Upload
doanphuc
View
259
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
STRATEGI PEMBELAJARAN KITAB KUNING
(Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran Kitab Kunig di Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing Natal)
Tesis
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif HIdayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Pendidikan (M.Pd)
Oleh:
Miftah Pausi
NIM: 21140110000001
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Miftah Pausi. NIM: 21140110000001. Strategi Pembelajaran Kitab Kuning
(Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru). Magister Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pendekatan teori belajar humanistik merupakan suatu strategi pembelajaran sebagai
usaha mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Pendekatan teori belajar
humanistik memperhatikan siswa sebagai individu dengan perbedaan dan bawaan
potensi-potensi yang dimilikinya. Siswa diarahkan untuk mengembangkan potensi
yang dimilikinya tanpa ada tekanan, paksaan dan ancaman dari guru. Semakin
berkurang dan rendahnya penguasaan santri saat ini terhadap kajian kuning di
pesantren menjadi masalah penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Penelitian
ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk menganalisis
dimensi humanistik dalam kajian kuning sebagai strategi pembelajaran di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru dan menghasilkan kesimpulan, yaitu:1) pembelajaran
kitab kuning berlangsung tanpa ancaman dan paksaan; 2) ustad memberikan reward
sebagai penghargaan terhadap capaian santri melalui pujian, nilai dan promosi; 3)
pendekatan teori belajar humanistik ditemukan pada kegiatan ekstrakuriuler dan
kehidupan santri di lingkungan banjar/gubuk. Sementara kendala kajian kitab kuning
yang ditemukan di pesantren Musthafawiyah diatasi dengan: a) mendorong para
santri untuk mengikuti kajian-kajian kitab kuning di luar kajian kelas agar para santri
semakin mendalam pemahamannya terhadap kajian kitab, semakin rajin untuk
membaca dan mengeksplor kajian kitab; b) kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler
seperti: kegiatan tabligh, perayaan, dan organisasi santri merupakan wadah bagi
santri untuk melatih ketrampilan; c) untuk menghindari kemalasan santri, ustad tidak
bosan-bosannya memberikan nasehat dan motivasi agar para santri semakin bergiat
dalam mengikuti kajian.
Kata Kunci: Pembelajaran Humanistik, Pesantren, dan Kitab Kuning
vii
ABSTRACT
Miftah Pausi. NIM: 21140110000001. Learning Strategy of Book of Yellow
(Analysis Approach Theory of Humanistic Learning Against Study of Book of
Yellow in Musthafawiyah Purba Baru Boarding School). Magister of Islamic
Education Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, State Islamic University
Syarif Hidayatullah Jakarta
The humanistic learning approach is a learning strategy as an effort to achieve
maximum learning outcomes. The approach of humanistic learning theory concerns
the students as individuals with differences and innate potentials they possess.
Students are directed to develop their potential without pressure, coercion and threat
from the teacher. This research was conducted in Musthafawiyah Purba Baru
Boarding School. This research was conducted by qualitative descriptive method
with the aim to know the implementation of the approach of humanistic learning
theory to the study of book of yellow in Musthafawiyah Purba Baru Boarding School
and resulted in the conclusion, namely: 1) learning book of yellow run without threat
and coercion; 2) ustadz (priest of Islam) give reward as an appreciation to the
achievement of santri (student) through praise, value and promotion; 3) the approach
of humanistic learning theory found in extracurricular activities and the life of santri
in banjar neighborhood. While the obstacles of the study of book of yellow found in
Musthafawiyah Purba Baru Boarding School among them: a) there are still students
who have difficulty reading book of yellow, b) difficulty reading and understanding
the bare book impact on laziness students to follow the learning; c) the life of the
student is quite free to provide opportunities for influx of bad influences from outside
boarding school environment. The role of ustadz as a teacher is always not bored to
provide guidance and advice as an effort to raise awareness of santri to his
responsibility as a prosecutor of religious knowledge.
Keywords: Humanistic Learning. Pesantren and Kitab Kuning
viii
ملخص
اسرتاتيجية تعمل كتب الرتاث )حتليل مبقاربة نظرية ، 21140110000001ي، رمق قيد الطالب: فوز مفتاح
التعمل الإنساين دلراسة كتب الرتاث يف معهد املصطفوية بوراب ابرو(. برانمج ماجيس تري الرتبية الإسالمية
جلامعة رشيف هداية هللا الإسالمية احلكومية جاكرات.بلكية الرتبية
مقاربة نظرية التعمل الإنساين )الهومانس يت( يه عبارة عن اسرتاتيجية التعمل لتحقيق حصيةل التعمل عىل الوجه
ماكنيات وامليول الأمكل. هذه النظرية تعطي اهامتما كبريا لأفراد الطالب وتراعي ما هبم من الشخصيات والإ
جراء املتف ماكنياته بدون أأي ضغط من قبل املعمل. مت اإ اوتة من خشص لآخر. حيث أأهنا توجه الطالب لتطوير اإ
هذه ادلراسة يف معهد املصطفوية بوراب ابرو يف منطقة مندايلني التابعة حملافظة سومطرى الشاملية علىى مهنج
رتاث يف معهد املصطفوية بوراب ابرو. وصفي نوعي هبدف معرفة تطبيق نظرية التعمل الإنساين دلراسة كتب ال
( تمت معلية تعمل كتب الرتاث يف املعهد عىل رىض من الطالب وبدون أأي 1ونتاجئ هذه ادلراسة ما ييل:
جنازا معينا شيئا من املاكفأأة املمتثةل يف املدح 2ضغط من أأي جانب؛ ( يعطي املدرس الطالب اذلي حقق اإ
اربة توجد يف نشاطات لصفية ويف حياة الطالب يف مسكهنم. أأما العوائق ( هذه املق3وادلرجات والانتقال؛
اليت تعوق سري معلية تعمل كتب الرتاث يف املعهد يه: أأ( وجود عدد من الطالب اذلين مل يتقنوا قراءة كتب
ىل الشعور ابلكسل دلى الطالب الرتاث؛ ب( ضعف قدرة بعض الطالب يف قراءة كتب الرتاث يؤدي اإ
ة التعمل؛ ج( وضع حياة الطالب يف السكن مفتوح وغري حمروس بلواحئ حامسة فهذا يفتح فرصة واسعة ملتابع
رشاد الطالب دلخول أأي تأأثري سليب من خارج املعهد. ودور املدرس )الأس تاذ( يف املعهد أأنه مل يأأل هجدا يف اإ
عي.ونصحهم لتحقيق الوعي يف نفوسهم بأأهنم ملكفون ومس ئولون بطلب العلمي الش
اللكامت الأساس ية: تعمل هومانس يت، معهد، كتب الرتاث.
vii
KATA PENGANTAR
حي لره ن ٱ ح لره
ٱ لله بسم ٱ
Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Swt
yang telah melimpahkan pertolongan-Nya, dengan limpahan rahmat dan petunjuk
Allah Swt maka Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul Strategi
Pembelajaran Kitab Kuning (Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran
Kitab Kuning di Pesantren Musthafawiyah Purba Baru).
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan umat, Nabi
Muhammad saw yang telah membawa misi akhroja al-naas min al-dzulumati ila al-
nuur, teladan manusia dengan misi iman, ilmu, dan akhlak mulia untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan penuh kerendahan hati penulis menyadari betul bahwa proses
penulisan tesis ini tidak terjadi begitu saja tanpa adanya bantuan dan dukungan yang
ikhlas dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Prof. Dr. Ahmad Thib
Raya, MA serta seluruh jajaran civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam FITK Dr. Sapiudin Shidiq,
M.Ag serta seluruh staf Sekretariat Magister FITK.
4. Pembimbing Tesis Dr. Sapiudin Shidiq, M.Ag atas segala arahan, bimbingan
dan support penuh kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
5. Penguji Sidang Promosi Tesis Bapak Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Noor, Bapak Dr.
Ahmad Shodiq, M.Ag, dan Bapak Dr. Khalimi, M.Ag yang telah menguji dan
memberikan saran dan arahan dalam perbaikan isi tesis ini.
6. Ustad Munawwar Kholil Sekeretaris Pesantren Musthafawiyah Purba Baru yang
telah memberikan izin lokasi pelaksanaan penelitian dalam penyelesaian
penulisan tesis ini. Kepada ustad Sya’ban yang telah menemani dan banyak
memerikan informasi tentang lokus penelitian, adik-adik santri pesantren
Musthafawiyah Purba Baru yang telah membantu informasi.
7. Bapak H. Bambang Trenggono dan Ibu Dwi Budi Utami yang telah membantu
biaya Pendidikan selama menjalani pendidikan S2 di UIN Jakarta
8. Rasa hormat, cinta dan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua
orangtuku, Ayahanda (Alm) Afrin Lubis dan Ibunda (Alm) Nurhayani atas
segala jerih payah, doa, dan cinta kasih senantiasa menyertai langkah ini.
semoga Allah Swt selalu menerangi kubur keduanya, diberikan kelapangan,
maghfiroh dan jannahNya.
viii
9. Istriku Tercinta Ilan Sani Siagian, S.Pd terima kasih sayang atas dukungan dan
doanya, mohon maaf atas waktu dan terima kasih atas pengertiannya.
10. Kakak-kakakku tersayang, Alfiah dan Robiah, Adik-adikku tercinta, Ema,
Supri, Ni’mah, Dodon senyum kalian adalah rinduku.
11. Teman, sahabat, saudara, ustad-ustadzah Mahasiswa Magister PAI 2014
persaudaraan sepanjang masa.
12. Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam penyusunan tesis ini yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu. Semoga amal baik yang telah diberikan
diterima menjadi amal soleh di sisi Allah Swt, dan mendapat limpahan rahmat
dari-Nya. Amin.
Jakarta, 17 Juli 2018
Miftah Pausi
ix
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN ...................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Permasalahan ...................................................................... 11
1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 11
2. Pembatasan Masalah ...................................................................... 11
3. Rumusan Masalah ...................................................................... 11
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................................... 11
1) Tujuan Penelitian ...................................................................... 11
2) Signifikansi Penelitian ................................................................... 12
BAB II KERANGKA TEORI ..................................................................... 13
A. Strategi Pembelajaran dan Teori Pembelajaran .................................... 13
1. Strategi Pembelajaran .................................................................... 13
2. Teori Pembelajaran ...................................................................... 14
3. Teori Belajar Humanistik ............................................................... 16
4. Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik ......................................... 19
5. Prinsip Belajar Humanistik ............................................................ 21
6. Humanistik dalam Pandangan Islam .............................................. 23
7. Aplikasi Teori Belajar dalam Pendidikan ...................................... 25
B. Pesantren Sebagai Basis Kitab Kuning ................................................ 32
1. Pesantren dan Karakteristiknya ...................................................... 32
2. Tujuan Pendidikan Pesantren ......................................................... 35
3. Tipologi Pesantren ...................................................................... 35
4. Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi ......................................... 37
C. Kitab Kuning ...................................................................... 38
1. Pengertian Kitab Kuning ................................................................ 38
2. Signifikansi Kitab Kuning dalam Tradisi Pendidikan Pesantren ... 40
3. Isi Kandungan dan Pemikiran Kitab Kuning ................................. 41
4. Metode Pengajaran Kitab Kuning .................................................. 41
5. Perkembangan Keilmuan Kitab Kuning ........................................ 43
6. Kitab Kuning dalam Kurikulum Pesantren .................................... 45
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan ..................................................... 50
x
E. Kerangka Berpikir ...................................................................... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 57
A. Metode Penelitian ...................................................................... 57
1. Objek dan Desain Penelitian .......................................................... 57
2. Subjek Penelitian ...................................................................... 58
3. Kehadiran Penelitian ...................................................................... 58
4. Data yang Dikumpulkan ................................................................ 58
5. Sumber Data ...................................................................... 59
6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 59
7. Teknik Pengolahan Data ................................................................ 60
8. Pengecekan Keabsahan Data ......................................................... 61
B. Pendekatan Data dan Keilmuan ........................................................... 64
C. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara ......................................................... 64
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... 65
A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 65
1. Sejarah Singkat Pesantren Musthafawiyah Purba Baru ................. 66
2. Motto dan Tujuan pesantren Musthafawiyah Purba Baru ............. 67
3. Visi dan Misi Pesantren Musthafawiyah Purba Baru .................... 67
4. Struktur Organisasi Kepengurusan Pesantren Musthafawiyah ...... 68
5. Sarana dan Prasarana pesantren Musthafawiyah Purba Baru ........ 69
6. Program Pendidikan pesantren Musthafawiyah Purba Baru ......... 71
B. Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran di Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru .................................................................. 74
1. Pembelajaran Kitab Kuning Berlangsung Tanpa Ancaman .......... 74
2. Pembelajaran Kitab Kuning dengan Pemberian Reward ............... 89
C. Kendala Penguasaan Kajian Kitab Kuning di Pesantren Musthafawiyah Purba
Baru ...................................................................... 94
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 101
A. Simpulan ...................................................................... 101
B. Saran ...................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesantren merupakan satu-satunya “ahli waris” dari khazanah besar budaya
bangsa Indonesia yang hingga kini tetap berkembang sebagai lembaga pendidikan
berkharisma di lingkungan masyarakat bangsa. Sejarah perkembangan pendidikan di
Indonesia telah mencatat bahwa pesantren secara eksistensial telah menjadikan
dirinya sebagai “muara” dalam menyelami “lautan” ilmu-ilmu keislaman, menjadi
“jendela pembuka” bagi proses transmisi ajaran-ajaran Islam dalam pemahaman
masyarakat sesuai dengan tradisi dan budaya yang mengitarinya. (Suparta, 2009,
h.xi)
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang tetap bertahan
dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pesantren konsisten dengan tema
keislamannya karena pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia yang
mengajarkan keislaman dan akhlak mulia yang bersumber dari ajaran Islam.
Menurut Nurcholis Madjid pesantren adalah lembaga yang merupakan wujud proses
perkembangan pendidikan nasional, secara historis pesantren tidak hanya identik
dengan keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous).
(Madjid, 1997, h.3)
“Pesantren dibangun oleh suatu keinginan bersama antar dua komunitas yang
saling bertemu. Komunitas santri yang datang dengan keinginan menimba ilmu
sebagai bekal hidup, dan komunitas kiai yang secara ikhlas berkeinginan untuk
membagi ilmu dan pengalamannya. Dua komunitas ini bertemu dengan kesadaran
untuk secara bersama-sama membangun komunitas keagamaan di pesantren.
Sebagai keluarga besar yang dilandasi dan dilengkapi oleh nilai-nilai Islam, norma
dan kebiasaan sendiri”. (Suparta, 2009, h.xii)
“Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai karakteristik yang khas
dengan orientasi utama melestarikan dan mendalami ajaran Islam serta mendorong
para santri untuk menyampaikannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu
pesantren sebagai lembaga dakwah berpengaruh besar terhadap pengambangan
agama Islam di Nusantara”. (Suparta, 2009, h.xii) Oleh sebab itu pesantren adalah
lembaga untuk penggalian ilmu pengetahuan dan pendidikan serta menjadi lembaga
untuk memperdalam ajaran Agama Islam.
Eksistensi pesantren mempunyai peranan penting yang senantiasa tetap
istiqamah dan terus dikembangkan hingga sekarang ini, diidentifikasi pesantren
mempunyai tiga peranan penting, yaitu: (1) pesantren sebagai lembaga transmisi
ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge); (2) menjaga
dan memelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic Tradition); dan (3) sebagai
pusat mereproduksi/mencetak calon-calon ulama (reproduction of ulama).
(Mustajab, 2015, h.vi)
1
2
Dalam Alquran Allah Swt telah mengisyaratkan agar sebagian umat Islam
memperdalam ilmu pengatahuan agama. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
mengajarkan dan memelihara tradisi agama Islam. Pesantren telah melaksanakan
isyarat yang telah di firmankan oleh Allah Swt dalam Alquran, yaitu:
هوا تفق نهم طائفة لل فرقة مل فلول نفر من كل وما كن ٱلمؤمنون لنفروا كفة
ين ولن ذروا قومهم إذا رجعوا إلهم لعلهم يذرون ف ٱللArtinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (Q.S At-Taubah : 122)
Ayat tersebut telah menjelaskan bahwa umat mukmin tidaklah seluruhnya
diperintahkan untuk berangkat ke medan perang, meskipun Jihad fi sabilillah
merupakan pahala yang tertinggi, namun Allah Swt memerintahkan agar sebagian
umat pergi untuk menuntut ilmu demi kemaslahatan hidup di dunia, melalui ajaran
agama sebagian orang mampu memberi peringatan dan nasehat kepada kebaikan.
“Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang senantiasa terus tumbuh dan
berkembang ditengah-tangah masyarakat tetap survive dan konsisten
menyelenggarakan dan mengajarkan ilmu-ilmu berbasis ajaran Islam dengan
memadukan tiga unsur pendidikan, yaitu ibadah untuk menanamkan keimanan;
tabligh untuk menyiarkan ilmu dan agama; dan amal untuk mewujudkan kegiatan
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari”. (Shaleh, 2000, h.222) Maka
pesantren telah mewujudkan cita-cita pendidikan nasional di samping menanamkan
ajaran moral, juga ikut dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengutip pandangan Mukti Ali dan Munawir Sjadzali terutama dalam
mempertahankan kelangsungan masa depan pesantren, Soebahar menyepakati
bahwa tidak ada sekolah/madrasah yang lebih baik daripada sekolah/madrasah yang
berada di lingkungan pesantren karena pesantren dinilai berhasil membina otak dan
sekaligus watak para santri. Pesantren dinilai telah berhasil membina otak dan watak
sekaligus. (Mustajab, 2015, h.vi) Karena pesantren sejak awal pertumbuhannya
mempunyai tujuan yang mulia yaitu untuk menyiapkan santri mendalami dan
menguasai ilmu agama Islam atau lebih populernya littafaqahu fid diin, yang
diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan bangsa,
berfungsi sebagai dakwah untuk menyebarkan agama Islam dan menjadi benteng
pertahanan umat Islam dalam bidang akhlak. (DEPAG RI, 2003, h.9)
Pesantren telah berhasil menanamkan dan mengembangkan dakwah Islamiyah
di Indonesia, pesantren dengan teguh mengajarkan pentingnya akhlak al-karimah
sebagai asas hidup sehari-hari, di mana pesantren mengajarkan pandangan agama
Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis nabi. Mastuhu mendefenisikan
pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
3
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari”. (Mastuhu,
1994, h.55) Pedoman moral keagamaan yang baik dan akhlak mulia telah termaktub
banyak di berbagai literatur klasik atau kitab kuning yang dipelajari langsung oleh
santri di pesantren. Hal ini sesuai dengan pandangan Bruinessen tentang tradisi
agung yang dibangun pesantren.
“Pesantren telah sukses membangun tradisi agung (great tradition) dalam
pengajaran agama Islam berdasarkan kitab kuning di Nusantara. Pesantren telah
memainkan perananan penting dalam mengembangkan budaya dan peradaban yang
menyeluruh dalam kehidupan masyarakat nusantara. Pesantren hadir sebagai
jawaban untuk menegakkan nilai-nilai ajaran agama melalui pendidikan
keagaamaan. Yaitu melalui tradisi kajian kitab klasik atau kitab kuning yang
diajarkan di pesantren”. (Bruinessen, 1995, h.17)
Kitab kuning merupakan satu komponen yang melekat pada komponen pokok
sebuah pesantren, yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Adapun komponen-
komponen sebuah pesantren terdiri dari adanya (1) kiai sebagai pemimpin, pendidik
atau panutan, (2) santri sebagai peserta didik atau siswa, (3) masjid sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan peribadahan, (4) pondokan sebagai asrama untuk
tempat tinggal santri, dan (5) kitab kuning, atau kitab-kitab klasik sebagai bahan
kajian ilmu pengetahuan di pesantren. Bahkan Dhofier menitikberatkan pada kajian
kitab kuning sebagai lambang keaslian (indegineous) an sebuah pesantren. Artinya
tanpa pengajaran kitab kuning maka pesantren tidak dianggap asli lagi. (Dhofier,
1982, h.40-46)
Kitab kuning yang diajarkan di pesantren merupakan karya-karya para ulama,
mujtahid, dan ilmuan Islam klasik populer dengan sebutan kitab kuning dan kitab
gundul. Kitab kuning yang dipakai di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia
umumnya berisikan hukum dan fatwa para ulama yang digali dari sumber utama
hukum Islam yaitu Alquran dan Hadis Nabi Saw. Kitab kuning menjadi ciri utama
pesantren sekaligus menjadi pembeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Kitab
kuning ditulis dalam Bahasa Arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim Arab
maupun ulama Indonesia. Soebahar menegaskan bahwa kitab-kitab klasik yang
diajarkan di pesantren adalah kitab-kitab karangan ulama yang bermazhab Syafi’i
dan menjadi satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di pesantren dengan
tujuan untuk mendidik calon-calon ulama, yaitu para santri yang tinggal dan belajar
di pesantren. (Soebahar, 2013, h.42)
Perkembangan dunia pendidikan telah mengalami perkembangan yang
demikian pesat mengikuti arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Untuk itu pesantren juga perlu mengadakan perubahan-perubahan agar
dapat bertahan dan terus berkembang dengan segala tradisi dan misinya untuk
lembaga tafaqquh fid din. Oleh sebab itu banyak pemikir Islam yang menawarkan
konsep modernisasi agar pesantren tetap bertahan dan berkembang. Berbagai macam
ide modernisasi ditawarkan baik dari segi kurikulum, kepemimpinan, bahkan sistem
yang berjalan di pesantren. Salah satunya adalah perlunya mendapat pengakuan dan
legalitas pesantren oleh Pemerintah yang pada akhirnya membuka inovasi-inovasi
4
baru untuk perkembangan pesantren. Secara Yuridis formal, pesantren sebagai
lembaga pendidikan berdiri dan tumbuh di tengah masyarakat dengan mandiri, dari
keadaan pesantren yang tidak diakui dan belum disahkan oleh Pemerintah pada
mulanya sampai kemudian dengan pasti terbuka regulasi perundang-undangan yang
diakui oleh negara, diakuinya keberadaan pesantren dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, menjadi pijakan kekuatan untuk inovasi perkembangan
pesantren ke depannya.
Pengakuan terhadap keberadaan pesantren muncul setelah diundangkannya
UU No.20 tahun 2003 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, PP
No.19 tahun 2005 (PP No.32 tahun 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan,
kemudian PP No.55 tahun 2007 tentang Standar Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Akan tetapi tiga tahun kemudian pada tahun 2010 terbit Peraturan
Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di
Sekolah, kemudian terbit Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 2012 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam, kemudian Peraturan tersebut dicabut dengan
Peraturan Menteri Agama Nomor 9 tahun 2012. Selanjutnya tanggal 18 Juni 2014
diterbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam. Peraturan Menteri Agama ini hanya mengatur tentang pesantren
dan Madrasah Diniyah namun implikasinya terhadap pengembangan pesantren
sangat strategis, di mana eksistensi pesantren salafiyah diperkokoh melalui Peraturan
ini. (Mustajab, 2015, h.ix)
Regulasi perundangan-undangan yang telah diterbitkan Pemerintah
sebenarnya telah memberikan angin segar terhadap lembaga pesantren untuk
mengelola pendidikan. Berawal dari diakuinya eksistensi pendidikan pesantren
selanjutnya menuntut pesantren untuk lebih terbuka terhadap perkembangan atau
kemajuan dunia pendidikan.
Perkembangan dunia pendidikan menuntut modernisasi lembaga pesantren
terutama aspek lembaganya yaitu dengan membuka sekolah formal di pesantren ala
pemerintah, walaupun dengan tidak mengubah kurikulum yang dijalankan di
pesantren. Kurikulum dan tradisi pengajaran kitab kuning di pesantren tetap terjaga
sampai saat ini, meskipun pesantren mengadopsi sistem pendidikan modern dengan
memasukkan kurikulum umum pada sistem pendidikannya, mata pelajaran umum
menjadi kompetensi yang harus dikuasai oleh santri di zaman modern ini, metode
pengajaran yang semula berupa metode sorogan dan bandongan ikut-ikutan berubah
mengikuti kurikulum sekolah dengan sistem klasikal, walaupun tidak semua
pesantren melalukan hal yang demikian. Masih banyak dijumpai pesantren yang
tetap menjalankan metode sorogan dan bandongan meskipun terbatas hanya pada
pembelajaran kajian kitab kuning saja.
Seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan
pada umumnya, santri sekarang ini dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu agama
dengan kajian kitab kuningnya, di samping itu juga harus mempunyai berbagai
macam kompetensi dan ketrampilan. Oleh sebab itu sangat diperlukan adanya
inovasi-inovasi cerdas dalam pembelajaran di pesantren. Namun kemajuan dan
inovasi-inovasi modern yang tercipta tidak jarang mempengaruhi para santri dalam
5
pendalaman pemahaman kajian kitab kuning. Sehingga mengakibatkan rendahnya
penguasaan santri terhadap kitab kuning baik segi kelancaran membacanya maupun
pemahaman isinya. Alasan yang membuktikan rendahnya penguasaan santri dalam
kajian kitab kuning adalah diselenggarakannya Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK).
(https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/04/18 diakses
tanggal 9 Juli 2018). Berita tersebut menyatakan salah satu latar belakang
diadakannya lomba MQK adalah fenomena semakin jauhnya dan alerginya umat
Islam terhadap kitab-kitab yang berbahasa Arab, khususnya kitab kuning yang ada
di pesantren. Di samping itu kegiatan MQK adalah sebagai lambing penghormatan
terhadap karya para Ulama dengan menjaga tradisi intelektual agama di kalangan
generasi muda. Melalui semangat MQK diharapkan umat termotivasi untuk belajar
langsung dari rujukan utama yaitu kitab kuning. Musabaqah Qiraatil Kutub di
selenggarakan oleh Kemenag dan lembaga-lembaga lainya. Penyelenggaraan MQK
merupakan gambaran kekhawatiran terhadap rendahnya penguasaan kitab kuning di
kalangan santri. Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifudin
menyatakan keprihatinannya terhadap rendahnya kualitas kajian kitab kuning santri
yang ada saat ini: “Kajian kitab kuning di sejumlah pesantren saat ini berdasarkan
hasil penelitian semakin berkurang padahal terdapat ribuan kitab kuning yang dapat
dipelajari oleh para santri karya ulama besar di Tanah Air maupun luar negeri”
Menurut Menteri Agama berkurang dan menurunnya kajian kitan kuning di
pesantren di antaranya adalah banyak pesantren yang disibukkan dengan bidang lain
selain mengajarkan agama. Sehingga kesibukan-kesibukan tersebut menyebabkan
menurun dan berkurangnya santri mempelajari ilmu agama dari kajian kitab kuning.
(Republika.co.id, menag-pengajian-kitab-kuning-di-pesantren-semakin-berkurang,
diakses pada tanggal 21 Mei 2016)
Pada kesempatan lain Menteri Agama juga menyatakan tentang
keprihatinannya terhadap menurun dan semakin berkurangnya kajian kitab kuning
di pesantren. Menurutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh kemenang
membuktikan bahwa sekarang ini rata-rata hanya terdapat sekitar tiga belas kitab
kuning yang dikaji di satu pesantren. (nu.or.id/post/read/67342/mencermati-
pengajian-kitab-kuning-yang-semakin-berkurang. diakses tanggal 9 Juli 2018).
Pernyataan Menteri Agama tersebut dikuatkan hasil survey yang dilakukan oleh
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2011 menunjukkan
bahwa pengajaran kitab kuning di pesantren tergolong rendah. Hal ini disebabkan
oleh beberapa fenomena di antaranya munculnya kitab terjemahan yang lebih
praktis, kurangnya alokasi waktu, pergeseran metode pengajaran, bahkan
berkurangnya minat masyarakat dan keterbatasan keilmuan kiai atau ustadz yang
mengajarkannya. (Sumber: http://puspenda.kemenag.go.id/?p=501).
Berita tersebut kemudian dikuatkan oleh berita dalam situs:
(https://kemenag.go.id/berita/read/351592/pengajaran-kitab-kuning-menurun-ini-
afirmasi-kemenag diakses tanggal 9 Juli 2018). Berita tersebut menyatakan bahwa
kitab kuning yang diajarkan para kiai pesantren saat ini jumlahnya rata-rata hanya
tiga belas kitab kuning, sementara itu para santri hanya megkaji Sembilan kitab
6
kuning saja. Ini artinya tingkat pembelajaran kitab kuning di pesantren semakin
menurun.
Berdasarkan fakta tersebut disimpulkan bahwa santri saat ini kurang minatnya
terhadap kajian kitab kuning dan terjadi penurunan pengajaran kitab kuning di
pesantren. Sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas bacaan dan tingkat
pemahaman santri terhadap kajan kitab kuning. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor diantaranya karena pesantren saat ini sudah disibukkan dengan kajian
pelajaran-pelajaran lain diluar kajian agama atau kajian kitab kuning. Penurunan
kajian kitab tersebut membuat santri mengalami kesulitan membaca dan memahami
isi kitab kuning. Maka perlu dilakukan sebuah penelitian untuk membuktikan hal
tersebut dan mencari solusi agar kajian kitab kuning tetap menjadi primadona di
pesantren dengan harapan dilakukan penguatan kembali terhadap kajian kitab
kuning.
Ustad sebagai guru dan pendidik di pesantren mempunyai peran yang sangat
penting dan dominan. Perilaku guru dalam proses Pendidikan dan belajar akan
memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian
anak didik. (Tohirin, 2014, h.186) Merujuk kepada pola kependidikan dan keguruan
yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, dalam perspektif Islam maka guru menjadi
posisi kunci dalam membentuk kepribadian Muslim yang sejati. Keberhasilan
Rasulullah Saw dalam mengajar dan mendidik umat, lebih banyak menyentuh aspek
perilaku (apektif). Hal ini dijelaskan oleh Alquran bahwa Rasulullah Saw sebagai
teladan yang baik atau uswatun hasanah.
ٱكن لكم ف رسول لقد لمن كن يرجوا لل سوة حسنة ل ٱأ ألخر ٱ لوم ٱو لل
ٱوذكر ا لل ٢١كثري Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-
Ahzab: 21)
٤إونك لعل خلق عظيم Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung” (QS. Al-Qalam: 4)
Mujamil Qomar mengutip ungkapan Ali As-Shabuni yang menafsirkan ayat
tersebut dengan penjelasan: bahwa sungguh bagi orang mukmin diri Rasulullah Saw
terdapat teladan atau contoh yang baik, sudah seharusnya umat mengikuti
keikhlasan, perjuangan, dan kesabaran yang diajarkan Rasulullah. Rasulullah Saw
merupakan contoh sosok yang luhur, yang wajib diikuti seluruh ucapan, perbuatan,
dan hal ihwalnya, sebab Rasulullah tidak berucap dan berbuat berdasarkan hawa
nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu, maka wajib bagi orang-orang beriman untuk
mengikuti perangai Rasulullah sepanjang hidup. (Qomar, 2013, h.15)
7
Nabi Muhammad adalah Manager yang andal dalam banyak hal: manajer
negara, manajer militer, manajer dakwah, dan manajer Pendidikan. Dalam
kapasitasnya sebagai manajer Pendidikan Rasulullah merupakan referensi
manajemen Pendidikan yang paling tepat. Nabi Muhammad mendidik dengan cara
memberikan kabar gembira (basyir), baru setelah imannya dirasa kuat baru
memberikan kabar yang menakutkan (nadzir). Nabi mendidik dengan cara-cara yang
bijaksana dan egaliter, Pendidikan dakwah yang dilakukan Rasulullah mendapatkan
tantangan dari kaumnya, tetapi dengan kebijaksanaan Rasulullah menghadapinya
sampai akhirnya berhasil menjadi manajer, pemimpin, dan pendidik yang andal.
(Qomar, 2013, h.15-20)
Aplikasi sistem Pendidikan Islam pada zaman Rasulullah Saw dibedakan
menjadi dua tahapan yaitu: 1) fase Makkah, sebagai awal pembinaan pendidikan
Islam, merupakan prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Muslim
berkarakter dengan materi yang disampaikan tentang ketuhanan (tauhid) sebagai
basis Pendidikan moral dan juga kandungan Alquran. Dan ke 2) fase Madinah
sebagai lanjutan Pendidikan Islam merupakan fase kekuatan politik karena ajaran
Islam yang turun saat itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat. (Trisnadi, Majalah
Gontor, 2018, h. 24-25)
Pembinaan karakter yang ditanamkan Rasulullah dalam Pendidikan fase
Makkah adalah Pendidikan karakter dengan teladan seperti yang telah dijelaskan
Alquran Surat Al Ahzab di atas tadi. Keberhasilan Rasulullah dalam mengajar dan
mendidik umatnya lebih banyak menyentuh aspek perilaku karena memang
Rasulullah sebagai teladan yang baik. Guru sebagai pendidik apalagi seorang ustad
di pesantren sudah seharusnya menjadi uswah hasanah juga bagi para santri. Sadar
atau tidak semua perilaku guru dalam Pendidikan ditiru oleh siswanya. (Qomar,
2013, h.187) Artinya keseluruhan perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik harus benar-benar ditata agar mampu menjadi teladan bagi
siswanya.
“Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu Pendidikan
nasional adalah adanya guru yang berkualitas, professional dan berpengetahuan.
Guru tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam tugasnya
sebagai agen pembelajaran. Guru yang professional adalah guru yang menguasai
materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik,
menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan
menjadi manusia pembelajar”. (Wahab, 2016, h.77) guru sebagaimana telah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw harus senantiasa menjadi teladan bagi siswanya,
kemudian menjadi pendidik, pengajar dan pembimbing yang penuh kasih sayang
dalam mendidik dan membimbing anak didik menuju perubahan dan pendewasaan.
Dalam Alquran surat Luqman menjelaskan bagaiman Luqman menasehati dan
mengajar anaknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
8
ۥ وهو يعظه ۦ بنه قال لقمن ل إوذ ه ٱيبن ل تشك ب ك ٱإن لل لظلم عظيم لشل١٣
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS Luqman: 13) Ayat tersebut menjelaskan bagaimana semestinya seorang guru bersikap
dengan kelembutan dan kasih sayang, yaitu melalui perkataan (يا بن)” wahai
anakku”. Oleh sebab itu menurut al-Ghazali seperti dikutib Kurniawan dari Kitab
Ihya Ulumuddin bahwa profesi pendidik atau profesi guru merupakan profesi yang
mulia dan paling agung dibanding profesi yang lainnya. Dengan profesi sebagai
pendidik seorang guru atau ustad menjadi perantara antara manusia (siswa) dengan
sang pencipta yaitu Allah Swt. Maka tugas seorang guru layaknya seperti tugas para
utusan Allah. (2017, h.36)
Tugas guru memang sangat mulia, namun memiliki tantangan-tantangan dan
tanggung jawab yang berat, terlebih lagi ketika siswanya mengalami kesulitan
belajar. Psikologi pendidikan memandang bahwa kesulitan belajar yang dialami oleh
peserta didik disebabkan oleh banyak faktor. “Di antara faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar siswa adalah faktor lingkungan sekolah dan komponennya”.
(Dimyati & Mudjiono, 2013, h.247-253). Demikian halnya santri dalam
pembelajaran kitab kuning di pesantren yang mengalami kesulitan dalam
pembelajarannya dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambatnya baik
faktor tersebut datang dari dalam diri santri itu sendiri atau hal-hal lain yang
mempengaruhinya dari luar dirinya
Belajar di pesantren merupakan kegiatan belajar mandiri dan kemandirian,
belajar di pesantren bisa dimasukkan ke dalam rumpun pembelajaran personal yang
berangkat dari teori belajar humanistik, teori belajar humanistik menekankan
pengembangan martabat manusia yang bebas membuat pilihan dan berkeyakinan.
“Teori humanistik memandang proses pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered), peranan guru lebih diposisikan menjadi pembimbing daripada
pemberi ilmu pengetahuan (Syah, 2014, h.108). Guru seharusnya menjadi panutan
dan pendidik bagi siswa oleh karena itu Aliran humanistik menhharapkan guru
mampu membangkitkan motivasi belajar siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Para ustad di pesantren menjadi teladan dalam tujuan Pendidikan
pesantren yaitu (tafaqquh fiddin), dengan berusaha membangkitkan motivasi yang
harus dimulai dari diri pribadi santri, santri tersebut harus memandang bahwa ilmu
yang terkandung dalam kajian kitab kuning merupakan kebutuhan dan tujuannya.
“Abraham Maslow dan Carl Rogers yang merupakan pakar teori humanistik
menekankan keberhasilan pembelajaran dimulai dari individual siswa bahwa belajar
merupakan hasrat dan kebutuhan yang ingin dicapainya. (Rachmahana, 2008) Hal
9
ini sejalan dengan teori yang dikemukakan dalam kitab ta’lim mutaallim bahwa
seorang murid semestinya memilih ilmu yang sesuai dan cocok bagi dirinya.
(Zarnuji, h.13) Hal ini mengisyaratkan agar siswa atau santri benar-benar
menganggap ilmu yang dipelajarinya merupakan kebutuhannya. Sehingga motivasi
untuk belajar tumbuh sendiri dari dalam jiwa siswa tersebut.
نبىغ لطالب العلم ان خيتارمن ك علم احسنه ي
Teori tersebut menjelaskan bahwa seorang siswa memilih pengetahuan yang
cocok pada dirinya, namun ilmu yang paling penting yang utama adalah ilmu
keagamaan. Kebebasan yang diberikan kepada anak dalam memilih ilmu yang cocok
baginya adalah implementasi dari teori belajar humanistik, akan tetapi kebebasan
tersebut tetap harus dibimbing oleh orangtua dan guru sebagai pembimbing. Bahwa
ilmu yang utama yang diperlukan anak yang paling penting adalah ilmu agama.
Berangkat dari teori belajar humanistik, pesantren sesungguhnya memulai
pembelajarannya dengan menekankan pada perkembangan individu santri,
kemandirian, tanggung jawab dan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau santri
(student centered). Student Centered merupakan pendekatan pembelajaran maju dan
kekinian dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak lepas dari cita pendidikan pesantren
yang menempatkan santri sebagai sentralnya. Pesantren berdiri adalah untuk
melayani kepentingan para santri dan masyarakat. Teori belajar humanistik
tercermin dari metode pembelajaran yang telah berlangsung lama di pesantren yaitu
metode sorogan, bandongan, muthola’ah, dan muzakarah di mana para santri belajar
mandiri untuk mencapai pemahaman yang terkandung di dalam kajian kitab kuning
melalui bimbingan para ustadz di pesantren.
Pada akhir 1960an muncul aliran belajar teori humanistik. Perhatian
humanistik yang utama adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan
dirinya, membantu masing-masing peserta didik untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada pada diri mereka. (Wahab, 2016, h.54) oleh sebab itu guru dalam hal ini
posisinya adalah sebagai pembimbing yang bertugas membantu memantapkan
potensi yang ada pada diri siswanya.
Kitab kuning dan pesantren adalah dua hal yang tidak terpisahkan, kajian kitab
kuning menjadi ciri khas keunikan pesantren, diharapkan santri tetap setia dan
semangat untuk meningkatkan kembali kajian kitab kuning. Zaman modern yang
serba digital ini telah diterbitkan kitab kuning dalam bentuk digital, dimana
softwarenya dapat diperoleh dengan mudah, salah satu contoh adalah software yang
bernama “maktabah al-syamilah” di dalamnya terdapat banyak kitab yang dapat di
baca dan dipelajari oleh santri, melalui bentuk digital dan dunia gadget saat ini
diharapkan santri tertarik untuk menggunakannya melalui pemanfaatan teknologi,
kendalanya adalah belum semua pesantren di Indonesia dapat mengakses internet
bahkan perangkat komputernya pun belum dimiliki.
Pesantren Musthafawiyah Purba Baru yang terletak di Kabupaten Mandailing
Natal Sumatera Utara memiliki keunikan dari pesantren-pesantren yang ada pada
umumnya di Indonesia, pesantren Musthafawiyah menempatkan gubuk-gubuk kecil
10
sebagai tempat tinggal sehari-hari santri putra yang mukim di pesantren tersebut,
lingkungan gubuk-gubuk tersebut disebut banjar. Pesantren Musthafawiyah juga
menyiapkan beberapa asrama baik untuk santri putra dan santri putri. Akan tetapi
santri putra lebih dominan memilih tinggal di gubuk daripada asrama yang
disediakan oleh pesantren. Sedangkan santri putri hidup di asrama dan tetap
melambangkan kemandirian. Hanya berbeda tempat tinggal saja baik santri putra
maupun santri putri menjalani kehidupan secara mandiri. Maka gubuk-gubuk kecil
ini menjadi ciri khas bagi pesantren Musthafawiyah Purba Baru, karena pesantren
yang ada di Indonesia sekarang ini umumnya menyediakan asrama sebagai tempat
tinggal santri-santrinya.
Kehidupan di gubuk melatih para santri hidup dalam kemandirian, jauh dari
orang tua, hidup mengurusi keperluannya sehari-hari dengan sendiri, gubuk tersebut
merupakan tempat mereka untuk mengulang kembali (muthala’ah)dan menggali
kajian-kajian kitab kuning dan ilmu-ilmu yang telah mereka peroleh di pesantren.
Gubuk-gubuk kecil tersebut sebagai lambang kemandirian santri pesantren
Musthafawiyah Purba Baru, mereka belajar, mengkaji kitab-kitab, muthalaah dan
bermuzakarah dengan lebih leluasa di luar pembelajaran kelas. Kehidupan gubuk ini
sesuai dengan teori belajar humanistik yang melambangkan kebebasan dan
kemandirian peserta didik untuk belajar tanpa ada paksaan dan ancaman
sebagaimana sistem asrama, namun tetap mengedepankan tanggung jawab. Oleh
sebab itu pendekatan teori belajar humanistik menyesuaikan pembelajaran yang
sudah berlangsung sekian lama di pesantren dilihat dari aktivitas-aktivitas yang
dilakukan santri dilingkungan pesantren, terutama dari inti kemanusiaan
(humanisme) seorang individu adalah sebagai seorang hamba dengan tugas
menyembah sang pencipta. Inilah inti humanistik Islam yaitu penghambaan diri
seorang manusia kepada Allah Swt. Di samping itu tujuan Pendidikan pesantren
adalah littafaqquh fiddin, untuk memahami ajaran Agama Islam, yang berujung pada
pengamalan ajaran agama Islam yaitu sebagai bukti penghambaan diri seorang
manusia di hadapan Allah Swt. Ajaran-ajaran agama Islam tersebut dirujuk kepada
isi kandungan Kitab Kuning sebagai materi utama pelajaran di pesantren.
Penelitian ini sengaja mengambil tema “pendekatan humanistik dalam
pembelajaran kitab kuning dipesantren” sebagai objek bahasan, yang mana kitab
kuning adalah khazanah ilmu Islam klasik yang bermuatan ajaran moral dan ajaran
agama Islam yang tinggi. Sedangkan teori belajar humanistik adalah sebuah
pendekatan yang ditawarkan oleh psikologi Pendidikan yang bertujuan
memanusiakan manusia dengan implikasi pembelajaran yang berpusat pada siswa,
kemandirian dan kebebasan siswa dalam belajar menjadi titik tekan teori belajar
humanistik. Hal ini penting untuk dilakukan penelitian, melihat fenomena-fenomena
yang terjadi belakangan bahwa alumni pesantren dan madrasah semakin banyak
jumlahnya akan tetapi minim sekali kualifikasinya terutama dalam penguasaan kitab
kuning dan semakin rendahnya minat santri sekarang ini dalam kajian kitan kuning.
Dari fenomena tersebut apakah ditemukan kesulitan dan kendala dalam proses
pembelajaran kitab kuning?
11
Maka penelitian ini menekankan fokus pada strategi pembelajaran kitab
kuning dengan pendekatan teori belajar humanistik di pesantren melalui penelitian
kualitatif yang berlokasi di Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, Kabupaten
Mandailing Natal, Sumatera Utara. Maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan memberikan judul “STRATEGI PEMBELAJARAN KITAB
KUNING” (Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran Kitab Kuning di
Pesantren Mustafawiyah Purba Baru).
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a. Pengajaran kitab kuning di pesantren semakin menurun
b. Rendahnya penguasaan santri terhadap kajian kitab kuning
c. Santri kesulitan membaca dan memahami isi kitab kuning
d. Adanya kendala dalam pembelajaran kitab kuning di pesantren
e. Pengajaran kitab kuning yang monoton
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah problem
pendekatan teori belajar humanistik sebagai strategi pembelajaran kitab kuning di
pesantren Musthafawiyah dan kendala-kendala dalam proses pembelajaran kitab
kuning. Dari sekian banyak masalah yang ada, karena keterbatasan konsep, waktu
dan dana, maka peneliti memberikan batasan masalah sebagai berikut: 1)
Implikasi dimensi humanistik sebagai strategi pembelajaran kitab kuning di
pesantren Musthafawiyah Purba Baru, dan 2) Kendala kajian kitab kuning di
pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjawab
permasalahan
1) Bagaimanakah implikasi teori belajar humanistik sebagai strategi
pembelajaran kitab kuning di pesantren Musthafawiyah Purba Baru?
dan
2) apakah kendala pembelajaran kitab kuning di pesantren Musthafawiyah
Purba Baru?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1) Tujuan Penelitian
a. Menganalisis dan mendeskripsikan implikasi teori belajar humanistik
sebagai strategi pembelajaran kitab kuning di pesantren Musthafawiyah
Purba Baru. Diharapkan melalui deskripsi ini pembaca memahami teori
belajar humanistik dalam pembelajaran di pesantren khususnya dalam
12
kajian kitab kuning. Yaitu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
siswa/santri (student centered learning)
b. Untuk menganalisis kendala atau problem dalam pembelajaran kitab
kuning di pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
2) Signifikansi Penelitian
a. Sebagai tambahan informasi guna memperluas wawasan kependidikan
Islam khususnya implementasi pendekatan teori belajar humanistik
dalam kajian kitab kuning di pesantren.
b. Sebagai informasi bahwa kurikulum pesantren saat ini sudah tidak di
dominasi oleh kitab kuning, oleh sebab itu melalui pendekatan-
pendekatan belajar yang baik diharapkan menjadi sebuah strategi
pembelajaran dalam kajian kitab kuning agar tujuan belajar kitab kuning
di pesantren dapat tercapai dengan baik.
c. Sebagai informasi adanya kesulitan yang dihadapi santri dalam
membaca dan memahami kitab kuning. Jika ternyata fenomena
kesulitan tersebut ditemukan bagaimana pesantren membuat solusi
terhadap fenomena kesulitan dan kendala yang dialami dalam
pembelajaran kitab kuning di pesantren.
d. Memperkenalkan tradisi pondok pesantren kepada masyarakat,
terutama tradisi kajian kitab kuning di pesantren Musthafawiyah Purba
Baru yang tentunya ada perbedaan dan persamaan dengan tradisi yang
berjalan dengan pesantren-pesantren pada umumnya yang ada di
Indonesia.
e. Menawarkan dimensi humanistik sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran yang harus dipertimbangkan dan digunakan, karena
humanistik memandang peserta didik sebagai individu dengan segala
keunikannya dan berusaha mengembangkan potensi anak didik secara
keseluruhan.
13
BAB II
KERANGKA TEORI
A. STRATEGI PEMBELAJARAN DAN TEORI BELAJAR
1. Strategi Pembelajaran
Secara umum strategi mempunyai pengertian garis-garis besar haluan
untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dihubungkan dengan proses belajar mengajar, strategi dapat diartikan sebagai
pola umum kegiatan guru dan siswa dalam perwujudan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. (Djamarah & Zain,
2010, h.5)
Wina Sanjaya mengutip dari J.R David bahwa pengertian strategi dalam
dunia Pendidikan adalah sebuah perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu. Lebih
lanjut Sanjaya mengutup dari Kemp bahwa pengertian strategi pembeljaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar
tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. (2011: 127)
Selanjutnya Sanjaya mengemukakan bahwa bagaimana mengimplementasikan
perangkat rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata adalah melalui
metode, maka metode pengajaran adalah untuk merealisasikan stategi
pembelajaran yang telah ditetapkan. Maka beberapa istilah dalam Pendidikan
mempunyai kedekatan dan kemiripan yaitu strategi, pendekatan dan metode
bahkan Teknik pengajaran. (2011: 128)
Untuk itu Djamarah menetapkan empat strategi dasar dalam proses
belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut ini:
a) Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi
perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana
yang diharapkan.
b) Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi
dan pandangan hidup masyarakat
c) Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan Teknik belajar
mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat
dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan
mengajarnya.
d) Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau
kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman
oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatab belajar mengajar
selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem
instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan. (2010: 5)
Paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menetapkan
strategi pembelajaran artinya telah ikut menetapkan di dalamnya berupa
pendekatan, metode, dan Teknik yang dipakai oleh guru dan siswa dalam
proses pembelajaran dengan tujuan mencapai hasil pembelajaran yang
13
14
maksimal. Demikian dalam strategi pembelajaran kitab kuning di pesantren.
Dalam kajian penelitian ini adalah strategi pembelajaran yang dipakai adalah
strategi pembelajaran kitab kuning melalui pendekatan teori belajar humanistik
di pesantren.
Pada kenyataannya kemampuan dasar kecerdasan tiap-tiap siswa
bervariasi secara individual. Oleh sebab itu muncul berbagai macam teori
belajar dalam psikologi Pendidikan yang mengahasilkan beberapa pendekatan
dalam pembelajaran, kemudian muncul beberapa metode pembelajaran sampai
akhirnya dirumuskan Teknik pengajaran. Dalam penelitian ini pendekatan
teori belajar humanistik di pesantren menjadi objek bahasan bagaimana
implementasi teori belajar humanistik tersebut diaplikasikan dalam kegiatan
santri di pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Alquran sendiri telah mengajarkan sebuah strategi pembelajaran yang
tertuang pada wahyu pertama turun yang diterima Rasulullah Saw yaitu Surat
al-Alaq ayat 1-5. Ayat ini juga mengandung isyarat betapa pentingnya
Pendidikan dan menjelaskan kepada manusia bagaimana komponen
Pendidikan yang harus dipenuhi. Yaitu:
ٱنسنٱخلق١خلقلذ يٱرب كسم ٱب قرأ ٱ٢علقم نل
كرم ٱوربكقرأ
ل
مب لذ يٱ٣نسنٱعلذم٤لقلم ٱعلذ ٥مالميعلمل
Artinya: ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)
Pada Ayat tersebut paling tidak terdapat lima aspek Pendidikan. Yaitu:
1) aspek proses dan metodologinya yaitu melalui membaca. Membaca dalam
arti seluas-luasnya, yaitu mengumpulkan informasi, membandingkan,
menganalisis, menyimpulkan dan memverifikasi; 2) aspek guru dalam hal ini
Allah Swt sebagai guru/pendidik; 3) aspek murid yang dalam hal ini Nabi
Muhammad Saw; 4) aspek sarana dan prasarana yaitu yang diwakili oleh
qalam (pena); dan 5) aspek kurikulum yaitu sesuatu yang belum diketahui
manusia ( لميعلمما ). Kelima aspek yang tersebut dalam ayat tersebut merupakan
komponen utama dalam kegiatan Pendidikan. (Nata, 2013, h.8)
2. Teori-teori Belajar
Belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang terjadi pada diri
manusia bahkan berlangsung selama hidup, salah satu pertanda bahwa
seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku dalam
diri manusia tersebut. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut perubahan
yang bersifat pengetahuan (kognitif), dan ketrampilan (psikomotor), dan yang
15
menyangkut nilai dan sikap (afektif). Hal ini sesuai dengan teori taksonomi
Bloom yaitu bahwa ada tiga kawasan belajar meliputi domain kognitif, domain
afektif, dan domain psikomotor. (Siregar & Nara, 2014, h.8-11)
Secara pragmatis, teori belajar dipahami sebagai prinsip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. (Syah,
2014, h.102) Psikologi pendidikan telah mengemukakan berbagai macam teori
belajar, dari sekian banyak teori yang dikemukakan oleh pakar psikologi
pendidikan teori-teori tersebut telah dikategorikan oleh Made Pidarta kepada
dua kategori yaitu teori belajar klasik dan teori belajar modern, sebagai berikut:
a. Teori Belajar Klasik
1) Disiplin mental Theistik
2) Disiplin Mental Humanistik
3) Natutralis
4) Apersepsi
b. Teori Belajar Modern
1) Asosiasi
2) Kondisiong
3) Penguatan
4) Kognisi
5) Belajar bermakna
6) Insight atau Gestalt
7) Lapangan
8) Tanda (sign)
9) Fenomenologi. (Syah, 2009: 206-208)
Kemudian teori belajar modern tersebut di bagi lagi menjadi dua
kelompok yaitu teori behavioris (asosiasi – penguatan) dan kognisi (kognisi –
fenomenologi). (Pidarta, 2009, h. 208) Secara umum teori-teori pendidikan
yang banyak dibahas oleh pakar pendidikan di bagi kepada aliran Teori Belajar
Behavioristik, Teori Belajar Kognivistik, Teori Belajar Humanistik, dan Teori
Belajar Konstruktivistik. (Siregar & Nara, 2014, h. 25-42)
Teori belajar ini menjadi dasar sebagai upaya yang dilakukan oleh
pendidikan untuk mempengaruhi atau membuat keputusan terhadap
kurikulum, metode pembelajaran dan administrasi pembelajaran. Untuk itu
sangat penting mengetahui teori-teori belajar ini bagi guru dan sekolah agar
proses pembelajaran di sekolah lebih terarah diharapkan tujuan pendidikan
akan tercapai dengan baik dan memuaskan. Maka dalam penelitian ini akan
diselidiki lebih jauh mengenai teori belajar humanistic dan implementasinya
terhadap kajian kitab kuning dan belajar di pesantren.
16
3. Teori Belajar Humanistik
Menurut pandangan teori humanistik, bahwa proses belajar berhulu dan
bermuara pada manusia. Teori humanistik lebih banyak berbicara tentang
pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Berbeda
dibandingkan dengan teori-teori pendidikan yang lainnya. Teori humanistik
bertujuan untuk “memanusiakan manusia” (artinya mencapai aktualisasi diri).
Di antara pakar ilmuwan teori humanistik adalah Kolb, Honey, Mumford,
Hubermas, dan Carl Roger, termasuk juga Bloom dan Krathwohl. (Siregar &
Nara, 2014, h. 34-38)
Salah seorang tokoh humanistik adalah Carl R Rogers, seorang ahli
psikoterapi. Pandangannya mengenai pembelajaran bahwa siswa siswa yang
belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan bebas. Siswa juga
dibiharapkan dapat membebaskan dirinya hingga ia dapat mengambil
keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan
yang diambil atau dipilihnya. Anak didik dalam situasi ini tidak dicetak
menjadi menjadi orang lain melainkan dipupuk untuk menjadi dirinya sendiri.
Siswa tidak direkayasa agar terikat kepada orang lain, bergantung kepada
pihak lain dan memenuhi harapan orang lain. Anak dibiarkan agar dapat
menjadi arsitek buat dirinya sendiri. (Wahab, 2016, h.57-58).
Oleh sebab itu humanistik menawarkan konsep siswa yang belajar
hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan
mampu mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan yang diambilnya. Siswa harus memandang bahwa
pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dirinya sendiri. Akan tetapi jika
dilihat dari sudut pandang Pendidikan Islam pembebasan begitu saja tidak baik
dalam perkembangan seorang anak, karena pada dasarnya anak memerlukan
bimbingan dan didikan dalam prosesnya menuju kedewasaannya. Karena
begitu banyak yang akan mempengaruhi pertumbuhannya baik pertumbuhan
fisiknya lebih dari itu yang lebih penting adalah pertumbuhan mentalnya.
مودل اويمجسانهلك اوينرصانه يهودانه فأبواه الفطرة ىلع .يودل(ابلخارىومسلم)
Artinya:”Tiap orang dilahirkan membawa fitrah; orangtuanyalah
yang menjadikannya yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari
Muslim)
Dalam hadis lain Rasulullah menyuruh agar orangtua memerintahkan
anak untuk wajib sholat saat mereka telah berusia tujuh tahun dan memukul
anak anak tersebut ketika tidak mau sholat ketika telah berusia sepuluh tahun.
همعليهاوهمرضبووا,كمبالصالةوهمابناءسبعسننيدمرواأوالجعوفرقوابينهمىفالمضا,أبناءعرشسنني
17
Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat
ketika usia mereka mencapai tujuh tahun. Pukullah mereka jika
meninggalkan shalat ketika usia mereka mencapai sepuluh tahun,
serta pisahlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan
perempuan) (HR. Abu Dawud) (dalam Ensiklopedi Hadits, jil.5,
h.102)
Dua hadis yang telah disebutkan menjelaskan bahwa dalam mendidik
anak, memberikan kebebasan sepenuhnya bukanlah sebagai sebuah
pendekatan Pendidikan yang paling baik. Karena anak selama proses
pendidikannya butuh bimbingan dari orang dewasa untuk mengajarinya. Oleh
sebab itu pendekatan yang humanistik dalam Islam lebih mengutamakan posisi
manusia itu sendiri sebagai apa diciptakan Tuhan. Oleh sebab itu maka ketika
anak dalam Pendidikan yang pertama yang diajarkan adalah tentang tauhid
atau keesaan Tuhan. (Zarnuji: h.18)
المقدلوانانيعرفاهللتعاىلبادليللفانايمدويقدمعلماتلوحيو . لكنيكونأثمابرتكاالستداللاكنصحيحاعندنا
Dapat dipahami dari penjelasan tersebut bahwa Islam memandang
pendidikaan anak adalah selain melalui teladan yang baik dari orang di
sekeliling anak, maka pembiasaan untuk melakukan hal-hal yang baik terutama
dalam melaksanakan ibadah sebagai kewajiban kepada Tuhan menjadi dimensi
yang sangat penting untuk menyadarkan anak sebagai posisinya sebagai hamba
Allah Swt, yaitu untuk beribadah dan berlaku baik di dunia ini. Maka
Humanistik dalam Islam adalah memposisikan individu pada posisi yang
sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah yang senantiasa menyembah kepada
Tuhannya.
وما نسونذٱل خلقت ٱل ون عب د يل ٥٦إ الذ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS al-Zariyat: 56)
“Pendekatan teori belajar humanistik menekankan pengembangan guru
itu sebagai pembimbing dibanding guru sebagai pemberi ilmu pengetahuan”.
(Syah, 2014, h.245). Oleh sebab itu teori humanistik sangat menekankan
aktifitas siswa, di mana pendidikan memandang bahwa siswa adalah
sentralnya. Yaitu pendidikan yang berbasis student centered. Student centered
termasuk dari gaya pembelajaran yang kekinian. Pendidikan saat ini lebih
menekankan aktifitas yang berpusat pada siswa sehingga diharapkan siswa
dapat lebih mandiri dan dapat lebih bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya selama proses pembelajaran. Pendekatan humanistik ini sudah
berjalan sejak lama di pesantren seperti halnya yang sudah berjalan di
pesantren Musthafawiyah Purba Baru, para santri dilatih hidup lebih mandiri
mulai dari mengurus dan menyiapkan keperluan hidupnya sehari-hari sampai
18
proses pembelajaran di dalam kelas. Hal ini ditandai dengan sisitem gubuk
yang dipakai sebagai tempat tinggal santri. Santri diharapkan mampu
mengelola sendiri waktu belajar dan kegiatannya di dalam gubuknya tanpa
harus ada paksaan layaknya yang dilakukan oleh Pengawas asrama misalnya.
Santri yang tinggal di asrama hidup dengan disiplin dan tata tertib yang telah
ditetapkan pihak asrama untuk mengatur jadwal kegiatan sehari-harinya.
Masing-masing asarama sudah ada Pengawas yang mengontrol dan
mengawasi kegiatan santri agar lebih terarah dan kondusif.
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi
kemanusiaan adalah pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan
tingkah laku manusia. Yang memusatkan perhatian pada keunikan dan
aktualisasi diri manusia. Psikologi humanistik memberikan sumbangan bagi
pendidikan alternative yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik
(humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan
individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek
emosional, sosial, mental, dan ketrampilan dalam berkarir menjadi fokus
dalam model pendidikan humanistik. Aliran Psikologi Humanistik selalu
mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya
terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. (Racmahana,
2008)
Hal ini sesuai dengan Alquran dalam Surat Albaqarah ayat 30
ف يها تعل قال واأ خل يفة رض
ٱل جاع لىف ئ كة إ ن
إوذقالربكل لملقال لك كون قد س مد ب ن سب ح ٱدل ماءونن ف يهاويسف ك د فس مني
ون ماالتعلم علم أ إ ن
Artinya:”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui". (QS. Albaqarah : 30)
Aliran humanistik memandang manusia sebagai makhluk Tuhan dengan
segala fitrah yang dibawanya, kemudian dikembangkan secara optimal melalui
pendidikan. Senada dengan hal itu hadis yang berbunyi:
مودل اويمجسانهلك اوينرصانه يهودانه فأبواه الفطرة ىلع .يودل(ابلخارىومسلم)
19
Artinya:”Tiap orang dilahirkan membawa fitrah; orangtuanyalah
yang menjadikannya yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari
Muslim)
Pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subjek yang
bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. (Arbayah, 2013) Pendidikan
yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang
utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara
pribadi-pribadi dan antar pribadi dan dalam kelompok di dalam komunitas
sekolah.
Aliran humanistik memandang anak sebagai individu yang unik.
Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis
untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam
eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu
supaya manjadi manusia yang bebas dan bertanggung jawab dalam memilih.
Dengan kebebasan tersebut peserta didik akan dapat mengaktualisasikan
potensinya secara maksimal. (Arbayah, 2013)
Diambil kesimpulan bahwa Aliran Psikologi Humanistik memberikan
sumbangan pemikiran yang besar terhadap dunia pendidikan, di antara
gagasannya adalah anak didik sebagai individu yang unik dengan segala
potensi yang dimilikinya, potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan
dengan pendidikan yang bebas, demokratis tanpa paksaan dan ancaman, sebab
humanistik memandang dan mendorong peningkatan kualitas diri manusia
melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi yang ada pada setiap
individu.
4. Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik
1) Abraham Maslow
Abraham H. Maslow adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi
humanistik. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali
terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian teorinya yang penting
didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan
positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi
pertumbuhan.
Maslow berpendapat bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang
dimulai dari kebutuhan jasmaniah yang paling asasi sampai kebutuhan
tertitnggi yakni kebutuhan estetis. deficiency need (kebutuhan yang timbul
karena kekurangan) seperti makan, minum, tidur, dan sex, pemenuhan
kebutuhan ini biasanya bergantung pada orang lain. Sedangkan kebutuhan lain
dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih
bergantung pada diri manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting.
Dalam proses belajar mengajar guru mesti memperhatikan teori ini. Apabila
guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tidak dapat
tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak meiliki motivasi
20
untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak-anak atas
kejadian tersebut secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses
tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk
tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak sarapan pagi
yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah
pribadi/keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan sebagainya.
2) Carl R. Rogers
Carl R. Rogers adalah ahli psikologi humanistic yang gagasan-
gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua
bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang
pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar
yang humanistic, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti,
belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk
perubahan.
3) Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku
batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lainnya. Agar
dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut,
bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya untuk
mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak
adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan
sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau lebih
memuaskan.
4) Aldous Huxley
Manusia memiliki banyak potensi yang selama ini banyak terpendam
dan disia-siakan. Pendidikan diharapkan mampu membantu manusia dalam
mengembangkan potensi-potensi tersebut, oleh karena itu kurikulum dalam
proses pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi, dan ini
melibatkan semua pihak, guru, siswa, maupun para pemerhati, peneliti, atau
perencana pendidikan. Huxley menekankan adanya pendidikan nonverbal
yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan nonverbal bukan
berwujud senam, olahraga, bernyanyi atau menari, melainkan hal-hal yang
bersifat di luar materi pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran
seseorang. Proses pendidikan nonverbal seyogianya dimulai sejak usia dini
sampai tingkat tinggi. Berbekal pendidikan nonverbal seseorang akan
memiliki banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena
memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan
lebih menarik.
5) David Mills dan Stanley Scher
Mills dan Scher mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni proses
pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan siswa dalam belajar.
Pendekatan terpadu (confluent approach) merupakan sisntesa dari psikologi
humanistik khususnya terapi Gestalt dan pendidikan. Yang melibatkan
21
integrasi elemen-elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Tujuan
umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran siswa terhadap
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Serta meningkatkan kemampuan
untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan
berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung
jawab bagi setiap pilihan mereka. (Rachmahana, 2008)
5. Prinsip Belajar Humanistik
Prinsip belajar menurut teori humanistik seperti di kemukakan Carl R.
Rogers adalah sebagai berikut:
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini
terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan
untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini
merupakan asumsi dasar pendidikan humanistic. Di dalam kelas yang
humanistik anak-anak diberikan kesempatan untuk memuaskan dorongan
ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan menemukan apa yang
penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari
relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya anak akan belajar
dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila
berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan
berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat
mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-
kesalahan tanpa mendapat kecaman yang biasanya menyinggung
perasaan.
d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif
sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran anak didik. Mampu memilih
arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan
kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to
learn how to learn).
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajarkan murid menjadi bebas, tidak
tergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas
inisiatif sendiri, ia memilikin kesempatan untuk menimbang-nimbang dan
membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dan
menjadi lebih tergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada
penilaian pihak lain.
22
e. Belajar untuk Perubahan
Belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Ilmu
pengetahuan dan teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di
masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di
masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan
saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang
berubah dan akan terus berubah.
Prinsip-prinsip yang dijelaskan oleh Rogers tersebut jika dilihat pada
kehidupan santri di pesantren Musthafawiyah Purba Baru telah memuat hal-
hal tersebut, dikaitkan lagi dengan visi, misi dan tujuan pesantren
Musthafawiyah Purba Baru maupun tujuan pendidikan pesantren secara umum
yaitu littafaqquh fiddin, yaitu lebih kepada pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap dan fenomena-fenomena sosial, maka teori belajar
humanistik ini telah sangat sesuai dengan kehidupan pesantren Musthafawiyah
Purba Baru dan ini sudah berlangsung mulai dari berdirinya pesantren ini
sampai sekarang ini. Akan tetapi wawancara dengan sekretaris pesantren
Musthafawiyah Purba Baru mengatakan bahwa sistem gubuk ini beberapa
tahun ke depan akan dihapuskan paling tidak dalam waktu tiga tahun akan
diganti dengan sistem asrama, hal ini mengingat suasana zaman dan
lingkungan sekarang sudah tidak lagi mendukung sistem gubuk tersebut, di
samping lahan yang semakin menyempit juga tantangan psikologis lainnya
mengancam kehidupan kesantrian di area gubuk-gubuk santri, dikhawatitkan
pengaruh bukun akan semakin banyak berdatangan karena sudah tidak dapat
dikontrol lagi mengingat komplek banjar-banjar santri cukup jauh dan banyak
lokasinya secara terpisah-pisah antara satu banjar dengan banjar lainnya,
bahkan sampai ke perkampungan penduduk Desa Purba Baru.
Berikut adalah foto-foto suasana banjar sebagai lingkungan tempat
gubuk-gubuk para santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Terdapat lebih
dari 1.100 unit gubuk santri yang tersebar di beberapa titik lokasi banjar.
Banjar-banjar tersebut diberikan nama agar mudah untuk menemukannya.
Bebarapa banjar dihuni oleh santri-santri dari satu daerah asal santri sebagai
unit organisasi santri. Akan tetapi umumnya banjar-banjar dihuni oleh santri-
santri secara membaur dari daerah manapun menjadi satu komplek banjar,
seolah satu perkampungan santri dengan gubuk-gubuk kecil ibarat rumah-
rumah penduduk.
23
Gambar 1.1 lingkungan Banjar/Gubuk Para Santri Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru
6. Humanistik Dalam Pandangan Islam
Arbayah dalam jurnalnya mengutip bahwa humanisme secara umum
diartikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai
nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia
bukannya pada otoritas supernatural manapun. Defenisi tersebut menurut
Arbayah kalangan humanis Barat menganggap bahwa manusia adalah segala
pusat aktivitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupan.
(Arbayah, 2013)
Islam memandang hal yang berbeda tentang kemanusiaan (humanisme),
Islam memandang memanusiakan manusia sesuai kodratnya dan tugasnya
sebagai khalifatullah di atas bumi, dalam hal ini Alquran memberikan empat
term yang memiliki arti yang berbeda sesuai konteks yang dimaksud Alquran,
antara lain: (Arbayah, 2013)
1) Basyar (البشر) digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia merupakan
makhluk biologis. Sebagaimana dalam Surat Ali Imron ayat 47 yang
24
menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan Maryam
memiliki anakn sementara tidak ada seorangpun yang menggaulinya.
قالت قالكذل ك برش ودلولميمسسن ىل ون يك نذأ ٱرب هللذ يل ق
ل ول مايق افإ نذ مر أ إ ذاقض ۥمايشاء ون نفيك ك
Artinya: “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku
mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan
Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah
hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia” (QS
Ali Imron: 47)
2) An-Naas (الناس) untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk
sosial dijelaskan dalam surat Alhujurat ayat 13 yang menjelaskan bahwa
manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
ها يأ ٱي وب اوقبائ لنلذاس ع مش وجعلنك نث
مم نذكروأ إ نذاخلقنك
مع ند كرمك أ إ نذ عارف وا هللذ ٱتل إ نذ م تقىك
ٱأ ١٣عل يمخب ريهللذ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. Alhujurat: 13)
3) Bani Adam (بنى أدم) untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk
rasional, dalam Surat Al-Isra’ dijelaskan ayat 70 bahwa Allah akan
memualiakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat
maupun di lautan. Yang menunjukkan bahwa manusia berpotensi melalui
akalnya meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
ىف م وحلنه ءادم بن منا كرذ م نبلحر ٱولب ٱ۞ولقد م ورزقنه ي بت ٱ لطذ يال نخلقناتفض كث ريم مذ
مىلع لنه ٧٠وفضذArtinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
25
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.” (QS Al-Isra: 70)
4) Al-Insan (االنسان) untuk menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk
spiritual. Dalam Surat Aldzariyat ayat 56 dijelaskan bahwa manusia dan jin
diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepadaNya.
وما نذٱخلقت نسٱول ون ل عب د يل ٥٦إ الذ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56)
Menurut Sumarlin penjelasan ayat yang empat tadi yang berkaitan
dengan term manusia dalam Alquran adalah bahwa manusia yang sholeh
adalah manusia yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam memenuhi
kebutuhan jasmani, akal, dan qalbnya. Upaya untuk mewujudkan manusia
sebagai makhluk atau manusia yang ideal hendaknya dengan memandang
manusia secara keseluruan yaitu, manusia sebagai Insan, al-naas, al-basyar dan
bani adam, yaitu manusia sebagai mahluk spiritual, makhluk rasional, makhluk
sosial dan mahkluk biologis. (Adam, 2013)
Penjelasan konsep tentang manusia dalam Alquran sebagai seorang guru
sememstinya memandang manusia secara keseluruhan diri anak didik, guru
memperhatikan perkembangan fisik, psikologis, dan perkembangan potensi-
potensi anak didik agar perkembangan anak didik menuju kedewasaan sesuai
dengan yang diharapkan oleh tujuan Pendidikan pada umumnya.
7. Aplikasi Teori Humanistik Dalam Pendidikan
Uci Sanusi mengutip bahwa Humanistik lahir sebagai kritik terhadap
Aliran Behavioristik yang memandang manusia sebagai mesin. Humanisme
merubah paradigma tersebut menjadi lebih manusiawi dan dihargai sebagai
suatu kesatuan yang utuh. (Sanusi, 2013)
Humanisme dalam Islam telah terusmuskan dalam konsep khalifatullah
dalam Islam1. Untuk mengerti konsep-konsep tersebut dapat dilacak dalam
Alquran Surat alBaqarah ayat 30-32 :
رض ٱل جاع لىف ئ كة إ ن
ف يهاإوذقالربكل لمل تعل قال واأ خل يفة
قال لك كون قد س مد ب ن سب ح ٱدل ماءونن ف يهاويسف ك د فس مني ون ماالتعلم علم
أ إ ن
artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
1 Ratna Syifa’a Rachmahana, Psikologi Humanistik dan Aplikasinya Dalam pendidikan,
Jurnal Pendidikan Islam el-Tarbawi, No.1, Vol I, 2008
26
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui".
نب أ فقال ئ كة
ٱلمل ىلع م عرضه ث مذ ذها ك سماءٱل ءادم وعلذم ون
ق ني نت مصد الء إ نك سماء هؤ ب أ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"”
ٱلك يم نتٱلعل يم إ نذكأ ماعلذمتنا
بحنكالع لمنلاإ الذ قال واس
Artinya: “Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana".
Substansi dari ketiga ayat tersebut adalah bahwa (1) manusia adalah
pilihan Tuhan, (2) keberadaan manusia dengan segala kelebihannya
dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di atas bumi (khalifatullah fil ardl), dan (3)
manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala resiko
perbuatannya. (Rachmahan, 2008)
Kemudian lebih lanjut terkait tiga konsep tersebut Ratna Syifa’a
menemukan tiga masalah pendidikan, yaitu: 1. Pengajaran materi secara umum
belum mampu melahirkan creativity, 2. Morality atau akhlak di sekolah umum
masih menjadi masalah utama, dan 3. Punishment atau hukuman dalam
berbagai bentuknya lebih tampak daripada reward atau penghargaan yang
diberikan kepada siswa.
Sebagai sebuah teori belajar, aliran teori belajar humanistik dapat
diaplikasikan dalam beberapa aplikasi pendidikan, di antaranya:
1) Open Education (Pendidikan Terbuka)
Pendidikan terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan
memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai
pembimbing.
Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai
berikut:
a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam
bahan yang diperlukan untuk belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk
27
bergerak secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada
pengelompokan atas dasar kecerdasan.
b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru
menangani masalah-masalah perilaku dengan jalan berkomunikasi secara
pribadi dengan murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersama-sama mendiagnosis
peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka
sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes maupun buku
kerja.
e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid
dan membuat catatan-catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit
sekali diadakan tes formal.
f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti
guru boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.
g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar
yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.
2) Cooperative Learning (Belajar Kooperatif)
Belajar kooperatif merupakan pondasi yang baik untuk meningkatkan
dorongan berprestasi murid. Belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik:
a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar kecil (4-6 orang anggota), dan
komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.
Teknik-teknik belajar dalam cooperative learning ada empat macam,
yaitu: 1) Team Games Tournament, 2) Student Teams-Achievements
Divisions, 3) Jigsaw, 4) Group Investigation.
3) Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid
menjadi subjek harus merancang, mengatur, dan mengontrol kegiatan mereka
sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek
maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid),
mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa
yang akan mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan
digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang
telah dilaksanakan. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses
belajar, bukan sebagai penentu proses belajar.
4) Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)
Student Centered Learning merupakan strategi pembelajaran yang
menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri serta bertanggung jawab
28
atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan strategi ini diharapkan murid
mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan
sistem dukungan sosial untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya
belajar yang paling efektif.
Uci Sanusi juga mengemukakan beberapa model pembelajaran yang
humanistik, yang diperoleh dari beberapa literatur. Di antaranya adalah:
humanizing of classroom, active learning, quantum learning, quantum
teaching, dan accelerated learning. (Sanusi, 2013)
1) Humanizing of Classroom
Humanizing of classroom dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang focus pada
pengembangan model “afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga
hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan
akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan
menyatupadukan kesaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan
tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi lebih penting pada aspek
metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2) Active Learning
Active Learning dicetuskan oleh Melvin L Silberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus.
Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar
pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan
berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam
active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa,
dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara
mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan
membuat paham, dengan cara mendengar, melihat, mendiskusikan dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Dan cara
untuk menguasai pelajaran yang paling bagus adalah dengan mengajarkan.
3) Quantum Learning dan Quantum Teaching
Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam
interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan sekitar momen
belajar. Dalam prakteknya quantum learning menggabungkan segestologi,
teknik percepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan,
dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa
menggunakan potensi nalar dan emosi secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak terduga sebelumnya. Dengan metode belajar
yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah
satu konsep belajar ini adalah bahwa belajar itu harus mengasikkan dan
29
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk informasi baru
akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan
membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan
memasukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan
kekuatan yang integral. Pembelajaran yang demikian merupkan kegiatan
full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran,
perasaan, dan Bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan
keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa yang akan datang, semuanya
harus dikelola dengan baik, diselaraskan hingga mencapai harmoni.
4) Accelerated Learning
Konsep dasar dari pembelajaran iniadalah bahwa pembelajaran itu
berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik
konsep ini adalah Dave Meier, ia menyarankan kepada para guru dalam
mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual dan
Intellectual (SAVI), belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan
berbicara dan mendengarkan, belajar dengan mengamati dan
menggambarkan, belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan
refleksi.
Dari ulasan teori mengenai alikasi teori belajar humanistik, mulai open
education, cooperative learning, independent learning dan student centered
learning sudah berlangsung di pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Hanya
cooperative learning yang kurang menonjol karena menyangkut metode
pengajaran di kelas, akan tetapi tiga konsep yang lainnya sudah berjalan dalam
kehidupan santri pesantren Musthafawiyah purba Baru dalam menuntut ilmu
di pesantren tersebut. Open education terlihat pada fasilitas-fasilitas yang
tersedia di pesantren semisal mengikuti pengajian-pengajian rutin baik di
masjid, aula dan rumah-rumah ustad, ustad dalam memberikan kajian tidak
dengan paksaan dan ancaman, bahkan memberikan motivasi melalui
pemberian nasehat-nasehat. Independent learning tergambar pada kehidupan
santri sehari-harinya dalam mengatur jadwal, dan kegiatan-kegiatan apa yang
harus dilakukannya, kemudian mempertanggungjawabkan hal tersebut kepada
ustad dan orangtuanya. Di luar kegiatan kelas para santri biasa melakukan
muzakarah baik muzakarah antar santri junior dengan senior atau dengan
mendatangkan ustad sebagai pemandu muzakarah, kegiatan tersebut adalah
atas inisiatif santri sendiri. Selain itu ada kegiatan “tabligh” sebagai wahana
latihan menjadi da’i, qari, kemasyarakatan bahkan belajar kemimpinan dan
berorganisai, kemudian bebarapa santri juga sering menambah ilmu mereka
dengan mengikuti kursus-kursus mandiri diluar pesantren baik ilmu
keagamaan maupun ilmu ketrampilan lain. Dan konsep yang terakhir student
centered learning dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa
secara berkelompok misalnya kelompok siswa yang ingin menjadi qari mereka
30
mendatangi ahli qari baik dari kalangan ustad mereka sendiri atau mendatangi
lembaga lain, kursus Bahasa dan komputer dengan biaya mereka sendiri
sebagai tambahan dari ilmu yang mereka dapatkan di pesantren.
Kemudian sebagai implikasi dari teori belajar humanistik, Alaudin
dalam jurnalnya menuliskan posisi guru dalam pembelajaran, yaitu guru
sebagai pembimbing dan guru sebagai fasilitator:
a. Guru sebagai fasilitator
1) Memberi perhatian kepada pencintaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalamann siswa.
2) Membantu siswa untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan
perorangan di dalam kelas dan tujuan-tujuan kelompok yang bersifat lebih
umum.
3) Mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk
melaksanakan tujuan-tujuan bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan
pendorong yang tersembunyi di dalam belajar.
4) Mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang
paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu
mencapai tujuan mereka.
5) Menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk
dapat dimanfaatkan oleh kelompok
6) Menanggapi baik ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan
menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap perasaan dan
mencoba untuk menganggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi
individual atau kelompok.
7) Bilamana cuaca penerimaan kelas telah mantap, fasilitator berangsur-
angsur dapat berperan sebagai siswa yang turut berpartisipasi, seorang
anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang
individu, seperti siswa lainnya.
8) Mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok perasaannya dan
juga pikirannya dengan tiak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi
sebagai andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak siswa.
9) Harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan
adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10) Berperan sebagai fasilitator, guru harus mencoba untuk mengenali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
b. Guru sebagai pembimbing
Guru yang baik adalah guru-guru yang manusiawi mempunyai rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka harus
dengan mampu dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara
perorangan ataupun secara kelompok. Ruang kelas seolah kelihatan seperti
perusahan kecil dengan pengertian bahwa mereka lebih terbuka, spontanitas,
dan mampu menyesuaikan diri kepada perubahan. Semestinya guru
menghindari komentar-komentar yang melukai persaan dan tidak otoriter yang
31
mengakibatkan guru jadi tidak peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswanya.
Seorang guru yang ingin berhasil dalam mengajar mereka harus memahami
jati diri siswa, karena pada dasarnya setiap orang butuh penghargaan, bukan
ancaman apalagi menghalangi. Guru sejati bukanlah yang hanya menguasai
materi pelajaran dan aspek-aspek metodologis semata, tetapi para guru juga
mampu memahami kecenderungan hati setiap siswa. Oleh karena itu guru
harus:
1) Bersikap tenang. Tidak boleh kehilangan akal, marah sekali atau
menunjukkan kegembiraan yang berlebihan. Harus ntral terhadap segala
masalah, dan tidak menunjukkan pendapat pribadinya.
2) Dapat menyukai siswa-siswanya secara adil. Tidak boleh membenci dan
memarahi siswa secara berlebihan.
3) Memperlakukan siswa secara sama, tanpa membedakan watak-watak
individu siswa.
4) Mampu menyembunyikan perasannya, meskipun terluka hatinya ia tidak
boleh menunjukkannya, terutama di hadapan siswa-siswanya yang masih
muda.
5) Menjawab semua pertanyaan yang disampaikan oleh siswanya.
Penjelasan konsep guru menurut pandangan teori belajar humanistik jika
disandingkan dengan pandangan Islam akan melahirkan guru yang sukses
karena memandang siswanya sebagai individu yang bebas dan ingin
berkembang dengan segala potensi yang dimiliki siswa tersebut. Inilah kriteria
seorang guru dalam Islam yang diambil dari kitab Ta’lim Mutaallim karya
Syekh Zarnuji Rahimahullahu Ta’ala:
”قالابوحنيفةرحهاهللتعاىلوجدتهشيخاوقوراحليماصبورا“
Ini adalah ucapan Abu Hanifah Rahimallahu Ta’ala ketika beliau
memilih Hammad Bin Abi Sulaiman sebagai kiainya, karena Syekh
Hammad mempunyai kriteria sifat-sifat seorang guru yang ideal
yaitu alim, wara’ tentunya lebih tua usianya dari Imam Abu
Hanifah. Lebih dari itu menurut Abu Hanifah bahwa Hammad
adalah seorang guru yang berakhlak mulia, penyantun, dan
penyabar. (al Zarnuji, h.14)
اۥل قال ل متر شد اع م مذ من نت عل
أ تذب ع كىلع
هلأ وس ٦٦م
Artinya: “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”. (QS
al-Kahf;66)
Ayat tersebut juga bagaimana semestinya seorang guru mengajar anak
didiknya. Dalam posisi tersebut ilmu yang dimiliki oleh Khaidir diajarkan
kepada orang lain yaitu nabi Musa. Kaitan ayat tersebut dalam Pendidikan
bahwa seorang guru semestinya:
32
1) Menuntun anak didiknya
2) Memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi selama
menuntut ilmu
3) Mengarahkan anak didik untuk tidak mempelajari sesuatu hal jika
guru merasa dan mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak
sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya. (Wahab, 2016,
h.72)
Maka ditarik kesimpulan sebagai kriteria seorang guru yang ideal adalah
sebagai berikut:
1) Seorang guru semestinya lebih tua usianya dari anak didik
2) Guru harus mampu bersikap bijaksana dengan kesabaran dan kelembutan
dalam mendidik anak didiknya
3) Guru mampu menjadi contoh teladan baik
4) Guru harus adil dalam meperlakukan anak didik
5) Guru mampu menjadi motivator untuk mendorong berkembangnya
potensi-potensi anak didik
6) Guru mampu menjadi fasilitator dalam memperhatikan keinginan
perkembangan anak didik
7) Guru mampu mendeteksi potensi-potensi yang dimiliki anak didik agar
dapat dikembangkan sesuai dengan ilmu yang akan dipelajarinya.
B. Pesantren Sebagai Basis Kitab Kuning
1. Pesantren dan Karakteristiknya
Pesantren sebagai lembaga pendidikan, layaknya lembaga pendidikan
lainnya mengusahakan perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik
santrinya. Akan tetapi pesantren dengan keunikannya berbeda dengan lembaga
pendidikan lainnya yang pernah ada di Indonesia. Pesantren mempunyai
keunikan tersendiri baik dari manajemennya, kepemimpinannya, maupun sistem
pendidikannya. Sebagai ciri utamanya adalah “pengajaran agama Islam”.
Kata pesantren terbentuk dari akar kata yang sama dengan istilah “santri”.
Kata tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang
yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu. Pada perkembangannya, istilah
shastri menjadi salah satu kata serapan dalam bahasa Indonesia, namun dalam
bentuk yang berbeda, yaitu santri. Kata santri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti seorang yang mendalami dan memahami dengan baik hal-hal
yang berkaitan dengan khazanah keislaman. Sedangkan pesantren adalah tempat
di mana anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih
lanjut tentang ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari
bahasa Arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama
besar. (Raharjo, 1985, h.2)
Dengan bahasa yang lain Ardani menjelaskan bahwa pesantren berasal
dari kata santri, mengandung arti orang yang belajar ilmu agama Islam dengan
sungguh-sungguh. Maka pesantren berarti tempat anak didik belajar agama
33
Islam dan cara mengamalkannya dalam kehidupan nyata, atau dengan kata lain
pesantren adalah tempat pendidikan dan latihan anak didik agar menjadi muslim
sejati yang taat mengamalkan ajaran agamanya. (2008, h.9)
Menurut Abdurrahman Wahid pesantren adalah “sebuah komplek dengan
lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam komplek
tersebut berdiri beberapa bangunan, rumah kediaman pengasuh atau kiai, sebuah
masjid tempat pengajaran diberikan dan juga asrama sebagai tempat tinggal para
santri” (Raharjo, 1985, h.40)
Menurut Mastuhu pesantren merupakan lembaga Pendidikan tradisional
Islam yang bertujuan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati,
dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama
sebagai pedoman hidup bermasyarakat. (1994: h.55)
Dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah tempat untuk belajar agama
Islam secara mendalam dan sungguh-sungguh, untuk mendalami materi ajaran
Agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam
pesantren terdapat para santri, kiai, masjid dan pondokan sebagai tempat tinggal
para santri selama menuntut ilmu agama.
Kajian historis asal mula keberadaan pendidikan pesantren di Indonesia,
para ahli mengasumsikan bahwa pesantren adalah pola pendidikan yang
mengadopsi pola pendidikan sebelum kedatangan Islam di Indonesia, yaitu
bahwa pola pendidikan tersebut bukanlah pola pendidikan yang diadopsi dari
ajaran Islam, akan tetapi pola pendidikan masa dahulu yang diislamkan.
Setidaknya ada dua pandangan terhadap sejarah asal mula pendidikan pesantren
di Indonesia.
Van Bruinessen mengatakan sejarah mengenai asal usul pesantren sangat
sedikit sekali, bahkan tidak dikatehui kapan lembaga pesantren muncul untuk
pertama kalinya. Bruinessen mengutip dari Pigeud dan de Graaf yang
menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di
samping masjid pada periode awal abad ke-16. Mereka mengasumsikan bahwa
pesantren adalah sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh di daerah
pedalaman, dan berasal dari lembaga sejenis zaman pra-Islam, yaitu mandala
dan aysrama. (1995, h.23-24) Kemudian ada indikasi bahwa:
Pertama adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pesanten berakar dari
tradisi Islam sendiri. Yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan erat dengan
tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta
bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam
bentuk kegiatan tarekat. Hal tersebut ditandai dengan oleh terbentuknya
kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan
zikir dan wirid tertentu. Pimpinan tarekat tersebut disebut kiai, khalifah, atau
mursyid. Beberapa tarekat mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk
melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara
tinggal bersama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-
ibadah di bawah bimbingan kiai. Selama pelaksanaan proses suluk tersebut para
kiai menyediakan ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat
34
memasak yang terletak di kiri dan kanan masjid. Di samping mengajarkan
amalan-amalan tarekat para pengikut tarekat juga diajarkan kitab-kitab agama
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Aktivitas yang dilakukan oleh
pengikut-pengkut tarekat tersebut kemudian dinamakan pengajian. Dalam
perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang
menjadi lembaga pesantren. (Nizar, 2013, h.88-89)
Kedua pesantren yang ada saat ini pada awalnya merupakan
pengambilaihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahasa sebelum datangnya Islam
ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada sebelumnya. Pendirian pesantren
pada masa ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama
Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar agama Hindu. Fakta lain yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak
ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara
lembaga serupa ini banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu Budha. (Nizar,
2013, h.97)
Nurcholis Madjid, mengemukakan secara historis pesantren tidak hanya
identik dengan dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia (indeginious), sebab lembaga yang serupa pesantren ini
sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha. Oleh karena itu Islam
meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada tersebut.
Pesantren adalah lembaga yang merupakan wujud proses perkembangan sistem
pendidikan nasional. (1997, h.3)
Pada perkembangannya yang patut disyukuri saat ini bahwa pesantren
sebagai pendidikan keagamaan Islam telah memiliki kedudukan yang setara
dengan pendidikan umum. Sejak berlakunya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, posisi lembaga-lembaga pendidikan
agama dan keagamaan semakin jelas posisinya dalam kesatuan sistem
pendidikan nasional.
Pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan Islam, karena merupakan
lembaga yang berupaya menanamkan nilai-nilai keislaman di dalam diri
santrinya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki karakteristik
yang berbeda dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, jika
ditinjau dari sejarah pertumbuhannya, komponen-komponen yang terdapat di
dalamnya, pola kehidupannya warganya, serta pola adopsi terhadap berbagai
macam inovasi yang terjadi di dalamnya dalam rangka mengembangkan sistem
pendidikan. (Soebahar, 2013, h.33)
Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia saat ini, tumbuh dan
berkembang dengan cara masing-masing menyesuaikan keadaan dan tempat
pesantren tersebut berada, pesantren-pesantren tersebut berkembang baik dari
fisik, kurikulum, sistem pendidikan maupun manajemnnya. Namun dari seluruh
pesantren yang ada di Indonesia meskipun ada perbedaan antara satu pesantren
dengan pesantren yang lainnya, namun terdapat pola kesamaan dari segi
komponen utamanya. Seperti yang dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa
35
“komponen utama pesantren secara umum terdiri dari kiai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab kuning”. (1982, h.40-46) Kelima komponen
tersebut adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren
dengan lembaga pendidikan lainnya. (Mustajab, 2015, h.57)
2. Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada
masyarakat dengan jalan mengabdi atau menjadi pelayan masyarakat
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah.
Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Mulyadi dalam bukunya
Nizar bahwa tujuan didirikannya pesantren pada dasarnya mempunyai tujuan
khusus dan tujuan umum, yaitu:
a. Tujuan khusus, yaitu untuk mempersiapkan para santri untuk menjadi
orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan
serta mengamalkannya dalam masyarakat.
b. Tujuan umum, untuk membimbing anak didik untuk menjadi manusia
yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi
mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
(Nizar, 2013, h.90)
Nurcholis Majid merumuskan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah
membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam
merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Kemudian produk
pesantren juga diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan
responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam
konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).
(Madjid, 1997, h.19)
Mastuhu mengemukakan tujuan pendidikan pesantren adalah sebagai
sarana meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada
Allah Swt, yang kemudian tujuan tersebut dirumuskan oleh Mislaini menjadi
substansi dan tujuan pendidikan pesantren sebagai berikut:
a) Adanya pembinaan akhlak dan kepribadian yang mulia
b) Adanya semangat pengabdian, baik bagi agama, masyarakat maupun
bangsa.
c) Selama aktivitas yang dilakukan termasuk dalam menuntut ilmu
adalah dengan tujuan untuk mencari ridho Allah Swt
d) Bercita-cita untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di
dunia dan akhirat. (1994, h.57)
3. Tipologi Pesantren
Secara umum pesantren dapat dikategorikan ke dalam pesantren salaf atau
pesantren tradisional dan pesantren khalaf atau pesantren modern, namun seiring
perkembangan dunia pendidikan dewasa ini konsep pesantren ikut mengalami
36
perkembangan yang dinamis sehingga terdapat bermacam-macam kategori atau
tipologi pesantren yang diberikan oleh para ahli pengamat dunia pesantren,
walapun pada dasarnya memiliki kesamaan terhadap kategori tradisional dan
modern, namun para ahli membuat konsep yang lebih luas sehingga semakin
kaya referensi bagi masyarakat yang ingin menyekolahkan anak mereka di
pesantren.
Pesantren salafiyah adalah pesantren tradisonal atau konvensional yang
masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pesantren, kurikulum,
maupun metode pengajarannya. Bahan ajarnya meliputi ilmu-ilmu Agama Islam
yang diperoleh dari pengajaran kitab klasik atau kitab kuning yang berbahasa
Arab. Pembelajaran di pesantren ada yang diselenggarakan denga cara non-
klasikal bisa juga dengan cara klasikal, kurikulum disusun sendiri oleh pesantren
yang bersangkutan. Para santri dapat tinggal di dalam asrama yang telah
disediakan di lingkungan pesantren dapat juga tinggal di luar lingkungan
pesantren dengan sebutan santri kalong. Adapun metode pengajarannya
wetonan, sorogan, muzakarah, dan majelis ta’lim. (Suparta, 2009, h.86-88)
Sedangkan pesantren khalafiyah adalah pesantren modern atau pesantren
kontemporer yang mengadopsi sistem madrasah/sekolah, dengan kurikulum
yang disesuaikan dengan dengan kurikulum pemerintah, baik Kementerian
Agama maupun Kementerian Pendidikan Nasional. Pesantren ini
menyelenggarakan kegiatan pendidikan jalur sekolah (SD, SMP, SMU dan
SMK/MI, MTs, MA). Kegiatan pembelajaran pesantren khalafiyah memiliki
kurikulum dilaksanakan secara klasikal dan berjenjang, metode yang diberikan
juga adaptif terhadap metode-metode pendidikan kontemporer. (Suparta, 2009,
h.88)
Lebih rinci Suparta merinci beberapa jenis pondok pesantren dari
karekteristiknya yang sangat beragam. Yaitu Pesantren Tipe A, pesantren yang
di mana santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pesantren
dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (wetonan dan sorogan);
Pesantren Tipe B, yaitu pesantren yang melaksanakan pengajaran secara klasikal
(madrasah) ditambah pengajaran oleh kiaiyang bersifat aplikatif diberikan pada
waktu-waktu tertentu dan santri tinggal di asrama yang disediakan di lingkungan
pesantren tersebut; Pesantren Tipe C, pesantren yang hanya merupakan asrama,
sedangkan santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum), kiai
posisinya sebagai pengawas dan Pembina mental para santri tersebut; dan
pesantren Tipe D, yaitu pesantren yang menyelenggarakan sistem pesantren dan
sekaligus sistem sekolah/madrasah. (Suparta, 2009, h.89)
Charlene Tan dalam penelitiannya menuliskan tiga jenis pesantren yang
ada di Indonesia, yaitu: pesantren tradisional, modern dan independen. “A
traditional pesantren tends to focus on traditional Islam and is likely to be
ideologically affiliated with Nahdlatul Ulama (NU) teach classical Islamic texts
to their student; A modern pesantren as it name implies, it modernizes pesantren
education by introducing a structured grade system, classrooms, textbooks and
ethos of reform and progress, mots pmodern pesantren are affiliated with
37
Muhammadiyah; a independent pesantren that is not associated with NU or
Muhammadiyah, and tends to adopts Salafi ideological beliefs”. (2014)
Keberagaman dan keunikan yang terdapat pada sistem pendidikan
pesantren terkait dengan sejauh mana sebuah pesantren mempertahankan sistem
keaslian dan tradisionalitasnya serta kemampuannya mengadopsi dan menyerap
sistem pendidikan modern di zaman kontemporer, sehingga bentuk-bentuk
pesantren yang ada saat ini dapat disederhanakan menjadi tiga tipe yaitu, a)
pesantren salafiyah/tradisional; b) pesantren khalafiyah/modern; dan pesantren
campuran atau kombinasi. (Mustajab, 2015, h.60)
4. Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fiddin seringkali
dipandang sebelah mata oleh masyarakat, hal ini terlihat dari sejarah panjang
pendidikan pesantren baik dari zaman penjajahan pesantren jelas terlihat selalu
mendapat tantangan dari pemerintah colonial, demikian setelah zaman
kemerdekaan, berlanjut pesantren belum mendapat perhatian yang adil seperti
layaknya lembaga pendidikan yang ada pada umumnya. Akan tetapi pesantren
survive sampai saat ini, bergabai upaya telah dilakukan lembaga pesantren agar
tetap bisa bertahan menjadi pilihan umat untuk menimba ilmu pengetahuan.
Tantangan besar saat ini dalam menghadapi dinamisasi perkembangan
dunia akibat kemajuan teknologi informasi di mana kenyataan dunia di belah
manapun semakin transfaran, semakin terbuka akibat cepatnya informasi yang
menyebar hal tersebut menyebabkan membaurnya budaya antar bangsa yang
jelas akan membuat masyarakat dapat terpengaruh dan tidak dapat lagi
membedakan mana budaya bangsanya dan mana budaya yang datang merusak,
sehingga nilai moral dan agamapun ikut semakin menipis.
Oleh sebab itu pesantren hadir sebagai lembaga yang telah sekian lama
mengajarkan akhlak mulia, maka diharapkan pesantren dapat berkontribusi
lebih banyak dalam menghasilkan santri sebagai benteng pengawal moral
bangsa yang diharapkan dapat mengontrol situasi dan kondisi dari hancurnya
kultur budaya dan nilai-nilai agama yang telah melekat dalam masyarakat.
Penting untuk mempertahan eksistensi pesantren di era globalisasi modern
saat ini, pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin sebagai lembaga yang
mengajarkan karakter akhlak mulia yang bersumber pada ajaran Islam, yaitu
sumber utama Alquran dan Hadis. Situasi dunia saat ini yang semakin jauh dari
agama sangat membutuhkan kualitas manusia yang baik intelektual dan
spritualnya. Oleh sebab itu pesantren diharapkan mampu untuk hal tersebut.
Mantan Menag Suryadharma Ali menjelaskan pentingnya lembaga
pesantren di abad ini setidaknya berdasarkan tiga alasan, yaitu pertama, karena
pengajaran pesantren sangat menekankan penguasaan pada disiplin keilmuan
Islam secara tuntas berbasis pada sumber-sumber kitab kuning yang otoritatif.
Santri dituntut memiliki kedisiplinan tinggi mendalami secara serius sehingga
benar-benar menguasai. Kedua pesantren terkenal sebagai bengkel akhlak yang
sangat ampuh mendidik santri berperilaku baik sesuai nilai-nilai yang diajarkan
38
Islam. Dan ketiga pendalaman dan penghayatan keagamaan yang hidup
sepanjang waktu di pesantren adalah kekuatan yang penting untuk mendidik
santri menjadi muslim sebenarnya. (Ali, 2013, h.11)
Pesantren yang diharapkan tetap bertahan dan hidup ditengah masyarakat
adalah pesantren yang dapat menjawab kebutuhan zaman, tidak hanya sekedar
benteng moral namun lebih dari itu lembaga pesantren agar lebih responsif
terhadap kebutuhan tantangan zaman, mampu menjadi agen perubahan dan
pembangunan masyarakat. Oleh sebab itu diharapkan pesantren tidak hanya
memainkan peran tradisionalnya saja sebagai lembaga yang mentransfer ilmu-
ilmu agama, lebih dari itu pesantren diharapkan mampu untuk fungsi
pembangunan masyarakat secara keseluruhan. (Madjid, 1997, h.xxii)
Azyumardi Azra menjelaskan bagaimana pesantren bisa tetap eksis
sampai hari ini di kancah pendidikan nasional, seperti dikutip dari pendapat
Karel Steenbrink bagaimana surau merespon pendidikan modern pada masanya,
yaitu “menolak sambal mengikuti” kemudian istilah pesantren di masanya
“menolak sambal mencontoh” pihak surau dan pesantren menganggap bahwa
ekspansi modernisasi pendidikan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah modern
merupakan ancaman bagi eksistensi dan keberlangsungan surau dan pesantren.
Oleh sebab itu lembaga surau dan pesantren mengambil langkah dengan
mengadopsi beberapa unsur pendidikan pesantren yang telah diterapkan oleh
kaum reformis, khususnya sistem klasikal dan penjenjangan akan tetapi tanpa
mengubah secara signifikan isi pendidikan pesantren. Dalam hal ini pihak
pesantren cenderung sangat berhati dalam menerima ide modernisasi pendidikan
yaitu dengan tidak secara terburu-buru menerima dan mentransformasikan
kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang modern secara
penuh, tetapi sebaliknya pesantren menerima modernisasi pendidikan secara
hati-hati, pesantren menerima modernisasi hanya dalam skala kecil sebatas
mampu menjamin pesantren tetap survive. Oleh karena itu dalam merespon
perkembangan dan modernisasi pembaharuan tersebut ramai pesantren yang
mendirikan madrasah di dalam komplek pesantren, sehingga diharapkan mampu
bersain dan menjawab tuntutan reformasi lembaga pendidikan. (Madjid, 1997,
h.xiv-xxiv)
Pesantren telah menunjukkan perkembangannya, saat ini tidak sedikit
pesantren yang telah mengembangkan kurikulum atau mata pelajarannya yaitu
dengan memasukkan bidang study yang selama ini dipakai di sekolah umum.
Tetapi bidang kajian pelajaraan keagamaan yang bersumber dari kitab kuning
telah ditambah juga dengan kajian pelajaran umum untuk menyiapkan lulusan
pesantren yang siap pakai di masyarakat yang tidak hanya sekedar sebagai
panutan agama namun juga terampil dengan berbagai bidang di masyarakat.
C. Kitab Kuning
1. Pengertian Kitab Kuning
Kitab Kuning merupakan salah satu faktor penting di antara lima
komponen karakteristik unik yang dimiliki oleh sebuah pesantren, yaitu kiai,
39
santri, masjid, asrama/pondok, dan kajian kitab kuning. Kitab kuning selain
sebagai pedoman dan pelajaran sehari-hari di pesantren, lebih penting lagi kitab
kuning difungsikan sebagai referensi (marji’) bagi masalah-maslah keagamaan
yang dihadapi umat.
Istilah “Kitab Kuning” pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar
pesantren dengan nada merendahkan. Dalam pandangan mereka kitab kuning
dianggap sebagai kitab yang berkadar keilmuan rendah, ketinggalan zaman dan
menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Sebutan ini pada
awalnya memang menggambarkan kekunoan, akan tetapi sebutan kitab kuning
diterima secara meluas sebagai salah satu teknis dalam studi kepesantrenan.
Selain seutan kitab kuning beredar juga istilah “Kitab Klasik” (alqutubul
qadimah), bahkan karena tidak dilengkapi dengan syakal kitab kuning juga
sering disebut kalangan pesantren sebagai “Kitab Gundul”. (Siradj, 1999, h.221)
Sebagai pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati pesantren
bahwa “Kitab Kuning” adalah kitab yang selalu dipandang sebagai kitab
keagamaan yang berbahasa Arab, memakai huruf Arab, sebagai produk
pemikiran ulama-ulama masa lampau (ulama as salaf) yang ditulis dengan
format khas pra modern. (Siradj, 1999, h.222)
Lebih rinci pengertian Kitab Kuning dikutib dari tulisan Masdar F
Mas’udi yang mendefenisikan bahwa Kitab Kuning merupakan kitab-kitab yang
a) ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun temurun menjadi referensi
yang dipedomani oleh ulama Indonesia, b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai
karya tulis yang independen, c) di tulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar
dan terjemahan atas karya ulama asing. (Siradj, 1999, h.222)
Azyumardi Azra mendefenisikan bahwa Kitab Kuning adalah kitab-kitab
keagamaan berhasa Arab, Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di
Indonesia dengan menggunakan aksara Arab yang selain ditulis oleh ulama
Timur Tengah juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri. ( 2001, h111)
Penulis menyimpulkan bahwa Kitab Kuning adalah kitab-kitab
keagamaan Islam sebagai karya para ulama baik ulama timur tengah maupun
ulama Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab sebagai referensi para ulama
dan menjadi pelajaran penting di pesantren.
Dalam tradisi intelektual Islam dikenal dua istilah untuk menyebut
kategori karya ilmiah berdasarkan kurun dan format penulisannya. Kategori
pertama disebut Kitab Klasik (alkutub al-qadimah) sedangkan kategori kedua
disebut kitab-kitab modern (alkutub al-ashriyah). Perbedaan kitab klasik dengan
kitab modern adalah cara peulisannya yang tidak mengenal pemberhentian,
tidak memiliki tanda baca (punctuation), bahasanya berat, klasik dan tanpa
syakal. Yang disebut Kitab Kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang
pertama yaitu kitab-kitab klasik (alkutub al-qadimah). (Siradj, 1999, h.223)
Format penulisan yang khas menjadi ciri khusus kitab kuning yaitu terdiri
dari dua bagian matn dan syarh, peletakan matn selalu di bagian pinggir baik
sebelah kanan maupun sebelah kiri kertas. Adapun syarh karena merupakan
penjelas bagi matn maka pemaparannya jauh lebih panjang dan banyak
40
dibandingkan dengan matn, maka syarh diletakkan di ruang tengah (halaman).
Akan tetapi dalam versi lain juga ditemukan bahwa syarh ditulis di pinggir
halaman kertas sedangkan matn posisinya di tengah, dan ditemukan juga kitab
yang syrahnya ditulis mencong dengan tulisan yang lebih kecil dibawah setiap
kata teks. (Nizar, 2013, h.148)
Menurut Bruinessen bahwa tradisi Kitab Kuning bukanlah berasal dari
Indonesia, sebab semua kitab klasik yang dipelajarai di Indonesia masa-masa
awal pesantren berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelm Islam tersebar
di Indonesia. Demikian dengan kitab syarah atas teks matn klasik juga bukan
berasal dari Indonesia meskipun pada perkembangannya jumlah kitab syarah
yang ditulis ulamaIndonesia semakin banyak. Sejumlah kitab yang dipelajari di
pesantren tidak ditulis di Indonesia melainkan di Makkah atau Madinah
meskipun pengarangnya orang Indonesia. (1995, h.22)
2. Signifikasni Kitab Kuning Dalam Tradisi Pendidikan Pesantren
Kitab kuning menjadi komponen penting sebuah pesantren, oleh sebab itu
pengajaran kitab kuning merupakan salah satu fungsi pesantren yakni menjaga
dan melestarikan warisan pengetahuan keislaman yang diperoleh secara turun
temurun dari generasi salaf as-shalih. Melalui tradisi pengajaran kitab kuning di
pesantren, doktrin-doktrin dalam kitab kuning yag bersumber dari Alquran dan
Sunnah sebagai sumber utama menjadi “ruh” dan jiwa yang menggerakkan
kehidupan pesantren. Lebih dari itu tradisi kitab kuning juga mendasari
bangunan keilmuan yang dikembangkan pesantren, melalui pewarisan seperti
kajian kitab kuning seluruh khazanah keilmuan yang dihasilkan ulama salaf as-
shalih diterima, dikaji dan dijaga keasliannya oleh santri sampai saat ini.
(Bruinessen, 1995, h.27)
Kitab kuning dipelihara secara turun temurun karena memang sebagai
khazanah keilmuan Islam yang mesti dipelihara, kalangan pesantren menjadikan
kitab kuning sebagai bacaan utama dan referensi dari setiap persoalaan dalam
menyikapi segala tantangan kehidupan. Oleh sebab itu kitab kuning mempunyai
peranan yang sangat penting bagi kehidupan pesantren.
Samsul Nizar mengemukakan dua pandangan terhadap posisi kitab kuning
dipesantren. Pertama kebenaran kitab kuning bagi kalangan pesantren adalah
sebagai referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Karena kitab kuning sudah ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke
masa menunjukkan bahwa kitab kuning sudah teruji kebenarannya dalam
sejarah yang panjang. Kitab kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran
yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan
bersandarkan pada Alquran dan Hadis. Kedua kitab kuning menjadi penting bagi
pesantren untuk memfasilitasi proses pemakaian keagamaan yang mendalam
sehingga mampu merumuskan penjelasan segar tetapi tidak ahistoris mengenai
ajaran Islam. Kemudian kitab kuning menjadikan pesantren tetap sebagai pusat
kajian keislaman. Maka pemeliharaan kitab kuning mutlak dilakukan bahkan
pengayaan kitab kuning harus tetap menjadi ciri utama pesantren. (2013, h.158)
41
3. Isi kandungan dan Pemikiran Kitab Kuning
Kitab kuning yang berkembang di Indonesia menurut Bruinessen ditulis
pada abad ke-10 sampai dengan abad ke-15M. beberapa karya penting ditulis
pada masa tersebut. Tetapi sejak akhir abad ke-15 pemikiran Islam tidak
mengalami kemajuan yang berarti. (1995, h.30)
Kandungan kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren di Indonesia
memang lebih banyak didominasi bidang kajian fiqih atau yurisprudensi hukum
Islam, tetapi bukan berarti kajian kitab kuning sebatas kajian fiqih saja, dari
sekian banyak judul kitab kuning yang ada di pesantren di Indonesia, menurut
Briunessen dari sekitar 900 judul kitab kuning yang beredar di lingkungan
pesantren sekitar 20% bersubstansikan fiqih. Sisanya menyangkut disiplin-
disiplin ilmu lain seperti akidah (ushuluddin) berjumlah 17% bahasa Arab
(nahw, sharf, balagah) 12%, hadis 8%, tasawuf 7%, akhlak 6% pedoman doa
(wirid, mujarobat) 5% dan qishashul anbiya; maulid; manaqib 6%. (Bruinessen,
1995, h.228-229)
Chozin Nasuha dalam penelitiannya menyatakan meskipun ada perbedaan
dalam penyajian kitab kuning bila dilihat dari kandungan maknanya masih
terdapat kesamaan dan dapat dibagi menjadi dua: 1) kitab kuning yang
berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah
Islam, tafsir dll. 2) kitab kuning yang menyajikan materi berbentuk kaidah-
kaidah keilmuan seperti, nahw, sharf, ushul fiqih, dan musthalah hadist. (Siradj,
1999, h. 262)
Pengajaran kitab kuning sampai saat ini tetap dilestarikan dan dipelihara
dengan baik di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan tujuan utama pesantren yaitu sebagai lembaga tafaqquh
fiddin, mendidik calon-calon ulama yang setia pada paham Islam tradisional,
kitab kuning yang diajarkan dipesantren umumnya dikelompokkan kepada enam
bahasan yaitu: 1. Bahasa, 2. Alquran/Tafsir, 3. Hadis, 4. Tauhid, 5. Fiqih dan 6.
Tasawuf.
4. Metode Pengajaran Kitab Kuning
Metode dipahami sebagai cara-cara yang ditempuh untuk menyampaikan
ajaran yang diberikan. Dalam konteks kitab kuning ajaran itu adalah apa yang
termaktub dalam kitab kuning. Melalui metode tertentu, suatu pemhaman atas
teks-teks pelajaran dapat dicapai. Selama kurun waktu panjang, pesantren telah
memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode: weton, atau bandongan,
sorogan, dan hafalan. Semua metode in tetap dipertahankan dalam sistem
halaqah maupun klasikal (madrasah). (Siradj, 1999, h.280)
Kategori pesantren tradisional dan pesantren modern ternyata
mengikabatkan perubahan motode yang terjadi di pesantren. Jika ditelusuri akan
ditemukan metode yang bersifat tradisional dan metode yang bersifat modern.
Dari laporan Departemen Agama RI bahwa metode penyajian dan penyampaian
kajian atau pengajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional seperti wetonan
42
dan sorogan, ada pula yang bersifat modern yaitu metode baru yang diintrodusir
ke dalam institusi pesantren berdasarkan pendekatan ilmiah. (Qomar, 2005,
h.142)
a. Metode-metode Tradisional
“Metode-metode tradisional yang telah berlangsung lama di pesantren
meliputi: metode wetonan, metode sorogan, metode muhawaroh, metode
muzdakarah, dan metode majlis ta’lim”. (Nizar, 2013, h. 150)
Metode sorogan merupakan suatu metode dengan cara guru
menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, keadaan ini bisa
berlangsung di kelas, di masjid atau di rumah ustazd. Metode ini dilakukan pada
santri yang jumlahnya lebih sedikit dengan cara bergiliran. Metode ini juga
biasanya diberikan kepada santri pada tingkat rendah yaitu santri yang baru
menguasai pembacaan bacaan Alquran. Melalui metode sorogan perkembangan
intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Kiai dapat memberikan
bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran
kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap kemampuan
dasar dan kapasitas kemampuan pada santri. Metode sorogan menuntut
kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut untuk disiplin yang tinggi, dan
metode ini juga membutuhkan waktu yang lama.
Metode wetonan atau disebut bandongan adalah suatu metode pengajaran
dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-
buku Islam dalam Bahasa Arab dan santri-santri mengdengarkan,
memperhatikan, dan membuat catatan-catatan dalam bukunya masing-masing.
Metode wetonan paling banyak dipilih di lingkungan pesantren. Akan tetapi
dalam metode wetonan ini santri bersifat pasif Karena kreativitas santri tidak
ditunjukkan dalam metode ini, sebaliknya kiai atau guru lebih dominan dalam
metode ini. Dengan kata lain santri tidak dilatih untuk mengekspresikan daya
kritisnya dalam mencermati kebenaran sebuah pendapat. Adapun santri yang
mengikuti metode ini adalah santri-santri yang berada pada tingkat menengah.
Metode muhawaroh adalah suatu kegiatan berlatih percakapan dengan
Bahasa Arab hal ini biasanya diwajibkan bagi santri yang tinggal di asrama.
Keuntungan yang dapat diambil dari metode ini adalah semakin banyaknya
perbendaharaan mufradat (kosa kata) Bahasa Arab yang dikuasai oleh para
santri.
Metode muzdakarah adalah sebuah metode dengan bentuk pertemuan
ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyyah seperti aqidah, ibadah,
dan masalah agama pada umumnya. Metode ini dapat membangkitkan semangat
intelektual santri. Santri diajak berpikir ilmiah dengan menggunakan penalaran-
penalaran yang disandarkan pada Alquran dan Sunnah juga kitab-kitab klasik
Islam.
Metode majelis ta’lim adalah suatu metode menyampaikan ajaran Islam
yang bersifat umum dan secara terbuka, bisa diikuti oleg semua usia, golongan
dan jenis kelamin. Metode ini tidak saja untuk kalangan santri tetapi untuk
43
kalangan masyarakat umum juga. Majelis ta’lim bukanlah kajian yang dilakukan
setiap hari, akan tetapi hanya dalam waktu-waktu tertentu saja.
b. Metode Kombinatif
Banyak ahli yang berusaha untuk melakukan pembaruan metode
pengajaran di pesantren, hal ini karena kemajuan zaman dan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan. Berbagai metode pendidikan yang
berlangsung di pesantren yang bersifat tradisional dipandang perlu untuk
disempurnakan yaitu dengan melakukan penelitian terhadap efektifitas,
efesiensi dan relevansi metode-metode tersebut untuk menemukan kelemahan
dan keunggulannya. Maka dikombinasikan dengan metode-metode
pembelajaran modern.
5. Perkembangan Keilmuan Kitab Kuning
Kitab kuning merupakan salah satu sarana keilmuan untuk mempelajari
agama Islam, umumnya pesantren-pesantren yang yang ada di Indonesia
mengajarkan Kitab kuning sebagai kurikulum pendidikannya, dan para kiai dan
ulama menjadikan kitab kuning sebagai bahan kepustakaannya dan referensi
yang telah diakui dikalangan pesantren. Chosin Nasuha menyebutkan dari
beberapa penelitian yang didapat bahwa kitab kuning mengalami pertumbuhan
yang teramat cepat. Misalnya dari penelitian L.W.C van den Berg pada tahun
1886M menyebutkan bahwa di kalangan pesantren-pesantren yang ada di Jawa
dan Madura terdapat sekitar 54 judul kitab kuning, baik kitab kuning yang terdiri
dari kitab, matn, syarh, maupun hasiyah. Kemudian pada akhir abad ke 20,
Martin Van Bruinessen melaporkan bahwa “kitab kuning yang beredar di
pesantren Jawa dan Madura telah mencapai 900 judul kitab”. (1995, h. 135)
Menurut pada ahli perkembangan berbagai ilmu dalam Islam, seperti
tafsir, hadis, fiqih, dan ilmu-ilmu bahasa (nahw, sharf, dan balagah) semuanya
berjalan melalui proses dan tahapan-tahapannya. Sejarahwan mengakui bahwa
pertumbuhan ilmu yang pesat dalam kejayaan Islam berlangsung di masa
Abbasiyah di Bagdad. Karya intelektual yang lahir pada masa ini mencakup
berbagai cabang ilmu. Bukan saja ilmu-ilmu agama yang dikembangkan
melainkan ilmu-ilmu kealaman dan filsafat Yunani turut berkembang dengan
pesat dan bahkan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun Al Rasyid
dan Ma’mun. Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari
Byzantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kegiatan
penerjamahan buku-buku seperti ini kira-kira berlangsung satu abad sampai
Bayt alHikmah didirikan sebagai lembaga penerjamahan, perpustakaan dan
pusat akademi di masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu
adalah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, sejarah
dan filsafat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan terjadi hamper di
seluruh kekuasaan Islam seperti Mesir oleh Daulah Fatimiyah mereka
membangun kota Kairo dan membangun masjid Al Azhar kemudia berdiri di
masjid ini berdiri perguruan tinggi Islam internasional yang sangan megah dan
44
lengkap masih berkembang sampai saat ini, yaiu Universitas Al Azhar.
Perguruan ini telah melahirkan ulama-ulama dunia yang menjadi pengembang
dan pengguna kitab kuning. Dinasti Umayyah di Spanyol berhasil membangun
masjid Cordova yang merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam di Barat
dan berhasil pula mendirikan Universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki
ratusan ribu kitab berbagai judul dan disiplin ilmu. Sampai akhirnya kemajuan
ilmu dalam Islam ini mengalami kemerostoan dankemandegan bersamaan
dengan kemunduran kerajaan-kerajaan Islam di dunia sekitar tahun 1250-
1500M. (Siradj, 1999, h.255-257)
Keilmuan kitab kuning ditulis oleh tokoh-tokoh yang yang pemikirannya
mendominasi kalangan pesantren, antara lain: Ibn Hajar al-Asqallani, Zakariyya
al-Anshari, as-Syuthi, ar-Ramli, as-Subki dan ulama-ulama besar lainnya.
Pengamat menilai meskipun dunia Islam saat itu mulai mengalami kemunduran
telah lahir dua pemikir besar Islam dengan karya-karyanya yang mengandung
pemikiran positivism dan empirisme, yaitu Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Akan
tetapi karya-karya mereka tidak berkembang di lingkungan pesantren. Maka
kitab kuning yang muncul setelahnya hanya bersifat deskriptif terhadap karya-
karya ulama sebelumnya. Di Indonesia pada abad ke-19 muncul karya-karya
Syaikh Nawawi al-Bantani, karya-karya Syaikh Ihsan Jampes, dan lain-lain
keilmuan kitab kuning seluruhnya ditulis dalam tulisan Arab baik yang
berbahasa Arab maupun kitab kuning yang diberi makna dengan bahasa Jawa,
Melayu dicetak dan kemudia diedarkan ke mana-mana. (Siradj, 1999, h.257)
Penulisan isi dan materi kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren
Indonesia disebutkan bahwa tidak terlalu memperhatikan ilmu-ilmu duniawi,
akan tetapi metode rasionanya tetap masuk dipakai sebagaimana ilmu pada
umumnya, oleh sebab itu ruang lingkup materi kitab kuning adalah ilmu-ilmu
agama (al-‘ulum ad-diniyah) yang ditulis dengan pedekatan naqli dan
pendekatan aqli dan naqli sekaligus. Di sisi lain dunia ilmu mengenal empat
macam metode penalaran yaitu deduktif, induktif, genetika dan dialektika.
Menurut para ahli materi keilmuan kitab kuning dalam segala macam bentuknya
diproses melalui metode-metode tersebut dengan rincian sebagai berikut:
1) Metode deduktif (istinbath). Metode ini banyak digunakan untuk
menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Alquran dan Hadis) menjadi masalah-
masalah fiqih yang dihasilkan melalui ilmu ushul fiqh
2) Metode induktif (istiqra’i). mengambil kesimpulan umum dari soal-soal
khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli fiqih untuk menetapkan
suatu hukum.
3) Metode genetika (takwini) adalah cara berpikir mencari kejelasan suatu
masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah
kemunculan masalah tersebut. Metode ini banyak dipergunakan oleh ulama
ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya.
4) Metode dialektika (jadali) adalah cara berpikir yang uraiannya diangkat
dari pertanyaan atau pernyataan seseorang yang dipertanyakan. Dasar-dasar
45
metode ini banyak ditulis dalam kitab-kitab mantiq. (Siradj, 1999, h.259-
261)
Melihat metode-metode penalaran yang dipakai kitab kuning ternyata
sama saja dengan metode penalaran keilmuan pada umumnya, oleh sebab itu
pantasnya kitab kuning tetap membanggakan dan dipertahankan hanya saja
perlu perluasan dan pengembangan agar tetap dapat menjawab persoalan-
persoalan umat di masanya.
Tradisi pesantren dengan kitab kuningnya selalu berusaha untuk
menjawab kebutuhan zaman salah satu yang ditawarkan oleh para ahli untuk
keerlangsungan kitab kuning adalah dengan mengembangnkan pola pemikiran
dan perluasan cakupan kitab kuning. Salah satu tawaran yang diberikan adalah
dengan pemikiran ahl al-ra’y yaitu sebuah kecenderungan pemikiran
rasionalitas untuk menunjang aliran pemikiran ahl al-hadis di mana ahl al-hadis
dalam mengkaji dan menyelesaikan suatu persolan hukum lebih memperhatikan
aspek lahiriah dan riwayat suatu teks, (Siradj, 1999, h.272-279) oleh sebab itu
jika disandingkan pola pemikiran ahl ar-ra’y alangkah bijak untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dialami umat di masa modrn seperti ini sehingga para
ulama dapat dengan mudah mengambil hukum suatu persoalan bauk dengan
cara komparasi kitab, pendapat atau pandangan para ulama dibelahan dunia
yang bisa saja suatu persoalan tersebut tidak ditemukan di dalam kitab kuning
yang beredar di pesantren saat ini.
Kitab kuning, bagaimanapun bentuk perkembangan keilmuan yang
diharapkan baik dari perkembangannya, pola pemikirannya dan bentuk
penyajiannya sumbernya tetaplah sama yaitu Alquran dan Hadis. Semua
permasalahan yang dikaji dan disajikan oleh kitab kuning berkisar dari dua
sumber ini Alquran dan Hadis nabi.
6. Kitab Kuning Dalam Kurikulum Pesantren
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi,
maupun bahan kajian dan pelajaran serta penyampaian dan penilaian. Kitab
kuning dapat dikatakan sebagai kurikulum dalam pesantren. Penelitian Martin
Van Bruinessen kajian kitab kuning dapat diklasifikasikan dalam delapan pokok
bidang kajian, yaitu:
1) Fiqih 20%
2) Aqidah/ushuluddin 17%
3) Tata Bahasa Arab (nahwu, sharaf, balagah) 12%
4) Hadist 8%
5) Tasawuf 7%
6) Akhlak 6%
7) Doa, wirid, mujarabat 5%
8) Qishash al-anbiya; maulid; manaqib 6% (Bruinessen,
1995, h.135)
Menurut Bruinessen kitab-kitab kuning yang menjadi kurikulum
pesantren dapat diklasifikasikan dalam bidang kajian sebagai berikut:
46
1) Ilmu Alat
Ilmu alat atau ilmu bantu yang dikaji di pesantren terdiri dari berbagai cabang
tyata Bahasa Arab yang diklasifikasikan menjadi ilmu alat di antaranya:
Nahwu : Al-Jurumiyah, Imrithi, Mutammimah, Asymawi, Alfiyah,
dan awamil
Sharaf : Kailani, Amtsilat al Tasrifiyah, dan maqshud
Balaqhah : Jauharul Maknun, Uqudul Juman
Mantiq : Sullam al-Munawwaraq dan Idhah al-Mubham
2) Fiqih
Kitab Fiqih mendapat perhatian yang cukup besar di pesantren seolah
menjadi prioritas utama, dan terdapat bebagai macam kitab Fiqih yang dikaji
di pesantren, akan tetapi kajian Fiqih di pesantren-pesantren di Indonesia
hanya mengacu pada Fiqih syafi’i2. di antara kitab-kitab Fiqih yang sering
digunakan pesantren adalah:
Fiqih : Taqrib, Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim, sula al-
Taufiq, Mabadi’ al-Fiqh, Fath al-Muin, Kifayat al-
Akhyar, Bajuri, Iqna’, Fath al-Wahab Mahalli
Ushul Fiqh : Waraqat, Syarah Waraqat, Lataif al-Isyarat, Jam’ul
Jawami’ al-Asbah wa al Nazhair
3) Aqidah/Tauhid
Pesantren-pesantren di Indonesia mayoritas berpaham Asy’ariyah
sebagaimana paham mayoritas yang dianut masyarakat Indonesia, oleh sebab
itu kitab-kitab Tauhid yang dikaji di pesangtren beraliran paham Asy’ariyah.
Di antara kitab yang dikaji adalah:
Kifayat al-Awam, Dasuki, Aqidah al-Awam, Fath al-Madjid, jawahirul
Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, dsb
4) Tafsir
Kajian tafsir dimasukkan untuk kelas Aliyah di pesantren, kitab tafsir yang
dipakai di pesantren di antaranya: Tafsir Jalalalain, Tafsir Baydhawi, Tafsir
Munir, tafsir Ibn Katsir, Jami’ al Bayan
5) Hadis
Kitab-kitab hadis yang sering dipakai di pesantren di antaranya:
Hadis : Bulugh al-Muram, Riyadh al-Salihin, Sahih Bukhari,
Shahih Muslim, Durrotun Nashihin, Mukhtar al-Hadis,
Arba’in Nawawiyah, Tanqih al-Qaul, dsb
Ulum Hadis : Mihdad al-Mugis, Baiqunah, Syarah Baiqunah
2 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, …., h112
47
6) Akhlak/Tasawuf
Kajian Tasawuf maupun akhlak mendapat kajian yang utama juga
dipesantren sesuai dengan motto pesantren littafaq fiddin. Adapun kitab-
kitab yang dipakai di antaranya adalah:
Akhlak : Akhlaq lil Banin, Akhlaq lil Banat, Irsyadul Ibad, Nashaih
al-Ibad, dan Ta’lim al-Muta’allim
Tasawuf : Ihya’ ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin,
Hikam, Syarah Hikam, Risalah al-Mu’awwanah, dsb
7) Sejarah (Tarikh)
Kebanyakan kitab tarikh yang dipelajari/dikaji di pesantren hanya terbatas
pada sejarah Nabi dan khulafa al rasyidun. Di antara kitab yang sering dipakai
adalah Khusunul yaqin, Dardir, dan Barzanji. Kemudian beberapa maulid
dan manaqib.
Menurut penelitian Mahmud Yunus terdapat kesamaan kitab-kitab kuning
yang menjadi kurikulum pesantren di Indonesia, baik pesantren yang ada di
pulau Jawa, Pulau Sumatera dan Pulau-lau lainnya. Adapun kitab-kitab yang
menjadi kurikulum pesantren Musthafawiyah Purba Baru saat ini adalah:
KURIKULUM PESANTREN MUSTHAFAWIYAH TAHUN 2018
KELAS KITAB
a. Kelas I (Tsanawiyah)
1. Nahwu
2. Sharaf
3. Fiqih
4. Tauhid
5. Akhlaq
6. Tajwid
7. Tarikh
8. Bahasa Arab
9. Juz Amma
- Al-Jurumiyah
- Amtsilat al-Tashrifiyah
- Durus al-Fiqihiyah
- Al-Aqoid Diniyah
- Pelajaran Akhlak (Arab
Melayu)
- Tajwid al-Quran
- Khulasoh Nurul Yaqin
- Ta’lim Lughot al-Arabiyah
- Juz Amma
b. Kelas II (Tsanawiyah)
1. Nahwu
2. Sharaf
3. Fiqih
4. Tauhid
5. Tajwid
6. Hadist
7. Tarikh
8. Ahklak
- Mukhtasor Jiddan
- Matn Bina wa al-Asas
- Matn Goyah wa at-Taqrib
- al-Aqoid al-Diniyah
- Hidayat al-Mustafid
- Arba’in an-Nawawiyah
- Khulasot Nurul Yaqin
- Washaya al-Aba’I li al-
Abna’i
48
9. Bahasa Arab
10. Juz Amma
- Ta’lim Lughot al-Arobiyah
- Juz Amma
c. Kelas III (Tsanawiyah)
1. Nahwu
2. Sharaf
3. Fiqih
4. Tauhid
5. Hadist
6. Tarikh
7. Akhlak
8. Tafsir
9. Faraid
10. Juz Amma
- Kawakib al-Durriyah
- Al-Kailany
- Bajuri
- Fath al-Majid
- ‘Usfuriyah
- Durus tarikh al-Islami
- Ta’lim al-Muta’allim
- Tafsir Showi
- Tuhfah al-Tsaniyah
- Juz Amma
d. Kelas IV (Tsanawiyah)
1. Nahwu
2. Sharaf
3. Fiqih
4. Tauhid
5. Tarikh
6. Akhlak
7. Hadits
8. Tafsir
9. Faraid
10. Bayan
11. Ushul Fiqih
12. Bahasa Arab
- Kawakib al-Durriyah
- Al-Kailany
- Bajuri
- Kifayat al-Awwam
- Durus Tarikh al-Islami
- Ta’lim al-Muta’allim
- Abi Jamrah
- Tafsir Showi
- Matn Ruhbiyah
- Al-Shoy
- Waraqat
- T’lim Lughat al-Arabiyah
e. Kelas V (Aliyah)
1. Nahwu
2. Sharaf
3. Fiqih
4. Tarikh
5. Tauhid
6. Hadist
7. Tafsir
8. Arud
9. Balagoh
10. Tasawuf
11. Qawaid
12. Mantiq
13. Ushul Hadits
14. Bahasa Arab
- Huduri/Ibn Aqil
- Majmu’ al-Tashrif
- Al-Syarqowy
- Durus Tarikh al-Islamy
- Husnu al-Hamidiyah
- Subul al-Salam
- Tafsir al-Showy
- Mus
- Jauwhar al-Maknun
- Minhaj al-Abidin
- Asbah wa al-Nazhair
- Idhah al-Mubham
- M
- Ta’lim Lughot al-Arabiyah
f. Kelas VI (Aliyah)
1. Nahwu
- Huduri/Ibn Aqil
49
2. Fiqih
3. Tauhid
4. Hadits
5. Qawaid
6. Ushul Hadits
7. Tarikh I
8. Balagoh
9. Ilmu Tafsir
10. Mantiq
11. Tasawuf
12. Tarikh II
13. Ushul Fiqih
14. Tafsir
15. Bahasa Arab
- Al-Syarqowy
- Husnu al-Hamidiyah
- Subul al-Salam
- Asbah wa al-Nazair
- Mathla’ al-Anwar
- Nurul Yaqin
- Jauhar al-Maknun
- IlmuTafsir
- Idah al-Mubham
- Ihya ‘Ulumuddin
- Dardir
- Al-Luma’
- Tafisr Showy
- Ta’lim Lughat al-Arabiyah
g. Kelas VII (Aliyah)
1. Nahwu
2. Ushul Hadits
3. Tasawuf
4. Balagoh
5. Tauhid
6. Qawaid
7. Ushul fiqih
8. Ilmu Falaq
9. Tafsir
10. Mantiq
11. Hadist
12. Tarikh
13. Bahasa Arab
- Hudury/Ibn Aqil
- Mathla’ al-Anwar
- Ihya ‘Ulumuddin
- Jawhar al-Maknun
- Al-Dusuki
- Asbah wa al-Nadzair
- Al-Luma’
- Taqrib al-Maqasid
- Tafsir al-Showy III
- Idah al-Mubham
- Subul al-Salam
- Nurul yaqin
- Ta’lim Lughot al-Arabiyah
Kajian kitab kuning yang diselenggarakan di masjid pesantren, pesertanya
umum. Waktunya adalah ba’da magrib setiap hari kecuali hari Selasa. Adapun
kitab-kitab yang diulas dalam pengajian ini:
: 1. Fiqih : I’anah
: 2. Hadis : Mukhtar al-Hadis / Qatr al-Nada’
: 3. Tauhid : Al-Rudud
: 4. Zikir/Doa : al-Adzkar
: 5. Tasawuf : Ihya’ Ulumuddin
: 6. Tasawuf : Irsyad al-Ibad
: 7. Tasawuf : Nashaih al Ibad
50
Gambar 1.2
Kitab Kuning Yang di Pakai di Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Sejalan dengan penelitian ini beberapa penelitian tentang pesantren, kitab
kuning dan pendekatan teori belajar humanistik telah banyak dan sering menjadi
objek pembahasan penelitian para pakar ilmu di bidangnya. Di antara sekian
banyak penelitian yang dilakukan, beberapa hasil penelitian dijadikan sebagai
referensi dan pembanding. Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah:
1. Mulyani Mudis Taruna, Juni 2012 dalam Jurnal Analisa, Standarisasi
Penguasaan Kitab Kuning di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Nusa
Tenggara Barat. Fokus penelitiannya adalah standarisasi penguasaan
kitab kuning pada Pondok Pesantren salaf Nurul Hakim, di mana
pesantren ini tetap mengikuti arus modernisasi zaman dengan tetap
menjaga tradisi kajian kitab kuning. Standarisasi peguasaan kitab
dilakukan melalui standar evaluasi yang dilakukan setiap tahun. Orientasi
penetapan kitab kuning sesuai dengan kitab yang diajarkan dan jenis atau
program pengajian. Standarisasi penguasaan kitab kuning merupakan
otoritas pondok pesantren sebagai bagian dari program pendidikan formal
yang dikembangkan pesantren Nurul Hakim. Jika Mulyani melakukan
penelitian terhadap standarisasi penguasaan kitab kuning, maka penelitian
ini adalah untuk menyelidiki faktor rendahnya penguasaan santri terhadap
kajian kuning, fenomena yang menyebabkannya atau hambatan yang
51
mungkin dihadapi selama proses pembelajaran kitab kuning dan strategi
pembelajaran yang dipakai dalam penyampaian kajian kitab kuning.
2. Muhammad Thoriqussu’ud, Juli 2012. dalam Jurnal Tajdid. Model-model
Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Fokus
penelitiannya adalah model pengembangan (kurikulum) kajian kitab
kuning, yaitu mulai dari tingkat dasar yang mengajarkan kitab-kitab
sederhana, kemudian tingkat lanjutan, dan tingkat takhassus. Pengajaran
kitab kuning mempergunakan beberapa metode dan model dalam
pengembangan kajiannya, antara lain hafalan, sorogan, weton atau
bandongan, mudzakarah dan majelis ta’lim. Dari hasil penelitian ini
ternyata metode yang dipakai dalam pengajaran kitab kuning sampai saat
ini masih terjaga yaitu, hafalan, sorogan, weton atau bandongan,
mudzakaroh dan majelis ta’lim. Penelitian yang akan dilakukan berbeda
fokus yaitu untuk meneliti apakah strategi pembelajaran dengan memakai
metode-metode tersebut masih efektif untuk saat ini dalam pengajaran
kitab kuning.
3. Mukhtaruddin, Desember 2011 dalam Jurnal Analisa Volume XVIII.
Fokus kajiannya adalah Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning. Penelitian
ini menunjukkan bahwa kitab-kitab kuning yang menjadi standar
rujukan/kajian pada tiga pesantren yang menjadi tempat penelitiannya
antara lain mencakup bidang: Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu, Sharaf, Tauhid,
Balagah, Mantiq, Sejarah, Tafsir dan Waris. Kitab-kitab kuning yang
dipelajari di tiga pesantren tersebut hampir sama, perbedaannya adalah
kitab tertentu dipakai pada jenjang yang berbeda. Pesantren tempat akan
dilaksnakannya penelitian ini juga berkutat pada kajian bidang Fiqih,
Ushul Fiqih, Nahwu, Sharaf, Tauhid, Mantiq, Balagah, Sejarah dsb namun
fokus penelitian menitikberatkan kepada strategi pembelajaran yang
digunakan.
4. Syarif, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, November
2014. Tradisi Kontekstualisasi Kitab Kuning di Pesantren: Studi di
Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya. Fokus
penelitiannya adalah tradisi dan upaya kontekstualisasi kitab kuning di
pesantren. Tradisi membaca kitab kuning di pesantren Miftahul Huda
masih berlangsung sampai saat ini, dan masyarakat pesantren Miftahul
Huda Manonjaya mengkontekstualisasikan kitab kuning dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya untuk menyelesaikan dan menjawab persoalan-
persoalan isu-isu terkini yang berkembang di masyarakat, yang
jawabannya diperoleh dari Kitab kuning. Kontekstuliasasi kitab kuning
dengan masalah kekinian adalah salah satu strategi untuk mengurangi
kejemuan terhadap kajian kitab kuning. Penelitian yang akan dilakukan
akan meneliti apakah di tempat penelitian ditemukan strategi yang sama
ataukah ada strategi lain yang dipakai dalam pembelajaran kitab kuning.
5. Muhammad Roihan Daulay et al, 2017, Cultural Relevance of Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru against the Regeneration of Clerics in
52
Mandailing Natal Regency, International Journal of Humanities and
Social Sciense Invention (IJHSSI), vol 6, no 9. Jurnal ini membahas
tentang relevansi budaya pesantren Musthafawiyah Purba Baru terhadap
regenerasi ulama di kabupaten Mandailing Natal. Dalam penelitian ini
lebih menekankan pemeliharaan tradisi yang dijalankan di pesantren
Musthafawiyah dalam pengkaderan ulama melalui disiplin santri yaitu
melalui 2 budaya yang menjadi ciri khas pesantren Musthafawiyah, yaitu
budaya fisik meliputi abit (sarung) lobe (lebai), saroben (turban), dan
solop (sandal) kedua budaya non-fisik melalui hafalan tata Basasa Arab
seperti Nahwu, sharaf, dan hafalan mahfuzat. Disiplin fisik dan non-fisik
yang diregulasikan oleh pesantren Musthafawiyah menjadi kekuatan
dalam regenerasi ulama tradisional di Mandailing Natal. Jika budaya fisik
non fisik ini tetap terpelihara maka regenerasi ulama berikutnya tetap
terjaga sebaliknya jika itu tidak ada lagi maka keberlangsungan
pengkaderan ulamapun tidak berlanjut. Penelitian ini berbeda focus
dengan penelitian dimaksud jika penelitian ini memfokuskan disiplin
dalam upaya regenerasi ulama, maka focus penelitian yang akan dilakukan
mengenai kajian kitab kuning.
6. Al Rasyidin, 2017, Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru Mandailing Natal, Journal of Contemporary
Islam and Muslim Societies, UIN Sumatera Utara, Jurnal ini menekankan
focus pada pemeliharaan kitab kuning yang dipakai di pesantren
Musthafawiyah dari masa ke masa tetap terjaga di mana kita-kitab yang
dipakai tetap sama. Mulai dari awal berdirinya pesantren Musthafawiyah
sampai sekarang ini kitab-kitab yang dipakai tetap sama dan terjaga.
Meskipun ada beberapa penambahan kitab dan buku-buku umum namun
tidak berarti kitab kuning ditinggalkan.
7. Hermansyah Putra, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2009. Pondok Pesantren dan Tantangan Globalisasi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa globalisasi tidak berpengaruh pada tataran akidah
komunitas pesantren. Akan tetapi globalisasi mempengaruhi kehidupan
santri, ustadz, metode, lembaga dan evaluasi pembelajaran di Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru. Santri terpengaruh dengan diperkenalkannya
media produk global dalam pembelajarannya, misalnya internet dan
laboratorium bahasa, dan teknologi pertanian. Pola kepemimpinan yang
pada awalnya adalah kharismatik-peternalistik telah berubah lebih
demokratis mengikuti perubahan dunia. Akan tetapi Musthafawiyah tetap
berusaha membendung agar globalisasi tidak menjadi konflik di dalam
komunitas pesantren dengan melakukan antisipasi dini, di antaranya
dengan meneguhkan tradisi Islam dan nilai-nilai substantif melalui kajian
kitab kuning, pelestarian tempat tinggal santri seperti awal
kemunculannya, mengembangkan paradigma untuk tidak
mendikotomikan ilmu pengetahuan agama dan umum, dan santri
diberikan fasilitas modern. Penelitian yang akan dilakukan berbeda fokus,
53
yaitu untuk meneliti strategi pembelajaran kitab kuning di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru, jika penelitian yang dilakukan adalah
moderniasi dan menjaga tradisi, maka penelitian ini akan mengeksplor
lebih jauh tradisi pemeliharaan kajian kitab kuning, strategi dan metode
pembelajarannya. Letak kesamaannya adalah pesantren Musthafawiyah
Purba Baru sebagai lokus yang sama bagi penelitian ini.
8. Ratna Syifa’a Rachmahana, Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam
Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam el-Tarbawi, No.1 Vol. 1, 2008.
Jurnal ini mengulas aliran humanistik dan aplikasinya dalam dunia
pendidikan, yaitu bahwa psikologi humanistic telah memberikan
sumbangannya bagi dunia pendidikan alternative yang dikenal dengan
sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Humanistik
berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui
pembelajaran nyata dengan pengembangan aspek emosional, social,
mental dan ketrampilan dalam berkarir. Aliran psikologi humanistik
mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya
terhadap potesi-potensi positif yang ada pada setiap manusia. Penelitian
ini menjadikan karya Ratna Syifa’a ini sebagai referensi teori bukan
sebagai pembanding hasil penelitian, karena tulisannya lebih kepada
menjelaskan teori humanistik dalam pendidikan.
9. Uci Sanusi, Pembelarajan dengan Pendekatan Humanistik, Penelitian
pada MTsN Model Cigugur, Kuningan, Jurnal Pendidikan Agama Islam –
Ta’lim Vol.11, No.2 – 2013. Pembelajaran humanistik di MTsN Model
Cigugur Kuningan berjalan cukup baik dengan perlakuan guru terhadap
siswa sesuai dengan posisinya sebagai manusia yang dapat
dikembangkan. Upaya pembelajaran humanistik yang dilakukan MTsN
Model Cigugur Kuningan di antaranya adalah: 1) memperlakukan dan
melayani siswa seperti anak kandung sendiri, 2) pemberian reward pada
siswa yang berprestasi, 3) pemberian santunan pada siswa yang
berlatarbelakang ekonomi lemah, 4) pengembangan budaya madrasah
yang islami, pengembangan lesson study di antara guru mata pelajaran, 5)
pengembangan program ekstrakurikuler, 6) pemberlakuan peraturan
akademik bagi guru dan siswa. MTsN Cigugur Kuningan sebagai tempat
penelitian sebenarnya tidak menentukan sebuah kebijakan khusus
menyangkut pembelajaran humanistik, pelaksanaan pembelajarannya
dapat dianalisis melalui dokumen KTSP yang dikembangkan madrasah
tersebut dan keikutsertaan para guru dalam seminar dan pelatihan-
pelatihan bertema humanistik. Letak persamaan penelitian yang akan
dilakukan dengan penelitian Uci Sanusi ini adalah sama-sama meneliti
pendekatan belajar humanistik. Hanya saja tempatnya menjadi pembeda
yaitu antara madrasah negeri dengan pesantren. Kemudian penelitian yang
akan dilakukan menitikberatkan focus penelitian pada kehidupan santri di
gubuk dan program ekstrakurikuler pesantren, sementara penelitian
54
Sanusi adalah meneliti pembelajaran di MTsN secara keseluruhan melalui
dokumen KTSPnya.
E. Kerangka Berpikir
Metode pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mentukan
keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Metode pembelajaran demikian penting
kedudukannya sehingga metode dikatakan sebagai alat motivasi ekstrinsik,
sebagai strategi pembelajaran, juga sebagai alat untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Metode dapat mempengaruhi belajar, (Hanafiah & Suhana, 2009,
h.57) Sanjaya kemudian menegaskan bahwa metode pembelajaran digunakan
untuk merealisasikan strategi pembelajaran yang telah ditetapkan oleh seorang
guru. (2011, h.125)
Begitu pula proses pembelajaran di pesantren, seorang ustadz dituntut
untuk menguasai metode pembelajaran yang tepat, agar proses pembelajaran
kitab kuning dapat berjalan dengan efektif. Lembaga pesantren dalam
pembelajaran kitab kuning telah dikenal metode-metode tradisional yang sudah
mengakar dalam sistem pembelajarannya yaitu, metode sorogan, bandongan,
muzdakaroh dan sebagainya. Begitu pentingnya metode pembelajaran sehingga
para guru betul-betul dituntut untuk menguasai metode-metode pengajaran.
Dengan demikian guru yang tidak menguasai dan tidak menggunakan metode
pengajaran maka materi pelajaran akan sulit diserap para siswa.
Menurut teori pendidikan keberhasilan suatu proses pendidikan dapat
dipengaruhi berbagai jenis factor yang mengitarinya. Keberhasilan suatu tujuan
proses pendidikan yang mengalami kegagalan, tentu ada faktor sebagai
penghambatnya, begitu sebaliknya jika tujuan pembelajaran yang cita-citakan
menjadi kenyataan, maka ada faktor yang mendukungnya.
Demikian halnya penguasaan kitab kuning, kemampuan santri membaca
dan memahami isi kandungan kitab kuning, tentunya ada upaya yang dilakukan
oleh seorang ustadz sebagai guru dalam proses pengajarannya, begitu juga ada
upaya yang dilakukan pesantren melalui program-program yang telah ditetapkan
dan fasilitas yang telah disediakan dalam mendukung keberhasilan santri
menguasai kitab kuning dengan baik. Penelitian ini akan menyelidiki upaya-
upaya yang dilakukan oleh pesantren dan para ustadz dalam meningkatkan
penguasaan kitab kuning. Apabila santri mengalami kesulitan dalam membaca
kitab kuning tentu akan kesulitan pula dalam memahami isi kitab tersebut, maka
tujuan pengajaran kitab kuning yang dicita-citakan yaitu littafaqquh fiddin akan
menemui kegagalannya. Penelitian ini akan menyelidiki faktor pendukung dan
penghambat dalam proses pengajaran kitab kuning, serta upaya-upaya yang
dilakukan oleh pesantren Musthafawiyah dan para ustadznya untuk
meningkatkan penguasaan santri terhadap kajian kitab kuning. Skema berikut
ini disiapkan sebagai kerangka konsep yang akan dikembangkan dalam
penelitian ini agar sesuai dengan batasan dan rumusan masalah yang telah
ditetapkan sebelumnya.
55
Dilihat dari sudut pandang teori belajar humanistic, kehidupan santri
pesantren Musthafawiyah telah memenuhi teori belajar humanistic jika diamati
dari sudut kehidupan santri yang tinggal dilingkungan banjar (komplek gubuk-
gubuk para santri) yang diberikan kebebasan untuk belajar, kemandirian dan
sosialnya. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan santri
yang tinggal di asrama.
Humanistik menekankan sistem pembelajaran bebas dan mandiri, bukan
pendidikan dengan ancaman dan bukan karena paksaan, artinya keinginan
belajar merupakan motivasi dan kesadaran santri sendiri. Akan tetapi
lingkungan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangannya, aktualisasi
diri yang ditekankan teori humanistic, di pesantren Musthafawiyah Purba Baru
tercermin dari kemandirian para santri yang tinggal di gubuk-gubuk (kobong)
istilah populernya dalam dunia pesantren nasional, mereka mengatur jadwalnya
sendiri mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali di malam hari, menyiapkan
makanan sendiri, mencuci sendiri.
Para santri terikat oleh peraturan-peraturan layaknya sekolah pada
umumnya ketika mereka memasuki kelas untuk belajar secara klasikal. Namun
pada situasi inipun kelihatan aktualisasi dan naturalisasi diri santri tersebut,
yaitu ketika santri tersebut terganggu dengan kelelahan misalnya atau kejenuhan
yang mengenai diri santri maka santri tersebut akan terlihat malas-malasan
selama proses pembelajaran di kelas berlangsung sehingga santri belajar tidak
memberikan respon atau feedback selama di kelas. Tugas para ustad seperti
anjuran teori humanistik agar guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing.
Dalam konsep ini pesantren telah menyediakan berbagai fasilitas untuk
dimanfaatkan para santri untuk menggali ilmu di pesantren Musthafawiyah
Purba Baru, para ustad tidak bosan memberikan bimbingan dan nasehat-nasehat
agar para santri termotivasi menyongsong diri untuk kemajuannya di masa
depan. Agar para santri semakin menumbuhkan kesadaran dan kemandirian
untuk memanfaatkan fasilitas yang ada dan untuk menggunakan kesempatan
yang tersedia menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya di pesantren tersebut.
Untuk lebih terarah maka penelitian ini memberikan skema berpikir
seperti alur di bawah ini:
56
KERANGKA BERPIKIR
Ustadz
Metode
pengajaran
UPAYA MENINGKATKAN
PENGUASAAN
KITAB KUNING
1. Program
2. Metode
3. Fasilitas Pesantren
1. Program
2. Fasilitas
SANTRI
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PROSES
PENGAJARAN KITAB KUNING
1. Faktor siswa/santri
2. Faktor guru/ustadz
3. Faktor tujuan
4. Faktor bahan, alat, media
5. Faktor lingkungan & situasi
KAJIAN
KITAB
KUNING
1. Ilmu
alat/nahu/sha
raf/balagah,
dll
2. Fiqih
3. Tauhid
4. Tafsir
5. Hadis
6. Tarikh
7. Akhlak/
Tasawuf
Kesulitan Membaca
Kitab Kuning Kesulitan Memahami isi
Kitab Kuning
STANDAR
KOMPETENSI
Santri mampu
membaca,
memahami,
menguasai dan
mengamalkan
kajian kitab kuning
57
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Objek dan Desain Penelitian
Penelitian merupakan suau penyelidikan ilmiah atau usaha yang
sistematis, terkendali, empiris, teliti, dan kritis terhadap fenomena-fenomena
untuk mencari suatu fakta, teori baru, hipotesis dan kebenaran. Dengan
menggunakan langkah-langkah tertentu agar ditemukan jawaban terhadap suatu
masalah. Melalui metode penelitian akan dapat mengetahui data yang dicari
untuk kemudian diolah dan digunakan untuk mengungkapkan permasalahan
yang diteliti.
Imam Gunawan berpendapat “penelitian kualitatif merupakan sebuah
metode penelitian deskriptif yang digunakan dalam mengungkapkan
permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi, kemasyarakatan, kepemudaan,
perempuan, olah raga seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan
untuk dilaksanakan demi kesejahteraan bersama”. Penelitian yang dilakukan
dengan metode kualitatif agar diperoleh data secara alamiah atau natural dan
komprehensif yang sesuai dengan latar dan data yang diperoleh dilapangan,
bukan merupakan hasil rekayasa karena tidak ada unsur variable lain yang
mengontrol. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak
kualitatif bukan kuantitatif yang menggunakan angka-angka dan alat pengukur.
(2013, h.79-82)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model study
kasus yang mendasarkan analisanya pada perolehan data dan fakta yang
ditemukan di lapangan. Penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini
karena merupakan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial. Tujuan utama
dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial
dengan cara memberikan pemaparan berupa gambaran jelas tentang fenomena
atau gejala sosial tersebut dalam rangkaian kata yang pada akhirnya akan
menghsilkan sebuah teori.
Objek dari penelitian ini adalah masyarakat pesantren Musthafawiyah
Purba Baru, yang menitik beratkan pada pengamatan strategi pembelajaran kitab
kuning dengan setting pesantren Mustafawiyah Purba Baru yang terletak di
kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi ini
mengingat bahwa pesantren Mustafawiyah adalah pesantren pertama, tertua dan
terbesar di wilayah kabupaten Madina, posisinya yang strategis di Jalan Lintas
Medan-Padang dan berada tidak jauh dari pusat ibukota kabupaten dan teletak
dekat dengan lokasi pusat perkantoran PEMDA kabupaten MADINA. Pesantren
Mustafawiyah adalah pesantren tradisional yang sudah memakai sistem klasikal
berjenjang tetap eksis dan menjadi pilihan masyarakat untuk menimba ilmu
57
58
sampai sekarang ini. Penelitian ini diplanningkan untuk dilakukan penelitian
lapangan mulai bulan Maret 2018.
Data yang akan diperoleh nantinya dalam penelitian ini merupakan data
yang berbentuk kata-kata dan tindakan hasil pengamatan, oleh sebab itu
pendekatan yang tepat untuk dalam penelitian adalah jenis deskriptif kualitatif.
Hal ini tejadi karena penelitian ini berusaha menelaah fenomena sosial dalam
lingkup kehidupan pesantren yang berjalan secara wajar dan alamiah, bukan
dalam keadaan terkendali atau terisolasi.
2. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, yang akan menjadi subjek penelitian adalah para
ustadz dan santri sebagai informan, dirasa sudah cukup memadai untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan.
3. Kehadiran Penelitian
Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari penelitian kualitatif,
terjun langsung mengunjungi lapangan, terlibat langsung dengan situasi
penelitian merupakan salah satu usaha mengembangkan hubungkan personal
dengan orang-orang yang diteliti. Pentingnya kedekatan dengan orang-orang
dan situasi penelitian agar peneliti dapat memperoleh pemahaman yang jelas
tentang realitas dan kondisi nyata yang diteliti.
Peneliti merupakan instrument kunci dalam penelitian kualitatif,
(Gunawan, 2013, h.95) oleh sebab itu kehadiran peneliti di lapangan mutlak
diperlukan terkait penelitian yang telah dipilih yaitu penelitian dengan
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data utama dalam penelitian ini, peneliti
secara langsung terjun ke lapangan untuk melakukan observasi lapangan dan
wawancara mendalam guna mendapatkan data-data dan informasi yang
dibutuhkan. Kehadiran peneliti di lapangan selain sebagai intrumen penelitian
juga sebagai pelapor yang merupakan faktor penting dalam seluruh kegiatan
penelitian ini.
4. Data yang Dikumpulkan
Kehadiran peneliti di lapangan penelitian agar memperoleh data utama
yang dicari. Data-data yang akan dikumpulkan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
a) Informasi mengenai sejarah, kondisi riil pesantren Mustafawiyah saat
sekarang. Data tersebut diperoleh melalui dokumen-dokumen maupun
catatan-catatan di lapangan ditambah dengan hasil wawancara dengan
pihak-pihak terkait yang di dokumentasikan baik melalui catatan
lapangan maupun rekaman suara.
b) Informasi mengenai strategi pembelajaran kitab kuning, kurikulum,
metode pembelajaran dan kondisi pembelajaran di pesantren
Mustafawiyah, baik melalui pengamatan langsung, wawancara, maupun
dokumen-dokumen terkait.
59
5. Sumber Data
Sumber data secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan
data seconder.
1) Data Primer, adalah merupakan hasil pengamatan langsung dan
wawancara mendalam dengan informan dalam hal ini sebagai
informan, para ustazd dan santri mengenai strategi pembelajaran kitab
kuning, metode, dan kurikulum yang dipakai, faktor kesulitan dan
pendukung dalam pembelajaran kitab kuning.
2) Data Sekunder, adalah hasil kajian melaluidokumen-dokumen
pendukung baik mengenai kurikulum dan dokumentasi lainnya yang
berhubungan dengan pembelajaran kitab kuning di pesantren
Mustafawiyah.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan penulis adalah
menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1) Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan mendapatkan informasi yang
diperlukan untuk menyajikan gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk
mrnjawab pertanyaan penelitian untuk kemudian dievaluasi terhadap aspek
tertentu yang diamati. (Gunawan, 2013, h.143) Emzyr mengutip pendapat
Garayibah bahwa sebuah observasi ilmiah merupakan perhatian terfokus
terhadap gejala, kejadian atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,
mengungkap faktor-faktor penyebab dan menemukan kaidah-kaidah yang
mengaturnya. (2016, h.38) Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi riil pesantren Mustafawiyah sekarang ini,
proses pembelajaran, dan kurikulum pengajarannya dengan menggunakan
metode observasi sederhana (simple observation) dan observasi partisipan di
mana peneliti ikut langsung berperan sebagai anggota masyarakat pembelajaran
kitab kuning di pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
2) Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan Tanya jawab dengan tatap muka antara
peneliti dengan informan tentang masalah yang diteliti, dimana peneliti
bermaksud memperoleh persepsi, sikap, dan pola pikir dari informan dengan
maslah yang diteliti. (Gunawan, 2013, h.162) Tujuan dari wawancara ini untuk
mendapatkan informasi lebih mendalam tentang strategi, metode dan kurikulum
pembelajaran kitab kuning, kondisi riil pesantren saat ini, baik kepada ustad dan
para santri, serta upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan penguasaan
kitab kuning santri.
60
3) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik yang dilakukan dengan cara
meneliti terhadap buku-buku, catatan, arsip tentang keadaan yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Baik kurikulum, nilai, dan dokumen
pendukung lainnya.
7. Teknik Pengolahan Data (Analisis Data)
Pengolahan data atau analisis data adalah sebuah kegiatan untuk
mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan focus
masalah yang ingin dijawab melalui serangkaian aktivitas pengolahan data,
data-data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumbuk dapat
disederhanakan untuk akhirnya dapat dipahami dengan mudah. (Gunawan,
2013, h.209)
Analisis data sesuai dengan sifatnya sebagai penelitian kualitatif, terutama
dari hasil wawancara mendalam dan catatan-catatan lapangan diolah secara
kualitatif sesuai jenis data dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini akan
dilakukan analisis dan sintesis (menguraikan dan menyatukan). Imam Gunawan
mengutip dari Miles & Huberman tiga tahapan yang harus dikerjakan dalam
menganilis data penelitian kualitatif, yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2)
paparan data (data display); dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi
(conclusion drawing/verifying). (2013, h.210) Untuk analisa data dalam
penelitian ini digunakan metode content analysis, dengan analisis data kualitatif
model Miles & Huberman, yaitu menganalisa data tertulis berupa hasil temuan
di lapangan meliputi konsep pendapat, teori, maupun prinsip tentang strategi
pembelajaran kitab kuning.
1) Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema dan
polanya. (Sugiyono, 2017, h.92)
2) Paparan Data (Display Data)
Penyajian data digunakan untuk lebih meningkatkan pemahaman kasus
dan sebagai acuan mengambil tindakan berdasarkan pemahaman analisis
sajian data. Data penelitian disajikan dalam bentuk uraian yang didukung
dengan matriks kerja.
3) Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion drawing/verifiying)
Simpulan merupakan hasil penelitian yang menjawab focus penelitian
berdasarkan hasil analisi data. Simpulan disajikan dalam bentuk
deskriptif.
61
Kegiatan analisa data digambarkan dala, gambar berikut:
8. Pengecekan Keabsahan Data
Setelah terkumpulnya data-data dari sumber data terkait, maka langkah
selanjutnya yang mesti dilakukan peneliti adalah mengecek keabsahan data
yaitu untuk meyakinkan data tersebut terhadap derajat kepercayaannya.
Menurut Tohirin “kebenaran data penelitian kualitatif dapat ditentukan dari
derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian data”. (2016,
h.71-75) Data yang salah akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang salah,
demikian sebaliknya data yang sah akan menghasilkan kesimpulan hasil
penelitian yang benar. Oleh sebab itu peneliti berusaha mendapatkan data yang
diperoleh tidak cacat.
1) Credibility (Validitas internal)
Derajat kepercayaan (kredibilitas), menggantikan istilah validitas
internal pada penelitian nonkualitatif. Beberapa teknik pemeriksaan
kebenaran data dalam penelitian kualitatif adalah:
a. Memperpanjang Masa Observasi
Dalam penelitian kualitatif, Peneliti sekaligus sebagai instrumen.
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.
Keikutsertaan peneliti adalah usaha peneliti dalam melibatkan diri
dalam komunitas masyarakat pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Posisi peneliti sebagai instrument utama dalam proses pengumpulan
data menuntut peran serta dan terjun langsung dengan masyarakat
pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Setelah peneliti mendapatkan
banyak informasi tentang data-data yang diperlukan, peneliti masih
menambah waktu keterlibatan peneliti dalam komunitas tersebut
dalam kehidupan sehari-hari sampai dinyatakan bahwa data yang
diperoleh dirasasudah cukup dan dapat dipertanggungjwabkan.
b. Ketekunan Pengamatan
Data Collection
Data
Reduction
Data Display
Conclusion
drawing/verifiying
62
Pengamatan secara terus menerus merupakan sebuah penyelidikan
yang konsisten untuk mendapatkan interpretasi yang lebih cermat,
mendalam, dan terinci dalam kaitan proses pengumpulan data di
lapangan penelitian sampai akhirnya akan menemukan data mana
yang perlu diamati dan yang tidak perlu untuk diamati untuk
menjawab focus penelitian.
c. Triangulasi Data
Tohirin mengutip pendapat Denzin, bahwa ada empat macam
triangulasi dalam penelitian kualitatif, (2016, h.73) yaitu:
1. Penggunaan sumber. Caranya antara lain (1) membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2)
membandingkan apa yang dikatan orang di depan umum
dengan dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3)
membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu;
(4) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen terkait.
2. Triangulasi metode. Caranya adalah: (1) pengecekan derajat
kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa
teknik pengumpulan data; (2) pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama.
3. Triangulasi peneliti. Caranya adalah dengan memanfaatkan
peneliti atau pengamat lainnya untuk pengecekan kembali
derajat kepercayaan data.
4. Triangulasi dengan teori.
Tujuan triangulasi data dilakukan dalam penelitian ini adalah
untuk mengecek kebenaran data dengan membandingkan data yang
diperoleh dari sumber lain pada masa penelitian di lapangan. Maka
triangulsasi data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
triangulasi sumber dan triangulasi metode. Artinya peneliti
membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan
informasi yang diperoleh melalui waktu, alat, dan metode yang
berbeda. Tringalusi data melalui sumber antara lain dilakukan dengan
cara membandingkan data yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan informan dan key informan. Dilakukan melalui cara 1.
Membandingkan hasil pengamatan pertama dengan pengamatan
berikutnya; 2. membandingkan hasil wawancara pertama dengan
hasil wawancara berikutnya.
Penekanan hasil perbandingan wawancara maupun pengamatan
bukan menitikberatkan masalah kesamaan pendapat dan kesamaan
pandangan semata, tatapi lebih jauh dari itu untuk mengetahui alasan-
alasan terjadinya perbedaan untuk kemudian dievaluasi oleh peneliti.
d. Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi. (peer debriefing)
63
Mendiskusikan hasil data dengan orang lain paham penelitian
yang sedang dilakukan, sehingga diharapkan peneliti
mendapatkan masukan dalam bentuk kritik, saran maupun arahan
atas kekurangan tang mungkin terjadi dalam melakukan
penelitian.
e. Analisi Kasus Negatif
Dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang
tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan data dan informai
yang telah dikumpulkan sebagai bahan pembaning.
f. Mengadakan Member Chek
Tujuan mengadakan member chek adalah agar informasi yang
telah diperoleh dan yang akan digunakan dalam penulisan
laporan dapat sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan.
Maka member chek yang dilakukan dalam penelitian ini
dilakukan setiap akhir wawancara dengan menyajikan data atau
jawaban yang telah diberikan informan. Tujuannya adalah agar
data yang diperoleh dapat diperbaiki apabila data tersebut tidak
sesuai menurut informan kemudian dilakukan pengurangan atau
penambahan jika dirasa perlu.
2) Transferability (Validitas eksternal)
Transferabilitas dalam penelitian kualitatif dapat dicapai
dengan uraian rinci. Untuk kepentingan ini peneliti berusaa
melaporkan hasil penelitiannya secara rinci. Uraian laporan
diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang
diperlukan oleh pembaca agar pembaca dapat memahami temuan-
temuan yang diperoleh.
3) Dependability (realibilitas)
Realibilitas instrumen menunjukkan sejauh mana alat pengukur
dapat dipercaya atau diandalkan. Ide defandibilitas menekankan
perlunya peneliti untuk memperhitungkan konteks yang berubah-ubah
dalam penelitian yang dilakukan. Penelitian bertanggung jawab
menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam seting dan
bagaimana perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi cara
pendekatan penelitian tersebut.
4) Confirmability (obyektivitas)
Konfirmabilitas berasal dari konsep objektivitas. Apabila
penelitian kuantitatif menekankan pada orang, maka objektivitas
dalam penelitian kualitatif menekankan pada proses yang berkaitan
dengan ciri-ciri data, dapatkah data tersebut dipatikan. Maka
konfirmabilitas digunakan untuk menilai proses yang dilalui peneliti
di lapangan.
64
B. Pendekatan Data dan Keilmuan
1. Pendekatan Data
Peneliti menggunakan metode pendekatan data kualitatif, untuk
memperoleh data kualitatif tersebut peneliti mengumpulkan data melalui
observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian melakukan pengecekan
keabsahan data untuk menjamin temuan yang akurat, lalu melaksanakan teknik
analisa data untuk kemudian membuat simpulan dari tahapan penelitian yang
telah dilalui.
2. Pendekatan Keilmuan
Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus terhadap strategi
pembelajaran kitab kuning dalam upaya peningkatan kualitas kajian kitab
kuning santri pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
C. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara
Beberapa informasi penting yang ingin di dapatkan selama penelitian
lapangan, temuan dan informasi yang didapatkan di lapangan penelitian akan
dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah
yang telah dikemukakan. Maka agar lebih terarah maka dibutuhkan beberapa
pertanyaan yang akan digunakan panduan dalam wawancara sebagai salah satu
metode pengumpulan data di lapangan. Berikut beberapa kisi-kisi pertanyaan yang
akan dipakai sebagai pedoman wawancara, yaitu:
1. Implementasi strategi pembelajaran kitab kuning melalui pendekatan teori
belajar humanistik di pesantren Musthafawiyah
a. Proses pembelajaran tanpa ancaman, intimidasi dan hukuman
b. Pemberian reward sebagai penghargaan atas capaian belajar santri
c. Bagaimana hasrat belajar santri pesantren Musthafawiyah Purba Baru?
d. Bagaimana pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan?
e. Bagaimaa ustad menumbuhkan kesadaran dan inisiatif santri untuk
belajar/mengaji?
f. Bagaimana kelengkapan sarana dan prasarana kelengkapan pesantren
Musthafawiyah Purba Baru
2. Kendala atau Problem yang dialami dalam pembelajaran kitab kuning di
pesantren Musthafawiyah Purba Baru
a. Situasi dan Kondisi pembelajaran kitab kuning baik pembelajaran
dalam kelas maupun di luar kelas
b. Kehidupan santri di pesantren Musthafawiyah Purba Baru meliputi
kehidupan asrama dan kehidupan gubuk santri
65
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Di dalam BAB IV ini aka dipaparkan temuan dan pembahasan mengenai data
dan hal yang telah ditemukan selama penelitian di lapangan. Kemudian data yang
telah ditemukan dikaitkan dengan teori yang telah dipaparkan pada BAB II
sebelumnya. Bagian-bagian yang menjadi pembahasan dalam BAB ini meliputi
profil pesantren Mustafawiyah sebagai tempat penelitian, pendekatan teori belajar
humanistik dalam kajian kitab kuning di pesantren Mustafawiyah, dan kendala
dalam pengajaran kitab kuning di pesantren Musthafawiyah.
A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
Pesantren Musthafawiyah terletak di desa Purba Baru Kecamatan Lembah
Sorik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pesantren ini
terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan kota Kabupaten berada di jalan lintas
Medan Padang. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru didirikan pada Tahun 1912
oleh Syekh H. Musthafa Husein Nasution.
Gambar 1.3
Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing Natal Sumatera Utara
65
66
1. Sejarah singkat pesantren Musthafawiyah Purba Baru
Syekh Musthafa Husein Nasution adalah pendiri pertama pesantren
Musthafawiyah Purba Baru, Syekh Musthafa Husein Nasution mempimpin
pesantren Musthafawiyah mulai tahun 1912 s.d 1955 dengan jumlah santri pada saat
itu 450 orang yang dihitung pada akhir jabatannya dengan ruang belajar saat itu
berjumlah sembilan ruang kelas.
Syekh Musthafa Husein Purba Baru adalah salah seorang Ulama terkemuka di
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang hidup pada tahun 1886 – 1955. Syekh
Musthafa Husein dilahirkan di pasar Tanobato, Kayu Laut, Mandailing Natal
(dulunya Tapanuli Selatan) pada tahun 1303H/1886M. pada tahun 1900 beliau
berangkat ke Mekkah Bersama rombongan haji pada tahun itu, untuk melaksanakan
ibadah haji, seterusnya menuntut ilmu di Mekkah selama 12 (dua belas) tahun.
Selama tujuh tahun belajar di Masjidil Haram belaiau sudah dapat mengajar dengan
keistimewaan kemahirannya dalam bidang Fiqih.
Pada tahun 1911 belau kembali ke tanah air disebabkan orangtuanya
meninggal dunia, setelah itu beliaupun mengadakan pengajian dari surau ke surau,
masjid ke masjid di sekitar tempat tinggalnya dan pengajaran yang disampaikannya
pun mendapat sambutan yang baik dari masyarakat pada waktu itu. Semakin hari
murid-muridnya semakin ramai yang dating belajar pada syekh Musthafa Husein.
Demikianlah pada tahun 1915 terjadi banjir bandang di Tanobato yang menyebabkan
tenggelamnya desa tersebut, maka pengajianpun dipindahkan ke desa Purba Baru.
Di desa Purba Baru kemudia Syekh Mustafa Husein membangun Madrasah
Musthafawiyah untuk pertama kalinya. Pada awalnya santri belaiu dari Tanobato
hanya berjumlah sekitr dua puluh orang, lambat laun semakin tahun santri-santri
semakin bertambah. Hingga pada tahun 1959 telah berdiri Gedung megah dengan
duapuluh ruang kelas. Nama Syekh Musthafa Husein pun diabadikan di Gedung
utama UIN Medan, Sumatera Utara.
Periode kedua kepemimpinan Pesantren Musthafawiyah dilanjutkan oleh putra
Syekh Musthafa Husein yaitu H. Abdollah Musthafa Nasution, beliau memimpin
pesantren Musthafawiyah setelah ayahandanya Syekh Musthafa Husein Nasution
meninggal dunia dan memimpin pesantren Musthafawiyah dari tahun 1955 s.d 1995.
Pada era kepemimpinan H. Abdollah Musthafa Nasution mengalami kemajuan
yang sangat pesat di berbagai bidang baik jumlah santri maupun pembangunan
sarana dan prasarana. Pada masa kepemimpinan ini santri yang belajar di pesantren
Musthafawiyah berasal dari berbagai daerah di pulau Sumatera, dari pulau Jawa,
Timor Timur, bahkan dari negara tetangga Malaysia dan Saudi Arabia. Pada saat ini
santri yang belajar mencapai jumlah 8.500 santri, dengan 75 ruang kelas, 50 kamar
santri wanita, 1 ruang perpustakaan, 2 unit masjid, 1 unit koperasi dan 1 ruang
perkantoran guru dan administrasi pesantren.
Setelah H. Abdollah Musthafa meninggal dunia kepemimpinan periode ketiga
dilanjutkan oleh Drs. H. Abdul Kholik Nasution adik kandung dari H. Abdollah
Mushtafa yang merupakan putra kandung dari Syekh Musthafa Husein Nasution
pendiri pertama pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Drs. H. Abdul Kholik
Nasution memimpin pesantren Musthafawiyah Purba Baru mulai tahun 1995 s.d
67
2003. Pada periode kepemimpin ini hanya terdapat penambahan ruang kelas menjadi
77 ruang kelas.
Tahun 2003 sampai sekarang estafet kepemimpinan pesantren Musthafawiyah
Purba Baru dilanjutkan oleh H. Mustafa Bakri Nasution cucu pendiri Pesantren
Musthafawiyah yang merupakan putra dari H. Abdollah Musthafa Nastution
pemimpin periode kedua.
H. Musthafa Bakri Nasution dengan jiwa yang maksimal berusaha mengikuti
jejak ayahandanya dalam pembangunan pesantren di segala bidang. Pembangunan
pertama dengan memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan para ustadz, santri,
sarana dan prasarana guna menunjang kemajuan pendidikan pesantren. Pada
kepemimpinan ini jumlah santri melonjak sangat jauh mencapai jumlah 11.501
santri, dengan 100 ruang belajar, meliputi 195 rombongan belajar, 61 ruang asrama
putri, 1.114 pondok (gubuk) santri putra, 1 unit perpustakaan, 2 unit masjid, 1
koperasi, 4 ruang perkantoran, 3 unit lab bahasa, 2 unit lab komputer dan 1 unit ruang
internet.
2. Motto dan Tujuan Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
a) Motto
يرفع اهلل اذلين امنوا منكم واذلين اوتو العلم درجاتArtinya: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang didatangkan ilmu beberapa derajat”.
b) Tujuan
Mencetak Ulama yang berakhlakul karimah berdasarkan ahlus sunnah
waljamaah yang bermazhan Syafi’i.
3. Visi dan Misi Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
a) Visi Pondok Pesantren Musthafawiyah
Visi pondok pesantren Musthafawiyah purbabaru kecamatan Lembah
sorik Marapi provinsi Sumatera Utara adalah :
Kompetensi di bidang ilmu, Mantap pada Keimanan, Tekun dalam
ibadah, Ihsan setiap saat, Cekatan dalam berpikir, Terampil pada urusan
Agama, Panutan di tengah masyarakat.
b) Misi Pondok Pesantren Musthafawiyah
1) Melanjutkan dan melestarikan apa yang telah dibina dan
dikembangkan oleh pendiri pondok pesantren Musthafawiyah Purba
Baru Syekh H. Musthafa Husein Nasution untuk menjadikan Pondok
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang dihormati
dalam upaya mencapai kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, dengan
tetap solid menganut faham ahlus sunnah wal jamaah (Madzhab
Syafii)
2) Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan baik pengetahuan
umum khususnya pengetahuan agama terutama yang menyangkut
68
iman, islam, akhlakul karimah dan bebagai ilmu yang dibutuhkan
dalam kehidupan.
3) Secara serius melatih peserta didik agar mapu membaca, mengartikan
dan menafsirkan serta mengambil maksud dari kitab-kitab kuning (
kitab-kitab keislaman yang berbahasa Arab)
4) Secara bertanggung jawab membimbing dan membiasakan peserta
didik dalam beribadah, berdzikir dan menerapkan akhlakul karimah
dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar lingkungan
Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
5) Dengan kejelian, menggali, mengembangkan minat dan bakat peserta
didik sehingga mereka memiliki keterampilan (life skill) sesuai
dengan kebijakan dan kemampuan sekolah.
6) Dengan sungguh-sungguh dan kerkesinambungan membangun
kepribadian peserta didik sehingga mereka diharapkan mempunyai
kepribadian yang tangguh, percaya diri, ulet, jujur, bertanggung
jawab serta berakhlakul karimah, dengan demikian meraka akan dapat
menyikapi dan menyelesaikan setiap permasalahan hidup dan
kehidupan dengan tepat dan benar
7) Secara berkesinambungan menanamkan dan memupuk jiwa
patriotisme peserta didik kepada bangsa dan negara, tanah air,
almamater terutama sekali terhadap agama
4. Sturuktur Organisasi Kepengurusan Pesantren Musthafawiyah
Struktur Organisasi Kepengurusan Pesantren Musthafawiyah Purba
Baru Tahun 2017/2018
Pimpinan/Mudir : H. Mustafa Bakri Nasution
Wakil Mudir : H. Abdul Hakim Lubis
Pimpinan Asrama Putri : Hj. Zahara Hannum Lubis
Sekretaris : Drs. Munawar Kholil Siregar
Bendahara : H. Marzuki Tanjung
Wakil Bendahara : Ahmad Lubis, S.PdI
Roisul Muallimin : Amir Husein Lubis, S.PdI
Wakil Roisul Muallimin : H. Nurhanuddin Nasution
Bidang Kurikulum : H. Arda Billi Batubara
Bidang Kesiswaan : Ja’far Lubis
Bidang Keamanan : Bangun Siddik Siregar, S.PdI
Bidang Ibadah : H. Muhammad Dasuki Nasution
Bidang Kebersihan : H. Muhammad Nuaim Lubis
Bidang Sarana/Prasarana : Abdussomad Rangkuti, S.PdI
Kabid. Litbang : H. Mahmuddin Pasaribu
Kabag Perpustakaan : Akhlan Halomoan Nasution
Kabag Humas : H. Zulkarnein Lubis, S.PdI
Ka Koperasi Karyawan : Amir Husein Lubis, S.PdI
69
Ka Ponpes Salafiyah : Ridwan Efendi Nasution, S.PdI
Ka MTs Pro SKB 3 Menteri : Muhammad Faisal Hs, S.Pi
Ka MAS Pro SKB 3 Menteri : Syamsul Bahri, S.Pd
Staf Administrasi/Tata Usaha : 1. Drs. Munawar Kholil Siregar
2. Yuhibban A. R Siregar
3. Abdul Kholid Nasution
4. Irpan Nasution
5. Akhyar Nasution, S.PdI
6. Ermina Pohan, S.PdI
7. Ridwan Efendi Nasution, S.PdI
8. Ahmad Tarmizi Lubis
5. Sarana dan Prasarana Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
Sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren Musthafawiyah Purba Baru
sampai dengan saat ini adalah :
NO JENIS JUMLAH
A Tanah
1. Luas Tanah 11 Ha
B Bangunan
1. Ruang Belajar 100 ruang
2. Perpustakaan 1 unit
3. Kantor Mudir 1 ruang
4. Kantor Kepala Sekolah 4 ruang
5. Kantor Guru 5 ruang
6. Kantor Administrasi 4 ruang
7. Masjid 2 unit
8. Asrama Putri 96 ruang
9. Asrama Putra 6 unit
10. Kamar Mandi 12 ruang
11. WC 200 ruang
12. MCK 10 ruang
13. Pondok Santri 1.114 unit
C Laboratorium
1. Lab Komputer 2 ruang
2. Lab IPA
3. Lab Bahasa Arab 1 ruang
4. Lab Bahasa Inggris 1 ruang
5. Lab Internet 1 ruang
D Sarana Olah Raga
70
1. Volley Ball
2. Bulu Tangkis
3. Tennis Meja
E Sarana Kesenian
1. Nasyid
F Sarana Ketrampilan
Bengkel Las
Bengkel Elektro
Bengkel Otomotif
Gambar 1.4
Laboratorium Bahasa dan Perpustakaan
Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
71
6. Program Pendidikan Pesantren Musthafawiyah
Program pendidikan yang diselenggarkan pesantren Musthafawiyah Purba
Baru merupakan gabungan dari pendidikan pesantren dan program pendidikan
pemerintah. Dengan detil sebagai berikut:
1) Program Pendidikan Pesantren
• Nama Sekolah : Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
• Alamat : Jl. Lintas Sumatera, Desa Purba Baru
• NSM : 510312130001
• Tahun berdiri : 1912
• Tingkat Pendidikan : Program pendidikan pesantren berjalan selama 7
(tujuh) tahun dengan 2 tingkatan:
-Tingkat Tsanawiyah kelas I s.d IV
-Tingkat Aliyah kelas V s.d VII
Kelas Tingkat ROMBEL SANTRI
LK PR JLH LK PR JLH
I Tsanawiyah 33 18 51 1.574 754 2.328
II Tsnawiyah 31 16 47 1.410 730 2.140
III Tsnawiyah 27 17 44 1.223 824 2.047
IV Tsanawiyah 25 13 40 1.076 857 1.933
V Aliyah 12 9 21 679 519 1.198
VI Aliyah 9 8 17 615 470 1.085
VII Aliyah 7 6 13 468 302 770
JUMLAH 144 91 235 7.045 4.456 11.501
72
Menurut Ustad Munawwar Kholil bahwa rombongan belajar (rombel) yang
dibutuhkan untuk kapasitas yang mencukupi adalah 224 rombel, akan tetapi
mengingat jumlah ruang belajar yang tersedia masih kurang memadai, maka jumlah
santri perkelas bisa dikatakan over sehingga dimaksimalkan mencapai 50 sampai 60
santri perkelas. Kemudian untuk menyiasati jumlah santri yang over dibandingkan
dengan jumlah ruang belajar yang tidak cucup maka waktu belajarnyapun dibagi
menjadi dua kali, yaitu ada santri yang kelas pagi dan santri kelas sore.
Tabel Jumlah Guru dan Pegawai Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
No Ustadz/Pegawai Lk Pr Jlh
1 Ustadz 152 80 231
2 Pegawai 20 4 24
Jumlah 172 84 255
2) Program Pendidikan Salafiyah Dikdas 9 Tahun Tingkat Wustha
• Nama Sekolah : Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
• Alamat : Jl. Lintas Sumatera, Desa Purba Baru
Kec. Lembah Sorik Merapi
Kab. Mandailing Natal
Sumatera Utara
• NSM : 510312130001
• Izin Operasional : No.Kd.02.13/PP.007/902/2010
Tanggal 1 Juli 2010
• Jumlah Santri dan Rombongan Belajar
Kelas Tingkat ROMBEL SANTRI
Lk Pr Jlh Lk Pr Jlh
VII Wustha 3 1 4 113 16 129
VIII Wustha 2 1 3 77 11 88
IX Wustha 3 1 4 158 45 203
Jumlah 8 3 11 348 72 420
• Guru dan Pegawai
No Guru/ Pegawai Lk Pr Jlh
1 Guru Mapel Agama 13 14 27
2 Guru Mapel Umum 8 9 17
Jumlah 21 23 44
• Jumlah santri dan lulusan
Tahun Ajaran Jumlah Santri Jumlah Lulusa
2003/2004 - -
2004/2005 - -
2005/2006 2.002 Santri 215 Santri
73
2006/2007 2.293 Santri 424 santri
2007/2008 6.670 santri 802 santri
2008/2009 8.020 santri 850 santri
2009/2010 7.303 santri 840 santri
2010/2011 6.537 santri 768 santri
2011/2012 6.699 santri 611 santri
2012/2013 7.890 santri 672 santri
2013/2014 9.340 santri 690 santri
2014/2015 9.048 santri 653 santri
2015/2016 10.092 santri 653 santri
2016/2017 10.685 santri 840 santri
3) Program SKB 3 Menteri Tingkat Tsanawiyah (MTs)
• Nama Sekolah : Madrasah Tsanawiyah Swasta
(MTs) Musthafawiyah Purba Baru
Alamat : Jl. Lintas Sumatera, Desa Purba Baru
Kec. Lembah Sorik Merapi
Kab. Mandailing Natal
Sumatera Utara
• NSM : 121212130020
• Izin Operasional : No.1461 tahun 2010
Tanggal 3 September 2010
• Akreditasi : A
• Jumlah santri dan Rombongan Belajar
Kelas ROMBEL SAN TRI
Lk Pr Jlh Lk Pr Jlh
VII 32 16 48 1.302 663 1.965
VIII 27 15 42 1.086 634 1.720
IX 22 14 36 894 591 1.485
81 45 126 3.282 1.888 5.170
• Guru dan Pegawai
No Guru/Pegawai Lk Pr Jlh
1 Guru 77 46 123
2 Pegawai 4 1 5
4) Program SKB 3 Menteri Tingkat Aliyah (MA)
• Nama Sekolah : Madrasah Aliyah Swasta
(MAS) Musthafawiyah Purba Baru
• Alamat : Jl. Lintas Sumatera, Desa Purba Baru
74
Kec. Lembah Sorik Merapi
Kab. Mandailing Natal
Sumatera Utara
• NSM : 131212130010
• Izin Operasional : No.1460 tahun 2010
Tanggal 3 September 2010
• Akreditas : A
• Jumlah santri dan Rombongan Belajar
Kelas ROMBEL SANTRI
Lk Pr Jlh Lk Pr Jlh
X 17 13 30 780 539 1.319
XI IPA 6 5 11 244 205 449
XI IPS 8 6 14 324 249 573
XII IPA 5 5 10 194 196 390
XII IPS 6 4 10 236 161 396
Jumlah 42 33 75 1.778 1.350 3.128
• Guru dan Pegawai
No Guru/Pegawai Lk Pr Jlh
1 Guru 16 32 48
2 Pegawai 4 3 7
Jumlah 20 35 55
B. Analisis Dimensi Humanistik dalam Pembelajaran Kuning di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru
1. Pembelajaran Kitab Kuning Berlangsung Tanpa Ancaman
Pembelajaran kitab kuning di pesantren Musthafawiyah berlangsung tanpa
ancaman. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan santri yang tinggal di gubuk-gubuk
lebih bebas tanpa peraturan berarti yang mengatur hidup mereka sehari-hari. Sangat
berbeda dengan kehidupan santri yang tinggal di asrama yang diatur oleh jadwal, tata
tertib dan disiplin asrama. Santri sebagai siswa harus ditumbuhkan kesadarannya,
sehingga para santri memiliki motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu di
pesantren. Teori belajar humanistik mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan
peserta didik, mereka diberikan kebebasan untuk beraktivitas di lingkungan
belajarnya. (Rachmahana, 2013) Siswa diberikan kebebasan untuk memilih aktivitas
belajarnya yaitu untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah.
Demikian pesantren Musthafawiyah Purba Baru telah menyiapkan fasilitas-fasilitas
yang memadai untuk mendukung para santri dalam menuntut ilmu, dalam hal ini
utamanya kajian kitab kuning, fasilitas tersebut adalah lab Bahasa sebagai tempat
kursus dan mengasah Bahasa Arab santri, pengajian rutin di masjid setiap hari
sebagai tambahan wawasan bagi santri di luar kajian kitab yang mereka peroleh di
75
ruang kelas sehari-harinya, kemudian kelompok muzakarah baik kelompok
muzakarah antar santri maupun muzakarah dengan ustad pembimbing.
Keaktifan para santri selama menuntut ilmu di pesantren menentukan
keberhasilannya dalam kemantapan membaca dan memahami kajian kuning. Oleh
karenanya teori belajar humanistik tepat untuk diaplikasikan dalam kehidupan santri.
Guru berusaha membantu anak didiknya untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki siswa tersebut. Guru memotivasi para siswanya untuk senantiasa aktif
dalam menuntut ilmu, menjauhkan kemalasan dan senantiasa memohon doa untuk
keberhasilannya. Sebuah pendekatan yang baik dari seorang guru tentu akan
memberikan kesan baik pula bagi siswanya. Hasil wawancara dengan ustad sebagai
narasumber di pesantren Musthafawiyah Purba Baru menunjukkan pendekatan-
pendekatan yang humanis terhadap para santri yaitu dengan memberikan nasehat
yang baik dengan lemah lembut layaknya seorang ayah yang menasehati anak
kandungnya:
“Bagi saya ketika santri belajar dengan kesenangan hati akan menimbulkan
kesungguhan dalam hatinya untuk menuntut ilmu, oleh sebab itu pertama-tama
sekali yang saya lakukan adalah memberikan nasehat baik ketika permulaan
pengajaran, ketika mengajar dan bahkan diakhir program pengajaran, tidak bosan-
bosannya saya memberikan nasehat, mungkin itulah salah satu usaha yang dapat saya
lakukan sembari memohon doa kepada Allah Swt agar anak didik saya senantiasa
patuh dan mengamalkan ilmu yang telah diajarkan”. saya selalu mengajak para santri
untuk فاستبقوا اخلريات" ” berlomba-lomba dalam kebajikan. Sebagai santri mesti
sabar dan berani hidup sederhana, hidup pas-pasana dan prihatin dalam menuntut
ilmu. Saya tidak pernah membedakan dan pilih-pilih mana santri yang menjadi
prioritas karena kemampuannya dan mana siswa yang tidak diprioritaskan”.
(Wawancara, 20 April 2018)
Pada satu kesempatan peneliti menulis nasehat yang diberikan ustad ini, yaitu
saat menutup pelajaran Nahwu di kelas yaitu ungkapan yang belau ambil dari kitab
ta’lim al mutallim yaitu hormat kepada guru:
ابوك ىف ادلين من علمك ىف ادلين فهو“Ise amang namangajarimu dalam agama, maka iama ayahmu di
dalam agama. (siapa yang mengajarimu di dalam agama maka
dialah ayahmu dalam agama)” Maka kuatkan niat dan tekat untuk
menuntut ilmu sebab sudah jelas bahwa:
واذلين اليعلمون يعلمون هل يستوى اذلين“Adakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu”
Sumber lain yaitu ustad Syaiful menjelaskan:
“Ketika seorang santri mengalami masalah, baik dalam masalah pelajaran
maupun masalah pribadi, saya mencoba mendekati mereka secara face to face,
76
karena cara itu bagi saya lebih bagus untuk mengetahui akar persoalannya dan
kemudian memberikan motivasi dengan nasehat-nasehat baginya”. (Wawancara 20
April 2018)
من ل إوذ ۥوهو يعظه ۦب نه قال لق ك ب بن ال تش ه ٱي لظل م عظيم لش ك ٱإن هلل١٣
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman: 13)
عبس ن جاءه ١وتولم ٱأ ع
ريك لعله ٢ ل ۥوما يد ك ٣يزArtinya: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa)” (QS. Abasa: 1-3)
Dua ayat tersebut mengajarkan bagaimana semestinya seorang guru
memperlakukan anak didiknya, yaitu dengan kelembutan. Dalam hal ini Luqman
dalam penyampaiannya penuh kelembutan yaitu dengan ungkapan (يا بن) “wahai
anakku” demikian itu adalah panggilan dengan jiwa dan kasih sayang. Pada ayat yang selanjutnya di dalam Surat Abasa, seorang diajarkan untuk menerima siapapun
siswa yang datang untuk belajar tanpa membedakan individunya tanpa membedakan
keadaan dan statusnya. Surat Abasa turun adalah sebagai teguran terhadap
Rasulullah ketika beliau sedang berhadapan dengan pembesar-pembesar Quraisy
dengan harapan agar pembesar-pembesar suku tersebut mau masuk Islam, tiba-tiba
datanglah seorang sahabat buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum, dia
mendatangi Rasulullah hendak meminta ajaran-ajaran tentang Islam, akan tetapi
karena menyambutnya dengan muka masam dan berpaling darinya, sebab saat itu
rasululah sedang menghadapi pembesar-pembesar suku Quraisy.
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa layaknya seorang guru sebagai
pendidik, maka kesabaran, keteladanan dan kesungguhannya dalam membimbing
siswanya sangat ditekankan. Humanistik menawarkan konsepnya guru sebagai
pendidik dan fasilitator yaitu agar guru senantiasa sungguh-sungguh dan sekuat
tenaga dalam meotivasi siswa-siswanya, membangkitkan motivasi baik dalam diri
siswa untuk belajar agar potensi-potensi yang dimiliki siswa dapat dikembangkan
dengan maksimal.
Dari pemaparan teori belajar humanistik yang telah dikemukakan pada BAB
II sebelumnya, guru memposisikan dirinya sebagai seorang pembimbing,
pembimbing yang baik akan memperhatikan perkembangan siswanya, dengan bijak
pula guru harus memperhatikan kecenderungan-kecenderungan siswanya, seorang
guru senantiasa tidak menunjukkan sikap yang kasar yang membuat perasaan siswa
tidak suka mengkuti pengajarannya. Sebaliknya guru tersebut harus menunjukkan
77
sikap yang bersahabat, membimbing mereka layaknya orangtuanya di rumah yang
dengan sabar menasehati dan memberikan arahan-arahan baik.
“Pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subjek yang merdeka,
bebas untuk menentukan arah hidupnya”. (Arbayah, 2013) Sebagai implementasi
dari konsep bebas tersebut, teori belajar humanistik menawarkan sistem Pendidikan
Terbuka, yaitu sebuah sistem Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk beregerak, beraktivitas di lingkungan belajarnya, untuk memilih
aktivitas belajar mereka sendiri. (Rachmahana, 2008) Belajar tanpa ancaman
tercermin dari sistem ini. Pembelajaran yang menyenangkan akan menjadikan
suasana belajar yang efektif dan lebih hidup karena tidak adanya unsur intimidasi
yang membuat pesaraan siswa merasa tertekan.
Tujuan pembelajaran di pesantren adalah untuk littfaqquh fiddin yaitu
memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Konsep belajar di pesantren
adalah lebih mengutamakan pengamalan sebagai hamba daripada sekedar prestasi
kognitif semata berupa hafalan-hafalan dan sebagainya. Oleh sebab itu dibutuhkan
kesadaran dari diri para santri sebagai tugasnya menuntut ilmu dengan ikhlas, tidak
perlu paksaan dalam hal ini. Teori belajar humanistik yang menawarkan kebebasan
tanpa ancaman dan paksaan telah terekam sebelumnya dalam ajaran Islam yaitu :
راه ىف ال دلين ٱإك د ٱقد تبي ي ٱمن لرش غ ل فر ب غوت ٱفمن يك من لط ويؤ
ٱب سك ٱفقد هلل تم س ٱب وة ٱلها و نفصام ٱال ل وث ق ٱ ل عر ٢٥٦سميع عليم هللArtinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256)
Menurut teori belajar humanistik siswa belajar hendaknya tidak dipaksa,
melainkan dibiarkan belajar dengan bebas, diharapkan siswa mampu mengambil
keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang
diambilnya. Siswa hendaknya memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan
untuk dirinya. (Siregar & Nara, 2014, h.34-38) akan tetapi menurut peneliti jika
ditinjau kembali dengan konsep pendidikan Islam yang mengajarkan keteladanan,
maka bebas di sini bukan berarti bebas yang tidak terkontrol. Oleh sebab itu
kebebasan yang diberikan mungkin akan lebih tepat bagi peserta didik yang
dianggap lebih dewasa, karena kematangan pemikiran dan kedewasaan yang mulai
tumbuh. Oleh sebab itu untuk santri-santri pemula tetap ada paksaan belajar, paksaan
dalam arti membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal baik seperti disiplin
pesantren yang telah ditetapkan. Agar ke depannya menjadikan kebiasaan dalam
keseharian mereka.
Teori belajar bebas tersebut diberikan kepada santri pesantren Musthafawiyah
Purba Baru, bebas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebebasan tersebut
tercermin dari kehidupan sistem gubuk bukan sistem asrama, oleh sebab itu
78
kehidupan humanistik tersebut lebih terasa dalam program-program ekstrakulikuler
di pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Wawancara dengan ustad Munawwar
Kholil pejabat sekretaris pesantren Musthafawiyah Purba Baru menuturkan:
“Belajar yang humanistik itu akan lebih tergambar pada kegiatan
ekstrakurikuler di pesantren ini. Yaitu beberapa kajian kitab yang diselenggarakan
oleh pesantren. Kemudian humanistik itu juga tergambar dari kehidupan santri di
banjar (komplek gubuk-gubuk santri), di mana banjar itu tidak ada jadwal maupun
peraturan-peraturan mengikat yang dibuat oleh pesantren. Oleh sebab itu santri jadi
lebih bebas mengeksplor dirinya. Kami tidak membatasi para santri untuk tidak
menuntut ilmu di luar pesantren, selama ilmu-ilmu yang mereka tuntut masih sesuai
dengan pemahaman kita maka itu sah-sah saja. Banyak santri yang mengambil
kursus-kursus di luar sebagai tambahan pengetahuan yang mereka dapatkan di
pesantren ini, misalnya ikut pengajian-pengajian di masjid-masjid sekitar, menemui
ustad-ustad ke rumahnya, belajar jadi qari’, kursus komputer, Bahasa Inggris dan
lain sebagainya, walaupun pada intinya kegiatan-kegiatan itu ada di pesantren ini.
Akan tetapi hal yang demikian kami berikan kebebasan bagi santri untuk menambah
ilmu yang di dapat di pesantren. Baik santri yang belajar secara kelompok atau
perorangan. Di samping kursus-kursus tersebut santri-santri biasanya mengadakan
muzakarah mandiri di banjar, adakalanya mereka mengundang ustad untuk menjadi
mentor namun yang lebih umum santri senior yang memandu adik-adik kelasnya
untuk kegiatan muzakarah tersebut”
Santri bebas mengeksplor pengetahuannya, bebas menambah pengetahuannya
ke mana santri tersebut ingin menambah kajiannya selain kajian di kelas. Kehidupan
yang demikian menunjukkan bahwa pesantren Musthafawiyah Purba Baru
memberikan kesempatan kepada santrinya untuk menambah pengetahuan dari segala
sumber yang mereka inginkan. Salah satu teori belajar humanistik yang menuntut
kebebasan dan tanpa ancaman telah berlangsung dari masa ke masa di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru sampai saat ini. Kehidupan yang demikian sangat jelas
tergambar dari kehidupan gubuk yang menjadi tradisi pesantren Mushtafawiyah
Purba Baru.
“Kebebasan sebagai aktualisasi diri bagi peserta didik supaya kreatif”,
(arbayah, 2013) bebas dalam arti positif itulah yang diberikan pesantren
Musthafawiyah Purba Baru kepada santri-santrinya. Mereka bebas menambah ilmu
pengetahuan di luar jam pelajaran sekolah, santri diberikan kebebasan menuntut ilmu
di luar pesantren bahkan ada sampai mengikuti pengajian kitab di tempat lain.
Misalnya mengikuti pengajian di sebuah Lembaga tarekat yang dekat dengan
pesantren, mendatangi rumah ustad, mengikuti Lembaga kursus dan lain-lain.
Kebebasan yang diberikan tersebut menggambarkan penghargaan yang diberikan
oleh para ustad terhadap keinginan para santri untuk berkembang dengan baik,
menambah ilmu dan wawasan mereka di luar fasilitas pesantren. Keadaan yang
demikian diharapkan aktivitas positif yang dari para santri. dengan sendirinya
menemukan dan dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Aplikasi teori belajar humanistik dapat digambarkan dari beberapa aplikasi
belajar berikut ini:
79
a. Open Education (Pembelajaran Terbuka)
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan
memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Dalam posisi ini guru hanya berperan
sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah lingkungan fisik kelas
yang berbeda dengan kelas tradisional, karena siswa bekerja secara individual
atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya
pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang
memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik,
ketrampilan-ketrampilan atau minat tertentu.
Sebagai kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai
berikut:
1) Tersedia fasilitas yang memudahkan belajar
2) Suasana penuh kasih saying, hangat, hormat dan terbuka
3) Kesempatan bagi guru dan murid untuk Bersama-sama mendiagnosis
peristiwa-perstiwa belajar.
4) Pelajaran yang bersifat individual
5) Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui
murid dan membuat catatan penilaian secara individual
6) Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional guru
7) Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses
belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.
b. Cooperative Learning (Belajar Kooperatif)
Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan
dorongan berprestasi siswa. Dalam prakteknya belajar kooperatif memiliki tiga
karakteristik:
1) Murid bekerja dlam tim-tim belajar yang kecil, dan komposisinya
tetap selama beberapa minggu.
2) Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan
yang bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok
3) Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.
Adapun Teknik-teknik belajar kooperatif misalnya: team games
tournament, Student teams achievement divisions, Jigsaw, dan
Group investigation.
c. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid
menjadi subjek yang harus merancang, mengatur, dan mengontrol kegiatan
mereka sendiri secara bertanggung jawab. Pada proses ini guru berfungsi
sebagai fasilitator. Dalam pelaksanaannya proses belajar mandiri lebih untuk
pembelajaran di tingkat atau level perguruan tinggi. Karena menuntut
kemandirian yang tinggi dari peserta didik.
80
d. Student Centered Learning (Belajar yang Berpusat Pada Siswa)
Student Centered Learning merupakan strategi pembelajaran yang
menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri. Bertanggung jawab atas
pembelajaran yang dilakukan. Melalui Student Centered Learning siswa
diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara keritis,
mengembangkan sistem dukungan sosial untuk pembelajaran mereka, mampu
mmilih gaya belajar yang paling efektif dan diharapkan menjadi life long
learner dan memiliki jiwa entrepreneur. (Rachmahan, 2008)
Rachmahana mengutip Model-model belajar sistem Student Centered
Learning antara lain:
1) Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif). Prinsip belajar ini
adalah siswa belajar dari dan dengan teman-temannya untuk
mencapai suatu tujuan belajar dengan penuh tanggung jawab atas
hasil pembelajaran yang dicapai.
2) Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif). Prinsip
pembelajaran kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan
proses yang aktif. Mahasiswa mengasimilasi informasi dan
menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka
acuan pengetahuan sebelumnya.
3) Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif). Prinsip
pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa saling berkompetisi
dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat
diakukan secara individual atau berkelompok.
4) Case Based Learning (Pembelajaran Berdasarkan Kasus). Prinsip
pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa untuk menguasai
konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam metode ini
analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense
melainkan dengan bekal materi yang telah dipelajari. Pada akhirnya
metode seperti ini akanmemfasilitasi siswa untuk berkomunikasi dan
berargumentasi terhadap analisis suatu kasus. (2008)
Kemandirian tergambar dari kehidupan santri di gubuk-gubuk/banjar. Jauh
dari orangtua, hidup sendiri di gubuk tersebut, mengatur jadwal sendiri, mengelola
keuangan sendiri, hal ini akan mendidik santri lebih dewasa lebih matang dalam
perencanaan. Santri-santri pesantren Musthafawiyah Purba Baru dididik untuk tidak
hanya fokus menuntut ilmu di dalam kelas, lebih dari itu mereka telah terbiasa
dengan latihan kemandirian dan kedewasaan hidup di lingkungan banjar. Santri
mengatur kehidupannya mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali di malam hari.
Mereka mengisi kegiatan sehari-harinya atas inisiatif sendiri, maka sangat
dibutuhkan motivasi terus menerus dari ustad-ustadnya agar mereka tidak terlena
dengan kebebasan yang diberikan, santri harus disadarkan tanggung jawab mereka
sebagai santri dan tanggung jawab mereka sebagai anak kepada orangtuanya juga
tanggung jawabnya sebagai penuntut ilmu agama.
81
Kemandirian begitu terasa pada kehidupan gubuk atau banjar santri keadaan
tersebut menggambarkan konsep independent learning (Pembelaran Mandiri) yaitu
“sebuah proses pembelajaran yang menuntut siswa menjadi subjek yang harus
merancang, mengatur, dan mengontrol kegiatan sendiri secara bertanggung jawab”.
(Rachmahana, 2008) Santri-santri di gubuk menjalani kehidupan sehari-hari sebagai
penuntut ilmu agama, iklim yang kita rasakan ketika memasuki area banjar pada
awalnya akan merasakan kehidupan yang prihatin. Namun ketika sudah
menjalaninya terasa sekali Pendidikan kemandirian pendewasaan di lingkungan
pesantren ini. Jauh dari orang tua menuntut santri harus bisa bertanggung jawab
penuh mengatur kehidupannya. Berapa belanja yang dikirimkan orang tua harus
mampu mencukupkannya, mereka memasak menyiapkan makanan sendiri, belanja
sendiri, menyuci pakaian sendiri, dan tinggal digubuknya sendiri.
Gambar 1.5
Suasana Gubuk Santri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
Kemandirian hidup di gubuk juga telah mendidik santri untuk senantiasa
kreatif dan aktif dalam segala aktivitas, hal ini menunjukkan aktivitas konsep
pembelajaran student centered learning (belajar yang berpusat pada siswa), dengan
kemandirian dan pembiaran yang diberikan kepada santri mengatur hidupnya di
gubuk akan membiasakan mereka untuk senantiasa aktif bermuthala’ah (meninjau
kembali pelajaran-pelajarannya) dengan aktivitas tersebut santri akan menemukan
kekurangan dan ketidakpahamannya dalam suatu topik pelajaran.
Konsep Independent Learning dan Student Centered Learning telah
berlangsung di pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Kedua konsep ini tercermin
dari aktivitas muzakarah mandiri yang dilaksnakan para santri di banjar. Santri
mengikuti acara muzakarah tersebut dengan inisiatif sendiri tanpa ada paksaan dari
siapapun. “Lingkungan berperan dalam memberikan pengaruh tentunya dalam
perkembangan anak”. (Slameto, 2010, h.54) Banjar As-Suja’ adalah komplek yang
senantiasa jadi contoh untuk banjar-banjar lain di pesantren Musthafawiyah Purba
Baru, karena lingkungan iklim banjar As Suja’ yang lebih menggambarkan
kehidupan santri yang sebenarnya, di banjar ini tersedia musholla untuk tempat
sholat berjamaah karena untuk ke masjid Musthafawiyah lumayan jauh jaraknya, di
samping mushallah ada semacam aula untuk tempat bermuzakarah. Tempat inilah
82
yang menajdi tempat santri bermuzakarah setiap malam, menurut informasi bahwa
santri-santri dari banjar lainpun berdatangan untuk mengikuti muzakarah di banjar
As-Suja’ ini.
“Muzakarah biasanya kami laksanakan di tempat ini setiap malam ba’da
Magrib dan dan ba’da Isya. Kakak-kakak kelas biasanya yang menjadi pemandu
(kelas V s.d kelas VII), akan tetapi sekali waktu kami juga mengundang ayah guru
untuk membimbing muzakarah ini, terutama ayah-ayah guru alumni pesantren ini
yang dulunya bermukim di banjar As-Suja’ ini. Peserta muzakarah tidak kami batasi,
siapa saja boleh mengikuti bahkan peserta dari banjar lainpun kami terima ikut
muzakarah di tempat ini. Biasanya yang kitab yang sering di muzakarahkan adalah
ilmu alat, yakni ilmu Nahwu dan Sharaf, tidak jarang juga kami muzakarahkan hal-
hal lain, misalnya ilmu tentang tajhiz al mait (pengurusan jenazah)”
Gambar 1.6
Susasana Kegiatan Muzakarah Santri di Banjar
Kesadaran para santri untuk mengikuti muzakarah baik dengan teman sebaya,
dengan senior atau dengan ustad pembimbing, menunjukkan keaktifan para santri
dalam menuntut ilmu, yaitu mereka memanfaatkan kesempatan dan fasilitas yang
tersedia, inilah gambaran dari Pendidikan Terbuka (Open Education), suatu proses
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bergerak secara
bebas di sekitar lingkungan belajarnya dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri.
Muzakarah juga menyimbolkan konsep Cooperative Learning atau bejalar
kooperatif.
Tiga karakteristik belajar kooperatik adalah:
a) Murid bekerja dalam tim dan komposisi timnya bertahan sampai beberapa
minggu
83
b) Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok
c) Murid diberikan imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.
(Rachmahana, 2008)
Pemberian hukuman punishment merupakan suatu cara untuk mengarahkan
sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku sebenarnya. Dalam dunia
Pendidikan hukuman adalah cara-cara terakhir yang dilakukan jika memang tidak
ada lagi cara yang ditemukan dalam usaha menyadarkan dengan arti memberi efek
jera. Berkaitan dalam hal pemberian hukuman di sekolah semestinya hukuman yang
diberika adalah hukuman yang mendidik bukan hukuman dengan kekerasan atau
hukuman yang memberatkan.
Pejabat Bidang Kurikulum, ustad Ardha memberikan statemen bahwa
pemberian hukuman sebenarnya tidak ada. Sekalipun ada hanyalah sebatas hukuman
yang mendidik misalnya hafalan surat atau nazham-nazham. Demikian itu bukanlah
hukuman yang memberatkan. Kemudian hukuman yang diberikan juga
menyesuaikan usia dan kedewasaan para santri. Hukuman biasanya diberikan kepada
santri-santri baru sebagai pemula, sebagai didikan penumbuh kesadaran mereka
dalam menuntut ilmu.
“Pada dasarnya sistem pembelajaran kita sama dengan sistem sekolah-sekolah
lainya, tetap ada hukuman. Akan tetapi hukuman yang kami berikan bukanlah
hukuman yang memberatkan, semua itu menyesuaikan usia dan kedewasaan santri.
Semakin tinggi kelasnya semakin dewasa santri tersebut, semakin dihapuskan
hukuman yang ada sampai hukuman tersebut tidak ada lagi pada santri-santri senior.
Penghapusan hukuman bagi santri senior bukanlah menunjukkan ketidakbisaan para
ustad menghukum, tetapi lebih kepada menghargai kedewasaan santri tersebut, para
santri senantiasa diberikan nasehat terus menerus untuk mendorong mereka agar
memaksimalkan waktu dankesempatannya belajar di pesantren ini, karena waktu
tujuh tahun itu adalah waktu yang sebentar, jika tidak dimanfaatkan dengan baik
santri tersebut akan mengalami penyesalan.” (Wawancara, 20 April 2018)
Wawancara dengan salah satu santri senior yang biasa memberikan arahan
muzakarah bagi santri-santri Juniornya Fadly menuturkan:
“Ayah-ayah kita (panggilan kepada ustad di pesantren Musthafawiyah adalah
sebutan “Ayah” dan “Buya”) tidak lagi memberikan hukuman di kelas, mungkin
karena sudah dianggap cukup dewasa. Sekalipun ada santri yang terlambat biasanya
ayah guru tetap membolehkan masuk mengikuti pelajaran” (Wawancara, 20 April
2018)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat dipahami bahwa ancaman dan
hukuman kadangkala bukan sebagai cara terbaik dalam mendidik siswa sekalipun
kesalahan yang dibuat siswa tersebut berat, semestinya seorang guru mencari
alternatif lain untuk menyadarkan siswanya. Hubungan emosional guru dan murid
yang dijalin dengan baik akan memberikan pengaruh baik pula pada diri siswa.
Artinya kemampuan anak didik dalam menyikapi segala sesuatu berbeda-beda, ada
anak didik yang gampang tersulut emosinya ada juga anak didik yang menjadi
penakut. Ustad sebagai guru di pesantren Musthafawiyah Purba Baru tidak selalu
84
memberikan hukuman, meskipun memberikan hukuman adalah hukuman yang
memberikan didikan. Hukuman itu diganti dengan pemberian nasehat atau
pendekatan secara personal dengan santri, meskipun masih ada ustad yang dengan
keras memberikan ancaman atau hukuman ituhanyalah sebagian kecil dari jumlah
ustad yang ada di pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Hukuman dan ancaman bukan menjadi menjadi cara terbaik dalam
menyadarkan siswa dari kesalahan, sebab dari sekian banyak siswa tentu bermacam-
macam pula watak dan sifatnya. Demikian kiranya kemampuan siswa berbeda-beda
dalam menyikapi aturan-aturan yang ditetapkan Lembaga sekolahnya.
Aliran humanistik sangat menghargai potensi-potensi yang dimiliki oleh
siswa, oleh sebab itu humanistik sangat memperhatikan potensi-potensi tersebut.
Islam mengajarkan penghargaan terhadap potensi yang dimiliki manusia yaitu
dengan penciptaan manusia yang lebih sempurna daripada hewan. Potensi yang
dimiliki manusia berupa kelengkapan jasmaniah (fisiologis) dan ruhaniah
(psikologis). Makhluk ciptaan Tuhan manusialah yang mahkluk yang diciptakan
Allah dengan sebaik-baik bentuk, jika dibandingkan dengan mahkluk-makhluk lain
seperti hewan dan tumbuhan-tumbuhan manusia adalah bentuk ciptaan yang paling
baik.
نا نسن ٱلقد خلق ويم ل سن تق ح
٤ىف أ
Artinya: “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tiin : 4)
Lalu keindahan bentuk yang telah diberikan kepada manusia dilengkapi oleh
Allah Swt dengan akal dan hati, sengaja diberikan sebagai kemuliaan bagi manusia.
Oleh sebab itu manusia dipilih Allah menjadi khalifah di muka bumi.
ئ إوذ رض ٱكة إن جاعل ىف قال ربك لل مل
ت عل فيها من ل أ ه قالوا خليفة
فك سد فيها ويس لم دلماء ٱيف ع أ س لكه قال إن دك ونقد ون ن نسبح بم
لمون ماء ٱءادم وعلم ٣٠ما ال تع س ئكة ٱكها ثم عرضهم لع ل فقال ل مل
نب ماء هؤالء إن كنتم صدقي أ س
٣١ون بأ سب حنك ال عل م لا إال ما قالوا
نت ه إنك أ تنا كيم ٱ ل عليم ٱعلم ٣٢ ل
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". Dan Dia
85
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!. Mereka menjawab: "Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana"” (QS. Al-Baqarah: 30-32)
Dua ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa manusia diciptakan oleh
Allah swt dengan sebaik-baik bentuk. Dengan anugrah akal dan hati manusia
diberikan ilmu pengetahuan untuk menjadi khalifatullah menjadi wakil Allah di
bumi, untuk mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
Kemudian penjelasan ayat 30-32 Surat Al-Baqarah mengandung rumusan
tentang konsep humanisme, yaitu konsep khalifatullah dalam Islam. Untuk
menyoroti konsep tersebut tertuang dalam ayat-ayat Al-Quran yang telah disebutkan
di atas di mana substansinya ada tiga hal secara jelas diterangkan, yaitu: (1) manusia
adalah pilihan Tuhan; (2) keberadan manusia dengan segala kelebihannya
dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di atas bumi (khalifatullah fil ardh); dan (3)
manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung resiko atas segala
perbuatannya. (Rachmahana, 2008)
Berkaitan dengan potensi yang dimiliki manusia. Abraham Maslow
berpendapat bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan. Kebutuhan yang dimulai
dari kebutuhan jasmani yang paling asasi sampai kepada kebutuhan tertinggi yaitu
kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah manusia seperti makan, minum, tidur dan
sex menuntut sekali untuk dipuaskan, apabila kebutuhan tersebut telah terpuaskan,
maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan
terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya kebutuhan untuk memiliki cinta
kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga dan sebagainya.
Ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan tersebut dapat mendorong
seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya
dengan menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Selanjutnya adalah
kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormanti, dan
dipercaya orang lain. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut yang tingkatannya lebih
rendah telah terpenuhi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya
kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi dan bakat
kecenderungan tertentu, setelah itu muncullah kebutuhan untuk mngetahui dan
mengerti yaitu dorongan untuk mencari tahu dan memperoleh ilmu dan pemahaman.
Selanjutnya adalah kebutuhan estetis, yaitu dorongan keindahan, dalam arti
kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan, dan kelengkapan. (Rachmahana, 2008)
86
Gambar 1.7
Hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow
(https://doriasrawijaya.files.wordpress.com/2017/06)
Teori Maslow tersebut dalam dunia Pendidikan diimplikasikan sebagai kepada
tugas seorang guru. Dalam hal ini sebagaimana Humanistik juga mengarahkan guru
diposisikan sebagai pembimbing dan fasilitator. Selain mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan yang sifatnya transfer of knowledge sudah semestinya seorang guru
mampu memperhatikan perkembangan siswanya, mampu membantu
mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa tersebut. Sebagai aplikasi dari
konsep tersebut para Ustad di pesantren Musthafawiyah Purba baru berusaha dalam
mewujudkan karakter guru yang professional sebagaimana konsep guru humanistik.
Salah satu cara yang dilakukan para ustad adalah dengan sabar dan terus menerus
memberikan motivasi kepada para santri dengan memberikan nasehat-nasehat.
Nasehat itu begitu sering diberikan baik dalam keadaan memulai pelajaran di kelas,
sewaktu mengajar, dan ketika menutup pelajaran. Terlebih isi kandungan pelajaran
kitab kuning adalah pengamalan ajaran Islam. Oleh sebab itu sudah tepat pemberian
nasehat-nasehat yang dilakukan oleh para ustad.
Nasehat-nasehat yang diberikan oleh para ustad merupakan salah satu wujud
implementasi tujuan dan visi misi pesantren Musthafawiyah, yaitu: untuk mencetak
ulama yang berakhlakul karimah, kemudian dengan bersungguh-sungguh
membangun kepribadian para santri berakhlakul karimah sebagai warga negara dan
sebagai umat beragama. Akhlakul karimah tidak bisa dipaksakan tetapi diajarkan
dengan jalan pembiasaan kepada diri santri. Upaya pemberian nasehat membangun
yang tidak bosan-bosannya dari para ustad merupakan gambaran teori belajar
humanistic, yaitu guru sebagai teladan dan pembimbing. Pesantren pada
kenyataannya sebagai basis penyiaran ajaran agama Islam tentu akan berusaha untuk
menanamkan ajaran Agama Islam sebagai sikap hidup sehari-hari para santri.
Ajaran-ajaran agama tersebut diambil dari sumbernya, yaitu isi knadungan kitab
87
kuning. Iklim humanistic ini lebih terasa ketika dengan sabar para ustad membina
santri-santrinya dengan beberapa ketrampilan walaupun keterampilan-ketrampilan
tersebut adalah ketrampilan yang bergantung dengan jiwa kepsantrenan di antaranya
adalah mendidik bagaimana menjadi seorang da’i, qari, imam sholat, khatib,
kemasyarakatan dan lain sebagainya, tetapi ketrampilan-ketrampilan tersebut akan
sangat berguna bagi santri ketika mereka telah terjun di tengah masyarakat. Sebagai
alumni pesantren tentunya jika ada masalah-masalah kegamaan di masyarakat para
santri yang akan memerikan solusi.
Kegiatan di pesantren Musthafawiyah Purba Baru yang menggambarkan
keteladanan ustad dalam membimbing santri dapat dilihat dari perilaku santri yang
demikian hormat dan santun, baik kepada ustad maupun kepada kakak-kakak
kelasnya. Keadaan sopan santun yang telah membudaya di pesantren bukanlah hasil
dari pemaksaan dan ancaman, melainkan sifat yang sudah dijiwai oleh para santri
dan menjadi kebiasaan mereka, kedisiplinan mereka dalam mengikuti pengajian,
kegiatan sholat berjamaah, muzakarah dan tabligh bukanlah disebabkan oleh aturan-
aturan yang ditetapkan pesantren, tetapi lebih kepada kesadaran dan kebutuhan yang
dirasakan para santri.
Implikasi dari teori belajar humanistik untuk seorang guru dijabarkan Alaudin
ke dalam tiga aspek, yaitu:
a. Guru sebagai fasilitator
b. Guru yang baik dan tidak baik menurut Teori Belajar Humanistik
Guru-guru yang baik dan efektif adalah guru-guru yang manusiawi,
mempunyai rasa humor adil, menarik, an lebih demokratis. Guru mampu
dengan mudah dan wajar dengan para siswa baik secara individu maupun
kelompok. Ruang kelas tampak seperti suatu perusaaan kecil. Dengan
pengertian bahwa mereka lebih terbuka, spontanitas, dan mampu
menyesuaikan diri kepada perubahan. Sebaliknya guru yang tidak baik dan
tidak efektif adalah guru yang kurang memiliki rasa humor, tidak sabar,
gampang menggunakan komentar-komentar yang melukai perasaan murid.
c. Guru sejati menurut Teori Belajar Humanistik
Guru yang baik bukanlah guru yang hanya menguasai materi pelajaran
dan aspek-aspek metodologis semata, tetapi mereka juga mampu memahami
kecenderungan hati setiap siswa
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang
guru selain mengajarkan ilmu kepada siswanya guru memposisikan dirinya sebagai
pembimbing yang bijak dan fasilitator yang dapat memperhatikan keinginan siswa
dengan baik. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai
kemampuan yang mereka miliki sebagai pembuktiannya pada penghargaan terhadap
potensi dan kemanusiaan seorang individu.
Kriteria seorang guru menurut Imam Zarnuji adalah guru yang Alim, wara’
berakhlak mulia, penyayang dan penyabar. Apabila konsep guru menurut humanistik
dan guru menurut ajaran Islam dipadukan makan guru kriteria ideal seorang guru
sudah tercapai. Dengan demikian guru sebagai teladan akan mencontohkan akhlak-
88
akhlak yang baik sebagaimana tujuan Pendidikan pesantren yaitu untuk
mengamalkan ajaran Agama yang tertuang dalam kitab kuning pesantren.
Para ustad di pesantren Musthafawiyah telah mengaplikasikan hal tersebut.
Sebagai seorang ustad senantiasa menghiasi diri mereka dengan akhlakul karimah,
ustad sebagai teladan yang baik berusaha menjalankan aturan-aturan sebagai ulama
panutan para santri, senantiasa sabar dalam mendidik dan menghadapi segala
kemungkinan dari santri. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru juga memberikan
aturan-aturan yang mesti dijalankan ustad sebagai seorang guru dan sebagai wali
kelas utama kewajibannya dalam membina santri:
Kewajiban-kewajiban ustad sebagai guru di peantren Musthafawiyah Purba
Baru adalah sebagai berikut:
1. Bertanggung jawab kepada kepala sekolah berkenaan dengan kegiatan
belajar-mengajar menurut Mata Pelajaran dan tingkat yang diajarkan
2. Melaksanakan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan tugas mengajar
3. Menganalisa kurkulum
4. Menyiapkan perangkat pembelajaran dengan baik, mencakup: membuat
silabus, membuat kompetensi dasar, menetapkan indicator, membuat
penilaian, membuat lembar pengamatan
5. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
6. Melaksanakan ulangan harian, ulanagan semester, ulangan kenaikan kelas
dan akhir sekolah
7. Menganalisa materi pelajaran
8. Melaksanakan perbaikan
9. Pembinaan terhadap santri
10. Pengelolaan kelas
Kewajiban guru sebagai wali kelas adalah :
1. Bertanggung jawab kepada sekolah atas terlaksananya pendampingan
terhadap santri dan monitoring kelas
2. Melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pendampingan santri
3. Mewakili kepala sekolah dan orangtua dalam pembinaan santri
4. Pembinaan kepribadian, ketertiban dan kekeluargaan di dalam kelas
5. Membantu pengembangan peningkatan kecerdasan dan keterampilan
santri
6. Mengevaluasi nilai raport
7. Membantu bagian kurikulum dan bagian kesiswaan dalam permasalahan
yang tekait dengan tugasnya
8. Membuat catatan tentang: situasi keluarga dan ekonomi santri, ketidak
hadiran, pelanggaran dan perilaku santri, melaporkan santri kepada
orangtua apabila tidak hadir sejumlah hari yang ditetapkan, dan memanggil
orangtua santri apabila melakukan pelanggaran
89
Gambar 1.8
Tugas dan Tanggung Jawab Guru dan Wali Kelas
Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
Dokumen tata tertib tugas dan kewajiban ustad sebagai guru dan ustad
mengindikasikan bahwa pesantren Musthafawiyah secara dokumen mengusahakan
kepada para ustad untuk berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut.
Kewajiban-kewajiban tersebut telah mencakup tugas seorang guru dalam
memposisikan dirinya sebagai orangtua, pembimbing, dan fasilitator dengan
tugasnya dalam pembinaan santri yaitu pembinaan kepribadian, kecerdasan, dan jiwa
sosial para santri.
2. Pembelajaran Kitab Kuning dengan Pemberian Reward
Pemberian reward dalam Pendidikan bertujuan untuk memberikan motivasi
bagi siswa untuk lebih giat belajar, dalam pengertian menggairahkan siswa dalam
belajar. Slameto mengatakan: apabila siswa mengalami keberhasilan, guru
diharapkan memberikan hadiah kepada siswa (dapat berupa pujian, angka yang baik,
hadiah, dan sebagainya). Sehingga siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih
lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Oleh karena itu umpan balik dari
guru merupakan hal yang sangat berguna untukmeningkatkan usaha dan keaktifan
siswa. (Slameto, 2010, h.176)
Lebih lanjut Slameto mengitup dari Gage & Berliner tentang saran-saran
mengenai cara meningkatkan motivasi siswa, tanpa harus melakukan reorganiasi
kelas secara besar-besaran. Di antaranya:
90
1) Pergunakan pujian verbal
Kata-kata seperti “bagus”, “baik” dan “pekerjaan yang baik”,
“memuaskan” yang diucapka guru segera setelah siswa melakukan
tugas-tugas yang diinginkan atau paling tidak tidak mendekati tingkah
laku yang diinginkan. Merupakan pembangkit motivasi yang besar bagi
siswa.
2) Pergunakan tes dalam nilai secara bijaksana
Kenyataan bahwa tes dan nilai dipakai sebagai dasar berbagai hadiah
social, (seperti penerimaan lingkungan, promosi, pekerjaan yang baik,
uangyang lebih banyak dan sebagainya). Menyebabkan tes dan nilai
dapat menjadi suatu kekuatan untuk memotivasi siswa. Siswa belajar
bahwa ada keuntungan yang diasosiasikan dengan nilai yang tinggi,
dengan demikian memberikan tes dan nilai mempunyai efek dalam
memotivasi siswa untuk belajar.
3) Bangkitkan rasa ingin tahun siswa dan keinginannya untuk mengadakan
ekplorasi. Dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau masalah-
masalah. Pengajar dapat menimbulkan suatu kkonflik kondeptual yang
merangsang siswa untuk bekerja (aktif)
4) Lakukan hal-hal yang menarik perhatian siswa, sekali-sekali guru dapat
melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya meminta siswa mneyusun
tes, menceritakan problem guru dan belajar, dan sebagainya.
5) Merangsang hasrat siswa untuk belajar dengan jalan memberikan pada
siswa sedikit contoh hadiah yang akan diterimanya bila ia berusaha untuk
belajar. Berikan pada siswa penerimaan social, sehingga siswa tahu apa
yang diperolehnya bila ia berusaha lebih baik. (2010, h.177)
“dalam mengajar saya tidak biasa memeberikan hukuman kepada para santri.
Pengalaman sebelumnya saya perhatikan bahwa ketika santri dihukum bukannya
membuat santri itu sadar, bahkan lari dan tidak mau mengikuti pelajaran ustad
bersangkutan. Kan anak-anak sekarang sudah jauh berbeda dengan anak-anak zaman
dahulu, anak-anak sekarang kalua dimarahi, dihukum oleh guru seolah-olah guru
tersebut sudah menjadi musuhnya. Itulah persepsi murid-murid belakangan ini. Saya
lebih menekankan memberikan nasehat-nasehat kepada santri-santri yang
bermasalah atau yang membuat pelanggaran. Masalah reward iya saya biasa
memberikan pujian untuk menghargai prestasi para santri. Di samping pujian
tersebut tetap kita kasih nasehat agar presatsi dan nilai yang telah diperolehnya
semakin ditingkatkan. Hal ini akan menarik kawan-kawannya juga untuk belajar dan
mendapatkan nilai yang bagus. Tidak ada ancaman dlam hal ini karena sifatnya kita
yang mengajarkan ilmu agama lebih kepada mengajak santri untuk mengamalkan
dan meneladani ajaran-ajaran dalam kitab yang kita pelajari. Santri-santri yang
berprestasi tidak jarang kita promosikan untuk mengikuti lomba-lomba, baik lomba-
lomba yang diselenggarakan pesantren, MTQ, lomba Qiroatul kutub nasional, dan
lomba-lomba lainnya. Santri-santri yang berpresati kita promosikan dan kita
tawarkan untuk melanjutkan Pendidikan pad Lembaga rekanan pesantren. Atau
beberapa donator beasiswa yang ada hubungannya dengan pesantren. Salah satu
91
contoh lulusan terbaik tahun ini akan melanjutkan pendidikannya ke Timur Tengah
dengan biaya beasiswa salah seorang petinggi di provinsi yang menjadi donator di
pesantren ini.” (Wawancara, 20 April 2018)
Hal senada disampaikan ustad Sya’ban:
“Saya selalu memberikan pujian kepada santri-santri yang bagus, santri-santri
yang telah mampu memahami kitab kuning biasa juga saya suruh membaca
dihadapan teman-temannya sebelum sayamenjelaskan pelajaran lebih lanjut.
Sedangkan masalah hukuman, iya saya juga pernah menghukum. Tetapi hukuman
yang sifatnya didikan seperti menghafal surat-surat pendek atau syair-syair (nazham)
dari kajian kitab kuning”. (Wawancara, 20 April 2018)
Wawancara tersebut menegaskan bahwa ustad di pesantren Musthafawiyah
tidak selalu memberikan hukuman bagi santri-santrinya yang melanggar, sekalipun
ada pemberian hukuman hanya sebatas hukuman ringan berupa hafalan. Reward
sebagai penarik gairah belajar dan motivasi kepada santri biasa diberikan para ustad
melalui pemberian pujian terhadap hasil kerja dan pernyataan santri. Bisa juga
dengan mempromosikan santri bersangkutan untuk mengikuti lomba-lomba. Baik
lomba yang diselenggarakan pihak pesantren atau lomba-lomba di luar pesantren,
seperti mengikuti MTQ, Cerdas Cermat, Lomba Qiroatul Qutub, dan Hifzhil Quran,
da’i dan kaligrafi. Bahkan ada satu santri pesantren ini yang pernah memenangkan
lomba da’i di salah satu televisi nasional tahun 2017 di Indosiar.
Dalam hal Teknik mengajar seperti konsep yang dikemukakan oleh Slameto
dari hasil observasi pemelajaran kitab kuning di kelas. Ustad memulai pembelajaran
dengan salam dan doa sebagai muqaddimah lalu memulai kajian kitab. Di tengah
penjelasan sering ustad melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut ada yang sifatnya pertanyaan mengenai materi secara langsung,
ada juga membuat satu masalah untuk dikaitkan oleh santri dengan materi yang
sedang dibahas. Di akhir pembelajaran ustad menutup kajian dengan simpulan dan
nasehat kepada santri. Di lain kesempat usatd memulai kajian dengan salam dan do’a
lalu menyruh salah seorang santri untuk memulai kajian dengan membaca materi
yang akan dibahas, santri yang lain menerjamahkan kemudian ustad yang
menjalskan tujuannya. Pada kesempatan lain ustad setelah memulai kajian
mengulang kembali kajian di pertemuan sebelumnya dengan melempar pertanyaan
kepada santri lalu dikaitkan dengan pembahasan materi selanjutnya.
Wawancara dan observasi kelas yang ditemukan oleh peneliti, dalam hal tugas
ustad di pesantren Musthafawiyah sebagai seorang guru telah menjalankan aktivitas
belajar yang aktif, meskipun ceramah sebagai metode andalan masih sangat
kelihatan daripada metode-metode mengajar yang lainnya. Akan tetapi ceramah
sambal meleparkan pertanyaan kepada para santri cukup merangsang perhatian para
santri, santri yang tadinya mengantuk atau tidak begitu memperhatikan penjelasan
ustad dengan pertanyaan tersebut akan menarik perhatiannya untuk kembali berpikir.
Di tengah-tengah penjelasan isi kajian tidak jarang ustad mengeluarkan humor yang
menghhidupkan kelas kitab kuning tersebut. Maka pemberian reward sebagai
penghargaan terhadap santri dilakukan oleh ustad pesantren Musthafawiyah Purba
92
Baru. Dalam memotivasi dan menarik perhatian santri untuk mengikuti kajian yang
sedang berlangsung ustad melakukan hal-hal berikut ini:
1) Memberikan pujian atas jawaban para santri
2) Memberikan pujian atas keberanian santri membaca kitab lebih dahulu
sebelum ustad menjelaskan
3) Memberikan nilai atas presatasi santri
4) Melemparkan pertanyaan-pertanyaan untuk menarik kembali perhatian
siswa
5) Ustad sesekali mengisi humor ditengah penjelasannya
6) Mempromosikan santri yang berprestasi untuk mengikuti lomba,
menjadi guru bantu dan lain-lain.
7) Mempromosikan santri tersebut ketika kelulusan untuk melanjutkan
pendidikannya ke berbagai Lembaga Perguruan Tinggi rekanan
pesantren.
Sanusi mengutip bahwa pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih daripada itu
yaitu mentransfer nilai (transfer of value). Pendidikan juga merupakan kerja budaya
yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan kretaifitas
yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. (Sanusi, 2013) Ustad di
pesantren sebagai tenaga pendidik sudah semestinya memperhatikan hal ini. Potensi-
potensi yang dimiliki santri berbeda satu dengan lainnya. Tentu akan berbeda pula
kecenderungan yang muncul. Namun tugas dari seorang guru adalah membantu
siswa-siswanya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Demikian halnya
prinsip teori belajar humanistik guru sebagai fasilitator agar membangkitkan isisiatif
siswanya untuk belajar agar potensi-potensi tersebut muncul daridalam diri siswa
untuk kemudian membantu mengembangkan potensi-potensi tersebut.
“Seorang guru sudah semestinya memperhatikan potensi yang dimiliki
siswanya, apa yang terpendam dalam diri siswa dapat diketahui melalui sifat dan
karakter siswa tersebut. Kita perhatikan bagaimana siswa itu memperhatikan
pelajarannya, bagaimana santri tersebut belajar dan seperti apa santri tersebut
berperilaku sehari-harinya. Siswa yang memiliki bakat-bakat akan terus kita latih
salah satunya dengan mengikutkan mereka pada lomba-lomba yang sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya”. (Wawancara, 20 April 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa seorang ustad sebagai seorang guru
yang memperhatikan perkembangan siswanya. Potensi-potensi yang dimilikipara
santri terus dilatih dan dikembangkan. Sebagai tempat pelatihannya adalah melalui
ajang lomba-lomba yang diikuti. Kemudian ada kegiatan Tabligh yang
diselenggarakan oleh santri secara mandiri. Santri yang ingin mengikutinya hanya
disyaratkan untuk menjadi anggota sebuah organisasi kesiswaan. Biasanya
organisasi yang terbentuk dari kedaerahan. Bahkan bila dilihat di lapangan penelitian
beberapa banjar santri ada banjar-banjar yang dihuni oleh santri-santri dari satu
daerah misalnya banjar “Imam Syafi’i” dihuni oleh santri-santri yang berasal dari
daerah Ujung Gading (Pasaman). Acara Tabligh adalah wahana belajar dan latihan
bagi para santri untuk belajar dan berlatih menjadi da’i, qari, muazin, imam shalat,
93
mengadakan takhtim/tahlil, kursus-kursus seperti pengurusan jenazah, dan hal-hal
kemasyarakatan lainnya yang biasa dilakukan di daerah asalnya. Kemudian hasil dari
latihan-latihan tersebut ditampilkan pada saat acara-acara hasir besar Islam seperti,
peringatan Maulid Nabi, isra’mi’raj atau Penyambutan Bulan Suci Ramadhan.
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh santri dengan mandiri, biaya sendiri dan
mencari tempat untuk peringatan-peringatan hari besar tersebut mereka lakukan di
daerahnya dengan mengirimkan proposal ke daerah (kampung/desa) yang menjadi
tujuan mereka untuk mengadakan “perayaan” (perayaan adalah istilah santri untuk
acara-acara peringatan maulid nabi, penyambutan bulan suci Ramadhan) perayaan
ini biasa mereka lakukan menjelang libur tengah semester (maulid nabi) dan libur
akhir semester (bulan suci Ramadhan) acara mereka isi dengan beberbagai acara,
da’i, drama, qasidah, dan ditutup dengan tausiyah.
Acara tabligh dan perayaan merupakan suatu wahana pelatihan dan
pembelaran santri untuk terjun suatu saat nanti ke masyarakatnya. Acara tabligh dan
perayaan merupakan wahana menggali sebagian kecil dari potensi-potensi yang
dimiliki santri. Melalui organisasi yang mengelola tabligh dan perayaan santri
belajar menjadi kepemimpinan, bersosialisasi, belajar adat dan kebiasaan keagamaan
yang berlaku di daerahnya. Sangat unik bagi peneliti ketika mengikuti beberapa
kelompok tabligh ini, antara satu organisasi dengan organisasi lain punya perbedaan
dalam kebiasaan keagamaan di daerahnya, bisa dilihat perbedaan cara takhtim/tahlil
misalnya di daerah Tapanuli dengan daerah Pasaman dan sebagainya. Namun tetap
ada kesamaan yaitu konten dan isi ajarannya adalah ajaran atau paham yang mereka
dapatkan di pesantren Musthafawiyah. Muatan konten tabligh masing-masing
organisasi santri inipun pada dasarnya sama, mulai menjadi da’i, qari, khatib,
qasidah, takhtim/tahlil, kemasyarakatan, letak perbedaannya adalah cara-cara
mereka melaksanakannya saja yaitu mengikuti kebiasaan di daerah masing-masing
darimana organisasi santri tersebut berasal.
Prinsip Teori Belajar Humanistik dalam mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki anak didik adalah dengan konsep pembelajaran mandiri dan konsep
student centered learning. Konsep-konsep tersebut menuntut siswa bahwa belajar
haruslah isiatif sendiri dan belajar yang berpusat pada siswa. Oleh sebab itu guru
mendorong siswanya untuk senantiasa menjadi siswa-siswa yang aktif dan kreatif.
Suasana belajar mandiri dan student centered learning seperti ini akan menciptakan
suasana yang bermakna dan menyenangkan.
Kegiatan Tabligh dan perayaan yang diselenggarakan oleh santri secara
mandiri membuktikan konsep belajar mandiri dan student center learning sudah
sekian lama berlangsung di pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Tablig dan
perayaan selain menunjukkan student centered learning, kegiatan tersebut juga
pembuktian pembelajaran berkelompok dan mandiri. Pembelajaran berkelompok
tercermin dari cara musyawarah santri menyelesaikan sebuah persoalan, yaitu ketika
ada masalah dalam organisasi tersebut. Pembelajaran mandiri yang dipetik dari
tablig dan perayaan ini, seorang santri mesti mengadakan mutholaah mengkaji
kitabnya untuk menyususn bahan tugasnya ketika diberikan tugas pada acara tabligh
dan perayaan. Acara tabligh berlangsung satu kali dalam seminggu, dan
94
takhtim/tahlil, serta kemasyarakatan satu kali juga dalam satu minggu, biasa
dilaksanakan pada malam hari bertempat di ruang kelas pesantren.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang humanistik adalah pembelajaran
yang memerikan kesempatan kepada siswa untuk bebas beaktivitas mengeksplor
ilmu-ilmu yang ada disekitar lingkungan belajarnya. Belajar tersebut selain
mencerdaskan siswa secara kognitif dalam pengetahuan agama Islam, juga
mengembangkan potensi yang dimilikioleh para santri. Tabligh dan perayaan adalah
wahana melatih dan menggali potensi-potensi santri sebagai calon ulama. Melalui
kegiatan tabligh dan perayaan konsep belajar mandiri dan konsep student centered
learning telah lama berlangsung di pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
C. Kendala Penguasaan Kajian Kitab Kuning di Pesantren Musthafawiyah
Purba Baru
“Setiap siswa pada prinsipnya berhak memperoleh peluang untuk mencapai
kinerja akademik yang memuaskan. Namun kenyataan sehari-hari kelihatan jelas
bahwa masing-masing memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual,
kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang
sangat tampak antara seorang siswa dengan siswa lainnya”. (Syah, 2014, 169) Dari
penyataan ini dapat dipahami bahwa siswa dalam belajar ada yang mudah
memahami pelajarannya namun tidak sedikit yang mengalami kesulitan dalam
belajar.
Temuan di lapangan ditemukan bahwa beberapa santri dalam mengikuti
pembelajaran kitab kuning dikelas kurang antusias, hal ini dilihat dari sikap dan
perilaku siswa di dalam kelas, ada siswa yang bawaannya mengantuk, ada sekedar
corat-coret kertas bukunya, ada yang bahkan ketiduran, jelasnya ditemukan beberapa
siswa yang tidak respon sama sekali selama mengikuti kajian, tidak diketahui apakah
santri tersebut diam saja karena sudah benar-benar paham ataukah memang tidak
tertarik sama sekali terhadap kajian tersebut. Sikap yang demikian itulah sebagai
indikasi bahwa ada kesulitan yang dialami santri dalam pembelajarannya.
Menurut Syah fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak dari
menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajar siswa tersebut. Kesulitan belajar
juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa
seperti kesukaannya berisik di dalam kelas, mengusik temannya, berkelahi, sering
tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah. (2014, h. 170)
Wawancara dengan ustad di pesantren Musthafawiyah Purba Baru mengenai
kendala dalam pembelajaran kitab kuning adalah factor kesulitan belajar yang
dialami santri. Santri masih kurang mampu membaca kitab kuning/kitab gundul.
Kesulitan membaca kitab kuning tersebut membuat santri kesulitan memahami
kandungan kitab tersebut. Kesulitan membaca dan memahami isi kitab kuning
sebagai pelajaran utama di pesantren akhirnya membuat santri malas-malasan untuk
mengikuti pembelajaran.
“Problem dalam pengajaran kitab kuning adalah santri masih kesulitan
membaca kitab gundul. Kesulitan membaca kitab membuat santri kesulitan
memahami kandungan kitab tersebut. Kesulitan-kesulitan itulah yang membuat
95
sebagian santri malas mengikuti pelarajannya. Penyebabnya menurut saya adalah
karena santri tersebut masih kurang kesadarannya untuk apa tugasnya menuntut ilmu
dipesantren, sehingga kesempatan itu terbuang sia-sia saja. Kerajinan seorang siswa
memberikan dampak yang sangat besar bagi pemahamannya. Hal tersebut kelihatan
kok dari keaktifan santri tersebut. Oleh sebab itu muatan kajian ilmu alat (Nahwu
dan Sharaf) lebih banyak dalam kurikulum pesantren ini, sebagai usaha membantu
santri membaca dan memahami kitab kuning” (Wawancara, 20 April 2018)
Kenyataan lapangan yang ditemukan dan hasil wawancara dengan ustad dapat
diambil kesimpulan beberapa santri menunjukkan lemahnya antusiasme mereka
dalam mengikuti kajian kitab kuning di kelas, meskipun tidak dalam jumlah yang
banyak siswa yang menunjukkan hal tersebut, tetapi keadaan tersebut membuktikan
teori di bahaw ini. Beberapa factor penyebab kesulitan belajar siswa dikemukakan
Muhibbinsyah:
Secara garis besar ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya kesulitan
belajar siswa. Yaitu terdiri dari dua macam:
1. Factor intern siswa, hal-hal yang muncul dari dalam diri siswa sendiri
Factor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik
siswa. Yaitu:
a) Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain rendahnya kapasitas
intelektual/integensi siswa;
b) Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan
sikap siswa;
c) Yang bersifat psikomotor, (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya
alat-alat indera penglihatan dan pendengaran, (mata dan telinga)
2. Factor ekstern siswa, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri siswa.
Factor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang
tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Factor ini dibagi tiga macam:
a) Lingkungan keluarga, contohnya ketidak harmonisan hubungan antara
ayah dengan ibu, rendahnya kehidupan ekonomi keluarga;
b) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya wilayah
perkampungan yang kumuh, teman sepermainan yang nakal,
c) Lingkungan sekolah, contohnya lokasi dan kondisi letak sekolah yang
buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang kurang
berkualitas. (Syah, 2010, h. 170-171)
Lebih lanjut kedua faktor tersebut dikelompokkan lagi menjadi tiga faktor
yang mempengaruhi belajar siswa, yaitu: 1) faktor intern siswa meliputi kondisi
jasmani dan rohani siswa; 2) faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan sekitar
siswa; dan 3) faktor pendekatan belajar (approach to learning) yaitu jenis upaya
belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama
lain.
96
a) Faktor Internal Siswa
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi dua aspek, 1) aspek fisiologis
(yang bersifat jasmaniah); dan 2) aspek psikologis (yang bersifat rohaniah)
1) Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai
tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendi siswa, dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.
Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai sakit dapat
menurunkan kualitas kognitif sehingga materi yang dipelajarinya pun
kurang atau tidak berbekas. Kondisi organ-organ khusus siswa seperti
tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat
mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan
pengetahuan, khususnya yang disajikan di dalam kelas. Daya pendengaran
dan daya penglihatan siswa yang rendah/lemah akan menyulitkan sensory
register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan
econic (gema dan citra). Akibat selanjutnya adalah terhambatnya proses
informasi yang dilakukan oleh sistem memory siswa tersebut.
Untuk mengatasi kemungkinan masalah-masalah tersebut siswa
dianjurkan menjaga kesehatan dan memeriksakan kesehatannya secara
periodik.
2) Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas perolehan belajar siswa. Namun di antara sekian
banyak faktor-faktor rohaniah siswa pada umumnya dipandang lebih
esensial adalah berikut ini: 1) tingkat intelegensi siswa; 2) sikap siswa; 3)
bakat siswa; 5) minat siswa dan 5) motivasi siswa.
Intelegnsi Siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan
psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan ataumenyesuaikan diri dengan
lingkungan dengan cara yang tepat. Peran otak dalam hubungannya
dengan intelegensi manusia sangat menonjol daripada organ-organ tubuh
yang lainnya, lantaran otak adalah “Menara pengontrol’ hamper seluruh
aktivitas manusia. Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tidak
diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
Semakin tinggi kemampuan intelegensi siswa maka semakin besar
peluangnya untuk meraih sukses, sebaliknya semakin rendah kemampuan
integensi siswa maka semakin kecil peluangnya untuk menorek
kesuksesan.
Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif erupa
kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tendency)
dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang, dan
97
sebagainya. Baik secara positif maupun negative. Sikaf (attitude) siswa
yang positif terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan guru
merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut.
Sebaliknya sikap negative siswa terhadap guru dan mata pelajaran dapat
menimbulkan kesulitan belajar, sekalipun tidak menimbulkan kesulitan
belajar namun akan mengakibatkan prestasi yang dicapai siswa kurang
memuaskan.
Bakat Siswa
Secara umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang
dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan
datang. Oleh sebab itu setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti
berpotensi untuk mencapai prestasi sampai kepada tingkat tertentu sesuai
kapasitas masing-masing orang. Secara umum bakat mirip dengan
intelegensi, itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat
cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga
sebagai talented child, atau anak berbakat.
Dalam perkembangan bakat kemudian diartikan sebagai
kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak
bergantung pada upaya Pendidikan dan pelatihan. Sehubungan dengan hal
tersebut bakat akan mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar
bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya sebagai orangtua tidaklah
bijaksana untuk memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan
anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa lebih dahulu mngetahui
bakat yang dimiliki anak tersebut.
Minat Siswa
Secara sederhana minat (interest) berarti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat
dapat mempengaruhi kualitas capaian hasil belajar siswa dalam bidang-
bidang studi tertentu. Guru dalam hal ini seyogianya berusaha
membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang
terkandung dalam bidang studinya dengan cara yang lebih kurang sama
dengan kiat membangun sikap yang positif.
Motivasi Siswa
Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme- baik
manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.
Pengertiannya adalah bahwa motivasi berarti pemasok daya (energizer)
untuk bertingkah laku secara terarah. Motivasi dibedakan menjadi dua
macam: 1) motivasi instrinsik dan 2) motivasi ekstrinsik.
Motivasi instrinsik adalah keadaan yang berasal dari dalam diri
siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.
Termasuk dalam kategori motivasi isntrinsik ini adalah perasaan
98
menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Motivasi
ekstrinsik adalah keadaan yang datang dari luar individu siswa yang
mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah,
peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru dan sebagainya
adalah contoh konkret dari motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa
untuk belajar.
Kekurangan atau ketiadaan motivasi baik yang bersifat instrinsik
maupun ekstrinsik akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa
dalam melakukan proses belajar materi-materi pelajaran baik disekolah
maupun di rumah. Dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih
signifikan adalah motivasi yang bersifat instrinsik karena lebih murni dan
langgeng serta tidak bergantung pada dorongan orang lain.
b) Faktor Eksternal Siswa
Faktor eksternal siswa yang mempengaruhi kondisi belajarnya, terdiri atas dua
macam: 1) faktor lingkungan sosial dan 2) faktor lingkungan nonsosial.
1) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial siswa di sekolah seperti guru, pegawai sekolah,
dan teman-teman belajarnya dapat mempengaruhi semangat belajar siswa.
Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku simpatik dan
memperlihatkan teladan yang baik dan rajin, akan menjadi daya dorong
positif bagi kegiatan belajar siswa.
Lingkungan social siwa selanjutnya adalah masyarakat dan
tetangga, dan teman-teman sepermainan di sekitar lingkngan tempat
tinggal siswa. Kondisi masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya
memberikan pengaruh aktivitas belajar siswa.
Lingkungan sosial siswa yang utama dan lebih banyak
mempengaruhi adalah keluarga, orangtua seisi keluarga tersebut. Sifat-
sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan
demografi keluarga dapat memberi pengaruh baik dan buruk terhadap
kegiatan belajar siswa
2) Lingkunan non-sosial
Faktor-faktor lingkungan nonsosial yang berpengaruh adalah letak
gedung sekolah, rumah tempat tinggal, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan
waktu belajar yang digunakan. Faktor-faktoo
c) Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar menjadi strategi dan metode mengajar yang efektif dalam
menunjang efektivitas dan efisiensi proses belajar materi tertentu. Faktor pendekatan
belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar siswa. (Syah,
2014, h. 129-136)
Kesulitan belajar yang dialami santri jika analisis melalui teori yang telah
dipaparkan di atas dikaitkan dengan kondisi lapangan penelitian. Maka faktor intern
99
dan factor ekstern yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar tersebut dapat
ditemukan pada kehidupan santri di banjar.
“Kehidupan santri di banjar demikian bebas. Berbeda dengan santri yang
tinggal di asrama yang mendapat pengawasan penuh selama dua puluh empat jam.
Ketua Asrama sangat berperan mengontrol kegiatan santri. Ini bisa dilihat dari
kehidupan santri putri di pesantren ini yang tinggal di asrama. Mereka diberikan
jadwal belajar, jadwal tidur, dan jadwal mutholaah malam hari, kegiatan kebersihan
dan lain sebagainya. Kehidupan mereka lebih dapat dikontrol dibanding santri putra.
Akan tetapi karena jumlah santri putra yang demikian banyak sudah sangat jauh
perbedaan jumlahnya dengan santri putri, sehingga pengawasan terhadap santri putra
juga menyulitkan, ditambah keberadaan banjar-banjar santri jauh lokasinya dari
lokasi pesantren, bahkan mendekati perkampungan warga. Hanya kesadaran santri
yang dapat memperbaiki hal tersebut. Kesadaran tersebut terus-menerus didorong
untuk kemajuan belajar santri. Namun banyak sekali factor yang mempengaruhi
kegiatan santri. Salah satunya adalah keberadaan warung-warung yang ada di banjar.
Sehingga pimpinan pesantren bahkan dengan bantuan surat dari Bupati yang
mengeluarkan surat sebagai ketetapan agar warung-warung tersebut tutup sebelum
pukul Sembilan malam, agar tidak memganggu kegiatan belajar santri. Dalam tiga
tahun ke depan pesantren Musthafawiyah akan mewajibkan santri putra juga untuk
menempati asrama yang saat ini sedang dibangun. Diharapkan mengubah sistem
gubuk menjadi sistem asrama dapat menjadikan pembelajaran dankehidupan santri
dapat lebih kondusif dan lebih pesantren”. (Wawancara, 20 April 2018)
kendala yang ditemukan di lapangan penelitian adalah kondisi kehidupan
banjar yang demikian longgar dari peraturan dan pengawasan membuat kondisi yang
tidak kondusif. Di malam hari ketika beberapa santri melakukan mutholaah di
gubuknya bebrapa santri berisik di gubuk sebelahnya. Ketika beberapa santri
mengikuti muzakarah di mushollah atau di gubuk kakak kelasnya, beberapa santri
malah asik ngobrol dengan temannya, sebagian nongkrong di warung ada juga yang
sudah tertidur. Apabila kesadaran untuk belajar tidak dapat hadir pada diri santri
maka akan sia-sia kesempatan dan waktu belajarnya di pesantren. Keadaan banjar
yang terbuka dan tanpa penjagaan menyebabkan siapapun bisa dengan bebas masuk
ke dalam lingkungan banjar. Hal ini akan membawa pengaruh yang sangat buruk
jika pada suatu ketika ada tamu misalnya yang datang, tamu yang tidak baik tingkah
laku dan pergaulannya. Akan dapat mempengaruhi para santri di banjar. Sudah
semestinya kehidupan banjar itu diawasi dengan pengawasan yang baik berikut
undang-undang atau peraturan yang membina para santri agar lebih disiplin.
Pembelajaran dengan teori humanistik menawarkan konsep guru sebagai
teladan memposisikan dirinya sebagai layaknya orangtua siswa di rumah. Hal ini
memberikan pengertian bahwa guru menjadi figure dan panutan para siswa di kelas.
Guru ideal adalah guru yang mampu memperhatikan kebutuhan siswanya. Guru
sudah diberikan kewenangan oleh pihak sekolah untuk membina siswa-siswanya.
Maka sebagai jalan keluar dari kesulitan para santri yang telah disebutkan di atas
adalah tugas guru dalam menumbuhkan motivasi dan keasadaran santri tentunya
bekerja sama dengan semua pihak, yaitu dengan guru-guru yang lain, orangtua siswa
100
dan pihak pesantren bekerja sama berusaha membangkitkan dorongan psikologis
santri untuk menggunakan kesempatan dan waktu yang dimilikinya untuk menuntut
ilmu di pesantren itu. Peran penting Pimpinan pesantren sangat memberikan
pengaruh yang besar terhadap perkembangan para santri yaitu dengan mengubah
sistem yang dikira lemah selama ini, atau sistem yang dikira sudah tidak efektif lagi
diganti dengan sistem yang lebih baik, agar pembelajaran dipesantren berjalan lebih
kondusif. Salah satunya adalah dengan mengubah sistem banjar/gubuk menajdi
sistem asrama.
101
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pesantren Musthafawiyah Purba Baru dalam menjalankan aktivitas
pembelajaran tidak menentukan teori belajar khusus dalam pembelajannya. Teori
belajar humanistik dapat ditemukan pada kegiatan ekstrakurikuler dan kehidupan
santri di lingkungan gubuk/banjar. Santri lebih leluasa dan bebas mengeksplor
kegiatannya di luar jam pelajaran kelas berbeda dengan kehidupan santri yang hidup
di asrama. Pelaksanaan teori belajar humanistik di pesantren Musthafawiyah Purba
Baru dapat disimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi teori belajar humanistik dalam kajian kitab kuning di pesantren
Musthafawiyah Purba Baru
a. Pembelajaran kitab kuning berlangsung tanpa ancaman, pesantren
memberikan kebebasan bagi santri yang tinggal di gubuk untuk memilih
kegiatan diluar jam pelajaran kelas.
b. Para ustad memberikan reward berupa nilai dan pujian bagi prestasi yang
dicapai oleh santri
c. Santri yang berprestasi berpeluang untuk dipromosikan mengikuti lomba-
lomba, dan promosi melanjutkan Pendidikan ke Lembaga-lembaga rekanan
pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
d. Teori belajar humanistik di pesantren Musthafawiyah Purba Baru
ditemukan pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler tersedia di lingkungan
pesantren yaitu pengajian rutin, muzakarah, dan kegiatan tablig/perayaan.
e. Pendekatan humanistik dengan teori kebebasan siswa lebih tepatnya
diberikan kepada siswa/santri kelas atas. Sebab santri pemula masih sangat
membutuhkan bimbingan dalam memulai pelajaran dengan pembiasaan-
pembiasaan meliputi disiplin dan tata tertib.
2. Kendala penguasaan kajian kitab kuning santri pesantren Musthafawiyah Purba
baru
a. Kesulitan membaca kitab kuning diatasi dengan mendorong para santri
untuk mengikuti kajian-kajian kitab kuning di luar kajian, mengingat telah
disediakan kajian-kajian di masjid Pesantren setiap hari. Diharapkan melalui
kajian tersebut para santri semakin dalam pemahamannya terhadap kajian
kitab dan semakin rajin untuk membaca dan mengeksplor kajian kitab-kitab
lain selain kitab-kitab yang di pesantren.
b. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti: kegiatan tabligh, perayaan, dan
organisasi santri merupakan wadah bagi santri untuk melatih ketrampilan-
101
102
ketrampilan mereka sebagai seorang santri, misalnya berlatih menjadi da’i,
qari, khatib, kepemimpinan, menulis materi ceramah, dll
c. Untuk menghindari kemalasan para santri ustad tidak bosan-bosannya
memberikan nasehat dan motivasi agar para santri semakin bergiat dalam
mengikuti kajian.
d. Kebebasan kehidupan santri di lingkungan banjar dibatasi dengan bebarapa
undanu-undang atau tata tertib banjar.
B. Saran
1. Pesantren Musthafawiyah hendaknya terus melakukan pembenahan
lingkungan banjar sebagai tempat tinggal santri agar lingkungan gubuk-
gubuk senantiasa lebih efektif bagi santri untuk memanfaatkan waktu dan
kesempatannya menuntut ilmu di pesantren Musthafawiyah Puba Baru,
2. Pesantren Musthafawiyah perlu meningkatkan keamanan dan penjagaan
lingkungan gubuk agar kegiatan-kegiatan santri sehari-harinya dan diawasi
dengan baik.
3. Dewan Pelajar dilibatkan dalam pembinaan banjar membantu bagian
keamanan memantau kehidupan bajar santri.
4. Humanistik menawarkan teori belajar berpusat pada santri dengan
mengutamakan kebebasan. Namun kebebasan yang diminta seyogiyanya
adala kebebasan yang terkontrol sebatas memberikan ruang bagi santri-
santri senior untuk mengeksplor kegiatan mereka diluar jam pelajaran
sekolah, dan mengeksplor kajian-kajian kitab diluar kajian kitab di
pesantren.
103
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahannya
Ali, Suryadharma. 2013. Paradigma Pesantren Memperluas Kajian dan Aksi.
Malang: UIN-Maliki Press
Arbayah, 2013. Jurnal Dinamika Ilmu Vol 13. No.2 Desember 2013 Model
Pembelajaran Humanistik
Ardani, Moh. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Mitra
Cahaya Utama, 2008
Azra, Azyumardi. 2001. Kitab Kuning: Tradisi dan Epistemologi Keilmuan Islam di
Indonesia Dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Kalimah
Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung:
Penerbit Mizan
Departemen Agama RI. 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah
Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: DEPAG RI
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiai. Jakarta: LP3ES
Djamarah, Syaiful dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rieneka Cipta
Emzir. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers
Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: Bumi
Aksara
Hanafi, Nanang dan Cucu Suhana. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung:
Refika Aditama
Kurniawan, Syamsul. 2017. Filsafat Pendidikan Islam. Malang: Madani
Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina
Majalah Gontor. Edisi 2 Tahun XVI Ramadhan-Syawal 1439/2018
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS
Mustajab. 2015. Masa Depan Pesantren Telaah Atas Model Kepemimpinan dan
Manajemen Pesantren Salaf, Yogyakarta: LP3ES
Nizar, Samsul, et al. 2013. Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam
di Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
104
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia, Jakarta: Rieneka Cipta
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2005
------ . 2013. Strategi Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga
Rachmahana, Ratna Syifa’a. 2008. Jurnal el-Tarbawi No.1 Vol. 1 Psikoloogi
Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.
Raharjo, Dawam. 1985. Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3S
Republika.co.id. menag-pengajian-kitab-kuning-di-pesantren-semakin-berkurang,
diakses pada tanggal 21 Mei 2016
Sanjaya, Wina. 2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sanusi, Uci. 2013. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Ta’lim Vol 11. No.2
Pembelajaran Dengan Pendekatan Humanistik,
Shaleh, Abdul Rachman. 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: Gema
Windu Pancaperkasa
Siradj, Said Aqil, et al. 1999. Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Bandung: Putaka Hidayah, 1999.
Siregar, Eveline. Hartini Nara. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Slameto. 2010. Belajar dan Factor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rieneka
Cipta
Soebahar, Abd Halim. 2013. Modernisasi Pesantren Studi Transformasi
Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: LkiS.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D, Bandung: Alfabeta
Suparta, Mundzier. 2009. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah
Terhadap Perilaku Keagamaan Masyrakat. Jakarta: Asta Buana Sejahtera
Syah, Muhibbin. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rodakarya
Syarif, 2014. e-jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Tradisi
Kontekstualisasi Kitab Kuning di Pesantren: Studi di Pondok Pesantren
Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya
Tan, Charlene, 2014. Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia.
Singapore: Nanyang Technological University Diakses melalui Academia Edu
tangga 19 Mei 2016
Tohirin. 2014. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Berbasis Integrasi
dan Kompetensi. Jakarta: Rajawali Pers
103
105
------ . 2016. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidian dan Bimbingan
Konseling. Jakarta: Rajawali Pers
Wahab, Rohmalina. 2016. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press
سوراباي: مكتبة ابىل بوكو. تعلمي املتعمل .ش يخ العالمة الزرنويج
LAMPIRAN
1
FOTO-FOTO PELAKSANAAN PENELITIAN
DI PESANTREN MUSTHAFAWIYAH PURBA BARU
2
3
4
5
6
7