62
0 Bidang Unggulan : Pengentasan Kemiskinan Kode/Bidang Ilmu : 623/ Antropologi LAPORAN PENELITIAN Hibah Unggulan Program Studi STRATEGI NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI KEMISKINAN Tim Peneliti : 1. Dr. Purwadi, M.Hum. (NIDN. 0029115305) 2. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum. (NIDN. 0031125867) Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 011/UN14.1.1/PNL.01.03.00/2015, tanggal 25 Mei 2015 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

STRATEGI NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI … filerakhmat-Nya pelaksanaan dan penyusunan laporan kegiatan penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu, kami juga

Embed Size (px)

Citation preview

0

Bidang Unggulan : Pengentasan Kemiskinan Kode/Bidang Ilmu : 623/ Antropologi

LAPORAN PENELITIAN Hibah Unggulan Program Studi

STRATEGI NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI

KEMISKINAN

Tim Peneliti :

1. Dr. Purwadi, M.Hum. (NIDN. 0029115305) 2. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum. (NIDN. 0031125867)

Dibiayai oleh

DIPA PNBP Universitas Udayana

sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 011/UN14.1.1/PNL.01.03.00/2015, tanggal 25 Mei 2015

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2015

1

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rakhmat-Nya pelaksanaan dan penyusunan laporan kegiatan penelitian ini dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu, kami juga mendapat bantuan dari

berbagai pihak dalam menjalankan kegiatan ini. Oleh karena itu, melalui kesempatan

ini kami ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan dana

untuk pelaksanaan kegiatan ini.

2. Bapak Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas

Udayana beserta staf yang telah memberikan bantuan administrasi, sehingga

kegiatan ini dapat dilaksanakan.

3. Dekan Fakultas sastra dan Budaya Universitas Udayana yang telah memberikan

peluang kepada kami untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini.

4. Bapak Kepala Desa Kedonganan dan jajarannya yang telah menerima dan

memberikan dukungan kepada tim penelitian ini.

5. Pimpinan LPD, Bendesa Adat Kedonganan, BPKP2K yang telah memberikan

kesempatan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

Mudah-mudahan hasil kegiatan ini bermanfaat sesuai dengan harapan semua pihak

terkait.

Denpasar, 30 Oktober 2015

Ketua Pelaksana Kegiatan

Dr. Purwadi, M.Hum.

3

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI RINGKASAN BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...............................................................................................5 1.2. Tujuan Khusus...............................................................................................6 1.3. Urgensi Penelitian dan Potensi Hasil.............................................................6 1.4. Tinjauan Pustaka............................................................................................7 BAB II : METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Penelitian.........................................................................................12 2.2. Penentuan Informan.....................................................................................12 2.3. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................13 2.4. Teknik Analisis Data...................................................................................13 BAB III : GAMBARAN UMUM KELURAHAN KEDONGANAN 3.1. Lokasi dan Lingkungan Alam.....................................................................14 3.2. Demografi....................................................................................................14 3.3. Sistem Mata Pencaharian Hidup..................................................................16 3.4. Potensi Pariwisata........................................................................................16 BAB IV : KEHIDUPAN NELAYAN KEDONGANAN 4.1. Nelayan Kedonganan...................................................................................19 4.2. Hidup Keseharian........................................................................................27 4.3. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil...............................................................30 4.4. Perkembangan Kelompok Nelayan.............................................................33 BAB V : STRATEGI MENGHADAPI KEMISKINAN 5.1. Orientasi Nilai Budaya................................................................................36 5.2. Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan............................................ 37 5.3. Peran Lembaga Adat...................................................................................40 BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan..................................................................................................49 6.2. Saran............................................................................................................49 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................51 LAMPIRAN Lampiran 1 : Catatan Harian (logbook).............................................................55 Lampiran 2 : Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian...................................58

4

RINGKASAN

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah ”terwujudnya pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat”. Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu strategi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat. Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan. Adapun fokus penelitian adalah sebagai berikut;

1. Program kerja, pelaksanaan program kerja, pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.

2. Langkah-langkah yang ditempuh pihak pengelola sumber daya laut dalam menghadapi kemiskinan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.

3. Hubungan pihak pengelola sumber daya laut dengan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan pada masa kini. Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dan target

tersebut di atas adalah metode kualitatif, berparadigma fenomenologis dan interpretatif. Langkah-langkah yang ditempuh dalam konteks ini adalah sebagai berikut;

1. Mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara mendalam.

2. Bersamaan dengan pengumpulan data, dilakukan analisis data secara interpretatif dengan pendekatan fenomenologis untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pemikiran, keyakinan yang ada di balik aktivitas pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan. Hal tersebut akan dipahami secara lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan interpretatif.

3. Hasil interpretasi digunakan untuk membuat hipotesis kerja yang kemudian digunakan untuk menggali informasi secara lebih mendalam hingga diperoleh informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penelitian.

4. Berdasarkan hasil penelitian dirumuskan simpulan akhir, selanjutnya simpulan digunakan untuk menyusun model strategi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat.

Kata Kunci : Strategi, Nelayan, Kemiskinan.

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat

nelayan Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan. Hal tersebut diketahui

berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa walaupun para

nelayan Kedonganan telah merasakan proses modernisasi bidang perikanan, namun

setiap nelayan hanya mampu menangkap ikan maksimal hanya 4,8 kg/hari saja (Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung). Kenyataan tersebut membuat

perekonomian nelayan memprihatinkan. Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto dkk.

(dalam Kinseng, 2014:38) bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin

daripada keluarga petani atau pengrajin. Para nelayan kecil dan buruh nelayan

memang berada pada posisi yang lemah dan marginal (Kinseng, 2014:39). Sucipta

(2012) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1995 Kedonganan mulai terjamah

perkembangan kepariwisataan dan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner. Sebagai

pengaruh dari keberhasilan pendirian kafe-kafe di pantai Jimbaran, masyarakat

Kedonganan pun turut mendirikan kafe-kafe pula. Namun perkembangan di Kedonganan

tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya,

dan lingkungan. Permasalahan ini sangat urgen, karena bila tidak terselesaikan bisa

berlanjut dengan situasi yang lebih parah dan akan mencoreng citra objek wisata

Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali. Lebih jauh permasalahan ini bisa pula

mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan yang mengunjungi objek wisata tersebut

diiringi penurunan jumlah masukan finansial, baik bagi pengelola objek wisata tersebut,

pemerintah daerah, dan terlebih pada masyarakat yang bersangkutan.

Kemudian sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan didukung oleh Pemkab Badung

mulai menata pantai Kedonganan dengan memaksimalkan semua potensi desa termasuk

penataan kafe-kafe. Pengelolaan kafe diberikan kepada masing-masing Banjar di wilayah

Kedonganan. Dengan berjalannya waktu, kini pantai Kedonganan berubah menjadi tujuan

wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran Desa Adat

Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan awal dengan tujuan

meningkatkan perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan

pengelolaan yang berkelanjutan.

6

Peraturan Daerah Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 menyatakan bahwa

pariwisata Bali berlandaskan kebudayaan Bali yang dijiwai falsafah Tri Hita Karana,

yang mengidealkan keharmonisan sosial (pawongan). Oleh karena itu, penelitian ini

selain mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif masyarakat nelayan pendukung

budaya tersebut, juga mengkaji bagaimana masyarakat Kedonganan menciptakan

strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan hidup mereka, yaitu kemiskinan,

agar diperoleh pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun strategi dalam

memecahkan masalah yang menunjukkan adanya ketidakharmonisan sosial.

1.2 Tujuan Khusus

Bertolak dari latar belakang di atas, penelitian ini mempunyai tujuan khusus,

yaitu untuk mengetahui dan memahami beberapa hal guna dapat merumuskan strategi

pengelolaan sumber daya laut di Kedonganan berbasis masyarakat. Adapun hal-hal

yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Program kerja, pelaksanaan program kerja, pengawasan dan evaluasi yang

berkaitan dengan strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat

nelayan Kelurahan Kedonganan.

2. Langkah-langkah yang ditempuh pihak pengelola sumber daya laut dalam

menghadapi kemiskinan masyarakat nelayan Kelurahan Kedonganan.

3. Hubungan pihak pengelola sumber daya laut dengan masyarakat nelayan

Kelurahan Kedonganan pada masa kini.

1.3 Urgensi Penelitian dan Potensi Hasil yang bisa didapat

Berdasarkan tujuan khusus di atas, penelitian ini sangat urgen karena hasil

penelitian ini yang berupa pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai hal yang

hendak diketahui dan dipahami itu diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun

praktis.

1.3.1 Manfaat Teoretis

1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang program kerja, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut

di Kedonganan.

7

2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pandangan pihak pengelola

sumber daya laut terhadap program kerja, pelaksanaan, pengawasan dan

evaluasi.

3. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pandangan masyarakat

nelayan Kelurahan Kedonganan terhadap program kerja, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut

di Kedonganan.

4. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang strategi masyarakat nelayan

Kelurahan Kedonganan menghadapi kemiskinan.

1.3.2 Manfaat Praktis

1. Merumuskan strategi pengelolaan sumber daya laut yang memungkinkan untuk

pengembangan atau modernisasi perikanan lebih lanjut, dan menghindarkan

terjadinya pemiskinan.

2. Menambah materi mata kuliah Antropologi Maritim yang akan diselenggarakan

Program Studi Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.

3. Menambah publikasi ilmiah pada jurnal terakreditasi.

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Terkait dengan tujuan penelitian, ada beberapa hasil penelitian yang relevan

untuk ditelaah dan diacu dalam penelitian ini. Antara lain, penelitian Widhianti (2005),

Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di Kawasan Wisata Kedonganan,

Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali. Penelitian Widhianti

mengungkapkan gambaran tentang peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang

mempengaruhi daya saing nelayan di Kedonganan. Hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk menggali informasi lebih dalam yang

berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Widhianti mengungkapkan bahwa meskipun

Kedonganan terletak di kawasan wisata, namun hal itu bukan jaminan bagi para

nelayan meningkatkan kualitas hidupnya. Berbagai kesulitan hidup ditemui, namun hal

itu pun tidak menjadi halangan untuk tetap hidup sebagai nelayan. Resiko dihadapi

dengan besar hati karena bagi mereka hidup adalah anugerah. Orientasi nilai semacam

itu bisa dilihat sebagai suatu strategi menghadapi permasalahan hidup.

8

Strategi senada dapat pula ditemui pada penelitian Pradnyaswari (2011) tentang

Pemertahanan Identitas Etnik dalam Masyarakat Multikultural pada Masyarakat

Kampung Bugis di Pulau Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, yang

mengungkapkan bagaimana masyarakat Bugis yang berprofesi sebagai nelayan di

Serangan beradaptasi di lingkungan yang mengalami perubahan sejak adanya proyek

reklamasi. Hal ini penting juga untuk dicermati karena memperlihatkan bagaimana

suatu masyarakat dengan menggunakan kebudayaannya menginterpretasi dan

mengadaptasi lingkungannya. Dalam hal ini kebudayaan digunakan sebagai strategi

menghadapi hari depan.

Berkaitan dengan strategi masyarakat tertentu menghadapi permasalahan

mereka dikemukakan oleh Marzali (2003) dalam Strategi Peisan Cikalong dalam

Menghadapi Kemiskinan. Marzali mengasumsikan bahwa gejala kemiskinan Jawa

bermula dari faktor tekanan penduduk yang tidak terimbangi oleh perkembangan

teknologi pertanian dan kemajuan institusi ekonomi pedesaan.

Selain itu, Kusnadi (2002) dalam Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan

Perebutan Sumber Daya Perikanan, mengungkapkan bahwa kemiskinan,

keterbelakangan masyarakat nelayan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan

dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke daratan.

Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan untuk

meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai tidak memuaskan.

Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi

yang berkepanjangan.

Penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam semakin sering menjadi isu

utama dalam konflik sosial. Dalam buku Konflik Nelayan, Kinseng (2014)

mengemukakan bahwa konflik sosial di kalangan nelayan di Indonesia selama ini

sering bersifat destruktif dan brutal, sehingga telah menelan korban harta benda bahkan

nyawa para nelayan yang tidak sedikit. Namun di sisi lain, Sucipta (2012) dalam tulisan

Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik Wisata Kuliner Berbasis

Masyarakat di Desa Kedonganan, mengungkapkan bahwa sebenarnya

ketidakharmonisan bisa diatasi bila masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam

penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini sumber daya kelautan atau pantai. Sucipta

mengungkapkan bahwa pengelolaan pantai Kedonganan benar-benar melibatkan masyarakat,

sehingga masyarakat mendapat manfaat maksimal dalam ekonomi, sosial budaya. Begitu juga

berkaitan dengan kepariwisataan, wisatawan merasa aman dan mendapat pelayanan yang

9

maksimal, sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat, yaitu dari masyarakat untuk

masyarakat pasti dapat terwujud dalam pariwisata berkelanjutan itu. Karenanya untuk

mencapai keharmonisan bersama, yaitu keharmonisan antara masyarakat, lingkungan dan

hubungan baik dengan wisatawan, pengelolaan sumber daya tersebut didasari juga dengan

filosofi Tri Hita Karana. Hasil penelitian Kusnadi, Kinseng maupun Sucipta tersebut

dapat memberikan wawasan atau pemahaman tersendiri yang bermanfaat dalam

pelaksanaan penelitian ini.

1.4.2. Pemahaman tentang Manajemen

Pengelolaan sumber daya laut identik dengan menyoroti manajemen sumber

daya laut itu sendiri. Istilah manajemen diartikan sebagai penggunaan sumber daya

secara efektif untuk mencapai sasaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:870).

Manajemen dalam arti tersebut terdiri atas empat bagian, yaitu (1) perencanaan, (2)

pelaksanaan, (3) pengawasan, dan (4) evaluasi.

1.4.3. Perencanaan

Mengacu Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa perencanaan pembangunan adalah suatu

proses untuk menentukan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan

memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sejalan dengan itu, Dror (dalam

Schoorl,1980:294), mendefinisikan perencanaan sebagai proses dalam penyiapan

seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk

mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal, yaitu kondisi

kehidupan yang lebih baik daripada yang ada sebelumnya. Hal tersebut berkaitan

dengan bidang sosial ekonomis dan sosial budaya. Pada konteks ini, orientasi pada

keuntungan (profit oriented) merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bisa dikatakan

tidak hanya mencakup keuntungan ekonomis saja, melainkan bisa pula mencakup

keuntungan sosial budaya (Koentjaraningrat, 1989). Orientasi tersebut sangat penting

dan relevan dalam rangka pengembangan dan penguatan kreativitas dalam berbagai

bidang. Dikatakan penting dan relevan karena setiap manusia yang bersifat rasional

akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan suatu kegiatan yang menjanjikan

keuntungan bagi dirinya sendiri. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat diduga bahwa

program kerja dalam pengelolaan sumber daya laut di Kedonganan berorientasi pada

keuntungan ekonomis dan keuntungan sosial-budaya.

10

1.4.4. Pelaksanaan

Pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan dapat dilihat sebagai perbuatan atau

tindakan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu oleh pihak yang bersangkutan.

Diantaranya ada yang dilakukan secara kolektif oleh orang-orang yang memiliki

kedudukan yang berbeda dalam unit kerja yang bersangkutan. Keragaman kedudukan

atau status itu bisa menunjukkan hubungan horizontal sehingga kedudukannya sama,

misalnya sama-sama sebagai anggota panitia; dan ada pula yang mencerminkan

hubungan vertikal, sehingga kedudukannya itu mencerminkan hubungan yang bersifat

hierarkis, dan kedudukannya ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Hubungan

horisontal dan vertikal itu selalu bernuansa kekuasaan, karena seperti dikemukakan

oleh Takwin (2003), hubungan kuasa tidak hanya terjadi dalam hubungan antara negara

dan rakyat, majikan dan buruh dan lain-lain, melainkan terjadi di mana saja dan kapan

saja.

Hubungan kuasa senantiasa ditandai dengan ideologi dan wacana. Artinya, ada

gagasan atau ide yang dijadikan acuan dalam melaksanakan suatu kegiatan. Agar

ideologi itu dapat diacu maka dilakukan wacana oleh para pihak yang bersangkutan.

Melalui wacana bisa terjadi hegemoni, dominasi, dan bahkan kekerasan yang dilakukan

oleh satu pihak oleh pihak yang lain yang pada umumnya dilakukan oleh pihak yang

berkuasa kepada pihak yang dikuasainya.

Mengingat perencanaan kegiatan bisa diorientasikan pada keuntungan sosial

ekonomi dan sosial budaya, maka hal itu bisa saja tercermin dalam pelaksanaannya.

Bila orientasi pada keuntungan ekonomi bersifat dominan, maka pelaksanaannya akan

lebih mengutamakan efisiensi. Sedangkan bila orientasi pada keuntungan sosial budaya

yang lebih dominan, maka proses pelaksanaannya bisa mencerminkan berbagai prinsip

pengutamaan, antara lain pengutamaan kualitas kinerja dan citra.

1.4.5. Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan dan evaluasi atau bisa dilakukan terhadap perencanaan dan

pelaksanaan dalam manajemen. Mengingat dalam perencanaan dan pelaksanaan

tersebut ada pihak perencana dan pelaksananya, maka pengawasan dan evaluasi

tersebut juga tertuju pada pihak perencana dan pelaksananya. Ini berarti ada pengawas

dan evaluator, begitu juga ada pihak yang diawasi dan dievaluasi.

11

Sebagaimana halnya dalam proses pelaksanaan di atas, proses pengawasan dan

evaluasi pun bisa bernuansa adanya hubungan kuasa, sehingga dalam prosesnya tidak

tertutup kemungkinan ada unsur ideologi, wacana, hegemoni, dominasi, bahkan juga

negosiasi. Selain itu, di dalam proses tersebut kemungkinan ada pula idealisme dan

motivasi untuk mencari berbagai bentuk keuntungan sosial-ekonomis.

12

BAB II

METODE PENELITIAN

Metode yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif. Penerapan metode ini diwujudkan dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut.

1) Mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara mendalam.

2) Bersamaan dengan pengumpulan data tersebut dilakukan analisis data secara

interpretatif dengan pendekatan fenomenologis. Hal tersebut dilakukan untuk

memperoleh pengetahuan tentang gagasan, pikiran, keyakinan yang ada di balik

aktivitas pengelolaan sumber daya laut masyarakat nelayan Kelurahan

Kedonganan. Hasil interpretasi digunakan untuk membuat hipotesis kerja yang

kemudian dipakai untuk menggali informasi secara lebih mendalam hingga

diperoleh informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penelitian.

3) Berdasarkan hasil penelitian dirumuskan simpulan akhir dan selanjutnya

digunakan untuk menyusun model strategi pengelolaan sumber daya laut

berbasis mesyarakat setempat.

2.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan,

Kabupaten Badung. Lokasi ini dipilih karena di lokasi tersebut merupakan pusat

kegiatan kenelayanan berada.

2.2. Penentuan Informan

Informan yang dipilih sebagai narasumber atau pemberi informasi dalam

penelitian ini meliputi orang-orang dari warga masyarakat nelayan Kelurahan

Kedonganan, baik para pemimpin maupun anggotanya yang mempunyai pengetahuan

tentang kehidupan nelayan tersebut serta mempunyai pengetahuan tentang strategi apa

saja yang dilakukan dalam menghadapi berbagai masalah hidup kenelayanan.

Pemilihan informan akan dilakukan dengan teknik purposif, yaitu para tokoh

desa yang memiliki informasi yang dibutuhkan sebagai informan pangkal. Selanjutnya

dilakukan teknik snowball, dalam arti dari informan pangkal digali identitas informan

lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Jumlah informan ditentukan sesuai dengan

kecukupan perolehan data.

13

2.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi. Jenis wawancara

mendalam dan wawancara pengalaman individu yang disebut metode individual life

history (Koentjaraningrat, 1989:158). Sedangkan fenomena yang diobservasi adalah

situasi sosial atau hidup keseharian dalam menghadapi kemiskinan di sekitar kehidupan

masyarakat nelayan di Desa Kedonganan.

2.4. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis interpretatif, baik secara emik maupun

secara etik. Setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis

untuk membentuk hipotesis-hipotesis yang kemudian digunakan untuk membuat

pertanyaan yang akan diajukan berikutnya. Proses analisis semacam itu pada dasarnya

dapat dilihat tahap demi tahap yang meliputi kegiatan mereduksi data, menyajikan data,

menafsirkan data, dan menarik simpulan.

Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yaitu penyeleksian, pemfokusan,

simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk

situasi atau kondisi yang memiliki makna subyektif, kutipan wawancara yang memiliki

makna subyektif, dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan

penyusunan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan,

konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau

verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subyektif, temuan konsep,

dan proses universal. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan kesimpulan

dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung

secara stimultan hingga mendapatkan hasil penelitian akhir.

14

BAB III

GAMBARAN UMUM KELURAHAN KEDONGANAN

3.1. Lokasi dan Lingkungan Alam

Kelurahan Kedonganan terletak di sebelah selatan kota Denpasar yang

berjarak -/+ 20 km, dan berjarak 5 km dari Kuta. Kelurahan ini berada di wilayah

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan merupakan wilayah (palemahan) Desa

Adat Kedonganan. Adapun batas-batas Kelurahan Kedonganan sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kelurahan Tuban

Sebelah Se latan : Kelurahan Jimbaran

Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Sebelah Timur : Selat Badung

Luas wilayah Kelurahan Kedonganan 191 ha, yang dimanfaatkan sebagian besar

untuk pemukiman dan pekarangan. Sebagian lainnya merupakan hutan, pekuburan dan

fasilitas umum. Seacara topografis, Kelurahan Kedonganan merupakan daerah dataran

rendah dengan tanah berbukit kapur di sebelah selatan. Daerah ini terletak pada

ketinggian 31 m di atas permukaan laut dengan karakteristik wilayah pesisir dan jenis

tanah berpasir. Keadaan musim di wilayah Kelurahan Kedongan seperti halnya

wilayah tropis lainnya di Indonesia. Curah hujan rata-rata 1700 mm/tahun, dengan

suhu udara berkisar antara 23°-34°. Wilayah ini dengan kondisi tanah yang kurang subur

untuk pertanian, maka wilayah Kedonganan hanya dapat ditanami dengan tanaman yang

bisa tumbuh di tempat bersuhu panas, misalnya kedelai, pandan, dan umbi-umbian.

Tanaman lainnya sebatas tanaman untuk pakan ternak, pisang dan kelapa.

Jenis fauna yang diternakkan antara lain; sapi, babi, ayam, dan bebek.

Pemeliharaan ternak dilakukan hampir di setiap rumah tangga atau keluarga dengan jumlah

yang bervariasi. Hasil ternak tersebut selain untuk memenuhi konsumsi sendiri, ada pula

yang dijual. Jenis binatang lain yang banyak dijumpai ialah anjing dan kucing.

3.2. Demografi

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Kedonganan, jumlah

seluruh penduduk Kelurahan Kedonganan pada tahun 2014 adalah 5.809 orang, yang

15

terdiri dari laki - laki 3.128 orang, dan perempuan 2.681 orang dari 1.257 KK (kepala

keluarga), dengan kepadatan penduduk 2.952/km2. Adapun jumlah sebaran

KK dan penduduk di setiap banjar di Kelurahan Kedonganan dapat dilihat

pada tabel berikut :

TABEL 1

Sebaran Penduduk Kelurahan Kedonganan

NO. BANJAR Kepala Keluarga

Jumlah Penduduk

1. Kubu Alit 147 727

2. Ketapang 258 1.113

3. Anyar Gede 184 945

4. Kerthayasa 156 698

5. Pasek 257 1.016

6. Pengenderan 255 1.310

JUMLAH 1.257 5.809

Sumber : Profil Kelurahan Kedonganan tahun 2014.

Selain masyarakat “asli” Kedonganan, banyak pula warga masyarakat

yang berasal dari wilayah Bali lainnya. Hal itu disebabkan banyak orang

Kedonganan yang menikah dengan orang Bali dari wilayah lain, misalnya dari

Tabanan, Singaraja, Gianyar dan lainnya. Terlepas dari perbedaan wilayah asal,

secara keseluruhan penduduk Kedonganan dapat diidentifikasikan sebagai orang

Bali. Sedangkan penduduk pendatang dari etnis lainnya adalah Jawa, Madura, dan

Cina.

Fasilitas pendidikan di Kelurahan Kedonganan dapat dijumpai di pusat

kelurahan. Fasilitas pendidikan itu mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan

juga di tingkat kelurahan. Kelurahan Kedonganan hingga kini sudah memiliki 5

bangunan gedung sekolah, yaitu untuk jenjang pendidikan TK dan SD.

Sedangkan untuk jenjang pendidikan lebih tinggi, seperti SMP, SMU atau SMK

terletak di kelurahan lain yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kedonganan.

Warga masyarakat yang berkeinginan untuk melanjutkan sekolah relatif

sedikit. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bagi sebagian masyarakat

16

lainnya yang berkeinginan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, karena

Kedonganan tak terlalu jauh letaknya dengan Universitas Udayana. Hal tersebut

diharapkan dapat memacu pola pikir masyarakat agar dapat menerima arti

pentingnya pendid ikan dalam kehidupan mereka.

3.3. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Masyarakat Kedonganan merupakan masyarakat yang heterogen dengan

sistem mata pencaharian yang beraneka ragam pula. Mata pencaharian utama di

Kelurahan Kedonganan adalah sebagai nelayan. Selain itu banyak pula bekerja

dalam bidang perdagangan sebagai pengusaha kecil dan menengah, industri dan

swasta. Hal itu disebabkan oleh semakin berkembangnya sektor pariwisata di

Kedonganan, sehingga sarana dan prasarana yang mendukungnya dibutuhkan juga.

Walaupun sebagian pekerjaan yang sudah disebutkan merupakan pekerjaan pokok,

tapi tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat Kedonganan untuk memiliki

pekerjaan atau penghasilan tambahan atau sampingan seperti menyewakan

rumah, menyewakan kamar, menjadi pengrajin, atau pekerjaan lainnya.

3.4. Potensi Pariwisata

Pariwisata menjadi salah satu sektor andalan Indonesia untuk meningkatkan

devisa negara karena Indonesia mempunyai banyak potensi alam dan potensi manusia

yang merupakan modal dasar penunjang kepariwisataan. Oleh karena itu, pariwisata

adalah sektor yang mampu menggalakkan ekonomi dan sektor-sektor terkait, yaitu

sektor lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, pendapatan negara

serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan

berbagai potensi kepariwisataan nasional (Geriya, 1995:43).

Wilayah Kedonganan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta yang merupakan

pusat dari pariwisata Bali. Kedonganan merupakan daerah pantai yang potensial

sebagai peningkatan hidup masyarakat setempat. Dalam rencana induk pariwisata Bali

tahun 1990, wilayah Kedonganan telah ditetapkan sebagai wilayah wisata (tourist

resort). Sebelum berkembangnya kepariwisataan, pantai Kedonganan merupakan

pantai nelayan yang kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas nelayan.

Kehidupan masyarakat Kedonganan pada awalnya selain sebagai nelayan, mereka

bertani lahan kering atau tegalan karena daerah ini tanahnya kurang subur untuk

17

pertanian sawah.

Perkembangan kepariwisataan di Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari

perkembangan kepariwisataan di daerah Jimbaran. Beroperasinya Hotel Four

Seasons Jimbaran Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat

Jimbaran untuk ikut merasakan dampak positif pariwisata. Dengan banyaknya

wisatawan yang datang ke pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mulai

mendirikan warung-warung ikan bakar bagi wisatawan yang ingin menikmati

makanan tradisional khas nelayan sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.

Warung-warung tersebut ramai didatangi tamu, sehingga ada sembilan warung ikan

bakar yang beroperasi di pantai Jimbaran. Kesuksesan warung-warung ikan bakar di

Jimbaran mendorong beberapa warga Kedonganan ikut mendirikan warung ikan

bakar pula. Warung-warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi café

seperti sekarang, dimana keberadaannya mengakibatkan pantai Kedonganan dan

Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner. Pada awalnya, hanya

ada lima café saja. Kemudian kesuksesan lima cafe tersebut mendorong semakin

banyak warga Kedonganan yang ikut-kutan mendirikan café dan meninggalkan

profesi sebagai nelayan yang sebelumnya mereka jalani. Suatu bentuk pekerjaan baru

yang lebih menjanjikan.

Faktor lain yang mendorong berdirinya café di sepanjang pantai

Kedonganan adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok nelayan

Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu. Pemindahan Tempat Pelelangan Ikan

(TPI) ke Jembrana mengakibatkan nelayan Kedonganan harus mengalokasikan biaya

dan waktu yang lebih banyak untuk membawa hasil tangkapan ke Jembrana. Selain

itu adanya keluhan dari otoritas Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap

pencemaran bau di sekitar perairan pantai Kedonganan dan limbah ikan yang

dibuang oleh nelayan Kedonganan di tengah laut. Fakor-faktor tersebut menyebabkan

nelayan Kedonganan beranggapan bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan

sehingga mereka mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang menjanjikan pada

waktu itu adalah beralih profesi menjadi pengusaha café.

Pada awal perkembangan, pendirian café di pantai Kedonganan tanpa

koordinasi. Warga yang ingin mendirikan café dating ke pantai untuk mengkapling

area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Ketika lahan pantai Kedonganan

sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan café tetap memaksakan diri di area

18

yang sempit, yang mengakibatkan garis pantai Kedonganan didominasi oleh

bangunan café tanpa perencanaan yang baik sehingga lingkungan Pantai

Kedonganan menjadi tidak rapih dan terlihat kumuh. Di samping itu banyaknya

jumlah café yang ada menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain berupa

pencemaran sampah dan pencemaran bau yang bersumber dari limbah café yang

dibuang langsung ke pantai ataupun ke laut sebagai akibat tidak adanya sistem

pengolahan limbah. Hal tersebut tentunya berdampak tidak baik untuk perkembangan

kepariwisataan, khususnya di Kedonganan. Untuk menatanya dibutuhkan suatu

perencanaan dan pengelolaan yang didukung dan disetujui oleh seluruh warga

masyarakat. Suatu penataan yang dilaksanakan dengan konsep berbasis masyarakat.

19

BAB IV

KEHIDUPAN NELAYAN KEDONGANAN

4.1. Nelayan Kedonganan

4.1.1. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Kedonganan terjadi melalui

perkawinan. Prinsip keturunan dan pewarisan mengikuti garis patrilinial, yaitu

yang menentukan bahwa dalam hubungan kerabat dan pewarisan hak serta

kewajiban kekerabatan diperhitungkan melalui garis laki-laki. Perkawinan

merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Kedonganan,

karena melalui perkawinan barulah seseorang mendapat hak dan kewajiban

sebagai warga komunitas serta warga kelompok kerabat. Perkawinan yang

dianggap ideal adalah perkawinan memadik (meminang). Inisiatif dan

pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki. Adat menetap yang

lazim dilakukan adalah virilokal (pasangan pengantin tinggal di rumah laki-

laki).

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Kedonganan. Hal

tersebut bersangkutan pula dengan sistem pewarisan. Di dalam kehidupan

perkawinan, bila tidak mempunyai keturunan maka harta bersama akan jatuh ke

tangan keluarga suami. Harta warisan dianggap mempunyai nilai religius magis.

Selain dapat memberikan suatu kesan secara nyata dan tidak nyata, dapat pula

mempengaruhi baik buruknya hidup seseorang di dunia ini.

4.1.2. Sistem Kemasyarakatan

Di Kelurahan Kedonganan terdapat empat lembaga tradisional dalam

kehidupan bermasyarakat, yaitu desa dinas, desa adat, banjar dan seka.

Desa dinas bersifat administratif dan kedinasan yang dikepalai oleh

Lurah. Para warga komunitas desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan

20

fungsi yang dijalankan oleh Kelurahan sebagai kesatuan administratif.

Lurah dibantu oleh seorang Sekretaris dan beberapa Kepala Seksi dalam bidang

masing-masing yang telah ditentukan untuk memudahkan menjalankan tugas

dalam Kelurahan. Pengangkatan pengurus kedinasan ini telah diatur dalam

pemerintahan desa. Fungsi kedinasan untuk melakukan koordinasi terhadap

jalannya pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan, melakukan tugas di

bidang pembangunan, melakukan upaya dalam rangka peningkatan partisipasi dan

swadaya gotong-royong masyarakat, melakukan kegiatan yang berguna untuk

keamanan dan ketertiban serta melakukan fungsi lain yang dilimpahkan

pemerintah ke Kelurahan.

Desa adat secara formal dituangkan dalam pasal 1(e) Perda Bali No.6

tahun 1986, yang mengatakan bahwa desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum

adat di propinsi Tingkat I Bali yang memiliki satu kesatuan tradisional dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan

Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri

serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan tertinggi pada desa

adat terdapat pada rapat anggota dan dikepalai oleh seorang bendesa adat. Sebagai

bendesa adat hanya memiliki peran sebagai pemegang mandat dari krama (warga)

desa adat di dalam melaksanakan berbagai tugas dan fungsi desa adat atau

mengorganisasikan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksistensi

desa adat. Bendesa adat dibantu oleh pangliman, penyarikan, patengen,

kesinoman, pasayahan-pasayahan, kelian banjar. Masing-masing prajuru

(pengurus) melaksanakan kewajiban sepert melaksanakan ayahan desa (kerja

bakti), menyelenggarakan upacara dewa yajna (ngodalin) di pura milik desa,

menyelenggarakan upacara bhuta yajna (mecaru) di desa setiap Tilem Kesanga,

melaksanakan upacara Mekiyis dan lain-lain. Selain itu mereka wajib tunduk dan

mentaati peraturan yang berlaku bagi desa adat Kedonganan, baik secara tertulis

maupun secara tidak tertulis. Wajib menjaga keamanan bersama, menjaga

nama baik desa dan melaksanakan suka duka antara sesamanya.

Penggantian prajuru desa adat Kedonganan dilaksanakan setiap 5 tahun

sekali dengan panitia pelaksanaan berasal dari utusan masing-masing banjar.

21

Selanjutnya dipilih oleh masyarakat Kedonganan dengan suara terbanyak.

Setelah itu bendesa yang terpilih membentuk prajuru yang berasal dari

masing-masing banjar. Syarat untuk menjadi bendesa adat Kedonganan adalah

usia ± 20 tahun dengan pendidikan minimal SMP dan yang paling penting tidak

dikucilkan oleh banjar di mana ia berasal.

Desa adat Kedonganan juga memiliki awig-awig, baik tertulis maupun

tidak tertulis yang berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk

mengatur stabilitas organisasinya. Awig-awig ini sebagai sarana pengikat warga

masyarakat desa adat Kedonganan yang dimuat dan disyahkan oleh pejabat

berwenang. Sanksi yang ada, bilamana ada yang melanggar awig-awig ini berupa

teguran oleh prajuru desa. Tuduhan atas seseorang yang bersalah didasarkan atas

Tri Premana, dan jika terbukti maka orang tersebut didenda. Besar kecilnya

dijabarkan atas denda uang, ayahan (kerja bakti), upacara dan banten, sapa

sumapa di desa dan banjar.

Banjar. Komunitas terkecil di Bali disebut banjar. Suatu banjar dikepalai

oleh seorang kelian banjar yang bertugas dalam bidang sosial dan kehidupan

keagamaan suatu komunitas. Pusat kegiatan warga banjar adalah di bale

banjar di mana para warga banjar bertemu dan melakukan kegiatan pada hari-

hari tertentu. Secara organisatoris kedudukan krama berada di bawah kelian,

namun segala keputusan diambil dalam rapat krama banjar dan dilaksanakan oleh

kelian banjar. Kelian banjar dibantu oleh penyarikan, kesinoman dan lain-lain.

Anggota dari banjar adalah mereka yang sudah menikah (mapakuren) dan tidak

lagi berstatus sebagai teruna. Kewajiban krama banjar adalah melaksanakan

upacara Dewa Yajna, Bhuta Yajna, Pitra Yajna, menyelenggarakan

penguburan warga yang meninggal, membantu anggota krama yang

terkena musibah dan bahaya, menyelenggarakan tugas rutin banjar secara

bergiliran, kerja bakti dan wajib bekerja untuk kepentingan krama banjar.

Fungsi banjar yang ada di desa adat Kedonganan adalah untuk

mewujudkan hidup bergotong royong di kalangan warga krama banjar, baik dalam

keadaan suka maupun duka.

Seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil dari

22

banjar. Seka di Kelurahan Kedonganan merupakan kesatuan dari beberapa

orang anggota banjar yang terhimpun atas dasar kepentingan yang sama dalam

suatu hal, misalnya seka teruna teruni, seka pesantian, seka gong dan seka

kidung. Sifat seka-seka ini ada yang permanen dan ada pula yang sementara.

Jumlah anggota dan prajuru seka ada yang besar dan ada yang kecil. Pada

prinsipnya seka yang ada dilandasi oleh prinsip gotong royong, musyawarah

dan tujuan khusus. Kegiatan seka disamping untuk kepentingan anggotanya,

juga banyak membantu kegiatan banjar, bahkan untuk beberapa hal

dimanfaatkan oleh banjar. Seka mempunyai anggota, struktur pimpinan,

hubungan berpola antar anggota, aturan serta fungsi tertentu dalam kaitannya

dengan kelompok sosial dan kelompok kepentingan yang sama di lingkungan

banjar, desa adat dan desa dinas.

4.1.3. Sistem Kepercayaan

Di Kelurahan Kedonganan ada beberapa agama yang dianut, yaitu

Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Buddha. Aktivitas hidup

keagamaan orang Kedonganan yang mayoritas beragama Hindu dapat dikatakan

sangat tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dalam praktek keagamaan yang bukan

hanya dilakukan pada hari-hari yang dipandang suci agama Hindu saja, tetapi juga

pada hampir setiap kegiatan lainnya. Orang Kedonganan percaya bahwa segala aktivitas keagamaan, tradisi

dan adat istiadat yang dilakukan adalah untuk keselarasan, keserasian dan

keteraturan dalam hidup di dunia dan akhirat. Segala aktivitas keagamaan ini

walau dianggap menyita waktu, tenaga dan juga biaya,bahkan terkesan boros,

namun mereka percaya bahwa hal itulah tanda bakti kepada Ida Sang Hyang

Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu masyarakat Kedonganan percaya adanya

leluhur (Betara-Betari) yang turut mempengaruhi dalam kehidupan mereka.

Masyarakat Kedonganan percaya pula adanya makhluk-makhluk halus, pitara

(roh manusia yang sudah disucikan), tonya (memedi), gamang (wong sarnar), kala

(roh jahat yang sering mengganggu), dan Banaspati (perwujudan Dewi Durga dalam

wajah yang menyeramkan). Masyarakat Kedonganan juga percaya adanya alam

23

yang tidak nampak (Niskala), percaya dengan tempat yang dianggap angker.

Mereka juga percaya dengan adanya benda-benda yang dianggap mempunyai

kekuatan gaib.

4.1.4. Sistem Peralatan dan Teknologi

Hingga saat ini, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan

Kedonganan dapat dikatakan masih menggunakan teknologi tradisional, seperti

jukung, jaring, dayung, dan motor tempel. Alat penangkapan ikan tersebut

dikatakan tradisional apabila dibandingkan dengan peralatan yang lebih modern,

seperti alat pukat harimau dan perahu besar yang memiliki wilayah tangkapan yang

lebih jauh (off-shore fishing) dan kapasitas untuk memperoleh ikan yang lebih

banyak.

Beberapa tahun yang lalu peralatan modern telah dikenalkan pula oleh

Dinas Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, selain untuk

memperkenalkan alat penangkapan ikan modern, peralatan ini dianggap dapat

meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan dengan hasil tangkapan yang lebih

banyak. Penggunaan peralatan modern tersebut diharapkan dapat mengubah pola

penangkapan ikan yang sebelumnya tergantung pada musim menjadi tidak

tergantung lagi pada musim. Namun hal tersebut ternyata tidak berlangsung

lama, karena selain adanya kesenjangan yang sangat besar antara nelayan

dengan peralatan modern dengan nelayan tradisional, hal lainnya adalah

kelurahan Kedonganan merupakan salah satu daerah kawasan pariwisata di kabupaten

Badung Selatan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Aktivitas nelayan

Kedonganan berupa pendaratan basil tangkapan dialihkan ke Kabupaten Jembrana, karena

hal itu dianggap dapat mempengaruhi kebersihan dan keindahan wisata alam di

Kedonganan. Hal itulah yang menyebabkan nelayan Kedonganan memilih kembali

dengan peralatan tradisional mereka.

Ada berbagai macam tipe perahu yang digunakan nelayan yang disesuaikan

dengan kapasitas masing-masing, seperti berikut :

24

1. Kolor (Selerek)

Tipe ini umumnya digunakan untuk mencari ikan dengan menggunakan jaring

selerek. Bagian-bagian dalam sebuah perahu selerek adalah kemudi, hang (tempat

layar), sangan belakang (hang dua), blandangan (bambu), mesin disel (penggerak

perahu), kotak (tempat es dan tempat ikan). Pada setiap perahu selerek selalu terdapat

sebuah tiang khusus. Di puncak tiang ini terdapat sebuah kursi sebagai tempat duduk

pemilik atau nelayan buruh yang telah dipercaya ketika mencari ikan.

Perahu selerek dibuat dari kayu jati. Perahu selerek yang terkenal berasal dari

pulau Madura. Ukuran panjang 9 m, lebar 2,75 m, dalam 1 m. Perahu ini dapat

ditumpangi 15 sampai 20 orang dan dapat memuat ikan sekitar 20 ton. Penggerak

perahu adalah mesin disel berkekuatan 22 Pk yang dapat melaju dengan cepat

dan menarik perahu lain yang bermuatan banyak.

Jaring selerek terbuat dari nilon berukuran panjang sekitar 270 m dan lebar

60 m. Jaring ini berbentuk segi empat tanpa potongan dengan letak kantong di

bagian tepi. Jaring terbagi menjadi bagian kepala, perut dan sayap yang terdiri dari

7 lembaran. Pada bagian kepala, perut dan sayap selalu dirangkaikan satu dengan

lain secara vertikal. Pemberat jaring terbuat dari timah hitam, sedangkan

pelampung jaring terbuat dari plastik. Jaring ini digunakan untuk menangkap ikan

dengan kedalaman air 100 m dari permukaan laut.

2. Sekoci

Ukuran perahu sekoci panjang 6,5 m, lebar 1,5 m dan dalam 0.75 m. Perahu ini

dapat ditumpangi 2-3 orang dan dapat memuat satu ton ikan. Penggerak perahu

adalah mesin disel berkekuatan 22 Pk. Perahu semacam ini jarang kita lihat

sehari-hari di pantai Kedonganan karena perahu ini berlayar hingga beberapa

hari. Pada perahu ini ada rumah kecil untuk berteduh. Bagian perahu lainnya

adalah sangan (tiang) belakang, blandong (bambu), mesin disel dan kotak tempat

ikan.

Peralatan pada perahu sekoci adalah jaring gondrong dan jaring arus.

Kedua jaring ini ditarik oleh tenaga manusia. Jaring ini terbuat dari benang nilon

dengan pemberat timah dan pelampung plastik. Ukuran jaring ini panjang sekitar

25

100 m dan lebar 5-6 m. Mata jaring pinggir 2.5 inci dengan mata tengah sekitar 2

inci. Kedalaman air yang digunakan untuk jenis jaring ini 60 meter.

3. Jukung

Perahu jukung ini merupakan perahu kecil, berukuran panjang 6 m, lebar

0,6 m dan dalam sekitar 0,4 m. Jukung dapat ditumpangi dua orang dan memuat

ikan sekitar 2 kwintal. Alat penggerak perahu berupa mesin tempel dengan

ukuran 7 Pk. Selain itu menggunakan alat penggerak lain yaitu dayung dan layar.

Alat transportasi jukung biasanya dibuat sendiri di Kedonganan oleh

sejumlah tukang kayu dan buruh yang memiliki keterampilan teknis untuk itu.

Jaring untuk menangkap ikan dalam jukung adalah jaring yang disesuaikan

dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Jukung dapat beroperasi hingga 10 km dari

pantai.

4. Jaring

Jaring berbentuk anyaman dari benang nilon. Berbentuk kerucut merapat,

sedangkan ujung lainnya melebar. Lebar jaring 3 m dan garis tengah sekitar 10 m,

dengan lubang jaring sekitar 2,5 cm. Harga bervariasi tergantung kwalitas.

Untuk penangkapan ikan jenis jaring disesuaikan oleh jenis ikan yang akan

ditangkap. Seperti, jaring 3 inci yang memiliki lebar 5 m, dan ikan yang

ditangkap adalah ikan kembung, tongkol, tengiri dan mantik. Jaring ciker

digunakan untuk menangkap ikan seperti jenis layur. Pengetahuan untuk

memperbaiki jaring diperoleh secara turun-menurun di lingkungan keluarga

nelayan. Cara penggunaan jaring adalah ujung jaring dipegang kernudian

dilempar ke air. Penebaran jaring harus searah dengan arus laut. Setelah agak

lama maka jaring diangkat ke permukaan air dan diambil ikannya. Hal ini

dilakukan berulang kali dan berpindah-pindah ke tempat yang dianggap ada

ikannya.

26

5. Pancing

Pancing yang digunakan para nelayan adalah pancing rawe dan pancing

tank. Ukuran kedua pancing ini berbeda tergantung dari jenis ikan yang akan

ditangkap. Panjang tali ring mencapai kurang lebih 100 meter. Pada umumnya

nelayan Kedonganan pergi ke laut ketika air pasang sehingga jukung dapat

berlayar ke tengah lautan. Begitu pula saat jukung datang atau merapat ke pantai.

Umumnya kegiatan nelayan setiap harinya dilakukan sebanyak 2 kali yakni

pukul 02.00 dini hari dan siang hari pukul 11.00 WITA. Secara turun temurun

mereka mengenal bahwa dalam sehari terjadi 2 kali air pasang surut. Proses

terjadinya air pasang dan air surut ini tidak terjadi secara serentak tetapi secara

pelan-pelan hingga mencapai titik tertinggi titik pasang dan terendah pada waktu air

surut, hal ini terjadi setiap 6 jam sekali. Pada waktu surut, air laut menjadi mundur

ke arah laut sekitar 50 sampai 100 m. Sebaliknya ketika air laut mulai pasang maka

maju ke arah pantai sekitar 100 sampai 150 m. Perbedaan pasang surut ini tidak

berpengaruh terhadap tempat parkir jukung karena letaknya lebih dari 200 meter

dari titik terdekat ketika air laut pasang.

Para nelayan Kedonganan mengenal pula beberapa tanda alam yang

menunjukkan tempat berkumpulnya ikan, yaitu ketika tampak adanya gelombang

berbuih putih di permukaan laut. Selain itu melihat banyaknya burung-burung

yang menyelam atau menyambar di permukaan laut. Gejala alam yang lain adanya

awan gelap di sebelah Tenggara atau Barat Daya yang menandakan akan terjadi

angin besar diikuti oleh gelombang yang besar pula. Adanya gelombang besar

didahului adanya buih yang muncul di permukaan laut. Berhembusnya angin

Tenggara ini biasanya muncul pada musim kemarau dan musin hujan disertai

hembusan angin Barat.

Berkaitan dengan musim, para nelayan membedakan adanya arus laut

yang searah dan arus laut yang berlawanan arah (bolak-balik). Selama musim

penghujan sekitar bulan November-April, menurut para nelayan di perairan Selat

Bali bergerak arus laut yang searah, yaitu ke Utara. Sebaliknya, selama musim

kemarau di perairan ini bergerak arus bolak-balik, yaitu ke Utara dan ke Selatan.

Adanya angin kencang tidak hanya bertiup pada musim penghujan saja

27

melainkan juga pada musin kemarau. Musim kemarau di Kedonganan berlangsung

sekitar pada bulan Mei hingga bulan Oktober. Selama musim kemarau ini angin

berasal dari arah Timur, Timur Laut dan Tenggara. Oleh para nelayan disebut

angin Timur yang bertiup kencang namun tidak begitu membahayakan. Kadang-kadang

pada musim kemarau diselingi oleh tiupan angin Utara yang mengakibatkan

gelombang besar di perairan Selat Bali.

4.2. Hidup Keseharian Nelayan

Nelayan dapat didefinsikan sebagai orang yang secara aktif melakukan

pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-

alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.

Sedangkan masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang

bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil yang bertempat

tinggal di sekitar kawasan nelayan (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.

15/Permen/M/2006).

Nelayan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan pemilik

tradisional, nelayan pemilik semi-modern, dan nelayan buruh. Tiga kategori

nelayan ini memiliki ciri-ciri kehidupan sehari-hari yang berbeda antara satu

dengan lainnya. Sebagai contoh, nelayan bernama Wayan (bukan nama asli).

Sebagai nelayan pemilik tradisional, pak Wayan memiliki enam jukung lengkap

dengan jaring dan mesin tempel 5 PK, serta mempunyai lima orang

nelayan buruh untuk mengoperasikannya jukungnya tadi. Kegiatan

kenelayanan dimulai pada pukul 02.00 dini hari. Para nelayan ini menyiapkan

barang-barang yang akan dibawa untuk melaut, misalnya jaring yang disesuaikan

dengan jenis ikan yang akan ditangkap, mesin tempel, lampu penerangan dan botol

yang berguna sebagai tanda dan menghindari tabrakan antar jukung, serta bekal

mereka melaut. Pada musim ikan, pak Wayan melaut sampai dengan 2-3 kali dalam

sehari. Sedangkan bila tidak musim ikan hanya melaut sekali saja. Hasil tangkapan

ikan dijual ke pengambek. Dalam hal ini para istri nelayan sangat berperan dalam

menjual hasil tangkapan ikan dari suami mereka. Pada pukul 12.00-13.00 siang

28

hari, pak Wayan mendaratkan jukung yang telah dipakai dan menyimpan

mesin tempel yang telah digunakan. Ada kalanya ia merawat dan memperbaiki

mesin yang rusak. Sebagai nelayan pemilik tradisional, ia bertugas membagi

uang hasil tangkapan kepada buruh-buruhnya itu. Setelah semua pekerjaan

selesai, para nelayan kembali ke rumah masing-masing.

Lain lagi dari penuturan Pak Sacit, seorang nelayan tradisional dari daerah

Muncar. Menurut keterangannya, pada saat musim barat nelayan yang berasal dari

luar daerah Bali akan pulang kampung dikarenakan pendapatan ikan sedikit.

Perahunya tetap ditaruh di pantai Kedonganan, tapi nelayannya saja yang kembali

ke kampung. Perahu rata-rata milik sendiri yang langsung dibawa dari kampung,

namun ada juga beberapa nelayan Bali, khususnya dari Kedonganan yang

mempunyai perahu sendiri. Biasanya yang dahulunya nelayan asli Kedonganan

melaut sendiri, namun sekarang perahunya sudah disewakan kepada nelayan dari

luar yang hasilnya dibagi menjadi dua (50-50). Ada juga beberapa nelayan melaut

sendiri tanpa teman untuk melaut, jadi hasilnya bisa dinikmati sendiri. Nelayan

mulai melaut mulai pukul 15.00 atau 16.00 dan kembali ke darat keesokan harinya

kurang lebih jam 06.00 atau jam 07.00. Penghasilan paling sedikit pada musim

barat kadang-kadang mendapatkan sampai 5 ekor ikan saja, kadang tidak

mendapatkan sama sekali. Hasil ikan paling banyak bisa mencapai 1-2 ton, kalau

ikan yang di dapat melebihi 2 ton biasanya membuang jaring ke laut. Untuk

mendapatkan ikan sebanyak itu perahu yang digunakan adalah perahu yang

berukuran sedang.

Harga untuk ikan tongkol paling murah mencapai 5-6 ribu/kg, sedangkan

jika musim barat mencapai 9-10 ribu/kg. Sedangkan ikan lemuru (ikan kucing)

berkisar 10 ribu/kg. Nelayan yang akan menangkap ikan-ikan besar seperti

tongkol akan membuat rumpung di tengah laut, jadi nelayan akan kembali ke

darat hanya seminggu sekali. Penangkapan ikan di laut disesuaikan dengan ukuran

ikan dan dengan ukuran jaring dan kapal, jika kapal besar bisa menampung ikan

lebih dari 2 ton. Nelayan yang ada di Kedonganan kebanyakan orang Bugis, ada

juga orang dari Madura dan Jawa. Untuk ikan layur kuning harganya berkisar 40

ribu/kg, sedangkan lemuru hitam dan putih sekitar 30 ribu/kg.

29

Menurut pak Sacit, fasilitas kenelayanan di Kedonganan cukup baik.

Nelayan yang ingin berisitirahat disediakan tempat istirahat bangunan persegi

panjang atau yang disebut bangsal yang berlokasi tepat di pinggir pantai. Selain

untuk tempat istirahat, tempat ini juga sebagai tempat untuk memperbaiki jaring-

jaring yang rusak dan sebagai tempat menaruh jaring-jaring nelayan selama tidak

melaut. Bangsal ini tidak di kenakan biaya melainkan diperuntukan secara gratis.

Jaring-jaring yang dipakai bisanya di beli di pabrik, tidak membuatnya sendiri.

Pengeluaran para nelayan kurang lebih sekitar 50-60 ribu/hari untuk kebutuhan

sehari-hari. Harga mesin perahu, perahu, dan jaring sampai 100 juta per satu

perahu, itupun disesuaikan dengan daya mesin perahu, ada yang berukuran 15 dan

30 PH. Untuk pemesanan perahu biasanya antara 1-2 minggu, dan langsung

dikirim dari Cilacap dan diangkut ke Bali menggunakan sebuah truk, yang di

dalamnya berisi sampai 6 buah perahu.

Pengasilan untuk nelayan kalau dipukul rata 7 juta/bln jika perahu milik

berdua, sedangkan perahu milik sendiri bisa mencapai 15 juta/bln. Untuk orang

yang bertugas menampung ikan disebut pengembak, selanjutnya ikan akan dikirim

ke daerah Benoa. Setiap nelayan mempunyai bos, apabila nelayan ini kehabisan

modal jadi nelayan ini akan meminjam modal kepada pengembak, selanjutnya

setelah nelayan ini panen akan diserahkan langsung kepada pengembak. Untuk

sekali melaut, nelayan membutuhkan dana disesuaikan dengan besar daya mesin,

untuk mesin yang berukuran 30 PH dibutuhkan dana sebesar 200-300 ribu

sedangkan mesin yang berukuran 15 PH sebesar 100-200 ribu.

Bapak Nyoman (bukan nama asli) merupakan salah seorang nelayan semi-

modern. Dia berasal dari Kedonganan dan dibesarkan dalam keluarga nelayan dan

memiliki sembilan jukung yang pengoperasiannya dipercayakan kepada nelayan buruh.

Aktivitas mulai pada dini hari. Pak Nyoman menemui buruh jukungnya dan membantu

menyiapkan perlengkapan yang akan segera di bawa melaut. Sekitar pukul 04.00 pagi, dia

mengawasi penurunan ikan yang ditangkap oleh kapal-kapal selerek, seperti tuna,

lobster, cumi-cumi ukuran besar dan ikan lainnya yang akan dibeli oleh KUD setempat.

Hasil tangkapan itu didistribusikan ke sejumlah hotel, restoran dan cafe yang ada di

30

Kedonganan. Setelah kegiatan di KUD selesai, kemudian pak Nyoman pergi

mengawasi hasil tangkapan para buruhnya. Hasil tangkapan ikan dihitung dan

kemudian dijual ke pasar oleh istrinya. Pada musim ikan, kegiatan di pantai

biasanya selesai pukul 13.00. Setelah itu baru para nelayan bisa beristirahat.

Pak Abdul (bukan nama asli) sebagai nelayan buruh yang berasal dari

Muncar, Jawa Timur, tinggal di sebuah kamar sewa beserta istri dan anaknya.

Seperti nelayan buruh lainnya, pak Abdul sudah mulai beraktivitas sekitar pukul

02.00 pagi. Dia bekerja pada salah seorang pemilik jukung, pak Made (bukan

nama asli). Kemudian dia menyiapkan peralatan dan perlengkapan yang akan

dibawa melaut, antara lain; lampu, jaring, bahan bakar mesin tempel, makanan

dan minuman yang telah disediakan oleh istri nelayan pemlik. Setelah itu pergi

melaut dan kembali sekitar pukul 09.00 pagi. Kemudian ikan hasil

tangkapannya dibersihkan dari jaring, ditempatkan dalam wadah plastik ukuran

besar, kemudian ikan itu dijual oleh istrinya Setelah pak Abdul mendaratkan

jukungya, segala peralatan dari nelayan pemilik yang dibawa tadi dibersihkan

dan dikembalikan ke tempat semula bersama mesin tempel yang telah digunakan.

Setelah itu dia pulang ke rumah untuk membersihkan diri dan beristirahat.

4.3. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan

Pada musim panen ikan, yaitu pada bulan Maret-Agustus para nelayan

Kedonganan hanya mencari ikan di sekitar pantai saja. Jenis ikan yang ditangkap adalah

lemuru, layur, tongkol, jerbung, dogol, krosok, dan tengiri. Sedangkan pada bulan

September-Desember mereka mencari ikan sampai ke tengah laut. Hal itu disebabkan

pada bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di mana ikan laut relatif sulit diperoleh.

Perolehan hasil tangkapan ikan para nelayan Kedonganan lainnya yang berupa

non-ikan, antara lain kepiting, cumi-cumi, rajungan, kepiting, pari, dan udang.

Perolehan ikan tidak didapat setiap bulan. Ada beberapa ikan yang yang selalu ada

pada musim ikan seperti tongkol dan lemuru. Lain halnya dengan cumi-cumi dan

layur yang hanya dapat diperoleh pada musim tertentu saja, yaitu awal musim

penghujan dan pada saat air surut. Pada musim ikan, suasana di pantai biasanya

tampak ramai dengan aktivitas kenelayanan.

31

Adapun sistem pembagian kerja kenelayanan di Kedonganan dapat dibagi sebagai

berikut :

• Nelayan modern, nelayan semacam ini tidak diharuskan untuk

menangkap ikan secara langsung, walaupun demikian banyak pula

nelayan modern atau pemilik mesin dan jukung turut menangkap ikan.

• Nelayan buruh atau nelayan tradisional, bertugas mencari ikan di laut,

menyiapkan peralatan menangkap ikan yang akan dipakai dan jukung

yang digunakan.

• Buruh tegen jukung (panol), bertugas membantu para nelayan

yang hendak pergi menangkap ikan dengan menggunakan

jukung, mengangkat jukung dari tempat parkir jukung di pinggir

pantai sampai ke tepi pantai untuk berlayar. Hal ini dilakukan juga

ketika para nelayan kembali dari menangkap ikan dan

mengembalikan jukung ke tempatnya semula.

• Buruh bersih jukung dan jarring, bertugas membersihkan jukung

setelah para nela yan kembali dari melau t. Sedangkan

untuk membersihkan jaring dari hasil tangkapan ikan dilakukan oleh

para buruh perempuan.

• Buruh timbang, bertugas menimbang hasil tangkapan ikan.

• Pedagang ikan, terdiri dari para keluarga nelayan yang

bertugas menjual ikan kepada para konsumen atau pengepul.

Umumnya kaum perempuan.

Secara umum, pengolahan hasil tangkapan ikan yang dilakukan nelayan di

Kabupaten Badung adalah pemindangan, pembekuan dan pengasinan. Namun

demikian, nelayan Kedonganan lebih banyak menjual hasil tangkapannya ketika ikan

32

masih segar dan dengan cara pembekuan agar ikan bisa dijual keesokan harinya.

Untuk mengatasi proses pembusukan sehingga mengalami kemunduran mutu,

para nelayan Kedonganan melakukan pengawetan dengan es.

Setiap nelayan pemilik, pada musim ikan mampu menghasilkan hasil

tangkapan sebanyak 3-5 ton dengan jumlah kepemilikan 3-6 jukung. Hanya pada

tidak musim ikan produksi ikan menurun menjadi kurang dan 1 ton. Untuk

menjaga kondisi ikan agar tetap segar, pada perahu selerek dan sekoci

dilengkapi oleh kotak penyimpanan sebagai tempat pendingin agar ikan tidak

cepat rusak. Untuk jukung ada yang dilengkapi kotak pendingin ikan dan ada

juga yang tidak. Hal itu tergantung jarak yang akan ditempuh untuk mencari ikan

yang kurang lebih memerlukan waktu empat jam, yang kemudian hasil

tangkapanya langsung dijual.

Hasil tangkapan berupa ikan segar langsung ditimbang di TPI (tempat

pelelangan ikan). Tersediannya prasarana tempat pelelangan ini, diharapkan para

nelayan dapat memanfaatkannya sebagai tempat penjualan pertama setelah ikan

ditangkap di laut. Hasil tangkapan nelayan dijual dengan sistem lelang. Hal itu

dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan nelayan tidak dipermainkan oleh

pengambek. Ukuran yang digunakan untuk menimbang adalah ember ukuran

besar. Biasanya sebelum para nelayan kembali dari menangkap ikan, para ijon

telah menunggu di pantai. Para pembeli ini umumnya para pedagang yang

menjual lagi hasil tangkapan nelayan ke pasar-pasar di seluruh Bali. Aspek

yang menentukan dalam kaitannya dengan kegiatan kenelayanan dan yang

berpengaruh langsung terhadap peningkatan kesejahteraan hidup nelayan

adalah aspek produksi dan distr ibusi hasil tangkapan. Apabila hubungan

sosial yang melingkupi kedua aspek tersebut kurang menguntungkan nelayan dan

nelayan buruh, maka kelembagaan KUD perlu diberdayakan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat untuk mengatasi hubungan-hubungan sosial ekonomi yang

timpang . Di Kedonganan, KUD setempat tidak berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan modal nelayan. TPI juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya,

33

sehingga keberadannya tidak memberikan keuntungan ekonomi kepada

nelayan. Bahkan dengan penarikan restribusi, nelayan justru merasa

dirugikan. Dalam memenuhi kebutuhan modal usaha, sebagian besar nelayan

memilih meminjam uang dari pengambek (tengkulak). Pemasaran hasil

tangkapanpun dilakukan tidak melewati sistem KUD yang ada disana, melainkan

langsung antara nelayan ke pengambek. KUD hanya menjual hasil tangkapan ikan

para nelayan modern dengan kapal besar saja. Oleh karena itu, pendapatan para

nelayan sangat sulit dicatat secara pasti. Penghasilan nelayan dapat dikatakan

tidak menentu. Hasil tangkapan nelayan kadang berlimpah, kadang sedang-

sedang saja, bahkan sama sekali tidak memadai. Hal itu terjadi disebabkan pula

oleh para nelayan yang melakukan aktivitas melaut masih berdasarkan musim.

Hasil tangkapan ikan yang rusak dapat dimanfaatkan menjadi tepung

untuk makanan ternak unggas, terutama ayam. Selain itu ikan segar yang belum

begitu rusak juga dibeli oleh ijon atau pengepul yang kemudian dijual ke pabrik

pembuatan ikan sarden. Jika jumlah hasil tangkapan banyak, maka para nelayan

menjual kepada ijon ini. Tetapi jika hasil sedikit maka nelayan hanya menjual di

pasar. Ikan yang ada di pasar ikan Kedonganan tidak semua dari nelayan

Kedonganan, namun dari nelayan daerah lain, seperti Sanur, Benoa, daerah Bali

lainnya, bahkan dari Jawa. Selain itu cafe-cafe di Kedonganan tidak selalu

membeli ikan di pasar atau dari nelayan Kedonganan, melainkan membeli dari

tempat lain dan dari kapal besar yang menjual ikannya lewat TPI.

4.4. Perkembangan Kelompok Nelayan

Pada tahun 1970-an nelayan Kedonganan masih merupakan

nelayan tradisional, dalam arti nelayan pada saat itu masih menggunakan

peralatan yang masih sederhana seperti jukung, pencar, dayung (kelimat),

pancing, serok dan lain sebagainya. Pendapatan dari hasil tangkapan nelayan

hanya mencapai 2,5 kg ikan perhari dengan harga Rp. 1.000,00/kg. Hal

34

tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan layak.

Fenomena tersebut membuahkan suatu inisiatif para nelayan setempat.

Pada tahun itu pula berdiri pertama kali kelompok nelayan yang beranggotakan

30 orang. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan memantau seluruh aktivitas

nelayan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, yang antara lain

bertujuan untuk melindungi nelayan dari sistem ijon yang memberi pinjaman

modal kepada para nelayan namun sistem tersebut sangat merugikan nelayan.

Setahun lamanya kelompok nelayan itu mampu bertahan dengan segala bentuk

rintangan dari para ijon yang sempat pula memecah belah kelompok itu

dengan menggunakan kekuatan modal yang dimilikinya. Berkat kegigihan

pengurusnya melalui berbagai pendekatan kepada para anggota yang telah

dikuasai ijon, maka anggota kelompok berkumpul kembali dalam satu wadah

organisasi nelayan. Berbagai kegiatan kenelayanan seperti memberikan

pengarahan, pembinaan dan menjelaskan pentingnya arti organisasi rutin

dilakukan seminggu sekali. Penyuluhan dilakukan oleh Dinas Perikanan dan

Kelautan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.

Setelah terbentuk kelompok nelayan yang telah disyahkan, Pemerintah

Daerah melalui BRI Cabang Denpasar memberikan bantuan kredit berupa KIK

(Kredit Investasi Kecil) sebesar Rp. 26.000.000,-. Untuk tahap pertama

direalisasikan pada tahun 1977 kepada nelayan Kedonganan yang digunakan

untuk membeli 26 unit kapal selerek dan 26 mesin tempel Yamaha 8 PK,

masing-masing unit dengan 6 set jaring. Bantuan pemerintah tersebut sangat besar

manfaatnya bagi kelompok nelayan, terutama dalam menambah anggota

organisasinya yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 260 orang nelayan

buruh sekaligus.

Pada tahun 1979 disahkan kelompok nelayan purse saine, kemudian

dilaksanakan motorisasi nelayan. Setelah adanya motorisasi, hasil tangkapan

nelayan meningkat dengan pesat, pendapatan nelayan terangkat untuk

35

mendukung pembangunan di bidang perikanan. Pemerintah membangun

fasilitas pendukung TPI (tempat pelelangan ikan) yang dibantu pula oleh

masyarakat nelayan. Untuk memperkuat kemajuan yang ingin dicapai dibentuk

pula KUU Mina Segara yang bertujuan untuk menyediakan modal bagi nelayan

anggotanya dengan bunga yang kecil.

Modernisasi perikanan yang terjadi di desa Kedonganan merupakan suatu

proses perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi. Dari segi

sosial terlihat makin meningkatnya jumlah kelompok-kelompok sosial berupa kerja

kelompok dalam aktivitas penangkapan ikan dengan anggota yang tidak terbatas

dalam lingkungan keluarga saja. Sedangkan dari segi ekonomi terlihat upaya-

upaya meningkatan taraf hidup nelayan. Namun modernisasi penangkapan ini

tidak bertahan lama, ketika kapal dengan alat purse saine dipindahkan

pendaratannya ke daerah nelayan Kabupaten Jembrana. Para nelayan Kedonganan

kembali tidak menggunakan alat tersebut karena jauhnya tempat pendaratan tadi.

Keputusan Pemerintah untuk memindahkan kapal dengan peralatan purse

saine itu dengan alasan bahwa Kabupaten Badung merupakan daerah yang

direncanakan sebagai tujuan pariwisata. Khususnya Kelurahan Kedonganan yang

letaknya berdekatan dengan daerah tujuan wisata Kuta, sehingga pendaratan kapal

ikan akan dianggap mempengaruhi pemandangan para wisatawan. Penduduk

yang menekuni mata pencaharian sebagai nelayan mengalami penurunan setiap

tahunnya. Dari sejumlah 15 kelompok nelayan, kini jumlah kelompok nelayan

yang masih aktif hanya dua kelompok nelayan saja, yaitu kelompok nelayan

Kerta Bali dan kelompok nelayan Putra Bali.

36

BAB V

STRATEGI MENGHADAPI KEMISKINAN

5.1. Orientasi Nilai Budaya

Perikanan dan kelautan secara umum memang menjadi ikon Kedonganan.

Bahkan, Kedonganan hingga kini menjadi salah satu sentra usaha perikanan dan

kelautan terbesar di Bali. Kehadiran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kedonganan

menunjukkan Kedonganan memang memegang peranan penting dalam bidang

perikanan. Namun, seperti umumnya daerah pesisir, kualitas sumber daya

manusia (SDM)-nya masih tertinggal, setidaknya hingga tahun 1990. Jumlah

sarjana atau pun tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Sekolah

Menengah Pertama (SMP) ketika itu masih bisa dihitung dengan jari. Mayoritas

penduduk Kedonganan hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Malah, tak sedikit yang

buta huruf. Kondisi semacam itu tentu saja sangat berpengaruh kepada iklim

usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berbagai usaha yang

dikembangkan di Kedonganan lebih sering menuai kegagalan. Karenanya, tidak

mengherankan jika kondisi Kedonganan pada masa itu masih jauh tertinggal

dibandingkan daerah-daerah lainnya di Kecamatan Kuta. Meskipun dekat dengan

sentra pariwisata, keberadaan Kedonganan tetap saja terbelakang, tidak bisa ikut

merasakan kue pariwisata. Namun mereka tidak menyerah, kehidupan harus

berjalan terus seiring zaman. Mereka menyusun suatu strategi untuk menghadapi

keterpurukan. Dengan menggunakan kearifan dalam kebudayaannya mereka

mengadaptasi, menginterpretasi dan mengubah lingkungan yang sesuai dengan

apa yang mereka harapkan.

Nelayan Kedonganan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan buruh,

mereka harus siap menghadapi ketidakpastian perolehan penghasilan dari melaut.

Kadang kala mereka melakukan penangkapan di kawasan perairan yang dianggap

masih menyimpan potensi sumber daya perikanan yang letaknya cukup jauh dari

tempat tinggal mereka. Kegiatan penangkapan ini berlangsung beberapa hari

dengan tingkat pendapatan yang mereka anggap cukup untuk kehidupan sehari-hari,

atau tidak memperoleh penghasilan sama sekali. Berbagai resiko dari pekerjaan

37

sudah biasa mereka hadapi dan terima dengan besar hati karena bagi mereka hidup

adalah sebagai anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya

keselarasan dan keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang

Hyang Widi. Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa

adanya. Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja.

5.2. Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan

5.2.1. Alam.

Kedonganan merupakan salah satu kawasan wisata pantai memulai

kegiatan kepariwisataannya pada tahun 1980-an dan berkembang pesat

tahun 2000-an lebih menitikberatkan pada potensi laut dan kehidupan

kenelayanannya serta panjang pantai berpasir putihnya yang indah. Terlebih lagi

dengan pemandangan mata hari terbenam di sore hari yang menimbulkan kekaguman.

Pada kenyataannya, perkembangan wisata pantai Kedonganan sangat berpengaruh

terhadap taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan Kedonganan sendiri.

Manfaat ekonomi, sosial dan budaya merupakan imbas dari pada kemajuan wisata

pantai ini. Dengan adanya pembangunan di bidang pariwisata dan perikanan, turut

berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Kedonganan yang ingin pula turut

menikmati berkah tersebut.

Berkaitan dengan kegiatan kenelayanan di Kedonganan, dengan kesadaran

sendiri masyarakat nelayan Kedonganan memiliki sikap bahwa laut patut dijaga,

dilestarikan keberadaannya, karena ketergantungan masyarakat nelayan

Kedonganan terhadap sumber daya laut sangat besar. Selain sikap pasrah atas

kehendak alam, tapi mereka memberdayakan juga laut tersebut untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Faktor inilah yang membuat masyarakat nelayan

Kedonganan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian taut di

sekelilingnya. Untuk menjaga kelestarian lingkungan pantai Kedonganan serta

untuk mengatur perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, maka

diberlakukan awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Awig-

awig yang berlandaskan filosofi ajaran Agama Hindu dan lekat dengan budaya

38

Bali tersebut tidak hanya berlaku bagi nelayan pribumi tetapi juga berlaku bagi

nelayan pendatang.

Awig-awig tersebut diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan

pesisir agar terjaga dengan baik. Wilayah pesisir yang mempunyai kepemilikan

akses terbuka memungkinkan akan terjadinya tragedi kepemilikan bersama. Hal

itu terjadi karena tidak ada aturan jelas yang mengatur hak dan kewajiban dalam

mengakses dan mengelola sumber daya pesisir. Adanya rasa kepemilikan bersama

sumber daya alam dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, karena masing-

masing pihak merasa berhak atas wilayah yang ditempatinya. Untuk menghindari

hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya pesisir diserahkan kepada masyarakat

setempat dan dibentuk kelembagaan lokal yang berisi aturan-aturan adat dalam

menjaga kelestarian lingkungan. Aturan-aturan serta sanksi pelanggaran dibuat

berdasarkan nilai, pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat.

5.2.2. Ekonomi.

Perikanan adalah sistem usaha manusia dalam pemanfaatan sumber

daya laut, mengolah dan memasarkannya. Misalnya saja pada tahun 2010

komoditi perikanan yang menjadi andalan nelayan Kedonganan adalah ikan tuna

yang jumlah produksinya mencapai 9.005,5 ton/tahun, ikan tongkol sebesar

1.478,5 ton/tahun dan ikan sarden 547,1 ton/tahun. Kebutuhan ekonomi

merupakan alasan yang penting bagi sebagian nelayan untuk tetap menggeluti

pekerjaan di bidang ini. Alasan mereka menggeluti mata pencarian sebagai

nelayan adalah kondisi perekonomian yang kurang mampu memenuhi

kebutuhan keluarga. Dengan mengikutsertakan seluruh anggota keluarga dalam

usaha kenelayanan merupakan salah satu alasan dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Pekerjaan nelayan adalah pekerjaan pokok. Namun untuk mencukupi

kebutuhan hidup harus diimbangi pula oleh pekerjaan sampingan lainnya,

misalkan sebagai pedagang, buruh bangunan, pengrajin, pemandu wisata laut,

atau lainnya.

Pariwisata turut andil pula dalam mensejahterakan kehidupan nelayan.

Adanya sajian khas kuliner di Kedonganan menyebabkan pasokan akan ikan di

39

beberapa hotel, kafe dan restoran juga meningkat. Selain itu bidang pekerjaan

lainnya berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang memberi peluang untuk

menyerap para pencari kerja, khususnya generasi muda Kedonganan. Hal itu

dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Kedonganan dengan segala

aspek negatif ikutannya.

5.2.3. Sosial-budaya.

Pada dasarnya dalam kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pengaruh

lingkungan di sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia itu hidup, tumbuh

dan berkembang di bawah pengaruh suatu lingkungan, dimana pribadi sebagai potensi

yang dimilikinya akan berpengaruh balik terhadap lingkungannya tersebut. Seiring

dengan bertambah pesatnya kegiatan kepariwisataan di Kedonganan, semakin

kompleks juga sektor penunjang pariwisata ini seperti adanya hotel, kafe

pinggir pantai yang menyajikan hidangan khas laut di Kedonganan. Hal tersebut

tak lepas pula akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat

setempat. Misalnya dari sebelumnya mereka memiliki gaya dan pola hidup

tradisional yang sederhana, dan kini mulai menjalani gaya dan pola hidup

modern seiring dengan kemajuan jaman. Walaupun demikian orang Kedongan

tak lupa kepada jati dirinya sebagai warga masyarakat Bali lainnya. Mereka tetap

setia menjalankan kewajiban tradisi yang diturunkan oleh nenek moyangnya.

Bagi orang Kedonganan, air merupakan elemen pokok dari kehidupan nelayan,

elemen pokok yang merupakan suatu bagian dari upacara keagamaan, upacara siklus

manusia dari lahir sampai mati. Bagi nelayan Kedonganan menjaga keseimbangan

ekologis lautan sangatlah penting. Mereka percaya bahwa bila manusia mengeksploitasi

hasil laut secara besar-besaran atau dengan cara-cara yang dilarang oleh adat seperti

pengeboman, maka mereka akan mendapat kutukan berupa tidak selamat atau kesulitan

dalam memperoleh hasil laut. Pengetahuan tentang kenelayanan seperti itu diturunkan

oleh para orang tua yang sejak anak-anak mereka masih kecil dan hidup dari hasil laut.

Pengetahuan tentang kenelayanan diperoleh karena mereka selalu mengikutsertakan

anak-anak mereka dalam kegiatan melaut. Pengikutsertaan anak-anak ini dalam

kegiatan melaut merupakan salah satu pengalihan sistem pengetahuan praktis

40

sehingga ketika dewasa kelak anak-anak tersebut sudah siap menghadapi segala

tantangan yang muncul. Bisa dikatakan sebagai pembelajaran pendewasaan. Hal

itu tidak saja untuk anak laki-laki, namun terhadap anak perempuan juga.

Adanya beberapa potensi yang dimiliki ini, masyarakat nelayan

Kedonganan menganggap laut merupakan peninggalan dan warisan nenek

moyang yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sesuai dengan

kebutuhan hidup. Keadaan seperti itu menurut Suparlan (1980) adalah

hubungan manusia dengan alam tidaklah semata-mata terwujud sebagai suatu

hubungan manusia dengan hidupnya tetapi juga sebagai suatu hubungan

dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya. Manusia juga

turut menciptakan corak dan bentuk lingkungan dengan baik karena lingkungan

alam dan fisik tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya. Laut bagi

masyarakat nelayan Kedonganan merupakan sumber kehidupan yang dianggap

sebagai bagian yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka. Apabila laut

rusak atau tercemar berarti kehancuran juga bagi kehidupan mereka. Sejak dulu

sampai sekarang, mereka mengeksploitasi hasil laut sesuai dengan yang

diajarkan oleh orang-orang tua mereka.

5.3. Peran Lembaga Adat

5.3.1. Perencanaan

Peran lembaga adat di Kedonganan dalam menyusun strategi menghadapi

kemiskinan ini sangatlah penting, terutama dalam hal mengubah pola pikir

masyarakat setempat. Hal itu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Kedonganan

yang didukung Pemkab Badung untuk menata kawasan pantai Kedonganan sebagai

bagian palemahan desa. Panitia penataan kemudian dibentuk untuk

mempersiapkan rencana penataan hingga pelaksanaan penataan pantai

Kedonganan. Panitia tersebut dibentuk melalui sinergi antara tiga lembaga, yaitu

41

Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat (LPM) Kedonganan. Anggota panitia penataan adalah warga Desa

Adat Kedonganan yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan

perencanaan di bidang pariwisata, misalnya ilmu perencanaan, arsitektur dan

lingkungan. Kepanitiaan tersebut bekerja dengan baik karena dukungan penuh

dari para tokoh masyarakat yang kepemimpinan dan ketokohan dari para tokoh

masyarakat itu beserta jajarannya dan juga dukungan para pemudanya

mengakibatkan sebagian besar warga Desa Adat Kedonganan memberi dukungan

terhadap rencana penataan ulang pantai Kedonganan. Di Desa Adat Kedonganan

sendiri desa adat dibantu secara finansial oleh LPD (Lembaga Perkreditan Desa)

Desa Adat Kedonganan.

LPD Desa Adat Kedonganan mempunyai visi dan misi sebagai berikut :

Visi

Menjadikan LPD Desa Adat Kedonganan sebagai Lembaga Padruwen

(Kekayaan) Desa Adat Kedonganan yang dipercaya dan tangguh sehingga mampu

menyangga adat dan budaya Bali.

Misi

1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik secara individu

maupun organisasi

2. Meningkatkan kinerja pelayanan

3. Meningkatkan kerja sama antarlembaga yang ada di Desa Adat

Kedonganan

4. Meningkatkan kontribusi LPD untuk pembangunan Desa Adat

Kedonganan, baik secara fisik maupun nonfisik

5. Mengembangkan jaringan (networking) yang kuat dengan LPD-LPD lain

di Bali

42

6. Meningkatkan kinerja LPD Desa Adat Kedonganan sehingga mampu

berperan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian pedesaan, aktivitas

sosial dan lingkungan hidup.

7. Meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki (sense of belonging)

masyarakat terhadap LPD Desa Adat Kedonganan.

8. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para prajuru dan krama

Desa Adat Kedonganan mengenai LPD sehingga mampu berperan sebagai

Badan Pengawas (BP) yang profesional.

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) itu sendiri merupakan buah pikiran

Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Gagasan mendirikan LPD diilhami

keberadan Lumbung Pitih Nagari (LPN) yang merupakan lembaga simpan pinjam

untuk masyarakat adat yang sukses di Padang Sumatera Barat. Dengan

mengadopsi konsep sekaa dan desa adat yang telah tumbuh sejak lama di dalam

masyarakat Bali, Gubernur Bali kemudian meluncurkan Lembaga Perkreditan

Desa (LPD). Tujuan LPD yakni membantu desa adat dan krama desa adat dalam

pembangunan adat, budaya dan agama. Keuntungan LPD direncanakan untuk

membangun kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, baik untuk pembangunan

fisik maupun nonfisik.

5.3.2. Pelaksanaan

LPD Desa Adat Kedonganan diresmikan pada 9 September 1990, yaitu

enam tahun setelah LPD resmi didirikan di Bali. Di awal pendiriannya, modal

LPD Kedonganan tidaklah begitu besar yaitu Rp 4,6 juta. Modal ini bersumber

dari bantuan Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Bali senilai Rp. 2.000.000

serta bantuan Pemda Tingkat II Badung senilai Rp 2.600.000. Pada awal

beroperasi, LPD Desa Adat Kedonganan belum memiliki kantor representatif.

Bendesa Adat Kedonganan kala itu, I Wayan Gandil meminjamkan wantilan

Banjar Anyar Gede sebagai kantor LPD Kedonganan. Pada saat didirikan, LPD

Desa Adat Kedonganan dalam kondisi serba terbatas. Tidak hanya terbatas modal

43

tetapi juga dukungan krama karena ragu lembaga ini bisa eksis dan berlanjut.

Karena itu, peresmian LPD Kedonganan hanya dihadiri sebagian prajuru dan

segelintir warga. Lambat laun, seiring bertumbuhnya kegiatan usaha LPD,

kepercayaan krama dan nasabah juga ikut tumbuh. LPD Kedonganan pun

berkembang pesat. Akhirnya, pada tahun 1991, Desa Adat Kedonganan mampu

memberikan bantuan dana Rp 12.000.000 untuk membangun kantor LPD Desa

Adat Kedonganan di lokasi kantor LPD saat ini. Gedung ini kemudian direnovasi

total pada tahun 2009 dan di-pelaspas serta diresmikan Bupati Badung, AA Gde

Agung, S.H., pada 12 Januari 2010.

Demikianlah, sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan yang didukung

Pemkab Badung, dan secara internal didukung oleh LPD Desa Adat Kedonganan

dan BPT2K menata kawasan Pantai Kedonganan sebagai bagian palemahan desa.

Penataan pantai Kedonganan pada dasarnya merupakan proses pengalokasian area

pantai Kedonganan ke dalam zona-zona tertentu, yaitu zona café, zona ekonomi,

zona sosial-budaya dan keagamaan berdasarkan gambar rencana yang telah

disetujui. Penataan juga merupakan usaha untuk mengurangi jumlah café yang

sudah berdiri sebelumnya dari sejumlah 67 menjadi 24 dimana kepemilikannya

diserahkan kepada seluruh warga Desa Adat Kedonganan yang tersebar di enam

banjar sesuai Rekomendasi Bupati Badung. Keberadaan kafé-kafé ditata agar

mampu memaksimalkan potensi warga. Masing-masing banjar diberi hak

mengelola empat kafe. Ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kedonganan melalui usaha bersama dengan

memanfaatkan palemahan desa di pesisir barat.

Sejak saat itulah, Pantai Kedonganan dikenal sebagai daerah wisata

kuliner. Menu kuliner yang ditawarkan yakni ikan bakar, lobster, udang, kerang,

kepiting, cumi, serta menu pendukung seperti sambal ala Kedonganan, plecing

kangkung, dan lainnya. Rasa dan aroma yang ditawarkan di cafe di kawasan

Pantai Kedonganan memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki daerah

lain. Pantai Kedonganan kini telah berubah menjadi objek wisata yang sangat

menarik. Pemandangan lautnya tak kalah menawan dengan objek wisata pantai

lainnya. Nama Kedonganan pun mulai disebut-sebut di dunia pariwisata.

44

Sejumlah situs internet menurunkan laporan mengenai suasana Pantai

Kedonganan sebagai alternatif objek wisata pantai maupun wisata kuliner di Bali.

Berbagai biro perjalanan pun mulai memasarkan Pantai Kedonganan.

5.3.3. Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan yang dilakukan Desa Adat Kedonganan berlandaskan awig-

awig yang berlaku di wilayah itu. Awig-awig merupakan suatu bentuk

kelembagaan lokal yang mengatur perilaku atau tata kelakuan masyarakat sesuai

nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Awig-awig dalam

pengaturam kehidupan masyarakat nelayan bertujuan mengatur perilaku nelayan

baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Awig-awig merupakan

sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan

ajaran agama Hindu Tri Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau

keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan

dan manusia dengan lingkungan. Ada tujuh aturan lokal atau larangan pada Awig-

awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Kedonganan, yaitu:

1. Larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan

bahan kimia berbahaya lainnya.

2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja.

3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi.

4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi.

5. Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat.

6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir.

7. Larangan melaut pada angin musim barat.

45

Tujuan dibentuknya awig-awig tersebut adalah untuk memberi pedoman

berperilaku pada nelayan dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam kegiatan

penangkapan ikan dan menjaga keutuhan masyarakat nelayan. Mereka

menjadikan awig-awig sebagai pedoman yang diterima bersama dan memberi

pegangan kepada nelayan sebagai suatu sistem pengawasan untuk menghindari

dampak negatif lingkungan dan memudarnya nilai-nilai budaya akibat kegiatan

yang mereka lakukan. Selain itu awig-awig mempunyai tujuan agar

keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang terkandung dalam ajaran Tri

Hita Karana tetap dipertahankan seiring dengan perkembangan jaman. Sebagai

wujud dari pengawasan sosial, maka diberlakukan pula sanksi untuk setiap

bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan satu wujud upaya

represif. Semua aturan atau larangan dalam awig-awig disosialisasikan sebagai

bentuk proses penanaman nilai-nilai dan aturan adat dalam lingkungan

masyarakat. Bentuk sosialisasi dilakukan melalui beberapa cara, antara lain

dilakukan secara lisan oleh tokoh masyarakat desa, tokoh pemerintah, ketua

nelayan, penduduk pribumi, dan juga sosialisasi melalui media tulis. Sosialisasi

biasa dilakukan ketika ada pertemuan kelompok nelayan atau sedang berkumpul

bersama. Sosialisasi ini biasanya dilakukan pada saat mendekati Hari Raya Nyepi

atau akan diadakan upacara kegamaan setempat. Agar pelaksanaan pengawasan

lebih optimal, pada tahun 2007 dibentuk sebuah organisasi yang akan

melaksanakan fungsi pengelolaan kepariwisataan di pantai Kedonganan.

Organisasi tersebut bernama Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai

Kedonganan (BP-KP2K) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama

Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan.

BP-KP2K bertugas sebagai pelaksana kebijakan tiga lembaga pembentuk terkait

penataan pantai Kedonganan, dan sebagai pengawas Kawasan Pantai

Kedonganan. Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-

KP2K) kini berubah nama menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir

Kedonganan (BPKP2K). Pembentukan BPKP2K sebagai lembaga pengelola

kepariwisataan di Kedonganan diharapkan mampu memastikan agar pariwisata

berbasis masyarakat mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan, dan

46

dapat memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan . Setelah

dibentuk badan pengelola (BPKP2K), kemudian dibentuk pula Panitia Pelaksana

Pembuatan perarem (Peraturan Desa Adat) tentang café di pantai Kedonganan.

Pembuatan perarem dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengelola café

dalam melaksanakan operasionalnya sehingga dapat beroperasi dalam iklim

usaha yang baik dan mampu mencegah persaingan yang tidak sehat. Peraturan

(perarem) mengatur beberapa hal penting, yaitu penggolongan warga (krama)

sebagai pemilik café, pembagian lokasi café masing-masing banjar, spesifikasi

bangunan dan kepemilikan bangunan café serta lahannya. Perarem juga mengatur

mengenai kompensasi yang harus dibayarkan oleh café kepada Desa Adat

Kedonganan dan jangka waktu pembayarannya, hak dan kewajiban lembaga

pengelola BPKP2K, serta beberapa keharusan dan larangan lainnya. Selain itu,

perarem juga mengatur mengenai prosedur penanganan pelanggaran, ketentuan

mengenai sanksi-sanksi, dan ketentuan mengenai masa berlakunya perarem. Agar

ada keteraturan, penegakan aturan-aturan dalam perarem termasuk pemberian

sanksi harus lebih dimaksimalkan. Hal itu memerlukan komitmen dan dukungan

dari BPKP2K, tiga lembaga utama dan seluruh stakeholder kepariwisataan di

pantai Kedonganan. Pembentukan perarem dilakukan dengan tujuan untuk

memastikan keberlanjutan kepariwisataan di pantai Kedonganan, melalui

seperangkat peraturan untuk mengatur pengelolaan café dan kawasan pantai

Kedonganan. Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya merupakan pariwisata yang

memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana dengan tetap mengupayakan

pelestariannya.

Setelah BPKP2K terbentuk, warga masyarakat tetap mengawasi

pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan.

Setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat (Kelihan Banjar) duduk sebagai

anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut setiap bulan

memperoleh laporan dari BPKP2K melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan

tersebut akan diteruskan kembali ke seluruh krama (warga) banjar pada saat

sangkep atau paruman (rapat) sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan

kepariwisataan pantai Kedonganan termasuk perkembangan café yang mereka

47

miliki.

5.3.4. Hubungan Pihak Pengelola Dengan Masyarakat

Atas keberhasilan usaha menata dan mengelola wilayah Kedonganan, pada

suatu kesempatan Kepala LPD Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra, S.H.,

M.M., menyatakan LPD bukan semata lembaga keuangan, tetapi juga lembaga

adat yang mengemban fungsi sosial, budaya dan spiritual. Karena itu, LPD tidak

bisa hanya berpikir menjalankan usaha secara ekonomis dengan target laba yang

tinggi, tetapi juga harus ikut memikirkan kelangsungan adat dan budaya Bali serta

agama Hindu di desa adat. Menurut Madra, kelangsungan adat dan budaya Bali

serta agama Hindu di desa adat menjadi kunci kelangsungan LPD.

Pembangunan kepariwisataan atau pengelolaan sumber daya laut harus

mampu berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan alam, sosial-

budaya dan ekonomi dimana ketiganya merupakan pilar-pilar keberlanjutan.

Pengelolaan berbasis masyarakat diimplementasikan dengan pendekatan bottom-

up, dimana hal ini sebenarnya mengedepankan peran serta masyarakat sebagai

prinsip utamanya. Peran serta tersebut terwujud dari tersedianya kesempatan bagi

masyarakat untuk terlibat penuh mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi, selanjutnya sebagai penikmat dari manfaat yang

ditimbulkan.

Perkembangan bisnis café di pantai Kedonganan sangat menjanjikan. Hal

tersebut dimungkinkan karena ramainya pantai Kedonganan dikunjungi oleh para

wisatawan, baik wisatawan lokal maupun manca negara. Tingginya tingkat

pengembalian investasi café di Pantai Kedonganan mampu meningkatan kondisi

keuangan Desa Adat Kedonganan sehingga mampu memberikan banyak manfaat

bagi warganya. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya

kemampuan Desa Adat Kedonganan sebagai lembaga adat untuk melaksanakan

berbagai aktivitas tanpa harus memungut biaya dari warga masyarakat. Mereka

mampu menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas bagi kesejahteraan warga

Desa Adat Kedonganan.

48

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), lembaga adat

melalui LPD berperan aktifmengadakan program dalam bidang pendidikan,

kesehatan serta social-budaya. LPD memberikan beasiswa berprestasi dan

beasiswa bagi anak yang kurang mampu. Selain itu LPD juga menyelenggaran

tabungan untuk pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan desa adat

Kedonganan yang diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan

melaksanakan kegiatan yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan di

kelurahan Kedonganan.

Selain pendidikan, kesehatan adalah bagian penting dari kebutuhan

masyarakat. Oleh karena itu, aspek kesehatan diwujudkan melalui aneka kegiatan

olah raga dan kesehatan setiap pelaksanaan hari ulang tahun LPD. Desa adat

Kedonganan juga menjalin hubungan kerja sama dengan rumah sakit untuk

pemeriksaan dan pengobatan para warga masyarakat. Demikian pula banyak

kegiatan sosial-budaya lainnya yang dilaksanakan untuk kepentingan warga

masyarakat tanpa dikenakan biaya sedikitpun.

Kesejahteraan warga masyarakat makin meningkat. Oleh karena itu, tidak

heran bila sebelumnya banyak nelayan Kedonganan hanya di tingkat “kelas

buruh” saja, kini mereka sudah menjadi “kelas majikan”. Tidak jarang dari para

nelayan “kelas majikan” ini mempunyai lebih dari tiga perahu dengan beberapa

nelayan buruh yang menjadi bawahannya. Nelayan buruh ini terdiri dari para

nelayan pendatang yang umumnya berasal dari Jawa. Seperti dikemukakan oleh I

Made Dwi Wijaya, ST (Sekretaris BPKP2K ) ;

“Pendapatan rata-rata orang Kedonganan minimal berkisar 3-4 juta ada juga mencapai sampai 10 juta/bln. Pekerjaan yang di geluti tidak hanya satu bidang pekerjaan melainkan 2-3 pekerjaan sekaligus, jadi tidak salah orang Kedonganan saat ini bisa dikategorikan sangat mapan, yang dahulunya sebagai nelayan namun sekarang sudah menjadi bos nelayan. Karena banyak berdirinya cafe dan tempat usaha lainnya, dominan orang pribumi lebih sukses dibandingkan orang luar seperti orang Cina.”

49

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Pada awalnya, masyarakat nelayan desa adat Kedonganan dapat dikategorikan

sebagai masyarakat miskin, dalam arti belum bisa mengelola sumber daya laut

yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Hasil

perkembangan kepariwisataan pun belum dirasakan oleh masyarakat, karena

pengelolaannya belum tertata rapi. Namun sejak tahun 2007 desa adat

Kedonganan melalui para pemuka desanya menciptakan strategi baru dalam

menghadapi kemiskinan tersebut. Mereka merencanakan, melaksanakan, dan

melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.

Diawali dengan pengelolaan pantai dengan kafe-kafe yang ada di pantai

Kedonganan. Pengelolaan kafe-kafe tersebut diserahkan kepada masyarakat

melalui banjar. Masyarakat dilibatkan sejak awal pendirian, pengelolaan dan

evaluasi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kedonganan. Terjadilah

peningkatan ekonomi, sosial-budaya yang signifikan. Pengelolaan pantai

Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,

karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar

manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.

6.2.Saran

Masyarakat Kedonganan diharapkan tetap menjaga keseimbangan hubungan

dengan lingkungan, baik alam, spiritual maupun antar manusia. Secara lahiriah,

yang harus lebih diperhatikan adalah kebersihan lingkungan, dan tersedianya

lahan parkir yang cukup luas. Karena bagaimana pun kini Kedongan menjadi

tujuan wisata pantai dan kuliner yang cukup populer.

Untuk meningkatkan keefektivitasan awig-awig atau perarem, maka perlu

dilakukan evaluasi terhadap beberapa peraturan yang ada sehingga dapat

50

dilakukan perbaikan. Evaluasi tersebut meliputi bentuk sosialisasi, sanksi-sanksi

yang diterapkan, para petugas yang memantau, kesadaran dan kondisi nelayan,

ketersediaan sarana dan prasarana serta kondisi wilayah. Aturan-aturan dan

sanksi-sanksi yang diterapkan harus tegas, dan jumlah petugas pemantau

ditingkatkan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

51

DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. (1989). Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Kusnadi. (2002). Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Kusnadi. (2007). Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS. Marzali, Amri. (2003). Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pradnyaswari, N.P.A. Amrita. (2011). Pemertahanan Identitas Etnik dalam Masyarakat Multikultural pada Masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan Kecamatan Denpasar Selatan. Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD. Pramono, Djoko. (2005). Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia. Rilus, A. Kinseng. (2014). Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Schoorl, J. (1980). Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia. Sanjaya, I Putu Kamasan. (2010). Kehidupan Masyarakat Nelayan Desa Pengambengan Jembrana Tahun 1900-1990. Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional , Vol.17 No.2, 277-292. Denpasar: BPSNT Bali Nusra. Sucipta, Abdi Md. (2012). Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik Wisata Kuliner Berbasis Masyarakat di Desa Kedonganan, Media Bina Ilmiah, Volume 6, no. 6, Desember 2012, 24-28. Sudiyono. (2014). Praktik Hak Ulayat Laut Pada Masyarakat Nelayan di Pulau Tidore Sebuah Potret Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan , Vol.9 No.2, 101-114. Jakarta:PPPK. Takwim, Bagus. (2003). Akar-Akar Ideologi : Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Vickers, Adrian. (2009). Peradaban Pesisir : Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan - Udayana University Press.

52

Widhianti, N.M.D. Safitri. (2005). Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di Kawasan Wisata Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali. Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD. kelurahankedonganan.blogspot.co.id, Profil Kelurahan Kedonganan www.lpdkedonganan.com, LPD Desa Adat Kedonganan

53

54

55

CATATAN HARIAN (LOGBOOK)

No Minggu Tanggal Kegiatan Catatan Kemajuan

1.

I

1 s.d. 7 Mei 2015

Merumuskan rancangan penelitian

Diperoleh rancangan rumusan penelitian berupa deskripsi kerja dan jadwal penelitian

2.

II

8 s.d. 14 Mei 2015

Pembagian tugas anggota tim peneliti

Diperoleh pembagian tugas sesuai dengan deskripsi dan jadwal kerja

3. III

15 s.d. 21 Mei 2015

Mencari data sekunder (buku, artikel, media cetak, jurnal, dll)

Diperoleh data sekunder dari bermacam sumber

4.

IV 22 s.d 31 Mei 2015 Pengolahan data sekunder

Membuat analisa deskriptif tahap I

(gambaran umum lokasi penelitian)

5. V 1 s.d 7 Juni

2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap I (di lingkungan pasar dan pantai Kedonganan)

Diperoleh data primer awal : wawancara dengan beberapa informan

6. VI 8 s.d 14 Juni

2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap II (di lingkungan pasar dan pemukiman penduduk)

Diperoleh data jenis, harga, dan pola distribusi hasil tangkapan laut

7.

VII 15 s.d 21 Juni 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap III (observasi kehidupan sehari-hari nelayan)

Diperoleh data kehidupan masyarakat nelayan sehari-hari dan bidang pekerjaan pendukung

8.

VIII

22 s.d. 30 Juni 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap IV (mencari informasi penataan cafe-cafe di Kedonganan)

Diperoleh data sistem penataan cafe

9.

IX

1 s.d 7 Juli 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap V (mencari informasi tentang pemberdayaan masyarakat nelayan, lokasi di Pura

Diperoleh data sistem pemberdayaan masyarakat nelayan

56

Segara dan LPD Kedonganan)

10.

X 8 s.d 14 Juli

2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap VI (mencari informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup)

Diperoleh informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup.

11.

XI 15 s.d 21 Juli 2015

Penyusunan draf laporan dan penggunaan dana 70%

Draf Laporan kemajuan penelitian dan penggunaan dana 70%

12.

XII 22 s.d 31 Juli

2015

Membuat laporan kemajuan penelitian 70% ke LPPM UNUD

Laporan kemajuan penelitian dana 70% terdokumentasikan di LPPM Unud

13.

XIII

1 s.d. 7 Agustus 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap VII (mencari informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup)

Diperoleh informasi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi permasalahan hidup.

(lanjutan)

14.

XIV

8 s.d. 14 Agustus 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap VIII (mencari informasi perencanaan penataan pantai)

Diperoleh informasi perencanaan penataan pantai

15.

XV

15 s.d. 21 Agustus 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap IX (mencari informasi langkah-langlah pelaksanaan program)

Diperoleh informasi langkah-langlah pelaksanaan program

16.

XVI 22 s.d 31

Agustus 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap X (mencari informasi langkah-langlah pelaksanaan program)

Diperoleh informasi langkah-langlah pelaksanaan program

(lanjutan)

17.

XVII 1 s.d 7

September 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap XI (mencari informasi sistem pengawasan dan evaluasi)

Diperoleh informasi sistem pengawasan dan evaluasi

18. XVIII

8 s.d 14 September

2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap XII (mencari informasi sistem

Diperoleh informasi sistem pengawasan dan evaluasi

57

pengawasan dan evaluasi) (lanjutan)

19.

XIX 15 s.d 21

September 2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap XIII (mencari informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat)

Diperoleh informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat

20.

XX

22 s.d. 30 September

2015

Observasi lapangan dan wawancara tahap XIV (mencari informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat)

Diperoleh informasi hubungan antara pengelola dengan masyarakat

(lanjutan)

21. XXI

1 s.d 7 Oktober 2015

Verifikasi dan klarifikasi data hasil penelitian

Diperoleh perbaikan data penelitian

22. XXII 8 s.d 14

Oktober 2015 Diskusi dan penyusunan draf laporan penelitian

Diperoleh draf laporan penelitian

23. XXIII 15 s.d 21

Oktober 2015 Penyusunan draf laporan dan penggunaan dana 100%

Draf laporan penelitian dan penggunaan dana 100%

24.

XXIV 22 s.d 30 Oktober 2015

Membuat laporan penelitian 100% ke LPPM UNUD

Laporan penelitian 100% terdokumentasikan di LPPM Unud

58

LAMPIRAN

Lampiran 2 : Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian Judul Penelitian : Strategi Nelayan Kedonganan Menghadapi

Kemiskinan

Peneliti/Pelaksana Nama : Dr. Purwadi, M.Hum Perguruan Tinggi : Universitas Udayana NIDN : 0029115305 Nama Anggota 1 : Drs. I Ketut Kaler, M.Hum Nama Anggota 2 : - Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana1 tahun Dana Tahun Berjalan : Rp 25.000.000,00 Dana mulai diterima tanggal

: 23 Juni 2015

TAHAP I 1. Honor Honor Honor/jam

(Rp) Waktu

(jam/minggu) Minggu Honor per 12 minggu (Rp)

Ketua 9.000,- 16 12 1.728.000,- Anggota 1 8.300,- 16 12 1.593.600,- Sub Total (Rp) 3.321.600,- 2. Bahan Habis Pakai Material Justifikasi

pemakaian Kuantitas Harga Satuan

(Rp) Harga per 12 minggu (Rp)

a. Kertas A4 4 rim 4 40.000,- 160.000,- b. Ballpoint 2 lusin 2 36.000,- 72.000,- c. Blocnote 12 buah 12 5.000,- 60.000,- d. Tinta Printer 2 set 2 120.000,- 240.000,- Sub Total (Rp) 532.000,- 3. Perjalanan Material Justifikasi

pemakaian Kuantitas Harga Satuan

(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)

a. Pemilihan informan

1 unit mobil x 3 hari

3 300.000,- 900.000,-

b. Observasi dan wawancara

1 unit mobil x 9 hari

9 300.000,- 2.700.000,-

c. Bahan bakar 1 unit mobil x 12 hari

12 hari 100.000,- 1.200.000,-

Sub Total (Rp) 4.800.000,-

59

4. Lain-lain Material Justifikasi

pemakaian Kuantitas Harga Satuan

(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)

a. Pengolahan data

2 OH x 21 hari 42 50.000,- 2.100.000,-

b. Penulisan laporan

2 OH x 5 hari 10 35.000,- 350.000,-

c. Penggandaan dan penjilidan

10 eksemplar 10 20.000,- 200.000,-

d. Rapat dan diskusi

8 OH x 1 hari 8 100.000,- 800.000,-

e. Retribusi 2 OH x 24 hari 48 7.000,- 336.000,- f. Konsumsi 2 OH x 2 x 24

hari 96 20.000,- 1.920.000,-

Sub Total (Rp) 5.706.000,-

TOTAL ANGGARAN YANG DIKELUARKAN TAHAP I : Rp. 14.359.600,-

60

TAHAP II 1. Honor Honor Honor/jam

(Rp) Waktu

(jam/minggu) Minggu Honor per 12 minggu (Rp)

Ketua 9.000,- 16 12 1.728.000,- Anggota 1 8.300,- 16 12 1.593.600,- Sub Total (Rp) 3.321.600,- 2. Bahan Habis Pakai Material Justifikasi

pemakaian Kuantitas Harga Satuan

(Rp) Harga per 12 minggu (Rp)

a. Kertas A4 4 rim 4 40.000,- 160.000,- b. Ballpoint 2 lusin 2 36.000,- 72.000,- c. Blocnote 12 buah 12 5.000,- 60.000,- d. Tinta Printer 2 set 2 120.000,- 240.000,- Sub Total (Rp) 532.000,- 3. Perjalanan Material Justifikasi

pemakaian Kuantitas Harga Satuan

(Rp) Biaya per 12 minggu (Rp)

a. Observasi dan wawancara

1 unit mobil x 4 hari

4 300.000,- 1.200.000,-

b. Bahan bakar 1 unit mobil x 4 hari

4 hari 100.000,- 400.000,-

Sub Total (Rp) 1.600.000,-

61