Upload
trancong
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
0
Bidang Unggulan : Pengentasan Kemiskinan Kode/Bidang Ilmu : 623/ Antropologi
LAPORAN PENELITIAN Hibah Unggulan Program Studi
STRATEGI NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI
KEMISKINAN
Tim Peneliti :
1. Dr. Purwadi, M.Hum. (NIDN. 0029115305) 2. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum. (NIDN. 0031125867)
Dibiayai oleh
DIPA PNBP Universitas Udayana
sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 011/UN14.1.1/PNL.01.03.00/2015, tanggal 25 Mei 2015
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2015
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rakhmat-Nya pelaksanaan dan penyusunan laporan kegiatan penelitian ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu, kami juga mendapat bantuan dari
berbagai pihak dalam menjalankan kegiatan ini. Oleh karena itu, melalui kesempatan
ini kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan dana
untuk pelaksanaan kegiatan ini.
2. Bapak Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Udayana beserta staf yang telah memberikan bantuan administrasi, sehingga
kegiatan ini dapat dilaksanakan.
3. Dekan Fakultas sastra dan Budaya Universitas Udayana yang telah memberikan
peluang kepada kami untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini.
4. Bapak Kepala Desa Kedonganan dan jajarannya yang telah menerima dan
memberikan dukungan kepada tim penelitian ini.
5. Pimpinan LPD, Bendesa Adat Kedonganan, BPKP2K yang telah memberikan
kesempatan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
Mudah-mudahan hasil kegiatan ini bermanfaat sesuai dengan harapan semua pihak
terkait.
Denpasar, 30 Oktober 2015
Ketua Pelaksana Kegiatan
Dr. Purwadi, M.Hum.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI RINGKASAN BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...............................................................................................5 1.2. Tujuan Khusus...............................................................................................6 1.3. Urgensi Penelitian dan Potensi Hasil.............................................................6 1.4. Tinjauan Pustaka............................................................................................7 BAB II : METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Penelitian.........................................................................................12 2.2. Penentuan Informan.....................................................................................12 2.3. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................13 2.4. Teknik Analisis Data...................................................................................13 BAB III : GAMBARAN UMUM KELURAHAN KEDONGANAN 3.1. Lokasi dan Lingkungan Alam.....................................................................14 3.2. Demografi....................................................................................................14 3.3. Sistem Mata Pencaharian Hidup..................................................................16 3.4. Potensi Pariwisata........................................................................................16 BAB IV : KEHIDUPAN NELAYAN KEDONGANAN 4.1. Nelayan Kedonganan...................................................................................19 4.2. Hidup Keseharian........................................................................................27 4.3. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil...............................................................30 4.4. Perkembangan Kelompok Nelayan.............................................................33 BAB V : STRATEGI MENGHADAPI KEMISKINAN 5.1. Orientasi Nilai Budaya................................................................................36 5.2. Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan............................................ 37 5.3. Peran Lembaga Adat...................................................................................40 BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan..................................................................................................49 6.2. Saran............................................................................................................49 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................51 LAMPIRAN Lampiran 1 : Catatan Harian (logbook).............................................................55 Lampiran 2 : Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian...................................58
4
RINGKASAN
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah ”terwujudnya pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat”. Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu strategi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat. Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan. Adapun fokus penelitian adalah sebagai berikut;
1. Program kerja, pelaksanaan program kerja, pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.
2. Langkah-langkah yang ditempuh pihak pengelola sumber daya laut dalam menghadapi kemiskinan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.
3. Hubungan pihak pengelola sumber daya laut dengan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan pada masa kini. Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dan target
tersebut di atas adalah metode kualitatif, berparadigma fenomenologis dan interpretatif. Langkah-langkah yang ditempuh dalam konteks ini adalah sebagai berikut;
1. Mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara mendalam.
2. Bersamaan dengan pengumpulan data, dilakukan analisis data secara interpretatif dengan pendekatan fenomenologis untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pemikiran, keyakinan yang ada di balik aktivitas pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan. Hal tersebut akan dipahami secara lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan interpretatif.
3. Hasil interpretasi digunakan untuk membuat hipotesis kerja yang kemudian digunakan untuk menggali informasi secara lebih mendalam hingga diperoleh informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penelitian.
4. Berdasarkan hasil penelitian dirumuskan simpulan akhir, selanjutnya simpulan digunakan untuk menyusun model strategi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat.
Kata Kunci : Strategi, Nelayan, Kemiskinan.
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat
nelayan Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan. Hal tersebut diketahui
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa walaupun para
nelayan Kedonganan telah merasakan proses modernisasi bidang perikanan, namun
setiap nelayan hanya mampu menangkap ikan maksimal hanya 4,8 kg/hari saja (Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung). Kenyataan tersebut membuat
perekonomian nelayan memprihatinkan. Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto dkk.
(dalam Kinseng, 2014:38) bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin
daripada keluarga petani atau pengrajin. Para nelayan kecil dan buruh nelayan
memang berada pada posisi yang lemah dan marginal (Kinseng, 2014:39). Sucipta
(2012) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1995 Kedonganan mulai terjamah
perkembangan kepariwisataan dan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner. Sebagai
pengaruh dari keberhasilan pendirian kafe-kafe di pantai Jimbaran, masyarakat
Kedonganan pun turut mendirikan kafe-kafe pula. Namun perkembangan di Kedonganan
tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan lingkungan. Permasalahan ini sangat urgen, karena bila tidak terselesaikan bisa
berlanjut dengan situasi yang lebih parah dan akan mencoreng citra objek wisata
Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali. Lebih jauh permasalahan ini bisa pula
mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan yang mengunjungi objek wisata tersebut
diiringi penurunan jumlah masukan finansial, baik bagi pengelola objek wisata tersebut,
pemerintah daerah, dan terlebih pada masyarakat yang bersangkutan.
Kemudian sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan didukung oleh Pemkab Badung
mulai menata pantai Kedonganan dengan memaksimalkan semua potensi desa termasuk
penataan kafe-kafe. Pengelolaan kafe diberikan kepada masing-masing Banjar di wilayah
Kedonganan. Dengan berjalannya waktu, kini pantai Kedonganan berubah menjadi tujuan
wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran Desa Adat
Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan awal dengan tujuan
meningkatkan perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan
pengelolaan yang berkelanjutan.
6
Peraturan Daerah Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 menyatakan bahwa
pariwisata Bali berlandaskan kebudayaan Bali yang dijiwai falsafah Tri Hita Karana,
yang mengidealkan keharmonisan sosial (pawongan). Oleh karena itu, penelitian ini
selain mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif masyarakat nelayan pendukung
budaya tersebut, juga mengkaji bagaimana masyarakat Kedonganan menciptakan
strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan hidup mereka, yaitu kemiskinan,
agar diperoleh pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun strategi dalam
memecahkan masalah yang menunjukkan adanya ketidakharmonisan sosial.
1.2 Tujuan Khusus
Bertolak dari latar belakang di atas, penelitian ini mempunyai tujuan khusus,
yaitu untuk mengetahui dan memahami beberapa hal guna dapat merumuskan strategi
pengelolaan sumber daya laut di Kedonganan berbasis masyarakat. Adapun hal-hal
yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Program kerja, pelaksanaan program kerja, pengawasan dan evaluasi yang
berkaitan dengan strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat
nelayan Kelurahan Kedonganan.
2. Langkah-langkah yang ditempuh pihak pengelola sumber daya laut dalam
menghadapi kemiskinan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.
3. Hubungan pihak pengelola sumber daya laut dengan masyarakat nelayan
Kelurahan Kedonganan pada masa kini.
1.3 Urgensi Penelitian dan Potensi Hasil yang bisa didapat
Berdasarkan tujuan khusus di atas, penelitian ini sangat urgen karena hasil
penelitian ini yang berupa pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai hal yang
hendak diketahui dan dipahami itu diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun
praktis.
1.3.1 Manfaat Teoretis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang program kerja, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut
di Kedonganan.
7
2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pandangan pihak pengelola
sumber daya laut terhadap program kerja, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi.
3. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pandangan masyarakat
nelayan Kelurahan Kedonganan terhadap program kerja, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut
di Kedonganan.
4. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang strategi masyarakat nelayan
Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan.
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Merumuskan strategi pengelolaan sumber daya laut yang memungkinkan untuk
pengembangan atau modernisasi perikanan lebih lanjut, dan menghindarkan
terjadinya pemiskinan.
2. Menambah materi mata kuliah Antropologi Maritim yang akan diselenggarakan
Program Studi Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.
3. Menambah publikasi ilmiah pada jurnal terakreditasi.
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Terkait dengan tujuan penelitian, ada beberapa hasil penelitian yang relevan
untuk ditelaah dan diacu dalam penelitian ini. Antara lain, penelitian Widhianti (2005),
Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di Kawasan Wisata Kedonganan,
Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali. Penelitian Widhianti
mengungkapkan gambaran tentang peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang
mempengaruhi daya saing nelayan di Kedonganan. Hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk menggali informasi lebih dalam yang
berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Widhianti mengungkapkan bahwa meskipun
Kedonganan terletak di kawasan wisata, namun hal itu bukan jaminan bagi para
nelayan meningkatkan kualitas hidupnya. Berbagai kesulitan hidup ditemui, namun hal
itu pun tidak menjadi halangan untuk tetap hidup sebagai nelayan. Resiko dihadapi
dengan besar hati karena bagi mereka hidup adalah anugerah. Orientasi nilai semacam
itu bisa dilihat sebagai suatu strategi menghadapi permasalahan hidup.
8
Strategi senada dapat pula ditemui pada penelitian Pradnyaswari (2011) tentang
Pemertahanan Identitas Etnik dalam Masyarakat Multikultural pada Masyarakat
Kampung Bugis di Pulau Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, yang
mengungkapkan bagaimana masyarakat Bugis yang berprofesi sebagai nelayan di
Serangan beradaptasi di lingkungan yang mengalami perubahan sejak adanya proyek
reklamasi. Hal ini penting juga untuk dicermati karena memperlihatkan bagaimana
suatu masyarakat dengan menggunakan kebudayaannya menginterpretasi dan
mengadaptasi lingkungannya. Dalam hal ini kebudayaan digunakan sebagai strategi
menghadapi hari depan.
Berkaitan dengan strategi masyarakat tertentu menghadapi permasalahan
mereka dikemukakan oleh Marzali (2003) dalam Strategi Peisan Cikalong dalam
Menghadapi Kemiskinan. Marzali mengasumsikan bahwa gejala kemiskinan Jawa
bermula dari faktor tekanan penduduk yang tidak terimbangi oleh perkembangan
teknologi pertanian dan kemajuan institusi ekonomi pedesaan.
Selain itu, Kusnadi (2002) dalam Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan
Perebutan Sumber Daya Perikanan, mengungkapkan bahwa kemiskinan,
keterbelakangan masyarakat nelayan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan
dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke daratan.
Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai tidak memuaskan.
Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi
yang berkepanjangan.
Penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam semakin sering menjadi isu
utama dalam konflik sosial. Dalam buku Konflik Nelayan, Kinseng (2014)
mengemukakan bahwa konflik sosial di kalangan nelayan di Indonesia selama ini
sering bersifat destruktif dan brutal, sehingga telah menelan korban harta benda bahkan
nyawa para nelayan yang tidak sedikit. Namun di sisi lain, Sucipta (2012) dalam tulisan
Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik Wisata Kuliner Berbasis
Masyarakat di Desa Kedonganan, mengungkapkan bahwa sebenarnya
ketidakharmonisan bisa diatasi bila masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam
penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini sumber daya kelautan atau pantai. Sucipta
mengungkapkan bahwa pengelolaan pantai Kedonganan benar-benar melibatkan masyarakat,
sehingga masyarakat mendapat manfaat maksimal dalam ekonomi, sosial budaya. Begitu juga
berkaitan dengan kepariwisataan, wisatawan merasa aman dan mendapat pelayanan yang
9
maksimal, sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat, yaitu dari masyarakat untuk
masyarakat pasti dapat terwujud dalam pariwisata berkelanjutan itu. Karenanya untuk
mencapai keharmonisan bersama, yaitu keharmonisan antara masyarakat, lingkungan dan
hubungan baik dengan wisatawan, pengelolaan sumber daya tersebut didasari juga dengan
filosofi Tri Hita Karana. Hasil penelitian Kusnadi, Kinseng maupun Sucipta tersebut
dapat memberikan wawasan atau pemahaman tersendiri yang bermanfaat dalam
pelaksanaan penelitian ini.
1.4.2. Pemahaman tentang Manajemen
Pengelolaan sumber daya laut identik dengan menyoroti manajemen sumber
daya laut itu sendiri. Istilah manajemen diartikan sebagai penggunaan sumber daya
secara efektif untuk mencapai sasaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:870).
Manajemen dalam arti tersebut terdiri atas empat bagian, yaitu (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengawasan, dan (4) evaluasi.
1.4.3. Perencanaan
Mengacu Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa perencanaan pembangunan adalah suatu
proses untuk menentukan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sejalan dengan itu, Dror (dalam
Schoorl,1980:294), mendefinisikan perencanaan sebagai proses dalam penyiapan
seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk
mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal, yaitu kondisi
kehidupan yang lebih baik daripada yang ada sebelumnya. Hal tersebut berkaitan
dengan bidang sosial ekonomis dan sosial budaya. Pada konteks ini, orientasi pada
keuntungan (profit oriented) merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bisa dikatakan
tidak hanya mencakup keuntungan ekonomis saja, melainkan bisa pula mencakup
keuntungan sosial budaya (Koentjaraningrat, 1989). Orientasi tersebut sangat penting
dan relevan dalam rangka pengembangan dan penguatan kreativitas dalam berbagai
bidang. Dikatakan penting dan relevan karena setiap manusia yang bersifat rasional
akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan suatu kegiatan yang menjanjikan
keuntungan bagi dirinya sendiri. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat diduga bahwa
program kerja dalam pengelolaan sumber daya laut di Kedonganan berorientasi pada
keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial-budaya.
10
1.4.4. Pelaksanaan
Pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan dapat dilihat sebagai perbuatan atau
tindakan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu oleh pihak yang bersangkutan.
Diantaranya ada yang dilakukan secara kolektif oleh orang-orang yang memiliki
kedudukan yang berbeda dalam unit kerja yang bersangkutan. Keragaman kedudukan
atau status itu bisa menunjukkan hubungan horizontal sehingga kedudukannya sama,
misalnya sama-sama sebagai anggota panitia; dan ada pula yang mencerminkan
hubungan vertikal, sehingga kedudukannya itu mencerminkan hubungan yang bersifat
hierarkis, dan kedudukannya ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Hubungan
horisontal dan vertikal itu selalu bernuansa kekuasaan, karena seperti dikemukakan
oleh Takwin (2003), hubungan kuasa tidak hanya terjadi dalam hubungan antara negara
dan rakyat, majikan dan buruh dan lain-lain, melainkan terjadi di mana saja dan kapan
saja.
Hubungan kuasa senantiasa ditandai dengan ideologi dan wacana. Artinya, ada
gagasan atau ide yang dijadikan acuan dalam melaksanakan suatu kegiatan. Agar
ideologi itu dapat diacu maka dilakukan wacana oleh para pihak yang bersangkutan.
Melalui wacana bisa terjadi hegemoni, dominasi, dan bahkan kekerasan yang dilakukan
oleh satu pihak oleh pihak yang lain yang pada umumnya dilakukan oleh pihak yang
berkuasa kepada pihak yang dikuasainya.
Mengingat perencanaan kegiatan bisa diorientasikan pada keuntungan sosial
ekonomi dan sosial budaya, maka hal itu bisa saja tercermin dalam pelaksanaannya.
Bila orientasi pada keuntungan ekonomi bersifat dominan, maka pelaksanaannya akan
lebih mengutamakan efisiensi. Sedangkan bila orientasi pada keuntungan sosial budaya
yang lebih dominan, maka proses pelaksanaannya bisa mencerminkan berbagai prinsip
pengutamaan, antara lain pengutamaan kualitas kinerja dan citra.
1.4.5. Pengawasan dan Evaluasi
Pengawasan dan evaluasi atau bisa dilakukan terhadap perencanaan dan
pelaksanaan dalam manajemen. Mengingat dalam perencanaan dan pelaksanaan
tersebut ada pihak perencana dan pelaksananya, maka pengawasan dan evaluasi
tersebut juga tertuju pada pihak perencana dan pelaksananya. Ini berarti ada pengawas
dan evaluator, begitu juga ada pihak yang diawasi dan dievaluasi.
11
Sebagaimana halnya dalam proses pelaksanaan di atas, proses pengawasan dan
evaluasi pun bisa bernuansa adanya hubungan kuasa, sehingga dalam prosesnya tidak
tertutup kemungkinan ada unsur ideologi, wacana, hegemoni, dominasi, bahkan juga
negosiasi. Selain itu, di dalam proses tersebut kemungkinan ada pula idealisme dan
motivasi untuk mencari berbagai bentuk keuntungan sosial-ekonomis.
12
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penerapan metode ini diwujudkan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut.
1) Mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara mendalam.
2) Bersamaan dengan pengumpulan data tersebut dilakukan analisis data secara
interpretatif dengan pendekatan fenomenologis. Hal tersebut dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang gagasan, pikiran, keyakinan yang ada di balik
aktivitas pengelolaan sumber daya laut masyarakat nelayan Kelurahan
Kedonganan. Hasil interpretasi digunakan untuk membuat hipotesis kerja yang
kemudian dipakai untuk menggali informasi secara lebih mendalam hingga
diperoleh informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penelitian.
3) Berdasarkan hasil penelitian dirumuskan simpulan akhir dan selanjutnya
digunakan untuk menyusun model strategi pengelolaan sumber daya laut
berbasis mesyarakat setempat.
2.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung. Lokasi ini dipilih karena di lokasi tersebut merupakan pusat
kegiatan kenelayanan berada.
2.2. Penentuan Informan
Informan yang dipilih sebagai narasumber atau pemberi informasi dalam
penelitian ini meliputi orang-orang dari warga masyarakat nelayan Kelurahan
Kedonganan, baik para pemimpin maupun anggotanya yang mempunyai pengetahuan
tentang kehidupan nelayan tersebut serta mempunyai pengetahuan tentang strategi apa
saja yang dilakukan dalam menghadapi berbagai masalah hidup kenelayanan.
Pemilihan informan akan dilakukan dengan teknik purposif, yaitu para tokoh
desa yang memiliki informasi yang dibutuhkan sebagai informan pangkal. Selanjutnya
dilakukan teknik snowball, dalam arti dari informan pangkal digali identitas informan
lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Jumlah informan ditentukan sesuai dengan
kecukupan perolehan data.
13
2.3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi. Jenis wawancara
mendalam dan wawancara pengalaman individu yang disebut metode individual life
history (Koentjaraningrat, 1989:158). Sedangkan fenomena yang diobservasi adalah
situasi sosial atau hidup keseharian dalam menghadapi kemiskinan di sekitar kehidupan
masyarakat nelayan di Desa Kedonganan.
2.4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis interpretatif, baik secara emik maupun
secara etik. Setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis
untuk membentuk hipotesis-hipotesis yang kemudian digunakan untuk membuat
pertanyaan yang akan diajukan berikutnya. Proses analisis semacam itu pada dasarnya
dapat dilihat tahap demi tahap yang meliputi kegiatan mereduksi data, menyajikan data,
menafsirkan data, dan menarik simpulan.
Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yaitu penyeleksian, pemfokusan,
simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk
situasi atau kondisi yang memiliki makna subyektif, kutipan wawancara yang memiliki
makna subyektif, dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan
penyusunan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau
verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subyektif, temuan konsep,
dan proses universal. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan kesimpulan
dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung
secara stimultan hingga mendapatkan hasil penelitian akhir.
14
BAB III
GAMBARAN UMUM KELURAHAN KEDONGANAN
3.1. Lokasi dan Lingkungan Alam
Kelurahan Kedonganan terletak di sebelah selatan kota Denpasar yang
berjarak -/+ 20 km, dan berjarak 5 km dari Kuta. Kelurahan ini berada di wilayah
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan merupakan wilayah (palemahan) Desa
Adat Kedonganan. Adapun batas-batas Kelurahan Kedonganan sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Tuban
Sebelah Se latan : Kelurahan Jimbaran
Sebelah Barat : Samudera Indonesia
Sebelah Timur : Selat Badung
Luas wilayah Kelurahan Kedonganan 191 ha, yang dimanfaatkan sebagian besar
untuk pemukiman dan pekarangan. Sebagian lainnya merupakan hutan, pekuburan dan
fasilitas umum. Seacara topografis, Kelurahan Kedonganan merupakan daerah dataran
rendah dengan tanah berbukit kapur di sebelah selatan. Daerah ini terletak pada
ketinggian 31 m di atas permukaan laut dengan karakteristik wilayah pesisir dan jenis
tanah berpasir. Keadaan musim di wilayah Kelurahan Kedongan seperti halnya
wilayah tropis lainnya di Indonesia. Curah hujan rata-rata 1700 mm/tahun, dengan
suhu udara berkisar antara 23°-34°. Wilayah ini dengan kondisi tanah yang kurang subur
untuk pertanian, maka wilayah Kedonganan hanya dapat ditanami dengan tanaman yang
bisa tumbuh di tempat bersuhu panas, misalnya kedelai, pandan, dan umbi-umbian.
Tanaman lainnya sebatas tanaman untuk pakan ternak, pisang dan kelapa.
Jenis fauna yang diternakkan antara lain; sapi, babi, ayam, dan bebek.
Pemeliharaan ternak dilakukan hampir di setiap rumah tangga atau keluarga dengan jumlah
yang bervariasi. Hasil ternak tersebut selain untuk memenuhi konsumsi sendiri, ada pula
yang dijual. Jenis binatang lain yang banyak dijumpai ialah anjing dan kucing.
3.2. Demografi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Kedonganan, jumlah
seluruh penduduk Kelurahan Kedonganan pada tahun 2014 adalah 5.809 orang, yang
15
terdiri dari laki - laki 3.128 orang, dan perempuan 2.681 orang dari 1.257 KK (kepala
keluarga), dengan kepadatan penduduk 2.952/km2. Adapun jumlah sebaran
KK dan penduduk di setiap banjar di Kelurahan Kedonganan dapat dilihat
pada tabel berikut :
TABEL 1
Sebaran Penduduk Kelurahan Kedonganan
NO. BANJAR Kepala Keluarga
Jumlah Penduduk
1. Kubu Alit 147 727
2. Ketapang 258 1.113
3. Anyar Gede 184 945
4. Kerthayasa 156 698
5. Pasek 257 1.016
6. Pengenderan 255 1.310
JUMLAH 1.257 5.809
Sumber : Profil Kelurahan Kedonganan tahun 2014.
Selain masyarakat “asli” Kedonganan, banyak pula warga masyarakat
yang berasal dari wilayah Bali lainnya. Hal itu disebabkan banyak orang
Kedonganan yang menikah dengan orang Bali dari wilayah lain, misalnya dari
Tabanan, Singaraja, Gianyar dan lainnya. Terlepas dari perbedaan wilayah asal,
secara keseluruhan penduduk Kedonganan dapat diidentifikasikan sebagai orang
Bali. Sedangkan penduduk pendatang dari etnis lainnya adalah Jawa, Madura, dan
Cina.
Fasilitas pendidikan di Kelurahan Kedonganan dapat dijumpai di pusat
kelurahan. Fasilitas pendidikan itu mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan
juga di tingkat kelurahan. Kelurahan Kedonganan hingga kini sudah memiliki 5
bangunan gedung sekolah, yaitu untuk jenjang pendidikan TK dan SD.
Sedangkan untuk jenjang pendidikan lebih tinggi, seperti SMP, SMU atau SMK
terletak di kelurahan lain yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kedonganan.
Warga masyarakat yang berkeinginan untuk melanjutkan sekolah relatif
sedikit. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bagi sebagian masyarakat
16
lainnya yang berkeinginan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, karena
Kedonganan tak terlalu jauh letaknya dengan Universitas Udayana. Hal tersebut
diharapkan dapat memacu pola pikir masyarakat agar dapat menerima arti
pentingnya pendid ikan dalam kehidupan mereka.
3.3. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Masyarakat Kedonganan merupakan masyarakat yang heterogen dengan
sistem mata pencaharian yang beraneka ragam pula. Mata pencaharian utama di
Kelurahan Kedonganan adalah sebagai nelayan. Selain itu banyak pula bekerja
dalam bidang perdagangan sebagai pengusaha kecil dan menengah, industri dan
swasta. Hal itu disebabkan oleh semakin berkembangnya sektor pariwisata di
Kedonganan, sehingga sarana dan prasarana yang mendukungnya dibutuhkan juga.
Walaupun sebagian pekerjaan yang sudah disebutkan merupakan pekerjaan pokok,
tapi tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat Kedonganan untuk memiliki
pekerjaan atau penghasilan tambahan atau sampingan seperti menyewakan
rumah, menyewakan kamar, menjadi pengrajin, atau pekerjaan lainnya.
3.4. Potensi Pariwisata
Pariwisata menjadi salah satu sektor andalan Indonesia untuk meningkatkan
devisa negara karena Indonesia mempunyai banyak potensi alam dan potensi manusia
yang merupakan modal dasar penunjang kepariwisataan. Oleh karena itu, pariwisata
adalah sektor yang mampu menggalakkan ekonomi dan sektor-sektor terkait, yaitu
sektor lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, pendapatan negara
serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan
berbagai potensi kepariwisataan nasional (Geriya, 1995:43).
Wilayah Kedonganan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta yang merupakan
pusat dari pariwisata Bali. Kedonganan merupakan daerah pantai yang potensial
sebagai peningkatan hidup masyarakat setempat. Dalam rencana induk pariwisata Bali
tahun 1990, wilayah Kedonganan telah ditetapkan sebagai wilayah wisata (tourist
resort). Sebelum berkembangnya kepariwisataan, pantai Kedonganan merupakan
pantai nelayan yang kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas nelayan.
Kehidupan masyarakat Kedonganan pada awalnya selain sebagai nelayan, mereka
bertani lahan kering atau tegalan karena daerah ini tanahnya kurang subur untuk
17
pertanian sawah.
Perkembangan kepariwisataan di Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan kepariwisataan di daerah Jimbaran. Beroperasinya Hotel Four
Seasons Jimbaran Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat
Jimbaran untuk ikut merasakan dampak positif pariwisata. Dengan banyaknya
wisatawan yang datang ke pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mulai
mendirikan warung-warung ikan bakar bagi wisatawan yang ingin menikmati
makanan tradisional khas nelayan sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.
Warung-warung tersebut ramai didatangi tamu, sehingga ada sembilan warung ikan
bakar yang beroperasi di pantai Jimbaran. Kesuksesan warung-warung ikan bakar di
Jimbaran mendorong beberapa warga Kedonganan ikut mendirikan warung ikan
bakar pula. Warung-warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi café
seperti sekarang, dimana keberadaannya mengakibatkan pantai Kedonganan dan
Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner. Pada awalnya, hanya
ada lima café saja. Kemudian kesuksesan lima cafe tersebut mendorong semakin
banyak warga Kedonganan yang ikut-kutan mendirikan café dan meninggalkan
profesi sebagai nelayan yang sebelumnya mereka jalani. Suatu bentuk pekerjaan baru
yang lebih menjanjikan.
Faktor lain yang mendorong berdirinya café di sepanjang pantai
Kedonganan adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok nelayan
Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu. Pemindahan Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) ke Jembrana mengakibatkan nelayan Kedonganan harus mengalokasikan biaya
dan waktu yang lebih banyak untuk membawa hasil tangkapan ke Jembrana. Selain
itu adanya keluhan dari otoritas Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap
pencemaran bau di sekitar perairan pantai Kedonganan dan limbah ikan yang
dibuang oleh nelayan Kedonganan di tengah laut. Fakor-faktor tersebut menyebabkan
nelayan Kedonganan beranggapan bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan
sehingga mereka mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang menjanjikan pada
waktu itu adalah beralih profesi menjadi pengusaha café.
Pada awal perkembangan, pendirian café di pantai Kedonganan tanpa
koordinasi. Warga yang ingin mendirikan café dating ke pantai untuk mengkapling
area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Ketika lahan pantai Kedonganan
sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan café tetap memaksakan diri di area
18
yang sempit, yang mengakibatkan garis pantai Kedonganan didominasi oleh
bangunan café tanpa perencanaan yang baik sehingga lingkungan Pantai
Kedonganan menjadi tidak rapih dan terlihat kumuh. Di samping itu banyaknya
jumlah café yang ada menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain berupa
pencemaran sampah dan pencemaran bau yang bersumber dari limbah café yang
dibuang langsung ke pantai ataupun ke laut sebagai akibat tidak adanya sistem
pengolahan limbah. Hal tersebut tentunya berdampak tidak baik untuk perkembangan
kepariwisataan, khususnya di Kedonganan. Untuk menatanya dibutuhkan suatu
perencanaan dan pengelolaan yang didukung dan disetujui oleh seluruh warga
masyarakat. Suatu penataan yang dilaksanakan dengan konsep berbasis masyarakat.
19
BAB IV
KEHIDUPAN NELAYAN KEDONGANAN
4.1. Nelayan Kedonganan
4.1.1. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Kedonganan terjadi melalui
perkawinan. Prinsip keturunan dan pewarisan mengikuti garis patrilinial, yaitu
yang menentukan bahwa dalam hubungan kerabat dan pewarisan hak serta
kewajiban kekerabatan diperhitungkan melalui garis laki-laki. Perkawinan
merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Kedonganan,
karena melalui perkawinan barulah seseorang mendapat hak dan kewajiban
sebagai warga komunitas serta warga kelompok kerabat. Perkawinan yang
dianggap ideal adalah perkawinan memadik (meminang). Inisiatif dan
pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki. Adat menetap yang
lazim dilakukan adalah virilokal (pasangan pengantin tinggal di rumah laki-
laki).
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Kedonganan. Hal
tersebut bersangkutan pula dengan sistem pewarisan. Di dalam kehidupan
perkawinan, bila tidak mempunyai keturunan maka harta bersama akan jatuh ke
tangan keluarga suami. Harta warisan dianggap mempunyai nilai religius magis.
Selain dapat memberikan suatu kesan secara nyata dan tidak nyata, dapat pula
mempengaruhi baik buruknya hidup seseorang di dunia ini.
4.1.2. Sistem Kemasyarakatan
Di Kelurahan Kedonganan terdapat empat lembaga tradisional dalam
kehidupan bermasyarakat, yaitu desa dinas, desa adat, banjar dan seka.
Desa dinas bersifat administratif dan kedinasan yang dikepalai oleh
Lurah. Para warga komunitas desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan
20
fungsi yang dijalankan oleh Kelurahan sebagai kesatuan administratif.
Lurah dibantu oleh seorang Sekretaris dan beberapa Kepala Seksi dalam bidang
masing-masing yang telah ditentukan untuk memudahkan menjalankan tugas
dalam Kelurahan. Pengangkatan pengurus kedinasan ini telah diatur dalam
pemerintahan desa. Fungsi kedinasan untuk melakukan koordinasi terhadap
jalannya pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan, melakukan tugas di
bidang pembangunan, melakukan upaya dalam rangka peningkatan partisipasi dan
swadaya gotong-royong masyarakat, melakukan kegiatan yang berguna untuk
keamanan dan ketertiban serta melakukan fungsi lain yang dilimpahkan
pemerintah ke Kelurahan.
Desa adat secara formal dituangkan dalam pasal 1(e) Perda Bali No.6
tahun 1986, yang mengatakan bahwa desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum
adat di propinsi Tingkat I Bali yang memiliki satu kesatuan tradisional dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan tertinggi pada desa
adat terdapat pada rapat anggota dan dikepalai oleh seorang bendesa adat. Sebagai
bendesa adat hanya memiliki peran sebagai pemegang mandat dari krama (warga)
desa adat di dalam melaksanakan berbagai tugas dan fungsi desa adat atau
mengorganisasikan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksistensi
desa adat. Bendesa adat dibantu oleh pangliman, penyarikan, patengen,
kesinoman, pasayahan-pasayahan, kelian banjar. Masing-masing prajuru
(pengurus) melaksanakan kewajiban sepert melaksanakan ayahan desa (kerja
bakti), menyelenggarakan upacara dewa yajna (ngodalin) di pura milik desa,
menyelenggarakan upacara bhuta yajna (mecaru) di desa setiap Tilem Kesanga,
melaksanakan upacara Mekiyis dan lain-lain. Selain itu mereka wajib tunduk dan
mentaati peraturan yang berlaku bagi desa adat Kedonganan, baik secara tertulis
maupun secara tidak tertulis. Wajib menjaga keamanan bersama, menjaga
nama baik desa dan melaksanakan suka duka antara sesamanya.
Penggantian prajuru desa adat Kedonganan dilaksanakan setiap 5 tahun
sekali dengan panitia pelaksanaan berasal dari utusan masing-masing banjar.
21
Selanjutnya dipilih oleh masyarakat Kedonganan dengan suara terbanyak.
Setelah itu bendesa yang terpilih membentuk prajuru yang berasal dari
masing-masing banjar. Syarat untuk menjadi bendesa adat Kedonganan adalah
usia ± 20 tahun dengan pendidikan minimal SMP dan yang paling penting tidak
dikucilkan oleh banjar di mana ia berasal.
Desa adat Kedonganan juga memiliki awig-awig, baik tertulis maupun
tidak tertulis yang berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk
mengatur stabilitas organisasinya. Awig-awig ini sebagai sarana pengikat warga
masyarakat desa adat Kedonganan yang dimuat dan disyahkan oleh pejabat
berwenang. Sanksi yang ada, bilamana ada yang melanggar awig-awig ini berupa
teguran oleh prajuru desa. Tuduhan atas seseorang yang bersalah didasarkan atas
Tri Premana, dan jika terbukti maka orang tersebut didenda. Besar kecilnya
dijabarkan atas denda uang, ayahan (kerja bakti), upacara dan banten, sapa
sumapa di desa dan banjar.
Banjar. Komunitas terkecil di Bali disebut banjar. Suatu banjar dikepalai
oleh seorang kelian banjar yang bertugas dalam bidang sosial dan kehidupan
keagamaan suatu komunitas. Pusat kegiatan warga banjar adalah di bale
banjar di mana para warga banjar bertemu dan melakukan kegiatan pada hari-
hari tertentu. Secara organisatoris kedudukan krama berada di bawah kelian,
namun segala keputusan diambil dalam rapat krama banjar dan dilaksanakan oleh
kelian banjar. Kelian banjar dibantu oleh penyarikan, kesinoman dan lain-lain.
Anggota dari banjar adalah mereka yang sudah menikah (mapakuren) dan tidak
lagi berstatus sebagai teruna. Kewajiban krama banjar adalah melaksanakan
upacara Dewa Yajna, Bhuta Yajna, Pitra Yajna, menyelenggarakan
penguburan warga yang meninggal, membantu anggota krama yang
terkena musibah dan bahaya, menyelenggarakan tugas rutin banjar secara
bergiliran, kerja bakti dan wajib bekerja untuk kepentingan krama banjar.
Fungsi banjar yang ada di desa adat Kedonganan adalah untuk
mewujudkan hidup bergotong royong di kalangan warga krama banjar, baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil dari
22
banjar. Seka di Kelurahan Kedonganan merupakan kesatuan dari beberapa
orang anggota banjar yang terhimpun atas dasar kepentingan yang sama dalam
suatu hal, misalnya seka teruna teruni, seka pesantian, seka gong dan seka
kidung. Sifat seka-seka ini ada yang permanen dan ada pula yang sementara.
Jumlah anggota dan prajuru seka ada yang besar dan ada yang kecil. Pada
prinsipnya seka yang ada dilandasi oleh prinsip gotong royong, musyawarah
dan tujuan khusus. Kegiatan seka disamping untuk kepentingan anggotanya,
juga banyak membantu kegiatan banjar, bahkan untuk beberapa hal
dimanfaatkan oleh banjar. Seka mempunyai anggota, struktur pimpinan,
hubungan berpola antar anggota, aturan serta fungsi tertentu dalam kaitannya
dengan kelompok sosial dan kelompok kepentingan yang sama di lingkungan
banjar, desa adat dan desa dinas.
4.1.3. Sistem Kepercayaan
Di Kelurahan Kedonganan ada beberapa agama yang dianut, yaitu
Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Buddha. Aktivitas hidup
keagamaan orang Kedonganan yang mayoritas beragama Hindu dapat dikatakan
sangat tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dalam praktek keagamaan yang bukan
hanya dilakukan pada hari-hari yang dipandang suci agama Hindu saja, tetapi juga
pada hampir setiap kegiatan lainnya. Orang Kedonganan percaya bahwa segala aktivitas keagamaan, tradisi
dan adat istiadat yang dilakukan adalah untuk keselarasan, keserasian dan
keteraturan dalam hidup di dunia dan akhirat. Segala aktivitas keagamaan ini
walau dianggap menyita waktu, tenaga dan juga biaya,bahkan terkesan boros,
namun mereka percaya bahwa hal itulah tanda bakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu masyarakat Kedonganan percaya adanya
leluhur (Betara-Betari) yang turut mempengaruhi dalam kehidupan mereka.
Masyarakat Kedonganan percaya pula adanya makhluk-makhluk halus, pitara
(roh manusia yang sudah disucikan), tonya (memedi), gamang (wong sarnar), kala
(roh jahat yang sering mengganggu), dan Banaspati (perwujudan Dewi Durga dalam
wajah yang menyeramkan). Masyarakat Kedonganan juga percaya adanya alam
23
yang tidak nampak (Niskala), percaya dengan tempat yang dianggap angker.
Mereka juga percaya dengan adanya benda-benda yang dianggap mempunyai
kekuatan gaib.
4.1.4. Sistem Peralatan dan Teknologi
Hingga saat ini, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan
Kedonganan dapat dikatakan masih menggunakan teknologi tradisional, seperti
jukung, jaring, dayung, dan motor tempel. Alat penangkapan ikan tersebut
dikatakan tradisional apabila dibandingkan dengan peralatan yang lebih modern,
seperti alat pukat harimau dan perahu besar yang memiliki wilayah tangkapan yang
lebih jauh (off-shore fishing) dan kapasitas untuk memperoleh ikan yang lebih
banyak.
Beberapa tahun yang lalu peralatan modern telah dikenalkan pula oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, selain untuk
memperkenalkan alat penangkapan ikan modern, peralatan ini dianggap dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan dengan hasil tangkapan yang lebih
banyak. Penggunaan peralatan modern tersebut diharapkan dapat mengubah pola
penangkapan ikan yang sebelumnya tergantung pada musim menjadi tidak
tergantung lagi pada musim. Namun hal tersebut ternyata tidak berlangsung
lama, karena selain adanya kesenjangan yang sangat besar antara nelayan
dengan peralatan modern dengan nelayan tradisional, hal lainnya adalah
kelurahan Kedonganan merupakan salah satu daerah kawasan pariwisata di kabupaten
Badung Selatan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Aktivitas nelayan
Kedonganan berupa pendaratan basil tangkapan dialihkan ke Kabupaten Jembrana, karena
hal itu dianggap dapat mempengaruhi kebersihan dan keindahan wisata alam di
Kedonganan. Hal itulah yang menyebabkan nelayan Kedonganan memilih kembali
dengan peralatan tradisional mereka.
Ada berbagai macam tipe perahu yang digunakan nelayan yang disesuaikan
dengan kapasitas masing-masing, seperti berikut :
24
1. Kolor (Selerek)
Tipe ini umumnya digunakan untuk mencari ikan dengan menggunakan jaring
selerek. Bagian-bagian dalam sebuah perahu selerek adalah kemudi, hang (tempat
layar), sangan belakang (hang dua), blandangan (bambu), mesin disel (penggerak
perahu), kotak (tempat es dan tempat ikan). Pada setiap perahu selerek selalu terdapat
sebuah tiang khusus. Di puncak tiang ini terdapat sebuah kursi sebagai tempat duduk
pemilik atau nelayan buruh yang telah dipercaya ketika mencari ikan.
Perahu selerek dibuat dari kayu jati. Perahu selerek yang terkenal berasal dari
pulau Madura. Ukuran panjang 9 m, lebar 2,75 m, dalam 1 m. Perahu ini dapat
ditumpangi 15 sampai 20 orang dan dapat memuat ikan sekitar 20 ton. Penggerak
perahu adalah mesin disel berkekuatan 22 Pk yang dapat melaju dengan cepat
dan menarik perahu lain yang bermuatan banyak.
Jaring selerek terbuat dari nilon berukuran panjang sekitar 270 m dan lebar
60 m. Jaring ini berbentuk segi empat tanpa potongan dengan letak kantong di
bagian tepi. Jaring terbagi menjadi bagian kepala, perut dan sayap yang terdiri dari
7 lembaran. Pada bagian kepala, perut dan sayap selalu dirangkaikan satu dengan
lain secara vertikal. Pemberat jaring terbuat dari timah hitam, sedangkan
pelampung jaring terbuat dari plastik. Jaring ini digunakan untuk menangkap ikan
dengan kedalaman air 100 m dari permukaan laut.
2. Sekoci
Ukuran perahu sekoci panjang 6,5 m, lebar 1,5 m dan dalam 0.75 m. Perahu ini
dapat ditumpangi 2-3 orang dan dapat memuat satu ton ikan. Penggerak perahu
adalah mesin disel berkekuatan 22 Pk. Perahu semacam ini jarang kita lihat
sehari-hari di pantai Kedonganan karena perahu ini berlayar hingga beberapa
hari. Pada perahu ini ada rumah kecil untuk berteduh. Bagian perahu lainnya
adalah sangan (tiang) belakang, blandong (bambu), mesin disel dan kotak tempat
ikan.
Peralatan pada perahu sekoci adalah jaring gondrong dan jaring arus.
Kedua jaring ini ditarik oleh tenaga manusia. Jaring ini terbuat dari benang nilon
dengan pemberat timah dan pelampung plastik. Ukuran jaring ini panjang sekitar
25
100 m dan lebar 5-6 m. Mata jaring pinggir 2.5 inci dengan mata tengah sekitar 2
inci. Kedalaman air yang digunakan untuk jenis jaring ini 60 meter.
3. Jukung
Perahu jukung ini merupakan perahu kecil, berukuran panjang 6 m, lebar
0,6 m dan dalam sekitar 0,4 m. Jukung dapat ditumpangi dua orang dan memuat
ikan sekitar 2 kwintal. Alat penggerak perahu berupa mesin tempel dengan
ukuran 7 Pk. Selain itu menggunakan alat penggerak lain yaitu dayung dan layar.
Alat transportasi jukung biasanya dibuat sendiri di Kedonganan oleh
sejumlah tukang kayu dan buruh yang memiliki keterampilan teknis untuk itu.
Jaring untuk menangkap ikan dalam jukung adalah jaring yang disesuaikan
dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Jukung dapat beroperasi hingga 10 km dari
pantai.
4. Jaring
Jaring berbentuk anyaman dari benang nilon. Berbentuk kerucut merapat,
sedangkan ujung lainnya melebar. Lebar jaring 3 m dan garis tengah sekitar 10 m,
dengan lubang jaring sekitar 2,5 cm. Harga bervariasi tergantung kwalitas.
Untuk penangkapan ikan jenis jaring disesuaikan oleh jenis ikan yang akan
ditangkap. Seperti, jaring 3 inci yang memiliki lebar 5 m, dan ikan yang
ditangkap adalah ikan kembung, tongkol, tengiri dan mantik. Jaring ciker
digunakan untuk menangkap ikan seperti jenis layur. Pengetahuan untuk
memperbaiki jaring diperoleh secara turun-menurun di lingkungan keluarga
nelayan. Cara penggunaan jaring adalah ujung jaring dipegang kernudian
dilempar ke air. Penebaran jaring harus searah dengan arus laut. Setelah agak
lama maka jaring diangkat ke permukaan air dan diambil ikannya. Hal ini
dilakukan berulang kali dan berpindah-pindah ke tempat yang dianggap ada
ikannya.
26
5. Pancing
Pancing yang digunakan para nelayan adalah pancing rawe dan pancing
tank. Ukuran kedua pancing ini berbeda tergantung dari jenis ikan yang akan
ditangkap. Panjang tali ring mencapai kurang lebih 100 meter. Pada umumnya
nelayan Kedonganan pergi ke laut ketika air pasang sehingga jukung dapat
berlayar ke tengah lautan. Begitu pula saat jukung datang atau merapat ke pantai.
Umumnya kegiatan nelayan setiap harinya dilakukan sebanyak 2 kali yakni
pukul 02.00 dini hari dan siang hari pukul 11.00 WITA. Secara turun temurun
mereka mengenal bahwa dalam sehari terjadi 2 kali air pasang surut. Proses
terjadinya air pasang dan air surut ini tidak terjadi secara serentak tetapi secara
pelan-pelan hingga mencapai titik tertinggi titik pasang dan terendah pada waktu air
surut, hal ini terjadi setiap 6 jam sekali. Pada waktu surut, air laut menjadi mundur
ke arah laut sekitar 50 sampai 100 m. Sebaliknya ketika air laut mulai pasang maka
maju ke arah pantai sekitar 100 sampai 150 m. Perbedaan pasang surut ini tidak
berpengaruh terhadap tempat parkir jukung karena letaknya lebih dari 200 meter
dari titik terdekat ketika air laut pasang.
Para nelayan Kedonganan mengenal pula beberapa tanda alam yang
menunjukkan tempat berkumpulnya ikan, yaitu ketika tampak adanya gelombang
berbuih putih di permukaan laut. Selain itu melihat banyaknya burung-burung
yang menyelam atau menyambar di permukaan laut. Gejala alam yang lain adanya
awan gelap di sebelah Tenggara atau Barat Daya yang menandakan akan terjadi
angin besar diikuti oleh gelombang yang besar pula. Adanya gelombang besar
didahului adanya buih yang muncul di permukaan laut. Berhembusnya angin
Tenggara ini biasanya muncul pada musim kemarau dan musin hujan disertai
hembusan angin Barat.
Berkaitan dengan musim, para nelayan membedakan adanya arus laut
yang searah dan arus laut yang berlawanan arah (bolak-balik). Selama musim
penghujan sekitar bulan November-April, menurut para nelayan di perairan Selat
Bali bergerak arus laut yang searah, yaitu ke Utara. Sebaliknya, selama musim
kemarau di perairan ini bergerak arus bolak-balik, yaitu ke Utara dan ke Selatan.
Adanya angin kencang tidak hanya bertiup pada musim penghujan saja
27
melainkan juga pada musin kemarau. Musim kemarau di Kedonganan berlangsung
sekitar pada bulan Mei hingga bulan Oktober. Selama musim kemarau ini angin
berasal dari arah Timur, Timur Laut dan Tenggara. Oleh para nelayan disebut
angin Timur yang bertiup kencang namun tidak begitu membahayakan. Kadang-kadang
pada musim kemarau diselingi oleh tiupan angin Utara yang mengakibatkan
gelombang besar di perairan Selat Bali.
4.2. Hidup Keseharian Nelayan
Nelayan dapat didefinsikan sebagai orang yang secara aktif melakukan
pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-
alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Sedangkan masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang
bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil yang bertempat
tinggal di sekitar kawasan nelayan (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.
15/Permen/M/2006).
Nelayan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan pemilik
tradisional, nelayan pemilik semi-modern, dan nelayan buruh. Tiga kategori
nelayan ini memiliki ciri-ciri kehidupan sehari-hari yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Sebagai contoh, nelayan bernama Wayan (bukan nama asli).
Sebagai nelayan pemilik tradisional, pak Wayan memiliki enam jukung lengkap
dengan jaring dan mesin tempel 5 PK, serta mempunyai lima orang
nelayan buruh untuk mengoperasikannya jukungnya tadi. Kegiatan
kenelayanan dimulai pada pukul 02.00 dini hari. Para nelayan ini menyiapkan
barang-barang yang akan dibawa untuk melaut, misalnya jaring yang disesuaikan
dengan jenis ikan yang akan ditangkap, mesin tempel, lampu penerangan dan botol
yang berguna sebagai tanda dan menghindari tabrakan antar jukung, serta bekal
mereka melaut. Pada musim ikan, pak Wayan melaut sampai dengan 2-3 kali dalam
sehari. Sedangkan bila tidak musim ikan hanya melaut sekali saja. Hasil tangkapan
ikan dijual ke pengambek. Dalam hal ini para istri nelayan sangat berperan dalam
menjual hasil tangkapan ikan dari suami mereka. Pada pukul 12.00-13.00 siang
28
hari, pak Wayan mendaratkan jukung yang telah dipakai dan menyimpan
mesin tempel yang telah digunakan. Ada kalanya ia merawat dan memperbaiki
mesin yang rusak. Sebagai nelayan pemilik tradisional, ia bertugas membagi
uang hasil tangkapan kepada buruh-buruhnya itu. Setelah semua pekerjaan
selesai, para nelayan kembali ke rumah masing-masing.
Lain lagi dari penuturan Pak Sacit, seorang nelayan tradisional dari daerah
Muncar. Menurut keterangannya, pada saat musim barat nelayan yang berasal dari
luar daerah Bali akan pulang kampung dikarenakan pendapatan ikan sedikit.
Perahunya tetap ditaruh di pantai Kedonganan, tapi nelayannya saja yang kembali
ke kampung. Perahu rata-rata milik sendiri yang langsung dibawa dari kampung,
namun ada juga beberapa nelayan Bali, khususnya dari Kedonganan yang
mempunyai perahu sendiri. Biasanya yang dahulunya nelayan asli Kedonganan
melaut sendiri, namun sekarang perahunya sudah disewakan kepada nelayan dari
luar yang hasilnya dibagi menjadi dua (50-50). Ada juga beberapa nelayan melaut
sendiri tanpa teman untuk melaut, jadi hasilnya bisa dinikmati sendiri. Nelayan
mulai melaut mulai pukul 15.00 atau 16.00 dan kembali ke darat keesokan harinya
kurang lebih jam 06.00 atau jam 07.00. Penghasilan paling sedikit pada musim
barat kadang-kadang mendapatkan sampai 5 ekor ikan saja, kadang tidak
mendapatkan sama sekali. Hasil ikan paling banyak bisa mencapai 1-2 ton, kalau
ikan yang di dapat melebihi 2 ton biasanya membuang jaring ke laut. Untuk
mendapatkan ikan sebanyak itu perahu yang digunakan adalah perahu yang
berukuran sedang.
Harga untuk ikan tongkol paling murah mencapai 5-6 ribu/kg, sedangkan
jika musim barat mencapai 9-10 ribu/kg. Sedangkan ikan lemuru (ikan kucing)
berkisar 10 ribu/kg. Nelayan yang akan menangkap ikan-ikan besar seperti
tongkol akan membuat rumpung di tengah laut, jadi nelayan akan kembali ke
darat hanya seminggu sekali. Penangkapan ikan di laut disesuaikan dengan ukuran
ikan dan dengan ukuran jaring dan kapal, jika kapal besar bisa menampung ikan
lebih dari 2 ton. Nelayan yang ada di Kedonganan kebanyakan orang Bugis, ada
juga orang dari Madura dan Jawa. Untuk ikan layur kuning harganya berkisar 40
ribu/kg, sedangkan lemuru hitam dan putih sekitar 30 ribu/kg.
29
Menurut pak Sacit, fasilitas kenelayanan di Kedonganan cukup baik.
Nelayan yang ingin berisitirahat disediakan tempat istirahat bangunan persegi
panjang atau yang disebut bangsal yang berlokasi tepat di pinggir pantai. Selain
untuk tempat istirahat, tempat ini juga sebagai tempat untuk memperbaiki jaring-
jaring yang rusak dan sebagai tempat menaruh jaring-jaring nelayan selama tidak
melaut. Bangsal ini tidak di kenakan biaya melainkan diperuntukan secara gratis.
Jaring-jaring yang dipakai bisanya di beli di pabrik, tidak membuatnya sendiri.
Pengeluaran para nelayan kurang lebih sekitar 50-60 ribu/hari untuk kebutuhan
sehari-hari. Harga mesin perahu, perahu, dan jaring sampai 100 juta per satu
perahu, itupun disesuaikan dengan daya mesin perahu, ada yang berukuran 15 dan
30 PH. Untuk pemesanan perahu biasanya antara 1-2 minggu, dan langsung
dikirim dari Cilacap dan diangkut ke Bali menggunakan sebuah truk, yang di
dalamnya berisi sampai 6 buah perahu.
Pengasilan untuk nelayan kalau dipukul rata 7 juta/bln jika perahu milik
berdua, sedangkan perahu milik sendiri bisa mencapai 15 juta/bln. Untuk orang
yang bertugas menampung ikan disebut pengembak, selanjutnya ikan akan dikirim
ke daerah Benoa. Setiap nelayan mempunyai bos, apabila nelayan ini kehabisan
modal jadi nelayan ini akan meminjam modal kepada pengembak, selanjutnya
setelah nelayan ini panen akan diserahkan langsung kepada pengembak. Untuk
sekali melaut, nelayan membutuhkan dana disesuaikan dengan besar daya mesin,
untuk mesin yang berukuran 30 PH dibutuhkan dana sebesar 200-300 ribu
sedangkan mesin yang berukuran 15 PH sebesar 100-200 ribu.
Bapak Nyoman (bukan nama asli) merupakan salah seorang nelayan semi-
modern. Dia berasal dari Kedonganan dan dibesarkan dalam keluarga nelayan dan
memiliki sembilan jukung yang pengoperasiannya dipercayakan kepada nelayan buruh.
Aktivitas mulai pada dini hari. Pak Nyoman menemui buruh jukungnya dan membantu
menyiapkan perlengkapan yang akan segera di bawa melaut. Sekitar pukul 04.00 pagi, dia
mengawasi penurunan ikan yang ditangkap oleh kapal-kapal selerek, seperti tuna,
lobster, cumi-cumi ukuran besar dan ikan lainnya yang akan dibeli oleh KUD setempat.
Hasil tangkapan itu didistribusikan ke sejumlah hotel, restoran dan cafe yang ada di
30
Kedonganan. Setelah kegiatan di KUD selesai, kemudian pak Nyoman pergi
mengawasi hasil tangkapan para buruhnya. Hasil tangkapan ikan dihitung dan
kemudian dijual ke pasar oleh istrinya. Pada musim ikan, kegiatan di pantai
biasanya selesai pukul 13.00. Setelah itu baru para nelayan bisa beristirahat.
Pak Abdul (bukan nama asli) sebagai nelayan buruh yang berasal dari
Muncar, Jawa Timur, tinggal di sebuah kamar sewa beserta istri dan anaknya.
Seperti nelayan buruh lainnya, pak Abdul sudah mulai beraktivitas sekitar pukul
02.00 pagi. Dia bekerja pada salah seorang pemilik jukung, pak Made (bukan
nama asli). Kemudian dia menyiapkan peralatan dan perlengkapan yang akan
dibawa melaut, antara lain; lampu, jaring, bahan bakar mesin tempel, makanan
dan minuman yang telah disediakan oleh istri nelayan pemlik. Setelah itu pergi
melaut dan kembali sekitar pukul 09.00 pagi. Kemudian ikan hasil
tangkapannya dibersihkan dari jaring, ditempatkan dalam wadah plastik ukuran
besar, kemudian ikan itu dijual oleh istrinya Setelah pak Abdul mendaratkan
jukungya, segala peralatan dari nelayan pemilik yang dibawa tadi dibersihkan
dan dikembalikan ke tempat semula bersama mesin tempel yang telah digunakan.
Setelah itu dia pulang ke rumah untuk membersihkan diri dan beristirahat.
4.3. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan
Pada musim panen ikan, yaitu pada bulan Maret-Agustus para nelayan
Kedonganan hanya mencari ikan di sekitar pantai saja. Jenis ikan yang ditangkap adalah
lemuru, layur, tongkol, jerbung, dogol, krosok, dan tengiri. Sedangkan pada bulan
September-Desember mereka mencari ikan sampai ke tengah laut. Hal itu disebabkan
pada bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di mana ikan laut relatif sulit diperoleh.
Perolehan hasil tangkapan ikan para nelayan Kedonganan lainnya yang berupa
non-ikan, antara lain kepiting, cumi-cumi, rajungan, kepiting, pari, dan udang.
Perolehan ikan tidak didapat setiap bulan. Ada beberapa ikan yang yang selalu ada
pada musim ikan seperti tongkol dan lemuru. Lain halnya dengan cumi-cumi dan
layur yang hanya dapat diperoleh pada musim tertentu saja, yaitu awal musim
penghujan dan pada saat air surut. Pada musim ikan, suasana di pantai biasanya
tampak ramai dengan aktivitas kenelayanan.
31
Adapun sistem pembagian kerja kenelayanan di Kedonganan dapat dibagi sebagai
berikut :
• Nelayan modern, nelayan semacam ini tidak diharuskan untuk
menangkap ikan secara langsung, walaupun demikian banyak pula
nelayan modern atau pemilik mesin dan jukung turut menangkap ikan.
• Nelayan buruh atau nelayan tradisional, bertugas mencari ikan di laut,
menyiapkan peralatan menangkap ikan yang akan dipakai dan jukung
yang digunakan.
• Buruh tegen jukung (panol), bertugas membantu para nelayan
yang hendak pergi menangkap ikan dengan menggunakan
jukung, mengangkat jukung dari tempat parkir jukung di pinggir
pantai sampai ke tepi pantai untuk berlayar. Hal ini dilakukan juga
ketika para nelayan kembali dari menangkap ikan dan
mengembalikan jukung ke tempatnya semula.
• Buruh bersih jukung dan jarring, bertugas membersihkan jukung
setelah para nela yan kembali dari melau t. Sedangkan
untuk membersihkan jaring dari hasil tangkapan ikan dilakukan oleh
para buruh perempuan.
• Buruh timbang, bertugas menimbang hasil tangkapan ikan.
• Pedagang ikan, terdiri dari para keluarga nelayan yang
bertugas menjual ikan kepada para konsumen atau pengepul.
Umumnya kaum perempuan.
Secara umum, pengolahan hasil tangkapan ikan yang dilakukan nelayan di
Kabupaten Badung adalah pemindangan, pembekuan dan pengasinan. Namun
demikian, nelayan Kedonganan lebih banyak menjual hasil tangkapannya ketika ikan
32
masih segar dan dengan cara pembekuan agar ikan bisa dijual keesokan harinya.
Untuk mengatasi proses pembusukan sehingga mengalami kemunduran mutu,
para nelayan Kedonganan melakukan pengawetan dengan es.
Setiap nelayan pemilik, pada musim ikan mampu menghasilkan hasil
tangkapan sebanyak 3-5 ton dengan jumlah kepemilikan 3-6 jukung. Hanya pada
tidak musim ikan produksi ikan menurun menjadi kurang dan 1 ton. Untuk
menjaga kondisi ikan agar tetap segar, pada perahu selerek dan sekoci
dilengkapi oleh kotak penyimpanan sebagai tempat pendingin agar ikan tidak
cepat rusak. Untuk jukung ada yang dilengkapi kotak pendingin ikan dan ada
juga yang tidak. Hal itu tergantung jarak yang akan ditempuh untuk mencari ikan
yang kurang lebih memerlukan waktu empat jam, yang kemudian hasil
tangkapanya langsung dijual.
Hasil tangkapan berupa ikan segar langsung ditimbang di TPI (tempat
pelelangan ikan). Tersediannya prasarana tempat pelelangan ini, diharapkan para
nelayan dapat memanfaatkannya sebagai tempat penjualan pertama setelah ikan
ditangkap di laut. Hasil tangkapan nelayan dijual dengan sistem lelang. Hal itu
dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan nelayan tidak dipermainkan oleh
pengambek. Ukuran yang digunakan untuk menimbang adalah ember ukuran
besar. Biasanya sebelum para nelayan kembali dari menangkap ikan, para ijon
telah menunggu di pantai. Para pembeli ini umumnya para pedagang yang
menjual lagi hasil tangkapan nelayan ke pasar-pasar di seluruh Bali. Aspek
yang menentukan dalam kaitannya dengan kegiatan kenelayanan dan yang
berpengaruh langsung terhadap peningkatan kesejahteraan hidup nelayan
adalah aspek produksi dan distr ibusi hasil tangkapan. Apabila hubungan
sosial yang melingkupi kedua aspek tersebut kurang menguntungkan nelayan dan
nelayan buruh, maka kelembagaan KUD perlu diberdayakan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat untuk mengatasi hubungan-hubungan sosial ekonomi yang
timpang . Di Kedonganan, KUD setempat tidak berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan modal nelayan. TPI juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
33
sehingga keberadannya tidak memberikan keuntungan ekonomi kepada
nelayan. Bahkan dengan penarikan restribusi, nelayan justru merasa
dirugikan. Dalam memenuhi kebutuhan modal usaha, sebagian besar nelayan
memilih meminjam uang dari pengambek (tengkulak). Pemasaran hasil
tangkapanpun dilakukan tidak melewati sistem KUD yang ada disana, melainkan
langsung antara nelayan ke pengambek. KUD hanya menjual hasil tangkapan ikan
para nelayan modern dengan kapal besar saja. Oleh karena itu, pendapatan para
nelayan sangat sulit dicatat secara pasti. Penghasilan nelayan dapat dikatakan
tidak menentu. Hasil tangkapan nelayan kadang berlimpah, kadang sedang-
sedang saja, bahkan sama sekali tidak memadai. Hal itu terjadi disebabkan pula
oleh para nelayan yang melakukan aktivitas melaut masih berdasarkan musim.
Hasil tangkapan ikan yang rusak dapat dimanfaatkan menjadi tepung
untuk makanan ternak unggas, terutama ayam. Selain itu ikan segar yang belum
begitu rusak juga dibeli oleh ijon atau pengepul yang kemudian dijual ke pabrik
pembuatan ikan sarden. Jika jumlah hasil tangkapan banyak, maka para nelayan
menjual kepada ijon ini. Tetapi jika hasil sedikit maka nelayan hanya menjual di
pasar. Ikan yang ada di pasar ikan Kedonganan tidak semua dari nelayan
Kedonganan, namun dari nelayan daerah lain, seperti Sanur, Benoa, daerah Bali
lainnya, bahkan dari Jawa. Selain itu cafe-cafe di Kedonganan tidak selalu
membeli ikan di pasar atau dari nelayan Kedonganan, melainkan membeli dari
tempat lain dan dari kapal besar yang menjual ikannya lewat TPI.
4.4. Perkembangan Kelompok Nelayan
Pada tahun 1970-an nelayan Kedonganan masih merupakan
nelayan tradisional, dalam arti nelayan pada saat itu masih menggunakan
peralatan yang masih sederhana seperti jukung, pencar, dayung (kelimat),
pancing, serok dan lain sebagainya. Pendapatan dari hasil tangkapan nelayan
hanya mencapai 2,5 kg ikan perhari dengan harga Rp. 1.000,00/kg. Hal
34
tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan layak.
Fenomena tersebut membuahkan suatu inisiatif para nelayan setempat.
Pada tahun itu pula berdiri pertama kali kelompok nelayan yang beranggotakan
30 orang. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan memantau seluruh aktivitas
nelayan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, yang antara lain
bertujuan untuk melindungi nelayan dari sistem ijon yang memberi pinjaman
modal kepada para nelayan namun sistem tersebut sangat merugikan nelayan.
Setahun lamanya kelompok nelayan itu mampu bertahan dengan segala bentuk
rintangan dari para ijon yang sempat pula memecah belah kelompok itu
dengan menggunakan kekuatan modal yang dimilikinya. Berkat kegigihan
pengurusnya melalui berbagai pendekatan kepada para anggota yang telah
dikuasai ijon, maka anggota kelompok berkumpul kembali dalam satu wadah
organisasi nelayan. Berbagai kegiatan kenelayanan seperti memberikan
pengarahan, pembinaan dan menjelaskan pentingnya arti organisasi rutin
dilakukan seminggu sekali. Penyuluhan dilakukan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.
Setelah terbentuk kelompok nelayan yang telah disyahkan, Pemerintah
Daerah melalui BRI Cabang Denpasar memberikan bantuan kredit berupa KIK
(Kredit Investasi Kecil) sebesar Rp. 26.000.000,-. Untuk tahap pertama
direalisasikan pada tahun 1977 kepada nelayan Kedonganan yang digunakan
untuk membeli 26 unit kapal selerek dan 26 mesin tempel Yamaha 8 PK,
masing-masing unit dengan 6 set jaring. Bantuan pemerintah tersebut sangat besar
manfaatnya bagi kelompok nelayan, terutama dalam menambah anggota
organisasinya yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 260 orang nelayan
buruh sekaligus.
Pada tahun 1979 disahkan kelompok nelayan purse saine, kemudian
dilaksanakan motorisasi nelayan. Setelah adanya motorisasi, hasil tangkapan
nelayan meningkat dengan pesat, pendapatan nelayan terangkat untuk
35
mendukung pembangunan di bidang perikanan. Pemerintah membangun
fasilitas pendukung TPI (tempat pelelangan ikan) yang dibantu pula oleh
masyarakat nelayan. Untuk memperkuat kemajuan yang ingin dicapai dibentuk
pula KUU Mina Segara yang bertujuan untuk menyediakan modal bagi nelayan
anggotanya dengan bunga yang kecil.
Modernisasi perikanan yang terjadi di desa Kedonganan merupakan suatu
proses perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi. Dari segi
sosial terlihat makin meningkatnya jumlah kelompok-kelompok sosial berupa kerja
kelompok dalam aktivitas penangkapan ikan dengan anggota yang tidak terbatas
dalam lingkungan keluarga saja. Sedangkan dari segi ekonomi terlihat upaya-
upaya meningkatan taraf hidup nelayan. Namun modernisasi penangkapan ini
tidak bertahan lama, ketika kapal dengan alat purse saine dipindahkan
pendaratannya ke daerah nelayan Kabupaten Jembrana. Para nelayan Kedonganan
kembali tidak menggunakan alat tersebut karena jauhnya tempat pendaratan tadi.
Keputusan Pemerintah untuk memindahkan kapal dengan peralatan purse
saine itu dengan alasan bahwa Kabupaten Badung merupakan daerah yang
direncanakan sebagai tujuan pariwisata. Khususnya Kelurahan Kedonganan yang
letaknya berdekatan dengan daerah tujuan wisata Kuta, sehingga pendaratan kapal
ikan akan dianggap mempengaruhi pemandangan para wisatawan. Penduduk
yang menekuni mata pencaharian sebagai nelayan mengalami penurunan setiap
tahunnya. Dari sejumlah 15 kelompok nelayan, kini jumlah kelompok nelayan
yang masih aktif hanya dua kelompok nelayan saja, yaitu kelompok nelayan
Kerta Bali dan kelompok nelayan Putra Bali.
36
BAB V
STRATEGI MENGHADAPI KEMISKINAN
5.1. Orientasi Nilai Budaya
Perikanan dan kelautan secara umum memang menjadi ikon Kedonganan.
Bahkan, Kedonganan hingga kini menjadi salah satu sentra usaha perikanan dan
kelautan terbesar di Bali. Kehadiran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kedonganan
menunjukkan Kedonganan memang memegang peranan penting dalam bidang
perikanan. Namun, seperti umumnya daerah pesisir, kualitas sumber daya
manusia (SDM)-nya masih tertinggal, setidaknya hingga tahun 1990. Jumlah
sarjana atau pun tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) ketika itu masih bisa dihitung dengan jari. Mayoritas
penduduk Kedonganan hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Malah, tak sedikit yang
buta huruf. Kondisi semacam itu tentu saja sangat berpengaruh kepada iklim
usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berbagai usaha yang
dikembangkan di Kedonganan lebih sering menuai kegagalan. Karenanya, tidak
mengherankan jika kondisi Kedonganan pada masa itu masih jauh tertinggal
dibandingkan daerah-daerah lainnya di Kecamatan Kuta. Meskipun dekat dengan
sentra pariwisata, keberadaan Kedonganan tetap saja terbelakang, tidak bisa ikut
merasakan kue pariwisata. Namun mereka tidak menyerah, kehidupan harus
berjalan terus seiring zaman. Mereka menyusun suatu strategi untuk menghadapi
keterpurukan. Dengan menggunakan kearifan dalam kebudayaannya mereka
mengadaptasi, menginterpretasi dan mengubah lingkungan yang sesuai dengan
apa yang mereka harapkan.
Nelayan Kedonganan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan buruh,
mereka harus siap menghadapi ketidakpastian perolehan penghasilan dari melaut.
Kadang kala mereka melakukan penangkapan di kawasan perairan yang dianggap
masih menyimpan potensi sumber daya perikanan yang letaknya cukup jauh dari
tempat tinggal mereka. Kegiatan penangkapan ini berlangsung beberapa hari
dengan tingkat pendapatan yang mereka anggap cukup untuk kehidupan sehari-hari,
atau tidak memperoleh penghasilan sama sekali. Berbagai resiko dari pekerjaan
37
sudah biasa mereka hadapi dan terima dengan besar hati karena bagi mereka hidup
adalah sebagai anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya
keselarasan dan keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang
Hyang Widi. Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa
adanya. Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja.
5.2. Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan
5.2.1. Alam.
Kedonganan merupakan salah satu kawasan wisata pantai memulai
kegiatan kepariwisataannya pada tahun 1980-an dan berkembang pesat
tahun 2000-an lebih menitikberatkan pada potensi laut dan kehidupan
kenelayanannya serta panjang pantai berpasir putihnya yang indah. Terlebih lagi
dengan pemandangan mata hari terbenam di sore hari yang menimbulkan kekaguman.
Pada kenyataannya, perkembangan wisata pantai Kedonganan sangat berpengaruh
terhadap taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan Kedonganan sendiri.
Manfaat ekonomi, sosial dan budaya merupakan imbas dari pada kemajuan wisata
pantai ini. Dengan adanya pembangunan di bidang pariwisata dan perikanan, turut
berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Kedonganan yang ingin pula turut
menikmati berkah tersebut.
Berkaitan dengan kegiatan kenelayanan di Kedonganan, dengan kesadaran
sendiri masyarakat nelayan Kedonganan memiliki sikap bahwa laut patut dijaga,
dilestarikan keberadaannya, karena ketergantungan masyarakat nelayan
Kedonganan terhadap sumber daya laut sangat besar. Selain sikap pasrah atas
kehendak alam, tapi mereka memberdayakan juga laut tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Faktor inilah yang membuat masyarakat nelayan
Kedonganan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian taut di
sekelilingnya. Untuk menjaga kelestarian lingkungan pantai Kedonganan serta
untuk mengatur perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, maka
diberlakukan awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Awig-
awig yang berlandaskan filosofi ajaran Agama Hindu dan lekat dengan budaya
38
Bali tersebut tidak hanya berlaku bagi nelayan pribumi tetapi juga berlaku bagi
nelayan pendatang.
Awig-awig tersebut diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan
pesisir agar terjaga dengan baik. Wilayah pesisir yang mempunyai kepemilikan
akses terbuka memungkinkan akan terjadinya tragedi kepemilikan bersama. Hal
itu terjadi karena tidak ada aturan jelas yang mengatur hak dan kewajiban dalam
mengakses dan mengelola sumber daya pesisir. Adanya rasa kepemilikan bersama
sumber daya alam dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, karena masing-
masing pihak merasa berhak atas wilayah yang ditempatinya. Untuk menghindari
hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya pesisir diserahkan kepada masyarakat
setempat dan dibentuk kelembagaan lokal yang berisi aturan-aturan adat dalam
menjaga kelestarian lingkungan. Aturan-aturan serta sanksi pelanggaran dibuat
berdasarkan nilai, pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat.
5.2.2. Ekonomi.
Perikanan adalah sistem usaha manusia dalam pemanfaatan sumber
daya laut, mengolah dan memasarkannya. Misalnya saja pada tahun 2010
komoditi perikanan yang menjadi andalan nelayan Kedonganan adalah ikan tuna
yang jumlah produksinya mencapai 9.005,5 ton/tahun, ikan tongkol sebesar
1.478,5 ton/tahun dan ikan sarden 547,1 ton/tahun. Kebutuhan ekonomi
merupakan alasan yang penting bagi sebagian nelayan untuk tetap menggeluti
pekerjaan di bidang ini. Alasan mereka menggeluti mata pencarian sebagai
nelayan adalah kondisi perekonomian yang kurang mampu memenuhi
kebutuhan keluarga. Dengan mengikutsertakan seluruh anggota keluarga dalam
usaha kenelayanan merupakan salah satu alasan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pekerjaan nelayan adalah pekerjaan pokok. Namun untuk mencukupi
kebutuhan hidup harus diimbangi pula oleh pekerjaan sampingan lainnya,
misalkan sebagai pedagang, buruh bangunan, pengrajin, pemandu wisata laut,
atau lainnya.
Pariwisata turut andil pula dalam mensejahterakan kehidupan nelayan.
Adanya sajian khas kuliner di Kedonganan menyebabkan pasokan akan ikan di
39
beberapa hotel, kafe dan restoran juga meningkat. Selain itu bidang pekerjaan
lainnya berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang memberi peluang untuk
menyerap para pencari kerja, khususnya generasi muda Kedonganan. Hal itu
dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Kedonganan dengan segala
aspek negatif ikutannya.
5.2.3. Sosial-budaya.
Pada dasarnya dalam kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pengaruh
lingkungan di sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia itu hidup, tumbuh
dan berkembang di bawah pengaruh suatu lingkungan, dimana pribadi sebagai potensi
yang dimilikinya akan berpengaruh balik terhadap lingkungannya tersebut. Seiring
dengan bertambah pesatnya kegiatan kepariwisataan di Kedonganan, semakin
kompleks juga sektor penunjang pariwisata ini seperti adanya hotel, kafe
pinggir pantai yang menyajikan hidangan khas laut di Kedonganan. Hal tersebut
tak lepas pula akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat
setempat. Misalnya dari sebelumnya mereka memiliki gaya dan pola hidup
tradisional yang sederhana, dan kini mulai menjalani gaya dan pola hidup
modern seiring dengan kemajuan jaman. Walaupun demikian orang Kedongan
tak lupa kepada jati dirinya sebagai warga masyarakat Bali lainnya. Mereka tetap
setia menjalankan kewajiban tradisi yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Bagi orang Kedonganan, air merupakan elemen pokok dari kehidupan nelayan,
elemen pokok yang merupakan suatu bagian dari upacara keagamaan, upacara siklus
manusia dari lahir sampai mati. Bagi nelayan Kedonganan menjaga keseimbangan
ekologis lautan sangatlah penting. Mereka percaya bahwa bila manusia mengeksploitasi
hasil laut secara besar-besaran atau dengan cara-cara yang dilarang oleh adat seperti
pengeboman, maka mereka akan mendapat kutukan berupa tidak selamat atau kesulitan
dalam memperoleh hasil laut. Pengetahuan tentang kenelayanan seperti itu diturunkan
oleh para orang tua yang sejak anak-anak mereka masih kecil dan hidup dari hasil laut.
Pengetahuan tentang kenelayanan diperoleh karena mereka selalu mengikutsertakan
anak-anak mereka dalam kegiatan melaut. Pengikutsertaan anak-anak ini dalam
kegiatan melaut merupakan salah satu pengalihan sistem pengetahuan praktis
40
sehingga ketika dewasa kelak anak-anak tersebut sudah siap menghadapi segala
tantangan yang muncul. Bisa dikatakan sebagai pembelajaran pendewasaan. Hal
itu tidak saja untuk anak laki-laki, namun terhadap anak perempuan juga.
Adanya beberapa potensi yang dimiliki ini, masyarakat nelayan
Kedonganan menganggap laut merupakan peninggalan dan warisan nenek
moyang yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sesuai dengan
kebutuhan hidup. Keadaan seperti itu menurut Suparlan (1980) adalah
hubungan manusia dengan alam tidaklah semata-mata terwujud sebagai suatu
hubungan manusia dengan hidupnya tetapi juga sebagai suatu hubungan
dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya. Manusia juga
turut menciptakan corak dan bentuk lingkungan dengan baik karena lingkungan
alam dan fisik tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya. Laut bagi
masyarakat nelayan Kedonganan merupakan sumber kehidupan yang dianggap
sebagai bagian yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka. Apabila laut
rusak atau tercemar berarti kehancuran juga bagi kehidupan mereka. Sejak dulu
sampai sekarang, mereka mengeksploitasi hasil laut sesuai dengan yang
diajarkan oleh orang-orang tua mereka.
5.3. Peran Lembaga Adat
5.3.1. Perencanaan
Peran lembaga adat di Kedonganan dalam menyusun strategi menghadapi
kemiskinan ini sangatlah penting, terutama dalam hal mengubah pola pikir
masyarakat setempat. Hal itu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Kedonganan
yang didukung Pemkab Badung untuk menata kawasan pantai Kedonganan sebagai
bagian palemahan desa. Panitia penataan kemudian dibentuk untuk
mempersiapkan rencana penataan hingga pelaksanaan penataan pantai
Kedonganan. Panitia tersebut dibentuk melalui sinergi antara tiga lembaga, yaitu
41
Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM) Kedonganan. Anggota panitia penataan adalah warga Desa
Adat Kedonganan yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan
perencanaan di bidang pariwisata, misalnya ilmu perencanaan, arsitektur dan
lingkungan. Kepanitiaan tersebut bekerja dengan baik karena dukungan penuh
dari para tokoh masyarakat yang kepemimpinan dan ketokohan dari para tokoh
masyarakat itu beserta jajarannya dan juga dukungan para pemudanya
mengakibatkan sebagian besar warga Desa Adat Kedonganan memberi dukungan
terhadap rencana penataan ulang pantai Kedonganan. Di Desa Adat Kedonganan
sendiri desa adat dibantu secara finansial oleh LPD (Lembaga Perkreditan Desa)
Desa Adat Kedonganan.
LPD Desa Adat Kedonganan mempunyai visi dan misi sebagai berikut :
Visi
Menjadikan LPD Desa Adat Kedonganan sebagai Lembaga Padruwen
(Kekayaan) Desa Adat Kedonganan yang dipercaya dan tangguh sehingga mampu
menyangga adat dan budaya Bali.
Misi
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik secara individu
maupun organisasi
2. Meningkatkan kinerja pelayanan
3. Meningkatkan kerja sama antarlembaga yang ada di Desa Adat
Kedonganan
4. Meningkatkan kontribusi LPD untuk pembangunan Desa Adat
Kedonganan, baik secara fisik maupun nonfisik
5. Mengembangkan jaringan (networking) yang kuat dengan LPD-LPD lain
di Bali
42
6. Meningkatkan kinerja LPD Desa Adat Kedonganan sehingga mampu
berperan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian pedesaan, aktivitas
sosial dan lingkungan hidup.
7. Meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki (sense of belonging)
masyarakat terhadap LPD Desa Adat Kedonganan.
8. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para prajuru dan krama
Desa Adat Kedonganan mengenai LPD sehingga mampu berperan sebagai
Badan Pengawas (BP) yang profesional.
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) itu sendiri merupakan buah pikiran
Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Gagasan mendirikan LPD diilhami
keberadan Lumbung Pitih Nagari (LPN) yang merupakan lembaga simpan pinjam
untuk masyarakat adat yang sukses di Padang Sumatera Barat. Dengan
mengadopsi konsep sekaa dan desa adat yang telah tumbuh sejak lama di dalam
masyarakat Bali, Gubernur Bali kemudian meluncurkan Lembaga Perkreditan
Desa (LPD). Tujuan LPD yakni membantu desa adat dan krama desa adat dalam
pembangunan adat, budaya dan agama. Keuntungan LPD direncanakan untuk
membangun kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, baik untuk pembangunan
fisik maupun nonfisik.
5.3.2. Pelaksanaan
LPD Desa Adat Kedonganan diresmikan pada 9 September 1990, yaitu
enam tahun setelah LPD resmi didirikan di Bali. Di awal pendiriannya, modal
LPD Kedonganan tidaklah begitu besar yaitu Rp 4,6 juta. Modal ini bersumber
dari bantuan Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Bali senilai Rp. 2.000.000
serta bantuan Pemda Tingkat II Badung senilai Rp 2.600.000. Pada awal
beroperasi, LPD Desa Adat Kedonganan belum memiliki kantor representatif.
Bendesa Adat Kedonganan kala itu, I Wayan Gandil meminjamkan wantilan
Banjar Anyar Gede sebagai kantor LPD Kedonganan. Pada saat didirikan, LPD
Desa Adat Kedonganan dalam kondisi serba terbatas. Tidak hanya terbatas modal
43
tetapi juga dukungan krama karena ragu lembaga ini bisa eksis dan berlanjut.
Karena itu, peresmian LPD Kedonganan hanya dihadiri sebagian prajuru dan
segelintir warga. Lambat laun, seiring bertumbuhnya kegiatan usaha LPD,
kepercayaan krama dan nasabah juga ikut tumbuh. LPD Kedonganan pun
berkembang pesat. Akhirnya, pada tahun 1991, Desa Adat Kedonganan mampu
memberikan bantuan dana Rp 12.000.000 untuk membangun kantor LPD Desa
Adat Kedonganan di lokasi kantor LPD saat ini. Gedung ini kemudian direnovasi
total pada tahun 2009 dan di-pelaspas serta diresmikan Bupati Badung, AA Gde
Agung, S.H., pada 12 Januari 2010.
Demikianlah, sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan yang didukung
Pemkab Badung, dan secara internal didukung oleh LPD Desa Adat Kedonganan
dan BPT2K menata kawasan Pantai Kedonganan sebagai bagian palemahan desa.
Penataan pantai Kedonganan pada dasarnya merupakan proses pengalokasian area
pantai Kedonganan ke dalam zona-zona tertentu, yaitu zona café, zona ekonomi,
zona sosial-budaya dan keagamaan berdasarkan gambar rencana yang telah
disetujui. Penataan juga merupakan usaha untuk mengurangi jumlah café yang
sudah berdiri sebelumnya dari sejumlah 67 menjadi 24 dimana kepemilikannya
diserahkan kepada seluruh warga Desa Adat Kedonganan yang tersebar di enam
banjar sesuai Rekomendasi Bupati Badung. Keberadaan kafé-kafé ditata agar
mampu memaksimalkan potensi warga. Masing-masing banjar diberi hak
mengelola empat kafe. Ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kedonganan melalui usaha bersama dengan
memanfaatkan palemahan desa di pesisir barat.
Sejak saat itulah, Pantai Kedonganan dikenal sebagai daerah wisata
kuliner. Menu kuliner yang ditawarkan yakni ikan bakar, lobster, udang, kerang,
kepiting, cumi, serta menu pendukung seperti sambal ala Kedonganan, plecing
kangkung, dan lainnya. Rasa dan aroma yang ditawarkan di cafe di kawasan
Pantai Kedonganan memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki daerah
lain. Pantai Kedonganan kini telah berubah menjadi objek wisata yang sangat
menarik. Pemandangan lautnya tak kalah menawan dengan objek wisata pantai
lainnya. Nama Kedonganan pun mulai disebut-sebut di dunia pariwisata.
44
Sejumlah situs internet menurunkan laporan mengenai suasana Pantai
Kedonganan sebagai alternatif objek wisata pantai maupun wisata kuliner di Bali.
Berbagai biro perjalanan pun mulai memasarkan Pantai Kedonganan.
5.3.3. Pengawasan dan Evaluasi
Pengawasan yang dilakukan Desa Adat Kedonganan berlandaskan awig-
awig yang berlaku di wilayah itu. Awig-awig merupakan suatu bentuk
kelembagaan lokal yang mengatur perilaku atau tata kelakuan masyarakat sesuai
nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Awig-awig dalam
pengaturam kehidupan masyarakat nelayan bertujuan mengatur perilaku nelayan
baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Awig-awig merupakan
sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan
ajaran agama Hindu Tri Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau
keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan
dan manusia dengan lingkungan. Ada tujuh aturan lokal atau larangan pada Awig-
awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Kedonganan, yaitu:
1. Larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan
bahan kimia berbahaya lainnya.
2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja.
3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi.
4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi.
5. Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat.
6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir.
7. Larangan melaut pada angin musim barat.
45
Tujuan dibentuknya awig-awig tersebut adalah untuk memberi pedoman
berperilaku pada nelayan dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam kegiatan
penangkapan ikan dan menjaga keutuhan masyarakat nelayan. Mereka
menjadikan awig-awig sebagai pedoman yang diterima bersama dan memberi
pegangan kepada nelayan sebagai suatu sistem pengawasan untuk menghindari
dampak negatif lingkungan dan memudarnya nilai-nilai budaya akibat kegiatan
yang mereka lakukan. Selain itu awig-awig mempunyai tujuan agar
keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang terkandung dalam ajaran Tri
Hita Karana tetap dipertahankan seiring dengan perkembangan jaman. Sebagai
wujud dari pengawasan sosial, maka diberlakukan pula sanksi untuk setiap
bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan satu wujud upaya
represif. Semua aturan atau larangan dalam awig-awig disosialisasikan sebagai
bentuk proses penanaman nilai-nilai dan aturan adat dalam lingkungan
masyarakat. Bentuk sosialisasi dilakukan melalui beberapa cara, antara lain
dilakukan secara lisan oleh tokoh masyarakat desa, tokoh pemerintah, ketua
nelayan, penduduk pribumi, dan juga sosialisasi melalui media tulis. Sosialisasi
biasa dilakukan ketika ada pertemuan kelompok nelayan atau sedang berkumpul
bersama. Sosialisasi ini biasanya dilakukan pada saat mendekati Hari Raya Nyepi
atau akan diadakan upacara kegamaan setempat. Agar pelaksanaan pengawasan
lebih optimal, pada tahun 2007 dibentuk sebuah organisasi yang akan
melaksanakan fungsi pengelolaan kepariwisataan di pantai Kedonganan.
Organisasi tersebut bernama Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai
Kedonganan (BP-KP2K) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama
Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan.
BP-KP2K bertugas sebagai pelaksana kebijakan tiga lembaga pembentuk terkait
penataan pantai Kedonganan, dan sebagai pengawas Kawasan Pantai
Kedonganan. Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-
KP2K) kini berubah nama menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir
Kedonganan (BPKP2K). Pembentukan BPKP2K sebagai lembaga pengelola
kepariwisataan di Kedonganan diharapkan mampu memastikan agar pariwisata
berbasis masyarakat mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan, dan
46
dapat memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan . Setelah
dibentuk badan pengelola (BPKP2K), kemudian dibentuk pula Panitia Pelaksana
Pembuatan perarem (Peraturan Desa Adat) tentang café di pantai Kedonganan.
Pembuatan perarem dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengelola café
dalam melaksanakan operasionalnya sehingga dapat beroperasi dalam iklim
usaha yang baik dan mampu mencegah persaingan yang tidak sehat. Peraturan
(perarem) mengatur beberapa hal penting, yaitu penggolongan warga (krama)
sebagai pemilik café, pembagian lokasi café masing-masing banjar, spesifikasi
bangunan dan kepemilikan bangunan café serta lahannya. Perarem juga mengatur
mengenai kompensasi yang harus dibayarkan oleh café kepada Desa Adat
Kedonganan dan jangka waktu pembayarannya, hak dan kewajiban lembaga
pengelola BPKP2K, serta beberapa keharusan dan larangan lainnya. Selain itu,
perarem juga mengatur mengenai prosedur penanganan pelanggaran, ketentuan
mengenai sanksi-sanksi, dan ketentuan mengenai masa berlakunya perarem. Agar
ada keteraturan, penegakan aturan-aturan dalam perarem termasuk pemberian
sanksi harus lebih dimaksimalkan. Hal itu memerlukan komitmen dan dukungan
dari BPKP2K, tiga lembaga utama dan seluruh stakeholder kepariwisataan di
pantai Kedonganan. Pembentukan perarem dilakukan dengan tujuan untuk
memastikan keberlanjutan kepariwisataan di pantai Kedonganan, melalui
seperangkat peraturan untuk mengatur pengelolaan café dan kawasan pantai
Kedonganan. Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya merupakan pariwisata yang
memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana dengan tetap mengupayakan
pelestariannya.
Setelah BPKP2K terbentuk, warga masyarakat tetap mengawasi
pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan.
Setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat (Kelihan Banjar) duduk sebagai
anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut setiap bulan
memperoleh laporan dari BPKP2K melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan
tersebut akan diteruskan kembali ke seluruh krama (warga) banjar pada saat
sangkep atau paruman (rapat) sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan
kepariwisataan pantai Kedonganan termasuk perkembangan café yang mereka
47
miliki.
5.3.4. Hubungan Pihak Pengelola Dengan Masyarakat
Atas keberhasilan usaha menata dan mengelola wilayah Kedonganan, pada
suatu kesempatan Kepala LPD Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra, S.H.,
M.M., menyatakan LPD bukan semata lembaga keuangan, tetapi juga lembaga
adat yang mengemban fungsi sosial, budaya dan spiritual. Karena itu, LPD tidak
bisa hanya berpikir menjalankan usaha secara ekonomis dengan target laba yang
tinggi, tetapi juga harus ikut memikirkan kelangsungan adat dan budaya Bali serta
agama Hindu di desa adat. Menurut Madra, kelangsungan adat dan budaya Bali
serta agama Hindu di desa adat menjadi kunci kelangsungan LPD.
Pembangunan kepariwisataan atau pengelolaan sumber daya laut harus
mampu berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan alam, sosial-
budaya dan ekonomi dimana ketiganya merupakan pilar-pilar keberlanjutan.
Pengelolaan berbasis masyarakat diimplementasikan dengan pendekatan bottom-
up, dimana hal ini sebenarnya mengedepankan peran serta masyarakat sebagai
prinsip utamanya. Peran serta tersebut terwujud dari tersedianya kesempatan bagi
masyarakat untuk terlibat penuh mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi, selanjutnya sebagai penikmat dari manfaat yang
ditimbulkan.
Perkembangan bisnis café di pantai Kedonganan sangat menjanjikan. Hal
tersebut dimungkinkan karena ramainya pantai Kedonganan dikunjungi oleh para
wisatawan, baik wisatawan lokal maupun manca negara. Tingginya tingkat
pengembalian investasi café di Pantai Kedonganan mampu meningkatan kondisi
keuangan Desa Adat Kedonganan sehingga mampu memberikan banyak manfaat
bagi warganya. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya
kemampuan Desa Adat Kedonganan sebagai lembaga adat untuk melaksanakan
berbagai aktivitas tanpa harus memungut biaya dari warga masyarakat. Mereka
mampu menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas bagi kesejahteraan warga
Desa Adat Kedonganan.
48
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), lembaga adat
melalui LPD berperan aktifmengadakan program dalam bidang pendidikan,
kesehatan serta social-budaya. LPD memberikan beasiswa berprestasi dan
beasiswa bagi anak yang kurang mampu. Selain itu LPD juga menyelenggaran
tabungan untuk pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan desa adat
Kedonganan yang diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan
melaksanakan kegiatan yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan di
kelurahan Kedonganan.
Selain pendidikan, kesehatan adalah bagian penting dari kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, aspek kesehatan diwujudkan melalui aneka kegiatan
olah raga dan kesehatan setiap pelaksanaan hari ulang tahun LPD. Desa adat
Kedonganan juga menjalin hubungan kerja sama dengan rumah sakit untuk
pemeriksaan dan pengobatan para warga masyarakat. Demikian pula banyak
kegiatan sosial-budaya lainnya yang dilaksanakan untuk kepentingan warga
masyarakat tanpa dikenakan biaya sedikitpun.
Kesejahteraan warga masyarakat makin meningkat. Oleh karena itu, tidak
heran bila sebelumnya banyak nelayan Kedonganan hanya di tingkat “kelas
buruh” saja, kini mereka sudah menjadi “kelas majikan”. Tidak jarang dari para
nelayan “kelas majikan” ini mempunyai lebih dari tiga perahu dengan beberapa
nelayan buruh yang menjadi bawahannya. Nelayan buruh ini terdiri dari para
nelayan pendatang yang umumnya berasal dari Jawa. Seperti dikemukakan oleh I
Made Dwi Wijaya, ST (Sekretaris BPKP2K ) ;
“Pendapatan rata-rata orang Kedonganan minimal berkisar 3-4 juta ada juga mencapai sampai 10 juta/bln. Pekerjaan yang di geluti tidak hanya satu bidang pekerjaan melainkan 2-3 pekerjaan sekaligus, jadi tidak salah orang Kedonganan saat ini bisa dikategorikan sangat mapan, yang dahulunya sebagai nelayan namun sekarang sudah menjadi bos nelayan. Karena banyak berdirinya cafe dan tempat usaha lainnya, dominan orang pribumi lebih sukses dibandingkan orang luar seperti orang Cina.”
49
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Pada awalnya, masyarakat nelayan desa adat Kedonganan dapat dikategorikan
sebagai masyarakat miskin, dalam arti belum bisa mengelola sumber daya laut
yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Hasil
perkembangan kepariwisataan pun belum dirasakan oleh masyarakat, karena
pengelolaannya belum tertata rapi. Namun sejak tahun 2007 desa adat
Kedonganan melalui para pemuka desanya menciptakan strategi baru dalam
menghadapi kemiskinan tersebut. Mereka merencanakan, melaksanakan, dan
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.
Diawali dengan pengelolaan pantai dengan kafe-kafe yang ada di pantai
Kedonganan. Pengelolaan kafe-kafe tersebut diserahkan kepada masyarakat
melalui banjar. Masyarakat dilibatkan sejak awal pendirian, pengelolaan dan
evaluasi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kedonganan. Terjadilah
peningkatan ekonomi, sosial-budaya yang signifikan. Pengelolaan pantai
Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,
karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar
manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.
6.2.Saran
Masyarakat Kedonganan diharapkan tetap menjaga keseimbangan hubungan
dengan lingkungan, baik alam, spiritual maupun antar manusia. Secara lahiriah,
yang harus lebih diperhatikan adalah kebersihan lingkungan, dan tersedianya
lahan parkir yang cukup luas. Karena bagaimana pun kini Kedongan menjadi
tujuan wisata pantai dan kuliner yang cukup populer.
Untuk meningkatkan keefektivitasan awig-awig atau perarem, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap beberapa peraturan yang ada sehingga dapat
50
dilakukan perbaikan. Evaluasi tersebut meliputi bentuk sosialisasi, sanksi-sanksi
yang diterapkan, para petugas yang memantau, kesadaran dan kondisi nelayan,
ketersediaan sarana dan prasarana serta kondisi wilayah. Aturan-aturan dan
sanksi-sanksi yang diterapkan harus tegas, dan jumlah petugas pemantau
ditingkatkan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
51
DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. (1989). Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Kusnadi. (2002). Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Kusnadi. (2007). Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS. Marzali, Amri. (2003). Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pradnyaswari, N.P.A. Amrita. (2011). Pemertahanan Identitas Etnik dalam Masyarakat Multikultural pada Masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan Kecamatan Denpasar Selatan. Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD. Pramono, Djoko. (2005). Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia. Rilus, A. Kinseng. (2014). Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Schoorl, J. (1980). Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia. Sanjaya, I Putu Kamasan. (2010). Kehidupan Masyarakat Nelayan Desa Pengambengan Jembrana Tahun 1900-1990. Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional , Vol.17 No.2, 277-292. Denpasar: BPSNT Bali Nusra. Sucipta, Abdi Md. (2012). Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik Wisata Kuliner Berbasis Masyarakat di Desa Kedonganan, Media Bina Ilmiah, Volume 6, no. 6, Desember 2012, 24-28. Sudiyono. (2014). Praktik Hak Ulayat Laut Pada Masyarakat Nelayan di Pulau Tidore Sebuah Potret Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan , Vol.9 No.2, 101-114. Jakarta:PPPK. Takwim, Bagus. (2003). Akar-Akar Ideologi : Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Vickers, Adrian. (2009). Peradaban Pesisir : Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan - Udayana University Press.
52
Widhianti, N.M.D. Safitri. (2005). Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di Kawasan Wisata Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali. Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD. kelurahankedonganan.blogspot.co.id, Profil Kelurahan Kedonganan www.lpdkedonganan.com, LPD Desa Adat Kedonganan
55
CATATAN HARIAN (LOGBOOK)
No Minggu Tanggal Kegiatan Catatan Kemajuan
1.
I
1 s.d. 7 Mei 2015
Merumuskan rancangan penelitian
Diperoleh rancangan rumusan penelitian berupa deskripsi kerja dan jadwal penelitian
2.
II
8 s.d. 14 Mei 2015
Pembagian tugas anggota tim peneliti
Diperoleh pembagian tugas sesuai dengan deskripsi dan jadwal kerja
3. III
15 s.d. 21 Mei 2015
Mencari data sekunder (buku, artikel, media cetak, jurnal, dll)
Diperoleh data sekunder dari bermacam sumber
4.
IV 22 s.d 31 Mei 2015 Pengolahan data sekunder
Membuat analisa deskriptif tahap I
(gambaran umum lokasi penelitian)
5. V 1 s.d 7 Juni
2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap I (di lingkungan pasar dan pantai Kedonganan)
Diperoleh data primer awal : wawancara dengan beberapa informan
6. VI 8 s.d 14 Juni
2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap II (di lingkungan pasar dan pemukiman penduduk)
Diperoleh data jenis, harga, dan pola distribusi hasil tangkapan laut
7.
VII 15 s.d 21 Juni 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap III (observasi kehidupan sehari-hari nelayan)
Diperoleh data kehidupan masyarakat nelayan sehari-hari dan bidang pekerjaan pendukung
8.
VIII
22 s.d. 30 Juni 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap IV (mencari informasi penataan cafe-cafe di Kedonganan)
Diperoleh data sistem penataan cafe
9.
IX
1 s.d 7 Juli 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap V (mencari informasi tentang pemberdayaan masyarakat nelayan, lokasi di Pura
Diperoleh data sistem pemberdayaan masyarakat nelayan
56
Segara dan LPD Kedonganan)
10.
X 8 s.d 14 Juli
2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap VI (mencari informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup)
Diperoleh informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup.
11.
XI 15 s.d 21 Juli 2015
Penyusunan draf laporan dan penggunaan dana 70%
Draf Laporan kemajuan penelitian dan penggunaan dana 70%
12.
XII 22 s.d 31 Juli
2015
Membuat laporan kemajuan penelitian 70% ke LPPM UNUD
Laporan kemajuan penelitian dana 70% terdokumentasikan di LPPM Unud
13.
XIII
1 s.d. 7 Agustus 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap VII (mencari informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup)
Diperoleh informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup.
(lanjutan)
14.
XIV
8 s.d. 14 Agustus 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap VIII (mencari informasi perencanaan penataan pantai)
Diperoleh informasi perencanaan penataan pantai
15.
XV
15 s.d. 21 Agustus 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap IX (mencari informasi langkah-langlah pelaksanaan program)
Diperoleh informasi langkah-langlah pelaksanaan program
16.
XVI 22 s.d 31
Agustus 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap X (mencari informasi langkah-langlah pelaksanaan program)
Diperoleh informasi langkah-langlah pelaksanaan program
(lanjutan)
17.
XVII 1 s.d 7
September 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap XI (mencari informasi sistem pengawasan dan evaluasi)
Diperoleh informasi sistem pengawasan dan evaluasi
18. XVIII
8 s.d 14 September
2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap XII (mencari informasi sistem
Diperoleh informasi sistem pengawasan dan evaluasi
57
pengawasan dan evaluasi) (lanjutan)
19.
XIX 15 s.d 21
September 2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap XIII (mencari informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat)
Diperoleh informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat
20.
XX
22 s.d. 30 September
2015
Observasi lapangan dan wawancara tahap XIV (mencari informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat)
Diperoleh informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat
(lanjutan)
21. XXI
1 s.d 7 Oktober 2015
Verifikasi dan klarifikasi data hasil penelitian
Diperoleh perbaikan data penelitian
22. XXII 8 s.d 14
Oktober 2015 Diskusi dan penyusunan draf laporan penelitian
Diperoleh draf laporan penelitian
23. XXIII 15 s.d 21
Oktober 2015 Penyusunan draf laporan dan penggunaan dana 100%
Draf laporan penelitian dan penggunaan dana 100%
24.
XXIV 22 s.d 30 Oktober 2015
Membuat laporan penelitian 100% ke LPPM UNUD
Laporan penelitian 100% terdokumentasikan di LPPM Unud
58
LAMPIRAN
Lampiran 2 : Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian Judul Penelitian : Strategi Nelayan Kedonganan Menghadapi
Kemiskinan
Peneliti/Pelaksana Nama : Dr. Purwadi, M.Hum Perguruan Tinggi : Universitas Udayana NIDN : 0029115305 Nama Anggota 1 : Drs. I Ketut Kaler, M.Hum Nama Anggota 2 : - Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana1 tahun Dana Tahun Berjalan : Rp 25.000.000,00 Dana mulai diterima tanggal
: 23 Juni 2015
TAHAP I 1. Honor Honor Honor/jam
(Rp) Waktu
(jam/minggu) Minggu Honor per 12 minggu (Rp)
Ketua 9.000,- 16 12 1.728.000,- Anggota 1 8.300,- 16 12 1.593.600,- Sub Total (Rp) 3.321.600,- 2. Bahan Habis Pakai Material Justifikasi
pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp) Harga per 12 minggu (Rp)
a. Kertas A4 4 rim 4 40.000,- 160.000,- b. Ballpoint 2 lusin 2 36.000,- 72.000,- c. Blocnote 12 buah 12 5.000,- 60.000,- d. Tinta Printer 2 set 2 120.000,- 240.000,- Sub Total (Rp) 532.000,- 3. Perjalanan Material Justifikasi
pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)
a. Pemilihan informan
1 unit mobil x 3 hari
3 300.000,- 900.000,-
b. Observasi dan wawancara
1 unit mobil x 9 hari
9 300.000,- 2.700.000,-
c. Bahan bakar 1 unit mobil x 12 hari
12 hari 100.000,- 1.200.000,-
Sub Total (Rp) 4.800.000,-
59
4. Lain-lain Material Justifikasi
pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)
a. Pengolahan data
2 OH x 21 hari 42 50.000,- 2.100.000,-
b. Penulisan laporan
2 OH x 5 hari 10 35.000,- 350.000,-
c. Penggandaan dan penjilidan
10 eksemplar 10 20.000,- 200.000,-
d. Rapat dan diskusi
8 OH x 1 hari 8 100.000,- 800.000,-
e. Retribusi 2 OH x 24 hari 48 7.000,- 336.000,- f. Konsumsi 2 OH x 2 x 24
hari 96 20.000,- 1.920.000,-
Sub Total (Rp) 5.706.000,-
TOTAL ANGGARAN YANG DIKELUARKAN TAHAP I : Rp. 14.359.600,-
60
TAHAP II 1. Honor Honor Honor/jam
(Rp) Waktu
(jam/minggu) Minggu Honor per 12 minggu (Rp)
Ketua 9.000,- 16 12 1.728.000,- Anggota 1 8.300,- 16 12 1.593.600,- Sub Total (Rp) 3.321.600,- 2. Bahan Habis Pakai Material Justifikasi
pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp) Harga per 12 minggu (Rp)
a. Kertas A4 4 rim 4 40.000,- 160.000,- b. Ballpoint 2 lusin 2 36.000,- 72.000,- c. Blocnote 12 buah 12 5.000,- 60.000,- d. Tinta Printer 2 set 2 120.000,- 240.000,- Sub Total (Rp) 532.000,- 3. Perjalanan Material Justifikasi
pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)
a. Observasi dan wawancara
1 unit mobil x 4 hari
4 300.000,- 1.200.000,-
b. Bahan bakar 1 unit mobil x 4 hari
4 hari 100.000,- 400.000,-
Sub Total (Rp) 1.600.000,-