yang mereka
miliki. Di samping itu, semua tindakan yang dilakukan penyandang tunanetra
hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Mereka berusaha untuk
dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga seperti kebutuhan sandang, pangan,
dan papan. Kebutuhan sandang dan pangan, menurut mereka sudah tercukupi
dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kebutuhan papan yang susah untuk
mencapainya. Hal tersebut berarti sejalan dengan teori pilihan rasional dalam
Ritzer dan J. Goodman (2009: 448), bahwa aktor dipandang sebagai manusia yang
mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan
tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang
mempunyai pilihan (atau nilai, kegunaan). Yang terpenting bahwa tindakan
dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.
Dalam perspektif pilihan rasional, seorang aktor dapat menentukan untuk
tidak mengejar nilai yang dianggap paling tinggi jika resources-nya dianggap
terlalu kecil, di mana hasil yang akan dicapai mungkin tidak akan memuaskan
(Wirawan, 2012: 245). Begitupun yang terjadi pada penyandang tunanetra dalam
57
memilih profesi yang dijalaninya, profesi menjadi tukang pijit panggilan (profesi
lama) dirasakannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, sehingga lebih
memilih berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling. Dengan berdagang
setidaknya mereka bisa mendapatkan penghasilan dalam sehari, dibandingkan
menjadi tukang pijit yang menunggu pasien untuk dipijit dan hanya berdiam diri
saja di rumah tanpa berusaha untuk mendapatkan penghasilan.
Penyandang tunanetra tidak merasakan kerepotan dalam berdagang kerupuk,
karena kerupuk itu ringan dan kebanyakan orang suka makan kerupuk sehingga
mudah untuk dipasarkan. Sebenarnya mereka sendiri dalam memasarkan barang
dagangannya juga dipengaruhi oleh alat-alat yang membantu dalam berdagang
kerupuk, selain itu berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling karena melihat
dari lingkungan sekitarnya yang mendukung mereka untuk beraktivitas dengan
masyarakat. Kemudian daerah sekitar Kecamatan Pamulang, merupakan daerah
yang jalan-jalannya dirasa oleh mereka lebih mudah untuk dilalui. Hal tersebut
berarti sejalan dengan perspektif sosiologi ekonomi, bahwa dalam teori pilihan
rasional yaitu aktor melakukan perhitungan dari pemanfaatan atau preferensi
dalam pemilihan suatu bentuk tindakan, aktor juga menghitung biaya bagi setiap
jalur perilaku, dan aktor berusaha memaksimalkan pemanfaatan untuk mencapai
pilihan tertentu (Damsar, 2009: 153).
Keuntungan yang didapatkan dari berjualan kerupuk keliling bisa dikatakan
kecil, hal ini bisa terlihat dari penyandang tunanetra dalam menjual kerupuk setiap
harinya. Penyandang tunanetra yang tinggal di sekitar Kecamatan Pamulang
dalam menjajakan kerupuk membawa 30 sampai 50 biji dalam sehari. Akan tetapi
58
dalam sehari berjualan kerupuk hanya terjual 30 biji dan hanya mendapatkan
keuntungan Rp. 30.000 dalam sehari. Berarti dalam satu bulan penghasilan rata-
rata yang didapatkan penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk keliling
hanya Rp. 750.000. Dengan asumsi, jika mereka dalam satu bulan berjualan
kerupuk keliling hanya 25 hari dan 5 hari dipergunakan penyandang tunanetra
untuk beristirahat.
Dengan penghasilan penyandang tunanetra dalam satu bulan Rp. 750.000,
dirasakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Berdasarkan hasil survei oleh Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013 di pasar Ciputat bahwa kebutuhan hidup
layak (KHL) dalam satu bulan mencapai Rp. 1.052.155. Dalam hal ini berarti
penghasilan penyandang tunanetra tidak setara dengan kebutuhan hidup layak
(KHL) di tempat tinggalnya. Sehingga mereka memerlukan strategi bertahan
hidup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri dan keluarganya.
Dengan adanya pilihan profesi penyandang tunanetra sebagai pedagang
kerupuk keliling, ternyata hasilnya tidaklah mencukupi untuk mengcover
kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga diperlukan strategi tertentu untuk
dapat bertahan hidup. Adapun, strategi yang dilakukan penyandang tunanetra
untuk bertahan hidup yaitu; Pertama penyandang tunanetra pedagang kerupuk
keliling lebih memilih untuk melakukan penghematan, hal tersebut dilakukannya
hanya untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidup sehari-harinya dan untuk
membayar biaya sewa kontrakannya. Kedua menerima profesi sampingan, profesi
sampingan yang dijalani yaitu dengan menjadi tukang pijit panggilan yang
59
menjadi keahliannya, menjadi imam sholat jum’at di KPP (Kantor Pelayanan
Pajak) Cabang Pasar Minggu, dan menerima panggilan Qori. Ketiga adanya
pelibatan anggota keluarga dalam membantu perekonomian keluarga, Keempat
mengikuti kegiatan pengajian malam di Yayasan Khasanah Kabajikan, di samping
mereka beribadah kepada agama yang dianutnya, juga mengharapkan uang
tambahan dan sembako yang diberikan Yayasan Khasanah Kabajikan. Kelima
berhutang kepada sesama penyandang tunanetra maupun kepada bank-bank
harian. Keenam mengambil kerupuk dari teman sesama penyandang tunanetra,
tidak membeli langsung dipabriknya. Ketujuh penyandang tunanetra juga
membentuk kegiatan arisan sesama penyandang tunanetra, tujuannya untuk
tabungan masa depan keluarganya.
Strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh penyandang tunanetra diatas,
merupakan sebuah pilihan rasional bagi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan
hidup dirinya sendiri dan keluarganya. Hal tersebut merupakan pilihan rasional, di
mana sebagai aktor, pedagang kerupuk tersebut melakukan perhitungan dari
pemanfaatan atau preferensi dalam pemilihan suatu bentuk tindakan, aktor juga
menghitung biaya bagi setiap jalur perilaku, dan aktor berusaha memaksimalkan
pemanfaatan untuk mencapai pilihan tertentu (Damsar, 2009: 153). Aktor dalam
menghitung biaya bagi setiap jalur perilaku akan mempertimbangkan kepercayaan
dan jaringan sosial di lingkungan sekitarnya. Setiap penyandang tunanetra
memiliki keterbatasan dalam memperkirakan sesuatu, untuk mengatasi
ketidakpastian tersebut maka dia harus menjalin hubungan kepercayaan dengan
orang lain (Damsar, 2009: 201).
60
Dengan penghasilan dalam berdagang kerupuk hanya memperoleh Rp.
750.000, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam satu bulan.
Maka anggota keluarga membantu perekonomian keluarga dengan cara berjualan
kecil-kecilan, mereka mendapatkan keuntungan Rp. 150.000 dalam satu bulan.
Penyandang tunanetra juga menerima profesi sampingan, profesi sampingan yang
dijalani yaitu; sebagai tukang pijit panggilan, menjadi Imam Sholat Jum’at di KPP
(Kantor Pelayanan Pajak) Cabang Pasar Minggu, dan panggilan Qori. Profesi
sampingan dalam satu bulan mendapatkan penghasilan Rp. 200.000. Di samping
itu, mereka pun mengikuti kegiatan pengajian malam dan memperoleh uang Rp.
750.000 dalam satu bulan. Jadi total penghasilan dari pekerjaan pokok dan
sampingan penyandang tunanetra dalam satu bulan mencapai Rp. 1.700.000 per
bulan.
Memang jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup layak (KHL) di Pasar
Ciputat tahun 2013 yang sudah mencapai Rp. 1.052.155, penghasilan penyandang
tunanetra lebih besar. Tetapi, jika dibandingkan dengan UMK (Upah Minimum
Kabupaten/Kota) di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan tahun 2014
yang berkisar antara Rp. 2.442.000 perbulan (Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan
Transmigrasi), maka penghasilan penyandang tunanetra dalam berdagang kerupuk
keliling termasuk dalam kategori di bawah standar UMK (Upah Minimum
Kabupaten/Kota). Dengan penghasilan mereka berdagang kerupuk dalam satu
bulan hanya Rp. 750.000, dirasakannya tidak bisa untuk bertahan hidup, hal
tersebut dikarenakan penghasilan yang didapatkan mereka harus dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk membayar rumah sewa
61
kontrakan, membayar biaya sekolah anak, dan lain sebagainya. Belum lagi jika
kendala cuaca yang akhirnya menghalang
62
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan analisa teori pilihan rasional yang peneliti uraikan
pada bab-bab sebelumnya, akhirnya peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ada lima faktor yang menjadikan penyandang tunanetra lebih memilih
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling berdasarkan teori pilihan
rasional, Pertama faktor ekonomi, tindakan yang dilakukan mereka
hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kebutuhan
ekonomi yang dimaksud adalah kebutuhan sandang, pangan, dan papan,
akan tetapi pada saat ini kebutuhan papan yang susah untuk dicapainya.
Kedua faktor profesi lama yang tidak menguntungkan lagi, Profesi
menjadi tukang pijit dirasakannya tidak memperoleh penghasilan tetap,
sehingga lebih memilih untuk menjalani profesi sebagai pedagang
kerupuk keliling. Ketiga faktor pemasaran, dalam berdagang kerupuk
tidak merasakan kerepotan karena kerupuk ringan dan kebanyakan orang
suka makan kerupuk sehingga mudah untuk memasarkannya.
Disamping itu dalam memasarkan barang dagangannya juga dipengaruhi
alat-alat tertentu, seperti pengeras suara, kursi plastik, gerobak, dan
tongkat putih. Keempat faktor fisik, kondisi fisik yang dialaminya
membuat mereka lebih memilih untuk menjadi pedagang kerupuk
keliling. Kelima faktor lingkungan, lingkungan di sekitar Kecamatan
Pamulang merupakan daerah yang jalan-jalanya mudah untuk dilalui
63
penyandang tunanetra. Di samping itu, para penyandang tunanetra
mudah untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitar.
2. Dengan penghasilan mereka berdagang kerupuk dalam satu bulan hanya
Rp. 750.000, dirasakan tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup
dirinya sendiri dan keluarganya, hal tersebut dikarenakan penghasilan
yang didapatkan mereka harus dipergunakan untuk membayar rumah
sewa kontrakan, membayar biaya sekolah anak, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, penyandang tunanetra mempunyai strategi untuk dapat
bertahan hidup. Strategi yang dilakukan penyandang tunanetra, yaitu:
Pertama penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling lebih
memilih untuk melakukan penghematan, hal tersebut dilakukannya
hanya untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidup sehari-harinya
dan untuk membayar biaya sewa kontrakannya. Kedua menerima profesi
sampingan, profesi sampingan yang dijalani yaitu dengan menjadi
tukang pijit panggilan yang menjadi keahliannya, menjadi imam sholat
jum’at di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Cabang Pasar Minggu, dan
menerima panggilan Qori. Ketiga adanya pelibatan anggota keluarga
dalam membantu perekonomian keluarga, Keempat mengikuti kegiatan
pengajian malam di Yayasan Khasanah Kabajikan, di samping mereka
beribadah kepada agama yang dianutnya dan juga mengharapkan uang
tambahan yang diberikan Yayasan Khasanah Kabajikan. Kelima
berhutang kepada sesama penyandang tunanetra maupun kepada bank-
bank harian. Keenam mengambil kerupuk dari teman sesama
64
penyandang tunanetra, tidak membeli langsung dipabriknya. Ketujuh
penyandang tunanetra juga membentuk kegiatan arisan sesama
penyandang tunanetra, tujuannya untuk tabungan masa depan
keluarganya.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan tentang strategi bertahan hidup
penyandang tunanetra pedagang kerupuk keliling di Kecamatan Pamulang, Kota
Tangerang Selatan, telah dapat penulis simpulkan sebagaimana tertulis
sebelumnya di atas. Dengan kesimpulan di atas, maka penulis menganjurkan saran
sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya yang hendak melakukan penelitian serupa,
penulis berharap ada peneliti lain yang akan mengungkap tentang
kehidupan penyandang tunanetra dengan tema-tema lain.
2. Bagi pemilik rumah (Kontrakan) dengan adanya penelitian ini
diharapkan agar tidak mempersulit para penyandang tunanetra untuk
menyewa rumah kontrakannya.
3. Bagi masyarakat dengan adanya penelitian ini setidaknya lebih peka
terhadap para penyandang tunanetra, dengan kondisi seperti itu
seharusnya masyarakat lebih mensupport profesi yang dijalani para
penyandang tunanetra sebagai pedagang kerupuk keliling.
4. Bagi pemerintah dengan adanya penelitian ini setidaknya memberikan
tempat atau lokasi untuk berdagang kerupuk keliling dan memberikan
perhatian yang serius kepada para penyandang tunanetra.
x
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Tangerang Selatan. 2013. Kecamatan Pamulang Dalam Angka Tahun
2013.Kecamatan Pamulang: BPS Kota Tangerang Selatan.
Bugin, burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Djajadi, Iqbal,dkk. 2008. Sosiologi Industri. Jakarta: Universitas Terbuka.
Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Goode, William j. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung:
Humaniora Utama Press (HUP) – Anggota Ikapi.
Moleong, Lexi J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
----------. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press. hlm. 27-28.
Setia, Resmi. 2005. Gali Tutup Lubang Itu Biasa : Strategi Buruh Menanggulangi
Persoalan dari Waktu ke Waktu. Bandung : Yayasan Akatiga.
Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: PT Bumi Aksara. hlm. 52.
xi
Wirawan, Prof. Dr. I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta
Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Tesis
Dwiyantari MM Sri. Strategi Adaptasi Keluarga Buruh Terputus Hubungan Kerja
(ter-PHK) dalam Rangka Mempertahankan Keluarga. Depok: Universitas
Indonesia, 2002.
Dokumen Elektronik :
Dhini, Sita. Skripsi “Strategi Bertahan Buruh Kontrak dalam Memenuhi
Kebutuhan Pokok (Studi Kasus Kondisi Sosial Ekonomi Buruh Kontrak di
CV. Belawan Indah)”. (Universitas Sumatera Utara 2009). Akses internet
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14994. Diunduh tanggal 24
Maret 2013.
Theophilus, Yanuarto. Tesis : Strategi Bertahan Hidup Eks-Pengungsi Timor-
Timur Pasca Penghentian Durable Solutions (Studi di Barak Tuapukan,
Kabupaten Kupang, Propinsi NTT). (Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada 2008). Akses internet
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&v
ed=OCDEQFJAB&url=http%3A%2F%2Fetd.ugm. Diunduh tanggal 7 April
2013.
Widiyanto. Tesis : Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng
Gunung Sumbing. (Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2009).
Akses internet
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5861/2009wid.pdf?s
equence=4. Diunduh tanggal 24 Maret 2013.
Website :
http://tangselkota.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=8. Diunduh pada 4
November 2013.
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JE/article/viewFile/823/816. Diunduh pada 19
November 2013.
xii
Referensi Lain :
Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi Kota Tangerang Selatan 2013.
Hasil Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Pasar Ciputat Tahun 2013.
Interview Guide
1. Siapakah nama anda?
2. Umur anda berapa?
3. Dari manakah daerah asal anda?
4. Apakah anda sudah menikah?
a. Jika sudah, apakah anda mempunyai anak?
b. Berapa anak anda?
5. Tinggal dimana anak sama istri anda?
6. Sudah berapa lama anda menekuni profesi sebagai pedagang kerupuk
keliling?
7. Mulai jam berapa anda berjualan kerupuk keliling?
8. Sebelum menekuni profesi sebagai pedagang kerupuk keliling, apakah
anda pernah menekuni profesi lain? Jika pernah, sebutkan apa saja
profesi tersebut?
9. Mengapa anda pada masa sekarang ini lebih memilih menekuni
profesi sebagai pedagang kerupuk keliling di bandingkan dengan
profesi sebagai tukang pijat (refleksi) atau lainnya?
10. Kenapa anda memilih di daerah sekitar Kecamatan Pamulang dalam
berprofesi sebagai pedagang kerupuk keliling?
11. Sudah berapa lama anda tinggal di Kecamatan Pamulang?
12. Apakah anda mengalami hambatan/ tantangan saat pertama kali
menjalani profesi sebagai pedagang kerupuk keliling di sini?
a. Jika ya, seperti apakah hambatan-hambatan tersebut?
b. Jika tidak, mengapa?
c. Jika ya, bagaimana anda mengatasinya?
13. Apakah anda dalam berjualan kerupuk keliling memakai alat pengeras
suara atau alat-alat lain untuk memudahkan berjualan kerupuk?
14. Apakah penghasilan dari berjualan kerupuk sehari-hari dapat
mencukupi semua kebutuhan pribadi maupun keluarga?
a. Jika cukup, bagaimana anda mengelola keperluan/ kebutuhan
dengan penghasilan anda?
b. Jika tidak cukup, bagaimana strategi anda untuk bertahan hidup/
memenuhi kebutuhan hidup yang makin meningkat?
c. Apakah anda punya pekerjaan lain selain berdagang kerupuk
(sampingan)? Jika ada, sebutkan apa saja? Lalu bagaimana anda
mengatur waktunya?
15. Berapa penghasilan anda dalam satu bulan ?
a. Penghasilan dalam berdagang kerupuk ?
b. Penghasilan pekerjaan sampingan ?
16. Kebutuhan seperti apa sajakah yang saat ini anda anggap paling
penting?
17. Apakah anda sudah merasa puas dengan menjalani profesi sebagai
pedagang kerupuk keliling? mengapa?
18. Bagaimana suka duka dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai
pedagang kerupuk keliling?
1. Foto Wawancara Dengan Bapak Edy
Sumber : Dokumentasi Pribadi
2. Foto Wawancara Dengan Bapak Jamal dan Istrinya
Sumber : Dokumentasi Pribadi
3. Foto Wawancara Dengan Ibu Muslikha
Sumber : Dokumentasi Pribadi
4. Foto Usaha Jualan kecil-kecilan Istri Bapak Edy
Sumber : Dokumentasi Pribadi
5. Foto Perlengkapan Berdagang Kerupuk Keliling Bapak Jamal
Sumber : Dokumentasi Pribadi
6. Foto Pelang Profesi Sampingan Ibu Nasilah
Sumber : Dokumentasi Pribadi