Upload
lyhuong
View
254
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI HADIS-HADIS PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT
(Kajian Hadis Tematik)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Muhammad Syaman
NIM: 109034000072
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2014 M.
i
ABSTRAK
Muhammad Syaman, “Studi Hadis-hadis Pembacaan Basmalah Dalam Salat”
Skripsi ini membahas tentang studi hadis-hadis pembacaan basmalah
dalam salat. Mengenai basmalah, para ulama sepakat bahwa basmalah adalah
salah satu ayat dari surat al-Naml. Namun mereka berbeda pendapat tentang
membaca basmalah di awal bacaan al-Qur’an dalam salat. Perbedaan membaca
basmalah ketika salat ini menjadikan umat Islam terpecah-pecah, dan yang lebih
memprihatinkan lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca
basmalah dalam salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya
tidak sah. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Bagaimana
perspektif hadis terhadap masalah ini?
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis
sepenuhnya menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan
merujuk kepada sumber-sumber primer yang diketahui dari kitab-kitab hadis yaitu
al-Kutub al-Sittah sedangkan data sekunder merupakan pendukung yang masih
ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini.
Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan
metode deskriptif analitis yang melalui pengumpulan data dan pendapat para
ulama untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
Penelitian ini membuahkan kesimpulan bahwa yang menyebabkan
perbedaan di kalangan ulama terkait dengan pelafalan basmalah ketika salat
adalah bermacam-macamnya hadis yang saling bertentangan satu sama lain,
perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam al-Qur’an, dan
perbedaan dalam menafsirkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah ini.
Kata kunci: basmalah, hadis, jahr, sirr
ii
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang patut untuk dilafadzkan dan lebih indah kecuali
rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan karunia-
Nya. Teriring untaian salam semoga terlimpah ke pangkuan Nabi Muhammad
SAW., keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Sebuah karunia yang begitu besar ketika penulis telah menyelesaikan
skripsi ini walaupun dengan melalui proses yang begitu panjang dan berliku,
meski semua ini masih jauh dari kesempurnaan.
Terselesainya penulisan skripsi ini, tentu tidak merupakan hasil pribadi
penulis, namun keterlibatan berbagai pihak yang memberikan kontribusi dalam
terselesaikannya penulisan ini, baik itu berupa motivasi, bantuan pikiran, material
dan moral serta spiritual. Untuk itu ucapan terimakasih sedalam-dalamnya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr. Bustamin, M. Si., selaku pembimbing yang telah banyak membantu ,
membimbing, dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, saran-
saran, serta pengalaman yang sarat ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak
sekeluarga.
2. Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan
Jauhar Azizy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
iii
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Rifqi Muhammad Fathi, MA. Selaku Dosen Penasehat Akademik.
6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, seluruh staf dan
karyawan Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan dengan kesabaran
dan keramahan.
7. Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Syafi’ih dan Ibunda Namah yang
senantiasa memberi motivasi, bimbingan, kasih sayang, dan selalu
mendo’akan demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini, semoga Allah
menghadiahi mereka surga dan mengganjar kebaikan mereka dengan pahala
yang berlipat ganda.
8. Kepada kakak saya Abdul Shiddiq dan adik-adik penulis (Ahmad Mahfuddin,
Dewi Safitri dan Ahmad Rafiq) yang senantiasa memberi keceriaan,
mendoakan dan memberikan support-nya. Teriring doa semoga kelak menjadi
generasi yang saleh, penyejuk mata bagi orang tua, dan bermanfaat bagi
ummat.
9. Terimakasih kepada Nenek angkat tercinta, Siti Romlah (Almh) semoga
beliau diterima segala amal ibadahnya dan diampuni segala dosanya oleh
Allah SWT. serta di tempatkan di surganya Allah SWT., dan tak lupa pula
kepada cucu-cucunya (Kiki, Jojo, dan Ezi), teriring doa semoga kelak
iv
menjadi generasi yang saleh, penyejuk mata bagi orang tua, dan bermanfaat
bagi ummat.
10. Bapak H. Kukuh Rahardjo dan ibu Hj. Ningrum sekeluarga, yang telah
banyak membantu memberikan dukungan moril maupun materil serta doa
demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu
tercurah untuk Bapak dan Ibu sekeluarga.
11. Terimakasih juga kepada Ust. H. M. Suhendra al-Fata sekeluarga, yang telah
banyak membantu baik tenaga, motivasi, dan juga yang telah meminjamkan
motor & laptopnya hingga terselesaikannya skripsi ini.
12. Kepada teman-teman Ta’mir Masjid al-Mughirah (Kang Yadi, Aziz, ubay,
Suprima & Ridwan) serta segenap Pengurus Masjid al-Mughirah (Pakjo, Pak
Tamim, dll..)
13. Teman-teman penulis di mana pun berada, khususnya sahabatku (Azizatul
Iffah/Ipeh) yang telah rela & ikhlas meminjamkan laptopnya kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini. seluruh Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan
2009, khususnya kelas TH-C yang ganteng-ganteng & cantik-cantik (Zainal,
Taufiq, Dimas, Madun, Heri, Agus, Misbah, Mu’min,Mahdi, Rahmah, Ayu,
Lia, Nasroh, Ipeh) terimakasih untuk kebersamaannya selama ini.
14. Teman-teman KKN Hero (Dirly, Mahfudin, Ubay, Abror, Mufthi, Faiz,
Fitmau, Mila, May, Lulu, Neng Ratih, Dita dan Eka) teman di kala suka
maupun duka yang selalu setia memberikan bantuannya, memberi motivasi
dan semangat kepada penulis.
v
Dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak, semoga kebaikan dan
bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah SWT.
Penulis meminta maaf karena terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat memperbaiki skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.
Jakarta , 9 November 2014
Muhammad Syaman
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………...……………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………...………………………. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………....
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...……………………
7
C. Tinjauan Pustaka………………………………………………
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..…
9
E. Metodologi Penelitian……………………...………………….
9
F. Sistematika Penulisan…………………………………...…….
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BASMALAH
A. Makna Basmalah………………..……..………………………..
15
B. Keutamaan Basmalah………………………...……………….
19
C. Penafsiran Ulama Tafsir Terhadap Basmalah
1. Tafsiran Huruf al-Jâr (ب)……..…………………..………. 25
2. Tafsiran Lafal “27 .…………………...………..…………”اسم
3. Tafsiran Lafal “30 .………………...……..………………..”اهلل
4. Tafsiran Lafal “الرمحن” dan “32 ....…………...………… ”الرحيم
vii
BAB III HADIS-HADIS TENTANG PEMBACAAN BASMALAH
DALAM SALAT
A. Hadis Tentang Menyaringkan Basmalah
1. Teks Hadis…………………………………………………
37
2. Asbâbul Wurûd Hadis…………….…………………….….
41
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis………………...…..….
41
4. Analisa Hadis………………………………………..…..…
48
B. Hadis Tentang Tidak Menyaringkan Basmalah
1. Teks Hadis……………………………………..…………..
50
2. Asbâbul Wurûd Hadis ………………………………..……
55
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis ………….……………
55
4. Analisa Hadis………………………………………………
59
C. Pandangan Fuqaha Terhadap Basmalah………………...…….
61
D. Pendapat Mufasir Tentang Masalah Pembacaan Basmalah
Dalam salat…………………………………..………………..
70
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………
.
76
B. Saran…………………………………………...……………...
.
77
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 79
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini
berpedoman pada buku pedomanakademik UIN SyarifHidayatullah Jakarta
2013/2014.
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D Da د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
ix
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ض
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik keatas, menghadap kekanan ‘ ع
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ‘ ء
Y Ye ي
x
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal
alihaksaranya adalah sebagaiberikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u Dammah ـ
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ai a dan i _______ي
au a dan u _______و
Vokal Panjang(Madd)
Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
أـــــ â a dengan topi diatas
î i dengan topi diatas يـــــ
û u dengan topi diatas وــــــ
xi
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf
Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan
ad-diwan.
Syaddah (Tashdid).
Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang
secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-
darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh :
No Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طريقة 1
xii
al-jâmiah al-islâmiyah الجامعة االسالمية 2
Wahdat al-wujud وحدة الوجود 3
Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara
ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu
Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis Rasulullah merupakan sumber kedua setelah al-Qur‟an. Bagi umat
Islam hadis menjadi pedoman dalam menjalankan agamanya setelah al-Qur‟an,
karena itu sudah merupakan keharusan baginya untuk mengikuti segala perintah
dan menjauhi larangan yang terkandung di dalamnya.
Hadis sering dikonotasikan dengan sunnah, secara definisi adalah segala
sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik berupa perbuatan, perkataan
maupun persetujuan beliau atas segala permasalahan yang terjadi dikalangan
kaum muslimin.1 Pada pengertian ini dapat dipahami bahwa hadis adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah yang merupakan respon terhadap
segala persoalan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu.
Dalam agama Islam hadis memiliki peranan sangat penting, karena
bagaimanapun juga untuk memperoleh pemahaman keagamaan yang sempurna
diperlukan adanya petunjuk yang tidak hanya dari al-Qur‟an saja, sebagaimana
diketahui al-Qur‟an itu merupakan petunjuk yang universal oleh karenanya
dibutuhkan hadis sebagai petunjuk berikutnya. Bila ditinjau dari segi urutan dan
fungsinya, maka hadis menempati urutan kedua setelah al-Qur‟an, yang
merupakan sumber dalam mengambil segala keputusan yang menyangkut
persoalan-persoalan hidup umat manusia.2 Secara teknis dapat dijelaskan bahwa
1 Subhî al-Sâliḥ, „Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu, (Bayrût: Dâr al-„Ilmi Lilmayîn,
1988), h. 3. 2 M. Syuhudi Ismail, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), h. 72.
2
hadis merupakan penjabaran lebih lanjut tentang makna-makna yang ada dalam
al-Qur‟an, karena kenyataannya yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat
banyak sekali hal-hal yang secara langsung tidak ditemukan penjelasannya dalam
al-Qur‟an, akan tetapi hal tersebut ada dalam penjelasan Rasulullah yaitu hadis.
Rasulullah SAW. selalu mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai
lebih dalam beribadah, dalam menjalankan ibadah yang memang diwajibkan dan
juga menjalankan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan (ibadah sunnah). Bahkan
tidak hanya dalam hal ibadah, melainkan di dalam beraktivitas sehari-hari
Rasulullah SAW. mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai lebih
sekaligus mencari keberkahan dalam melakukan setiap pekerjaan, yaitu dengan
cara mengawalinya dengan membaca basmalah. Seorang muslim dianjurkan
membaca basmalah sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang baik. Yang
demikian itu adalah untuk mengingatkan bahwa pekerjaan itu dikerjakannya
karena perintah Allâh, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allâh-lah
dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan supaya
pekerjaan itu terlaksana dengan baik dan berhasil.3 Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW. :
ث نا أبو بكر بن أب شيبة وم ث نا بب يد عفو بن حد د بن ح ى ومدمد بن لف ا عسقلنايق ااعو حد دم
اال رسول عفو صفى عفو لوزبي بن ا رة بن عزقىري بن أب سفدمة بن أب ىري رة اال موسى بن 4فيو ببقم عفو عرحن عرحيم أاطع وسفم كلق أمرا ذي بالا ل ي بدأ بفيو
3 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci al-Qur‟an, 1983), h. 16. 4 Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah
(Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 6, hadis no. 4881, h. 5
3
“…Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Setiap pekerjaan
yang baik, yang tidak dimulai dengan (membaca) „Bismillâhirrahmânirrahîm‟, niscaya
terputus [berkahnya] (HR. Ibnu Mâjah)
Ketika seseorang membaca basmalah, maka makna-makna di atas yang
diharapkan menghiasi jiwanya. Ini membawa kepada kesadaran akan kelemahan
diri serta kebutuhan kepada Allâh. Orang yang membaca basmalah seharusnya
juga menghayati kekuatan dan kekuasaan Allâh, serta rahmat dan kasih sayang-
Nya yang tercurah bagi seluruh makhluk. Kalau yang demikian itu tertanam di
dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan,
karena perbuatan merupakan cerminan dari suasana kejiwaan. Seorang yang
sedang dirundung kesedihan atau sakit, keindahan baginya menjadi hampa,
sedang yang dimabuk asmara, segala sesuatu akan tampak indah di pelupuk
matanya. Ini karena “setiap wadah menumpahkan isinya”. Yang membaca
basmalah akan mencurahkan rahmat dan kasih sesuai pola Tuhan mencurahkan
rahmat-Nya yang tidak hanya menyentuh sang muslim, tetapi juga yang kafir,
bahkan seluruh makhluk tanpa kecuali.5
Dapat ditegaskan di sini bahwa apabila seseorang memulai pekerjaannya
dengan nama Allâh atau atas nama Allâh, maka pekerjaan tersebut akan menjadi
baik, indah dan benar, atau paling tidak akan terhindar pelakunya dari godaan
nafsu, atau dorongan ambisi dan kepentingan pribadi. Apabila seseorang
menjadikan pekerjaannya bertitik tolak dari pangkalan Ilahi dan demi karena Dia
Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu, maka pastilah pekerjaannya tidak akan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Ia bahkan akan membawa manfaat bagi
5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002)Vol. 1, h. 23
4
diri, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, bahkan kemanusiaan secara
keseluruhan.6
Pengucap basmalah ketika mengaitkan ucapannya dengan kekuasaan dan
pertolongan Allâh – bagi yang mengaitkannya dengan kata itu – maka seakan-
akan ia berkata: “Dengan kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya pekerjaan yang
saya lakukan dapat terlaksana”. Maka dari itu, apa pun aktivitas yang kita
lakukan, termasuk menarik dan menghembuskan nafas, makan atau minum, gerak
refleks atau sadar, diam atau bergerak, semuanya tidak dapat terlaksana tanpa
kekuasaan dan pertolongan Allâh.7 Karena sebelum datang Islam orang Arab
mengerjakan sesuatu pekerjaan adalah dengan menyebut al-Lâta dan al-„Uzza,
yaitu nama-nama berhala mereka. Sebab itu Allâh SWT. mengajarkan kepada
penganut-penganut agama Islam yang telah meng-Esa-kan Nya, supaya mereka
mengerjakan dengan menyebut nama Allâh.8
Di dalam al-Qur‟an ada 114 surat, semuanya dimulai dengan basmalah,
kecuali surat al-Taubah. Surat al-Taubah ini tidak dimulai dengan basmalah
karena memang tidak serasi kalau dimulai dengan basmalah. Di samping pada
permulaannya, basmalah ada disebutkan satu kali dipertengahan surat al-Naml
(ayat 30).9 Surat yang menempati urutan kedua puluh tujuh dalam susunan al-
Qur‟an. Dalam ayat ini, diceritakan bagaimana Nabi Sulaiman AS. memulai
suratnya yang dikirim dengan perantara seekor burung Hudhud kepada ratu Saba‟,
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 23
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 24l
8 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 16
9 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 13-14
5
konon bernama Balqis yang berisi ajakan untuk mengesakan Tuhan, dengan
basmalah.
Dari penjelasan singkat tentang basmalah di atas, para ulama sepakat
bahwa basmalah adalah firman Allâh SWT. yang tercantum dalam al-Qur‟an,
paling tidak pada surat al-Naml (QS 27:30). Tidak pula seorang ulama pun
mengingkari pentingnya mengucapkan basmalah pada awal setiap kegiatan.10
Tetapi mereka berbeda pendapat apakah basmalah merupakan ayat yang berdiri
sendiri pada awal setiap surat, ataukah merupakan bagian dari awal masing-
masing surat dan ditulis pada pembukaannya? Apakah basmalah itu merupakan
salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat al-Fâtihah saja dan bukan
surat-surat lainnya? Apakah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat
itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan merupakan ayat?.11
Selain terjadi perbedaan pendapat tentang penetapannya sebagai ayat
tersendiri (di dalam surat al-Fâtihah), terjadi juga perbedaan pendapat tentang
pembacaan secara jahr (nyaring) di dalam salat.12
Umat Muslim sepakat bahwa ketika salat wajib membaca surat al-Fâtiẖah.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW. :
ث نا ث نا لفويق بفي بن لقن حد ث نا سسدا بن إب رىيم بن ي سلوب حد بن بن صاعحا بن أب حد
ألب ره بئرىم من وجهو ف وسفم بفيو عفو صفى عفو رسول مج عذي يع عرب بن مدمود أن شهابا
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 25 11
Muhammad al-Caff, Tafsir Populer al-Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan Batin al-
Fâtihah Secara Mudah dan Sederhana (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011) cet. Ke-1, h. 87 12
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr al-
Hadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 64
6
بأم ي لرأ ل عدمن صناة ل اال وسفم بفيو عفو صفى عفو رسول أن ألب ره عصامت بن ببادة أن
13علرآن “... Dari „Ubâdah bin Shâmit r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda
bahwa tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca ʹUmmul Qur‟an.” (HR. Muslim)
Namun umat muslim berbeda dalam prakteknya ketika salat. Ketika kita
melaksanakan salat berjamaah misalnya, terkadang kita mendengar ada imam
yang membaca dan mengeraskan bacaan basmalah di awal surat al-Fâtihah dan
surat al-Qur‟an sesudahnya, namun terkadang kita tidak mendengarnya pada
imam yang lain. Perbedaan basmalah pada surat al-Fâtihah dalam salat
menjadikan umat Islam terpecah-pecah. Di Indonesia perbedaan tersebut
memaksa umat Islam untuk membangun dua masjid di satu kampung yang
penduduknya tidak lebih dari 100 kepala keluarga. Yang lebih memprihatinkan
lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca basmalah dalam
salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya tidak sah.
Realita ini sangat mencengangkan bagi siapa saja memahami Islam sacara tepat,
terlebih kondisi tersebut dipertahankan oleh kebanyakan tokoh agama dan
dilestarikan turun-temurun. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini?
Apa yang mendasari atau yang menjadi hujjah bagi masing- masing pendapat?
Bagaimana perspektif hadis terhadap masalah ini?
Agar lebih mendalam dalam penelitian skripsi ini, penulis bermaksud
menelusuri dan mengkaji hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat
dan mengangkat sebagai judul skripsi yaitu: “STUDI HADIS-HADIS
PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT (Kajian Hadis Tematik).”
13
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, (Bayrût:
Dâr al-Fikr, tth( hadis no. 597, juz 2, h. 351
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan pada skripsi ini, kiranya perlu dibuat pembatasan dan
perumusan masalah, penulis akan membatasi masalah pada skripsi ini dengan
hanya membahas tentang pembacaan basmalah dalam salat, dan menguraikan
hadis-hadis yang berkaitan dengannya yang ada di dalam kitab-kitab hadis ( al-
kutub al-sittah) saja.
Serta untuk melengkapi kajian ini penulis juga mengungkapkan beberapa
pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Dari pernyataan tersebut maka
dapat dirumuskan perincian masalah yang menjadi penunjang dalam pembahasan
yaitu, sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan perbedaan dalam masalah ini?
2. bagaimana perspektif hadis terhadap masalah pembacaan basmalah dalam
salat?
C. Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, ada satu buku yang
membahas tentang masalah basmalah, yaitu: Buku karya Saiful Anwar al-Batawy
dengan “Rahasia Kedahsyatan Basmalah.”
Selain itu, ada juga beberapa skripsi yang membahas tentang masalah
basmalah, diantaranya yaitu: Skripsi yang ditulis mahasiswa Ushuluddin dan
Filsafat, penulis menemukan tiga judul yang membahas tentang basmalah, yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Novi Kamelia, program studi Tafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Ta‟wil Mullâ Shadrâ terhadap
Basmalah dalam Surat al-Fâtihah”. Skripsi ini menjelaskan bahwa
8
basmalah dalam Ta‟wil Mullâ Shadrâ memiliki makna yang sentral karena di
dalamnya dijelaskan tentang ketauhidan, hingga benar adanya bahwa
basmalah merupakan induk dari al-Qur‟an karena tauhid adalah puncak dari
keimanan.
2. Skripsi yang ditulis oleh Harry Firmansyah, program studi Tafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Pemikiran Quraish Shihab
tentang Ketiadaan Lafaz Basmalah pada Awal Surat al-Taubah”. Dalam
skripsi ini dijelaskan bahwa surat ini masih bagian dari surat sebelumnya
yaitu surat al-Anfâl, oleh karenanya tidak perlu tertulis basmalah pada awal
surat ini yang akan menjadi pemisah antara surat ini dan surat sebelumnya.
3. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Gunawan, program studi Tafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan judul “Pemaknaan
Basmalah pada Surat-surat Juz „Amma dalam Tafsir al-Jîlani”. Skripsi
ini menjelaskan bahwa al-Jîlani memaknai basmalah pada setiap surat
sebagai bentuk dakwahnya bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan
basmalah.
Dari tinjauan pustaka di atas, maka posisi skripsi ini adalah membahas
basmalah dalam perspektif hadis yang disusun dalam skripsi yang berjudul
“Studi Hadis-hadis Pembacan Basmalah dalam Salat (Kajian Hadis
Tematik)”. Skripsi ini akan mencoba meneliti basmalah dalam perspektif hadis
yang termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
9
Dari sebagian kajian pustaka yang telah dipaparkan di atas, belum ada
yang membahas penelitian ini khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maka peneliti ingin mengkaji pembahasan ini lebih lanjut.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diketahui tujuan yang dicapai
dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kandungan hadis tentang pembacaan basmalah dalam
salat.
2. Untuk menambah kajian keilmuan hadis.
3. Sebagai Tugas Akhir, guna memperoleh gelar Sarjana (SI) dalam bidang
Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk menjawab persoalan yang telah diuraikan pada pokok masalah, maka
dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif, yakni berupa kata-kata
tertulis bukan berupa angka ataupun lapangan. Dengan demikian, penelitian ini
tergolong pada penelitian kualitatif14
deskriptif, atau bisa disebut dengan metode
dokumentasi. Sementara, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini termasuk
kategori penulisan konsep, yaitu jenis penelitian studi kepustakaan (library
research), yaitu melalui data yang lebih memerlukan olahan filosofik dan teoritik
14
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penulisan
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Lihat Lexy J. Moleong. Metodologi Penulisan Kualitatif. (Bandung:
Rosdakarya, 2005), h. 3.
10
daripada uji empirik. Dalam hal ini, penulis menggunakan serta memanfaatkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
Untuk itu dalam penelitian ini, penulis menempatkan diri sebagai instrumen,
bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analis, penafsir data
tentang kajian pembacaan basmalah dalam salat dalam perspektif hadis, yang
pada akhirnya menjadi pelopor dari hasil penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian
Untuk menjawab persoalan yang termuat dalam pokok masalah, maka
dibutuhkan sebuah pendekatan yang relevan sebagai perangkat analisisnya. Dalam
hal ini, penulis menggunakan tiga pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan kesehatan (fisik, mental [psikologi] dan sosial), digunakan
untuk melacak kebenaran tentang implikasi hadis pembacaan basmalah
dalam salat.
b. Pendekatan tekstual, dipergunakan sebagai pisau analisis terhadap
pemaknaan hadis secara tekstual baik melalui pemaknaan terhadap makna
gramatikal ataupun makna leksikalnya.
c. Pendekatan kontekstual, digunakan untuk melihat latar belakang baik
eksternal maupun internal, yaitu menyelidiki keadaan khusus yang dialami
saat kemunculannya.15
Kaitannya dengan penelitian ini, secara khusus
digunakan untuk mengkaji Asbâb al-Wurûd hadis.
15
Bakker dan Jubair, Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1994) h. 52
11
3. Sumber Data
Menurut Sugiyono dalam bukunya “Memahami Penulisan Kualitatif”,
membagi jenis data menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.16
Adapun yang termasuk sumber primer dalam penelitian, yaitu kitab-kitab hadis
yang termuat dalam al-Kutub al-Sittah17
beserta kitab-kitab syarah-nya.18
Dengan
alasan bahwa hadis yang diteliti oleh penulis semuanya terdapat dalam al-Kutub
al-Sittah, karena hadis yang tercantum dalam kitab-kitab tersebut telah diakui
otentitasnya oleh para ulama. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan kamus
hadis “al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts”,19
karya A.J. Wensinck
sebagai alat untuk mengetahui letak dimana redaksi-redaksi hadis tentang
pembacaan basmalah dalam salat termuat dalam kitab-kitab tersebut. Kemudian
untuk mengolah data primer dan mempertajam analisis, penulis juga
menggunakan data-data sekunder, yaitu berupa buku, kitab, artikel, tulisan ilmiah,
dan lain sebagainya yang dapat mendukung penelitian dalam skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Seperti diketahui bahwa penelitian ini tergolong ke dalam penelitian studi
kepustakaan (library research), sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang
diperoleh dari hasil tela‟ah terhadap berbagai literatur, maka instrumen
16
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, atau data yang mengutip dari sumber lain sehingga
tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber kedua dan ketiga. Sugiyono. Memahami
penulisan Kualitatif. (Bandung: CV Alfabeta, 2005) h. 62. 17
Yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmîdzî, Sunan
al-Nasâ‟î, dan Sunan Ibnu Mâjah. Kitab-kitab tersebut disebut dengan al-Kutub al-Sittah. 18
Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan satu kitab syarah dari kitab-kitab
tersebut. Yaitu kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abû Dâwud, karya Muhammad Syamsul Haq
al-„azîm. 19
A. j. Wensinck. al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts. (Leiden: Maktabah Bril,
1936).
12
pengumpulan terhadap data-data tersebut adalah dengan menggunakan metode
dokumentasi.
Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan, terlebih
dahulu mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek tela‟ah
dalam penelitian, kemudian dilanjutkan dengan upaya pengumpulan data-data dari
berbagai sumber yang telah ditentukan baik sumber primer maupun sumber
sekunder dengan cara menghimpun hadis-hadis yang sesuai dengan tema sentral
yang sedang diteliti melalui kamus hadis al-Mu‟jam al-Mufahras. Selain
penelusuran terhadap kamus tersebut, digunakan juga program al-Maktabah al-
Syâmilah.
5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
pengolahan atas data-data tersebut. Dalam proses penelitian ini, penulis
menggunakan metode deskriptif20
analitik.21
Metode deskriptif penulis gunakan
untuk memaparkan data dan memberikan penjelasan secara mendalam mengenai
sebuah data dan juga untuk menyelidiki dengan menuturkan, menganalisa data-
data kemudian menjelaskannya.22
Dalam hal ini penulis mengambil penjelasan
dari para ulama melalui kitab-kitab syarah, serta mengungkapkan beberapa
pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Sedangkan metode analitik yang
20
Metode deskriptif adalah menguraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji.
Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. Metode Penulisan Filsafat. (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h.65. 21
Metode analitik adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual
atas data-data yang ada, kemudian diklasifikasikan sesuai permasalahan, dengan maksud untuk
memperoleh kejelasan atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff. Pengantar Filsafat. Penerjemah
Suyono Sumargono. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) h. 18. 22
Bakker dan Zubair, Metode Penelitian Filsafat, h. 70.
13
dimaksud adalah menjelaskan hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam
salat.
Selain itu, penulis juga menggunakan metode deduktif (deduksi)23
dan
induksi. Metode deduktif digunakan untuk menguraikan data dari suatu pendapat
yang bersifat umum kemudian diuraikan menjadi hal-hal yang bersifat khusus.
Sedangkan metode induksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari
realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa konkrit, kemudian ditarik secara
general sehingga bersifat umum.
Setelah mengelola data-data tersebut, maka diharapkan penelitian ini dapat
terlaksana secara rasional, sistematis dan terarah. Sementara, terkait dengan teknik
penulisan, skripsi ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012-2013.24
F. Sistematika Penulisan
Mengacu pada penelitian di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini
akan disistematisasikan sebagai berikut:
Pembahasan diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi
seputar signifikasi studi ini, bagian ini merupakan bab pertama yang berisi latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
23
Deduktif atau deduksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realitas yang
bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus. Sutrisno Hadi. Metode Research 1.
(Yogyakarta: Andi Offset, 1987), h. 42. 24
Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013. (Jakarta:
Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012).
14
Selanjutnya, bab kedua diisi dengan pembahasan mengenai tinjauan umum
tentang basmalah yaitu meliputi makna basmalah, keutamaan basmalah,
penafsiran ulama tafsir terhadap basmalah.
Pada bab ketiga penulis akan menguraikan hadis-hadis tentang pembacaan
basmalah dalam salat, pada bab ini diisi dengan teks dan terjemahan, asbâb al-
wurûd hadis, syarah dan komentar ulama hadis, pandangan fuqaha terhadap
basmalah dan pendapat mufasir tentang maslah pembacaan basmalah dalam salat.
Akhirnya studi skripsi ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran-saran
yang mengisi bab keempat.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BASMALAH
A. Makna Basmalah
Kata basmalah ( البسملة ( adalah maṣdar dari kata basmala ( بسمل) yang
artinya mengucapkan bismillâh atau membaca basmalah.1 Dalam penggunaan
kebahasaan terdengar pemakaian kata basmalah tersebut seperti basmala ar-
rajulu (بسمل الزجل ) artinya orang itu mengucapkan atau menulis حمن الزه بسم للاه
حيم Kalimat itu disebut .(تسمية) Selain disebut basmalah juga disebut tasmiyah .الزه
tasmiyah karena orang yang mengucapkannya menyebut nama Allâh dengan sifat-
sifat-Nya yang mulia.2
Imam al-Qurthubi berkata: basmalah adalah sumpah Tuhan kita yang Dia
turunkan di awal setiap surat. Dia bersumpah kepada hamba-hamba-Nya: „Wahai
hamba-hamba-Ku, sesungguhnya lafazh yang Aku letakan untuk kalian di surat
ini adalah suatu kebenaran, dan Aku akan memenuhi semua yang Aku jamin
dalam surat ini, yaitu janji, kelembutan-Ku dan kebaikan-Ku. Selanjutnya beliau
menambahkan, bahwa basmalah adalah sesuatu yang Allâh turunkan di dalam
1 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) cet. Ke-2, h. 85; lihat juga di Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta, 1996) h. 327; dan lihat juga di Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT.
Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010) h. 65 2 H. Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah Al-Qur‟an & Ilmu Tajwid (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010) cet. Ke-1, h. 36
16
kitab kita, dan diberikan kepada umat ini, khususnya setelah diberikan kepada
Sulaiman.3
Di dalam kalimat basmalah terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
1. Allâh merupakan lambang untuk Rabb, yakni nama untuk Rabb Yang
Mahasuci lagi Mahatinggi.4
2. Ar-Rahmân yaitu nama atau sifat dari Allâh yang diambil dari kata ar-
Rahmah, yang berarti Maha Pengasih. Yang mempunyai kasih sayang yang
mencakup dan meliputi untuk semua makhluk yang ada di dunia ini.5
3. Ar-Rahîm yaitu nama Allâh yang diambil dari kata ar-Rahmah yang berarti
Maha Penyayang, hanyalah diperuntukkan kepada orang-orang yang beriman
di akhirat kelak. Artinya bahwa Allâh mempunyai sifat kasih sayang bagi
orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.
Basmalah merupakan pembuka kitab Ilâhi. Basmalah bukan hanya
terdapat dalam permulaan al-Qur‟an, namun dalam seluruh kitab samawi.6
Basmalah adalah kunci pembuka perbuatan dan pekerjaan seluruh nabi. Ketika
perahu Nabi Nuh as. berhadapan dengan gelombang angin topan, beliau berkata
kepada para pengikutnya, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur‟an:
3 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-
Andalusi al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâmil Qur‟ân (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyah, tth) jilid 1, h.
237 4Isma‟il bin „Amr al-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi „Imâduddîn Abul Fidâ‟ al-
Hâfiz al-Muhaddis asy-Syafi‟i (Ibn Katsîr), Tafsîrul Qur‟ânil „Azîm (Kairo: Matba‟ah al-
Istiqâmah, 1958) jilid 1, h. 57 5 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat
seputar Islam, Iman dan Ihsan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012) cet. Ke-1, h. 38 6 Muhammad Al-Caff, Tafsir Populer al-Fātiḥah, h. 90
17
“Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama
Allâh di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Huud[11] : 41).
Ali bin Abi Thalib berkata, “Basmalah adalah penyebab datangnya
keberkahan dan meninggalkannya menyebabkan kekacauan dalam segala urusan.”
Ali juga berkata, “Sesungguhnya seorang hamba jika ingin membaca atau
mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia membaca lafadz Bismillâhirrahmânirrahîm,
maka ia akan diberkati dalam perbuatan tersebut.”
Basmalah merupakan ikrar dari seorang hamba dalam penyerahan dirinya
bulat-bulat kepada Allâh SWT. dalam segala aktivitasnya. Seorang ulama
berpendapat bahwa basmalah itu adalah wujud dari keingin-dekatannya seorang
hamba dengan Penciptanya dengan pengharapan apa yang dikerjakannya ini akan
selalu dilindungi oleh Allâh, sehingga dia tidak hanya menterjemahkan basmalah
secara harfiah: “Dengan menyebut nama Allâh...” tetapi diartikannya sebagai:
“Aku bersamaMu ya Allâh... dalam melakukan segala aktivitas kehidupanku
ini...”.
Adapun makna basmalah pada setiap pembukaan surat al-Qur‟an menjadi
syiar kaum muslimin dalam mengekspresikan daya kekuatan untuk melakukan
semua kegiatan. Contoh, “Saya memulai suatu pekerjaan dengan menyebut nama
Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, (Bismillâhirrahmânirrahîm).”
Suatu pekerjaan yang dimulai dengan nama Allâh, memiliki arti bahwa semata-
mata karena perintah Allâh dan hanya untuk Allâh.7
7Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî, 1974)
jilid 1, h. 13
18
Dengan mengucapkan basmalah pada setiap pekerjaan menunjukkan sikap
untuk mengingatkan akan kebesaran Allâh, dan menyadari keagungan akan Allâh
di permulaan suatu pekerjaan yang akan mempunyai pengaruh.
Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abduh
sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shidiqi yaitu, “Sesungguhnya
pengucapan basmalah adalah manifestasi pembaca dalam usaha melepaskan diri
dari perbuatan buruk yang dilakukan oleh dirinya pula sebagai pernyataan
bahwasanya perbuatan itu dialamatkan kepada Allâh dan atas perintah-Nya
dengan takdir-Nya”.8
Quraish Shihab menambahkan makna basmalah yaitu, bahwa Allâh
memulai al-Qur‟an dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini
pada wahyu pertama agar melakukan pembacaan dan semua aktivitas dengan
nama Allâh, iqra‟ bismi Rabbika, maka tidak keliru jika basmalah merupakan
pesan pertama Allâh kepada manusia agar memulai setiap aktivitasnya dengan
nama Allâh.9
Begitu juga dengan pendapat Sayyid Qutub dalam tafsirnya bahwa
memulai dengan nama Allâh adalah adab dan bimbingan pertama yang
diwahyukan Allâh kepada Nabi-Nya, Iqra‟ bismi Rabbika. Permulaan itu sesuai
dengan kaidah utama ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allâh adalah al-
Awwâl wa al-Âkhîr wa az-Zâhir wa al-Bâtin. Dia Yang Maha Suci itu yang
merupakan wujud yang haq, yang dari-Nya semua wujud memperoleh wujudnya,
dan dari-Nya bermula semua yang memiliki permulaan. Karena itu dengan nama-
8Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994) h. 25 9M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 11
19
Nya segala sesuatu harus dimulai dengan nama-Nya terlaksana setiap gerak dan
arah.10
Allamah Kamal Faqih Imani dalam tafsirnya menambahkan bahwa
membaca basmalah setiap memulai suatu pekerjaan semestinya tidak hanya
dilakukan dengan lisan belaka, tapi mesti dilakukan dengan benar dan bermakna
agar berhasil dan diberkati.11
Karena itu, ketika hendak memulai setiap pekerjaan, kita dianjurkan untuk
membaca basmalah: saat makan, minum, tidur, mengendarai kendaraan, dan
pekerjaan-pekerjaan yang lain. Bahkan, binatang yang disembelih tidak dengan
nama Allâh , dagingnya menjadi haram untuk dimakan. Dalam hadis disebutkan ,
“Hendaklah anda tidak tidak melupakan basmalah meskipun hanya sekadar
menulis satu bait puisi.”12
B. Keutamaan Basmalah
Setelah membicarakan segala sesuatu tentang basmalah, maka mengertilah
kita bagaimana pentingnya menyebut Bismillâhirrahmânirrahîm pada permulaan
tiap-tiap pekerjaan yang kita kerjakan. Karena di dalam kalimat basmalah itu
terdapat tiga nama yang terbesar dari nama-nama Allâh yang banyak dan
termasuk dalam Asmaul Husna yaitu Allâh, ar-Rahmân , ar-Rahîm. Sebab itu
10
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân (Kairo: Dâr al-Ihya al-Tijari al-„Arabiyah,
1386) jilid 1, h. 30 11
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an; sebuah tafsir Sederhana menuju
Cahaya al-Qur‟an (Jakarta: al-Huda, 2003) vol 1, h. 25 12
Muhammad Al-Caff, Tafsir Populer al-Fâtihah, h. 92
20
maka kalimat basmalah ini dinamakan oleh Rasulullah SAW. sendiri dengan
nama Asmaul-A‟zam, yaitu nama teragung dari Allâh SWT.13
Selain itu, basmalah juga mempunyai keutamaan-keutamaan yang
berlandaskan beberapa hadis. Keutamaan-keutamaan tersebut yaitu sebagai
berikut:
1. Pembukaan al-Qur‟an.14
Basmalah adalah kalimat yang sangat indah yang berada di awal-awal al-
Qur‟anul Karim dibuka.
2. Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia.15
ث نا ث نا الكم بن بشري بن سلمان حد ث نا ممد بن حيد حد د الصفار عن الكم حد خلفة عن علي قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسل م النصري عن أب إسحق عن أب جحي
ر ما ب ي الن وعورات بن آدم إذا دخل الكنيف أن ي قول ب 16سم اللو ست
“… Dari Ali ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Penghalang antara jin dan aurat
anak Adam adalah mengucapkan bismillâh ketika ingin masuk ke kamar mandi.”
(HR. Ibnu Mâjah)
3. Rasulullah SAW. mengawali surat yang beliau kirim ke raja-raja, untuk
mengajak mereka masuk Islam, dengan lafadz basmalah.Seperti surat yang
beliau kirim ke raja Heraklius.
4. Basmalah merupakan isi surat yang dikirim oleh Nabi Sulaiman AS. kepada
Ratu Saba‟ yang ketika itu masih menyembah matahari. Allah SWT.
berfirman, menceritakan kisah mereka :
13
Saiful Anwar Al-Batawy, Rahasia Kedahsyatan Basmalah (Jakarta: Kunci Iman, 2012)
cet. Ke-1, h. 17 14
H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 25 15
H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 30 16
Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, juz 1, hadis no. 293, h. 351
21
“Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, Sesungguhnya telah dijatuhkan
kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan
Sesungguhnya (isi) nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan
datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". (QS. An-Naml [27]:
29-31)
5. Bacaan basmalah menjadi pemula untuk berbagai bentuk ibadah, seperti
wudhu, mandi dan tayamum menurut pendapat sebagian ulama. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda:
ث نا ث نا سعيد بن ق ت يبة حد ىري رة أب عن أبيو عن سلمة بن ي عقوب عن موسى بن مد م حد
يذكر ل لمن وضوء ول لو وضوء ل لمن صلة ل وسلم عليو اللو صلى اللو رسول قال قال
17عليو ت عال اللو اسم
“… Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Nabi SAW. bersabda: Tidak sah salat orang
yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah
(membaca basmalah).” (HR. Abû Dâwud)
Hadis ini berbicara tentang wudhu, namun ulama mengqiyaskannya untuk
mandi dan tayamum, karena semuanya adalah kegiatan bersuci.
6. Basmalah sebagai perlindungan dari setan ketika makan.
Orang yang makan atau minum dengan didahului membaca basmalah
sebelumnya maka setan tidak mampu untuk turut memakannya. Rasulullah
SAW. bersabda:
17
Abû Dâwud Sulaymân bin al-Asy„ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud , (Bayrūt: Dâr al-
Fikr, tt), jilid 1,hadis no. 29, h. 114
22
ث نا ث ن ىشام بن مؤمل حد ست وائي اللو عبد أب ابن ي عن ىشام عن إسعيل احد بديل عن الد
هم امرأة عن عب يد بن اللو عبد عن ها اللو رضي عائشة عن كلثوم أم لا ي قال من رسول أن عن
اسم يذكر أن نسي فإن ت عال اللو اسم ف ليذكر أحدكم أكل إذا قال وسلم عليو اللو صلى اللو
18وآخره أولو اللو بسم ف لي قل أولو ف ت عال اللو
“… Dari „Aisyah ra. ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama
Allah SWT., jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia
mengucapkan: “Bismillâhi awwalahu waa âkhirahu (dengan nama Allah pada awal
dan akhirnya)”.(HR. Abû Dâwud)
Dari Huzaifah Nabi SAW. bersabda:
19عليو اللو اسم يذكر ل الذي الطعام ليستحل الشيطان إن
“Sesungguhnya setan dibolehkan makan makanan yang tidak dibacakan nama
Allah ketika hendak dimakan.” (HR. Abuû Dâwud)
7. Penjagaan dari gangguan setan ketika berhubungan badan.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi SAW. bersabda:
ث نا ث نا سعيد بن ق ت يبة حد اللو رضي عباس ابن عن كريب عن سال عن منصور عن جرير حد
هما ف قال أىلو يأت أن أراد إذا أحدكم أن لو وسلم عليو اللو صلى اللو رسول قال قال عن
نا هم الل اللو باسم ن هما ي قدر إن فإنو رزق ت نا ما الشيطان وجنب الشيطان جنب ذلك ف ولد ب ي
20أبدا شيطان يضر ه ل
“… Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Sekiranya salah
seorang di antara kalian ingin mendatangi isterinya, maka panjatkanlah doa:
“Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan yang
engkau anugerahkan kepada kami”, jika ditakdirkan memperoleh anak dari
keduanya, maka setan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” (HR. Al-
Bukhârî)
18
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3275, h. 219 19
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3274, h. 218 20
Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt:
Dār al-Fikr, 1994) jilid 22, hadis no. 6847, h. 398
23
8. Penghalang setan untuk membuka tempat barang berharga.
Beberapa harta berharga yang kita simpan di malam hari, juga akan
menjadi incaran setan. Dia berusaha mengganggu kita dengan mengotori
makanan atau mengambil barang berharga itu. Untuk mengatasi hal ini,
Rasulullah SAW. mengajarkan umatnya agar ketika menutup semua makanan
dengan membaca basmalah.
ث نا ث نا سعيد بن ق ت يبة حد ث نا و ح ليث حد عن الز ب ري أب عن الليث أخب رنا رمح بن ممد حد
ناء غط وا قال أنو وسلم عليو لو ال صلى اللو رسول جابرعن الباب وأغلقوا السقاء وأوكوا ال
أحدكم يد ل فإن إناء يكشف ول بابا ي فتح ول سقاء يل ل الشيطان فإن السراج وأطفئوا
21ف لي فعل اللو اسم ويذكر عودا إنائو على عرض ي أن إل
“… Dari Jabir ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda: Tutuplah
bejana, ikatlah geribah (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit), tutuplah
pintu, matikanlah lentera (lampu api), karena sesungguhnya setan tidak mampu
membuka geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat
menyingkap bejana yang tertutup. Bila engkau tidak mendapatkan tutup kecuali
hanya dengan melintangkan di atas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama
Allah, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim)
9. Menghalangi setan menginap di dalam rumah
Bacaan basmalah diucapkan ketika masuk rumah, bisa menjadi
penghalang bagi setan untuk ikut memasukinya atau menginap di dalamnya.
ث نا ث نا العنزي المث ن بن ممد حد أبو أخب رن جريج ابن عن عاصم باأ ي عن الضحاك حد
ب يتو الرجل دخل إذا ي قول وسلم عليو اللو صلى النب سع أنو اللو عبد بن جابر عن الز ب ري
يذكر ف لم دخل وإذا عشاء ول لكم مبيت ل شيطان ال قال طعامو وعند دخولو عند اللو فذكر
21
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, (Bayrût:
Dâr al-Fikr, tth ( hadis no. 3755, jilid 10, h. 285
24
المبيت أدركتم قال طعامو عند اللو يذكر ل وإذا المبيت أدركتم الشيطان قال دخولو عند اللو
22والعشاء
“… Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya aku telah mendengar Nabi SAW.
bersabda: Jika seseorang masuk rumahnya dan dia mengingat nama Allah ketika
masuk dan ketika makan, maka setan akan berteriak: „Tidak ada tempat menginap
bagi kalian dan tidak ada makan malam.‟ Namun jika dia tidak mengingat Allah
ketika masuk maka setan mengatakan, „Kalian mendapatkan tempat menginap‟ dan
jika dia tidak mengingat nama Allah ketika makan maka setan mengundang
temannya, „Kalian mendapat jatah menginap dan makan malam‟.” (HR. Muslim)
10. Menjadi syarat halalnya hewan sembelihan23
Di antara keberkahan basmalah, orang yang menyembelih binatang
dengan membaca basmalah, hewan sembelihannya bisa menjadi halal.
Sebaliknya, orang yang menyembelih binatang tanpa mengucapkan
basmalah, baik disengaja maupun lupa, sembelihannya batal, dan hewan itu
tidak boleh dimakan.
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar
mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik..” (QS. Al-An‟âm[6]: 121)
22
Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 10, hadis no. 3762, h. 293 23
H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 26
25
C. Penafsiran Ulama Tafsir terhadap Basmalah
Bismillâhirrahmânirrahîm adalah kalimat yang pertama-tama tertulis
nama Allâh yang teragung lalu kemudian diikuti oleh Rahmân dan diakhiri Rahîm
adalah bahwa yang pemula dari segalanya adalah sang pencipta (khâliq), lalu
muncul kekuatan dan sifat-sifatnya yang memanifestasikan makna karunia dan
ampunan.24
Kalimat basmalah terdiri atas 19 huruf dalam lima komponen. Satu
bearasal dari kata bantu (huruf) yaitu huruf al-jâr (ب) yang terletak di permulaan
basmalah, dan empat lainnya berasal dari kata benda yaitu: الزحمن ,للا ,اسم, dan
25.الزحيم
1. Penafsiran Huruf al-Jâr (ب)
Ba‟ atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan”
mengandung satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di
dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga
bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam
konteks surat ini adalah membaca ayat-ayat al-Qur‟an – dengan nama Allâh”.
Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do‟a atau pernyataan dari
pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allâh. Atau dapat juga
diartikan sebagai perintah dari Allâh (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk
perintah) yang menyatakan, “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allâh”. Kedua
24
Mansur bin Mashadi, khasiat dan Mu‟jizat surat al-Fâtihah (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1995), cet. Ke-3, h. 58 25
H. Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), cet. Ke-1, h. 16
26
pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada basmalah ini
memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allâh sebagai pangkalan
tempat bertolak.26
Ada juga yang mengaitkan kata bi/dengan, dengan memunculkan dalam
benaknya “kekuasaan”. Pengucap basmalah, seakan-akan berkata, “Dengan
kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini
dapat terlaksana”. Pengucapnya ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa
kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak
akan berhasil. Dengan demikian ia menyadari kelemahan dan keterbatasan
dirinya, tetapi dalam saat yang sama pula (setelah menghayati arti basmalah ini)
ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, karena ketika itu dia telah
menyandarkan dirinya kepada Allâh dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa
itu.27
Imam asy-Syaukani berkata, bahwa huruf ب (Ba‟) yang bergantung
kepada ba‟ dalam lafazh bismillâh adalah sesuatu yang mahdzuf (dibuang atau
tidak ditampakkan), yaitu: Aqra‟ atau atlu (aku membaca), karena inilah yang
sesuai dengan konteks basmalah sebagai permulaannya. Maka, orang yang
memperkirakan bahwa yang mahdzuf itu didahulukan –sebelum lafazh bismillâh,
maka maksudnya adalah untuk menunjukkan didahulukannya yang mahdzuf itu
daripada perhatian terhadap perihal perbuatan, sedangkan orang yang
memperkirakan bahwa mahdzuf itu dikemudiankan, maka maksudnya adalah
untuk menunjukkan dikemudiankannya yang mahdzuf itu secara khusus, dengan
26
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12 27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12
27
tetap mencapai apa yang dikandungnya, yaitu mengutamakan nama, dan
mengisyaratkan bahwa mengawali aktifitas dengannya adalah lebih penting,
karena tabarruk (mencari berkah) bisa dicapai dengannya. Dengan demikian
tampaklah keunggulan pendapat yang memperkirakan dikemudiankan fi‟lmahdzuf
pada posisi ini, dan yang demikian ini tidak kontradiktif dengan firman Allâh
Ta‟ala: اقزأ باسم ربك الذي خلق (Bacalah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang
menciptakan). (QS. Al-„Alaq [96]: 1), karena posisi itu adalah posisi membaca,
maka perintah pelaksanaannya lebih penting.28
2. Penafsiran Lafal “اسم”
Basmalah diawali dengan بسم (bismi) ungkapan ini terdiri dari dua kosa
kata, yaitu kata benda االسم „nama‟ yang didahului partikel ب (huruf ba‟) kata
benda االسم adalah lafal yang menunjukkan zat atau makna. Ulama bahasa
berbeda pendapat tentang asal kata اسم dalam dua pendapat golongan Basrah,
memandang bahwa kata itu berasal dari kata السمى (as-sumuw) yang bermakna
kemuliaan dan ketinggian العلى والزقعة oleh karena itu ada yang berpendapat
bahwa nama seseorang mengangkat derajatnya sehingga ia dapat mengatasi orang
lain. Sedangkan golongan Kufah berpendapat bahwa kata االسم berasal dari kata
tanda‟. dikatakan demikian karena nama sesuatu„ العالمة yang bermakna السمه
menjadi tanda yang dimuat atau diberikan untuknya.29
28
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr al-
Hadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 67 29
Abd. Muin Salim, jalan Lurus menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1999), cet. Ke-1, h. 19
28
Lafal م""بس (dengan menyebut nama), Imam ath-Thabari berkata:
“Sesungguhnya Allâh telah mengajarkan kepada Nabi-Nya SAW. agar
mendahulukan nama-Nya yang mulia atas sekalian perbuatan-Nya, dan
menjadikan apa yang telah diajarkan kepada Nabi-Nya tersebut sebagai sunnah
yang patut diikuti oleh semua makhluk-Nya dalam memulai setiap pembicaraan,
penulisan surat, buku dan aktifitas mereka; sehingga makna yang zhahir dari
indikasi بسم للا mencukupi makna yang tersembunyi dari maksud pengucapnya.
Hal itu karena huruf ba‟ pada kata بسم للا menghendaki adanya suatu pekerjaan,
dan tidak ada pekerjaan yang tampak padanya, sehingga sekedar mendengar kata
diucapkan, maka orang yang mendengarnya telah memahami maksud بسم للا
pengucapnya. Hal ini seperti orang yang ditanya, “Apakah yang kau makan hari
ini?” Ia menjawab, “Makanan.” Tanpa harus menjawab, “Aku makan makanan.”30
Dengan demikian jika ada seseorang yang mengucapkan lafazh بسم للا
kemudian ia memulai sebuah surat, maka artinya secara logis: “Aku الزحمن الزحيم
membaca dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.” Demikian juga jika ada orang yang mengucapkan lafazh بسم للا
ketika hendak berdiri atau duduk atau apa saja, maka maksudnya, “Aku hendak
berdiri dengan menyebut nama Allâh, aku hendak duduk dengan menyebut nama
Allâh.31
30
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja‟far Ath-Thabari, Jâmi‟ul
Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, (Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H/2005 M) jilid 1, h. 201 31
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 201
29
Penulisan kata Bismi dalam basmalah tidak menggunakan huruf alif
berbeda dengan kata yang sama pada awal surat al-„Alaq atau Iqra‟, yang tertulis
dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf alif persoalan ini
menjadi bahasan para pakar dan ulama. Al-Qurtubi (w. 671 H) berpendapat
sebagaimana dikutip oleh M. quraish Shihab, bahwa penulisan tanpa huruf alif
pada basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini
sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis
tanpa alif.32
Az-Zarkasyi menambahkan dalam kitab al-Burhân, bahwa tata cara
penulisan al-Qur‟an mengandung rahasia-rahasia tertentu. Dalam hal
menanggalkan huruf alif pada tulisan satu kata dalam al-Qur‟an mengisyaratkan
bahwa ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca
indera. Rasyad Khalifah (w. 1990 M) menambahkan bahwa ditanggalkannya
huruf alif pada basmalah, adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi
sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Karena angka 19 mempunyai rahasia yang
berkaitan dengan al-Qur‟an. Demikian yang dikutip oleh M. Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Misbah. 33
Menurut penafsiran M. Quraish Shihab bahwa Ba‟ atau bi pada basmalah
tanpa huruf alif, yang diterjemahkan dengan kata dengan mengandung satu kata
atau kalimat yang tidak terucap tetapi terlintas di dalam benak ketika
mengucapkan basmalah, yaitu kata „memulai‟, sehingga bismillâh berarti “Saya
atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini, yaitu membaca al-Qur‟an”.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 15 33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 16
30
Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari
pengucap, bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allâh.
Berbeda dengan pendapat Ibn „Arabi, bahwa ketika ia menanyakannya
kepada Nabi Muhammad melalui mimpi, tentang keberadaan alif setelah ba‟,
Nabi Muhammad menjawab, bahwa huruf alif-nya dicuri setan.34
3. Penafsiran Lafal “هللا”
Kata Allâh merupakan nama Tuhan yang paling popular. Apabila anda
berkata, “Allâh” maka apa yang anda ucapkan itu, telah mencakup semua nama-
nama-Nya yang lain. Tetapi jika hanya mengucapkan nama atau sifat-Nya saja,
maka hanya menggambarkan sifat atau nama-Nya saja. Di sisi lain, tidak satupun
dapat dinamai Allâh, baik secara hakikat maupun majaz, sedang sifat dan nama-
Nya secara umum dapat disandangkan oleh makhluk-makhluk-Nya.
Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allâh tidak terambil
dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat
yang wajib wujudnya. Kata Allâh asalnya adalah (إله) ilah, yang dibubuhi huruf
alif dan lam, dan dengan demikian Allâh merupakan nama khusus karena tidak
dikenal bentuk jamaknya, sedang ilah adalah nama yang bersifat umum dan dapat
berbentuk jamak atau plural (ألهة) alihah. Alif dan lam yang dibubuhkan pada
kata ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan
sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Sementara ulama berpendapat bahwa
kata ilah yang darinya terbentuk kata Allâh berakar dari kata (اإللهة) al-ilahah,
al-uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka (األلىهية) al-uluhah, dan (األلىهة)
34
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, (Dâr al-„Arabiyah, 1968) jilid 1, h. 9
31
bermakna ibadah dan penyembahan, sehingga Allâh secara harfiah bermakna
Yang disembah.35
Rasyid Ridha menambahkan bahwa -adalah lafal yang disebut al للا
Jalalah, karena menunjukkan nama Zat yang mulia dan dimuliakan dan yang
berhak disembah manusia. Ibnu Malik berpendapat bahwa lafal Allâh adalah
nama yang mulia yang khusus ditujukan kepada Allâh.36
Sedangkan menurut Ibn „Arabi, Allâh adalah sebuah nama yang memiliki
sifat-sifat, yang termanifestasikan dari Zat Uluhiyyah yang mutlak, yang tidak
memiliki sifat dan tidak dapat diketahui dengan akal dan indera.37
Lafal “للا” , Imam ath-Thabari berkata: “kata للا menurut makna yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas adalah: “Yang di Tuhan-kan oleh segala
sesuatu dan disembah oleh seluruh makhluk.” Jika ada yang mengatakan ,
“Apakah secara bahasa kata للا mempunyai akar kata?” jawabannya: Secara
pendengaran tidak ada, namun secara indikasi ada. Jika ia berkata lagi, “apakah
dalil yang menunjukkan bahwa Tuhan berarti Yang berhak disembah, dan
memiliki akar kata secara bahasa?” Jawabannya: Tidak ada larangan dan
perselisihan pendapat di antara orang Arab dalam hal ini. Sebagaimana ucapan
Ru‟bah bin al-Ajjaj38
dalam syairnya:
هلل در الغانيات املده # سبحن واسرتجعن من تألى“Alangkah baiknya wanita cantik yang tidak berdandan, mereka bertasbih dan
beristirja‟ kepada Tuhan.”
35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 18 36
M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h. 19 37
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 38
Yaitu Ru‟bah bin Abdullah al-Ajjaj bin ru‟bah at-Tamimi Abu Jahaf, penyair tersohor
beraliran rajaz, hidup dalam dua masa pemerintahan; Umawiyah dan abbasiyah.
32
Dan tidak diragukan bahwa kata التأله memiliki akar kata يأله أله , dan
makna أله jika diucapkan berarti menyembah Allâh. Ia memiliki kata sifat yang
menunjukkan bahwa orang Arab menggunakannya dengan bentuk kata يفعل فعل
tanpa tambahan.39
Jadi, lafazh Allâh للا berasal dari perkataan orang Arab: اإلله, dimana huruf
hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan,
lalu keduanya melebur menjadi satu dan jadilah lafazh للا.40
Imam Musthafa al-Maraghi juga mengatakan, bahwa )للا( adalah isim
„alam, khusus ditujukan kepada yang wajib disembah secara benar, dan nama ini
tidak boleh digunakan untuk selain Allâh. Pada masa Jahiliyyah, jika bangsa Arab
ditanya mengenai siapakah yang menciptakan bumi dan langit, mereka
memberikan jawaban “Allâh”. Dan jika mereka ditanya apakah “tuhan‟ Lata dan
„Uzza dapat menciptakan suatu seperti Allâh, mereka menjawab “tidak”.
Sedangkan kata Ilah, adalah isim (nama) yang ditujukan setiap yang disembah
haq maupun batil. Kemudian, kata ini banyak digunakan untuk sesembahan yang
haq.41
4. Penafsiran Lafal “ لرحمنا ” dan “الرحيم”
Kata Allâh demikian juga ar-Rahmân pada basmalah tidak terjangkau
hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan
Yang Maha Esa. Ibn „Arabi menambahkan bahwa ar-Rahmân adalah
39
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 207-208 40
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 209 41
Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî,
1974) jilid 1, h. 33
33
kesempurnaan wujud Allâh dan hanya dimiliki oleh Allâh. Sedangkan ar-Rahîm,
merupakan manifestasi dari rahmat Allâh yang dimiliki oleh makhluk Allâh.42
Kata ar-Rahmân digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmatNya,
dan kata ar-Rahîm dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat
pada diri-Nya. Curahan rahmat Tuhan secara aktual dilukiskan dengan kata ar-
Rahmân sedang sifat yang dimiliki-Nya dilukiskan dengan ar-Rahîm. Gabungan
kedua kata itu menyiratkan bahwa Allâh mencurahkan rahmat kepada makhluk-
Nya karena memang Dia merupakan Zat Yang memiliki sifat itu.43
Jika Ibn Katsir berpendapat bahwa sifat ar-Rahmân dan ar-Rahîm, dua
kalimat pecahan dari Rahmatun untuk menyebut kelebihan, dan kata rahmân lebih
luas dari rahîm. Sebab rahîm menguatkan rahmân.44
Dan menurut Rasyid Ridha
kata ar-Rahmân dan ar-Rahîm yang berakar dari kata Rahmat yakni Yang
memiliki rahmat karunia yang tidak ada bandingan bagi-Nya dalam bentuk
rahmat. Sifat ar-Rahmân adalah sifat Allâh Yang Maha Pengasih di dunia, dan ar-
Rahîm adalah sifat Allâh Yang Maha Penyayang di akhirat.45
Imam ath-Thabari mengatakan, kalau ada orang yang berkata, jika kata
“ dan ”الزحمن“ الزحيم ” adalah dua nama yang diambil dari kata الزحمة (kasih
sayang), lalu kenapa ia diulang sementara maknanya sama? Jawabannya: ia tidak
seperti yang anda duga, akan tetapi masing-masing dari keduanya memiliki makna
yang tersendiri. Adapun secara etimologi, tidak seorang pun ahli bahasa yang
memungkiri bahwa kata الزحمن memiliki makna yang lebih spesifik daripada kata
42
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 43
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 44
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 19 45
M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, h. 31
34
meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama. Kemudian, dari akar ,الزحيم
kata aslinya maknanya lebih spesifik daripada bentuk kata benda aslinya, dimana
yang disifati dengannya lebih utama daripada yang disifati dengan kata benda
aslinya jika menyangkut pujian atau celaan.
Dengan sifat الزحمن Allâh disebut Penyayang terhadap seluruh makhluk-
Nya, dan dengan sifat الزحيم Allâh disebut Penyayang terhadap sekelompok
makhluk-Nya, baik dalam segala kondisi maupun kondisi tertentu. Jika demikian
adanya, maka kasih sayang yang khusus tersebut tidak mustahil adanya, baik di
dunia maupun di akhirat, atau pada kedua-duanya. Dan jika Allâh telah
mengkhususkan kasih sayang-Nya di dunia untuk para hamba-Nya yang beriman
dengan memberikan kemudahan kepada mereka dalam menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan, sebuah anugerah yang tidak diberikan kepada orang-
orang yang ingkar, dan menyediakan bagi mereka balasan surga yang penuh
dengan kenikmatan di hari akhir kelak, maka nyatalah bahwa Allâh telah
memberikan anugerah secara khusus bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya
di dunia dan di akhirat, di samping anugerah-anugerah lain yang diturunkan
secara umum mencakup yang mukmin dan yang kafir, seperti anugerah rezeki,
kesehatan fisik dan akal, hujan, tanaman, binatang dan anugerah-anugerah lain
yang yang tidak terhitung jumlahnya. Jadi, Allâh adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih atas sekalian makhluk-Nya di dunia dan di akhirat, dan Maha Penyayang
kepada hamba-Nya yang beriman secara khusus di dunia dan di akhirat.46
46
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 212
35
Sementara ulama menjelaskan makna penggabungan kata Allâh, ar-
Rahmân dan ar-Rahîm dalam basmalah, menurutnya seorang yang kalau
bermaksud memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah serta Dia
Yang Mencurahkan aneka nikmat, maka yang bersangkutan menyebut nama
teragung dari Dzat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya
untuk dimintai.
Muhammad Abduh menilai bahwa penggabungan tiga kata yang
menunjuk Tuhan Yang Maha Esa itu adalah basmalah, merupakan bantahan tidak
langsung kepada orang-orang Nasrani, yang menganut paham Trinitas. Mereka
memulai doa-doa dengan menyebut Tuhan bapak, Tuhan anak dan Ruh al-Quds.
Islam datang membantah mereka bahwa Allâh Maha Esa, walaupun nama-nama-
Nya banyak, tetapi hanya nama dan sifat yang banyak bukan Dzat yang dinamai
dan disifati itu.47
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 23
36
BAB III
HADIS-HADIS TENTANG PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT
Setelah penulis telusuri mengenai perbedaan yang sangat berfariasi di
kalangan para ulama tentang pembacaan basmalah dalam salat, ada sebagian
ulama yang melarang membaca basmalah ketika salat dan ada pula yang
membolehkan membacanya. Perbedaan ini terjadi karena memang perbedaan
hadis yang ada, ada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. ketika salat
membaca basmalah berdasarkan hadis yang berbunyi:
ث نا ث نا الضبي بمدةع بمن أحمد حد ثن قال سليممان بمن الممعمتمر حد خالد أب عنم حاد بمن إسمعيل حد
تتح وسلم عليمو اللو صلى النبي كان قال عباس ابمن عنم مب صلتو ي فم حيمالر الرحمن اللو بسم
“... Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Nabi SAW. membuka salatnya dengan
membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha
Pengasih lagi Maha Pemurah).”1
Dan ada juga yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW. tidak membaca
basmalah ketika salat berdasarkan hadis yang berbunyi:
ث نا ث نا قال عمر بمن حفمص حد عليمو اللو صلى النب أن مالك نبم أنس عنم ق تادة عنم شعمبة حد
ر وأبا وسلم هما اللو رضي وعمر بكم تتحون كانوا عن م د}ب الصلة ي فم مم { المعالمي رب للو الم “... Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW., Abu Bakar dan „Umar ra., mereka
memulai salat dengan membaca Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.”2
Ternyata, dari sinilah salah satu penyebab perbedaan pendapat tentang
pembacaan basmalah dalam salat itu muncul.
Penulis melakukan pengumpulan hadis-hadis tentang membaca basmalah
dalam salat dengan metode Takhrij Hadis melalui matan, yaitu metode
penulusuran kata atau lafal pada salah satu kamus hadis yang penulis gunakan,
1 Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth),
jilid 1, hadis no. 228, h. 414 2Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt:
Dār al-Fikr, 1994) jilid-3, hadis 701, h. 186
37
yaitu “Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts”. Kata kunci yang digunakan ialah
. فتح3 Selain itu, penulis juga melakukan takhrîj tersebut dengan menggunakan
jasa komputer dengan program CD al-Maktabah al-Syâmilah dengan kata kunci
م الرحيم الرحمن اللو بسم .
Setelah dilakukan penulusuran, penulis menemukan hadis-hadis yang
membahas pembacaan basmalah dalam salat sebanyak 54 hadis. Penulis
membatasi penelusuran hanya pada al-Kutub al-Sittah saja, yang berjumlah 24
hadis. Dari 24 hadis tersebut, penulis membaginya dalam 2 tema:
1. Hadis tentang menyaringkan basmalah
2. Hadis tentang tidak menyaringkan basmalah
A. Hadis Tentang Menyaringkan Basmalah
Terdapat 8 hadis yang membahas tentang menyaringkan basmalah dalam
salat, didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Sahîh al-Bukhârî sebanyak 1 hadis,
Sahîh Muslim sebanyak 1 hadis, Sunan Abû Dâwud sebanyak 3 hadis, Sunan al-
Tirmîdzî sebanyak 1 hadis, Sunan al-Nasâ‟î sebanyak 2 hadis.
1. Teks Hadis
a. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
ث نا رو حد ث نا عاصم نبم عمم اللو صلى النب قراءة كانتم كيمف أنس سئل قال ق تادة عنم هام حد
ا كانتم ف قال وسلم عليمو م } ق رأ ث مد م يدي { الرحيم الرحمن اللو بسم ويدي حمنبالر ويدي اللو ببسم
4بالرحيم
3 A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li al-fâz al-Hadîts, Jilid V (Leiden: E. J. Brill,
1943), h. 48 4Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt:
Dār al-Fikr, 1994) Jilid-15, hadis 4658, h. 466
38
“... Dari Qatadah ia berkata, Anas pernah ditanya, “Bagaimanakah bacaan Nabi
SAW.?” Ia pun menjawab, “Bacaan beliau adalah panjang.” Lalu ia pun membaca:
Bismillâhirrahmânirrahîm.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan,
„Bismillâh‟ dan juga memanjangkan bacaan, „ar-Rahmân‟ serta bacaan, „ar-Rahîm‟. (HR.
Al- Bukhârî)
b. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh Muslim
ث نا ر بمن عليي حد ث نا السعمديي حجم هر بمن عليي حد ب رنا مسم تار أخم مالك بمن أنس عنم ف لمفل بمن الممخم
ماللوالرحمنالرحيمإناقالرسولاللوصلىاللوعليمووسلمأنمز ي قول بسم ف قرأ آنفاسورة علي لتمث رقالوااللوورسولوأعملمقالفإ رونماالمكوم تدم ختمهاقالىلم ث رحت ناكالمكوم روعدنيوأعمطي م نون هم
نة ربف 5الم
“... Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Tadi telah diturunkan
suatu surat kepadaku.” Lalu beliau membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm,
Innāa‟thainākalkautsar...” hingga akhir ayat. Beliau bersabda: “Apakah kalian tahu al-
Kautsar?” para sahabat menjawab; “Allâh dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau
bersabda: “Ia adalah sungai di dalam surga yang telah dijanjikan oleh Rabbku kepadaku
kelak.” (HR. Muslim)
Mukhtar bin Fulful adalah maula Amru bin al-Huraits al-Kufi. Dia
meriwayatkan hadis dari Anas dan Ibrahim at-Taimi. Yang meriwayatkan darinya
adalah Za‟idah dan ats-Tsauri. Ibnu Idris berkata, “Dia biasa menceritakan hadis
dengan kedua mata mencucurkan airmata.” Dia dianggap tsiqah oleh Ahmad.6
c. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Abû Dâwud
ث نا مويي يمي بمن سعيد حد ثن الم سلمة أم عنم مليمكة أب بمن اللو عبمد عنم جريمج ابمن ث ناحد أب حد
رىا كلمة أوم ذكرتم أن ها م وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول قراءة غي م د } الرحيم الرحمن اللو بسم مم الم
7آية آية قراءتو ي قطع { الدين ي ومم ملك الرحيم الرحمن ميالمعال رب للو
“... Dari Ummu Salamah bahwa ia menyebutkan kalimat yang lainnya bacaan
Rasulullah SAW.: Bismillâhirrahmânirrahîm, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn,
Arrahmânirrahîm, Malikiyaumiddîn, beliau membacanya dengan memutus bacaan satu
ayat satu ayat. (HR. Abû Dâwud)
5Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, (Bayrût:
Dâr al-Fikr, tth ( hadis no. 607, jilid 2, h. 362; lihat juga di Abû Dâwud , Sunan Abû Dâwud , jilid
2, hadis no. 666, h. 437; dan lihat juga Aḥmad bin Syu„âb Abū „Abdirraḥmân al-Nasâ‟î, Sunan al-
Nasâ‟î, (Bayrūt: Dâr al-Fikr, t.th.),jilid 3, hadis no. 894, h. 458 6 Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h.
457 7Abû Dâwud Sulaymân bin al-Asy„ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud , (Bayrūt: Dâr al-
Fikr, tt), jilid 11,hadis no. 3487, h. 13
39
“Abû Dâwud berkata, “Aku mendengar Ahmad berkata, bacaan yang
lama adalah Mâlikiyaumiddîn.”8
ث نا وابمنالسرمحقالواحد ث ناق ت يمبةبمنسعيدوأحمدبمنممدالممرموزيي سعيدحد روعنم عمم يانعنم سفمابمنعباسقال قالق ت يمبةفيوعنم لالسيورة بمنجب يم كانالنبيصلىاللوعليمووسلملي عمرففصم
ماللوالرحمنالرحيم ت ن زلعليموبسم ظابمنالسرمحوىذال حت 9فم
“... Dari Ibnu Abbas dia berkata: “Nabi SAW. tidak mengetahui pemisah antar
surat hingga diturunkan kepada beliau Bismillâhirrahmânirrahîm. (dengan menyebut
nama Allâh yang maha pengasih lagi maha penyayang).” Lafadz ini dari Ibnu As-Sarh.
(HR. Abû Dâwud )
Kualitas hadis: Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim dan dia
menyatakan ini Sahîh berdasarkan syarat al-Bukhârî dan Muslim. Abû Dâwud
juga meriwayatkannya dalam al-Marasil (himpunan hadis-hadis mursal) dari
Sa‟id bin Jubair, dan menurutnya yang mursal ini lebih Sahîh. Setelah
menyebutkan hadis ini dari Ibnu Abbas, adz-Dzahabi mengatakan dalam
ringkasan al-Mustadrak, „Adapun yang ini statusnya tsabit (kuat).‟ al-Haitsami
berkata, “Dia diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan dua sanad dan para periwayat
dari salah satunya adalah periwayat kitab Sahîh.”10
d. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmîdzî
ث نا ث نا الضبي عبمدة بمن أحمد حد ثن قال سليممان بمن الممعمتمر حد خالد أب عنم حاد بمن إسمعيل حد
تتح وسلم عليمو اللو صلى النبي كان قال عباس ابمن عنم م بم صلتو ي فم 11الرحيم الرحمن اللو بسم
“... Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Nabi SAW. Membuka salatnya dengan membaca:
Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi
Maha Pemurah).” (HR. Al-Tirmīdzī)
Kualitas hadis: Abu Isa berkata, “Hadis ini sanadnya tidak kuat. Beberapa
sahabat Nabi SAW. berpendapat dengan hadis ini. Di antara mereka adalah; Abu
8Imam Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud , jilid 2, h. 13
9Imam Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud , jilid 2, hadis no.669, hal 441
10 Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 471 11
Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth),
jilid 1, hadis no. 228, h. 414
40
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Juga orang-orang setelah
mereka dari kalangan tabi‟in, mereka berpendapat dengan mengeraskan bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm. Ini adalah pendapat Syafi‟i. Isma‟il bin Hammad
namanya adalah Ibnu Abu Sulaiman, sedangkan Abu Khalid disebut dengan Abu
Khalid al-Walibi, dan namanya adalah Hurmuz, dan dia adalah orang Kufah.”12
e. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Nasâ‟î
ب رنا كم عبمد بمن اللو عبمد بمن ممد أخم ث نا شعيمب عنم الم ث نا الليمث حد أب بمن سعيد عنم خالد حد
مر ن عيمم عنم ىلل م ف قرأ ىري مرة أب وراء صليمت قال الممجم المقرمآن بأم ق رأ ث الرحيم الرحمن اللو بسم
كلما ي قولو آمي الناس ف قال آمي ف قال { الضالي ول عليمهمم الممغمضوب غيم } ب لغ إذا حت
ب ر اللو سجد لوس منم قام وإذا أكم ف الم ب ر اللو قال الث منت يم بيده ن فمسي والذي قال سلم وإذا أكم
ب هكمم إن 13وسلم عليمو اللو صلى اللو برسول صلة لشم
“... Dari Nu‟aim Al-Mujmir dia berkata; Aku pernah salat di belakang Abu
Hurairah kemudian ia membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, lalu membaca surat al-
Fâtiẖah...” (HR. Al-Nasâ‟î)
Kualitas hadis: hadis di atas adalah hadis mauquf14
,hadis ini hasan15
. Dan
berkata al-Baihaqi: “Saẖîẖ isnad-nya”.16
Namun ada juga yang men-ḍa‟if-kannya
(menganggapnya sebagai hadis lemah).17
Al-Bukhârî menyebutkannya secara mu‟allaq, sementara Ibnu Hajar dalam
al-Fath menyebutkan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu
Khuzaimah dan al- Nasâ‟î, yaitu hadis yang paling sahîh dalam masalah ini. Az-
12
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 1, h. 414 13
Aḥmad bin Syu„âb Abû „Abdirrahmân al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, (Bayrût: Dâr al-Fikr,
t.th.), jilid 3, hadis no. 895, h. 459 14
Sesuatu yang diriwayatkan dari seorang sahabat, baik berupa ucapan, perbuatan
maupun taqrir-nya, dan baik muttashil maupun munqathi‟. 15
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir serta
disampaikan oleh orang-orang yang adil, tidak ada kejanggalan dan tidak cacat. Hanya saja dalam
sanadnya terdapat perawi yang kurang sempurna kekuatan hafalannya. 16
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas)
cet. Ke-1, jilid 1, h. 122 17
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah
dkk, jilid 2, h. 179
41
Zaila‟i menganggapnya ma‟lul (mengandung cacat). Ibnu Hajar membantah orang
yang mengatakan bahwa selain Nu‟aim meriwayatkannya tanpa menyebutkan
basmalah, dengan jawaban, bahwa Nu‟aim tsiqah (dapat dipercaya) sehingga
tambahannya dapat diterima. An-Nawawi pun mengutip klaim shahihnya dalam
al-Majmu‟ dan kepastiannya dari ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan
al-Baihaqi.18
2. Asbâb al-Wurûd Hadis
Asbâb al-Wurûd hadis merupakan konteks historis yang melatarbelakangi
munculnya suatu hadis, ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi
pada suatu hadis itu disampaikan kepada Nabi SAW. dengan lain ungkapan.
Asbâb al-Wurûd adalah faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya suatu
hadis. Dan tidak semua hadis ada Asbâb al-Wurûd-nya.
Mengenai Asbâb al-Wurûd hadis-hadis tentang menyaringkan basmalah
yang akan dibahas ini tidak dicantumkan penulis, sebab memang tidak terdapat
Asbâb al-Wurûd -nya. Setelah penulis menelusuri dua kitab, yaitu: al-Luma‟ Fi
Asbâb al-Wurûd al-Hadîts karya Jalaluddin al-Suyuti dan latar belakang historis
timbulnya hadis-hadis Rasul karya Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-
Damsyiqi, penulis tidak menemukan adanya keterangan tentang Asbâb Al-Wurûd
dalam hadis tersebut.
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî, nyata sekali Anas
mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, dengan panjang :
18
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah
dkk, jilid 2, h. 179
42
Bismillâh-nya panjang. Ar-Rahmân-nya panjang dan ar-Rahîm-nya panjang pula.
Timbul pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah SAW.
membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (madd), kalau tidak
didengarnya sendiri?19
Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fiqih dan Ilmu hadis tentu kita
dapat menyimpulkan : “Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang
meniadakan.” Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah SAW. baca
Bismillâh panjang, ar-Rahmân panjang dan ar-Rahîm panjang itulah yang
didahulukan. Oleh sebab itu Bismillâhirrahmânirrahîm kita jahr-kan dan madd-
kan membacanya. Ini namanya menetapkan hukum ada jahr.20
Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh asy-Syaukani
di dalam Nailul Autâr telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya, “Hal
ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadis yang menetapkan hukum
(jahr) daripada yang menafsirkan (sirr). Karena amat jauh dari penerimaan akal
kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan Utsman dua puluh
lima tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka men-jahr agak
sekali salatpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri mengakui bahwa dia
tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama masanya tidak dia
ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi SAW. dan ketiga sahabat itu)
memulai dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn secara jahr atau dengan
19
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125 20
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125
43
Bismillâhirrahmânirrahîm. Demikian yang dikutip oleh Abdul Malik Abdul
Karim Amrullah (HAMKA) dalam kitab tafsirnya.21
Keterangan Ibnu Hajar diperkuat lagi dengan asy-Syaukani dalam Nailul
Autâr, katanya : “Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah
hadis yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadis
yang dirawikan oleh ad-Daruquthni dari Abu Salamah, demikian bunyinya” :22
“Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah SAW.
membuka salat dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, atau dengan
Bismillâhirrahmânirrahîm? beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu
soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu
kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasulullah SAW. salat
dengan memakai sepasang terompah? Beliau menjawab : Memang ada!”
Mengenai hadis yang berbunyi :
ختمها حت ث ر ناكالمكوم أعمطي م إنا الرحيم الرحمن اللو م بسم ,beliau lalu membaca) ف قرأ
surat al-Kautsar sampai selesai) dalam Fath al-Wadud disebutkan, “Seakan
dengan hadis ini dia (Abû Dâwud) memberi isyarat bahwa basmalah itu bagian
dari surat al-Fâtihah sehingga harus dibaca jahr. Ketika dijawab bahwa mungkin
saja beliau SAW. membaca basmalah sekedar meminta berkah (ber-tabarruk)
bukan karena dia adalah bagian dari surat al-Fâtihah sehingga tidak harus dibaca
jahr. Tapi ini bisa dijawab, bahwa basmalah itu hanya untuk memisahkan antar
surat, sehingga dia dibaca hanya di awal surat saja.”23
Dalam Nail al-Autâr disebutkan ketika menerangkan hadis ini, “Hadis ini
merupakan salah satu dalil bagi yang menetapkan pembacaan basmalah, dan
mereka sudah disebutkan. Salah satu yang juga menjadi dalil mereka adalah
21
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125 22
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 126 23
Abu ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abu Daud terj. Anshari Taslim, h. 457
44
penulisannya dalam mushaf tanpa membedakannya dari surat yang ada
sebagaimana mereka membedakan nama surat dengan suratnya dengan tanda
merah. Tapi ini dijawab oleh yang mengatakan bahwa basmalah itu bukan bagian
dari al-Qur‟an bahwa ditulis demikian hanya untuk memisahkan antar surat. Tapi
ini bisa dijawab oleh yang menetapkan basmalah, bahwa kalau hanya untuk
memisahkan antar surat maka penulisannya tanpa tanda khusus adalah
pengelabuan. Juga dia tetap akan ditulis antara al-Anfāl dan al-Taubah (al-
bara‟ah), juga tidak perlu ditulis di awal al-Fâtihah 24
. Selain itu, pemisahan bisa
saja dilakukan dengan menulis judul surat seperti yang dilakukan antara al-Anfâl
dengan al-Bara‟ah.”25
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud, yang berbunyi :
يانع ث ناسفم وابمنالسرمحقالواحد ث ناق ت يمبةبمنسعيدوأحمدبمنممدالممرموزيي سعيدحد روعنم عمم نمابمنعب قالق ت يمبةفيوعنم لالسيورة اسقالبمنجب يم كانالنبيصلىاللوعليمووسلملي عمرففصم
ماللوالرحمنالرحيم ت ن زلعليموبسم ظابمنالسرمح حت 26وىذالفم
“... Dari Ibnu Abbas dia berkata: “Nabi SAW. tidak mengetahui pemisah antar surat
hingga diturunkan kepada beliau Bismillâhirrahmânirrahîm. (dengan menyebut nama
Allâh yang maha pengasih lagi maha penyayang).” Lafadz ini dari Ibnu as-Sarh. (HR.
Abû Dâwud)
السيورة فصمل ي عمرف Hadis ini .(tidak mengetahui pemisah antar surat) ل
menjadi dalil bagi yang mengatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-
Qur‟an. Ini berarti hanya dengan dia turun bersama al-Qur‟an maka dia adalah
bagian dari al-Qur‟an itu sendiri. Demikian diungkapkan asy-Syaukani.
24
Karena tidak ada surat sebelum al-Fâtihah sehingga tidak perlu ditulis pemisah dengan
surat lain di atasnya. 25
Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h.
457 26
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 2, hadis no.669, hal 441
45
Berdalil dengan hadis ini dan juga hadis lain yang senada untuk
mengatakan bahwa membaca basmalah hendaknya dengan keras (jahr) dalam
salat tidaklah tepat. al-Hafizh Ibnu Sayyid an-Nas al-Ya‟muri mengatakan,
“Karena sekelompok orang yang mengharuskan pembacaan basmalah secara
keras tetap tidak meyakini bahwa basmalah itu bagian dari al-Qur‟an. Mereka
malah mengatakan bahwa itu hanya sunah, sama halnya dengan ta‟awwudz dan
pembacaan âmîn. Sebaliknya, kelompok yang mengatakan basmalah dibaca pelan
(sirr) malah meyakini bahwa basmalah bagian dari al-Qur‟an.27
Karenanya an-Nawawi berkata, “Masalah mengeraskan atau memelankan
bacaan basmalah tidak ada hubungannya dengan masalah apakah dia bagian dari
al-Qur‟an atau bukan. Merupakan kesalahan pula berdalil dengan hadis-hadis
meniadakan pembacaan basmalah (secara keras) bahwa itu berarti basmalah
bukan ayat dari al-Qur‟an.28
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Takhrij Hadits al-Hidayah, “Salah
satu dalil yang menetapkan pembacaan basmalah dengan suara keras adalah
bahwa hadisnya diriwayatkan dari banyak jalur. Sedangkan yang meniadakannya
hanya datang dari riwayat Anas dan Mughaffal. Sedangkan yang lebih kuat
tentulah yang lebih banyak.29
Selain itu, hadis yang menyatakan pembacaan secara keras merupakan
peng itsbat-an (penetapan) dan penetapan biasanya lebih diunggulkan daripada
27
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 471 28
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 471 29
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 471
46
peniadaan. Lagi pula yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. tidak
mengeraskan bacaan basmalah juga meriwayatkan bahwa beliau mengeraskan
bacaan basmalah. Bahkan ada riwayat dari Anas yang mengingkari hal itu.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Daraquthni dari jalur Sa‟id bin
Yazid Abu Maslamah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, Apakah
Rasulullah SAW. Membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, ataukah
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn?” Dia menjawab, “Kamu bertanya padaku tentang
hal yang aku tidak ingat betul dan juga tak ada yang bertanya itu kepadaku selain
kamu.”30
Tapi dalil pertama bisa dijawab, bahwa pengunggulan jalur yang lebih
banyak itu bisa dilakukan kalau sanadnya sama-sama sahîh. Dalam hal ini, tidak
ada satupun khabar (hadis) marfu‟ yang sahîh bahwa Rasulullah SAW. pernah
membaca basmalah dengan suara keras, sebagaimana diungkapkan oleh ad-
Daraquthni. Yang sahîh hanya perbuatan sebagian sahabat.31
Sedangkan untuk yang kedua, meskipun dalil tidak membaca basmalah
dengan suara keras itu bentuknya nafi (peniadaan), tapi maknanya adalah itsbat
(penetapan). Dalil lain yang biasa dikatakan bahwa ada kemungkinan sahabat
yang meniadakan pembacaan basmalah dengan suara keras ini tidak
mendengarnya dari Rasulullah SAW. karena jarak mereka jauh. Ini
kemungkinannya jauh sekali, sebab demikian lamanya mereka mendampingi
beliau SAW.
30
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 472 31
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 472
47
Jawaban untuk yang ketiga (dalil Anas yang menyatakan lupa) maka yang
mendengar darinya pada saat dia masih hafal tentu harus lebih didahulukan
daripada yang mendengarnya di saat lupa. Anas sendiri pernah ditanya tentang
sesuatu lalu dia berkata kepada penanya, “Tanyakan kepada al-Hasan, karena dia
masih ingat sedang aku sudah lupa.”
Al-Hazimi mengatakan, “Hadis-hadis tentang membaca basmalah dengan
suara pelan tidak bisa ditakwil lain, juga tidak bisa dilawan oleh dalil lain karena
hadis tersebut sahîh. Sedangkan hadis yang menyatakan beliau membaca dengan
suara keras tidak sama dalam ke- sahîh -annya. Kalaupun ada yang sahîh tentang
penyaringan suara saat membaca basmalah adalah hadis Anas, itupun redaksinya
berbeda-beda. Dan, riwayat yang paling sahîh dari Anas adalah bahwa mereka
(Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman) memulai bacaan dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Seperti inilah riwayat kebanyakan murid-murid
Syu‟bah darinya, dari Qatadah dari Anas. Seperti ini pula redaksi kebanyakan
murid-murid Qatadah dari Qatadah. Redaksi ini pula yang disepakati oleh
Syaikhani (al-Bukhârî dan Muslim).32
Ada pula versi redaksi lain dengan lafazh, “Aku belum pernah mendengar
seorang pun dari mereka yang mengeraskan bacaan basmalah. Perawi redaksi ini
lebih sedikit dibanding riwayat pertama, serta hanya diriwayatkan oleh Muslim
seorang diri.
Ada lagi riwayat dari Hammam dan Jarir bin Hazim dari Qatadah, “Anas
ditanya bagaimana bacaan Nabi SAW.? Dia menjawab, beliau membaca
32
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473
48
basmalah dengan panjang dan ar-Rahmânir Rahîm juga dengan panjang.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
Ada pula riwayat darinya dari hadis Abu Maslamah sama seperti hadis
yang sudah disebutkan. Konon dia ditanya tentang bagaimana Nabi SAW.
membuka bacaan. Kemudian Abu al-Hazimi berkata, “Ini adalah perbedaan
pendapat yang dibolehkan, tidak ada nasikh dan mansukh di sini.33
Ibnu al-Qayyim menyatakan dalam kitab al-Hady (Zad al-Ma‟ad) bahwa
Nabi SAW. terkadang mengeraskan bacaan basmalah terkadang pula
memelankannya, dan itulah yang lebih sering. Tidak mungkin beliau SAW. selalu
mengucapkannya dengan suara keras setiap kali salat baik siang maupun malam,
baik ketika dalam perjalanan maupun di rumah dan tidak ada satu pun para
khalifahnya yang mendengar itu. Hadis yang sahîh dalam masalah ini tidak tegas
mengatakan demikian, sementara yang tegas tidak sahîh.”34
4. Analisa Hadis
Hadis-hadis di atas adalah hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh orang
yang berpendapat bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm dibaca jahr (nyaring). secara
tegas mereka mengharuskan pelafalan basmalah dalam salat, karena menurut
mereka basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fâtihah. Salah satu dalil yang
dijadikan hujjah mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasâ‟î dari
Nu‟aim al-Mujmir yang sudah disebutkan di atas.
33
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473 34
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473
49
Al-Nasâ‟î menetapkan bab dalam kitabnya dengan lafal “Bab
mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm” dan hadis tersebut termasuk
yang paling saẖîẖ tentang masalah itu.35
Sehingga menguatkan hukum asal yaitu
hukum kalimat bismillâh itu sama dengan hukum bacaan al-Fâtihah dalam hal
membaca keras atau pelan. Apalagi hadis ini adalah ucapan dari Abu Hurairah
yang mengatakan: “Sungguh sayalah di antara kamu yang paling sama salatnya dengan
salat Rasulullah”.
Tetapi setelah diselidiki lebih mendalam oleh para ulama, tiap-tiap hadis
yang jadi pegangan buat men-jahr itu ada saja yang di-naqd (kritik) terhadap
perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Imam
al-Tirmîdzî mengatakan, “Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya.”
Begitupun dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau pernah ditanya mengenai
hadis yang diriwayatkan al-Nasâ‟î di atas, beliau mengatakan, “Ahli hadis telah
sepakat bahwa tidak ada hadis saẖîẖ yang memastikan dikeraskannya (bacaan
basmalah) dengan al-Fâtihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian
terdapat dalam hadis-hadis palsu (hadis yang dibuat-buat).” Sedangkan hadis
riwayat al-Bukhârî yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. menghitung
Bismillâhirrahmânirrahîm sebagai salah satu ayat dari al-Fatihah, menurut
sebagian ahli hadis, riwayat ini tidak dijelaskan sanadnya sehingga diragukan
keabsahannya sebagai hadis yang disandarkan dari Imam al-Bukhârî.
Mengenai perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, penulis kurang
sependapat dengan perkataan beliau, karena ada beberapa hadis yang Sahîh
35
Ash-Shan‟anī, Terjemahan Subulus Salam terj. Abu Bakar Muhammad ( Surabaya: Al-
Ikhlas) jilid 1, h.531
50
tentang mengeraskan basmalah. Sebagaimana yang telah penulis telusuri di al-
Kutub al-Sittah mengenai hadis-hadis tentang mengeraskan basmalah, penulis
menemukan 8 hadis salah satu di antaranya ada di kitab Sahîh al-Bukhârî.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa para ulama dan kaum muslimin telah
sepakat atas ke- Sahîh-an kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim. Bahkan,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri beliau mengatakan sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam kitab al-Lu‟lu‟ wa al-Marjân
“Di kolong langit ini tidak ada kitab yang lebih Sahîh setelah kitab suci al-Qur‟an
selain kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim, serta kitab-kitab yang dihimpun
dari keduanya.36
B. Hadis Tentang Tidak Menyaringkan Basmalah
Terdapat 16 hadis yang membahas tentang tidak menyaringkan basmalah
dalam salat, didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Sahîh al-Bukhârî sebanyak 1
hadis, Sahîh Muslim sebanyak 2 hadis, Sunan Abû Dâwud sebanyak 1 hadis,
Sunan al-Tirmîdzî sebanyak 3 hadis, Sunan al-Nasâ‟î sebanyak 5 hadis dan
Sunan Ibnu Mâjah sebanyak 4 hadis.
1. Teks Hadis
a. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
ث نا ث نا قال عمر بمن حفمص حد عليمو اللو صلى النب نأ مالك بمن أنس عنم ق تادة عنم شعمبة حد
ر وأبا وسلم هما اللو رضي وعمر بكم تتحون كانوا عن م د}ب الصلة ي فم مم { المعالمي رب للو الم37
36
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu‟lu‟ wa al-Marjân terj. Muhammad Suhadi dkk
(Jakarta: Ummul Qura) cet. 1, h. xxxvii 37
Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhârî, jilid-3, hadis 701, h. 186; lihat juga di Imam al-
Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 1, hadis no. 229, h. 416; lihat juga di Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-
Nasâ‟ī, jilid 3, hadis no. 892 dan 893, h. 455-456; dan lihat juga di Abu Abdillah Muhammad Ibn
Yazid al-Qazwini Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 3, hadis no. 805,
h. 41
51
“... Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW., Abu Bakar dan „Umar ra., mereka
memulai salat dengan membaca Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Al-Bukhârî)
b. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh Muslim
ث ن ث نا الممث ن ابمن قال غنمدر عنم كلها بشار وابمن الممث ن بمن ممد احد ث نا جعمفر بمن ممد حد حد
ر وأب وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول مع صليمت قال أنس عنم يدث ق تادة سعمت قال شعمبة بكم
همم أحدا أسمعم ف لمم وعثممان وعمر رأ من م م ي قم 38الرحيم الرحمن اللو بسم
“... Dari Anas dia berkata, “Saya salat bersama Rasulullah SAW., Abu Bakar,
Umar dan Utsman, lalu aku belum pernah mendengar salah seorang dari mereka
membaca, Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah
menceritakan kepada kami Abû Dâwud telah menceritakan kepada kami Syu‟bah
dalam isnad ini dan menambahkan “Syu‟bah berkata, maka saya berkata kepada
Qatadah, „Apakah kamu mendengarnya dari Anas? „Dia berkata, „Ya, dan kami
menanyakannya tentangnya.”39
Dalam lafazh lainnya disebutkan:
ر وأب وسلم عليمو اللو صلى النب خلمف صليمت تحون فكانوا وعثممان وعمر بكم ت فم د } ب يسم مم الم
م يذمكرون ل { المعالمي رب للو 40آخرىا ف ول قراءة أول ف الرحيم الرحمن اللو بسم
“Saya salat di belakang Nabi SAW., Abu Bakar, Umar, dan Utsman, maka
mereka memulai membaca dengan, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (segala puji bagi Allâh ,
Tuhan semesta alam).‟ Mereka tidak menyebutkan Bismillâhirrahmânirrahîm (dengan
nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) pada awal bacaan, dan tidak
pada akhirnya.” (HR. Muslim)
c. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Abû Dâwud
أنس ق تادةعنم ث ناىشامعنم لمبمنإب مراىيمحد ث نامسم ر حد النبصلىاللوعليمووسلموأبابكم أندللوربالمع مم تتحونالمقراءةب}الم كانواي فم 41المي{وعمروعثممان
“... Dari Anas bahwa Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semua
memulai bacaannya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Abû Dâwud)
d. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmîdzî
38
Imam Muslim, Sahîh Muslim, hadis no. 605, jilid 2, h. 361 39
Imam Muslim, Sahîh Muslim, hadis no. 605, jilid 2, h. 361 40
Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 2, hadis no. 606, h. 362 41
Imam Abû Dâwud, Sunan Abī Dâwud, jilid 2, hadis no. 664, h. 435
52
ث نا ث نا منيع بمن أحمد حد ث نا إب مراىيم بمن إسمعيل حد ريمريي إياس بمن سعيد حد عباية بمن ق يمس عنم الم
عن قال مغفل بمن اللو عبمد ابمن عنم م ولأق الصلة ف وأنا أب س أيم ل ف قال الرحيم الرحمن اللو بسم
دث إياك ممدث ب ن كان وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول أصمحاب منم أحدا أر ولم قال والم
دث إليمو أب مغض لم ف الم أب ومع وسلم عليمو اللو صلى النب مع صليمت وقدم الق منمو ي عمن المسم
ر همم أحدا أسمعم ف لمم عثممان ومع عمر ومع بكم د ف قلم صليمت أنمت إذا ت قلمها فل ي قولا من م مم للو الم
42المعالمي رب
“... Dari Ibnu Abdullah bin Mughaffal ia berkata; Ayahku mendengarku ketika aku
dalam salat, ketika itu aku membaca, Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama
Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah), lalu Ayahku berkata; “wahai anakku,
engkau telah melakukan hal yang baru, jauhilah perkara baru!” Ia (ayahku) berkata; “Aku
tidak pernah melihat seorang pun dari sahabat Rasulullah SAW. membenci sesuatu selain
perkara yang baru (diada-adakan) di dalam Islam.” Ia berkata lagi, “Aku pernah salat
bersama Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah melihat
mereka mengucapkannya, maka janganlah engkau ucapkan itu. Jika engkau
melaksanakan salat maka bacalah, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (segala puji bagi Allâh ,
Rabb semesta alam).” (HR. Al-Tirmîdzî)
Abu Isa berkata; “Hadis Abdullah bin Mughaffal ini derajatnya hasan
Sahîh. Hadis ini diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi
SAW., dan orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi‟in. Pendapat ini juga
dipegang oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka
berpendapat bahwa ucapan Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama
Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah) itu tidak dikeraskan. Mereka
berkata; “Hendaklah mereka mengucapkannya dalam hati.” 43
Menurut Ibnu Abdi al-Barr, hadis di atas ḏa‟if karena ada salah satu
perawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Ibnu Mughaffal.44
Dan para ahli hadis
yang lain juga men-ḏa‟if-kan hadis tersebut dan mereka menolak pendapat at-
42
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, Jilid 1,hadis no. 227, h. 412; lihat juga di Imam
al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 898, h. 463; dan lihat juga di Imam Ibnu Mâjah,
Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 807, h. 43 43
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, Jilid 1,hadis no. 227, h. 412 44
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf
Baitussalam Billy Moon, 2013) jilid 1, h. 205
53
Tirmîdzî yang menggolongkannya sebagai hadis hasan, seperti Ibnu Khuzaimah
dan al-Khathib. Mereka berkata, “Masalahnya terletak pada Ibnu Abdillah bin
Mughaffal, dan ia adalah perawi yang tidak dikenal”.45
ث نا ر بمن عليي حد ب رنا حجم مويي سعيد بمن يمي أخم سلمة أم عنم مليمكة أب ابمن عنم جريمج ابمن عنم الم
د } ي قول قراءتو ي قطع وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول كان قالتم مم ث { المعالمي رب للو المرؤىا وكان يقف ث { الرحيم الرحمن } يقف { الدين ي ومم ملك } ي قم
46
“... Dari Ummu Salamah ia berkata; Rasulullah SAW. biasa memotong bacaan
beliau, beliau membaca; Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, kemudian beliau berhenti,
Arrahmânirrahîm, kemudian beliau berhenti, lalu beliau membaca Maliki yaumiddîn.”
(HR. Al-Tirmîdzî)
Abu Isa berkata, “Hadis ini gharib47
. Bacaan ini kemudian yang dibaca
oleh Abu „Ubaidah dan dipilihnya. Demikianlah Yahya bin Sa‟id al-Umawi dan
yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abu Mulaikah dari Ummu
Salamah, namun sanadnya tidak bersambung, karena al-Laits bin Sa‟d
meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Abu Mulaikah dari Ya‟la bin Mamlak dari
Ummu Salamah bahwa Ummu Salamah menyebut bacaan Nabi SAW. kalimat
perkalimat, hadis al-Laits lebih sahîh, namun dalam hadis al-Laits tidak
disebutkan: “Beliau membaca Malikiyaumiddîn.”48
e. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Nasâ‟î
ب رنا سن بمن علي بمن ممد أخم زاذان بمن منمصور عنم حمزة أبو أن مبأنا ي قول أب سعمت قال شقيق بمن الم
معمنا ف لمم وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول بنا صلى قال مالك بمن أنس عنم م قراءة يسم اللو بسم
ر أبو بنا وصلى الرحيم الرحمن معمها ف لمم وعمر بكم هما نسم 49من م
45
Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-mubarakfuri 46
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 10, hadis no. 2851, h. 172 47
Hadis yang diriwayatkan seseorang secara sendirian. Kadang-kadang perawinya tsiqat,
sehingga riwayatnya shahih. Tetapi kadang-kadang ia di bawah kualitas tsiqat, sehingga
riwayatnya hasan. Dan kadang-kadang ia dha‟if, sehingga riayatnya dha‟if . 48
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 10, hadis no. 2851, h. 172 49
Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 896, h. 461
54
“... Dari Anas bin Malik dia berkata; “Rasulullah saw.shalat bersama kami
dan kami tidak mendengar (bacaan) Bismillâhirrahmânirrahîm darinya. Kami juga
shalat bersama Abu Bakar serta Umar, dan keduanya juga tidak membaca
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.” (HR. Al-Nasâ‟î)
Dalam lafazh yang lainnya disebutkan:
همم أحدا أسمعم ف لمم م ب يمهر من م 50الرحيم الرحمن اللو بسم
“Aku tidak mendengar salah seorang dari mereka mengeraskan bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Al-Nasâ‟î)
f. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Mâjah
ث نا ر أبو حد ث نا شيمبة بأ بمن بكم عنم ىارون بمن يزيد حد أب عنم ميمسرة بمن بديمل عنم الممعلم حسيم
ومزاء تتح وسلم عليمو اللو صلى اللو رسول كان قالتم عائشة عنم الم د } ب المقراءة ي فم مم بر للو الم{ المعالمي
51
“... Dari Aisyah ia berkata; “Rasulullah SAW. memulai bacaannya dengan;
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Ibnu Mâjah)
ث نا ضميي علي بمن نصمر حد هم روب الم بة خلف بمن كم رم بمن وعقم ث نا قالوا مكم وان حد عيسى بمن صفم
ث نا ر حد وسلم عليمو اللو صلى النب أن ىري مرة أب عنم ىري مرة أب عم ابمن اللو عبمد أب عنم رافع بمن بشم
تت كان د } ب المقراءة حي فم مم { المعالمي رب للو الم52
“... Dari Abu Hurairah berkata; “Nabi SAW. membuka bacaannya dengan;
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Ibnu Mâjah)
Kualitas hadis: Hadis di atas sahîh. Sebagian mereka menganggapnya
ma‟lul (mengandung cacat) karena kekacauan periwayatannya, namun al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam al-Fath (2/266) mengatakan, “Para perawi yang bersumber dari
Syu‟bah telah berbeda dalam meriwayatkan lafazh hadis ini, sekelompok
sahabatnya yang menerima darinya meriwayatkan dengan lafazh, “Mereka
membuka salatnya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” Sementara sekelompok
lainnya yang juga menerima darinya meriwayatkan dengan lafazh, “Aku tidak
50
Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 897, h. 462 51
Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 804, h. 40 52
Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 806, h. 42
55
pernah mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca
Bismillâhirrahmânirrahîm.”53
2. Asbâb al-Wurûd Hadis
Begitu juga dengan Asbâb al-Wurûd hadis-hadis tentang tidak
menyaringkan basmalah dalam salat yang akan dibahas ini tidak dicantumkan
penulis, sebab memang tidak terdapat Asbâb al-Wurûd-nya. Setelah penulis
menelusuri dua kitab, yaitu: al-Luma‟ Fi Asbâb al-Wurûd al-hadîts karya
Jalaluddin al-Suyuti dan latar belakang historis timbulnya hadis-hadis Rasul karya
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, penulis tidak menemukan adanya
keterangan tentang Asbâb al-Wurûd dalam hadis tersebut.
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, ketika
menerangkan hadis yang diriwayatkan Abû Dâwud. Dalam hal ini beliau tidak
mengutip pendapatnya sendiri, melainkan mengutip dari berbagai pendapat ulama
hadis.
أنس ق تادةعنم ث ناىشامعنم لمبمنإب مراىيمحد ث نامسم النب حد رأن صلىاللوعليمووسلموأبابكمدللوربالمعالمي{ مم تتحونالمقراءةب}الم كانواي فم 54وعمروعثممان
“... Dari Anas bahwa Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semua
memulai bacaannya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Abû Dâwud)
ربالمعالمي{ للو د مم ب}الم المقراءة تتحون ي فم كانوا (mereka membuka bacaan
dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn) ada perbedaan pendapat mengenai
53
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah
dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) cet. Ke-3, jilid 2, h.173 54
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 2, hadis no. 664, 665,1245,1246, h. 435
56
penafsiran ini. Ada yang mengatakan maksudnya adalah surat al-Fâtihah, dan ini
adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa ayat pertama dari al-Fâtihah
adalah Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Pendapat lain bahwa artinya mereka
memulai bacaan al-Fâtihah dengan mengucapkan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn,
ini adalah pendapat yang menyatakan tidak ada basmalah. Tapi ini tidak berarti
bahwa mereka tidak membaca م الرحيم الرحمن اللو بسم (Dengan nama Allâh yang
maha pemurah lagi maha penyayang) secara sirr (pelan).55
Perlu diketahui ada perbedaan pendapat yang banyak tentang redaksi Anas
ini.
Dalam salah satu redaksinya sebagai berikut:
همم أحدا أسمعم ف لمم رأ من م م ي قم الرحيم الرحمن اللو بسم
“Aku belum pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca,
Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dalam versi riwayat lainnya:
م يمهرون لكانواف الرحيم الرحمن اللو ببسم
“Mereka tidak mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Ahmad dan
al-Nasâ‟î)
Dalam versi riwayat lain:
م يذمكرون ل آخرىا ف ول قراءة أول ف الرحيم الرحمن اللو بسم
“Mereka tidak menyebutkan Bismillâhirrahmânirrahîm (dengan nama Allâh Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) pada awal bacaan, dan tidak pada akhirnya.” (HR.
Muslim)
55
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 448
57
Dalam versi riwayat lain:
تحونالمقراءةسمي اونويك ف لمم م ت فم الرحيم الرحمن اللو ببسم
“Mereka tidak membuka bacaan dengan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR.
Abdullah bin Ahmad dalam musnad ayahnya).
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah redaksinya adalah, يسرون mereka) كانوا
menyembunyikan suara bacaan).
Al-Hafizh berkomentar, “Yang mungkin bisa dikompromikan dari
riwayat-riwayat yang berbeda ini bahwa Nabi SAW. membaca basmalah tidak
secara keras. Bila disebutkan dalam hadis Anas bahwa beliau tidak membacanya
berarti maksudnya beliau tidak mengeraskan bacaannnya, dan ketika disebutkan
beliau membaca berarti membaca dengan suara pelan (sirr). Bahkan ada riwayat
yang menafikan mengeraskan (bacaan basmalah) secara tegas, dan inilah yang
dapat dipegang.56
Perkataan Anas dalam riwayat Muslim, “Mereka tidak menyebut
Bismillâhirrahmânirrahîm, baik di awal maupun di akhir bacaan.” Harus
dipahami bahwa beliau tidak mengeraskan bacaannya, karena itulah yang
mungkin ditiadakan. Sedangkan redaksi yang jelas-jelas meniadakan basmalah
seperti pada redaksi “Mereka memulai bacaan dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” Tidak menunjukkan bahwa beliau sama sekali
tidak membaca basmalah. Sebab, bacaan awal beliau sendiri adalah doa iftitah,
dan beliau juga mengucapkan ta‟awwudz, serta riwayat-riwayat lain yang
menyatakan ada bacaan lain yang diucapkan sebelum al-Fâtihah setelah takbir.
56
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 449
58
Dengan demikian, perkataan, “Mereka memulai” maksudnya memulai bacaan
yang bisa didengar supaya bisa mengkompromikan semua versi redaksi yang
ada.”57
Ini dalil bagi yang berpendapat bahwa bacaan basmalah tidak
dinyaringkan. Menurut al-Tirmîdzî ini adalah pendapat sebagian besar ulama
dikalangan sahabat Nabi SAW. antara lain Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan
setelah mereka dari kalangan tabi‟in. Ini pula yang menjadi pendapat Sufyan ats-
Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka semua mengatakan tidak
mengeraskan bacaan basmalah, tapi hanya dibaca sendiri.
Al-Khaththabi berkata, “Terkadang orang yang berpendapat bahwa
basmalah bukan bagian dari surat al-Fâtihah juga berdalil dengan hadis ini. Tapi
tidak demikian adanya. Hadis ini hanya menunjukkan bahwa bacaan basmalah
tidak dinyaringkan berdasarkan riwayat yang tsabit dari Anas, dia berkata, “Aku
pernah salat di belakang Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan
tidak pernah satupun dari mereka yang mengeraskan bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm.”58
Al-Munziri berkata, “Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhârî,
Muslim, al-Nasâ‟î dari hadis Syu‟bah dari Qatadah. Al-Tirmîdzî dan Ibnu Mâjah
juga meriwayatkannya dari Abu Awanah, dari Qatadah dengan redaksi yang
mirip.
57
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Daâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Cet. Ke-1, Jilid 3, h. 449 58
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Daâwud terj. Anshari Taslim, h. 450
59
4. Analisa Hadis
Hadis di atas menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk surat al-
Fâtiẖah, sehingga membacanya tidak diharuskan bersama bacaannya, namun
membacanya itu sunnah sebagai pemisah antar surat. Walaupun dalam hal ini juga
ada perbedaan pendapat.
Hadis di atas juga menginformasikan sifat bacaan Nabi SAW. dan
Khulafa‟ Rasyidun, bahwa mereka membuka bacaan salat dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Tambahan Imam Muslim menegaskan bahwa
mereka tidak menyebutkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhirnya.
Setelah penulis amati, mengenai hadis-hadis di atas yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhâri, Imam Muslim dan juga yang lainnya sepintas kelihatan
saling bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang berbunyi :
“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang dan al-Qur‟an yang agung.” (QS. Al-Hijr: 87)
Bahwa yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang adalah
bacaan al-Fâtiẖah dalam setiap rakaat salat yang kita tahu ayat pertamanya
berbunyi Bismillâhirrahmânirrahîm.
Dan hadis di atas juga termasuk hadis yang sahîẖ, setidaknya menurut
mayoritas umat Islam yang menempatkan kedudukan kitab Sahîh al-Bukhârî dan
Sahîh Muslim sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia setelah al-Qur‟an.
Dari Anas bin Malik " Aku biasa salat di belakang Nabi SAW., di belakang Abu
Bakar, Umar dan Utsman. Mereka hanya memulai bacaan dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn dan tidak pernah kudengar mereka membaca
Bismillâhirrahmânirrahîm pada awal bacaan (al-Fâtihah) dan tidak pula penghabisannya.
(HR. Al-Bukhârî dan Muslim)
60
Dari segi kekuatan periwayatan, hadis ini sudah tidak ada masalah.
Tinggal masalah cara memahami matan hadis ini dengan teliti.
Anas bin Malik melaporkan bahwa dirinya tidak pernah mendengar
Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman mengucapkan basmalah di
dalam salat.
Dari sini penulis bisa mengambil beberapa hal. Pertama, kalau Anas bin
Malik tidak merasa pernah mendengar basmalah, bukan berarti hal itu menjadi
suatu kepastian bahwa kapan dan di mana pun Rasulullah SAW. dan ketiga
sahabatnya itu tidak pernah mengucapkannya. Boleh jadi apa yang dilaporkan
oleh Anas bin Malik itu benar menurut pengalaman pribadinya, namun laporan itu
tidak harus menggugurkan orang lain yang misalnya melaporkan hal yang
sebaliknya.
Kedua, kalau Anas bin Malik menyatakan tidak pernah mendengar lafadz
basmalah diucapkan Nabi SAW. dalam salat, bukan berarti beliau sama sekali
tidak mengucapkannya. Ada kemungkinan beliau membaca dengan sirr (suara
direndahkan) sehingga pastilah Anas ra. tidak mendengarnya. Tetapi hadis ini
tidak bisa dijadikan dasar bahwa basmalah bukan termasuk ayat dalam surat al-
Fâtihah. Sebab ada hadis lainnya yang menegaskan bahwa basmalah termasuk
bagian dari surat al-Fâtihah.
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Bila kamu membaca
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (surat al-Fâtihah) maka bacalah Bismillâhirrahmânirrahîm,
karena al-Fâtihah itu ummul Qur‟an`, ummul kitab, Sab`ul matsani. Dan
Bismillâhirrahmânirrahîm adalah salah satu ayatnya." (HR. Ad-Daruquthni).
Selain itu, para ahli hadis juga mempertanyakan hadis Anas di atas.
Sebagian menyatakan periwayatannya sangat rancu, sehingga tidak dapat dipakai
61
sebagai hujjah. Hal ini karena terkadang riwayat di atas diriwayatkan dari Nabi
SAW. secara marfu‟, tetapi pada riwayat yang lain diriwayatkan secara tidak
marfu‟. Di samping itu di antara perawi ada yang menyebutkan nama Utsman,
tetapi perawi yang lain ada yang tidak menyebutkan. Bahkan ada perawi yang
meriwayatkan: “Mereka tidak membaca Bismillâhirrahmânirrahîm.” Dan ada
yang meriwayatkan “Mereka tidak mengeraskan (bacaan)
Bismillâhirrahmânirrahîm.”
Mengenai hadis Ibnu Mâjah dari „Aisyah yang berbunyi: “Rasulullah
SAW. memulai bacaannya dengan; Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” Itu
menunjukkan bahwa „Aisyah menyebut satu ayat saja
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn untuk memendekkan pembicaraan. Andaikata
„Aisyah menyebut permulaan surat dengan Bismillâhirrahmânirrahîm tentu tidak
jelas surat mana yang dimaksudkan, karena semua surat kecuali surat al-Taubah
dimulai dengan basmalah.
Menurut ahli hadis, hadis-hadis di atas adalah sahîh dan tidak dapat
diketahui mana di antara hadis-hadis tersebut yang datang terlebih dahulu,
sehingga tidak dapat ditetapkan mana yang nasikh (dihapus) dan mana yang
mansukh (menghapus).Sehingga kemudian inilah yang menjadi dasar perbedaan
pendapat di kalangan ulama.
C. Pandangan Fuqaha Terhadap Basmalah
Setelah diperhatikan hadis-hadis tersebut yang menceritakan tentang boleh
atau tidaknya membaca basmalah, ternyata masing-masing dikalangan umat islam
berbeda pendapat. Adapun pendapat ulama fiqih tentang basmalah adalah:
62
Imam Malik berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-
Fâtihah, dan karena itu ia tidak membaca basmalah ketika membaca surat al-
Fâtihah dalam salat. Alasannya, selain banyaknya perbedaan antara ulama hadis,
juga karena al-Qur‟an bersifat mutawatir, yaitu periwayatannya disampaikan oleh
orang banyak yang jumlahnya meyakinkan, sedangkan riwayat tentang basmalah
dalam surat al-Fâtihah tidak demikian. Di samping itu, menurut madzhab Malik,
tidak ada satu riwayat pun yang bernilai sahîh yang dapat dijadikan dalil bahwa
basmalah pada al-Fâtihah adalah bagian dari al-Qur‟an. Bahkan justru
sebaliknya, sekian banyak riwayat yang membuktikan bahwa basmalah bukan
bagian dari al-Fâtihah. Salah satu di antaranya adalah hadis yang membagi al-
Fâtihah menjadi dua bagian, satu bagian bagi Allâh dan satu bagiannya untuk
manusia, yaitu yang berbunyi:
ث ناه و حق حد نمظليي إب مراىيم بمن إسم ب رنا الم يان أخم نة بمن سفم ىري مرةعنم أب عنم أبيو عنم المعلء عنم عي ي م
رأم لم صلة صلى منم قال وسلم عليمو اللو صلى النب ر ثلثا خداج فهي المقرمآن بأم فيها ي قم تام غي م
مام وراء نكون إنا ىري مرة لب فقيل اللو صلى اللو رسول سعمت فإن ن فمسك ف با اق مرأم ف قال الم
ت الت ع اللو قال ي قول وسلم عليمو ب يمن الصلة قسمم عبمدي وب يم قال فإذا سأل ما ولعبمدي نصمفيم
د }المعبمد مم اللو قال{ الرحيم الرحمن }قال وإذا عبمدي حدن ت عال اللو قال{ المعالمي رب للو الم
م مالك }قال وإذا عبمدي علي أث من ت عال عبمدي إل ف وض مرة وقال عبمدي مدن قال{ الدين ي وم
تعي وإياك ن عمبد إياك }قال فإذا ب يمن ىذا قال{ نسم دنا }قال فإذا سأل ما ولعبمدي عبمدي وب يم اىم
تقيم الصراط ت الذين صراط الممسم لعبمدي ىذا قال{ الضالي ول عليمهمم الممغمضوب غيم عليمهمم أن معمم
59سأل ما ولعبمدي
“... Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Barangsiapa yang
mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur‟an di dalamnya, maka shalatnya masih
59
Imam Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 2, hadis no. 895, hal. 382; lihat juga di Imam Abū
Dāwud, Sunan Abû Daâwud, jilid 2, hadis no. 699, hal. 482; lihat juga di Imam Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Mâjah, jilid 11, hadis no. 3774, hal. 226; dan lihat juga di Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î,
jilid 3, hadis no. 900, h. 466
63
mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kami
berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur‟an dalam dirimu,
karena aku mendengar Rasulullah bersabda, „Allâh berfirman, „Aku membagi shalat
antara Aku dan hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila
seorang hamba berkata, „Segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam.‟ Maka Allâh
berkata, „HambaKu memujiKu.‟ Apabila hamba tersebut mengucapkan, „Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.‟ Allâh berkata, „HambaKu memujiKu‟.....” (HR.
Muslim)
-Jumhur ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan as قسمت الصالة
Salah di sini adalah al-Fâtihah.60
Menurut mereka, yang dapat ditafsirkan dari
hadis tersebut adalah Allâh menjadikan tiga ayat pertama untuk Dzat-Nya, dan
ayat keempat mengandung unsur kerendahan diri dari seorang hamba dan
permohonan pertolongan kepada Allâh , dan tiga ayat selanjutnya menggenapkan
surat al-Fâtihah menjadi tujuh ayat.
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa ayat yang menggenapkan tujuh
ayat itu berjumlah tiga ayat adalah bahwa di situ Allâh tidak berfirman: ” Kedua
ayat ini”. Firman Allâh ini menunjukkan bahwa lafadz انعمت عليهم adalah satu
ayat.61
Mereka pun sepakat bahwa tidak sempurna salat kecuali dengan al-Fâtihah.
Maka ketika Allâh tidak menyebutkan lafadz Bismillâhirrahmânirrahîm, maka
ini sudah berarti bahwa memang basmalah bukan termasuk ayat dalam surat al-
Fâtiẖah. Apabila basmalah itu merupakan ayat dari surat al-Fâtihah, maka
otomatis dimulai dengan ayat itu. Pendapat yang masyhur menurut kelompok
ulama Malikiyah, yaitu bahwa basmalah bukanlah ayat dari al-Qur‟an kecuali
hanya dalam surat al-Naml yang merupakan bagian dari satu ayat.62
60
Majlis Tafsir al-Qur‟an, Tafsir al-Qur‟an Surat al-Fatihah dan al-Baqarah ayat 1-39 (
Solo: Percetakan al-Abror) h.3 61
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi terj. Fathurrahman dkk, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2010) cet. Ke-2, jilid 1, h. 247 62
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 518
64
Dalam pengamatan Imam Malik terhadap pengamalan penduduk Madinah,
beliau menemukan bahwa imam atau masyarakat umum tidak membaca basmalah
ketika membaca surat al-Fâtihah.63
Imam Syafi‟i menilai basmalah sebagai ayat pertama dari surat al-Fâtihah
dan karena salat tidak sah tanpa membaca al-Fâtihah, maka basmalah harus
dibaca ketika membaca al-Fâtihah, alasannya cukup banyak.64
Fakhruddin ar-Razi menguraikan tidak kurang dari lima belas dalil tentang
basmalah dalam surat al-Fâtihah. Antara lain riwayat Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Al- Fâtiẖah terdiri dari tujuh ayat,
awalnya adalah Bismillâhirrahmânirrahîm” (HR. Ath-Thabarani dan Ibn
Mardawaih). Demikian juga informasi istri nabi, Ummu Salamah yang
menyatakan bahwa Rasulullah membaca al-Fâtihah termasuk basmalah. (HR.
Abû Dâwud dan Ahmad Ibn Hambali)65
Sebagian ulama tampak menolak pendapat Imam Syafi‟i dengan
menyatakan bahwa jika basmalah merupakan satu ayat pada selain surat al-Naml,
niscaya akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW., sebab al-Qur‟an diriwayatkan
secara mutawatir. Itulah pertanyaan al-Qadhi yang membantah pendapat Imam
Syafi‟i, dan menduga bahwa penolakan ini adalah sebuah kebenaran yang qat‟i
(pasti).66
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 26 64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 27 65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 27 66
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006) cet. Ke-1, jilid 1, h. 260
65
Lalu Abu Hamid al-Ghazali membenarkan pendapat Imam Syafi‟i, ia
mengatakan bahwa jika basmalah bukan salah satu ayat al-Qur‟an, niscaya
Rasulullah SAW. memberikan penjelasan yang demikian.67
Imam al-Bukhârî juga meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Anas Ibn Malik
ditanya bagaimana Rasulullah membaca al-Qur‟an, kemudian Anas menjawab:
ا كانتم ف قال وسلم عليمو اللو صلى النب قراءة كانتم م } ق رأ ث مد يدي { الرحيم الرحمن اللو بسم
م 68بالرحيم ويدي بالرحمن ويدي اللو ببسم
“Bacaan beliau adalah panjang.” Lalu ia pun membaca:
Bismillâhirrahmânirrahîm.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan,
Bismillâh dan juga memanjangkan bacaan, ar-Rahmân serta bacaan, ar-Rahîm. (HR. Al-
Bukhârî)
Selain itu telah menjadi kesepakatan bahwa seluruh umat Islam, mengakui
segala yang tercantum dalam al-Qur‟an sehingga bacaan âmîn pada akhir surat al-
Fâtihah ketika salat pun tidak dianggap oleh ulama sebagai bagian dari al-Qur‟an.
Imam Nawawi telah menjelaskan hal itu dalam Majmu (3/289). Beliau
mengatakan, pendapat madzhab kami adalah bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm
merupakan ayat yang sempurna dari awal surat al-Fâtihah dan dalam hal ini tidak
ada perbedaan pendapat para imam madzhab Syafi‟iyah.69
Para ahli qira‟at Makkah dan Kufah telah memastikan, bahwa basmalah
merupakan salah satu ayat dari surat al-Fâtihah tapi bukan merupakan salah satu
ayat dari surat-surat lainnya. Mereka berkata, “Dituliskannya basmalah pada
permulaan setiap surat itu, hanya sebagai pemisah antar surat dan untuk
mendapatkan keberkahannya.”70
67
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni dkk, h. 260 68
Imam al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz-15, hadis 4658, h. 466 69
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 517 70
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr al-
Hadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 63
66
Imam Hanafi berpendapat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari
al-Qur‟an yang berdiri sendiri di awalnya dan bukan bagian dari surat apapun, tapi
ditulis pada setiap surat untuk memisahkan satu surat dengan surat berikutnya.71
Muslim meriwayatkan dari al-Mukhtar bin Fulful dari Anas bahwa Nabi SAW
bersabda :
م سورة آنفا علي ن زلتم ناك إنا الرحيم الرحمن اللو بسم ث ر أعمطي م المكوم
“Tadi baru saja turun surat (al-Kautsar) Bismillâhirrahmânirrahîm,
sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” (QS. Al-
Kautsar). (HR. Muslim).
Juga ada riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah SAW tidak
mengetahui pemisahan surat kecuali diturunkan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR.
Abû Dâwud dan Al-Hakim).
Ini juga merupakan pendapat Ibnu al-Mubarak dan Dâud (az-Zahiri), dan
inilah yang mansus (jadi pendapat resmi) dari Ahmad. Abu Bakr ar-Razi berkata,
“Inilah yang cocok dengan pendapat madzhab.”
Menurut Fuad bin Siraj „Abdul Ghafar beliau mengatakan, bahwa yang
rajih menurutnya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Quddamah dalam kitabnya
Ikhtiyarat; ijmak dengan penulisan basmalah sebagai ayat pada awal surat al-
Fâtihah dan merupakan bagian darinya, walaupun mereka berbeda pendapat
tentang basmalah sebagai bagian dari setiap surat. Yang rajih adalah bahwa
basmalah itu merupakan ayat dari al-Qur‟an. Diletakkannya basmalah itu untuk
71
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 446
67
membedakan antara setiap surat, dengan menganggapnya sebagai ayat pada awal
surat al-Fâtihah dan bagian dari surat an-Naml.72
Al-Mundziri berkata, perlu diketahui bahwa umat sudah sepakat bahwa
yang menetapkan basmalah bagian dari al-Qur‟an ataupun yang menafikannya
tidaklah kafir, karena para ulama sendiri masih berbeda pendapat mengenai hal
ini. Berbeda dengan orang yang menafikan (atau mengingkari) satu huruf dari al-
Qur‟an yang telah disepakati keberadaannya sebagai ayat al-Qur‟an, atau
menetapkan ada ayat tambahan yang belum pernah ditetapkan orang di masa lalu,
maka yang seperti ini kafir menurut ijma‟.73
Selain berbeda seputar apakah basmalah bagian dari surat al-Fâtihah dan
bagian dari setiap surat. Para fuqaha juga berbeda pendapat tentang membaca
keras atau menyamarkan basmalah dalam salat. Ulama pengikut madzhab Hanafi
dan Hanabilah berpendapat bahwa disunahkan untuk membaca secara samar pada
salat yang sirriyah dan jahriyah, baik pada awal surat al-Fâtihah atau pada surat
setelahnya. Imam al-Tirmîdzî mengatakan, “Wajib atasnya beramal menurut
kebanyakan ilmuwan dari para sahabat Nabi SAW. di antara mereka adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan selain mereka. Dan setelah mereka juga para
tabi‟in, demikian dikatakan Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishak.
Mereka berpendapat bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm tidak dibaca keras.
Mereka berkata, “Dia membacanya dengan pelan.” Kebanyakan ulama Malikiyah
berpendapat memakruhkan bacaan pembuka pada salat dengan
Bismillâhirrahmânirrahîm pada surat al-Fâtihah dan pada surat setelahnya, baik
72
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 518 73
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah
Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Cet. Ke-1, Jilid 3, h. 469
68
secara sirr maupun jahr. Al-Qarafi dari kalangan ulama Malikiyah berpendapat;
hendaklah memulai surat al-Fâtihah dengan basmalah secara sirr, dan makruh
hukumnya untuk mengeraskannya. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa bahwa
sunnah hukumnya dengan men-jahr-kan tasmiyah pada salat yang di-jahr-kan,
yaitu pada surat al-Fâtihah dan surat setelahnya.74
Fuad bin Siraj „Abdul Ghafar, beliau mengatakan “Yang rajih adalah
membacanya dengan menyamarkan karena banyaknya dalil yang menunjukkan
untuk membaca secara samar. Namun terkadang mengeraskannya adalah karena
ta‟lim atau pengajaran. Apabila kebanyakan dalil itu lemah, dan tidak sahîẖ. Ibnu
Qayyim rahimahullâh mengatakan bahwa ketika itu Nabi SAW. mengeraskan
bacaan basmalah dan terkadang ia menyembunyikannya dan itu lebih banyak
dilakukannya dari pada mengeraskannya. Tidak ada keraguan bahwa ia tidak
selalu mengeraskan pada salat lima waktu sehari semalam selamanya, baik ketika
berada ditempatnya atau sedang musafir. Akan tetapi para Khulafa‟urrasyidin
menyembunyikannya begitu juga mayoritas para sahabatnya, juga warga suatu
negeri ketika ada angin besar. Yang demikian ini merupakan kondisi yang kering
sehingga membutuhkan ketetapan dalam hal ini dengan lafazh-lafazh yang umum
dan hadis-hadis yang lemah, maka yang sahîh dari hadis-hadis itu adalah tidak
sahîh, dan kejelasan dari hadis-hadis itu juga tidak tidak sahîh.75
74
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 519 75
Lihat Al-Mausu‟ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 16/181-182, Ikhtiyarat Ibnu Qudamah
al-Fiqhiyah 1/319-321, Zadul Ma‟ad karya Ibnu Qayyim 1/206-207, dan Sitt Rasa‟il karya Imam
Adz-Dzahabi 165-192 dengan tahqiq Syaikh Jasim ad-Dusiri. (menurut Raudhatuth Thalibin
karya Imam An-Nawawi).
69
Ibnu Hazm berkata, “Mereka (Imam Malik dan Imam Asy-Syafi‟i)
mengungkapkan banyak sekali dalil yang tidak sahîẖ berupa atsar yang tidak
pantas menjadi hujjah bagi pendapat dua golongan madzhab ini.”76
Misalnya riwayat yang bersumber dari Anas bahwa Rasulullah SAW.,
Abu Bakar, Umar dan Utsman mengawali salatnya dengan bacaan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn tanpa membaca basmalah, baik sebelum maupun
sesudah al-Fâtihah. Demikian pula dengan riwayat yang bersumber dari Abu
Hurairah.77
Ibnu Hazm berkata, “Semua hadis-hadis ini tidak sah dijadikan dalil.
Karena di dalam hadis-hadis ini tidak tercantum larangan dari Rasulullah SAW.
untuk membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, hadis-hadis tersebut hanya
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. tidak membacanya.”78
Hadis-hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain, di antaranya, hadis
yang kami riwayatkan dari jalur periwayatan Ahmad bin Hanbal, dia berkata,
Waki menceritakan kepada kami, Syu‟bah menceritakan kepada kami dari
Qatadah dari Anas, dia berkata, “Aku salat di belakang Rasulullah SAW., Abu
Bakar, Umar dan „Utsman. Mereka tidak mengeraskan bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm.”79
Kami juga meriwayatkan dengan teks berbunyi, “Maka mereka tidak
mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm.” Ini menunjukkan bahwa
mereka membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, namun menyembunyikan
76
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008) cet. Ke-1, jilid 3, h.383 77
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 383 78
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384 79
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384
70
bacaannya. Ini juga sekaligus menetapkan wajibnya membaca basmalah.
Demikian pula dengan hadis-hadis yang lainnya.80
Menurut Ibnu Hazm, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah
bahwa nash hadis telah nyata mewajibkan membaca Ummul Qur‟an. Tidak ada
seorang umat Islam pun yang berselisih pendapat, bahkan mereka sepakat bahwa
semua bacaan dipastikan kebenarannya dan kesemuanya disampaikan kepada
Rasulullah SAW. melalui malaikat Jibril yang menerima langsung dari Allâh
SWT. Bacaan-bacaan tersebut disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi oleh sejumlah manusia yang tidak terhitung banyaknya. Karena semua
bacaan ini adalah sebuah kebenaran, maka diwajibkan bagi manusia untuk
memilih bacaan mana yang akan dia baca. Bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm‟
yang terdapat pada qira‟at yang sahîh tergolong satu ayat dari Ummul Qur‟an, dan
qira‟at sahîh yang lain tidak termasuk satu ayat dari Ummul Qur‟an.81
D. Pendapat Mufasir Tentang Masalah Pembacaan Basmalah Dalam Salat
Imam asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya : “Adapun hadis-hadis yang
menyebutkan tidak dibacanya basmalah di dalam, walaupun lebih sahîh, namun
yang memastikan dibacanya basmalah lebih unggul, walaupun keluar dari lingkup
sahîh, maka mengamalkannya lebih utama, apalagi dengan adanya kemungkinan
penakwilan tidak dibacanya basmalah. Dan ini berkonsekwensi penetapan
essensial, maksudnya adalah karena sebagai al-Qur‟an, dan berkonsekwensi
penetapan karakter, maksudnya adalah menyaringkan bacaannya saat membuka
80
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384 81
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384
71
bacaan surat di dalam salat (yakni di dalam salat jahr, yaitu salat yang bacaannya
dinyaringkan).82
Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang paling sahîh tentang basmalah adalah
bahwa ia merupakan pemisah antarsurat, sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Abû Dâwud, “Bahwa Rasulullah SAW. tidak mengetahui
pemisah surat sehingga diturunkanlah Bismillâhirrahmânirrahîm.” Jadi barang
siapa yang berpandangan bahwa basmalah termasuk ayat surat al-Fâthah, berarti
ia berpendapat bahwa membacanya harus jahr dalam salat, dan orang yang tidak
berpendapat demikian, berarti membacanya secara sirr (tidak nyaring). Masing-
masing pendapat itu dianut oleh para sahabat sesuai dengan pandanganya sendiri.
Keterangan yang menegaskan ihwal khalifah yang empat menyebutkan bahwa
mereka men-sirr-kan basmalah, demikian pula beberapa kelompok tabi‟in salaf
dan khalaf. Men-sirr-kan basmalah juga merupakan mazhab Abu Hanifah, ats-
Tsauri, dan Ibnu Hambal. Menurut Imam Malik basmalah itu tidak perlu dibaca,
baik sirr maupun jahr. Kesimpulannya, salat orang yang membaca basmalah
secara sirr dan jahr adalah sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. dan
kesepakatan para imam.83
Imam al-Qurthubi dalam Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an tentang basmalah,
menurut beliau pendapat membaca basmalah dengan samar bersama surat al-
Fâtihah merupakan pendapat yang baik dan sesuai dengan atsar yang
diriwayatkan dari Anas, serta tidak bertentangan dengannya. Pendapat ini juga
82
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr , juz 1, h. 66 83
Imam Ibn Katsîr, Tafsîrul Qur‟ânil „Azîm, jilid 1, h. 55
72
dapat memberi jawaban orang-orang dari silang pendapat seputar hukum
membaca basmalah.84
Nashruddin Baidan juga berpendapat dalam tafsirnya, Tafsir Kontemporer
Surat al-Fâtihah, beliau berkata: “Apabila dikaji dengan saksama dalil-dalil yang
mereka jadikan dasar untuk menetapkan hukum, maka akan ditemukan kelebihan
dan kekurangan dalil masing-masing; dalam arti dalil-dalil yang mereka pakai
mempunyai kekuatan dan kelemahan yang hampir sama, karena kedua belah
pihak sama-sama menggunakan hadis ahad, yakni hadis yang tak sampai
kederajat mutawatir. Dalam kasus serupa ini, pendapat mana yang diyakini itulah
yang dipakai (diamalkan). Namun telah popular di dalam kaedah ushul fiqih
bahwa dalil yang menetapkan (positif) lebih didahulukan dari pada dalil yang
menafikan (negatif).85
Jangan sampai terjadi keretakan apalagi perpecahan umat, hanya
disebabkan hal-hal yang sepele seperti perbedaan persepsi tentang basmalah di
awal surat al-Fâtihah maupun di surat-surat lainnya. Jadi tidak perlu salah-
menyalahkan karena perbedaan tersebut telah ada sejak permulaan Islam. Perlu
ditanamkan di dalam diri kita masing-masing, bahwa beramal (beribadah) semata-
mata ditujukan untuk memperoleh ridha Allâh ; tidak perlu dikaitkan dengan
organisasi atau lembaga tertentu karena pertanggungjawabannya hanya kepada
Allâh , bukan kepada organisasi atau lembaga itu.86
Abdul Malik Abdul karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan
HAMKA, beliau mengatakan dalam tafsirnya, Tafsir al-Azhar. “Setelah kita
84
Syaikh Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâmil Qur‟ân, jilid 1, h. 237 85
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fātiḥah, h. 34 86
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fātiḥah, h. 34
73
selidiki dengan seksama, semua hadis yang membicarakan di antara jahr dan sirr
Bismillâhirrahmânirrahîm itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda
Nabi SAW. sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan men-jahr atau
menyuruh men-sirr-kan, dan sebaliknya. Yang jadi pedoman ialah riwayat-
riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang yang menguatkan men-jahr atau
yang memiih sirr saja. Dan setelah diselidiki pula semua sanad hadis-hadis itu,
ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadis yang mengatakan jahr atau
mengatakan sirr. Malahan terdapat dua riwayat berlawanan di antara jahr dan sirr
dari satu orang. Sebab itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah
yang dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang
terserah kepada pertimbangan ijtihad masing-masing ahlinya. Dalam hal ini
terpakailah Qa‟idah Ilmu Ushul yang terkenal.87
الجتهادلينقدبالجتهاد “Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula.”
Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zâdil Mâd mengambil satu jalan tengah.
Dia berkata : “Sesungguhnya Nabi SAW. adalah men-jahr-kan
Bismillâhirrahmânirrahîm sekali-kali dan membacanya dengan sirr pada
kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu men-jahr-kan
tiap hari dan tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada
dalam kota ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang
demikian itu bagi khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi jumhur sahabat-
sahabatnya dan ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat
87
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 127
74
mustahil, sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari
sandaran dengan kata-kata yang mujmal dan hadis-hadis yang lemah. Meskipun
hadis-hadis yang diambil itu ada yang sahîh, namun dia tidaklah sarih, dan
meskipun ada yang sarih, tidak pula dia sahîh.”88
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa masing-masing
pendapat mempunyai alasan-alasan keagamaan, masing-masing berusaha
mengikuti tata cara yang dicontohkan oleh Nabi yang diriwayatkan oleh para
sahabat beliau. Di sini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin justru Nabi
SAW. telah memberikan beberapa contoh atau mempraktikan sekian ragam cara
ibadah? Bukankah beliau hidup di tengah-tengah sahabatnya selama dua puluh
tahun lebih? Agaknya cukup logis untuk mengiyakan pertanyaan di atas. Dalam
hal ini, di kalangan sementara ulama dikenal istilah Ta‟adud al-Ibâdât
(keragaman cara beribadah). Kalau ini diterima, maka kita bisa menyimpulkan
bahwa semua cara yang disebut di atas itu dapat dibenarkan dan tidak perlu saling
dipertentangkan. Pintu surga sedemikian lebar sehingga dapat dimasuki oleh
semua orang yang secara ikhlas mengikuti cara dan ajaran yang ia yakini telah
diajarkan oleh Nabi SAW.89
Betapapun, seperti kata Abduh yang dinukil oleh Rasyid Ridha dalam
Tafsîr al-Manâr, basmalah adalah ayat al-Qur‟an. Karena itu, dalam buku tafsir
ini, tidak salahnya kita kaji kandungannya, terlepas dari persoalan apakah ia
bagian dari al-Fâtihah atau bukan. Penomoran ayat-ayat di dalam buku ini dibuat
88
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 127 89
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1, h. 9
75
berdasarkan pendapat bahwa basmalah adalah ayat pertama surat al-Fâtihah.
Demikian yang dikutip oleh M. Quraish Shihab.90
90
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1, h. 9
76
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan dari bab I sampai IV, dapat diambil
sebuah kesimpulan, I’tibar dan pesan bahwa yang menyebabkan perbedaan di
kalangan ulama terkait dengan pembacaan basmalah dalam salat di antaranya
adalah:
1. Bermacam-macamnya hadis yang saling bertentangan satu sama lain.
2. Perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam al-Fâtihah maupun
al-Qur’an.
3. Perbedaan dalam menafsirkan hadis-hadis yang tekait dengan masalah ini.
Jadi, orang yang berpedoman kepada bacaan para imam qira’at yang
memandang basmalah sebagai salah satu ayat dari surat al-Qur’an maka tidak sah
salatnya kecuali harus membaca basmalah. Sedangkan bagi orang yang
berpedoman kepada bacaan para imam qira’at yang tidak memandang basmalah
sebagai salah satu ayat dari Ummul Qur’an, maka dia dipersilahkan memilih
antara membaca basmalah dengan tidak membaca basmalah.
Selanjutnya dalam membacanya, apakah dikeraskan atau tidak? Dalam hal
ini terdapat tiga pendapat yang semuanya mempunyai dalil hadis masing-masing
tempat mereka berpegang: pertama, sunah dikeraskan, pendapat tersebut
dikemukakan Imam asy-Syafi’i dan mereka yang menyepakatinya. Kedua, tidak
sunah dikeraskan (sunah disamarkan), pendapat itu dikemukakan Imam Abu
Hanifah, mayoritas ahli hadis, ahli ra’yi dan sejumlah fuqaha. Ketiga, boleh
77
memilih di antara keduanya (dibaca keras atau samar), pendapat tersebut adalah
pendapat Ishak bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.
Jadi kesimpulannya, salat orang yang membaca basmalah secara sirr
(tidak dikeraskan) dan jahr (dikeraskan) adalah sah. Hal ini berdasarkan riwayat
dari Nabi SAW. dan kesepakatan para imam.
B. SARAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa masing-
masing kelompok mempunyai dalil yang dijadikan hujjah bagi mereka. Terlepas
dari kebenaran hujjah kelompok-kelompok di atas, hendaknya ini tidak
menjadikan alasan terpecah-belahnya umat Islam. Karena perlu dipahami bahwa
ini adalah permasalahan furu’iyah yang sangat wajar, jika terdapat perbedaan di
dalamnya. Asalkan tidak merusak yang asal atau yang inti, maka tidaklah jadi
persoalan. Masing-masing bisa mengamalkan sesuai dengan keyakinan dan hujjah
masing-masing dan tidak menjadikan perbedaan ini sebagai alat untuk merusak
ukhuwah islamiyah di antara sesama muslim.
Hasil penelitian ini merupakan sekelumit dari disiplin ilmu pengetahuan.
Terkait hadis-hadis yang penulis telusuri hanya terbatas pada al-Kutub al-Sittah,
sehingga bahan kajian sangat terbatas sekali. Adapun harapan penulis kepada
pembaca adalah dapat mengkaji hadis yang lainnya untuk lebih memperkaya
perbendaharaan kitab hadis, sehingga akan banyak bahan analisa yang dapat
diperbincangkan.
Demikian juga dengan kitab-kitab syarh dan buku referensi yang asngat
minim, penulis juga berharap kepada pembaca agar dapat melengkapi referensi
78
lebih banyak lagi. Dan bagi umat Islam hendaklah dalam menjalani hidup di dunia
ini mengacu pada dalil-dalil yang absolut kebenarannya, yakni al-Qur’an dan
hadis sahîh.
Saran terakhir, umat Islam jangan pernah berhenti untuk terus mengkaji
aspek kehidupan Nabi, karena penulis yakin, dengan demikian akan menambah
rasa cinta dan kerinduan kita kepada beliau. Sehingga yang diharapkan kelak
adalah dapat bersanding dengannya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Abdul Malik. Tafsir al-Azhar. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982.
Abu Ubaidah, Darwis. Tafsir al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat
seputar Islam, Iman dan Ihsan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012.
Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj. Sahîh Muslim.
Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.
Agama R.I, Departemen. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci al-Qur’an, 1983.
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996.
Annuri, Ahmad. Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an & Ilmu Tajwid. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010.
‘Arabi, Ibnu. Tafsir Qur’anul Karim. Dâr al-‘Arabiyah, 1968.
Baidan, Nashruddin. Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Bakker dan Jubair. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram terj. Aan
Anwariyah dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Batawy, Saiful Anwar. Rahasia Kedahsyatan Basmalah. Jakarta: Kunci Iman,
2012.
Al-Bukhârī al-Ju‘fī, Muḥammad bin ‘Ismâ‘īl Abū ‘Abdillâh. Sahîh al-Bukhârî.
Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994.
80
Al-Caff, Muhammad. Tafsir Populer al-Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan
Batin al-Fâtihah Secara Mudah dan Sederhana. Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2011.
Faqih Imani, Allamah Kamal. Tafsir Nurul Qur’an; sebuah tafsir Sederhana
menuju Cahaya al-Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2003.
Hadi , Sutrisno. Metode Research 1. Yogyakarta: Andi Offset, 1987.
Hazm, Ibnu. Al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Husnan, Djaelan. Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam. Jakarta: Yayasan
Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013.
Ibn Katsîr, Isma’il bin ‘Amr al-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi
‘Imâduddîn Abul Fidâ’ al-Hâfiz al-Muhaddis asy-Syafi’i. Tafsîrul
Qur’ânil ‘Azîm. Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1958.
Ibnu Mâjah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini. Sunan Ibnu Mâjah.
Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya.
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Katsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
J. Moleong , Lexy. Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung:
Rosdakarya, 2005.
Al-Marâghî, Ahmad Musṯafa. Tafsîr al-Marâghî. Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-
Halabî, 1974.
Mashadi, Mansur. khasiat dan Mu’jizat surat al-Fâtihah. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1995.
81
Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, Abu Ath-Thayyib. Aunul Ma’bud;
Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim. Jakarta: Pustaka Azzam,
2009.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Al-Nasâ’î, Aḥmad bin Syu‘âb Abū ‘Abdirrahmân. Sunan al-Nasâ’î. Bayrût: Dâr
al-Fikr, t.th.
Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-
Ansari al-Khazraji al-Andalusi. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Mesir: Dâr al-
Kutub al-Misriyah, tth.
Quthb, Sayyid. Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Ihya al-Tijari al-
‘Arabiyah, 1386)
Ridha, M. Rasyid. Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,
2006.
Al-Ṣâliḥ, Ṣubhî. ‘Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalaḥuhu. Bayrūt: Dâr al-‘Ilmi Lilmayîn,
1988.
Salim, Abd. Muin. Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah.
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Ash-Shan’anī. Terjemahan Subulus Salam terj. Abu Bakar Muhammad.
Surabaya: al-Ikhlas.
82
Ash-Shidiqi, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Softwere “al-Maktabah al-Syâmilah”, bagian 2.
Sugiyono. Memahami penulisan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta, 2005.
Sulaymân bin al-Asy‘ats al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abû Dâwud. Bayrût:
Dâr al-Fikr, tth.
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr. Mesir:
Dâr al-Hadîts, 1413 H/1993 M.
At-Tabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far.
Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril Qur’ân. Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426
H/2005 M.
Tafsir al-Qur’an, Majlis. Tafsir al-Qur’an Surat al-Fâtihah dan al-Baqarah ayat
1-39. Solo: Percetakan al-Abror.
Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013.
Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta,
2012.
Al-Tirmîdzî, Muhammad bin Isa Abu Isa. Sunan al- Tirmîdzî. Bayrût: Dâr al-Fikr,
tth.
Wensinck, A. J. Al-Mu'jam al-Mufahras li al-fâz al-Hadîs. Leiden: E. J. Brill,
1943.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa
Dzurriyyah, 2010.