Upload
doankiet
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, M.M.,)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh :
ARIFATUL KHULWA
NIM 072111013
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
iv
MOTTO
tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝ ßγs9≡ uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §ΝèO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ Iωuρ “]Œ r&
öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_ r& y‰Ψ Ïã öΝ Îγ În/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪
Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di
sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Q.S Al- Baqarah : 262)
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan meraungi ilmu yang ditempuh, dengan asa dan harapan ku
persembahkan karya tulis skripsi ini saya persembahkan teruntuk orang-orang
yang selalu hadir dalam susah, sedih dan bahagia dalam kehidupan ku khususnya
buat :
� Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah).
� Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad
Nadhif dan Siti Komariyah, AH, Uswatun Khasanah, AH dan Khusnul
Fuad serta Nur Af’idah, AH dan Ahmad Arwani S.Pdi.
� Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan penulis.
� Mz Muhammad Zainul Anwar.
� Sahabat CORS’07 (Community Of Rayon Syari’ah 07), salam “Satu
Rasya Satu Jiwa”.
� Para sahabat-sahabat PMII, Wadyabala Justisia, dan Rekan- rekanita
IPNU-IPPNU Kota Semarang.
� Semua orang yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung
jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran
orang lain kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Semarang, Juni 2011
Deklarator
Arifatul Khulwa
NIM: 072111013
vii
ABSTRAK
Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai pranata
yang menjadi alat perantara kepemilikan, hukum Islam dan hukum positif yang
ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkah-langkah
untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau barang secara
sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan karena apabila suatu saat
terjadi perselisihan dan permasalahan dengan barang atau hak tersebut, orang-
orang yang bersangkutan bisa menjadikan hal tersebut sebagai bukti karena
sudah adanya pengakuan hukum.
Berangkat dari itu, ada tiga permasalahan yang dirumuskan, pertama,
Bagaimana keabsahan akta hibah menurut hukum positif ? Kedua, Bagaimana
keabsahan akta hibah menurut hukum Islam ? Dan ketiga, Apa peran Notaris dan
PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam Keabsahan Akta Hibah ?
Skripsi ini menggunakan Jenis penelitian kepustakaan (library research ).
mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta hibah. penelitian ini
juga bisa disebut penelitian kasus/ studi kasus (case study) dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis-normatif.
Disini penulis menggunakan sumber data Primer diantaranya, lapangan (field
research), dan data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina Ismawati, S.H.,
M.M kemudian sumber data sekunder memberikan keterangan yang bersifat
mendukung sumber data primer antara lain Studi kepustakaan, Peraturan
Perundang-undangan dan hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Selanjutnya menganalisa data tersebut
secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada.
Hasil penelitian ini adalah, pertama, Keabsahan Akta Hibah Menurut
Hukum Positif merupakan kewajiban dalam kebijakan undang-undang, karena
sudah terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur
(Proses) pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah
mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan
kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan
suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Kedua, Ditinjau dalam
hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam tidak menjelaskan secara
tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara
eksplisit. Dan Ketiga, Keabsahan akta hibah yang dilakukan oleh Notaris dan
PPAT Dina Ismawati, S.H, MM. Dalam Notaris mengenai benda bergerak
maupun tidak bergerak persyaratannya adalah dengan menunjukkan KTP dan
surat-surat benda yang akan dihibahkan sesuai dengan ketentuan.
Key word : Hibah, Akta Hibah dan Notaris/PPAT
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah rabb al-alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayahn-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
memberikan uswatun hasanah kepada umatnya bagaimana berperilaku sehari-
hari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada sesama manusia.
Penulis tidak dapat memungkiri bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis, oleh karena itu penulis
haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah
M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III.
3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan
Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-
Syakhsiyah yang senantiasa memberi nasehat.
4. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, MH selaku pembimbing I, serta A. Syifaul
Anam, S.Hi.,M.H. selaku pembimbing II, yang menyempatkan waktunya untuk
menelaah dari bab perbab pembuatan skripsi ini.
5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu yang
ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari’ah yang telah memberi
pelayanan administratif kepada mahasiswa.
6. Notaris dan PPAT Ibu Dina Ismawati, SH.,MM yang memberi kesempatan
kepada penulis disela-sela kesibukaanya guna penelitian dikantor beliau.
7. Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah)
yang telah memperjuangkan ku hingga saat ini dari segi ekonomi dan
kasih sayangnya. Ridlo dan kepercayaanmu adalah kunci masa depan ku.
8. Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad
Nadhif dan Siti Komariyah, Uswatun Khasanah dan Khusnul Fuad serta
ix
Nur Af’idah dan Ahmad Arwani S.Pdi. Tanpa ridlo dan keikhlasan
kalian, saya tidak bisa melanjutkan jenjang yang lebih tinggi dari kalian.
Semoga kalian dan keluarga selalu dilindungi dan diberkahi oleh Allah.
9. Keponakan-keponakanku Iffatul Izza, Muhammad Abdurrahman Alhadi,
Sholla Izzul Mutho’, Inayah, Abu Nawas, Fitrotul ‘Adawiyah, Alha
Buluqiyah, Sekar Asyiqotillah, dan Sekar Sania Alfatimi yang selalu
memberi warna dalam hidup penulis. Semoga menjadi anak yang sholeh
sholekhah berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa.
10. Serta semua keluarga ku tercinta yang selalu memberi semangat sehingga
tersusun skripsi ini.
11. Mas Muhammad Zainul Anwar yang selalu mengisi hari-hari ku dalam
suka maupun duka. Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam Ridlo-
Nya.
12. Sahabat-sahabat CORS (Community Of Rayon Syari’ah 07) diantaranya
mz Zainul Anwar, Rina Rif’atin Ulfah, Nurul Fitriana, Titik Khasanah,
Zumaroh, Nur Hayatun Nufus, Thoifatul Muashomah, Agus Lukman
Fitrian, Ahda Zaki, Ibnu Qodir, Izzudin, Arif Karunia Rahman, Ahmad
Nasron, Wuri Nur Aryanti, Sofil Mubarok, Nuril Huda, Masduki, Mei
Ristikawati, Lutfi Hakim, Zein Asrori Ashiddiqi, Nur Izza Kholida,
Ahmad Ihsan, Faqehuddin, Bahrul Amik, Anita Indra Prasta, Ainung
Jariyah, Arif Herdianto, Picus dan Ubedul Mustofa. Kalian adalah
mutiara dalam perjalananku. Jaga persahabatan kita karena kita “ SATU
RASYA SATU JIWA” sampai akhir hayat nanti. Insyallah.
13. Sahabat-sahabat PMII Rayon Syari’ah (Senior mas Iman Fadhilah, Kakek
Ibnu Thalhah, mas Khadek, mas Saefudin, mas Gepeng, mbak Evi Lestari
)dari angkatan 2004 ( mas Heri, mas Koyen, mas Khosem, mas Saefudin,
mas Yoni, mbak Firoh, mbak Ovi, mas Ali Kopleng ) angkatan 2005
(mas Ali Shodiq, mas Tomy Andrias, mas Jigug, mas Johan, mas
Hamdani, mas Rifa’I, mas Rif’an, mbak Novi, mbak Via, mbak Lely,
x
mas Faizin, mbak Lina, mbak Ela, mas Waris) angkatan 2006 (mas
Yayan M Royani, mas Badrut Tammam, mas Alfian Qodri Azizi, mas
Taufik Robot, mas Suyanto, mas Khoirul Anam, mbak Aniqotus Saadah,
mbak Aniqotur Rasyidah, mbak Ely Nur Rahmah, mbak Erma, mbak
Hima, mbak Ifa, mas Jama’ Syari, mas Nafis, mbak Uswatun Khasanah,
mbak Via, mas Yunus) angkatan 2008 (Arif Fajar, Aslamiyah, Endang,
Aziz, Irham, Juki, Khudlori, Sofi, Nirma, Putri, Lia, Muhson, Aqil,
Salamah, Sirot, Sulaiman, Mujab) angkatan 2009 (Arif Jundan, David,
Faidhol, Iqbal, Hanif, Majid, Ridlo,Fuadi, Umam, Rosita, Ulfi, Wahib,
Yohana, Dani, Zumi, Ulfa). Angkatan 2010 (I’anatul Afwa, Eni, Nadia,
Nilna, Novi, dkk) yang tak bisa penulis sebut satu persatu semua, kalian
adalah keluarga dan sahabat yang selalu memberi support. Semoga
perjuangan kalian di beri rahmat oleh Allah SWT. Salam Pergerakan !
14. Sahabat-sahabat PMII Komisariat Walisongo periode 2010-2011, Ahmad
Junaidi, Nurul Watiqoh, Risma Nur Alifah, Aidris Saputro, Aisyah
Ubaidillah, Zaqraf Maulida, Nur Hidayah (inok), M. Idris, Idrus, Ali
Mahmudi, Sahid, Maftukin, Usfi, Jauharul Asror (acong), Rifqi,
Qowimul Adib, Lefi, Luluk Eka Dini, Afroh, Indri, Nur Faidah, Faruq,
Supri, Vina Inayatuzzulfa, Maftuh, Ana dan sahabat-sahabat semua yang
tidak bisa penulis sebut semua.
15. Senior Justisia, Mas Tedi Kholiludin, Mas Ikrom, Mas Arif Mustafifin,
Mas Sujiantoko, Mas Nasrudin, Mas Hendi, Mas Jojo, Mas Heri, Mbak
Rofik, Mbak Ana, Mbak Lina, Mas Faizin, Mas Rouf, Mas Hamdani,
Mbak Nikmah, Mas Ubed, Mas Khoirudin, Mas Munif, Mas Munif
Bams, Mas Chambali.
16. Wadyabala angkatan 2008, Nasihin Alm, Ariyani Kemuning Jati,
Siswoyo, Ceprudin, Muhammad Syafi’i, Muhammad Zainul Anwar,
Nazar Nurdin, Irfain Amin, Putri Rahmi, Miftahul Farid, Anis, Rifiq dan
wadyabala 2007, 2009 dan 2010.
xi
17. Teman-teman kelas ASA angkatan 2007, M.Nur Huda, Annisa Lutfi
Aryani, Ahmad Ghofur, Habib Ulin Ni’am, M. Khoirul Huda, Khozin,
Noh Latif, Mahfud, Maksumah Nurbianti, Robby Al-Ghomi, Isadurrofik,
Ahmad Rouf, Ahmad Sahal, Saifurrahim, Solhan, Umiyati, Asrof.
18. Rekan-rekanita IPNU-IPPNU Kota Semarang, Mbak Umul, Zida, Nurul,
Dila, Mas Makruf, Mas Rahul, Mas Rahman, Riani, Ridwan, Mas Rifqi,
Mas Saidin, dek aini, Mas Edi, dek Ela, Laila, Syifa’. Bersemilah-
bersemilah Tunas-tunas NU !!
19. Bapak lurah Wibisono dan Ibu Fatimah Hestiana beserta dek Galang, dek
Satria, Simbah Putri dan Kakung , Pasukan Seneng Posko 35 Desa Pakis
KKN IAIN Walisongo Angkatan ke-56 Tahun 2011, Kordes Nur
Muhammad (Memet), Bendes Ainu Zumrudiana, Jauharotul Faridah
(Chaca), Mas Bro Holil, Sie Jangkung M.Fariz Iskandar, Nusan Amelia,
Mirza Rusdiana, Ianatur Rasyidah, mbak bro Kayisul Aroiyah dan
Ahmad Baihaqi. Kalian adalah keluarga baruku.
20. Sahabat ku JABLAY, SA Krisa Apriliani, Siska Putri Patresia, Lailatun
Nuha, Lina Hasnawati, dan Novi Lidyawati. Semoga persahabatan kita
berjalan sampai akhir hayat nanti.
21. Dan semua insan di muka bumi yang pernah berinteraksi dengan penulis,
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semarang, Juni 2011
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI ................................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ....................................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ...................................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI .................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10
D. Telaah Pustaka ..................................................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................................. 15
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 20
BAB II :A. TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA HIBAH MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
1. Akta Hibah menurut Hukum Islam ................................................. 22
a. Definisi Akta Hibah ............................................................... 26
b. Dasar Hukum Akta Hibah ..................................................... 26
c. Syarat dan Rukun Akta Hibah ............................................... 29
2. Akta Hibah menurut Hukum Positif ............................................... 32
a. Definisi Akta Hibah .............................................................. 32
b. Dasar Hukum Akta Hibah .................................................... 33
c. Macam-macam Alat Bukti Tertulis ....................................... 35
d. Fungsi Akta Hibah ................................................................. 42
B. KETENTUAN AKTA HIBAH MENURUT NOTARIS DAN PPAT
1. Akta Hibah menurut Notaris .......................................................... 53
xiii
a. Definisi Notaris .......................................................................... 54
b. Kewenangan Notaris .................................................................. 54
c. Akta Notaris ............................................................................... 55
d. Syarat Akta Hibah ...................................................................... 58
2. Akta Hibah menurut PPAT ............................................................ 59
a. Definisi PPAT ............................................................................ 59
b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT ....................................... 60
c. Bentuk-bentuk Akta ................................................................... 61
BAB III : KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,
SH.,MM)
A. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM .................. 63
B. Tata cara dan Syarat-syarat Akta Hibah ............................................... 64
C. Macam-macam Akta Hibah.................................................................. 70
D. Bentuk Akta Hibah ............................................................................... 71
E. Prosedur Pembuatan Akta Hibah ........................................................ 72
BAB IV : ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina
Ismawati, SH.,MM)
A. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Islam ....................... 77
B. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Positif ...................... 85
C. Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,SH.,MM
dalam Keabsahan Akta Hibah ................................................................ 87
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 90
B. Saran-Saran .......................................................................................... 92
C. Penutup ................................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah mewajibkan beberapa ibadah menyangkut harta, supaya
terpenuhi hajat orang dan tertolaklah kemelaratan dari para fakir.1 Salah
satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka
mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial adalah saling memberi, karena
manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial.
Dalam Islam banyak cara untuk melakukan kebaikan atau
menyalurkan hartanya kepada orang lain, ada beberapa macam nama
pemberian dalam Islam, diantaranya: wasiat, hadiah, sedekah, hibah dan
wakaf. Pemberian itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia dan maksud
tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa.
Suatu hadiah dapat menjadikan kecintaan pada diri penerima hadiah
kepadanya. Selain itu dijelaskan tangan diatas lebih baik daripada tangan
dibawah.
1 Tengku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang: Pustaka Rizki
Putra,2000, hlm 69
2
Dalam dasar hukum pemberian dalam ayat-ayat Al-Qur’an banyak
yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong
menolong dan salah satu bentuk tolong menolong adalah memberikan
harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, firman Allah
SWT:
¢ (#θçΡuρ$yès?uρ ’ n?tã Îh�É9ø9 $# 3“uθø) −G9 $# uρ ( Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa” (Al-Maidah : 2)2
Penafsiran dasar hukum pemberian yaitu Al-Qur’an (Q.S Al-
Baqarah : 262)
tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝßγ s9≡ uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §Ν èO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ Iωuρ “]Œ r&
öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_ r& y‰Ψ Ïã öΝ Îγ În/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪
Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya
itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala
di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah :
2623)
Islam mengizinkan seseorang memberikan sebagai hadiah semua
harta miliknya ketika masih hidup, tetapi perlu diingat juga dalam
2 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 56 3 Ibid, hlm. 70
3
pemberian harus ada sifat keadilan. Dalam pemberian hibah juga
demikian. Dimana hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui
transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan
jelas ketika pemberi masih hidup.4 Dalam rumusan Kompilasi Hukum
Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki
(ps. 171 huruf g KHI)
Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai
pranata yang menjadi alat perantara kepemilikan. Hibah juga mempunyai
arti penting dalam kehidupan, dengan kata lain hibah adalah suatu
pemindahan harta tertentu atas sebagian orang yang memberi dan
penerimaan atas bagian orang yang diberi harta.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah
diatur dalam Pasal 1666 yaitu :
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di
waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat
ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara
orang-orang yang masih hidup.”5
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada,1995,
hlm 466 5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
PT Pradnya Paramita, 1992, hlm. 436
4
Menurut ketentuan pasal 1682 KUH Perdata tentang cara
menghibah sesuatu yaitu :
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687,
dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta
notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”6
Adapun rukun hibah ada 3 yang esensial, yaitu terdiri dari: Orang
yang menghibahkan (al-wahib), orang yang menerima hibah (al-mauhub-
lah), dan pemberian atau perbuatan hibah atau yang disebut juga al-
hibah.7 Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan
syari’at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan hibah dilakukan semasa hidup, demikian juga penyerahan
barang yang dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan
dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap
bertindak (misalnya belum dewasa atau kurang sehat akal), maka
penerima dilakukan oleh walinya.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama
sekali oleh pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilakukan dihadapan beberapa orang saksi
(hukum sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang
sengketa dibelakang hari.8
6 Ibid, hlm 438 7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:
Kencana,2006, hlm. 133 8 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2004, hlm. 117
5
Terkait dengan hal tersebut hukum Islam dan hukum positif yang
ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkah-
langkah untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau
barang secara sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan
karena apabila suatu saat terjadi perselisihan dan permasalahan dengan
barang atau hak tersebut, orang-orang yang bersangkutan bisa menjadikan
hal tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum.
Ini artinya dalam pembuatan akta hibah sangat diperlukan di dalam
hukum Islam maupun hukum positif. Adapun mengenai pengertian dari
akta menurut Prof. R. Soebekti, S.H., adalah suatu tulisan yang memang
dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani.
Setiap akta hibah harus dibuat oleh seorang Notaris. Karena
Notaris dalam pasal 1 huruf 1 Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris adalah jabatan umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang. Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk
Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 huruf 7 Undang-
undang No.30 tentang Jabatan Notaris tahun 2004 pengertian tentang Akta
Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
6
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang.
Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan
seseorang. Dan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh
Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Adapun kewenangan-kewenangan Notaris sebagaimana disebutkan dalam
pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Notaris berwenang :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
g. Membuat akta risalah lelang.9
Dalam pembuatan akta hibah maka para pihak dapat mengerti dan
dapat mengetahui dasar akibat perbuatannya itu dapat diatur sedemikian
rupa sehingga kepentingan yang bersangkutan mendapat perlindungan yang
wajar sebagaimana diketahui oleh Notaris, bukan hanya berkewajiban
membuat akta yang diminta olehnya, tetapi juga harus memberikan nasehat
hukum serta penjelasan yang diperlukan oleh orang yang memerlukan.
9 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan
Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009, hlm 229
7
Dalam suatu pembuatan akta hibah, seseorang diperbolehkan memberi
dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-
undang dinyatakan tak cakap untuk itu.10
Orang yang belum dewasa tidak
diperbolehkan membuat akta hibah. Sedangkan kecakapan seseorang
penghibah ditinjau bagaimana seseorang dapat menikmati keuntungan dari
suatu hibah.
Selain Notaris, pembuat akta hibah dapat dilakukan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPAT ini lebih focus kepada pelaksanaan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan;
10 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio,Op. Cit, hlm 438
8
Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun. Berbeda dengan akta Notaris, akta PPAT adalah akta
yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum
tertentu.11
Bentuk pemindahan hak hibah dilakukan oleh para pihak di hadapan
Notaris/PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya
perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan Notaris/PPAT, dipenuhi
syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak
menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hibah yang dilakukan.
Dengan demikian ketiga sifat hibah, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi.
Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan
perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga
membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang
baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat
11 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai BPN “Bumi Bhakti”, 1998, hlm. 3-4
9
para pihak dan ahli warisnya karena administrasi Notaris/PPAT sifatnya
tertutup bagi umum.12
Dalam suatu pembuatan akta hibah tidak terlepas adanya suatu
kesepakatan dan perjanjian antara Notaris/PPAT dan si penghibah begitu
juga antara si penghibah dengan yang mendapatkan hibah tersebut, karena
itu adanya kepercayaan sangat diutamakan dan tiap-tiap Notaris/PPAT
wajib menyimpan akta hibah tersebut diantara surat-surat lainnya.
Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam pembuatan akta hibah
seorang Notaris mempunyai peranan yang sangat penting. Pada pasal 934
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa setiap
Notaris/PPAT menyimpan surat aslinya baik dalam bentuk apapun setelah
si penghibah memberitahukan kepada semua kepentingan.
Penelitian yang dilakukan kali ini adalah bagaimana
mengkomperasikan hukum Islam dan hukum positif yang ada di Indonesia
tentang keabsahan akta hibah. Sebagai pendukungnya penulis akan meneliti
peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM. dalam mengabsahkan
akta hibah.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat
masalah ini dalam bentuk skripsi yang berjudul : “STUDI
12 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007 hlm 330-331
10
KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: Studi di
Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM ”.
B. Permasalahan
Setelah melihat pemaparan latar belakang masalah di atas dapat
dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif ?
2. Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam ?
3. Apa peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam
Keabsahan Akta Hibah ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif.
2. Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui peran Notaris / PPAT dalam Keabsahan Akta
Hibah
11
D. Telaah Pustaka
Pada tahapan ini penulis berusaha memberi informasi tentang
penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan
permasalahan, dengan mengambil langkah ini pada dasarnya bertujuan
sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian dengan harapan apabila
peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti ini. Sejauh
penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang lebih spesifik dan
yang mendetail yang membahas tentang masalah Studi Komparatif
Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,.
Namun demikian ada beberapa tulisan yang berhubungan dengan akta
hibah, antara lain :
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, membahas pengertian
hibah, dasar hukum hibah, dan hibah hubungannya dengan warisan.
Dalam al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks
pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusannya, doa-doa yang
dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan
sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum
tentang hibah seperti yang dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit,
12
digunakan petunjuk dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan
sebagian rezekinya kepada orang lain.13
As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah. Buku ini mengemukakan tentang
definisi, legalitas, rukun, syarat hibah. Hibah itu sah melalui ijab dan
qobul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan.14
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif
Hukum dan Etika. Pada tulisan tersebut pada dasarnya membahas tentang
segala bidang profesi kenotariatan, etika, landasan, perilaku etis, sampai
pada peranan intitusi pendidikan kenotariatan dalam mewujudkan insan
Notaris/PPAT yang menjunjung tinggi hukum dan etik. Keberadaan
Notaris/PPAT adalah sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat
atau mengesahkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai
keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum untuk menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat.
Disisi lain dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, ia
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian
hukum.15
13 Ahmad Rofiq, Op.Cit 14 As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah,Bandung : PT Al-Ma’arif, 1986 15 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan
Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Buku ini
menjelaskan tentang alat bukti tertulis yakni akta. Menurut beliau akta
adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.16
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Buku ini merupakan buku
pedoman para Pejabat Pembuat Akta Tanah di Indonesia. Dimulai dari
Peraturan Jabatan PPAT yang merupakan pelaksanaan pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah
memberikan kedudukan yang lebih kuat mengenai hak dan kewajiban
PPAT yang selama ini hanya diatur setingkat dengan Peraturan Menteri.
Buku pedoman ini juga melampirkan formulir akta hibah demi penunjang
dalam penelitian penulis.17
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia. Menerangkan bahwa
perbuatan hukum pemindahan hak dalam Hukum Tanah Nasional, yang
memakai dasar Hukum Adat. Dengan dilakukannya perbuatan hukum
16 Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty,
2002 17 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti”
1998
14
yang bersangkutan hak atas tanah yang menjadi obyek berpindah kepada
penerima hak.18
Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan
Tinggi Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan
Hibah Orang Tua terhadap Anak” dalam penelitian ini, penulis
menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dalam penarikan
kembali hibah, dan menceritakan bahwa hibah yang diberikan kepada
orang tuanya terhadap anak-anaknya tersebut gugatannya ditolak, karena
hibah yang diberikan oleh pemohon untuk semua anak-anaknya dan bukti-
bukti yang diajukan tidak menguatkan permohonan sehingga ditolak. Dan
karena menurut hukum Islam istilah pemberian hibah tersebut telah
dilakukan secara adil.19
Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris
dalam Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus
di Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti
Sukoharjo”. dalam penelitian ini, penulis menjelaskan bagaimana
kedudukan Notaris dalam pembuatan testament atau surat wasiat dan
menceritakan bahwa dalam dunia pewarisan akan selalu timbul adanya
18 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta : Djambatan 2007 19 Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi
Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan Hibah Orang Tua
terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang 2008
15
ketidak beresan dalam pengurusan, pemindahan, dan peralihan yang
menyangkut harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia
sehingga memerlukan penanganan dan penyelesaian dari lembaga Notariat
untuk menghindari sengketa yang timbul diantara ahli waris dengan
ditinggalkannya testament, oleh karena hukum, ahli waris memiliki hak
dari si peninggal warisan serta tuntutan hukum untuk memperoleh harta
warisan. 20
Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis.
Penelitian-penelitian yang secara umum membahas tentang penarikan
hibah. sedangkan yang penulis teliti saat ini lebih spesifik dengan Studi
Komparatif Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif studi di kantor Notaris/PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,.
E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
20 Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam
Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di Kantor Notaris dan
PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2008
16
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research ). Penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan
dari buku utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang
berupa sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji.21
Dalam
hal ini mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta
hibah. sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus/ studi
kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif.
2. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu
pendekatan ini dikembangkan berdasarkan sifat dasar (the nature) dari
bahan kajiannya. Kendati ada perbedaan, kajian hukum bidang tertentu
tetap memiliki kesamaan dengan kajian hukum bidang lain. Penetapan
metode ini bergantung pada masalah / peristiwa hukum yang akan
diteliti.
3. Sumber data
Sumber data adalah dari mana data diperoleh. Disini penulis
menggunakan sumber data yang terbagi dalam dua jenis, yaitu :
a. Sumber Data Primer
21 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1991, Cet 1 , hlm 109.
17
Sumber data primer yaitu sumber literatur yang utama yang
berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Sumber data primer
dikumpulkan dengan cara lapangan (field research) dan data hibah
yang berhasil dikumpulkan dan disesuaikan dengan rumusan
masalah yang digunakan pada penelitian ini antara lain:
- Data-data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina
Ismawati, S.H., M.M
- Data-data dari dasar hukum yang digunakan dan dijadikan
acuan dalam keabsahan akta hibah menurut hukum Islam
dan hukum positif tersebut.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak secara
langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung
sumber data primer antara lain :
1. Studi kepustakaan yaitu buku-buku:
- Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia
- As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14
- Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia
Perspektif Hukum dan Etika
- Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
18
- Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia
2. Peraturan Perundang-undangan :
- Peraturan Jabatan Notaris
- Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
- Kompilasi Hukum Islam
3. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku, misalnya:
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
- Undang-undang Agraria dan hasil penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan Akta Hibah Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif
4. Hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti dalam penelitian ini.
c. Sumber Data Tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap sumber data primer maupun penjelasan terhadap sumber
data sekunder, misalnya: kamus-kamus, ensiklopedi, indeks
kumulatif , dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru
dan berkaitan erat dengan permasalahannya.22
22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996, hlm 114
19
4. Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
sebagai berikut :
a. Interview (wawancara)
Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya
langsung tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan.23
Dengan hal ini penulis mengadakan Tanya jawab secara bebas
dengan Notaris/PPAT yang merupakan pembuat akta hibah dalam
penelitian ini, untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang
bersifat lebih mendalam yang berhubungan dengan penelitian ini.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai
sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan,
bahkan untuk meramalkan.24
Diantara dokumen yang penulis
gunakan adalah keabsahan akta hibah menurut hukum Islam dan
hukum Positif di Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M
c. Observasi
23 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II, hlm. 192 24 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 2004, Cet XVIII, hlm. 161
20
Pengamatan yang dilakukan penulis secara langsung mengenai
fenomena yang ada, yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
dilanjutkan dengan surat pencatatan secara sistematis terhadap
semua gejala yang akan diteliti.
5. Analisis Data
Setelah data selesai terkumpul dengan lengkap, tahap yang harus
dilakukan selanjutnya adalah analisis data. Pada dasarnya analisis
adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh
suatu hepotesa. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas
sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.
Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga
diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif.
Maka data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif
analisis, yaitu menggambarkan secara sistematik dan akurat dan
karakteristik mengenai akta hibah.25
25 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet III,
hlm 7
21
Dalam hal ini yang dianalisis adalah Studi Komparatif Terhadap
Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab,
dimana satu bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna
memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam
memahami dan menangkap hasil penelitian. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, dalam pendahuluan ini dijelaskan latar belakang
masalah, selanjutnya dari latar belakang masalah tersebut dirumuskan
masalah yang ada, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan landasan teori yang
berisikan dua sub bab. Bab yang pertama membahas tentang akta hibah
diantaranya pengertian, akta hibah menurut hukum positif, dan akta hibah
menurut hukum Islam. Sedangkan bab yang kedua membahas tentang
Notaris/PPAT dan akta Notaris/PPAT diantaranya pengertian, pengertian
akta, jenis-jenis akta, tugas dan wewenang Notaris/PPAT.
22
BAB III Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM). pada
bab ini akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh profil, tata cara
dan syarat-syarat akta hibah,macam-macam akta hibah, bentuk, prosedur
pembuatan formulir akta hibah di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,
SH.,MM dalam keabsahan akta hibah.
BAB IV Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,
SH.,MM). Bab ini akan menganalisis Keabsahan Akta Hibah Menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif serta menganalisis peran Notaris dan
PPAT Dina Ismawati, SH.,MM dalam keabsahan akta hibah.
BAB V Penutup hasil akhir dari penelitian ini sekaligus merupakan
akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi kesimpulan dan
saran.
22
BAB II
AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif
1. Akta Hibah Menurut Hukum Islam
a. Definisi Akta Hibah
Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan
agama. Dan Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan
dasar hukum Islam dan hukum positif. Ada juga hukum adat akan
tetapi yang menjadi acuan dasar hukum yang paling utama adalah
hukum Islam dan hukum positif.
Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang
berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara
orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam.
Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba
artinya memberi.26
Dan jika subyeknya Allah berarti memberi
karunia, atau menganugrahi (Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49,
50, 53). Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu
26 A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet. 14,
hlm. 1584
23
benda melalui transaksi (Aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah
diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.27
Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah
pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri
kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.28
Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia
hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan
hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak
diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah
(pinjaman).29
Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.30
Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para
ulama :
27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998, Cet. III, hlm 466 28 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van
Hoeve, 1996, hlm 540 29 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara,
1997, Cet 9, hlm 167 30 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007,
Cet II, hlm 56
24
1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib
al-Arba’ah.31
menghimpun empat definisi hibah dari empat
mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah
memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan
seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan
milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang
diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’I dengan
singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum
adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama
mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya
sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang
mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan
hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun
tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.32
31 Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut:
Dar al-Fikr,t.th, Juz 3, hlm 289-292. 32 Ibid
25
3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah
ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara Cuma-Cuma
tanpa adanya bayaran.33
4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang
diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa
hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan
pengganti tertentu pada masa hidup.34
5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,35
hibah
adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan
dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa
ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
6. Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu
suatu pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah
tanpa mengharapkan balasan apa pun.36
33 Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.4,
Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm 98. 34 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas , 1995,
hlm 319 35 Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang:
Pustaka Alawiyah, t.th, hlm 39 36 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003, hlm, 76.
26
7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat
bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan
maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika
masih hidup dan tanpa imbalan.37
b. Dasar Hukum Akta Hibah
Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam
konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-
Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama
para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi
Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran
secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya
kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262.38
tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝ ßγ s9≡uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §Ν èO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ
Iωuρ “]Œ r& öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_r& y‰Ψ Ïã öΝ ÎγÎn/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪
Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di
37 Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam
kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hlm. 105 38 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo
persada,1995, hlm 467
27
sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah : 262)39
Firman Allah juga :
(#θà) Ï�Ρr& uρ ÏΒ $Β Ν ä3≈ oΨ ø%y—u‘ ÏiΒ È≅ ö6 s% βr& š†ÎAù' tƒ ãΝ ä. y‰tn r& ßNöθyϑø9 $# tΑθà) u‹sù
Éb>u‘ Iωöθs9 ûÍ_ s?ö�zr& #’ n<Î) 9≅ y_r& 5=ƒÌ�s% šX£‰¢¹r'sù ä. r& uρ z ÏiΒ tÅsÎ=≈ ¢Á9 $#
∩⊇⊃∪ Artinya : Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku,
Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai
waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah
dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?"(Al-
Munafiqun: 10)40
Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ (kesepakatan) telah
terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya
memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar
anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang
asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits
Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-
39 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 66 40 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Op.Cit. hlm. 938
28
pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang
wafatnya, Abu Bakar berkata:
��������� �� ��������� :���� ������������ ������� �! "�#�� ���� �$��%&#�� ���� �'���( )�* �+�,%-�. �/0���� �+����! �'�1����2�#�� ���3 4�5�3������ ����* ����6 �7���8 9)�:� ���2�#�� � ���* ����� �#�� ;�&�<�� .
� >��,�<�� �?(���-�@ )�@�� A&�B�@ ������� ���C �+%1�� ����6 �$�-�1 �D�C�E��� �8��F�� �G(�&�C�� �H��I� �G�! �J��! 4�D�@��K��� �%��#�* �+�L�&�M�< 4����*� ��� �J��N :�+�#��� ��( �D%0� �@ ��! �G�! �O�% �� ���<�� >'�<�� %)���P "Q �R S�����@ 4�7� �! ���� >T���� %)�#�� �Q&���* S�����@ � �!4�7 )91�P� �U� �6 �7�,�#�-�1 �8��F��
�G(�&�C�� �H��I� � �#�* �U� �6 �+0�L�8�F�� �+0�L�T�,�<�� ����6 4�7�� ���%1�P� � �V �W� �0��� �J��! XY����.
“Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih
menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak
ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau.
Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan (emas) 20 wasaq.
Maka jika engkau memecah-mecah dan memilikinya, maka itu
adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta
waris.” 41
Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah
nadb (sunnah).
Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan
istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah
dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain.
Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda,
41
Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 11٣
29
kesamaannya adalah bahwa manusia diperintahkan untuk
mengeluarkan sebagian hartanya.
c. Syarat dan Rukun Akta Hibah
Adapun rukun dan syarat hibah, Ibn Rusyd dalam Bidayah al-
Mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu:
1) Orang yang menghibahkan (al-wahib)
a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
b. Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam
keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya itu.
Riwayat ‘Imran ibn Husain menjelaskan tindakan Nabi SAW
����1�&�:�Z ���:�� 4��0������� �G�� �G�@� 4A[�(�&�� )�1�&�:�Z�� �\�0�N �G�@ 4X����I �+%1�� �/���I 4�H� �-�B�! �J ���( :�U�����I �G�@� 4�'90�]����� �J ���( :§�U���,���� _����&�!� ��� ����_$ �D%,�I X��:���� ����� � ��� �G�B�( ����� _J��! 4�5�&�0�R �)�L�2�* >)�:% �� "�#�. ab� �+�0�#�� � �#�I� )�* �7���8 ���&�N�2�* � ��� �0�@ �c�,���2�* � ���d�#�e �J��N
>)���*�%C�� �)�f�� �+�#�� �+� �� :����6 �7���8 )�* �g�&�! �c�,������� S�F��� �h��! +0*.
“Ketika (Imran ibn Husain) memerdekakan enam orang hamba
dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW.
30
Memerintahkan (agar dimerdekakan 1/3nya, dan menetapkan
sebagai hamba yang lainnya)”42
Terhadap hadis ini, memang kontroversial. Mayoritas Ulama
menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika
orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, maka hibah
yang diberikan paling banyak 1/3 hartanya.
Ulama Ahli Zahir memahami hadis tersebut sebagai dasar
hukum wasiat. Karena itu, hibah tidak ada batasan yang tegas.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”.
Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa:
“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya”.
42 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 4, Semarang: Asy-Syifa’,1990. hlm 112
31
Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari
usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar
pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk
memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu.
Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali jika ahli warisnya
menyetujui.43
c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.
2) Orang yang menerima hibah
3) Benda yang dihibahkan, harus milik si penghibah. Apabila milik
orang lain maka tidak sah hukumnya.
Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukun-
rukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah
penerimaannya yaitu dengan cara memberi hibah ada dua macam:
ucapan dan perbuatan. Ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan
perbuatan dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna
hibah.
Sedangkan pembuktian dalam hal hibah, dijelaskan menurut
Sobhi Mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara
43
Ibid, hlm. 471
32
adalah: “Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada
batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang
menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil
itu.44
Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara
tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah
dijelaskan secara eksplisit.
2. Akta Hibah Menurut Hukum Positif
a. Definisi Akta Hibah
Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah
dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara
cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan
ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup.
Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah
pemberian, sedekah, pemindahan hak.45
Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah
yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa
Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan
44 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hlm 26 45 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hlm 217
33
mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula
antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar,
terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian
yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat
dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula
“Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat
dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula
hibah antara suami istri tetap dibolehkan.46
Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu
persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan
hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu
barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat
ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan
ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang
dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk
dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat.
b. Dasar Hukum Akta Hibah
46 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm.
343
34
Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666
yaitu :
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima
hibah yang menerima penyerahan itu.
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara
orang-orang yang masih hidup.”47
Prosedur (Proses) penghibahan harus melalui akta Notaris yang
asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu :
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687,
dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta
notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu” 48
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila
pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah
dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta
otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH
Perdata menyebutkan :
”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu
akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan
47 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 436 48 Ibid, hlm 438
35
kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri
atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima
hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-
penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau
akan diberikan kepadanya di kemudian hari.
Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah
sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik
terkemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu
dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana
penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya
akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”49
c. Macam-macam alat bukti tertulis
Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-
bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai
fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang
adanya bukti. Kita mengetahui bahwa dalam setiap ilmu
pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian.
Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang
bisa digunakan sebagai bukti, antara lain :
a. Bukti dengan surat
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Sumpah
49 Ibid, hlm 438-439
36
Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan
permasalahan penulis akan meneliti tentang alat bukti tertulis atau
surat.
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat
dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian
akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk membuktikan.50
Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan
surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa :
“ Surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian
oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk
membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang
yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal
terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung
dengan perihal pada surat (akta) itu.51
50 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2006, hlm. 149 51 Ropaun Rambe, Hukum Acara lengkap, hlm, 255
37
Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta otentik,
akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum
pembuktian dikenal paling tidak tiga jenis surat, yaitu:
38
1. Akta otentik
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1868
pengertian akta otentik adalah :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya.”52
Berdasarkan Pasal 1868 dapat disimpulkan unsur akta otentik
yakni:
1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (Verleden) dalam
bentuk menurut hukum;
2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat,
jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang
membuatnya.
Dan dalam Pasal 1869
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya
pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun
demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan
jika ia ditanda tangani oleh para pihak.”53
Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat
oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai
52 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 475 53 Ibid, hlm. 475
39
wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan
surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah
Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan
sebagainya.
2. Akta di bawah tangan
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.54
Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta
di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar
sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis
seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu
keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau
banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya.
Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”.
Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat
diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Ps. 4 S 1867 No. 29,
1871 BW, 291 Rbg).
54 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 105
40
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang
dalam ayat satu mengatakan:
“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register,
surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat
tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” 55
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata
terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus
seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan sendiri, atau setidak-
tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan tangannya
si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah
atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila
ketentuannya tidak dipenuhi, maka akta tersebut hanya sebagai
suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.56
3. Surat bukan akta
Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di
dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas.
Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang
bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat
55 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 476 56 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni,
1992, hlm. 45
41
pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang
demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian.
Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini
adalah bahwa surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan
ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak
dapat dipercaya.
Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat
mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada
penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 (2)
KUH Perdata.
Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai
berikut:
“Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak
memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah
register-register dan surat-surat itu merupakan pembuktian
terhadap si pembuatnya:
1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan
dengan tegas tentang suatu pembayaran yang telah diterima;
2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa
catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu
kekurangan di dalam sesuatu alasan hak bagi seorang untuk
keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.
42
Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut :
“Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas
hak yang selamanya dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak
ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu
merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.”
Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun surat-
surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai
kekuatan buktinya sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada
juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti
yang lengkap,antara lain surat-surat yang ditentukan dalam Pasal
1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata.
Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum
perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum dalam Pasal
138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894
BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan
perdata (hibah), alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan
alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor
satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.57
Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti
pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat
57 Teguh Samudera, hlm. 36
43
gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya
sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata
(hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti surat
memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat
pembuktian utama.
d. Fungsi Akta Hibah
Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi.
Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain:
a) Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum.
Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai
fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu
perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak
dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi.
Dalam hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan),
1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk
akta otentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti
halnya dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal
44
1767 (tentang peminjaman uang dengan bunga), Pasal 1851
KUH Perdata (tentang perdamaian).
Jadi, akta disini maksudnya digunakan untuk
lengkapnya suatu perbuatan hukum.
b) Sebagai alat pembuktian
Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan
bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka
berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya.
Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681,
1682, 1683 (tentang cara menghibahkan). Jadi disini akta
memang dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari.58
Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas
bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian
dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian
hari.59
58 Ibid, hlm. 46-47 59 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160.
45
Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang
paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat
pembuktian, maka “daya pembuktian atau kekuatan
pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam”60
yaitu:
a. Kekuatan Pembuktian Lahir (pihak ketiga)
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir
ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan
lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat
yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap
(mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti
sebaliknya.61
Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta,
kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh
pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan
yang di dalam akta dipalsukan.
60 A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Intermasa,
1978, hlm. 56-57, Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160, Subekti dan R.Tjitrosudibio,
Op.Cit, hlm 476. 61 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160
46
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber
pada kenyataan.62
62 Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 48
47
b. Kekuatan Pembuktian Formil
Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar
tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertanda tangan di
bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi
kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak
menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.
Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah,
mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu
benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu.
Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah
bahwa ada pernyataan para pihak yang menandatangani “?
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber
atas kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang
menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa
hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah
keterangannya.63
c. Kekuatan Pembuktian Material
63 Ibid, hlm. 48
48
Kekuatan pembuktian material yaitu suatu kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi
dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa
peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-
benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi
akta.
Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah
(peristiwa hukum) itu telah terjadi.
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber
pada keinginan agar orang lain menganggap isi
keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku,
sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat
dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian
material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si
penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal
balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari
masing-masing si penanda tangan.
1) Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
49
Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH
Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu sebagai alat
pembuktian yang sempurna 64
) bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta
otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat)
berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta
tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut
dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada
pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
a. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik
Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa
suatu surat yang kelihatannya seperti akta otentik,
diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan
sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang
tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formal akta otentik
64
kata “sempurna” menurut hemat penulis sebaiknya diganti dengan kata “lengkap”,
mengingat bahwa akta itu merupakan hasil karya manusia, tiada satu pun hasil karya manusia
yang sempurna kecuali hasil ciptaan Tuhan. Maka untuk selanjutnya dalam skripsi ini penulis
gunakan kata lengkap untuk kata sempurna menurut penulis-penulis yang bukunya penulis
baca dalam skripsi ini. Di kutip dari buku Teguh Samudera, hlm. 49
50
Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa
biasanya orang menandatangani suatu surat itu untuk
menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut di atas tanda
tangannya adalah benar keterangannya.
Karena bukan menjadi tugas pegawai umum
(notaris) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan
para penghadap yang dituliskan dalam akta. Maka
dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila
tanda tangan para penanda tangan telah diakui
kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan
telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah
membuktikan terhadap setiap orang. Dan juga dalam
akta otentik yang berupa akta berita acara, bahwa
keterangan pegawai umum (notaris) itu adalah satu-
satunya keterangan yang diberikan dan
ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti
adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta
keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap
orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian formal.
52
c. Kekuatan pembuktian material akta otentik
Kekuatan pembuktian material dari akta, yaitu
keinginan agar orang lain menganggap bahwa apa yang
menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu
berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan
bukti buat dirinya sendiri.
Dengan kata lain, keinginan agar orang lain
menganggap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan
dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta
otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan
yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar
terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan
untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta
itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain
keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas
dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada
pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta otentik
yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut
53
berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh
pegawai umum saja (berdasarkan apa-apa yang terjadi,
dilihat, dan didengar), dianggap benar isi keterangan
tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang.
Dengan demikian maka akta ini mempunyai
kekuatan pembuktian material.
2) Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan
Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta
di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang
terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap
(seperti kekuatan pembuktian dalam akta otentik) terhadap
orang-orang yang menandatangani serta para ahli warisnya
dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan
di muka hakim, menurut Wirjono Prodjodikoro pengakuan
itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan
isi tulisan adalah benar”
a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan
54
Menurut Pasal 1876 KUH Perdata seseorang yang
terhadapnya dimajukan akta di bawah tangan, diwajibkan
mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Sedangkan
terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia
tidak mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila
tanda tangan tersebut diingkari atau tidak diakui oleh ahli
warisnya, maka menurut Pasal 1877 KUH Perdata hakim
harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut
diperiksa di muka pengadilan. Sebaliknya apabila tanda
tangan itu hendak dipakai maka akta tersebut dapat
mempunyai alat pembuktian yang lengkap terhadap para
pihak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap pihak lain,
kekuatan pembuktiannya adalah bebas, dalam arti
bergantung kepada penilaian hakim.
Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan
berarti bahwa keterangan akta yang tercantum di atas tanda
tangan tersebut diakui pula. Hal ini dapat kita mengerti,
karena biasanya seseorang yang menandatangani sesuatu
surat itu untuk menjelaskan bahwa keterangan yang
tercantum di atas tanda tangan adalah benar keterangannya.
55
Karena ada kemungkinan bahwa tanda dalam akta di bawah
tangan tidak diakui atau diingkari, maka akta di bawah
tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir.
b. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan
Seperti yang telah diterangkan pada kekuatan
pembuktian luar akta di bawah tangan, yaitu apabila tanda
tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang
tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula, maka
di sini telah pasti terhadap setiap orang bahwa pernyataan
yang ada di atas tanda tangan itu adalah pernyataan si
penanda tangan.
Jadi akta di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian formal.
c. Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan
Disini juga menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUH
Perdata yang telah dikemukakan di atas dan secara singkat
dapat dikatakan bahwa diakuinya tanda tangan pada akta
di bawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan
56
akta tersebut berlaku pula sebagai benar terhadap si
pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat. Dengan
demikian akta di bawah tangan hanya memberikan
pembuktian material yang cukup terhadap orang untuk
siapa pernyataan itu diberikan (kepada siapa si penanda
tangan akta hendak memberikan bukti). Sedangkan
terhadap pihak lainnya kekuatan pembuktiannya adalah
bergantung kepada penilaian hakim (bukti bebas).
Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan
adanya suatu perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai
alat pembuktian satu-satunya.65
Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi
(seperti dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi). Akta di bawah
tangan atau akta formalitatis causa (sebagai syarat pokok)
mempunyai juga daya pembuktian, dan akta hibah yang ditentukan
sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja mempunyai daya
pembuktian.
B. Ketentuan Akta hibah menurut Notaris dan PPAT
65 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda, Nederland:
PT Intermasa, 1967, hlm. 54
57
1. Akta Hibah Menurut Notaris
Di tanah air kita, notariat sudah dikenal semenjak Belanda
menjajah Indonesia. Karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah
dikenal dalam kehidupan mereka. Tetapi lembaga ini terutama
diperuntukkan guna mereka sendiri karena undang-undang maupun
karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang
berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang Hukum Perdata, ialah
Burgerlijk Wetbook (B.W) atau sekarang umumnya disebut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
a. Definisi Notaris
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN
Nomor 30 Tahun 2004), notaris didefinisikan sebagai pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.
b. Kewenangan Notaris
Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat
akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
58
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang. Notaris memiliki wewenang pula
untuk:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus.
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya.
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g. Membuat akta risalah lelang
c. Akta Notaris
59
Akta notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti
tertulis dengan kekuatan pembuktian sempurna. Dalam penjelasan
umum UUJN disebutkan bahwa akta notaris yang merupakan akta
otentik memiliki kekuatan sebagai alat bukti tertulis yang terkuat
dan terpenuh. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta
notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan
dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di
hadapan persidangan pengadilan.66
Dalam Pasal 38 Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, bentuk dan sifat akta terdiri atas: 67
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas:
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan,
b. Kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili;68
c. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
66 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta: Ull Press,
2009, hlm. 19 67 Ibid, hlm 237 68 Yang dimaksud dengan “kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum
bertindak.
60
d. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari
pihak yang berkepentingan; dan
e. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebgaimana dimaksud
dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemah akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat
nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
Berbagai akta yang biasa atau sering dibuat di hadapan atau
oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam persoalan
akta hibah salah satunya akta-akta yang menyangkut hukum
perorangan (personen recht), Burgerlijk Wetboek (BW) Buku I
yaitu hibah yang berhubungan dengan perkawinan dan
penerimanya (harus otentik/Pasal 176 dan 177 BW),
Kemudian akta-akta yang menyangkut hukum perikatan
(verbintenissen recht), Burgerlijk Wetboek Buku III salah satunya
membahas tentang berbagai hibah (Pasal 1666 dan seterusnya
62
d. Syarat-syarat Akta Hibah
Adapun syarat membuat akta hibah, dalam Pasal 39 UUJN
tentang akta hibah adalah:
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah; dan
b. Cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling
sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)
penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
secara tegas dalam akta.69
Saksi sebagaimana termaksud, harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah;
b. Cakap melakukan perbuatan hukum;
c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat
dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris
atau para pihak.70
69 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, hlm. 237-238 70 Pasal 39 ayat (2) UUJN Tentang Akta Notaris
63
2. Akta hibah menurut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran
tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan
keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang
bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah
tersebut, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut
bidang tanah itu, atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan
pencatatan data yuridis ini, khususnya pencatatan perubahan data
yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan PPAT sangatlah
penting. Menurut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan
hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta
PPAT.71
a. Definisi PPAT
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
71 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, hlm. 24
64
Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai
bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Oleh
karena itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan
tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut.
Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri
oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan hukum
itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak
dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut
pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti
lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai
perbuatan hukum yang baru.72
b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT
Pasal 2 UUJN tentang Tugas pokok dan kewenangan PPAT
dalam ayat (1) dijelaskan:
(1) Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
72 Ibid, hlm. 117
65
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian harta bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.73
c. Bentuk-bentuk Akta
Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan
akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) dan
cara pengisiannya sebagaimana tercantum pada lampiran 16 s/d 23,
akta hibah terdapat pada lampiran 18. Adapun pelaksanaan
pembuatan akta hibah dalam pasal 101 UUJN menyebutkan
bahwa:
(1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang
yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang
memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditujukan
dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
73 Ibid, hlm 166
66
(3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang
bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus
dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.74
74 Ibid , hlm. 170
63
BAB III
KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)
C. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM
Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM terletak di Ruko
Ngaliyan Square, Jl. Prof. Dr. Hamka Nomor 17 Blok B.17 Semarang.
Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM mempunyai luas 6 x
10 m2. Adapun letak Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM
berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Perpustakaan TPM
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Bimbel Kumon.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Bimbel Lia.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Lembaga Keuangan Perdagangan.
Kantor Notaris Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal 14
Maret 2003 sesuai dengan Surat Keputusan sebagai Notaris: S.K. Men.
Keh & HAM R.I Tgl 14-03-2003 No. C-320. HT. 03.03-Th. 2003.
Sedangkan pengucapan sumpah Notaris pada tanggal 3 Juni 2003 sesuai
dengan No. 181. 4/150/2003 tgl. 03-06-2003.
64
Adapun Kantor PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal
21 Juli 2005 sesuai dengan SK.Kepala BPN Tgl. 21 Juli 2005 No. 12-X.A-
2005. Sedangkan pengucapan sumpah PPAT sesuai dengan No.
640/172/PPAT/2005 Tgl. 20-09-2005.75
D. Tata Cara dan Syarat-syarat Akta Hibah
Akta ialah tulisan yang sengaja dibuat dihadapan notaris namanya akta
notarial, atau akta otentik atau akta notaris. Pertama, Orang datang kepada
notaris minta akta yang ada tanda tangannya dan cap jempol para pihak,
para saksi dan notaris. Dengan syarat membawa KTP ketika akan di
notaris. Kemudian ketika melihat syarat akta hibah, kantor Notaris dan
PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berpedoman pada Pasal 1320, untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;76
Sedangkan tata cara dan syarat akta hibah yang dibuat Notaris dan
PPAT,adalah sebagai berikut:
75
Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret
2011 76
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, hlm. 339
66
a) Syarat Pemberi
Orang yang bermaksud menghibahkan dan si calon penerima
hibah datang ke kantor Notaris dan PPAT kemudian
mengutarakan kehendaknya untuk menghibahkan sesuatu,
sehingga disitu ada pemberi dan penerima hibah. kemudian
ditanyakan apa yang akan dihibahkan.
Kalau yang dihibahkan benda tidak bergerak atau tanah maka
akan dibuatkan akta PPAT. Mereka harus menunjukkan bukti
bahwa mempunyai kewenangan memberi hibah, dia adalah
pemiliknya, misalnya bukti sertifikat. Jika ia bukan pemilik obyek
hibah dan hanya bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari
orang atau badan hukum atau instansi yang diwakilinya, maka
kualitas atau dasar hukum dari tindakannya harus disebutkan
secara jelas (Kuasa Notariil).
Surat kuasa tersebut harus dilekatkan atau dijahitkan pada akta
yang disimpan oleh PPAT dan harus disebutkan dalam aktanya.
Demikian pula nama-nama orang atau badan hukum atau instansi
yang diwakilinya diuraikan secara lengkap; kemudian dengan
67
menunjukkan KTP guna mengecek umur sudah 18 tahun, karena
sebagai syarat kecakapan hukum.
Apabila pemilik obyek hibah tidak cakap hukum melakukan
perbuatan hukum, maka bagi mereka yang warga Negara
Indonesia diwakili oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka
yang tunduk pada hukum Perdata Barat diperlukan juga
persetujuan Pengadilan Negeri setempat.
b) Syarat penerima hibah
Umur minimal 18 tahun, kalau belum dewasa diwakili oleh
wali atau pengampu. Untuk akta Notaris, Notaris membuat
aktanya sesuai keinginan para pihak sesuai dengan format teknik
pembuatan akta. Untuk akta PPAT teknik pembuatan akta sudah
ada blangko akta hibah dari BPN.
Setelah akta selesai dibuat, sebelum di tandatangani harus
dibacakan oleh Notaris atau PPAT dihadapan para pihak atau
saksi-saksi setelah itu baru di tandatangani oleh para pihak atau
saksi-saksi dan Notaris atau PPAT. Khusus untuk akta PPAT
sebelum akta diberi nomor atau tanggal harus dilakukan terlebih
dahulu sebagai berikut:
68
� Pengecekan sertifikat di kantor pertanahan Kabupaten atau
Kota setempat.
� Dibayarkan pajak-pajak. Pemberi hibah tidak membayar pajak
PPH atau Pajak Penghasilan, sedangkan penerima hibah kalau
obyek hibah lebih dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) wajib membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan) tarifnya 5 %. Jadi NJOP (Nilai Jual
Obyek Pajak) dikurangi Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) x 5 %. Pembayaran ke pemerintah kota atau kabupaten.
Pembiayaan di kantor notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM.,
relatif, tergantung harga benda yang dihibahkan dan kemampuan
seseorang. Sedangkan sistem pembiayaan pajak akta hibah adalah sebagai
berikut:
a) Hibah dari orang tua kepada anak
• Pemberi hibah → tidak dikenai PPH
• Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x
5 %
• Bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) 5 % setelah BPHTB di bayar penuh dahulu
69
kemudian ajukan permohonan dilampiri surat keterangan bahwa
yang bersangkutan adalah orang tua dan anak.
b) Hibah kepada orang lain
• Hibah kepada kakak atau adik sama dengan hibah kepada orang lain.
• Pemberi hibah → tidak dikenai PPH
• Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x 5
%
• Tidak bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) 5 %.77
Akta itu dikatakan otentik, kalau dibuat di hadapan pejabat yang
berwenang. Otentik itu artinya sah. Karena notaris itu adalah pejabat yang
berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris
adalah akta otentik, atau akta itu sah.78
Sering orang membuat perjanjian, ditulis sendiri oleh pihak-pihak,
tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di
bawah tangan. Ada kalanya akta yang dibuat di bawah tangan itu, para
pihak kurang puas kalau tidak dicapkan di notaris. Sebelum
77
Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011 78
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 3
70
membubuhkan cap notaris, diberi nomor dan tanggal, nomor mana harus
dicatat dalam buku yang telah ditandatangani oleh Ketua Pengadilan
Negeri, kemudian diberikan kata-kata, dan ditandatangani oleh notaris.
Membubuhkan cap pada akta semacam itu ada dua macam, yaitu :
a) Legalisasi atau pengesahan
Untuk keperluan legalisasi itu, maka para penandatangan surat
atau akta itu harus datang menghadap notaris, tidak boleh
ditandatangani sebelumnya dirumah. Kemudian notaris memeriksa
tanda kenal, yaitu KTP, atau tanda kenal lainnya. Pengertian kenal itu
lain dengan pengertian sehari-sehari, yakni notaris harus mengerti
benar sesuai dengan kartu kenalnya, bahwa orangnya yang datang itu
memang sama dengan kartu kenalnya, dia memang orangnya, yang
bertempat tinggal di alamat kartu kenal itu, gambarnya cocok.
Sesudah diperiksa cocok, kemudian notaris membacakan surat
atau akta di bawah tangan itu dan menjelaskan isi dan maksud surat di
bawah tangan itu.
Akta di bawah tangan yang dilegalisasi itu sah, jika :
� Isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku.
71
� Yang menanda tangani betul orangnya yang bersangkutan.
� Tanggalnya memang dibuat pada waktu ditandatangani itu, bukan
tanggal lainnya.79
b) Diwaarmerking atau Didaftar atau Ditandai
Untuk waarmerking akta di bawah tangan maka para
penandatangan tidak perlu datang menghadap kepada notaris,
cukup saja yang sudah ditandatangani itu dibawa ke notaris.
Di dalam waarmerking ini notaris hanya mendaftar, jadi tidak
menjamin:
� Bahwa isinya diperkenankan oleh hukum.
� Apa yang menandatangani memang betul orang yang
bersangkutan.
� Apa tanggal yang ada pada akta di bawah tangan itu
memang ditandatangani pada waktu itu.
E. Macam-Macam Akta Hibah
1. Akta hibah benda bergerak
Akta hibah benda bergerak meliputi benda yang dapat berpindah
dari tempat satu ke tempat yang lain seperti hibah uang, hibah saham,
hibah mobil dan lain sebagainya. Akta hibah benda bergerak ini yang
79
Ibid, hlm. 4
72
mempunyai wewenang dalam pengurusannya adalah notaris, karena
notaris mempunyai wewenang dalam pembuatan akta otentik secara
resmi dalam pembuktian.
2. Akta hibah benda tak bergerak
Akta hibah benda tak bergerak meliputi hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun, yang berwenang dalam perkara akta
hibah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena PPAT
bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta hibah sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.80
F. Bentuk
Pada asasnya bentuk sesuatu akta notaris yang harus berisikan
perbuatan-perbuatan dan sebagainya yang dikonstatir oleh notaris, pada
umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam
perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu, dan teknik
80
Biro Humas dan Humas BPN, hlm. 4
73
pembuatan akta antara lain KUH Perdata Indonesia dan Peraturan Jabatan
Notaris di Indonesia (PJN).
Untuk menjamin perbuatan-perbuatan dan keterangan kehendak
mereka untuk di kemudian hari dan dalam suatu bentuk demikian yang
dapat dibuat, akan menghadap ke muka notaris dengan maksud supaya
dibuatkan dalam bentuk tulisan mengenai perbuatan-perbuatan atau
keterangan kehendak mereka itu dalam bentuk akta yang mempunyai
kekuatan otensitisitas.81
G. Prosedur Pembuatan Formulir Akta Hibah
1) Permulaan Akta
a. Pencantuman judul (nama) akta tidak diatur secara jelas dalam
perundang-undangan (PJN), akan tetapi mengingat hal itu penting,
antara lain mengenai penyelenggaraan/memasukkan ke dalam
repertorium, buku akta dan lain-lain. (protokol), dalam akta-akta
notaris judul akta ini selalu dimuat.
b. Pencantuman nomor pada setiap akta notaris penting sehubungan
antara lain dengan ketentuan pasal 36 dan 36a PJN
81
Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar Baru,
1985, hlm. 31
74
c. Penanggalan harus selalu dicantumkan dalam akta notaris, untuk
memenuhi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf d jo pasal 1 PJN.
d. Nama lengkap (kecil, keluarga/ vornamen en naam) demikian
tempat kedudukan notaris harus dicantumkan.
e. Saksi dalam penyelesaian akta hibah, harus dikenal oleh Notaris
atau pejabat setempat.
2) Komparisi/tindakan menghadap
a. Pencantuman nama lengkap, pekerjaan atau jabatan (sepanjang hal
ini dapat diberitahukan) dan tempat tinggal setiap penghadap dan
(bila ada) yang diwakilinya merupakan keharusan dalam akta hibah.
b. Jika penghadap bukan pemilik obyek hibah beli dan hanya
bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari orang atau badan
hukum atau instansi yang mewakilinya, maka kualitas atau dasar
hukum dari tindakannya harus disebutkan secara jelas;
Surat kuasa yang tidak otentik harus dilekatkan atau dijahitkan pada
akta yang disimpan oleh pejabat (notaris, PPAT, pejabat umum) dan
harus disebutkan dalam aktanya. Demikian pula nama-nama orang
atau badan hukum atau instansi yang mewakilinya diuraikan secara
lengkap.
75
c. Apabila pemilik objek hibah tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, maka bagi mereka yang warga Negara Indonesia diwakili
oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka yang tunduk pada
hukum Perdata Barat diperlukan juga persetujuan Pengadilan
Tinggi setempat.
d. Sebutkan persetujuan yang diperlukan, misalnya persetujuan istri
atau suami mengenai harta campur.
e. Hal “renvooi”, berupa gantian, coretan atau tambahan itu menurut
ketentuan pasal 32 PJN, yaitu:
� Bahwa semua perubahan dan tambahan (perkataan/bilangan)
yang terdapat pada akta hibah harus ditulis di pinggir halaman
akta hibah.
� Bahwa setiap renvooi itu hanya sah bila ditandatangani (dalam
praktek kebanyakan di paraf) atau disahkan oleh para penghadap,
para saksi dan notaris.
� Bahwa jika perubahan atau tambahan itu terlalu panjang untuk
ditulis di pinggir akta, maka penulisan itu dilakukan di bagian
akhir akta itu sebelum penutupan, dengan menunjuk pada
halaman dan baris yang bersangkutan.
76
� Bahwa bilamana renvooi itu tidak dilakukan secara demikian,
maka perubahan dan tambahan itu tidak berharga (batal)
f. Pencantuman, bahwa (para) penghadap “telah dikenal oleh” atau
“diperkenalkan kepada” Notaris dapat ditempatkan baik segera
setelah komparisi atau sebelum akhir akta. Apabila para pihak lebih
dari dua, sebaiknya atau lebih praktis hal ini dicantumkan sebelum
akhir akta, agar penyebutan kalimat itu cukup satu kali saja (tidak
berkali-kali)
3) Premise atau preaemisse
Hal ini dimaksud keterangan atau pernyataan pendahuluan yang
merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur dalam sesuatu
akta guna memudahkan pengertian apa yang dimaksud dengan
dibuatnya akta itu. Jadi semacam prolog atau muqadimah.
4) Isi akta
Pada bagian ini diuraikan secara jelas atau terang bahan sesuai atau
sehubungan dengan judul akta dan bila ada dengan premise tersebut,
sebagaimana dikehendaki oleh:
- Notaris dalam akta-akta yang memuat risalah atau berita acara,
dan atau
77
- Para penghadap atau pihak-pihak yang menghendaki dibuat
akta ini (Pasal 1 PJN)
- Dalam menyusun pasal-pasal atau urutan isi akta
mendahulukan apa yang merupakan esensialia yaitu
mengutamakan dan selalu mencantumkan hal-hal yang pokok
(tidak bisa dihilangkan atau ditiadakan), seperti dalam hibah
“penyerahan benda atau kebendaan oleh pihak penghibah”.
5) Akhir akta
- Penyebutan tentang nama lengkap, pekerjaan atau jabatan dalam
masyarakat dan tempat tinggal dari para (masing-masing) saksi
diatur dalam Pasal 25 ayat 2 huruf c PJN dengan sanksi
sebagaimana tercantum dalam ayat 3 Pasal itu.
- Keharusan para notaris membacakan akta yang dibuat di
hadapannya kepada para penghadap, para saksi dan sebagainya.
Dalam relaas-acte hanya kepada para saksi saja, demikian pula
penanda tangannya tercantum dalam pasal 28 PJN, dengan
sanksinya masih terdapat dalam Pasal itu.82
Penelitian kali ini penulis tidak bisa memaparkan secara eksplisit
tentang data yang telah bertransaksi di Kantor Notaris dan PPAT Dina
82 Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM
78
Ismawati, SH.,MM., data hibah di PPAT yang telah dihimpun dari tahun
2008 sejumlah 6 akta , 2009 sejumlah 10 akta, 2010 sejumlah 6 akta dan
2011 sampai sekarang belum ada yang berakta hibah. sedangkan akta
hibah yang melalui Notaris hanya sejumlah 1 akta sejak Kantor Notaris
dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM., berdiri.83
83
Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011
77
BAB IV
ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM)
H. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam
Seperti telah diuraikan dari bab satu, dua dan tiga skripsi ini bahwa
dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan
(anjuran) untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai
bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat
baik dan bernilai positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah
adalah sunat. Firman Allah :
’ tA# uuρ . . . tΑ$yϑø9 $# 4’ n?tã ϵ Îm6ãm “ÍρsŒ 4†n1ö�à) ø9 $# 4’ yϑ≈ tGuŠ ø9 $# uρ tÅ3≈ |¡yϑø9 $# uρ tø⌠ $# uρ
È ≅‹ Î6¡¡9 $# . . . ∩⊇∠∠∪
Artinya : “….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) … (Al-Baqarah: 177)84
Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat
penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta otentik menjadikan
dasar pembuktian yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R.
Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa
84
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Jakarta, 1971.hlm.43
78
membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-
dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.85
Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan
oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
)� �e%��< �@�� �&�V��i�� �����<�� �G�@ �&���� �G�@ 4Aj�&�I ��1�&�:�Z�� �G�@� 4A'�V� �G�� �G�@� 4A[�(�&�� �G�� �G�@� )�@�� 4�D�B�0�#�! �G�� �G�@� 4AO�%:�� ���� %)�:% �� "�#�. ab� �+�0�#�� � �#�I� �J��N :§»� �� "�i���(
�O�% �� 4� �V�� �����@ ��"��%3� �O��1 lm��!�3 AJ����� 4� ������ �!��� %G�B��� �n���0��� "�#�� "��%������ �+�0�#��«
Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang
digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia
kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu
dibebankan kepada Tergugat.”86
Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di
samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an
dan Hadits kepada kita sekarang ini yang merupakan sumber dan
pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui tulisan.
Adapun korelasinya apabila hibah tidak diaktakan, bisa
menggunakan alat bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam,
yaitu :87
Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan
urutan sebagai berikut:
85
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hlm.7 86
Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, (Bandung: Ma’arif, tt), hal 59. 87
Op. Cit hlm. 56
79
a. Pengakuan
b. Saksi
c. Sumpah
d. Qorinah
e. Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak
f. Pengakuan hakim.
Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan
dengan urutan sebagai berikut:
a. Pengakuan
b. Saksi
c. Sumpah
d. Penolakan sumpah
e. Pengetahuan hakim
f. Qorinah
g. Qosamah
h. Qiyafah
i. Dan Qur’ah.
Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan
sebagai berikut:88
a. Pengakuan
b. Saksi
c. Sumpah
d. Surat resmi
Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, alat-alat bukti itu ada dua
puluh enam dengan urutan sebagai berikut:89
1. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan
sumpah.
2. Pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat.
3. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah
pemegangnya.
88 Ibid, hlm. 57
89 Ibid, hlm. 58
80
4. Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka.
5. Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan.
6. Saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah yang dikembalikan.
7. Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat.
8. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
9. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk
bersumpah.
10. Keterangan saksi/dua orang perempuan dan sumpah penggugat.
11. Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah.
12. Saksi tiga orang laki-laki.
13. Saksi empat orang laki-laki.
14. Kesaksian budak.
15. Kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz)
16. Kesaksian orang yang fasiq.
17. Kesaksian orang non Islam.
18. Bukti pengakuan
19. Pengetahuan hakim
20. Berdasarkan berita mutawatir.
21. Berdasarkan berita tersebut (khobar istifadlon)
22. Berdasarkan berita orang perorang.
23. Bukti tulisan
24. Berdasarkan indikasi-indikasi yang Nampak
25. Berdasarkan hasil undian
26. Berdasarkan hasil penelusuran jejak.
Menurut Nashr Fariid Waashil alat-alat bukti itu ada sebelas,
dengan urutan sebagai berikut:90
a. Pengakuan
b. Saksi
c. Sumpah
d. Pengembalian sumpah
e. Penolakan sumpah
f. Tulisan
g. Saksi ahli
h. Qorinah
i. Pendapat ahli
j. Pemeriksaan setempat
90
Ibid, hlm. 59
81
k. Dan permintaan keterangan orang yang bersengketa.
Dan menurut pendapat penulis hal ini merupakan cara penghibahan
yang dilakukan secara sah. Meskipun di dalam persyaratan hibah tidak
tercantum dalam pembuatan akta hibah secara tekstual, akan tetapi dalam
hukum Islam bukti tertulis adalah merupakan akta yang kuat sebagai alat
bukti dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak.
Ayat yang menunjukkan pentingnya bukti tulisan, firman Allah
Q.S Al-Baqarah (2): 282 berbunyi :
$yγ •ƒ r'≈ tƒ šÏ% ©!$# (# þθãΖtΒ# u # sŒ Î) Λ äΖtƒ# y‰s? Aøy‰Î/ #’ n<Î) 9≅ y_r& ‘ wΚ|¡•Β çνθç7 çFò2$$ sù 4 = çGõ3u‹ ø9 uρ öΝ ä3uΖ÷< −/ 7= Ï?$Ÿ2 ÉΑ ô‰yèø9 $$Î/ 4 Ÿωuρ z>ù' tƒ ë= Ï?% x. βr& |= çFõ3tƒ $yϑŸ2 çµ yϑ= tã
ª!$# 4 ó=çGò6 u‹ ù=sù È≅ Î=ôϑ㊠ø9 uρ “Ï% ©!$# ϵ ø‹n=tã ‘,ysø9 $# È, −Gu‹ ø9 uρ ©!$# … çµ −/ u‘ Ÿωuρ ó§y‚ö7 tƒ çµ ÷ΖÏΒ
$\↔ ø‹x© 4 βÎ* sù tβ% x. “Ï% ©!$# ϵ ø‹n=tã ‘,ysø9 $# $·γŠ Ï� y™ ÷ρr& $�‹ Ïè|Ê ÷ρr& Ÿω ßì‹ ÏÜ tGó¡o„ βr& ¨≅ Ïϑãƒ
uθèδ ö≅ Î=ôϑ㊠ù=sù … çµ •‹ Ï9 uρ ÉΑô‰yèø9 $$Î/ 4 (#ρ߉Îηô±tFó™ $# uρ Èøy‰‹ Íκ y− ÏΒ öΝ à6 Ï9% y Íh‘ ( βÎ* sù öΝ©9 $tΡθä3tƒ È÷n=ã_u‘ ×≅ ã_t� sù Èβ$s?r& z5 ö∆$# uρ £ϑÏΒ tβöθ|Ê ö�s? z ÏΒ Ï!# y‰ pκ ’¶9 $# βr& ¨≅ ÅÒs?
$yϑßγ1 y‰÷n Î) t�Åe2x‹çFsù $yϑßγ1 y‰÷n Î) 3“t�÷zW{ $# 4 Ÿωuρ z>ù'tƒ â!# y‰ pκ ’¶9 $# # sŒ Î) $tΒ (#θãã ߊ 4 Ÿωuρ (# þθßϑt↔ ó¡s? βr& çνθç7 çFõ3s? # ·�F Éó|¹ ÷ρr& # ·�F Î7 Ÿ2 #’ n<Î) Ï&Î#y_r& 4 öΝ ä3Ï9≡ sŒ äÝ|¡ø%r& y‰ΖÏã
«!$# ãΠ uθø%r& uρ Íο y‰≈ pκ ¤¶=Ï9 #’ oΤ÷Š r& uρ �ωr& (# þθç/$s?ö�s? ( HωÎ) βr& šχθä3 s? ¸ο t�≈ yfÏ? Zο u�ÅÑ% tn
82
$yγ tΡρã�ƒ ωè? öΝ à6 oΨ ÷< t/ }§øŠ n= sù ö/ä3ø‹n=tæ îy$uΖã_ �ωr& $yδθç7 çFõ3s? 3 (# ÿρ߉Îγ ô© r& uρ # sŒÎ) óΟ çF÷ètƒ$t6 s?
4 Ÿωuρ §‘!$ŸÒムÒ= Ï?% x. Ÿωuρ Ó‰‹ Îγ x© 4 βÎ) uρ (#θè=yèø� s? … çµ ¯ΡÎ* sù 8−θÝ¡èù öΝà6 Î/ 3 (#θà) ¨?$# uρ ©!$# ( ãΝ à6 ßϑÏk=yèムuρ ª!$# 3 ª!$# uρ Èe≅ à6 Î/ >óx« ÒΟŠ Î=tæ ∩⊄∇⊄∪
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”91
Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang
lelaki mengelilingi beberapa kaum sambil meminta agar mereka bersedia
91
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Jakarta, 1971. hlm. 70
83
menjadi saksi, tetapi tidak seorang pun menyanggupinya. Ada pula yang
mengatakan bahwa pengertian wa la ya’bau, ialah jangan menolak
dijadikan saksi, dan hendaknya mengabulkannya, karena menolak
hukumnya adalah haram.
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa tulisan
merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memenuhi syarat, dan
penulisan ini diwajibkan untuk urusan kecil atau besar. Sebab dengan
adanya tulisan mengenai hak-hak ini, kesaksiannya, dan memegang
prinsip keadilan antara kedua belah pihak yang bersangkutan, juru tulis
dan para saksi, hal-hal tersebut merupakan penolak adanya kemungkinan
keraguan dan hal-hal yang ditimbulkan akibat adanya keraguan, seperti
permusuhan dan pertengkaran.92
Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi
Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk memiliki”.
Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa:
92
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra,
1985, hlm. 132
84
“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli
warisnya”.
Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari
usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa
usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk
menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta
kecuali jika ahli warisnya menyetujui.93
Maka menurut singkat pendapat penulis bahwa batasan memberi
hibah 1/3 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si
penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa dirinya,
akan tetapi jika ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si
pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan.
Sedangkan analisis pendapat penulis tentang penarikan kembali
hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut
kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah penarikan kembali hibah
tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu
pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan
orang yang diberi. Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah
mencukupi.
93
Ibid, hlm. 471
85
I. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif
Undang-undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau
hibah selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang masih hidup.
Menurut pendapat penulis tentang kewajiban berakta hibah dalam
kebijakan undang-undang sudah terpenuhinya kebutuhan hukum
masyarakat karena dimulai dari prosedur (Proses) pembuatan akta hibah,
penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris
bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu :
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas
ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang
aslinya disimpan oleh notaries itu” 94
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada
hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan
diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi
kuasa pada orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat
oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang
membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat
94 Ibid, hlm 438
86
bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil,
juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya.
Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam
hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW
menjelaskan bahwa:
“ Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai
hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap
untuk itu.(1676)”
“ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah,
kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu
Kitab Undang-undang ini.”95
Ukuran dewasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika
berumur 21 tahun, sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21
tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang.
Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan
pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak
bertransaksi dengan Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak
bertransaksi dengan PPAT. Ketika penulis mencermati adanya perbedaan
karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan
95 Ibid, hlm.438
87
satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan
upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas.
Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, menurut
pendapat penulis bahwa:
a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. (apabila
timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah
merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan
dengan alat-alat pembuktian lain.)
b. Arti penting suatu akta hibah terletak disitu, yang mana dalam praktek
hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum
yang lebih kuat.96
J. Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,S.H, MM dalam
Keabsahan Akta Hibah
Menurut pendapat Ibu Dina Ismawati, S.H, MM, orang yang datang ke
Notaris atau PPAT berarti orang itu patuh pada Hukum Perdata Indonesia,
dalam hal ini adalah BW. Maka dasar hukum, bentuk dan kekuatan hukum
sama persis dengan hukum positif di Indonesia. Kecuali pada tata cara
96
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika,
1987, hlm. 60-61
88
pembuatan akta hibah di dalam hukum positif dengan Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) serta Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PJPPAT) berbeda.
PJN dan PJPPAT mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si
penghibah maupun si penerima hibah yakni harus menunjukkan KTP,
PBB tahun terakhir, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS) ini bertujuan
untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar
Pengenaan PBB.
Sedangkan dalam hukum positif dalam BW Hibah barulah mengikat
dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-
kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau
dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal
1683 KUH Perdata menyebutkan :
”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu
akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-
kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh
seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah
dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah
diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di
kemudian hari.
Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri,
maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik terkemudian,
yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si
89
penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang
yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu
diberitahukan kepadanya.”97
Menurut pendapat penulis, memang penting sekali apabila syarat
penghibahan harus mengikuti syarat dari PJN ataupun PJPPAT. Bertujuan
agar tanah atau benda tersebut tidak terikat dengan orang lain dan tidak
dituntut dikemudian hari. Hal ini merupakan cara penghibahan yang telah
dilakukan secara sah, karena dengan adanya bukti-bukti tertulis yang
dikuatkan dengan adanya tanda tangan tersebut. Dalam hal ini penulis
mendukung prosedur akta hibah yang dilakukan dengan model yang
dibuat oleh Notaris maupun PPAT. Hanya saja diharapkan hukum Islam
tetap ditegakkan bagi Notaris dan PPAT. Demi keabsahan hukum Islam
maupun hukum positif.
97 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm
438-439
90
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif merupakan kewajiban
dalam kebijakan undang-undang, karena sudah terpenuhinya
kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur (Proses)
pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah
mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu
dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima
hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang
lain.
2. Ditinjau dalam hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam
tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun
dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit. Hukum Islam mengenai
perkara hibah ini adalah, dalam hukum Islam dengan adanya ijab
qobul yang diketahui oleh adanya saksi. Maka hibah itu dianggap sah.
Meskipun demikian dalam hukum Islam bukti tertulis adalah
merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti dalam menetapkan hak
atau membantah suatu hak.
91
3. Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM dalam keabsahan
akta hibah membedakan wilayah kerja antara Notaris dan PPAT.
Notaris mengenai benda bergerak dan PPAT mengenai benda tidak
bergerak. Persyaratannya dalam pembuatan akta hibah hampir sama,
dengan menunjukkan KTP dan surat-surat benda yang akan
dihibahkan yaitu harus menggunakan :
c) Sertifikat atas nama pihak pertama diberikan kepada pihak kedua.
Pihak pertama beserta suami atau istri foto copy kartu keluarga
dan KTP pihak kedua.
d) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir, Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Pemberitahuan
Pajak Setoran (SPPS). Surat Tanda Terima Setoran (STTS)
bertujuan untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
sebagai dasar pengenaan PBB.
Dalam hal keabsahan akta hibah, memang dalam pembuatan dan
keabsahan akta hibah berbagai cara dan syarat. Yakni menurut hukum
Islam dan hukum Positif, dalam hal keabsahan akta hibah kedua hukum
tersebut sama-sama mempunyai dasar yang kuat.
92
B. SARAN
Meskipun dalam hukum Islam bersifat klasik namun dalam masalah
keabsahan akta hibah masih relevan dengan kondisi saat ini, karenanya
tidak berlebihan bila dalam membentuk peraturan perundang-undangan
khususnya di Indonesia mengkomparasikan dengan pikiran hukum Islam.
C. PENUTUP
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayat dan ridlo-Nya tulisan yang diangkat dalam bentuk skripsi telah
dilaksanakan. Penulis menyadari bahwa meskipun telah mengupayakan
semaksimal mungkin tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dan
kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Namun demikian
semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda,
Nederland: PT Intermasa, 1967.
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet.
14.
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah,
Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3.
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van
Hoeve, 1996.
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum
dan Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009.
Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas ,
1995.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo
persada,1995
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra, 1985
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.
Asaf A.A Fyze, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:Tintamas, 1966
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia,Jakarta:FH UII Press, 2004.
94
Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan
Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti” 1998.
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007.
Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta, Sinar Grafika, 1994
Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam
kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004.
Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM.
Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi
Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan
Hibah Orang Tua terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2008.
Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret
2011.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul-Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa’, 1990.
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika,
1987.
Kamar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya,
Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1991
M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003.
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta :
PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II.
Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar
Baru, 1985.
95
Pengayoman, Masalah Hukum Jabatan Notaris Dalam Kegiatan Pertanahan,
Jakarta Timur : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI, 2010
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1999.
Sa’di Abu Nabieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet
III.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara,
1997, Cet 9.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
----------------, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :
Liberty, 2002.
Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang:
Pustaka Alawiyah, t.th
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni,
1992.
Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang,
Pustaka Rizki Putra,2000.
---------------------------------------------------------, Pengantar Fiqh Muamalah,
Cet.4, Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia,
2007, Cet II.
Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam
Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di
96
Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti
Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2008.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemah, Jakarta, 1971.
97
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Arifatul Khulwa
TTL : Semarang, 13 September 1989
Alamat : Jl. Sunan Kalijaga Raya RT 01 RW 02 Penggaron Kidul
Pedurungan Semarang 50194
Pendidikan :
� MI Infarul Ghoy Plamongan Sari Pedurungan Semarang,
lulus tahun 2001
� MTS Infarul Ghoy Plamongan Sari Pedurungan
Semarang, lulus tahun 2004
� MAN 1 Semarang, lulus tahun 2007
� Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang sejak 2007
Pengalaman Organisasi :
1. Sekretaris HMJ AS (2009)
2. Bendahara PMII Rayon Syari’ah Kom.Walisongo (2009-2010)
3. Redaktur Justisia (2008 sampai sekarang)
4. Bendahara IPPNU PC.Kota Semarang (2010-2012)
5. Divisi Pendidikan dan Penelitian Karang Taruna Kecamatan
Pedurungan (2009-2013)
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 9 Juni 2011
ARIFATUL KHULWA