113
PERBANDINGAN AGAMA I. STUDI TENTANG AGAMA-AGAMA Apakah Agama itu? Berbagai jawaban dan definisi bisa diberikan oleh orang tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu. Secara sederhana ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah: “kepercayaan akan mahluk-mahluk halus,” namun yang lainnya mencoba memberikan definisi yang lebih komprehensip atau deskripsi mengenai praktek-prakteknya. Sejak berkembangnya agama pada masyarakat primitip, agama berkembang tanpa manusia merasa perlu mendifinisikan artinya, namun sejak perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berusaha untuk mengerti hakekat agama yang sudah dianut manusia sejak kehadiran manusia dimuka bumi itu. Beberapa pendekatan akan studi tentang agama-agama yang dilakukan adalah antara lain sebagai berikut: Ahli Antropologi menggambarkan keyakinan dan praktek agama seperti yang dapat diamati dalam komunitas yang hidup. Agama dalam komunitas ini membantu menyatukan orang-orang melalui pengalaman yang dilakukan bersama dan pemberian makna pada kehidupan mereka. Agama menyediakan pola perilaku manusia, sering sebagai tanggapan atas kesukaran hidup. Ahli Sosiologi menekankan dimensi sosial dari ide-ide keagamaan. Agama menyediakan jalan yang disepakati dalam melihat dunia ini. Ia memberikan kepada setiap individu manusia rasa tentang makna dan tujuan hidup sosialnya. Ahli Jiwa menjelaskan agama sebagai pemenuhan akan kebutuhan kejiwaan dalam mengatasi konflik-konflik batin, dan bagaimana agama itu berperan dalam kesejahteraan jiwa manusia itu. Ahli Sejarah menjelaskan agama dalam hubungan kejadian- kejadian yang dihasilkan kepercayaan dari dulu sampai sekarang. Ahli Teologi berkenaan dengan agama dalam lingkungannya sendiri, mengenai pertanyaan apakah hal itu benar atau salah, dan bagaimana manusia menanggapi agama itu. Ahli-ahli lain berusaha melihat perilaku beragama dan agama itu sendiri dalam hubungan dengan disiplin ilmu pengetahuan masing-masing. Dalam penyelidikan agama-agama yang menyeluruh, kita mengenal

Studi Perbandingan Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Studi Perbandingan Agama

Citation preview

PERBANDINGAN AGAMA

I. STUDI TENTANG AGAMA-AGAMA

Apakah Agama itu? Berbagai jawaban dan definisi bisa diberikan oleh orang tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu. Secara sederhana ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah: kepercayaan akan mahluk-mahluk halus, namun yang lainnya mencoba memberikan definisi yang lebih komprehensip atau deskripsi mengenai praktek-prakteknya.

Sejak berkembangnya agama pada masyarakat primitip, agama berkembang tanpa manusia merasa perlu mendifinisikan artinya, namun sejak perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berusaha untuk mengerti hakekat agama yang sudah dianut manusia sejak kehadiran manusia dimuka bumi itu. Beberapa pendekatan akan studi tentang agama-agama yang dilakukan adalah antara lain sebagai berikut:

Ahli Antropologi menggambarkan keyakinan dan praktek agama seperti yang dapat diamati dalam komunitas yang hidup. Agama dalam komunitas ini membantu menyatukan orang-orang melalui pengalaman yang dilakukan bersama dan pemberian makna pada kehidupan mereka. Agama menyediakan pola perilaku manusia, sering sebagai tanggapan atas kesukaran hidup.

Ahli Sosiologi menekankan dimensi sosial dari ide-ide keagamaan. Agama menyediakan jalan yang disepakati dalam melihat dunia ini. Ia memberikan kepada setiap individu manusia rasa tentang makna dan tujuan hidup sosialnya.

Ahli Jiwa menjelaskan agama sebagai pemenuhan akan kebutuhan kejiwaan dalam mengatasi konflik-konflik batin, dan bagaimana agama itu berperan dalam kesejahteraan jiwa manusia itu.

Ahli Sejarah menjelaskan agama dalam hubungan kejadian-kejadian yang dihasilkan kepercayaan dari dulu sampai sekarang.

Ahli Teologi berkenaan dengan agama dalam lingkungannya sendiri, mengenai pertanyaan apakah hal itu benar atau salah, dan bagaimana manusia menanggapi agama itu.

Ahli-ahli lain berusaha melihat perilaku beragama dan agama itu sendiri dalam hubungan dengan disiplin ilmu pengetahuan masing-masing.

Dalam penyelidikan agama-agama yang menyeluruh, kita mengenal setidaknya dua macam studi agama, yaitu:

(1) Sejarah Agama, dan (2) Perbandingan Agama. Sejarah agama (History of Religions) berusaha untuk mengerti agama dari sejarahnya di masa lalu sampai sekarang dan hal-hal apa yang berkembang dalam agama itu, jadi sifatnya penyelidikan yang mendalam dan vertikal atas agama tertentu, sedangkan perbandingan agama (comparative religions) mencoba melakukan pendekatan atas agama melalui perbandingkan antara satu agama dengan agama lainnya.

1. PENDEKATAN STUDI AGAMA

Bila masa rasionalisme menghadirkan pemikiran filsafat alami (natural philosophy) seperti yang dipopulerkan oleh G.W.F. Hegel, studi ANTROPOLOGI AGAMA mengalami perkembangan penting setelah Charles Darwin mengemukakan teori evolusinya mengenai perkembangan biologis kehidupan mahluk dari sederhana sampai kompleks, demikian juga kemudian agama dianggap sebagai mengalami perkembangan yang sama pula. Ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi agama yang dikaitkan dengan nama E.B. Taylor, J.G. Frazer, dan W. Robertson Smith sekitar tahun 1870-1920.

Tokoh-tokoh itu mencari identitas periode tertentu yang telah dijalani manusia, dengan memperhatikan karakter keyakinan yang dianut pada era yang susul-menyusul. Mereka menamakan fase-fase kehidupan beragama menurut mereka sendiri, umumnya bersifat spekulatif, teori dari sifat-sifat dominan yang hadir di dalam masing-masing. Khususnya Sir J.G. Frazier dalam bukunya The Golden Bough menyebut agama akan berkurang artinya begitu ilmu pengetahuan menggantikannya sebagai salah satu tahap dalam perkembangan pemikiran manusia.

Memasuki abad XX terjadi pendekatan studi agama yang berbeda dari sebelumnya, dan pertanyaan mengenai perkembangan agama berubah bentuknya. Sebagai pengganti pertanyaan mengenai evolusi tentang bagaimana agama semula berkembang, ahli antropologi memilih untuk menanyakan fungsi apa (functionalism) yang ditunjukkan agama dalam kondisi masyarakat tertentu dimana agama itu berkembang. E.E. Evans-Pitchard menyebutnya agama adalah apa yang diperbuat oleh agama itu. Bronislaw Malinowsky (1884-1942) mengabaikan dimensi sejarah dan memilih untuk mempelajari secara intensif peran yang dilakukan oleh agama di kepulauan Trobrian yang ditulisnya dalam bukunya berjudul Magic, Science and Religion.

Malinowsky percaya bahwa ada hukum ilmiah kebudayaan yang bisa digunakan untuk agama. Kebutuhan biologis individu akan makanan, tempat berteduh, sex dan rasa aman dapat juga dilihat sebagai kebutuhan sosial yang disediakan manusia secara bersama melalui institusi-institusi ekonomi, politik, perkerabatan dan agama. Sihir (magic) bermanfaat karena mendudukan seseorang kepada posisi kepemimpinan dalam masa-masa krisis di masyarakat. Itu mendatangkan langkah positif yang mungkin untuk menghindari perilaku yang kacau. Agama bersama Magic menyediakan kekuatan penyatu dalam masyarakat, karena hal itu merupakan jawaban atas hasrat manusia untuk bertahan hidup. Magic yang ditunjukkan ditengah bencana alam, menghadirkan dukungan kejiawaan pada manusia yang takut.Kebanyakan teori ini dihasilkan dari pengamatan Malinowski pada masyarakat primitif, tetapi dari buku hariannya yang baru diterbitkan lama setelah ia meninggal, ketakutannya sendiri akan kesendirian, kegelapan, dan kematian kemungkinan memdorongnya kearah jalan teori agama yang disusunnya.

Sesudah tahun 1950-an, ahli-ahli antropologi mengalihkan perhatian mereka lebih kepada peran agama sebagai ekspresi struktur (structuralism) ide-ide, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan dari suatu masyarakat. Mereka menarik gambaran hubungan yang ada diantara doktrin-doktrin. Mereka menanyakan apa yang dikemukakan orang-orang, bagaimana mereka mengorganisasikan kepercayaan mereka, dan apa yang menjadi pola logis sebuah agama.

Sebagai contoh, penganut Buddha di pedesaan melarikan diri dari pengalaman yang menyakitkan dengan cara dengan cara pengusiran setan, tapi bagaimana mereka mencocokkan ini dengan idealisme Buddhisme yang menolak keabsahan pengusiran setan? Atau bagaimana umat Kristen mengkaitkan keyakinan mereka mengenai kehidupan sehari-hari dengan kepercayaan akan Trinitas? Pendekatan struktural mengajak kita kepada organisasi pikiran manusia, dan jalan manusia membawa pola yang teratur ke dalam dunia yang komplek. Sebagai misal, antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss mempelajari pertanyaan tentang bagaimana ini bisa terjadi dalam kasus mitos-mitos.

Bila pada abad XIX para ahli merasa bahagia dengan menggabungkan ide-ide antropologi dengan yang berhubungan dengan pikiran manusia, pada abad ke XX, dalam studi PSIKOLOGI AGAMA, pikiran diabaikan oleh para ahli jiwa seperti Sigmund Freud yang mendasarkan pemikirannya pada antropologi evolusi, terutama dari William Robertson Smith, tapi harapannya adalah untuk menunjukkan bagaimana kekuatan yang mendasari pikiran manusia, beralaskan semacam energi seksual yang disebut libido, yang ditujukan sebagai sikap mengarah ke figur-Tuhan yang sebenarnya bersumber pada hubungan semasa kecil dengan ayah manusianya.

Freud mempopulerkan konsep utama studi agama tentang proyeksi (projection), istilah yang bukan saja dipopulerkan oleh Freud tetapi bersumber pemikiran filsuf yang mendahuluinya, yaitu Feuerbach (1804-72). Feuerback mengklaim bahwa pernyataan tentang Tuhan harus dimengerti sebagai pernyataan tentang manusia. Manusia ingin membentuk ide-ide tentang Tuhan kemudian melihat ke dalam dirinya mengenai realitasnya sendiri. Untuk memperoleh pengetian yang tepat mengenai teologi, seseorang harus membalikkan proses itu dan menafsirkan doktrin agama sesuai istilah manusia.

Feuerbach kemudian mempengaruhi Karl Marx dan Friedrich Engels yang menetaskan masyarakat komunis dan pandangannya tentang agama (agama adalah candu/ilusi bagi masyarakat) sebagai cara untuk mengartikan kehidupan ini. Freud juga menentukan bahwa posisi agama tidak lagi bermanfaat bagi manusia yang dengan jelas ditunjukkan dalam bukunya berjudul The Future of an Ilusion (1927). Disini proyeksi dilihat sebagai ilusi, pikiran manusia yang membawa manusia keluar dari kebenaran dan realitas, karena itu harus disesalkan.

Psikolog William James menganut sikap lebih pisitip terhadap peran agama. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1902), ia menyodorkan diskripsi penuh mengenai pengalaman-pengalaman beragama yang dimiliki oleh bermacam orang, membandingkannya dan membedakan antara yang disebutnya agama mereka yang berfikiran sehat dengan yang berjiwa sakit.

Bagi James, agama adalah berkenaan dengan nilai untuk membantu manusia untuk menghadapi kehidupan secara positif dan berani. Itu dilihat sebagai tujuan batas mengenai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri kita.dan dengan cara-cara untuk menyelamatkan kita dari dari yang salah. Dengan kata lain, agama menolong manusia untuk menerima diri dan kondisi hidupnya, lebih daripada menjadi mangsa kegagalan hidupnya. Semua ini akan mendatangkan keuntungan yang positif bagi manusia. Disini James tidak melihat agama sebagai ilusi tanpa masadepan yang nyata seperti yang digambarkan oleh Freud.

Studi SOSIOLOGI AGAMA berkembang pesat pada awal abad XX, khususnya dengan tulisan Emile Durkheim (1858-1917) yang terkenal, yaitu The Elementary Forms of the Religious Life. Durkheim juga memberi nilai lebih pada teori proyeksi, dan juga sama dengan Freud dipengaruhi tulisan W. Robertson Smith. Namun berbeda dengan Freud, sekalipun Durkheim menerima pendekatan evolusi atas agama, tetapi tidak menerima pandangan yang menyebutkan bahwa ide keagamaan sekedar konsep yang menyesatkan yang dihasilkan pikiran manusia. Disini Durkheim menggabungkan sebagian ide psikologi Freud dan spekulasi Frazer. Durkhem diyakinkan bahwa ada sesuatu yang nyata benar dalam agama, dan bahwa manusia tidak menipu dirinya sendiri.

Dalam melihat realitas yang mendasari perilaku beragama ia juga menerima sebagian penjelasan teologis, dan yang berkaitan dengan realitas yang mempengaruhi agama ia percaya itu adalah masyarakat (society) itu sendiri. Durkheim sangat terobsesi ide kemasyarakatan sama halnya dengan Freud yang terobsesi pikiran bawah sadar. Ia percaya adanya realita yang berbeda bekerja dalam kelompok-kelompok sosial yang darinya kehidupan individu dihasilkan. Agama adalah aktivitas manusia yang berbicara mengenai realitas selagi menggunakan kata-kata tentang tuhan.

Dalam satu segi, Durkheim menerima pandangan yang sama seperti Feuerbach bahwa manusia biasanya percaya dan bebicara mengenai Tuhan selagi berbicara mengenai kelompok sosialnya sendiri tanpa menyadarinya. Tetapi bagi Durkheim, yang tidak percaya akan adanya Tuhan yang hadir dalam diri-Nya sendiri secara independen diluar manusia, masyarakat baginya begitu penting sehingga bisa menggantikan kedudukan Tuhan. Masyarakat ada sebelum seseorang lahir dan akan tetap ada sesudah seseorang mati. Masyarakat memberikan ide dan bahasa untuk berfikir dan berbicara, masyarakat melindungi seseorang dan membuat manusia merasa berguna dalam hidupnya. Jadi, sekalipun kenyataannya manusia memproyeksikan semuanya itu kepada figur tuhan, ide-ide itu benar, dan lebih dari itu, hal itu perlu bila masyarakat ingin disatukan sebagai komunitas moral.

Studi yang membandingkan satu agama dengan lebih mendalam dan membandingkannya dengan agama-agama lain yang dikenal sebagai PERBANDINGAN AGAMA[B] (Comparative Religion) mulai dikenal melalui tokohnya bernama [B]Friedrich Max Muller (1823-1900). Muller dikenal sebagai bapa perbandingan agama (the father of comparative religion). Max Mullerlah yang pertama kalinya membawa agama-agama dunia (khususnya India) kepada perhatian orang Barat dengan menerjemahkan tulisan agama kuno dan modern agama-agama India dengan cara yang hidup. Teorinya mengenai sejarah agama yang berasal dari personifikasi gejala-gejala alam (seperti yang dilihatnya dalam agama Hindu) kemudian menggantikan gejala alam itu.

Perbandingan agama pada awalnya lebih berkenaan dengan asal muasal dan evolusi agama sebagai gejala manusia secara umum, dan teori evolusi agama ini dikenal melalui tokohnya Edward Burnett Tylor (1822-1912) yang mempopulerkan istilah animisme yang dipercayainya sebagai tahap awal dari evolusi agama, keyakinan sderhana yang mempercayai keberadaan mahluk roh (spiritual being).

2. AGAMA DARI PRIMITIF SAMPAI MODERN

Tidak ada manusia dari yang primitip sampai yang modern yang tidak mengenal agama atau dalam pengertian primitip keyakinan akan hal-hal yang gaib/sihir/magi (magic). Dalam masyarakat apapun selalu ada keyakinan mengenai adanya realita yang dianggap kekal, baka dan suci (Sacred) dan realita alam nyata yang kita diami yang bersifat tidak kekal, fana, dan duniawi (Profane). Menurut Mircea Eliade, tokoh sejarah agama:"Manusia menyadari realita yang suci (sacred) karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi (profane). Pernyataan itu disebut sebagai hierophany." [1]

Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya orang-orang memandangnya dengan hormat disertai larangan dan pantangan bila berhubungan dengannya. Keyakinan demikian diiringi dengan keyakinan adanya kekuatan supranatural khususnya kekuatan gaib/sihir/magi, atau ide-ide mengenai adanya mahluk halus, roh-roh, setan, roh nenek moyang yang telah mati, atau dewa-dewi (gods) yang berasal atau berada dalam realita yang suci tersebut.

Orang yang meletakkan dasar studi antropologi agama adalah Edward B. Taylor yang mengatakan:"esensi agama primitip adalah animisme, keyakinan akan mahluk halus, dan keyakinan ini berasal dari penafsiran yang keliru tetapi konsisten tentang mimpi, penglihatan, halusinasi, kesurupan, dan gejala-gejala yang sama." [2]

Pandangan ini menuntun kepada sikap yang membedakan jiwa dari badan, dimana jiwa akan terus akan mengalami kehidupan sesudah mati karena dalam kenyataannya mereka yang mati sering menampakkan diri dalam mimpi, membayang-bayangi mereka yang masih hidup dalam ingatan dan penglihatan, dan mempengaruhi tujuan hidup manusia, ini membawa kepada keyakinan akan setan dan roh-roh nenek moyang dan akan kehidupan sesudah mati di alam lain."Kepercayaan Animistis melahirkan rasa takut dan rasa hormat terhadap banyak macam gejala alami. Orang pun memuja tempat-tempat tertentu, sementara para leluhur pun dikeramatkan dan diharapkan berkatnya." [3]

Animisme menurut Taylor, sebagai filsafat dan agama orang-orang primitip, dihasilkan dari pengamatan dan penyimpulan (akan mimpi, halusinasi dll) secara spontan. Taylor terkenal sebagai pelopor yang mempromosikan teori 'evolusi agama' dalam buku karyanya 'The Primitive Culture' yang ditulisnya pada tahun 1872.

Pandangan Taylor terbatas karena menganggap orang-orang primitip itu sebagai terlalu perenung dan rasional, padahal faktanya banyak sekali penyelidikan baru menunjukkan bahwa orang-orang biadab sekalipun, sudah memiliki minat selain pada mengail ikan dan berkebun juga upacara dan festival suku yang lebih luas daripada hanya pengalaman perenungan mimpi perorangan. Dalam studi sejarah agama dimulai dari Taylor kuat adanya pendapat yang menganggap bahwa telah terjadi perkembangan agama dimulai dari keyakinan adanya mana (manism) ke keyakinan akan roh-roh dibalik segala sesuatu (animism) menuju keyakinan akan patung (totemism), jimat (fetishism), penyembahan alam dan roh-roh, kemudian kepada dewa-dewi & setan-setan (polytheism), dan terakhir kepada ide akan keberadaan Allah yang tunggal (monotheism).

Sekalipun demikian banyak tokoh sejarah agama seperti Mircea Eliade mengatakan bahwa faham evolusi gejala agama dari yang sederhana sampai yang kompleks adalah hipotesa yang tidak dapat dibuktikan [/COLOR][4], demikian juga Andrew Lang dalam buku 'The Making of Religion' (1989) membuktikan bahwa teori evolusi agama tidak cocok dengan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam sejarah agama. Pandangan menolak dikemukakan oleh Robert Brow:"Teori evolusi agama sedang dirumuskan kembali dengan anggapan bahwa Monotheisme telah terjadi pada bayang-bayang masa pra-sejarah. Dipelopori oleh Pastor William Schmidt dari Wina, para anthropolog telah memperlihatkan bahwa ratusan agama suku bangsa yang terpencil sampai pada masa kini tidaklah primitif dalam arti agama asali yang belum berkembang. Bangsa-bangsa ini mempunyai ingatan tentang "Sang Hiang Tunggal", Sang Pencipta Allah Bapa yang lemah lembut, Allah ini tidak lagi dipuja, sebab tidak ditakuti ... Dengan demikian kita melihat bahwa evolusi agama yang mulai dari Animatisme primitif, tidak lagi dapat diterima sebagai axioma (kenyataan), dan bahwa beberapa antropolog percaya bahwa Monotheisme mungkin saja lebih primitif daripada Animisme." [5]

Penelitian lebih lanjut antropologi modern dapat dijumpai dalam karya Sir James Frazer. Ia mengemukakan adanya tiga masalah yang dihadapi oleh agama primitip, yaitu (i) hal-hal gaib/sihir/magi (magic) dan hubungannya dengan agama dan pengetahuan; (ii) totemisme (penghormatan patung) dan aspek sosiologis keyakinan kuno; dan (iii) kultus kesuburan dan tanam-tanaman.

Dalam buku 'The Golden Bough,' Frazer menunjukkan dengan jelas bahwa animisme bukan satu-satunya keyakinan pada budaya primitip. Orang primitip berusaha untuk menguasai alam untuk tujuan praktis, ini dilakukannya secara langsung melalui upacara dan mantra, menguasai angin dan iklim, dan binatang dan panen agar mengkuti kemauannya. Baru setelah usahanya menguasai alam ini mengalami kesulitan barulah manusia mencari usaha meminta bantuan roh-roh yang lebih tinggi seperti setan, roh nenek-moyang atau dewa-dewi. Disinilah Frazier membedakan antara kepercayaan Ilmu Gaib (Magic, yaitu keyakinan bahwa manusia dapat menguasai alam) dan Agama (Religion, yaitu pengakuan akan keterbatasan manusia dan pencarian kuasa yang lebih tinggi darinya sejalan perkembangan pengetahuan).

Banyak pujian dan kritik ditujukan pada tulisan Frazier yang dianggap sudah lebih maju dari tulisan Taylor, yang umumnya membedakan antara Ilmu Pengetahuan (Science) yang dihasilkan dari pengalaman dan Ilmu Gaib/Sihir/Magi (Magic) yang dihasilkan dari tradisi. Ilmu Pengetahuan dipimpin akalbudi dan diuji oleh pengamatan, terbuka akan kebaikan untuk seluruh komunitas, sedangkan Ilmu Magic berkisar kebatinan (mysticism) dan berbau okultisme yang diajarkan melalui awal yang rahasia yang diturunkan secara bakat atau diwariskan secara eksklusip. Jadi dari pengertian Frazer kedua realita itu tidak saling bergantung dalam arti kata tidak harus bahwa Ilmu Pengetahuan diahasilkan karena perkembangan Ilmu Gaib (Magic).

Bila Ilmu Pengetahuan dilandaskan konsepsi kekuatan-kekuatan alam, Ilmu Gaib dihasilkan oleh keyakinan akan adanya kekuatan atau tenaga (power) yang bersifat batin dan tidak berpribadi yang secara umum diyakini oleh orang-orang primitip.

Bagi Mircea Eliade "Baik bagi orang primitip atau masyarakat modern, yang suci (sacred) itu disamakan dengan suatu kekuatan atau tenaga (power)" [/COLOR][6]. Kekuatan atau tenaga (power/force) yang diyakini oleh kebanyakan orang-orang primitip sampai sekarang biasa disebut antara lain sebagai mana di Melanesia, arungquiltha di suku Aborijin Australia, wakan/orenda/manitu yang diyakini orang-orang Indian Amerika dapat ditemui secara universil di semua suku-suku primitip di dunia dimana Ilmu Gaib/Sihir dipraktekkan.

Dari banyak pengamat antropologi agama, ditemukan dalam semua agama primitip adanya keyakinan akan kekuatan (power/force) supranatural yang tidak berpribadi yang menggerakkan semua hal yang ada disekitar kehidupan orang-orang dan juga dalam realita yang suci. Mana inilah dan bukan animisme yang merupakan esensi ilmu gaib agama pra-animisme. Kepercayaan akan Mana yang juga sering disebut sebagai dinamisme (dynamism) yang berasal dari istilah Melanesia dan secara umum kemudian digunakan oleh para ahli antropologi.

Keberadaan Mana jelas diakui oleh semua ahli yang umumnya sepakat untuk mempercayai bahwa Mana adalah kekuatan yang tidak berpribadi (impersonal power) . Emile Durkheim dalam penelitiannya akan suku-suku Indian di Amerika mengemukakan bahwa umumnya suku-suku itu mempercayai adanya 'kekuatan unggul' (pre-eminent power) yang bisa dimanfaatkan, karenanya banyak yang kemudian menganggapnya sebagai 'semacam dewa yang berkuasa' sehingga banyak yang menyebutnya sebagai 'roh besar' (great spirit), tetapi dari penelitian suku-suku itu sendiri ternyata bahwa pernyataan terakhir mengenai roh besar itu tidak didukung kenyataan.

3. KOMPONEN DALAM AGAMA

Pada prinsipnya sesuai definisi Mircea Eliade, 'Agama' timbul karena adanya kesadaran manusia bahwa dibalik 'alam nyata yang tidak kekal' (Profane) ini ada 'alam maya yang kekal' (Sacred) dan bahwa 'manusia dengan sesuatu cara dapat berhubungan dengan realita itu. ' Berdasarkan hal itu dapatlah digambarkan bahwa dua lingkaran 'Sacred' dan 'Profane' itu bertemu pada bidang yang disebut agama. Secara garis besar, gambaran agama itu bisa digambarkan dalam gambar berikut:

PROFANE / MANUSIA & DUNIAPada gambar di atas, Sacred (digambarkan sebagai lingkaran di atas) bersinggungan dengan Profane (digambarkan sebagai lingkaran di bawah) dalam apa yang disebut sebagai Agama. 'Sacred' (dengan pusat lingkaran menunjuk pada [1] yang suci) menyatakan diri dalam bentuk segitiga terbalik (dengan puncak ke bawah) yang disebut [2] 'penyataan/pengungkapan' (hierophany) dimana kedua sudut di atasnya menggambarkan [2.1] orang suci dan [2.2] tempat suci, sedangkan puncak di bawah menggambarkan [2.3] kitab suci yang dari dalamnya manusia dapat menggali pokok-pokok ajaran (dogma) dan pedoman tingkah laku (etika). Respons [3] manusia dan dunia (sebagai pusat lingkaran Profane) dapat digambarkan sebagai segitiga yang disebut [4] ungkapan beragama yang dinyatakan dengan puncak segitiga yang menghadap ke atas sebagai [4.1] jalan keselamatan (penebusan) untuk mencapai yang suci itu, dan kedua sudut di alasnya yang menggambarkan [4.2] komunitas umat beragama dan [4.3] upacara dan etik-moral yang dilakukan demi keakraban komunitas tersebut.

Catatan : [1] Mircea Eliade, The Sacred & The Profane, h.11.[2] Bronislaw Malinowski, Magic, Science & Religion, h.18.[3] Stephen Skinner, Feng Shui, h.17.[4] lihat Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religions, h.xiv.[5] Robert Brow, Asal Usul Agama, h.10-11.[6] Mircea Eliade, The Sacred, h.12.

Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Mon Nov 17, 2008 12:39 pm

Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 II. MEMPELAJARI SEJARAH AGAMA HINDU ASPEK MISTIKNYA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Agama India kuno sudah terdeteksi sejak sekitar tahun 3000-BC dan nama Hindu adalah nama India dalam bahasa Persia, dan merupakan agama tradisi budaya yang berkaitan dengan tanah India yang disebut sebagai The Mother India yang lebih merupakan agama yang berorientasi kepada alam dan pertanian dan dapat dikatakan sebagai 'percampuran sekte kultus, kebiasaan, ide-ide dan aspirasi' yang beragam dan bervariasi di sekitar 700.000 desa.

India sebagai sebuah sub-benua saat ini memiliki penduduk sekitar 500 juta dan terdiri dari bangsa Dravida di sebelah selatan yang umumnya hitam dan pendek, bangsa Benggala di bagian timur laut yang coklat, dan bangsa Aria yang keturunan Persia di sebelah utara yang umumnya bertubuh tinggi dan berkulit putih. Agama Hindu yang kuno tidak mempunyai pendiri atau nabi, tidak mempunyai struktur organisasi agama, dan lebih menekankan jalan hidup dan bukan pemikiran. Radhakrishnan mantan presiden India menyebut 'agama Hindu sebagai kebudayaan dan bukan pengakuan iman.'

1. KONSEP MENGENAI YANG SUCI

Dalam agama Hindu yang kuno ada yang percaya tentang apa yang disebut Tuhan ada yang tidak dan umumnya menj adikan kekuatan alam sebagai sesembahan (Manisme & Animisme) dan dengan adanya pengaruh bangsa Aria di Utara (ca.abad ke-XV-BC) yang menghasilkan bahasa Sansekerta berkembanglah dewa-dewi (politheisme) yang merupakan personifikasi kekuatan-kekuatan alam seperti Agni (dewi api), Indra (dewa langit/ perang) dan Varuna (dewa pengatur kosmis), dan memuncak dalam apa yang disebut sebagai Trimurti yaitu dewa Brahman, Shiva dan Wishnu dan para dewinya yaitu Saraswati, Lakhsmi dan Kali/Duga. Dewi Shakti adalah simbol kewanitaan. Di samping dewa-dewi ini dikenal para perantara (avatar) seperti Rama dan Krishna. Para penguasa/raja dianggap sebagai anak dewa. Krishna sering dipersonifikasikan sebagai binatang Sapi (kultus Mother Goddes).

Dengan berkembangnya agama menjadi PantheismelMistisisme (kebatinan) maka konsep dewa-dewi berkembang menjadi konsep Monisme mengenai keberadaan zat yang 'SATU' (The One) yang disebut Brahman yang mendasari semua keberadaan dan keberadaan zat yang satu itu dalam diri manusia sebagai Atman, dan bahwa adanya penyatuan zat manusia Atman dengan Brahman sebagai zat yang satu itu.2. PERNYATAAN YANG SUCIUngkapan dari yang suci atau hierophany dinyatakan dalam keberadaan orang-orang suci, tempat-tempat suci, dan kitab-kitab suci.

A. Orang-orang Suci

Sekalipun semula tidak mempunyai agama terstruktur dengan para imamnya kemudian timbullahlah golongan Rishi (orang-orang suci) dan Sadhu (orang suci pengelana/asketik) yang dianggap menjadi perantara antara dewa-dewi dengan manusia. Mereka memberitakan jalan hidup kekekalan yang disebut sanata dharma. Kemudian timbullah para Imam yang memimpin upacara suci di kuil-kuil dan memuncak pada abad ke-VIII-BC. Pada abd ke-VI-V-BC timbullah pemberontakan akan agama imam dengan berkembangnya agama Upanishad (mistik) seperti Buddhisme dan J ainisme. Hinduisme mengalami kebangkitan kembali sekitar abad ke-III-BC sampai AD-III.

B. Tempat-tempat Suci

Tempat-tempat yang dianggap suci yang terutama adalah sungai Gangga yang airnya dianggap sebagai lambang kehidupan dimana setiap hari orang melakukan mandi suci, demikian juga kota suci Varanashi di tepi sungai Gangga yang dianggap akhir kehidupan dimana yang mati dibakar dan abunya ditaburkan di sungai Gangga dan Alahabad ditepi pertemuan sungai ini dengan sungai Yamuna dimana dalam 12 tahun sekali diadakan festival mandi suci.

C. Kitab-kitab Suci

Agama Hindu kuno tidak memiliki kitab suci tetapi kemudian bangsa Aria yang datang membawa Agama Aria menghasilkan kitab Veda (Vid = pengetahuan) yang kemudian ada yang dinyanyikan (Rig Veda). Veda kemudian diakhiri dengan Vedanta (akhir Veda) dalam bentuk kitab Upanishad dimana berkembang konsep pantheisme/mistisime mengenai hakekat monisme Brahman - Atman. Pada kurun antara abad ke-III-BC sampai AD-III kebangkitan Hinduisme menghasilkan kitab-kitab Sutra yang merupakan perumusan pokok-pokok penting dari Veda dan Upanishad.

Dalam sejarah kekekalan Hindu dalam empat zaman, pada zaman I dunia berada dalam keadaan teratur, pada zaman II keadaan mulai terganggu, pada zaman ini dikenal cerita suci agama yang disebut Ramayana (tentang rama dan Shinta) dan memuncak pada akhir zaman III dimana terjadi perang habis-habisan yang dikisahkan dalam Mahabharata (perang semesta antara kebaikan [pandhawa] dan kejahatan [asthina]). Dialog Arjuna dan Krishna sebelum perang Kurusetra kemudian dinyanyikan dalam bentuk Bhagawat Gita. Zaman IV menggambarkan keadaan kacau yang disebabkan perang Kurusetra yang akhirnya dunia diperbaharui.

3. KONSEP MENGENAI MANUSIA & DUNIAManusia dianggap sebagai mahluk bagian alam yang menjadi permainan para dewa-dewi dan kemudian dalam perkembangan agama Hindu menjadi Pantheisme/Mistisime berkembang menjadi konsep Atman (pusat manusia) yang sehakekat dengan Brahman (pusat alam semesta). baik upacara agama atau jalan kebatinan ditujukan untuk menyatukan Atman dengan Brahman.

4. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIADalam mengungkapkan rasa keagamaan mereka, agama Hindu (Hinduisme) mengenal juga cara-cara melalui jalan keselamatan, komunitas umat, dan upacara & etik moral beragama yang sangat melekat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.

A. Jalan Keselamatan Hinduisme mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan perjalan ziarah yang panjang melalui jalan samsara yang miliaran tahun lamanya melalui siklus roda kehidupan (mandala) dan kelahiran kembali yang disebut sebagai reinkarnasi atau transmigrasi jiwa. Melalui jalan bhakti (devosi), jnana (pengetahuan), dan karma (perbuatan) manusia berusaha melepaskan diri dari siklus karmanya menuju kelepasan yang disebut moksa. Jalan ini juga biasa diisi dengan pertarakan (asketisme) dan penggunaan mantra, dan kemudian setelah adanya Upanishad berkembanglah jalan Yoga (meditasi).

Jalan keselamatan secara umum digambarkan sebagai melalui empat zaman yang pada akhir zaman ke-III disi dengan cerita Mahabharata dan memasuki perang semesta Kuruserta pada zaman ke-empat menuju kehancuran dan kemudian dunia diperbaharui.

B. Komunitas Umat Umat Hindu identik dengan penduduk India, karena itu kehidupan berkomunitas penduduk juga merupakan kehidupan komunitas umat Hindu. Dalam Veda manusia dibagi empat golongan yaitu Brahmana (imam), Ksatrya (penguasa), Waisha (pengusaha) dan Sudra (rakyat pekerja). Ada juga yang menambahkan dengan kelompok terhina dan tersingkirkan yang disebut Pariah.

C. Upacara a Etika Agama Tiap hari mandi suci di sungai Gangga dan setiap 12 tahun diadakan festival Kumb Melam di Alahabad yang terletak dipertemuan sungai Gangga dan Jamuna. Mereka yang kaya memilih mati dibakar di Varunasi kota suci ditepi sungai Gangga dan abunya dilarutkan di air sungai Gangga untuk menjalani kehidupannya yang terus menerus sebelum ber-reinkarnasi. kepercayaan akan reinkarnasi menyebabkan orang-orang Hindu umumnya menjadi vegetarian. Etik moral yang dilakukan oleh orang Hindu sangat ketat, khususnya kehidupan pertarakan, tabu-tabu, dan kepercayaan mengenai reinkarnasi yang menyebabkan orang-orang sangat menghormati binatang yang dianggap titisan nenek moyang yang telah meninggal. Sapi adalah binatang suci.

5. MISTIK DI DALAM HINDU: UPANISHAD

Berbeda dengan agama Hindu yang menekankan jalan keselamatan melalui upacara agama ritual dibimbing para Imam, dari Hinduisme yang bersumber tradisi Arya berkembang dua aliran yang menekankan jalan keselamatan melalui usaha pribadi, yaitu J ainisme dan Buddhisme, keduanya bersifat mistik sekalipun tidak identik sama. Keduanya menekankan cara pelepasan diri dari siklus samsara dengan usaha penyadaran diri agar jiwa terlepas dari jasad materinya. Sekalipun Jainisme dan Buddhisme cukup berpengaruh dalam perkembangan Hinduisme, guruguru Hindu yang terkemudian menganggap keduanya sebagai tidak ortodoks. Sebaliknya, ada bentuk lain pengajaran rahasia yang berkembang dikalangan guru-guru tradisi Veda dan ikut memberi bentuk baru pada Hinduisme. Ini kemudian dikenal sebagai Upanishads (upa = dekat, ni = bawah, shad = duduk), karena mereka yang mempelajarinya duduk dibawah dekat guru mereka. Ditemukan sekitar 200 tulisan upanishads.

Guru-guru itu tidak berurusan dengan para dewa atau korban ritual, mereka lebih tertarik untuk menemukan dasar alam semesta (ground of the universe), yaitu Realitas (Brahman) yang ada sebelum semuanya ada. Pada saat yang sama mereka tertarik menggali hakekat kesadaran manusia. Mereka sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang azasi dari 'aku perorangan' (atman) tidak lain adalah realitas yang mendasari kosmos. Beberapa kutipan yang menggambarkan konsep mistik Upanishad itu secara jelas adalah: "At the heart ofthis phenomenal world, within all its changing forms, dwells the unchanging Lord. So, go beyond the changing, and, enjoying the inner." (Ayat pertama Isha Upanishad) "The Self is all knowing, it is all-understanding, and to it belongs all glory. It is pure conciousness, dwelling in the heart of all, in the citadel of Brahma. There is no space it does not fill." (Dari Mindaha Upanishad).

"Thou art the Eternal among etemals, the conciousness within all minds, the Unity in diversity, the end of all desiring. Understanding and experience of Thee dissolve all limitations." (Dari Shivatashvatara Upanishad). [1]

Sama halnya dengan Jainisme dan Buddhisme, Upanishad berkepentingan untuk mengatasi perasaan yang asali keberadaan manusia akan kekuatiran dan frustrasi. Mereka juga menyadari gejolak dan hidup yang bersifat sementara, tetapi mereka mencari esensi yang kekal bukan saja dari luar tetapi dari dalam diri mereka. Jalan keselamatan mereka adalah pengetahuan dan penglihatan rohani.

Seperti halnya buku panduan para imam, setiap Upanishad terlampir pada satu dari keempat koleksi nyanyian Veda. Mereka adalah rekaan spekulatif yang digambarkan sebagai perumpamaan untuk mengkomunikasikan pandangan mereka tentang realitas. Setiap buku tentang Hindu mengutip cerita Svetaketu dalam Chandoya Upanishad.

"Svetaketu diminta untuk membelah buah pohon banyan dan disuruh terus membelah sampai tidak terlihat apa-apa. Ayahnya mengingatkannya bahwa yang tiada berasal dari yang tiada bahkan dari yang sangat kecil masih hadir kekuatan yang meresapi seluruh alam semesta dan menjadi dasar semua keberadaan. Percayalah! Ia diingatkan. 'Itu adalah nafas-jiwa (Brahman) yang berada dalam akar semua keberadaan, dan itulah juga apa adarnu, Svetaketu!' 'Itu adalah apa adaMu' mengungkapkan kesatuan aku (jiwa) manusia dengan realitas mutlak. Ia diberitahu pula tentang tidak mungkinnya memisahkan garam dari air asin karena rasa asin itu meresapi keseluruhannya. Dengan cara yang sama, ia dijamin bahwa realitas dalam didalam aku (jiwa) manusia adalah Realitas itu sendiri (Brahman).

Radhakrisnan menekankan sisi subyektip dan obyektip dari Upanishads. Svetasvatara (salah satu dari pembicara), mengatakan, 'gergajilah kebenaran dalam kuasa kontemplasi dan anugerah Allah.' Karena itu, lanjutnya, kebenaran-kebenaran itu harus diperiksa bukan saja dengan pemikiran logis tetapi juga dengan pengalaman pribadi.'

Sekalipun Upanishads berbicara mengenai yang tidak terbatas, ada banyak ungkapan personal yang kemudian dibawa kepada ibadah (bhakti). Diberitahukan bahwa 'Brahman diam didalam dan diluar segala sesuatu yang tidak dilahirkan, murni, lebih besar dari yang terbesar, tanpa nafas, tanpa pikiran' dan namun Brahman 'selalu hadir dihati semuanya sebagai penyelamat semuanya dan tujuan yang mutlak. 'Dalam Brahman berada semua yang bergerak dan bernafas.' Brahman dilihat sebagai 'yang satu yang dipuja.' Untuk 'mengetahui' Brahman adalah untuk menemukan keberadaan seseorang dalam Brahman.

A. YOGA

Cara praktis penyatuan aku (jiwa) atman ke Realitas Brahman ini dilakukan melalui Yoga. Pelaku Yoga biasa disebut yogi. Yoga merupakan salah satu jalan keselamatan dalam Hinduisme, yaitu cara untuk mencapai Moksa atau Kelepasan. Yoga berarti usaha mendisiplin diri untuk 'merealisasikan kehadiran Tuhan dalam diri,' tetapi Yoga dapat juga berarti suatu 'usaha mengatur kekuatan alam dan roh,' dan juga sebagai usaha 'penyatuan diri dengan zat ilahi.' "Kata 'Yoga' berasal dari bahasa Sansekerta Yuj, yang berarti 'untuk mengaitkan, menggabungkan, mempersatukan,' dan ghan, yang mengacu kepada 'penggabungan atau penyatuan total'. Secara harfiah, definisi yoga adalah untuk 'bergabung dan bersatu secara percuma.' Nah, apa saja yang diusahakan yogi untuk digabungkan dan dipersatukan atau persatuan? Jawabannya terletak pada konsep tiga unsur manusia yang diyakini dalam agama India kuno. Bagi mereka, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu pikiran, tubuh, dan jiwa. Tujuan akhir seorang siswa yang melakukan praktek yoga adalah untuk mempersatukan ketiga unsur tersebut dan mencapai persatuan dengan 'Sang Tuhan' atau 'Pikiran Alam Semesta'." [2]

Sekalipun membangun keluarga dan menikmati kesej ahteraan duniawi dibolehkan dalam agama Hindu, dalam diri banyak orang India: "Satu-satunya keinginan yang berapi-api adalah melepaskan diri dari dunia dan hanya berfikir untuk menyatu dengan Brahman ... Para yogi menyangkali selera mereka dan beberapa dikatakan dapat menghentikan detak jantungnya selama satu menit dan menahan nafas sampai berjam-jam ... Pada tingkat yang paling tinggi, bila seorang yogi telah melepaskan diri dari semua indera rasanya, ia berada di atas keluarga, kasta, negara, ibadat agama, baik dan jahat, waktu dan ruang, dan di atas diri sendiri karena ia menjadi satu dengan Tuhan." [3]

AG. Honigjuga mengemukakan hal yang sama tentang seorang Yogi dimana dikatakannya bahwa: "Orang-orang yang menjalankan Yoga (yogi) mula-mula sekali harus belajar mengendalikan diri dengan sempurna, juga di dalam hidupnya sehari-hari yogi harus belajar menunaikan segala kebajikan, misalnya: memantang kesenangan duniawi, berlaku jujur, tidak ceroboh, kemiskinan, kesucian, belajar, dsb. Selanjutnya yogi harus menjauhkan diri dari manusia, banyak berpuasa, dan membuat badannya menjadi baik untuk pemusatan pikiran. Untuk itu ada diperintahkan bermacam-macam sikap duduk (asanas). Sesudah itu ia harus berusaha menguasai dan mengatur jalannya napas. Dalam hal itu ia harus meletakkan tangannya dalam sikap tertentu (mudra). Setelah itu ia harus menunjukkan pikirannya kepada satu hal. Inilah yang disebut meditasi atau perenungan (dhyana), di mana yogi masih selalu berfikir juga. tetapi keadaan yang tertinggi ialah, di mana berfikirpun berhenti dan jiwanya tenggelam di dalam obyek perenungan. Inilah yang disebut samadhi. Karena akhimya yogi itu berhasil melepaskan rohnya dari materi (zat), maka ia tidak lagi terikat kepada hukum-hukum materi, sehingga ia dapat menjalankan usaha-usaha yang luar biasa. Bagi beberapa orang memiliki kekuatan-kekuatan luar biasa itu menjadi pokok tujuan mereka, tetapi sebenarnya di dalam Yoga itu yang menjadi tujuan ialah kelepasan: moksa." [4]

Ada berbagai jalan yang ditempuh dalam Yoga, yaitu (i) Bhakti Yoga dilakukan melalui cinta dan pengabdian; (ii) Karma Yoga dilakukan dengan pengorbanan diri dan perbuatan baik; (iii) J nana Yoga melalui ilmu pengetahuan untuk mengerti kebenaran hidup; (iv) Raja Yoga melalui meditasi mistik (kebatinan) untuk menemukan diri (self) manusia terdalam; dan (v) Hatha Yoga melalui gerak dan hidup (pernafasan). Posisi dan gerak tubuh tertentu dianggap sebagai jalan menuju kesempurnaan pula.

Semua jalan itu ditujukan untuk menuju keadaan bersatunya roh diri manusia (Atman) dengan roh ilahi/roh semesta (Brahman) itu, atau persatuan mikro kosmos dengan sumbernya makro kosmos, yaitu persatuan jiwa manusia dengan jiwa alam sebagai kelepasan. Beberapa cara yang dilakukan dalam Yoga adalah sebagai berikut: (i) Yama, yaitu penyangkalan diri; (ii) Niyama, yaitu tingkah laku moral; (iii) Asanas, yaitu sikap atau postur tubuh; (iv) Pranayama, yaitu pengaturan pernafasan; (v) Pratyahara, yaitu penguasaan indera; (vi) Dharana, yaitu pengaturan fikiran untuk dikonsentrasikan kepada obyek; (vii) Dhyana, yaitu meditasi dalam, dan (viii) Samadhi, yaitu pencapaian kesadaran jati diri tertinggi.

Bila ke-delapan jalan itu telah berhasil dicapai, maka tercapailah pencerahan/ kelepasan/ keselamatan. Dalam praktek Yoga juga dilakukan pengucapan mantra (kata-kata suci/berkhasiat) Om- Ram, dan sasaran dari latihan Yoga adalah untuk membangkitkan Kundalini yaitu kekuatan ilahi yang sedang tidur dalam diri manusia yang berbentuk seperti ular, karena itu disebut juga sebagai Kekuatan Ular.

Dalam Yoga dipercaya bahwa tubuh manusia dibungkus oleh sinar yang disebut sebagai Aura, dan tubuh manusia dianggap mempunyai 7 Chakra. "tubuh manusia terdiri atas dua bagian yang terpisah: bagian fisik yang dapat disentuh dan dilihat serta bagian spiritual atau bagian eterik yang tidak tampak. Untuk menjaga kesehatan tubuh yang baik, para murid okultisme bertujuan memapankan aliran energi yang baik antara kedua bagian tersebut. Dalam usaha mencapai tujuan ini, orang diharuskan mengendalikan gerbang-gerbang di antara kedua tubuh ini. Gerbang -gerbang ini disebut chakra. Chakra atau 'roda' ini merupakan sisi -sisi energi yang berputar dan berlokasi di tujuh tempat berbeda di seluruh tubuh manusia." [5]

Melalui latihan postur dan gerak, kekuatan Kundalini dapat dibangunkan dan naik ke otak untuk mencapai Samadhi dan Kebebasan, dan kemudian Y ogi itu akan mendapatkan kekuatan batin dan hidup langgeng selama disukainya. "Kundalini adalah Kekuatan Ilahi yang sedang tidur, tergulung dalam suatu makhluk, 2 jari di atas lubang pantat dan 2 jari di bawah kemaluan, itulah tempat Muladhara Chakra. Di sini letaknya Devi Kundalini yang luhur. Ia menggulung dirinya tiga setengah kali seperti seekor ular. Karena itu dikatakan "Kekuatan Ular" (Serpent Power). Ia merupakan kekuatan dalam mulut Sushumna Nadi dengan muka ke bawah. Ia merupakan kekuatan alam yang mencipta dan senantiasa ada hubungannya dengan penciptaan ... Bila Kundalini Shakti (kekuatan Kundalini) naik ke atas dan bersatu dengan Siva di Sahasrara Chakra (letaknya di otak) mengakibatkan keadaan Samadhi dan Kebebasan. Kemudian Yogi itu mendapatkan 8 macam Siddhis (kekuatan batin) besar dan 32 macam Siddhis kecil. Ia boleh hidup selama ia suka." [6]

"Bila Sang Kobra mencapai chakra makota, ia akan berhenti dan melingkar di sana. Pada titik ini Anda akan mengalami keadaan mental yang disebut kesadaran kosmos, samadhi, satori atau banyak nama lain yang diberikan orang untuk 'kebahagian sempurna". [7]

Dari kedua kutipan di atas kita dapat melihat bahwa usaha 'membangkitkan Kundali' dalam Yoga bukan sekedar untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan sempurna tetapi juga untuk mencapai keilahian yang penuh dan dapat menentukan kehidupannya sendiri. Yoga adalah jalan keselamatan bersatunya aku (jiwa) manusia (Atman) kepada sumbernya Realistas Brahman. Postur/sikap tubuh dalam meditasi Yoga yang terkenal berbentuk Lotus (seperti piramid) dan Cobra dan ada gerakan Yoga yang merupakan penyembahan Matahari, seperti yang dengan jelas terlihat dalam gerak Surya Namaskar.

Moderniasi ajaran Hindu, khususnya latihan Yoga juga terjadi pada abad ke-XX, dan salah satunya yang terkenal menamakan dirinya sebagai Transcendental Meditation (TM), yang merupakan moder-nisasi meditasi Hindu yang coba diilmiahkan agar memenuhi gengsi rasionalisme dunia Barat. Maharishi Mahesh Yogi dari India mem-perkenalkan latihan ini di Amerika Serikat pada tahun 1959, dan membentuk organisasi bernama International Meditation Society, dan bahkan begitu meluas sehingga sempat diresmikan prakteknya di sekolah-sekolah karena manfaatnya dalam membantu membebaskan pecandu obat bius, tetapi karena kemudian dapat dibuktikan bahwa TM berbau agama Hindu, maka kegiatannya di sekolah-sekolah umum dibatasi. Maharishi mulai terkenal di tahun 1950-an ketika menjadi guru kebatinan pemusik pop The Beatles.

Daya tarik TM adalah karena tidak menyebut dirinya sebagai aliran agama, dan menawarkan relaksasi badan dan menenangkan pikiran, peningkatan kemampuan mental, dan pengembangan kepribadian, tetapi dalam prakteknya terlihat bahwa TM tidak lain adalah suatu bentuk latihan meditasi Hinduisme termasuk pembacaan ayat-ayat dari Kitab Veda dan Bhagawad Gita, buku-buku suci Hindu, maupun pengucapan mantra-mantra dalam latihan.

6. AGAMA HINDU DI INDONESIA

Hinduisme mulai diperkenalkan ke Indonesia sedini abad-4, dan beberapa dewa-dewi Hindu diadopsi ke dalam kepercayaan rakyat. Yang menarik untuk diamati adalah bahwa beberapa dewa-dewi yang di India, pusat agama Hindu yang kurang mendapat tempat terhormat, di Indonesia bisa menjadi penting setelah mengalami sinkretisasi dengan dewa-dewi tradisi. Syiwa di Indonesia disembah dalam berbagai bentuk, terutama bentuk Mahadewa dengan empat tangan. Di sini kita dapat melihat adanya perubahan peran dan sifat-sifat dewa-dewi Hindu yang berbeda dengan peran dan sifat-sifat mereka di tanah airnya sendiri India.

A. BRAHMANISME

Hindusime dikenal di Indonesia melalui kontak-kontak dagang dengan India dan jejak-jejaknya dikenal di Kalimantan Timur (Kutai, abad - 4), Bali dan Jawa Barat (Purnawarman, abad - 5). Para raja di daerah-daerah itu mulai memasukkan unsur-unsur Hindu misalnya dalam istana, bahkan lingkunga istana mulai memasukkan para brahman untuk memimpin upacara-upacara agama. Lama kelamaan, dengan dukungan kerajaan, agama Hindu itu mulai mempengaruhi kerajaan-kerajaan pedalaman di Jawa Tengah sekitar abad-abad - 8-9 (Candi Dieng [750] & Prambanan [856]), dan di Jawa Timur pada abad - 10 dan memuncak pada kerajaan Majapahit di abad - 14 yang kemudian memasukkan Hinduisme ke Bali. Para Brahman dan rahib India berdatangan.

Pengaruh Buddhisme juga masuk ke Sumatera Selatan dimana pada abad -7 kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Buddhis yang terkenal. Baik agama Hindu maupun Buddhis sesuai semangat sinkretisme di Indonesia bercampur dan sejak itu terjadi pergerakan para imam, rahib dan pengelana, dari Jawa dan Sumatera dan pusat-pusat kerajaan Hindu dan Buddha lainnya.

Para Brahman berperan memimpin upacara kerajaan yang sudah terpengaruh agama Hindu. Para Brahman itu juga rnendapat tugas untuk menjaga hubungan para raja dengan nenek moyang mereka agar memperoleh kekuatan, dan mengkaitkan tahta mereka dengan dewa-dewi Hindu dan Buddha. Beberapa imam Hindu dan Buddha rnemiliki kedudukan tinggi di istana dan sering mewakili para raja dalarn memutuskan kasus-kasus pengadilan. Mereka menggunakan kitab hukum India tetapi menyesuaikan dengan adat-istiadat dan situasi lokal.

Penyesuaian model dan selera India ke dalam kebutuhan lokal menjadi tanda yang jelas pada budaya klasik di kerajaan-kerajaan Jawa. Atribut dan nama-nama dewa-dewi Hindu diberikan kepada roh-roh setempat. Roh padi dicampurkan dengan isteri Wisnu menjadi Dewi Sri, dewi kemakmuran. Roh-roh penunggu gunung yang dipercayai penduduk Jawa bercampur dengan konsep Hindu mengenai pusat dunia dan menjadikan Gunung Meru sebagai tempat kediaman para dewa-dewi.

Buku-buku undang-undang, filsafat, dan upacara India dipelajari dan diberikan penafsiran dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Cerita-cerita kepahlawanan (epik) India yang besar juga diberi jubah Jawa, seperti Mahabarata sudah diterjemahkan dari bahasa Sansekerta pada abad - 10. Mitologi yang kaya itu mempengaruhi lagu-lagu istana (kakawin) dan wayang jawa (wayang purwa).

Agama Rakyat

Di luar para Brahman di istana, tinggal para pertapa hutan dimana para asketik dan mistik melakukan sihir, astrologi, pengusiran roh jahat, dan mencari kesaktian supra-natural. Disamping itu, bagi rakyat jelata juga terbuka kesempatan melakukan upacara kepada dewa-dewi, memberikan sesajen pada para brahman, terutama pada bulan purnama, mengucapkan sumpah dan melakukan upacara -upacara tertentu untuk mencapai keselamatan.

Upacara yang terkenal adalah upacara malam dewa Syiwa. Upacara ini mulai dipopulerkan di India pada abad - 15, dan kemudian menyebar ke Jawa dan Bali. Mereka yang bergadang semalam suntuk pada malam tanpa bulan dan mengurapi lingga-Syiwa dengan air suci dan dedaunan, akan memperoleh kehidupan sesudah mati yang cerah bersama dewa syiwa. Begitu kuatnya upacara itu sehingga dipercayai dapat menghapuskan dosa yang paling besar pun. Dosa bukan saja karena perbuatan jahat, tapi juga pekerjaan kotor, status sosial yang rendah, dan sifat pribadi yang jelek ikut berperan. Pemburu yang miskin, karena perannya dalam menghilangkan nyawa binatang akan mengalami nasib yang jelek. Sekali pun pemburu itu melakukan perbuatan baik, namun statusnya sebagai pemburu merugikan dia, tetapi bila ia melakukan upacara yang paling suci, itu dapat menyucikan dia dari dosa.

Masyarakat dianggap terdiri dari kelas-kelas, Brahman, Ksatria, Waisya, dan Sudra, dan ditambah kelas chandalas yaitu mereka yang memiliki pekerjaan kotor. Di Jawa dan Bali upacara sosial ini diikuti tetapi perbedaan atas kasta tidak. Waktu dianggap sebagai kekal dan bergerak dalam siklu-siklus yang tidak berkesudahan melalui empat zaman dan sekarang memasuki zaman ke-4 yaitu zaman Kali. Kebenaran harus dilakukan untuk mencapai zaman keemasan.

B. HINDU TENGGER

Menurut legenda Jawa, ketika kerajaan Hindu-Buddha Majapahit ditaklukan kerajaan Islam (1520), keluarga kerajaan Majapahit dan para imam melarikan diri ke Bali dan mewariskan agama Hindu di sana. Rakyat jelata kebanyakan lari ke pegunungan Tengger di Jawa Timur dan bercampur baur dengan penduduk asli Tengger yang menganut agama Jawa, di sini mereka tetap mewarisi tradisi keimaman agama Syiwa zaman Majapahit. Kawah gunung Bromo adalah tempat untuk melakukan upacara kurban bagi agama Tengger.

Berbeda dengan perkembangan di Bali, di Tengger agama rakyat sangat ketat dipengaruhi perkembangan agama Jawa dan Islam di sekelilingnya. Reformasi Hindu pada tahun 1970-an menghidupkan kembali agama Tengger yang mengandung pertentangan agama imam Syiwa dan agama rakyat Jawa. Festival terbesar adalah Karo (keduanya) yang lebih menggambarkan upacara dualisme semesta antara bumi dan langit, tanah dan air, laki dan perempuan, dan Muhammad dan Asyika. Asyika dianggap pendiri agama Tengger dan festival ini dibawah pengaruh Islam menjadi upacara karo, yaitu koeksistensi damai, yang melihatkan agama Islam dan agama Hindu Tengger.

Sejalan dengan kebangunan gerakan Islam pada tahun 1950-an dan 1960-an, di tengger juga dialami kebangunan pembaharuan agama Hindu. Ini terjadi karena pengaruh gerakan kaum muda Hindu Bali (parisadha Bali), kemudian banyak imam agama Tengger belajar ke Bali. Ini menyebabkan terjadi pembaruan agama Hindu Tengger bekerjasama dengan agama Hindu Bali pada tahun 1960-an dan 1970-an.

C. HINDU BALI

Bila Agama Hindu Tengger lebih bercirikan agama rakyat yang menyatu dengan agama Jawa, agama Hindu Bali dibawa oleh para Brahman dan keluarga Raja sehingga lebih kaya dalam upacara-upacara istananya. Namun, agama Hindu Bali juga memiliki banyak variasi di Bali sejalan dengan sinkretisasi dengan kepercayaan tradisi lokal yang berbeda-beda. Agama di sini semula disebut sebagai agama Hindu Bali, namun berbeda dengan agama Hindu yang berasal dari tradisi Veda India, sekte utama di sini menyembah Syiwa dan juga Buddha. Agama ini juga disebut agama Tirta (air) karena umumnya ada upacara-upacara menggunakan air suci. Sekarang nama resmi agama ini adalah agama Hindu Dharma.

Agama Hindu Dharma adalah agama upacara, umat pada umumnya tidak berbicara mengenai teologi namun setia menjalankan upacara agama sesuai petunjuk para imam. Kepercayaan akan kehidupan reinkarnasi itu disertai upacara nga ben (pembakaran mayat keluarga kaya). Mereka yang terpelajar mencari pengertian mengenai dewa-dewi lokal dan ikatannya dengan sesama dewa. Sebagai contoh dewa Batara di danau batur adalah saudara dewa Batara di gunung Agung, padahal keduanya berasal dari dewa-dewi Jawa kuno. Untuk menjaga Bali, Dewa Jawa (Sang Hyang Pasupati) mengirimkan 7 anak-anaknya ke Bali yang kemudian menjadi dewa-dewi lokal. Agama Upacara

Penyebaran agama disamping melalui para imam (ajaran Veda) juga dengan kuat ditanamkan melalui upacara dan tari-tarian, khususnya yang bertemakan Mahabarata dan Ramayana, juga babad (sejarah tradisi) dan tutu/satua (sejarah yang diucapkan turun-temurun). Dewa utama di Bali adalah Trimurti Veda, yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Syiwa (perusak). Tiap keluarga Bali memiliki kuil (sangga) beruang tiga untuk menyembah Trimurti dan roh-roh nenek-moyang. Di tingkat desa, desa adat memiliki tiga kuil (pura - tiga kayangan), yaitu pura Desa, Puseh, dan Dalem yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu dan Syiwa bersama-sama. Disamping itu ada pura yang bersifat regional yang disebut 'tempat suci dunia' (kahyangan jagad), seperti pura Besakih, Batur, Lempuyang Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukara, Pusering Jagad, Pulaki, Tanah Lot, dan Sakenan. Dari seluruh pura ini, pura Besakih di lereng gunung Agung adalah yang terbesar.

Kuil-kuil diisi Meru (pagoda) yang biasanya beratap ganjil jumlahnya dan maksimum sebanyak 11 buah dan biasanya digunakan untuk menghormati dewa-dewi atau nenek-moyang tertentu.

Agama Hindu Bali adalah agama upacara dimana agama dituturkan dari generasi-ke-generasi yang diperkuat dengan persembahan kepada dewa-dewi setiap hari, dan khususnya pada hari-hari tertentu ada persembahan untuk mengingat hari raya tertentu, dan juga untuk pergi ke kuil secara berkala. Setiap perayaan penting selalu didahului upacara agama untuk mengusir roh-roh jahat. Demikian juga, bencana alam (termasuk pengeboman di legian-Kuta) harus disucikan dengan upacara doa.

Hindu Bali menyembah dewa tertinggi yang disebut Sang Hyang Widi sebagai manifestasi dewa matahari Syiwa Raditya.

Catatan :[1] Eerdsmans' Hanbook to The World's Religions, hlm. 179.[2] Leo F. L:udzia, Tenaga Hidup, hlm.36. [3] Henry R. Luce, The World's Great Religions, hlm.26. [4] A. G. Honig Jr., Ilmu Agama I, hlm.102.[5] Ludzia, Op.Cit., Hlm 48. [6] Swami Sivananda, Yoga Asanas, h.142-143. [7] Ludzia, Op. Cit., h.50-51.

Top

BP Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Mon Nov 17, 2008 1:39 pm

Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 III. MEMPELAJARI SEJARAH AGAMA BUDDHA & ASPEK MISTIKNYA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Agama Buddha dapat dikatakan sebagai pembaruan agama Hindu dan Buddha artinya 'mereka yang telah bangun.' Buddhisme dirintis Siddharta Gautama, (lahir 563SM) anak raja Kapilavastu dekat perbatasan Nepal. Peristiwa sekitar kelahirannya banyak diisi dengan dongeng. Setelah mendirikan agama ia disebut sebagai Buddha yaitu 'seseorang yang telah mengalami pencerahan' atau 'telah bangun.' Ia mempunyai isteri bernama Gopa dan anak bernama Rahula. Karena kehidupan mewah yang dialaminya tidak mendatangkan kepuasan, dan melihat penderitaan disekitarnya, ia kemudian meninggalkan istana rumahnya, dan keluarganya (isteri dan seorang anak) dan menjadi pengelana. Selama enam tahun ia berkelana mencari arti hidup dan berguru kepada pada orang-orang suci.

Sebelumnya dalam tiga perjalanannya ia menjumpai penderitaan dunia dalam tiga bentuk, yaitu (1) orang tua yang menderita; (2) orang cacat yang kesakitan; dan (3) pengantar jenazah menangis. Dalam perjalanan ke-empat ia bertemu dengan rahib Hindu yang bergembira sekalipun mengemis mencari makan, ini menyebabkan ia berpendapat bahwa kehidupan itu sia-sia. Dibawah dua guru Brahmana ia kemudian mencari melalui jalan Yoga untuk menyatukan Atman dengan Brahman tetapi dianggap tidak membawa kepada pengetahuan.

Sebagai orang yang dilahirkan dalam lingkungan agama Hindu, sekalipun ia berontak terhadap praktek Hinduisme orthodox, ajarannya menerima beberapa pengajaran Hindu seperti soal setiap mahluk hidup mengalami siklus kelahiran dan kematian yang tidak terhingga (reinkarnasi), ajaran tentang Karma (hukum pembalasan), hukum alam sebab dan akibat dimana yang baik hidupnya akan mendapat pahala dan yang tidak baik akan terhukum, bahwa dunia adalah tempat hidup yang penuh dengan penderitaan dan kepedihan dimana orang bijak harus melepaskan diri, dan jalan hikmat terletak pada penguasaan keinginan dan nafsu.

Sekalipun menerima pengajaran Hindu pada umumnya, ia menolak cara-cara yang digunakan dalam agama Hindu untuk mencapai tujuan itu yang penuh dengan usaha menyakiti diri (asketik / bertarak) yang dianggapnya sebagai tidak berguna dan sia-sia. Ia mempelopori 'Jalan Tengah' (middle way) yaitu diantara usaha menjalani kehidupan dengan cara 'menyakiti diri' dan 'pemuasan nafsu diri', suatu usaha menghindari sikap ekstrim dengan cara yang tenang. Buddha juga menolak pembagian kasta India dan memandang semua manusia setara dalam memiliki potensi spiritual.

Ia kemudian pergi ke utara India dan dengan lima pengikut melakukan pertarakan (ascese). Karena jalan ini juga tidak mendatangkan solusi ia melakukan meditasi dibawah pohon Boddhi dan mencapai pencerahan dan Empat Kebenaran Mulia, dan sejak itu ia dinamakan 'Buddha' atau 'yang telah dibangunkan dan mengalami pencerahan' (the enlightened one). Kemudian bersama ke lima pengikutnya ia berkotbah pertama kali di Benares (Vanarasi). Ia kemudian berkelana ke India bagian Utara sebagai rahib pengemis sambil mengajarkan ajarannya selama sekitar 45 tahun.Di masa tua, ia mengalami sakit keras dan mengajarkan kepada para pengikutnya mengenai 'ketidak tetapan' atau 'perubahan' yang selalu dialami di dunia ini, dan meninggal di Kushinagara pada umur 80 tahun yang dipercayai sebagai telah kembali ke Nirvana yang dipercayai sebagai puncak dari segala sesuatu.

1. KONSEP MENGENAI YANG SUCI

Dalam agama Buddha, konsep tentang yang suci atau ketuhanan tidak ada, yang ada adalah kondisi Nirwana yaitu perhentian terakhir menuju ketiadaan. Agama Buddha memang dipersoalkan hakekatnya sebagai agama, sebab Buddhisme ini praktis didasarkan atas hal-hal yang rasional dan sekalipun juga bersifat transendental, sangat sedikit sekali berurusan dengan yang supranatural, dan konsep ketuhanan juga kabur sehingga dapatlah disebut bahwa Buddhisme adalah agama yang sebenarnya A- Theist (Tidak ber Tuhan dalam pengertian Tuhan Atheisme), namun untuk menghindari kerancuan dan pengidentikkan dengan A-Theisme Komunisme yang berkonotasi negatip 'anti-Tuhan' maka agama Buddha sering disebut sebagai berkeyakinan 'Non-Theist.' Di Indonesia, agama Buddha secara resmi juga menerima konsep kepercayaan akan 'Tuhan Yang Mahaesa' namun pengertiannya adalah 'Tuhan yang SATU itu' (Tuhan mistik tidak berpribadi), dan dalam kasus agama Buddha, Tuhan yang SATU ini dimengerti sebagai situasi ketiadaan.

2. PERNYATAAN YANG SUCI

Ungkapan dari yang suci atau hierophany biasanya dinyatakan dalam keberadaan orang-orang suci, tempat-tempat suci, dan kitab-kitab suci. Dalam Buddhisme kita melihat beberapa hal sebagai berikut:

A Orang-orang Suci

Tidak ada orang suci dalam agama Buddha, ia bukan Tuhan dan juga bukan perantara Tuhan, ia tidak dapat menjadi penebus. Yang lebih dipentingkan bukan orang suci tetapi jalan suci atau Dharma yaitu ide pengajaran yang sifatnya kekal dan tidak pernah berhenti. Semua orang harus menjadi Buddha dan dalam Theravada dianggap ada beberapa Buddha (mula-mula 6 dan kemudian 28) dimana Sidharta Gautama adalah yang utama dan sedang dinantikan Buddha yang akan datang dalam diri Maitreya. Bagi aliran Mahasanghikas diakui bahwa ada banyak sekali Buddha seperti banyaknya pasir di pantai.

B Tempat-tempat Suci

Tidak ada tempat suci khusus bagi agama Buddha kecuali pohon Boddhi yang dianggap keramat, lainnya adalah kuil-kuil dan candi-candi. Di Indonesia kita jumpai banyak candi yang dianggap tempat suci untuk tempat bermeditasi seperti yang terkenal yaitu candi Borobudur.

C. Kitab-kitab Suci

Ajaran Buddha diajarkan dari mulut ke mulut dan di hafalkan, baru dikemudian hari ucapan-ucapan Buddha ditulis oleh para pengikutnya. Buddha kemudian mengajarkan 4 Kebenaran Mulia, yaitu (1) Penderitaan adalah umum; (2) Penderitaan disebabkan keinginan cinta diri; (3) cara mengatasi penderitaan adalah mengurangi keinginan; (4) Cara untuk mencapai pengurangan keinginan adalah dengan mengikuti jalan tengah, tehnik mana diuraikan dalam 8 Jalan Mulia, yaitu (1) Pengetahuan yang benar; (2) Keputusan yang benar; (3) Perkataan yang benar; (4) Perbuatan yang benar; (5) Kehidupan yang benar; (6) Usaha yang benar; (7) Kesadaran yang benar; dan (8) Pengheningan cipta yang benar. [1]

3. KONSEP MENGENAI MANUSIA

Manusia dalam konsep Buddha adalah Micro Cosmos tetapi berbeda dengan Atman Hindu yang menyatu dalam Brahman semesta, manusia dalam Buddha adalah Atman yang berusaha melepaskan dirinya dari penjara tubuh menuju kepada An-Atman (ketiadaan Atman), dan ini dicapai melalui usaha meditasi menuju pencerahan.

4. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIA

Dalam ungkapan beragama Buddha kita melihat hal-hal berikut:

A. Jalan Keselamatan

Tujuan hidup Buddha adalah usaha mendisiplinkan diri dengan cara melakukan amal baik dan ketenangan batin. Jalan keselamatan dalam Buddha adalah pencarian dalam mencapai pengetahuan menuju pencerahan itu. Dan tujuan pencerahan itu bukan menuju tempat tertentu (semacam surga) tetapi suatu keadaan yang disebut Nirwana, keadaan kelepasan menuju status 'tiada'. Kondisi inilah yang disebut menjadi Buddha, dan tugas seorang Buddhis adalah mengajak orang lain untuk menjadi Buddha pula. Dharma sebagai hukum kehidupan lahir dan mati mempercayai bahwa manusia mengalami karma yang baik bila hidup baik dan karma yang jelek bila hidup tidak baik melalui siklus hidup kembali yang disebut reinkarnasi.

Berbeda dengan konsep Atman Hinduisme yang bersiklus hidup secara tetap dan terus menerus tidak berkesudahan, dalam Buddhisme siklus itu menuju kondisi perhentian akhir yang tiada yang disebut Nirwana (An-Atman) yang bisa dicapai dalam hidup ini melalui pencerahan, suatu kondisi perhentian dimana tidak ada lagi keinginan dan penderitaan. Dalam ajaran Theravada hanya yang menjadi Bhiksu yang akan selamat sedangkan dalam aliran Mahayana mereka menunda menjadi Buddha agar dapat menolong sesamanya. Jadi bagi aliran Mahayana seorang Boddhisatwa (mereka yang siap menjadi Buddha) mengajar dan juga bekerja menjadi penyelamat.

B. Komunitas Umat

Selain ke-lima pengikut pertama, ia mengumpulkan umat dalam Sangha dan berbeda dengan agama Hindu, Buddha menolak pembagian kasta. Umat menggunakan ruang-ruang pertemuan yang disebut Vihara. Setelah kematian Buddha timbul pertentangan tentang interpretasi ajaran-ajarannya dan timbul dua aliran utama yaitu aliran Theravada atau Hinayana (kendaraan kecil) yang bersifat konservatif yang menyebar ke selatan seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Srilangka, dan aliran Mahasanghikas atau Mahayana (kendaraan besar) yang bersifat liberal yang menyebar ke utara seperti Tibet, Nepal, Sikkim, Buthan, Vietnam, China, Jepang, Monggolia, Korea dan Manchuria. Aliran Theravada mengacu pada kitab-kitab asli/kuno dan menekankan usaha pribadi dalam mencapai pencerahan, sedangkan aliran Mahayana menganggap bahwa keselamatan bukan untuk diri pribadi tetapi untuk semua orang.

C. Upacara Agama

Aliran Theravada tidak mempunyai upacara kecuali bahwa semua orang harus menjadi bhiksu untuk memperoleh selamat sedangkan dalam aliran Mahayana semua orang adalah Buddha. Theravada lebih memurnikan ajarannya sedangkan Mahayana cenderung bersinkretisasi dengan agama local sehingga timbul banyak aliran dan upacara (Lamaisme di Tibet, Sam Kauw di China, Zen Buddhisme di Jepang dll.)

5. MISTIK BUDDHISME

Bagi seorang Buddhis yang baik yang memperoleh pencerahan, terbukalah Nirwana yaitu tujuan spiritual tertinggi. Nirwana adalah keberadaan tetap dari semua keadaan yang bersifat realitas puncak yang tidak berpribadi, atau bahwa seseorang telah berhenti dari siklus reinkarnasinya. Untuk mengembangkan pengajaran di atas, Buddha mengajarkan bentuk dasar kepercayaan mengenai 'Aku' (Self) yang dikatakan sebagai:"Aku bukanlah seperti yang dipercayai dalam agama Hindu yang menganggapnya sebagai bagian dari zat mutlak yang disebut sebagai Brahman. Aku adalah tidak tetap dan dibentuk oleh tahap-tahap pemikiran dan materi yang terus menerus berubah. Bila seseorang melepaskan diri dari semua keinginan duniawi, ia sampai pada realisasi yang benar dari' Aku 'nya dan menuju Nirwana."[ 2]

Menurut Buddha, konsep Aku itu berlawanan dengan Atman Hindu yang merupakan bagian dari Brahman, zat semesta itu, karena itu Buddha menyebutnya An-Atman atau An-Atta yang artinya:"ajaran tentang tidak ada nyawa, tidak ada aku ... Si Aku itu hanya suatu susunan sementara daripada dharma-dharma, yang daripadanya segala yang ada itu tersusun, dan bersifat sementara pula. Semua yang ada itu hanya suatu arus (samtana). Sesuatu atman sesungguhnya tidak ada, dimanapun orang mencarinya. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak dapat mengatakannya dengan tepat, bahwa Buddha itu mengajarkan perpindahan jiwa. Aku ini tiada lain daripada suatu kompleks dharma-dharma yang selalu berubah. Demikianlah aku hanyut di dalam arus ketidak-tetapan. Itulah penderitaan manusia ... Makin jauh orang berjalan di jalan kelepasan, makin menjadi teranglah kesadaran bahwa ia tidak mempunyai aku."[ 3]

Dengan konsep An-Attanya, Buddha disebut sebagai pemberita yang termashur tentang ajaran 'tidak ada aku', karenanya ia kemudian dijuluki sebagai 'Anatta vadi' yang berarti pemberita tentang ajaran ketidak-ber-pribadian. Disini juga jelas tentang konsep 'Jalan Tengah' mengenai 'Aku' yaitu ia 'bukan Atman tetapi menuju An-Atman/An-Atta.'

Sekalipun ada konsep meditasi dan semedi baik di agama Hindu maupun Buddha, keduanya berbeda. Bila dalam Hindu kedua disiplin itu digunakan untuk mengusahakan penyatuan Atman dengan Brahman, dalam Buddhisme, baik meditasi maupun samadi digunakan untuk usaha 'meniadakan aku' menuju 'Nirwana' yaitu pemadaman sempurna dari hawa nafsu menuju 'ketiadaan Aku.'"nirwana adalah terpadamnya skanda-skanda dengan sempurna. Ini berarti berhenti, proses keadaan badani dan rohani kita tidak lagi berjalan terus. Hal ini mulai terjadi pada kematian orang yang suci (Arahat) ... inilah perdamaian, inilah yang luhur, yakni berhentinya segala pembentukan karma, terurainya dasar-dasar keadaan, menjadi keringnya nafsu, penghapusan, pemadaman, nirwana." [ 4]

Jadi, dibandingkan dengan agama Hindu dimana agama Buddha berasal jelas ada perbedaan konsep tentang 'aku' dan secara negatip orang dapat menentukan dua hal tentang hakekat nirwana itu."Pertama, nirwana bukanlah, bahwa jiwa kita masuk ke dalam Mahajiwa ... inti ajaran Buddha itu justru terbentuk oleh pandangannya tentang 'anatta.' Kedua, nirwana itu tidak boleh pula disebut pembinasaan, anihilasi. Nirwana adalah berhentinya suatu proses, bukan anihilasi suatu kehidupan." [ 4]

Jadi, dari terang kutipan-kutipan tersebut jelas bahwa yang disebut sebagai 'Aku' atau 'An-Atta' bukanlah kekuatan Mikro-kosmos yang berpotensi kundalini atau prana tetapi suatu 'ketidak-adaan' sesuatu yang 'nihil.' Dan penyangkalan diri dan latihan meditasi maupun samadi disini ditujukan untuk menuju keketidak-adaan itu. Sekalipun demikian, para pengikut Buddha kemudian dari pengalaman mereka menghadapi serangan fisik selama menjalankan misinya, kemudian juga mengajarkan pelatihan kekuatan energi dalam tubuh manusia dan menjadikannya dasar ilmu bela-diri:"Sang Buddha juga telah mengajarkan latihan pernafasan dan meditasi untuk mengontrol energi yang tersimpan di dalam tubuh." [ 6]

Dapatlah dimaklumi sekarang mengapa Bodidharma (Tat Mo Chowsu) dalam perjalanan ke China membawa silat berlandasakan Buddhisme.

Buddha adalah agama sinkretis yang mempopulerkan ajaran Un 'jalan tengah' yang menuju 'yang SATU' dan menghindarkan ekstrim, itulah sebabnya, khususnya aliran Mahayana dengan mudah berbaur dengan agama-agama lain seperti 'Sam Kauw/Tridharma' dengan Taoisme dan Konhucuisme, dan 'Ch'an atau Zen' dengan Taoisme. Agama Buddha-lah yang kemudian menjadi dasar 'Universalisme' tentang Yang SATU itu.

Catatan :[1] Lihat Henry L. Luce (ed), The World's Great Religions, h. 44, dibawah The Path of Buddhism.[2] Ibid. [3] A.G.Honig, Ilmu Agama-I, h.156-157. [ 4] Ibid, h.159.[ 5] Ibid, h.160.[ 6] Thubten Chodron, Tradisi dan Harmoni, Menelusuri Jejak-Jejak Agama Buddha, h.10.

6. ZEN BUDDHISME

Agama Buddha masuk melalui daratan China yang dibawa oleh Bodidharma (Tat Mo Chowsu) dari India pada tahun 552 yang kemudian menyebrang ke kepulauan Jepang. Pada tahun 645, kaisar Jepang Kotoku tertarik akan agama Buddha dan menjadikan Buddhisme sebagai agama negara dan menolak agama Shinto yang semula menjadi agama negara.

Mulai sekitar abad ke-VIII, masuknya pengaruh Buddhisme dari India yang masuk lewat daratan China itu kemudian menyebabkan terjadinya sinkretisme antara agama Buddha dan Shinto, agama asli Jepang yang menyembah Dewa Kami, hal ini disebabkan karena Buddhisme yang juga mempunyai latar belakang kebatinan India, kemudian menganggap dewa Kami Shinto itu sebagai pernyataan Buddha juga. Koeksistensi damai kedua agama ini berlangsung terus sampai zaman Tokugawa hingga kejatuhannya pada tahun 1867 ketika kaisar Meiji kembali menjadikan Shinto sebagai agama negara di atas agama-agama lain.

Shintoisme mengalami kebangunan dengan kembali dijadikannya sebagai agama negara oleh kaisar Meiji, tetapi sekalipun demikian pengaruh Buddhisme sudah sedemikian kuat di Jepang sehingga pada tahun 1877 sekalipun Shinto dianggap sebagai agama negara, Buddhisme tidak lagi dilarang untuk dipercaya oleh orang Jepang.

Untuk bisa mengerti hakekat Zen Buddhisme, kita perlu mengetahui terpecahnya Buddhisme menjadi dua yaitu Hinayana yang menyebar di daerah Selatan (Sri Lanka, Laos, Muanmar, Thailand, Kamboja & Indonesia (borobudur)) dan Mahayana yang menyebar ke Utara dan Timur (China, Jepang dan Korea).

Aliran Hinayana (artinya jalan kecil) yang juga disebut sebagai Theravada, lebih memusatkan ajarannya ke arah keselamatan pribadi (individual), di mana setiap orang perlu mencari jalannya sendiri dalam mencapai pencerahan, tiap individu adalah atman yang mencari jalannya sendiri-sendiri. Sebaliknya, aliran Mahayana (artinya jalan besar) lebih mengarah kepada keselamatan bersama yang bersifat sosial. Setiap orang adalah bagian dari semuanya, karena itu ia sendiri tidak mempunyai pribadi atau juga disebut sebagai anatta (atau an-atman).

Sebagai konsekwensi dari ajaran itu, maka bagi pengikut Hinayana kehidupan biara sebagai biarawan merupakan pusat kegiatan beragama, sedang bagi pengikut Mahayana, kehidupan aktif sebagai awam adalah kegiatan beragama, karena itu aliran Mahayana lebih bersifat misioner, dan aliran inilah yang menjadikan agama Buddha sebagai agama dunia dan menyebar kemana-mana.

Kehidupan aliran mahayana lebih bersifat liberal dan terbuka, dan lebih mudah untuk berpecah-pecah dan melakukan sinkretisasi dengan agama-agama setempat, itulah sebabnya dari aliran Mahayana ini kita melihat bentuk-bentuk yang berbeda baik yang di Tibet, Monggolia, China, Korea, atau Jepang. Hal ini berbeda dengan perkembangan Hinayana yang lebih merupakan agama kesatuan dengan tradisi bersama.

Buddhisme Mahayana sedikitnya terpecah ke dalam lima (5) ajaran utama, yaitu yang menekankan iman, pengajaran, mantra, politik, dan intuisi. Mahayana yang menekankan intuisi inilah yang kita jumpai di Jepang dalam bentuk Zen Buddhisme. Agama inilah yang merupakan sinkretisme agama Tao dan Buddha ketika Bodidharma (Tat Mo Chowsu) pergi ke China (abad ke-VI) dan agama ini kemudian oleh para pengikutnya dibawa menyeberang ke Jepang pada abad ke-XII.

Dalam ajaran Zen, kata-kata dan pikiran itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam menyatakan sesuatu, karena itulah maka pengikut Zen menyatakan kebenarannya tidak dengan ungkapan-ungkapan dan argumentasi teologis, tetapi dengan suatu sikap yang transenden. Itulah sebabnya pengikut Zen tidak mementingkan kitab suci, rumusan dogma atau pengakuan percaya. Zen (Ch'an bahasa China atau Dhyana bahasa Sansekerta) sebenarnya berarti duduk, tetapi kemudian diartikan dengan meditasi, yaitu perenungan untuk mencapai pencerahan/penerangan/wahyu itu sendiri."Sebagai praktek agama yang pada dasarnya tidak condong kepada kepustakaan, Zen mengajarkan manfaat hubungan langsung dengan batin dan manfaat pencerahan roh-intelektual yang intuitif, yang diperoleh secara perlahan-lahan maupun yang diperoleh seketika, tergantung pada kemampuan tiap individu." [1]

Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan Zen, yaitu 'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap mana dilanjutkan dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu, suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi bisa direnungkan. Sikap mana kemudian dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik, seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori', yaitu suatu situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman). "Cara terbaik untuk merasakan Zen yang benar dan mencapai satori adalah dengan meletakkan jasmani dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga keseimbangannya yang teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti gigi tidak akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai keadaan yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu: pertama-tama buatlah postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan akhirnya tenangkan batin." [2]

Kekhasan dari Zen Buddhisme dibanding sekte-sekte Buddha lainnya adalah penekanannya pada praktek meditasi sebagai jalan pencerahan, dan untuk mencapai pencerahan itu, seseorang harus melakukan meditasi untuk mencapai jati diri (self) yang terdalam, dan bila ia mencapai pengertian akan kesadaran dirinya itu, berarti ia telah menyatukan diri dengan hakekat semesta atau realitas rohani semesta. Hanya berbeda dengan mistik Hindu dan Tao, Zen menganggap bahwa realita semesta itu keberadaannya berubah menjadi 'tidak ada /tiada'. Dalam mistik India dan China, yang 'ada' menyatu kepada yang 'ADA' (Pan-Theisme), sedangkan dalam Buddhisme termasuk Zen Buddhisme, yang 'tiada' menyatu dengan yang 'TIADA' (A-Theisme).

Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan dua di anataranya yang terkenal adalah aliran Rinzai dan Soto yang pada abad ke-XII beremigrasi dari China ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.

Meditasi Zen ini dipraktekkan sebagai usaha penyangkalan diri/pengosongan diri dan pencerahan serta jalan kelepasan/keselamatan dengan usaha sendiri:"Seperti yang dikatakan Sang Buddha, 'Lakukanlah penyelamatan dirimu sendiri dengan rajin'." [3] Meditasi Zen juga ditujukan untuk mencapai kedamaian, dan panjang umur, dan kemudian memberi landasan batin untuk pengolahan kekuatan Chi/Ki pada ilmu-ilmu bela-diri China/Jepang. [4]

Catatan :[color=red][1] Shindai Sekiguchi, Zen Pedoman Bagi Pemula, h.4.[2] Ibid, h.11.[3] Ibid, h.88.

7. NICHIREN SHOSHU BUDDHISME

Berbicara mengenai agama Buddha, kita tidak dapat tidak perlu mengetahui pula tentang satu sekte Buddhisme yang militan yang disebut Nichiren Shoshu. Sekte ini sebenarnya tumbuh pada abad XIII di Jepang berdasarkan nama pendirinya Nichiren Daishonon (1222-1282). Nichiren mempelajari Buddhisme sejak lama dan terpengaruh pengajaran seorang tokoh Budhhisme bernama Dengyo Daishi yang memperkenalkan Tendai Buddhisme masuk ke Jepang pada abad VIII.

Dengyo Daishi mempercayai bahwa kitab suci Lotus Sutra adalah kitab suci Buddha yang memuat ajaran-ajaran asli dari Buddha, karena itu, kitab inilah yang dianggap berotoritas, karena itu pulalah aliran ini menjadi sangat eksklusif dan menyalahkan semua aliran Buddhisme di Jepang sebagai salah.

Semula perkembangannya terbatas, apalagi setelah kematian pendirinya yang dihukum mati, namun pada awal abad XX (tepatnya 1930) dua pengikut Nichiren yaitu Magiguchi Tsunesaburo dan Josei Toda membentuk perkumpulan yang dinamakan Soka Gakai (yang artinya masyarakat pencinta nilai). Soka Gakai merupakan gerakan misionari Nicheren yang sangat aktif dan militan dan kemudian menyebar ke seluruh dunia setelah Josei Toda meninggal dunia (1960) dan digantikan oleh Daisaku Ikeda.

Ajaran sentral Nichiren Shoshu berkisar Gohonson yaitu peti kayu berwarna hitam yang berisi nama-nama orang penting yang disebutkan dalam Lotus Sutra. Gohonson dijadikan altar dan mezbah pribadi dan dianggap berisi kekuatan semesta yang mengontrol kehidupan para pengikut, dan ada hubungan timbal balik antara kehidupan para pengikut dengan bagaimana mereka memperlakukan Gohonzon.

Ibadat ritual yang dilakukan para pengikut Nichiren Shoshu disebut Gongyo yaitu berlutut didepan Gohonzon sambil mengucapkan beberapa ayat Lotus Sutra, meraba tasbih, dan mengucapkan mantra-mantra. Ibadat ritual dipusatkan di kuil pusat di kaki gunung Fuji yang disebut Dai-Gohonzon, sedangkan gohonzon-gohonzon pribadi di rumah-rumah para pengikut dianggap penjelmaan kekuatan mistik dari Dai-Gohonzon.

Gerakan Nichiren melalui Soka Gakai juga telah masuk ke Indonesia dan sempat dianggap oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha di Indonesia) sebagai bukan beragama Buddha, sebaliknya sekte Nichiren juga menganggap semua aliran Buddha lainnya tidak menjalankan agama Buddha, sekte ini sangat rajin menjalan misi proselitasi dan kegiatan sosial.

7. NICHIREN SHOSHU BUDDHISME

Agama Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia bersama-sama jauh sebelum abad ke-V dimana sudah ditemukan patung-patung di Sulawesi, Jawa Timur dan Palembang.

Dari abad ke-V-VII ditemukan beberapa prasasti di Kutei (raja Mulawarman) dan Jawa Barat (raja Purnawarman) yang menunjukkan bahwa ada raja-raja yang menggunakan nama Hindu, dan kelihatannya Palembang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya yang Buddhis (Hinayana tetapi juga ada yang Mahayana) pada abad ke-VII.

Dari abad ke-VII s/d ke-X pada dinasti raja Mataram Sanjaya (yang Hindu) dan raja Sailendra (yang Buddha) ada beberapa prasasti dan candi peninggalan Hindu dan Buddha Mahayana di Jawa Tengah tetapi rupanya juga ada pencampuran keduanya. Candi yang terkenal adalah Borobudur.

Pada zaman Mojopahit terjadi puncak sinkretisme dimana baik agama Hindu Siwa, Hindu Wisnu dan Buddha Mahayana diikuti bersama-sama.

BP Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Tue Jan 06, 2009 8:34 am

Merdeka dlm Kristus

Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 IV. MEMPELAJARI SEJARAH AGAMA KONGHUCU a TAO, ASPEK MISTIK TAO, DAN PERKEMBANGAN TRIDHARMA

Agama di Tiongkok/China sangat unik karena berbeda dengan agama lainnya didunia, agama ini bertumbuh dalam situasi terisolir tanpa pengaruh dari luar dan juga berbeda dengan Yahudi, Kristen dan lslam yang monotheistik, agama di China tidak berpusat Tuhan seperti Kunghucu yang dianggap bukan agama. Baru setelah agama-agama asli di Tiongkok/China, maka datang pengaruh agama Buddha yang datang dari India sekitar tahun 500M.

Bentuk agama juga tidak jelas dan pada dinasti Shang (1751-1050 SM) yang mulai tercatat secara sejarah, juga tidak ditemukan petunjuk kearah itu kecuali bahwa masyarakat di zaman itu hidup dari kepercayaan akan 'kekuatan dan roh yang mempengaruhi manusia hidup dan yang membutuhkan korban dan sesajen' (manisme & animisme). Orang China juga percaya akan keseimbangan alam yang kemudian dilambangkan dengan Yin-Yang (pantheisme) dan dipentingkannya 't'ien ming' (kesejahteraan rakyat atau kehendak langit), Mistik ini sangat kuat meresapi masyarakat China bahwa mereka menyadari akan adanya saling pengaruh antara langit (termasuk dunia roh-roh) dan bumi (termasuk manusia hidup). Konsep keseimbangan ini sudah lama ada dalam buku I-Ching.

Penyembahan nenek moyang mulai dikenal pada awal dinasti Chow (1122-325 SM) dan bangkit kembali ketika Konghucu (500 SM) mengajarkan untuk menghormati orang tua termasuk kalau sudah meninggal. Dipercayai bahwa roh orang mati terbagi tiga bagian, satu bagian naik ke langit, satu bagian ada dalam kuburan dan satu bagian ada di meja sembayang. Karena kepercayaan adanya penerusan hidup dari dunia orang hidup ke dunia orang mati maka pemakaman biasa diramaikan dengan upacara dan sesajen yang menjamin sampainya roh-roh itu ke tempatnya tanpa gangguan. Agar kehidupan berjalan baik secara timbal balik dipraktekkan 'Feng Shui'.

1. MISTIK I-CHING

Tingkok/China di samping India adalah kawasan Timur (Oriental) kaya akan ajaran kebatinan kuno, hal itu terlihat dari begitu banyaknya ajaran kebatinan yang bersumber pada keyakinan kuno yang lahir di Tiongkok/China seperti HongsuilFeng Shui, dan dalam latihan kesehatan kita melihat pengaruhnya melalui pengobatan alternatif a.l. Akupunktur dan Reflexiologi, dan dalam silat Tai Chi dan Waitankung. Dari semuanya ada prinsip dasar yang dipercaya yaitu mengenai 'Chi' atau nafas/tenaga hidup yang ada di alam dan dalam diri setiap mahluk.

Ajaran kebatinan yang bersifat pantheistik dan animistik sudah dipercayai dalam agama China purba. Sejak dahulu kala orang China melakukan penyembahan alam dan roh-roh yang bisa dilihat dalam praktek rakyat dalam penyembahan nenek-moyang, astrologi/horoskop/shio (perbintangan), necromancy (feng shui), ramalan/ nujum (gwamia), maupun dalam ajaran silat atau ilmu bela diri seperti yang sudah disebutkan di atas.

Sejak lama konsep 'keseimbangan alam' dalam bentuk 'Yin-Yang' menguasai hidup orang China, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga, masyarakat, pertanian dan pembangunan, ilmu bela diri, dan pengobatan. Setidaknya, di tahun 2205 SM, ketika sungai Huangho meluap dan mengakibatkan banjir besar, Kaisar Yu mencetuskan gerakan masal Tarian Agung untuk diikuti rakyat yang prinsipnya adalah usaha 'mengikuti harmoni alam dengan melakukan gerakan delapan arah' (pat kwalmeridian), dasar mana ditemukan jejaknya jauh sebelumnya dalam buku filsafat keseimbangan 'I Ching' (4600 SM) dan buku pengobatan China klasik 'Nei -Ching' (abad XXVII SM) [1] .

I-Ching disebut 'Kitab Tentang Perubahan' itu, dikenal sebagai filsafat tua yang mendasari keyakinan agama-agama di China sejak 3000 SM. Dalam kepercayaan kuno China, I Ching dianggap sebagai nujum yang dapat memberi petunjuk rejeki bagi manusia baik dalam bidang sosial, keluarga, bisnis maupun kesehatan. "Ingat bahwa anda sedang mengadakan konsultasi dengan ajaran kebijaksanaan yang terhimpunsepanjang jaman, Kitab I Ching mengajarkan kepada anda supaya membina satu harmoni pada inti hakekat kehidupan dan dengan demikian merintis kesejahteraan hidup. Dengan menerapkan cara ini, anda akan dapat menuangkan arus kedamaian Ilahi pada gelombang arus kehidupan yang keruh. Segala pertentangan akan lebur dan berubah menjadi kebalikannya" [2]

I-Ching berpusat pada konsep Yin & Yang yang dikelilingi 64 buah hexagram[3] yang masing-masing diberi nama khusus. Yin mewakili yang negatip seperti bumi, bulan dan perempuan sedangkan Yang mewakili segala sesuatu yang positip seperti Matahari dan laki-laki. Yin dan Yang digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang dibagi dua bagian sama besar yang berwarna hitam dan putih. Masing-masing bagian digambarkan sebagai berkepala bulatan yang berekor runcing. Di pusat bulatan kepala ada bintik yang warnanya berbeda dengan bulatan tersebut yang mengambarkan bahwa tidak ada yang mutlak dari kedua bagianlbulatan itu. Yin & Yang itu beroperasi mengikuti Meridian Langit yang biasanya dibagi menjadi 8 arah trigram atau Pat Kwa.

Jauh sebelum kelahiran Lao Tsu dan Kong Hu Cu, sebenarnya baik trigram maupun hexagram sudah terbentuk. Trigram sendiri disebut diciptakan oleh kaisar Fu Hsi di tahun 2800 SM, sedangkan pada abad ke-XII M konsep Yin-Yang yang pantheistik bercampur dengan animisme kuno menghasilkan berbagai faham seperti agama rakyat yang berbau mistik dan magis dan agama 'Tao' yang bersifat mistik yang dipelopori Lao Tsu (575-485 SM) yang dipercayai bersama dengan ajaran etis yang dipelopori oleh Kong Hu Cu (551-479 SM).

Satu milenium kemudian, pada tahun 520 M pendeta Buddha dari India bernama Tat Mo Chowsu (Bodhidarma) memperkenalkan agama Buddha ke China termasuk pengaruhnya yang kuat dalam dunia silat yang berpusat di biara Shao-Lin. Perpaduan ketiga faham Taoisme, Kunfusianisme dan Buddhisme menghasilkan agama sinkretis yang kemudian diberi nama Sam Kauw (Tri-Dharma). Perpaduan antara ajaran Tao dan Buddha disebut sebagai Ch'an menyebar ke semenanjung Korea dan kepulauan Jepang (di Jepang dikenal sebagai Zen).

Catatan :[1] Nei Ching atau lengkapnya Huang Ti Nei Ching SU Wen (pengobatan dalam kuno dari kaisar kuning) adalah buku yang ditulis oleh kaisar Huang Ti (2697-2597 SM) yang dikenal sebagai kaisar kuning (The Yellow Emperor).[2] Joseph Murphy, Rahasia di Balik I Ching, h.12. [3] Hexagram/ Trigram menggambarkan 6/3 garis sejajar yang mewakili simbol arah tertentu. Garis-garis itu terdiri dari dua macam, yang tidak terputus mewakili unsur Yang sedangkan yang terputus mewakili unsur Yin. Kombinasi dari ketiganya (trigram) atau keenamnya (hexagram) dianggap melambangkan suatu kondisi tertentu pada arah yang ditunjukkan.

2. FAHAM KONGHUCU (CONFUCIANISM)

Faham Konghucu (Conficianism) tidak dapat disebut agama, soalnya faham ini tidak berbicara mengenai teologi (pengajaran mengenai Tuhan) tetapi hanya mengajarkan hal-hal yang menyangkut Etika hidup bermasyarakat. Itulah sebabnya ada yang menempatkan faham ini bukan sebagai agama tetapi sekedar sebagai ajaran Etika.

a. KONSEP MENGENAI YANG SUCI

Agama Konghucu tidak mempunyai konsep mengenai 'Yang Suci' kecuali bahwa mereka menerima dan meneruskan kepercayaan kuno mengenai langit yang disebut 'Thian' dan lebih menekankan pada hubungan kemanusiaan, itulah sebabnya Konghucu disebut bukan agama melainkan 'etika.' Konsep mengenai 'Thian' ini berkembang dalam pemikiran mazhab Konghucu, yaitu dari 'ketuhanan yang utama' (Analek, Konghucu) ke 'kekuatan moral semesta' (Meng-Tsu), dan kemudian 'alam semesta' (Hsun-Tsu). Dalam tahap kedua 'Neo Confucianism' dibawah Chang Tsai mengarah pada pantheisme yang telah dipengaruhi Taoisme dan Buddhisme. Langit ini berisi para nenek-moyang (Ti) yang diperintah oleh penguasa (Shang- Ti).

b. PERNYATAAN YANG SUCI

1. Orang-orang Suci Faham ini dirintis Konghucu (551-479 SM) yang meletakkan dasar etika, kemudian dilanjutkan oleh pengikutnya Meng Tsu (371-289 SM) yang meletakkan dasar mistik, dan Hsun- Tsu (298-238 SM) yang meletakkan dasar praktis dan ajaran tentang 'li.'.

2. Tempat-tempat SuciKarena menekankan etika dan moral, Konghucu tidak mempunyai tempat-tempat suci. Kuil-kuil Konghucu yang biasanya berwarna merah bukan tempat -tempat penyembahan yang dianggap suci, melainkan hanya tempat belajar, dimana buku-buku mengenai faham Konghuucu disimpan untuk bisa dipelajari. Kuil Konghucu dibangun di Beijing pada abad XIII dengan Aula yang menyimpan 300 tablet karya klasik faham Konghucu.

3. Kitab-kitab Suci Ajaran konghucu ditulis dalam buku-buku seperti Analek, Chung-yung dll.

c. KONSEP MENGENAI MANUSIA

Pikiran langit dan bumi yang melahirkan segala sesuatu disebut 'jen', dan manusia yang tercipta karena materi dan energi memperoleh kehidupannya dari pikiran langit dan bumi. Manusia harus mengikuti 5 konsep yaitu Jen (hubungan ideal), Chun- Tzu (kemanusiaan yang benar), Li (sopan), Te (kekuasaan), dan Wen (seni perdamaian). d. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIA

1. Jalan Keselamatan Konghucu mengajarkan humanisme (jen) atau 'jalan etika', tetapi dalam buku Chung-yung (dari Meng-Tsu), salah satu dari ke-4 buku yang menjadi pegangan, menunjukkan penyatuan 'ch'eng' dengan langit dan bumi atau 'jalan mistik.' Karena itu disebut Meng-Tsulah yang menjadikan faham Konghucu sebagai agama mistik.

2. Komunitas Umat Karena tidak merupakan agama dan memiliki liturgi maka konghucu hanya merupakan wacana hubungan perilaku antar manusia dalam komunitas yang menyeluruh. Menurut Konghucu, keluarga adalah unit dasar masyarakat, karena itu pentingnya ikatan kekeluargaan akan memperkuat negara.

3. Upacara Agama Sebenarnya tidak ada upacara khusus dalam agama Konghucu semula, yang ada adalah hubungan hormat antara anak dan ayah, adik dan kakak, isteri dan suami, yang muda dengan teman yang tua, dan rakyat dan penguasa.

3. AGAMA TAO (TAOISM)

Berbeda dengan faham Konghucu, faham Tao banyak berbicara mengenai supra-natural, namun kelihatan bahwa agama Tao lebih bersifat agama mistik, yaitu kepercayaan akan yang SATU yang tidak berpribadi sebagai kebenaran semesta.

a. KONSEP MENGENAI YANG SUCI

Dalam Taoisme kita melihat konsep yang suci sebaliknya dari Konghucu. Bila Konghucu lebih menekankan kehidupan dibumi, Taoisme lebih mengarahkan kepada 'Tao' yang mutlak yang merupakan transformasi ketuhanan secara folosofis dan mistis. Tao adalah prinsip semesta yang mencerminkan perubahan dan juga merupakan pola perilaku manusia (wu-wei). Tao adalah 'jalan realitas mutlak' atau 'jalan alam semesta', dan Jalan yang mengatur kehidupan.' Pandangan ini pada hakekatnya meneruskan faham monisme dualistis yang berasal dari buku I -Ching yang ditulis sekitar tahun 3000 SM.

Pada prinsipnya dalam Taoisme yang disebut 'Tuhan' adalah TAO, yaitu kekuatan dasar semesta yang tidak bisa disebut atau diberi nama, tidak berpribadi, tetapi merupakan kekuatan semesta yang menghasilkan segala sesuatu dalam alam ini (monisme). Konsep ini mirip dengan pengertian 'Prima Causa' atau 'Ground of All Being' dalam filsafat Yunani Purba.

Mengenai Tao ini, kepercayaan China kuno sejak I Ching ribuan tahun sebelumnya, Lao Tsu kemudian mengembangkannya dan dalam bukunya ia memberikan definisi berikut: