Upload
doquynh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI DESKRIPTIF PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA
UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG
KOLAM TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN
DELI SERDANG
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan O L E H DINA MAYANTUTI SITOPU NIM: 030707019 Pembimbing I Pembimbing II Drs. Kumali Tarigan, M.Si. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP. NIP. Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI M E D A N 2 0 0 8
Universitas Sumatera Utara
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP. 131 785 636 Medan, Desember 2008
Universitas Sumatera Utara
PENGESAHAN Diterima Oleh: Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan Pada Tanggal : Hari : FAKULTAS SASTRA USU DEKAN
NIP. 132 098 531 Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D.
Panitia Ujian No. Nama Tanda Tangan 1. ………... 2. ...……… 3. ...……… 4. ..……… 5. ..………
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang
ditulis kedalam bentuk skripsi yang berjudul : “STUDI DESKRIPTIF
PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA UPACARA PERKAWINAN
MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG KOLAM TEMBUNG
KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG.”
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Kampung
Kolam Tembung, yang merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat
bimbingan / dorongan serta petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis dengan penuh hormat dan kerendahan hati yang tulus
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua tercinta
Ayahanda St. J. Sitopu dan Ibunda B. br. Saragih Garingging yang begitu banyak
berkorban moral materil demi keberhasilan saya, ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada abangku Ronald Rinaldi Sitopu, Amd yang telah bersedia
menggantarkan kemanapun aku pergi dan buat kedua adikku Melda Maya Sitopu dan
Vivi Asriani Sitopu yang telah banyak membantu saya.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas
Sastra USU bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D, dan kepada ketua departemen
Etnomusikologi
Kepada Dra. Rithaony Hutajulu, MA sebagai dosen wali penulis, dan bapak
Prof. Mauly Purba, Ph.D yang telah banyak memberikan masukkan kepada saya juga
kepada seluruh staf pengajar di departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU
Medan yang telah banyak membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan
selama masa perkuliahan.
Dra. Frida Deliana, M.Si, juga kepada bapak Drs. Kumalo Tarigan,
sebagai dosen pembimbing I, serta kepada ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, sebagai
dosen pembimbing II penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penulisan skripsi ini.
Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dosen
seni tari UNIMED mas Agung Suharyanto, S.Sn beserta istri yang telah banyak
memberikan informasi dan masukkan seputar kesenian reog. Rasa terima kasih juga
penulis haturkan kepada mas Mateus Suwarson, S.Sn beserta keluarga yang bersedia
meminjamkan penulis buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
informan: bapak Suparno selaku pimpinan sanggar Langen Budoyo beserta keluarga,
mbah Miseni selaku sesepuh beserta keluarga, bapak Ngatiman selaku sesepuh
beserta kelurga dan seluruh anggota group Langen Budoyo yang terdiri dari penari,
pemusik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian demi penyelesaian skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Kepada semua keluarga yang tak pernah bosan memberikan semangat,
dukungan dan doa kepada penulis, terutama buat bapa godang St. J. Sipayung dan
inang godang L. br. Saragih Garingging, bapa tongah St. J. Purba Siboro dan inang
tongah E. br. Saragih Garingging, bapa tongah J. Silitonga dan inang tongah E. br.
Saragih Garingging, juga buat Almarhum bapa anggian Drs. St. E. Purba, SH dan
inang anggian S. br. Saragih Garingging.
Buat semua saudara-saudaraku yang terkasih: kak Nani Sipayung, Amd dan
bang Rantas Hutapea,Ssi, kak Susi Sipayung, Amkeb dan bang Eben Simarmata
beserta adik kecil yang baru terlahir kedunia si ucok, kak Sanni Sipayung, Spd dan
bang Toni Saragih, ST beserta adik kecil Leonald Davin Saragih, kak Holong
Sipayung, Amd beserta adikku Jonathan, Sumando Sipayung, Amd, Sumual
Sipayung, kak shanty purba, Spd dan bang bahtera Sembiring, Skom, kak Rosli
Purba, Spd, Lusi Purba, Pandi Purba, SE, Sarah Silitonga, Indah Silitonga, Bilton
Purba, Joshua Purba dan Ernita purba yang tak pernah putus mendoakan dan
memberi semangat kepada penulis.
Buat teman-teman Gen 03: Siti, S.Sn, Martahan, Leo, Saridin, Roy, S.Sn,
Alvon, Romiduk, S.Sn, Lisbeth, S.Sn, Hans, Marlan, Frendy, Mandri, Nuel, Yoyok,
Bambang, Indra, #@, dan terkhusus buat ola yang telah menjadi sahabat sejatiku
yang setia menemani kemanapun aq pergi penelitian, buat semua kakak-abang
stambuk 02 terkhusus buat bang Irfas yang banyak memberikan masukkan, buat
kakak-abang stambuk 01 terkhusus buat kak Hetty yang selalu menasehati dan
mengajari aq, buat semua anak-anak Etnomusikologi dari stambuk 04,05,06,07, dan
08 tetap semangat karena perjuangan belum berakhir.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada anak-anak PSM USU dan
alumni , LK USU, special buat bang Beny, sanggar tari Citra Budaya TBSU, special
buat lusi yang centil, putri n Maya yang narsis, serta Ayu yang jaim abizzzz, PS.
Manna Numinous, pemuda / i GKPS Menteng, pemuda / i GKPS Resort Teladan
Medan, special buat teman-teman pengurus: bang Iman selaku ketua yang jail abizzz,
kak Panary selaku sekretaris dan kak Mena selaku bendahara.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
karenanya saya menerima saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk
menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
dapat menjadi sumbanagan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang Etnomusikologi.
Kiranya Tuhan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan kepada saya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Medan, Januari 2009
Penulis,
(DINA MAYANTUTI SITOPU)
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
1.2 Pokok Permasalahan........................................................................ 10
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian....................................................... 10
1.3.1 Tujuan.................................................................................... 10
1.3.2 Manfaat................................................................................... 10
1.4 Teori Dan Konsep Yang Digunakan................................................ 11
1.4.1 Konsep..................................................................................... 11
1.4.2 Teori........................................................................................ 13
1.5 Metode Penelitian............................................................................ 14
1.5.1 Kerja Lapangan....................................................................... 14
1.5.1.1 Studi Kepustakaan......................................................... 14
1.5.1.2 Observasi...................................................................... 15
1.5.1.3 Wawancara.................................................................... 15
1.5.1.4 Perekaman..................................................................... 16
1.5.1.5 Kerja Laboratorium....................................................... 16
Universitas Sumatera Utara
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian............................................................. 16
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN DELI
SERDANG
2. 1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang...... 18
2.2 Letak Geografis Lokasi Penelitian........................................................... 21
2.3 Keadaan Penduduk................................................................................... 23
2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin..................... 23
2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal.................................. 23
2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan........... 24
2.4 Sistem Kekerabatan................................................................................. 25
2.5 Sistem Religi........................................................................................... 28
2.6 Mata Pencaharian.................................................................................... 31
2.7 Kesenian..................................................................................................
32
2.8 Bahasa...................................................................................................... 33
BAB III KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG
3.1 Sejarah Reog Ponorogo........................................................................... 34
3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang............................................................. 37
3.3 Karakteristik Tokoh................................................................................. 38
3.3.1 Jathilan.............................................................................................. 38
3.3.2 Bujangganong................................................................................... 39
3.3.3 Barongan........................................................................................... 39
3.4 Perlengkapan Pertunjukan....................................................................... 39
Universitas Sumatera Utara
3.4.1 Kostum............................................................................................ 39
3.4.2 Riasan.............................................................................................. 41
3.4.3 Topeng...................................................................................... 42
3.3.4 Pembuatan topeng.................................................................... 44
3.5 Instrumen Yang Digunakan.............................................................. 46
3.6 Lagu Pengiring Tarian...................................................................... 49
3.7 Pelaksana Pertunjukan...................................................................... 50
3.7.1 Sanggar Langen Budoyo......................................................... 50
3.7.2 Sejarah berdirinya................................................................... 51
3.7.3 Keanggotaan............................................................................ 52
3.7.4 Pelatihan.................................................................................. 53
BAB IV PENYAJIAN REOG PONOROGO DALAM UPACARA PERKAWINAN
MASYARAKAT JAWA
4.1 Perkawinan Masyarakat Jawa.............................................................. 54
4.2 Pendukung Pertunjukan....................................................................... 57
4.2.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Pertunjukan........................... 57
4.2.2 Pemusik...................................................................................... 59
4.2.3 Penari......................................................................................... 60
4.2.4 Penonton.................................................................................. 60
4.3 Deskripsi Jalannya Pertunjukan........................................................... 61
4.4 Fungsi Reog Ponorogo Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa 69
4.4.1 Reog Sebagai Arak-arakan............................................................ 70
Universitas Sumatera Utara
4.4.2 Reog Sebagai Hiburan................................................................... 71
BAB V PENUTUP
5.1 Rangkuman......................................................................................... 73
5.2 Kesimpulan......................................................................................... 75
5.3 Saran................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel I Jumlah Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin
Tabel II Jumlah Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal
Tabel III Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skema Pertunjukan
Lampiran 2 : Peta Desa Kampung Kolam
Lampiran 3 : Peta Kecamatan Percut Sei Tuan
Lampiran 4 : Transkripsi lagu
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kostum yang digunakan pemusik............................................ 40
Gambar 2 Kostum Penari Bujangganong................................................. 40
Gambar 3 Kostum Penari Jathilan............................................................ 41
Gambar 4 Properti Eblek........................................................................... 42
Gambar 5 Topeng Bujangganong............................................................... 43
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6 Topeng Barongan....................................................................... 44
Gambar 7 Ketipung Dan Kendang.............................................................. 46
Gambar 8 Kenong........................................................................................ 47
Gambar 9 Gong............................................................................................. 48
Gambar 10 Angklung besar dan kecil............................................................. 48
Gambar 11 Slompret dan cara memainkannya................................................. 49
Gambar 12-23 Adat perkawinan masyarakat Jawa dan pementasan reog......... 61-68
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Reog1
Kesenian reog berasal dari Jawa Timur di kota Ponorogo. Oleh karena itulah
kesenian ini dinamakan Reog Ponorogo
merupakan seni pertunjukan masyarakat Jawa yang di dalamnya
terdapat unsur-unsur, yang meliputi : tari, drama dan musik. Dalam suatu pertunjukan
kesenian reog disajikan dalam bentuk sendratari, yaitu suatu tarian dramatik yang
tidak berdialog dan diharapkan gerakan-gerakan tarian tersebut sudah cukup untuk
mewakili isi dan tema dari tarian tersebut (Supartha, 1982:38).
2
. Masuknya kesenian reog di Sumatera Utara
pada tahun 1965 yang di bawa oleh Mbah Miseni. Mbah Miseni adalah seorang
seniman dari Jawa Timur yang pertama sekali membawa masuk kesenian reog ke
Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Deli Serdang. Awal beliau datang ke Sumatera
hanya untuk mencari pekerjaan dan beliau datang berdasarkan usahanya sendiri
bukan sebagai kuli kontrak yang di datangkan ke Sumatera Utara. Walaupun beliau
berada di luar daerah asalnya namun beliau tetap melestarikan kesenian
tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat, sampai saat ini
kesenian reog dapat tumbuh dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di
Sumatera Utara.
1 Penyebutan pertama akan di cetak miring, selanjutnya tidak. 2 Penyebutan pertama menggunakan Reog Ponorogo, untuk penyebutan berikutnya hanya dengan kata Reog saja.
Universitas Sumatera Utara
Etnis terbesar di Sumatera Utara yang banyak membawa beberapa kesenian
dari daerah asalnya adalah etnis Jawa. Kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera
juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka
pertunjukkan. Misalnya wayang kulit, wayang orang, ketoprak dan reog serta kuda
kepang. Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang di huni oleh komunitas
orang Jawa seperti di Tembung, Tanjung Morawa, Stabat dan Marelan, walaupun
kesenian tersebut hanya sebagai hiburan belaka.
Sampai saat ini masih banyak orang-orang Jawa yang memelihara dan
mempertunjukkan keseniannya di beberapa daerah yang mayoritas masyarakatnya
tentu saja orang Jawa. Masyarakat Jawa yang berada di Sumatera Utara, banyak
membina kesenian Jawa dalam kelompok-kelompok (perkumpulan) kesenian yang
tersebar di daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya orang Jawa, salah satunya
adalah Sanggar Langen Budoyo di Tembung.
Berbicara mengenai reog, tentu tidak dapat dipisahkan dengan komunitas
yang mendukungnya. Sanggar Langen Budoyo adalah salah satu kelompok kesenian
reog yang sampai sekarang tetap mempertahankan reog sebagai media ekspresi
kesenian mereka. Sanggar yang dibangun untuk memelihara kesenian rakyat Jawa
sebagai warisan keturunan dari orang-orang tua mereka yang datang ke Sumatera.
Mereka terdiri dari orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera dengan sebutan
Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Sampai sekarang mereka masih
mempertahankan dan mempertunjukkannya di hari-hari tertentu pada pesta
perkawinan, khitanan/sunat, tahun baru Islam (Muharram) dan memperingati hari
kemerdekan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tari tradisional kerakyatan yang
menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) yang
berukuran: tinggi 240 cm, dan lebarnya 190 cm berwujud kepala seekor macan
dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya
yang disusun menjulang keatas, (jathilan) adalah para penari perempuan yang
memerankan sosok prajurit berkuda, (warok) adalah penari laki-laki berbadan
gempal berseragam hitam berhias kumis dan jambang yang lebat, (prabu klono
sewandono) adalah seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah,
berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja, (patih
bujangganong) adalah pendamping raja yang juga bertopeng merah dengan hidung
besar, mata melotot, mulut lebar dan rambut jabrig (Fauzannafi, 2005:13-14).
Dari beberapa buku tentang Pertunjukan Rakyat Jawa (Pigeaud: 1938;
Ahimsa: 2000; Nursilah: 2001), menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam
pertunjukan reog adalah menggunakan properti topeng dhadhak merak (topeng
berukuran 50 kg yang memiliki dua kepala harimau dan merak), kuda-kudaan yang
terbuat dari sayatan bambu atau disebut dengan kepang (tiruan binatang kuda yang
terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk pipih), dalam kesenian reog terdapat
unsur mistik, pemakaian alat musik Jawa (gamelan), iringan gendhing reogan yang
bentuknya lebih sederhana dari pada gendhing-gendhing tradisonal klasik Jawa yang
lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.
Senen (1983: 13), menyatakan bahwa:
“Musik dan tari bisa dikatakan bersaudara, karena mempunyai ciri yang hampir sama, yaitu ritme (degupan tekanan), bentuk kolotomi (kumpulan nada-nada yang mengandung ritme, melodi dan struktur yang harmonis),
Universitas Sumatera Utara
dinamika (sifat kontras seperti keras-lirih, patah-patah, mengalun) dan harmoni. Apabila melihat pertunjukan tari, maka tidak akan bisa mengesampingkan musik yang mengiringinya. Pertunjukan tari tanpa iringan musik barangkali akan terlihat hambar, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam mengiringi sebuah pertunjukan tari. Di Jawa Timur reog merupakan bentuk kesenian rakyat yang dapat
ditampilkan dalam dua versi, pertama ditampilkan pada saat festival reog se
kabupaten. Kedua ditampilkan untuk keperluan adat, desa ataupun perorangan. Reog
yang ditampilkan pada saat festival biasanya membawakan cerita yang
menggambarkan tentang bagaimana perjalanan rombongan prajurit ponorogo yang
akan melamar putri dari kediri, sedangkan reog yang ditampilkan untuk keperluan
adat, desa ataupun perorangan cerita yang di bawakan sesuai dengan hajatan atau
acara yang diadakan. Urutan tarian yang dibawakan dalam setiap pertunjukan adalah
tari Warok (tarian yang menggambarkan tokoh pengawal kerajaan yang berkarakter
kuat, perkasa, dan galak dan memiliki ilmu kesaktian yang mampu menjelma menjadi
harimau, gerakan tari yang dilakukan berupa adu otot), tari Jathilan (tarian yang
menggambarkan tokoh prajurit berkuda yang berkarakter lincah dan gerak tariannya
lemah lembut seperti wanita) , tari Bujangganong (tarian yang menggambarkan tokoh
seorang patih kerajaan yang berkarakter rendah hati, sabar, serta lincah dan gerakan
tari yang dilakukan lebih bersifat akrobatik) , tari Klana Sewandana (tarian yang
menggambarkan tokoh seorang raja yang berkarakter gagah serta berwibawa, gerakan
tari yang dilakukan sesuai dengan karakternya), dan tari Barongan (tarian ini
dilakukan oleh orang yang berbadan kuat dan kekar serta memiliki kekuatan ekstra
untuk membawa topeng dhadhak merak yang beratnya 50 kg).
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap pertunjukannya selalu diiringi dengan alunan musik klasik Jawa
dan menggunakan seperangkat gamelan Jawa3
Pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang sudah sangat berbeda dari bentuk
aslinya yang ada di Jawa Timur, dapat dilihat dari tema cerita yang dibawakan selalu
disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat serta acara yang diadakan,
misalnya pada acara perkawinan cerita yang dibawakan menggambarkan tentang
kisah percintaan. Terkadang tema bukan menjadi hal yang penting pada pertunjukan
yang mereka bawakan bahkan mungkin banyak anggota masyarakat yang tidak
mengetahui jalan ceritanya karena hal yang terpenting bagi mereka adalah
kegembiraan dan keterlibatan para penonton dalam setiap pertunjukan. Urutan tarian
yang ditampilkan menjadi: tari Bujangganong, tari Jathilan, dan tari Barongan
(dhadhak merak) karena hal ini dianggap dapat mempersingkat jalannya pertunjukan.
Pigeaud (1938: 229), menyatakan bahwa:
. Satu group terdiri dari 30 orang, yaitu
12 orang pemusik, 2 orang pembarong, 2 orang warok, 6 orang jathilan, 1 orang
prabu, 2 orang patih, dan 4 orang lagi berperan sebagai orang-orang yang berteriak-
teriak dari belakang panggung untuk menambah marak suasana.
“Tari jathilan adalah semacam tari pertunjukan kuda, karena para penarinya menggunakan properti kuda-kudaan yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang ditipiskan dan dianyam (kepang). Ada juga yang menyebutnya pertunjukan kuda kepang, karena bahan untuk membuat kuda-kudaan dari bahan kepang. Ada yang menyebutnya ebeg, ebleg, embleg atau embeg yang biasanya sebutan ini digunakan di daerah Jawa Tengah bagian barat. Makin ke timur sampai ke Surakarta dan Ponorogo, pertunjukan ini disebut reog, akhirnya di daerah Kediri dan di Jawa Timur, namanya adalah jaranan atau jaran kepang”.
3 Wawancara dengan bapak Miseni selaku sesepuh pada 05 Maret 2008.
Universitas Sumatera Utara
Lagu yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan adalah gending reogan
dan lagu-lagu campursari, musik pengiringnya tidak menggunakan seperangkat
gamelan Jawa melainkan hanya menggunakan kendang, ketipung, kenong, angklung,
slompret dan gong Gerakan tarian yang dibawakan lebih atraktif dan menghibur4.
Keterampilan dan keahlian yang dilakukan pembarong berupa berguling-guling
ditanah serta menaikkan penganten ataupun penonton diatas topeng dhadhak merak
yang dikenakannya. Dalam setiap pertunjukan satu group terdiri dari 20 orang
pemain, yaitu 10 orang pemusik, 2 orang bujangganong, 2 orang pembarong, 2 orang
jathilan, 2 orang sesepuh yang akan melakukan ritual dan 2 orang pemain lagi
berperan sebagai penyemarak yang berteriak-teriak dibelakang panggung5
Biasanya sebelum pertunjukan di mulai ada beberapa ritual yang dilakukan
oleh para sesepuh, yaitu meminta kepada para roh lelehur agar acara dapat berjalan
dengan lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Para sesepuh membakar sesajen berupa
kemenyan di depan semua peralatan yang akan digunakan seperti topeng
bujangganong dan dhadhak merak. Selain dibakar sesajen yang berupa rokok dan
kembang tujuh rupa diselipkan di telinga kepala harimau yang bersatu dengan
dhadhak merak. Setelah itu, kembang tujuh rupa ditaburkan disekitar tempat
pertunjukan berlangsung. Jika ritual itu tidak dilakukan maka topeng yang akan
digunakan para pembarong akan terasa sangat berat dan topeng dhadhak merak
tersebut tidak mau digerakkan oleh pembarong. Hal lain yang akan terjadi adalah
.
4 Wawancara dengan bBapak Suparno selaku pimpinan sanggar pada tanggal 08 Maret 2008. 5 Berdasarkan hasil penelitian penulis dilapangan pada 15 Juni 2008.
Universitas Sumatera Utara
para penari akan dimasuki oleh roh nenek moyang yang akan membuat penari
mengalami cidera6
Instrumen musik yang digunakan sebagai pengiring pada pertunjukan reog ini
adalah: 1 buah kendang (membranofon), 1 buah ketipung (membranofon), 2 buah
kenong (idiofon), 1 buah salompret (aerofon), 2 buah angklung (idiofon), dan 1 buah
gong besar (idiofon). Peralatan lain yang di perlukan sebagai pendukung pertunjukan
adalah: eblek / jaranan, topeng Bujangganong, dan Dhadak merak
.
7
Menurut Sedyawati (1993:9) pada dasarnya bentuk-bentuk pertunjukan
seperti penyamaran, topeng, barongan, dan sebagainya masih tergolong dalam satu
pertunjukan, yaitu pertunjukan topeng. Unsur pembeda yang menjadi dasar
klasifikasinya adalah dalam hal ukuran dan perwujudan visualnya. Sedyawati juga
menggolongan topeng berdasarkan ukurannya yang terdiri dari : (1) topeng kecil,
meliputi tari topeng pajengan di Bali, tari topeng Cirebon, tari topeng Jawa, dan lain
sebagainya; (2) topeng besar, meliputi tari huda-huda Simalungun dan Karo, tari
Hudo’ di Kalimantan Timur; (3) barong, meliputi reog ponorogo, barong di Bali,
burung enggang pada tari huda-huda, dan sebagainya (Sedyawati 1993:2-3).
.
Pertunjukan reog pada upacara perkawinan biasanya disajikan sebagai arak-
arakan, yang diarak adalah pengantin pria beserta keluarga menuju rumah pengantin
wanita. Dalam perjalanan mengarak pengantin pria dinaikkan di atas dhadhak merak
dan reog juga ditampilkan sebagai hiburan bagi para tamu undangan. Pada acara
6 Cidera yang akan dialami para pemain adalah topeng yang mereka kenakan dalam pertunjukan tidak akan bisa dilepaskan dan para pemain juga akan melukai dirinya sendiri. Hal ini terjadi diluar kesadaran para pemain karena tubuh mereka dimasukki oleh roh-roh nenek moyang. 7 Wawancara dengan Bapak Ngatiman selaku pelatih dan sesepuh di sanggar langen budoyo pada tanggal 15 April 2008
Universitas Sumatera Utara
khitanan (sunatan) dilakukan dengan cara mengarak manten sunatnya berkeliling
kampung. Para pemain reog mengarak keliling kampung dengan berjalan kaki
sedangkan manten sunat diarak didepan reog dengan menaikki kendaraan seperti
becak mesin. Pada saat peringatan hari besar nasional pertunjukan reog ponorogo
berfungsi sebagai upacara penyambutan para tamu istimewa, seperti para pejabat
pemerintahan.
Menurut Bapak Suparno keberadaan kesenian reog ini hanya terdapat di dua
daerah yang berbeda, yaitu di desa Kampung Kolam Tembung dan di Kampung
Transmigrasi Stabat. Pertunjukan yang mereka mainkan memiliki persamaan
terkadang di antara kedua group ini sering terjadi peminjaman alat maupun pemain
untuk kebutuhan pertunjukan, hal ini terjadi karena hubungan persaudaraan mereka
yang sangat erat dan saling mendukung satu sama lain.
Di desa Kampung Kolam Tembung terdapat sebuah group kesenian reog
yang dapat melakukan pertunjukan reog. Group kesenian reog tersebut bernama
”Sanggar Langen Budoyo”. Penulis memilih group kesenian ini sebagai bahan
penelitian karena merupakan group yang paling sering mengadakan pertunjukan reog
di berbagai tempat dan acara, seperti upacara perkawinan masyarakat Jawa yang
terdapat di kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, penulis menganggap group ini
cukup mampu dan berpengalaman dalam melakukan pertunjukan reog. Selain itu,
sanggar ini juga telah memiliki banyak anggota mulai dari orang tua sampai anak-
anak yang ingin melestarikan dan mempertahankan budayanya. Sampai saat ini
kesenian tradisional Jawa selain reog ponorogo yang terdapat dalam sanggar ini
adalah : Ludruk, Wayangan, Kuda Lumping, dan Ketoprak.
Universitas Sumatera Utara
Pertunjukan yang di tampilkan oleh group ini sangat menarik perhatian
masyarakat pendukungnya karena dalam setiap pertunjukannya mereka membawakan
dengan sangat atraktif juga mengibur banyak penonton sehingga dimana pun mereka
melakukan pertunjukan biasanya selalu ramai dikunjungi oleh penonton baik anak-
anak, remaja, sampai orang dewasa8
Berdasarkan keterangan di atas, penulis merasa banyak hal penting yang dapat
dideskripsikan secara lengkap kedalam sebuah tulisan. Seperti upacara adat
perkawinannya, bentuk pertunjukan, tema cerita, urutan tarian, gerakan tarian, tokoh
dan karakternya, properti yang digunakan,musik pengiring, kostum dan riasan yang
dikenakan.
.
Oleh karenanya penulis tertarik membahas lebih dalam lagi tentang kesenian
tradisional khas ponorogo di kabupaten Deli Serdang dan penulis akan menjabarkan
lebih lengkap lagi tentang pertunjukan reog dalam konteks upacara perkawinan
masyarakat Jawa ke dalam tulisan dengan judul : “Studi Deskriptif Pertunjukan
Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung
Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.
6 Awal perjumpaan penulis dengan group kesenian ini adalah pada saat mereka mengisi acara pada sebuah acara Imlek bersama di Lubuk Pakam. Acara ini menampilkan berbagai etnis yang ada di Sumatera Utara, baik etnis asli maupun etnis pendatang. Pada kesempatan yang sama penulis berperan sebagai pengisi acara yang mewakili etnis Batak Toba. Setelah pertunjukan selesai penulis melakukan wawancara kepada beberapa pemain dan sesepuhnya. Dari penjelasan mereka inilah penulis merasa tertarik dan tertantang untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang kesenian ini, setelah selesai wawancara penulis meminta alamat sanggar group kesenian ini. Seminngu kemudian penulis langsung mendatangi sanggar tersebut dan melakukan penelitian sebagai bahan dasar untuk penulisan skripsi.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Pokok Bahasan Dan Batasan Masalah
Setelah penulis mengetahui dan mempelajari kesenian reog ponorogo ini ternyata
banyak sekali yang bisa di jadikan bahan penelitian seperti: karakter reog, kostum,
pertunjukan tari yang meliputi pola lantai dan gerak tari, durasi pertunjukan, dan
musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan bahasan kepada beberapa
aspek saja dan saya merasa perlu untuk membatasi masalah sebagaii berikut :
1. Bagaimana bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara perkawinan
masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.
2. Apa sajakah yang menjadi pendukung pertunjukan reog ponorogo.
1.3 Tujuan Dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara
perkawinan masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.
b. Untuk menjelaskan komponen-komponen pendukung pertunjukan reog
ponorogo.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk melestarikan dengan cara memperkenalkan kesenian ini pada
masyarakat pecinta kebudayaan.
2. Sebagai bahan dokumentasi pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Konsep Dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,1990:456).
Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat (1977:32), konsep merupakan
defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu
penelitian (Koentjaraningrat,1977:36).
Dari hasil pengamatan , wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat
dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut :
Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif
dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang
terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily (1990:179), deskripsi
mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba
menguraikan / menggambarkan tentang kesenian reog ponorogo agar dapat dijadikan
informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.
Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang
dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada
seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami
bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan
harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas.
Sesuai dengan konsep di atas maka Reog Ponorogo dikategorikan sebagai seni
Universitas Sumatera Utara
pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton,
pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.
Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud
bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu
berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan
dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya
rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan
tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua
kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, di
mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan
dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji dan penonton
saling berhubungan (Sediawaty,1981:58-60).
Istilah roeg berasal dari kata rog atau erog, yog atau hoyog, yod atau reyod, yeg
atau riyeg, yod atau reyod yang kesemuanya berarti rusak, goyang goncang atau tidak
tenang (Hartono, 1980:38-40).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999:836) reyog yang ditulis
dengan kata reog (tanpa huruf y) mempunyai dua pengertian. Pertama, reog dalam
bahasa Jawa berarti tarian tradisional di arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan
rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan
hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda, yang
kesemuanya laki-laki. Kedua, reog dalam bahasa Sunda berarti tontonan tradisional
sebagai hiburan rakyat yang mengandung unsur humor dan sindiran. Berkaitan
dengan pengertian reog ponorogo tentunya menggunakan pengertian yang pertama,
Universitas Sumatera Utara
namun perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana keterlibatan
penari wanita lebih menonjol terutama untuk penari berkuda (jathilan) dan kebenaran
tentang kandungan unsur magis di dalamnya karena tidak semua pementasan
menggunakannya, tetapi hanya untuk fungsi-fungsi tertentu saja.
Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk
kesenian ini adalah REOG (tanpa huruf y) karena sesuai dengan ejaan yang terdapat
di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
1.4.2 Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10).
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini.
Maka penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981: 48-66) yang
mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan selalu dikaitkan dengan kondisi
lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung
masyarakatnya. Pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat didalam pertunjukan dan
kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang yaitu penyaji dan penyaji,
penyaji dan penonton.
Untuk melihat apa-apa saja komponen pertunjukan maka penulis
menggunakan teori Milton Siger (dalam MSPI, 1996:164-165) yang Menjelaskan
bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) awal
Universitas Sumatera Utara
dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5)
sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan dan, (7) kesempatan untuk
mempertunjukannya.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas
tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan.
Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu
gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat,1990:29).
Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang
disarankan Curt Sach dalam Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi
dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(deks work).
Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan
perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan
penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
1.5.1 Kerja Lapangan
1.5.1.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu
dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan
pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat
berupa buku-buku, makalah, artikel, skipsi-skripsi. Dalam hal ini penulis mempelajari
Universitas Sumatera Utara
buku-buku tentang kesenian reog ponorogo yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti
sebelumnya (M. Zamzam Fauzanafi 2005, Nursilah 2001). Studi kepustakaan juga
penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini,
seperti pengetahuan tentang upacara adat perkawinan Jawa, sejarah, etnografi, dan
lain sebagainya.
1.5.1.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau
peristiwa yang erat kaitanya dengan pertunjukan reog yang dimainkan sanggar
Langen Budoyo.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan
demikian dalam mendeskripsikan pertunjukan Reog Ponorogo, penulis akan lebih
cermat.
1.5.1.3 Wawancara
Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang
untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari
seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang
(Koentjaraningrat,1990:129).
Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused
interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan
yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara
bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.4 Perekaman
Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu
yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah tape recorder Sony TP-
VS450 dengan beberapa kaset Sony C-60, kamera digital untuk memotret gambar
ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga
menggunakan handycam untuk merekam jalannya pertunjukan.
1.5.1.5 Kerja Laboratorium
Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium
dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses
menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data
yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna
pengolahan dan penganalisisan data.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Lokasi penelitian reog dalam tulisan ini adalah desa Kampung Kolam
Kecamatan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Alasan
penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan daerah komunitas
suku Jawa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional
Jawa seperti Reog Ponorogo, Jaran Kepang, Kuda Lumping, Wayangan, Ludruk dan
masih banyak kesenian Jawa lainnya.
Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan.
Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan
informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari
terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis
Universitas Sumatera Utara
kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang kesenian reog ini.
Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Imam
Safei (25 thn) dan Bapak Jumadi (27 thn).
Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci.
Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis mengenai
bahan penelitian penilis, diantaranya Bapak Ngatiman (55 thn) dan Bapak Suparno
(53 thn). Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai
permasalahan yang ada dalam tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti
tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Jawa desa tersebut yang
mengerti dan memahami betul tentang kesenian tradisional Jawa ini khususnya
kesenian reog ponorogo.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara merupakan Propinsi yang banyak di huni oleh berbagai suku
dan etnis, baik yang berasal dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa.
Masyarakat Jawa Timur merupakan salah satu kelompok etnis pendatang yang ada di
Indonesia di antaranya berdiam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.
Pada awal abad ke- 20 masyarakat Jawa datang dan memasuki wilayah
Sumatera Utara dengan menjadi kuli kontrak (koeli contarct)9
Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah
lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk
menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka
sebuah ladang di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar
2006:207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik
hal lain yang menjadi
faktor utama masyarakat Jawa datang ke Sumatera Utara adalah tidak terlepas dari
perkembangan daerah Sumatera Utara sebagai daerah perkebunan yang dikelola
perusahaan perkebunan Belanda bermodal asing yang dilengkapi dengan perangkat
administrasi nya, yang disebut dengan onderneming-onderneming yang berdiri
sekitar tahun 1864 (Karl J. Pelzer, 1985:12).
9 Koeli kontrak adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya terikat perjanjian bekerja pada perusahaan perkebunan pemerintahan kolonial maupun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Pada masa onderneming buruh yang dipekerjakan sebagai koeli kontrak adalah orang-orang Jawa dan Cina yang merupakan populasi terbesar pada masa itu, kemudian orang Batak dan India.
Universitas Sumatera Utara
oleh Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van
Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen
memberikan bantuan modal kepada Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan
perkebunan tembakau yang diberi nama Deli Maatschapij.
Pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang meningkat pesat, dan tembakau
yang dihasilkan oleh perkebunan Deli mampu menembus pasaran Eropa karena
tembakau Deli memiliki kualitas yang sangat baik. Maka Nienhuys memperpanjang
kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Nienhuys
juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal pada tahun 1869 dan
Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875, karena semakin luas dan semakin
bertambahnya kebun sehingga memerlukan semakin banyak kuli (Sinar, 2006:207).
Sejak dibukanya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan
mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina
sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah.
Sehingga perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda pada saat itu dengan
mudah mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.
Tahun berikutnya merupakan tahun yang penting bagi perkembangan
perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884 telah berdiri 12
perusahaan perkebunan tembakau di wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung
Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam,
Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini
dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur
sebagai produsen tembakau terbesar di Asia (Sinar 2006:311).
Universitas Sumatera Utara
Setelah masa kolonial Belanda berakhir maka kontrak-kontrak mereka pun
berakhir, namun masyarakat Jawa tersebut tidak kembali ke Jawa, mereka tetap
menjadi penduduk setempat sama seperti masyarakat-masyarakat pendatang lainnya.
Kemudian mereka membentuk kelompok yang mendirikan komunitas-komunitas
bagi kelangsungan hidup sosial dan budaya mereka.
Walaupun banyak orang-orang Jawa datang ke Sumatera Utara sebagai koeli
kontrak, namun para anggota group kesenian reog ponorogo bukan berasal dari
keturunan para koeli kontrak bahkan bukan juga sebagai koeli kontrak. Kebanyakan
mereka datang ke Sumatera Utara berdasarkan usaha sendiri dengan dana sendiri dan
bertujuan untuk mencari pekerjaan10
Semakin banyak orang Jawa menetap di Sumatera Utara, semakin besar pula
niat mereka untuk melestarikan budayanya dengan cara memperkenalkan kesenian
tradisional mereka kepada masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Selain itu, ada
juga beberapa organisasi yang terbentuk untuk mendukung perkembangan kesenian
mereka dan salah satu organisasi tersebut adalah Forum Masyarakat Jawa Deli.
.
Dalam komunitas barunya tersebut, masyarakat Jawa mendirikan kelompok-
kelompok kesenian. Kesenian yang mereka bawa dari daerah asalnya ini mereka
jadikan sebagai penghibur dan pengusir rasa lelah setelah seharian bekerja juga
sebagai pengobat rasa rindu pada kampung halaman mereka. Salah satu kesenian
tersebut adalah seni tari tradisional Reog Ponorogo yang terdapat di desa Kampung
Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
10 Wawancara dengan Bapak Suparno selaku sesepuh dan pimpinan sanggar pada tanggal 25 Juli 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Letak Georafis Lokasi Penelitian
Desa Kampung Kolam yang merupakan lokasi penelitian penulis terletak di
kawasan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Propinsi
Sumatera Utara, tepatnya di jalan Pardamean pasar XVI no.64. Dengan jarak pusat
pemerintahan ± 5 Km dari Ibukota Kecamatan, ± 20 Km dari Ibukota Kabupaten dan
± 20 Km dari Ibukota Propinsi.
Lokasi tersebut dapat dicapai dari Tembung dengan naik angkutan umum
selama ± 15 menit. Angkutan umum tersebut hanya sampai pasar XVI saja karena
tidak ada angkutan umum yang dapat langsung sampai ke tempat tujuan penelitian.
Setelah itu penulis melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama ± 20 menit.
Alat transportasi yang digunakan para penduduk desa kampung kolam untuk
menempuh perjalanan dengan sepeda dan sepeda motor.
Adapun batas-batas wilayah desa Kampung Kolam adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan PTP IX
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bandar Klippa
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bandar Setia.
Desa kampung kolam rata-rata barada pada ketinggian 5 meter dari
permukaan laut, dengan suhu udara rata-rata 37 derajat celcius. Ditinjau dari segi
desa, maka desa kampung kolam termasuk pedesaan yang memiliki 13 dusun /
lorong.
Universitas Sumatera Utara
Desa Kampung Kolam adalah salah satu Desa dari 20 Desa / Kelurahan yang
ada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Luas daerah sekitar
598,65 Ha, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Tanah sawah : 466,69 Ha
2. Tanah kering :131,96 Ha
Menurut penggunaan, maka pembagian luas tanah sebagai berikut :
1. Pertanian sawah : 204 Ha
2. Perkebunan : 0,4 Ha
3. Pekuburan : 0,5 Ha
4. Fasilitas Umum : 2 Ha
Desa Kampung Kolam dulunya merupakan tanah perkebunan tembakau milik
Belanda pada masa penjajahan, namun sekarang ini perkebunan tersebut merupakan
milik PTP II yang merupakan perkebunan tebu dan sawit. Pemukiman penduduk
berada di belakang area perkebunan tersebut. Setiap musim hujan daerah ini selalu
mengalami kebanjiran yang mengakibatkan desa ini tergenang seperti kolam, hal ini
dikarenakan saluran air yang tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak dapat
menyerap banyaknya air hujan. Oleh karena itulah daerah ini dinamakan Desa
Kampung Kolam11
.
11 Wawancara dengan Bpk Karsono yang merupakan kaur pembangunan desa, pada tanggal 05 Agustus 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Keadaan Penduduk
2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk desa kampung kolam adalah sebanyak 9972 Jiwa yang
terdiri laki-laki sebanyak 5215 dan perempuan sebanyak 4757 Jiwa (data
kependudukan kantor desa tahun 2008) dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel I
Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam Menurut Usia dan Jenis Kelamin
Umur/tahun Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan 0 – 6 748 1000 7 – 15 745 1000 16 – 18 255 250 19 – 24 361 359 25 – 55 360 365 56 – 79 244 240 ≤ 80 150 200
Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penduduk desa kampung kolam
terdapat lebih banyak penduduk yang berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki,
para anggota group kesenian reog yang masih muda rata-rata berusia 19-24 tahun,
dewasa rata-rata berusia 25-55, dan para sesepuh group kesenian ini rata-rata berusia
56-79.
2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal
Penduduk desa kampung kolam termasuk juga para anggota group kesenian
reog mempunyai tempat tinggal yang tersebar di 13 dusun / lorong desa kampung
kolam. Untuk keterangan lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut di bawah
ini: Tabel II
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam menurut Tempat Tinggal
Dusun KK Tahun 2008
Laki-laki Perempuan Dusun I 253 245 254 Dusun II 241 524 140 Dusun III 110 231 430 Dusun IV 246 660 441 Dusun V 251 570 403 Dusun VIa 138 289 283 Dusun VIb 216 456 467 Dusun VII 220 459 474 Dusun VIII 138 370 361 Dusun XI 202 376 388 Dusun X 101 299 225 Dusun XI 208 498 462 Dusun XII 154 368 329
Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah KK terbanyak terdapat
pada dusun I, para anggota group kesenian reog ini memiliki tempat tinggal yang
berada di dusun X dengan jumlah penduduk 101 KK.
2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Penduduk desa kampung kolam kebanyakan hanya tamatan SD, hal ini dapat
di lihat pada tabel berikut ini : Tabel III
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan
Lulusan Jumlah TK -----------
SD 646 SMP 385 SMA 133 SMK 108
DOCTOR 7 Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008
Universitas Sumatera Utara
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penduduk desa
kampung kolam hanya tamatan SD saja, awalnya penulis merasa kesulitan untuk
berkomunikasi dengan para sesepuh dan para pemain reog karena sebagian besar dari
mereka tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik mereka hanya dapat
berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Para anggota group kesenian reog ponorogo yang hanya tamatan SD adalah
para sesepuh, pemusik serta pemain lain yang saat ini usianya sudah tua, sedangkan
anggota lain yang saat ini usianya masih muda kebanyakan sudah mengenyam
pendidikan hingga kebangku perkuliahan. Pada saat penulis melakukan wawancara
dengan para sesepuh penulis mendapat kesulitan dalam hal berkomunikasi karena
mereka hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa saja, namun penulis tidak
merasa putus asa karena penulis dibantu oleh para pemain lain yang bisa
menggartikannya kedalam bahasa Indonesia.
2.4 Sistem Kekerabatan
Penduduk desa kampung kolam mayoritas terdiri dari suku Jawa, oleh karena
itu penulis menggunakan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya12
12 Sistem kekerabatan adalah hubungan seseorang dengan yang lain berdasarkan pertalian darah.
.
Sistem kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat Jawa adalah kekerabatan yang
dilihat berdasarkan prinsip bilateral yaitu memperhitungkan keanggotaan kelompok
melalui garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan, maka
seseorang dapat menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ayah dan juga
menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ibu.
Universitas Sumatera Utara
Dalam budaya Jawa sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti,
batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap
bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak
mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.
Dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga
batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah,
apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain maka terbentuklah
suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal
kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur
kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain
ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara
satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur
mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek) berlaku baik
untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah
(buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut
anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat,
misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga
yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam
kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan (Lihat Skripsi Martavia).
Dengan istilah-istilah kekerabatan yang berlaku tersebut, maka dapat
diketahui status atau kedudukannya dalam kelompok kekerabatan. Istilah-istilah
kekerabatan tersebut akan penulis jabarkan sebagai berikut: (1) ego memanggil
Universitas Sumatera Utara
ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbok/mbok; (2) untuk
menyebut saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan kangmas/kakang dan untuk
saudara perempuan disebut dengan mbakyu/yu, untuk saudara laki-laki yang lebih
muda disebut dengan adhi/dhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; (3)
sebutan untuk kakak kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan
budhe/mbokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah
paman/pakcik/paklek dan yang perempuan dengan sebutan bibi/bulik/mbok;(4)
sebutan terhadap kakek adalah mbah lanang/simbah kakung sedangkan sebutan
kepada nenek adalah simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego
adalah ptu/wayah sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah
buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki
maupun perempuan (Emi Sujayawati, 2000:28-29).
Selain istilah tersebut diatas masih ada lagi istilah lain dalam kekerabatan
masyarakat Jawa, hal ini dikemukakan oleh Bratawijaya (1993:21-23) yang
menyatakan istilah lain tersebut adalah keponakan atau ponakan. Mereka ini adalah
anak-anak dari kakak ego baik yang berasal dari kakak ego yang laki-laki maupun
kakak ego yang perempuan, sebutan ponakan ini dipakai untuk menyebut anak-anak
kakak ego baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Prunan/perunan adalah
untuk menyebut anak-anak dari adik ego baik yang laki-laki maupun yang
perempuan, baik anak adik ego itu laki-laki maupun perempuan. Misan adalah istilah
untuk menyebut antara sesama cucu dari orang yang bersaudara sekandung, Mindho
adalah istikah untuk menyebut cucu ego dengan cucu saudara sepupu ego. Kemudian
ada lagi istilah kekerabatan yang terjadi, karena perkawinan yaitu : besan, mertua,
Universitas Sumatera Utara
ipe, peripean. Besan adalah orang tua dari pihak suami ego dengan orang tuanya
sendiri atau sebaliknya; mertua adalah hubungan antara ego dengan orang tua
suami/istri. Sedangkan hubungan antara orang tua dengan pihak istri/suami anaknya
disebut mantu; ipe adalah hubungan antara istri/suami dengan saudara sekandung
pihak suami/istri; peripean adalah hubungan antara sesama menantu (Emi
Sujayawati, 2000:30).
Masyarakat Jawa juga mengenal adanya kelompok
kekerabatan yang dinamakan alur waris. Alur waris ini
merupakan suatu bentuk kelompok yang berasal dari satu
nenek moyang, terdiri dari 6-7 angkatan atau lebih yang
berasal dari satu nenek moyang, sehingga diantara anggota
kelompok kekerabatan tersebut sulit untuk saling
mengenal.
2.5 Sistem Religi
Mayoritas penduduk desa kampung kolam memeluk agama Islam, yaitu
sebanyak 8.673 orang dari jumlah penduduk. Sisanya sebanyak 1.186 orang memeluk
agama Kristen, pemeluk agama Budha sebanyak 95 orang dan pemeluk agam Hindu
sebanyak 18 orang. Dari uraian diatas dapat ditekankan bahwa keberadaan agama
Islam sangatlah besar.
Mayoritas penduduk desa kampung kolam adalah pemeluk agam Islam. Di
desa kampung kolam ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 5 buah Masjid,
13 buah Musollah untuk agama Muslim dan 3 buah Gereja untuk agama Nasrani.
Meskipun penduduk desa kampung kolam sudah mengaku sebagai pemeluk agama
Universitas Sumatera Utara
Islam namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar kepercayaan mereka,
jika dilihat berdasarkan persentase yaitu sekitar 50 %. Sampai saat ini mereka juga
masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh
nenek moyang dan hal-hal gaib seperti percaya pada makhluk halus penunggu
tempat-tempat keramat dan mereka juga masih sering memberikan sesajen13
Sebelum group kesenian reog ini melakukan pertunjukan terlebih dahulu
mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar
sesajen didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan bunga
kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka
yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak melakukan
hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain
barongan akan kesurupan karena roh nenek moyang marah dan memasuki tubuhnya
dan nantinya akan sulit untuk disuruh keluar
.
14
Bagi masyarakat desa kampung kolam yang akan melakukan hajatan,
sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Untuk
melakukan hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini
dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang dianggap tidak baik atau pantang.
Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang
keluarganya, maka hari tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk
yang akan menimpa mereka.
.
13 Wawancara dengan Mbah edi kucet selaku sesepuh pada 09 Agustus 2008. 14 Wawancara penulis dengan Bpk. Suparno sebagai seorang sesepuh pada tanggal 18 April 2008.
Universitas Sumatera Utara
Umunya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi dua macam,
yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa
dan makhluk halus sebagai roh pelundung yang disebut dengan danyang, yaitu suatu
kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat pendukung sebagai pemimpin
para jin atau roh halus yang menguasai daerah tersebut (Emi Sujayawati, 2000:33).
Agar para makhluk halus tersebut mau menuruti mereka maka pada waktu-
waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa
jenis makanan dan bunga-bungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di
tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Dan pada waktu mereka
memberikan sesajen harus disertai dengan mantra-mantra ataupun doa-doa.
Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaan ajarannya,
masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu : (1)
Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud dengan orang putih disini adalah
orang-orang yang taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek,
yaitu orang yang badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang
yang meyakini terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual
peribadatannya terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur diluar Islam.
Faktor utama yang menjadi pembeda antara wong putihan dan wong lorek
adalah ketaatannya menjalankan ritual agama Islam yaitu berupa shalat. Seseorang
yang menjalankan shalat lima waktu dengan rajin digolongkan kedalam kelompok
wong putihan meskipun dalam praktek kehidupan keagamaanya mencampur dengan
unsur-unsur diluar Islam. Sedangkan wong lorek diberikan kepada orang yang
Universitas Sumatera Utara
mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat
(Nursilah, 2001:51).
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa
didesa kampung kolam termasuk kedalam golongan wong putihan. Walupun mereka
taat beragama mereka juga masih melakukan hal-hal lain diluar Islam, misalnya
seperti melakukan ritual sebelum pertunjukan.
2.6 Mata pencaharian
Berdasarkan data desa tahun 2008, penduduk desa kampung kolam
mempunyai mata pencaharian sebagai berikut :
1. Buruh : 1581 orang
2. Petani : 1143 orang
3. Pedagang : 301 orang
4. Supir : 213 orang
5. PNS : 120 orang
6. Pengusaha : 14 orang
7. Peternak : 5 orang
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk desa
kampung kolam kebanyakan buruh. Keadaan ini sesuai dengan lingkungan yang
mereka diami masih banyak terdapat perkebunan, persawahan dan pabrik, juga sesuai
dengan kebiasaan masyarakat lapisan bawah yang menjadi buruh kasar dan buruh
tani, dan juga sebagai buruh bangunan yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari yang sangat sederhana.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai petani masyarakat desa kampung kolam menanam padi, pisang, dan
ubi kayu karena hanya jenis tanaman itulah yang sesuai dengan iklim daerah desa
kolam tersebut. Di desa kampung kolam juga terdapat pabrik dan bangunan-bangunan
yang akan dikerjakan oleh masyarakat. Selain itu penduduk desa kampung kolam
dapat memperoleh tambahan dengan mengikuti group kesenian reog ini, dari hasil
pentas keliling itulah mereka mendapatkan uang untuk membantu biaya hidup
mereka masing-masing.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa “di dalam kenyataan hidup orang Jawa,
orang yang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai
negeri dan kaum terpelajar dengan orang-orang kebanyakan yang disebut wong cilik,
seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga
keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam rangka susunan
masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan gensi-gensi itu, kaum priyayi dan
bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat
bawah” ( Heristina Dewi,1992:38).
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa
yang ada di desa kampung kolam masih berstatus sosial rendah, namun istilah wong
cilik tidak berlaku bagi masyarakat Jawa didesa kampung kolam karena mereka
menganggap mereka semua sama. Aktivitas masyarakat Jawa didesa kampung kolam
kebanyakan sebagai buruh dan petani.
2.7 Kesenian
Masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan desa kampung
kolam mayoritas suku Jawa. Namun hanya desa kampung kolam yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kesenian reog, Sanggar Langen Budoyo berada di bawah naungan Forum Masyarakat
Jawa Deli. Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga
tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari,
walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang
tinggal menetap di desa kampung kolam. Mereka juga masih melakukan peristiwa
budaya seperti ritual upacara perkawinan, serta menghidupkan dan mempertahankan
kesenian tradisional mereka seperti : Ludruk, Ketoprak, Kuda Lumping, Wayangan,
Jaran Kepang dan Reog Ponorogo.
2.8 Bahasa
Bahasa pengantar dikalangan masyarakat Jawa didesa kampung kolam adalah
bahasa Jawa. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa didesa kampung kolam
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan etnis lain. Para pemain
kesenian reog ponorogo ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik ada juga
yang tidak bisa sama sekali, biasanya pemain yang tidak bisa berbahasa Indonesia
adalah para sesepuh dan yang bisa para pemain yang lahir dan besar diseda kampung
kolam tersebut. Kromo inggil merupakan tata cara berbahasa paling tinggi atau
dengan kata lain yang paling halus. Bahasa kromo ini sering digunakan oleh orang-
orang yang berpangkat, orang-orang sederajat, anak terhadap orang tuanya, murid
terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan buruh terhadap majikan. Bahasa sehari-
hari yang dipergunakan oleh penduduk desa kampung kolam adalah bahasa Ngoko
karena merupakan bahasa Jawa biasa yang sering dipergunakan oleh orang tua
terhadap anak, antar teman sebaya, atasan terhadap bawahan, dan majikan terhadap
kuli.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG
3.1 Sejarah Reog Ponorogo
Menurut Poerbajtaraka (1969: 404), pada dasarnya adalah perkawinan antara
putri Kediri dengan raja seberang. Mungkin saja legenda ini tidak begitu diketahui
secara detil oleh masyarakat Jawa yang hidup di Sumatera. Akan tetapi sebagai
sebuah referensi, mungkin saja akan sangat berguna bagi kelompok atau sanggar
yang masih melestarikan pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang. Secara singkat
di sini akan diceritakan legenda yang sangat dipercayai oleh masyarakat Ponorogo
(Nursilah, 2001: 201-202).
Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu
yang mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan
seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta
kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa
belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta.
Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam
sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman
dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama
berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana Sewandana adalah
seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata
berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading.
Bujangganong akhirnya diajak ke kerajaan Bantarangin dan dijadikan patih.
Universitas Sumatera Utara
Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram
yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan ini bisa
berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri. Maka
diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di Kediri,
raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang
putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng
berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa,
demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka
Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan
mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga
berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas
kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan
tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan
lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum
pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau.
Usai mendengar permintaaan itu, Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan
hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan prabu Klono
Sewandono.
Sepeninggal Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan
maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi
penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu
berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh
karena itu, apabila Singalodra dapat mengalahkan prabu Klono Sewandono dengan
Universitas Sumatera Utara
bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan
menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara Bantarangin
dengan Kediri.
Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu Klono Sewandono
keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka
berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu
mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang
berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan
kemudian.
Rombongan dari Bantarangin berangkat ke Kediri dan sesampai di hutan
Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin
melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra
masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh
senjata Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian
dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun
tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha
menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya
badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau.
Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi
terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri.
Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk
kesenian yang disebut Reog Ponorogo.
Universitas Sumatera Utara
3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang
Keberadaan kesenian reog di Deli Serdang karena adanya masyarakat Jawa
yang merantau dan ingin tetap melestarikan kesenian dari daerah asalnya. Kesenian
reog yang ada di kabupaten Deli Serdang sudah mengalami banyak perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada : (1) tokoh yang dimainkan, reog di
Jawa Timur memainkan 5 tokoh, yaitu: warok, jathilan, bujangganong, barongan,
prabu Klono Sewandono. Sedangkan reog di Deli Serdang hanya memainkan 3 tokoh
saja, yaitu: jathilan, bujangganong, dan barongan hal ini dilakukan untuk
mempersingkat jalannya pertunjukan; (2) kostum dan riasan, di Jawa Timur kostum
yang digunakan sangat lengkap serta riasannya menggunakan make up karakter sama
seperti tokoh yang diperankan sedangkan di Deli Serdang kostum dan riasan yang
digunakan hanya biasa saja tidak selengkap kostum yang di Jawa Timur; (3) Tema
cerita, reog di Jawa Timur selalu membawakan tentang cerita kerajaan dan
pertarungan para prajurit sedangkan di Deli Serdang tema disesuaikan dengan acara
yang sedang berlangsung; (4) alat musik dan lagu pengiring yang digunakan, di Jawa
Timur alat musik pengiring menggunakan seperangkatan gamelan Jawa serta lagu-
lagu pengiring yang dimainkan adalah lagu-lagu klasik Jawa sedangkan di Deli
Serdang alat musik yang digunakan hanya 5 saja serta lagu-lagu yang mengiringi
adalah gending reogan (mengiringi arak-arakan), gending sampak (mengiringi tari
jathilan) lagu capursari (mengiringi tari bujangganong dan barongan).
Universitas Sumatera Utara
3.3 Karakteristik Tokoh
Ada beberapa tokoh yang dimainkan dalam setiap pertunjuka reog ponorogo
dan masing-masing tokoh mempunyai sifat yang berbeda-beda sesuai dengan
karakternya. Adapun tokoh-tokoh yang terdapat dalam pertunjukan reog ponorogo
adalah :
3.3.1 Jathilan
Jathilan merupakan gambaran tokoh prajurit berkuda yang sedang berperang.
Dulunya yang memerankan jathilan ini adalah anak laki-laki yang berprofesi sebagai
seorang gemblak yang dipelihara oleh warok. Syarat untuk menjadi seorang gemblak
adalah anak laki-laki yang masih muda, berpenampilan menarik, putih bersih dan
ganteng. Anak laki-laki ini kemudian dilamar kepada orang tuanya secara baik-baik
oleh warok setelah orang tuanya memberikan anaknya maka anak ini dididik dan
dipelihara untuk menjadi seorang gemblak selama 3 tahun dan tugasnya adalah
melayani dan mendamping warok kemana pun dia pergi layaknya sebagai seorang
istri. Selama 3 tahun itulah sang anak dibiayai hidupnya oleh warok dan diberikan
fasilitas jika masa kontrak warok sudah habis maka ia dipulangkan kepada orang
tuanya dan sebagai imbalan warok memberikan satu ekor lembu. Tradisi
pemeliharaan gemblak ini berakhir pada tahun 1965 karena dianggap bertentangan
dengan ajaran agama. Sampai saat ini baik di Jawa maupun di Sumatera gemblak
sudah tidak ada lagi. Pada masa sekarang ini jathilan ditarikan oleh anak perempuan
dan berkarakter sangat kewanitaan.
Universitas Sumatera Utara
3.3.2 Bujangganong
Bujangganong menggambarkan tokoh seorang penasehat kerajaan yang
memiliki karakter tegas, tegar, humoris dan spontan. Dalam setiap pertunjukan reog
ponorogo tokoh bujangganong ditampilkan oleh 2 orang pemain, gerakan tarian yang
dilakukan sesuai dengan karakter yang humoris dan spontan. Sehingga dalam setiap
penampilan tokoh bujangganong mampu memeriahkan suasana dengan tepukan dan
tertawaan penonton yang benar-benar merasa terhibur dengan apa yang mereka
tampilkan.
3.3.3 Barongan
Barongan merupakan tokoh manusia bertopeng hewan yang berperan sebagai
macan yang ditaklukkan oleh bujangganong. Peran yang dimainkan selalu berperang
dengan tokoh yang lain, karakter yang dimiliki barongan adalah galak, pemarah dan
menyeramkan.
3.4 Perlengkapan Pertunjukan
3.4.1 Kostum
Kostum yang digunakan para penari dan pemusik tidak sama dengan kostum
aslinya di Jawa Timur. Pada pertunjukan reog di desa kampung kolam ini kostum
yang dikenakan sangat sederhana.
Universitas Sumatera Utara
Kostum yang digunakan oleh pemusik adalah adalah celana hitam panjang,
kaos dalaman bercorak garis-garis merah dan diluarnya memakai baju koko berwarna
hitam. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.1 Kostum yang dikenakan pemusik
Kostum yang dikenakan oleh pembarong dan bujangganong adalah kaos yang
bercorak garis-garis merah, celana hitam panjang yang samping kiri kanan dan
bawahnya terdapat rumbai-rumbai yang terbuat dari benang wol berwarna merah dan
kuning, baju yang dikenakan hampir sama dengan pemusik hanya yang membedakan
adalah warna corak garisnya dan penari tidak memakai baju koko untuk luarannya.
Lihat gambar dibawah ini: Gbr.2 Kostum penari Bujangganong
Universitas Sumatera Utara
Kostum yang digunakan penari jathilan adalah kemeja putih lengan panjang,
celana hitam pendek yang terbuat dari kain bludru bermotif merak, kain panjang dan
ikat kepala berwarna kuning keemasan, teratai berwarna hitam keemasan, ikat
dipergelangan tangan berwarna hitam, ikat pinggang berwarna keemasan, 2 buah
selendang masing-masing berwarna kuning dan ungu. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.3 Kostum penari Jathilan
3.4.2 Riasan
Sama halnya dengan kostum riasan yang digunakan oleh para penari tidak
seperti aslinya, biasanya riasan aslinya adalah make up karakter sesuai dengan tokoh
yang diperankan. Dalam pertunjukan reog di desa kampung kolam yang
menggunakan riasan hanyalah penari jathilan saja sedangkan bujangganong dan
pembarong sama sekali tidak menggunakan riasan. Jathilan menggunakan riasan yang
sangat sederhana dan terkesan minimalis tidak seperti make up karakter.
Universitas Sumatera Utara
3.4.3 Topeng
Topeng merupakan alat ataupun perlengkapan yang digunakan para penari
untuk memudahkan karakter peran yang mereka mainkan. Adapun topeng yang
digunakan dalam pertunjukan reog ponorogo adalah:
Eblek yang merupakan tiruan binatang kuda yang terbuat dari anyaman
bambu. Eblek merupakan properti untuk penari jathilan yang diletakan diantara kedua
kaki dan dipegang dengan tangan kiri. Lihat gambar dibawah ini: Gbr.4 Properti
penari jathilan yang disebut Eblek
Topeng bujangganong yang menyerupai wajah raksasa, hidung besar, mata
melotot, mulut terbuka dan giginya besar-besar. Topeng ini terbuat dari kayu,
rambutnya dari bulu ekor sapi dan topeng ini disambung dengan kain warna merah
yang digunakan sebagai penutup kepala. Pada ujung kiri dan kanannya diberi tali
yang dapat diikatkan dileher pemain. Lihat gambar berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Gbr.5 Topeng Bujangganong
Barongan merupakan topeng yang besar dengan berat 50 kg. Topeng ini
terdiri dari beberapa bagian, yaitu kepala harimau, dhadhak merak, krakab dan
kerudung. Kepala harimau terbuat dari kayu dadap, bambu dan rotan yang kemudian
dibalut dengan kulit harimau, pada bagian dalam terdapat kayu palang yang digigit
pembarong sebagai pegangan dan dibelakang kedua telinga diberi rambut kuda.
Dhadhak merak merupakan kerangka bambu sebagai tempat menyusun bulu-bulu
merak sehingga tampak seperti burung merak yang sedang mengembangkan
sayapnya. Krakap merupakan kain bludru berwarna hitam yang dihiasi dengan
manik-manik yang terletak diatas dan disamping kepala. Kerudung berfungsi sebagai
penutup pembarong yang terbuat dari kain berwarna hitam dan merah. Lihat gambar
dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Gbr.6 Topeng Barongan (Dhadhak Merak)
3.4.4 Pembuatan Topeng
Pertunjukan reog ponorogo yang ada di kabupaten Deli Serdang sudah sangat
berbeda dengan aslinya di Jawa Timur. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari topeng
yang digunakan dalam setiap pertunjukan. Pada pertunjukan aslinya topeng yang
digunakan ada lima topeng, namun saat ini yang digunakan hanya 3 topeng saja,
yaitu: topeng bujangganong, dhadhak merak, dan eblekan.
Dalam hal ini penulis akan menjelaskan cara pembuatan topeng secara satu
persatu. Pembuatan topeng bujangganong tidak dilakukan di Sumatera Utara
melainkan topeng tersebut didatangkan langsung dari pulau Jawa karena di Sumatera
Utara tidak ada pengrajin yang bisa membuatnya. Sama halnya dengan pembuatan
dhadhak merak bedanya hanya pada bahan yang langsung didatangkan dari Jawa
proses perakitannya dilakukan disanggar Langen Budoyo oleh para anggota yang
terampil.
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan untuk pembuatan dhadhak merak yang diperoleh dari Jawa
adalah sebagai berikut : bulu merak, kepala burung merak baik ukiran maupun asli,
kepala harimau yang dibuat dari kayu, ekor kuda/sapi, kulit harimau, dan bahan-
bahan yang diperoleh dari Sumatera Utara adalah bambu, rotan, benang nilon, kain
bludru hitam, manik-manik, kain panjang polos berwarna hitam dan merah.
Hal pertama yang dilakukan dalam proses pembuatan dhadhak merak adalah
merangkai bambu dengan menggunakan benang nilon hingga berbentuk seperti bulu
merak yang sedang terkembang, setelah itu dilanjutkan dengan penyusunan bulu-bulu
merak sesuai dengan bambu yang telah dirangkai. Kemudian kulit harimau dibalutkan
ke kepala harimau yang terbuat dari kayu lalu disambungkan dengan bulu merak
yang telah tersusun dan diatas kepala harimau ditempelkan kepala burung merak yang
dibalut dengan kain bludru yang sudah dihiasi manik-manik, pada bagian kepala
harimau diberi rambut yang terbuat dari ekor kuda. Untuk menutupi bagian belakang
digunakan kain panjang berwarna hitam dan merah. Eblek merupakan tiruan binatang
kuda yang terbuat dari anyaman bambu.
Dalam hal ini pembuatan topeng tidak dilakukuan setiap kali ada pertunjukan,
pembuatan topeng dhadhak merak dilakukuan apabila sudah beberapa kali dipakai
dalam pertunjukan topeng sudah mengalami kerusakan total. Jika kerusakan hanya
sedikit dan masih dapat ditutupi maka topeng masih layak untuk dipergunakan dalam
setiap pertunjukan.
Universitas Sumatera Utara
3.5 Instrumen Yang Digunakan
Instrumen musik yang digunakan sebagai pengiring pada pertunjukan reog ini
adalah gamelan Jawa yang terdiri dari:
1 buah kendang (membranofon) yang berukuran besar, panjangnya antara 1
hingga 1,5 meter dan termasuk kelompok barrel drum double head, karena kendang
tersebut berbentuk barrel dan kedua ujungnya ditutup dengan kulit, serta kedua kulit
pada ujungnya merupakan bagian yang dipukul untuk menghasilkan bunyi. Fungsi
utama kendang adalah pengatur tempo dan pemberi tekanan pada gerak tari. Alat
musik ini dibunyikan dengan tangan tanpa alat bantu.
Kendang terbuat dari kayu bulat memanjang yang bagian tengahnya dikorek
untuk membuat rongga atau lubang yang bentuknya sama dengan bentuk bagian
luarnya, yaitu barrel shaped. Kulit yang dipakai untuk menutup kedua ujung kendang
adalah kulit sapi atau lembu; 1 buah ketipung (membranofon) bentuknya mirip
kendang, berukuran lebih kecil. Cara memukulnya dengan menggunakan tongkat
kecil yang ujungnya diberi kain perca atau tali. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.7 Ketipung dan Kendang
Universitas Sumatera Utara
2 buah kenong (idiofon), bernada 5 (lima) yang dipukul secara double.
Kenong merupakan alat musik yang bentuknya sama dengan bonang, tetapi ukuranya
lebih besar dari bonang. Setiap pencon memiliki satu nada, namun kenong berfungsi
sebagai penanda ketukan tertentu atau berfungsi kolotamik, bukan sebagai pembawa
melodi. Kenong tebuat dari bahan logam besi, kuningan atau perunggu. Alat musik
ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan stik kayu yang bagian yang
dipukulkan ke kenong di lapisi dengan balutan benang berwarna merah. Kenong
termasuk klasifikasi Idiophone stuck directly with stick. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.8 Kenong
1 buah gong besar (idiofon), menurut klasifikasi Curt Such dan Hornbostel
berada pada sub klasifikasi yang sama, yaitu suspended gong stuck direckly with
stick, gong tersebut digantung pada penyangga yang disebut gayor, dan dimainkan
dengan cara dipukul menggunanakan stick.
Secara umum ukuran gong tidak mempunyai standard yang permanen dan
bersifat relatif, gong yang paling besar, berdiameter 85 cm. Gong terbuat dari bahan
logam yaitu besi, kuningan atau perunggu. Sisi pinggiran gong yang disebut dengan
nama bau dibuat dua buah lubang yang berfungsi sebagai lubang tali untuk
Universitas Sumatera Utara
menggantung Gong pada gayor. Dalam ensembel gamelan, gong berfungsi sebagai
penanda siklus ketukan atau kolotomik. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.9 Gong
2 buah angklung (idiofon) yang memiliki ukuran berbeda, yaitu ukuran besar
dan ukuran kecil. Anglung yang berukuran besar memiliki nada lebih rendah
sedangkan angklung yang berukuran kecil memiliki nada yang tinggi dan suara yang
dihasilkan sangat nyaring, cara memainkan anglkung besar hanya sekali digoyangkan
sedangkan yang berukuran kecil dua kali digoyangkan. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.10 Angklung berukuran kecil dan Angklung berukuran besar
Universitas Sumatera Utara
1 buah slompret (aerofon). Slompret adalah instrumen musik iringan reog
ponorogo yang terbuat dari bambu ori. Bentuknya mirip terompet dan seruling,
panjangnya sekitar 35 cm. Slompret terdiri dari 3 bagian, yaitu kepikan, cethor, dan
urung-urung. Kepikan adalah tempat yang ditiup, berada di bagian pangkal slompret,
di dalamnya dipasang lidah getar yang terbuat dari daun lontar kering atau daun
kelapa kering yang bisa menimbulkan suara jika ditiup. Urung-urungan adalah
bagian tengah slompret yang di lobangi sebanyak 5 buah, yang berfungsi untuk
mengatur tinggi rendahnya nada yang dihasilkan. Cethor adalah bagian ujung kayu,
diameternya lebih lebar dibanding pangkalnya. Slompret berfungsi untuk
menghasilkan melodi dalam iringan reog ponorogo. Lihat pada gambar dibawah ini:
Gbr.11 Slompret dan cara memainkannya
3.6 Lagu Pengiring Tarian
Lagu-lagu yang digunakan sebagai pengiring tarian dalam setiap pertunjukan
di kabupaten Deli Serdang adalah pop Jawa popular, seperti: gendhing reogan yang
dimainkan pada saat mengiringi proses arak-arakan dan gendhing sampak dan lagu-
Universitas Sumatera Utara
lagu campursari yang digunakan pada saat pertunjukan atraktif atau pertunjukan yang
bersifat hiburan. Biasanya kedua gendhing dimainkan secara berulang-ulang,
misalnya dalam pertunjukan yang bersifat hiburan terdapat tiga kali penampilan yaitu
pertunjukan tari jathilan, pertunjukan tari bujangganong, pertunjukan tari barongan.
Setiap satu pertunjukan tari dimainkan satu lagu secara berulang-ulang sampai
pertunjukan selesai demikian seterusnya.
3.7 Pelaksana Pertunjukan
3.7.1 Sanggar Langen Budoyo
Langen Budoyo adalah nama satu kelompok atau sanggar seni yang ada di
kabupaten Deli Serdang. Sanggar ini merupakan pusat latihan kesenian tradisional
khas Jawa Timur yaitu reog ponorogo yang meliputi tari, drama dan musik, selain itu
sanggar ini juga membina kesenian tradisional khas Jawa lain yang bukan berasal dari
Jawa Timur seperti : Ludruk, Wayangan, Kuda Lumping dan Ketoprak.
Nama Langen Budoyo itu sendiri merupakan perpaduan dari bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa. Langen berarti senang dan, budoyo (berasal dari kata budaya) yang
berarti kesenian. Jadi kata Langen Budoyo dapat diartikan sebagai kumpulan orang-
orang Jawa yang senang berkesenian15
.
15 Wawancara dengan bapak Miseni selaku sesepuh dan pendiri sanggar Langen Budoyo.
Universitas Sumatera Utara
3.7.2 Sejarah Berdirinya
Sanggar Langen Budoyo terbentuk pada tanggal 28 Januari 2008 oleh Bapak
Miseni dan sanggar ini berada dibawah naungan Forum Masyarakat Jawa Deli.
Berdasarkan usia sanggar ini masih tergolong sangat muda, namun pada dasarnya
sanggar kesenian ini sudah ada di kabupaten Deli Serdang sejak tahun 1970 dan
sudah memiliki banyak pengalaman dalam mengadakan pertunjukan. Setelah 38
tahun berkarya dan melakukan pertunjukan diberbagai tempat barulah kelompok ini
resmi dan memiliki nama, hal ini dikarenakan sejak awal kemunculannya kelompok
ini berdiri sendiri dan tidak ada satu organisasi pun yang menaunginya segala
sesuatunya mereka lakukan berdasarkan musyawarah mufakat bersama antar anggota
kelompok kesenian. Karena tujuan utama kelompok kesenian ini dibentuk adalah
untuk melestarikan serta mengembangkan kesenian tradisionalnya diluar daerah
asalnya. Selain itu, kelompok kesenian ini mengalami kesulitan dalam hal
memperoleh izin dari pemerintahan serta harus melewati beberapa prosedur yang
panjang dan cukup lama. Namun, kelompok kesenian ini tidak putus asa dan terus-
menerus mencoba sampai memperoleh izin. Sampai saat ini sanggar Langen Budoyo
mampu bertahan dan tetap eksis, karena sanggar ini jugalah banyak masyarakat tahu
dan mengenal kesenian tradisional Jawa ini.
Sejak awal munculnya hingga saat ini sanggar langen budayo sudah banyak
melakukan pertunjukan diberbagai tempat dan acara, seperti : tahun 1970 menyambut
bapak Presiden Soeharto pada acara peresmian Tapian Daya Sumatera Utara, acara
pelantikan Satgas Joko Tinggih di kabupaten Deli Serdang, acara Imlek bersama di
Universitas Sumatera Utara
Lubuk Pakam, acara peresmian Suzuya di Tanjung Morawa, acara pelantikan
Paguyuban Rembuk di pasar IX Saentis, acara khitanan (sunatan) di Pakam, Binjai,
Marelan, Tanjung Morawa, Bandar Setia dan Pulau Brayan, pesta perkawinana di
Stabat, Batang Kuis, Tuntungan, dan Tembung, menyambut Sri Sultan
Hamangkubuwono X pada acara peresmian Hotel Antares di Medan.
Dalam setiap pertunjukannya sanggar Langen Budoyo mampu membuat para
penonton takjup dan terkesima dengan pertunjukan yang mereka bawakan. Adapun
susunan kepengurusan sanggar Langen Budoyo adalah sebagai berikut : Suparno
sebagai Ketua, Ngatiman sebagai Sekretaris dan Samuri sebagai Bendahara.
3.7.3 Keanggotaan
Anggota sanggar Langen Budoyo terdiri dari para peminat dan pencinta seni.
Yang dapat diterima menjadi anggota sanggar Langen Budoyo adalah orang-orang
yang suka dan senang berkesenian, serta orang-orang yang ingin mengetahui,
mempelajari, dan mengembangkan budayanya.
Sebelumnya yang menjadi anggota sanggar Langen Budoyo adalah orang-
orang Jawa perantau dan setelah sanggar ini resmi jumlah anggotanya cukup banyak
yang terdiri dari 30 orang anak-anak dan 30 orang dewasa. Anggota sanggar Langen
Budoyo ini berasal dari masyarakat sekitar, anggota keluarga dan kerabat.
Untuk menjadi anggota sanggar Langen Budoyo sangatlah mudah serta tidak
memerlukan prosedur. Bagi masyarakat yang berminat mempelajari tentang kesenian
Universitas Sumatera Utara
Jawa cukup datang dan mengikuti latihan dengan baik sudah resmi dianggap sebagai
anggota sanggar.
3.7.4 Pelatihan
Sanggar Langen Budoyo memiliki jadwal latihan pada hari Selasa malam
dimulai dari pukul 19.00 s/d 23.00 Wib. Jam latihan tersebut dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu dari jam 19.00 s/d 21.00 Wib dipergunakan untuk waktu latihan anak-anak
sedangkan jam 21.00 s/d 23.00 Wib dipergunakan untuk waktu latihan orang dewasa.
Yang membedakan latihan tari dan musik hanya pada tempat saja, tetap didalam
lingkup sanggar. Misalnya latihan musik diruang belakang dan latihan tari diruang
depan setelah satu jam setengah latihan keduanya digabungkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERTUNJUKAN REOG PONOROGO DALAM UPACARA PERKAWINAN
MASYARAKAT JAWA
4.1 Upacara Perkawinana Pada Masyarakat Jawa
Secara umum pengertian perkawinan adalah menyatukan dua insan manusia
yang awalnya sama-sama hidup sendiri menjadi hidup berdampingan dan saling
mengisi satu sama lain. Dalam hal ini masyarakat Jawa masih melakukan beberapa
adapt untuk menjelang perkawinan dan bagian ini penulis akan menjelaskan tentang
bagaimana tahapan-tahapan dalam upacara perkawinan masyarakat Jawa yang
dilaksanakan di rumah. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam perkawinan
masyarakat Jawa adalah sebagai berikut: (1) Nleresel yaitu calon mempelai pria
menjajaki calon mempelai wanita yang ingin diperistrinya; (2) Melamar yaitu calon
mempelai pria datang kerumah calon mempelai wanita untuk menemui kedua orang
tua calon mempelai wanita dan meminta anak perempuannya untuk dijadikan istri; (3)
Pinangan yaitu memberikan sesuatu yang menjadi tanggung jawab calon mempelai
pria seperti yang telah dijanjikan oleh pihak keluarga calon mempelai pria kepada
keluarga calon mempelai wanita berupa perlengkapan seperti tempat tidur, lemari dan
uang untuk keperluan lainnya; (4) Kemudian calon mempelai pria memberikan suatu
barang berupa pengikat kepada calon mempelai wanita sebagai tanda jadinya dan
sebagai bukti si calon mempelai wanita tersebut sudah menjalin perjanjian ikatan
cinta; (5) Berikutnya kedua belah pihak keluarga calon mempelai menentukan hari
Universitas Sumatera Utara
jadi perkawinan baik itu dari segi hari, tanggal, bulan, tahun dan jam; (6) Biasanya
menjelang beberapa hari pernikahan sang calon mempelai wanita tidak diperbolehkan
keluar rumah dan beraktivitas (dipinggit), selain itu calon mempelai wanita juga
harus melakukan puasa beberapa hari menjelang perkawinan juga tidak
diperbolehkan untuk mandi sesuai dengan anjuran bidang pengantin; (7) Menjelang
hari perkawinan sang calon mempelai wanita melakukan luluran untuk membersihkan
semua kotoran ditubuhnya; (8) Siraman yaitu mandi bunga yang dilakukan oleh
orang tua calon mempelai wanita beserta keluarga kepada kedua mempelai ditempat
yang berbeda, setelah selesai siraman kedua mempelai melakukan sungkem dikaki
kedua orang tua calon mempelai wanita untuk memohon do’a restu agar dimudahkan
dari segala urusan menjelang perkawinan nanti; (9) Ijab Qobul yaitu calon mempelai
pria mengucapkan janji perkawinan dihadapan para saksi yaitu Pemuka Agama dan
para wali nikah. Setelah itu mempelai pria dibawa kesuatu tempat yaitu suatu rumah
yang letaknya tidak jauh dengan lokasi pesta untuk berganti pakaian begitu juga
dengan mempelai wanita berhias diri secantik mungkin oleh bidang pengantin; (10)
Setelah selesai berganti pakaian dan berhias mempelai pria diarak menuju rumah
mempelai wanita, sesampainya dirumah mempelai wanita mereka melakukan tukar
bale (Geger mayang) antara pihak pria kepada pihak wanita kemudian kedua
mempelai melakukan lempar sirih lalu kedua mempelai memijak telur yang
dibungkus di dalam plastic, kemudian kaki mempelai pria dibasuh oleh mempelai
wanita dengan air bunga, dan kedua mempelai sungkem kepada orang tua kedua
belah pihak untuk memohon doa restu dalam mengarungi bahtera perkawinan; (11)
Kemudian kedua mempelai dibawa menuju pelaminan oleh seorang nenek tua yang
Universitas Sumatera Utara
sudah janda dengan kain gendongan yang diikatkan pada kedua mempelai; (12)
Kemudian dilakukan Marhaban oleh ibu-ibu pengajian serta tepung tawar yang
pertama sekali dilakukan oleh pihak wanita sampai selesai dan dilanjutkan oleh pihak
pria sampai dengan selesai lalu diakhiri dengan Do’a; (13) Ngunduh yaitu pesta yang
dilakukan dirumah mempelai pria satu minggu setelah pesta di rumah mempelai
wanita.
Ada beberapa manfaat perkawinan menurut kepercayaan yang dianut
masyarakat Jawa, yaitu: (1) perkawinan untuk memperoleh keturunan serta menjamin
keturunan yang sah dan sebagai tempat berlindung dihari tua; (2) perkawinan dapat
memupuk karakter, khususnya rasa social yang mendalam; (3) dengan perkawinan
akan menjamin status seseorang dan terhindar dari perzinahan; (4) perkawinan
merupakan tempat untuk menunjukan rasa kasih sayang, tolong menolong, kebaikan,
dan saling memiliki satu dengan yang lain (Thomas,1997:215).
Dalam sistem perkawinan masyarakat Jawa terdapat lima jenis perkawinan
yaitu:
1. Perkawinan antara perjaka dengan perawan
Perkawinan ini disebut sebagai tigas (masih suci/belum pernah
kawin).Pelaksanaan upacaranya yaitu memakai upacara panggih.
2. Perkawinan antara saudara misan dan menurut silsilah pengantin putri lebih
tua, pelaksanaannya harus didahului dengan syarat pengantin pria mencangkul
tumpeng. Dilakukan sebelum upacara panggih dengan cara berdiri menerjang
lawe wenang, setelah itu baru dilaksanakan upacara panggih
Universitas Sumatera Utara
3. Perkawinan antara saudara misan dan menurut silsilah pengantin pria lebih
tua, pelaksanaannya mempelai putri hanya melakukan menerjang lawe
wenang setelah itu baru dilaksanakan upacara panggih.
4. Perkawinan antara perjaka dengan janda tanpa anak, persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan upacara perkawinan adalah pengantin pria
menyiram bugel (kayu yang dibakar untuk memasak dan masih membara.
Upacara ini dilakukan didepan pintu sebelum upacara panggih.
5. Perkawinan antara perawan dengan duda tanpa anak, dalam perkawinan
seperti ini yang harus menyiram bugel adalah pengantin wanita dan
pelaksanaannya juga dilakukan didepan pintu sebelum upacara panggih
(Marmien,1990:106).
4.2 Pendukung Pertunjukan Reog Ponorogo
4.2.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Pertunjukan
Waktu pelaksanaan pertunjukan biasanya telah ditentukan jauh-jauh hari
sebelum pelaksanaan pertunjukan. Kedua belah pihak telah melakukan kesepakatan
dengan cara pihak yang akan melaksanakan acara menghubungi atau datang langsung
ke sanggar Langen Budoyo untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut
pelaksanaan pertunjukan, misalnya saja seperti masalah waktu pertunjukan. Waktu
adalah hal penting yang harus diketahui oleh pihak sanggar agar pihak sanggar dapat
menyesuaikan dengan jadwalnya yang lain agar tidak terjadi bentrokan. Pihak
Universitas Sumatera Utara
sanggar juga harus mengetahui dimana lokasi pertunjukan sehingga pihak sanggar
lebih dapat mengetahui apa saja yang dibutuhkan dilokasi pertunjukan tersebut.
Waktu untuk melaksanaan pertunjukan reog ponorogo adalah pada saat siang
menjelang sore hari berkisar antara jam 14.00 s/d 18.00 Wib. Pertunjukan reog
ponorogo tidak pernah dilakukan malam hari, jika dilakukan malam hari pertunjukan
tidak dapat berlangsung dengan baik karena dalam setiap pertunjukannya reog
ponorogo dilakukan ditempat terbuka dan luas. Siang hari merupakan waktu yang
efisien karena para pemain dapat mengetahui lebih jelas lagi bagaimana tempat
pertunjukan dan bisa merasakan keberadaan penonton sehingga para pemain tidak
perlu khawatir akan mengenai penonton. Biasanya pertunjukan reog ponorogo
dilakukan pada hari libur, yaitu Sabtu dan Minggu karena pada hari itulah para
penonton dan pemain tidak beraktivitas.
Reog ponorogo biasanya ditampilkan pada tempat-tempat terbuka, misalnya
di jalan, di lapangan, dan pekarangan yang luas. Pada lokasi pertunjukan ini tidak
memerlukan persiapan khusus, seperti panggung, serta palang pembatas yang
digunakan untuk membatasi antara para pemain dan penonton. Tempat pertunjukan
ini dibutuhkan pada saat mengiring penganten pria menuju rumah penganten
wanitanya, mengantarkan penganten sunat, serta pementasan keliling untuk upacara
bersih desa.
Universitas Sumatera Utara
Jika yang bersangkutan tidak memiliki lokasi yang memungkinkan untuk
melakukan pertunjukan, maka yang bersangkutan mencari tempat atau lapangan
terbuka yang bisa dijadikan tempat pesta. Misalnya saja tetangga yang bersangkutan
memiliki pekarangan yang luas maka yang bersangkuta mendatangi tetangganya
tersebut untuk meminta izin meminjam pekarangannya untuk lokasi pertunjukan,
biasanya izin tidak susah untuk didapatkan karena sistem kekeluargaan mmasyarakat
setempat sangat erat.
Sewaktu-waktu panggung juga akan dibutuhkan jika festival reog diadakan.
Pada tahun 1993 festival reog ponorogo diadakan di Jawa Timur tepatnya di
kabupaten ponorogo dan festival tersebut hanya ada dan masih berlaku di ponorogo
saja. Dengan demikian pertunjukan reog ponorogo dapat disajikan dengan dua
macam cara, yaitu di jalan atau lapangan terbuka dan di panggung pertunjukan yang
disebut sebagai festival reog ponorogo.
4.2.2 Pemusik
Dalam setiap pertunjukan reog ponorogo pemusik terdiri dari 12 orang yaitu:
satu orang pemain kendang, satu orang pemain gong, satu orang pemain angklung,
satu orang pemain slompret, satu orang pemain ketipung dan satu orang pemain
kenong. Dan sisanya sebagai pemain pengganti apabila pemusik yang pertama sudah
merasa kelelahan sebagian lagi sebagai pemandu sorak (orang yang berteriak-teriak)
untuk membuat suasana pertunjukan lebih meriah dan semarak.
Universitas Sumatera Utara
4.2.3 Penari
Dalam setiap pertunjukan reog ponorogo selalu identik dengan tarian karena
pertunjukan reog ponorogo merupakan pertunjukan sendratari16
4.2.4 Penonton
. Para penari
pendukung pertunjukan ini adalah penari jathilan yang diperankan oleh para wanita
dengan menggunakan kuda lumping. Dulunya para penari jathilan ini diperankan oleh
pria yang berprofesi sebagai gemblak hal ini dikarenakan pada masa kerajaan tidak
ada prajurit perempuan.
Sebagai sebuah pertunjukan yang berlangsung di jalan dan lapangan terbuka
penonton dapat mengambil posisi tertentu dari awal hingga pertunjukan berakhir.
Pada saat arak-arakan penonton juga dapat mengikuti rute perjalanan rombangan reog
tersebut dari awal sampai akhir perjalanan, sesekali rombongan reog tersebut berhenti
ditengah jalan dan melakukan berbagai macam atraksi untuk menarik perhatian
orang-orang yang sedang lalu lalang dengan cara itulah semakin banyak orang
berbondong-bomdong mengikuti rombongan reog ini hingga kembali ketempat
pertunjukan semula.
Sendratari adalah tari dramatik yang yang tidak berdialog.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Deskipsi Jalannya Pertunjukan
Pertunjukan reog ponorogo yang dilakukan pada upacara perkawinan
masyarakat Jawa memiliki beberapa tahapan sebagai berikut :
Pada pukul 10.00 wib akad nikah dilakukan bertempat dirumah mempelai
wanita sampai dengan pukul 12.00 wib. Setelah akad nikah selesai kedua mempelai
sungkem kepada orang tua kedua mempelai dengan tujuan untuk memohon do’a
restu.
Gbr.12 Proses akad nikah dan sungkem kepada orang tua kedua mempelai
Universitas Sumatera Utara
Setelah akad nikah selesai mempelai pria kembali kerumahnya untuk berganti
pakaian dan tepat pukul 14.00 wib rombongan mempelai pria sudah tiba didepan
lorong rumah mempelai wanita (tempat resepsi). Arak-arakan oleh reog ponorogo
dilakukan dengan berjalan kaki dimulai dari lorong sampai kerumah mempelai
wanita. Jika jarak rumah mempelai wanita jauh maka mempelai pria mulai diarak
dengan menaiki kendaraan seperti becak mesin dan diturunkan didepan lorong rumah
mempelai wanita. Dari lorong tersebut mempelai pria diarak sampai kedepan rumah
mempelai wanita dengan naik diatas dhadhak merak, sesampainya didepan rumah
mempelai wanita maka mempelai pria diturunkan dari atas dhadhak merak dan para
pemain beristirahat sejenak untuk menantikan pertunjukan berikutnya dimulai.
Gbr.13 Mempelai pria diarak dengan naik diatas dhadhak merak
Kedatangan mempelai pria sudah dinantikan oleh mempelai wanita beserta
keluarganya didepan rumah. Sesampainya didepan rumah mempelai wanita kedua
Universitas Sumatera Utara
mempelai melakukan tukar bale (geger mayang), namun keduanya tidak boleh saling
memandang. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.14 Pertemuan kedua mempelai dan saling tukar bale
Kemudian kedua mempelai melakukan upacara Balangan Sedah atau sering
disebut dengan lempar sirih, setelah itu disusul dengan berjabat tangan tanda saling
mengenal. Pada saat berjabat tangan kedua mempelai sudah diperbolehkan saling
memandang. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.15 Upacara Balangan Sedah (lempar sirih) dan keduanya saling berjabat tangan
Universitas Sumatera Utara
Setelah itu kedua mempelai mengelilingi wadah yang berisi bunga, air serta
telur yang masih utuh sebanyak 5 kali. Kemudian mempelai pria menginjak telur
yang telah disediakan sampai pecah dan mempelai wanita membersihkan kaki
mempelai pria dengan air bunga. Kemudian mempelai wanita sungkem kepada
mempelai pria, setelah semua selesai do’a dipanjatkan agar perkawinan yang
dilaksanakan dapat berjalan dengan baik. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.16 Kedua mempelai mengelilingi wadah berisi air dan bunga sebanyak 5 kali
sambil berjabat tangan.
Gbr.17 Mempelai pria menginjak telur dan mempelai wanita membersihkan kaki
mempelai pria dengan air bunga.
Universitas Sumatera Utara
Selesai berdoa kedua mempelai menuju pelaminan untuk disandingkan, kedua
mempelai diantar kepelaminan dengan cara digendong oleh ibu dari mempelai
wanita. Lihat pada gambar dibawah ini:
Gbr.18 Kedua mempelai menuju pelaminan untuk disandingkan
Setelah bersanding dipelaminan kedua mempelai saling menyuapi makanan
dan minuman, dilanjutkan dengan acara wirid yang dilakukan oleh ibu-ibu pengajian
yang bertujuan mendoakan kedua mempelai dan keluarga. Setelah wirid selesai
dilanjutkan acara tepung tawar dari keluarga dua belah pihak. Lihat gambar dibawah
ini:
Gbr.19 Kedua mempelai saling menyuapi
Universitas Sumatera Utara
Setelah semua rangkaian acara selesai dilakukan barulah pertunjukan reog
ditampilkan untuk menghibur para tamu undangan sambil bersantap siang. Namun,
satu jam sebelum pertunjukan arak-arakan dimulai para sesepuh melakukan ritual
demi kelancaran acara tersebut. Adapun perlengkapan ritual adalah kemenyan, satu
bungkus kembang tujuh rupa, satu piring nasi lengkap dengan lauk pauknya, satu
gelas es dawet, satu gelas air darem (terbuat dari campuran kunyit, asam Jawa, dan
gula merah) dan rokok. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.20 Perlengkapan ritual (sesajen)
Semua sesajen tersebut diletakan didepan topeng yang akan digunakan
seperti: dhadhak merak, dan topeng bujangganong. Kemenyan dibakar, rokok
diselipkan ditelinga topeng dhadhak merak dan bunga ditaburi disekitar lapangan
pertunjukan. Setelah ritual selesai semua perlengkapan ritual berupa sepiring nasi
beserta lauknya, es dawet, air darem disantap oleh para pemain sebagai bekal mereka.
Lihat gambar dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Gbr.21 Semua sesajen diletakkan didepan topeng yang akan digunakan.
Pertunjukan reog ponorogo sebagai hiburan dimulai dengan pertunjukan
tarian oleh bujangganong selama 15 menit dengan menampilkan gerakan-gerakan
tarian yang atraktif dengan berguling-guling dan melompat kesana-kemari sambil
mengajak para penonton berinteraksi dengan sesekali mendekatkan diri pada
penonton. Lihat gambar dibawah ini:
Gbr.22 Pertunjukan tari Bujangganong
Setelah itu dilanjutkan dengan tarian jathilan yang dibawakan oleh 2 orang
gadis yang menaiki kuda selama 20 menit, dulunya yang menarikan ini adalah kaum
Universitas Sumatera Utara
lelaki yang disebut sebagai gemblak dan tarian ini bernama tari kuda lumping. Lihat
gambar dibawah ini:
Gbr.23 Pertunjukan tari Jathilan
Setelah tarian pembuka selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan
pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Dalam pertunjukan ini
adegan percintaan dilakukan oleh para jathilan yang mencoba menarik perhatian para
pembarong dengan tarian yang mereka bawakan, setelah para pembarong tertarik
mereka akan mendekati para penari jathilan untuk sekedar memandang ataupun
mencium para penari jathilan tersebut. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya
menampilkan cerita bertemakan pendekar.
Adegan dalam pertunjukan reog ponorogo biasanya tidak mengikuti skenario
yang tersusun dengan rapi. Dalam setiap pertunjukan selalu ada interaksi antara para
pemain dengan dalang (biasanya yang menjadi pimpinan rombongan atau sesepuh)
terkadang juga interaksi dengan para penonton. Pada saat pementasan seorang pemain
Universitas Sumatera Utara
dapat digantikan oleh pemain lain karena sudah merasa kelelahan, biasanya
pergantian pemain sering terjadi pada pembarong yaitu pemain yang memakai topeng
dhadhak merak. Dalam setiap pertunjukan hal yang paling penting adalah dapat
memberikan kepuasan pada para penonton.
Dalam setiap pertunjukan reog ponorogo yang menjadi pertunjukan terakhir
adalah pertunjukan yang dilakukan oleh pembarong, biasanya dilakukan selama 30
menit dimana pemain memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang
terbuat dari bulu burung merak yang biasa disebut dengan dhadhak merak. Biasanya
setiap pembarong melakukan berbagai macam atraksi dengan mengangkat para
penonton diatas dhadhak merak dan dibawa berkeliling, gerakan tarian yang
ditampilkan seperti silat, selain itu juga para pembarong melakukan atraksi seperti
berguling-guling ditanah dengan topeng yang masih melekat. Topeng yang berat ini
dimainkan oleh penarinya dengan menggunakan gigi saja dan topeng yang berat itu
digerakan hanya dengan kekuatan gigitan saja kemampuan untuk memainkan topeng
ini diperoleh dengan latihan yang berat selain itu juga diperoleh melalui latihan
spiritual seperti berpuasa dan bertapa.
4.4 Fungsi Reog Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa
Dalam upacara adat perkawinan masyarakat Jawa reog ponorogo memiliki
dua fungsi, yaitu sebagai arak-arakan dan sebagai hiburan. Kedua fungsi reog
ponorogo tersebut akan penulis jelaskan secara lengkap seperti pembahasan berikut
ini:
Universitas Sumatera Utara
4.4.1 Reog Sebagai Arak-arakan
Dalam setiap pertunjukan reog ponorogo selalu diawali dengan mengarak-
arak rombongan keluarga besar mempelai pria hingga sampai kerumah mempelai
wanita. Arak-arakan dilakukan dengan cara menaikkan mempelai pria diatas dhadhak
merak dan dibawa keliling kampung (lokasi pesta).
Hal ini dilakukan dengan tujuan memperlihatkan keberanian dan kesiapan
mempelai pria kepada pasangannya. Pada saat proses arak-arakan berlangsung
banyak para ibu-ibu yang sedang mengendong bayinya menghampiri mempelai pria,
para ibu-ibu tersebut ingin bayinya dicium oleh mempelai pria.
Menurut kepercayaan orang-orang Jawa yang ada didesa tersebut hal ini
dipercaya dapat menolak bala serta penyakit agar tidak menghampiri sianak tersebut,
sehingga sianak selalu sehat dan terhindar dari apapun. Dalam hal ini sang mempelai
pria diibaratkan sebagai seorang Raja17
yang mampu memberikan kesejahteraan
kepada rakyatnya karena pada zaman dahulu seorang Raja mempunyai kekuatan,
kebijaksanaan, serta kekuasaan yang dapat mensejahterakan, melindungi, dan
mengayomi rakyatnya dari berbagai penderitaan serta penyakit karena keberhasilan
seorang Raja memimpin dapat dilihat dari kondisi rakyat dan kerajaan yang
dipimpinnya.
17 Setiap pengantin selalu disebut dengan Raja dan Ratu sehari yang disandingkan dipelaminan yang dianggap sebgai singgasana. Informasi ini penulis peroleh dari salah seorang Ibu yang memberikan anaknya untuk dicium pengantin pria.
Universitas Sumatera Utara
4.4.2 Reog Sebagai Hiburan
Reog ponorogo yang ditampilkan dalam upacara perkawinan masyarakat Jawa
selain sebagai arak-arakan, juga berfungsi sebagai hiburan bagi para tamu undangan
yang hadir. Pertunjukan reog ponorogo bukanlah suatu keharusan dalam setiap
upacara perkawinan masyarakat Jawa, sehingga pertunjukan ini bisa ada dan bisa
juga tidak ada dalm rangkaian upacara perkawinan.
Secara keseluruhan pertunjukan reog ponorogo mampu menghidupkan
suasana lebih meriah, dari suasana yang benar-benar sacral dan suci. Hal ini dapat
terlihat dari antusias para tamu undangan yang menyaksikan pertunjukan reog
ponorogo, mereka sangat merasa terhibur karena atraksi yang dilakukan oleh para
pemain dan kemasan pertunjukan yang sangat memukau.
Pada dasarnya reog ponorogo sudah banyak mengalami pergeseran dan
perubahan terlebih lagi pada masa sekarang ini, namun hal ini tidak membuat
kesenian ini memudar dan menghilang dari peredaran malah semakin berkembang
ditengah-tengah kebudayaan lainnya.
Untuk acara informal reog ponorogo berfungsi sebagai sarana hiburan dan
rekreasi pada setiap lapisan masyarakat. Pertunjukan reog ini sangat dinanti-nanti
oleh masyarakat karena pada setiap pertunjukannya kepuasan penonton yang lebih
diutamakan, penonton dapat bebas melibatkan diri dalam setiap pertunjukan tanpa
ada batas dan hambatan. Untuk acara formal reog ponorogo berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
rombongan yang menyambut para petinggi Negara yang akan datang ataupun
meresmikan sebuah tempat.
Walaupun reog ponorogo merupakan kesenian tradisional Jawa, tetapi tidak
menutup kemungkinan pertunjukan reog dapat dilakukan diantara orang-orang yang
bukan berasal dari suku Jawa. Misalnya saja diluar suku Jawa reog ponorogo dapat
ditampilkan pada saat peresmian gedung atau tempat, dan pada peringatan Hari Besar
Nasional. Dalam hal ini reog ponorogo hanya berfungsi sebagai hiburan bagi seluruh
lapisan masyarakat yang ada ditempat acara tersebut.
Pada masyarakat Jawa sendiri pertunjukan dilakukan diberbagai acara yang
bersifat hajatan, misalnya dalam upacara perkawinan reog ponorogo tidak harus
selalu ada. Ada dengan tidak adanya pertunjukan reog ponorogo upacara perkawinan
dapat dilangsungkan karena pertunjukan reog ponorogo bukan satu keharusan dan
kewajiban dalam setiap acara baik perkawinan maupun khitanan. Orang-orang Jawa
yang dapat menampilkan pertunjukan reog ponorogo dalam acara hajatan maupn
pernikahan hanyalah orang-orang yang mampu dan memiliki rezeki berlebih.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
5.1 Rangkuman
- Masyarakat Jawa memiliki beaneka ragam kesenian tradisional. Salah satu bentuk
kesenian tradisioanal tersebut adalah reog ponorogo yang meliputi tari, musik dan
drama (non dialog).
- Dalam tradisi masyarakat Jawa, reog ponorogo selalu disajikan diberbagai upacara
dan acara baik yang bersifat formal maupun informal. Salah satunya adalah
pertunjukan reog ponorogo pada upacara perkawinan masyarakat Jawa.
-Reog ponorogo berasal dari daerah Jawa Timur, tepatnya di daerah Ponorogo.
Kesenian ini masuk ke Sumatera Utara disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya
adalah karena kesenian ini dibawa dengan tujuan untuk diperkenalkan oleh orang-
orang Jawa yang bermigrasi kedaerah kabupaten Deli Serdang.
- Sesampainya di kabupaten Deli Serdang kesenian ini mengalami banyak perubahan
dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan tersebut dapat dilihat pada : para
pemain/tokoh, lagu pengiring, tema cerita, gerak tari, kostum serta riasan. Semua
perubahan itu dilakukan untuk membuat pertunjukan lebih terasa hidup dan
mempersingkat waktu pertunjukan.
Universitas Sumatera Utara
-Di kabupaten Deli Serdang terdapat 3 sanggar seni yang dapat melakukan
pertunjukan reog ponorogo, salah satunya adalah sanggar Langen Budoyo.
- Pendukung pertunjukan kesenian reog ponorogo adalah; (1) pihak penyaji yang
terdiri dari 10 orang pemusik yang semuanya pria, 2 orang sesepuh, 2 orang
bujangganong (penari pria), 2 orang pembarong (penari pria), 2 orang jathilan (penari
perempuan), serta 2 orang partisipan yang keduanya adalah pria; (2) penonton
sebagai pihak penerima pesan dari penyaji.
- Instrumen musik yang biasa digunakan untuk mengadakan pertunjukan reog
ponorogo adalah: 1 buah gong besar, 2 buah kenong, 1 buah kendang berukuran
besar, 1 buah ketipung (kendang berukuran kecil), 2 buah angklung, dan 1 buah
salompret. Instrumen ini digunakan untuk mengiringi tarian dalam setiap
pertunjukan.
- Dalam pertunjukan reog ponorogo terdapat beberapa fungsi dalam penyajiannya
terhadap upacara perkawinan tersebut
5.2 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka dapat ditarik
kesimpilan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Seni pertujukan reog ponorogo yang terdapat di kabupaten Deli Serdang
digunakan dalam upacara perkawinan, acara khitanan, hari-hari besar Nasional serta
pada acara bersih desa.
Pertunjukan Reog ponorog pada upacara perkawinan masyarakat Jawa di
kabupaten Deli Serdang, memiliki beberapa fungsi. Diantaranya adalah sebagai arak-
arakan rombongan pengantin pria dan sebagai hiburan bagi para tamu undangan.
Dalam setiap pertunjukannya reog ponorogo selalu mengutamakan kepuasan
penonton, pertunjukan reog di Jawa Timur biasanya mengutamakan tema cerita dan
permaianan yang ditampilkan oleh para pemain/tokoh sehinnga lebih terkesan
monoton, sedangkan di kabupaten Deli Serdang tema cerita bukanlah hal yang utama
melainkan dapat membuat suasana senang dan riang gembira bagi para penonton.
Pertunjukan reog ponorogo tidak harus menggunakan panggung yang besar
melainkan dihalaman rumah yang luas serta lapangan terbuka yang tidak memiliki
batas antara para pemain dengan penonton, sehingga secara spontan penonton dapat
turut serta dalam pertunjukan tersebut tanpa merusak jalannya pertunjukan.
5.3 Saran
Reog ponorogo merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Oleh
karena itu, jangan sampai aset ini dirusak atau tidak dilestarikan. Seperti yang kita
Universitas Sumatera Utara
ketahui bahwa negara tetangga telah mengklaim bahwa reog ponorogo adalah
kesenian mereka, hendaklah kita sebagai warga negara Indonesia yang baik
mencintai, melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional yang kita miliki.
Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari bahwa masih sebagian kecil
yang penulis kaji dari sekian banyak permasalahan yang ada dan dapat diteliti.
Tulisan ini masih belum sempurna juga memiliki banyak kekurangan. Oleh karena
itu, apa yang sudah ditilis dalam skripsi ini masih merupakan informasi awal untuk
mendeskripsikan pertunjukan reog ponorogo pada upacara perkawinan. Penulis
berharap agar peneliti-peneliti lainnya dapat melanjutkan penelitian yang
berhubungan dengan kesenian masyarakat Jawa pada umumnya, dan khususnya seni
pertunjukan reog ponorogo.
Penulis juga mengharapkan partisipasi dari instansi yang terkait dengan
kebudayaan Jawa agar memberi dorongan yang kuat bagi masyarakat Jawa khusunya
untuk lebih mencintai dan senantiasa mengembangkan serta melestarikan
kebudayaannya. Penulis juga mengharapkan perhatian rekan-rekan mahasiswa/i
Etnomusikologi agar memperhatikan perkembangan disiplin Etnomusikologi di
Indonesia pada khususnya.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Fauzannafi, Zamzam M
2005 Reog Ponorogo: Menari Di Antara Dominasi dan
Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press.
Dewi, Heristina
1992 Jaran Kepang pada Masyarakat Desa Cengkeh Turi Sumatera Utara:
Suatu Studi Kasus Musik Dan Trance Dalam Konteks Sosio-Budaya.
Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Murgianto, Sal
1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas Batas Dan Arti
Pertunjukan. MSPI.
2002 Kritik Tari (bekal dan kemampuan dasar). Jakarta:MSPI.
Nababan, Isnawan
1998 Pertunjukan Tari Topeng Sidhakarya pada upacara Piodalan Dipura
Agung Raksana Bhuwana Kelurahan Polonia Medan. Skripsi. Jurusan
Etnomusikologi USU.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Fauzannafi, Zamzam M
2005 Reog Ponorogo: Menari Di Antara Dominasi dan
Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press.
Dewi, Heristina
1992 Jaran Kepang pada Masyarakat Desa Cengkeh Turi Sumatera Utara:
Suatu Studi Kasus Musik Dan Trance Dalam Konteks Sosio-Budaya.
Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Murgianto, Sal
1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas Batas Dan Arti
Pertunjukan. MSPI.
2002 Kritik Tari (bekal dan kemampuan dasar). Jakarta:MSPI.
Nababan, Isnawan
1998 Pertunjukan Tari Topeng Sidhakarya pada upacara Piodalan Dipura
Agung Raksana Bhuwana Kelurahan Polonia Medan. Skripsi. Jurusan
Etnomusikologi USU.
Universitas Sumatera Utara
Shanti, Rina
2000 Kajian Tekstual Musikal Pirarttenai Dalam Konteks Ramayanem Pada
Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Mariamman Medan. Skripsi.
Jurusan Etnomusikologi USU.
Minarda
1992 Studi Deskriptif Tentang Seni Pertunjukan Sigale-Gale Dalam Konteks
Hiburan Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Parsaoran Tomok
Pulau Samosir. Skipsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Simanjuntak, Christina
2000 Studi Deskriptif Tembang Ilir-Ilir Dalam Permainan Nini Thowok
Pada Masyarakat Jawa Di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Sujayanti, Emi
2000 Studi Deskriptif Dan Musikologis Pertunjukan Kesenian Kutulan Di
Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli
Serdang. Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Nursilah
2001 Reyog Ponorogo : Kajian Terhadap Seni Pertunjukan Rakyat Sebagai
Penbentuk Identitas Budaya. Tesis. Jurusan Antropologi
Universitas Sumatera Utara
Sedyawati, Edi
1981 Pertunbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan
1983 Kemungkinan Studi Antropologi Tari Indonesia. Journal of Studies
XII
Soedarsono, R.M
1985 Tari dan Ritual (musik dan ritual). Yogyakarta
Hartono
1980 Reyog Ponorogo. Jakarta: Depdikbud
Kusmayati, Hermien AM
1996 Peddug: Seni Pertunjukan Dalam Upacara Rokat Pandhaba Di
Madura. Surakarta:Mspi
H.S, Sunaryo, dkk
1997 Perkembangan Ludruk Di Jawa Timur: Kajian Analisis Wacana.
Jakarta: Depdikbud
Suryadinata, leo, dkk.
2003 Penduduk Indonesia: Etnis Dan Agama Dalam Era Perubahan
Politik. Pustaka LP3ES Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Suwondo, Bambang
1982 Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud
Ahimsa-Putra, Heddy Sri.(Ed)
2000 Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Yayasan Galang.
Senen, I Wayan
1983 Pengetahuan Musik Tari.Akademi Seni Tari Indonesia.
Pigeaud, Th.
1938 Pertunjukan Rakyat Jawa. Batavia: Volkslectuur.
Suparta.I Gusti Agung
1982 Pengantar Pengetahuan Tari. Surabaya: Sabhadaya.
Universitas Sumatera Utara